Citra Rizcha Maya's Blog, page 6
January 17, 2015
[Review] Daisuki Da Yo Fani-Chan: Cinta Datang Pada Saat Yang Tepat Kadang Lewat Bantuan Sahabat

Judul Buku : Daisuki Da Yo Fani-ChanJenis Buku : FiksiPenulis : Winda KrisnadefaPenyunting : Rini Nurul BadriahProofreader : Putri Budi WinartiDesain dan Ilustrasi Cover : Windu TampanDesain Isi : NonoPenerbit : QanitaTebal : 300 halamanISBN : 978-602-1637-36-4
Fani: Aku sama sekali tak punya keinginan untuk kembali bekerja di hotel, sejak job training-ku di masa kuliah dulu. Ada sesuatu yang membuatku tak pernah ingin kembali ke hotel, sebagai tamu, apalagi sebagai pekerjanya. Terlalu sakit untuk mengingatnya kembali. Nama Lana dan Ogi kembali menggangguku. Kupikir aku bisa melupakan kejadian itu. Yang jelas, untuk sekarang ini dan entah sampai kapan, aku tidak mau terlibat hubungan cinta, whatsoever! Lho? Kok jadi ngomongin cinta?Argh!Lupakan! Tanabe: Saya suka Fani-Chan. Dia cantik dan pintar. Tapi entah kenapa, sulit sekali membuatnya terbuka tentang perasaannya pada saya. Dia seperti menahan sesuatu dalam hatinya. Saya tahu dia juga menyukai saya, tapi mengapa hatinya begitu berat mengungkapkan itu pada saya? Padahal saya sudah berkata jujur dan terbuka. Ini membuat saya terus bertanya-tanya. Ada apa dengan kamu, Fani Chan?*** Dibuka dengan kutipan romantis dari Paulo Coelho; Menunggu itu menyakitkan. Melupakan juga menyakitkan. Namun, bimbang antara menunggu dan melupakan itu adalah penderitaan yang paling parah. Nampaknya kutipan ini adalah garis besar tentang hubungan Fani dan Tanabe. Sebelumnya saya ingin mengesampingkan dua tokoh utama itu, karena saya sangat sangat tertarik untuk memperkenalkan karakter favorite saya, Anis Chocomeo, hehehe atau yang lebih dikenal sebagai Onis! Onis adalah cewek yang akan kamu keselin tapi juga akan membuatmu belajar memahami. Onis itu semacam… mesin pencetak skandal, etapi jangan lebih dahulu menghakimi, walau dia punya Deni, Cedric, juga Tommy dan tak segan-segan main api dengan para bos-bos dari Jepang di kantornya, tapi Onis itu juga punya alasan yang jelas untuk itu. Sebagai pembaca menurut saya, Onis-lah yang memiliki karakter terkuat di sini. Kembali ke romansa Fani dan Tanabe yang menurut saya memiliki kadar nggemesin cukup dengan selipan hal-hal yang manis. Fani adalah resepsionis di Misako sekantor dengan Tanabe, hanya berbeda kasta. Kenapa sih Fani mau jadi respsionis, sementara dia kan lulusan perhotelan? nah itu nanti yang akan nanti jadi alasan kenapa Fani sulit sekali menerima perhatian dari Tanabe. Yaampun Fani itu kadang ngeselin, dia kadang menyia-nyiakan sikap manis Tanabe, yang menurut saya jika seseorang memberi perhatian semacam itu maka… perempuan mana sih yang sanggup nolak? tapi Fani punya alasan dan itu akan terjawab nanti. Yang melibatkan dua orang penting dari masa lalu Fani, Lana dan Ogi. Dan yang tak kalah penting adalah bagaimana Onis selalu saja menjungkirbalikan kehidupan Fani, melibatkan Fani pada 'bahaya-bahaya' yang berujung pada keputusan Fani yang aku tak mau harus resign dari Misako yang juga meruntuhkan kepercayaan Tanabe padanya. Uuuuuuh Onis! Menggunakan dua sudut pandang, sudut pandang orang pertama di masa kini. Dan juga, sudut pandang ketiga di masa lalu. Saya suka pilihan setting dan plot dari mbak Winda. Selain itu pilihan kalimatnya, ringkas, rapi dan ngena. Tidak bertele-tele. Sebenarnya mau menceritakan lebih banyak etapi takut jadi spoiler. Cuma mau bilang jika butuh bacaan fun, ringan, manis, tapi sarat makna persahabatan. Buku ini pas banget dan saya mau bilang, kadang ya kita akan bertemu dengan karakter semacam Onis di kehidupan nyata. Kita bisa nyinyirindia atau mungkin menghakimi, tapi ya, seperti pesan yang saya tangkap di sini bahwa ada alasan untuk setiap kejadian dan ada alasan kenapa seseorang memilih menjadi seperti ini. Jadi, kadang kita perlu melihat lebih dekat dan kadang kita perlu juga melihat dengan persfektif yang lebih luas. Selalu suka membaca karya mbak Winda.
Published on January 17, 2015 20:21
[Review] The Known World: Bagaimana Jika Kau Harus Mengenal Dunia yang tak Ingin Kau Kenal?

Judul Buku : The Known World (Dunia yang Kukenal)Jenis Buku : FiksiPenulis : Edward P. JonesAlih Bahasa : Meda SatrioPenyunting : Anton KurniaPewajah Isi : Siti Penerbit : PT. SERAMBI ILMU SEMESTACetakan II : November 2006Cetakan I : Juli 2006 Tebal : 653 halamanISBN : 979-16-0134-8
Blurb :
Mengambil latar belakang di sebuah kota kecil di Virgnia pada akhir abad ke-19, tak lama setelah pecah Perang Saudara di Amerika Serikat, cerita ber-pusat pada sebuah keluarga tuan tanah kulit hitam. Perjalanan hidup membawa Henry Townsend, yang terlahir sebagai budak dan kemudian dimerdekakakan oleh ayahnya, menjadi seorang tuan tanah yang memiliki dan mempekerjakan budak-budak kulit hitam. Setelah kematiannya, jandanya mengelola tanah pertanian mereka dengan bantuan seorang budak kepala yang kemudian justru menjalin cinta terlarang dengannya, dan memicu sebuah konflik yang berakhir tragis. Novel yang ditulis dengan ambisius dan brilian ini menjelajah masa lalu dan masa depan kemudian kembali lagi ke masa kini. The Known World merajut kehidupan perbudakan manusia dan segala kerumitan dan permasalahannya sekaligus memotret fenomena penyimpangan seks, pertentangan kelas, dan diskriminasi ras yang lazim terjadi pada masa itu dalam sebuah tatanan masyarakat yang timpang dan hipokrit.*** Saya ingin memulai tulisan ini dengan kalimat memikat di halaman awal; Jiwaku kerap bertanya-tanya, bagaimana aku mampu melupakan … Nampaknya itulah yang ingin menjadi tujuan sang penulis untuk pembacanya, bagaimana kisah ini tak bisa dilupakan para pembacanya. Seringkali untuk saya pribadi, sebuah novel akan membuat saya tertarik jika novel tersebut mencantumkan awardyang diterimanya, seperti novel ini. Tak main-main, merupakan peraih Pulitzer Prize 2004 dan Pen/ Hemingway Award. Sebisa mungkin saya berusaha untuk tak memberikan spoilerwalau godaannya ternyata sulit sekali ditolak, jadi karena usaha tersebut terlalu berat buat saya jadi untuk menghindarinya saya hanya akan menyampaikan perasaan saya untuk para tokohnya. Berduka untuk keluarga Townsend walau jelas saya takkan bisa menghargai janda Henry Townsend. Caldonia. Marah dan bersedih untuk Moses. Bangga dan bahagia untuk Alice, Priscila dan Jamie, dan terberkatilah pasangan Elias dan Celeste! Seperti judul review ini, bagaimana jika kau harus mengenal dunia yang tak ingin kau kenal? Namun jawabannya adalah, seandainya saja ada pilihan. Nampaknya di sini memang ada pilihan untuk sang takdir, menyerah padanya atau justru melawannya. Keduanya bisa saja asal siap dengan resikonya. Seperti untuk Augustus Townsend pertama-tama memerdekakan dirinya disusul sang istri, Mildred, lalu putera mereka, Henry. Tetapi diperlukan waktu jauh lebih lama untuk membeli keerdekaan Henry daripada apa yang diperkirakan ayahnya. Robbins menyadari betapa Henry anak yang cerdas. Harga untuk kecerdasan tidak tetap dan karena berubah-ubah, harga itu akan sebesar berapapun yang mampu ditanggung oleh pasar, dan semua beban itu akan jatuh pada pundak Mildred dan Augustus (Halaman 40) Kita yang tak akrab dengan perbudakan dan saya pribadi yang menyesali kenapa harus ada perbudakan seakan dipaksa untuk bertoleransi pada hal yang se-tak masuk akal membeli puteramu sendiri dari orang yang pernah merampas hak kemerdekaanmu, tragis memang tapi itulah yang harus keluarga Townsend hadapi Lalu Moses, si budak kepala yang tak hanya harus betanggung jawab atas lahan pertanian setelah ditinggal mati si tuan, namun dia nampaknya juga harus bertanggung jawab atas kebutuhan batin janda tuannya. Apa yang Moses lakukan? sebagai pekerja loyalitas Moses tak tercela, namun kadang seseorang menjadi sungguh tak bijaksana ketika dia menginginkan lebih dari apa yang berhak dia terima. Bahkan walau itu dengan cara mengorbankan dua miliknya yang berharga. William Robbins, layak disebut pecinta negro. Dia adalah tuan tanah dengan banyak budak negro (113 budak) juga lelaki yang jatuh cinta pada negro. Dia memiliki simpanan bernama Philomena serta dua anak haram; Dora dan Louis. Nampaknya dia juga tak bisa tak mengagumi talenta dari negro miliknya. Robbins sangat menghargai kecerdasaan dan keterampilan yang dimiliki orang lain, bahkan itu budaknya. Kalau tak bisa dikatakan mencintai Henry layaknya anaknya sendiri karena kecerdasaannya mungkin layak jika Robbins dikatakan sebagai penggemar berat Henry. Dia bahkan menyewa seorang guru, Fern Elston untuk Henry yang bahkan pada usia 31 tahun telah menjadi tuan tanah dengan 31 budak. Tidakkah Henry sangat luar biasa? pantas Robbins sangat mengaguminya. Lalu Caldonia yang menurut saya (beradasarkan emosi, di sini saya harus mengatakan betapa Caldonia dan ibunya nyaris serupa) sungguh sangat tak layak untuk Henry (mungkin itulah yang membuat sang penulis memilih Henry untuk mati muda dan menuju surga dengan segera. Henry nampaknya dinobatkan jadi tokoh yang pantas dikagumi) Nantinya Caldonia akan menikahi Louis, anak haram William Robbins setelah dia terlibat affair dengan kepala budak miliknya, Moses. Selain itu, di sana terdapat tokoh-tokoh yang tak kalah penting; si sinting Alice, keluarga Elias dan Celeste, Keluarga Skiffington dengan persaingan antar saudara sepupu John dan Counsel yang tak terduga di akhir cerita. Kisah ini kompleks, kisah ini indah, kisah ini penting. Seperti kata Jonathan Yardley dari Washington Post Book World. "Luar biasa … karya fiksi Amerika terbaik yang pernah bertengger di meja saya selama bertahun-tahun." Isu yang dimuat dalam novel ini jelas menarik, diramu dengan deskripsi detail yang indah yang tentu saja membawa perasaan untuk pembaca. Idenya luar biasa, kompleks tapi tidak membingungkan. Kisah ini membuat pembaca dengan sabar dan cermat menghubungkan bagian ke bagian lain kisah, hubungan dari satu tokoh ke tokoh lainnya. Kerumitannya tidak menyulitkan, karya ini nyaris tanpa cela. Memang, dibutuhkan kesabaran namun seperti yang kita tahu kesabaran memang selalu memberi kepuasan di akhir dengan bayaran yang setimpal. Mengutip dari Boston Globe "Sempurna… Anda akan sulit meninggalkan The Known World hingga halaman terakhir." Salah satu kepiawaian si penulis adalah dia sepertinya tahu rasa penasaran pembaca dan menggoda pembaca dengan cuplikan-cuplikan singkat tentang kelanjutan kisah, tentang nasib di kemudian hari para tokohnya. Dia sungguh-sungguh membuat pembaca dipermainkan dengan cara yang benar. Menurut Jeffrey Lent," Novel paling bertenaga dan amat menyentuh yang pernah saya baca. Edward P. Jones mengubah sebuah mahakarya modern, yang tidak sekedar memaparkan kisah tak terlupakan, tetapi juga diiringi keanggunan dan keluwesannn, serta misteri yang akhirnya mengguncang imaji…" Kata-kata Lent nampaknya mulai 'terbaca' sejak lembar pertama. Ada paragraf indah yang begitu kuat yang sungguh membuat saya kagum. Ia memakan tanah tidak hanya untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan ladang ini, melainkan karena dengan memakan tanah ia terikat dengan satu-satunya hal dalam dunia mungilnya ini yang memiliki arti hampir seperti hidupnya sendiri. (halaman 12) Dan jika suatu hari kalian bertemu buku ini, kukatakan ambil dan bacalah karena jika tidak mungkin kamu baru saja melewatkan kesempatan untuk melewatkan karya yang sangat luar biasa.
Tentang Pengarang: Edward P. Jones lahir dan tumbuh di Washington D.C, kemudian menempuh pendidikan di University of Virginia. Ia adalah pemenang PEN/Hemingway Award dan finalis National Book Award untuk kumpulan cerita pendek pertamanya, Lost in the City (1992). Kini, penerima Lannan Foundation Grant ini tinggal di Arlington, Virginia, Amerika Serikat. Selain menjadi Finalis National Book Award, novel ini memenangkan National Book Critics Circle Award 2003 dan Pulitzer Prize 2004 untuk kategori fiksi.
Published on January 17, 2015 20:04
December 30, 2014
Cerpen: Menggapaimu.

Setelah hujan, pasti ada pelangi. Tapi, kini tak lagi. Di dalam cinta dan mimpi segala sesuatu pasti bisa terjadi. Sayangnya tak seperti yang kuinginkan. Ananta pergi dan tak kembali. Sedih, tapi lelah untuk terus menangisi. Perih sampai tak yakin apa masih bisa terobati. Kata mereka ada pedih yang harus kita alami, tapi jika aku boleh meminta, jangan berikan aku kehilangan sedalam ini.Aku menunggunya, selalu. Walau dia tak pernah memintaku. Di saat terakhir yang kuingat dia hanya menatapku dengan tatapannya yang sendu. Dan dia pergi, tanpa mengucapkan selamat tinggal, karena mungkin dalam hatinya tahu, ucapan itu hanya akan terasa menyakitkan karena mematikan harapan untuk bisa berjumpa lagi. Tap, dia juga tak mengatakan sampai jumpa lagi, mungkin dia hanya tak ingin membuatku tersakiti apabila seandainya kita tak bisa benar-benar berjumpa lagi. Tapi dalam hati, aku yakin dia pasti kembali, pasti, yah suatu hari nanti. Hingga semalam di dalam mimpi dia berkata sesuatu yang nyaris tak bisa kupercaya... dia berjanji untuk pulang, di saat langit berwarna kelabu. Dia memang pulang, kembali padaku tapi bukan seperti dia yang dulu, dia kembali menjadi debu. Oh Tuhan aku masih ingat hari itu.“Mama mau kamu menyimpan sedikit diri Ananta.” Guci itu diletakkan di tanganku. Awalnya nampak ragu ketika guci itu berpindah tangan. Bagiku, itu tak ada pengaruhnya. Aku tetap merasakan kesakitan ketika menerimanya. Sakit itu di sini, di dalam hatiku. Ketika yang berdiri di depanku - alih-alih Ananta- adalah Ananda, saudara kembarnya. “Ananta, seharusnya pulang awal Desember ini. Tapi, maaf dalam keadaan seperti ini.” Ananda menghela nafas, agak panjang dari biasanya. “Maaf, aku baru bisa mengatakannya padamu." Suaranya terdengar serak. "Kecelakaan pesawat telah merenggut nyawa Ananta." Akhirnya dia berkata sesuatu tentang Ananta. Aku memandang Ananta seperti dalam adegan lambat film hitam putih. Ananda merogoh sakunya. “Harusnya Ananta memberikkanmu ini.” Kotak mungil beludru merah berisi cincin berlian. Saat itu aku seperti melihat diriku tersenyum dalam tangisku, di dalam hatipun aku merasakan. Setidaknya dia pulang, setidaknya di sana dia tak pernah berhenti mencintaiku, tapi ternyata waktu berlalu dan aku tak lagi bisa menerimanya dengan semudah itu.
*** “Gue udah bilang berkali-kali. Gue nggak suka ngeliat loe kayak gini!” Gheghe menggeleng-gelengkan kepalanya. Sejenak dia menatapku dan tanpa seizinku, seenaknya saja dia membereskan apa yang sedang tanganku kerjakan. Bukan hiburan juga bukan salah satu bentuk kegiatan menyenangkan. Debu itu kini berhamburan dan air mataku tak bisa tertahankan. Debu-debu itu menghilang dari pandanganku yang memburam. Dengan debunya, aku hanya mencoba melukis wajahnya, wajah yang semakin lama semakin kulupa. Aku memeluk kakiku dan membenamkan wajahku. Bukan tak ingin terlihat lebih sedih, hanya tak ingin adikku itu memarahiku lagi, lebih dari ini. “Gue tahu elo sedih.” Aku merasakan pelukan dari adikku― nyaman tapi tak lama setelah itu kehangatan itu menguap meninggalkan sisa dingin yang membuatku ketakutan. “Ananta sudah pergi, harusnya elo mempersiapkan hati! Bukannya gue nggak simpati, tapi gue harus nyadarin elo untuk jangan terus nyiksa diri.” Kepergian pertama Ananta cukup membuatku kehilangan. Kepergian yang kedua, yang tak pernah kuduga, dan untuk selama-lamanya. Entah kata sedih apa lagi yang harus kukatakan untuk bisa mengungkapkan apa yang kurasakan. “Hey, open your eyes!” khas Gheghe yang tegas “Hidup harus terus berjalan, kamu bisa menunda tapi waktu nggak akan pernah!” Aku menatapnya dan menghapus air mata. “Time always kills the pain” Gheghe tersenyum. Bagaimana bisa senyuman terukir manis dengan cara semudah itu? aku lupa caranya. “Waktu tidak menyembuhkan apa-apa, dia hanya mengajarkan kita bagaimana hidup dengan rasa sakit” Aku membatin.*** Dulu, ditengah ketidakpastianku. Tanpa kabar darinya- tanpa mendengar suaranya- aku masih bisa melihatnya-di mimpi. Jangan tertawa! Seandainya saja ada yang percaya, tentang telepati tentang koneksi hati. “Wanna be an Oneironaut?” Hendru menertawaiku, seakan aku orang yang tak lagi mempunyai logika! “Gue nggak gila! itu cuma semacam penjelajah mimpi. Bukan mereka yang mesti belajar ilmu Wicca dan melakukan pemujaan pada dewa-dewi!” Aku membela diri. “Gue cuma pengen ketemu Ananta, walau bukan di dunia nyata. Dalam mimpipun nggak masalah, belakangan ini Ananta nggak lagi bisa gue temui di dalam mimpi” “Karena dia udah mati!” Nadanya tinggi dan itu membuatku sedih. Kami terdiam, cukup lama. Sadar aku merasa terluka, Hendru membuka suara. “Okay, fine!” Hendru menunjukkan ekspresi memahami. “Gue bakalan lakuin apapun untuk cewek yang gue sayangi. Kabar buruknya walaupun Ananta benar-benar telah pergi tapi gue ternyata takkan pernah bisa elo cintai.” Hendru tertawa, kali ini menertawai dirinya sendiri. Aku memegang tangannya, dengan ibu jariku aku membelai tangan hangat yang sudah banyak membantuku melewati masa sedih, walau caranya tak pernah bisa kuhargai. “Jujur, dunia mimpi, Lucid dream, Oneironaut adalah sesuatu yang yang nggak gue yakini, gue nggak ngerti, hal itu lebih mengarah ke Psikologi, sesuatu yang nggak pernah gue pahami. Tapi gue punya sisa opsi. Bagaimana agar di mimpi elo Ananta bisa hidup lagi, ini bukan cara, tapi lebih ke bahaya. Buat elo apapun caranya akan gue lakuin asal loe bahagia!” Aku tersenyum padanya. “Karena elo orang yang paling gue sayangi.” Apa yang bisa kujawab, selain… “Terima kasih.”*** Seharusnya aku di kamarku. Mungkin menyiksa diri atau menikmati rindu dan bermain-main dengan hamparan debu. Mungkin lebih baik jika mencoba untuk sembuh dari sedihku, menikmati Teh Hijau dan mendengarkan suara merdu Monday Michiru. “I hold my hands up to the stars. And wish I could hold you by my heart. But your fragile stem might break and only mar. The beauty of your freedom you guard” aku bernyanyi lirih dalam hati, sementara musik lain menderu menyakiti telingaku. “Gue benci tempat ini!” Aku menarik tangan Hendru dan mengajaknya pergi. “Gue cuma ngajak elo untuk menikmati hidup.” “Telinga gue bisa berdarah, minumannya bikin gue muntah-muntah, asap rokok bikin polusi udara!” Aku tak bermaksud untuk marah, tapi emosiku meluap begitu saja. Aku tak menikmati gaya hidup seperti ini. Kenapa tidak ada yang seperti Ananta, yang bisa mengajakku menikmati hujan dan secangkir kopi dan merasa bahagia. Sederhana tapi itulah cara yang kusuka, tapi ternyata semua berubah - telingaku mulai menyukai musik gila dan dunia di sekitarku seketika berubah indah! Kuhisap dalam-dalam rokok yang yang baru saja menyala, yang apinya dinyalakan Hendru dengan cara istimewa. “Whiskey Sour, baby!” Tangan kanan Hendru menyerahkan segelas minuman berwarna Kuning dalam gelas tinggi berbentuk tabung kepadaku, ini gelas kedua. Sebuah Cherry Merah mengapung diatasnya, dengan cepat Hendru menyambar dan mengunyahnya, tersenyum padaku dia lalu menciumku, tidak, dia melumat bibirku! “Minumlah” suaranya terdengar memaksa, sama seperti paksaan sebelumnya di kamar hotel saat aku harus menelan pil Extacy. Aku meminumnya dan Hendru limbung, seseorang memukulnya. Apa peduliku? Dia layak mendapatkannya! Aku meneguk habis minumanku dan melayang, tidak, aku terseret, tidak, aku seringan udara. Seperti asap perak yang menari menyatu bersama angin yang keluar bersamaan dengan nafasku. Aku menyukai rokok jenis baruku. “Loe gila! “ teriak entah siapa. Sekilas kulihat Hendru terluka, wajahnya berdarah. Lalu, suara music perlahan menghilang berganti dengan kidung merdu pengantar tidur. Hey! Aku tidak ingin tertidur. “Sarap loe Ndru, otak cewek loe bisa crash! Eksperimen loe gila!” Yang lain juga berteriak lalu, sepi dan aku terbang, tinggi. Tinggi sekali. Lalu aku terjatuh. Terjerembab tapi seperti mimpi, aku tidak merasa tersakiti. Kudengar Hendru tertawa. Tawanya membelah udara. Aku tidak peduli. Aku hanya merasakan bahagia tiba-tiba saja menghampiriku karena di ujung sana, kutemukan ia yang kucinta.*** Di balik balkon, dia melayang, setengah terbang, tersenyum. Aku tertawa. “Merindukanku?” bisikku pelan. “Lebih dari apapun.” Aku membelai wajahnya. Ingin memeluknya, dia lebih nyata dari segala realita yang pernah ada. Aku memeluknya tapi dia seperti udara. “Ikut bersamaku?” Tawarannya tak bisa kutolak. “Sebentar,” bisikku ”aku masih ingin menikmati malam dulu.” Kami diam sejenak. Aku berusaha melihat sekitarku, tapi yang kudapat hanya kegelapan, meski itu tidak absolute. Wajar saja, kan? Ini masih malam hari. “Bagaimana rasanya ditinggalkan?” bisiknya “Menyakitkan!” “Marah padaku?” "Ya, " jawabku, “tapi tak sebesar aku merindukanmu.” “Mengapa menyiksa dirimu?” “Agar aku juga merasakan sakitmu.” “Aku tak tersakiti, hanya mati." Jawabnya pelan "Aku tak pernah pergi, kamu masih memiliki di dalam hati” Aku tertawa. Parau. Seperti, setengah mengigau. Aku menatap bintang, kerlipnya menyilaukan. Aku menatap bulan, cahayanya tak lagi keemasan. “Bulannya berwarna biru” “Yang kau lihat adalah lampu” “Jangan membodohiku, Ananta!” Dia terdiam dan menangis. Akupun begitu, karena kulihat diriku yang lain di sana, membeku bersimbah darah. Aku terjatuh dari balkon tempatku melihat Ananta. Ananta dimana? “Sekarang kita bersama-sama, selamanya.” Jari-jarinya memenuhi ruang kosong diantara jari-jariku. Kami sempurna. Sewarna udara. Dan…, aku melayang bersamanya.
Published on December 30, 2014 19:07
December 29, 2014
[Novel Reviews] Eleanor and Park: Kisah Cinta Remaja Tahun 80-an yang Menawan

Judul Buku : Eleanor & ParkJenis Buku : FiksiPenulis : Ranbow RowellAlih Bahasa : Sofi DamayantiDesain dan Ilustrasi Cover : Expert TohaPenerbit : PhoenixCetakan : I November 2013Tebal : 422 halamanISBN : 978-602- 7689-49- 7

Eleanor itu gendut. Dirinya pun berpikir dia begitu... Sebenarnya dia tidak segendut yang dipikirkannya. Pikirnya, pasti aku tidak semenjijikan itu.Bono, vokalis U2, bertemu dengan istrinya di SMA, kata Park.Begitu pula Jerry Lee Lewis, jawab Eleanor.Aku tidak bercanda, Park meyakinkan.Tentu, Eleanor menambahkan, kita ini 16 tahun.Bagaimana dengan Romeo dan Juliet?Dangkal, bingung, lalu mati.Aku mencintaimu, Park mengatakan.Karena itulah..., jawab Eleanor.Aku tidak bercanda, katanya.Kamu memang tidak boleh becanda....***
Sebagai pembaca saya kecewa dengan cover yang tidak menunjukkan isi buku. Eleanor terlihat genit sementara Park terlihat seperti anak jalanan pemberontakan. Itu berbanding terbalik dengan apa yang diceritakan di halaman-halaman dalam buku ini. Kekecewaan saya yang kedua adalah pada terjemahan yang membuat saya kesulitan, buku remaja yang ringan tetapi terlalu sulit dicerna karena kurang luwesnya penerjemah dalam mengadaptasi buku ini. Hanya saja karena buku ini adalah buku terbaik pilihan pembaca Goodreads, okay tidak ada salahnya memaksa diri untuk membaca habis buku ini, dan yah, ceritanya menarik, walau saya menolak untuk membicarakan akhirnya. Ada dua karakter yang menjadi judul dari buku ini yang saya bahas, tapi perlu saya ingatkan jangan kacaukan imajinasi dengan menganggap kedua tokoh novel ini sama dengan sepasang remaja di sampul depan bukunya.Eleanor. Adalah tipikal anak rumit yang lahir dari kekacauan pernikahan kedua orang tuaanya. Setidaknya ibunya bertanggung jawab, walau ayah tirinya membuatnya gila. Nyaris sama dengan ayah kandungnya yang tak bisa berperan sebagai orang tua. Sementara dia juga harus berbagi segalanya dengan adiknya yang banyak. Secara fisik Eleanor tak menarik; gendut dan berambut merah megar. Park menyebut Eleanor dengan: Dia tidak pernah terlihat cantik. Dia terlihat seperti seni, dan seni tidak harus terlihat cantik, melainkan membuatmu merasakan sesuatu.” (halaman 211)Park. Berbanding terbalik dengan Eleanor. Park cukup bahagia dalam keluarga campuran Korea-Amerika. Jika Eleanor sarkastik maka Park sangat menarik, selain karena dia anak setengah Asia dan Park salah satu cowok populer di sekolahnya.Cerita dimulai ketika Eleanor harus masuk sekolah baru dan Eleanor yang cerdas merasa bahwa lingkungan baru justru sangat melelahkan. Apalagi perjalanan pergi dan pulang sangat tidak mengenakkan, karena cowok Asia disampingnya yang seolah tak suka dengan kehadirannya. Namun waktu mendekatkan mereka berdua. Di sinilah PDKT ala tahun 80-an mulai terasa. Mereka saling mendekat setelah diam-diam Eleanor ikut mengintip komik Park, hingga mereka saling berbagi headset untuk mendengar lagu, hingga tak sulit ditebak keduanya saling jatuh cinta. Cinta tak mudah apalagi untuk sepasang remaja dengan latar belakang berbeda. Tapi percayalah buku ini tak dangkal.Membaca novel ini juga membuat saya mau tak mau terbawa suasana. Turut merasakan perasaan Park yang menyukai perempuan ‘aneh’ semacam Eleanor yang seperti benda seni, tidak cantik tapi membuat kita merasakan sesuatu. Sebagai remaja seharusnya Park bisa jadi panutan, Park bahkan lebih bertanggung jawab dibanding Richie, si ayah tiri Eleanor bahkan juga ayah kandungnya sendiri. Mungkin hal ini karena peran ibu Park dalam membesarkannya, bagaimana keluarga dengan dua budaya berbeda mengajarkan toleransi pada anaknya. Setidaknya walau Eleanor tak bahagia dalam kehidupannya, tapi Park mampu membawakan kebahagiaan manis itu untuk Eleanor, tapi bagaimana dengan kebahagiaan Park sendiri? Bukankah yang terpenting dari bahagia itu adalah kebahagiaan dari orang yang kita cintai? Begitulah Park.Walau ini novel remaja, namun saya tak bisa menyangkal bahwa ada kalanya remaja harus mengambil keputusan yang seharusnya menjadi jatahnya orang dewasa. Novel ini memberikan pelajarannya. Yang paling saya sukai dari novel ini adalah bagaimana gaya remaja 80-an dalam berpacaran, mereka berbagi buku dan musik kesukaan, sederhana tapi romantis dengan kadar yang cukup. Novel ini membuat belajar dan juga memberitahu bahwa ada porsi secukupnya yang hanya boleh dinikmati oleh remaja. Dan remaja harus mempersiapkan hati yang tangguh dengan mengerti bahwa dalam realita tidak ada bahagia selamanya.Tentang Penulis: Rainbow Rowell adalah penulis Attachments dan Fangirl. Ketika dia tidak menulis, dia terobsesi membuat karakter lain, rencana perjalanan ke Disney World, dan berdebat tentang hal-hal yang tidak terlalu penting dalam skema besar. Kini ia tinggal dengan suami dan anaknya di Ohama, Nebraska.
Published on December 29, 2014 00:08
November 20, 2014
Cerpen: November to Remember

Aku ingin selamanya berada di tengah hutan.Berbaring di atas dedaunan kering keemasan.Diiringi suara alam dan angin yang membelai pepohonan.Aku ingin menjadi bagian dari hutan.Berkawan dengan keliaran dan menikmati ketakutan akan peradaban.***“Merasa bersalahlah pada pepohonan yang telah mati sia-sia, karena kau menggunakan berlembar-lembar tisu secara percuma untuk menangisi pria sialan yang mencampakkanmu!” Lusi seolah mendengar suara dramatis Desi, berkacak pinggang, dan menyorot dengan matanya yang besar dan galak. Tapi, pada akhirnya Desi akan berada bersamanya dan memeluknya. Membuatnya merasa tenang. Lusi tak ingin menangis lagi. Jadi, dia melepas tisu kusut di genggamannya dan menghapus air mata yang tersisa dengan punggung tangannya. Sekarang, Desi mencampakannya setelah Lusi menukar persahabatan mereka dengan lelaki yang tidak mencintainya.“Apa yang kau tangisi, Lusi?” Dia bertanya pada diri sendiri. “Kau mendapatkan apa yang kau inginkan, seharusnya tidak ada penyesalan.” Gadis itu mengenakan kacamata Jackie Onnasis-nya dan memasuki mobil sesudahnya, sebuah perjalanan dengan sea plane dan dia tiba di ‘surga’. Sejujurnya, jauh di dalam hatinya dia begitu merindukan perjalanan sebelumnya, setahun yang lalu saat semuanya masih baik-baik saja. Mereka bertiga menumpang di atas perahu nelayan sederhana, sekitar satu jam di tengah lautan bertukar kata dan tawa. Tapi, satu hal yang disadari Lusi yang tak ingin dibenarkan oleh kepalanya –Desi dan Emile saling bertukar tatapan yang bemakna lebih dari jutaan kata. Lusi ingin menyangkal ingin melupakan.“Hutan atau lautan?”Tanya Lusi pada mereka.Dan, mereka menjawab hutan secara bersamaan dalam nada yang terdengar harmonis yang entah kenapa memiliki kekuatan magis. Mereka bertatapan, lalu bertukar senyuman, ada aura romantis yang manis.“Sebuah tenda di tengah hutan. Ketika hampir menutup mata, telingaku yang nyaris tersentuh tanah akan mendengar langkah-langkah rusa, kerik jangkrik, nyanyian malam pepohonan.” Dengan mata berbinar Lusi bercerita tentang keinginannya.“Bukankah diving dan snorkeling lebih menyenangkan?”Lusi tak mencoba mempengaruhi Desi, tapi ia berusaha membuat Emile tergoda tak hanya dengan kata-kata tapi juga dengan kerlingan mata dan bahasa tubuhnya yang seksi. Okay dia bertahan tapi takkan lama, lelaki... Lusi percaya mereka gampang ditipu daya. Adam tergoda Hawa.”Bagaimana dengan bikini dan cahaya matahari?”Ada tawa renyah dalam durasi yang tak lama, demi kesopanan yang pantas.“Yang aku herankan...” Desi seolah sedang berpikir “bagaimana bisa seekor domba bertanduk begitu ingin berenang sementara dua ekor ikan ingin menjadi umpan para binatang buas?”Lusi menganggap itu lucu sekali, menggunakan zodiak sebagai perumpamaan...dia tak percaya pada kata zodiak, karena dia lebih yakin bahwa sifat-sifat kebinatangan itu tak selalu melekat pada si pemilik bintang yang menanunginya. “Hmmm....sulit dijawab sepertinya, walau tak sedilematis. Kira-kira seekor kucing akan memilih ikan goreng atau tikus?” tanya Lusi kemudian.“Aku memilih Whiskas,” jawab Emile―sang kucing. Lusi bersungut dan otaknya memutar rangkaian kata ‘Seharusnya dia membidik makhluk indah di depannya bukannya pemandangan di kejauhan— biru dan kehijauan yang terekam dalam memori kameranya’. Desi mulai membuatnya benci karena dia mulai menggoreskan pena ke kertas, entah apa yang dia tuliskan. Lusi mulai berjalan ke sisi Emile mengambil topi di kepala pria itu, memakaikan pada kepalanya sendiri dan bersandar di sisi Emile. Dengan ekor matanya Lusi melihat, Emile dan Desi saling bertukar pandangan. Lusi menyangkalnya dengan mencoba terlelap.***Emile masih mengingat bagaimana hari itu bermula. Gelak tawa itu serta merta mengubah dunianya. Dua gelak tawa yang indah dari sepasang sahabat, Desi Lusi, disilusi, disillusion—kekecewaan. Memilih satu di antaranya untuk dimiliki, memilih satu di antaranya untuk dicintai. Kecewa, sudah pasti. Mata Emile memandang keduanya secara sama pada awal, tapi tak lama dia tahu harus memberi pandangan lebihnya ke mana. Gadis itu tertawa parau dan tak lama air mata mengaliri pipinya. Dia tak bisa menghentikan tawanya. Emile melihat sesuatu yang tak biasa yang pernah dia alami dan dia sesali, “haruskah sekali lagi?” Batinnya. Dan,nasib mengatakan ‘ya’.Perjalanan untuk membunuh kebencian membawanya pada luka baru yang mulai berdarah. Kesalahannya adalah dia menganggap ayahnya bukan manusia biasa, hingga ketika ayahnya khilaf tak ada lagi maaf dari putranya yang keras kepala. Dia bertemu dua gadis itu,tapi menjalani lebih lama waktu dengan gadis yang satu. Gadis yang melumuri wajah dengan jus tomat dan lemon. Gadis yang mengelola internet cafe dan rental buku di garasi dan ruang tamu rumah tuanya. Gadis yang memiliki taman gantung di atap rumahnya. Gadis mungil dengan wajah cerah, bersuara seperti penyanyi Jazz yang tak mengenal nada, sengau karena berbicara dengan hidungnya yang seperti orang tengah mengigau. Gadis tangguh yang ternyata rapuh. Gadis yang menyewakan kamar kosong pada backpacker kumal yang baru saja mewarisi uang jutaan dollar dari ayah yang dibenci juga disesali karena meninggalkan dia dan ibunya yang sekarat dan putus asa di masa remaja.
***“Pernahkah kau merasa bersalah?” Suara sengau itu tak cocok untuk wajah manisnya. Emile selalu berpikir itu bukan suara asli si gadis. “Aku dihantui rasa bersalah atas apa yang kulakukan.” Dia menarik kacamata bacanya ke atas, tepat di atas poninya yang mulai berminyak. Dia menyesap kopi instan yang baru saja diseduhnya.“Apa yang paling kamu sesali?” Emile bertanya, dan pertanyaannya butuh jawaban, untuk dia bandingkan dengan penyesalan terdalamnya.Si gadis menatap langit yang berbintang, berpikir sejenak dan mulai bicara ketika dia menemukan jawabannya.“Ini idiot, tapi aku menyesal terlahir sebagai manusia.” Sinar matanya yang menatap tepat pada mata Emile yang menggelap menunjukkan betapa gadis itu yakin dengan setiap kata yang diucapkannya.“Kenapa?” “Menjadi manusia, begitu merepotkan.” Dia tertawa kecil. “Jika bukan manusia, kau mau jadi apa?” Emile menatapnya, sambil membelai dagunya yang kasar. “Sebatang pohon, di tengah hutan.” Wajahnya cerah dan bibirnya membentuk senyuman. “Ada alasannya?” “Jika pohon adalah seseorang dan hutan adalah rumah yang sangat besar. Apakah pohon akan pergi meninggalkan hutan?” Wajah si gadis tak lagi cerah. Dia seolah mengingat beberapa episode yang terlewat. “Ayahku meninggalkan ibuku, di saat aku masih setinggi ini.” Tangannya melayang di udara sejajar dengan pinggangnya.“Usiaku sepuluh tahun saat ibuku menjadi buruh migran di Hong Kong.” Dia menikmati jeda, tapi dengan segera melanjutkan bicaranya.” Aku butuh mereka yang menyayangiku, tapi mereka pergi untuk kepentingan yang tidak kumengerti. Jika aku adalah pohon, yang aku butuhkan adalah air dan cahaya matahari.” Matanya basah, tapi dengan cepat dia mengerjap-ngerjapkannya, berharap air matanya tak sempat dilihat lawan bicaranya. Tapi, kesedihan terdengar jelas dalam kata-katanya. “Jika aku menjadi pohon, maka aku hanya bisa memberi tanpa berhak menerima.” Emile sadar, gadis di depannya perlu pendengar. Khas, perempuan mereka memulai menanyakan lawan bicaranya, tapi pada akhirnya merekalah yang berbicara panjang lebar. “Suatu hari nanti aku ingin meminta maaf pada pepohonan.” Gadis itu tersenyum pahit. “Aku minta maaf untuk banyak stik es krim yang telah kupakai seumur hidupku. Saat sedih,es krim mengobati hatiku. Aku ingin minta maaf untuk kertas-kertas yang pernah kutulisi, kertas-kertas berisi kata-kata yang kubaca. Tisu untuk menghapus air mata juga udara segar yang diberikan cuma-cuma. Aku tak pernah mengucapkan terima kasih padanya.” Gadis aneh. “Sekarang, aku tahu alasannya, kenapa kau menangis ketika kita melewati lahan yang baru dibuka untuk pembangunan hotel di pulau kemarin,” “Salah! Aku menangis karena melihat pandangan jatuh cinta Lusi padamu.” Teriak hatinya.“Lusi mencintaimu.” Dengan mata berkaca,Desi meyakinkan pria yang tengah memandangnya dengan frustasi. “Bukan berarti aku juga harus mencintainya, hati seharusnya berhak memilih.” Emile mengatakan apa yang hatinya sampaikan. “Jika hati memiliki hak untuk memilih. Ayahku akan mencintai ibuku. Ibuku pasti bersamaku, bukan pergi ke negeri orang dan menjaga orang tua jompo yang ditelantarkan anak-anak mereka, demi masa depan putri tunggalnya yang malang. Sekarang, aku sendiri dan ditinggalkan, bukankah seharusnya aku terbiasa? Dan, beruntunglah mereka yang menemukan seseorang....” “Aku menemukanmu,” “Dan, tak lama kamu juga akan kehilangan aku!” Emile merosot pada dinding, kaki-kakinya seolah tak lagi bisa menopang badannya.”Katakan apa yang kau inginkan, akan kulakukan,” “Hidup dengan mengidap Amyotrophic lateral sclerosis :::Selamat Hari Pohon Sedunia:::
Published on November 20, 2014 21:38
November 10, 2014
Cerber: Saudara Sejiwa (Tamat)

Seteluk 23 Desember 2013 Kalau bisa dua-duanya, ngapain harus milih salah satu. Itu prinsip yang dipegang Retta dalam kehidupan cintanya. Walau Retta memiliki ‘dua’ namun malang bagi Retta, bahkan cadangan ataupun pacar benerantak ada di sisinya saat ini. Mengapa hidup begitu sulit? Kenapa tidak semudah ... menemukan sepatu kaca dan bahagia selamanya! Kenapa harus ... meninggalkan pacar brondongmu demi mengikuti training yang karena kamu butuh kerja dan tak lagi dibiayai oleh orang tua, dan di sana kamu terlibat cinta lokasi dengan rekan kerja, oh Dicki dan Bali! Retta sungguh rindu untuk kembali. Dan Mataram, betapa Retta begitu rindu pada brondongnya yang ... tapi kata Agit, brondong nggak punya masa depan! Hahahaha rasanya pengen ngetawainAgit, bukankah lelaki terakhir dalam hidupnya lebih muda dua tahun darinya? Okay fine, Arden memang lebih muda lima tahun, tapi mereka sama-sama brondong! Aaaarght! Setidaknya Didan-nya si Agit punya pekerjaan sementara dengan berat hati Retta harus mengakui bahwa Arden, masih berstatus mahasiswa yang bisa dengan mudah diprediksi akan di DO dikemudian hari. Itulah kenapa, mau tak mau Retta menerima cinta Dicky. Lagipula, siapa sih yang mau kehilangan fans? Retta dan Agit sama saja, kadang cinta bukan alasan utama, kadang mereka lebih ketakutan hidup tanpa pengagum mereka.Pernah pada suatu malam Retta dan Agit membahas, kenapa mereka harus terjebak hubungan asmara dengan brondong tanpa masa depan.“Kenapa ya, kita pacarin brondong mulu?” Retta bertanya-tanya.“Karena ... cowok seumuran kita sudah memiliki kehidupan rumah tangga yang bahagia.” Mudah bagi Agit untuk menjawab tapi sulit untuk dicerna hatinya. “Bahagia?”Retta terdiam sejenak saat Agit memperlihatkan layar handphone-nya yang menunjukkan beranda facebook-nya. Pertama; status memuakkan khas pasangan baru nikah. ‘Ternyata nikah itu enaknya cuma lima persen yang sembilan puluh lima persennya enaaaaak banget.’ Kedua; status mereka dengan pengalaman ngidam mereka. ‘pengaruh ngidam, aroma ketek suami lebih wangi dari aromatheraphy’iiiiiiiiiiiiiiiiiihhhh ... ketiga ‘foto porno’ balita memenuhi beranda. Padahal itu bahaya, anak-anak mereka bisa jadi korban iseng penjahat dunia maya. Sebut Retta dan Agit sirik, tapi ... bayangkanlah jadi mereka. Usia kepengen (banget) menikah tapi mereka masih mempertanyakan apa lelaki-lelaki yang bersama mereka inikah jodohnya?Agit misalnya ... siapa sih pacar terakhirnya, yang jelas? Semuanya serba ... kalau bukan HTS atau TTM, yeah ... palingan juga terlibat hubungan ‘KJDA—Kita Jalani Dulu Aja’ untuk yang rada serius? Cuma obsesi cinta monyetnya yang sekarang sedang keliling dunia, dan si Agit hanya bisa memandang foto-foto tuh cowok di instagramnya. Uh kasihan Agit. Lagipula, waktu Agit cuma dua puluh empat jam dan itu habis buat kerja. Secara geografis? Walau Agit selalu berdalih wajahnya terlalu metropolitan untuk tinggal di kecamatan, dia sejujurnya mengakui bahwa sekecamatan itu tak satupun cowok naksir padanya dan kalau naksir pastilah cowok itu khilaf. Karena ... cowok-cowok itu adalah muridnya di sekolah dan yang lainnya adalah bapak-bapak yang sudah menikah, payah ya?Dan Retta, masih dipusingkan cinta segitiga tanpa sudutnya. Retta harus puas pacaran jarak jauh dengan kedua lelaki yang sebetulnya hanya mampir di teras hatinya ... karena sebenarnya Retta nggak tahu siapa yang sungguh-sungguh dicintainya. Hal terpayah dari hidup Retta adalah, Retta gampang jatuh cinta dan suka menjalani dramanya tapi soal komitmennya, percayalah Retta bukan orang yang bisa berkomitmen.Dan pada akhirnya, di malam-malam sebelum tidur kedua gadis itu akan menyongsong mimpinya dengan backsound Marry Me dari Train dan berkhayal bahwa seorang pria tampan sejati akhirnya melamar mereka dan senyuman manis akhirnya tersungging di bibir ibu dan mama mereka ketika mengenakkan kebaya dan mendampingi di pelaminan.***“Aku benci dikejar-kejar deadline,” sungut Agit, semula Retta pikir kalau itu tentang tugas dari sekolah, entah soal try out mungkin atau bisa jadi raport. Keduanya sedang menikmati senja di atas tempat tidur, bukan malas-malasan sih. Sebenarnya, Retta baru saja pulang kerja, dan mengendarai motor dua puluhan menit bikin punggungnya sakit. Sementara Agit bergelung di tempat tidur sambil mencoba memahami mengapa hidup Toru Watanabe dikelilingi para pasien sakit jiwa yang nantinya bakal bunuh diri. Haruki Murakami membuatnya kagum dan bingung di saat yang sama.“Tahu dikejar deadline, masih aja baca novel,” komentar Retta malas.“Deadline kawin, bego!”“Ooooh ... kawin, bukan nikah nih? Kan gampang,” nada menggoda Retta membuat Agit kesal.“Yeah, nikah maksudnya!”“Ada yang lebih capek, ngejar-ngejar jodoh hihihi.”“Fiuh ... apa kita terlalu wonder womanyak, sampai belum waktunya dikirimin Tuhan, seseorang yang bisa bertanggung jawab terhadap diri kita?”“Atau ...?”“Jodoh kita kehilangan peta, mengalami kerusakan GPS atau handphone-nya nggak punya Google Map?”“Atau ...?”“Apa kita sebegitu tangguhnya?”“Atau ...?”“Aaaaaah Retta!” Agit mengacak-acak rambutnya yang panjang. Dia kesal terhadap Retta tapi terlebih lagi dia kesal terhadap dirinya sendiri. Agit bertanya-tanya, kenapa gampang banget yak buat siswanya yang masih belasan untuk jatuh cinta, berhubungan terlalu jauh dan menikah. Sementara dia ... masa iya harus hamil duluan baru dinikahin? Dia mencoret ide itu dari otaknya.“Jodoh! Kenapa harus semisterius itu? Huhuhuhu.” Sungutan Agit lumayan mengesalkan.“Git, bisa nggak ...?”“Nggak bisa!”“Segitu pengennya ya?”“Emangnya kamu nggak?”“Tapi nggak gitu juga kali!”“Retta ....” Agit mendesah dan sekarang wajahnya menunjukkan ekspresi putus asa.Agit menyerahkan handphone-nya dan Retta paham alasannya. Foto adik perempuan Agit dan pacarnya sedang tersenyum lebar di pantai dengan latar belakang matahari tenggelam. “Adikku seakan sudah menetapkan standar calon menantu,” Agit terlihat bingung. “Produk impor Retta! Lha, yang lokal aja aku kesulitan!” Agit seakan kehilangan akal. Adik perempuan Agit, Marsha nyaris setahun ini menjalin cinta dengan cowok berkebangsaan Amerika. Kedatangan pacarnya, Mark yang terakhir sudah menunjukkan betapa seriusnya dia, Mark menjadi mualaf. Dan Agit tak habis pikir pengorbanan semacam apa yang pernah seorang cowok lakukan untuknya? Turun dari motor dan mengejar pashmina-nya yang terbang gara-gara dia masih amatir banget berhijab, apa bisa masuk hitungan? Belum pernah sekalipun dia memiliki suatu pengalaman romantis serius yang layak untuk dimasukkan ke dalam kenangan indah kisah cintanya. Bagaimana mungkin Agit memiliki pengalaman romantis sementara kesalahan terbesar seorang Agit adalah, dia sendiri tidak pernah menetapkan sebuah komitmen jelas. Komitmen paling jelas yang dimilikinya, sudah terlalu lama dan jelas pada cowok yang salah. Saking lamanya kisah cinta itu apabila berbau pastilah seperti selai cokelat tengik. Tujuh tahun lalu dengan cowok posesif yang menelponnya nyaris setiap waktu dan yang terparah, cowok itu cuma menjadikan Agit sebagai objek obsesif horny-nya. Yah! Akhirnya ketahuan bahwa Agit setidaknya masih memegang teguh prinsip ketimurannya. Menurut Agit, ada tiga hal yang tak akan dipertaruhkannya dalam kisah cinta; Tuhan, keluarga juga keperawanan.“Terus kita bisa apa?” Retta terdengar pasrah.“Pikirin Ta, pikirin ...”“I have no idea,”“Aaaah Retta!” Agit merajuk, Agit boleh berusia dua puluh enam tahun tapi di mata Retta Agit kadang bersikap seperti gadis kecil. Retta menyayangi Agit dan Agit-pun begitu. Mereka lebih dari sepasang saudara perempuan, Retta dan Agit hanya tak mau mengakuinya secara gamblang saja. Pengalaman empat tahun berpisah dan menemukan pelajaran berharga di jalan yang berbeda seakan menguatkan perasaan mereka sekarang. Mereka bukan hanya teman sekamar, mereka bukan hanya sahabat, mereka adalah saudara sejiwa.“Apa harus ikut biro jodoh online ya?” ide Retta bikin Agit tidak terima.“No way!”“Kembali ke mantan lama?”“Sama kayak ngorek-ngorek luka sampe berdarah,”“Coba lihat sekitarmu,”“Nggak ada,”“Ya ampun kok jadi desperate gini, yak?”“Setidaknya Didan masih nelpon,kan?” hibur Retta.“Didan punya pacar ... tapi ... boleh melanggar janji, nggak?” Agit ragu-ragu.“Tergantung,” jawab Retta singkat.“Kadang aku memasang standar moral terlalu tinggi. Menurutku melanggar janji pada diri sendiri itu adalah pelanggaran moral yang berat.” Sangat Agit.“Terus saja begitu dan kebahagiaan menjauh.”Agit cemberut.“Kamu boleh kok melanggar janji sesekali, terlebih jika itu hanya untuk dirimu sendiri. Janji apa sih Git?”“Terima teman dari CouchSurfing.”Retta tahu kenapa ini sulit bagi Agit, Agit bahkan belum pulih dari lukanya akibat dari apa yang Arika tuduhkan. Gara-gara cowok bule bernama Devon yang tak bisa mengambil sikap itu.“Aku cuma pengen liburan Ta....” Rajukan manja Agit mengganggu perasaannya.“Ada cowok, bukan bule, anak Jakarta. Dia mau ke Pulau Kenawa.” Agit bicara terpatah-patah. “Aku udah empat tahun di sini tapi belum pernah ke sana padahal jaraknya deket banget, ke Tano lima belas menitan, nyebrang ke pulaunya nggak sampe dua puluh menit juga.” Agit terdiam sejenak, seolah apa yang ingin dikatakannya terdengar begitu sulit. “Kamu tahu kan, betapa aku ingin liburan ... Marsha dan Mark akan mengunjungi Lombok, Bali dan Pulau Komodo, betapa beruntungnya dia. Sementara aku ... masa ke situ doang nggak bisa.” Ampun deh Agit, menurut Retta dia tak harus bersikap seolah dia butuh persetujuan darinya.“Pergi aja,”“Tapi Ta ...” “Nggak pake tapi!”“Lho, kok kamu jadi galak?”“Nggak Git, maksudku ...”“Terus kalo temen CS-ku itu mau nginap di sini boleh?”“Ya tidur bertiga lah kita.”“Retttttttttttaaaaa...”“Kita bisa numpang di kamar sebelah lah.”“Serius, kamu nggak papa?”“Apa yang nggak buat kamu Git?”“Pacarmu!”Dan seperti biasa akhir obrolan mereka akan menjadi derai tawa.*** Seteluk 25 Desember 2013 Retta benci melihat kegelisahan Agit yang mondar mandir sambil mengecek jam di handphone-nya. Agit sudah siap sedari tadi. Sekitar jam sepuluh tadi Agit nyaris mengalami shock traumatic, handphone-nya baru dinyalakan dan cowok dari CS yang bernama Gama menelponnya mengatakan dia baru dapat sewa motor dan baru akan jalan. Agit cemas, kalau si Gama tahu-tahunya sudah ada di dermaga ke Kenawa sementara dia baru saja terbangun dari tidurnya. Semalam Agit begadang menyelesaikan raport siswanya buat sabtu nanti. Untunglah si Gama masih di perjalanan.“Tha, terus si Gama pasti mikir yak? Cewek apaan yang bangun siang?” tanya Agit panik.“Cewek kayak kamu!” Jawab Retta sambil sibuk membereskan kamar mereka yang seperti kapal pecah. Sumpah mereka untuk tak membereskan kamar sampai di tahun 2014 akhirnya terpatahkan.“Terus, ntar dibilang masa jilbaban tapi nggak sholat subuh?”“Emang dia bakal nanya, kalau nanya tinggal bilang aja lagi mens.”“Iiiiiiiih Retta.”Agit mondar mandir lagi, dan setiap handphone-nya berbunyi dia seperti mendapat serangan panik.Semoga cuaca cerah. Itu doa Agit, seminggu ini Seteluk hujan terus dan mereka cukup panik soal ancaman banjir. Tapi hari ini sempurna, langit berwarna biru dan ada beberapa gumpalan awan putih yang kelihatan nyaman untuk ditiduri.Jam menunjukkan hampir pukul dua siang dan SMS dari Gama yang mengatakan bahwa ferry-nya akan berlabuh membuat Agit memaksa Retta untuk buru-buru mengantarnya menuju dermaga. Agit mengajak Retta untuk ikut serta, tapi yeah namanya juga Retta walau punya badan gede Retta itu sangat takut dengan laut. Dulu, ketika mereka tinggal di Lombok, Agit yang selalu ‘membonceng’Retta kalau main kano di Senggigi. Jadi nanti Retta hanya mengantar Agit dan balik menjemputnya nanti. Mereka belum tahu apa Gama mau mampir di kos apa tidak.*** Perkampungan Nelayan Poto Tano 25 Desember 2013
Retta tahu sejak awal, saat mendengar Agit berkata. “Gama ya?” pada cowok berjaket abu-orange dan mengendari motor matic di seberang jalan di bawah gerbang yang bertuliskan Selamat Datang di Kawasan Wisata Bahari Pulau Kenawa— Retta sudah menduga itu adalah cinta pada pandangan pertama. Bukan dia tapi Agit. Gama yang berkacamata dan berwajah ala cowok cupu di jaman mereka SMA adalah tipe cowok favorite Agit. Tipe favorite yang belum pernah Agit pacari. Karena Agit seringkali terlibat hubungan pacaran dengan cowok-cowok keren yang sayangnya brengsek. Saking sukanya Agit dengan lelaki tipe nerd itu, Agit pernah membuat tokoh bernama Megale Idea di dalam novelnya. Dan si Gama, menurut Retta seperti gambaran sempurna bagi sosok Idea di dunia nyata.Retta melihat binar mata Agit yang tiba-tiba saja menyala dengan indah saat melihat Agit dengan ramahnya mengulurkan tangan dan menjabat tangan Gama. Agit dengan langkah ringannya berjalan menuju dermaga ke tempat beberapa nelayan dan mulai menawar harga untuk menyewa perahunya. Agit dengan celotehan dan senyuman yang berkembang dengan manisnya saat mulai bicara. Agit, betapa Retta bersyukur telah melihatnya tak lagi dibayangi awan kelabu yang membuatnya tak bergairah.Agit memaksa Retta untuk ikut dengan mereka, tapi Retta terlalu takut, lagipula adalah ide bagus jika Agit bisa menghabiskan waktu dengan seorang cowok. Anggap saja itu seperti liburan romantis. Kasihan Agit juga sih, terakhir kali Agit menghabiskan waktu dengan cowok adalah beberapa bulan lalu, di liburan Idul Adha dengan Didan yang kurang ajarnya ternyata punya pacar.*** Lautan dekat Pulau Kenawa 25 Desember 2013 Kali terakhir berperahu, Agit bersama orang-orang yang kini tak lagi akan pernah bersamanya. Agit merasa harus membuang jauh-jauh perasaan yang bisa membuat pedih hatinya. Lagipula, entah lautan menujukkan keajaibannya atau ada kekuatan misterius lainnya yang membuat hatinya diliputi kebahagiaan dan suka cita. Saat ini Agit hanya ingin tersenyum dan entah kenapa matanya tak ingin meninggalkan sosok Gama yang memotret lautan dan panorama di kejauhan. Agit bahkan merekam dengan otaknya setiap gerakan dan ekspresi Gama bahkan yang terhalus sekalipun.Agit memeluk dinding perahu dan tangannya mencoba menyentuh lautan, itu seperti semacam penghormatan bagi Agit untuk sang alam. Agit selalu mengagumi keindahan alam dan harapan ‘sok idealisnya’ adalah ingin hidup berdampingan dengan harmonis bersamanya. Agit berusaha mengurangi pemakaian kertas dan plastik, juga mengantongi sampahnya kemana-mana daripada harus membuangnya sembarangan. Agit juga selalu berjalan kaki ke lokasi yang masih bisa dijangkaunya. Ke sekolah tempatnya mengajar, setiap hari Agit berjalan kaki, itu salah satu waktu terbaik untuk berkomunikasi dengan dirinya juga untuk menjaga alamnya, serta menikmati pemandangan sawah dan kebun di sepanjang perjalannya. Sebenarnya, jalan kaki juga baik untuk konsentrasi, tapi buat beberapa orang apa yang Agit lakukan malah dianggap mereka sangatlah aneh dan menyusahkan diri sendiri, padahal Agit senang karena setiap kali menghabiskan waktu begitu dekat dengan alam dia selalu merasakan efek yang membahagiakan jiwanya.Agit bersyukur untuk hari ini, untuk lautan luas yang indah dan cakrawala yang mendamaikan jiwanya. Agit berharap semesta mau memberikan keajaibannya, membuat pengalamannya hari ini menjadi sebuah kisah bisa menjadi kenangannya yang sempurna.*** Pulau Kenawa, 25 Desember 2013 Rasanya seperti mimpi yang menjadi nyata, memiliki pulaumu sendiri. Dulu, salah satu pikiran konyol yang sempat mampir dalam benak Agit adalah memiliki pulau pribadi. Ternyata inilah keajaibannya. Kita akan mendapatkan apa yang kita inginkan dengan cara tak terduga, untuk hari ini Agit merasa Gama seperti Sinterklaas yang sering dilihatnya di film kartun anak-anak di setiap Natal, Gama membantu mewujudkan salah satu mimpi terbesarnya. Agit tak sabar ingin melompat ke perahu dan menjejakkan kakinya di pasir yang basah, membenamkan kakinya yang kini bersandal jepit. Butiran halus pasir menggelitik kulitnya, segarnya air laut seolah melepas ketegangan kakinya ketika sang ombak seolah datang untuk menyambutnya. Agit rasanya ingin tertawa keras dan ingin bertindak gila karena Agit sangatlah bahagia.Agit mengedarkan pandangan ke seluruh pulau yang luasnya tak lebih dari tiga belas hektar itu. Matanya langsung tertuju pada bukit mungil, dia harus mendaki. Dia ingin melihat keseluruhan pulau Kenawa dari atas sana. Pulau itu indah, Agit melihat warna hijau yang paling hijau di padang ilalang yang seperti hiasan bulu-bulu cantik dari nirwana. Dan warna biru dalam banyak gradasi pada laut dan langitnya. Di sana ada sebuah pondok mungil juga beberapa berugakKepanikan melanda Gama, apalagi angin bertiup kencang dan cuaca mulai tak bersahabat, dia melihat hujan di kejauhan.“Turun yuk!” Agit bangkit lebih dulu, mereka segera menuruni bukit, masih dengan semangatnya yang seperti takkan pernah padam.“Ya, kamu harus sholat.” Kata Agit.“Tadi harusnya bilang sama si bapak Nelayan supaya dijemputnya sebelum jam setengah enam.” Jamnya sudah hampir mendekati setengah enam, tapi dia belum melihat dikejauhan. “Khawatir nggak, kalau kita nggak dijemput?”Agit menggeleng, dia malah tak ingin meninggalkan pulau ini.Lewat dari setengah enam, Gama bahkan sudah selesai sholat dan memotret banyak foto dan Agit bahkan sudah berjalan di sepanjang pantai tapi tak nampak tanda-tanda si bapak Nelayan. Gama menghampiri Agit yang duduk dan membaca buku di Berugak.“Kayaknya banyak nelayan yang cari ikan di sekitar sini, gimana kalau kita sewa perahu mereka ...”“Yaps, nanti kita cari rumah bapak nelayan yang tadi.” Agit menyelesaikan kalimat Gama yang kini mengangguk dan mulai menghilangkan ekspresi khawatir di wajahnya. Dan, thanks God si bapak Nelayan menepati janjinya, dia datang walau tak tepat waktu. Cuma dia bawa kabar buruk, hujan lebat. Harusnya Agit khawatir, tapi dia malah dengan cepat melompat ke dalam perahu. Mengeluarkan jaketnya karena udara sekarang memang lebih dingin.Benar saja di tengah perjalanan pandangan mereka bahkan tak bisa melihat dalam jarak yang cukup jauh. Hujannya sangat lebat dan angin kencangnya luar biasa. Agit diserang ketakutan seketika, dia teringat sebaris kalimat yang pernah dia tuliskan untuk sebuah kisah fiksinya ‘Aku membayangkan takdir menjebak kita dalam sekoci di tengah lautan. Kita tak memiliki siapapun kecuali satu sama lain. Lalu kita akan saling bercerita, hingga kusadari aku membunuhmu dengan kebosanan. Kisah yang sama yang selalu kuulang. Kuharap kita segera bertemu dengan daratan dan kutebus dosaku dengan kisah yang akan kutuliskan tentang kita yang bertahan di tengah lautan.’Suasananya memang tak terlalu sama seperti yang tengah terjadi tapi dalam diri Agit, dia berjanji akan menuliskan kisah ini.Tak lama bapak nelayan menyodorkan jas hujan berwarna biru dan hijau. Itu milik Gama, tapi dia membiarkan Agit memakainya.***Sepanjang perjalanan Poto Tano Seteluk, Menjelang Senja 25 Desember 2013Mereka sampai di daratan, hujan reda tapi awan mendung masih membayangi. Agit menatap ke arah matahari tenggelam, hanya ada sedikit semburat jingga. Agit menenangkan hatinya, suatu hari tidak boleh terlalu sempurna.“Kamu mau balik ke Lombok? Capek tauk!”“Tapi motornya cuma disewa buat sehari,” Gama memutar akal. Agit tahu jadi dia menawari. “Kamu mau ikut ke kosanku nggak?”Mendengar kata kos-kosan Gama berpikir itu kamar sempit dan Agit bahkan berbagi dengan teman kamarnya.“Hmmmm...”“Aku sama Retta santai, kok. Kita bisa minggat ke kamar tentangga.” Lama Gama menimbang sebelum akhirnya bilang.“Hmmm.... boleh deh.”Mereka memutuskan untuk pulang menuju ke kosan. Agit duduk di boncengan sambil berpegangan pada ransel Gama dan bertanya-tanya. Bagaimana cara Tuhan bekerja hingga satu manusia bisa bertemu dengan manusia lainnya. Sepanjang perjalanan Gama bertanya-tanya, bagaimana bisa seorang gadis bertahan tinggal di tempat sesepi itu, bertahan nyaris tiga tahun tanpa teman sebenarnya, dan juga dengan rutinitas yang menjadikan dia tak berbeda dari robot dan berjiwa.Kepala Agit berputar berpikir, memikirkan tentang jika saja dia tinggal di kota seperti Jakarta misalnya, maka otak romantisnya berencana tentang, saat liburan tiba, dia akan mengepak buku dan tiket ke dalam ranselnya dan melangkah menuju pada alam, yang jauh di pedalaman, tempatnya nyaris tak ditemukan. Dia akan mengajak seseorang yang sangat dicintainya. Dia bahkan telah memikirkan kalimat bujukannya untuk orang yang di dalam kepalanya entah kenapa berwajah seperti Gama. “Kita harus menjauh dari kebisingan, hiruk pikuk masyarakat yang tak masuk akal, masalah yang membuat gila serta rutinitas yang membunuh dengan perlahan. Aku ingin hanya ada kita-dan semesta merestui cinta kita dengan cara yang sederhana. Alam akan membuat kita paham dan membuat kita memiliki keyakinan; bahwa dengannya kita memiliki kehidupan yang paling kita butuhkan.”***Seteluk, 25 Desember 2013 Malam hari.Retta berada di antara Agit dan Gama, dan berharap menghilang saja. Dia ingin Agit memiliki waktu yang tepat dengan orang yang tepat. Itu saja. Agit merasa bahwa dia harus berterima kasih, semesta seolah membiarkannya merasakan suka cita hari ini.Gama. Agit suka nama itu. Tiba-tiba saja dia teringat ketika Devon mengartikan namanya dalam bahasa Jerman Swiss. Sekarang, dia ingin mengatakan pada Gama bahwa namanya memiliki arti dalam bahasa Sumbawa. Gama adalah semoga, berarti harapan, wujud rendah hati ketika memohon, kesabaran serta kebijakan. Agit merasa Gama memiliki semua itu dalam dirinya. “Gama, kamu tahu ... nama kamu berarti semoga dalam bahasa Sumbawa.”“Oh ya?” Agit tak bisa membaca ekspresi Gama. Agit tak mengerti, kenapa dia sampai kehilangan kemampuan bahkan untuk sekedar mengetahui apa yang mungkin hati seseorang lukiskan dari wajahnya. Satu kata tentang Gama yang bisa Agit baca; indah.***
Sumbawa Besar, Minggu 28 Desember 2013
Let’s get lost! Seperti apa yang tertulis di profile picture Gama yang berlatar belakang panorama senja di lautan. Hari ini Gama dan Agit entah sengaja atau tidak tapi mereka tersesat. Awalnya mereka hanya berniat pergi mencari madu, susu kuda liar dan beberapa oleh-oleh khas Sumbawa. Sore nanti Gama harus kembali ke Mataram, besok dia harus terbang ke Jakarta. Liburan berakhir dan Gama tak mungkin tinggal, sementara tanpa Gama tahu. Agit baru saja mulai untuk mengakui bahwa hatinya memiliki perasaan yang untuk kali ini tak mungkin disangkalnya. Apa artinya cinta?Dia bahkan tak tahu siapa lelaki yang membuatnya jatuh cinta ini, tapi tetap saja dia membiarkan hatinya dimiliki, walau dia tak tahu apa lelaki ini bisa mengerti.***Pelabuhan Kahyangan 31 Desember 2013, 21:30Bukan sekali dua kali Arden membiarkannya menunggu. Retta mengambil izin kerja di saat dia tak boleh izin, tapi rekannya kak Han dan kak Deni memberikannya jalan untuk menyelamatkan kisah cintanya.“Brondong nggak punya masa depan,” itu yang Agit katakan. “Apa kita menerima begitu saja cinta kita anggap layak untuk kita miliki?” Retta hampir menyerah tapi jika satu jam lagi Arden tak datang maka Retta tak bisa menunggu.***Seteluk 4 Januari 2014Kembali dari liburan Agit dan Retta sama-sama nelangsa, mereka bahkan sama-sama saling mengklaim bahwa cuaca buruk membuat mereka meringkuk terus dan berdiam diri di tempat tidur sepanjang hari. Tapi, mereka tahu mereka harus bangkit.“Apa yang paling menyedihkan dari patah hati?” Agit tiba-tiba bertanya, mereka sedang berbaring saling bersisian. Ini adalah kata-kata terpanjang Agit sejak kembali ke kosan, selebihnya dia hanya mengatakan “iya”, “tidak”, atau “oh”.“Bokek kali,” Retta tak tahu harus menjawab apa.“Jatuh cinta pada orang yang salah di saat yang salah. Aku nggak tahu ini benar apa salah, tapi aku sekarang percaya dongeng jatuh cinta pada pandangan pertama.” Ini bukan Agit yang lebih sering memendam perasaan, setidaknya Agit mengetahui bahwa ada sesuatu yang tengah terjadi dan dia punya hati.“Gama?” Retta menghela nafas.“Padahal kemarin ketemu Didan, kabar buruknya. Bahkan saat Didan di depan mata. Aku seolah nggak melihatnya.” Suara Agit terdengar lemah.“Karena bukan dia yang ingin kamu lihat. Perjuangkan hatimu, Git!”“Tapi....”“Kamu tahu kamu takkan memilikinya kan? Kamu nggak kehilangan apa-apa, seenggaknya kamu lega.”“Gimana Arden?” tanya Retta.“Aku harus menerima kalau dia takkan berubah.” Retta berguling dan membelakangi Agit. Artinya dia tak ingin membahas apapun lagi. Agit bangkit dan membuka netbooknya, dia menulis pesan untuk Gama. Tapi baru berani mengirimnya berhari-hari kemudian.1/10, 2:45amHai Gama,Saya pada akhirnya memilih untuk menulis ini karena saya sudah sangat kebingungan, saya menulis ini dengan mengumpulkan semua keberanian yang saya punya. Walaupun saya nggak berani menebak-nebak respon kamu nantinya tapi yang jelas saya harus mengatakan apa yang harus saya katakan, saya nggak mau menyesal karena nanti mungkin tidak ada kesempatan. Sebut saya bego, konyol atau apapun. Saya malu, bahkan pada diri saya sendiri, okay kita ketemu di waktu yang sangat singkat dan kesannya ini drama banget. Saya sendiri malah berharap bisa menertawakan kejadian ini. Saya bahkan nggak kenal kamu, kita hanya kenal begitu aja. Entah ini baik atau buruk, otak saya nggak bisa berhenti memikirkan kamu, perasaan saya cemas dan gelisah nyaris sepanjang waktu dan ini menyiksa saya. Konsentrasi saya hilang dan saya kebingungan, jelas sekali ini bukan kesalahan kamu. Akhir-akhir ini saya nggak bisa mengerjakan apapun dengan benar dan ini nggak bagus untuk hidup saya. Saya harap ini Cuma gara-gara terbawa suasana saja dan saya sudah berusaha untuk berpikir realistis. Sahabat saya menyarankan supaya saya memberitahu kamu, walau saya nggak tahu apa ini keputusan yang bijak. Saya ingin kembali merasa lega, saya ingin kembali seperti sebelumnya tapi saya nggak tahu harus bagaimana. Ini terasa seperti bukan saya. Ini tidak pernah terjadi sebelumnya, saya merasa bodoh dan malu, tapi lebih dari segalanya saya butuh perasaan lega. Perasaan kayak gini membingungkan sekali tapi saya tidak menyesali dan ikhlas—sebenarnya ada banyak bagian indah dan menyenangkannya. Saya tidak sedang berusaha untuk menambah beban pikiran kamu, semoga kamu nggak berburuk sangka ya. Saya tidak menaruh harapan tapi mungkin kamu bisa terima pesan ini sebagai curhatan teman atau pujian. Kamu orang yang baik dan berani, saya harap kamu baik-baik di sana. Semoga kamu berhasil dengan tujuanmu. -Brigitta-Agit menunggu dan terus menunggu tapi di sana, hanya ada tanda centang mungil yang menunjukkan bahwa pada Jumat pukul 6: 28 pesan itu telah terbaca.***Mereka pernah bertanya-tanya tentang banyak hal yang harus mereka korbankan untuk mengubah diri mereka dari gadis remaja menjadi wanita dewasa. Mereka tak menemukan jawabannya, mereka menjalaninya. Mereka pernah bertanya mengapa mereka harus bertahan dalam kebingungan, mereka tahu mereka tak dibiarkan menyerah dan bersabar untuk menemukan jawaban. Mereka pernah bertanya mengapa ada yang datang lalu pergi begitu saja tanpa boleh dimiliki, selalu ada alasan di sana dan mereka percaya bahwa pertemuan itu tidaklah sia-sia. Retta mendapatkan apa yang dipertanyakan. Bahwa kekuatan terbesar seorang perempuan adalah bertahan, bertahan walau kadang menyakitkan bertahan walau kadang kamu harus menukarnya dengan kepahitan. Agit mengetahui apa yang harus dia ketahui bahwa pada akhirnya dia harus jujur. Dia terlalu lama mengabaikan tuntutan hatinya untuk merasakan cinta. Mengakui perasaan itu kadang tak mengubah akhir kisahnya, malah mungkin merusak keadaannya. Tapi, setiap rasa memang harus diungkapkan. Bukan masalah berhasil atau tidaknya menjadi sebuah hubungan. Tapi, itu untuk membuktikan bahwa setiap orang boleh jatuh cinta dan juga berhak untuk dicintai. Berapa banyak penderitaan dari cinta yang tak pernah diungkapkan? Berapa banyak kesedihan dari sayang yang tak pernah dikatakan? Berapa banyak penyesalan dari kepedulian yang tak pernah ditunjukan? Mereka hanya terjebak dalam budaya yang tak membiasakan cinta harus diekspresikan. Setidaknya sekarang mereka percaya dunia akan lebih indah jika manusia menyadari bahwa mereka berhak memiliki seseorang untuk disayangi dan seharusnya orang yang disayangi memahami bahwa mereka begitu berarti.Tidak semua kisah cinta berakhir indah tapi saudara sejiwa selalu untuk selamanya.
bangunan berupa panggung terbuka dengan empat atau enam tiang beratap berbentuk seperti lumbung. Penyakit ini menyebabkan penderitanya mengalami sakit kepala, jantung berdebar-debar dan halusinasi saat melihat benda-benda seni (terutama yang bagus dan besar)
Published on November 10, 2014 02:05
Cerber: Saudara Sejiwa (4)

Mataram, akhir 2012- pertengahan 2013
Retta tak mengerti, mengapa rasa bersalah seolah menjadi penghuni tetap di setiap sudut hatinya. Dia juga sedang berada di Sumbawa Besar kala itu, dia pulang dan ketika Agit memintanya untuk bisa bertemu, mereka setidaknya bisa melepas kangen. Sayang, dia bahkan mengacuhkannya. Dan, sekarang pesan singkat Agit seolah memukulnya tepat di hati.Seandainya waktu itu, aku hang outx sama km aja. Aku ga perlu ikutan ke P. Moyo ma Marsha& tmn2x. Ga perlu jd tengkar gini sama mb’Arika :’(
Cuma itu yang Retta dapatkan dari Agit, selebihnya Retta melihat sendiri bagaimana nama Agit ditulis dengan huruf kapital di Facebook Arika dengan kata-kata yang pastinya takkan ditulis oleh orang yang bermoral dan berotak normal. Arika bisa menjadi sangat jahat jika dia mau. Seberapapun kebaikan orang lain takkan lagi bisa diingatnya. Retta tahu beberapa kali Arika minggat ke rumah Agit dulu, pernah juga Arika seminggu penuh ‘mengamankan diri’ dari amukan keluarganya di kosan Agit. Retta tahu siapa Agit dan Arika dan dengan jelas bisa menentukan mana yang antagonis dan protagonis.Selain itu Retta tahu betapa Marsha dan Agit tak pernah sejalan. Sebenarnya menghabiskan waktu bersama Marsha adalah cobaan besar bagi Agit— mereka bersaudara tapi satu-satunya yang membakar gairah diantara mereka berdua adalah persaingan, sibling rivalry diantara mereka sangatlah kuat. Sementara mau tak mau harus Retta harus mengakui bahwa hubungan antara dirinya dan Agit persis seperti pepatah dalam bahasa Sumbawa ‘Mana si tau sebarang kayu. Lamen toq senyaman ate. Ba nan si sanak parana.’ Yang berarti ‘Walau siapapun itu, orang sembarangan sekalipun. Kalau mampu membahagiakan dirimu. Sesungguhnya dialah saudaramu.’ Retta tak memiliki saudara perempuan dan Retta tahu dimana menemukan Agit ketika Retta membutuhkannya. Namun, dimana dia sekarang ketika Agit begitu membutuhkannya? Retta ingin berada di sana, tapi apa daya Retta harus menyelesaikan sendiri masalahnya. Retta ingin seperti Agit menyimpan beban untuk ditanggungnya sendiri, bukankah memang lebih baik untuk berpura-pura bahagia daripada harus menceritakan pada dunia betapa kamu menderita. Retta tak bisa apa-apa sekarang ini, ada yang harus Retta selesaikan, ini menyangkut hidupnya dan masa depannya. Retta tak ingin menceritakan, karena menurutnya apa yang dihadapinya terlalu kelam untuk menjadi kenyataan.Kehidupannya di tahun ini tak terlalu buruk, masih ada beberapa hal yang disyukurinya, dia akan mendapat pekerjaan baru. Dan juga Singapore-Malaysia menunggunya, dia akan menjadi duta budaya, dia akan menari di sana ikut serta dalam program pemerintah memperkenalkan kekayaan tanah kelahirannya dalam visit Lombok-Sumbawa. Ketika mendapat kabar bahagia itu, Retta merasa sangat beruntung tapi tak lama berubah menjadi nelangsa karena yang dia tahu ada hal yang lebih menyedihkan dibanding tak memiliki siapapun di saat kamu terpuruk, yaitu; ketika kamu begitu bahagia tapi tak ada sahabat perempuanmu yang akan ikut berbahagia bersamamu.*** Seteluk, akhir 2012- pertengahan 2013 Seperti roda yang berputar lagi, episode kesepian dalam hidup Agit seolah terulang lagi. Dulu, tanpa Retta dia masih memiliki Arika, tapi Arika memusuhinya sekarang, karena cemburu buta. Lagipula, tak seluruhnya kesalahan Arika semata. Agit juga memiliki kesalahan yang sama besarnya. Dia mengacuhkan Arika, menolak teleponnya, mengabaikan SMS-nya, bahkan permintaan maafnya. Agit hanya tak percaya lagi pada Arika. Agit terlampau kecewa, hingga pilihan bijak menurut Agit adalah mengabaikan dan menganggap Arika tak pernah ada dalam hidupnya. Sebuah SMS di pagi hari lebih setahun silam yang mengatakan bahwa Arika terlibat one night stand dengan Devon membuatnya terluka. Terluka, karena ia telah memberikan kepercayaan yang besar pada Arika. Beberapa bulan sebelum ‘tragedi’ Agit memberikan ‘suaka’ kepada Arika, saat itu Arika berjanji untuk mengubah hidupnya lebih baik. Arika melanggar janjinya! Itu yang memberatkan Agit. Seandainya itu hanya menyangkut Arika, tapi tidak. Itu juga menyangkut Lovita, putri kecil milik Arika. Arika meninggalkan si kecil demi menyusul Devon ke Bali dan kembali lagi seperti Arika sebelumnya— si gadis manipulatif biang masalah. Dengan kepalanya yang masih panas. Arika berkesimpulan bahwa apa yang terjadi dengan Agit, dikarenakan kecemburuan Agit padanya. Agit juga jatuh cinta kepada Devon, seperti dirinya. Namun, Agit tak membuka kesempatan bagi dirinya untuk menjelaskan kebenarannya, Agit membiarkan segalanya menjadi kesalahpahaman. Tidak jelas siapa yang diuntungkan atau dirugikan. Dan, mungkin memang seharusnya segala emosi, entah baik atau buruk harus dikatakan. Karena jika tidak, banyak cara menjadikannya sebagai kesedihan. Mengatakan apa yang hati rasakan memang tak pernah semudah membalikkan telapak tangan.*** Seteluk, akhir 2012- pertengahan 2013
Agit masih menyimpan screen shoot dari pesan yang dikirim Devon padanya, sekarang sudah setahun lebih. Pengalaman itu sungguh traumatis buat Agit. Menukar persahabatan dengan permusuhan karena seorang pria? Agit tak bisa membayangkan, memang dulu, di jaman sekolah Agit pernah memiliki seperti ini, mantan pacarnya pacaran dengan temannya. Tapi, itu biasa saja, karena toh itu mantan. Sementara Agit dan Arika bagai saudara dan ini terjadi di saat usia mereka tak lagi muda, seharusnya mereka lebih dewasa. Peristiwa seperti ini seharusnya tak boleh terjadi. Agit ingat jelas isi pesan Devon yang terkirim di facebooknya.Agit ingin percaya jika apa yang terjadi antara Arika dan Devon adalah reaksi kimia karena cinta. Walau cinta menurut Arika tak mungkin begitu adanya. Terjadi begitu, cepat, singkat dan sangat panas. Agit hanya menyangsikan, bahwa cinta bisa begitu membutakan, bisa membuat banyak kesalahan terjadi dengan mudahnya. Agit ingin tahu apakah cinta bisa seperti itu. Agit memang pernah jatuh cinta dan tak hanya sekali. Namun, reaksi cinta dalam diri Agit seperti mesin diesel, terlalu lama ‘panasnya’. Agit harus bersahabat dulu, bersama untuk beberapa waktu dan baru memutuskan apakah hatinya sudah diperbolehkan untuk berlabuh. Dalam cinta, Agit masih membiarkan polos dan sifar naifnya berlaku. Suatu hari nanti, Agit ingin tahu apakah cinta bisa terjadi seinstan dan segampang itu, agar Agit bisa memahami. Mengapa Arika mampu menukarnya dengan rasa benci. Part 4 Denpasar, September-Oktober 2013 Retta merasakannya, kekosongan di dalam dirinya seperti lubang yang menganga, yang siap menelannya mentah-mentah. Dia berpikir bahwa hidup seharusnya tak mungkin bisa terasa begitu hampa. Lelah, ketika dia berpikir dia sudah berusaha namun hasilnya sia-sia. Terlalu banyak tenaga yang menghilang begitu saja, tapi hasil tak didapatkannya. Menyesal, kenapa begitu banyak waktu yang dia buang dengan percuma di masa kuliah. Setidaknya sekarang lebih baik, berusaha menjalani usia dewasa, dua puluh tujuh tahun! Betapa dia merindukan menjadi gadis remaja, dia ingin tertawa karena ketika remaja dia begitu ingin menjadi anak-anak. Sementara ketika anak-anak dia begitu tak sabar untuk tumbuh dewasa. Keinginan dan kenyataan memang kadang tak sejalan.Di saat seperti ini, seharusnya dia memiliki teman bicara, seseorang yang mengubah kecemasannya menjadi tawa. Secara energi, Retta bertenaga besi. Namun dia tahu, seseorang di sana bisa membuatnya menemukan kekuatan untuk menjadi lebih berani, Agit lah orangnya. “Kamu selalu tahu, di mana bisa menemukanku ketika kamu butuh.” Ya, Retta tahu itu. Kata-kata yang selalu diucapkan Agit dulu, kini terdengar seperti mantera menenangkan di telinga Retta. Namun itu memiliki efek yang hanya bertahan beberapa nano detik, sesudahnya tiba-tiba saja rasa malu menjalari sekujur tubuhnya. Sungkan dan segan membuat Retta tak nyaman.Seingat Retta, Agit selalu bisa memaafkan. Lagipula, dia tak melakukan kesalahan apapun, kecuali ... pengabaian. Bukankah pengabaian lebih buruk dari kebencian? Semoga saja semuanya belum berubah, semoga Agit masih seperti sedia kala.*** Seteluk, September-Oktober 2013 Agit belajar mencurahkan seluruh cinta miliknya kepada apa dan siapapun yang menerimanya; pekerjaan dan juga hobinya. Itu hidupnya sekarang, belakangan makhluk hidup begitu mengecewakannya, tapi itu bukan hewan atau tumbuhan. Seandainya dia memiliki rumah pribadi, dia ingin memelihara kelinci atau hamster. Seandainya dia memiliki lahan, dia ingin memiliki taman bunga matahari.Agit terlalu keras pada dirinya sendiri, dia membuat jadwal yang tak masuk akal. Bangun jam dua pagi, mengetik novel atau cerpennya hingga matahari menyapa, berangkat kerja hingga jam dua, jika tak ada kegiatan di sekolah dia akan menari Zumba di sore harinya. Malam hanya dinikmatinya hanya beberapa jam setelah matahari terbenam. Rutinitasnya benar-benar payah, dia seolah tak lagi tertarik dengan kehidupan bermasyarakat, interaksi sosialnya hanya di dunia maya, itupun cuma bentuk ocehan. Dia kembali menjadi si sinting yang menjadikan tembok facebook sebagai teman bicaranya.“Aku harus kerja keras, ada dua adik laki-lakiku yang masih harus terus sekolah dan kuliah!” Itu jawaban Agit ketika keluarganya mempertanyakan alasan kenapa dia tak pulang di akhir pekan atau saat liburan. Dan tak ada yang berani menanyakan tentang kehidupan asmaranya, Agit berusaha untuk mematikan keinginannya memiliki relasi romantis. Agit perlu pertolongan, tapi dia begitu keras kepala.Memang ada saat Agit ingin sejenak mengambil jeda tapi setiap kali Agit mencoba, ketakutan menyerangnya. Agit tak ingin lagi merawat rasa malas, menurutnya malas adalah umpan untuk kegagalan. Agit kadang menjadi tidak realistis, dia berharap bisa mencurangi si energi dan bernegosiasi dengan waktu. Agit lupa dia manusia biasa dan Agit bisa terbaring lemah dan menjadi tak berdaya.Tak ada siapa-siapa, dan satu-satunya tempat yang bisa dia beritahu adalah kolom mungil yang menggodanya dengan pertanyaan; What’s on your mind? Rasa frustasi akhirnya membuat dia menulis kalimat yang ... setidaknya mampu mengembalikan miliknya yang hilang.I really need my best friend right now. I've been acting like I'm okay, but I'm not :’(*** Denpasar, Oktober 2013 Retta sudah tak tahan, rekan kerjanya sungguh menyebalkan! Resign lagi? Tak mungkin, dia butuh membiayai kehidupannya. Sekarang dia tengah training dan dia juga menjadi pendukung dalam event sebesar APEC karena perusahaannya sedang menjadi sponsor pendukung, memang pengaruhnya nyaris tak ada di sana tapi setidaknya dia harus menunjukkan loyalitasnya dan tak mungkin untuk kabur begitu saja. Menjadi wakil area Lombok Barat, Retta tak betah, teman timnya tak sejalan dengannya. Apalagi nanti untuk kerja lapangan, berkantor di mobil dan sepanjang jalan, memberi pelayanan hingga ke pelosok terdalam nantinya. Dengan rekan kerja seperti dua temannya. Retta harus makan hati.Tidak, terima kasih.
Beruntung Retta bertemu dengan wakil dari Sumbawa Barat yang tengah mengalami masalah, satu orang dari tim-nya akan resignsesudah event ini karena baru saja mendapat pekerjaan baru di sebuah Bank. Chauvinisme mau tak mau muncul dipermukaan. Solidaritas kedaerahan membuat wakil dari Sumbawa Barat merasa harus memperjuangkan nasib Retta. Kak Han dan kak Deni yang baru dikenal Retta itu mengajaknya bergabung di tim-nya. Retta tak keberatan, karena mungkin inilah jalannya untuk kembali bertemu Agit. Agit tinggal di Seteluk, Sumbawa Barat. Namun, Retta ragu, mungkinkah Agit tak menolaknya? Hingga status update terbaru Agit yang menguatkannya dan membulatkan tekadnya. Retta harus ada di sana segera, karena sekarang Agit butuh sahabatnya.
Bersambung
Published on November 10, 2014 01:59
Cerber: Saudara Sejiwa (3)

Sumbawa Besar, Akhir Oktober 2012 Agit sebenarnya ingin membenci, tapi menurut Agit membenci adalah emosi yang tak boleh dimiliki, karena itu menyakitkan sekali. Dan, nantinya hatilah yang paling merasakan pedih. Agit sungguh tak mengerti kenapa bisa begini.Memutuskan ikatan persahabatan hanya karena seorang pria? Agit jarang menggunakan kata pria, lidahnya lebih sering mengucapkan kata cowok untuk menyebut gender tersebut. Namanya Devon dan sekarang Agit berharap tidak pernah bertemu dengannya. Devon itu berusia dua puluh sembilan tahun, tiga tahun lebih tua darinya, itulah kenapa dia menyebutnya pria, itu bukan karena jumlah umurnya yang menjadikan dia layak disebut pria, tapi sikapnya. Devon adalah pria pertama yang membuat Agit nyaman berdiskusi dengannya, dan juga orang pertama yang membuat Agit merasa dipandang sebagai seorang perempuan bukannya cewek.Eits sepertinya kita harus meluruskan sebelum kesalahpahaman menjadi sebuah persoalan besar. Karena hubungan Agit dan Devon benar-benar menjadi masalah yang besar. Agit tidak memiliki perasaan ... semacam suka atau sayang atau sejenisnya kepada Devon. Agit hanya merasa Devon adalah orang yang tepat untuk diajak berdiskusi, walau harus Agit akui mereka memiliki kendala, bahasa Inggris Agit tidak terlalu bagus, belum lagi indera pendengarnya sering kali berfungsi tidak maksimal, dan logat Swiss-Jerman Devon terlalu kental. Sekedar informasi Devon adalah seseorang yang Agit dan Marsha kenal dari situs CouchSurfing, dan mereka memberi Devon tumpangan di rumah orang tua mereka.Bertemu seseorang yang menunjukkan wajah antusias ketika mendengarnya bicara dan mereka memiliki hobi yang sama serta adanya ‘unsur pemanfaatan’ Agit yang menjadikan Devon sebagai narasumber di kelasnya yang sungguh seperti sebuah kesempatan langka yang menjadi kenyataan. Di kelas XII Agit sedang membahas materi Sistem Pemerintahan di Dunia dan kebetulan negara si Devon ini satu-satunya negara yang bersistem referendum. Terdengar sederhana, kan? Tapi tidak bagi Arika. Arika, Agit, Marsha, Devon dan beberapa teman lainnya menghabiskan waktu bersama selama liburan, hingga di penghujung liburan, sepulangnya mereka dari Pulau Moyo, masalah itu seolah berguling menjadi bola salju yang membesar, membesar dan menghantam!Agit awalnya cuma minta ijin untuk merekam Devon dengan meminjam kamera Marsha. Dia hanya akan meminta Devon untuk menceritakan beberapa fakta tentang pemerintahan negaranya. Tapi, Devon berpikir akan jadi ide bagus jika dia berkunjung ke sekolah, dia bahkan bercerita bahwa ibunya adalah guru. Sayang, ayah Agit nggak suka Devon mengikuti Agit pulang ke kosannya.“Apa kata orang kalau kamu membawa-bawa orang asing dan memberi tumpangan di tempatmu? Kamu itu ngekos bukan punya rumah pribadi, apa kata orang?” Ayah Agit mengulangi kata apa kata orang dua kali, seakan itu adalah penegasan yang tak boleh dibantah, dan memang begitulah adanya. “Kenapa sih kita harus selalu mikirin kata orang, pak?” khas Agit, menjawab pertanyaan dengan pertanyaan.Ayahnya terdiam sejenak dan mulai mengeluarkan kata yang tak boleh dibantah. “Pokoknya nggak boleh, titik.” Betapa orang tua bisa menjadi seorang diktator kejam tanpa ampunan. Agit tak mengerti kemarin ayahnya sangat ramah pada Devon dan sekarang ayahnya bahkan menunjukkan ekspresi permusuhan, mereka bahkan merayakan Idul Adha bersama. Ayahnya bahkan tak ingin berjabat tangan ketika Devon pamit, hari itu rencananya Devon dan Agit akan berangkat ke kosan Agit tapi rencana berubah, Devon akan menyusul nanti. Untuk sementara Devon tinggal di tempat Arika.*** Seteluk-Maluk-Seteluk, Oktober 2012 Agit itu nggak boleh capek, badannya emang payah, dan imunnya sangat manja. Agit sakit, tapi dia kasihan ketika besoknya Devon memenuhi janjinya. Devon muncul di sekolahnya, padahal dengan mempertimbangkan sikap ayahnya Agit, dia berharap Devon tak usah datang menemuinya. Walau sebenarnya Agit sangat berterima kasih pada ‘kehebohan kecil’ yang diciptakan Devon di kelasnya, cekikikan-cekikikan genit anak-anak cewek dan pandangan tak bisa di jelaskan di wajah anak-anak cowok. Belum pernah pelajarannya mendapat antusias seperti itu sebelumnya. Bahkan, bahasa dan pemahaman tak menjadi kendala.Agit memang nggak enakkan, tadinya dia hanya akan berterima kasih atas kebaikan Devon dan mereka akan saling mengucapkan selamat tinggal sesudah Devon mengunjungi sekolahnya. Tapi, tidak begitu. Devon malah mengajak Agit untuk mengunjungi pantai Maluk, terakhir kali ke Maluk adalah ketika Agit KKN, Agit KKN di tempat bernama Sekongkang dan untuk mencari hiburan Agit dan teman-temannya kadang ke sana. Tapi, Agit benci pantai. Agit nggak suka suasana pantai, Agit suka laut! Pantai terlalu sering dikomersilkan dan jadi sasaran dari mereka yang tidak bertanggung jawab. Sementara laut selalu memberi efek menenangkan buat Agit. Agit selalu bahagia saat berada di lautan. Mereka duduk di kursi yang saling berhadapan. Ada meja kayu diantara mereka, masih terlalu panas untuk duduk-duduk di pasir. Devon yang pertama kali dikenalkan Agit dengan mangga beberapa waktu lalu, kini menjadikan mangga sebagai favoritnya, dia menikmati jus mangganya. Sementara Agit memilih larutan penyegar. Badannya demam dan terasa ada yang membakar di dalam tenggorokkan. Mereka diam untuk beberapa saat, mengacuhkan betapa indahnya lautan, karena masing-masing suara dalam kepala mereka sebenarnya ingin membicarakan apa yang seharusnya mereka bicarakan. Tapi, Agit akan lebih suka kalau seandainya bisa melupakan apa yang ingin dia bicarakan. Apa yang ada di otaknya menjadi semacam beban yang membuat dia bisa melihat bintang-bintang berputar seperti halo di sekeliling kepalanya. “Mau membahas kenapa ayahmu bersikap buruk padaku?” Devon menatap dalam pada mata Agit, Agit memilih untuk mengalihkan pandangan dari mata berwarna biru kehijauan itu. Matanya membuat Agit teringat banyak hal indah, biru dan hijau dua warna alam yang membuat nyaman. Namun, sinar matanya membuat Agit tak ingin menatap mata itu lama-lama.“Entahlah,” Agit mengangkat bahu. Agit sungguh-sungguh tak tahu dan kalaupun Agit tahu Agit takkan mengatakannya.“Apa itu semacam proteksi untuk anak gadisnya?” Pertanyaannya bernada tuntutan akan sebuah alasan. Dia tak memerlukan jawaban sesederhana ya atau tidak, apalagi sebuah kebisuan. “Mungkin,”“Aku tak ingin kata mungkin.”“Jadi?”“Apa kita harus membahasnya?” Agit terdengar tak sabaran, apalagi beberapa SMS dari Arika membuat dia sedikit kerepotan. Arika bercerita tentang betapa begonya Devon yang bersikap terlalu sopan pada perempuan. Dasar Arika, memangnya dia mau lelaki mesum kurang ajar? Tapi yeah Arika adalah jenis orang yang suka tantangan, malah terlalu berani hingga rela menanggung resikonya dengan suka cita. Arika menikmati hidup dengan cara dan aturannya sendiri, tapi ketika dia mendapat masalah dia selalu menyeret orang-orang dalam hidupnya dan itulah yang kurang disukai Agit.“Menurutku harus, apa dia khawatir? Aku tak berniat jahat, sungguh.” Agit mulai merasa tak nyaman, dia mengambil majalah dari tasnya dan memutuskan untuk membaca. Agit tahu itu adalah hal terbaik yang bisa dia lakukan, dia benci menjawab apapun yang tak bisa atau tak ingin dijawabnya. Masalahnya sekarang Agit tak melihat kesempatan untuk bisa menjawab pertanyaan Devon dengan ‘pertanyaan’.“Aku ingin membaca dan sepertinya laut memanggilmu untuk berenang.” Agit bahkan tak mau mengangkat wajahnya, padahal itu majalah lama dan dia sudah pernah membaca isinya. Tadi, Agit asal saja mencomot majalah dari rak bukunya. Dia sengaja mengabaikan Devon dan menunjukkan wajah antusias tak alamiahnya pada artikel berjudul (Not) Just a Geek yang berisi profile singkat para cowok nerd yang menurut Agit itu seksi, Agit selalu suka pada cowok bertampang cerdas dan sedikit malu-malu. Apalagi cowok-cowok itu adalah mereka yang berada di belakang layar kesuksesan sosial media, yeah si famous Mark Zuckerberg salah satunya, tapi Agit lebih suka pada David Karp, si founderdan CEO Tumblr. Dari sini harusnya kita bisa menebak bahwa Devon bukan tipe Agit, apalagi Devon berasal dari dunia politik. Agit tak punya alasan untuk memberi kepercayaan padanya.Sayang, Devon sepertinya tak ingin menyerah. “Kamu tahu, kadang aku merasa kamu seperti ibuku ... “Hah? Agit nyaris naik darah! Agit dipikir kayak emak-emak?“Kalian sama-sama guru, suka sekali membaca. Seharusnya kamu tak terjebak di sini. Kamu harus tinggal di tempat kamu bisa menemukan banyak buku. Toko-toko buku, perpustakaan, juga galeri seni. Aku tahu kamu adalah tipe yang tertarik kepada seni. Matamu berbinar ketika melihat sesuatu yang indah.”Agit lama bisa mencerna dan mengerti apa yang Devon katakan, tapi setelah itu dia mengangguk-angguk pelan. Entah apa yang harus Agit katakan untuk merespon kata-kata Devon, dia sungguh tak punya ide.“Kamu dan ibuku pasti akan cocok satu sama lain. Devon mengambil majalah dan menutupnya. Kalian akan membahas Les Miserables, The Great Gatsby, Anna Karenina. ““Hey Devon, kamu lihat gadis di arah jam tiga? Dia memperhatikanmu.” Gadis sintal berkulit cokelat dengan anting sebesar gelang yang menurut Agit tidak cocok dengan suasana pantai, nampak tengah memperhatikan Devon. Gadis-gadis seperti itu banyak di sekitar pantai dan seseorang seperti Devon adalah target mereka. “Berikan senyummu,” Agit setengah berbisik, tapi Devon malah memandanginya dengan antusias. “Kamu kemarin dan hari ini berbeda.”“Kamu hanya melihatku dengan sudut pandang berbeda, kemarin di rumah aku adalah si gadis yang memakai tank top dan hotpants, dan kamu terkejut ketika aku di sini. Aku bekerja di sini, memakai jilbab dan baju sopan. Dan sekarang...” Agit merentangkan badannya dan mengamati tunik merah hitam casual lengan panjang dan leggingsebatas mata kakinya. “Di saat kerja aku berjilbab, semacam seragam.” Dan di luar walau tak berjilbab tapi aku berusaha sopan. Di rumah, selamanya aku dianggap gadis kecil orang tuaku. Di sini, aku tak boleh begitu. Aku sedang berusaha untuk mengubah pola pikirku, ini bukan soal fashion. Ini kenyamanan dan yeah, mungkin aneh buatmu dan jangan bertanya ... kumohon... aku tak ingin menjelaskannya.”“Bukan itu, tapi sikapmu. Bukan yang kamu kenakan yang menjadikan siapa kamu ... Brigitta ... kamu sedang tidak menjadi dirimu sendiri.” Agit benci ketika seseorang menggunakan nama utuhnya bukan panggilannya. Di rumah, jika orang tuanya memanggilnya begitu, itu berarti dia ada dalam masalah, dan sekarang nampaknya itupun akan berlaku sama. Agit melipat kedua tangannya di dada dan wajahnya tak lagi memiliki ekspresi. Devon berdiri, mengambil ransel pinjaman Agit yang berisi barang-barangnya, karena ranselnya sendiri terlalu besar. Devon mengeluarkan dompetnya dan meminta Agit untuk ke kasir. Dia mengeluarkan kain pantai Bali berwarna kuning dan menyerahkannya ke Agit. “Aku akan ganti baju, dan sebaiknya kamu menungguiku berenang.” Agit memutar bola mata.*** Maluk-Seteluk, Oktober 2012 Agit minta pulang cepat. Dia tidak ingin berlama-lama di pantai. Jangan sampai mereka melewatkan sunset bersama. Agit tak mau melewati moment romantis bersama seseorang seperti Devon. Sebenarnya dua hari lalu mereka menikmati sunset bersama di perahu sepulangnya mereka dari pulau Moyo. Agit masih bisa mengingat dengan jelas, bagaimana Arika tertidur dan bersandar di lengan Devon. Arika mencari-cari kesempatan. Sementara dia dan Devon duduk saling berhadapan dan berbagi sebuah papan. Marsha dan teman-teman lainnya, duduk agak jauh dari mereka. Agit merasa terintimidasi duduk berhadapan dengan Devon, apalagi dia mulai mengajaknya bicara. Berbicara dengan keras dan setengah berteriak, melawan suara mesin perahu yang bising.“Aku suka namamu! Dalam bahasaku Brigitta berarti kekuasaan, kamu adalah gadis yang kuat. Itulah yang dibutuhkan oleh perempuan, menjadi kuat dan memiliki kekuasaan.”Agit kurang suka arti namanya menurut versi orang Swiss. Brigitta, bukan nama yang dipilih oleh orang tuanya karena mereka kebule-bulean. Brigitta adalah dua kata dalam bahasa Sumbawa yang digabungkan. Briberarti senang dan Gitta artinya melihat. Yang bisa diartikan sebagai sesuatu yang senang dilihat atau diperhalus menjadi sesuatu yang senang dipandang karena keindahannya. Agit tak mau repot-repot menjelaskannya pada Devon. Agit memilih untuk mengalihkan pandangannya dari pria yang ekspresinya menjadi cerah karena hampir dua menit sekali bibirnya membentuk sebuah senyuman. Agit memutuskan memandang matahari terbenam yang tampak memberi efek ajaib pada langit yang berwarna jingga keemasan. Agit bahagia karena laut selalu memberinya alasan untuk bahagia. Sementara tanpa Agit sadari, bahwa Devon mengambil kameranya dan membidik gambar Agit yang setengah bersandar pada badan perahu dan memandang ke mentari terbenam. Ada dua hal indah terekam di sana.Di sepanjang perjalanan pulang, beberapa kali Devon mengajak Agit mampir di pantai-pantai yang mereka lewati. Agit sedang dalam mood jelek lagipula demam Agit semakin tinggi. Dia tak ingin menunjukkan betapa dia sedang sakit, mereka akhirnya mampir di sebuah tempat makan sederhana. Agit bahkan tak menyentuh makanannya. Sebenarnya Agit kasihan pada Devon, karena dia merasa telah merusak perjalanannya. Tapi, mau dikatakan apalagi, kesehatannya sendiri toh tak ingin bersahabat dengannya. Mereka akhirnya pulang ke kosannya Agit, tak seperti Agit yang biasa dia tak banyak bicara walau Devon mengajukan banyak topik yang sebenarnya menarik. Agit duduk di sofa tiupnya yang seperti sebuah balon bundar, sementara Devon bersandar pada sofa itu, itu membuat Agit risih, apalagi dengan postur jangkungnya Devon dan mengingat betapa mungilnya Agit, mereka sekarang tampak dekat dan sejajar dalam posisi ini.Mereka terdiam dan pura-pura tertarik pada televisi yang memutar film horror lama, The Sixst Sense. Setidaknya bukan drama romantis dimana adegan ciuman dan saling menggoda nyaris menjadi menu utamanya. Untuk pertama kalinya Agit bersyukut televisinya payah karena televisinya tak lagi berfungsi sempurna, layarnya hanya berwarna hijau, itu membuat semua orang tampak seperti monster atau alien. Devon bertanya kenapa televisinya seperti itu, dengan cuek Agit menjawab bahwa televisinya aktif melawan Global Warming—salah satu usaha mendukung program Go Green! Di adegan ketika ibu si Cole tampak sangat frustasi, Agit menggunakan moment ini, dia meniru dialog yang sudah dihafalnya—Agit sudah menonton film ini belasan kali karena Fox Movies memang memutarnya sering kali.“God, I am so tired, Devon. I'm tired in my body. I'm tired in my mind. I'm tired in my heart. I need to sleep.” Suara Agit terdengar serak, ketika Agit bangkit tak sengaja Devon menyentuh lengannya dan dia merasa badan Agit terlalu panas, kekhawatiran terlukis di wajahnya.“Kamu sakit?”“Aku akan baik-baik saja, aku harus pergi sekarang, aku akan numpang tidur di tetangga.” Agit tak berbalik, dia hanya menyambar dua handphone-nya. Biasanya dia akan mengecek handphone-nya, tapi malam ini dia bahkan lebih lelah dari ibu yang memiliki anak laki-laki berindera keenam. Mengambaikan sejumlah SMS dan missed call di handphone-nya. Agit memakai mode silent, dia hanya ingin tidur tanpa terganggu, walau menumpang tidur di kamar tetangga sebelah saat sakit tidak memberi kenyamanan, tapi tidak ada pilihan lainnya. SMS-SMS di handphone-nya bertambah banyak dan itu berasal dari satu orang. Di suatu tempat di sana, ada kecemasan seorang Arika, yang berpikir kejadian romantis kemarin malam bersamanya tengah terjadi antara Devon dan Agit. Bukti bahwa dia bukan sahabat sejati Agit, karena jika dia mengenal Agit secara baik, maka dia tak perlu berpikir picik. Agit tak mungkin jatuh cinta pada orang yang baru ditemuinya. Tidak ada orang waras yang berniat jatuh cinta pada orang yang dia tahu takkan pernah lagi bisa dia temui.
Bersambung
Published on November 10, 2014 01:51
Cerber: Saudara Sejiwa (2)

Seteluk, Maret 2009- Pertengahan 2012 Mulai pertengahan Maret 2009, Agit seolah tak lagi memiliki kehidupan nyata. Ralat. Kehidupan nyatanya hanya sebatas sembilan puluh menit di sore hari pada hari Selasa, Kamis dan Sabtu. Itu jadwal mengajarnya, di sebuah SMA baru yang masih menumpang di gedung SMP dan hanya memiliki tiga kelas, dan setiap kelas berjumlah tak lebih dari dua puluh anak. Secara pendidikan dia seharusnya mengajar Pendidikan Kewarganegaraan tapi pada prakteknya dia mengajar Sosiologi, hanya karena dia anak bawang dan pendatang, belum lagi karena kepentingan mereka yang berstatus guru profesional dan bersertifikasi jadilah dengan tidak rela tapi pura-pura memasang sikap ‘Okay nggak masalah’ karena ... siapa coba yang nggak mengalah kalau mereka sudah mengeluarkan mantera pamungkas “Kan, mbak Agit belum menikah, belum ada tanggungan, ya bantulah saya, ya cuma ini caranya supaya tunjangan sertifikasi saya dibayar.” Ya, semua orang butuh uang tapi Agit butuh belajar tentang kehidupan, dan itu adalah pelajaran kecil yang didapatkannya. Agit hanya hidup secara nyata untuk siswa-siswanya, selain itu dia akan menyembunyikan wajahnya di balik buku, handphone, atau netbook-nya. Bukannya Agit anti sosial atau semacamnya, dia hanya merindukan mereka yang ada di kejauhan, karena orang-orang yang berada di sekitarnya, menganggapnya seperti makhluk hologram. Kos-kosan pertama Agit di kampung itu hanya sebuah kamar kecil yang dulunya adalah garasi yang beralih fungsi menjadi toko dan perubahan terakhir resmi menjadi kamarnya. Bagian kecil dari rumah yang dijaga oleh seorang janda yang dipanggil Aya —yang berarti bibi dalam bahasa halus Sumbawa bagi mereka yang berdarah biru. Aya ini memiliki seorang putri yang hanya dua tahun lebih tua dari Agit, namanya Tanti dan seperti ibunya, perkawinan usia mudanya juga kandas. Pemilik rumah tersebut adalah Gyan, anak berumur tiga belas tahun, yatim piatu malang yang bahkan juga kehilangan ibu angkatnya. Ibu angkatnya yang dipanggil mami adalah pemilik asli rumah bergaya semi oriental itu. Tapi, mami meninggal saat umur Gyan sebelas tahun tinggallah Gyan diasuh oleh sepupu mami itu. Mami memiliki seorang putri tunggal yang sekarang tinggal di Maumere bersama suaminya yang berkebangsaan Jepang. Karena itulah mami akhirnya mengangkat Gyan sebagai anak. Mami adalah pribumi asli, tapi mami yang eksentrik itu tergila-gila pada berbagai hal yang berbau oriental, dari foto-foto yang menampakkan wajahnya di tembok rumahnya bisa disimpulkan bahwa beliau mengidentifikasi dirinya seperti wanita keturunan Cina atau Jepang, obsesi yang akhirnya diwujudkan oleh Memey putrinya.Agit berusaha beradaptasi di rumah itu, tapi keadaan tak memungkinkan. Tidak ada kesamaan antara dirinya dengan penghuni lain di tempat itu, termasuk dengan Ninda yang dulu satu SMA dengannya yang juga menyewa kamar di sana atau dengan Oni, cowok pemalu yang langsung menutup pintu tiap kali bertemu muka dengan Agit. Jadi, untuk mengatasi kesepiannya Agit mengubah jadwal hidupnya. Dia akan terjaga sepanjang malam dan mulai tidur setelah sholat Subuh, jam dua belas siang barulah dia bersiap-siap ke sekolah, mengajar sepenuh hati jika dia ada kelas dan menjadi Zombie sesudahnya karena kehidupan sekolah seakan tak mengundangnya untuk bersosialisasi dengan jajaran rekan kerja lainnya.Betapa dia merindukan sahabat-sahabatnya yang masih betah berstatus mahasiswa, Agit kesal kenapa harus wisuda lebih dulu dan menghadapi kehidupan penuh tanggung jawab terlalu cepat. Tapi, Agit anak pertama dia punya tanggung jawab yang tidak harus dipikul oleh teman-teman lainnya. Kadang Agit berpikir dia bisa lebih nyaman berada diantara sahabat-sahabatnya dibanding di tengah keluarganya, di rumah dia merasa terintimidasi karena harus selalu berprestasi dan berprestasi atau melakukan sesuatu yang berarti, “Jangan menyia-nyiakan hidupmu! Lihat apa yang terjadi kepada orang tuamu!” Dari cerita yang diketahuinya bahkan ketika dia masih begitu belia, orang-orang selalu berkata betapa ayahnya ketika semasa sekolah begitu cemerlang, cerdas dan luar biasa tapi begitu suka menikmati segala hal yang ditawarkan kehidupan—salah satu penyebab kegagalannya. Sementara, ibunya adalah tipikal gadis dengan banyak teman, kreatif dan aktif. Orang tuanya adalah pasangan yang terlihat sempurna bersama, tapi pernikahan usia muda harus mereka tukarkan dengan kandasnya impian dan keberhasilan yang harusnya menjadi milik mereka. Dan, itulah hal yang tak boleh diulangi oleh Agit, walau Agit berpikir betapa menyenangkan seandainya bisa sukses di usia muda dan menemukan jodoh di saat usia bahkan belum menginjak dua lima, tapi ... namanya kehidupan, kamu tidak bisa mendapatkan semua keinginan di saat yang bersamaan.Agit memang pantang menyerah dan pantang menyesal. Agit akhirnya mengubah banyak hal dalam hidupnya. Pertama-tama dia mulai pindah kosan, menata hidupnya, belajar jadi vegetarian tapi hanya bertahan beberapa bulan karena Agit terserang demam tifus. Agit menghabiskan banyak waktu untuk membuat banyak cerpen juga novel. Agit menghubungi teman-teman yang pernah ditemuinya, sebagian besar sibuk, sahabat terbaiknya malah menghindarinya dengan cara yang tak dimengertinya, sejujurnya itu membuat Agit terluka. Dan, satu-satunya yang masih tersisa adalah dia si ‘biangnya masalah’ mbak Arika namanya. Entah karena kasihan atau memang peduli Agit memilih merangkulnya. Kebutuhan akan ikatan persahabatan antar perempuan mengubah hubungan mereka jadi ikatan persaudaraan. Sedikit pesan, karena darah masih lebih kental daripada air, seharusnya Agit memiliki alasan untuk waspada. Hal lain yang Agit lakukan adalah membuka dirinya, menambah jalinan pertemanannya yang baru, bukan terus menerus mengharapkan mereka yang seolah tertinggal di masa lalu. Agit tahu pasti manusia adalah makhluk sosial tapi seiring berjalannya waktu dan sekolahnya sudah memiliki dua belas kelas. Agit tak banyak lagi memiliki banyak waktu untuk bersosialisasi di dunia nyata. Maka, dia memutuskan untuk mengikuti jejak Marsha— adiknya, dia membuat akun di CouchSurfing yang dia aktifkan di saat liburan semester. Minimal dia bisa memperkenalkan pulau kecil kurang terkenalnya kepada dunia, dan yeah bertukar pengalaman dan menambah teman bisa jadi bonusnya. Selain itu ... Agit memang bosan kesepian. Ini tahun keempat dia menjalani hidup di tempat orang, dia seharusnya melakukan sesuatu agar tidak bosan. Namun, seperti yang kita tahu setiap keputusan memiliki sesuatu untuk ditukarkan. Dan Agit mungkin menukarnya dengan sesuatu yang menjadi sebuah kesalahan.*** Mataram, Agustus 2009- Pertengahan 2012 Setelah Agit wisuda, Retta memutuskan untuk pindah, mencari suasana baru. Memang masih ada teman-teman lain di kosan itu, tapi tanpa Agit ada yang kurang di hidup Retta. Retta memutuskan untuk pindah di kos campuran, kos yang hanya berisi para perempuan memiliki lebih banyak masalah dan yang pasti kurangnya kebebasan. Tapi, kebebasan seperti apa lagi yang Retta butuhkan? Retta merindukan saat dia dan Agit harus menyusun siasat buat bisa ‘minggat’. Senin, Rabu dan Jumat malam, kadang di saat bosan mereka akan manjat gerbang untuk menikmati ladies night di sebuah club di Sengigigi. Bukan buat apa-apa hanya untuk menjadikan insomnia mereka lebih berkualitas saja. Kehidupan Retta mulai membosankan, putus nyambung dengan pacar berbeda, perkuliahan yang mulai membuatnya tak betah, info jurusannya yang mau dihapuskan lah, sampai dosennya yang tiba-tiba ke luar negeri ngambil gelar doktornya, apalagi komentar teman-temannya yang kebanyakan cowok yang tidak menghormati kesetaraan gender. “Alah, kuliah tinggi-tinggi entar juga berfungsinya di kasur, dapur sama sumur.” Sumpah Retta gerah dengarnya, Retta berhak jadi wanita karier sukses dan Retta juga punya kemampuan lainnya. Retta adalah penari yang hebat dan Retta yakin Retta pasti dapat menggapai mimpinya. Setiap keinginan memerlukan kesabaran dalam proses pencapaiannya, hanya saja sayangnya ... Retta kadang menyepelekan kekuatan kesabaran.Retta pada akhirnya mengambil keputusan yang sebenarnya tidak buruk tapi juga kurang bijaksana. Ya, Retta berkuliah di Pertanian, Jurusan Ilmu Tanah, dia yang berjurusan IPS di SMA terang saja merasa berada di tempat yang salah. Retta juga bukan tipe orang yang antusias terhadap ilmu pengetahuan. Apa yang memusingkannya dia coba sederhanakan menjadi sesuatu yang bisa disubstitusi dengan hal lainnya. Tapi, ternyata dalam pendidikan itu tidak berlaku, eiiiiits belum tentu, sekarang Retta belum menemukan pintu untuk keluar dari masalahnya. Pintu mungkin saja tertutup tapi jangan sepelekan jendela yang terbuka lho ya. Retta memilih cuti dan bekerja di sebuah perusahaan finance. Retta malu sama mamanya yang harus banting tulang, jadi dia berusaha mendapatkan penghasilan untuk membiayai, minimal kehidupannya. Cuma Retta belum bilang kalau dia cuti kuliah jadi mamanya masih saja membiayai kehidupannya, dan menurut Retta anggap saja itu bonus. Bukankah pesan mamanya dulu bukan “Cepat wisuda, ya nak!” tapi “Kuliah yang bener, ya nak.” Paham perbedaannya kan? Retta ‘masih kuliah bener’ sepanjang mamanya nggak tahu kalau dia cuti dan sudah bekerja.*** Seteluk, Pertengahan 2012 Berdiri di atas kaki sendiri, merasakan bagaimana menjadi mandiri. Bukan hal mudah bagi Agit yang kadang manja dan perlu didengarkan, dia selalu membutuhkan teman bicara, walau apa yang dikatakannya bukanlah hal penting untuk didengar. Sementara hal remeh temeh bikin dia nggak berhenti ngoceh, Agit memiliki banyak energi ketika bicara, bahkan olok-olokan di rumahnya mengatakan bahwa Agit hanya akan diam ketika tidur, eh tapi nggak juga sih. Agit sering kali mengigau. Agit itu aneh, hal-hal penting justru tak pernah dia bicarakan dengan siapapun yang dikenalnya tapi dia suka membicarakan hal yang sangat penting sampai rahasia terdalamnya kepada orang yang tidak dikenalnya secara nyata, dia selalu memiliki teman virtual yang dikenalnya dari media sosial atau seseorang yang datang sebentar lalu pergi, dia nyaman mengatakan hal-hal itu kepada mereka, karena yakin mereka akan melupakannya dan yang terpenting, Agit takkan bertemu mereka lagi. Seharusnya energi bicara banyak itu disalurkan untuk sesuatu yang berarti, mungkin jadi penyiar radio misalnya. Tapi, tempat Agit tinggal sekarang hanyalah kecamatan kecil, nggak ada stasiun radio. Lagipula, kalaupun ada Agit tentu nggak diterima. Pengalaman ketika cari kerja tambahan pas kuliah dulu, Agit mencoba melamar di sebuah radio baru, merasa selera musik bagus, punya pengetahuan yang yeah cukuplah, serta energi berbicara yang tak ada habisnya membuat Agit pikir dia bisa mendapat pekerjaan itu. Anak-anak jurusan Bahasa Inggris di kampusnya banyak juga yang jadi DJ di radio, padahal mah selera musik mereka menurut Agit payah, karena masak penyiar nggak bisa membadakan lagu Summer Night-nya Olivia Newton-John dan John Travolta sama Summer Sunshine-nya The Corrs. Agit yang sudah over pede dapat pekerjaan itu harus mendapat pukulan kekecewaan. “Antusiasme di musiknya si okay, cuma suaranya mbak tuh yang ... berasa kayak dengerin suara anak manja yang kolokan, terlalu tipis suaranya.” Mereka nggak tega bilangin Agit cempreng. Tapi, bukan Agit namanya kalau kecewa terlalu lama.Karena itu kadang ketika Agit ingin berbicara tapi tak ada teman bicara maka dia mulai menuliskannya di tembok facebook, karena kalau ngomong sama tembok beneran bikin dia merasa gila. Sementara di facebook, minimal dia dapat tanda jempol, itu sebelum ada tanda jempol kebalik dan juga dapat komentar-komentar yang aneh. Hampir sebagian besar waktu Agit buat menulis apa isi otak dan hatinya, tapi dia males chatting, lebih suka update status, dan enggan juga memberi komentar ke teman-temannya. Di media sosial Agit itu egois, pengen direspon statusnya tapi cuek dengan milik orang lain. Agit sadar bahwa dia bersifat kayak gitu gitu setelah dapat pesan dari mas-mas yang jadi temennya gara-gara mereka sekelas pas ikut diklat prajabatan. Mas-mas itu protes karena berandanya dipenuhi status nggak jelas dari Agit, mas itu nyaranin, daripada bikin status sepanjang artikel koran. Kenapa nggak bikin sesuatu yang bisa dinikmati dan dibaca? Jadilah, Agit berprinsip tak bisa dikatakan maka akan kutuliskan. Dia membuat novel tentang remaja, bukan hasil dari imajinasinya yang luar biasa sih tapi dari kumpulan pengalaman-pengalaman dalam hidupnya yang diceritakan dengan lebih menyenangkan dan berakhir lebih bahagia. Itu jadi semacam terapi buat jiwanya yang agak nggak beres. Setidaknya itu membuat perasaannya lebih baik dan siapa yang menduga pada akhirnya penerbit nasional menawarkan untuk menerbitkan novelnya setelah dia iseng mengikuti lomba. Agit seringkali beruntung. ***
Mataram, awal 2012 “Retta, aku kangen .... “ Suara Agit di seberang, seandainya tadi dia tak mengangkat teleponnya. Dia tahu Agit akan berbicara panjang lebar tanpa henti.“Aku baru bangun Git, telpon nanti, boleh?” jawab Retta yang masih mengantuk, padahal itu jam lima sore. Belakangan Retta lebih banyak teler daripada sadarnya, itu bukan keinginan Retta tapi pengaruh pacarnya memang begitu luar biasa.Dan telepon di seberang mati. Agit dan Retta biasanya saling menelpon setiap hari atau berkirim pesan disaat mereka hanya punya paket SMS gratisan. Tapi, itu dulu-dulu sekali, hanya beberapa bulan di saat awal mereka berpisah. Retta berpikir bahwa Agit begitu sibuk dengan ‘pekerjaan penting-sombong-mencerdaskan –kehidupan-anak-bangsanya’ juga jadi penulis novel remaja yang ... Retta memang membeli buku bikinan Agit, tapi buku itu menurut Retta sama sekali nggak spesial, biasa aja. Buku itu menjadi ‘penting’ hanya karena Agit yang adalah temannya adalah si penulisnya, selebihnya ... biasa aja. Terlalu remaja! Atau apa karena dia telah dewasa dan Agit ... masih terjebak dengan pikiran umur belasannya! Agit memang tidak akan pernah dewasa di mata Retta, Agit ya Agit, gadis childish yang memang begitulah adanya. Tapi, kalau mau jujur Retta berpikir bahwa memang susah untuk ikut menikmati kebahagian yang diraih sahabatnya di saat dia begitu ingin lepas dari hidupnya yang serba berantakan. Keengganan Retta berhubungan lagi dengan Agit adalah karena Agit kini punya teman-teman baru. Retta melihat foto-foto Agit, di pantai, hutan, pulau, gunung, tempat hang out, dengan orang-orang baru. Ada orang-orang yang Retta kenal, tapi kebanyakan Retta sungguh tak tahu. Bagaimana bisa kehidupan sosial Agit bisa meluas dengan cara yang tak dipahaminya. Retta kenal Agit, sangat mengenalnya. Tak mudah bagi Agit untuk membagi hidupnya dengan orang yang baru dikenalnya, siapa cowok-cowok bule itu? Siapa cewek-cewek eksotis itu? Siapa mereka yang bisa membuat Agit tertawa dan tersenyum lebar? Agit tengah berbahagia, dan di sini Retta merasa sangat merana.Belum lagi Retta harus menerima bahwa hantaman ini membuatnya nyaris menyerah. Kampus akan mengeluarkan surat DO, dia sudah harus mencari pekerjaan baru, pacarnya yang membuat hidupnya seolah menjadikan dia sebagai semesta dari masalah, serta rasa bersalah kepada mamanya. Bagaimana Retta harus menghadapinya? Untuk saat ini dia merasa seakan sendiri. Ada keinginan untuk menelpon teman-temannya, sekedar berkeluh kesah, tapi ... Retta tahu apa yang akan terjadi, mereka akan menyalahkannya. Sulit sekali bertoleransi apalagi berusaha memahami masalah yang tengah dia hadapi. Sebenarnya Retta tahu solusi masalahnya tahu bagaimana menyelesaikannya. Hanya satu masalahnya, dia tidak ingin mengakui betapa langkah yang diambilnya adalah langkah terburuk yang pernah dipilihnya. Retta tahu ini bodoh, mengharapkan waktu berputar seperti sedia kala. Andai dia kuliah benar, andai dia memilih pacar yang bertanggung jawab, andai dia tidak pernah merusak kepercayaan mamanya. Andai, betapa menyedihkan kata itu.*** Mataram, Akhir 2012 Retta sungguh merindukan Agit, tapi bagaimana? Selama itu Retta nyaris menghilang. Retta menghabiskan waktu hanya dengan pacar brondongnya, dunianya hanya sebatas Arden, Arden, dan Arden! Apalagi belakangan Retta nggak ada pas Agit membutuhkannya. Sesekali Retta tahu keadaan Agit ketika Retta melihat status facebooknya. Dan masalahnya— Retta tak tahu harus menimbang yang mana untuk dibela. Agit adalah sahabatnya dan mbak Arika adalah sepupunya. Bahkan Retta yang memperkenalkan keduanya, Retta-lah yang menghubungkan keduanya dulu pas dia dan Agit masih kuliah semester satu, hingga mereka memiliki hubungan seperti saudara dan sekarang mereka bermusuhan karena ... Agit belum memberitahu masalahnya, Retta paham Agit bukan orang yang akan menceritakan masalah seriusnya, tapi dari pihak mbak Arika, Retta seakan diminta untuk ikut serta membenci Agit dan siapapun yang mendengar cerita dari versinya akan berkesimpulan bahwa Agit adalah cewek murahan yang putus asa. Retta tak ingin percaya.
Bersambung
Published on November 10, 2014 01:41
Cerber: Saudara Sejiwa (1)

Seteluk, Desember 2013.
Dua kepompong itu tidak ingin menghadapi hari. Mereka meringkuk malas dan berharap hari baru tidak datang dan mereka bisa terus bermimpi. Salah satu dari kepompong itu bergerak-gerak gelisah, lalu tak lama menampakan wajah mengantuk yang muncul begitu saja dari balik kain pantai berwarna merah muda. Tak lama tangannya terlihat meraih-raih sesuatu— tanpa membuka mata, dan tepat! Tangan itu meraih handphone yang masih tersambung dengan charger tercolok. Kebiasaan buruk!Sekarang wajah itu mulai berekspresi, mengerjap-ngerjapkan mata dan menguap. Terlalu dini untuk ekspresi bosan, tapi dia tak peduli. Dia mencabut charger handphone-nya dan meletakkan si not so smartphone-nya di telinga lalu berbicara.“Bangun sayang sudah setengah tujuh,” suara manja dan serak khas pagi hari.Secara tiba-tiba, kepompong lainnya ikut terjaga, dia menyingkap kain pantai biru mudanya dan seakan lompat dari tempat tidur begitu saja, tubuhnya sangat ringan, gerakannya bahkan terlihat sepeti gerakkan burung pipit yang terbang.“Kamu pacar apa alarm?” sindir gadis yang terlihat begitu mungil untuk usia dua puluh enam jelang dua puluh tujuh tahun. Dia mengenakan pakaian dalam pelangsing berwarna beige.Si kempompong pertama melemparkan bantal.“Ouch!” terlalu malas untuk membalas, si kempompong kedua memilih duduk di depan meja kecil lipat tempat netbook-nya berada, dengan malas-malasan dan setengah mengantuk dia memulai memilih-milih lagu untuk dimasukkan ke dalam playlist-nya. Tak lama mulai terdengar musik, dia mulai menggoyang-goyangkan badannya mengikuti irama. Berjalan mondar-mandir dan setengah teler di lantai yang tertutup serakan kertas, buku, dan majalah. Penghuni kamar itu adalah dua orang gadis, tapi percayalah ... kamar itu lebih tepat di sebut kamar remaja cowok yang membawa pacar ‘dewasa’ mereka untuk menginap— luar biasa berantakan tapi dipenuhi perlengkapan perempuan. Lantai mereka dipenuhi debu yang mereka klaim sebagai sel-sel kulit mati, tapi lebih tepat karena sudah nyaris dua pekan sapu plastik mereka menjadi pengangguran, jangan tanyakan tentang kain pel dan cairan pembersihnya. Mereka sepakat takkan membersihkan apapun, sampai tahun 2014 nanti. Desember ini mereka hanya ingin, hidup dalam rasa malas dan pasti nantinya akan diikuti oleh rasa bosan permanen.Desember, berarti hujan sepanjang hari. Kepompong pertama akan kebasahan setiap pulang kerja dan kepompong kedua sudah pasrah bahwa flu parahnya akan terasa seperti selamanya. Desember ini, dia tengah memiliki hubungan tak terpisahkan dengan Vapporub dan tissue, hati-hati gadis, kau akan membuat pecinta lingkungan marah. Berapa banyak pohon yang harus bertanggung jawab untuk menyeka hidung beringusmu, yaks!“Got my dreams, got my life, got my love. Got my friends, got the sunshine above. Why am I making this hard on myself. When there's so many beautiful reasons I have to be happy?” Menyanyikan lagi Happy dari Natasha Beddingfield dengan sepenuh hati tapi dengan suara cempreng menyedihkan si kepompong kedua bernyanyi tanpa menyadari bahwa suaranya bisa menimbulkan bahaya bagi pendengarnya.“Aggggiiiiiiit! Berisik!” si Kepompong pertama rasanya ingin memilih menelan selimut daripada harus berteriak kepada rekan sekamarnya yang semakin dilarang malah semakin menjadi itu, tapi dia harus menegur Agit yang sekarang masih cuek bernyanyi sambil berkeliaran di dapur. “Rise and shine Retta! Wake up and smell the coffee!” Keceriaan Agit adalah semacam cobaan di pagi hari yang menyebalkan untuk Retta. Dia masih mengantuk dan kepalanya masih dikelilingi bintang-bintang. Aroma kopi instan favorite Agit mengelitik hidungnya. Agit membutuhkan kopi untuk membuatnya sadar sepanjang hari, sementara bagi Retta, kopi nyaris berfungsi seperti obat tidur, aneh! Tak lama, udara kamar dipenuhi aroma lainnya; lelehan mentega, manisnya cokelat meleleh ditengah-tengah Roti bakar. Agit memang bisa diandalkan untuk menghilangkan lapar di pagi hari, tapi Agit juga bisa merusak mood baik bahkan sepagi ini. Roti bakar tercium dekat, hanya beberapa inci dari hidung Retta. Bukannya bangun dan makan, Retta menikmati aroma itu dan mencoba menghilangkan kesadarannya dan tertidur. Sementara Agit kembali duduk di meja lipat menghadap netbook-nya, apalagi coba yang dilakukannya jam segini? Stalkingfacebook dan twitter mantan—juga mungkin calon gebetan! Sekarang masih jam setengah tujuh pagi dan dia memilih untuk tak buru-buru mandi apalagi harus mengenakan seragam khaki buteknya, dia benci seragamnya walau begitu mencintai profesinya. Menurutnya menjadi guru, itu profesi sampingannya dan penulis adalah profesi utamanya. Padahal, dia memulai karier menulisnya sejak dia terdampar di kecamatan kecil ini karena, ketika itu dia punya terlalu banyak waktu sendiri dan tidak memiliki teman berbicara, berbicara sendiri membuat dia berpikir bahwa dia gila, tapi menulis setidaknya membuat perasaannya lebih baik... Kadang dia pikir dia payah karena menyukai buku-buku “berat” tapi apa yang dituliskannya, buku remaja! Dan yang paling parah ... teman-temannya malah tak ingin membaca bukunya. Namun, Agit cukup bahagia akhir-akhir ini, bulan kemarin partner in crime-nya bagai jodoh yang menemukan hati untuk pulang, Retta akhirnya mendapat pekerjaan sebagai seorang costumer service di salah satu perusahaan provider di daerah yang tak jauh dari tempat kosnya Agit, dan demi alasan hemat sekaligus mengulang ‘masa lalu’ mereka memutuskan untuk tinggal bersama. Empat tahun yang lalu mereka juga satu kosan dan juga satu kamar. Mereka sangat berbeda tapi ketika bersama yeah ... kadang mereka baik-baik saja.***Retta akhirnya memilih sadar dan menghadapi dunia walau dengan ogah-ogahan, dari kamar mandi terdengar suara air mengalir dan nyanyian bising Agit seolah tak mau berhenti. Dengan bingung Retta mengecek playlistdi netbook dan mendengar baik-baik apa yang dinyanyikan oleh Agit, ah berbanding terbalik. Sekarang netbook itu memutar instrumen merdu piano Yiruma sementara Agit sedang menyanyikan lagu Katy Perry.“In another life I would be your girl. We keep all our promises, be us against the world. And in other life I would make you stay. So I don't have to say you were the one that got away.The one that got away!”Retta nyaris menghentikan musik dari netbookdan menutupnya, sampai menyadari bahwa aplikasi iLivid tengah menunjukkan bahwa ada sebuah film yang sedang didownload, dasar Agit si tukang bajak! Tapi, Retta juga tak keberatan nanti malam sepulang kerja dan sambil menikmati ritual curhat bertema sama seperti yang sudah-sudah ‘entah-menyesali-atau-mensyukuri-hidup’ mereka akan berbaring di lantai sambil menonton. Malam ini mereka akan menonton Don Jon, entah bakal jatuh cinta atau mencaci maki si tampan dan cute Joseph Gordon-Levitt. Sudah beberapa minggu tivi di kamar rusak, dan mereka harus puas dengan apa yang bisa dibajak dan apa yang bisa ditonton di Youtube.“All this money can't buy me a time machine ... Nooooo ... Can't replace you with a million rings ... Nooooo ...I should've told you what you meant to me ... whoa ...'Cause now I pay the price.” Konser kamar mandi Agit sudah keterlaluan, sekarang rasanya Retta pengen menggedor kamar mandi dan pura-pura bergaya a laAnggun sambil menyerahkan golden ticketdan berkata “Selamat kamu ke Jakarta!” Tapi Retta males gila berjalan ke belakang lemari pakaian dan menyaksikan tubuh bugil Agit, pintu kamar mandi mereka rusak dan lampunya, menurut Agit sudah mati nyaris setahun ini.Agit sedang mencampurkan kopi bubuk tanpa gula sachet-an dengan sabun mandi cair dan menggosok-gosokan ke permukaan badannya. Dia selalu menikmati waktu mandinya. Sementara Retta dengan gelisah menunggu giliran mandinya. Retta mengunyah rotinya yang entah mengapa sekarang terasa seperti karpet tebal di rumah tua yang lembab.“Git, masih lama?” tanya Retta lelah.“Belom tahu, eh di majalah kemarin katanya buat ilangin selulit pake sabun cair apa lotion yak? Eh didieminnya berapa lama,Ta?”Khas Agit, ditanya malah nanya lebih banyak lagi.“Ga-te-he!” jawab Retta asal.“Ta, udah mau mandi yak? Entar dulu yak! Aku masih mau diemin muka yang dibalurin jus tomat sama lemon nih,” Agit kadang bikin Retta menggila dan yang Retta tak habis pikir kenapa, Agit harus tergila-gila dengan perawatan kulit dan rambut, dia mencoba segala tips yang ditemukan di mana saja. Padahal, Agit itu berhijab, toh nggak ada juga yang akan melihat banyak bagian kulit atau rambutnya, tapi harus diakui rambut dan kulit Agit bagus, kulitnya berwarna kuning cerah dan rambutnya halus, tebal, berwarna cokelat gelap dan mengkilat. Semua itu dia dapat karena hobi makan sehatnya yang buat Retta mual, Agit suka sekali jadikan tomat cemilan dan minuman favorite-nya, yaks! Air hangat jeruk nipis, semacam cairan buat cuci piring. Sementara Retta tak tertarik dengan perawatan semacam itu, makanan enak tidur nyenyak, itu nikmat! Retta punya wajah manis dan bodyseksi, tak perlu melakukan apapun lagi, bahkan walau dia sering terganggu dengan lemak diperutnya, tapi yeah itu hanya sesekali.***“Udah mau berangkat sekarang?” Retta bertanya, kesabarannya diambang batas, kunci motor matic-nya di tangan dan tasnya sudah tergantung di bahu.“Bentar Ta!” Agit masih menyesap kopi dan mengecek email, juga mengetik cerpen. Entah apa itu bisa disebut multitasking. “Ta!” Agit serupa orang yang tiba-tiba tersadar dari mimpi buruk! “Ini Desember,kan?”“Hmmmm.... ““Jelang liburan, kan?”“Yeah?”“Aku baru sadar, aku nggak pernah liburan!”“Jadi?”“Aku mau liburan!” “Punya uang?”Agit menggeleng.“Punya waktu?” kali ini dia menggeleng lemah dan ekspresi sedih memenuhi wajahnya.“Ujian akhir semester, try out anak kelas tiga, bimbingan cerdas-cermat, rapotan, aaaaaahhhh....”Agit mengecek administrasi mengajarnya dan mencoret kalender pendidikan yang membuatnya kecewa. “Cuma pas di hari Natal, Ta, dan itu sehari.” Retta menatap Agit dan sekarang merasa kasihan padanya, dia bekerja terlalu keras dan yeah begitulah, terlalu bertanggung jawab bahkan sampai mengabaikan kepentingannya sendiri.“Ada sih liburannya entar, dari tanggal 29, seminggu! Tapi gimana coba liburan kalo belom gajian? aaaaaah.” Suara manja Agit terdengar seperti biasa, dia akan mengeluh lagi dan inilah yang paling tak ingin Retta hadapi tapi sebagai sahabat Retta tahu bagaimana memberi solusi.“Apa pengertian liburan a la Agit?”“Hari tanpa alarm dan boleh malas-malasan,” Agit menjawab lemah.“Jadi?”“Tapi ... aku pengen pergi ke suatu tempat, melihat sesuatu yang indah, merasa damai dan ... ““Ketemu jodoh?” sambar Retta.“Itu mah bonus, Ta, tapi seriusan pengen banget kemana gitu ... ” Agit terdengar merengek tapi Retta bisa apa. Agit berbalik lagi kepada layar netbook-nya sementara Retta tak tahu lagi harus berkata apa. Dia masih menunggu Agit sadar bahwa dia sedari tadi ditunggui untuk barengan berangkat kerja. Tapi ... walau niat banget pengen teriak dan mau ngomong kasar, tapi teringat Agit lagi datang bulan, Retta sungguh tak tega. “Bentar Ta, “ Naga-naganya Agit sadar karena dia mulai mencabut charger netbooknya dan memasukkan ke dalam tas. Tapi sekarang, Agit malah membuka tab baru dan mengetik alamat sebuah situs. Couchsurfing.org
Bersambung
Published on November 10, 2014 01:18