Eva Sri Rahayu's Blog, page 20
January 29, 2013
SERUPA KITA – Untuk Evi Sri Rezeki
Serupa Kita
Evi Sri Rezeki – My Original Girl.
Chicky, Flicky, Piki
Aku menulis ini sambil mendengarkan lagu Danur yang kamu beri untukku.
Sadarkah kamu, kadang aku merasa seperti kucing kecil yang mengekorimu ke mana pun kamu pergi. Sedari kecil duniaku memang selalu terpusat padamu. Selalu kamulah yang pertama kulihat di bumi ini. Tahukah kamu, aku sering ingin menjadi sepertimu. Sering ingin bertukar posisi. Kamu selalu tampak bersinar untukku. Apa yang tidak bisa kulakukan—atau tepatnya takut—selalu bisa kamu lakukan. Kamu sedari kecil selalu pemberani. Karena itulah aku selalu memanggilmu original.
Vi, aku selalu menganalogikan kita sebagai batu dan permen. Aku adalah permen dan kamu batu. Aku permen yang di dalamnya batu, kamu yang batu di dalamnya permen. Begitulah kamu. Terlihat keras dan kuat di luar, namun begitu lembut dan manis di dalamnya. Sedangkan aku sebaliknya. Vi, kita telah saling mengenal segalanya, bahkan melebihi memahami diri sendiri. Apa yang tak bisa kuejawantahkan, bisa kamu jabarkan dengan tepat. Rasa, pikiran, dan keputusan.
Vi, hidup kita tidak pernah mudah. Mungkin itulah sejatinya sebuah petualangan. Penuh gelombang dan badai, memenuhi hasrat kita agar tak pernah bosan. Meski sering kali merasa tak sanggup terus berjalan. Orang-orang mungkin tak tahu, betapa sulitnya kita berproses untuk benar-benar menerima bahwa kita anak kembar. Karena kembar adalah anugerah sekaligus kutukan. Sebuah perjanjian seumur hidup untuk siap dibandingkan. Mereka mungkin menganggap itu sepele, tidak bagi kita yang mengalaminya. Apapun yang ada pada kita selalu dibandingkan. Seperti tak puas melihat kita sebagai satu individu yang merdeka dengan kehendak, nasib, dan takdirnya sendiri. Betapa lelahnya kita melewati proses itu. Kita bahkan tanpa sadar pernah saling membenci, dan akhirnya mengantarkan kita pada sebuah ketulusan dan cinta yang hakiki. Itu hanya satu bagian pahit dari hidup, agar kita mengenal senyap yang melebihi sunyi, yang pada akhirnya mengantarkan kita pada hingarnya bahagia.
Betapa kita terlahir menjadi dua adalah anugerah. Tak pernah aku benar-benar sendiri. Meski kadang ada jarak. Jarak yang sesungguhnya bukan jarak waktu dan tempat, tapi jarak rasa. Ternyata jarak itu hadir sebagai media untuk kita agar tak saling melukai. Vi, kita selalu saling menguatkan. Saat cinta dan impian menjadi pisau yang mengoyak, selalu ada tempat untuk kembali tegar. Ada pelukan untuk meredam risau, ada senyuman untuk menghalau gelisah.
Vi, kita sering berbagi kegalauan yang sama.
Ingatkah saat malam-malam kita lalui dengan pembicaraan frustrasi pada akademik. Nilai-nilai, tugas, dan skripsi. Rasanya kita waktu itu tak akan pernah merasakan lulus dan wisuda. Namun akhirnya bisa kita selesaikan dengan hasil yang menurut takaran kita memuaskan.
Atau saat cinta lagi-lagi membuatmu gamang. Kamu sering bertanya, “Bosen ya, Pa, dengernya?” dan aku selalu menjawab tidak. Kisah cintamu memang sering berulang, mendulang luka, tak juga membuatmu kebal. Lalu kukira aku tak akan lagi merasakan pedih itu, ternyata hidup memang tak bisa ditebak arahnya. Tapi sebesar apapun nestapa, kita tahu akan kembali berdiri, meninggalkan kisah lalu yang kita sepakati hanya akan jadi ingatan dan pelajaran, bukan sebuah kenangan.
Vi, kita selalu berbagi impian.
Sedari kecil kita adalah pemimpi. Pemimpi yang membuat orang selalu percaya kita bisa meraih dan mewujudkannya. Sayangnya kita pemimpi yang bodoh. Kita seringkali tak bisa membedakan antara impian dan keinginan. Kita memilih menggapai keinginan-keinginan yang menyaru jadi impian. Hingga kita tak pernah fokus, lalu baru menyadari waktu telah lama berlalu. Ah, untungnya tak ada yang sia-sia di dunia ini. Semua pengalaman itu bisa kita jadikan bahan cerita, meskipun terdengar seperti alibi.
Kini kita telah memilih jalan pasti. Sebuah taman bermain penuh fantasi dengan petualangan paling seru. Kita telah memilih menjadi penulis. Perjuangan belum seberapa, tapi kita telah sepakat tak akan pernah menyerah. Seperti tokoh fiksi yang kita hempas dengan berbagai badai, namun akhirnya mencapai kegemilangan.
Vi, maaf ya. Aku sering meninggalkanmu sendirian di rumah. Padahal aku selalu marah dan melarangmu keluar rumah dari dulu. Aku tahu betapa sedihnya ditinggalkan. Seperti saat kamu berkali-kali memilih kos. Vi, aku selalu ingin menjadi seperti ibu bagimu, agar aku bisa menjadi teduhnya rumah.
Vi, sudah subuh. Adzan sudah terdengar jelas di rumah kembar kita. Aku ingin lelap sejenak, sebelum dibangunkan putri cantik kita yang setiap membangunkanku persis penyu penggigit. Nanti akan kubuatkan kalian sarapan nasi goreng, lalu kita bercerita sambil terkantuk-kantuk di pagi hari, sedangkan Rasi ribut minta dibelikan sepasang hamster.
Kututup perjumpaan kata kali ini dengan sebuah puisi yang pernah kuberikan padamu:
Serupa Kita
Seperti menatap cermin yang tak sempurna
Jiwa kita yang dipaksa berpisah dalam dua raga, berkelana dalam dunia yang sama
Kita menyulam dongeng yang berbeda
Serupa ruh yang menghidupkan dua kutub
Kita selalu ingin bersama
Aku tak mungkin tersesat saat ingin pulang, karena napasmu adalah kompasku untuk kembali
Tapi aku tak akan selamanya menjadi rumah untukmu
Karena perpisahan selalu menjadi keniscayaan
Jiwamu jiwa pengembara
Jiwaku jiwa pengelana
Mari kita bertemu, untuk berbagi kisah
Karena sebenarnya tak ada kita, yang ada hanya aku dan dirimu dalam wujudmu, juga kamu dan diriku dalam wujudku.


January 28, 2013
Gadis Matahariku – Amaya Kim
Gadis Matahariku Amaya Kim.
Dear Amaya, sebelum benar-benar mengenalmu, entah kenapa aku merasakan sebuah chemistry ketika membaca postinganmu di kelas kita. Posting tentang penulisan itu sangat apik—meskipun aku sudah lupa isinya apa. Tapi aku tidak berani mengenalmu secara langsung. Ya, ini aneh, kuulangi lagi ANEH! Karena biasanya ketika aku merasakan chemistry dengan seseorang aku akan berusaha mengenalnya. Tapi padamu ada sebuah keraguan yang tidak bisa kujabarkan, yang sepertinya takut ada penolakan. Pikiran bodoh, ya ^^
Aku masih setia mengikuti beberapa postinganmu sebelum tiba-tiba kamu menghilang, juga selalu memberi “Like” tanpa mampu berkomentar. Lalu hidup ini memang selalu memberi jalan perkenalan yang ajaib. Ketika sharing tentang pembuatan novel dengan teman kita “Dion”, dia menyarankanku untuk memintamu menjadi first reader. Katanya kamu memberi saran yang tidak bisa dia ceritakan dengan kata, pokoknya “WAH”. Dengan catatan kalau kamu sedang tidak sibuk, katanya. Aku semakin tertarik. Bukan karena menginginkan saran-saranmu, tapi memang semakin ingin mengenal pribadimu.
Aku memberanikan diri meng-add-mu di FB dan memberi pesan. Esoknya pertemanan itu kamu iyakan. Senang sekali rasanya, apalagi kamu mau menjadi first reader-ku. Saat itu aku masih menulis ulang, baru selesai beberapa bab saja. Dengan kepercayaan diri rendah, aku mengirimkan ke emailmu.
Setelah itu mulailah kita saling berkirim pesan singkat. Dari obrolan penulisan sampai pribadi. Kita berbagi kisah pahit manisnya hidup. Amaya, aku sangat terkesan dengan pribadimu yang mengagumkan. Kerendahan hati, semangat, dan segalanya sangat menyentuh. Aku merasa beruntung bisa menjadi bagian dari hiupmu, meskipun masih dalam bentuk maya.
Amaya, aku tahu kamu tak suka menjadi maya. Karena kamu sangat senang ketika teman-temanmu memanggilmu A-Maya dari nama panjang yang kamu katakan kalau dirapal bisa sebagai mantra obat sakit perut. Bagiku kamu bukan sesuatu yang maya, Amaya. Kamu sangat istimewa.
Lalu suatu hari, di saat aku (lagi-lagi) hampir menyerah membereskan penulisan novel, aku mendapat sebuah pesan singkat darimu. Isinya kira-kira begini: jangan menulis untuk membuat orang lain terkesan, tapi menulislah untuk kesenangan.
Amaya, kamu pasti tidak tahu, bahwa setelah menerima pesan singkat itu aku menangis tersedu-sedu sampai hampir satu jaman. Aku merasa kembali diingatkan akan tujuan awalku untuk menulis. Menulis karena panggilan hati, panggilan jiwa, menulis untuk kesenangan, kebahagiaan. Menulis sebagai wujud taman bermain tanpa batasan waktu, dan sekat tempat.
Adegan tadi itu persis seperti adegan dalam novel Dunia Trisa ketika Trisa kehilangan semangat dan tujuannya menjadi seorang artis. Lalu dia mengingat kembali bahwa sejatinya impiannya itu bukan untuk mencari popularitas atau main di banyak film dan sinetron, tetapi dia memang merasa hidup berada di dunia seni peran.
Terima kasih sudah mengingatkanku akan hal itu, Amaya.
Amaya gadis matahariku, kamu memberiku kehangatan jiwa.
Terima kasih telah menjadi sahabatku.
Teruslah bersinar, di mana pun kamu.


January 26, 2013
RASI KAUTSAR – KUCING KECILKU
Anakku Rasi Kautsar, gadis kecil dengan senyum tak pernah pudar.
Kucing kecilku, kamu sudah jadi gadis kecil sekarang. Hampir tiga tahun setengah usiamu. Padahal rasanya baru kemarin kamu masih menendang perutku, hidup dan bernapas dalam diriku. Sekarang celoteh tak hentimu selalu menjadi musik paling indah yang mengusir senyap dalam rumah kita. Nyanyianmu selalu menjadi nada paling merdu yang menggetarkan jiwa. Senyum dan tawamu memberi warna. Ada keharuan ketika melihatmu lincah berlari, ketika menatap tanganmu sibuk memainkan drum kecil. Atau saat kamu ingin aku menerbangkanmu seperti Timmy. Kamu selalu terlihat lucu ketika aku memanggilmu “Kucing kecil”, kamu akan mengeong menggemaskan.
Kucing kecilku, tahukah kamu, bahwa seringkali aku merasa telah berlaku tak adil padamu. Terlalu sibuk dengan duniaku sendiri yang dihuni kata-kata. Hingga kamu bermain sendiri di taman kecil kita. Atau bersembunyi dalam selimut yang kamu bangun menyerupai tenda. Sering juga kamu mencari perhatian dengan tatapan memelas atau tangis keras. Kadang yang paling membuatku tercabik, ketika kutemukan kamu menangis tertahan, menenggelamkan kepala dalam bantal.
Saat-saat paling intim yang kita lewati hanya tiga kali sehari. Seperti minum obat, ada dosisnya. Seharusnya seperti napas yang tak kenal jeda. Saat-saat itu adalah ketika kamu mandi di pagi hari, kadang kita bermain air dan sabun, lalu kita berjalan-jalan menikmati matahari. Kemudian di malam hari saat kubacakan buku cerita atau kudongengkan kisah Putri Rasi dari negeri cinta. Selebihnya kamu akan bercanda bersama Tom and Jerry, atau Shaun.
Kucing kecilku, kadang aku memarahimu hingga kamu balik memukulku kesal dengan kepalan tangan kecil. Saat kamu yang niatnya membantuku memasak malah mengacak sayuran, atau saat kamu membuang-buang makanan.
Kucing kecilku, maafkan mama kucing, karena belum juga bisa menjadi ibu yang baik untukmu. Kadang aku merasa tak pantas menjadi ibumu. Karena aku tahu, yang kamu butuhkan adalah cinta yang utuh, bukan tumpukan naskah lusuh.
Kucing kecilku, aku suka memakai namamu untuk tokoh-tokoh rekaanku. Hampir semua pemeran utamanya bernama Rasi. Alasannya agar kamu menjadi bagian setiap jejakku. Lalu aku berpikir ulang, tidak semua kisah yang kutulis itu berakhir bahagia, bahkan seringkali tragis. Aku kemudian berhenti memakai namamu untuk kisah-kisah tragedi, agar tidak menjadi sebuah doa.
NAK
Seperti pantun, aku menemukan cinta yang jenaka
Cinta penuh tak kenal peluh
Cinta absolut yang lembut
Nak, tapi sungguhpun aku seorang ibu, aku tak tahu cara mencintaimu dengan benar
Apakah air susu mampu mengejawantahkan cinta itu
Apakah pakaian dan teduh tempat tinggal bisa menyampaikannya
Apakah dongeng-dongeng yang kuceritakan setiap malam bisa mendefinisikannya
Bahkan doa-doa tak cukup membalas cintamu
Karena sungguh, kehadiranmu telah membuatku merasa ada.
Kucing kecilku, beri aku waktu membenahi diri, agar bisa memberi bahagia. Karena kamulah gugusan bintang, kamulah nikmat, dan kamulah cahaya hatiku.
Surga bukan berada di telapak kakiku, Nak. Tapi ada pada senyummu.


January 16, 2013
Dear You, si penendang bola di masa kecil
Foto dokumentasi dari gieputra.blogdetik.com
Dear you,
Tiba-tiba aku ingin menulis surat untukmu yang hilang belasan tahun lalu. Bagaimana keadaanmu sekarang, ya? Semoga sehat dan bahagia.
Yah, memang ada alasan kenapa tiba-tiba aku ingin menulis surat padamu. Begini ceritanya.
Pagi ini aku mengingat masa sekolah dengan segala warna dan dinamikanya. Kamu pasti tidak tahu bahwa aku begitu terobsesi dengan masa sekolah. Begitu ingin mengulang kembali menjadi anak sekolah. Tidak, tidak, tidak harus mengulang masa sekolahku dulu, tapi menjadi anak sekolah lagi, di mana pun itu. Pasti menjadi pengalaman yang kembali luar biasa seperti pengalamanku dalam nyata.
Ketika mengenang, ada satu yang mengganjal. Tak satu pun seseorang yang terasa istimewa untuk kukenang. Kenapa? Perasaanku sudah hilang berganti ingatan yang datar. Cinta telah selesai. Karena cinta yang tak selesai selalu mengundang kenangan, kerinduan, dan penyesalan. Karena benar-benar sudah usai maka segalanya terasa usang.
Lama aku berpikir, benarkah tak ada seorang pun yang bisa kukenang. Lalu hadir ingatan tentangmu di masa SD dulu. Mungkin aku kecentilan di usiaku yang baru sembilan tahun, aku sudah tertarik padamu. Kamu yang kutatap diam-diam dari celah pintu. Kamu sedang menendang bola dengan bersemangat, tampak bercahaya. Rambut pendek, mata bulat bersinar, hidung mancung, alis tebal, dan jaket kulit hitam atau sweater biru putih yang membuatmu sempurna sebagai tokoh komik yang hadir di dunia nyata.
Lalu kuketahui namamu, sekolahmu—ingat, kan, gedung sekolah kita dipakai beberapa sekolah—dari teman sekelasku yang akrab denganmu. Bahkan kalian digosipkan pacaran. Ternyata bukan hanya aku yang menyukaimu, kembaranku juga. Kamu adalah satu-satunya pria yang berhasil membuat si kembar menyukai pria yang sama.
Kita—atau tepatnya kamu, aku, dan Evi—menjadi akrab. Jam istirahat sering kita lalui bersama di perpustakaan sekolah yang baru dibuka, bahkan kamu sering menunggu kami pulang. Aku bukannya geer, tapi buat apa kamu cari perhatian di dekat kelasku usai pulang sekolah sementara kamu bisa langsung pulang. Bahkan rumah kita tidak searah.
Obrolan-obrolan konyol, senyum polos, dan banyak hal lucu terjadi di antara kita. Sadarkah kamu kalau aku selalu sengaja berada di barisan paling belakang saat upacara bendera, hanya agar bisa jelas melihatmu? Lalu ketika acara kartinian, waktu itu aku berdandan menjadi kartini kecil. Kamu menatapku beberapa detik tanpa berkedip—semoga aku tidak salah ingat.
Sayangnya, lama-lama kamu menjauh, entah apa sebabnya. Mungkin karena kita—aku, kamu, Evi, tambah teman sekelasku—digosipkan. Untuk anak SD, canggung sekali rasanya.
Lalu kamu lulus duluan. Sedih sekali waktu itu. Aku kehilanganmu di lapangan bola, kehilangan kejahilanmu, kehilangan semangat ke perpustakaan, dan sederet kehilangan yang tak terkatakan. Setelah itu kita hanya bertemu tak lebih dari tiga kali ketika kamu berkunjung ke sekolah. Kamu tampak lebih dewasa, tidak seimut dulu, dan tidak lagi menatapku. Kalau satu-satunya saat di mana aku ingin mengulang masa SD, adalah saat aku telah mengenalmu. Berharap bisa sekali lagi melihatmu menendang bola ke gawang.
Pernah aku mencarimu lewat internet. Google, Facebook, Friendster, kecuali Twitter. Tapi tidak ada jejak sama sekali. Kamu memang menghilang. Tapi aku masih berharap kamu hidup di suatu tempat.
Aku masih ingin mengetahui hidupmu setelah itu, sekedar tahu. Aku tidak akan menganggu. Karena aku tidak hidup dalam kenangan. Mungkin hidupku tidak sempurna, tapi aku tidak berkutat dengan masa lalu. Aku ingin petualangan baru tanpa menoleh ke belakang. Satu-satunya yang masih bisa kukenang hanya kamu, bukan karena ada yang tak selesai di antara kita. Tapi karena kenangan tentangmu saja yang masih bisa kukenang.


December 29, 2012
Racauan – Resolusi Basi
Resolusi Basi
Di mana-mana orang-orang bertanya: Apa resolusimu tahun 2013?
Setiap kali mendengar atau membaca itu saya selalu kebingungan menjawabnya. Bukan, bukan tidak punya pencapaian dan mimpi di tahun 2013. Tapi pertanyaan itu membuat saya enggan menjawabnya.
Namun di suatu ketika di masa lalu, saya sangat tergila-gila menuliskan resolusi. Bersama dengan ketiga sahabat saya. Kami berempat selalu bertukar resolusi, bahkan resolusi itu kami tuliskan dan tempel di dinding kamar. Anehnya, dengan segudang resolusi itu, obrolan tetap kami saat berkumpul adalah berkutat dengan pertanyaan: mau jadi apa kita nanti?
Lalu setiap akhir tahun, kami akan mengevaluasi poin-poin resolusi yang tercapai dan tidak. Kenapa itu bisa terjadi. Ya, layaknya semua orang.
Sampai dua tahun ini, saat kami sudah tercerai berai (ungkapan jadul banget). Sibuk dengan kegiatan masing-masing yang lebih terarah pada impian. Kami berinteraksi lewat inbox, saling menanyakan resolusi. Dan ternyata kami dengan kompak menjawab: gak ada!
Dengan heran saya bertanya, kenapa mereka tidak membuat resolusi? Salah satunya menjawab, belum terpikir. Satu lagi menjawab, memang gak punya. Sedang satu orang lagi, katanya bingung. Saya juga memang gak ada.
Anehnya, saat resolusi itu tidak lagi kami tulis dengan detail, justru kami sudah tidak lagi bertanya: mau jadi apa nanti?
Apa mereka sukses di tahun ini? Dalam ukuran saya iya. Apa yang mereka impikan bertahun-tahun lalu tercapai di tahun ini. Tahun tanpa resolusi.
Atau mungkin impian itu tercapai karena dulu pernah menuliskan resolusi? Apa untuk tahun depan saya lebih baik membuatnya lagi? Atau cukup berpikir kalau resolusi sudah basi!


December 24, 2012
Sell Your Soul! – Buku antologi thriller.
Judul: Sell Your Soul!
ISBN: 978-979-25-4858-8
Tebal: 128 halaman + xv
Penulis : Bintang Berkisah, Eny Puji Lestari, Erry Sofid, Eva Sri Rahayu, Evi Sri Rezeki, Felis Linanda, Lewi Satriani, Marrisa Amar,
Mpok Mercy Sitanggang, Poppy D. Chusfani, Ratih Handayani, Shita K. Larasati, Vincentia Natalia, Weni M. Waluyani, Yunis Kartika
Desain Cover: Evi Sri Rezeki
Layouter: Sandy Muliatama
Penyunting: Eva Sri Rahayu
Penerbit: Chibi Publisher
Tahun terbit: 2012
Harga: Rp. 30.000
“Apa yang sebenarnya kauinginkan?” gadis itu bertanya.
Aku menatapnya lekat-lekat, menyadari betapa matanya menyorot bijaksana, tapi juga berhasrat. “Keabadian,” jawabku. “Namaku dalam sejarah.”
“Dan untuk itu kau harus merasakan kesedihan?” gadis itu bertanya lagi.
Bukan Keabadian – Poppy D. Chusfani.
High heels-ku menginjak darah segar yang mengalir dari tubuh orang itu, darah bercampur dengan air hujan. Orang itu terkapar tidak jauh dari mobilku dengan keadaan mulut terbuka, mata melotot dan kepala sobek, bahkan aku bisa melihat otaknya. Orang itu jelas sudah tidak bernyawa. Aku membekap mulut agar tidak menjerit.
Keep Silent! – Eva Sri Rahayu.
Aku menyedot rokok dalam satu tarikan panjang lalu mengepulkan asapnya ke wajah Amy. Kepulan asap rokok menyeruak ke dalam hidung si gadis kecil dan menyelusup masuk hingga ke pori-pori kulitnya. Aku sampai bisa melihat asap keluar dari sana di antara kulitnya yang telah mulai rusak oleh pembusukan. Di tengah kepulan asap kelabu aku melihat gadis kecilku membuka matanya, “Mami?”
Sebatang Rokok Merk Olimpia – Lewi Satriani.
Darah berbusa mengucur dari lubang matanya. Kuperlihatkan bola matanya yang tertusuk ujung obeng ke hadapan matanya yang menatap gemetar. Aku menyeringai.
Kematian Bidadari Mata Biru – Erry Sofid.
Lamat-lamat Deri bangun dari tidur berjalan sempoyongan menghampiri Pak Dimas, tangannya menggenggam sebuah cutter, perlahan memotong bagian lehernya. Darah berceceran, Deri terus memotong leher sendiri. Mulut Deri bergerak-gerak mengeluarkan suara memilukan.
“To … long … hen … ti … kan … a … ku ….”
Siapa pun Tolong Hentikan Aku – Evi Sri Rezeki.
“Anak Setan! Anak Setan! Anak Setan! Bakar!!!” teriak warga dusun dengan beringas. Ludah berhamburan dari mulut mereka dengan penuh kebencian. Mata mereka membelalak, melotot dan menyala. Tubuh mungilku di seret, di arak menuju lapangan dekat balai dusun.
666 – Yunis Kartika.
Aku gemetar ketakutan, sambil terus menangis. Aku benci diriku yang cengeng. Tanpa sadar, tanganku mulai menampar pipiku sendiri. Dana bangkit berdiri, tertawa sambil berjalan ke arah pintu. Di depan pintu, tiba-tiba Dana menghentikan langkahnya, dia menoleh padaku dan mengancam. “Buat gue, loe udah mati, Dani. Gue malu punya kembaran cacat kayak loe!”
Kembar – Mpok Mercy Sitanggang.
Setelah memaki-maki, ibu pergi ke kamarnya dan membanting pintu. Aku yang masih dalam keadaan shock hanya bisa mematung. Okaa-san? Muak? Ibuku sendiri muak melihatku karena aku mirip ayahku? Muak?! Ha! Ingin rasanya tertawa dan menangis lalu mati dalam waktu yang bersamaan. Mereka berpisah kan bukan salahku! Haha …. Hidup yang lucu!
Crystallize Dust – Shita K. Larasati
Aku mengeluarkan buku yang kunamakan buku kematian. Aku membukanya dan melihat tulisanku sendiri, ‘Joki Aditya, meninggal karena keracunan makanan jam 06.40’. Tiba-tiba tulisan itu menghilang. Aku terkejut dan hampir tidak percaya kalau tidak melihatnya sendiri.
Death Book – Felis Linanda
Merah, semerah darah. Semerah hatiku yang berdarah-darah. “Pembohong …,” jawabku pelan sambil menutup telepon. Aku pun menangis sambil mengutuki kristal tersebut. Mengutuki kejujuran kristal tersebut. Mungkin kehidupanku akan lebih bahagia kalau saja aku tidak pernah memilikinya.
Kristal Hati – Marrisa Amar
“Tolong! Kumohon siapa pun!!” Aku berteriak sekeras mungkin. Tapi tak ada seorang pun yang bergerak. Aku makin panik, semua anggota tubuhku terasa sakit. Aku benar-benar tidak tahu mengapa hal ini terjadi padaku. Sampai tiba-tiba rasa sakit mulai mengumpul di dada kiriku, di jantungku.
Menggadaikan Masa Depan – Weni Mardi Waluya
Darah menggenangi tanah tempat kami terbaring. Ingin meminta tolong, namun suara tak bisa keluar, tubuhku juga menolak untuk bergerak karena rasa-rasanya ada tulang yang patah di punggung. Alih-alih menolong, orang-orang hanya berlalu pergi karena pertunjukan sudah usai. Dalam kesakitan, aku merasa lega melihat Billy tidak bergerak lagi, kalau perlu, selamanya.
Ill Will – Vincentia Natalia
Kupikir anak itu semakin gila. Pikirannya sudah dirasuki setan. Beraninya ia menuduhku hendak membunuh ayahnya. Mungkin ia pikir, bubuk yang kutuang dalam minuman suamiku adalah racun. Benar-benar anak bodoh. Padahal itu oralit. Bagaimana mungkin aku meracuni suamiku sendiri?
Seteru – Bintang Berkisah
Keluar sebuah gambar polaroid. Kaget. Yang lebih mengagetkan lagi, tak ada sosok aku di situ. Terdapat seorang lelaki yang duduk di sebelah Citra, tapi bukan aku. Padahal aku ingat betul, harusnya yang duduk di situ adalah aku. Tapi, tunggu, matanya Citra sungguh mengatakan jatuh cinta yang amat dalam pada sosok laki-laki ini. Siapa dia?
Telaga Warna – Ratih Handayani
Terdengar suara letusan ban lalu disusul suara ban beradu dengan aspal yang siapa pun mendengarnya pasti akan merasa sesuatu mengiris ulu hatinya. Aku menyaksikan beberapa mobil bertabrakan di depan mataku. Orang-orang terkejut dan berteriak.
When I Couldn’t Let You Go – Eny Puji Lestari


December 22, 2012
Cerpen “Orang Asing” Bagian 2 – Dimuat di Batak Pos, Sabtu 22 Desember 2012
Orang Asing
Eva Sri Rahayu
Lamunanku selesai saat menginjakkan kaki di gedung pertunjukkan. Aku duduk di tempat VVIP, hingga leluasa menonton. Malam ini Dean tampil sempurna, aura panggung membuatnya bercahaya. Dean menemukan passion-nya, menjalani hidup impiannya. Ada haru merayap, pria itu mencintaiku dengan segenap jiwanya. Ya, aku yakin dia mencintaiku. Perlakuannya padaku istimewa, dan rasa itu disampaikannya dengan baik, hingga aku menyadarinya.
“Selamat, Dean,” kataku sembari menyerahkan rangkaian bunga ke tangannya.
Dean menerima bunga itu, ucapnya, “Sadarkah kamu, kedatanganmu adalah energi terbesar untukku. Pertunjukkan tadi kuhadiahkan untukmu. Ah tidak, kamu berhak mendapatkan lebih.” Dia tersenyum tulus.
Untuk pertama kalinya setelah berbulan-bulan mengenal Dean, ada aliran hangat menyusup dalam hatiku. Aku benci mengakui itu. Lalu keheningan hadir di antara kami, hanya suara ac mobil sebagai musik pengiring.
“Rasi ….” Mendengar Dean menyebut namaku lembut, aku mendongak menatap matanya. Dean tiba-tiba mencium keningku. Muncul sensasi baru, debaran jantung yang kutunggu itu hadir, semakin tidak teratur. Mungkinkah Dean berhasil mentrasfer cintanya. Tidak mungkin, ini pastilah lagi-lagi cinta palsu.
“Aku mencintaimu,” bisik Dean di telingaku. “Tak usah kamu jawab, aku tahu kamu butuh waktu,” ucapnya lagi, saat menangkap keraguan di mataku.
***
Sudah lama aku tak merasa sebimbang ini. Cinta memang makhluk menyebalkan, suka menyamar, dan menghilangkan keseimbangan. Saat aku sibuk mereka hati, Dean menelponku.
“Rasi, aku menciptakan lagu untukmu. Maaf, ya, kamu bukan pendengar pertama. Produserku setuju lagu ini akan dijadikan single.” Dean bersemangat. Keceriaannya kadang menenggelamkanku, tapi kali ini aku merasakan hal yang sama.
“O, ya. Aku ingin dengar.” Seandainya aku tidak yakin sedang sendirian, aku tidak akan percaya bahwa kalimat dengan nada bahagia itu terucap dari bibirku.
“Tunggu, aku ngambil gitar dulu.” Beberapa detik tidak terdengar apapun. “Judulnya ada aku.” Lalu petikan gitar mengalun.
Berdiri sendiri di atas luka. Aku tahu kamu memang sepi itu sendiri.
Kuminta lelahmu, biar kita berbagi takdir. Sedetik saja percaya aku.
Aku ada untukmu, hapus hampa serupa hujan. Mari kita buat jejak yang tak terhapus masa. Ada aku, tempatmu pulang ….
Suaranya jernih melenakan. Menggetarkan hingga ke jiwa. Kali ini, bolehkan aku mempercayai diriku, cintaku.
“Gimana?” tanya Dean. Aku diam, tidak menanggapi pertanyaannya. Kehilangan kata-kata, sepertinya huruf-huruf enggan terangkai. “Rasi, kamu baik-baik aja? Masih ada di sana?”
“Lagunya indah,” jawabku pendek, ketika akhirnya bisa mengucapkan sesuatu. Satu kalimat yang membahagiakan Dean.
“Rasi, aku pengen ketemu kamu sekarang, bolehkah?”
“Ya.”
“Di kafe tempat kita pertama ketemu, aku tunggu setengah jam lagi, jangan terlambat.” Keriangan Dean kadang membuatnya tampak seperti anak kecil, sekaligus membuatku merasa sangat berarti.
Setelah tiga tahun tenggelam dalam rasa hambar, kuputuskan untuk mencintai.
***
Aku menatap Dean tak percaya, sungguhkah pengelihatanku. Pria di depanku ini sangat berbeda dengan Dean yang kukenal. Wajahnya begitu murung, lebih dari awan mendung. Lebih anehnya, dia tidak mengenalku.
“Rasi? Aku tidak punya teman bernama Rasi. Tinggalkan aku! Aku hanya ingin sendiri!” katanya kasar. Aku mundur beberapa langkah. Tapi tidak pergi, hanya menatapnya jengah.
Dean menatap ke luar jendela, tapi tatapannya kosong. Tangannya gemetar saat mengambil gelas berisi kopi, hingga sedikit tumpah. Diambilnya tisu dengan kesal. Tiba-tiba dia menangis sesegukan. Kemudian dia sadar kuperhatikan, kini Dean menatapku penuh kebencian. Kali ini cukup membuatku tak ingin melihatnya lagi seumur hidup!
***
Hampir tiga bulan aku tidak bertemu dengan Dean. Kami lost contact begitu saja, sepertinya di antara kami tidak ada niat saling menghubungi. Aku merasa disia-siakan. Ternyata cinta dalam hidupku memang tak ada. Seharusnya dari awal aku tidak usah membiarkan diri untuk mencintai lagi. Hingga tiba-tiba hari ini dia hadir kembali, mengusikku.
Hujan turun sedari pagi, tanah lembab menguar bau yang khas. Dari balik pintu, kudapati Dean dengan keadaan basah dan kacau. Matanya menyampaikan kerinduan yang dalam. Saat melihatku, dengan spontan dia memelukku erat, seakan tak ingin lagi terlepas. ”Rasi ….”
“De … an … se … sak ….”
Dia melepaskan pelukannya. “Maaf.”
Setelah duduk dengan handuk di kepalanya, Dean menjelaskan semua tanya yang tersisa dari pertemuan terakhir kami. Tahulah aku, kalau Dean memiliki kepribadian ganda. Saat pribadinya yang lain muncul, ingatannya hilang.
“Waktu kecil, aku sering disiksa oleh Ayahku. Aku tumbuh menjadi pribadi yang tertutup dan murung di rumah, tapi ceria dan disukai semua orang di luar. Sampai aku dewasa seperti sekarang, tak ada lagi sekat antara rumah dan dunia luar. Aku bebas. Hal itu justru membuatku bisa kambuh kapan saja. Tolong aku Rasi, jangan pergi.” Dean terisak putus asa, sementara aku menanggapinya dengan wajah datar.
“Kenapa kamu bisa melupakanku? Kenapa aku? Apa aku tidak penting hingga bisa kamu lupakan?”
Dean tercekat mendengar pertanyaanku, ada sayatan yang hadir di hatinya. “Bukan mauku, Rasi. Itu terjadi begitu saja. Aku … justru kukira karena kamulah yang terpenting dalam hidupku.” Matanya menatap nanar.
Aku ingin memeluk Dean, ingin meringankan bebannya, tapi yang terjadi, aku bersikap begitu dingin. Sudah lama aku tidak pernah mengeluarkan air mata. Hatiku terlalu beku.
“Suatu hari, aku akan menetap pada satu pribadi saja. Aku tidak mau hidup sebagai pesimis.” Dean tergugu lagi, ditutupnya muka dengan kedua tangan.
Tatapanku jatuh pada tangan Dean, ada guratan-guratan luka di sana. Perlahan aku menyentuhnya. “Ini?”
Dean mengangkat wajahnya untuk menatapku. “Bekas percobaan bunuh diri.”
Terbesit pikiran jahat di kepalaku. Apakah aku mau menghabiskan sisa hidupku untuk pria ini. Lelaki yang sakit, yang bahkan bisa melupakanku kapan saja. Cinta, tak cukup membuatku ingin menyerahkan hidup dan masa depan padanya. Naluriku benar, lagi-lagi, cintaku palsu, mudah layu.
***
Ada fase dalam mengenal seseorang. Awalnya dia adalah orang asing, kemudian mengenalnya, lalu dekat, berhubungan. Muncul cabang, apakah dia akan terus menjadi bagian hidup kita atau berakhir, kembali menjadi orang asing.
Aku tidak bisa membohongi hati nurani, bahwa aku mencintai Dean itu benar. Tapi cinta memiliki batas waktu, setidaknya bagiku. Untukku, cinta yang tidak memiliki terasa lebih memorable. Maka aku memilih mengabadikan cintaku dan Dean dalam tulisan. Karena cinta memiliki limit, biar kutentukan sendiri waktunya. Kuakhiri secepat aku bisa.
Lalu hari ini, aku duduk di tempat favoritku. Sebuah kebetulan, Dean ada di sana, duduk menghadap padaku di meja yang berbeda. Beberapa wartawan mengelilinginya.
“Dean, lagu ‘Ada Aku’ itu terinspirasi dari seseorang yang spesialkah?” tanya salah satu wartawan.
“Bukan hanya terinspirasi, tapi lagu itu memang diciptakan untuk seseorang,” jawabnya dengan wajah murung sembari menatap wartawan yang bertanya. Tak ada binar di matanya.
Para wartawan itu langsung heboh mendengar jawaban Dean.
“Siapa gadis itu?” tanya wartawan lainnya.
“Aku tidak tahu, yang aku tahu, hanyalah aku menciptakannya untuk seseorang,” dari nada bicaranya, Dean berkata jujur. Rupanya dia benar-benar tidak mengingatku. Dia bahkan tak menyadari keberadaanku di sini sekarang. Pribadi lainnya telah mengambil alih Dean sepenuhnya. Lebih cepat dari perkiraan, luka karena hati patahlah yang membuat itu terjadi.
Hari itu, aku ingin mengatakan pada Dean: kamu boleh melupakan siapapun, tapi jangan pernah melupakan aku. Tapi aku justru meninggalkannya. Dean kini telah menjadi orang asing. Itulah konsekuensi dari pilihanku. Tiba-tiba kurasakan cairan bening turun dari mataku, membasahi pipi. Aku mengusapnya, kemudian menatap takjub air mata itu, seakan bukan berasal dari diriku. Cinta, apakah cinta yang menyebabkannya. Aku tak tahu, hanya nyeri yang kurasa merambat dari dadaku ke sekujur tubuh. Lalu mual itu menghilang.
****


December 16, 2012
Sebuah puisi sederhana untuk sahabat saya – Vincentia Natalia. “Menjadi Hari yang Tak Biasa”
Menjadi Hari yang Tak Biasa
17 Desember dalam kalenderku adalah hari-hari yang sama dengan hari biasa
Tak ada yang istimewa
Lalu kamu yang tampak maya tak menyata, hadir
Awalnya kita terikat kata
Kemudian mimpi menghidupkan dunia kita
Hingga ilusi menjadi ruang berdimensi
Sayangnya aku tak bisa memberimu pelukan
Saat gundah datang menjadi luka yang menganga
Saat tangis tak bisa dibendung mata
Dan hari menjadi abu-abu melebihi sepi dan hampa
Pada suatu hari yang kutitipkan pada masa depan
Dapat kulihat kita menautkan tangan
Persahabatan pasti mengantarkan kita pada pertemuan
Lalu kita membuat kenangan
Sampai pada masa itu, selalu aku bersyukur, kamu terlahir dua puluh enam tahun lalu.
Bandung, 16 Desember 2012


December 15, 2012
Cerpen “Orang Asing” Bagian 1 – Dimuat di Batak Pos, Sabtu 15 Desember 2012
Orang Asing
Eva Sri Rahayu
Aku menatap layar komputer dalam diam. Tanganku tersimpan di pangkuan. Sudah lebih dari tiga jam aku bersikap seperti itu. Tidak ada satu kata pun berhasil kutulis, buntu. Ada sesak menyergap, lalu berganti rasa mual hebat. Tentu saja, dengan gaya hidup serampangan, tubuhku mudah terkena penyakit. Tapi kali ini bukan perkara biasa. Bukan sekedar migrain atau mata perih. Mual ini muncul karena depresi. Stres berkepanjangan karena tidak lagi bisa berkarya, dan mati rasa dalam segala hal. Fase tidak lagi merasa hidup dan ada, lebih buruk dari segala hal yang pernah kulewati.
Aku meneguk kopi dari cangkir yang selalu kusimpan di sebelah laptop di tempat kerja mungilku. Di sinilah beberapa novel tercipta, yang kemudian menghiasi rak-rak buku di toko, mengispirasi pembaca setia dengan kisah di dalamnya. Ironis. Saat mereka begitu mencintai keberadaanku, aku sendiri justru merasa hilang. Kuputuskan menutup laptop, beralih ke kamar. Tidur adalah satu-satunya saat aku merasa hadir bukan sebagai mitos. Kesenangan dari sebuah ketidaksadaran. Biarlah mimpi mengambil alih hidup sesungguhnya. Biar mimpi membawaku pada petualangan tanpa harus direka.
***
Tidak salah lagi, pria itu memang sedang menatapku dengan mata beningnya. Sebenarnya aku tidak sengaja bersitatap dengannya. Posisi kami yang saling berhadapan di meja yang berbeda sangat memungkinkan untuk saling melihat dengan leluasa. Tapi sikapnya yang tidak wajar, dengan selalu kikuk saat mata kami bertemu, cukup meyakinkanku kalau pria itu menaruh perhatian.
Pria itu duduk bertiga dengan dua wanita seumurannya. Asik berbincang, sesekali tertawa keras. Dari ekspresi dan gerak tubuhnya, sekilas saja orang bisa menerka sifat periang pria itu. Menjadi pusat perhatian tampaknya adalah makanan sehari-hari baginya.
Aku tidak merasa terganggu oleh sikapnya, diperhatikan banyak pria bagiku sudah biasa. Tapi pria itu membuatku ingin mengenalnya. Jauh dalam binar sorot mantanya, aku melihat luka. Ada sakit yang sama, perih yang menindih, mencekik hingga luka tak lagi bisa bersuara. Pria itu menutupinya dengan keriangan, bertolak belakang denganku yang memilih apa adanya. Mungkinkah dia merasakan hal yang sama, hingga luka menjadi magnet untuk menjatuhkan tatapan. Dua orang pesakitan bertemu, saling menyembuhkan. Klise yang terlalu utopis.
Nyatanya aku memutuskan menjadikan pria itu objek tulisan. Dengan terang-terangan aku mengundangnya masuk dalam hidupku lewat pandangan yang menantang. Sinyal itu ditangkapnya. Setelah berjam-jam berbagi cerita dengan dua wanita yang entah siapanya itu, dia mendatangiku ketika keduanya beranjak. “Boleh gabung?” Suara merdu pria itu menggumamkan basa-basi.
Aku mengangguk mempersilakan. Dia tersenyum ramah.
“Sering ke sini?” tanyanya lagi, kali ini membuka percakapan.
Aku memperhatikan bentuk wajahnya yang bulat, bibir merah tipis, alis tebal, dan rambut ikal. Wajah itu tampan dan manis, seandainya warna kulit yang membalut tubuh atletisnya tidak kecoklatan, aku sudah mengira dia anggota boyband. “Baru pertama, kamu?”
“Dean. Kalau aku sudah sering ke sini. Tempatnya asik, cocok buat nulis.” Yang dia maksud dengan kegiatan menulis itu sudah tentu bukan untuknya. Karena matanya melirik laptopku, tanda sedang menebak apa yang sedang kulakukan, dan tebakannya benar.
Tidak sulit mengenalnya lebih dekat, Dean terlalu terbuka pada orang baru. Dalam waktu setengah jam saja aku sudah mengetahui profesinya sebagai aktor drama musikal, saat ini sedang merintis karir penyanyi solo, dan kedatangannya ke Bandung sekedar lari dari rutinitas pekerjaan sekaligus orang-orang sekeliling yang disebutnya fake. Aku tidak banyak membagi keterangan mengenai diriku. Rumus memberi kepercayaan sama besar sudah tidak berlaku dalam hidupku yang sinis. Kami bertukar pin dan no telpon, lalu pulang larut malam dengan mobil masing-masing. Sangat biasa. Bukan perkenalan ajaib seperti dalam film.
Sebelum tidur, aku mengingat senyum Dean dan sentuhan tangannya. Tidak ada listrik yang ditransformasi lewat pori-porinya. Juga tidak ada debaran halus bagai ilusi. Tapi magnet yang bersarang di tubuhnya terus menarikku masuk lebih dalam dan dalam.
***
Mual itu datang lagi, semakin sering dengan durasi lebih panjang. Dengan perasaan kecewa aku menutup laptop. Kali ini satu paragraf berhasil kutulis dalam waktu lebih dari lima jam. Mungkin sebagai penulis, sebentar lagi aku akan mati. Seperti pemain sepakbola menggantung sepatunya. Aku ingin membuat Dean sebagai sumber inspirasi, tapi tidak tertuang apa-apa dari dirinya di layar komputerku. Rasa tawar terlalu pekat menyumbat.
Aku mematikan laptop, bersiap pergi ke pementasan drama musikal dimana Dean bergabung. Bukan sebagai peran utama, tapi cukup penting. Aku mengenakan cocktail dress hijau dipadu clutch warna senada. Melihat pantulan sendiri di cermin, aku percaya diri bisa mempesonanya malam ini. Sejak perkenalan, sudah beberapa kali kami bertemu. Sekedar nonton, atau menikmati suasana malam. Dean mencintai malam, sama sepertiku. Melihat city light dari ketinggian membuat adrenalin kami terpacu, merasakan kehidupan masuk lewat desiran anginnya yang menimbulkan gigil.
Berkali-kali aku menemukannya sedang menatapku lekat dan lembut, seakan ingin masuk dalam pikiranku, melindungiku dari sakit yang tak kunjung enyah. Seperti mengenalku, tapi tidak tahu apa-apa, hal itu membuatnya merasa tak berarti. Setiap kali begitu, aku akan berkelakar bahwa mengenalku lebih jauh hanya menimbulkan putus asa. Sudah dua tahun aku tidak membuka diri pada pria manapun. Bukan terkekang oleh masa lalu, tapi sebuah kesadaran membuatku mengunci hati.
Tiga tahun lalu, aku hampir menikah. Sebuah pernikahan yang akan membahagiakan. Kebersamaan dengan orang yang sangat kucintai dan sangat mencintai. Kutegas kata “sangat” di sini, karena begitulah adanya. Seakan tak ada yang bisa melunturkan cinta itu. Persiapan pernikahan katanya memang selalu membuat stres, belum lagi sindrom pra nikah. Dan ya, sindrom itu datang juga padaku. Di tengah resah yang hadir tak sekedar desah, aku bertemu seseorang.
Ada banyak hal baru yang ditawarkannya. Aku jatuh cinta lagi. Cinta yang lebih besar dari cinta pada calon pengantin priaku. Aku dan pria baru itu menjalin hubungan yang menyakitkan, karena kami berdua sama-sama tahu tidak bisa bersatu. Dia kemudian lelah, begitu juga denganku. Lalu kepercayaanku pada cinta ikut luntur bersama luruhnya cintaku pada kekasih. Ternyata cinta yang sangat bisa hilang dalam bilangan detik.
Sebuah kesadaran datang, cinta bagiku adalah petualangan. Aku tidak memiliki cinta sejati yang akan kupersembahkan pada satu hati. Dibandingkan dengan orangnya, aku jauh lebih mencintai proses penemuannya. Kekecewan pada diri sendiri menghantui, menyiksa hingga ubun-ubun. Aku memutuskan hubungan dengan mereka berdua. Dan yang kudapati, aku bisa hidup baik-baik saja tanpa keduanya. Hanya rasa bersalah yang menggerogoti dan merapuhkan saat melihat mereka hancur.
Aku memiliki hati yang disinggahi cinta palsu, kemudian mati.


December 9, 2012
Lahang dan masa kecil
Malam ini ingin bercerita tentang lahang, tebu dan masa kecil.
Seperti biasa, hampir setiap hari minggu, saya dan Rasi main ke lapangan tegalega. Sekedar jalan-jalan buat olahraga yang ujung-ujungnya selalu diakhiri beli sesuatu yang Rasi suka. Semisal balon dan mainan.
Siang tadi, setelah kelelahan puter-puter lapangan, saya untuk pertama kalinya melihat tukang “lahang”. FYI, menurut Wikipedia adalah minuman khas Indonesia yang terbuat dari nira, lahang diperoleh dari sadapan pohon aren, yang disadap adalah bunga jantannya. Tapi lahang ini lahang sari tebu. Di Bandung sudah banyak sih, di daerah BIP juga ada. Tapi tukang lahang ini menjual berkeliling dengan membawa lahang di dalam bambu besar. Tradisional sekali.
Saya pun tertarik membelinya, harganya lumayan juga. Untuk satu cup gelas akua, empat ribu rupiah. Rasa lahangnya, seingat saya memang murni. Manisnya enggak manis banget. Rasi juga ternyata suka. Saya memang ingin mengenalkannya pada hal-hal tradisional. Dan sesuatu yang murni itu memang lebih mahal harganya
Lahang ini mengingatkan saya pada masa kecil. Waktu rumah saya masih di Banjaran, depan rumah itu kebun cukup luas, ditanami berbagai macam pohon. Ada pohon tebu yang ditanam nenek saya. Kalau sudah besar, saya sering menikmati air tebu itu dengan langsung menggigitnya. Lama-lama pohon tebu itu habis juga, terutama oleh saya yang rakus. Sekarang pengen nanam tebu di depan rumah belum tentu tanahnya cocok, saya juga gak pandai merawat tanaman sih. Rindu sekali pada masa-masa kecil itu. Makanan, minuman, aroma, dan masih banyak lagi yang hilang dari masa kecil.

