Eva Sri Rahayu's Blog, page 19

April 20, 2013

Cerpen – Neverland

Neverland


Oleh: Eva Sri Rahayu


 


Aku berdiri di panggung. Menatap penonton yang memberikan standing applause, lalu membungkuk memberi hormat, kemudian melayangkan ciuman jauh. Tiba-tiba saja, wajah-wajah penuh binar kekaguman itupun berubah menjadi pandangan jijik dan menyunggingkan senyum penuh ejekan. Sorot lampu panggung yang biasanya membuatku tampak semakin bersinar terasa seperti lampu sorot interograsi.


Suara tepuk tangan yang terdengar keras dan seperti tidak akan pernah putus itu ikut berubah menjadi seruan kekecewaan, dan teriakan cemoohan. Semakin keras, semakin meninggi dan tiba-tiba saja tiang penyangga lampu panggung terlepas menimpaku!


Suara seruanpun berubah menjadi jerit histeris kepanikan.


***


Aku terbangun dengan kesedihan luar biasa, sekaligus rasa lega yang datang sama besarnya. Mimpi. Mimpi buruk yang terasa begitu nyata. Mimpi itu datang karena aku terlalu khawatir akan pertunjukan nanti malam. Ya, pasti karena itu. Ini bukan sign atau de javu. Aku yakin. Aku menghela napas panjang, menenangkan diri, lalu bangkit berdiri dari tempat tidur, berjalan ke jendela yang gordennya masih tertutup.


Kusibakan gorden, membuka daun jendela, dan membiarkan udara pagi memasuki paru-paruku dengan bebas. Ragaku mungkin ada di kamar ini, tapi jiwaku telah berdiri di pangggung, menunggu tirai terangkat. Malam ini aktingku akan diuji dengan peran yang sangat kontroversial, sangat menantang, sebagai wanita serigala.


Pikiranku kemudian mengembara pada saat-saat pertama kali aku memasuki dunia panggung. Dunia yang kusebut sebagai my neverland. Neverland, sebuah negeri di mana setiap orang bisa terus menjadi seseorang di waktu paling membahagiakan, masa kecil. Tapi bagiku, saat paling membahagiakan adalah saat bisa menjadi siapa saja dengan jutaan cerita yang menyertainya. Neverland-ku adalah negeri panggung.


Panggung pulalah yang mempertemukan aku dengan pria yang kucintai. Gara. Pria yang telah membuatku merasa begitu rendah sekaligus mahadewi. Aku tahu dia mencintaiku dengan sangat besar. Tapi egonya telah menghancurkan semua itu.


Kami sama-sama mencintai panggung. Karir kami pun di mulai di saat yang sama. Aku sebagai aktris teater, dan dia sebagai sutradara muda. Sayangnya, karirku jauh lebih melesat. Aku memiliki bakat alami dan aura bintang yang besar. Semua tokoh yang kuperankan begitu hidup dan bernyawa. Gedung teater tidak pernah sepenuh itu sebelum aku datang. Dalam waktu singkat, kepopuleranku telah menyamai aktris yang melegenda.


Tapi bintang yang cemerlang tidak melekat pada Gara. Semua pertunjukannya gagal, sekalipun aku terlibat di dalam garapan itu, semua penonton dan kritikus menilai pertujukan itu hanya berpusat padaku, sedangkan sutradara tidak memberi sentuhan apa-apa. Berkali-kali seperti itu membuat Mas Putra, pimpinan teater kami tidak lagi mempercayakan garapan besar padanya. Gara frustrasi.


Aku berusaha menghiburnya, memberinya semangat, tapi semakin aku berbuat begitu, dia semakin jatuh. Sikapnya yang lembut berubah kasar. Setelah itu, aku merindukan malam-malam di awal karir kami. Malam-malam penuh perbincangan tentang mimpi-mimpi, masa depan, dan tentang cinta. Aku suka setiap kali dia menceritakan konsep-konsep pertunjukannya, mendiskusikannya dengan berapi-api. Semangatnya itu selalu membuatku percaya, suatu hari, dari tangannya, akan lahir sebuah maha karya. Tapi saat itu tidak juga tiba, dan waktu yang terlewati malah juga menggerogoti cinta kami.


Hujan turun, menimbulkan bau tanah basah, membuatku kembali menginjak bumi setelah lamunan masa lalu melenakan. Tersadar oleh waktu yang terbuang, membuatku bergegas untuk segera pergi ke gedung. Aku perlu menanamkan chemistry untuk pertunjukan malam ini. Kalau mau jujur, aku belum lagi siap tampil. Aku begitu kesulitan menghidupkan karakter ini. Karakter tokoh yang unik, seorang wanita yang dibesarkan oleh serigala, hingga sifatnya seperti serigala. Kesulitan ini pernah juga kukatakan pada Mas Putra.


“Mas, aku ragu memerankan tokoh ini. Aku tidak merasakan trans dengannya,” kataku pada Mas Putra, saat latihan terakhir sebelum gladi kotor.


“Rasi, kamu pasti bisa. Yakin saja, aktingmu bagus,” katanya menenangkanku.


“Tapi aku merasa seperti robot, hanya mengucapkan dialog yang harus kuucapkan, dan bergerak sesuai tuntutan naskah saja!” jeritku frustrasi.


“Tiket sudah sold out, kita tidak mungkin mengundurkan pertunjukan. Jangan manja!” tegas Mas Putra membuatku terdiam dalam diam yang paling diam.


Dan di sinilah aku sekarang, berdiri sendirian di atas panggung yang telah selesai di setting menjadi hutan rimba buatan. Tidak lama kemudian, satu persatu dari tim berdatangan. Mereka menyapaku sumringah, memberi semangat. Di negeri Neverland-ku ini, aku tidak pernah sendirian. Setiap pertunjukan adalah hasil kerja keras banyak tangan dan keringat. Mulai dari penjaga tiket, office boy, para penata, hingga aktor dan sutradara. Merekalah yang sesungguhnya menciptakan Neverland-ku.


Pintu gedung terbuka untuk kesekian kalinya. Aku menangkap sosok Gara yang tak sedikitpun menatapku. Padahal aku yakin, dia tahu betul saat ini aku sudah berada di panggung. Tapi bukan itu yang membuat hatiku tersayat. Aku sudah biasa diperlakukan tak acuh seperti itu. Yang membuatku tak enak hati, karena sekilas, aku seperti memergokinya sedang mengerling nakal pada Tira—seorang aktris baru di teater kami. Tira hanya sebentar melintas di depan Gara. Tira sedang berjalan ke arahku, membawakan kostum yang akan kugunakan nanti malam. Tapi hatiku tak bisa dibohongi, aku mencium sesuatu yang tak beres.


***


Aku tidak pernah menyangka pertunjukan ini akan menjadi kuburan bagi karir keaktrisanku. Saat pertunjukan tiba, dengan penuh rasa gugup aku memasuki panggung. Aura panggung yang besar selalu menyedotku, mengubah diriku “menjadi” tokoh yang harus kumainkan, dan bukan “berperan”. Tapi kali ini aku tidak bisa. Aku kebingungan. Berkali-kali aku salah mengucapkan dialog, salah blocking, dan bahkan salah mengambil properti.


Pertunjukan yang harusnya menjadi luarbiasa dan mengharu biru itu berubah menjadi sebuah komedi. Tidak pernah terjadi sebelumnya, Mas Putra sebagai sutradara sampai menghentikannya di tengah-tengah, membuat penonton semakin menggila. Mereka berteriak-teriak memaki, dan melempari panggung. Pertama kalinya aku tidak ingin berada di panggung. Aku takut. Melihatku malah terdiam shock, Mas Putra dengan kasar menyeretku ke belakang panggung.


Di pinggir panggung, aku melihat seringai puas muncul di bibir Gara. Apa mataku salah melihat? Apa yang dipikirkan lelakiku hingga bisa berekspresi seperti itu? Tapi pikiran tentang Gara harus segera kusingkirkan, karena Mas Putra segera mendampratku tanpa ampun. Dalam rasa takut dan kecewa pada diri sendiri, aku mendengar semua kata-kata menyakitkan Mas Putra. Tak ada bantahan, bahkan aku sama sekali tak membuka mulut. Aku terus diam, kali ini tanpa ekspresi, tanpa topeng apapun.


***


Subuh sudah menyapa, tapi gagal membuatku terlelap. Aku sangat gelisah. Bayangan kejadian di atas panggung terus menghantui. Beginikah sakitnya gagal? Beginikah perasaan Gara setiap kali pertunjukan yang disutradarainya berakhir? Aku bukan tak pernah gagal, tapi merasakan jatuh seperti ini … jelas baru pertama kali. Ini bukan hanya sekedar jatuh, tapi hancur. Aku harus menumpahkan kesedihanku pada seseorang, dan orang pertama yang kupikirkan adalah Gara.


Maka aku menelpon Gara, tapi telepon genggamnya tidak aktif. Aku menyusul ke apartementnya. Tapi setelah aku membuka pintu dengan kunci milikku yang diberikan Gara, dia tetap tidak kutemukan. Sial, ke mana dia?


Dengan segala kecemasan, kesedihan, dan galau yang memuncak, hanya satu tempat yang kupikirkan, panggung! Ya, aku harus kembai ke sana. Menyelesaikan semua keresahan di tempat asalnya. Bukankah berada di panggung selalu membuatku tenang? Bukankah panggung telah menjadi rumah bagiku?


Aku segera pergi ke gedung teater. Gedung telah sepi. Perlahan aku membuka pintunya. Berjalan dalam gelap di antara bangku-bangku penonton. Bangku-bangku yang berderet ini tadi penuh oleh penonton, mereka datang untukku. Sesak sekali dada ini, seperti tidak menyisakan ruang untuk bernapas. Aku duduk di salah satu bangku, menatap lurus ke depan. Tirai panggung tertutup, tapi cahaya samar dari lampu di baliknya menyusup di antara sela bawah tirai.


Bagaimana perasaan mereka saat melihatku bertindak tolol? Pasti, bukan hanya aku yang kecewa, mungkin mereka lebih merasa kecewa dari yang kurasa. Cukup! Aku tidak bisa selalu menyesali diri bila mengingatnya. Aku beranjak dari bangku penonton, lalu berjalan mendekati panggung.


Samar aku mendengar suara desah napas. Siapa malam-malam begini masih berada di panggung? Di panggungku? Aku mempercepat langkah, semakin mendekati arah suara. Sekarang terdengar bisikan pelan seorang pria, disusul tawa genit seorang wanita. Kusingkap tirai panggung, dan hampir membatu melihat dua sosok yang kukenal tengah bercinta di panggung.


“Rasi!” teriak Gara kaget.


Sedangkan Tira menjerit sambil menutupi tubuhnya. Aku dan Gara berdiri berhadapan.


“Kenapa?” tanyaku singkat dengan nada getir.


Gara membuang muka, tapi sekejap kemudian tertawa keras.


“Mau bergabung bersama kami di panggung ini, aktris besar Rasi?” tanyanya sinis. Nada mencemooh itu semakin membuatku terluka.


“Teganya kamu, dipanggungku!” kataku histeris.


“Panggungmu? Egois sekali! Oh, iya, aku lupa. Tadi kamu bermain sangat brilian, sayang.” Gara bertepuk tangan, suaranya membahana di panggung.


“Cukup! Kamu keterlaluan!”


“Kamu pikir aku sedih melihatmu gagal? Tidak, sayang, hatiku berpesta ….”


“Inikah … inikah sosok pria yang kucintai?” tanyaku, lebih pada diri sendiri. Sekalipun aku setengah mati ingin menangis, tidak kujatuhkan satu tetespun air mata.


“Cinta? Jangan pernah bicara cinta. Cinta hanya ada di panggung, setelah itu semuanya hanya mitos,” lanjutnya. Kata-katanya terus mengiris.


Kutatap jauh ke dalam matanya. Mata itu hanya menyorotkan kebencian, membuatku tersentak. Kenapa kamu membenciku, lelakiku? Sudah tidak tersisakah cinta itu? Pandangannya menyadarrkanku, tidak ada yang tersisa dari hubungan kami. Mungkin, sebuah perselingkuhan masih bisa kumaafkan, tapi ketika cinta telah menguap, apalagi yang bisa kupertahankan? Dengan sisa harga diri, aku berlalu meninggalkan Gara yang tertawa puas. Suara itu lebih mengerikan dari lonceng kematian.


***


Ajaib, hanya itu kata yang tepat ketika akhirnya aku bisa tidur tanpa bermimpi. Meskipun terbangun dengan kepala pusing dan menerima rentetan kritikan di koran-koran. Nyatanya dunia tidaklah kiamat. Semua ini juga tidak bisa membunuhku. Aku masih bernapas, merasakan angin yang melintas di tengkukku, juga sengatan matahari yang membakar.


Maka aku memberanikan diri untuk sekali lagi berdiri di panggung. Melunaskan hutang kegagalan. Aku telah membulatkan tekad, aku tidak akan menyerah, aku tidak akan meninggalkan negeri Neverland-ku! Aku menemui Mas Putra dengan penuh keyakinan dan kepercayaan diri yang lebih besar daripada apa yang pernah kurasakan. Meyakinkannya agar malam ini tetap diadakan pertunjukan. Mas Putra akhirnya setuju juga.


Tapi kami harus menelan konsekuensi dari kegagalanku kemarin, karena lebih dari delapan puluh persen penonton mengembalikan tiket. Sebelum pertunjukan, tetap terjadi kegaduhan seperti biasa—hanya kali ini, bukan keributan penonton yang tak sabar ingin memasuki gedung—tapi mereka tak sabar ingin mendapatkan uang pengembalian tiket. Semuanya tampak pasrah, tapi tidak bagiku. Aku akan mempertahankan Neverland-ku, aku akan tetap pentas. Walaupun hanya untuk satu atau dua penonton, karena mereka datang untukku. Dan sekali lagi aku memasuki negeri milikku itu.***


 


Bandung, 2012



 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on April 20, 2013 10:53

April 2, 2013

Dari Film Habibie & Ainun

Pengen cerita sedikit setelah nonton film Indonesia “Habibie & Ainun”


Awalnya saya sama sekali nggak tertarik nonton film ini meskipun direkomendasikan oleh beberapa teman. Entahlah, kisah cinta sejati dari kisah nyata bukan tipe film yang sedang ingin saya tonton dekat-dekat ini. Tapi karena filmnya sudah ada, dan saya sedang nggak ada kerjaan juga, akhirnya saya nonton.


Ini sedikit ulasan saya:


 


SINOPSIS


Bacharuddin Jusuf Habibie atau Rudi (Reza Rahadian), kembali ke Indonesia pada dengan meninggalkan sementara risetnya dalam meraih gelar dokter bidang teknik di Jerman akibat penyakit tuberkolosis yang ia derita. Saat kepulangannya itulah, Rudi bertemu kembali dengan Hasri Ainun Besari atau Ainun (Bunga Citra Lestari), teman sekolahnya dulu yang kini telah menjadi seorang dokter. Mereka saling jatuh cinta, kemudian menikah. Rudi membawa Ainun pindah ke Jerman.


Rudy Habibie yang jenius dan ahli dalam masalah pesawat terbang mempunya cita cita ingin mengabdi dan berbakti kepada bangsa Indonesia dengan membuat sebuah pesawat terbang. Seusai mendapatkan gelar dokternya—dengan tesisnya yang berhubungan dengan teknik kedirgantaraan meraih banyak pujian—Rudi kemudian diundang oleh banyak perusahaan pembuat pesawat terbang untuk bekerja pada mereka. Sebuah kesempatan yang sangat bagus, namun kecintaan Rudi pada tanah airnya telah membuatnya bertekad untuk membangun sebuah pesawat terbang untuk negaranya. Kesempatan itu akhirnya datang pada tahun 1973 ketika Presiden Republik Indonesia saat itu, Soeharto, memintanya untuk kembali ke Indonesia dan mengaplikasikan kecerdasannya untuk membangun negara—yang juga menjadi awal keterlibatan Rudi dalam dunia politik Indonesia.


Film ini bercerita tentang kisah cinta Habibie dan Ainun, dimana bagi Habibie Ainun adalah mata untuk melihat hidupnya. Sedangkan bagi Ainun, Habibie adalah segalanya. Juga kisah cinta pada tanah air.


REVIEW


Film ini memiliki plot yang cepat. Dengan lompatan waktu yang signifikan. Dibuka dengan adegan Ainun yang sedang bermain kasti semasa sekolah, dilanjutkan dengan seorang guru fisika yang mempertemukan Ainun (Marsha Natika) dengan kakak kelasnya Rudi Habibie (Esa Sigit) diminat menjelaskan mengapa langit biru. Ketika Ainun dengan fasih dapat menjelaskannya seperti halnya Habibie di lain waktu, guru mereka berkata “Kalian jodoh!”. Pembukaan yang manis, dengan akting Marsha yang pas sebagai Ainun remaja.


Adegan yang diset memorable lainnya adalah ketika Habibie muda mendatangi Ainun muda dan mengatainya “Gula Jawa” karena secara fisik, Ainun waktu itu hitam dan gempal (meskipun pemerannya tidak segempal itu menurut saya). Adegan ini menjadi memorable karena dipasangkan dengan adegan pertemuan kembali mereka, dimana Habibie dewasa (Reza Rahadian) justru menyebut Ainun dewasa (Bunga Citra Lestari) dengan sebutan “Gula Pasir” karena Ainun telah bertransformasi menjadi gadis cantik dan putih.


Adegan cepat juga terjadi saat dramatisasi kehidupan rumah tangga mereka yang penuh cobaan. Dimulai dari keadaan ekonomi yang pas-pasan, penyakit Ainun, sampai ditolaknya lamaran Habibie pada perusahaan IPTN. Satu adegan yang sebenarnya menurut saya bisa sangat romantis adalah ketika Habibie berjanji akan membuatkan pesawat terbang untuk Ainun, tapi masih kurang sedikit greget.


Begitu juga dengan cerita pergolakan politik, berlangsung dengan cepat. Plot cepat ini sepertinya karena film ini menceritakan masa yang panjang dalam kehidupan Habibie Ainun, dengan banyak kejadian penting dalam hidup mereka.


Ada beberapa kelebihan dari film Habibie & Ainun ini menurut saya:


1. Mengangkat kisah cinta murni dan abadi yang NYATA alias bukan fairytale. Bahwa cinta suci dan abadi itu benar-benar eksis di dunia nyata, bukan dongeng Cinderella dengan akhir “Happy ever after”, tapi kebahagiaan dalam lika-liku kehidupan sesungguhnya. Point ini membuat penonton berminat untuk menontonya.

2. Akting Reza Rahadian yang brilian. Saya benar-benar melihat Habibie dalam dirinya. Chemistry-nya dengan Bunga pun terasa sekali. Buat saya sih pertama kalinya melihat Bunga begitu anggun dan keibuan. Bunga cukup berhasil memperlihatkan sosok istimewa seorang Ainun. Kalau ada yang berpendapat Bunga terbantu sekali oleh Reza, buat saya Bunga sudah berusaha keras dengan kemampuannya sendiri.

3. Saya cukup terpukau dengan akting Hanung. Ternyata selain menjadi sutradara, Hanung berbakat menjadi aktor.

4. Setting yang bagus, dan memanjakan mata.

5. Adegan Habibie menangis ditemani Ainun saat pesawat buatannya teronggok.

6. Film ini punya qoutes-qoutes keren—yang sering saya lihat dijadikan status, twit, maupun dp bbm—semisal :


“Saya tidak bisa, saya tidak bisa berjanji akan menjadi istri yang sempuran untukmu. tapi saya akan selalu mendampingimu, saya janji itu.”-Ainun, ketika dilamar oleh Habibie.


“Setiap ujung terowongan pasti ada cahaya, dan saya janji akan membawamu ke cahaya itu.”-Habibie, ketika Ainun memintanya untuk dipulangkan ke Indonesia.


Dan yang paling terkenal


“Masa lalu saya adalah milik saya, masa lalu kamu adalah milik kamu, tapi masa depan adalah milik kita.” –Habibie.


NB:  Meskipun saya tidak pernah menggunakan quotes-quotes ini


 


7. Ending yang mengharukan. Saat Habibie (asli) menangis di pusara (Almrh) Ainun.

8. Soundtrack filmnya. Liriknya dalem, dan saya merasa Bunga bernyanyi semakin matang.


 


Tapi namanya semua karya nggak ada yang sempurna, film ini pun punya kekurangan yang menurut saya mengganggu, yaitu selain plotnya yang kadang terlalu cepat sehingga mengurangi kenikmatan dramatisasi, adalah make up-nya. Habibie dan Ainun tua tampak menjadi seumuran dengan kedua anak mereka.


posterfilmHA


Film ini membuktikan bahwa cinta sejati itu benar-benar ada. Rekomendasi buat yang suka kisah tentang cinta sejati dan penyuka cerita bertema nasionalisme.


Kesimpulan saya: filmnya bagus, cukup memorable, tapi nggak cukup menarik untuk saya tonton berulang-ulang.


Rating saya


3,5/5 Bintang



 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on April 02, 2013 11:34

March 9, 2013

Mungkin ini Puisi

Gerimis


 


Ada gerimis yang turun dari secarik kertas


Lalu membadai lantas memuai pada awan yang tak mampu memuat hujan


Kertas itu kini kosong


Tak lagi memiliki kisah untuk diceritakan pada muara


Pasti karena udara lupa memberi tinta setelah gerimis kehabisan makna


 


Februari 2013


 


 


Nama



Katamu kau mencintaiku dengan roh tanpa raga

Katamu cinta adalah aksara tanpa rangka

Rasa membawamu sesat hingga pulang adalah nista

Kini katakan padaku, apakah duka melupa pada jejak?

Lalu kataku, cinta adalah kenangan

Dan nama lain kenangan hanyalah … kita pernah.


Bandung, 29 Desember 2012


 


 


Pinangan


 


Katamu itu cinta


Kataku ini hanya hormon


Katamu selamanya


Kataku hanya butuh waktu lima tahun untuk melupa


 


Lantas kau tasbihkan namaku dalam lantunan ayat-ayat maha dari maha indah di setiap Bismillah


Dengan mata berbinar lebih dari sinar


Lagu cinta itu menembus tulang, merasuk mengakar


Namun bagiku ada jeda yang panjang


Rasa ini masih samar, butuh banyak oksigen, agar tak menggelepar.


 


Bandung, 4 Maret 2013


 


 


Mayasmara


 


Sengaja kulindapkan namamu dalam kerongkongan


Berharap setiap kata yang keluar serupa doa


Likat membelit kita


Pada cintalah kita selalu merasa telanjang, tak punya kuasa atas apa-apa


Saat huruf lenyap dalam senyap, kita hanya mampu berpelukan


Lalu melagukan getaran jiwa yang kadang tertinggal dibalik celana


 


Bandung, 4 Maret 2013


 


 


Mengheningkan Cipta


 


Mari sejenak kita menunduk


Untuk kematian rasa


Dikuburkan dalam rahim bayi-bayi yang tak pernah lahir


Diiringi orkestra nada-nada paling hening


Diam kita menjelma geming


Maka, jangan pernah lagi semua mengumbar kata cinta


Jahit saja bibir


Kremasi hati


Mutilasi otak


Lantas kita pajang sebagai sebuah prasasti


Sebagai sebuah peringatan, bahwa rasa pernah menyentuh bumi.


 


Bandung, 4 Maret 2013


 



 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on March 09, 2013 05:04

March 7, 2013

Ocuz Wina – Perempuan yang Merajut Cinta

ocuz wina


Mbak Ocuz, saat nerima boneka-boneka lucu hasil rajutanmu, saya udah sangat gatel buat ngasih tahu kalau paketmu udah sampe. Tapi saya tahan karena pengen ngasih tahu dengan sebuah postingan ^,^


Saya ingin cerita tentang kita.


Awal melihat komentar-komentarmu di kelas kita, saya tertarik dengan isinya. Cerdas, lucu, sekaligus ceplas-ceplos. Melihat namanya semakin tertarik. Bahkan saya sempet nanya saking penasarannya waktu itu. Apa nama Mbak Ocuz itu asli? Ingatkah?


Orang-orang begitu hangat ngobrol denganmu. Tapi saya ragu untuk menyapa. Takutnya saya nggak nyambung. Padahal aslinya pengen banget loh ngobrol sama Mbak Ocuz. Lalu perkenalan kita terjadi di twitter. Mulailah saya melihat celah untuk mengenalmu dengan obrolan seputaran drama Korea. Padahal seringnya saya malah belum nonton drako yang ditonton Mbak Ocuz XD


Menyimak twit-twitmu tentang drako membuat saya ngerasa mengenal Mbak Ocuz, tepatnya sok ngerasa kenal. Karena buat saya Mbak Ocuz yang hangat ini sering terlihat misterius. Seperti dekat tetapi jauh. Sampai suatu hari saya menceritakan soal Rasi yang muntah-muntah dan nggak mau makan. Mbak Ocuz memberi pencerahan soal sebab akibatnya. Sungguh saat itu saya merasa tersentuh. Pertama kalinyalah saya membuka sebuah rahasia di DM padamu. Mbak Ocuz dengan sabar menanggapi curhatan saya. Saya merasa memiliki sahabat yang pengertian. Ditemani dalam ketidaktahuan.


Lalu setelah itu kita lanjutkan dengan bertukar pikiran tentang perenungan setelah menonton drama-drama. Dan jet lag kita pada drako “Ghost 2012”. Sebenernya saya pengen banget Mbak baca novel saya, tapi bingung memulai untuk memintanya. Rasanya satu kehormatan dibaca sama Mbak Ocuz. Serius. Sampai waktu Mbak Ocuz ultah, kita sepakat tukeran kado. Saya seneng banget bisa ngasih Trisa buat ultah Mbak ^^ Apalagi tukerannya nggak sepadan, saya dapet boneka rajutanmu yang lucu itu. Dapet bonus satu boneka lagi XD


Waktu paketnya sampai, Rasi sampai memekik saking senengnya dapet boneka-boneka itu. Dalam setiap helai benangnya, dapat saya rasakan kasih sayang. Mbak, anak-anakmu kelak sangat beruntung memiliki ibu sepertimu.  Kamu seorang Nanny yang luar biasa, seorang sahabat yang baik, dan seorang perempuan yang sangat hebat ^^


Terus terang, pengen ketemu Mbak Ocuz itu salah satu motivasi terbesar saya ingin ikutan Kemsasnas di Jogja Juli nanti. Ini jujur loh. Akan saya peluk Mbak Ocuz erat Juli nanti.


boneka



 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on March 07, 2013 07:05

February 24, 2013

Cerpen “Stalker G1N4″ Dimuat di majalah “Hai” edisi 18-24 Februari 2013

STALKER G1N4


Oleh Eva Sri Rahayu


Image


Siapa dia sebenarnya, kenapa dia tahu semua hal tentangku? Apa dia seorang stalker handal? Dalam Facebook dan Twitter aku tidak menggunakan foto sama sekali, hanya gambar karikatur yang iseng kubuat. Semua followers-ku hanya teman-teman sendiri yang kukenal di dunia nyata.


Pasti yang dia pakai adalah akun palsu. Salah satu teman berniat mengerjaiku. Bukannya itu hal biasa. Bisa jadi dia adalah tetangga yang mengenalku sejak kecil. Nama yang dia pakai di akun Twitter-nya adalah G1N4 yang kubaca Gina. Mungkin dia termasuk alay. Gina tidak punya followers sama sekali, dan following-nya hanya aku.


Awalnya aku tidak mengacuhkannya, Gina mengajakku mengobrol di Twitter dengan intens setiap hari, lama-lama aku mulai tertarik dan merespon obrolannya. Aku tidak tahu Gina memakai foto asli atau bukan untuk avatarnya, kalau benar, dia memang cantik. Aku pernah mencari foto itu lewat Google, tapi memang tak ada.


@G1N4 selamat pagi, Ardi. Hari ini sudah siap UTS Kalkulus? Semangat! Pasti pakai kemeja kotak merah.


Sebelum pergi kuliah, aku menyempatkan diri membuka komputer jadulku, begitu aku membuka Twitter, yang pertama kali kulihat adalah sapaannya. Tapi dari mana dia tahu? Aku tidak mengumumkannya di Twitter. Mengetahui mahasiswa ujian bukan hal luar biasa, karena memang sekarang sedang musimnya, tapi kalau tahu detil mata kuliah apa yang diujikan sampai baju yang kupakai itu baru hal aneh. Terus terang, akhir-akhir ini aku merasa ada yang mengawasiku atau mungkin hanya perasaan saja.


Hari ini aku memang mau ujian, karena itu semalaman aku belajar. Aku harus mendapat beasiswa lagi semester depan, kalau tidak, aku terpaksa cuti karena tidak ada biaya. Aku sudah berusaha mengumpulkan uang dengan bekerja sambilan, tapi itu saja tidak cukup untuk membayar uang kuliah yang sangat mahal. Aku hanya tinggal dengan ayah, ibu sudah lama meninggal. Penghasilan ayah sebagai pekerja di bengkel hanya cukup untuk membiayai kehidupan kami.


Saking penasaran, jadilah selama di kampus, aku menanyai teman-temanku tentang akun aneh itu. Tapi tidak ada satu pun di antara mereka yang tahu atau mengaku.


Malam ini kuputuskan untuk menginterogasi Gina.


@ArdiWaluya kamu tahu dari mana aku tadi siang ada ujian kalkulus?


@G1N4 Sudah tugasku mengawasimu, jadi aku pasti tahu semuanya.


Jawabannya membuatku mengerutkan dahi. Apa maksudnya mengawasiku. Ternyata dia bukan hanya stalker tapi sudah masuk tahapan sakit jiwa.


@ArdiWaluya Buat apa mengawasiku? Memang kamu intel? Sepenting apa aku harus diawasi?


@G1N4 bisa disebut intel kalau di bumi.


Oke, sekarang dia mulai mempermainkanku. Kalau bukan di bumi, dia tinggal di mana lagi?


@ArdiWaluya Gina, memangnya kamu alien?


@G1N4 kalian menyebutnya begitu, aku sebenarnya lebih suka disebut manusia dari galaksi lain. Namaku bukan Gina, tapi N4. G1 itu nama tempatku tinggal.


Daya khayal tinggi. Baik, akan kulayani permainannya.


@ArdiWaluya lalu kenapa kamu datang ke bumi? Apa misimu?


@G1N4 maaf, aku tidak bisa mengatakannya.


Hah, dia bukan tidak bisa mengatakan misinya, tapi pasti tidak terpikir. Rupanya amunisi permainannya belum lengkap. Harusnya dia lebih pintar mengarang.


@G1N4 kenapa kamu berpikir aku tidak tahu misiku? Aku memang tidak pintar mengarang, tapi aku jujur.


Aku tersentak membacanya kali. Dia bisa membaca pikiranku? Ini gila!


@ArdiWaluya Kalau begitu kenapa kamu tidak mau mengatakannya? Kamu mengawasi dari mana? katakan! Ini tidak lucu!


@G1N4 suatu hari aku berharap bisa menceritakannya langsung padamu.


Aku mendengus membaca jawabannya. Bertemu? Siapa yang mau bertemu dengannya! Aku tidak tertarik dengan wanita aneh yang terobsesi padaku.


Setelah itu berhari-hari aku tidak mengacuhkannya. Semua mention-nya tidak kujawab. Tapi dia tetap memperhatikanku. Sapaan selamat pagi, siang, dan malam tidak pernah absen kulihat darinya. Gina selalu tahu bagaimana perasaanku. Kata-katanya selalu sesuai dengan suasana hatiku, dia memberi motivasi saat aku merasa lelah, ikut senang saat aku merasa bahagia


Hingga hari ini aku membaca twit-twit-nya tentang rumah. Gina menceritakan kerinduannya akan tempatnya berasal, lalu rasa sepinya tinggal di bumi, tanpa siapa pun. Entah kenapa aku mulai percaya cerita karangannya itu. Mungkin memang ada manusia-manusia lain yang hidup di luar bumi. Bukankah semesta ini memang penuh dengan misteri.


@G1N4 aku datang ke sini untuk menemuinya dan merasakan semua ini. Ternyata rasa memang tak seharusnya ada.


Membaca itu aku bisa merasakan kesedihan yang dalam. Tiba-tiba aku merasa bersalah. Aku memutuskan untuk menyapanya.


@ArdiWaluya Gina, kamu boleh menceritakan apa saja padaku.


Dia senang sekali, tidak henti-hentinya dia berterimakasih. Malam itu kami mengobrol panjang tentang banyak hal lewat direct message karena aku sudah balik mem-follow-nya.


***


Aku berdiri limbung di depan papan pengumuman beasiswa. Aku gagal! Semester depan aku harus cuti. Aku pulang dengan langkah gontai, melemparkan tas seenaknya lalu menyalakan komputer, membuka Twitter.


@G1N4 semangatlah, masih ada waktu untuk menabung. Kamu pasti bisa.


Gina tahu lagi apa yang kualami tanpa aku repot-repot menceritakannya.


@ArdiWaluya aku ingin kamu datang.


Entah kenapa aku mengetik twit seperti itu. Mungkin karena saat perasaanku kacau begini, aku ingin seseorang berada di sampingku, mengerti resahku.


@G1N4 benarkah?


Aku tidak menjawab. Merasa konyol dengan twit-ku sebelumnya. Bagaimana mungkin Gina datang. Lagipula apa benar aku ingin menemui wanita aneh itu.


Malam begitu gelap, awan menyembunyikan bintang. Aku duduk di atas atap rumah, dipinggirnya, sembari memandang langit dan terkekeh sinis sendirian. Rasanya lelah sekali.


“Aku boleh duduk di sampingmu?” tanya seseorang yang tiba-tiba sudah berada di dekatku. Aku tersentak kaget, lalu refleks menjerit. Bagaimana mungkin ada seseorang yang datang tanpa kuketahui. Untuk naik ke atap ini orang itu harus masuk ke rumahku dulu. Aku mencubit tangan, lalu mengucek mata, memastikan pemandangan yang kulihat. Tapi wanita itu benar-benar nyata. Wajahnya persis seperti avatarnya. Cantik. Dia memakai baju kasual. Tidak ada keanehan dari dirinya.


“Ya… ya… bo-leh,” kataku tergagap.


“Sekarang kamu percaya aku bukan manusia biasa?” tanyanya lagi, lalu duduk di sampingku. Aku mengangguk cepat. Dia mengayun-ayunkan kakinya yang telanjang ke udara kosong. Kami sama-sama terdiam.


Lalu lelah dan beban yang menghimpit itu semakin menyesakkan dada. Aku merebahkan kepalaku di pundaknya yang kecil. Dia beringsut kaget. “Sebentar saja, sebentar saja aku ingin begini,” ucapku tanpa mengubah posisi. Gina lalu membiarkanku.


Entah berapa lama aku bersandar padanya. Rasa sedih dan kecewa berangsur menghilang. Gina memberiku perasaan nyaman. Perlahan aku mengangkat kepala, kemudian menatapnya.


“Entahlah siapa kamu sebenarnya, aku tidak peduli, tapi aku sangat berterima kasih kamu sekarang ada di sini,” kataku lembut.


Gina menatapku tak percaya, ada semburat merah muncul di pipinya. “Setiap hari aku melihatmu, setiap hari aku berharap bisa menemuimu, menyentuhmu.” Tangan Gina terangkat, membelai rambutku pelan.


“Sebenarnya kamu siapa? Kamu bilang mau menceritakan semuanya kalau kita bertemu,” tanyaku.


Gina melepaskan tangannya dari rambutku, tatapannya jatuh ke depan. “Aku berasal dari planet G1. Planet tempat tinggalku begitu indah dan damai. Terlalu damai, tak ada perang, kami hidup menjalani hari demi hari dengan kegiatan yang sama sesuai tugas, kepatuhan yang absolut.” Dia menghela napas panjang.


Aku mendengar ceritanya dengan seksama, berusaha membayangkan kehidupan macam apa di planetnya.


“Aku adalah salah satu petugas di pusat pengembangan teknologi. Suatu hari, aku melihat bumi. Planet yang dihuni makhluk-makhluk yang bentuknya persis seperti kami. Tapi kalian berbeda, kalian merasakan… emosi. Waktu itulah aku menyadari ada semacam cacat rasa pada kami. Kami tidak mengenal cinta. Lalu aku… melihatmu. Saat itu aku merasakan sesuatu yang ganjil di hatiku. Kemudian aku mengajukan diri untuk melakukan observasi penggunaan teknologi di bumi. Sebenarnya hanya alasan, karena sesungguhnya aku tertarik dengan rasa yang kalian miliki, tepatnya tertarik padamu,” lanjut Gina.


“Apa itu artinya kalian akan melakukan penyerangan ke bumi?” tanyaku, takut bumi milik  manusia ini akan hancur di serang alien seperti dalam film-film.


Gina tertawa mendengar pertanyaanku. “Tidak, sudah kukatakan kami makhluk yang mencintai kedamaian. Tidak ada untungnya memiliki bumi kalau harus berperang dan menimbulkan banyak korban.” Aku menghela napas lega.


.Gina tiba-tiba memperlihatkan raut wajah sedih. “Aku sebenarnya tidak boleh menampakkan diri, tapi melihatmu merasa sedih, aku tidak bisa menahan diri. Aku sudah menjadi makhluk dengan rasa yang lengkap karenamu.” Tiba-tiba ekspresi wajahnya terlihat panik, dengan histeris dia berkata, “Mereka tahu! Mereka memanggilku pulang!”


Aku memegang kedua pundaknya. “Apa maksudmu? Mereka siapa?”


“Atasanku, dia akan mengirimku pulang! Dia akan menghukumku!”


Belum sempat aku mencerna kata-katanya, Gina sudah menghilang. Meninggalkan tanya dan perih. Setelah itu, dia tidak pernah muncul lagi.


***


Aku membuka Twitter, berharap ada DM dari Gina. Hanya itu yang bisa kulakukan, aku tidak tahu bagaimana menghubunginya. Dia muncul dari sana, dari dunia maya. Akunnya yang masih tetap ada dan aktif memberiku harapan, seakan suatu hari dia akan kembali.


Lalu pagi ini aku mendapatkan DM yang kutunggu-tunggu itu.


@G1N4 Ardi, aku dipaksa pulang ke planetku. Tapi maukah kamu menungguku? Aku akan memohon agar bisa tinggal di bumi.


@ArdiWaluya jangan pergi, jangan tinggalkan aku.


Tidak ada balasan. Kali ini Gina benar-benar menghilang. Tapi setiap hari aku selalu mengiriminya twit-twit, menceritakan keseharianku, entah dia bisa membacanya atau tidak. Dua tahun kemudian saat aku membaca sebuah surat kabar, aku menemukannya.


Ditemukan mayat alien dengan struktur tubuh persis manusia.



 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on February 24, 2013 21:23

Dibalik “Stalker G1N4” ada anak marmut

stalkergina


 


Lia, anak marmutku. Maaf, ya, lama balesan surat cintanya.


 


Kali ini aku mau cerita soal lomba yang kita ikuti. Lomba di satu grup FB. Kita berdua bukan pemburu lomba juga hadiah. Butuh chemistry yang kuat untuk mengikuti sebuah lomba. Karena menulis butuh panggilan hati, bukan sebuah rutinitas membosankan yang kita lakukan karena keharusan. Saat pengumuman lomba itu kita berdua sama-sama bersemangat, lalu berjanji agar dalam kumpulan cerpennya nanti bakalan ada cerpen kita berdua.


 


Lomba itu punya tiga tema. Kita memilih tema yang berbeda. Aku masih ingat betapa stresnya kamu menulis cerpen romance. Waktu itu aku malah membuat cerpen pertama dengan lancar. Sayangnya ternyata nggak masuk ke tema sehingga nggak lolos. Ah, sedih banget. Syukurlah punyamu lolos ^^


 


Cerpen pertama yang gagal itu aku kirim ke media. Setelah sekian lama nggak ngirim naskah ke media. Untungnya cerpen itu dimuat di koran lokal.


 


Cukup lama aku memikirkan ide selanjutnya untuk cerpen kedua. Sampai-sampai hampir menyerah. Saat itu kamu marah, Li. Kamu mengingatkan janji kita. Yah, kamu selalu memotivasi aku dengan caramu. Aku selalu takut kalau kamu marah, takut ditinggalkan. Pikiran konyol, ya, Li. Akhirnya aku berpikir lebih keras. Berkonsentrasi pada tema, pada sekitar untuk menemukan ide yang pas supaya tidak melenceng lagi dari tema.


 


Akhirnya cerpen kedua itu aku tulis juga di hari terakhir dengan durasi empat jam saja. Waktu yang fantastis untukku yang lelet. Satu cerpen biasanya kukerjakan dalam waktu seminggu sampai sebulan. Tapi selain sudah tidak ada waktu, ada wajah cemberutmu yang seperti memandori di sebelahku saat menulis ^^V


 


Tanpa meminta saranmu dulu, langsung kukirim. Cerpen itu belum kuedit atau kupoles, masih polos. Beberapa hari kemudian email lolos tahap satu membuatku jejingkrakan. Bukan karena senang lolosnya, tapi karena bisa memenuhi janjiku padamu yang membuatku senang.


 


Saat pengumuman, ternyata cerpen kita nggak masuk tujuh besar. Agak sedih karena kita tidak bisa merealisasikan satu mimpi. Tapi aku yakin setiap karya punya jodohnya. Dengan nggak pede, aku mengedit cerpen itu berlandaskan saran-saran juri dan tentu saja saranmu. Karena tokohnya laki-laki, aku kirim ke majalah khusus pria. Ngomong-ngomong, itu cerpen pertama yang tokohnya laki-laki. Entah kenapa saat itu aku merasa ingin saja. Li, kamu sendiri sangat jago menulis dari sudut pandang laki-laki. Pembaca bahkan tidak menemukan sisi feminim dari cerpenmu, benar-benar seperti ditulis laki-laki. Itulah kerennya kamu.


 


Satu bulan setengah kemudian aku mendapat email balasan kalau cerpenku akan dimuat! Orang pertama yang ingin kuberi tahu adalah kamu. Li, kamu selalu percaya aku. Walaupun seringkali aku ingkar janji, membuatmu bete, tapi selalu baikan lagi. Li, cerpen “Stalker G1N4” kupersembahkan untukmu. Cerpen itu ada karenamu. Terima kasih sudah memberiku pengalaman indah. Pengalaman pertama kali tembus media nasional.


 


Kamu memang marmut ajaib. Marmut keberuntunganku ^^



Surat ini surat balasan untuk surat cinta Vincetia Natalia. Baca suratnya untuk saya di sini:


http://donasaku.blogspot.com/search/label/Kumpulan%20Surat%20untuk%20Eva%20Sri%20Rahayu



 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on February 24, 2013 19:22

February 13, 2013

Liony Chan, Nyonya Persie ^^

521a9855a6b8eea55a949a14af04fe52


Dear Liony Chan.


Saya mengenal Liony dari mention-mentionan kembaran saya, Eva—teman kembaran saya—dan Liony. Kalian asyik mengobrolkan tentang program menulis surat cinta. Awalnya saya baru berniat untuk ikut-ikutan program menulis surat cinta itu karena membaca surat-surat mereka. Saya pikir, seru juga ya bisa ngisi blog sekaligus curhat. Tapi kalau pada akhirnya saya benar-benar ikut program surat cinta itu karena Liony. Kalau bukan karena dukungan Liony yang ramah, keinginan itu sepertinya hanya saya simpan di sudut-sudut hati sambil iri setengah mati ngeliat Evi.


Surat pertama saya waktu itu untuk Rasi. Liony, saya seneng banget waktu surat itu kamu pilih untuk diposting di blog pos cinta. Makin semangat deh ikutnya. Setelah itu saya selalu melonjak senang kalau dimention pos cinta. Meskipun sampe hari ini total suratnya baru enam >.<


Dear Liony Chan,


Saya suka menganggap muka Liony imut seperti gambar di perangkonya. Rasanya pas banget, ceria dan dinamis. Saya yang selalu tidur di atas jam satu malam ini sering memerhatikan Liony di TL. Liony masih sering online sampai pagi, sampai saya mikir, kapan ya Liony tidurnya?


Entah kenapa saya ngerasa Liony ini pribadi yang lucu dan unik. Suka cerita tentang pekerjaan, kesal karena nulis typo, menggalau, sampai semangat banget kalau ada bola. Terutama kalau Persie yang main ^^ Secara ya, Liony itu nyonya Persie. Liony bakalan heboh banget di time line. Kebayang deh aslinya gimana, heuheu. Kenapa Liony suka banget sama Persie?


Dear Liony Chan,


Gimana rasanya jadi tukang pos? Setiap hari baca puluhan surat? Apa suka dukanya? Kepo banget ya saya. Tapi memang penasaran. Pernah suatu malam, jam 12, saya buku blog pos cinta. Ternyata Liony sedang memposting surat-surat yang terpilih. Rajin banget. Liony, semoga tanggal 17 nanti bisa ketemu. Sederhana, setelah sederet pertanyaan tadi, saya pengen bilang: makasih, Liony. Kamu tukang pos yang bekerja dari hati. Terima kasih sudah tulus ^^



 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on February 13, 2013 00:29

February 8, 2013

Chibi, langkah kecil kita untuk berlari – Untuk Yunis Kartika

Chibi, langkah kecil kita untuk berlari.


Untuk Yunis Kartika


yunis


Sista,


Tahun 2012 adalah tahun yang sangat berat bagiku. Meskipun kamu selalu ada dalam setiap jejak hidupku, aku tak pernah menyangka sebelumnya, saat aku tengah terpuruk kemarin, kamu selalu ada untukku. Menemaniku dalam setiap tangis tertahan dan tawa hambar. Kamu paling mengerti perasaanku saat itu. Mungkin karena kita mengalami nasib yang sama.


Sista,


Kamu juga memberiku kesempatan untuk cepat berdiri dan berlari dari masa kelam. Lewat sebuah mimpi.


Bermula dari keinginan untuk berkerja dengan perasaan bahagia—tanpa tekanan, tanpa keterpaksaan—kita berjanji membangun kembali impianmu. Sebuah penerbitan bernama Chibi. Kamu mungkin tidak akan mengira, mimpi kita berhasil menopangku untuk berdiri. Langkah kita, sebuah langkah kecil—seperti arti nama Chibi—membuatku kembali bersentuhan dengan semangat.


Dan selalu tidak mudah menjadikan impian nyata. Masalah datang bergantian, kadang berhimpitan. Ada masanya kamu begitu pasif hingga membuatku merasa kamu tak peduli, lalu datang masanya ketika akulah yang justru membiarkan mimpi itu begitu saja. Tapi akhirnya, lewat realita juga kita kembali berjalan, setapak demi setapak.


Sungguh, aku bersyukur kita selalu bisa bergandengan tangan saat ditempa badai. Meskipun kita terkadang saling menghardik.


Sis,


Ketika kita lemah, kita harus kembali mengingat saat-saat betapa bersemangatnya kita ketika membicarakan konsep-konsep, strategi, dan proses editing yang membuat rambut keriting. Lalu pada akhirnya kita seperti akan meledak karena bahagia ketika melihat sebuah buku selesai dicetak. Kemudian kita akan berburu ke toko, mengambil foto-foto display buku.


Kita rasanya ingin berteriak sambil jejingkrakan saat melihat penulis-penulis bergembira membaca karya mereka dalam buku terbitan Chibi. Betapa berharganya turut berbagi mimpi dan memberi jalan mereka menggapainya.


Sis,


Masih sangat banyak pekerjaan rumah untuk kita benahi. Tapi itulah yang selalu membuat kita dinamis dan tak bosan.


Berjanjilah kita selalu akan saling mengingatkan untuk tak pernah menyerah. Aku mempercayaimu, Sis. Seperti kamu mempercayaiku. Bahwa kita akan bersetia pada mimpi. Mimpi yang membangunkan kita pada kenyataan. Sebuah keadaan yang melarutkan kita pada perjalanan panjang yang melenakan lewat keringat dari kerja keras, pencapaian kecil, dan perasaan bahagia saat bekerja.


Karena itu jangan pernah tinggalkan aku sendiri, karena aku tak akan meninggalkanmu juga.


Chibi kita akan membesarkan kita pada waktunya nanti. Membesarkan dalam artian perubahan positif pada karakter kita. Membesarkan lewat proses. Karena itulah pencapaian kita yang sesungguhnya. Proses dan hasil kita adalah aliran kebahagiaan yang tak pernah putus saat bekerja. Membuat kita merasa hidup. Dan itu adalah pencapaian tanpa harga mati.



 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on February 08, 2013 16:20

February 2, 2013

5 kesalahan penulis yang menuliskan kisah pribadinya.

5 kesalahan penulis yang menuliskan kisah pribadinya.


 


Katanya inspirasi tak terbatas itu hidup kita sendiri. Dekat, dimengerti, dan dapet banget rasa-nya. Yah, bener. Apalagi kalau hidup kita udah kayak drama. Mantaplah buat ditulis.


Etapi yakin kisah kita seseru itu? Atau cuman pendapat kita aja sebagai pelakunya. Apa bener orang yang baca akan menganggap kisah pribadi kita itu menarik? Atau justru malah bosan sampai ketiduran membacanya.


Menuliskan kisah nyata kita dalam bentuk novel atau cerpen bukan hal nista kok. Kalau kamu ngerasa hidupmu penuh dengan konflik, lebih drama dari drama, tulis aja! Kalau malu dan gak mau ketahuan itu curhat colongan, bisa kita samarkan banyak hal dalam tulisannya.


Penulis yang menuliskan kisah pribadinya ke dalam novel kadang ingin mengisahkan sesuai dengan keadaan aslinya, menuliskan dengan apa adanya. Karena itulah kadang penulis membuat pembacanya bingung dengan beberapa hal. Apakah itu?


5 Kesalahan dalam menulis cerita yang sebenarnya kisah nyata penulis:



Menuliskan adegan per adegan sesuai dengan runutan kejadian yang asli dialami oleh diri sendiri.

Berapa tahun hidupmu? Sudah panjang kan. Banyak sekali kejadian yang sudah dialami. Banyak kenangan yang kamu anggap berkesan. Tapi jangan menuliskan kejadian-kejadian itu secara runut dan detail, cukup ambil saja bagian penting yang menguatkan plot dan cerita. Tidak usah kamu masukkan semua kejadian secara runut dan detail hanya karena memang begitulah kejadian yang sebenarnya. Bisa-bisa malah pembaca bosan, merasa adegan-adegan itu tidak penting, dan ketika dihapus pun tidak menganggu jalannya cerita, atau bahkan ketika dihapus malah membuat cerita enak dibaca.


Contoh sederhana: bangun tidur, mandi, sarapan, perjalanan ke sekolah bertemu tukang sayur, menunggu bus, macet, lari-lari menuju gerbang, ditahan BK, lalu masuk kelas terlambat.


Dari runutan kejadian itu, ambil yang menariknya saja.


Lalu timbul pertanyaan, kalau tidak ditulis dengan runut nanti ceritanya bolong dong?


Yang dimaksud jangan memasukkan detail runutannya di sini adalah membuang kejadian yang tidak penting. Bukan alur yang melompat. Artinya kalau semua kejadian itu memang penting untuk membangun sebab akibat, tentu harus dimasukkan. Biasanya penulis dari kisah nyata ingin menuliskan cerita “Apa adanya” meskipun kejadian-kejadian yang tidak penting sekalipun untuk menjaga keaslian cerita. Kalau kamu membuang sebuah kejadian dan setelah dibaca ternyata ceritanya bolong, berarti yang kamu buang adalah kejadian penting. Tidak memasukkan runutan kejadian seperti aslinya bukan berarti menghilangkan detail. Detail-detail penting tentu saja harus dimasukkan. Kejadian yang memiliki detail penting itu berarti termasuk kejadian penting.


Bagaimana membedakan kejadian penting dan tidak?


Membedakan kejadian penting dan tidak caranya kita nilai dari apakah satu kejadian itu berpengaruh banyak pada keseluruhan cerita. Apakah kalau dibuang akan membuat lubang pada cerita. Kalau tidak, buang saja.


2. Terlalu banyak tokoh


Dalam kehidupan asli kita. Tokoh-tokoh yang datang dan pergi bisa ribuan. Tidak usahlah kita menuliskan banyak-banyak tokoh hanya karena memang mereka ada dalam kehidupan kita. Hanya karena saat sebuah kejadian tokoh-tokoh itu hadir di sana. Kebanyakan tokoh akan membuat pembaca pusing. Banyak tokoh yang pada akhirnya terasa penting olehmu, padahal tidak penting dihadirkan. Bisa disiasati dengan menyatukan beberapa tokoh ke dalam satu tokoh.


Kalau kamu memang bisa menghidupkan banyak karakter itu bagus. Novelmu akan kaya. Tapi kalau malah jadi keteteran, lebih baik dihindari saja memasukkan banyak-banyak tokoh. Munculkan tokoh dengan tujuan jelas. Keberadaannya punya andil sendiri dalam cerita, bukan hadir tetapi tidak memberi kontribusi apa-apa pada cerita. Pikirkan baik-baik, apakah keberadaan tokoh itu memiliki pengaruh pada jalinan cerita atau tidak. Apakah kalau dihilangkan membuat kejanggalan atau bolong dalam cerita. Kalau tidak, lebih baik dihilangkan saja. Tidak ada hitungan pasti berapa jumlah tokoh ideal dalam novel.


Contoh sederhana: Dina ikut dalam klub teater yang anggotanya paling banyak, mencapai seratus orang. Kamu menceritakan adegan kabaret yang pemainnya dua puluh orang. Tidak usah kamu sebutkan satu per satu beserta perannya. Cukup tokoh dan peran yang penting saja.


 3. Tidak mendramatisir cerita


Karena sudah menganggap kisah hidupmu menarik, ketika ditulis tidak lagi diberi dramatisasi. Kalau memang nyatanya begitu kamu hanya perlu mengolahnya dengan pemilihan kata-kata tepat sehingga kedramatisannya sampai pada pembaca. Tapi jangan-jangan tidak begitu adanya. Karena itu dibutuhkan dramatisasi agar kesedihan, keharuan, tragedi, dan semuanya terasa oleh pembaca.


Contoh sederhana: Diceritakan kamu diputuskan oleh pacar lewat SMS. Kamu merasa sedih lalu menangis semalaman. Oke, itu memang sedih. Diputuskan saat masih sayang pasti patah hati. Tapi penyampaiannya tetap harus didramatisir. Kalau sebelumnya tidak ada pertengkaran, buatlah sebuah pertengkaran yang menyakitkan agar peristiwa putus itu menjadi drama yang benar-benar menyakitkan ketika dibaca.


Bagaimana agar dramatisasi itu tidak terasa lebay?


Mendramatisir yang tidak lebay itu membuat sesuatu menjadi lebih menarik dari aslinya. Bagaimana supaya tidak lebay? Takarannya adalah masuk akal atau tidak. Sesuai logika atau tidak. Mendramatisir bukan melebaykan atau hiperbola. Menambahkan bumbu agar lebih sedap. Beda lagi kalau menulis komedi yang memang sengaja dibuat hiperbola. Mendramatisir tadi itu bisa dengan kekuatan kata-kata, misalnya pemakaian diksi. Sebenernya yang bikin kita ngerasa cerita menjadi lebay salah satunya karena cerita terasa gak masuk akal alias kebanyakan serba kebetulan. Karena itu dramatisasi tetap harus berpegang pada logika cerita.


Sejauh apa kita boleh menambahkan cerita tambahan untuk mendramatisir cerita yang kita tulis?


Sejauh mendukung plot cerita, sejauh tidak keluar dari substansi cerita, sejauh masih masuk dalam logika cerita, dan sejauh membuat cerita menjadi semakin menarik. Artinya dramatisasi yang tidak terasa mengada-ada.


4. Menjejalkan konflik ke dalam cerita


Menulis novel konfliknya memang banyak dan berlapis, tetapi konflik kalau semua konflik dimasukkan, mau bagaimana ceritanya. Tetap harus berpegangan pada konflik utama dan konflik-konflik kecil yang mendukung konflik utama tersebut. Kita harus memilih fokus konflik dan cerita.


Bagaimana memilih satu konflik dari sekian banyak konflik dalam hidup kita?

Sementara konflik yang kita alami dalam hidup ini begitu banyak, sementara kalau kita memilih beberapa takutnya ujung-ujungnya malah jadi blur.


Dalam hidup kita memang banyak banget konflik. Rasa-rasanya semuanya dasyat.

Menurut saya, pilih satu konflik paling “dasyat”. Konflik terbesar itu adalah konflik yang paling “Mengubah” hidup dan karakter kita. Sebuah konflik yang menjadi titik perubahan paling besar. Konflik itu menjadi konflik utama. Lalu di antara konflik yang berseliweran itu pilih konflik-koflik kecil yang mengacu pada utama tadi, jadi ceritanya gak blur.


Bolehkan mengangkat dua konflik besar?


Boleh saja mengangkat 2 konflik besar. Karena konflik besar dalam hidup kita itu memang super banyak. Yang harus diingat adalah konflik itu harus diselesaikan. Artinya kita menakar apakah kita bisa menuliskan beberapa konflik besar dengan penyelesaiannya yang mulus.


Tetap harus menentukan konflik besar utamanya dulu sebagai pegangan dari awal sampai ending. Konflik-konflik yang satu per satu selesai itu adalah konflik kecil yang mendukung konflik utama.


Bagaimana menyelesaikan konflik yang kita sendiri belum mengetahui hasil akhirnya dalam hidup kita?


Kita menulis novel berdasar kisah pribadi, bukan menulis biografi. Karena itu ending cerita di sini bisa kita reka tanpa menunggu hasil akhirnya dalam hidup kita sendiri.


 5. Karakter  tokoh yang tidak jelas


Tokoh-tokoh dalam novel kurang bahkan tidak jelas pengkarakterannya. Hal ini bisa terjadi karena sebagai penulis merasa sangat mengenal si tokoh-tokoh sehingga penggambaran tokoh-tokoh itu tidak ditulis jelas. Penulis lupa kalau pembaca tidak mengenal mereka. Jadi, gambarkan karakter tokoh dengan jelas. Jelas secara fisik, sifat, bahkan gimik. Gimik di sini adalah kebiasaan-kebiasaan kecil yang menjadi ciri khas tokoh. Misalnya ketika gugup selalu menggigiti kuku.


Pemeran utama yang biasanya diambil dari karakter diri sendiri digambarkan cukup sempurna dibanding yang lain. Tokoh sempurna itu membosankan, tidak dekat dengan pembaca. Hindari membuat tokoh yang cukup sempurna ini. Jangan lupa teliti menuliskan nama samaran kalau memang kamu niatnya menyamarkan. Karena kadang-kadang penulis kepeleset menuliskan nama aslinya.


Pemeran utama novel kita tidak harus kita sendiri. Boleh siapa saja, termasuk hanya tokoh rekaan yang tidak ada dalam kehidupan nyata kita. Karena ini bukan buku biografi, ini novel fiksi yang ide dasar atau ceritanya diambil dari kisah pribadi penulis.


Bagaimana caranya agar kita bisa memasukan sifat jelek kita pada tokoh utama—yang sebenarnya adalah kita sendiri—karena biasanya kecenderungan kita tokoh utama itu pengennya yang baik-baik saja—apalagi itu kita sendiri?


Buat daftar sifat-sifat bagus dan jelek kita. Buat seimbang antara sifat jelek dan bagus. Bisa dipilih sifat-sifat jeleknya. Ingat bahwa memberi sifat jelek pada tokoh utama adalah penguatan karakter, sebuah penyempurnaan. Tokoh utama dengan sifat jelek adalah karakter sempurna karena ketidaksempurnaannya. Jangan takut membuat pembaca sebal pada tokoh utama karena punya sifat-sifat jelek. Kita ceritakan latar belakang kenapa dia memiliki sifat begitu, sehingga pembaca bisa berbalik simpati.


Menulis novel dari kisah pribadi bukan berarti mentah-mentah memasukan cerita hidup kita sebagai penulisnya dengan apa adanya. Bisa jadi hanya ide dasar atau saripatinya saja.


Catatan ini hasil dari pengamatan saya terhadap novel-novel yang dibuat berdasarkan kisah pribadi penulisnya. Ditambah dengan hasil diskusi dengan teman-teman. Semoga catatan kecil ini bisa bermanfaat.



 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on February 02, 2013 00:08

January 30, 2013

My Girl – Anak Marmut Vincentia Natalia

My Girl – Anak Marmut Vincentia Natalia


Image


 


Hei, kamu curang nulis surat duluan. Padahal hari ini aku udah siapin surat buat kamu. Ah, sudahlah, pokoknya suratmu bikin aku terharu banget. Hiks. Surat ini kutulis sengaja tanpa banyak diksi karena kamu gak suka yang banyak diksi, bikin puyeng yah? Hihihi.


Anak Marmut,


Aku gak nyangka ketika Delia memasukkanku ke grup “Writing Writer” bakalan banyak dapet sahabat. Salah satu yang paling istimewa adalah kamu, Li. Ingetkah pertama kita deket banget ketika mulai chat di FB, berlanjut ke BBM? Kamu dengan pribadi yang unik, segar, ceria, dan lucu selalu bikin aku seneng.


Li, kamu hadir di salah satu masa paling kelam dalam hidupku. Menyemangati, setia mendengarkan, dan kamulah orang pertama yang mengucapkan selamat ulang tahun. Voice Note mu waktu itu berhasil bikin aku nangis lama, ngerasa ada seseorang yang bahagia atas kelahiranku di bumi ini sekalipun kita gak pernah ketemu. Kamu selalu berhasil membuatku merasa “Baik-baik saja” saat aku sebenarnya “Tidak baik”. Kamu menerima kekurangan dan sisi gelapku. Benar-benar sisi yang mungkin gak akan orang lain terima kalau tahu.


Banyak hari yang kita lalui dengan obrolan-obrolan panjang. Dari masalah wanita sampai tulisan. Ketika awal menulis novel ketiga, aku sering kehilangan semangat. Kamu tahu, yang membuatku selalu terpacu adalah ketika membaca tulisanmu. Terserah orang bilang apa ketika membaca bab-bab awal kisah Bella dan Ian. Tapi pertama kali kubaca, aku langsung terpesona. Pesona mereka menghipnotisku untuk tidak berhenti. Percayalah ini bukan gombal. Heuheu, jadi teringat katamu, “Teteh jagoan ngegombal”. Padahal aslinya mana bisa aku ngegombal, Li. Jangan pernah meragukan kemampuan dan usahamu dalam menulis ya, Li.


Ketika novelku selesai dan mendapat penolakan dari penerbit, kamulah yang bersedih. Aku terharu. Li, aku gak akan menyerah kok. Akan terus kuperjuangkan novel itu. Ada sentuhanmu di sana. Sentuhan semangat yang berkobar. Jadi jangan pernah punya niatan berhenti menulis, ya. Karena kamu akan membuat Eva-Eva yang lain juga terus menenun kata. Berbagi pada dunia. Li, kita gak akan berhenti berkarya, kan. Meskipun rencana duet kita tersendat-sendat, tapi kita akan membuatnya jadi nyata. Akan ada namamu dan namaku dalam novel kita.


Li, banyak hari-hari galau kita lewati bersama. Kadang kita meracau di Twitter dan FB, saat itulah, kita selalu saling mengingatkan untuk berhenti menggalau di jejaring sosial. Biarlah kita saling berbagi, tanpa orang harus tahu kesedihan apa yang menimpa kita. Tapi tetap saja kadang kita kehilangan kontrol, ya. Aku ingat satu hari yang menyesakkan, saat kamu sangat bersedih. Li, jangan pernah ngelakuin hal-hal bodoh kayak gitu lagi ya. Aku gak mau kamu pergi. Waktu itu aku benar-benar menyadari bahwa aku gak bisa memelukmu. Persahabatan jarak jauh ternyata sama sedihnya kayak pacaran LDR. Tapi buatku, kamu selalu terasa benar-benar ada. Aku yakin Tuhan mengirimkanmu bukan untuk waktu sebentar. Tapi sampai kita tua nanti. Akan banyak tahun-tahun di depan sana yang akan kita lewati bersama. Salah satu impianku adalah hadir di hari pernikahanmu nanti. Saat kamu bertemu Mr. Right aka Mr. The One and Only.


Li, kamu itu lucu. Selain selalu membuatku tertawa, kamu suka merasa cemburu. Padahal kamu gak usah ngerasa begitu, karena kamu selalu punya tempat sangat istimewa di hatiku. Li, aku tak pernah punya pikiran ingin pergi ke Pontianak sebelumnya. Tapi sekarang aku sangat-sangat-sangat ingin ke sana. Menemuimu. Katamu waktu itu, “Teh, kalau ketemu pasti kita gak bisa diem”. Li, tahukah kamu kalau aku sangat ingin ketemu. Ingin melihat secara langsung kecerewetanmu, dan pasti kita bakalan ketawa sampai kelaparan.


Aku selalu percaya, Li, hari pertemuan itu akan benar-benar datang. Saat aku bisa memelukmu erat.


 



 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on January 30, 2013 11:29