Citra Rizcha Maya's Blog, page 10

July 1, 2013

[Review Novel] Seven Days


Judul                : Seven Days (Tujuh Hari Bersamamu)Penulis             : Rhein FathiaPenyunting      : HP MelatiProofreader    : Yunni Yuliana MPenerbit          : Qanita***Nilam’s Diary
Day 1          : Selamat pagi, Pantai Kuta. Selamat pagi, Shen.Day 2          : Ah, kamu membawaku ke Pasar Seni Sukowati, tempat favoritku.Day 3        : Sendratari Ramayana ini membuatku bertanya-tanya, apa aku sudah bertindak tidak setia?Day 4          : “Aku juga punya rasa takut. Aku takut kamu terluka!” (Ini kalimat bikin meleleh)Day 5        : Seminyak, kamu, kejutan, dan pantai di malam ini.Day 6        : Pantai Padang-Padang ini menjadi saksi kamu mengacaukan semuanya....Day 7          : Bandara Ngurah Rai. Kami sepasang sahabat sejak kecil, yang kini bersikap seperti orang asing.
***            Cukup klasik ketika sahabat berubah menjadi cinta, bahkan dari jaman Harry ketemu Sally kita tahu kalau cowok dan cewek itu nggak bisa temenan, pasti ada salah satu atau bahkan keduanya yang menyimpan rasa lebih dari sahabat. Walaupun begitu, kisah perjalanan ke pulau Bali antara Nilam dan Shen (aku suka ide nama keduanya) tetap saja manis. Walau sebenarnya Nilam dan Shen keliatan sempurna bersama, tapi di sana ada Reza, cowok yang mencintai Nilam dengan cara yang sempurna (waduh mau punya pacar kayak Reza yang manggil pacarnya dengan kata Cantik!) nah ini dia konflik yang bikin aku sebagai pembaca pengen buru-buru buka halaman-halaman selanjutnya. Bali! Tempat paling tepat untuk dijadikan setting kisah cinta, salah satu tepat wisata paling eksotis dan wajib dikunjungi (tapi dua teman Eropa terakhirku mengaku kecewa dengan Bali, ayolah pihak Pariwisata kembalikan kearifan lokal sebagai salah satu bagian dari terpenting dari program kita dalam memperkenalkan Indonesia pada dunia, jangan-jangan lagi segala sesuatunya harus berorientasi duit, stop! Ini bukan bicara tentang pariwisata, Citra!) eh itu wajib kayaknya yak foto depan Hard Rock Cafe buat para turis lokal (kembali ke topik Citra! Tapi itu penting di halaman 65 -_-)            Kembali ke Shen, Reza, dan Nilam, membaca cerita tentang mereka membuatku merasa seperti tidak sedang membaca, detailnya membuat aku seakan berada di depan televisi dan melihat mereka dengan nyata. Itu hal yang membuatku salut pada gaya bercerita Rhein Fathia!            Secara keseluruhan kisah ini luar biasa, hanya lebih banyak kesan ini cerita perjalanan, terlalu banyak detail wisatanya dibanding detail romantisnya, kalau bintangnya...? aku ga tahu harus digantiin apa jadi baikllah tetap bintang saja, ada 3 bintang bersinar terang untuk Shen, Nilam dan Reza, masing-masing satu ya J            Kejutan-kejutan manis dalam cerita membuat kisah ini sayang untuk dilewatkan dan dengan label juara pertama lomba menulis Qanita Romance, rasanya sudah cukup menjadi alasan bahwa buku ini wajib dibaca.



 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on July 01, 2013 23:08

[Review Novel] Marginalia




Judul                     : Marginalia (Catatan Cinta di Pinggir Hati)Penulis                 : Dyah RinniPenyunting         : Triani Retno AdiastutiProofreader       : Dina Savitri NurhidayahPenerbit              : Qanita*** Aku Yudhistira, aku Arjuna, aku Bima, aku Nakula Sadewa. Berapa Bhratayudha harus kujalani. Demi kamu. Drupadiku?
Aruna:CENGENG! Tulisan singkat dan rapi di kumpulan puisi Rumi kesayangan almarhum Padma membuatku terbakar. Kurang ajar! Berani-beraninya cewek dingin berhati belatung itu menodai kenangan Padma. Belum tahu dia  berhadapan dengan siapa. Aruna, vokalis Lescar, band rock yang diidolakan. Tunggu pembalasanku!Drupadi:Aku tak punya waktu untuk cinta. Meski setiap hari aku berhubungan dengan yang namanya pernikahan, ini hanya urusan bisnis semata. Aku tak percaya romantisme, apalagi puisi menye-menye. Hidup ini terlalu singkat untuk jadi melankolis. Namaku memang Drupadi, tapi hatikusudah tertutup untuk laki-laki.***
Mengutip kata Gandi, salah satu tokoh dalam buku ini: “Itu karena kami percaya bahwa buku itu hidup. Banyak orang yang merasa sayang mencorat-coret buku mereka, tetapi menurut saya kebanggaan terbesar sebuah buku adalah saat seseorang mengambilnya dari sekian banyak buku yang ada, membacanya dengan sepenuh hati, menekuk ujung halamannya, meninggalkan marginalia di samping tulisan yang sudah ada, kemudian melanjutkannya kepada manusia lain. Itulah saat sebuah buku menjadi hidup karena kemudian mereka akan menciptakan keajaiban.”Tapi hal semacam itu tidak berlaku bagi Drupadi “Tidak ada yang romantis ataupun ajaib tentang kehidupan.” Sungguh berbanding terbalik dengan anggapan Padma yang mengatakan. “Marginalia itu romantis, tahu. Itu kayak menciptakan dunia pribadi dengan percakapan rahasia di dalamnya.”Soal cerita? Baca sendiri lah *pasang wajah meyakinkan* Hal terbaik dari buku ini adalah si Marginalia itu sendiri, catatan pinggir yang memang dianggap penting. aku sering mencoret buku-buku pelajaranku, tapi sumpah baru tahu catatan-catatan itu disebut marginalia,  tapi menjadikan marginalia itu jadi romantis dan memiliki “nyawa” magis yang manis membuatku bertanya “Mbak Dyah, itu dapat ide keren gitu, gimana? Kok bisa? Sumpah kagum!”kadang hal paling nggak habis kupikir ketika membaca sebuah buku adalah aku kadang lebih memikirkan bagaimana si penulis mendapatkan idenya alih-alih penasaran dengan endingnya. Cerita cinta yang romantis dengan keajaiban-keajaiban logis, wajib baca bagi pecinta genre romantis, dengan ide tentang pertemuan via perang marginalia membuatku PERCAYA bahwa jodoh dan cinta selalu menemukan jalannya. Aku suka buku ini, suka yang pake banget  walaupun menurut aku jika merujuk pada tokoh-tokohnya, Aruna misalnya kadang “kurang rockstar” tapi abaikanlah karena toh tokoh Drupadi punya karakter kuat yang ...”nih cewek keren banget dengan pendirian kuat, make otak banget.” berbanding terbalik dengan sepupu burung meraknya, Inez, yang membuatku melayangkan ingatan pada; kemunculan Inez  malah “merusak” novel ini karena dia kayak tokoh di sinetron-sinetron miskin kualitas tapi sudahlah secara keseluruhan aku harus bilang bahwa buku ini bagus dan ceritanya mengalir cepat dan tidak ada kesempatan untuk bosan.Boleh ganti bintang ratingnya dengan... tiga cangkir kopi yang ingin aku minum dengan Gandi dan Sonya yang keren? mereka kayak “peri” dengan kekuatan ajaib yang menciptakan kejaibannya. Kafe Marginalia, jika ada, aku pasti akan mengunjunginya dan memberi marginalia pada buku Marginalia dari Dyah Rinni (bukan Marginalia-nya Edgar Allan Poe ya, belom baca soalnya) dan apa yang akan kutuliskan? Buku ini membuatku percaya bahwa cinta selalu datang di saat yang tepat dengan caranya yang penuh keajaiban.
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on July 01, 2013 23:00

[Review Novel] Always be in Your Heart

Add caption


Judul                : Always be in Your Heart (Pulang ke Hatimu)Penulis             : Shabrina WsPenyunting       : HP MelatiProofreader     : Yunni Yuliana MPenerbit           : Qanita

Kadang untuk membuktikan cinta sejati, diperlukan sebuah  perubahan besar, dimana; jarak, waktu, dan keadaan menjadi pengujinya.Marsela: Aku selalu menantimu dari matahari di timur, matahari di barat hingga terbit lagi. Aku telah melewati musim yang berganti berulang kali. Tapi kau tak pernah hadir di sini. Kini sepuluh tahun kulewati, aku tak yakin lagi, bahkan pada hatiku sendiri.Juanito: Siapakah kita, ketika pada akhirnya sejarah telah berbicara. Bahkan sungai bisa saja berubah muara. Sekuat apapun aku bertahan, sepuluh tahun telah mengubah banyak hal. Dan nyatanya, keadaan memang tak lagi sama.
***
Aku bersyukur membaca novel ini. Shabrina Ws dengan sangat baik membuat kita kembali mengingat salah satu peristiwa sejarah yang sangat penting bagi dua negara Indonesia dan Timor Timur. Sejujurnya aku suka latar belakang ide dan cara bercerita di novel ini juga cara penulis bercerita. Prolog dibuka dengan sudut pandang Lon dan diakhiri dengan Epilog oleh Royo, perlu diketahui baik Lon atau Royo adalah seekor anjing yang menyaksikan bagaimana sejarah mengubah sebuah kisah cinta yang nyaris saja indah.Kisah cinta normal yang indah, dimana dua remaja bertetangga, saling mengenal sejak kecil hingga dewasa kemudian menyadari bahwa mereka sama-sama menyimpan perasaan yang serupa. Pada awalnya aku ingin mengambil kesimpulan bahwa cerita ini sempurna tapi membosankan, karena kisah cinta yang sebenarnya memerlukan semacam ujian, tapi siapa yang mengira ujian mereka hadapi harus sebesar ini. Perpisahan menjadi pilihan, ketika rasa nasionalisme mulai dipertanyakan.Aku harus bilang bahwa aku tak ingin membahas bagaimana ceritanya, karena kau sendiri harus membacanya untuk tahu bagaimana rasanya menanti dalam ketidakpastian, bagaimana ketika hati tak lagi memiliki kepercayaan, dan kesetiaan seperti kata yang mencoba menguatkan tapi sebenarnya kita tahu bahwa itu hanyalah bentuk kesia-siaan. Tak mudah, tapi begitulah kehidupan. Aku suka efek yang diberikan oleh buku ini, aku seolah diberi kesempatan untuk merasakan bagaimana rasanya mencium aroma kopi Ermera, bagaimana hangatnya matahari di sana, apakah sehangat senyuman dan kebersamaan dalam rasa kekeluargaan? Lebih dari segalanya buku ini menunjukan pesan moral yang baik, tidak tokoh antagonis tak masuk akal, tidak ada konflik dangkal sekelas posesif atau cemburuan. Buku ini juga menggambarkan bagaimana sikap toleran bisa memberi dampak baik bagi kehidupan. Dan pada akhirnya harus kukatakan bahwa buku ini sangat layak, buku ini tak hanya bercerita tentang cinta antar dua manusia, tapi pada tanah air dan juga pada prinsip kuat dalam hati serta bagaimana cinta antar saudara (walaupun mereka bukan manusia). Kalaupun ada hal yang harus aku sayangkan dari buku ini, hanyalah cover-nya. Akan lebih baik jika aku menemukan Lon dan Royo di sana, selain itu adalah berat sekali bagiku untuk tidak jatuh cinta pada tokoh Randu, ingin mengenal Randu? yeah harus baca dulu. Rating untuk buku ini? Tiga bintang; untuk pesan moralnya, untuk teknik bercerita penulisnya yang rapi, dan satu lagi untuk ide cerita berdasarkan fakta sejarah.
Quote favorite dari buku ini:"Tuhan menitipkanmu pada Apá. Tapi tidak setiap saat Apá bisa mengawasimu. Jadi, kamu ingat selalu pesan Apá. Kamu boleh berteman dengan siapa saja, tapi kamu tidak boleh membiarkan seorangpun menyentuhmu. Meski itu hanya tanganmu. Tidak juga Juanito! Dirimu adalah harta untukmu, maka kamu harus jaga baik-baik harta itu.”
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on July 01, 2013 22:33

June 6, 2013

Review Novel Macaroon Love: Tiga Keping Macaroon untuk Magali




Blurb:   Kalau ada satu hal yang paling aku benci di dunia ini, itu adalah namaku, Magali. Kalau ada satu hal yang paling kusuka di dunia ini, itu adalah makanan. Padu padan makanan menjadi passion-ku. Sebagai seorang food writer, aku selalu mencari cara untuk memadukan resep. Harus berbeda, jangan mainstream.Jadi betapa kagetnya aku saat ketemu Ammar. Bukan saja dia berprofesi sebagai koki seperti ayahku, tetapi dia juga memberikan suguhan yang berbeda. Di Suguhan Magali, resto yang namanya sama persis dengan namaku.Dan saat Ammar menyajikan Macaroon Tower warna-warni, dia seakan mempersembahkan nuansa warna hatinya padaku. Mampukah aku menerimanya? Maukah aku?***Aku suka cita rasa dalam Macaroon Love karya mbak Winda Krisnadefa!Berkenalan dengan duo sepupu ajaib Magali dan si cakep setengah bule, Beau (dibaca Booouuuu dengan aksen Prancis seksi ) dan larut dalam obrolan mereka yang berasa kayak lagi ngemil Pringles yang Fieri Hot, renyah dan ga bisa bikin berhenti baca dari halaman satu ke halaman selanjutnya. Naskah Unggulan dalam Lomba Penulisan Qanita Romance ini memiliki ide cerita yang tak biasa.          Sebelum membahas idenya aku mau tanya, siapa sih diantara kita yang punya kesempatan untuk memilih nama sendiri? Ada? Betapa beruntungnya kamu! Contohnya gini; aku bernama Citra Rizcha Maya, terpaksa harus terima-terima saja nama pemberian bapak Andro dan Ibu Ros, pa-da-hal! Ya ampun Citra itu nama super pasaran :/ dan yang parah aku bahkan tidak bisa menyebut namaku sendiri dengan benar, yeay gegera huruf R terlalu susah disebutkan lidahku, belom lagi nama tengah, Rizcha yang orang sering tanya lafalnya bagaimana dan juga sering salah dituliskan, dan terakhir Maya yang seperti menggambarkan aku yang kecanduan dunia maya. Stop Citra, cukup curhatnya!  Sama kayak kata si Magali; Harusnya nama itu hak prerogative  seseorang sejak lahir, sampai saatnya dia bisa memutuskan mau memakai nama apa. Yeah si Magali benci sekali dengan namanya sendiri, walau kata Jodhi berarti Mutiara dalam bahasa Prancis atau berarti luas daughter of the sea, oh c’mon Jodhi itu kan diluar negeri tempat mereka pada ngerti artinya, nah di Indonesia nama Magali jadi korban plesetan dari tukang gali kubur sampe galian singset…pukpuk Magali. Tapi… tada! siapa sangka pada suatu waktu Magali melihat namanya di papan ruko, bertuliskan: Suguhan Magali. Okay harus aku bilang bahwa masalah besar dari novel ini adalah tentang NAMA si Magali. Jarang kan ide sebuah novel memusatkan pada nama seorang tokohnya.           Dan, ceritanya mulai seru dibagian sini, saat Magali mulai berkenalan dengan Ammar, pemilik restoran Suguhan Magali itu, restoran dengan konsep unik dan suguhan yang menarik. Nampaknya Ammar yang digambarin mirip dengan chef Joe Bastianich ini memiliki kepekaan terhadap hal-hal unik, Ammar tahu sekali makna “What makes us different makes us beautiful” yang ada dalam diri Magali tapi tak disadarinya. Magali adalah karakter keren (menurutku) walau dalam cerita ini Magali menganggap dirinya sangat aneh. Aneh? Aneh itu keren kali, karena normal itu justru sangat membosankan (menurutku, lagi!) hanya saja sayangnya tentang keanehan Magali seharusnya jangan dijelasin berkali-kali .          Selain membicarakan tentang nama, novel ini juga membicarakan hal favoritesemua orang; Cinta? iya, tapi jawaban yang paling benarnya adalah tentang makanan. Si Magali adalah seorang food writer dengan selera makan yang bikin kening berkerut. Kentang goreng colek sundae, okay kapan-kapan kudu coba, dan bagaimana selera anehnya ini bisa mengantarkan dia jadi food traveler dan redaktur rubrik kuliner di majalah food traveler yang punya rubrik kuliner keren: Magali Chronicle!          Secara kesuluruhan aku suka novel ini, tapi ada sedikit hal yang menurutku “kurang Magali” yang pertama judulnya; seandainya aku berada di tokoh buku sebagai seorang pembaca yang tidak tahu tentang cerita ini sebelumnya aku pasti menganggap bahwa Macaroon Love adalah sejenis chicklit manis dengan tokoh cewek rata-rata, sedikit genit peduli penampilan dan hidup dalam drama (mengingatkanku pada si Blair Waldorf dari serial Gossip Girl) dan Magali sangat jauh dari penggambaran seperti itu. Selain itu menyandingkan nama kue imut Prancis dengan kata cinta membuat ekspektasi kita melayang pada hal-hal romantis, tapi setidaknya Ammar lumayan berusaha dengan terbang ke Aussie dan memberikan kue ulang tahun seharga $400… dan aku bertanya-tanya kira-kira Magali akan menikmati Macaroon dengan cara seperti apa ya?
          Jadi aku memberikan tiga keping Macaroon buat Magali; Pertama untuk ide ajaib novelnya; menggabungkan masalah nama dan makanan, yang kedua untuk karakter Magali yang keren banget, yang ketiga…untuk Beau dong :* (Aku bersyukur Beau mau usaha digital printing, bukannya ikutan casting :P )

          Ah ya, jika novel ini adalah sejenis makanan maka, novel ini berasa kayak permen ‘kabel’ Twizzlers Strawberry yang sekali makan bikin aku nggak  bisa berhenti
Yuk, beli novel Macaroon Love di toko-toko buku terdekat !



Gambar: 
Novel Macaroon Love : Koleksi PribadiJoe Bastianich klik di sini!Screen Shoot Serial Gossip Girl Season 6 Episode: Where The Vile Things AreAdriano Zumbo dan Macaroon Towernya klik di sini!Gambar Twizzlers Strawberry: Koleksi Pribadi 
1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on June 06, 2013 01:04

May 18, 2013

Cerpen: Crayon Untuk Leon




Aku menguap dan berharap mencium wangi Teh yang menenangkan. Kubuka mata dan menatap sekitarnya. Kecewa, hanya kamarku  yang seperti biasa. Aku bangkit dan tersadar, hei Leon kau telah tiba di asrama! Namun aku masih ingin meyakinkan diri―setidaknya berpura-pura, bahwa aku masih ada di sana, di sebuah kamar sederhana berdinding kayu tua. Lebih dari segalanya aku merindukan gadis yang akan mengucapkan selamat pagi dengan senyum manis dan secangkir Teh di tangan mungilnya yang gemetaran.           “Selamat pagi” aku mengucapkan dalam bahasanya, bukan Guten Morgen, seperti bahasa sehari-hariku. “Liburan telah usai saatnya menghadapi kehidupan nyata!” aku bicara pada diri sendiri, salah satu pengaruh buruknya yang menulariku, gadis itu sering bicara sendiri, tidak, bukan bicara dia sering bersenandung, lagu-lagu lama.           “Hey” sapa Pierre, dia bahkan tak menatapku. Terburu-buru menyambar dasi dan mengancingkan kemejanya. “Aku pergi.” dia teman sekamarku. Kuhampiri wastafel, mencuci muka, menggosok gigi dan kuhadapi realita, aku kembali ke sekolah, mencerdaskan otakku, untuk bekal mendapatkan pekerjaan yang menghasilkan banyak uang.  Kumpulkan uang sebanyak mungkin dan kau akan kaya! Sebuah nasehat dari seorang kapitalis, yeah ― ibuku. Uang? Sesuatu yang terdengar seperti lelucon, gadis itu malah menertawaiku dari dalam otakku, manusia tidak membutuhkan uang, manusia butuh bahagia. Bekerja karena kau mencintainya, dan kerjakan segala yang kau cinta. Sederhana. Hey gadis, kupikir kau harus enyah dari otakku sekarang juga! Tapi sebelum dia menghilang, sekilas aku menangkap senyum manisnya. ***          Sekolah membuatku menggila, meja belajar membuatku jengah, karena di penuhi tumpukan kertas,  menara dari buku tebal berdebu, tugas yang harus diselesaikan, komputer tablet ―dengan fitur game yang tak pernah tersentuh, hanya berisi beban untuk otak dan masa depan. Aku memutar kursiku hingga aku pusing, kuhadapi layar komputer untuk menyelesaikan proyek sainsku. Ilmu pengetahuan tak lagi menutrisi otakku, aku seperti di terror! Aku merindukan matahari dan udara bersih, aku merindukan pagi dengan aroma wangi dan senyum berseri…otakku…kehilangan fungsi, karena menampilkan sosok gadis itu, lagi-lagi.***          Pekan ini begitu menyiksa dan aku bersyukur aku masih punya waktu untuk menghirup udara. Sabtu ini aku harus mengunjungi ibuku. Aku rindu! Apakah begitu? “Tidakkah kau merindukan ibumu?” Gadis itu pernah bertanya padaku, yah dengan ekspresi wajahnya yang malu-malu, waktu itu baru dua Minggu aku meninggalkan Swiss untuk mengunjungi pulau Balinya yang indah. Aku terbiasa terpisah dari ibuku, karena aku tinggal di Bern dan beliau berada di Zurich dan kadang lima sampai enam bulan aku bahkan tak menemuinya. Apa rindu itu perlu? Tapi gadis itu…kenapa begitu banyak dia mengubahku?          Sambutannya hanya hangat, seperti biasa. Aku memeluk dan mengecup kecil pipinya “Apa kabar?” Kutatap wanita yang memiliki rambut dan mata yang sama denganku.           “Seperti yang kau lihat!” ibuku tersenyum, aku duduk dan lama kutatap ibuku. Ibuku, menatapku, sebelah alisnya meninggi. Aku tertegun, teringat si gadis itu lagi, ketika dia berjumpa dengan seseorang yang entah siapa tapi dia selalu berkata…keluarga teman, keluarga teman…apa dia begitu populernya dan keluarganya tak henti beranak pinak? Gadis itu selalu mencium tangan orang-orang yang lebih tua darinya, meraih tangan siapa saja lalu meletakkan di keningnya. Sangat santun. Kuhampiri ibuku, dia menatapku, lama dan…”Kau kenapa?”          “Aku hanya ingin tahu” aku mengangkat bahu. “Begitu cara mereka menyapa di sana.” Aku merasa kikuk, rasanya aneh tapi entahlah aku merasa hangat saat tangan ibuku menyentuh keningku.          Aku tersenyum pada ibu, beliau membalas senyumku. “Sesuatu mengubahmu?“ seandainya ibu tahu apa itu, tapi kuharap sebaiknya beliau tak perlu tahu.***          “Senang dengan liburanmu?” Sebastian menyapaku, dia dan Olivia baru saja tiba, mereka bertunangan saat aku melewatkan liburanku di Bali, yeah mereka hebat, seandainya mereka juga tahu betapa hebatnya kisah cinta yang baru saja kualami. A love story? This is not a love story. This is a story about love. Oh… It was almost like falling in love. Oh aku tak yakin, baiklah bisa dikatakan akulah yang menghancurkan kisah yang…Oh Tuhan! Menjadi remaja di era seperti ini sungguh bukan anugerah yang mudah.          “Adik kecilku sudah dewasa” Sebastian terkekeh dan senyum miringnya yang mengejek seakan seperti magnet yang menarikku untuk meninju dan mematahkan hidung bengkoknya.          “Kau menggodaku? Maaf aku sedang tak ingin diganggu, lagi pula aku bukan bocah kecil lagi, usiaku 17 tahun!” aku mengacuhkannya dan memandang langit bulan Desember yang berwarna kelabu. Aku benci Zurich di bulan Desember! Aku merindukan matahari dan udara Bali.          “Summer fling, don't mean a thing, but uh-oh those summer nights” Olivia bersenandung, yeah dia rekan yang baik buat Sebastian, harusnya aku tak mengikuti permainan mereka, tapi yeah…          “She’s not my summer fling! Oh c’mon!” aku putus asa, aku menampilkan tatapan memohon pada ibu, tapi ibu lebih suka melihat aku dibantai oleh saudaraku dan tunangannya!          “Ceritakan tentang gadis tropismu!” ibu malah memulainya. “Ayahmu bahkan bercerita bahwa gadis itu menatapmu seakan kamu seorang superhero” ibu menggeleng-gelengkan kepalanya, baiklah putra bungsunya tak punya kekuatan super! Tapi bukan berarti bahwa apa yang kualami layak dijadikan bahan ledekan.          “Apa dia punya kulit cokelat alamiah?” Olivia menatap kulit pucat seakan ingin membandingkan dengan kulit gadis yang hanya dikenalnya melalui cerita. “Aku selalu ingin memiliki kulit cantik hasil sengatan matahari, bukan kulit tanningbuatan yang membuat kulitku berwarna orange! Aku merasa seperti sebatang wortel!” aku ingin tertawa, tapi sialnya aku kehilangan selera humorku yang lama, oh ini pasti karena cinta!          “Ayahmu bilang, gadis itu bahkan menciumnya di bandara” Seharusnya ayah tak perlu memberitahu ibu ! Dan tawa cekikikan wanita membuatku terserang malu yang teramat parah, wajahku pasti memerah.           “Seharusnya aku  juga pergi menemui ayah sehingga aku bisa memacari gadis eksotis yang seksi!” kali ini apa yang Sebastian katakan membuat Olivia naik pitam, tapi senyum konyol Sebastian membuat amarah Olivia mencair dengan segera.          Belum kukatakan bahwa kedua orang tua kami berpisah? Baiklah, ayah kami tinggal di Bali, dia seorang pelukis dan Bali memberinya banyak inspirasi, beliau tinggal di Ubud, bertahun-tahun tak bertemu dengannya dan ini kali pertama aku mengunjunginya dan yeah inilah yang kudapatkan dari kunjunganku beberapa minggu lalu.          “Begitu menyakitkan…” aku menghela nafas dan berbisik, lebih daripada diriku sendiri.          “Yeah menjadi bahan ledekan memang begitu menyakitkan” Sebastian terkekeh, tawanya aneh!          “Bukan itu…” mungkin aku harus menyerah terhadap olokan dan membicarakan ini sebagai hal yang wajar, hal yang memang terjadi pada semua orang, jatuh cinta memang untuk siapa saja, jatuh cinta adalah proses yang mengantarkanmu ke jalan menuju fase dewasa, jadi kenapa tidak kukatakan saja apa yang kualami.          “Jika bukan itu? lalu?” sebelah alis Olivia terangkat!          Aku bangkit dari sofa, meraih cokelat hangatku lalu melangkah ke teras, aku tak tahu harus bagaimana.          “Maaf, aku tak bermaksud” Olivia kini berdiri di sampingku, kami memandang jalan yang mulai memutih, salju mulai turun. “Bagaimana liburanmu?” Olivia menatapku, aku pura-pura menyesap cokelat hangatku.          “Kau marah? Leoooooooooon?” suara Olivia terdengar manja.          Aku mengangkat bahu dan menghela nafas lalu menatap wajahnya, kupikir aku bisa bercerita pada Olivia, aku menengok ke belakang menatap Sebastian dan ibu, mereka sedang berbicara dan pembicaraannya cukup penting karena Sebastian tak lagi menampilkan senyum konyol di wajahnya.          “Too sweet beginnings and bitter endings” aku menghela nafas panjang, aku memulai dan mengakhirinya dengan cepat!          “Khas para lelaki, mereka tak bisa bicara banyak, benci detail dan mengatakan apa yang penting! Lelaki bukan teman bicara yang menyenangkan!” Olivia memutar bola matanya, dan itu ekspresi wajah yang membuatku sebal.          “Kupikir wanita pendengar yang baik…” aku memutuskan untuk berlalu dan mengurungkan niatku          “Oh…sorry…baiklah aku akan mendengarmu little Romeo!” hah! Lagi-lagi dia mengejekku! Dan bodohnya aku menghentikan langkahku dan mulai berbicara.          “Aku menyesal Olivia, sungguh menyesalinya” aku menggelengkan kepala perlahan.          “Kau patah hati?” dia bertanya.          “Bisa dikatakan remuk.” aku merasa hatiku seperti keripik kentang yang digenggam begitu kuat.          “Aku tak mengerti, kupikir Bali memberimu kisah cinta yang indah!” Olivia menatapku, wajahnya terlihat bingung.          “Entah bagaimana mengatakannya” aku mengangkat bahu dan memandang jauh.          “Ceritakan dari awal”          “Kau tahu bagaimana perasaanku sejak ayah dan ibu berpisah”          Olivia mengangguk, dia sangat memahaminya, Olivia tahu benar apa yang menyebabkan perpisahan ayah dan ibu kami, Sebastian menceritakan segalanya.          “Adalah siksaan untuk menghabiskan liburan dengan seseorang yang menghancurkan hati ibumu”          “Dia ayahmu, Leon”          “Aku tak lupa, karena itu hanyalah awalnya.” aku memandangnya tajam “Tapi setelah aku menginjakan kaki di sana, segalanya berbeda, segalanya tak seperti apa yang ibu ceritakan selama ini.” Aku memperbaiki ujung sweaterku yang sebenarnya tak perlu kuperbaiki. “ Satu hal yang kupahami bahwa cinta saja tak cukup.” Olivia tak percaya kata-kata itu keluar dari bibirku “Ayah tak pernah meninggalkan ibu untuk wanita lain, ayah meninggalkan ibu untuk mimpi yang tak mungkin terwujud bersamanya, kau tahu bagaimana ibu kami! “ibu adalah seorang pengusaha dan tokoh terkemuka, sosialita kota Zurich yang selalu jadi sorotan. Olivia mengangguk, tapi bibirnya tak mengucapkan komentar.           “Di sana, bersama ayah yang nyaris tak pernah kukenal sebelumnya, aku menemukan keinginan terdalamku, aku menemukan diriku yang sebenarnya. Aku melihat betapa sederhananya cara ayah bahagia, betapa mudahnya jatuh cinta pada hal-hal yang alamiah! Tapi…lagi-lagi aku terjebak pada pikiranku sendiri. Otakku dibentuk untuk mengikuti bahwa aku adalah Leon Dominic Köpfli, bukan lagi atau bahkan tak pernah sebagai Leon Dominic Sarbach yang sederhana. Aku membentuk diriku setangguh ibu dan tak pernah tahu betapa samanya aku dengan ayah! Dan segalanya dimulai…saat aku mengenal gadis manis polos bernama Chandra.” Aku berhenti sejenak untuk memvisualisasikan tayangan ulang kenangan indah itu dalam otakku.           “Ayah memintanya mengajakku untuk mengunjungi pantai, setengah hati kuturuti, dia terlihat bahagia dan berenang dengan keanggunan bidadari lautan, tapi kakinya terluka terkena karang, entah bagaimana aku menolong dan mengobati lukanya, dan yang kutahu setelahnya kami begitu akrab, padahal seminggu sebelumnya aku mengacuhkannya. Dia putri seorang teman lama ayahku, dia tinggal bersama ayah sewaktu-waktu, jika ayah perlu sesuatu” ayahku memakai kursi roda, kakinya lumpuh, kecelakaan merenggut salah satu fungsi organ terpentingnya.”Di pagi hari menyiapkan secangkir teh untukku, membuatkan sarapan dan…tak mungkin bagi pemuda manapun untuk tak jatuh cinta, aku tak ingin bicara tentang wajahnya, bisa dibilang dia jelita, dia dewi surga tropis, tapi apa yang dilakukannya yang membuat dia terlihat sempurna sebagai wanita.”          “Wajahmu berbinar saat bercerita tentangnya.” Tidak dalam nada ejekkan, Olivia mengatakan dengan sungguh-sungguh.          “Kupikir mudah bagiku untuk  mengakui pada hatiku bahwa aku mencintainya, yeah aku mengatakannya dan aku berhasil membuatnya jatuh cinta padaku, kami menikmati kisah cinta yang manis tapi buzz!Seperti meteor yang jatuh ke bumi dan meledak tiba-tiba! Segalanya berubah! Aku memutuskan untuk mengubah segalanya!” aku menggeleng-gelengkan kepalaku, seakan aku tak percaya sungguh bodoh perbuatanku itu.”  Aku tak mau hidup menderita tanpa pendidikan kelas dunia, tanpa barang dan fasilitas mewah, aku tak ingin hanya hidup dengan matahari dan udara! Aku tak ingin seperti ayah yang menyerah pada apa yang diinginkan hatinya dan bahagia dengan cara yang menurutku salah, jadi hal bodoh kulakukan! Aku mengkhianati hatiku, kuabaikan Chandra dan kubawa Laura di depannya, kuhancurkan hatinya. Laura…gadis itu yang mungkin dimaksud ayah sebagai gadis yang memandangku seakan aku seorang superhero. Laura gadis yang kutemui begitu saja, dia gadis yang tahu siapa dirinya dan melakukan apapun yang diinginkannya, jenis yang kau lihat di halaman majalah!”          Olivia memandangku dengan ekspresi yang membuatku membeku.          “Aku tak tahu harus bagaimana, aku takut menderita karena jalan yang salah, sementara aku telah menderita karena ketakutan …dan juga kebodohanku.” Aku menatap lagit abu-abu.          “Kau tahu betapa bencinya aku pada langit abu-abu kota Zurich!” aku putus asa dan ingin menyudahi pembicaraan ini.          “Yeah, aku tahu Leon…” dan Olivia merogoh saku coatnya dan mengeluarkan sesuatu, sebuah kado dengan kertas pembungkus yang terkoyak. “Sepertinya…kau salah mengirimi oleh-oleh Balimu untuk kami, karena ini seharusnya untukmu.” Aku meraih benda seukuran dua telapak tanganku dengan surat yang terselip di sana, dan menyadari tulisan tangan yang tertulis rapi, kubaca dan kutahu ayah pasti mengajari gadis itu banyak hal.Jika ada yang ingin kuberikan untukmu, itu hanyalah sekotak Crayon. . .Untuk mewarnai langitmu yang kelabu.Dipagi hari. . .kamu bisa mewarnainya dengan merah muda yah langit dengan matahari terbit memang indah.Disiang hari buatlah banyak cahaya matahari dengan kuning keemasan dan campurkan juga biru yang menenangkan.Namun jika kau ingin cuaca sejuk segar, kau boleh gunakan warna perak dan putih untuk cahaya kilat dan hujan yang lebat.Ada apa dibalik hujan? kutemukan jawaban. . .mari gunakan semua warna yang kau punya, ciptakan Pelangi. Pita indah warna-warni. Biarkan harimu berseri.Dan senja datang. . . ayo gunakan sang Jingga yang jelita, ucapkan selamat tinggal pada bola cahaya raksasa.Hari menggelap?belum! mari kita torehkan Ungu dengan titik-titik cahaya . . .selanjutnya kau boleh menghitamkannya, biarkan gelap menemani mimpimu tapi jangan lupa simpan sebuah bintang díbawah bantal, bersama dengan kotak warnamug . . . Esok warnai lagi langitmu dengan warna apapun yang kau mau. . .Berjanjilah jangan biarkan langitmu Kelabu
          Olivia mengangguk, lalu menepuk bahuku dan berlalu, tapi suaranya masih tertangkap telingaku. “Selamatkan hatimu” dan yang kutahu, aku harus melepas zona nyamanku dan mulai menentukan arah langkahku. Akan kutemui kembali  gadis yang ingin mewarnai langitku.

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on May 18, 2013 20:42

Cerpen: Someone Somewhere in Summertime




Summer 2005             “…satu-satunya kesalahanmu adalah…” Lanang tak ingin menatap mataku saat mengatakannya  “kamu tak mempersiapkan hatimu untuk terluka” dia menatap langit yang mulai menjingga “Kita nggak bisa sama-sama Adiba!” sekilas ia menatap padaku dan bicara lirih, seperti bukan bicara padaku tapi lebih kepada dirinya sendiri “Just because we can't be together doesn't mean I won't love you. Call me crazy but I love you,  Adiba. Always have, always will.  You know love does not just disappear.” lalu mulai melangkah pergi jauh, tak menoleh lagi, terus berjalan dan meninggalkanku yang terpaku.            Aku bahkan masih bisa merasakan hangat tangannya yang tadi menggenggam jemariku. Tak menyangka secepat itu semuanya berubah, seandainya semudah itu pula menyatukan kembali pecahan hati yang berantakan. Semudah dia pergi meninggalkan aku seperti sekarang ini.Pada awalnya kupikir segalanya mudah dan indah. Cinta…harusnya hanya cinta, tanpa kata jatuh di depannya. Jatuh berarti…ada sakit yang terasa nanti. Jatuh cinta…seperti menjatuhkan diri dari jurang yang tinggi dan kita percaya ada seseorang dibawah sana yang menanti, untuk menangkap dan menyelamatkan. Seseorang yang kemudian akan memberikan sayapnya, terbang bersama kita menuju bintang-bintang, tapi sekarang aku terjatuh dari tempat yang terlalu tinggi. Aku remuk dan hancur tak ada yang menantiku di bawah sana, karena tadinya dia bersamaku, di sini di ujung pelangi. Orang yang sama yang menyelamatkanku, orang yang terbang bersamaku dan juga orang yang mendorongku untuk merasakan sakitnya perasaan ini. Mungkinkah ada sesuatu yang mampu meyembuhkannya? Aku tak lagi bisa percaya. *** Summer 2013 I miss my summer fling…I miss my summer romance” Sebuah pengakuan yang menyakitkan, sebaris kalimat berisi kejujuran yang baru saja aku ungkapkan pada Nino yang kini tersenyum kecut. Aku tak sedang bercanda, aku tak sedang menggoda tunanganku itu. “Bersamaku adalah salah satu hal yang kamu sesalkan, bukan?” aku tahu saat Nino mengatakannya, dengan sekuat tenaga dia menahan agar nada suaranya terdengar biasa, aku tahu itu tak mudah. “Seandainya bisa kembali pada kisah lamamu, kamu akan pergi dan meninggalkanku, kan?” tebakannya membuatku ketakutan.Aku menggeleng dan tersenyum untuk menunjukkan bahwa kesimpulannya tak berarti apa-apa, tapi di saat yang sama aku menyadari bahwa aku  mengangkat bahuku…. seandainya bisa menghilangkan salah satu fase terindah yang kini tak lebih dari kenangan musim panas saat aku masih remaja, saat segalanya indah, saat cinta hanya seperti cinta tanpa resiko terluka. Sebenarnya, cinta bisa begitu indah andai saja kami menyerah padanya, tapi kami membawa logika kepadanya hingga rasionalitas membuat kami harus mengakui bahwa cinta saja kadang tak cukup untuk menjalani sebuah hubungan. “Jika kamu masih bisa mengatakan rindu pada orang yang telah lama berlalu, itu artinya bahwa aku tak bisa menggantikan posisinya.” Nino menggeleng perlahan. “Aku takkan bisa menggantikan posisi Danang, Galang, Lanang atau siapapun namanya itu!”“Tidak seperti yang kamu pikirkan No, sekarang aku bersama kamu, ini kita! Aku kamu takkan terpisah” aku menggenggam tangannya dan memandang ke dalam matanya, di matanya kulihat bayangan diriku yang gelisah.“Apa artinya Adiba? Jika ragamu bersamaku tapi hatimu masih berada di masa lalu!”“Aku tak mungkin kembali padanya, dia yang meninggalkanku!” suaraku terdengar putus asa dan kecewa.“Kita tidak mungkin bisa melangkah bersama-sama jika kamu tak ingin meninggalkan masa lalumu!”Nino terdengar frustasi, raut wajahnya kaku mata lelahnya menatapku ragu, dia ragu akan masa depannya denganku.“No…” aku memanggil namanya pelan.“Akan lebih mudah jika kita berjalan sendiri-sendiri, sampai kita menemukan jalan yang sama lagi…itupun mungkin, karena ada kemungkinan untuk kita sebaiknya berpisah selamanya. Aku tak bisa menghapus bayang-bayang masa lalumu!”Mungkin Nino benar, namun separuh sisi hatiku merasakan keraguan. Nino memberi sebuah kecupan di keningku dan berbisik “Pergilah, perbaiki cintamu yang tertunda, tapi jika kau tak berhasil memperbaikinya, kamu tahu aku selalu di sini untuk menunggumu.” Dan Nino berlalu.***“Pernah membayangkan hari ini?” aku menoleh pada Lanang, yang memandang lurus ke langit yang menghitam, mentari sudah lama terbenam. Kami tengah berbaring di hamparan pasir pantai, menikmati malam, berdamai bersama alam. Hanya diam, tapi kami seharusnya di sini untuk menghapus kelam, bukan lagi seperti dulu, terus menerus terjebak dalam kisah yang takkan berakhir indah karena hanya akan menenggelamkan kami pada kekecewaan yang lebih dalam.Lanang masih terdiam, tapi mengulang kata-kata yang telah kukeluarkan membuatku enggan. Lanang tahu aku takkan bicara lagi…jadi menyentuh tanganku dan menggenggamnya, mata kami bertemu, aku memandang jauh ke dalam matanya…aku tak bisa melihat ada aku di sana…aku takkan bisa ada dalam masa depannya.“Seandainya cinta cukup untuk menyelesaikan segalanya…” katanya.Aku tertawa “Realita memanggil kita”“Boleh mengabaikan panggilannya?” aku tahu Lanang hanya menggoda.“Seandainya bisa” aku berharapLanang tertawa, parau, tanpa makna bahagia, tawa pura-pura ketika seseorang kehabisan kata.“Aku masih ingat bagaimana kita berjumpa dulu” bisiknya.Akupun tak pernah melupakannya.“Rambut tergerai tertiup angin pantai…kamu berdiri menatap laut…kupikir kamu menyukai ombak, tapi bisa jadi kamu suka wangi garam…tapi ternyata…”“Takkan ada yang menduga kan?” aku tertawa.“Kamu marah pada lautan”“Karena aku begitu payah…”“Bukan payah, hanya saja…”“Bermaksud membela diri, Adiba?” ekor matanya mengarah padaku.“Baiklah…logikanya, aku mencoba…ingin memahami, bahwa seharusnya aku menemukan biru”“Tapi kamu tak menemukannya, baik di langit ataupun lautan!”“Biru itu tak pernah sama kan?”“Pada akhirnya aku menemukannya Lanang…di matamu” saat mengatakannya aku merasakan seperti habis menelan segenggam pasir.“Harusnya kita tak membahasnya…”“Aku suka biru…biru yang selalu kulihat dalam mimpiku, kucari tak kudapati hingga kutemukan dalam binar matamu, tapi menyakitkan karena tak bisa tetap kumiliki.”“Kita bisa saling memiliki” kataku ragu.“Tidak”“Kenapa?”“Kita berbeda”“Apa salah?”“Tidak juga …hanya saja…”“Jangan mulai lagi”“Tuhan hanya satu, cara kita mempercainyalah yang berbeda.”Aku tak lagi ingin menatapnya, tapi berganti menatap langit yang menghitam…aku ingat dulu aku sering memejamkan mata hanya untuk melihat bintang-bintang dalam gelapku.“Orang tuaku berbeda… dan yeah mereka tak bersama, begitupun kita” bisik Lanang. “Kau tahu mata biruku hadiah dari lelaki yang membuat ibuku jatuh cinta, lelaki yang meninggalkannya karena alasan yang sama seperti kita, karena mereka tak sama, begitu berbeda.” Genggaman tangan Lanang semakin erat. “Tapi ibuku tak menyesali perpisahan dengan orang yang sangat dicintainya,  jika menyesal, maka beliau takkan mempertahankanku di rahimnya, maka takkan ada seseorang yang akan menggenggam tanganmu dan menemanimu menikmati bintang-bintang malam seperti sekarang.”“Dan takkan ada yang menghadiahiku dengan perasan menakutkan seperti ini”“Ketakutan?”“Kenapa begitu sulit untuk menyatukan perbedaan?”“Dulu kita mencobanya…dan kecewa”“Dan sekarang…”“Hanya reuni sahabat lama”Kami tertawa, terpaksa.“Sahabat lama yang dulu pernah saling jatuh cinta, tak bisa menemukan jalan yang sama, kita berpisah arah…dan yeah…lagi-lagi kecewa.”“Aku tak bisa melepas mata saat kaki-kakimu berlari di pasir, rokmu beterbangan, dan tawamu membelah di udara…”“Masih ingat detailnya?”“Ingatanku masih mengukir gambarmu dengan sempurna.”“Ingatan yang bagus, Lanang.”“Apa yang kamu ingat tentangku?”“Hal-hal yang menyakitkan…seorang pria tampan dengan kulit kegelapan, mata bitu terang dan rambut ikal emas…bernama Gusti Lanang Mahardika… siapa yang tak jatuh cinta? Hahahahaha, tapi ternyata harus berujung kecewa…”“Delapan tahun ini sungguh-sungguh sanggup melupakanku?”“Hanya mengajari hatiku untuk tak lagi mengharapkanmu.”“Bagaimana bisa?”“Memanipulasi hati dan mencoba untuk hanya mengganggapmu sebagai seseorang yang berada di sana di suatu musim panas saat aku menemukan apa yang kucari, biru…biru yang ketemukan tapi harus kurelakan…”“Apakah berhasil?”“Berhasil bila kukatakan bahwa kamu adalah musim panas terbaikku.” “Yeah musim panas terbaikku…”“Rasanya lebih bermakna saat aku hanya bisa menggenggam tanganmu.” Aku tahu Lanang membayangkan apa yang terjadi di sini delapan tahun lalu, sepasang remaja nekat yang berbuat terlalu jauh. Aku tak ingin ada yang terulang lagi, tak ingin tenggelam jauh lagi…harus pergi sekarang, sebelum ombak menyeret lalu menghempaskan kami dengan cara yang jauh lebih menyakitkan.“Saatnya mengucapkan selamat tinggal.” Aku bangkit dan mengibaskan pasir di pakaianku, aku berjalan, tak berbalik tak ingin lagi melihat sesuatu yang tertinggal di belakang…musim panas itu takkan pernah sama…musim panas terbaik, musim panas terburuk, saat aku jatuh cinta, saat pertama mulai membuka luka. Aku tahu sekarang kemana harus pulang, ya… ke hati orang yang memberiku banyak rasa sayang, seseorang yang akan menyongsongku ke masa depan. Seharusnya aku tahu pada akhirnya aku hanya akan kembali ke jalan yang mengantarku pulang pada Nino tunanganku. Dan Lanang hanyalah seseorang di musim panas terbaikku yang harus kusimpan dalam kotak kenangan di sudut hatiku.
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on May 18, 2013 20:36

Cerpen: Temani Aku Menatap Matahari

[image error]


Kadang sugesti kuperlukan untuk menipu diri Bukan untuk lari, tapi hanya menenangkan hati Bahwa aku takkan mati secepat ini ***          Terlalu lama menipu diri, mungkin hari ini harus kuakui , aku akan mati, sama seperti yang lain. Mati lebih alamiah dibanding kehidupan, tidak semua bisa hidup, tapi semua yang hidup pasti berujung mati. Apa yang harus kutakutkan? Aku hanya perlu menghadapinya. Mati tak lebih sulit dari pengabaian ayahku selama ini, mati tak lebih menyakitkan dari ibu yang lari dengan pemuda gimbal tukang tattoo yang (dulunya) berkeliling menjual jasanya di pantai dekat Villa kami. Kini aku sendiri, menghadapi sel-sel kanker yang menggerogoti, dan mati.           Seperti malam-malam biasa, bersama pacar dan sahabatku, aku mendatangi salah satu club malam favorite kami. Malam, ini segalanya berbeda di diriku, aku menyadarinya, dan sangat sadar saat menatap wajahku di cermin yang memantulkan penampilan terbaruku; tidak ada lagi rambut cokelat keemasan warisan ayahku yang berdarah Eropa, tidak ada lagi semu merah dipipiku yang kini memucat seakan tak lagi dialiri darah, tak ada lagi tanda bahwa aku bisa hidup lebih lama.          Aku tersenyum pada bayanganku yang tak lagi berwajah seperti seindah malaikat surga, karena telah berganti dengan wajah pasrah seorang gadis malang yang menanti datangnya  malaikat pencabut nyawa.          Tidak ada lagi yang perlu aku takutkan, jadi aku melepas scarf yang menutupi kepalaku, malam ini telah aku  putuskan untuk merusak pesta dan mengejutkan mereka! Aku harus katakan…aku menderita kanker darah, parah dan kita akan berpisah, mungkin aku akan memberi sedikit jokediakhir pengakuan tragisku nanti, dengan berkata “sampai jumpa di neraka, para penggila pesta” ***          Aku berharap semoga mereka hanya akan tertawa- menganggapku kebanyakan  minum, dan melakukan bunuh diri fashion, dengan menciptakan gaya mengenaskan; perpaduan dua makhluk horror, gaya gothic konyol Tuyul yang botak dan Vampire yang pucat, anggap saja aku sudah bosan dengan gaya Feminim-Metal khas Blake Lively; summer dress dan boots seksi, yang kini kuganti dengan kostum berkabung serba hitam dan riasan dramatis; smookey eyesjuga lipstick warna gelap, shit! Eye liner-ku meleleh dan membentuk garis hitam tak sempurna. Kuabaikan, aku siap berpesta dan siap untuk mengatakannya… mengakui bahwa hariku nyaris tak bersisa, tapi mampukah?***          Mereka di sana, di bawah cahaya warna-warni lampu yang menari-nari, ditengah rasa bahagia, yang kita tau bersama, tidak alamiah! Dimana logikanya saat aku akan mengatakannya di tengah pesta, membuat pengakuan bahwa aku akan mati sebentar lagi?          Jawabannya lebih karena, aku hanya ingin mengatakannya tanpa harus di dengarkan oleh telinga mereka yang ditulikan musik yang menggila, tanpa harus disadari otak mereka yang sudah terbius euforia pesta, aku hanya ingin merasa lega. Itu saja.          Aku mendekati mereka; Winda, Angga, dan Dharma, dan bergabung bersama dan larut dalam pesta. Hatiku merasa berdosa, bahkan saat kutau menuju mati aku malah makin memperlebar langkah ke neraka. Tak ada yang peka diantara mereka, apalagi menyadari apa yang terjadi; aku, wajah pucatku, penampilan baruku, yang kudapatkan hanya pujian betapa kerennya aku, dan Angga berkali-kali mengecup kepala licinku. Kupikir, inilah waktunya, karena aku sudah tak bisa menunggu, akhirnya aku bicara, bukan tapi  berbisik…aku akan mati” bahkan telingaku hanya menangkap getar lirih, karena dalam hati aku tak sanggup mengatakannya pada mereka, tak tahan lagi,  aku pergi. Sejujurnya aku ingin mereka menyadari bahwa aku tengah bersedih, tapi yang kurasa bahwa mereka tak merasakan perasaan apapun, hati kami tak terkoneksi emosi, apalagi tersentuh rasa empati.           Apa yang pikiran picikku lakukan? Aku sendiri, dan mati sebentar lagi? siapa yang peduli!***          Aku keluar dari ruang yang tak pernah kunikmati, itu cuma tempat yang kudatangi untuk membunuh sepi, tak ada yang kudapat disini, teman, hanya ikatan tanpa rasa, kekasih? Tak pernah terikat dengan hati!

TIGA BULAN KEMUDIAN                       “Bolehkah kukatakan betapa aku membencimu?” Angga berteriak frustasi kepadaku, aku tak menjawabnya, hanya menatapnya wajahnya yang tak lagi terlihat jelas, seakan dia berada di tempat yang hanya memiliki cahaya temaram, seakan aku melihatnya dari balik kaca berembun, seakan dia orang yang kuintip dari balik lubang kunci, tapi dia disini, dihadapanku, tengah menggengam tanganku, sementara aku terbaring kaku di tempat tidur tak nyaman, terkurung di ruang putih yang kubenci. “Kenapa memilih menderita sendiri?” Dia menyalahkanku, kupikir itu bijaksana, meninggalkannya dengan dunia yang disukainya, karena orang yang kucinta tak ingin kuajak dalam derita.“Aku tak ingin merusak pesta” aku mencoba tertawa dalam sisa tenaga yang makin melemah.“Idiot!” “Panggilan sayang yang indah” “Aku merindukan Ratu Pestaku”“Tapi aku tak merindukanmu”Aku melepas tanganku dari genggamannya. “Boleh minta sesuatu?”“Apapun” kini tangannya seolah tak peduli, sekali lagi dia menggenggam tanganku.“Boleh berhenti mencintaiku?” aku memaksa diri menciptakan seulas senyum di bibir keringku.“Takkan pernah” dia marah. “Aku mencarimu! Kemana-mana! Dan setelah bertemu dengan mudahnya kamu memintaku berhenti mencintaimu!”“Aku tak bisa lagi berpesta…tak dapat lagi hidup lebih lama”“Apa yang kamu rasa?”“Aku akan pergi sebentar lagi”Angga tak menatapku saat kata-kata itu membunuh harapannya, dia memalingkan wajahnya dan memilih menatap ke arah jendela. Sejujurnya aku tak menyadari sejak kapan dia di sini, karena aku baru saja menyadarkan diri.“Boleh minta satu hal?” pintaku lagi “Temani aku menatap matahari pagi ini” aku tau Angga takkan mengecewakanku.
***Aku selalu suka matahari terbit, membawa harapan, pertanda datangnya hari baru, aku selalu bahagia saat aku masih bisa merasakan indah cahayanya dari sela-sela jendela kamar perawatanku, tapi hari ini, aku dan orang yang kupikir akan kutinggalkan dan takkan pernah merasa kehilanganku tengah bersamaku, menunggu datangnya bola cahaya raksasa itu…“Kita sudah melewatinya…” bisikku lirih“Apa?” tanya Angga, sekarang tangan kami saling menggenggam seakan tak ingin terpisahkan, dan dia membiarkan kepalaku bersandar di bahunya.“Waktu tergelap” Jawabku pelan lalu kami terdiam karena mata kami tengah menikmati guratan perak di ujung timur, yang entah mengapa kini terasa begitu dekat. “Waktu tergelap terjadi tepat sebelum matahari itu datang, sebelum dia membawa cahayanya yang terang” aku berkata lagi, tapi suaraku terdengar semakin melemah, tapi aku tau aku mampu mengucapkan hal-hal yang ingin kukatakan.“Aku sudah melewati saat itu” Ada nada bangga seakan aku bocah kecil yang berhasil pertama kali menyuapkan makanan pertama tanpa tumpah kemulut mungilnya.  Angga mempererat genggaman tangannya seakan takut aku akan melepaskannya. “Pernah menyadari bagaimana hidup ini berjalan?” Aku merasakan bahu Angga terguncang, dan aku merasakan ada cairan hangat yang meleleh dipipiku yang kuabaikan, aku merasa telah kehilangan seluruh tenagaku, tapi aku harus mengatakannya, aku menguatkan diri dan memaksa untuk terus bicara.“Kita menyimpan sebuah harapan yang kita harap nanti agar terkabulkan… walau kadang ada keraguan, seakan harapan itu takkan pernah terwujudkan, tapi pada akhirnya harapan itu menjadi nyata… seperti saat aku menunggu seseorang yang tepat yang kupikir takkan pernah datang, kamu tau itu siapa? Itu kamu!” Kali ini Angga melepaskan genggamannya dan mendekapku, seakan aku ingin dijaga selamanya “Kemudian setelah hal itu terjadi segalanya seakan berakhir, seakan…hanya ada satu hal yang paling kamu inginkan, melebihi apapun, mengulangnya lagi, seperti memutar memori itu ke belakang, dan memutarnya dari awal, kembali pada peristiwa sebelum harapan itu termiliki…tapi aku tau tak ada waktu untuk mengulangnya lagi” Aku terengah seakan kata-kata itu menghisap habis tenagaku, tapi aku tau aku telah mengatakannya, dan merasa bahagia saat menatap kemilau keemasan indah di saat terakhir dibatas waktuku, di tempat ternyaman di dunia, dalam pelukan orang yang kusayangi, tak ada penyesalan hanya ada senyuman karena aku pergi dengan tenang.
:::The End:::
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on May 18, 2013 20:27

Cerpen: Sepatu Kaca Berwarna Merah



Seperti dipaksa bangun oleh dering alarm di pagi hari, begitulah cara banyak orang memaksaku bangun dari dongeng ala sang Putri, tentang kehidupan dengan fantasi tinggi, aku tidak sedang bermimpi, aku hanya sedang memprediksikan bagaimana masa depanku nanti!***            Aku ingin melupakan bahwa hari ini adalah ulang tahun kedua puluh limaku, ya ampun angka itu sungguh mengejekku. Aku tak ingin ada acara makan malam keluarga seperti biasa, apalagi harus mengucapkan permohonan dalam hati saat aku memadamkan lilin yang mengintimidasiku itu, oh Tuhan, setiap permohonan yang kulakukan pasti akan berujung kekecewaan, aku tak lagi percaya dengan keajaiban, untuk kali ini aku ingin menyerah saja.            Aku memilih menghabiskan senja hariku di taman sambil menikmati Ice Cream Vanilla dengan Chocochips, potongan Brownie juga cacahan kacang Mede. Di sini dulu, aku sering melewatkan banyak waktu bersama cinta pertamaku, Adera namanya, kami melakukan banyak hal di sini, katanya di sini dilarang bersedih, karena tempat ini  adalah tempat penuh tawa, tapi lima tahun lalu, aku mematahkan kata-katanya, aku menangis, saat dia mengucapkan selamat tinggal, dan kita berpisah, tak tau apakah mungkin lagi untuk berjumpa. Otakku mau tak mau mengenang kembali kejadian jauh sebelum kami berpisah, delapan tahun lalu, hari aneh di awal perjumpaan kami yang juga diwarnai oleh sedih dan tangis.             “Hey “Seorang cowok yang tak kukenal menyapaku hangat dan memberiku sebuah senyuman. Aku sedang duduk diam karena demam, wajahku memerah dan panas, sedikit menggigil tapi aku menguatkan diri pura-pura bertahan. Aku hanya menunjukkan muka datarku, sebenarnya agak terganggu dan mengusirnya jauh-jauh, tapi ini tempat umum, jadi apa dayaku?             “Adera” Dia menyebutkan namanya, nama yang indah. “Kamu?” dia mengulurkan tangannya untuk kujabat. “Sabria” jawabku pelan dan serak, kuulurkan tanganku untuk kujabat tangannya dan merasakan betapa sejuk dan nyamannya sentuhan dari tangan itu.Dia menatapku dalam, ada ekspresi panik di wajahnya “Kamu demam?” dan dengan cepat dia menyentuh keningku, rasa nyaman itu kembali terasa, sentuhan dari orang yang baru kukenal entah mengapa terasa sangat menenangkan. “Udara terlalu dingin di sini, sudah waktunya pulang”Aku menggeleng, dan meneruskan menatap kosong ke arah cahaya Jingga yang di ujung barat yang indah. Aku tau dia terus menatapku dalam diam, tak tahan dan tak ingin memikirkan, aku hanya ingin menumpahkan kesedihan, tak peduli apapun pendapatnya aku hanya ingin menangis, hari ini hatiku bagai teriris, seakan bibirku takkan mampu menciptakan lagi sebuah senyuman manis, hari ini aku akan mulai menjalani kehidupan yang tragis.“Semuanya baik-baik saja?” dia bertanya, terdengar khawatir untuk dilontarkan orang yang baru dikenal. Aku ingin mengangguk tapi ternyata aku menggeleng, Adera menghela nafasnya, dan menatap ke arahku yang tak mampu untuk menatap wajahnya, tapi aku bisa merasakan aromanya yang seperti secangkir kopi di pagi hari.“Aku antar pulang ya?” Aku menatap wajahnya yang agak kabur karena mataku berembun. Bayangannya bergoyang, tapi tak lama, setelah tangis itu meleleh, setelah ibu jari itu mengusap dan menghapusnya. Sekarang aku benar-benar menatap sosok jangkung dengan wajah manis dan rambut berantakan yang tertiup angin, aku menggeleng, tidak tersenyum atau menampilakan ekspresi apapun. Aku bangkit dari tempat dudukku, dan melangkah gontai, melangkah pulang menuju rumah. Aku tau di sepanjang perjalanan dia mengikutiku, bukan membuntuti, tapi aku yakin dia hanya ingin memastikan aku pulang ke tempat yang seharusnya, sebuah bentuk perlindungan, walau agak aneh, karena datang dari orang yang tak kukenal.***                                           Aku bertemu lagi dengannya keesokan pagi, bukan kebetulan lagi kurasa, karena hari itu kami sama-sama terlambat dan menunggu giliran hukuman di ruang BP, dia menyodorkan sebatang cokelat bar.                 “Cokelat bisa bikin kamu bahagia, percayalah” Aku mengambilnya, menggenggamnya erat, seakan takut terlepas dari genggaman. Aku sadari muka melankolisku menimbulkan empati dari orang lain, semalaman aku menangis, aku menangis karena usiaku 17 tahun, aku menangis karena diusia itulah aku mendapat kado tak menyenangkan, perjodohan tanpa belas kasihan. Aku kehilangan harapan bahwa suatu hari nanti pangeranku akan membawakan sepatu kaca yang cocok untukku. “Sudahlah, itu hanya dongeng!” kata-kata mama memusnahkan harapanku.                 “Lain kali saat kita ketemu, aku pengen dengar kamu tertawa” setelah itu dia berlalu, bersama peralatan untuk membersihkan toilet cowok sebagai hukuman.
***                 Entah nasib yang mempermainkan ataukah ada yang disebut daya tarik menarik diantara kita. Aku bertemu lagi dan lagi dengannya, hingga kami memutuskan menamakan takdir atau mungkin kebutulan yang kami alami itu sebagai persahabatan, yeah persahabatan yang berubah menjadi cinta, hanya itu yang mampu kutawarkan untuk dia yang setelahnya tak bisa kupungkiri bahwa ada sesuatu yang disebut getaran cinta, tapi apa yang bisa kulakukan selain menyangkal pada akhirnya? Ada mas Eda di sana, seseorang yang akan kunikahi nanti, walau belum pernah kutau bagaimana wajah atau hati yang dia punya, karena…aku belum mampu untuk menghadapinya, aku hanya ingin menemuinya ketika saatnya tiba agar aku bisa menjalaninya dengan mudah.***                 Banyak hal yang kami lalui bersama, yang paling membuatku terkenang, memang pertemuan setiap sore  kami di taman ini, untuk menikmati senja dan merasakan lezatnya ice cream atau manisnya kembang gula, sambil tertawa dan membicarakan apa saja, bersamanya hanya ada satu hal yang tak pernah diizinkan untuk kulakukan, menumpahkan air mata, katanya dia menyukai senyumku, dan dia juga mengatakan betapa inginnya dia menyimpan tawaku dalam toples kaca agar bisa dinikmati kapan saja.                 Ini hari ulang tahunku yang kedua puluh lima, dan tak boleh lagi ada air mata, apakah aku harus lega bahwa hari ini datang juga? Lamaran itu akan dilaksanakan malam nanti, dan untuk pertama kalinya aku akan bertemu dengan calon orang yang akan menua bersamaku, mungkin tiba waktunya untuk melupakan dongeng impian tentang sang pangeran yang kupikir sosoknya kutemukan pada sosok Adera…                 Ada tiga tahun kebersamaan yang menyenangkan saat kami menikmati hari ulang tahun rahasia di sini, bagaimana kami merayakannya dengan cara sederhana dan tak biasa, tak ada lilin yang ditiup untuk mengucapkan keinginan, yang dia lakukan adalah…di ulang tahun kedelapan belasku, dia membawakanku sebuah layangan, di ulang tahun yang kesembilan belasku dia membawakanku sebuah balon helium, di ulang tahun terakhirku, bersamanya, usia dua puluh, dia membawakanku sebuah botol kaca. Taukah kamu apa yang dilakukannya? Dia mengeluarkan spidol dan kertas merah muda, untukku menuliskan keinginan yang diterbangkan bersama layangan, balon helium, dan yang terakhir akan dibiarkan mengikuti arus lautan luas dalam botol kaca yang dilemparkannya dari pantai, dia akan menutup mata saat aku menuliskan permohonanku, seharusnya begitu, karena permohonanku satu, aku mengharapkan Adera-lah yang menjadi pangeran yang akan memasangkan sepatu kaca pada kakiku. Tapi sudahlah habis cerita. Usia 25 aku harus bangun dari khayalan gila.                 Aku bangkit dan tersenyum pada senja, mengucapkan selamat tinggal pada indahnya mimpi dan khayalan, sambil mengucapkan selamat datang pada realita yang menyakitkan.***
                 Aku hanya bisa tersenyum pasrah saat detik demi detik yang menyiksa seakan mencekik, kupikir gaunku yang kesempitan yang membuat perasaan tak nyaman ataukah memang karena aku menelan pahitnya keadaan. Mama dan Tante Utami tersenyum, Papa memberikanku senyum bahagia, tak tau apa yang kulakukan, seandainya saja bisa memberontak, tapi sia-sia, aku tak ingin merasa bersalah, juga berdosa apalagi harus menggenggam label anak durhaka.                 Aku hanya menunduk, seakan dengan menatap lantai atau ujung Stilleto-ku bisa membuat keadaanya membaik, sebenarnya itu lebih karena aku ingin tak menatap siapa-siapa, apalagi pria yang akan menjadi pendampingku.                 “Cantik” aku menundukkan kepala saat mendengar seorang pria menyebutkan kata itu, kurasa itu suara calon suamiku, aku menunduk dan rasanya ingin memejamkan mata, sungguh aku tak ingin melihat wajahnya, pujian yang keluar dari mulutnya sungguh tak terdengar manis apalagi membuatku tersanjung, karena di otakku calon suamiku tak lebih dari pria yang mau melakukan perjodohan karena dia tak laku dipasaran.                 “Wah Eda, bagaimana? Sudah nunggu lama untuk ketemu Sabria?” suara Mamaku terdengar manis, tapi kata-katanya membuatku menangis, saat ini, aku harus membunuh mimpiku, mengubur anganku.                 “Akhirnya tante…”suaranya membuatku ketakutan, aku memaksa diri untuk menguatkan hati. Kakiku bergetar, dan kursi tempatku duduk seakan tak kuat untuk menopang, saat dia datang dan berdiri tepat di depan.                  “Sabria” dia menyebut namaku, “boleh menatapku?” aku tak mampu, yang kulakukan hanya mengalirkan air mata. Aku tak ingin menatapnya, bahkan saat cubitan mama memaksa. “Maaf membuatmu harus menjalani hidup bak Siti Nurbaya” Suaranya terdengar mengejek, itu membuatku muak, dan aku semakin ketakutan saat orang itu berlutut di hadapanku, menyentuh tanganku yang kugenggam erat, sungguh aku tak ingin membukakan jariku untuknya, dia tak memaksa tapi hanya berkata “Gadis manis aku takkan menyerah” dengan cepat dia melepas tanganku tapi menyentuh kakiku dan melepaskan sepatuku dan berkata “Cinderellaku aku tak menemukan sepatu kaca yang cocok untukmu, kuharap kamu suka Stilletto Manolo Blahnik warna merah” terdengar seperti mimpi dan olokan hingga membuatku bingung untuk mencernanya, mau tak mau aku menatapnya, dan terlihat di sana…                 “Apa kabar Sabria?” Seseorang yang kurindukan tengah tersenyum padaku, seolah tak percaya aku mengerjapkan mataku untuk meyakinkan bahwa ini bukan fatamorgana. “Bukankah permintaan yang sama setiap ulang tahun yang kuberikan?” dia memberiku senyuman “Sejujurnya cincin terlalu membosankan untuk pertunangan, kalau kamu keberatan untuk bertunangan denganku, kuharap kamu mau mengembalikan sepatuku! Sayangnya tidak ada cewek yang mampu menolak Manolo Blahnik”                    Aku masih tak tau harus berkata apa, tapi yang pasti ada yang menggelitik di dalam hati.                 “Delapan tahun lalu aku juga keberatan dijodohkan, tapi tak lagi keberatan saat tau bahwa cewek yang kutemui di taman itulah orangnya, yang menangis hingga demam, yang memendam perasaan karena dia telah bertunangan, hey, akulah tunanganmu, akulah si Eda, walaupun aku benci panggilan masa kecilku masih dijadikan panggilan oleh orang tuaku….well, mau menerima sepatu kacaku? Atau….?” Dia bangkit dan berdiri tegak di depanku, tak lagi menunduk, aku malah mendongak menatap tubuh jangkungnya.                 “Bagaiamana bila ukuran sepatu itu tak pas di kakiku?” Kalimat idiot yang tak pantas kutanyakan.                 “Well, berarti aku bukan sang pangeran, dan perjodohan dibatalkan!” dia tersenyum jail, tapi dengan cepat memasangkan sepetu cantik berwarna merah itu yang ternyata pas sekali di kakiku, aku nyaris melupakan semua orang yang berada di sekeliling ruangan, tepukan tangan merekalah yang menyadarkanku, bahwa mimpiku menjadi kenyataan, ternyata aku benar bahwa setiap gadis adalah Cinderella dan cuma masalah waktu untuk menunggu sang pangeran datang, seandainya sedari dulu kutau siapa pangeranku, delapan tahun terlalu lama untukku mengulur waktu, tapi bagian terbaiknya, yeah kami bertemu dan membuktikan bahwa happily ever after ada di duniaku. :::The End:::
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on May 18, 2013 20:17

Cerpen: Loony Loopy Lottie



Sometime it is easier to smile even if you're hurting inside, than to explain to the whole world why you're sad***            Senin selalu jadi hari paling membosankan. Dengan berat hati aku harus mengucapkan“ I Love Monday” hanya untuk menyemangati diri, dalam hati aku justru merasa bahwa saat lidahku mengucapkan kalimat ajaib itu, tahukah kau seperti apa rasanya? Seperti mengatakan bahwa “I Love You” pada mantan pacar brengsek yang mengkhianatiku! Mantan brengsek rasanya tak seberapa parah, hanya saja jika si jalang selingkuhannya itu bukanlah sahabatku.          Syukurlah aku bisa melewati Senin ini dengan sukses walau melelahkan, pekerjaanku tidaklah begitu mudah juga tidak begitu menyenangkan hanya saja, karena aku tak bisa meninggalkannya, jadi aku harus mencintainya. Itulah yang membuatku bertahan, selain mengingat bahwa aku punya tagihan-tagihan setiap bulan, hey bukankah kita semua hidup di dunia yang matrealistis?***          Aku baru saja selesai melakukan ritual mandi yang menyenangkan dan akan mengoleskan Hydrating Body Souffle Cream ke seluruh tubuhkan tepat saat pintuku diketuk seseorang. Tahukah dia bahwa malam ini aku hanya ingin berkencan dengan Darren, tanpa gangguan siapapun.          “Siapa?” aku berteriak sambil memandang cermin yang menampilkan wajah alamiku tanpa make up dengan rambut basah tergerai berantakan, hey aku tidak jelek, hanya saja terlihat…oh sudahlah! Aku mempererat tali jubah mandiku dan bergegas membuka pintu.          “Hey…” dari balik pintu Jesse memberikan senyumannya, tanpa kupersilahkan dia langsung masuk. Apakah dia tidak melihat bagaimana ekspresiku saat memutar bola mata sambil menatapnya?          “Lottie… aku punya beberapa film, kamu pasti menyukainya!” Jesse terdengar bersemangat.          “Ninja, Vampire, Cowboy?” kataku cepat sambil berjalan masuk ke kamar dan mengganti jubah mandiku dengan dress rumah. “Film-film yang kau bawa membuatku muntah-muntah, darah, mayat, pembunuhan…itu sama saja dengan menyiksa jiwa romantisku. “ Aku berteriak, tapi dari ruang depan aku mendengar tawa Jesse yang serak tapi riang.          “Itu sebabnya aku mencintaimu Lottie! Jiwa romantismu” kata-katanya membuat pipiku bersemu merah….tanda bahaya! Aku tak ingin seperti ini terlalu lama. Aku melarang diriku jatuh cinta pada Jesse, karena …satu…dia lebih muda tiga tahun dariku, pengalaman mengajarkan…bahwa pria lebih muda tidak baik untuk hidupku, mantan pacarku sebelumnya yang berusia tiga tahun lebih muda hanya menjadikanku sebagai objek obsesi horny-nya. Sekarang takkan lagi kubiarkan, dan yang kedua…aku tak mungkin bisa mengkhianati Darren. Cinta sejatiku.          “Tapi aku tak mencintaimu anak muda” kataku datar dan duduk di sampingnya di sofa merah nyaman kesayanganku, sambil membuka Netbook-ku lalu memulai kencan virtualku, kencan virtual?, hey…sejujurnya tidak seperti itu.          “Aku suka wangimu” bisik Jesse sambil menggodaku. Film-nya telah diputar dan adegan awalnya sudah membuatku mual. “Apa yang kamu lakukan?” Jesse ingin tahu.          “Seperti biasa” jawabku cepat sambil mengklik pada nama berwarna biru.          “Oh yeah Darren…kekasih sejatimu…hanya saja aku tak pernah menjumpainya…jika aku menemukannya…maka akan kuhadapi dia sebagai laki-laki.”          Aku tertawa, mengingat usianya baru menginjak 17 tahun, dia baru akan lulus SMU beberapa bulan lagi. Seandainya aku seusianya aku  akan memacarinya, setidaknya dia cukup keren, rambut berantakan, gaya urakan, tampang berandalan, cewek mana yang tak suka bad boy? Mereka menantang…tapi aku gadis dewasa.          “Apa yang akan kau lakukan?” aku mencoba bertanya “akan kuhadapi dia sebagai laki-laki?” aku tertawa mengulang kata-katanya. “kau cuma bocah laki-laki yang terjebak dalam tubuh pria dewasa.” Aku mengejeknya.          “Aku akan menghancurkan wajah tampan Darren-mu tersayang.” Dia berbicara dalam nada dingin, antara dia memang membenci Darren tahu dia memang tak suka aku menyebutnya sebagai bocah laki-laki.”Ingat aku pernah menghajar David karena mencampakkanmu, hey…aku nyaris mengenal siapapun yang kau kencani, entah mengapa kau masih saja merahasiakan Darren?”          “Darren begitu istimewa?” matanya tak menatapku tapi masih lurus menatap pada wajah kanibal yang saat ini tengah mencabik-cabik tubuh manusia dengan brutal di layar TV          “Sangat…”          “Yeah…apakah dia setampan David? Kamu mencintainya seperti David?”          Aku tertawa          “Hahaha demi Tuhan Jesse, aku tak pernah bersungguh-sungguh dengan David, demikian juga dengan Allan, Bobby atau Siapapun laki-laki yang pernah kukencani, mereka hanya sebagai seseorang yang harus kumiliki untuk mengatakan pada dunia bahwa aku bukanlah lajang yang menyedihkan. Aku tak pernah jatuh cinta pada mereka, sungguh.” Aku mengucapkannya dengan serius.          Jesse melihatku yang saat ini sedang menatap lurus pada layar dengan antusias memandangi wajah Darren yang tersenyum pada kamera. Dia terlihat tampan mengenakan T-Shirt Polo dan celana berwarna khaki.          “Dia?” Jesse tertawa. “Jadi? Pria seperti itu yang membuat kamu menolakku?” Jesse menggeleng beberapa kali, tak habis pikir, matanya menatapku dan menatap wajah Darren di Netbook-ku.          “Oh sudahlah” bisikku, tanganku membuka tab baru dan membuka halaman profile facebook-ku dan mulai menuliskan sebuah status.
I want to be with you,But you’re millions of miles away.I wish you would call just to ask about my day.It would make things so much better if I could hear your voice,I guess I can’t complain too much, it just wasn’t your choice.I miss you so much
          “Well yeah, aku tahu kenapa statistik menunjukkan banyak orang yang masih betah dengan Facebook bahkan di saat Twitter sudah tercipta, karena…jika Twitter adalah media tercepat dalam penyebaran informasi, maka Facebook adalah media paling tepat untuk menghambur-hamburkan isi hati.” Jesse berbicara dengan nada bosan “Lottie….”          “Aku lebih menghargai bila kamu memanggilku dengan Charlotte, aku terdengar seperti bocah lima tahun saat kau memanggilku dengan nama seperti itu.”          “Kau memanggilku bocah dan saat aku menyebut namamu seperti itu kau marah?” Dia menatapku tak percaya “Sungguh menjengkelkan”          “Jesse!”          “Lottie!”          “Jesse!” aku menaikkan nadaku, marah.          “Loony Loopy Lottie!” lalu dia tertawa.           “Dewasalah!” Jesse sungguh keterlaluan, jadi aku memilih bangkit dari sofa dan meninggalkannya. Aku berdiri menghadap jendela, mencari angin segar menikmati udara malam.          “Loony Loopy Lottie” dia masih tertawa dan kini mengulang lagi “Loony Loopy Lotty…Loony Looooooopy Lootttttttttttttttttttttttttie”           “Oh shut up!” teriakku, sungguh-sungguh marah.          “Sorry” Aku mengabaikannya.          Dan setelah itu lama kami terdiam…kupikir dia sedang menikmati film-nya sementara aku sedang sibuk dengan pikiranku sendiri.          “Boleh bertanya sesuatu?” akhirnya kebisuan itu terpecahkan.          “Katakan” sejujurnya aku tak sungguh-sungguh bisa marah padanya, dia seperti adik laki-lakiku.          “Kau begitu bodoh Lottie! Apa yang kau lakukan?” mendengarnya berbicara aku lalu berbalik menghadapnya dan melihat apa yang dilakukannya, dia sedang menatap pada layar Facebook-ku. “Darren bukan lagi pacarmu…kamu hanya…”          “Bagaimana bisa kamu bicara seperti itu?” ada nada panik dalam suaraku, dan dengan segera aku menghadapinya dan merebut Netbook-ku dari tangannya.          “Ada apa denganmu?” Jesse menatap padaku yang menghindari tatapan matanya.          “Kau masih mencintainya, kan sementara dia? Kalian sudah berpisah lama, menyerahlah!”          “Sangat…” ingin kujawab, tapi kuhanya bisa mengatakannya dalam hati, entah mengapa saat itu tenggorokkanku tercekat, aku menyadari betapa bodohnya aku.          “Kau dan dia …? tidak…?” tatapan matanya menuduhku, membuatku malu, serasa menghujam langsung ke jantungku.          “Yeah…tidak” aku tak tahan, aku menyerah          Jesse menatapku          “Apa yang harus kukatakan? Aku malah bertanya, itu membuat aku terlihat semakin bodoh.“Lottie” dia menanti jawabanku, dan aku sungguh kesal, malu dan seperti kehilangan harga diri bahwa saat ini dia mengetahui ketololanku. Aku tak tahan lagi, hingga lidahku mulai mengatakannya.          “Okay, dia bukan lagi siapa-siapa hanya seorang mantan lama….yang begitu kucinta” saat mengatakannya aku memaksakan diri melihat langit-langit, mencoba menahan air mata yang menggenang.  “Mungkin pikiranmu benar, harus kukatakan…aku gadis bodoh yang mencintainya dari jauh, mengamati aktivitasnya dari dunia maya, puas!” setelah itu aku …entah mengapa merasa lega dan sekarang…tak peduli lagi harus seberapa banyak menumpahkan air mata.“Hey…” Jesse duduk di sampingku, lalu membelai rambutku yang masih lembab. “Kau ingat? Kau selalu mengatakan bahwa kau punya seorang Darren di sana, hingga kau menolakku dan pria-pria lain yang menyayangimu….aku memahami, tapi aku belum putus asa…” Jesse berbicara seperti bukan dirinya terdengar lebih lembut dan dewasa.          Aku diam dan membiarkan air mataku tetap mengalir          “Apa dia mengetahuinya? Bahwa di sini kamu begitu mencintainya” mengapa  Jesse harus bertanya seperti ini.          “Tidak…sama sekali.”          “Sudah kuduga” Jesse menatapku aku tak ingin menatapnya. “Lottie… sadarkah kau betapa manisnya nama Lottie? Tapi kau lebih suka dipanggil Charlotte, karena Darren memanggilmu begitu?”          Aku mengangguk          “Kau tahu Darren mengaktifkan chat-nya di seberang, kau juga bisa menuliskan pesan di dindingnya…tapi kenapa kau malah hanya menuliskannya sebagai status di facebook-mu, mengapa tak kau katakan?”          Aku berusaha.Aku mencoba. Betapa aku mencintainya, tapi tak ingin membayangkan bila saat itu tiba dan aku harus mengatakannya sementara Darren…oh Tuhan aku sungguh ketakutan..biarlah aku tetap mencintainya dalam diam, biarlah seperti apa adanya…aku hanya ingin mencintainya tanpa perlu diketahuinya itu saja…dan aku menangis lagi memikirkan betapa menyedihkannya cinta yang harus kualami, kukatakan pada Jesse dan siapapun bahwa aku masih memiliki Darren, kenyataannya aku tak lagi memilikinya, hanya terus mencintainya sebagai seorang pecundang.          “Tak ingin mengatakannya? Bertahan sebagai mantan lama yang masih mencintainya?” tatapan Jesse membuatku merasa bersalah          Aku mengangguk          “Kau seharusnya menjadi pemain teater, berpura-pura punya kehidupan cinta dengan seseorang yang luar biasa yang berada jauh diluar sana, menampilkan wajah seolah kau adalah wanita paling bahagia di dunia… padahal di sini kau menderita dalam kesedihan karena tak mampu mengungkapkannya … kau tahu bahwa tidak ada yang lebih menyedihkan dibanding menipu diri dan pura-pura bahagia Lottie!” sekarang suara Jesse terdengar kesal.           “Sometime it is easier to smile even if you're hurting inside, than to explain to the whole world why you're sad”Aku cuma bisa berbisik pelan.          “Aku tahu jawabannya sekarang…” Jesse bangkit. “Aku menyerah, tak mudah mencintai gadis yang begitu mencintai cowok lainnya.” Dia berdiri menghadapku.” Kau tahu ini gila”          “Yeah, ini sungguh tak masuk akal tapi menurutku ini sangat benar.” aku menghapus air mataku dan bergegas berjalan ke pintu dan membukakan pintu untuk Jesse. Aku tak tahan lagi, aku tak ingin dia lebih lama lagi di sini. Jesse mengerti maksudku, dan akhirnya dia berjalan melewati pintu, tapi sebelum aku menutup pintunya dia berbicara.”Mungkin ada benarnya jika kamu terus menunggu dia, Darren…seseorang yang tepat denganmu, dibanding bertahan bersama orang yang salah sepertiku.” Lalu Jesse berlalu, punggungnya menjauh.***
          Setelah aku menutup pintu, aku merasa bahwa ini semua telah berakhir, berantakan, hingga aku menyadari ada bunyi dari Netbook-ku, tanda ada video call dari facebook-ku, kutatap layarnya…saat kulihat panggilan itu berasal dari Darren, dan menyadari bahwa di kolom chat aku membaca sebaris kalimat…status terbaruku untuk kamu…shit! Apa yang Jesse lakukan???tapi mungkin inilah kesempatanku jadi kuputuskan untuk menjawab panggilan, dan pada saat itu menatap wajah dan mendengar suara dari orang yang paling aku rindukan, di sana tergambar senyuman Darren…itulah senyuman dari orang yang paling aku harapkan… dan mungkin aku harus berterima kasih pada Jesse.


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on May 18, 2013 19:58

April 17, 2013

Review Film : LOL (Lots of Love)


[image error]

Betapa sulitnya menjadi remajaBetapa tersiksanya menjadi orang tua
***
        Mungkin itulah yang ingin disajikan oleh film ini. Berkisah tentang Lola (Miley Cyrus) yang memulai tahun ajaran barunya dengan patah hati setelah putus dari Chad (George Finn) dan memulai hubungan baru yang rumit dengan sahabatnya yang juga adalah sahabat mantan pacarnya, Kyle (Douglas Booth).  Standar kisah cinta ala remaja, konfliknya pun biasa saja, aku malah lebih suka dengan drama cinta segitiga tanpa sudut antara, Emily (Ashley Hinshaw), si nerdyWen (Adam G Sevani) dan si guru Trigonometri seksi, Mr.Ross (Austin Nichols).
          Kisah cinta antara Lola dan Kyle diwarnai kesalahpahaman karena Emily dan Wen (Emily merahasiakannya dan membiarkannya menjadi kesalpahaman fatal, karena…yeay Wen nggak keren dan Emily cinta mati pada Mr. Ross!) yang melakukan aktifitas romatis dikamar mandi cowok yang dipikir Lola adalah Kyle dan Ashley (dilabeli si post-it karena hobi nempel ke cowok-cowok, terutama ke Kyle dan Chad yang adalah personel band No Shampoo yang keren. Oh ya, diperankan oleh Ashley Greene), karena Emily dan Ashley punya tas yang sama. Percintaan Lola dan Kyle juga diperumit oleh hubungan mereka yang adalah sahabat sebelumnya, kecemburuan Chad, sikap genit Ashley serta masalah-masalah keluarga.           Lola memiliki ibu yaitu Anne (Demi Moore) yang “mengklaim” dirinya memiliki moralitas tinggi, sehingga kadang harus “sembunyi-sembunyi” untuk mengencani mantan suaminya dan ragu ketika harus memulai hubungan baru dengan James (Jay Hernandez), serta bersikap terlalu keras terhadap putrinya. Masalah diantara Lola dan Ibunya membuat keadaan cukup rumit, begitupula dengan Kyle dan ayahnya, yang membenci hobi bermusik Kyle.           Tak ingin bercerita banyak tapi aku akan menunjukan bagian favoriteku saja.
Pertama; Cinta orang tua ke anaknya. Orang tua, akan melakukan apapun untuk anak yang disayanginya, ketika orang tua tak bisa mencegah hal buruk pada diri anaknya, mereka mungkin marah, tapi marah adalah rasa kecewa yang menggila. Ketika ibu Lola membaca diary-nya, dan ketakutan dengan apa yang telah terjadi pada putrinya, seburuk apapun itu, dia sangat menyayanginya. Atau ketika ayah Kyle menemukan ganja dan menghancurkan gitarnya, itu karena untuk menjaga putranya dari hal yang bisa merusaknya, pada akhirnya ada wajah bangga saat dia diantara sekumpulan remaja menonton aksi panggung putranya.

Kedua; email penyesalan Lola kepada ibunya, sangat manis :
                   Dear Mom.                        Maafkan aku jika apa yang kau baca di buku harianku membuatmu merasa berbeda tentangku, tetapi sebenarnya aku ingin menceritakan tentang semua yang ada di sana, tapi aku takut. Takut tentang apa yang kau pikirkan tentangku dan takut kau akan menyalahkan dirimu sendiri, yang seharusnya tidak.Aku tahu aku menjalani tahun ini dengan nyata dan aku tidak bisa menghargai cintamu. Sejak aku pergi aku tidak menangis karena aku sedih, ini karena aku membuatmu sedih dank au tidak pantas untuk menerimanya. Aku tahu kita berdua datang dari sisi yang berbeda. Tapi mungkin kita bisa bertemu di tengah. Aku sangat merindukanmu.
Love
Lola
Ketiga; Mr. Ross! Guru Trigonometri yang seksi! Dia sempurna! Dia terpelajar, sopan, bergaya hidup sehat dan tahu cara menghadapi remaja. Dia seperti…Mr. Right di dunia nyata (yang tak pernah ada).
Dia menyelamatkan Emily dari kebohongan idiot khas remaja dari ibunya (padahal kebohongan itu tentang Mr. Ross), membantu Wen di pelajaran tambahan Trigonometri (dan aku ngakak di bagian Wen Vektor, halo Wen itu Hannibal Lecter, bukan Vektor!). Serta aku suka caranya menasehati siswa yang dia tahu bahwa siswanya itu jatuh cinta padanya tapi juga dicintai oleh siswa bimbingannya “Kau gadis yang cantik, kau gadis yang pintar, dan gadis yang pintardan gadis yang pintar tidak perlu berbohong untuk mendapatkan apa yang kau mau dalam hidupmu!Kau tahu apa yang kubicarakan?Dan juga Wen sangat baik, dia anak yang sopan tapi munskin kau dapat menginspirasinya untuk fokus ke pekerjaan sekolahnya …dan juga wallpaper di handphonenya suruh dia menggantinya (Dasar Wen ngehe, wallpapernya adalah foto dada Emily -_-)
Keempat; Douglas Booth! oOps sorry kidding! Yeah tentu saja dia seksi tapi aku jadi tak tahu diri jika naksir brondong, hey tapi aku tak sabar menunggu aktingnya sebagai Romeo. Hal terbaik keempat adalah soundtracknya! Eh lagu Everybody-nya Ingrid Michaelson juga ada di film Ramona and Beezus. Dan jangan pernah lewatkan aksi Kyle di panggung, dia seksi! (klik di sini untuk liat aksi panggung Kyle menyanyikan lagu Heart of Fire)
Well, seperti kata Lola…Aku rasa jika aku belajar seluruh tahun ini, adalah kau dapat berpura-pura menjadi apapun yang kau inginkan, tapi ketika cinta datang―maksudku cinta sejati, hal terbaiknya adalah jadilah dirimu sendiri.

L♥Là L♥ts ♥f L♥ve
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on April 17, 2013 19:56