Eva Sri Rahayu's Blog, page 14

February 18, 2015

Idola Masa Kecilku

1907981_10152110128724613_711346787_n


 


Idola Masa Kecilku


: Yunis Kartika


 


Sista sayang,


Kukirimkan surat ini karena merindumu. Ingin rasanya bertukar cerita bersama secangkir kopi di dapur rumahmu sambil sesekali mengawasi kedua anak kita yang khusyuk bermain game. Sis, melihat mereka seperti melihat masa kanak-kanak kita. Aku pernah berada di posisi Rasi yang mengagumi Kakak Athaya. Akupun mengagumimu. Sis, kamu idola masa kecilku.


 


Aku masih ingat waktu kecil, apa-apa yang kamu suka akan otomatis kusukai juga. Kamu yang bandel dengan jiwa petualangan yang melimpah ruah tak bisa dibendung aturan tapi tetap berprestasi di sana-sini. Ketika kamu menjadi anggota Pramuka yang seringkali menceritakan pengalaman kemping-kemping seru, akupun ingin mengalaminya. Ketika kamu beberapa kali membawa pulang piala lomba karate, akupun ingin sejago dirimu. Saat kamu mencintai dunia teater, aku juga ingin berada di panggung. Lalu saat kamu memacu adrenalin dengan naik gunung, aku memastikan diri suatu hari harus menatap ke bawah dari puncak gunung. Begitulah kamu menginspirasi langkah-langkahku. Meski ternyata aku tidak bisa mengikuti semua jejakmu. Naik gunung? Hmmm, boro-boro, aku hanya punya pengalaman kemping ke gunung sekali waktu SMP. Jago karate? Hadeuuh, setahun tetap saja sabukku putih. Pramuka? Yah, hanya bertahan enam bulan saja sudah bagus. Teater? Kalau yang ini kupastikan dulu aktingku melebihimu. *maafkan adikmu ingin agak narsis karena dari beberapa aspek kalah melulu XD


 


Dari sekian banyak, hanya dunia tulis yang kupilih tanpa campur tangan pesonamu. Tapi begitulah langkah kita ternyata memang sering sejalan. Saat besar, banyak proyek kita garap bersama, dari teater sampai buku bareng.


 


Sista sayang, kita pada akhirnya memang sering bersebrangan, kadang salah paham. Entah berapa puluh kali kita bertengkar sampai menangis sesenggukan. Saling menyakiti. Perlahan kamu tidak lagi menjadi role modelku lagi. Namun tiap kali kita mendapat akhir yang melegakan hati, kita selalu berbaikan dan menutup luka-luka. Begitulah proses kita untuk saling memahami.


 


Sista sayang, di atas segala yang menyedihkan, kamu sering ada untukku. Membantuku berdiri dan memelukku saat kukira dunia telah runtuh. Dua tahun lalu, kamulah yang berada di garda paling depan memahami keadaanku. Terima kasih Sista sayang. Aku tidak tahu apakah aku sudah cukup mati-matian memahamimu, hanya kamulah yang bisa menjawabnya.


 


Sista sayang, bertahun-tahun ini, banyak lagi yang terjadi padamu. Tanpa kamu sadari, kamu telah berkali-kali bertransformasi. Kini setiap menatapmu aku seperti melihat pohon yang teduh, membuatku betah lama-lama bernaung di bawahnya. Kamu makin dewasa. Kamu banyak berubah, Sis, hadiah dari perjalanan panjang terjal menyakitkan sekaligus menggairahkan. Aku cukup lega melihatnya.


 


Sista sayang, aku tahu kamu wanita pejuang yang dikuatkan oleh cinta. Kamu tidak akan lagi kalah oleh hujan bebatuan cobaan. Aku melihatmu kembali merasakan gairah hidup, tapi dibalut rasa syukur yang haru. Terus istiqomah di mimpi yang tengah kamu jalani sekarang ya, Sis. Jangan terus menoleh kanan-kiri.


 


Sista sayang, surat ini aku akhiri dengan memberitahumu satu rahasia. Dari melihat matamu aku yakin, suatu hari kamu pasti menjadi idolaku lagi.


 


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on February 18, 2015 01:57

February 17, 2015

Teman Bicara

IMG_8204315261336


 


Teman Bicara


: Juan Emyr Carlos Lawalata


 


Hai, Kang.


Gimana keadaan kesehatanmu? Tampaknya kita sama-sama harus berbenah soal gaya hidup. Usia sepertinya sudah tidak mengizinkan kita untuk bergadang mengingkahi malam ditemani bergelas-gelas kopi. Heuheu, tapi membayangkan hidup sehat ala-ala atlet saja sudah mengerikan. Yah, kamu lebih tahu soal itu, Kang, ayahmu atlet sepakbola. Saat mendengar ceritamu soal itu aku benar-benar terkesan, baru kamu sahabatku yang punya keluarga atlet. Sepertinya mengesankan sekali melihat orangtua kita berlaga memperjuangkan piala.


 


Kang, belum-belum aku sudah ngomong ngalor ngidul. Mengobrol denganmu memang selalu menyenangkan, kamu bisa diajak diskusi mengenai apa saja. Benar-benar teman bicara yang hebat. Masalahnya ada padaku, aku seringkali membuatmu dongkol karena lambat menyerap obrolanmu, apalagi soal matriks atau apalah pekerjaan kantormu itu. Masih mendinglah kalau kamu bercerita tentang petualangan travellingmu dan kegemaranmu naik gunung.


 


Oh iya, apa kabar Quil? Pangeranmu yang ganteng itu. Suatu hari aku ingin bertemu dengannya. Pasti lebih awsome dari foto dan ceritamu. Quil pasti bahagia punya ayah hebat sepertimu. Kamu bisa membesarkannya sendirian sejak dia kecil. Menjadi ayah sekaligus ibu baginya. Buat Quil juga kamu ingin bekerja di rumah. Aku tahu keadaan masih serba sulit. Tapi percaya saja itu bisa terwujud. Menghabiskan waktu bersamanya siang dan malam. Kang, saat ini kamu sedang berpacu dengan waktu, karena sekejap saja Quil akan menjadi remaja, saat itu dia akan lebih senang bersama teman-temannya, layakmya anak muda. Kitapun pernah begitu XD


 


Kang, kuharap Quil bisa menjadi motivasimu untuk terus sehat. Dan kurasa sakit di tubuhmu belum setimpal dengan sakit di hatimu yang ditorehkan pengalaman bersama wanita-wanita yang pernah kamu cintai dan selalu tersimpan dalam bejana ingatanmu. Meskipun aku selalu mengolok-olokmu tentang rasi gemini yang kusebut sulit bersetia–omong-omong dalam sebuah artikel katanya gemini ini peringkat pertama sulit bersetia–tapi darimu aku tahu kalau gemini benar-benar bisa bersetia. Kang, sendirian memang sepi, tapi bersama wanita-wanita yang lewat lalu bukankah lebih sunyi. Aku percaya kamu bisa sendiri sementara waktu, mencari dalam penantian bertemu dengan kekasih sejati. Jangan lagi menjebakan diri dalam lingkaran yang sama, Kang. Banyak rasa memang pintar menyaru menjadi cinta, seperti yang dilakukan sepi.


 


Kang, ingatkah saat kubilang kamu seperti kereta malam? Memanggil-manggil para pekerja pulang untuk mendekap mereka dalam ketenangan menuju pulang. Kereta yang hangat dan penuh harap meski sesak oleh penumpang. Begitulah kamu, Kang. Selalu ingin menaungi banyak orang, menjadi teman bicara mereka, meminjamkan telinga dan hati yang penuh empati. Namun kamu seringkali menulikan diri, bahwa kamu sesungguhnya cemburu pada penumpang, karena mereka pada akhirnya pulang, seperti sungai bermuara ke samudera. Kamupun ingin didekap senyuman, seseorang yang mengecup ubun-ubunmu dan Quil saat malam menjelang. Karena itu, Kang, berhentilah menjadi kereta api. Jadilah sepeda yang hanya dikayuh seorang.


 


Kang, seringkali kamu lelah. Berpikir hidup ini tak lagi berguna. Jauh di lubuk hatimu kamu tahu itu tak benar. Kang, jangan pernah putus harapan. Selain Quil, ada doa orangtuamu dalam setiap detak jantung dan embusan napasmu. Ada Tuhan yang mencintaimu paling depan. Selalulah ingat. Selama manusia hidup, semua masalah pasti bisa diatasi, selalu ada harapan bagi pejuang.


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on February 17, 2015 01:07

February 15, 2015

Jangan Jadi Fiksi

CIMG2047


My Dear Mercy Sitanggang,


Baru saja aku menuntaskan novelmu “Laura (Sendiri)”. Kisah tentang Laura yang gelap dan kelam, membuatku beberapa kali ikut menangis bersama tokoh rekaanmu itu. Namun, bukan itu yang membuatku dini hari ini belum terlelap. Ada gundah yang menggelitik, mengusir kantuk, dan memaksa agar tetap terjaga. Itu karena aku mengingatmu.


 


Kita sama-sama tahu, saat menulis, kita seringkali menciptakan tokoh fiksi dengan karakter alter ego kita sendiri. Belum lagi memasukan hati dan pikiran kita pada mereka. Rasa kita sebagai pencipta, kita transferkan pada tokoh buatan kita. Dan itu membuatku merasa takut sepanjang membaca Laura. Tokoh fiksimu … begitu … kesepian.


 


Kamu tahu, Dear, saat aku menangis, bukan sepenuhnya karena aku berempati pada Laura, tetapi karena aku takut, kesepian Laura adalah kesepianmu. Sepi yang ingar, tentu saja. Karena Laura tidak pernah benar-benar sendirian. Begitupun denganmu. Ada sahabat dan keluarga di sekelilingmu. Namun kita tahu, kamu selalu menyetok topeng-topeng yang kamu simpan di brangkas hatimu untuk berjaga-jaga agar kapanpun saat kamu butuhkan, topeng itu siap kamu gunakan dan tukar dengan yang mana saja. Topeng-topeng itu kamu pakai untuk menutupi perasaanmu yang sesungguhnya. Menampakkan tawa dan wajah yang terlampau ceria. Dear, tanpa topeng pun kamu wanita yang kuat, tabah, dan pejuang tangguh. Sungguh! Dear, maafkan kalau topeng-topengmu membuatku takut. Karena aku takut kamu memakai topeng saat bersamaku.


 


Ingat perjumpaan kita Desember lalu? Pernah di satu ketika itu aku memergokimu tanpa topeng, hanya sedetik, karena detik berikutnya kamu telah memasangnya lagi. Wajah itu, ekspresimu itu menyentuh relung hatiku. Sayangnya kamu terlalu cepat menyembunyikannya. Setelah itu aku menyimpan tanya, “Perlukah topeng saat bersamaku?”


 


Sayangku, sepanjang pertemuan itu aku merasa sedih. Tidakkah kamu akui kalau kita terasa berjarak? Senyum, tawa, dan obrolan menguar hambar di udara. Roh kita tidak terikat seperti dulu. Pelukan kita tidak lagi hangat dan likat. Apa yang terjadi padamu? Padaku? Pada kita? Ah, semoga aku salah. Semoga itu semua hanya perasaanku saja.


 


Dear, ingatkah dulu kita membuat orang cemburu dengan kedekatan kita, bahkan mengira kita pasangan? Ingatkah obrolan pada malam-malam panjang kita? Dear, kamu pernah bilang cemburu pada waktu. Akupun begitu, rasanya ingin sekali membekukannya di suatu saat lampau ketika kita bersama.


Kemudian, apa yang menahan kita untuk membuat pertemuan-pertemuan selanjutnya? Bukankah kini jarak kita justru semakin dekat. Bogor-Jakarta hanyalah selemparan batu. Kesibukanmukah? Kesibukankukah? Atau … apa? Bukan jarak yang mengganjal di antara kita, Dear. Karena sejak awal, kita telah terbiasa dan kebal terhadap jarak. Hari itu hingga kini aku menyimpan sembilu. Aku merasa sepertinya telah menyakitimu tanpa dan dengan sadarku. Maafkan aku, Dear. Aku belum menuntaskan janji kita. Tapi aku selalu percaya, impian itu akan terwujud suatu hari.


 


Dear, aku menulis ini sambil memeluk Laura, memohon pada tokohmu itu agar perasaannya bukanlah perasaanmu. Dear, akupun ingin meminta sesuatu padamu. Jangan jadikan persahabatan kita fiksi. Aku tidak mau suatu hari kita hanya bisa mengenang persahabatan kita dalam karangan-karangan yang terinspirasi dari persahabatan ini. Dear, aku ingin terus menjadi tempatmu berbagi gelisah, seseorang yang ingin kamu bagi ketika bahagia, dan tempat menderaskan air mata saat bersedih. Dear, aku memang bukan Tuhan yang kesetiaannya melebihi semesta. Aku hanya seseorang yang mencoba memahami. Dan aku selalu tahu, kamupun begitu.


 


Ke mari, Sayang, kita minum kopi, lalu bertukar cerita yang tidak berujung. Mari berpelukan yang hangatnya memindahkan matahari ke dalam hati. Mari bermimpi tinggi-tinggi lagi.


 


Dear, sebelum kusudahi surat ini, aku ingin sekali lagi berbisik di telingamu, “Jangan jadikan kita sekadar fiksi.”


 


*peluk erat dan cium basah untukmu yang kusayangi*


 


 


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on February 15, 2015 14:16

February 13, 2015

My Guilty Pleasure

IMG_38378083756948


 


Dear Prajurit Rumput: Fuan Fauzi.


Jangan marah ya kalau aku memanggilmu my guilty pleasure. Karena dulu, aku sempat menempatkanmu di posisi itu. Setara dengan hal-hal yang menurutku norak dan memalukan tapi diam-diam kusukai. Tapi itu dulu, sekarang aku dengan bahagia memanggilmu sebagai Lelakiku.


 


Sebaiknya kuputar ulang dulu waktu ke masa kita pertama kali bertemu.


 


November 2011, di kafe Jambordroe kita bertemu dalam acara launching 10 buku antologi grup penulisan Cendol yang sama-sama kita ikuti. Saat naik ke lantai dua kafe, aku melihatmu sedang sibuk mengambil foto acara. Penampilanmu saat itu … Hmm … Cukup berantakan. Rambut keriting yang tampak tidak disisir selama lima ratus tahun, wajah yang polos dan tidak menarik–di mataku, dan baju kebesaran. Prajuritku, sampai sekarang penampilanmu masih begitu sih, tidak stylish. Heuheu untungnya aku juga sama. Kita jadi pasangan harajuku jadi-jadian. Kembali ke hampir 4 tahun lalu. Detik saat melihatmu firasatku mengatakan kamu langsung tertarik padaku.


Ada satu kejadian lucu sekaligus menyebalkan kala itu. Saat itu ada seorang teman memintaku menandatangani novel Dunia Trisa. Karena jarak tempat duduk jauh dan meja hanya ada satu di depan untuk penerima tamu, akhirnya aku memilih untuk jongkok. Pasti kamu bermaksud ingin merekam kejadian itu karena kamu anggap unik atau bersejarah. Tapi karena aku merasa memakai rok yang agak ketat, aku tidak suka poseku yang sedang jongkok diabadikan. Maka aku mendekatimu dengan galak. Misuh-misuh memintamu menghapus foto itu saat itu juga. Kamu yang terkaget-kaget menurut saja. Kalau sekarang aku teringat ekspresi polosmu saat itu, aku selalu geli sendiri.


 


Setelah itu kita beberapa kali bertemu di acara grup penulisan. Masih sama, bagiku kamu tidak istimewa. Hanya seorang adik junior yang seringkali matanya kutangkap diam-diam merekam wajahku.


Bertahun sudah kita saling mengenal. Lalu terjadilah berbagai badai dalam hidupku. Aku mengalami perpisahan yang menyakitkan. Waktu itu aku tertutup soal masalah yang menerjangku. Hanya beberapa sahabat dekat yang kubagi dan kuminta nasehatnya. Anehnya, meskipun aku tidak pernah bercerita apa-apa padamu, saat aku merasa sedih dan gelisah, kamulah orang pertama yang meng-SMS-ku untuk mengatakan, “Kak, kamu sedang ada masalahkah? Perasaanku enggak enak inget Kakak.” Begitu berulang setiap kali aku merasa resah. Tentu saja, pesan-pesan itu tidak kubalas, kalaupun kadang hanya kujawab, “Enggak ada apa-apa kok.” Yah kupikir siapa kamu ini, bukan sesiapa dan sama sekali tidak istimewa di hidupku. Untuk apa aku berbagi denganmu. Kadangkala, malah aku memarahimu. Tapi dasar kamu si prajurit rumput yang terus tumbuh meski kuinjak-injak berulang kali. Rumput itu malah tumbuh kian mengganas menjadi alang-alang yang tinggi. Waktu kutanyakan kenapa kamu selalu tahu perasaanku, kamu menjawab sok puitis ala novel perahu kertas, “Karena aku sudah menancapkan radar pada diri Kakak.”


 


Prajuritku, kamu masih ingat ketika mengatakan, “Aku ingin jadi prajurit yang maju di depan melindungi ratu.”


“Kenapa harus prajurit?” tanyaku.


“Karena prajurit pasti turun dalam perang.”


Setelah itu aku memanggilmu prajurit rumput. Prajurit yang dibunuh berkali-kali, tapi seperti kucing yang punya sembilan nyawa. Terus maju untuk meluluhkan hatiku.


Kamu tahu, Prajuritku. Saat aku menyadari ada yang berubah di hatiku, aku begitu malu dan sekuat tenaga ingin menghalaunya. Memiliki perasaan padamu adalah hal terakhir yang kupikirkan. Bagaimana bisa? Kamu juniorku, kamu lebih muda, kamu bukan tipeku, dan sejuta alasan lainnya.


 


Namun di antara segala perbedaan itu, ternyata kamulah yang memenangkan hatiku. Membuatku merasa bersalah pada diri sendiri ^^V Tapi seperti yang kita tahu, sekali lagi kamu membuat keajaiban dalam hidupku. Sang guilty pleasure berubah menjadi belahan jiwaku. Kamu memang bukan lelaki yang membuatku merasa jatuh cinta pada pandangan pertama, tapi aku memintamu, jadilah lelaki yang hingga selamanya membuatku tak lagi ingin memandang siapa-siapa.


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on February 13, 2015 23:06

February 11, 2015

13 Tahun Lalu, Saat Kita Abu-abu

 


IMG_67202102625080


13 Tahun Lalu, Saat Kita Abu-abu


: CS29


 


Dear Wulan, Heppy, Windy, Oke, Kuah, Gia, Razi, dan Maqi.


Aku ingin menyebutkan formasi lengkap CS29 kita, 11 orang. Tapi, yah, seperti kita tahu. Sebagian dari kita sudah tumbang, tak lagi pernah berkumpul apalagi berkabar.


Apa kabar kalian? Rasanya pertanyaan itu tidak perlu, karena untungnya kita masih terhubung lewat Facebook—terima kasih, Mark Z. Minimal saat aku ingin tahu tentang kalian, aku bisa sedikit mendapatkannya dari hal-hal yang kalian share di media sosial. Selain itu, kita masing-masing masih menyimpan no ponsel, kan? Dan sebagian kadang bertukar cerita di BBM.


Kita sudah berlainan kota sekarang, Wulan di Bekasi, Oke dan Maqi di Jakarta, dan Heppy, Razi, Kuah, Gia di Bandung.


Sudah banyak hal terjadi yang kulewatkan ya. Gia, maaf banget enggak hadir di nikahan kamu. Kuah, selamat ya kelahiran bayinya ^_^


 


Hari ini aku ingin mengenang peristiwa-peristiwa yang kita lalui 13 tahun lalu, saat kita masih berseragam putih-abu, dan ketika jiwa kitapun memang abu-abu. Iya, kala itu hidup memang berada di tataran abu-abu, tidak ada yang benar dan salah. Kita yang muda dan menggebu, penuh harapan dan petualangan.


Aku ingat pertama kali ketika membaca pengumuman pembagian kelas. Kalian tahu, waktu itu aku kecewa sekali ditempatkan di kelas 2-9. Kelas bontot yang katanya dipenuhi anak gaul dan nakal. Kenapa? Karena aku merasa mungkin di kelas itu akan dikucilkan. Yah, aku merasa tidak bisa berbaur dengan anak-anak gaul. Aku lalu mencari teman ke sana-sini, siapa yang mau bertukar kelas. Untungnya tidak ada yang mau :D Lagipula ada Wulan di kelas 2-9 yang sabar sekali jadi teman sebangku selama tiga tahun XD


Tanpa kusangka, ternyata di sana aku bertemu kalian. Entah bagaimana awalnya, kita menjadi dekat. Padahal aku sering mati-matian menjauh karena minder. Jam-jam istirahat kita habiskan di taman belakang sekolah, memesan segelas minuman dengan sebelas sedotan. Terkadang kita main keliling kota dengan mobil Agung, menyetel lagu keras-keras dan ikut menyanyi merjerit-jerit. Kalau sedang datang rajinnya, kita berkumpul di rumah Maqi—yang kita tahbiskan sebagai basecamp—untuk belajar bersama. Kalau bosan, para cewek akan ngerumpi di ruang tengah, sedang para cowok sibuk menembaki orang dalam game. Atau makan roti kadet di dekat rumah Razi.


Persahabatan kita pun sering diguncang. Mulai dari teman-teman sekelas yang tak rela ada geng-gengan, sampai persoalan cinta. Iya, ada banyak cerita cinta di antara kita. Akupun mengalaminya. Di antara kita pernah ada saling mencintai, menyayangi, pun saling melukai. Untunglah, dari sekian cerita cinta, ada satu pasangan yang ditakdirkan Tuhan hidup bersama. Maqi dan Windy, penantian selama lebih dari sebelas tahun akhirnya berbuah indah. Sebentar lagi, keluarga kita akan kedatangan CS29 junior lagi dari mereka.


Setahun berlalu secepat kilat Zeus. Kitapun terpisah kelas. Kemudian tiba juga hari paling memilukan buatku: perpisahan.


Hari itu termasuk hari yang paling kubenci dalam putaran waktu. Karena setelah itu, kita dipisahkan. Kalau ada satu penyesalan di masa lalu. Itu adalah hari kelulusan. Karena hari itu, aku membiarkan baju seragamku bersih tanpa coretan. Tanpa membiarkan tangan-tangan kalian menorehkan kenangan.


Kemudian kita melanjutkan hidup masing-masing.


Awalnya kita masih berhubungan, berbagi kisah lewat suara dan kata. Kadang-kadang kita hang out bersama. Namun lama kelamaan segalanya berubah. Entah sejak kapan, kita mulai enggan membagi cerita. Kemudian, seolah kita tidak lagi memiliki waktu, meski hanya waktu sisa untuk sebuah pertemuan singkat.


Setelahnya, detik berlalu seperti derasnya titik hujan dalam badai.


Kita pun saling melupakan.


Keberadaan yang tergantikan.


Sebagian dari kita berubah menjadi sosok dalam kenangan.


Dan yang paling membuatku sedih, seringkali kalian melewati hari-hari berat tanpa kutahu. Seperti saat Mama Windy meninggal, atau ketika Wulan dan Heppy mengalami masalah keluarga. Akupun sama tertutup, saat perceraian, tak satupun di antara kalian yang kuberi tahu.


Namun aku tahu, kita selalu ikut merasa berbangga untuk setiap prestasi kita. Dan menyisipkan doa-doa untuk kebahagiaan kita.


Pernah aku berjanji, ingin mengabadikan kisah kita dalam novel. Novel itu sudah selesai kutulis pada tahun 2008, sayangnya tidak ada penerbit yang mau menerbitkannya. Nanti akan kucoba tulis lagi. Tapi kalau mungkin aku tidak bisa menepati janji itu, nama kalian selalu kusebut dalam buku-bukuku, dan akan selalu begitu. Terlepas dari apakah kalian membacanya atau tidak XD


Teman-teman, terima kasih telah membuat masa remajaku menjadi masa paling indah. Semoga persahabatan kita selamanya. Aku ingin kita seperti dulu, berbagi kisah tanpa sekat. Dekat meski dipisahkan jarak.


Kalau bisa kembali ke masa lalu, aku ingin sekali lagi … melewati masa SMA bersama kalian.


 


NB: Foto satu-satunya, dan kita keliatan culun banget.


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on February 11, 2015 21:28

Melawan Baby Blues – Untuk Semua Ibu

Siapapun pasti setuju, menjadi seorang “ibu” adalah anugerah. Namun, orang seringkali lupa, tugas maha hebat selalu disertai bobot tanggung jawab besar.


Ibu muda, aku pernah di posisi kalian. Tidak sabar menggenggam tangan mungil yang saat itu masih berada dalam kandungan. Ingin cepat mendekap tubuh hangatnya, dan mencium penuh kasih puncak ubun-ubunnya. Namun, tanpa menafikan bahwa kenyataannya kehadiran buah hati membuat diri terasa lengkap, datang pula bersamanya terpaan badai.


–Ah iya, sebelumnya izinkan saya menggunakan kata “kita” sebagai sebutan. Meskipun banyak di antara ibu muda yang mungkin tidak mengalami hal ini–


Ada perasaan takut yang begitu hebat. Takut salah memandikannya, takut melukainya, sampai takut salah mendidiknya. Apa kita sudah memberinya cukup gizi, apakah pilihan tepat memberinya imunisasi, dan sederet pertanyaan lain. Masalah bayi tidak mau minum susu langsung dari puting pun menjadi momok yang membuat mood kita seharian turun drastis. Perasaan takut itu wajar, karena selayaknya seorang ibu, kita ingin memberi yang terbaik untuknya. Namun semua diperparah dengan tekanan orang-orang sekitar kita. Seolah karena kita memiliki bayi, mereka berhak menjadi guru tanpa cela untuk kita. Mengomeli dan mengomentari ini itu yang kita lakukan. Mencibir bahwa seharusnya yang kita lakukan adalah A-Z bukan Z-A. Harus kita akui seringkali apa yang mereka katakan benar adanya, merekapun menyatakan berbagai hal itu karena sudah berpengalaman. Dan tentu saja kita harus menghormati mereka atas itu. Tapi mereka lupa, ada yang berubah dari waktu ke waktu. Ada keadaan yang tidak sama dengan zaman mereka dulu. Ya kita menyadari apa yang mereka lakukan semata karena cinta.


Ibu muda, saat stres merayap menguasai pikiran, kita hanya bisa menangis diam-diam membasahi bantal. Tak tahu pada siapa beban ini bisa dibagi. Suami? Seringkali kita sudah sungkan duluan dengan pemikiran dia pasti tak akan memahami. Apalagi bila orangtua kitalah justru yang menjadi akar tekanan itu. Padahal dia pasti mau mencoba paham, bukankah dia setengah dari kita?


Stres yang bertumpuk perlahan memupuk depresi. Itupulalah yang seperti menjadi pemicu banyaknya kekerasan ibu pada anak. Banyak orang lebih suka menyalahkan ketimbang berempati. Yah, memberi hukuman lebih mudah daripada mencari solusi. Sayangnya kita tidak bisa berteriak-teriak meminta pemahaman pada semua orang. Padahal yang kita minta adalah pengertian bahwa kita sedang belajar menjadi ibu, bahwa dalam tahapannya kita ternyata kita tak sengaja banyak berbuat salah. Hanya itu, bukan dianggap sebagai ibu yang buruk dan dibodoh-bodohi.


 


Kita kemudian didoktrin bahwa sudah tak layak seorang ibu membagi waktu dengan teman-temannya. Seakan seluruh hidup kita hanya dipersembahkan untuk anak semata. Membuat posisi kita menjadi pelayan bukan orangtua. Hak kita sebagai manusia yang memiliki hasrat dibelenggu. Belum lagi ketika para sahabat menjadi berbeda, karena mereka belum menginjak tahapan kita, mereka belum paham dunia baru kita, hingga perlahan mereka menjauh.


Lalu ada perasaan bersalah yang ditanamkan dalam nurani ketika harus bekerja meninggalkan anak. Padahal banyak di antara kita yang sesungguhnya memang ingin berkarier di rumah saja tetapi keadaan tidak memungkinkan. Tiap waktu kita berkejaran dengan dilema. Antara anak dan karier, seakan keduanya tidak bisa seiring sejalan.


 


Begitu banyak tekanan dari dalam dan luar diri kita hingga tiap saat rasanya bisa meledak. Menjadi ibu kemudian terasa sebuah kewajiban bukan hak.


Ibu muda, seringkali kita malu mengakui kalau kita lelah. Lelah jiwa dan raga. Malu pada dunia dan nurani karena merasa kita bukan ibu yang baik. Namun semesta selalu membuat keseimbangankeseimbangan, bukan. Selalu ada baik buruk dalam tiap keadaan. Mengakui diri lelah bukan kehinaan. Justru dari titik lemahlah kita bisa mendapat pencerahan diri. Kita belajar menyusun strategi untuk berbenah. Anak yang berbahagia lahir dari ibu yang sehat mental. Karena itu tugas pertama kita adalah menjadi manusia dan ibu yang sehat jiwanya.


 


Ibu muda, kita bisa melawan sindrom baby blues itu bersama. Karena kita tidak sendirian mengalaminya. Kita bisa saling menguatkan. Berbagi tips bagaimana sedikit-sedikit menyampaikan kegundahan kita pada suami belahan jiwa. Atau sekadar bertukar cerita.


Kitapun bisa terus berkarya, bahkan melibatkan anak. Mungkin mulai menuliskan dongeng yang dapat kita ceritakan mengantar anak tidur. Bisa pula kita merajut dan membuat kerajinan tangan untuk mempercantik anak, hingga bisa kita dengar tawanya dibalik busana buatan sendiri. Sembari jalan-jalan, mari kita jadikan anak objek kamera kita, sekaligus menyalurkan hobi foto. Ah mari kita kerahkan seluruh kreativitas untuk meredam stres menjadi pencapaian dengan membagi waktu lebih bijak. Waktu untuk anak, suami, dan diri. Satu hal lagi yang amat penting, melibatkan Tuhan dalam kehidupan. Karena keterbatasan yang diberi Tuhan selalu bermata berlian. 


Mari menjadi ibu yang berbahagia dengan menyerukan hati kita. Yakin saja kita telah berusaha menjadi ibu nomor satu untuk si kecil. *peluk jauh untuk kita*


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on February 11, 2015 02:11

February 10, 2015

Menembus Ruang dan Waktu

IMG_20140629_175224


Hai, Muse….


Iya, aku memberimu julukan baru, Pi. My Muse, Dewa Inspirasiku. Karena begitulah adamu untukku. Aku tergelak saat menulis ini, memikirkan sebutan apa yang akan kamu sematkan padaku sebagai balasannya. Mungkin kamu akan sibuk mencari paririmbon sangsekerta seperti yang biasa kamu lakukan saat mencari nama untuk tokoh rekaanmu.


Sudah berapa bulan berlalu sejak kita terpisah jarak? Belum setahun, tapi terasa begitu lama, seperti saat melewati malam panjang meresahkan tanpa sedetikpun menutup mata.


Saat kita berpisah, masing-masing dari kita tahu bahwa hidup akan tetap berputar pada poros yang kita ciptakan sendiri. Kita akan baik-baik saja, meski kadang terjebak kerinduan tak berkesudahan. Namun aku tahu–meski tanpa mata telanjang melihat langsung–kamu masih tetap di rumah kembar, tengah mengerjakan banyak hal di ruang tamu bersama kekasihmu. Kadang, saat dadaku sesak oleh rindu, aku tinggal menutup mata untuk berteleportasi ke hadapanmu. Mendengar eongan kucing-kucing kita yang jumlahnya bertambah dan berkurang tiap waktu, menatap jarimu yang lincah bergerak di keyboard, atau mencium harum masakanmu yang nikmat, hingga menguping diskusi hangatmu dengan kekasihmu.


Muse, kamu tidak akan bisa melakukannya. Karena kamu tidak pernah datang ke tempat petualangan sementaraki di sini. Padahal ingatkah, kamu pernah berjanji sepenuh hati akan mengunjungiku setiap 2-3 bulan sekali? Aku akan menagihnya suatu saat nanti, Muse. Atau biarlah petualanganku di sini tetap menjadi mitos berupa cerita-cerita sebelum tidur.


Muse, apa kabar mimpi-mimpi kita? Tahun lalu, kita telah menjadi saksi saat jemari bertaut meraih impian yang sama. Kamu dan aku, merasakan kebahagiaan dan kesedihan yang sama. Tak ada salah satu di antara kita yang merasa menang dan kalah. Buku duet kita menjadi saksinya.


Tahun ini, kita merancang pencapaian lebih besar. Tapi selalu akan ada tapi…. Kamu sering mengeluhkan jarak yang menjadi penghalang untuk merealisasikannya. Sedangkan aku lagi-lagi tak konsisten dengan janji. Sekali lagi aku menarik diri dari naungan yang kita bangun dari dulu. Kali ini aku janji, tak akan memberimu harapan palsu lagi.


Kembali pada mimpi. Tenang saja, Muse, bukankah kita telah menjadi pemimpi andal. Mimpi-mimpi kita sudah lolos uji terpaan badai. Mimpi kita akan bertahan, lebih kuat dan tegar dari pemimpinya–kita. Sayangnya, memang mental kitalah kelemahannya. Kita seringkali tidak disiplin menerapkan time schedule yang padahal kita rancang sendiri. Atau merasa down karena proposal kita ditolak sponsor. Begitulah, Muse, semesta sering berbaik hati merancang petualangan bagi kita. Agar saat kita menggapai puncak nanti, kita tidak akan mendongak, tapi merunduk layaknya padi.


Muse, jarak juga yang sering menjadi kambing hitam untuk komunikasi. Kamu bilang tak suka dengan pembicaraan lewat segala media. Hingga aku kesal karena kamu terlalu sering telat merespon BBM dan WA-ku. Kamu lebih suka meneleponku meskipun tiga abad sekali. Selesai membaca suratmu, aku mendesah panjang dan berat.  Kamu bicara rindu, tapi aku merasa diabaikan. Selalu aku yang memulai duluan mengirimkan kabar dan mencari seribu cara agar kamu mau berbagi cerita. Hingga puncaknya, aku memuntahkan hal itu juga padamu. Di satu sisi kamu benar, jarak memberi celah untuk salah paham. Syukurlah, sekarang kamu lebih terbuka. Kerap kali saat terbangun aku menemukan pesanmu. Membuat pagiku di negeri hujan ini diterangi cahaya.


Muse, di kota hujan, air turun tak mengenal waktu. Seperti rindu yang tak pernah kusampaikan padamu. Aku tak suka menyampaikannya lewat kata. Aku terbiasa mengejanya dalam bus menuju kota kita ditemani celoteh putri Rasi.


Kamu tahu itu, karena aku selalu nembuktikannya dengan menembus ruang dan waktu … untuk datang kepadamu.


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on February 10, 2015 00:06

February 1, 2015

Review Novel “Gerimis Bumi” Dan Giveaway Berhadiah Novelnya

IMG_37768921871997


 


Saya menyukai gerimis yang romantis. Titik-titik airnya yang tipis tapi rapat tampak seperti kabut. Lalu ketika menyentuh rambut, menjelma menjadi salju. Sepertipun kesukaan saya pada gerimis, sayapun menyukai novel Gerimis Bumi karya Catz Link Tristan. Bukan karena dia sahabat saya loh. Justru karena kami sahabat, saya akan lebih jor-joran menyampaikan kritik. Namun memang jujur, Gerimis Bumi telah menyentuh hati saya.


***


Judul: Gerimis Bumi


Penulis: Catz Link Tristan


Penerbit: Elex Media Komputindo


Tebal: 280 Halaman


Harga: Rp. 48.800


Blurb:


Bumi menyangkal. Dia tidak butuh Gerimis. Padahal, rindu itu ada. Rindu itu nyata, walau terkekang lewat kenyataan.


Bumi memilih menghilang dar badai yang bernama Ka. Di kota baru Bumi malah bertemu dengan Gerimis.


Pada semesta ini, Bumi, Sinta, Ardy, dan Ruth bersama menjalani perputaran hari. Kisah-kisah yang tak terduga. Dari perasaan cinta, benci, iri, hingga penyesalan.


Bumi tak pernah menyangka, Gerimis kecil menyusup pada kering dan retaknya permukaan daratan. Mengubah struktur lapisan Bumi. Ke mana Gerimis akan singgah bila Bumi lenyap?


Aku tahu, mencintai Gerimis sama dengan membiarkan inti Bumi kembali berdetak.


***


Bumi kabur dari Semarang ke Parepare, Makassar, untuk menghindari masalah dengan Mars—adiknya—karena kepergok tidur bersama Ka. Bumi yakin mereka tidak melakukan apa-apa karena semabuk apapun dirinya selalu ingat semua yang diperbuat. Masalahnya, Ka bukan wanita biasa, dia wanita yang dicintai setengah mati oleh Mars. Untuk mengakhiri masalah itu, Bumi memilih memulai hidup baru di kota lain.


Di sanalah dia bertemu Sinta si gadis gerimis yang mencintai Ardy—sahabatnya sendiri. Selain hubungan cinta segi empat antara Bumi-Sinta-Ardy-Ruth, masalah besar lain mengikat mereka, balapan liar yang meminta korban.


Saya menyukai novel ini sejak paragraf pertamanya.


Bagaimana bila kekacauan tiba-tiba datang? Serupa badai topan serta gempa besar? Tak semua akan bertahan. Tidak juga Bumi. –halaman 1.


 


Sejak dari prolog, Catz sudah menyajikan masalah yang membuat penasaran. Sayangnya buat saya, sesudah itu bab-bab awal plot terasa amat lambat. Saya mencari gereget konfliknya, tapi baru terasa menggigit lagi ketika lepas dari bab lima. Untungnya rangkaian kata yang dijalin Catz membuat betah membacanya.


Aku terbangun lagi. Mimpi buruk. Sayangnya, sebagian besar isinya adalah kenyataan. kenyataan yang menghantui hingga ke bunga tidur. Yang takkan lenyap meski mata telah terbuka. –halaman 75.


 


Mulai dari bab enam, Catz memberi banyak kejutan dan twist di dua pertiga bagian. Banyak hal menarik yang ditawarkan Gerimis Bumi. Salah satunya  adalah mengambil Parepare sebagai latar tempat. Catz mempercantik novelnya dengan kekayaan budaya daerah. Mulai dari penggunaan bahasa daerah, sampai masakannya.


 


Seorang pelayan datang membawakan dua piring makanan yang mereka perkenalkan sebagai Nasu Pelekko dan Kanse Satan. Nasi Pelekko adalah masakan khas Parepare. Sejenis nasi yang disajikan bersama kari dan daging bebek yang diiris kecil. Bumbu utamanya terdiri dari jahe dan bawang putih. Sedangkan Kanse…. –halaman 81.


 


Namun hal paling istimewa dari Gerimis Bumi adalah penggunaan empat POV 1. Dua tokoh wanita dan dua tokoh pria. Menulis dua sudut pandang saja sudah sulit, apalagi empat. Tapi Catz mampu membuat keempat tokoh itu bersuara beda. Tanpa harus melihat judul bab yang mencantumkan dari sudut pandang siapa bab itu bercerita saja, saya sudah bisa mengetahui siapa pencerita. Salah satu kesulitan penulis perempuan menyuguhkan POV pria adalah masih sering terselip sisi keperempuanannya. Namun hal itu tidak saya temukan dalam novel ini. Sosok Bumi dan Ardy disampaikan dengan mulus sebagai utuh tokoh lelaki.


Chemistry keempat tokoh utamanya terasa sekali. Catz jago membuat hal-hal kecil menjadi sesuatu yang romantis. Ceritanya membuat perasaan saya diaduk-aduk. Geli, berbunga, sedih, dan haru. Ada satu bagian yang sukses membuat saya menangis :’)


Novel yang memakai tiga tokoh remaja tapi bukan teenlit melainkan romance ini sangat inspiratif. Pesan moralnya kental disampaikan sangat halus sehingga saya tidak merasa digurui. Bagaimana Catz menyampaikan bahaya dari balapan liar yang juga meresahkan di mana-mana. Ngomong-ngomong soal balapan liar, dalam novel ini isu tersebut terasa sekali bukan tempelan. Sepertinya Catz sudah melakukan riset yang mendalam sehingga mampu menyampaikan detail-detailnya. Catz dengan tepat menyuguhkan “show” ketimbang “tell” untuk adegan-adegan laganya.


Layaknya manusia yang sempurna karena kekurangannya, novel inipun baru sempurna karena memiliki kekurangan. Masih ditemukan typo dan kesalahan penggunaan kata “mengacuhkan” yang dimaksudkan bermakna tidak peduli, tapi karena tidak menggunakan kata “tidak” di awalnya, sehingga maknanya menjadi peduli. Tetapi selebihnya penulisan novel ini rapi. Tampaknya editor dan penulis sudah bekerja keras merapikannya. Selain itu cover novel ini terasa agak kaku dan kurang menarik.


Beberapa quotes favorit saya:


Lagi-lagi seperti ini. Bukannya menyelesaikan masalah. Orang-orang lebih mencari yang dapat dipermasalahkan. –halaman 124.


 


Jalani keputusanmu itu. Tapi, saat kau sudah tak mampu, akuilah. Bukanlah sebuah dosa jikaa kau tidak setia menemaninya. Hanya sebuah batas dari dirimu. –halaman 141.


 


Aku tahu, mencintai Gerimis sama dengan membiarkan inti Bumi kembali berdetak. –halaman 244.


 


Dia butuh kenyataan. bukan hidup dalam imajinasinya saja. –halaman 251.


 


Kalau kamu menyukai cerita cinta manis pahit, saya rekomendasikan novel ini. Saya memberi 4 dari 5 bintang untuk novel mengesankan ini.


***


Buat kamu yang kepengin dapetin novel ini gratis, ikutan giveaway-nya yuk. Caranya, follow @Catzlink dan jawab pertanyaan ini, “Kamu lebih suka gerimis atau hujan? Apa alasannya?” Jawab di kolom komenter postingan ini dengan menyertakan nama akun twitter-mu. Pemenang dipilih langsung oleh penulisnya ^_^


Giveaway ini berlangsung dari tanggal 2 sampai tanggal 14 Februari 2015. Pengumuman pemenang tanggal 15 di akun twitter saya @evasrirahayu jam 8 malam.


1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on February 01, 2015 17:52

January 31, 2015

Susahnya Menulis Kisah Cinta

 


Tahun lalu saya berjanji pada diri sendiri untuk mulai menulis lebih banyak tentang dunia penulisan di blog ini. Temanya bisa apa saja. Mulai dari proses kreatif, isu dunia penerbitan, sampai tips promosi buku.


 


Untuk postingan pertama, saya ingin sedikit membahasa tentang tema cinta dalam novel pop yang banyak beredar.


 


Menurut saya, menulis tema kisah cinta murni—yang berarti enggak bercampur dengan tema besar lainnya seperti pembunuhan—itu susah. Soalnya, kalau dulu mungkin tema cinta yang ceritanya berkisar “Cewek-cowok ketemuan >> lalu pedekate >> jadian >> putus (bisa jadi karena orang ketiga) >> balikan >> tamat” masih sangat menarik pembaca, sekarang dianggap “klise banget”. Iya, udah  klise pakai banget lagi. Jangankan yang ceritanya begitu, yang ditambah unsur persahabatan, pem-bully-an aja masih dianggap klise. Baca saja komentar-komentar di Goodreads sampai obrolan di status Facebook.


 


Misalnya:


Ceritanya sih klise, tentang sahabat jadi cinta.


 


Yah, bosen, klise banget ceritanya. Masih aja soal cewek-cowok yang awalnya sering bertengkar kayak Tom dan Jerry akhirnya jadi saling cinta.


 


Hmm, klise banget deh ceritanya. Cinta segitiga sama sahabat sendiri. Temen makan temen.


 


Udah ketebak banget ending-nya. Basi.


 


Tuh, kan, kayaknya kata “Klise” sering banget muncul. Kata “Klise” sendiri dalam KBBI.web.id berarti gagasan (ungkapan) yang terlalu sering dipakai. Jadi pembaca mulai jenuh dengan tema cinta yang ceritanya itu-itu saja. Karena itu sekarang sering ditemukan promo buku yang mengatakan “ceritanya bukan sekadar kisah cinta”. Bukan menganggap cerita kisah pure cinta rendah kedudukannya, tapi sepertinya untuk menambah nilai tambah dan jual agar pembaca yang jenuh tadi menjadi tertarik membaca bukunya. Bisa jadi, saking susahnya menuliskan kisah pure cinta, cinta hanya dijadikan bumbu penyedap cerita, bukan menu utama.


Jelas banget dari kasus di atas, kalau menulis tema cinta itu sekarang susah. Namun bukan berarti tidak ada usaha memberi kebaruan atau minimal memberi sesuatu yang berbeda dalam penyajiannya. Banyak kok. Salah satunya misalnya dengan mengambil seting luar negeri lengkap dengan penjelasan budayanya. Program “Setiap Tempat Punya Cerita” milik Gagas Media salah satu yang berhasil dengan penyajian ini. Atau dengan seting daerah pelosok-pelosok Indonesia yang jarang diangkat. Pasti ada sejuta siasat dan jurus membuat hal klise ini tetap sangat dicintai.


 


Jadi kalau ada yang bilang nulis kisah cinta yang ceritanya “Cewek-cowok ketemuan >> lalu pedekate >> jadian >> putus (bisa jadi karena orang ketiga) >> balikan >> tamat” itu gampang, sepertinya sudah tidak berlaku lagi sekarang. Para penulis romance ini harus bersaing dengan jutaan kisah serupa di buku-buku lama dan baru, karena itu mereka harus membuat karyanya berbeda meskipun dengan premis yang sama. Bagaimana membuat buku yang terbit nanti dilirik pembaca dari ribuan buku dengan tema serupa yang di-display di rak buku. Terbayang, kan, susahnya? ^_^ Perbedaan itu bisa dibangun dari penajaman karakter tokoh yang kuat, unik atau membumi. Contohnya, jangan memakai karakter tokoh yang mirip-mirip dengan yang dipakai di buku lain. Semisal cowok ganteng ketua OSIS. Bikin tokoh cowok biasa tukang hacker *eh. Perbedaan lain bisa digali dari kekayaan kosakata, diksi, dan metafora. Latar tempat dan waktu. Budaya. Dan banyak lagi.


 


Ngomongin ending, memang sih kisah cinta ya akhirnya cuman dua. Bersatu atau berpisah. Atau kalau tokohnya banyak, tebak-tebakan pembaca berkisar, jadi sama si A atau B. Tapi minimnya kemungkinan ending itu bukan menyurutkan kreativitas, kan.  Seringkali yang paling penting adalah jalinan lika-likunya ketimbang ending. Lebih penting “Kenapa” dan alasan-alasan lainnya sehingga sampai ke ending itu. Misalnya, ternyata alasannya tokoh-tokohnya berpisah karena salah satunya meninggal, padahal awalnya dibuat sepertinya akan berpisah karena perselingkuhan. Eh tapi, suka sebel juga sih kalau akhirnya enggak sesuai yang saya—ketika menjadi pembaca—harapkan.


 


Kalau kamu sedang menulis kisah cinta, jangan berkecil hati ketika dibilang klise ya. Menulis saja sebaik-baiknya. Perkaya kisah cinta dalam tulisanmu dengan berbagai hal. Lalu, selamat menulis kisah cinta yang luar biasa ^^


 


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on January 31, 2015 09:55

January 18, 2015

Review Novel “Deathline” dan Giveaway Berhadiah Novelnya

 


 IMG_1594853676404


Kamu seorang yang pengin jadi penulis? Atau penulis yang merasa karier stuck begitu saja karena belum mencetak buku best seller? Saya sarankan jangan membaca novel “Deathline” ini kalau sampai tergoda mengikuti jejak Danny Taylor sang tokoh utama. Danny yang ingin sukses instan mau-mau saja melakukan transaksi dengan setan untuk cerita novelnya. Hiii … ngeri, ya.


Udah penasaran belum sama novel Deathline ini? Pengin tahu lebih banyak? Oke, saya cerita dari awal.


 


 


*ceritanya flashback*


 


 


Saya sangat jarang membaca novel horor. Soalnya saya penakut berat. Bisa gak bisa tidur semaleman kalau abis baca atau nonton yang berbau horor. Dan entah sudah berapa tahun saya meninggalkan bacaan itu. Sampai satu hari di tahun 2012, sahabat saya Mpok Mercy Sitanggang mengenalkan saya pada sahabatnya, Lewi Satriani. Bang Lewi meminta saya membaca draf novelnya yang berjudul “Ngetop Itu Neraka” iya … saya juga sepikiran sama kamu kalau judulnya norak (maafkan atas kejujuran ini Abang XD ). Digantilah menjadi DEAD alias Deal or No Deal. Yang ujung-ujungnya diganti lagi oleh penerbit menjadi Deathline.


Dengan mengumpulkan segenap keberanian saya mencoba membacanya. Waktu itu saya bertekad bakalan skip aja kalau membosankan *plaaak!


Ternyata sinopsisnya saja sudah mencuri perhatian saya. Sekarang, baca blurb-nya aja bakalan bikin kamu pengin baca deh. Apalagi liat cover-nya yang kece sekaligus misyerius. Nih saya bagi data bukunya.


****


Judul : Deathline


Pengarang : Lewi Satriani


Penerbit : Eazy Book


Tebal : 296 halaman


Cetakan : pertama, 2014


ISBN : 978-602-7702-31-8


Harga : Rp. 45.000


Blurb:


Bagaimana bila seorang penulis yang membuat sebuah novel sukses, akhirnya harus menjadi korban dari cerita yang ditulisnya sendiri?


Danny Taylor tak pernah mengira hidupnya akan berubah drastis semenjak ia mengunjungi sebuah pulau berhantu di Kepulauan Seribu. Setelah sembuh dari kesurupan. Ia mendapatkan ide untuk ditulis menjadi novel horor. Danny juga tidak pernah mengira jika novel itu akhirnya sukses di pasaran. Ketika seorang produser ternama mengangkat novelnya ke layar lebar, hidupnya kian cemerlang… namun hanya untuk beberapa saat.


Sampai ia menyadari ada sebuah kutukan di balik cerita yang ia tulis. Kutukan yang tak mudah lepas. Kutukan yang terus meneror dirinya dan orang-orang tercinta di sekelilingnya. Sebelum segalanya terlambat, ia harus menghentikan teror itu. Atau nyawanya yang menjadi taruhan.


Jika kamu mengira kisah dalam buku ini hanya fiktif belaka, bersiap-siaplah untuk kecewa. Baca dan buktikan sendiri… kalau kau punya nyali.


****


Putri belum sempat menyalakan motor tempel yang ada di pantat perahu saat mendengar teriakan itu. Gadis itu menoleh, tak percaya melihat sepasang tangan Ninda yang kurus ceking mencengkeram leher Dicky dan mengangkat pria itu beberapa senti dari dasar perahu. — halaman 7.


 


Paragraf di atas adalah pembukaan novel ini. Cukup menghentak dan langsung mengikat. Novel ini dibuka dengan kejadian mengerikan di Kepulauan Seribu yang diangkat dari menjadi novel berjudul Bloody Reuni oleh si tokoh utama, Danny Taylor. Membaca bab awalnya saja saya sudah merinding-rinding. Sempet kepikiran lanjut enggak lanjut enggak. Tapi penasaran. Akhirnya ya selesai juga dalam beberapa hari karena tiap ketakutan, saya simpen dulu, hohoho.


Plot Deathline ini pas, enggak terlalu cepet juga enggak lambat. Setiap bab diakhiri dengan suspense yang membuat penasaran. Adegan-adegan horornya tergambar apik. Karakter tokoh-tokohnya kuat, dan dari sekian banyak tokoh yang terlibat, enggak ada satupun yang kehadirannya sia-sia. Tokoh favorit saya itu Fika, sahabat Danny di tempat kerjanya dulu, tabloid Nonnie. Penulis nampak luwes menceritakan kehidupan wartawan tabloid di dalam novelnya. Mungkin karena pengalaman pribadi Bang Lewi juga yang pernah bekerja di tabloid.


Seting novel inipun digambarkan pas, sehingga cukup terbayang visualisasinya. 


 


Terdengar bunyi berdengung. Seiring dengan itu, dia merasakan seluruh ruangan bergerak. Perlahan memang, tetapi bila dirasakan betul, maka akan tampak sekali perbedaannya. Lantai bergerak ke atas, langit-langit bergerak ke bawah, sementara dinding di samping kiri, kanan, depan, dan belakang bergerak maju. Ruangan ini akan menjepitnya! –halaman 210-211.


 



Sayangnya novel ini enggak menyisipkan sedikit ruang buat romance. Saya sih penginnya ada selipan bumbu percintaannya gitu XD Namun buat pecinta horor murni (istilah dari mana ini) sepertinya akan sangat menikmati.


Deathline memiliki konflik berlapis, sehingga pembaca sulit menebak endingnya. Petualangan Danny menghadapi teror demi teror bener-bener seru diikuti. Apalagi saat hidupnya sudah seperti mimpi buruk, bos penerbitannya malah memaksanya membuat novel sekuel. Apa Danny berhasil membuatnya? Apa dia bisa menghentikan kutukan? Dibumbui dengan kehidupan wartawan, industri penerbitan, dan perfilman, novel ini kaya informasi juga. Baca deh, enggak akan nyesel deh ^^


 


****


Teman-teman punya nyali buat baca novelnya? Mau dapetin novelnya gratis? Yuk, ikutan giveaway-nya. Syaratnya kamu harus follow twitter penulis di @RumahHantu13 dan jawab pertanyaan saya di kolom komentar postingan ini. Ada satu novel Deathline bertanda tangan (boleh request cap bibir atau jempol kaki) yang akan dikirim langsung oleh penulisnya. Pertanyaannya: Kalau kamu menulis novel horor, cerita apa yang akan kamu tulis?


Giveaway ini berlangsung dari tanggal 19 sampai 31 Januari 2015. Pemenang diumumkan tanggal 1 Februari di twitter saya @evasrirahayu jam 8 malam.


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on January 18, 2015 12:29