Eva Sri Rahayu's Blog
October 29, 2023
Amilia Agustin: Mengolah Gundukan Sampah Menjadi Gundukan Kreativitas

Sejak setahun lalu, saya mulai membuka toko online yang menjual pakaian-pakaian bekas. Baik pakaian produksi lokal maupun dari luar negeri. Pada mulanya usaha itu hanya untuk membantu perekonomian rumah tangga saja. Ketika menjalaninya, saya menjadi teredukasi bahwa kegiatan thrifting pakaian menerapkan konsep slow fashion, yaitu bentuk kepedulian terhadap lingkungan dengan mengurangi limbah pakaian. Namun pada praktiknya, tetap ada hal-hal yang membuat saya gelisah. Salah satunya, penyebaran baju-baju itu tetap meningkatkan konsumerisme masyarakat. Dari mata pedagang, tentunya hal itu membahagiakan, tetapi si satu sisi tetap menyisakan kecemasan. Pasalnya, baju-baju yang beredar banyak juga yang sudah tak begitu layak pakai, sehingga tetap menjadi limbah yang mesti ditanggulangi. Bayangkan saja, ternyata pada tahun 2020 limbah fashion telah menyumbangkan sekitar 18,6 jut ton limbah yang dibuang ke TPA bahkan ke laut. Hal itu terjadi karena konsumen rata-rata membuang 60% pakaiannya hanya dalam waktu setahun pemakaian akibat dianggap sudah out of date. Belum lagi persoalan psikologis untuk selalu tampil berbeda di media sosial menyebabkan konsumen ingin memakai produk pakaian baru. Tentunya tidak mencengangkan ketika komunitas Zero Waste Indonesia pada tahun 2018 menemukan fakta bahwa limbah tekstil di laut Indonesia jumlahnya sekitar 80% dari total sampah yang dikumpulkan yang artinya jauh lebih banyak dari sampah plastik.
Limbah fashion baik di Indonesia maupun dunia tentu tidak hanya berasal dari konsumen, tetapi juga produsen. Budaya fast fashion tidak terbentuk dengan sendirinya, ada strategi pasar juga yang menyebabkan masyarakat merasa terus ‘butuh’ membeli pakaian. Bukan rahasia bahwa Masyarakat banyak yang membeli sesuatu karena dorongan emosional ketimbang kebutuhan. Hasilnya, di Indonesia sendiri limbah fashion menjadi penyandang peringkat kedua menyumbang gas emisi dan polusi air setelah industri minyak.
Penjualan baju-baju bekas juga sempat menuai pro kontra di dalam masyarakat karena dianggap mematikan usaha lokal. Aspek-aspek tersebut tentu menjadi tantangan baru yang mesti dicari solusinya. Bagaimana menanggulangi limbah fashion hingga di titik zero waste dan UMKM tetap berdaya.
Amilia Agustin: Mengolah Gundukan Sampah Menjadi Gundukan Kreativitas
Ketika membaca kisah mengenai Amalia Agustin penerima apresiasi SATU Indonesia Awards yang digagas oleh Astra, saya semakin bersemangat mencari solusi dan menjalankan penanggulangan limbah fashion. Bagaimana tidak, Amilia sungguh-sungguh menginspirasi dengan Gerakan “Go to Zero WasteSchool”. Anak muda satu itu dapat membuktikan bahwa generasi muda dapat bersumbangsih nyata dalam merawat lingkungan.
Gerakan Amilia berasal dari kegelisahannya melihat gundukan sampah di sekolahnya. Lalu, voila! Gundukan sampah itu berubah menjadi gundukan kreativitas. Berbagai ide di kepalanya tidak hanya berakhir menjadi wacana, tetapi gerakan nyata. Dia kemudian membuat komunitas sekolah untuk mengelola sampah. Amilia kemudian mengajukan proposal program Karya Ilmiah Remaja bertajuk “Go to Zero Waste School” kepada Ashoka Indonesia di Program Young Changemakers. Pengajuan proposalnya disetujui sehingga dia mendapat bantuan operasional senilai Rp2,5 juta. Modal yang benar-benar dimanfaatkan Amilia dan teman-temannya untuk menjalankan program pengelolaan sampah yang terbagi ke dalam empat bidang, yaitu pengelolaan sampah anorganik, sampah organik, sampah tetrapak, dan sampah kertas.
Agar berdampak lebih luas dalam menanggulangi sampah dan dapat menggerakan roda perekonomian, Amilia menggandeng Yayasan Kontak Indonesia dan membina empat sekolah negeri, juga mempekerjakan ibu-ibu di lingkungan sekitarnya. Hasilnya, gundukan sampah itu berubah menjadi produk-produk yang dapat digunakan lagi, seperti tas, pot bunga, mainan anak, pupuk, dan lain sebagainya. Olahan sampah itu kemudian dijual lagi untuk menghidupi program dan masyarakat.
Mengolah Limbah Fashion
Kegelisahan saya mengenai limbah fashion juga ter-triger oleh satu video yang saya tonton di media sosial. Video itu memperlihatkan edukasi seorang dosen fashion yang menceritakan kekelaman industri fast fashion. Salah satunya bahwa fashion cepat mempekerjakan banyak buruh dengan membayar murah mereka. Kemudian, pemakaian bahan yang banyak dari plastic sehingga baju-baju tidak dapat didaur ulang secara alami oleh Bumi. Selama satu tahun, beliau terus mengedukasi masyarakat untuk menjalankan fashion berkelanjutan.
Mengikuti jejak Amilia, saya pun kemudian menyampaikan ide saya untuk mengelola limbah fashion kepada teman-teman tim studio yang saya kelola. Kami lalu merancang rencana usaha dengan konsep fashion berkelanjutan. Dua hal yang melegakan saya, konsep itu selain dapat menanggulangi limbah fashion—minimal di sekitar lingkungan kami—juga membuat saya tak takut mendapat pesaing usaha. Mengapa? Karena semakin banyak yang menjalankan justru makin baik dan berdampak bagi lingkungan. Kedua, program ini memakai bahan dari pakaian produksi lokal maupun luar negeri, sehingga harapannya dapat menjembatani kekisruhan antara pedagang thrifting yang mengambil ball dari luar dengan pengusaha produksi baju lokal.
Kami berencana mengolah baju-baju tak layak jual dan sampah kain dengan menyulapnya menjadi berbagai produk baru. Misalnya keset, bantal, baju baru, hiasan, dan lain-lain. Limbah-limbah itu dimanfaatkan hingga tidak menyisakan sampah sama sekali. Pembuatannya tentu perlu bantuan dari banyak pihak.
Sesungguhnya, ada beberapa hal ini yang dapat dilakukan masyarakat untuk mengurangi limbah fashion, yaitu:
Menggunakan produk fashion daur ulangJika dibutuhkan untuk menggunakan produk merek ternama, masyarakat dapat merentalnya saja ketimbang membelinya.Menggunakan bahan alami untuk produksi fashionSemoga dengan lebih banyak masyarakat yang terketuk untuk mengurangi sampah, kita dapat bersama-sama menjaga Bumi ini.
April 6, 2022
Cerita di Balik Proses Penulisan Novela Labirin 8

Sejak dulu saya percaya, titik nadir atau satu kejadian antara hidup dan mati mampu mengubah pola pikir seseorang. Masa yang berat itu saya alami juga, dan memang benar-benar mengubah arah juang saya.
Dulu, saya bukan hanya menghindari tema-tema kearifan lokal dalam tulisan, saya bahkan muak pada isu-isu kebudayaan dan sejarah lokal yang saya anggap terlalu diglorifikasi. Ada masa ketika lomba novel, lomba cerpen, penerimaan resindensi, hingga segala penghargaan penulisan merujuk pada tema tersebut. Pengerdilan terhadap nilai-nilai budaya pop terjadi di mana-mana. Padahal novel-novel populer telah berjasa pula menanamkan kecintaan pada dunia literasi di kalangan generasi muda. Karya-karya populer itu pun dibuat dengan mengerahkan segenap daya, bukan tercipta asal-asalan. Kesenjangan apresiasi itu membuat saya sedih dan kesal.
Dalam sebuah diskusi kecil, saya mempertanyakan hal tersebut. Jawaban yang saya dapat cukup mematik kesadaran, bahwa kebudayaan dan sejarah lokal mendapat apresiasi pun setelah melewati perjalanan terjal. Kelak, jauh setelah diskusi itu saya memahami, memang seberat itulah menyuarakannya. Kearifan lokal merupakan suara yang termarginalkan. Kemudian, datanglah masa di mana saya menemukan semangat dan daya dalam kearifan lokal. Akhirnya gagasan-gagasan yang ingin saya perjuangkan suaranya berpusat pada hal tersebut.
Ketika mendapat tawaran menulis fiksi untuk Hipwee premium, saya bersemangat sekaligus gamang. Terus terang, sejak lama saya menyukai artikel-artikel Hipwee. Bahkan pernah bermimpi bisa menjadi salah satu penulisnya. Tentunya, kesempatan ini tidak ingin saya sia-siakan. Namun, di waktu-waktu ini saya sedang berkonsentrasi menulis novel dan skenario animasi, sehingga saya takut tulisan untuk Hipwee tidak tergarap maksimal. Tetapi rupanya, dorongan untuk menerima tawaran itu lebih kuat. Saya kemudian memutuskan untuk membuat novela dengan semesta cerita yang sama dengan proyek sebelumnya. Ada tiga alasan: Gagasan yang saya usung masih seputar kearifan lokal, bahan risetnya sudah terkumpul, dan nuansa penulisannya senada.
Editornya meminta saya menulis genre thriller. Memang, sejak novel Playing Victim, saya lebih dikenal sebagai penulis genre ini. Padahal karya-karya saya sebelumnya bergenre romansa dan fantasi. Butuh waktu cukup lama untuk meracik cerita dan menyetorkan sinopsisnya. Tetapi rupanya, saya kesulitan menuliskan bab pertama. Meski pernah menulis thriller, tapi menulis cerita thriller dengan gagasan kearifan lokal merupakan tantangan baru. Persoalannya terletak pada bagaimana meramu kisah menegangkan tanpa melanggengkan stigma negatif yang menempel pada kearifan lokal. Seperti stigma primitif, terutama stigma negatif pada hal mistis atau klenik yang dianggap melenceng dari tatanan masa kini dan ilmu pengetahuan. Takutnya, bukannya mengedukasi dengan memberikan perspektif lain, malah turut berkontribusi dalam mendiskriminasi. Peperangan dalam benak itulah yang mesti saya selesaikan lebih dulu. Pada akhirnya, saya mendapat solusi. Bagaimana menyajikan cerita sesuai dengan gagasan yang ingin saya perjuangkan dan selaras dengan genrenya.
Tantangan lainnya, saya mesti menghasilkan tulisan satu minggu dua bab. Pengalaman sebelumnya, menulis satu bab satu minggu saja sudah ngos-ngosan. Untungnya, editor saya sangat pengertian—Semesta baik sekali selalu memberi saya editor pengertian—dia memberi saya waktu yang cukup. Di bab-bab akhir saya mendapat keleluasan menyetorkan satu bab saja tiap minggunya.
Ide cerita novela Labirin 8 terinspirasi dari pengalaman Aji—suami saya—ketika dia mengunjungi Candi Borobudur. Waktu itu dia pergi ke Gunung Merapi bertepatan dengan terjadinya letusan disertai gempa. Syukurnya dia selamat. Dari sana, dia bermaksud pulang ke kampung halamannya di Gunung Sindoro, melewati Candi Borobudur. Dia mampir dulu ke candi itu, dan mendapat kesempatan langka melihat satu ruang di sana. Kisah itu saya kembangkan menjadi cerita tentang 8 orang yang terjebak di ruang rahasia Candi Borobudur. Mereka masuk ke sana akibat gempa besar. Dalam novela ini saya meramu fakta sejarah dengan mitologi.
Bahan-bahan risetnya sendiri saya kumpulkan dari beragam sumber. Seperti buku-buku Cerita Relief Borobudur karya Anandajoti Bhikkhu, beberapa webinar kearifan lokal termasuk Borobudur Writers and Cultural Festival (BWFC), website resmi Candi Borobudur dan berbagai website terpercaya lainnya. Selain itu, saya pun pernah terjun ke lapangan, mendatangi latar tempat yang dijadikan seting cerita—walaupun tidak semua tempatnya. Meski kejadiannya jauh sebelum menulis karya ini, sebelum pandemi melanda negeri ini.

Meracik cerita dengan memasukan banyak simbol bukan hal mudah. Menjalin teka-teki yang seluruh unsur ceritanya selaras, baru pertama saya lakukan. Memilah bagian sejarah dan mitologi yang diangkat, pemilihan nama tokoh, dan latar tempat mesti bersinergi. Misalnya, tokoh Meta Utalika merupakan perlambang gelombang kedelapan yang sejalan dengan labirin delapan itu sendiri, simbol dari kehidupan yang infinity. Hampir seluruh nama tokohnya diambil dari Bahasa Sansekerta. Setiap nama memiliki arti dan penyimbolan sendiri yang menjadi kunci-kunci cerita. Namun, ada satu tokoh yang unik. Tokoh itu diambil dari saudari saya sendiri. Untuk pemilihan namanya, saya serahkan juga padanya. Tokoh itu Kartika Cassiopeia. Meski begitu, nama yang diberikannya tetap selaras dengan cerita karena menyimbolkan perbintangan.
Akhirnya, setelah berjibaku selama beberapa bulan, novela ini selesai ditulis. Saya harap bisa mewarnai dunia literasi Indonesia dengan sudut pandang lain terhadap kearifan lokal. Kamu bisa membacanya di tautan ini.
Selain Labirin 8, kamu bisa membaca karya-karya penulis Indonesia lain di Hipwee Premium. Seperti karya Pradnya Paramitha, Nureesh Vhalega, Sekar Aruna, Arumi E, dan lainnya. Kamu dapat mendapat aksesnya dengan berlangganan paket bulanan (Rp14.900), 6 bulanan (Rp54.900), dan 12 bulanan (Rp94.900). Seluruhnya bisa kamu nikmati lewat aplikasi ataupun langsung di browser.

Selamat bertualang di Labirin 8.
December 9, 2021
Selayang Pandang Mengenai Pentingnya Melestarikan Aksara dan Bahasa Nusantara

‘Menjadi turis di negeri sendiri’ tampaknya kalimat yang tepat untuk saya sematkan pada diri sendiri. Meski mengaku mencintai bangsa ini, hampir tak ada usaha untuk mengenal lebih dalam jati dirinya. Katakanlah, dulu, saya pernah turut berkecimpung dalam ‘ngamumule’ budaya Sunda lewat kegiatan kesenian. Namun, apa yang saya lakukan hanya berkutat di kulit luar. Jangankan paham esensi yang terkandung dalam budayanya, mau menggali saja tidak. Bahkan, pernah ada masa, saya merasa sebal pada isu-isu kearifan lokal. Apa-apa kearifan lokal, seolah budaya urban tak memiliki nilai adiluhung. Bagi saya waktu itu, segala tentang kearifan lokal hanyalah glorifikasi yang berlebihan. Bukan saya menganggap kearifan lokal kampungan, masalahnya ada pada ‘ketertarikan’. Saya lebih tertarik pada mitologi Yunani atau peninggalan Mesir. Bisa jadi, ketertarikan itu datang dari bacaan dan tontonan Barat yang kemasannya berhasil membuat saya terkesan.
Hingga suatu hari saya mendapat pekerjaan mentranskrip diskusi-diskusi budaya. Saya tergelitik pada beragam pembahasan mereka. Terdapat banyak ilmu pengetahuan yang terasa asing, padahal akarnya ada di tanah sendiri. Hasil dari cita, cipta, karsa, rasa, dan karya leluhur sendiri. Setelah itu, rasa penasaran membawa saya pada pencarian-pencarian. Kebudayaan memiliki konsep gunung es, apa yang terlihat di luar hanya sebagian kecilnya saja. Terbukalah mata saya, bahwa wawasan kearifan lokal bukan sesuatu yang mengawang-awang, tapi menyentuh ranah keseharian. Sangat membumi, dan sesuai diaplikasikan di tanah ini. Jauh dari sekadar glorifikasi sejarah kejayaan masa lampau.
Kesenjangan yang terlampau jauh dengan budayanya mengakibatkan sulitnya menumbuhkan regenerasi. Tentu munculnya kesenjangan ini tidak terjadi sekonyong-konyong. Ada proses gradasi. Mungkin, salah satu solusinya adalah menanamkan kesadaran pentingnya melestarikan 7 unsur kebudayaan: Bahasa dan aksara, sistem teknologi, sistem ekonomi, organisasi sosial, sistem pengetahuan, religi, dan kesenian.
Ketika memperhatikan geliat pegiat budaya saat ini, terutama riak-riak usaha pelestarian dari kaum muda, tampaknya saya tetap bisa optimis, bahwa budaya Nusantara tak akan punah. Ekosistem usaha pelestariannya pun inovatif, seperti pemanfaatan ruang-ruang virtual. Kalau kata orang Sunda ‘ngigelan jaman’. Sekarang kita sudah tak lagi aneh melihat tutorial belajar tarian atau menulis aksara Nusantara di berbagai media sosial. Kemasannya pun jauh dari usang. Contohnya acara daring ‘Bincang MIMDAN #1’ yang diinisiasi Pengelola Nama Domain Internet Indonesia (PANDI)—lewat program Merajut Indonesia Melalui Digitalisasi Aksara Nusantara (MIMDAN)—bekerja sama dengan Writing Traditional Project bertajuk “Aksara-Aksara di Nusantara Seri Ensiklopedia”. Menariknya lagi, Ridwan Maulana sebagai narasumber adalah generasi muda yang berkat keingintahuan tinggi pada aksara Nusantara, berhasil membukukan hasil risetnya bertahun-tahun.
Usaha kedua wadah tersebut dalam mendigitalisasi maupun membukukan aksara Nusantara patut diapresiasi. Bagaimanapun dunia sepakat bahwa zaman ‘sejarah’ ditandai dengan munculnya aksara. Sistem pendokumentasian berupa tulisan. Kehadiran aksara memiliki arti krusial dalam suatu peradaban.
‘Bincang MIMDAN #1’ ini membuat saya tergelitik, apalagi ketika pembicara dan pemandu–Evi Sri Rezeki–mendiskusikan jawaban dari pertanyaan salah satu peserta, “Penting nggak, sih, kita mempelajari aksara Nusantara?” Pertanyaan itu tampak remeh, tapi justru menyentuh esensi. Pemikiran itu wajar adanya. Tampaknya, persoalan sulitnya regenerasi penutur bahasa dan pemakai aksara Nusantara bukan hanya terletak pada ‘tertarik atau tidaknya’, tapi kurangnya pemahaman pentingnya mempelajari bahasa dan aksara daerah. Benar adanya bahwa aksara-aksara Nusantara merupakan kekayaan intelektual bangsa ini, tapi apakah dengan melestarikannya memengaruhi kehidupan keseharian? Memengaruhi perekonomian, misalnya.
Kita boleh berharap, akan bermunculan generasi muda seperti Ridwan Maulana lainnya. Namun, kita tetap harus mengedukasi masyarakat mengenai betapa pentingnya aksara dan Bahasa daerah, agar tergerak menjadi bagian pelestarian itu.
Untuk menjawab pertanyaan tadi, menurut saya, setidaknya ada beberapa tujuan pelestarian aksara dan bahasa Nusantara:
Leluhur kita mendokumentasikan ilmu pengetahuannya dalam bentuk kitab, kidung, prasasti, dan lainnya. Pengetahuan-pengetahuan itu sangat bermanfaat untuk kehidupan sehari-hari. Bagaimana kita dapat menggali dan lebih jauh lagi menguasai ilmu tersebut apabila tidak mengerti bahasa dan aksaranya? Seringkali kita mendengar stigma bahwa wawasan leluhur, pranata mangsa, misalnya, sebagai pseudosains. Bagaimana membuktikan sesuatu dari ilmu semu menjadi ilmu pengetahuan yang sesuai kaidah ilmiah bila membacanya saja kita tidak mampu. Ketika kita memahami teks dan konteks yang disampaikan leluhur, kita dapat mengembangkannya pengetahuan-pengetahuan tersebut untuk kemajuan segala aspek kehidupan.Memperjuangkan suara masyarakat termarginalkan.
Tak dapat dipungkiri, masyarakat adat merupakan kaum termarginalkan. Sistem kebudayaan mereka tidak kita pahami, sehingga seringkali mengecap mereka sebagai masyarakat primitif. Hal itu dapat dijembatani lewat pemahaman terhadap bahasa dan aksaranya, sehingga kita dapat menghapuskan ketidakadilan dan diskredit terhadap mereka, bukan sekadar menjadikan mereka sekadar objek wisata.Eksistensi dan jati diri sebuah bangsa.
Meski Indonesia kaya akan rempah dan mineral, masyarakat dunia lebih mengenal Bali. Karena Bali masih menjujung tinggi budayanya. Keunikan inilah yang menjadikan Bali eksis di mata dunia. Bukti bahwa tidak menanggalkan jati diri justru membuat suatu bangsa diakui dunia. Menurut saya, eksistensi dan jati diri juga sangat terkait dengan mental suatu bangsa. Bangsa yang menggenggam jati dirinya, akan lebih produktif dan berdaulat.
Setelah mengikuti Bincang MIMDAN tempo hari, yang mematik kegelisahan positif, saya sangat menunggu-nunggu acara serupa. Saya berharap, kegiatan-kegiatan semacam itu menghapus atau minimal mengikis anggapan kuno dan tak faktual pada aksara dan bahasa Nusantara. Nah, bila kamu tertarik mempelajari bahasa dan aksara Nusantara, kamu bisa mengawalinya dengan membaca beragam informasi di media sosial dan laman merajutindonesia.id
Kepunahan satu bahasa dan aksara turut mengubur wawasan, keahlian, dan kebijakan yang hanya dapat dibuka oleh kunci tersebut.
Bandung, 2021
Eva Sri Rahayu
September 19, 2020
Tips Menulis Kisah yang Terinspirasi Dari Internet
[image error]
Berselancar di internet saat kamu sedang atau ingin mulai menulis biasanya akan mengganggu fokus. Tapi kita bisa mengubah “gangguan” itu dengan menjadikannya lumbung inspirasi.
Internet merupakan dunia tanpa batas yang menyediakan berbagai informasi, baik berita, gosip, fiksi, maupun sharing keilmuan. Berbagai hal itu dapat mematik inspirasi untuk dieksekusi menjadi karya fiksi. Harus digarisbawahi, maksudnya di sini adalah mengambil inspirasi dari kisah nyata atau berita, bukan dari karya fiksi orang lain. Jadi jelas ya batasannya terinspirasi, bukan plagiat!
Meski inspirasinya datang dari konten yang kita baca atau tonton di internet, tetap saja gagasan yang ingin kita suarakan dalam cerita merupakan “kegelisahan diri”. Karena sesuatu tidak akan menjadi “pematik” karya jika tidak menggelitik nurani penulisnya,
Apa saja yang dapat kita lakukan untuk mendulang inspirasi dan kiat mewujudkannya dalam karya fiksi? Berikut beberapa tips yang dapat kamu praktikkan.
Tips Menulis Kisah yang Terinspirasi Dari Internet
Ikuti Berbagai Akun
Untuk mendapat ide/inspirasi cerita dari internet, tentunya kamu mesti aktif di berbagai media sosial. Kemudian ikutilah berbagai akun nasional maupun mancanegara. Bisa kanal berita, aktris-aktor, seniman, musisi, akun lembaga pemerintah, penyair, akun budaya, psikolog, sampai para selebritas medsos.
2. Buka Trending Topic
Tips mencari informasi menarik untuk kebanyakan netizen dengan cepat adalah dengan search trending topic di berbagai media sosial.
Saya sertakan contohnya ya:
[image error]
Contoh hasil pencarian trending topic dari YouTube
[image error]
Contoh hasil pencarian dari trending topic di Twitter
Informasi-informasi itu bisa menginspirasi untuk ditulis sebagai karya fiksi berbagai genre. Artikel tentang kisah cinta, bisa diracik jadi genre fantasi, thriller, atau fiksi sains, tak mesti genre romansa. Begitu pula dengan berita kriminal, bisa dibuat cerita bergenre drama atau romansa. Tergantung pada kisah seperti apa yang terlintas di benakmu saat inspirasi itu muncul.
3. Arsipkan Informasi
Biasanya ketika kamu membaca satu informasi yang mematik inspirasi, kamu langsung terbayang gambaran cerita yang ingin kamu tulis. Langsung tulis idenya ke dalam bank idemu. Lalu kumpulkan atau arsipkan artikel/utas/informasi apa pun yang mematik inspirasi tersebut. Jangan saat dibutuhkan, kamu kehilangan datanya. Ini penting untuk pengembangan idemu saat akan dieksekusi.
4. Mengawinkan Ide dari Beberapa Artikel
Kita mengambil inspirasi dari kejadian nyata/opini/berita/utas Twitter itu hanya ide dasarnya saja. Bisa jadi ide/inspirasi yang kamu dapat dari internet tak melulu berbentuk cerita, bisa jadi hanya tokoh utamanya saja, atau seting tempatnya saja. Hal itu membuatmu bebas ‘mengawinkan’ beberapa informasi/artikel/utas menjadi satu cerita. Beberapa konflik disatukan bisa bikin tulisan makin gereget! Yang mesti digarisbawahi adalah semuanya harus diikat oleh satu tema atau benang merah sehingga merangkai satu cerita utuh. Tapi ide-ide yang nggak bisa disatukan dan malah bikin logika cerita jadi ngawur, kita pisahkan untuk tulisan yang lain.
Ciri-ciri ide-ide bisa disatukan yaitu ketika sudah berbentuk sinopsis, ceritanya tetap fokus/solid meskipun banyak tokoh dan konfliknya berlapis. Misalnya novel Playing Victim yang saya tulis, menggabungkan cerita 2 karakter selebritas media sosial Indonesia dan mancanegara dalam satu cerita.
5. Pilih Perspektifmu Sendiri
Ketika kamu mendapat ide cerita dari salah satu artikel–baik berupa opini, berita, atau feature–selalu ingat bahwa itu merupakan perspektif dari si penulis di media bukan sudut pandang tokoh cerita ataupun perspektifmu.
Misalnya, sebuah artikel opini mengatakan bahwa selebgram A membuat sensasi dengan berpura-pura jadi korban pelecehan seksual untuk menaikkan popularitas. Padahal A sebenarnya memang benar-benar korban. Kamu sebagai penulis dapat memilih salah satu sudut pandang atau justru membuat sudut pandang lain.
Jadi perspektifnya adalah:
Artikel: A bukan korban
A: A adalah korban
Kamu sebagai penulis: ?
Artikel/utas/info yang kamu dapat dari internet hanyalah potongan-potongan informasi. Sehingga kamu harus menambahkan latar belakang tokoh, maupun logika cerita yang tidak termuat dalam info di internet tersebut. Bila sudah ada pun, tetap harus kamu racik lagi sehingga tidak plek-plekan seperti yang ada di internet. Karena bisa saja, satu info itu mematik ide dasar yang sama untuk penulis lain.
Agar menjadi unik, penting sekali memasukkan imajinasi kita.
Tips agar cerita kita beda dari kisah nyata awalnya adalah siapkan beberapa plot. Plot yang paling awal terpikir biasanya yang akan terpikir oleh orang lain juga. Maka siapkan berbagai alternatif.
6. Ikuti Kelanjutan Informasi
Ketika kamu sudah memutuskan untuk menjadikan satu informasi dari internet inspirasi cerita, kamu sebaiknya terus mengikuti kelanjutan berita itu selama proses menulis. Karena selain sumber informasi yang diperlukan, bisa jadi perkembangannya akan memberimu ide plot twist maupun ide pertumbuhan karakter tokohmu.
Stalking atau terus ikuti dan gali informasi dari akun-akun terkait.
7. Bangun Warna Karakter Tokohmu
Meski terinspirasi dari kisah yang kamu dapat dari internet, kamu tetap harus memberi ‘roh’ pada tokoh dan ceritamu. Bisa jadi karakter tokohmu sangat beda dengan orang nyatanya. Untuk menghidupkan karakter tokohmu, buat biodata lengkap. Isi biodata itu dari mulai info yang kamu dapat dari internet dan hasil imajinasimu, sehingga racikan itu membuat si tokoh mendapat roh darimu.
Tokoh yang kamu ciptakan sebaiknya memiliki kelebihan dan kekurangan. Bila di internet hanya ditulis kekurangannya saja, kamu harus menambahkan kelebihannya. Begitu pula sebaliknya.
Biasanya karena penulis hanya membuat catatan teknis. Biodata dan lainnya itu hanya jadi petunjuk teknis bila si tokoh tidak ‘diciptakan’. Roh tokoh terasa di karya kita bila tokoh itu sudah tercipta, menjelma menjadi sosok yang bagi–minimal–penulisnya benar-benar ada. Kita merasa mereka sungguh seseorang yang nyata, terbayang jelas dalam kepala kita. Benar-benar hidup dalam imajinasi kita.
8. Ide Cerita dari Internet Bisa Dipakai Untuk Naskah yang Sudah Dalam Proses Penulisan
Apakah mengambil ide dari internet mesti untuk satu kisah baru dan keseluruhan cerita? Tidak. Bisa saja untuk naskah yang sudah hampir jadi. Bila saat ini kamu sedang mengerjakan satu cerita yang idenya datang dari kisah nyatamu atau lainnya, dan kamu mengalami writers block, kamu dapat mencari inspirasi di internet untuk menambal bagian bolong dari ceritamu.
Sewaktu menulis novel Love Puzzle, di bagian 1/3 akhir saya bingung meneruskan ceritanya. Saya kemudian berselancar di internet, sewaktu membaca tentang tawuran pelajar, saya mendapat ide untuk bagian cerita yang bolong itu.
Itu dia beberapa tips untukmu yang ingin menulis cerita yang idenya terinspirasi dari informasi-informasi di internet. Semoga membantu proses penulisanmu, ya. Semangat berkarya!
December 19, 2019
Kisah di Balik Penulisan Novel “Playing Victim”
[image error]
Saya tak sedang mendramatisir ketika mengatakan bahwa novel ini merupakan sebuah keajaiban. Semesta sebegitu mencintai saya hingga novel ini menemukan kalimat terakhirnya. Mari saya kisahkan perjalanannya sejak masih menjadi embrio dalam rahim benak saya.
Ada dua selebritas dunia maya yang menjadi inspirasi novel ini. Beberapa tahun silam, saya lupa tepatnya tahun berapa, saya membaca satu artikel mengenai seseorang yang viral karena kisah cintanya. Tahun berikutnya saya membaca artikel yang dibagikan salah satu sahabat saya di akun Facebook-nya mengenai kehebohan di dunia maya yang langsung membuat saya tertarik menuliskannya ke dalam bentuk novel. Dua cerita itu saya gabungkan dengan satu tokoh rekaan, meramunya menjadi kisah fiksi. Salah satu kisah dalam dunia nyatanya memang terasa mencekam, tapi satunya lagi sesungguhnya cerita romansa. Namun, dalam kepala saya terbentuk satu kisah yang justru menjadi psikologi thriller, meneror psikologis.


Awalnya saya berniat menulisnya di tahun-tahun mendatang. Namun, ketika Noura Publishing mengumumkan “Urban Thriller Competition” saya langsung tertarik mengikutinya. Memang, menulis novel bergenre thriller merupakan impian saya. Namun, entah bagaimana saya merasa belum siap menuliskannya. Tapi, malam itu di hari terakhir pengumpulan sinopsis, saya mendapat semacam bisikan hati. “Sudah saatnya,” begitu kata nurani meski secara logika saya sendiri masih sangsi apakah bisa menulis thriller. Ternyata, sinopsis yang saya kirimkan terpilih menjadi lima besar dari 291 sinopsis yang masuk. Karena itu saya mesti disiplin menulis tiap bab per minggu untuk diunggah ke Wattpad Urban Thriller. Ini tantangan baru buat saya si penulis lelet. Biasanya saya menulis satu bab saja butuh satu bulan.
Dari lima novel seri “Urban Thriller”, Playing Victim mendapat giliran pertama dipublikasikan di Wattpad. Waktu itu April 2018 awal, hingga beberapa jam sebelum dipublikasikan saya masih berjibaku dengan “Mau menuliskan prolog seperti apa?” Tanggal pertama dipublikasikannya novel inilah yang kemudian saya pakai sebagai latar waktu novelnya, semacam menjadikannya batu peletakan pertama.
Sebagai bahan riset, saya banyak mengamati dinamika dunia maya. Seperti mengikuti kasus-kasus terbaru yang mencuat dan bagaimana reaksi orang-orang di dunia maya terhadap kasus-kasus itu. Di luar itu, saya menggabungkannya dengan pengalaman empiris sebagai orang yang berjibaku dengan dunia maya selama bertahun-tahun. Saya memang termasuk bagian dari orang-orang yang menjadikan internet sebagai mata pencaharian sehari-hari.
[image error]
Proses penulisan baru sebulan berjalan, saya dihadapkan pada masalah pribadi yang rumit. Saya mengalami perpisahan, dan tak ada perpisahan yang mudah dan tak menyakitkan. Disusul kemudian saya dan anak jatuh sakit secara bersamaan. Melihat gadis kecil saya sakit berbulan-bulan, menyayat hati saya. Apalagi kemudian saya menemukan dia memiliki traumatik. Kedua hal itu cukup memukul mental saya. Saya memang tipe penulis yang sulit menulis dalam keadaan psikis tertekan. Kegalauan dan kecemasan seringkali membuat saya tak bisa berkonsentrasi pada karya. Biasanya saya menulis dalam keadaan tenang. Untungnya sistem setor bab tiap minggu menjaga ritme penulisan novel ini.
Masalah tampaknya masih senang bermain-main dengan saya. Sepanjang tahun 2018 proyek-proyek mangkrak, adapun pekerjaan-pekerjaan yang sudah selesai tak kunjung juga cair. Saya dililit kesulitan finansial. Seringkali saya menulis dalam keadaan lapar. Saya bahkan tak mampu menghidupi anak saya. Depresi dan keadaan finansial membuat saya mengalihkan pengasuhan sementara pada kedua orang tua saya. Mental saya sampai ke titik nadir. Entah seberapa sering saya mengutuki diri sendiri. Tahun 2018 menjadi tahun terberat dalam hidup saya. Begitulah. Realitas menampar keras dari segala sisi. Rasanya hampir tak diberi jeda untuk bernapas.
Pada bulan Agustus 2018, publikasi novel di Wattpad selesai, menggantung cerita di tengah-tengah agar pembaca menemukan akhir kisahnya dalam versi cetak. Namun kami para penulis diberi limit waktu satu bulan untuk mengumpulkan naskah. Apa yang terjadi pada saya waktu itu adalah semacam “blank spot”. Saya benar-benar tak bisa berpikir. Masalah yang datang bertubi-tubi membuat saya tak bisa menulis. Benar-benar berhenti selama beberapa bulan. Saya juga menarik diri dari dunia luar. Mengasingkan diri dalam cangkang rumah. Saya hanya muncul di dunia maya, hingga saya merasa kehilangan arti keberadaan. Saya merasa menjadi makhluk fantasi. Seseorang yang hanya hidup di dalam layar dan dunia khayal.
Limit waktu pengumpulan naskah datang, sementara jumlah halaman karya saya tak beranjak dari bulan-bulan sebelumnya. Untungnya editor saya dapat memahami kondisi saya. Saya diberi limit waktu lebih panjang.
Semesta memang mahabaik. Saya dilimpahi orang-orang baik. Keluarga, kembaran, dan para sahabat tidak henti-henti memberi saya semangat. Merekalah yang membantu menyadarkan saya bahwa saya sepenuhnya nyata. Bahwa saya sekuat itu, bahwa saya bisa menyelesaikan novel saya. Hingga di satu titik, saya mendapat kesadaran bahwa saya mesti berjuang, bukan membiarkan diri terpuruk. Tiap kali saya ingin menyerah, selain teringat keluarga, para tokoh novel ini selalu berucap, “Jangan menyerah, karyamu belum selesai.” Kemudian saya mulai lagi membuka-buka naskah, membacanya, menyelaminya, mengenal dekat para tokohnya, hingga menyusun kembali gagasan-gagasan yang ingin saya sampaikan pada dunia. Lambat tapi pasti saya kembali menemukan ritme penulisan. Bahkan pada satu malam ketika suatu peristiwa membuat saya sangat bersedih, para tokoh novelnya mendatangi saya. Mereka berkata, “Ayo menulis…. Perasaan pedihmu itu amunisi bab yang sedang kamu tulis. Kami di sini, memelukmu.” Tidak pernah terjadi sebelumnya, saya bisa berpikir dan menulis dalam keadaan sejatuh itu. Bahkan kepingan-kepingan tanda tanya yang terserak terbuka. Saya dipertemukan dengan para narasumber yang saya butuhkan untuk melengkapi bahan-bahan tulisan.
[image error]
Pada pertengahan Februari 2019, akhirnya saya menulis kata “Tamat” di bab akhir. Titik itu menjadi awal baru bagi kehidupan saya. Segalanya mulai menemukan titik terang, menemukan perasaan optimis, mulai membenahi kehidupan dan belajar mencintai diri. Novel ini salah satu anugerah yang diberikan Semesta untuk menjaga kewarasan saya. Saya percaya, saya telah didekap keajaiban.
December 8, 2018
Sekilas Tentang Branding Sampai Terbukanya Berbagai Peluang Dari Menulis
[image error]
Dalam sebuah talkshow di The Japan Foundation Jakarta bertema “Kiat Meniti Karier Sebagai Kreator Profesional” saya menyampaikan bahwa menulis bisa menjadi mata pencaharian yang menjanjikan. Namun, kita tidak membatasinya dengan menulis novel atau buku nonfiksi, tapi lebih luas lagi, yaitu menulis apa saja. Misalnya menulis artikel, skenario sinetron dan script komik, sampai hal yang tampak sepele seperti status atau caption. Kenapa saya mengatakan hal itu? Karena masih banyak yang ragu bahwa menulis bisa menjadi sumber ekonomi. Saya tak akan menjanjikan keajegan menulis sebagai tiang perekonomian keluarga. Tapi kalau ditanya apakah bisa? Jawabannya bisa. Namun, sesuatu yang dijadikan fondasi tentunya harus diusahakan sekuat tenaga. Menulis sebagai profesi beda dengan menulis sekadar hobi. Kita tak lagi bisa tergantung pada mood, dan mesti menyediakan waktu kerja khusus layaknya pekerjaan lain. Selain itu, kita tidak lagi bisa mengandalkan datangnya peluang, tapi terus mencari peluang. Ketika menulis belum bisa menjadi sumber utama perekonomian keluarga, jangan tinggalkan dulu pekerjaan yang lain.
Bicara mengenai peluang, banyak yang bingung, bagaimana cara mencari peluang? Misalnya dengan mengemukakan alasan bahwa “Saya hanya diam di rumah terus, bagaimana bisa peluang datang?”
Mari kita lihat ada 3 kekuatan besar bernama personal branding, komunitas, dan media sosial.
[image error]
Personal Branding
Menurut Ibu Dewi Haroen seorang pakar personal branding, definisi personal brand adalah diri kita sendiri, siapa diri kita dan hal spesial apa yang kita kerjakan. Merepresentasikan nilai yang kita yakini, kepribadian kita, keahlian kita, dan kualitas yang membuat kita unik di antara yang lain. Kata beliau dalam bukunya berjudul Personal Branding Sukses Karier di Era Milenial, inti dari personal branding adalah melihat diri sebagai merek dan mempromosikannya.
Jadi kalau ada guyonan mengatakan kita sedang melakukan pencintraan berarti tengah memperlihatkan kepalsuan, bisa dibilang itu tak benar. Karena personal brand harus otentik, merefleksikan diri kita yang sesungguhnya. Jika kita mengumbar kepalsuan, kita akan sangat lelah berpura-pura. Kepura-puraan tidak membuahkan konsistensi. Seperti ketika kita berbohong, untuk menutupi dan meyakinkan satu kebohongan akan menyebabkan kita mesti berbohong lagi dan lagi. Saya selalu mengatakan, di media sosial tak semua orang mesti melihat seluruh sisi kita. Kita hanya membagi beberapa hal dan menyimpan hal-hal lain.
Jika personal branding-mu ‘penulis’, maka tunjukkanlah.
[image error]
Komunitas
Ada banyak keuntungan mengikuti komunitas. Termasuk mendapat job-job menulis. Kita hanya tinggal memilah saja komunitas mana yang menunjang karier dan perkembangan diri. Jika dulu rasanya sulit sekali melakukan kontak dengan penulis senior, editor, dan penerbit, sekarang tidak lagi. Di satu komunitas menulis, tak aneh lagi jika mereka tergabung di dalamnya. Bahkan ada komunitas menulis yang memang didirikan oleh penerbit. Biasanya, mereka pun tak segan berbagi ilmu dan peluang. Misalnya, sedang mencari buku tema tertentu.
Jika masalahnya adalah kita hanya bisa mengikuti komunitas secara online, percayalah, sekarang itu bukan masalah. Kebanyakan komunitas menulis memiliki basis online. Sehingga kita bisa mengikuti banyak komunitas dengan fisik berada di rumah.
Media Sosial
Austin Kleon seorang penulis 3 buku best seller, mengatakan dalam bukunya berjudul Show Your Work bahwa kita tidak boleh malu-malu membagikan proses kreatif kita. Di mana kita membagikannya? Media sosial salah satunya. Ketika kita menceritakan sedang menulis buku atau meriset sesuatu, sekaligus sharing ilmunya, orang-orang akan mulai memercayai kita sebagai penulis.
Tulislah di bio seluruh media sosial kita bahwa kita seorang penulis, cantumkan blog atau referensi karya kita agar mereka bisa membacanya. Sehingga selain branding masyarakat luas juga dapat memetik manfaat dari tulisan kita.
Terbukanya Berbagai Peluang Dari Menulis
Menghasilkan uang hanya satu dari begitu banyak manfaat menulis. Ada berbagai peluang yang tercipta dari menulis. Seperti yang saya alami.
Saya bisa menjelajah ke beberapa kota di Indonesia, seperti Surabaya, Batam, Semarang, Jogjakarta, dan lainnya dari menulis.
Banyak penulis yang diantarkan kata-kata mengelilingi dunia.
Jika saat ini tulisan belum memberikan keuntungan materi, jangan putus asa. Pasti ada banyak manfaat lain yang bisa kita dapat.
Di luar hal itu, yang paling membuat saya terharu adalah ketika tulisan saya membuat pembaca bahagia, membuka wawasan, dan menginspirasi orang lain untuk berkarya juga. Itu hal yang tak dapat ditakar oleh ukuran materi.
[image error]
Ketiga hal tadi adalah penopang, tetap yang paling utama kualitas karya dan konsistensi.
Ketika hobi menjadi pekerjaan, segalanya bisa jadi tak seindah dulu, ada tanggung jawab yang diemban. Ada kalanya membuat jenuh dan lelah. Namun, segala yang berangkat dari kecintaan akan selalu membuat kita bertahan dan terus berjuang.
Menulislah dengan seluruh perasaan, sungguh-sungguh, dan mengusung gagasan. Kemudian, biarkan kata-kata membukakan peluang untukmu.
*Ditulis untuk sharing with author untuk Komunitas Penulis Cloverline
November 15, 2018
[Review + Giveaway] Novel Rooftop Buddies: SickLit Padat Konflik
[image error]
Sudah lama rasanya tidak membaca SickLit alias cerita tentang orang yang memiliki penyakit berat. Bahkan kalau diingat-ingat, Novel debutan Honey Dee merupakan yang pertama di tahun ini.
DATA BUKU
Judul: Rooftop Buddies
Penulis: Honey Dee
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tebal : 264 Halaman
Penyunting : Anastasia Aemilia
ISBN : 9786020395111
Blurb :
Buat Rie, mengidap kanker itu kutukan. Daripada berjuang menahan sakitnya proses pengobatan, dia mempertimbangkan pilihan lain. Karena toh kalau akhirnya akan mati, kenapa harus menunggu lama?
Saat memutuskan untuk melompat dari atap gedung apartemen, tiba-tiba ada cowok ganteng berseru dan menghentikan langkah Rie di tepian. Rie mengira cowok itu, Bree, ingin berlagak pahlawan dengan menghalangi niatnya, tapi ternyata dia punya niat yang sama dengan Rie di atap itu.
Mereka pun sepakat untuk melakukannya bersama-sama. Jika masuk ke dunia kematian berdua, mungkin semua jadi terasa lebih baik. Tetapi, sebelum itu, mereka setuju membantu menyelesaikan “utang” satu sama lain, melihat kegelapan hidup masing-masing… Namun, saat Rie mulai mempertanyakan keinginannya untuk mati, Bree malah kehilangan satu-satunya harapan hidup.
[image error]
ULASAN
Rooftop Buddies memiliki kover yang menarik, blurb yang membuat penasaran, dan judul yang menggemaskan. Paduan ketiganya menimbulkan minat saya untuk membacanya. Secara tema, sesungguhnya penyakit kanker sudah sering diangkat. Namun tetap saja, setiap kisah memilki keistimewaannya masing-masing.
Bab-bab awal Rooftop Buddies sesara menyihir saya, membuat terpaku dan betah membacanya. Novel dibuka dengan peristiwa kemoterapi tokoh utamanya, Rie. Penulis dapat mendeskripsikan dengan baik bagaimana perasaan, rasa kemoterapi, sampai suasana rumah sakit. Meskipun Honey tidak menjelaskan secara detail proses kemoterapinya. Secara pengetahuan, penulis menyodorkan edukasi pada pembaca mengenai penyakit kanker beserta istilah-istilah kedokterannya. Disampaikan mengalir bersama cerita, terasa lembut dan tidak dipaksakan. Perkenalan antara dua tokoh utama, yaitu Rie dan Bree merupakan daya tarik paling besar di bab-bab awal novel ini.
Ada 3 hal yang membuat saya tak bisa lepas membacanya: Pertama, karakter Bree. Karakter tokoh utama satu ini sesungguhnya biasa saya temui di novel remaja. Cool, misterius, cerdas, tapi hangat. Namun, tipe ini memang selalu membuat saya tertarik. Kedua, ini berhubungan dengan pengalaman saya pribadi. Rie diceritakan memiliki fisik yang dianggap jelek di masa kecil. Dia jerawatan sehingga dirundung teman-teman sekolahnya. Saya pernah di posisi itu. Saat kecil saya jerawatan parah, faktor genetik. Saya sampai selalu menunduk, merasa jelek sekali, dan sangat tidak percaya diri. Dan yah, saya juga menjadi bully-an teman-teman. Hal itu membuat saya bersimpati pada Rie. Ketiga, Bree dan Rie melakukan perjalanan berdua ke Alawera–tempat ini tampaknya fiktif. Mereka baru kenal, bisa dibilang itu perjalanan dengan orang asing. Sejak remaja saya punya fantasi seperti itu. Travelling ke satu tempat dengan cowok asing.
Kedua tokoh utamanya sama-sama sinis memandang kehidupan. Wajar saja jika menilik dari pengalaman hidup yang mereka lalui. Keduanya cerdas dan keras kepala. Mereka mirip, tapi berbeda. Tokoh-tokoh yang lain sesungguhnya digambarkan tipikal karakter yang ada di novel-novel remaja. Tidak istimewa, tapi didesain sesuai untuk menggerakan cerita. Saya bisa menebak siapa mantan kekasih Bree. Yah, meski saya agak kecewa karena karakternya tidak sepadan dengan Rie. Timpang, pembaca digiring langsung untuk tidak menyukainya. Sehingga persaingan mereka jadi tidak menarik lagi.
Konflik novel ini padat, penuh, dan berlapis. Sebagai pembaca saya hampir tidak diberi waktu bernapas. Mulai dari konflik keluarga, perjuangan menghadapi penyakit, percintaan, trauma masa lalu, kematian, hingga perundungan. Penekanannya memang pada konflik psikologis dan bagaimana badai masalah itu mendewasakan mereka. Ada konflik-konflik yang terasa pas dramatisasinya sehingga membuat Rooftop Buddies menjadi bacaan yang menarik dan bermakna, ada juga yang terasa berlebihan. Namun, secara general novel ini memang seru dan mengharukan. Ada satu bagian yang berhasil membuat saya menangis. Kisah cinta Rie dan Bree bikin saya larut, ikut berbunga-bunga dan berdebar-debar. Saya suka bagaimana Bree memperlakukan dan menjaga Rie. Bagian favorit saya adalah kisah perjalanan sehari mereka. Romantismenya tidak berlebihan tapi mengena. Novel ini juga punya twist berlapis, penulis memyodorkan kejutan demi kejutan hingga menuju akhir.
Tata bahasa Honey ini segar, mengalir, juga bermakna. Sesuai dengan target pembacanya. Dialog-dialognya pun terasa hidup. Emosi para tokohnya tersampaikan dengan baik. Rooftop Buddies memiliki value untuk pembacanya, ada banyak nilai yang bisa diserap dan direnungkan, seperti mengenai perjuangan, keberanian, dan cinta di sekeliling kita. Meskipun ada beberapa hal atau gagasan yang tidak saya sepakati. Rooftop Buddies juga memberi kita saran bagaimana bila menghadapi orang yang sedang sakit.
Kalau harus menjaga seseorang yang sedang sakit, usahakan jangan pernah menangis di depannya. Tangisanmu hanya terbaca sebagai ungkapan belasungkawa prematur. –Halaman 13
3 dari 5 bintang.
[image error]
GIVEAWAY TIME
Mau novel Rooftop Buddies? Ikutan giveaway-nya yuk. Caranya:
1. Follow akun IG @honeydee1710 dan @perpustakaaneva
2. Repost/regran postingan pengumuman giveaway di akun @perpustakaaneva (link: https://www.instagram.com/p/BqOSapvhWpR/?utm_source=ig_share_sheet&igshid=h4zjrv4eu88z ) Tambahkan caption ajakan untuk mengikuti giveaway ini, dan tag akun perpustakaaneva juga Honey Dee ya.
3. Peserta harus memiliki alamat pengiriman di Indonesia.
4. Jawab pertanyaan saya di kolom komentar dengan menyertakan akun IG kamu.
Seandainya kamu bertualang sehari dengan orang yang baru kamu kenal, kamu mau ke mana dan ngelakuin apa?
5. Giveaway ini berlangsung dari tanggal 16-20 November 2018. Satu pemenang akan mendapat novel Rooftop Buddies. Pengumuman pemenang pada tanggal 21 November 2018 jam delapan malam di akun IG saya.
Ditunggu partisipasinya ^_^
November 11, 2018
[Blog Tour] Ulasan + Giveaway Novel Tapak Setan: Mendengarkan Dongeng Riwayat Atarjoe
[image error]
Hal menarik dari Haditha–penulis Tapak Setan–dia selalu menyuguhkan ‘sesuatu’ baru. Namun sesuatu baru itu tetap terasa bagian ciri khasnya. Saya lagi-lagi dibuat betah membaca karya Haditha.
DATA BUKU
Judul: Tapak Setan
Penulis: Haditha
Penerbit: Elex Media Komputindo
Tebal : 230 Halaman
Penyunting : Dion Rahman
ISBN : 9786020479897
Blurb :
Ada tidak sih cara lain menghukum orang yang tingkahnya kayak setan kalau tidak dengan cara yang lebih setan lagi?
Aku, Atarjoe, setiap pagi bangun dengan tangan berlumuran darah dan berbau bangkai. Coba bayangkan kalau harimu diawali dengan itu. Setiap hari aku harus berkutat dengan rutinitas macam itu. Menjijikkan. Lama-lama kuketahui, ada setan yang memperalat tanganku untuk berburu mangsa darah. Enak saja, ini tanganku, aku tak sudi dipakai seperti itu. Maka aku rebut balik kendali atas tanganku. Dari setan itu aku tahu tanganku mampu menyedot setan-setan lain untuk kemudian dipakai jadi senjata.
Hidupku ini dipenuhi dengan orang-orang celaka yang membuat orang-orang sengsara. Melalui tapak setan ini aku menyalurkan dendam orang-orang yang tak bisa melawan itu. Kugantikan tugas si setan. Aku berburu orang-orang laknat yang bikin banyak orang susah. Tinggal kuraup muka mereka dan mereka akan kerasukan setan seumur hidup, dan setiap hari mereka akan melukai diri sendiri, tanpa bisa mati.
Pembalasan yang memuaskan bukan?
[image error]
ULASAN
Suatu waktu di masa kecil, saya dan keluarga menonton film horor barat. Dalam film itu ada adegan potongan tangan yang bergerak sendiri. Sejak itu saya kadang dihantui mimpi buruk menemukan potongan-potongan tangan bergerak. Ketika melihat kover novel “Tapak Setan” saya jadi teringat lagi mimpi itu. Dan, mengingat dua novel Haditha sebelumnya yang bikin saya merinding, saya sempat ciut juga membaca novel ini. Namun, saya meneguhkan hati untuk membacanya, dan sama sekali tidak menyesal.
Jika dibandingkan kover 2 novel Haditha sebelumnya, kover Tapak Setan terlihat kurang menarik di mata saya. Memang, secara konten, kover bergambar tangan ini sangat mewakili isis cerita. Namun, kesan yang saya dapat saat melihatnya adalah tipe kover novel persilatan zaman dulu. Tone warna latarnya terlalu sewarna dengan gambar tangan, sehingga gambar jadi tidak menonjol dan jatuhnya serasa mati. Untungnya, blurb novel ini menjanjikan kisah yang menegangkan, sehingga menolong penampakan luarnya. Kemudian, setiap pembukaan novel di judul bab, pembaca disuguhi ilustrasi “setan” karya penulisnya sendiri. Ini merupakan kelebihan Haditha, yaitu memaketkan karya tulis dan ilustrasi buatannya.
Ketika saya memilih judul artikel “Mendengarkan Dongeng Riwayat Atarjoe” itu semata karena secara keseluruhan membaca novel ini kesan saya adalah serasa didongengi oleh Atarjoe yang langsung menceritakan kisahnya di depan saya. Saya langsung lesap dalam sejarah hidupnya yang misterius, tragis, sekaligus magis. Keunikan novel ini memang terletak pada cara Haditha berkisah. Teknik storytelling-nya begitu mengikat dan tidak biasa. Dalam novel sepanjang 230 halaman ini, tak akan kita temukan satu pun dialog langsung. Tokoh Atarjoe bermonolog dari awal hingga akhir. Dan, percayalah… hal itu dieksekusi oleh Haditha dengan baik sekali.
Untuk pertama kalinya saat membaca karya Haditha, saya tak dicekam ketakutan. Padahal kisah Atarjoe ini memunculkan “hantu” atau “setan” sejak awal hingga akhir. Apalagi penulis sering kali mendeskripsikan wujud para setan dengan detail. Namun, seperti Atarjoe, saya tak lagi takut. Karena mereka terasa seperti bagian dari tokoh utamanya, bukan entitas lain yang mengerikan. Konflik novelnya tajam dengan mengusung tema-tema sosial seputar orang pinggiran sampai ormas keagamaan. Kita diajak menekuri realitas orang-orang jalanan, sekaligus dunia gaib. Perkawinan menarik antara rasional dan irasional. Tempo penceritaannya pun terasa pas, padahal kadang kala melewati rentang waktu panjang sampai tahunan. Namun, saya tak merasakan keterburuan dalam narasinya. Sisipan humor ala Haditha seperti biasa terasa kental dan di beberapa bagian berhasil membuat saya tertawa.
Karakter Atarjoe ini juga unik, dua sisi kegelapan manusia dan kelembutan hati tersampaikan dengan baik. Pembaca dibuat paham atas pemikiran sinis dan keputusan-keputusan Atarjoe, meski tak membenarkan perbuatannya. Untuk setiap karakter–baik manusia maupun setan–dalam “Tapak Setan” walaupun tanpa porsi dialog, tergambarkan dengan jelas lewat dongeng Atarjoe. Saya dibikin peduli dengan nasib mereka semua yang jumlahnya banyak sekali. Novel ini memang memunculkan banyak tokoh.
Dari sisi bahasa, Haditha kali ini memakai kata yang lebih lugas dari sebelumnya. Berbagai umpatan dan kata kasar berserakan dalam novel. Namun, itu justru yang membuat tokoh ini semakin menarik. Terasa apa adanya dan hidup. Bahasa yang dipakai anak jalanan. Selebihnya, pemilihan kata novel ini kaya. Membuat saya berpikir bahwa Atarjoe orang pinggiran yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata.
Seperti biasa, Haditha luwes menyampaikan pesan moralnya. Sehingga novel horor ini memiliki value lebih. Akhirnya, saya memberi 4 dari 5 bintang untuk novel ini.
Jangan terlalu menyandarkan diri pada pengharapan. Dunia punya cara bangsat untuk membalik harapan baikmu. –Halaman 172
[image error]
GIVEAWAY TIME
Mau novel Tapak Setan? Ikutan giveaway-nya yuk. Caranya:
1. Follow akun IG @hahahaditha @elexmedia dan @perpustakaaneva
2. Repost/regran postingan pengumuman giveaway di akun @perpustakaaneva (link: https://www.instagram.com/p/BqDALx1hHpK/?utm_source=ig_share_sheet&igshid=lb5xrjkyjlpn ) Tambahkan caption ajakan untuk mengikuti giveaway ini, dan tag akun perpustakaaneva juga Haditha ya.
3. Peserta harus memiliki alamat pengiriman di Indonesia.
4. Jawab pertanyaan saya di kolom komentar dengan menyertakan akun IG kamu.
Seandainya tanganmu punya kekuatan, kamu ingin tanganmu memiliki kesaktian apa?
5. Giveaway ini berlangsung dari tanggal 12-14 November 2018. Satu pemenang akan mendapat novel Tapak Setan. Pengumuman pemenang pada tanggal 15 Juni 2018 jam delapan malam di akun IG saya.
Ditunggu partisipasinya ^_^
August 6, 2018
Hal-hal Menarik di Booth Wuling Motors dan Mobil123.com di GIIAS 2018
[image error]
Beberapa tahun ini saya mendengar betapa kerennya pameran Gaikindo Indonesia International Auto Show yang disingkat GIIAS. Pameran bertaraf internasional satu ini jadi acara tahunan yang wajib didatangi oleh para pencinta otomotif. Meskipun belum bisa nyetir mobil, saya tertarik juga datang. Ingin tahu seperti apa suasana pamerannya, dan syukur-syukur menemukan mobil impian di sana. Di mana saat saya menatap mobil itu, saya langsung punya firasat bakal memilikinya. Kalau kata teori “The Secret” kan kita mesti sering memikirkan sesuatu yang kita inginkan agar benar-benar terwujud.
[image error]
Tampaknya semesta merestui keinginan saya. Hari Sabtu tanggal 4 Agustus lalu saya bareng Komunitas ISB bisa ngerasain serunya GIIAS 2018 yang diselenggarakan dari tanggal 2 sampai tanggal 12 Agustus 2018 nanti. Berangkatlah saya ke Indonesia Convention Exhibition Bumi Serpong Damai (ICE BSD) dengan perasaan excited karena membayangkan dikelilingi berbagai kendaraan dari seluruh dunia beserta aksesorisnya. Dari yang harganya terjangkau sampai yang rasanya enggak masuk akal. Bersama Evi kembaran saya, kami yang biasanya terjebak drama keberangkatan alias terlambat parah, hari itu bisa tepat waktu. Padahal kami yang makhluk nokturnal ini malemnya tidur tengah malam. Kami sampai di hall 1 ICE BSD pukul setengah dua siang. Saat menginjakkan kaki di sana, pengunjung sudah sangat ramai, terasa sekali vibe-nya. Sepanjang 10 hall penuh dengan kendaraan berbagai merek dan tipe. Bisa puas banget keliling seharian mencari mobil impian. Palingan malemnya kaki berasa pegel-pegel, eh.
[image error]
4 Hal Menarik di Booth Mobil123.com
Tempat pertama yang saya sambangi adalah booth Mobil123.com yang merupakan portal otomotif nomor 1 terbesar dan terlengkap di Indonesia. Mobil123.com ini ada aplikasinya juga loh, jadi semakin mudah diakses. Di sana, kamu dapat menemukan mobil baru maupun bekas yang kualitasnya oke dan terjamin keamanannya, karena untuk menjadi salah satu penjual di sana, pihak Mobil123.com melakukan verifikasi berlapis. Saya menemukan hal-hal menarik di sana, apa saja?
1. Kalau ke sana membawa anak, anak-anak bisa diajak main di tempat yang disediakan. Ada meja dan tempat duduk kecil untuk mereka bermain dan mengaso.
[image error]
2. Buat kamu yang kuis hunter, ikutan deh kuis berhadiah menariknya. Mbak MC yang cantik bahkan aktif berkeliling mencari pengunjung yang mau jawab berbagai pertanyaan. Pulang-pulang bawa hadiah deh.
[image error]
3. Booth Mobil123.com interior dan background-nya kece, seru buat foto-fotoan. Disediain juga properti buat fotonya. Sekalian bisa ikutan kontes foto berhadiah voucher belanja yang jumlahnya menggiurkan. Nah, makanya enggak usah malu-malu buat bergaya segokil mungkin ya.
[image error]
4. Terakhir, di sana, kamu bisa nanya-nanya sepuasnya tentang berbagai produknya. Tapi jangan modusin penjaga booth-nya ya, eh, tapi bolehlah kalau sama-sama single. Kali aja jodoh.
Hal Menarik di Booth Wuling Motors
[image error]
Habis itu saya meluncur ke booth Wuling Motors di 6C. Merek satu ini mencuri perhatian banget soalnya. Sebagai pemain baru di Indonesia yang masuk tahun 2017, penjualannya oke banget, Kata Mbak Dian–manajer Wuling Motors–mereka berhasil mengeluarkan 14.000 unit dalam waktu setahun. Produk unggulan mereka adalah seri mobil MPV. Yang nyari-nyari mobil keluarga, boleh banget loh naksir seri Confero dan Cortez mereka. Harga seri mobil MPV Wuling Motors ini terkenal terjangkau dengan kualitas yang mumpuni.
Tahun ini di GIIAS 2018, Wuling Motors mengusung tema “Drive, Grow, Progress”. Yang salah satu maksudnya adalah memperkenalkan inovasi mereka pada para pengunjung pameran, yaitu memboyong produk baru mereka yang belum beredar di Indonesia. Semacam teaser mungkin ya.
[image error]
Sesampai di booth-nya saya langsung menemukan hal menarik, mata kayak tersedot dan enggak mau berpaling gitu. Saya menemukan mobil mini yang bentuknya lucu banget. Tahulah ya kalau perempuan udah bilang ‘lucu’ berarti pengin memiliki, eh. Mobil yang bikin saya jatuh hati itu merupakan mobil yang sedihnya… belum didistribusikan di Indonesia: namanya E100. Mobil ini punya keunikan tersendiri selain tampilannya yang menarik, yaitu ramah lingkungan karena bahan bakarnya memakai tenaga listrik. Waktu charge-nya sekitar 8 sampai 9 jam aja. E100 ini cocok buat pasangan yang belum punya anak, soalnya tempat duduknya cuman dua aja. Setirnya masih di kiri, karena belum disesuaikan dengan kebutuhan pasar Indonesia. Berhubung entah kapan mobil ini beredar di Indonesia, saya enggak membuang kesempatan langka buat nyobain kenyamanannya dong. Sambil pura-pura nyetir dan mengaminin semoga suatu hari bisa ngendarain mobil beneran. Dan tentunya enggak lupa minta difotoin Evi buat ikutan photo contest berhadiah pulsa 50 ribu rupiah. Bukan hanya itu loh tabur-tabur hadiahnya, buat pembeli produk Wuling Motors di GIIAS 2018 bisa dapet kesempatan memenangkan undian berhadiah mobil!
[image error]
Masih ada hal menarik lain? Ada dong…! Sehabis puas ngeliat-liat produk Wuling Motors, saya dan para pengunjung disuguhi penampilan Fariz RM. Rasanya udah lama enggak liat penampilan beliau. Eh, tapi kalau liat live gini sih baru pertama rasanya. Rasanya sih bener, mohon maaf, sebagai pelupa ingatan saya kadang enggak bisa begitu dipercaya soalnya. Seneng banget deh ketika Om Faris ngebawain lagu Sakura, saya jadi ikutan nyanyi deh. Tiap weekend di booth memang ada performance dari beda-beda musisi.
[image error]
Pengalaman seru di GIIAS 2018 bikin perjalanan bolak-balik ke Bandung jadi enggak berasa. Nah, kamu yang lagi nyari mobil, mau bekas, mobil baru, atau mobil keluarga, wajib dateng ke sana. Pastikan mampir ke booth Mobil123.com dan Wuling Motors yang punya berbagai hal menarik. Mumpung masih lama event-nya.
June 11, 2018
[Blog Tour] Review + Giveaway Buku ‘Personal Branding: Sukses Karier di Era Milenial’ Karya Dewi Haroen
[image error]
Saya jarang membaca buku nonfiksi kecuali untuk kebutuhan riset penulisan novel. Seringnya baru membaca ketika memang butuh dalam pengembangan karier, atau sedang dalam satu fase kehidupan yang memerlukan ‘guide‘ dari buku. Saat ini saya sedang menulis novel tentang dunia media sosial, dan memang profesi saya sebagai penulis dan bloger kesehariannya tidak jauh dari dunia maya. Maka ketika buku ini mendatangi saya, saya seperti diberi jalan untuk belajar dari buku dan pengalaman penulisnya untuk perkembangan karier sekaligus memenuhi kebutuhan riset penulisan.
Data Buku
Judul : Personal Branding: Sukses Karier di Era Milenial
Penulis : Dewi haroen
Penerbit : DH Media
Tebal : 228 Halaman
ISBN : 9766025157400
Blurb :
Sukses karier bukan rumus matematika sederhana. Di dunia nyata, seseorang hard & good worker belum tentu kariernya gemilang. Terjadi “dinamika antara citra dan realita” yang berdampak terhadap kesuksesan dan kegagalan karier seseorang. Juga dalam kehidupan. Orang baik belum tentu dipersepsikan sebagai orang baik, orang kompeten belum tentu dikenal sebagai orang kompeten. Demikian sebaliknya, dimana persepsi seringkali tak sama dengan realita. Sehingga performance yang bagus saja belum cukup.
Dalam konteks persaingan karier, hanya orang-orang yang mampu menampilkan persepsi diri secara kreatif dan menarik yang sanggup meraih sukses dan keberhasilan. Khususnya di era milenial dimana berbagai informasi menyebar secara cepat dan instan. Anda harus mengontrolnya supaya selalu positif. Namun mayoritas profesional ‘zaman now’ tak menyadari.
Untuk itu Anda perlu personal branding agar terlihat dan terpilih di antara sekian banyak kandidat. Agar meraih sukses di karier dan kehidupan. Bagaimana cara yang benar membangun personal brand, semuanya akan dibahas tuntas di buku ini. Jadi, apa pun profesi dan latar belakang Anda, pastikan Anda membaca buku ini!
[image error]
Review
Beberapa tahun ini saya tertarik dengan pembahasan personal branding. Ternyata karier apa pun itu tidak terlepas dari personal branding. Apalagi saya menekuni karier yang erat kaitannya dengan media sosial, dimana saya mesti sering-sering tampil. Sejak dulu saya merasa ketika mencitrakan diri di publik, baik itu secara online maupun offline, menjadi pribadi lain dari diri itu akan sangat melelahkan. Dari pengalaman, saya lebih memilih memperlihatkan sebagian hal saja ketimbang memaksakan diri jadi orang lain. Selain capek, sulit juga menjaga konsistensinya. Ternyata itu memang sejalan dengan prinsip personal brand. Seperti yang tertulis dalam buku ini:
Personal brand yang asli (otentik) merefleksikan karakter, kompetensi, dan kekuatan diri Anda yang sesungguhnya. –Halaman 17
Buku ini membahas serba-serbi mengenai personal branding dari hal-hal mendasar, seperti pengertian dari Ibu Dewi sendiri maupun dari para pakar. Dijelaskan bahwa ‘personal brand‘ adalah merek atau diri yang dimiliki seseorang, sedangkan personal branding merupakan strategi komunikasi yang dilakukan seseorang untuk membangun merek tersebut.
Personal Brand adalah diri kita sendiri, siapa diri kita dan hal spesial apa yang kita kerjakan. Merepresentasikan nilai yang kita yakini, kepribadian kita, keahlian kita dan kualitas yang membuat kita unik di antara yang lain. –Halaman 6
Mungkin ada yang mengira-ngira tidak merasa memiliki merek, sehingga tidak memerlukan strategi personal branding ini. Padahal semua yang memiliki nama pastilah memiliki merek, dalam kasus seseorang, merek adalah nama yang melekat padanya. Sehingga pada hakikatnya ternyata setiap orang perlu membangun personal branding. Penulis menerangkan apa keuntungan memiliki personal branding dan apa kerugian apabila kita tidak memilikinya.
Pembahasan buku ini disampaikan dengan lugas dan bahasanya mudah dicerna. Sehingga menurut saya, orang yang awalnya awam mengenai personal branding pun akan mengerti dan paham. Apalagi disertai oleh ilustrasi-ilustrasi menarik yang mendukung sehingga visual bukunya membuat mata dapat terus tertarik membuka lembar demi lembar berikutnya. Juga terdapat penekanan pada hal-hal yang sangat penting seperti tulisan yang diberi ukuran, font, dan tipografi berbeda yang dimaksudkan agar memudahkan pembaca merekam pesan yang ingin disampaikan penulis. Terus terang saja, saking banyaknya hal penting dalam buku ini, saya sampai kesulitan menandainya ^^
Personal branding adalah strategi untuk membentuk persepsi orang tentang diri Anda. Meski demikian, personal brand yang dibentuk haruslah bersumber dari bukti-bukti yang otentik, nyata dan asli. –Halaman 17
Buku ini dapat menjadi guide untuk membangun personal brand dengan tujuan menciptakan respons emosional dari orang lain terhadap identitas diri kita pribadi sebagai seseorang yang memiliki kualitas dan nilai. Banyak alasan tentunya mengapa kita atau merek kita ingin dilihat dan ‘dipilih’ orang lain. Beberapa di antaranya eksistensi, untuk bertahan hidup, dan mencari penghidupan. Bicara personal brand menurut saya bicara tentang bagaimana agar ‘terlihat’.
Memang dari milyaran orang di dunia, setiap orang berbeda. Memiliki keunikan dan kekhasan sendiri. Seharusnya menguarkan warna sendiri. Kerlip yang tak sama semestinya membuat setiap orang mudah ditemukan. Nyatanya… betapa banyak hal yang mesti dilakukan untuk ‘terlihat’ dari gempuran perbedaan itu. Tetap butuh effort untuk menunjukkan diri. Menyalakan sinar yang lebih terang untuk dapat terlihat.
Lalu apa yang mesti dilakukan untuk terlihat? Menjadi diri sendiri yang otentik tapi terus mau berkembang.
Pertanyaannya kemudian, harus mulai dari mana? Ibu Dewi menjelaskan ada 3 tahapan untuk memulai, yaitu: pemahaman diri, pengembangan konten, dan promosi diri. Ternyata tahap awalnya adalah mengenali diri sendiri dulu. Namun seringkali kita tak dapat menjawab secara tuntas pertanyaan mendasar, ‘Seperti apa kita ini?’ Pada tahapan ini kita harus menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dapat menjelaskan diri kita, yaitu, ‘Siapa Anda? Apa yang Anda kerjakan? Dan apa yang membuat Anda berbeda?’ Untuk menemukan diri yang otentik tersebut, kita dapat intropeksi diri, meminta pendapat orang lain, mengikuti tes assesmen psikologi, dan lewat analisis SWOT. Dari hasil analisis itulah kita dapat merumuskan kekuatan dan kekurangan kita yang nantinya bermuara pada apa-apa saja kekhasan yang harus ditonjolkan.
Seperti judulnya yang menyinggung mengenai sukses berkarier di era milenial yang erat kaitannya dengan dunia digital, buku ini menjelaskan tentang membangun personal branding dari jejak online maupun aktivitas offline yang sama pentingnya. Tools atau perlengkapan tempur apa saja yang diperlukan dan dipersiapkan untuk strategi online maupun offline. Berisi juga tips apa-apa yang baik dilakukan dan tidak boleh diperbuat. Setiap tahapan dijelaskan secara terperinci sehingga step by step-nya mudah dipraktikkan.
Adapun kekurang buku ini adalah terdapat banyak saltik, meskipun tidak mengganggu pesan yang disampaikan. Saya berharap ada buku lanjutannya yang membahas studi-studi kasus yang lebih mendalam.
Saya rekomendasikan buku ini bagi siapa saja yang ingin membangun personal branding dari hal mendasar.
Rating 3,5 dari 5 bintang.
[image error]
Giveaway Time!
Mau buku Personal Branding? Ikutan giveaway-nya yuk. Caranya:
1. Follow akun IG @dewiharoen dan @perpustakaaneva
2. Sebar info giveaway ini dengan tagar #PersonalBranding dan mention saya. Boleh di insta story atau twitter. Untuk Twitter silakan mention saya di @evasrirahayu
3. Peserta harus memiliki alamat pengiriman di Indonesia.
4. Jawab pertanyaan saya di kolom komentar dengan menyertakan akun IG atau twitter kamu.
Kamu pengin dikenal sebagai apa?
5. Giveaway ini berlangsung dari tanggal 12-17 Juni 2018. Satu pemenang akan mendapat buku Personal Branding. Pengumuman pemenang pada tanggal 18 Juni 2018 jam delapan malam di akun Twitter dan IG saya.
Ditunggu partisipasinya ^_^