Citra Rizcha Maya's Blog, page 3

November 2, 2016

[GPU Reading Challenge] Corat-Coret di Toilet, IJakarta, dan Pembaca Gratisan

#GPUxiJak


Blurb:"Aku tak percaya bapak-bapak anggota dewan, aku lebih percaya kepada dinding toilet."
Keterangan Buku:            Judul                     : Corat-Coret di ToiletPenulis                 : Eka KurniawanDesain Sampul     : Eka KurniawanSetter Isi               : Fitri YuniarPenerbit                : PT. Gramedia Pustaka UtamaTanggal Terbit        : April 2014ISBN                    : 978-602-03-0386-4
Review:                 Perhatian: Saya sebagai pembaca terlalu payah dalam menilai buku tapi saya yakinkan bahwa sulit sekali bagi saya untuk tak menikmati setiap buku yang saya baca. Ada selusin cerpen dalam antologi ini yang akan saya bahas satu persatu.Peter PanMembaca judulnya, menggelitik pikiran saya. Peter Pan adalah salah satu tokoh kesayangan saya dan saya begitu mencintai kisah petualangannya. Berdasar tokoh J.M Barry tersebut rupanya Eka menciptakan tokoh yang alih-alih melawan Kapten Hook, apa yang dihadapi Peter Pan di sini adalah sang Diktator. Tak ada Tinkerbell atau Wendy, yang ada hanya si tuan Putri. Peter Pan milik Eka rupanya ‘tak ingin dewasa’mungkin lebih karena ketika ‘dewasa’ maka idealisme-nya bisa jadi menghilang. Sentuhan tumbangnya Orde Baru dan kelahiran Reformasi kental sekali dalam cerita ini.
Dongeng Sebelum BercintaMemasukkan dongeng Alice in Wonderland dalam cerpen yang diceritakan tokoh Alamanda (mengingatkan saya pada tokoh dari Cantik itu Luka) untuk mengulur-ulur kewajibannya sebagai istri. Saya yang terlalu cepat mengambil kesimpulan berpikir bahwa sepertinya adanya keinginan Eka untuk membuat mungkin versi dystopia dari cerita anak-anak popular  ke dalam cerpen-cerpen ini. Dan saya sebagai pembaca jatuh cinta pada si gembel yang mahir mendongeng dan bercinta.
Corat-Coret di ToiletSeperti mengejek saya yang lebih sering ‘curhat’ di dinding media sosial dibanding berbicara dengan mereka yang bisa mendengarkan. Karena seringnya kadang yang mendengarkan belum tentu bisa dipercaya. Suka idenya. Salah satu cerpen  favorit saya.
Teman KencanTokoh di cerpen ketiga agaknya mirip si gembel yang pandai mendongeng juga si Peter Pan. Ringan dan ringkas, ending-nya segar.
Rayuan Dusta untuk MarietjeSetting-nya menarik, tahun 1869. Tentang tentara Belanda yang sedikit frustasi di Hindia Belanda hingga berdusta demi membuat perempuan bernama Marietje terkesan.
Hikayat si Orang GilaAkhir tragis, selalu membuat pembaca cengeng semacam saya menangis.
Si Cantik yang tak Boleh Keluar MalamEka kembali memasukkan dongeng anak-anak, kali ini Beauty and The Beast juga ‘dongeng’ remaja Romeo dan Juliet. Ending-nya? khas Eka pokoknya!
Siapa Kirim Aku Bunga?Kembali mengangkat settingjaman kolonial Belanda. Cerpen ini favorit kedua saya setelah Corat-Coret di Toilet. Tentang gadis penjual bunga dan Kontrolir Henri, manis diawal bikin meringis di akhir. Eka di sini agak sadis.
Tertangkapnya si Bandit Kecil Pencuri RotiSi bandit kecil membuat polisi kebingungan. Si bandit kecil perlu disayang.
Kisah dari Seorang KawanTentang kawanan mahasiswa dengan kisah kelam masing-masing.
Dewi AmorEka sering sekali menulis yang semacam ini, kegilaan karena cinta, dan sebagai pembaca saya sih tak bosan dengan pola ini.
Kandang BabiCerita tentang Edi Idiot yang terusir dari ‘Kandang Babi” ke “Kandang Monyet.” Satir yang miris tapi cukup menghibur.Kesimpulan dari semuanya adalah, Eka keren sebagai penulis cerpen tapi saya lebih suka karya Eka yang berupa novel. Mungkin ini hanya masalah selera, karena pada dasarnya saya lebih menikmati membaca novel dibanding cerpen karena, lebih mendalam. Sama seperti kecintaan saya lebih kepada fiksi dibanding non fiksi, walau saya tipe pembaca yang membaca jenis buku apa saja.***
 Ijakarta adalah aplikasi favorit saya  
“Aku sekarang percaya, bahwa pengalaman membaca di perpustakaan online bisa sangat menyenangkan.”“Akupun percaya bahwa ketika kamu mencintai kegiatan membaca, buku-bukulah yang seringnya datang menuju padamu.”Dan inilah pengalaman asik saya membaca buku dengan iJakarta. Ketika tahun 2015 berakhir sejujurnya saya dilanda kecemasan. Sekalipun saya berhasil melampaui tantangan membaca dari goodreads juga dari popsugar, ada ketakutan bahwa saya tak bisa lagi mengikuti tantangan membaca di tahun berikutnya. Sedikit curhat, saya sesungguhnya kesulitan memenuhi kebutuhan membaca saya karena pertama harga buku di luar jangkauan saya, kedua-pun di tempat tinggal saya enam tahun terakhir ini tidak memiliki toko buku juga tak ada yang namanya rental buku. Jangan bertanya tentang perpustakaan, di perpustakaan sekolah tempat saya mengajar, bahkan buku wajibnya pun sangat kurang. Saya pribadi ikut sana-sini mencari cara agar kami bisa menambah koleksi perpustakaan kami. Alhamdulillah, dalam rangka ulang tahun Gramedia lalu juga memeriahkan HUT penerbit KPG, sekolah kami mendapat hadiah buku. Saya juga getol minta sumbangan buku ke sana kemari lewat program pertukaran buku.Biasanya jika saya berhasil membeli buku, itu lebih karena ada duit berlebih, seringnya honor menulis. Prinsipnya begini, untuk bisa menulis ya perlu banyak membaca dan untuk merayakan tulisan yang berhasil ditulis, saya perlu menghadiahkan diri sendiri dengan … hadiah apa yang lebih berharga dari sebuah buku? Namun, kadang kala buku harus dijual lagi untuk membeli buku lainnya. Saya bercita-cita mengoleksi buku-buku, namun apa daya, buku itu ‘pergi’ tak suka dimiliki saya *lalu sedih*Awal tahun 2016 saya nekat saja mencantumkan jumlah 50 buku yang akan saya baca dalam tantangan membaca goodreads, belum kepikiran buku apalagi yang akan terbaca nanti. Dalam benak saya mungkin akan mengulang membaca buku-buku yang terbaca sebelumnya (saya mengulang serial Harry Potter sih tahun itu, itu karena memang ada agenda wajib membaca Harry Potter setiap tahunnya) namun ada seorang temat dari komunitas penimbun buku yang membagikan postingannya tentang buku yang dibacanya via iJak. Cusss, saya langsung download aplikasinya, kebetulan buku Cantik itu Luka dari Eka Kurniawan adalah buku yang mula-mula saya unduh ketika itu.Di pikiran dangkal saya, sesuatu yang gratis seringkali berbanding terbalik dengan kualitas. Namun ternyata itu tidak berlaku dengan iJakarta, ada banyak buku bagus incaran yang menunggu giliran dibaca oleh saya. Otak serakah saya tadinya mau mengunduh semuanya, tapi tentu saja aturan tiga buku sehari sangat bijaksana. Benar kata Zappa, begitu banyak buku begitu sempitnya waktu. Sejauh ini di Ijak saya sudah mengunduh 313 buku, walau yang terbaca hingga kini baru 94 buku (setidaknya saya sudah berhasil melampaui tantangan membaca lima puluh buku di tahun ini) Saya harus katakana saya adalah penggemar berat tantangan membaca, jadi tak salah saya ikut ambil bagian dalam ajang ini (semoga saya beruntung)Membaca di Ijak sangat nyaman, apalagi saya membacanya di tablet ukuran 10 inch. Koleksi buku-bukunya juara, banyak buku incaran yang akhirnya bisa terbaca antara lain; Cantik itu Luka, Handle With Care, Pulang, The Secret Garden, Novel-novel Amore, Amba, novel-novel Sophie Kinsella juga Paulo Coelho, Novel-novel Ilana Tan juga Ika Natassa termasuk buku ke 72 yang saya baca tahun ini, Corat-Coret di Toilet yang dengan senang hati saya ulang kembali demi memenuhi tantangan ini.            Terima kasih saya sampaikan pada penerbit Gramedia yang sudah menjadikan buku-buku terbaiknya menjadi koleksi Ijakarta. Akhirnya pembaca tak bermodal macam saya bisa tetap melanjutkan kegemarannya. Terima kasih pula buat para donator. Dan di sekolah, saya merekomendasikan buku-buku di Ijakarta untuk dibaca siswa, itulah kenapa saya sering kali membagi review buku yang saya baca di media sosial. Sampai kapanpun saya masih mau berusaha ngomporin orang-orang buat doyan baca.            Semoga dengan keberadaan Ijakarta, makin memperluas minat baca masyarakat. Sukses selalu Ijakarta dan Gramedia Pustaka Utama.

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on November 02, 2016 03:59

August 7, 2016

[Me Before You] Hidup Tidak Selalu Berjalan Menurut Keinginanmu, Will!

 

Keterangan Buku:Judul                            : Me Before You (Sebelum Mengenalmu)Pengarang                   : Jojo MoyesAlih Bahasa                 : Tanti LesmanaDesain Sampul             : Edward Iwan MangopangPenerbit                      : PT. Gramedia Pustaka IndonesiaCetakan kedua            : Juli 2016Halaman                     : 656ISBN                           : 078-602-03-3246-8  
Peringatan: Tulisan ini akan mengandung begitu banyak spoiler. Terlalu banyak melibatkan emosi saya sebagai pembaca, dan jangan membacanya jika kalian terlalu mencintai Will Traynor.
Lima hal yang saya benci mengenai Will Traynor.
Saya benci karena dia, di kepala saya begitu mirip perpaduan antara Mr. Darcy dari Pride and Prejudice dan The Beast dari Beauty and The Beast. Dua pria favorit saya.Saya benci karena dia begitu egois dan keras kepala.Saya benci karena dia begitu rapuh.Saya benci karena dia sangat kekanakan.Diatas segalanya saya benci karena dia membiarkan gadis yang dicintainya jatuh cinta padanya.
Tadinya saya berpikir bahwa wisata operasi plastik Korea adalah hal paling tak masuk akal, sampai akhirnya wisata kematian di Swiss menggeser posisinya (baca: Lembaga Pusat Bunuh Diri Dignitas) Novel ini selain berbicara tentang cinta dan keluarga juga berbicara tentang dignitas, sebelumnya saya akan membukanya dengan blurb dari novel yang saya benci sekaligus sangat saya cintai. Jika Will bisa menolak hidup yang dipilihkan untuknya, kenapa saya tak bisa menolak bahwa bukan jalan cerita macam ini yang saya inginkan, bukan ending seperti ini yang harus saya hadapi.Blurb:Lou Clark tahu banyak hal. Dia tahu berapa langkah jarak antara halte bus dan rumahnya. Dia tahu dia suka sekali bekerja di kedai kopi The Buttered Bun, dan dia tahu mungkin dia tidak begitu mencintai pacarnya, Patrick.Tetapi Lou tidak tahu bahwa dia akan kehilangan pekerjaannya, dan peristiwa apa saja yang akan menyusul kemudian. Setelah mengalami kecelakaan, Will Traynor tahu dia sudah tidak berminat lagi untuk melanjutkan hidupnya. Dunianya kini menyusut dan tak ada lagi suka cita. Dan dia tahu betul, bagaimana mesti menghentikannya.Namun Will tidak tahu bahwa sebentar lagi Lou akan masuk ke dunianya dengan membawa warna-warni ceria. Mereka berdua sama-sama tidak menyadari, betapa mereka akan membawa perubahan besar ke dalam kehidupan satu sama lain.
Louisa Clark, hampir tak pernah meninggalkan kota kecilnya, William Traynor menjelajah hampir separuh dunia. Lou begitu memandang rendah dirinya hingga dia tak mengetahui potensi apa yang dimilikinya. Will begitu memandang tinggi dirinya hingga dia ingin menolak hidup untuk menjalani tragedi yang menimpanya. Lou mencintai keluarganya yang tak pernah mendekati pengertian cukup secara material, berbeda dengan Will dia mendapat lebih dari apa yang layak diterimanya. Rasanya kecelakaan di luar kontrolnya melukai harga dirinya. Will naik motor, Will mendaki gunung, Will melakukan berbagai hal ekstrem tapi ternyata harus menderita quadriplegia akibat  kecelakaan karena kecerobohan orang lain, tak jauh dari rumahnya, yang membuatnya seakan terpenjara di kursi roda, yang membuat dirinya tak sama lagi dengan siapa dirinya yang dia anggap sebelumnya.Setelah berhenti bekerja Lou menerima saja pekerjaan apapun demi uang bahkan untuk menyenangkan pria yang pada awalnya membuat hidupnya terasa di neraka. Lou butuh uangnya; kakeknya jadi tanggungan keluarga, ayahnya terancam dipecat, serta adik dengan status ibu tunggal dengan bocah lelakinya akan masuk asrama, adiknya akan kuliah lagi. Lou selalu merasa dia tak punya otak, tak memiliki potensi apapun. Hingga Will mengubah banyak hal untuk hidup Lou yang agak tak adil bagi saya, karena setelah apa yang Lou lakukan padanya Will bahkan tak mau mengubah pilihannya.Bayangkan, gadis dengan pakaian konyol, sepatu norak, juga selera konyol buruk yang nyaris tak punya hobi. Dia seolah tak memiliki ketertarikan apapun, ralat selain pacarnya, Patrick, ah tidak juga, baiklah, dia mencintai legging hitam kuning bergaris dari masa kecilnya dulu. Ada hal manis yang akan Will lakukan untuknya nanti mengenai hal ini. Dia dipertemukan dengan pria angkuh kekanakan yang lelah dalam kesakitan dan frustasinya. Harusnya tak sampai lima bulan untuk mencari cara membuat Will melanjutkan hidupnya, seandainya Lou berkeras seperti pertama kali Will melunak padanya. Lelaki seperti Will tak suka dibantah, dia selalu melakukan apa yang tak diharapkan darinya. Seandainya lebih awal Lou terang-terangan mengharap kematian Will, seandainya saja. Hanya tololnya Lou tak setitikpun mampu menyembunyikan perasaannya.
Membandingkan Novel dan FilmnyaSelalu saya selalu menyukai versi novel dari apapun yang difilmkan, hmmm baiklah Brokeback Mountain juga Flipped antara buku dan filmnya setara, sayangnya tidak buat Me Before You. Selera berpakaian buruk Lou terkesan masuk akal, mengingat peristiwa yang menimpanya di labirin kastil di masa lalu. Sementara di film, Lou hanya terlihat seperti perempuan dewasa yang menolak meninggalkan masa pra remajanya. Jika Will di novel dengan posisinya bukan sebagai anak tunggal juga drama keluarga miliknya menjadikan masuk akal pilihan akhir hidupnya, tapi di film Will mengingatkan saya pada Colin Craven dari cerita anak-anak The Secret Garden.Hal terburuk dari segalanya adalah, lelaki yang terlalu lelah menghadapi kehidupannya malah menyuruh perempuan yang dicintainya menjalani hidup dengan keberanian.Sebuah novel bagus kadang tak berisi cerita menyenangkan, dia kadang memprovokasi pembacanya untuk merasakan perasaan yang kadang pembaca sendiri tak suka untuk merasakannya. Itu yang novel ini lakukan pada saya.


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on August 07, 2016 01:34

February 15, 2016

[Cerpen] Ujian





Kamulah gadis itu, yang gampang bahagia tapi juga mudah gelisah. Bahagia, karena sekitarmu terdiri dari mereka yang bahagia―saudara-saudaramu, juga para sahabatmu. Mereka menularinya dan kamu hanya perlu merasakannya dengan instan dan tiba-tiba. Kamu bahkan tak perlu mengusahakannya.  Lalu gelisah. Jika gelisah adalah warna maka dia akan bernama Magenta, sewarna darah yang mengering di tanah; memualkan, menakutkan, menjijikan―membuat tertekan. Apa yang membuatmu gelisah? segalanya, lebih seringnya memang karena ketidakpastian. Kamu terlalu takut dikejutkan oleh keadaan. Kamu bahagia, ketika alarm-mu berbunyi, nyaring sekali, memaksamu terbangun dari mimpi. Namun, bagaimana kamu bisa bermimpi? bukankah sepanjang malam kamu gelisah sekali? Kamu tidak bermimpi, hanya berhalusinasi. Alarm itu hanya pertanda bahwa masih ada kesempatan lagi pagi ini.  Kesempatan bertalian dengan harapan. Dan pagi berarti, kamu akan semakin dekat dengan apa yang begitu ingin kamu hadapi―apa yang sebenarnya, darinya kami ingin berlari.  Dari meja kamu meraih botol plastik berwarna biru muda, seingatmu volumenya 1 liter, kemana beratnya? kemana airnya? tumpah? Iya ke dalam tenggorokanmu yang kering dan dahaga. Kegelisahan membuat dalam tubuhmu terbakar, kamu meredamnya dengan menyiramkan air seteguk demi seteguk. Kamu tak kehausan, kamu hanya perlu ditenangkan. Air berguna, sayang melalui keringat dia menguap entah kemana. Seandainya saja dia membawa kecemasan serta. Kamu tersentak ketika pintumu menjeblak terbuka. Kepala ibumu dan rambut singanya muncul di sana. Kamu gembira dan gelisah di saat yang sama. "Sudah bangun rupanya." Katanya sambil lalu disaat kamu mengharapkan kata, "Selamat pagi, sayangku. Raihlah hari baru!" Tapi, ibumu tidak seperti itu.  Tak lama dari tempat ibumu berada, cinta telah menyebar ke seluruh rumah melalui wangi kopi untuk ayahmu, wangi susu cokelat untukmu, juga aroma roti-mentega dengan taburan gula. Cinta ibumu lebih praktis, dia bukan penggemar kata-kata manis. Panas itu kembali terasa, keluar dari tubuhmu, menyelimuti kulitmu. Kamu mengguyur dirimu dengan banyak air, berharap dia mampu menyejukkanmu. Percuma, panas itu bersembunyi, seperti demam yang tak ingin sembuh.  Dengan ujung jari berkuku rapi kamu menggosok tubuhmu cepat dan kasar, sakitnya membuatmu tersadar kamu melupakan sabun bayi batangan, bagaimana bisa? seperti kamu melupakan tujuanmu, bahwa yang harus kamu lakukan adalah menyingkirkan sel kulit mati bukan mengharapkan mereka dapat hidup kembali. Kamu kesal, lalu buru-buru menggosok gigi, caramu bisa membuat benda-benda putih mungil itu copot dari gusi. Kamu menyambar handuk lalu menyelimuti dirimu, pura-pura menggigil. Iya kamu memang mengigil, tapi kamu menolak percaya itu terjadi padamu. Kamu mengeringkan sisa-sisa titik air yang kamu anggap keringat.  Kamu berpakaian lengkap, bahkan jam tangan telah terpasang,  dan kamu menatap lama pada pantulan wajahmu di cermin. Kamu tersenyum, bibirmu kaku dan beberapa helai rambutmu jatuh dari ikatannya yang mengendur, kamu meraih sisir dan berusaha membuat mereka patuh dalam ikatan erat. Kepalamu sakit karena rambut-rambutmu tertarik dengan cara yang tak wajar. Kamu perlu merasa sakit agar kamu tahu bahwa kamu tak kebas.  Kamu meraih tas yang telah kamu persiapkan sejak semalam, menenteng sepatu, menuju ruang makan untuk sarapan dalam diam. "Siap?" ayahmu bertanya. Kamu mengangguk seadanya, kamu bahagia atas perhatiannya. Tapi segera ada suara marah terdengar dari dalam kepalamu. "Seharusnya kamu menggeleng!" suara itu terdengar marah dan kesal juga terdengar seperti suaramu. Lalu, ada suara dari yang kamu tahu itu bisikan hati yang mencoba menenangkanmu. "Jangan membebankan orang tuamu atas ketidakmampuanmu. Mereka telah banyak berjuang untukmu." Tak lama hatimu kembali diselimuti kegelisahan hanya dalam tempo beberapa detik saja. Gigimu mengunyah roti yang terasa seperti karpet lembab. Kamu mual, kamu meraih kopi di kirimu yang kamu pikir gelas susu cokelatmu. Tak menyadari hingga rasa tak biasa menyambangi lidahmu. Setelahnya kamu mengucapkan maaf pada ayahmu yang kini menggeser gelas susu agar berada berada dekat denganmu.  "Terima kasih," ucapmu terbata, lalu membiarkan cairan hangat itu mengalir cepat. Kamu bahkan tak memberi lidahmu kesempatan mengecap. Ibumu mondar-mandir, dengan seragam kerja yang belum terkancing, memastikan banyak hal telah berada di tempatnya, telah beres seperti standarnya, sesekali mendesah dan menarik napas dengan cara dramatis khasnya. Kamu memandang ayahmu dan iri padanya, iri pada sikap tenangnya. Apa karena kafein dalam kopinya? atau karena begitulah seharusnya seorang ayah bersikap. Ibumu menarik kursi, duduk di bangku seberangmu sambil menyantap nasi dan sisa lauk semalam yang tak dihangatkan. Ibumu mengunyah, mungkin pas tiga puluh dua kali. Di akhir kunyahan setelah menelan ibumu bertanya. Kamu bahagia. "Kartu peserta ujian?" "Ada." Ibumu menyuapkan nasi dan lauk, mengunyah tiga puluh dua kali lalu bertanya. "Pensil dan pulpen?" "Iya, sudah ada." Ibumu menyuapkan nasi dan lauk, mengunyah tiga puluh dua kali lalu bertanya. "Rautan pensil dan penghapus?" "Ada, bu." Ibumu menyuapkan nasi dan lauk, mengunyah tiga puluh dua kali lalu bertanya. "Papan ujian?" "Ada."  Ibumu menyuapkan nasi dan lauk, mengunyah tiga puluh dua kali lalu bertanya. "Penggaris ujian?" "Sudah." Ibumu menyuapkan nasi dan lauk, mengunyah tiga puluh dua kali lalu bertanya. "Tipe-ex dan tissue?" "Hmmm." Kamu mengangguk. Ibumu menyuapkan nasi dan lauk, mengunyah tiga puluh dua kali lalu bertanya lagi. "Jam tangan?" Kamu mengangkat lengan kurusmu, untuk menunjukkan bahwa kamu tak melupakan jam tangan karet hadiah ulang tahun dari ayahmu tahun lalu.  Setelah suapan terakhir, dalam nada lembut ibumu berkata. "Jangan lupa berdoa." Kamu mengangguk dan mengulaskan senyum tipis pada ibumu yang telah berbalik mencuci piringnya di wastafel. Kamu gembira selama dua detik sebelum kembali diserang gelisah. "Sebutkan ciri-ciri kalimat fakta!" Kamu gelagapan ketika ayahmu melempar pertanyaan. Ketika di sekolah dasar itu membantu tapi untuk siswi SMA soalnya tak lagi sesederhana itu. Bagaimana ayahmu tahu itu materi ujianmu? Bisa jadi dia membacanya sekilas ketika kamu lupa menutup buku dan tertidur di ruang tamu. Tapi kamu menjawabnya cepat dan tepat walau tak terdengar bersemangat. "Nyata, jelas, objektif, tak terbantahkan." Ayahmu mengangkat jempolnya ke udara.  "Ini putri, ayah." Kamu bahagia atas pujiannya tapi kemudian gelisah karena sesungguhnya pujian hanyalah bentuk lain dari ujian. Kamu menunduk karena kamu tahu takkan ada soal sesederhana itu, jam pertama Bahasa Indonesia; kamu harus menemukan kalimat utama, kamu harus menunjukkan pesan moral dari sepotong cerita, kamu harus memilih kutipan tajuk rencana, kamu harus mengurutkan kalimat acak, kamu harus menjawab semua soal dengan benar.  Kamu harus tenang!
***
Sambil mengikat tali sepatu di teras depan, kamu terkejut lalu menghentikan kegiatan menjalin temali berwarna hitam itu, dengan was-was kamu memeriksa isi tas. Takut jika perlatan ujianmu lenyap selagi kamu menghabiskan sarapan. Kamu menghela napas lega dan bahagia. Kamu mampu mendengar suara sepatu pantofel mengkilat ayah melangkah di atas lantai sebersih jilatan naga. Kamu menunggunya untuk mengantarmu ke sekolah sebelum ayahmu berangkat kerja, kalian searah. Tapi, langkah itu berhenti karena suara ibumu. "Jangan lupa transfer uang buat Surya." Suara ibumu terdengar lebih seperti memohon. "Bukannya baru dua hari lalu?" Ayahmu bertanya. Ayahmu tak pernah bicara dalam nada marah, belakangan ini dia lebih sering bicara dalam nada kecewa, kamu sungguh tak tega mendengarnya. "Dia ada perlu." "Uang melulu, seharusnya dia sudah wisuda bertahun-tahun lalu." Kamu memejamkan mata, seakan dengan menutup mata kalimat ayahmu takkan terdengar oleh telinga. "Bulan sudah melahirkan, kapan kita menjenguknya?"  Menurutmu, seharusnya ibumu tak usah bertanya. Kamu gelisah takut ayahmu bertambah kecewa. "Aku tak punya kewajiban, anak perempuan yang lari dari rumahku bukan lagi anakku."  Langkah ayahmu, makin dekat denganmu. "Sudah jam enam tiga puluh, aku harus memastikan putriku sampai di sekolah tepat waktu." Kamu senang ayahmu menyebutmu begitu. Namun ada beban, kamu tak boleh mengecewakannya. Kamu harus lebih baik dari kakak-kakakmu. Kamu hendak duduk di boncengan motor bebek ayahmu yang siap melaju. Sebelum ayahmu berbalik dan berkata, "Nak, tolong ambilkan berkas ayah di meja kerja." Kamu segera berlari dan di pintu ibumu buru-buru mengunci pintu, tadinya s!ebelum ke kantornya dia akan menyusul kamu dan ayahmu. Ibumu terlihat sibuk dengan tas kerja berat juga map yang dikepit di ketiaknya. Melihatmu, dia langsung menyerahkan map karton berwarna biru itu. "Ayahmu mengajukan pinjaman Bank untuk biaya kuliah kedokteranmu." Sebuah informasi yang makin membebanimu.
*** Kamu rindu kalimat penyemangat "Kamu pasti bisa, Bintang Kecil!" dari kakak-kakakmu, yang akan berguna untuk meredam gugup menghadapi hari ujianmu. Kamu kangen sahabat-sahabatmu yang tak satupun berada di ruang ujian yang sama denganmu.  Kamu berharap bisa membawa mereka besertamu dalam tas slempangmu, lalu meletakkan mereka di meja sejajar dengan kotak pensil di sisi lembar ujianmu. Seperti biasa kamu menjawab semuanya dengan mudah. Lima puluh soal mata pelajaran Bahasa Indonesia di jam pertama. Kamu bahagia menutup lembar soal-soalmu. Kamu telah menyelesaikannya, menandai satu dari setiap lima pilihan di sana. Hanya saja, serangan gelisah datang, ketika bel berdering di luar sana, tak satupun jawaban itu sempat kamu pindahkan ke lembar jawaban ujianmu. 

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on February 15, 2016 04:40

February 5, 2016

[Review ] Kumpulan Cerpen: Malam Terakhir, Leila S. Chudori


Untuk membaca Kumpulan Cerpen ini, saya membutuhkan waktu yang cukup panjang.
Potongan-potongan cerita dalam setiap cerpen seolah tergabung menjadi sebuah "dunia" dengan kehidupan yang; sedikit muram, agak depresif, timpang, membingungkan, tapi tetap saja, kehidupan selalu indah dengan berbagai masalahnya.
Sedikit catatan tentang cerpen-cerpen dalam kumpulan cerpen ini:
1. Paris, Juni 1988
"Paris memang tak pernah menyajikan peristiwa yang biasa. Paris selalu luar biasa, seperti seorang primadona..." Seperti yang diucapkan Marc kepada si gadis yang tak mengerti daya tarik apa yang membuat semua orang selalu menyebut Paris sebagai kota paling romantis di dunia. Padahal menurut si gadis, Paris tak pernah menawarkan kehangatan dan tidak berpretensi untuk menjadi sosok yang hangat.
Paris, di mata saya yang hanya melihatnya dari layar kaca sebagai setting film drama, tentu saja cantik dan angkuh. Tapi, setelah membaca Therese Raquin dari Zola, yang saya tahu Paris tak seindah itu. Kembali "jatuh cinta" dengan Paris lewat film Midnight in Paris, menelusuri Paris yang ajaib bertemu dari Hemmingway hingga Fitzgerald.
Paris, tepat seperti apa yang diucapkan Marc. Paris adalah dunia baru bagi si gadis yang 'shock' dengan apa yang ditemuinya; pemilik penginapan yang menjijikan dan serakah serta seniman misterius tak masuk akal yang adalah Marc.
Si gadis, buat saya seperti Francois si tikus, yang diangkat dari dunia sempitnya untuk melihat dunia baru yang lebih luas. Hanya saja dunia baru itu seperti proses kreatif Marc, gila, tak masuk akal, tapi bukankah itu bagian dari menciptakan karya seni? Dan karya seni kadang tak perlu dimengerti tapi yang pasti membuat penikmatnya, 'merasa'.
Menurut saya ini tentang perasaan si gadis yang ketakutan akan kebebasan yang ditawarkan Paris, sebagai dunia barunya.
Saya menyukai cerpen ini. Hebat, indah, dan ikut merasakan perasaan si gadis.
 2.  Adila
Saya menyetujui bahwa sebuah tulisan terbentuk dari bahan-bahan bacaan. The Rainbow dari D.H Lawrance, Summerhill dari A.S Neill, serta A Potrait of The Artist as a Young Man dari James Joyce menjadi bahan dari cerpen ini. Adila si tokoh, bahkan 'mengundang' masuk Ursula, Neill dan Stephen Dedalus ke dalam kisahnya. Dari ketiga buku tersebut hanya Summerhill yang pernah saya baca sebagai referensi belajar ketika kuliah ilmu pendidikan.
Adalah Adila gadis yang tengah memasuki masa remajanya. Masa remaja, siapa yang tak pernah dihantam oleh masa remaja? Begitupun Adila, di tengah kebingungannya dia mendapat pencerahan dari bahan bacaannya. Tokoh-tokoh fiksi hidup dan menjadi begitu nyata dalam dunianya (Saya mengalaminya ketika remaja, saya merasa bagian dari keluarga Weasley; adik dari si kembar dan kakak dari Ron, dan gembira sekali berkumpul dengan Harry-Hermione dan para anggota Orde di dapur The Burrow, ah ocehan ini tak penting)
Adila begitu mengagumi sang ibu, menurut saya dan betapa Adila begitu ingin seperti dirinya. Hanya saja sang ibu terlampau sibuk dengan tetek-bengek dunia yang tak lebih penting dari putrinya. Ibunya, bener seperti kata Adila, serupa Imelda Marcos.
Adila, gadis yang bisa melakukan apa saja, menembus garis-garis ruang dan waktu. Ia hidup tanpa pagar, dan bersama Ursula, Neill juga Stephen mereka merayakan kebebasannya.
Sedikit miris, cerpen ini harus dibaca para orang tua, sebagai peringatan bahwa remaja membutuhkan berbagai informasi awal dari mereka, termasuk pendidikan seks.
 Menyayangkan Adila. Adila, gadis yang di sampul depan, kan?

 3. Air Suci Sita
Empat tahun menanti dan melawan sepi. Kekasih kembali dan kesetiaan ditanyai. Perempuan, begitu ketakutan jika tak dipercayai oleh pria yang dicintai. Tidak bolehkah, perempuan balik mempertanyakan kesetiaan sang kekasih?
Kalimatnya indah, kaya metafora, memahaminya tak sederhana tapi tetap saja indah. Diksinya luar biasa. Kisah Rama-Shita dalam versi berbeda.
 4. Sehelai Pakaian Hitam
Tentang seseorang yang terlalu mempertimbangkan pendapat orang lain lantas mengabaikan kebutuhannya sendiri tentang apa yang diinginkan untuk dijalani dalam kehidupan. Hal tersebut tentulah menyiksa dan berujung kepada keputusasaan. Kepura-puraan, tak lebih dari sebentuk penyiksaan yang mematikan. Penghakiman masyarakat bisa berdampak begitu mengerikan. Suka! Sebuah tulisan yang mendalam dan juga muram.
 5. Untuk Bapak
 Mata saya berkaca-kaca sepanjang membacanya. Saya selalu terbawa suasana ketika membaca tulisan yang mengangkat hubungan ayah dan anak.
Anak-anak seringnya tak pernah memandang ayah mereka (atau orang tua) sebagai manusia biasa, seperti pada kalimat, "Kenapa aku percaya betul bahwa engkau terlalu kuat untuk bisa mati?"
Saya menangkap di sini, bahwa usia hanyalah angka dan terkadang seseorang harus menyegerakan dirinya dewas jauh sebelum waktunya sesungguhnya tiba,
Saya menyukai POV yang digunakan di dalam cerpen ini.
 6. Keats
Dibuka dengan puisi tentang mati dari Keats. Saya pribadi tak pernah memahami puisi, rangkaian kata-katanya terlalu indah untuk mampu saya cerna. Yang saya tangkap dalam cerpen ini bahwa tekanan keluarga  sungguh berbahaya. Cerpen ini seperti puisi, sulit untuk kepala payah saya mengerti tapi tetap saja memikat untuk dinikmati.
 7. Ilona
Saya suka gadis ini, memiliki tekad, berprinsip dan menurut saya dia menarik,Semacam Ilona tak ingin mengalami kesalahan kedua orang tuanya yang gagal membangun pernikahan bahagia. Ilona merasa dirinya cukup tangguh untuk berjalan sendiri membentuk keluarga,bahkan tanpa perlu seorang pasangan. Cerita ini tentang ketidakpercayaan seorang Ilona akan lembaga pernikahan.
Cerita ini kaya akan kalimat-kalimat cerdas.
 8. Sepasang Mata Menatap Rain

 Tidakkah Rain lebih "dewasa" dan cara berpikirnya telah "matang" dibanding anak-anak seusianya? Rain terlalu cerdas dan inilah tamparan bagi kita orang dewasa untuk melihat sekitar. Kita harus memberi perhatian lih-alih hhnya menyampaikan belas kasihan. Cerpen ini membuka mata, saya suka!
 9. Malam Terakhir
Tentang fitnah kekuasaan.Dalam cerita ini ini, seolah Rain dari cerpen sebelumnya telah dewasa dan kembali meneruskan aneka "kenapa" kepada ayahnya yang memiliki kekuasaan di peerintahan. Tidakkah yang lainnyamampu melihat keadilan?

Secara keseluruhan kumpulan cerpen ini hebat. Cara berceritanya canggih, kaya metafora, membuat pembaca berpikir sekaligus mencerahkan. Saya menyukai tokoh anak di sini, dimulai dari Adila, Moko, Ilona hingga Rain. Mereka mengagumkan, cerdas, kritis, dan mampu 'menampar' para orang tua.


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on February 05, 2016 23:35

January 30, 2016

[Tantangan Membaca 2016] Sebelas Buku Yang Saya Baca Sepanjang Januari


Sepanjang Januari, saya seharusnya sibuk luar biasa. Akan tetapi mengingat bahwa membaca adalah kebutuhan dan seperti mereka yang menghadapi stress cenderung makan banyak, mungkin itulah yang saya alami.             Stresskerja membuat saya menjadikan buku sebagai pelarian. Saya membaca lebih banyak dari yang seharusnya. Padahal itu justru menjadikan saya kehilangan banyak waktu sebelum tenggat tugas yang makin hari makin beranak pinak (Kelas XII jelang UNAS, tim debat mulai latihan, tim LCC juga, proyek PTK belum kelas tambahan harus memasukkan usulan DUPAK. Saya harus mengingatkan diri sendiri; SAYA TERLALU TANGGUH UNTUK MENGELUH) Tapi, sudahlah, yang penting saya tak lagi tertekan. Padahal sebenarnya tertekan etapi dengan mengalihkan pikiran pada apa yang buku-buku kisahkan, setidaknya menjadikan segalanya terasa lebih baik. Lihat sisi terangnya aja.            Hampir di ujung Januari. Boleh setor daftar bacaan yang terpaksa dirapel ya teman-teman, gegara jarang main FB :D Padahal sengaja postingnya ditunda-tunda mulu gegara sok sibuk membaca, eh :P
Saya skip dulu ya kategori A book based on a fairy tale dan A National Book Award winner.
Baiklah, inilah daftar buku yang mengisi hidup saya sepanjang Januari ini:

1. A Book Set in Europe:

Pulang-Leila S. Chudori
Paris, Mei 1968. 

Ketika revolusi mahasiswa berkecamuk di Paris, Dimas Suryo seorang eksil politik Indonesia bertemu Vivienne Deveraux, seorang mahasiswa Prancis yang ikut demonstrasi melawan pemerintah Prancis. Pada saat yang sama, Dimas menerima kabar dari Jakarta: Hananto Prawiro, sahabatnya, ditangkap tentara dan dinyatakan tewas. Dimas merasa cemas dan gamang. Bersama puluhan wartawan dan seniman lain, dia tak bisa kembali ke Jakarta karena paspornya dicabut oleh pemerintah Indonesia. Sejak itu mereka mengelana tanpa status yang jelas dari Santiago ke Havana, ke Peking dan akhirnya mendarat di tanah Eropa untuk mendapatkan suaka dan menetap di sana.

Di tengah kesibukan mengelola Restoran Tanah Air di Paris bersama tiga kawannya: Nug, Tjai, dan Risjaf—mereka berempat disebut Empat Pilar Tanah Air—Dimas, terus-menerus dikejar rasa bersalah karena kawan-kawannya di Indonesia satu persatu tumbang, dikejar, ditembak, atau menghilang begitu saja dalam perburuan Peristiwa 30 September. Apalagi dia tak bisa melupakan Surti Anandari—isteri Hananto—yang bersama ketiga anaknya berbulan-bulan diinterogasi tentara.
Empat Bintang review-nya di sini


The Phantom of The Opera:
Erik, sang hantu Opera, meneror Opera Paris dengan ancaman pemerasan selama bertahun-tahun. Sosok jenius yang tersiksa dalam keburukrupaannya ini jatuh cinta pada Christine, penyanyi opera yang cantik dan bersuara emas. Kehadiran Raoul, sang viscount yang tampan, membuat Erik sadar bahwa Christine takkan pernah membalas cintanya dan membuat cinta Erik berubah menjadi obsesi yang mematikan.

The Phantom of the Opera adalah novel legendaris dalam sastra gotik dunia sepanjang abad ke-20. Kisah cinta segitiga antara Erik, Christine, dan Raoul sudah diadaptasi ke dalam berbagai bentuk seni teater dan seni visual. Namun karya aslinya yang pertama kali terbit dalam bentuk novel pada tahun 1910 ini jauh lebih gelap dan kompleks dibanding yang ditampilkan dalam film maupun teater musikalnya. 

Seratus tahun lebih sejak pertama kali terbit, The Phantom of The Opera yang ber-setting di salah satu gedung termegah dan terindah di Paris ini masih menggugah hati pembacanya dalam kisah yang menyayat hati tentang hasrat manusia, teror, dan cinta.
Tiga Bintang review-nya di sini



You're The One That I Don't Want:
Bagaimana kau tahu dia adalah Jodohmu?
... Apakah kau berbunga-bunga ketika memikirkannya?
... Pernahkah kau bermimpi menikah dengannya?
... Atau kau tahu begitu saja?


Ketika Lucy bertemu Nate di Venesia, ketika berumur 18 tahun, seketika dia tahu bahwa Nate adalah Jodohnya. Mereka terperangkap dalam pusaran cinta pertama dan berciuman di bawah Bridge of Sighs saat matahari terbenam, yang, menurut legenda itu akan mengikat mereka selamanya. Akan tetapi, sepuluh tahun kemudian, mereka sama sekali kehilangan kontak.

Sampai pada akhirnya Lucy pindah ke New York dan legenda itu menyatukan mereka kembali. Lagi. Dan lagi. Dan lagi. Masalahnya, bagaimana kalau ternyata Nate bukanlah Jodohnya? Bagaimana cara untuk menyingkirkannya? Karena selamanya bisa berarti waktu yang sangat lama...

Editor’s Note
Alexandra Potter sudah cukup dikenal di kalangan penggemar cerita ChickLit
Tiga Bintang review-nya di sini
2. A Book YA Best Seller
Duet manis dari Jenny Han; 

To All The Boys I've Loved Before :Lara Jean menyimpan surat-surat cintanya di sebuah kotak topi pemberian ibunya.

Surat-surat itu bukan surat cinta yang ditujukan untuknya, tapi surat yang ia tulis. Ada satu surat untuk setiap cowok yang pernah ia cintai—totalnya ada lima pucuk surat. Setiap kali menulis, ia mencurahkan semua perasaannya. Ia menulis seolah-olah mereka tidak akan pernah membacanya karena surat itu memang hanya untuk dirinya sendiri. 
Sampai suatu hari, semua surat-surat rahasianya itu tanpa sengaja terkirimkan—entah oleh siapa.

Saat itu juga, kehidupan cinta Lara Jean yang awalnya biasa-biasa saja menjadi tak terkendali. Kekacauan itu melibatkan melibatkan semua cowok yang pernah ia tulis di surat cintanya—termasuk cinta pertamanya, pacar kakaknya, dan cowok terkeren di sekolah.
 Empat Bintang review-nya di sini


P.S. I Still Love You :
Lara Jean tidak mengira akan benar-benar jatuh cinta pada Peter. Dia dan Peter tadinya hanya berpura-pura. Tapi tiba-tiba saja mereka tidak lagi pura-pura. Sekarang, Lara Jean tambah bingung dengan perasaannya dan juga dengan situasi yang dia hadapi. Saat seorang pemuda dari masa lalunya tiba-tiba kembali ke dalam kehidupannya, percikan yang pernah dia rasakan pun kembali. Bisakah seorang gadis jatuh cinta pada dua pemuda sekaligus?

Buku ini adalah sekuel dari To All the Boys I’ve Loved Before, tempat kita bisa merasakan cinta pertama lewat Lara Jean.

Cinta tidak pernah mudah, tapi mungkin itulah yang membuatnya luar biasa.
Empat Bintang  review-nya di sini
3. A Book You Can Finish in a Day


Rainy's Days
"Hujan itu tak berarti sedih, Rainy," kata lelaki itu.

"Meski hujan selalu datang di saat-saat buruk?" tanyanya seperti bocah yang menuntut penjelasan.


Rainy percaya kalau hujan dan dirinya tidak pernah akur. Momen-momen terburuknya selalu dihiasi oleh rintik-rintik air hujan yang seolah berpesta merayakan kesedihannya. Bertolak belakang dengan Kian yang selalu bersyukur akan datangnya hujan. Bunga-bunga di kebunnya seakan menyambut limpahan air dari langit itu dengan sukacita. Mereka bertemu, bertengkar, lalu berteman. Namun, karena luka masing-masing mereka memutuskan untuk menyimpan rasa cinta yang mulai tumbuh. Sampai suatu hari… ketika cinta itu terungkap tanpa kata, salah seorang dari mereka pun terdiam tanpa tahu kapan akan bersuara lagi.

Tiga Bintang review-nya di sini


Pesan Untuk Para Kekasih Tercinta: Kumpulan Cerpen Esquire Indonesia #2:
Mungkin belum banyak yang menyadari bahwa ada begitu banyak pertanyaan menggelitik tentang lelaki: apa arti dan makna menjadi seorang lelaki? Di luar peran dan ekspektasi masyarakat tentang lelaki sebagai pemimpin, serdadu, ayah, bos, suami, dan lain-lain, ada sudut-sudut terdalam dalam jiwa mereka yang menarik untuk ditelisik.


Dua belas cerpen yang terkumpul di edisi khusus Esquire tak hanya mampu menampilkan sosok lelaki dalam segala hal: penampilan, intelektualitas, dan gaya hidup, namun juga menyibak rahasia dan hasrat yang mungkin selama ini hanya dipahami oleh para lelaki. Tak sekadar cerita, kumcer ini mampu menjadi minuman segar di padang gurun kesusastraan Indonesia, bagi semua orang yang dahaga, letih, dan merindu.Tiga Bintang  review-nya di sini

4. A Book You Haven't Read in High School


Cantik itu Luka-nya Eka Kurniawan :
Di akhir masa kolonial, seorang perempuan dipaksa menjadi pelacur. Kehidupan itu terus dijalaninya hingga ia memiliki tiga anak gadis yang kesemuanya cantik. Ketika mengandung anaknya yang keempat, ia berharap anak itu akan lahir buruk rupa. Itulah yang terjadi, meskipun secara ironik ia memberinya nama si Cantik.

“Perihal berbagai gaya dan bentuk yang diaduk jadi satu ini, Cantik itu Luka memang sebuah penataan berbagai capaian sastra yang pernah ada.”
–Alex Supartono, Kompas

“Mencermati isinya, kita seperti memasuki sebuah dunia yang di sana, segalanya ada.”
–Maman S. Mahayana, Media Indonesia

“Inilah sebuah novel berkelas dunia! Membaca novel (...) ini, kita akan merasakan kenikmatan yang sama dengan nikmatnya membaca novel-novel kanon dalam kesusastraan Eropa dan Amerika Latin.”
–Horison

 Empat Bintang review-nya di sini

5. A Book with a Blue Cover


All You Need is Love-nya Fakhrisina Amalia :
 Ketika hubungannya dengan Aiden berakhir, tanpa pikir panjang Katrina mengiyakan ajakan mamanya untuk terbang ke kampung halaman mereka di Skotlandia. Di negara yang indah itu Katrina berharap bisa melupakan kesedihannya.
Untuk pertama kali Katrina bertemu dengan keluarga besarnya. Ia mempunyai sepupu jauh yang tampan bernama Mac. Namun, entah kenapa Istas—kakak perempuan Mac—memusuhinya, tanpa Katrina tahu dimana letak kesalahannya. Tapi itu tidak menghentikan Katrina untuk semakin dekat dengan Mac.

Dan ternyata Skotlandia menyimpan misteri masa lalu yang tidak terduga. Tidak hanya indah, ada rahasia tersembunyi tentang Katrina di negara itu, juga tentang cerita cinta berlapis kota legenda! 
Tiga Bintang review-nya di sini

6. A Book Recommended by a Family Member:


100 Wanita Paling Berpengaruh Sepanjang Masa: 
100 WANITA PALING BERPENGARUH SEPANJANG MASA adalah sebuah buku yang akan memicu perdebatan dan diskusi, saat pembaca dengan antusias mengamati daftar dan penentuan peringkat ini dengan seksama.Empat Bintang review-nya di sini

7. A Book About a Road Trip:



Amy & Roger's Epic Detour (Perjalanan Panjang Amy dan Roger):
Ayah Amy baru-baru ini meninggal karena kecelakaan mobil. Ibunya memutuskan pindah jauh untuk memulai hidup baru. Dan Amy harus menyusul ibunya dengan naik mobil... ditemani Roger.

Ia sebetulnya tak terlalu bersemangat, karena harus melakukan perjalanan panjang dengan cowok yang sudah bertahun-tahun tidak ditemuinya tersebut.

Perjalanan ini mungkin terasa canggung––terutama karena persahabatan mereka lantas berkembang ke arah baru. Tetapi, bersama-sama, Amy dan Roger akan menemukan jalan-jalan baru untuk melanjutkan hidup.


"Bacaan musim panas nyaris sempurna yang akan membuat pembacanya mendambakan perjalanan dan kisah cinta."
–– Publishers Weekly; Starred Review
Tiga Bintang review-nya di sini


Saya senang sekali dengan daftar buku yang saya baca di bulan Januari, beberapa berbintang 4 dan meninggalkan kesan mendalam.

Semoga pengalaman membaca teman-teman semua juga menyenangngkan :)#ReviewRC2016 #ReviewRC2016Jan



 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on January 30, 2016 15:55

December 31, 2015

Catatan Akhir Tahun



Seringkali saya bertanya pada diri sendiri, “berapa banyak hal tolol yang saya lakukan untuk membuat orang lain berpikir bahwa hidup saya menarik?”Salah satu pikiran aneh saya, entah apa juga orang lain merasa sama̶̶ ̶  bahwa saya seringkali menganggap di suatu tempat, terdapat kamera rahasia yang merekam hidup saya dalam adegan lambat. Itulah yang membut saya harus melakukan sesuatu yang menarik. Untuk mendapat pengakuan?Mungkin saja, walau kebanyakan orang yang saya ketahui takkan peduli. Apa itu membuat sedih? Kebanyakan orang terpenting dalam hidup saya memiliki kesibukan tinggi dan hal-hal yang saya lakukan tak cukup layak untuk dimasukan ke skala prioritas mereka. Ada hal-hal penting yang harus mereka raih, hal-hal hebat untuk dilakukan. Hal-hal yang membuat saya turut bangga atas pencapaian mereka. Ngomong-ngomong tentang kesedihan, saya pikir ini waktu yang tepat untuk bertanya, kapan terakhir kali saya bersedih? Saya sering menangis, tapi saya pikir itu bukan jenis kesedihan. Mata perlu dibasahi dan hati perlu dicuci bersih dengan ‘cairan’ yang benar-benar murni. Saya menangisi anak penderita disleksia di film India, saya menangisi Erik buruk rupa di The Phantom of The Opera, saya menangisi siswa saya yang memutuskan untuk berhenti sekolah. Kadang saya menangis untuk diri sendiri. Itukah jenis kesedihan? Apa itu kesedihan? Ketika semuanya terlihat biru, begitu? Atau hanya ketika merasa terharu?Menangis saja! kadang kita memerlukannya, bukan hanya karena kita tak bahagia.Aku suka menangis dan di sana memang ada waktu yang sempurna untuk menitikkan air mata. Saat matahari terlalu cerah dan saya menantang diri saya untuk menatap cahayanya. Misalnya.Alih-alih bersedih, seringnya saya merasa bosan.Saya suka kebosanan, itu hanya seperti makanan pembuka untuk kreativitas. Ketika bosan, kita memutuskan untuk enyah darinya dan melakukan sesuatu di luar kebiasaan. Saya mungkin tak pernah tahu bahwa bisa menulis kalau saja saya tak bosan dengan bahan bacaan saya dan mencoba menulis sendiri cerita yang saya inginkan. Saya mungkin takkan pernah tahu bahwa saya bisa memasak, seandainya empat tahun lalu saya tak bosan dengan makanan dari warung makan sebelah kosan. Saya mungkin tak tahu bahwa diri saya butuh dicintai oleh diri sendiri lebih dari yang pernah saya ketahui kalau saja saya tak menarik diri dari acara sosialisasi penuh basa-basi. Belakangan saya lebih betah jadi penyendiri, karena saya tahu suatu hari nanti saya akan merindukan hari-hari di saat saya membutuhkan waktu untuk diri sendiri. Selagi bisa, nikmati!Entah apa yang ingin saya tuliskan, tapi beberapa hal perlu abadikan dalam bentuk kata-kata agar tak begitu saja terlupakan. Saya pikir ini catatan ringan tentang rangkuman kehidupan sepanjang tahun ini.Ini tahun yang berat, menguras keringat, butuh ekstra semangat tapi tentu saja sangat hebat. Banyak hal yang perlu dipelajari dan untuk itu saya sangat bersyukur dan berterima kasih. Dan Phil Collins saya anggap saja sengaja menyanyikan lagu ini untuk saya, “Cos there's a shining through. I see your true colors. And that's why I love you. So don't be afraid to let them show. Your true colors, true colors. True colors are beautiful, Beautiful, like a rainbow.”
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on December 31, 2015 00:54

November 26, 2015

[Cerpen] What If




"What is your idea of a perfect morning?" ketika aku menanyakannya, kamu tertawa kecil. Tawamu memudar berganti senyum yang menawan. Aku suka keduanya. Di atas segalanya aku suka kamu yang terlihat bahagia.            "Pagi adalah saat terbaik untuk perayaan. Pagi itu indah, membawa harapan, kesempatan, dan yang terbaik ketika membuka mata, kamu masih diberi kehidupan. Bangun dan bersyukur, lalu ... Selamat datang hari baru, aku siap menjalanimu. Jangan lupa tentang sarapan lezat dan musik yang membuatmu bersemangat, Bob Marley bagus tapi boleh juga Queen atau Kiss atau The Beatles. Sesuatu yang baru juga tak masalah, Brighter Than Sunshine dari Aqualung,  mungkin? Oh jangan bicarakan musik atau aku takkan berhenti mengoceh. Aku suka musik, pendengar yang baik tapi tak menguasai satu instrumen-pun. Payah. Parah! " Kamu menutup wajahmu, menghalangi malu agar tak tertangkap mataku. Pipimu bersemu dan tawamu membuatku menyadari betapa indahnya dirimu. Aku suka sinar matamu yang berbinar ketika kamu membicarakan hal yang menyenangkan hatimu. Bolehkah aku menipu diri, menganggap bahwa akulah yang menjadi alasan bahagiamu?            "Kamu tahu, aku suka menari-berdansa-salah--maksudku bergerak mengikuti musik sesuka hati. Aku penari buruk, karena gerakan yang kubuat semauku. Aku terusir dari kelas menari karena tak bisa mengikuti pelatihku dan karier menariku berakhir dengan cara yang tak menyenangkan. Tapi setiap pagi aku selalu menari, anggap saja salah satu cara untuk menyambut datangnya matahari. Yaampun jangan lupakan kopi. Aku suka sekali kopi, tapi boleh berganti dengan teh, susu, atau cokelat sesekali. Air putih? Dua gelas tepat saat bangkit dari tempat tidur. Oh jus buah itu sehat dan ide bagus juga. Jika kamu sarapan denganku, maukah kamu membagi rotimu?"            Aku mengangguk. Dia bicara cepat dan seolah kata-kata tercipta cepat dari balik lidahnya. Aku suka gerakan bibirnya ketika dia membentuk kata. Oh seandainya saja aku bisa menciumnya.            "Apa aku membuatmu bosan? Aku sungguh banyak bicara! Ketika kecil, ayahku menjadikan masalah kebiasaan bicaraku. Dia memanggilku burung beo mungil cerewet. Suatu hari ayahku berhasil menemukan cara agar aku diam dan mengunci mulutku." Dia terdiam sejenak dan merapikan rambut membandel ke belakang telinganya. "Ayahku memberikanku buku, saat membaca aku meninggalkan dunia dan tenggelam di dalam bacaanku. Bukankah itu ide hebat? Ayahku memang hebat, bukan? Oh, aku bicara banyak. Dia menutup mulutnya dengan kedua tangan.            "Teruslah bicara atau kamu ingin kembali membaca?" Apa aku memberikannya pilihan yang salah.            "Boleh terus bersamamu?"             Dia terdiam. Ada keheningan yang menggantung diantara kita.            "Aku senang jika ada kamu di sini." Katamu lagi. Merah jambu, menempel cantik dipipimu.            "Aku suka mendengarmu bicara. Aku juga suka melihatmu membaca."            "Kenapa kamu jarang bicara?"            "Laki-laki memamg miskin perbendaharaan kata."            Dia mengangguk memaklumi.            "Ayahku pendiam, sepertimu." Dia mengamatiku dalam-dalam. "Saat dia terdiam bersamaku, dia terlihat seperti selalu memikirkan sesuatu. Begitu juga kamu."            "Hmmm..."            "Apa yang sering kamu pikirkan?" Kamu terlihat sungguh ingin tahu            Aku tersentak mendengar pertanyaan tiba-tibamu. Aku menatap wajahmu yang tengah menunggu jawabanku.            "Kamu." Lalu aku memberi senyum malu-malu milikku.            "Jangan sengaja menggodaku." Kemu memukul lembut lenganku dengan buku Mary Poppins milikmu." Kenapa kamu mau bolos denganku?" Dia menatap tepat pada mataku. Aku mengalihkan pandanganku. Aku menunduk. Tatapanmu membuatku ketakutan, aku tak ingin kamu melihat apa yang kusembunyikan darimu. Cinta. Takut jika kamu tak menginginkannya.            "Anggap saja aku bosan dengan pelajaran matematika." Aku bicara dalam nada yang kuatur sedemikian rupa, aku tahu nadanya bergetar.            "Kamu adalah murid kesayangan guru matematika kita, siapa namanya? Hihi" Kamu menertawakan kebodohanmu.            "Bu Atika."            "Nilaimu bagus, selalu. Tidakkah angka-angka itu memusingkanmu?" Sekarang kamu seolah menulis angka-angka imajiner di udara.            Aku menggeleng.            "Angka-angka itu memusuhiku. Aku selalu keliru, mengerjakan soal terburu-buru. Mereka mengintimidasiku. Angka-angka itu tak menyukaiku." Kamu cemberut dan kedua pipimu menggembung. Lucu.             Kita terdiam lama dan seolah membiarkan waktu berputar semaunya. Kamu bersandar di dinding triplek rapuh yang bisa saja rebah. Sebelah kakimu berada di atas kakiku. Kita bertelanjang kaki membiarkan dinginnya ubin merasuki. Dari sela-sela dinding kami menikmati angin bulan November yang dingin. Aku berharap tak ada satpam sekolah atau guru BP yang mendapati  kami tengah membolos di kantin yang sebentar lagi akan dibongkar dan diganti bangunan permanen.            Tadinya aku tak ingin meninggalkan kelas. Tapi, melihat wajahmu yang tertekan mau tak mau aku ikut merasakan apa yang kamu takutkan. Kamu belum mengerjakan PR-mu satupun dan tak siap menghadapi ulangan harian. Aku membantumu karena rasa kemanusiaan? Tentu saja tidak. Aku membayangkan berada di posisimu dan kuipikir itu sangat tidak menyenangkan. Ada kalanya memang lebih baik berlari dari pada menghadapi sesuatu yang mengintimidasi. Jika kami sama-sama tak masuk kelas hari ini, setidaknya ada ulangan susulan di perpustakaan, dan aku bisa mengerjakan bagianmu. Entahlah, jika tentangmu Odelia, bahkan  seandainya bisa seisi duniapun akan kubawakan.            Odelia. Tidakkah kamu menyadari keindahan namamu mewakili segala keindahan dirimu? Tapi, tak banyak yang dapat melihat keindahanmu. Orang lain tak bisa melihat dengan cara yang tepat. Seandainya mereka melihat apa yang kulihat, seharusnya memang mereka tak perlu melihatnya, karena jika mereka mengetahui segala yang indah darimu, aku takut mereka juga jatuh cinta padamu.            Aku menggoyangkan kakiku dan kubiarkan kakimu ikut bergoyang lembut di atas kakiku. Aku sengaja membiarkanmu terganggu dan menghentikan bacaanmu lalu menutup buku. Merespon kejailanku. Kamu tersenyum, saat deretan gigimu terlihat maka belah dagumu juga terlihat. Manis, cantik dan membuat mataku betah untuk terus menatap.             Ada tanda bahaya di dalam kepala aku tak dibiarkan menatap bibirmu. Aku takut tak bisa menahan godaan untuk meciummu. Aku harus melupakan keinginanku itu. Sekarang hati dan pikiranku tengah berperang. Jika peperangan di dunia terjadi karena matinya rasa peduli, namun peperangan antara hati dan pikiranku begitu peduli padamu dan berusaha untuk melakukan segala yang terbaik buatmu.            "Mau melakukan hal yang menyenangkan?"            "Seperti apa, misalnya?"            "Hmmm... " Matamu menatap ke atas, seolah di sanalah terdapat jawaban yang ingin kamu temukan. "'Bagaimana jika? ' itu namanya, kita memulai semua pertanyaan dengan bagaimana jika secara bergantian dan masing-masing kita harus menjawab dengan jujur..."***            "Kedengarannya menakutkan," Aku ingin bercanda tapi nadaku tak terdengar begitu ditelingamu.            Kamu cemberut dan aku memaksa tertawa, aku tak pandai dalam berandai-andai.            "Bagaimana jika, bagaimana jika aku tak bisa menjawab pertanyaanmu?" aku memberimu pertanyaan pertama.            "Kamu pasti bisa menjawabnya," katamu dengan yakin.            Aku mengangguk, baiklah. " Siapa yang mulai bertanya?"            "Ladies first, huh?"            "Baiklah," aku menyerah.            "Bagaimana jika kamu diberi kesempatan untuk mendapatkan apa yang kau inginkan, apa yang akan kamu minta?"            "Kebahagiaan bagimu," Kata hatiku, " Keliling dunia kukira, lelaki harus melihat dunia!" Kata-kataku terdengar ragu.            Dia menghela nafas lalu memperbaiki posisi bersandarnya.             "Kamu pergi, jauh dan itu membutuhkan tenaga dan waktu." Katamu, nyaris terdengar seperti lagu sendu. "Mungkin nanti aku akan merindukanmu." Aku tak tega memandang ekspresi itu di wajahmu.            Aku berusaha memberimu senyum yang menenangkan.            "Ada pesan buatku?"            Kamu terdiam cukup lama dan setelah helaan nafas panjang kamu berbicara. " Terbanglah sejauh sayapmu mampu membawa terbang tapi ingat kemana harus pulang," Setelahnya kamu membereskan bacaanmu, memasukannya ke ranselmu dan memakai cardigan abu-abumu, lalu mengikat rambutmu yang tergerai. Memasang sepatumu, tanpa kaus kaki. Kamu berdiri dan berbicara pelan sekali dalam nada menyesali, "Seharusnya aku tak memulai permainan ini. Kupikir aku lebih baik masuk ke kelas saja."            Jawabanku salah, karena jika benar kupikir kamu masih lebih memilih bersamaku dan bukannya menghadapi apa yang kamu benci. Kubiarkan kamu pergi tanpa mengikuti.
            Aku masih ingat hari itu, detailnya, setiap bagian bahkan yang terhalus sekalipun. Itu hanya sepotong kenangan di masa lalu, di jaman putih abu-abu. Saat itu aku begitu jatuh cinta padamu, tapi bibirku begitu kelu untuk memberitahumu.
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on November 26, 2015 02:14

September 24, 2015

[Review] Go Set a Watchman: Menyaksikan Scout Berubah Menjadi Jean Louise







Keterangan Buku:

Judul : Go Set a Watchman
Penulis : Harper Lee
Penerjemah : Berliani Mantili Nugrahani & Esti Budihabsari
Penyunting : Tim Redaksi Qanita
Proofreader : Emi Kusmiati
Desainer sampul :Glenn ONeill
Ilustrator sampul : Getty Images & Istockphoto
Penata sampul : Dodi Rosadi
ISBN : 978-602-1637-88-3
Cetakan 1 : September 2015
Penerbit : Qanita

Blurb:

Dua puluh tahun lalu, Jean Louise menyaksikan Atticus, sang Ayah, membela Negro di pengadilan Maycomb County. Kini, Jean Louise menyadari bahwa Maycomb dan sang ayah ternyata tak seperti yang dia kira selama ini, dan diapun bukan Scout yang polos lagi.

Go Set a Watchman adalah naskah pertama yang diajukan Harper Lee kepada penerbit sebelum To Kill a Mockingbird, yang memenangi Pulitzer. Setelah enam puluh tahun dianggap hilang, naskah berharga ini ditemukan pada akhir 2014. Terbitnya Go Set a Watchman disambut animo luar biasa. Buku ini terjual 1, 1 juta kopi di minggu pertama, memuncaki daftar bestseller di Amerika selama lima minggu berturut-turut dalam 1,5 bulan, dan mengalahkan penjualan Harry Potter serta 50 Shades of Grey. Go Set a Watchman, warisan berharga Harper Lee, penulis Amerika paling berpengaruh pada abad ke-20.



Review:

Boleh kukatakan perasaanku saat mengetahui bahwa Harper Lee tak hanya pernah menulis To Kill a Mockingbird? Aku selalu bertanya-tanya, kenapa penulis sehebat dirinya hanya menuliskan satu kisah? Sempat berpikir negatif bahwa mungkin Dill atau menurutku Capote di dunia nyata membantu Scout atau Lee terlalu jauh dalam menulis. Go Set a Watchman membuktikan bahwa, Lee penulis hebat dan citarasa tulisan Capote jelas berbeda (Setelah saya membaca Breakfast at Tiffanys) Dan tentu saja, aku senang luar biasa ketika mengetahui aku bisa membaca versi dewasa dari salah satu tokoh favorite-ku, Scout!

Membaca versi dewasanya mungkin akan membawa kesenangan berbeda, namun masalahnya, ini tak hanya menjadi sebuah kegiatan membaca tapi juga bernostalgia. Serasa, Scout, Jim, dan Dill dulu mengajakku ikut serta di liburan musim panas mereka. Akan tetapi, dalam Go Set a Watchman, segalanya berbeda. Tak hanya Scout menjadi Jean Louise, tapi lebih dari itu, secara pribadi aku sungguh-sungguh merindukan Jem dan Dill.

Dibuka dengan mudiknya Jean Louise ke Maycomb County dan dijemput oleh ... Cieee, Henry Clintonsahabat lama dan juga teman sepermainan Jem. Jean Louise menjalin hubungan asmara dengannya. Ada petuah di sini, kau boleh mencintai siapapun, tapi nikahilah orang yang mirip denganmu. Menurut Scout (sulit sekali untuk tak menyebut nama kecilnya), Hank atau Henry, merupakan cerminan dirinya.

Atticus menua, dan ada bibi Alexandra sekarang di rumah. Calpurnia terlalu tua untuk masih melayani keluarga Finch. Salah satu hal terhebat adalah hadirnya, Dr John Hale Finch alias paman Jake yang mencintai Jean Louise seperti putrinya sendiri. Karena apa? Silahkan saja dibaca.

Banyak hal berubah di sini. Aku berusaha untuk tak membeberkannya di sini, walaupun sebenarnya aku berusaha keras untuk menahan diriku. Menurutku perubahan di sini alamiah, waktu yang memaksa segalanya menjadi tak lagi sama. Menjadi wanita dewasa tak pernah mudah. Scout, eh maksud saya Jean Louise dihantam beberapa kenyataan yang membuatnya sulit untuk menerima. Apa yang terjadi dengan tokoh bijaksana kesayangan kita semua, Atticus? di kepalaku Atticus adalah ayah ideal. Masihkah dia seperti Atticus yang lama?

Masih ingatkah anda para pembaca To Kill a Mockingbird dengan pembelaan Atticus di pengadilan ketika dia harus membela Negro yang malang? Hadirin, jika ada satu saja slogan yang saya yakini di dunia ini, bunyinya adalah; kesetaraan untuk semua orang, tak ada keistimewaan bagi siapapun. Namun, Jane Louise mendapati apa yang ayahnya lakukan kini adalah justru mengabdikan diri pada pelestarian pemisahan berdasarkan warna kulit! Tidakkah itu tragis? Apakah Atticus berubah? Atau hanya Jean Louise, seperti umumnya anak-anak yang menjadikan ayah mereka sebagai sosok sempurna yang seringkali lupa mereka lihat dalam bentuk manusia biasa.

Sebelum puncak perdebatan hebat antara Jean Louise dan Atticus, setidaknya pembaca terhibur dengan drama bibi-ponakan berbeda generasi serta visi-misi hidup yang dipilih...fiuuuh Bibi Alexandra sulit sekali untuk ditoleransi. Tapi, tentu saja betapa manisnya, kisah bagaimana Scout bisa jatuh cinta pada Hank dan insiden di malam pesta dansa sekolah yang menurutku cukup kocak (Walau ketika menjadi Jean Louise dia mengakui tak pernah jatuh cinta, tapi hanya selalu menyayanginya. Ah perempuan!) . Beberapa kilas balik adegan di masa puber Scout justru membuat saya semakin merindukan Jem. Favorite saya adalah tentang kecemasan Scout akan kehamilannya karena ciuman si bocah Cunningham eh Coningham.

Aku suka tentang tema rasial yang kental dalam buku ini, tapi jelas bagian kesukaanku adalah tentang hubungan Jean Louise dengan anggota keluarganya, terutama Atticus dan Paman Jake.

Aku suka buku seperti ini, dimana kita bisa mengambil banyak pelajaran darinya. Salah satunya,  menurutku adalah bahwa ketika dewasa kita melihat dengan cara yang berbeda dan itulah yang membuat Jean Louise berkonflik dengan dirinya dalam kisah ini.

Aku memiliki beberapa kalimat yang ku-hi-lite dalam buku ini;

Yang paling berdaulat dalam setiap diri manusia, Jean Louise, yang menjadi penjaga dalam setiap diri manusia, adalah nurani (hal pembuka)

Kalau kau tidak punya banyak keinginan, hidupmu selalu berkecukupan (hal. 15)

Satu-satunya obat bagi penyakit ini adalah tak membiarkannya menaklukanmu (hal. 18)

Jangan mencampuri urusan orang lain sampai kau bisa membereskan urusanmu sendiri dahulu (hal.146)

Kelahiran manusia adalah hal yang paling tidak menyenangkan. Berantakan, menyakitkan dan kadang beresiko. Dan selalu berdarah, begitu juga dengan peradaban (hal.208)

Hanya orang dewasa yang selalu memikirkan hal terburuk (hal. 231, lalalala aku tahu inilah salah satu alasan Peter Pan menolak dewasa)

Apakah kau pernah berpikir bahwa manusia, terutama pria, harus mengikuti beberapa tuntutan tertentu dari masyarakat sehingga mereka bisa melayani masyarakat? (hal. 240)

Pria cenderung menempatkan kejujuran mereka di kotak sekecil sarang merpati Jean Louise. Mereka bisa jujur di beberapa hal dan membodohi diri mereka di beberapa hal lain (hal. 246)

Prasangka, kata kotor, dan keyakinan buta punya kesamaan: mereka dimulai saat akal sehat berhenti digunakan (hal 278)

Teman-temanmu justru sangat membutuhkanmu pada saat mereka salah. Mereka tak butuh kamu saat mereka benar (hal.280)

Pada akhirnya aku harus mengatakan ... Harper Lee, anda penulis hebat!



 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on September 24, 2015 08:56

August 29, 2015

[Review] (Bukan) Salah Waktu: Karena Tak Ada Yang Bisa Menyalahkan Waktu Yang Telah Berlalu



Judul Buku                              : (Bukan) Salah WaktuJenis Buku                               : FiksiPenulis                                    : Nastiti DennyPenyunting                              : Fitria Sis NariswariPerancang Sampul                   : Citra YoonaPemeriksa Aksara                    : Intani Dyah P & Septi WsPenerbit                                   : PT. Bentang PustakaCetakan                                   : Pertama, Desember 2013Tebal                                       : 248 halamanISBN                                       : 978-602-7888-94-4
Blurb:Tahukah Kau, Sayang ….  Aku mencintaimu lebih dari apapun. Aku rela kehilangan segalanya kecuali kamu. Aku sanggup melepas duniaku demi dunia kita bersama.Namun, ketika waktu bergulir tanpa bisa dibendung, ketika kenyataan memaksa untuk dipahami, ketika kesalahan memohon untuk dimaafkan, kurasa aku tak sanggup Sayang ….
Entahlah, siapa yang harus memahami dan mengalah.
Tapi mungkin, aku butuh seribu cara untuk mengobati luka hati ini.
Review:
            Sebelumnya saya ingin mengucapkan terima kasih buat mbak Nastiti yang sudah menghadiahkan saya novelnya yang sangat cantik. Dimulai dari cover yang bergambar jam weker berpita mungil yang menunjukkan waktu nyaris pukul 12. Weker mengingatkan saya tentang kapan harus memulai sesuatu, suka tidak suka mau tak mau harus dihadapi seperti itulah yang nantinya akan diceritakan dalam novel ini.            Adalah Sekar, perempuan muda yang baru dua tahun menjalani rumah tangga dengan suaminya, Prabu. Keduanya saling mencintai, tapi untuk beberapa hal yang terjadi di masa lalu mereka menyimpannya dengan hati-hati, bisa dibilang masing-masing mereka enggan berbagi. Namun, waktu tahu saat yang tepat untuk menuntaskan apa yang tak ingin mereka "selesaikan" dulu. Dan seperti ditandai oleh dering weker, berbagai hal datang untuk memaksa mereka berdamai dengan masa lalu mulai bermunculan.            Dimulai dengan Sekar yang memutuskan resigndari pekerjaannya dan total jadi ibu rumah tangga. Dan, pekerjaan rumah tangga ternyata tak sesederhana yang terlihat, Sekar dan Prabu bahkan nyaris berselisih gara-gara koran dan sandwichTuna. Yang tak Sekar mengerti adalah, dengan banyaknya waktu luang yang dia punya, entah bagaimana dia bahkan tak bisa membereskan apa yang asisten rumah tangganya bisa lakukan dengan mudah (Pelajaran pertama sebelum berumah tangga bagi saya: kuasai dulu pekerjaan rumah tangga sebelum memutuskan menikah, hehehe J )            Di tengah adaptasinya menjadi ibu rumah tangga, kadang Sekar masih menghabiskan waktu dengan sahabatnya; Miranda dan Sisie, juga seorang teman akrab Miranda, Bram. Bram memiliki ketertarikan khusus pada Sekar yang tak hanya berpotensi "mengacaukan" persahabatannya dengan Miranda tapi juga mengancam untuk menghancurkan rumah tangganya bersama Prabu.            Sementara Prabu, didatangi oleh kenangan masa lalu dalam bentuk mantan yang menghilang begitu saja namun kembali dengan menggandeng bocah laki-laki, Wira―putra mereka. Di sisi lain Sekar kembali digundahkan oleh masalah keluarganya. Sekar, bukanlah gadis manis yang berasal dari keluarga bahagia. Ada luka menganga dalam dirinya.            Membaca novel ini seperti melihat potret rumah tangga yang dibangun dalam pondasi yang rapuh. (Pelajaran kedua sebelum berumah tangga: jujur pada pasanganmu tentang masa lalumu) Baik Sekar maupun Prabu, terlihat tak ingin membiarkan pasangannya untuk belajar mencintai sisi gelap mereka (manusia mana yang tak memiliki sisi gelap, mbak? mas? eh)            Ada beberapa hal yang menurut saya tidak hati-hati dalam novel ini, yaitu beberapa kalimat yang sulit dipahami, tentang pekerjaan ayah Prabu, nama tokoh yang sama untuk dua orang berbeda agak membingungkan bagi saya. Ada potensi besar dari masalah psikologis Sekar yang jika dikembangkan akan jadi sangat menarik. Dan, hehehe sebagai penggila drama inginnya sih drama cinta Sekar-Prabu lebih detail. Seandainya saja ya, Sekar dan Bram sedikit khilaf, eh hehehe. Ketahuan imajinasi pembacanya terbang kemana-mana Ooops J            Tapi tentu saja pelajaran-pelajaran hidup (terutama dalam kehidupan berumah tangga) yang dipetik dalam novel ini jadi kelebihan yang sangat baik. Selain itu alur maju mundur membuat novel ini menjadi semakin menarik dan pada akhirnya saya sepakat bahwa cinta terkadang memang sesederhana memaafkan masa lalu...
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on August 29, 2015 18:32

July 5, 2015

[Cerpen] Senandung Cinta Perempuan Pencabut Nyawa



      Tidak ada yang lebih seksi dari lingerieyang terbuat dari kulit para kekasih. Percayalah padaku, ketika kulitku dan kulit mereka menyatu … oh betapa indahnya itu! Aku ingin sekali memilikinya. Kan kubunuh yang kucinta demi obsesiku yang gila, demi dendamku yang membara.***                Setiap wanita harus jatuh cinta pada seorang keparat sebelum bertemu dengan pria yang tepat. Beruntungnya aku, aku memiliki tiga keparat dalam hidupku. Aku mencintai mereka, dengan kadar yang sama, hanya dengan cara yang berbeda. Sudahkah aku bertemu pria yang tepat? Tentu saja! Ketika tiga keparat itu disatukan dalam bentuk benda mati yang seksi, mereka menjadi pria yang tepat. Dan maafkanlah, jika perbuatanku kalian anggap laknat. Ini cuma bentuk 'terima kasih' untuk mereka; si gila hormat, si pengkhianat,  dan si bejat. Percayalah padaku, balas dendam itu rasanya nikmat.                Nikmat, senikmat cokelat yang lezat. Ketika cokelat menyentuh lidah, rasanya selalu seperti jatuh cinta. Jika saja aku cukup hanya dengan cokelat, maka tak perlu bagiku membuang banyak waktu mempertanyakan hal yang sama; seberapa besar cintanya padaku. Cinta? Siapa yang pernah jatuh cinta? Sebagian besar mereka mengikuti naluri rekannya, para hewan. Mereka hanya tertarik secara seksual. Bedanya, jika hewan demi kelangsungan hidup maka manusia demi menikmati hidup.***                Pagi datang, aku masih kelelahan. Tapi Franz berada di sisiku dan memberikan senyumannya yang berupa seringaian. Aku membalasnya dengan kecupan. Kulitnya dingin dan pucat, tapi bukan karena apa yang leluhur Eropanya wariskan. Aku tidak gila, aku ingat segalanya. Sarapan terakhir kami tempo hari. Aku memandanginya dengan penuh cinta, dan kukatakan kalimat yang membuatnya meneteskan air mata darah.                "Aku mencintaimu sayangku, itulah kenapa aku harus membunuhmu." Tak ada ragu dalam ucapanku.                Seharusnya Franz si hantu bertanya padaku; "Dimana rasa bersalahku?" Untunglah dia begitu dungu jadi, aku tak perlu disiksa rasa yang mungkin bisa menyakitiku.                "Apa sarapan pagi yang kamu mau? Akan kubuatkan untukmu. Sup air mata para musuh kupikir cocok untukmu. Aku menyimpannya air mata pria-pria yang membuatmu terbakar cemburu; Ardhi dan Dennis menangis ketika pipinya kuiris. Aku masih mengingat kilau air mata mereka memantul di pisau perak mengkilat. Pisau yang sebelumnya kujilat, karena ada noda darahnya begitu memikat. Mungkin akan lezat bila kukecap, tapi kuurungkan karena … aku cuma pembunuh bukan kanibal penuh nafsu." Aku berkata cepat dan penuh semangat. Kuharap pagi ini Franz merasa hangat, kasihan dia terlihat begitu kedinginan. Ah, apa peduliku.***                Aku berjalan keluar kamar, tak sabar untuk merayakan pagi dan secangkir kopi. Sedikit musik mungkin itu akan lebih baik lagi.                Musik? betapa cintanya Ardhi pada musik. Kesukaannya, yang bergenre psychedelic. Aku memutarkan semua lagu di playlist-nya yang ber-title Musik Asik, setelah dia mulai lemas pasca kucekik. Dan aku bernyanyi "Push th' little daisies and make 'em come up . Push th' little daisies and make 'em come up. Push th' little daisies and make 'em come up . Push th' little daisies and make 'em come up." Sedikit terserang panik ketika kupikir dia masih bernyawa. Tapi sang ragu pergi setelah kepalanya kubenturkan berkali-kali. Aku merayakannya dengan diiringi lagu Voodoo Lady. Ardhi adalah orang yang beruntung, dia mendengar musik kesayangan ketika maut menjemput.                "Hai Ardhi!" Aku menyapanya, dan dari kehampaan dia muncul begitu saja, dari sewarna udara hingga menjadi manusia yang nyaris nyata.                Ardhi tentunya ingin bicara, tapi apa daya, aku telah mencekiknya.                 "Mau berbagi kopi denganku?" Aku menawarinya. Bodoh. Dia tak ingin kopi, dia hanya ingin nyawanya kembali.                "Maaf," aku memberinya cengiran. Di antara pria yang kukenal. Ardhilah yang memiliki selera humor menyenangkan yang kadang mengerikan. "La la la la, leluconku tak pernah kau bayangkan, la la la la bagaimana rasanya menjadi sesuatu yang tak lagi memiliki kehidupan?"                 Selain tak memiliki nyawa, dia bahkan tak lagi memiliki ekspresi juga emosi. Ah, sekarang dia membosankan sekali. Kutinggalkan dia, sekarang aku mau mandi. Kupikir, aku harus membasuh letih.
***                Kamar mandi, mengingatkanku dengan Dennis. Aku meletakkan mayatnya di bath up seharian. Aku hampir melupakannya. Mungkin Dennis belum menjadi hantu. Mungkin hantunya masih betah berbaring di dalam tubuhnya yang ceking. Kenapa aku menyukai Dennis? Karena ... Aku harus memilikinya, walaupun dia begitu menjijikan. Dennis, si pecandu film porno. Mengingatnya kadang membuatku mual dan merasa bodoh.                Dengan segera aku berlari ke sana, mengecek keadaan terakhirnya. Dialah yang terakhir kuajak bertemu malaikat maut. Di cermin yang menempel di dinding, aku melihat pantulanku yang kusuka. Kulit sewarna karamelku terlihat lembab oleh keringan, bercak-bercak darah yang menempel terlihat seperti sesuatu yang menarik. Dan rambut berantakanku justru membuatku bangga. Dia terlihat indah bahkan ketika ada dinodai darah yang mengering.                Aku duduk di samping Dennis yang kaku. Aku membelai bahunya dengan sayang. Aku ingin bertanya, tapi tak ada hal yang bisa kutanyakan. Yang kulakukan hanya mengecup puncak kepalanya berkali-kali. Tapi, aku berhenti ketika rasa logam terkecap di lidahku. Aku mengusap darah yang menempel di bibirku.                "Dennis yang manis, Dennis yang manis ... Tidak inginkah kau menangis? Dennis yang manis , Dennis yang manis matimu sungguh tragis ... Dennis yang manis, Dennis yang manis, bolehkah bibirmu kuiris tipis?" Aku bersenandung untuk menghiburnya. Mayatnya terlihat tak bahagia, begitu juga hantunya muncul dengan tiba-tiba.                Aku bingung, apakah harus mandi atau kembali tidur saja. Aku bingung, apa perlu menguliti mereka secepatnya atau menunggu hingga tenagaku pulih. Aku khawatir aku perlu waktu berhari-hari. Aku  belum memindahkan Franz dan Ardhi dari garasi. Aku harus membuat mereka menjadi bersih. Aku bingung, ada banyak sekali hal yang harus kulakukan dengan segera. Entah dimulai dengan menciptakan alibi atau menghapus jejak-jejak yang bisa menjadi bukti. Tapi, dimana tenaga? Aku membutuhkannya segera. Aku tak sabar menunggu untuk memiliki lingerie baru yang indah.***                "Kulit monster-kulit monster, jijik dan jelek. Kulit monster-kulit monster ayo kita siram bensin dan bakar. Kulit monster-kulit monster. Menakutkan kayak setan." Aku tak menyangka, aku masih ingat lagu ejekan masa kecilku dulu. Sambil menguliti mereka aku menyanyikannya dengan gembira.                 Aku masih ingat, tiga bocah itu. Di masa kanak-kanak mereka mengejek dan menyiksaku. Di usia dewasa mereka jatuh cinta padaku. Dan sekarang, mereka mati di tanganku.                Apa mereka mengingatku?                Tidak, karena kurang dari sebulan aku memilih pindah sekolah, terlalu takut dan tertekan. Itu lama sekali, bertahun-tahun silam. Dulu, akulah gadis kecil yang terserang cacar. Dan, ketika dewasa menjelang mereka lupa padanya. Karena, si kulit monster sekarang adalah model dengan kulit terindah hasil polling sebuah majalah pria dewasa.                Bagaimana aku menemukan mereka, tak susah; Franz, berprofesi sama denganku. Kami satu agency. Ardhi, musisi tak berbakat yang hanya mengandalkan tampang dan sensasi. Kami sering bertemu di berbagai party. Dan Dennis, dia yang mencariku. Rupiah dari orang tuanya membuat dia mampu mengencaniku.                Sambil mengusap peluhku. Aku memandangi mereka yang lebih menjijikan dari si kulit monster dulu. Kulanjutkan apa yang harus kulakukan. Kugoreskan dan kupisah kulit dari dagingnya. Kunikmati kepuasan yang kudapatkan dari setiap sayatan. Kuabaikan tiga wajah sedih yang menghantuiku                Untuk memecah hening dan sepiku, kusenandungkan untuk mereka sebuah lagu ciptaanku. "Oh sayangku, ingin kunyanyikan untukmu lagu baru ... Sayangku, ini peringatan untukmu ... Sayangku, rayulah kecantikan si jelita maka dia takkan percaya ... Sayangku, ejeklah si buruk rupa maka dia akan membencimu selamanya."

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on July 05, 2015 06:46