Eva Sri Rahayu's Blog, page 18
November 24, 2013
Love Puzzle
Love Puzzle
Judul : Love Puzzle
No ISBN : 9786021606049
Penulis : Eva Sri Rahayu
Penerbit : Noura Books
Terbit : November 2013
Jumlah Halaman : 284
Jenis Cover : Soft Cover
Harga : Rp. 49.000
Rasi memberi senyuman, tetapi cowok itu malah tidak mengacuhkannya.
“Raja?” sapa Rasi.
“Sori?” Kening cowok itu berkerut.
“Kamu Raja, kan?” tanya Rasi lagi.
“Hmm, enggak usah sok kenal, deh,” balas Raja dingin.
Rasi melengkungkan bibirnya, cowok keren memang sering kena amnesia! “Enggak usah nyebelin gitu, deh. Kamu kan yang nanya-nanya soal fotografi di atap BIM kemarin? Kalau aku salah orang, biasa aja, deh.”
Raja merespon perkataannya dengan wajah kaget. Namun sedetik kemudian, ekspresi Raja kembali sinis. “Denger ya, aku enggak kenal kamu!” geram Raja penuh penekanan.
***
Sejak ketemu cowok itu, Rasi merasa level hatinya naik turun seperti roller coaster: kadang berbunga, kadang kesal setengah mati. Sama seperti sikap Raja yang jago sulap: kadang baik, kadang nyebelin. Ada ya orang yang seperti itu? Rasi hanya belum tahu kalau di balik semua kejadian ada misteri tersimpan. Dan takdir menuntun Rasi masuk ke labirin yang entah ke mana berujung ….
***
“Karya yang manis, hangat, dan bikin penasaran hingga halaman terakhir.”
— Dyah Rinni, penulis “Unfriend You” dan “Serial Detektif Imai”.
“… kepingan demi kepingan cerita yang mengundang rasa penasaran pembaca.”
— Valleria Verawati, penulis “Bidadari di Bawah Hujan” dan “Nggak Usah Jaim, Dech!”
***
Buku ini bisa didapatkan di toko buku dan toko buku online seperti pengenbuku.net, bukabuku.com, dan Mizan.com.
Atau bisa pesan langsung sama saya ^_^
Nonton Book Trailer Love Puzzle di : http://www.youtube.com/watch?v=iba98Y_MULM
Untuk yang sudah baca, bisa ngasih rating dan komentar di Goodreads ya. Link-nya : https://www.goodreads.com/book/show/18804251-love-puzzle
Ditunggu apresiasinya ^_^


October 15, 2013
Kebanggaan Itu Milik Siapa? Karena Apa?
“Kebanggaan” satu kata yang menggelitik. Siapa yang boleh memiliki “kebangggan” itu? Letaknya di mana? Dan pastinya karena apa?
Kalau menurut KBBI versi offline, pengertiannya sebagai berikut:
1. Bangga: besar hati; merasa gagah (karena mempunyai keunggulan);
2. Membanggakan: menimbulkan perasaan bangga; menjadikan besar hati; 2 memuji-muji dng bangga; mengagungkan;
3. Kebanggan: kebesaran hati; perasaan bangga; kepuasan diri.
Satu hari ketika saya menerbitkan buku yang kedua–dua tahun lalu–saya merasa bangga. Novel yang saya tulis dalam jangka waktu lama, dan ditulis dari mencuri-curi waktu ketika anak sudah tertidur, dengan laptop pinjaman pula itu bisa diterbitkan juga. Saya berpikir novel itu akan membanggakan anak saya, kembaran saya, dan kedua orangtua saya. Mungkin pada awalnya iya, meskipun saya tidak melihat atau tidak menyadari sorot kebanggaan di mata kedua orangtua saya. Sedangkan anak dan kembaran saya, dengan cerianya dia selalu menunjuk-nunjuk buku saya setiap kali kami menemukannya di toko buku. Ternyata rasa bangga mereka itu menimbulkan kebahagiaan dan motivasi untuk saya.
Saya pun menyimpulkan bahwa kebanggaan muncul dari sebuah prestasi, kerja keras, dan tercapainya sebuah impian.
Ternyata “kebanggaan” memiliki expired date. Seperti prestasi atau pencapaian yang akhirnya dianggap lampau. Hal itu membuyarkan “kebanggaan”. Lalu pada akhirnya memberi dorongan untuk membuat pencapaian baru yang memunculkan kembali rasa “bangga” itu. Sayangnya, standarisasi pencapaian yang menimbulkan perasaan itu terus naik. Seperti level kedewasaan, level menambah pengetahuan, level adrenalin. Sedangkan mempertahankan itu lebih sulit dari meraih, dan tujuan kebanggaan bukan mempertahankan, tapi “melebihi”.
Saya kemudian berusaha membuat target untuk melebihi pencapaian sebelumnya agar menggapai sebuah “kebanggaan”. Dan ternyata hal itu memberi beban, bukan memotivasi. Kemudian saya berpikir ulang, apakah rasa bangga itu yang justru menjadi tujuan utama? Bukan lagi campuran proses, pembelajaran, menumpahkan pikiran, nikmatnya berkarya, dan kepuasaan batin saat karya itu benar-benar terlahir? Tapi bukankah “kebanggaan” itu merupakan kepuasan batin? Apakah “kebanggaan” tercipta dari sebuah pembuktian? Pembuktian untuk siapa? Cukupkah ketika saya mengatakan pembuktian pada diri sendiri? Bukankah saya ingin dunia melihat karya saya? Lebih dari itu, untuk orang-orang terdekat saya. Membuat mereka bangga dan bahagia.
Mungkin karena saya mengkotak-kotakan kebanggaan. Kebanggaan karena diri, dan kebanggaan yang ditimbulkan oleh efek membahagiakan orang lain. Nyatanya saya tidak bisa sendirian, saya memilih kebanggaan yang menular, baik itu yang ditularkan oleh saya pada orang-orang tercinta atau kebanggaan yang diberikan oleh mereka pada saya. Karena saat saya merasa berbangga pada sesuatu, hal itu tidak otomatis memberi kebanggaan pada mereka.
Saya menyadari, bangga adalah rasa. Dan seperti semua rasa, tak ada takarannya, tak bisa ditimbang, dan diukur.
Adalah sebuah peer ketika saya ingin membanggakan orangtua saya dengan pilihan saya sendiri. Bukan pilihan mereka, bukan memenuhi keinginan mereka.
Timbul sebuah pertanyaan besar: Kebanggaan itu milik siapa dan karena apa?
Untuk saya, kebangggaan itu milik kolektif. Karena kebanggaan muncul dari domino efek. Saya tidak bisa mencapai sesuatu sendirian. Karena itu saya ingin membagi rasa bangga, dengan mereka yang telah selalu ada untuk saya.
*Dibuat untuk Lomba Artikel CineUs Book Trailer Bersama Smartfren dan Noura Books. Keterangan lengkap bisa dibaca di sini: http://myfairytalemytale.blogspot.com/2013/09/lomba-artikel-cineus-book-trailer.html *
Tonton juga CineUs book trailer-nya di sini:


October 12, 2013
Bacaan Ringan Saat Senggang
Seringkali saya membaca sebuah komentar yang mengatakan buku A, B, dan lainnya adalah “bacaan ringan saat senggang”. Saya pun rasanya pernah berkomentar seperti itu. Kadang saya bertanya, apakah maksud pernyataan itu? Apa artinya buku-buku tersebut buku yang saking ringannya sehingga tidak butuh “meluangkan waktu” khusus untuk membacanya? Sehingga ya kalau ada waktu senggang, bolehlah dibaca. Atau ada maksud lain dari pernyataan itu? Kok ya ada kesan buku tersebut kualitasnya biasa saja.
Beberapa malam yang lalu saya tidak bisa tidur. Twitteran atau Facebook-an sedang bosan, nonton juga sedang tidak mood. Maka saya pun mencari-cari buku di rak perpustakaan mini saya, sepertinya membaca sebelum tidur adalah pilihan tepat. Saya mencari buku yang habis sekali baca, tidak membuat kepala puyeng dengan bahasanya, tetap memberi gizi untuk otak, menghibur, dan ringan. Terpilihlah sebuah buku yang memang akhirnya selesai saya baca malam itu juga. Padahal mood membaca saya sempat tiarap parah. Banyak buku-buku yang menurut umum bagus malah saya geletakkan.
Buku itu memang ringan tapi cukup memberi nutrisi untuk saya. Saya berpikir, ternyata buku yang tergolong kategori “bacaan ringan saat senggang” itu diperlukan. Karena ada kalanya otak terlalu lelah berpikir hal berat-berat. Jadi kalimat “bacaan ringan saat senggang” itu bukan penilaian negatif, tapi mungkin pernyataan rekomendasi untuk pembaca yang memang butuh “bacaan ringan”. Pesan-pesan berat dengan topik yang juga berat bisa jadi tidak tersampaikan. Tetapi pesan-pesan ringan malah bisa jadi berkesan.
Memang berat dan ringan tidak juga bisa ditimbang dari harfiah tebal dan tipisnya buku. Bisa jadi buku yang tipis memiliki nilai pesan yang tinggi. Mungkin juga ini masalah selera dan kebiasaan pembacanya. Tipe bacaan seperti apa yang sering dibaca. Dan selera berbedalah yang membuat banyak variasi karya, membuat banyak tipe karya memiliki peminatnya sendiri.
Di luar bahwa bacaan akan membentuk opini dan penulisan seseorang. Asumsi bahwa pembaca yang terbiasa membaca hal yang berat-berat akan memiliki wacana dan pengetahuan yang luas. Tapi bacaan yang ringan ketika pesannya tersampaikan, ketika bacaan tersebut memberi hiburan dan pemikiran positif pada pembacanya, menurut saya itu hal yang paling utama. Jadi membaca buku yang masuk kategori “bacaan ringan saat senggang” bukan hal sepele.


October 2, 2013
Satu Tahun (Cerita bersambung)
Teman, tolong tuliskan apa yang ingin kamu perbuat dalam satu tahun?
Yah, ini bukan tahun baru. Memulai tahun tidak harus hitungan 1 Januari, bukan?
…………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………
Aku punya 365 lembar untuk kuisi.
Pertama ….
Ternyata menulis itu sulit, padahal banyak yang ingin kuceritakan, tapi aku malah kehilangan kata.
Tunggu, lima menit lagi aku akan berusaha menuliskannya lagi. Lima menit itu akan kuhabiskan untuk bengong di depan komputer.
***
Satu tahun? Gila! Gue bisa apa cuman satu tahun?!
Sialan!
***
Kalau dunia ini hanyalah sebutir pasir di lautan. Aku ini apa?
Setelah satu tahun, semuanya pasti tetap sama.
Ah, ya, mungkin jalanan semakin macet.
Oh, iya, tahun depan pimpinan kita juga berganti.
Aku tidak ingin dilupakan. Aku ingin terus tertanam dalam ingatan.
Tapi meninggalkan kesedihan? Bisakah bagian itu kita skip saja.
****


August 25, 2013
Review Film Get M4rried – Pernikahan Alay
Saya tidak punya ekspektasi apa-apa saat akan menonton film yang bertahan cukup lama di bioskop ini, karena melihat trailer-nya sebenarnya kurang menarik. Tapi kalau produser Chand Parwez sampai nekad membuat seri keempat, sudah pasti film ini harus menawarkan banyak hal dari seri-seri sebelumnya. Maka saya pun duduk manis di deretan tempat duduk depan.
Tidak disangka dari awal film saya bisa tertawa lepas dengan komedi dari dialog-dialog cerdas penulis skenario Cassandra Massardi. Konflik film yang disutradari Monty Tiwa ini bergulir dari keinginin Sophie (Tatjana Saphira) untuk menikah diusia 16 dengan Kim (Math Wang Kie) yang berkewarganegaraan Korea. Untuk menggagalkan pernikahan itu Mae (Nirina Zubir) bekerja sama dengan tiga sahabatnya Benny (Ringgo Agus Rahman), Guntoro (Deddy Mahendra Desta), dan Eman (Amink) menjodohkan Sophie dengan Jali (Ricky Harun)—yang tanpa sengaja mereka temui saat Jali meminta mereka untuk berhenti bermain gaple di rumah pohon pinggir kali.
Komedi cerdas satir bisa ditemui salah satunya dari adegan saat Benny dan Eman meminta Jali memutuskan kekasihnya dan mendekati Sophie dengan alasan-alasan besar seperti rasa nasionalisme, tapi malah membuat Jali kebingungan. Guntoro dengan santainya menyelesaikan masalah itu dengan memperlihatkan foto Sophie dan mengatakan kalau persoalan alay harus diselesaikan dengan cara alay pula.
Jali lalu mendekati Sophie lewat segala hal yang dia tahu dari akun twitter Sophie. Pendekatan itu berhasil karena Sophie merasa Jali adalah the real fans. Begitulah bahwa hampir setiap orang sangat menyukai satu topik: Tentang Dirinya. Sesuai dengan realita.
Isu besar lain yang diangkat di film ini adalah bahwa pernikahan tidak memupus kesenangan dan cita-cita lewat konflik dalam rumah tangga Mae dengan Rendy (Nino Fernandez). Konflik muncul saat Mae masuk ke dalam pergaulan Sophie, teman-teman Sophie sukses membuat Mae merasa apa yang dilakukannya selama ini bukan apa-apa. Ditambah lagi setelah mengetahui keadaan kesehatannya, Mae terkenang kembali dengan impiannya menjadi polisi wanita. Mae akhirnya dekat dengan Max (Ajun Perwira)—salah satu teman Sophie—yang mau menemaninya menjalankan keinginan gila-gilaan yang belum terwujud dalam list-nya…. Baca review lengkapnya di http://www.filminx.com/review-get-m4rried-2013-pernikahan-4lay/?utm_source=rss&utm_medium=rss&utm_campaign=review-get-m4rried-2013-pernikahan-4lay


August 16, 2013
FF – Berita dari Sahabat.
Matamu nanar membaca SMS dari sahabat sekaligus saudara perjuangan semasa merebut kemerdekaan.
Kukirimkan uang untukmu dan istrimu, jangan kaubagikan untuk anak-anakmu. Kita susah payah berjuang untuk mencapai kemerdekaan, masa mereka hanya berjuang untuk makan saja tidak bisa!
Pikiranmu kini mengembara pada masa lalu, pada wajah tirus kurus kelelahan sahabatmu yang membawa senapan di tangannya. Lalu pada darah di tanganmu. Kemudian pada getaran hebat saat mendengar “Indonesia Raya” dikumandangkan.
“Merdeka!” teriakmu.
Suara langkah kaki istrimu membawamu kembali ke masa kini.
“Ada berita apa?” tanya istrimu penuh harap sambil menyodorkan segelas teh manis.
Kamu terbatuk-batuk sebelum menjawab, “Kita dikirimi uang.”
“Syukurlah, kita bisa membayar listrik. Hampir saja dipadamkan PLN. Dan lagi, Deni harus bayar uang sekolah,” kata istrimu setelah dia duduk di sebelahmu.
“Nek, mau minta makan ….” Cucu kesayanganmu datang dengan wajah pucat, keringat menetes di pelipisnya. Cuaca siang ini memang panas.
“Sebentar, Nenek bawakan rebus singkong, ya.” Istrimu berdiri, kemudian berjalan tergesa ke dapur.
Cucumu Deni duduk di lantai di dekat kakimu. Kamu menatapnya sedih, lalu kamu pun bertanya padanya, “Mana ayahmu?”
“Masih tidur, Kek. Kalau Ibu tadi sudah ke perempatan dengan adik.”
Kamu lalu mengelus dada yang makin sesak.

Foto dari http://bandunginstyle.blogspot.com/


August 1, 2013
Kedai Nyereung, Segernya Sensasi Nyereung.
Makanan lada alias pedas selalu segar di lidah. Makin pedas makin nikmat. Apalagi dipadukan minuman segar seperti soda. Hmm … yummy ….
Paduan segar itu bisa kita temukan di Kedai Nyereung. Pecinta makanan pedas dan minuman soda akan dimanjakan di sini.
Kenapa namanya Kedai Nyereung? Karena pedas dan soda sama-sama memberi efek nyereung ^_^ Seperti sajian ciri khasnya. Kedai Nyereung yang berdiri pada tahun 2012 ini bertempat di Jalan H. Hasan No.19, Bandung. Kedai ini cocok untuk tempat berkumpul bahkan ngobrolin karya karena tempatnya menginspirasi. Mulai dari makanannya, minumannya, sampai interiornya. Di lantai atas kita bisa melihat pemandangan Bandung lewat kawat-kawat, berasa di mana gitu.

Bar kecil di Kedai Nyereung

Tempat duduk di Kedai Nyereung
Maka dari itu beberapa waktu lalu saya dan teman-teman blogger Bandung buka bersama di tempat istimewa ini. Acaranya jadi makin seru dengan door prize yang diberikan oleh Hyperdrive berupa dua buah kaos dan dua voucher senilai Rp100.000,- dari Kedai Nyereung. Senangnya saya dapet voucher-nya, hehehe.

Suasana buka bersama Blogger Bandung dan Kang Cherish (Owner Kedai Nyereung)
Kami sempat ngobrol-ngobrol sama Kang Cherish, owner Kedai Nyereung yang ramah banget. Ini dia hasil obrolannya.
Menu Seru Pedas dan Soda
Kedai Nyereung memberi beberapa pilihan level untuk pecinta pedas: kalem, nyereung, sampai super nyereung. Jadi jangan khawatir buat yang enggak begitu kuat pedas, bisa pilih level kalem. Menu andalan Kedai Nyereung merupakan variasi makanan dari ayam, bebek dan iga.

Menu andalan Kedai Nyereung
Terus minuman istimewanya ada soda mix buah segar berukuran jumbo. Di antaranya: Blue cute, Pink love, dan Rainbow Liquid. Udah minumannya porsi gede gitu harganya malah mini. Mulai dari Rp.10.000 – Rp.36.000,-.

Minuman andalan Kedai Nyereung
GocengGo
Buat yang males ke mana-mana bisa memanfaatkan layanan “GocengGo”. Ini adalah layanan delivery service untuk pemesanan makanan dan minuman dengan jam operasional Pk.10.00 – 04.00 WIB. Hanya dengan menelepon ke 081-2202-6700 dan ditambah delivery service sebesar goceng alias lima ribu rupiah aja. Pesanan akan sampai langsung di depan pintu rumah pemesan seputar kota Bandung.
Promo Ramadhan
Ada program khusus juga selama bulan Ramadhan loh, yaitu Saur ++. Hanya dengan Rp20.000,- kita bisa mendapatkan menu sahur ueenaaak dan langsung dikirim ke tempat secara gratis. Selama bulan Ramadhan, layanan delivery service makanan untuk berbuka dan sahur adalah Pk. 16.00 – 04.00 WIB.

Promo Sahur ++
Nah, karena saya dapet door prize itu, saya pesen deh buat makan sahur. Seratus ribu dapetnya banyak lagi. Salah satu sahur paling yummy bulan ini. Mana dianternya cepet banget. Ada efek negatifnya sih, soalnya saya sering terbayang-bayang bebek nyereung dan banana smoothies-nya. Hihihi.
Buat yang mau coba bisa liat infonya di Twitter @kedainyereung dan Facebook KedaiNyereung
July 17, 2013
Untuk Dia yang Posesif
Hari ini ada gelisah yang makin melesak. Bukan! Bukan karena kerutan makin terlihat nyata di sekeliling mataku, atau bertambahnya usia. Tapi sesak itu datang ketika memandangmu sedang menonton “Wall-E” untuk kesekian kali. Ketika namamu memanggilku yang sibuk dengan imaji. Juga saat bulir airmata menggenang di pelupuk matamu.
Ada pertanyaan besar: Aku sudah memberimu apa selama ini?
Apa aku sudah menjadi Ibu, sahabat, dan pendidikan yang layak untukmu?
Belum juga kau hafal huruf hijaiyah, huruf, dan angka. Lagu-lagu yang dulu sering kita nyanyikan pun telah kaulupakan, prakarya yang kita buat bersama hanya jadi onggokan sampah. Bahkan kita telah lama tidak bermain di taman untuk melihat kupu-kupu, memetik bunga, dan mengumpulkan kelapa-kelapaan kecil. Rupanya aku terlalu lelap dalam duniaku hingga kau hidup dalam remah.
Nak, senang sekali rasanya ketika seperti pagi tadi kau dengan bangga memamerkan telah bisa memakai semua baju sendiri, atau mandi sendiri–yang sebenarnya masih kubantu. Semua perkembanganmu, sekecil apapun adalah kebahagiaan.
Kamu selalu mencari perhatianku, menuntut kasih sayang yang utuh. Bukan sekadar memandikan, memberi makan, mendongengkan, dan membelikan mainan. Kamu yang posesif memintaku bersikap sama posesif. Nyatanya aku terlalu lalai.
Nak, kelak saat kau beranjak besar, mengenal kawan-kawan, dan kesenangan di luar duniaku, apa aku tetap jadi nomor satu untukmu? Sementara aku sampai detik ini sering membuatmu berada di luar lingkaran.
Nak, bulan depan usiamu genap empat tahun. Tapi cinta yang kamu kecap belum juga sempurna. Padahal setiap detik kamu mengajariku ketulusan.
Nak, seringkali aku berjanji untuk mencintai sebesar pemberianmu. Tapi janjiku seperti uap yang terbang membumbung bersama waktu yang melesat.
Nak, maaf untuk semua waktu yang tersia-sia. Maaf karena aku mengajarimu luka.
Nak, beri aku kesempatan lagi untuk merealisasikan semua janji. Izinkan aku menjagamu seperti teduh yang kauberi saat kau melihat mendung di wajahku. Katamu: Mama kenapa sedih? Jangan khawatir, Mama. Rasi akan menjaga Mama.
Nak, aku mendapat definis untuk kata “Cinta”. Cinta itu Rasi Kautsar.
Teruslah menjadi pecintaku yang posesif selamanya.
Bandung, 17 Juli 2013


July 13, 2013
Revisi : Idealis, keras kepala, dan defense.
Kali ini saya ingin menceritakan perjalanan naskah novel keempat yang saya selesaikan.

Credit
Memasuki bulan Ramadhan ini saya merevisi sebuah naskah, yang kalau dihitung-hitung sudah lebih dari satu tahun saya garap. Revisi kali ini berdasar pada catatan kedua editor–yang saya sebut draft 3. Draft 1 sendiri selesai saya tulis pada Oktober tahun lalu. Saya memberikan naskah itu pada teman-teman untuk diberi masukan. Saya pun memperbaiki naskah dari beberapa masukan mereka. Naskah itu kemudian saya kirimkan pada salah satu penerbit. Sambil menunggu, saya terus mengevaluasi naskah. Seperti kebiasaan saya dan kembaran saya–Evi–kami saling bertukar naskah untuk dibedah. Kami berpendapat lebih baik babak belur di awal daripada nanti setelah novel itu beredar. Dan saya sangat down ketika dia mengatakan naskah saya masih acak-acakan. Katanya kalau dirating di goodreads dia akan memberi saya dua bintang–yang beberapa bulan kemudian dia mengakui kalau sebenarnya hanya bisa memberi satu setengah bintang saja, tapi waktu itu tidak tega mengatakannya. Saat itu saya bersikap defense dengan membentengi pikiran saya bahwa naskah itu sudah layak dilempar ke publik. Dan ternyata saya salah! Pada Desember 2012 saya menerima konfirmasi dari penerbit yang berisi penolakan. Saya semakin down bukan hanya karena naskah saya ditolak, tapi lebih karena kecewa pada diri sendiri yang tidak mau menerima kritikan dan masukan yang jelas-jelas membangun.
Catatan dari kembaran saya tidak banyak, tapi untuk memenuhinya saya tidak cukup dengan “merevisi” tapi harus “menulis ulang”. Kali ini saya yang sudah terbuka matanya pun mau melakukannya. Saya tidak boleh malas untuk menulis ulang. Dari 180 halaman spasi satu setengah, saya membuang lebih dari 100 halaman. Saya juga mengubah plot cerita dan sudut pandang penceritaan. Dari awalnya pov 1 menjadi pov 3. Inilah pertama kalinya saya menulis dengan menggunakan pov 3. Menulis dengan sudut pandang narator ternyata cukup sulit. Apalagi saya sangat buta dalam hal ini. Sebagai referensi saya membaca-baca novel pov 3. Satu bulan kemudian, naskah draft 2 itu pun selesai ditulis. Saya kemudian mengirimkan naskah itu pada penerbit yang berbeda dari sebelumnya. Alhamdulillah, 3 bulan kemudian saya mendapat konfirmasi kalau naskah saya diterima.
Perjalanan naskah pun sampai ke tahap editing. Naskah saya ditangani oleh dua orang editor. proses editing pertama, saya mendapat banyak sekali catatan revisian. Beberapa poin saya turuti, beberapa lagi saya keukeuh dengan versi awal. Padahal editor sudah memberikan alasan kenapa harus diubah. Saya menyebut diri saya idealis. Bukankah penulis perlu memiliki itu?
Satu bulan setelah saya meyerahkan revisi pertama, saya mendapat catatan revisi baru. Dan kali ini catatannya cukup menohok saya. Kenapa? Karena bagian yang tidak saya ubah direvisian pertama tetap harus diubah! Bahkan masukan lainnya pun membuat plot banyak berubah. Saya pun terlibat diskusi alot dengan editor. Akhirnya kami menemukan kesepakatan.
Beberapa hari setelah itu saya belum menulis apa-apa, saya masih bingung bagaimana menambal sulam dan mempercantik naskah. Sampai satu kali kembaran saya mengatakan, “Aku bersyukur banget punya editor kayak mereka. Mereka ngasih masukan kan buat kebaikan naskah kita. Enggak semua editor loh ngasih masukan sedetail itu. Tahu-tahu pas dilempar ke pasaran babak belur”. Kata-kata itu “jleb” banget buat saya. Saya benar-benar disadarkan bahwa masukan itu ada sebagai bentuk kepedulian pada naskah saya. Artinya naskah saya tidak ditangani asal-asalan. Satu lagi yang membuat saya kesal pada diri sendiri, karena saya sudah defense duluan dengan kata “idealis” bukan mau menerima dengan logis. Kata “idealis” itu pun berubah makna menjadi “keras kepala” dan justru “egois” pada anak sendiri, yaitu naskah saya. Kemudian saya teringat dengan sahabat editor saya yang lain, dia pernah mengatakan kalau penulis selalu merasa naskahnya sudah paling cantik sedunia. Padahal banyak korengnya.
Selain menulis, saya sedang belajar menjadi editor. Saya pernah menangani naskah yang masih mentah, lalu memberi anjuran revisian kepada penulisnya. Ketika penulisnya memberi banyak alasan untuk tidak merevisi naskah, waktu itu saya merasa dia hanya defense saja. Bentuk ego. Lalu sekarang sayalah yang berada di posisi tersebut. Ternyata saya gagal belajar dari kejadian itu.
Menerima masukan dan kritikan itu memang tidak mudah, apalagi kalau sudah membentengi diri. Ah, saya pun malu sendiri. Padahal saya sering berkoar-koar kalau masukan dan kritikan itu pasti berefek bagus. Apakah membuat karya kita lebih baik atau membangun mental kita.
Setelah menyadari itu, saya mulai berpikir logis. Membuka-buka catatan, membaca ulang, dan menulis revisi naskah. Sekarang saya ingin berterima kasih pada kedua editor, Evi, dan first reader naskah saya. Semoga hasil akhirnya memuaskan. Tidak lagi banyak lubang-lubang dan plot hole. Meskipun saya menyadari tidak ada karya yang bisa memenuhi selera semua orang. Ah, lagi-lagi terdengar sebagai defense ^_^
Perjalanan naskah ini menjadi perjalanan batin dengan begitu banyak pelajaran.


May 8, 2013
Warung Kopi Punya Cerita – Review Film “Kisah 3 Titik”
Saya bukan penggemar Lola Amaria, pun selalu tidak tertarik menonton filmnya. Tapi waktu baca sinopsis film ini, saya cukup tertarik. Meskipun sempet gamang buat memilih nonton film lain, berhubung film-film Indonesia yang diputar di bioskop kali ini sedang banyak dan setelah baca review-nya bagus-bagus. Lalu inilah hasil dari nonton film “Kisah 3 Titik”. Sebelumnya maaf, review ini mengandung spoiler.
SINOPSIS
Film “Kisah 3 Titik” ini bercerita tentang 3 perempuan pekerja yang memiliki kesamaan nama yaitu Titik. Yang pertama Titik Sulastri (Ririn Ekawati), merupakan seorang janda beranak dua yang bekerja sebagai pegawai kontrak yang memiliki upah rendah di sebuah pabrik garmen.
Kedua, Titik Dewanti Sari (Lola Amaria), wanita single yang usianya tidak muda lagi yang memiliki posisi bergengsi di sebuah perusahaan raksasa penuh skandal dan kasus. Dan yang terakhir, Titik Kartika atau Titik Tomboy (Maryam Supraba), anak preman yang bekerja sebagai buruh pabrik rumahan yang berani dan tidak takut mati demi keadilan.
Bukan hanya nama mereka saja yang sama, mereka sama-sama terjebak dalam situasi yang membuat hidup mereka berubah 180 derajat. Langkah apa yang akan mereka ambil untuk bisa keluar dari situasi tersebut? Mampukah ketiga Titik tersebut melakukannya?
REVIEW
Kenapa saya beri judul Warung Kopi Punya Cerita? Karena di sanalah kehidupan para buruh terkuak.
Film ini sudah membangun ketegangan dari awal. Rangkaian kisah dari satu Titik ke Titik lain hampir mulus. Sayangnya bagian Titik Kartika singgungannya terasa kurang. Tiga Titik dengan karakter yang berbeda-beda mempunyai satu kesamaan karakter: tidak menyerah pada keadaan.
Dari ketiga kisah Titik, cerita tentang Titik Sulastri—selanjutnya saya sebut Sulastri—yang diperankan dengan sangat brilian oleh Ririn Ekawatilah yang paling menyentuh. Sebagai janda muda beranak satu dan sedang mengandung pula, Sulastri memilih bertahan hidup di Jakarta karena makam suaminya berada di kota itu. Sebuah alasan konyol tapi touchy. Konyol dan nekad. Sedikit mengada-ada. Alasan yang terlampau melow tidak sesuai keadaan. Kalau saya ini Sulastri, sudah pasti memilih pulang kampung. Di Jakarta tidak punya siapa-siapa. Lagipula kasian anak yg masih kecil. Tapi begitulah dramatisasi kisah Sulastri ini bergulir.
Keadaan itu membuat Sulastri harus bekerja sebagai buruh pabrik. Dari kisah ini juga kita bisa melihat betapa sulitnya kehidupan seorang janda, di mana pun dan apa pun yang dia lakukan bisa menjadi bahan gunjingan. Ketika bekerja, anak Sulastri dititipkan pada Mbah—seorang waria tua—tetangganya. Hubungan tolong menolong antara Sulastri, Mbah, dan Juwita—waria muda—memperlihatkan bahwa kita tidak bisa menilai kebaikan hati dari penampilan luar. Di bagian Sulastri kritik tajam film disampaikan pada ketidakmanusiawian peraturan pabrik yang tidak memberi waktu seorang ibu menyusui menampung air susu di botol. Padahal hal itu sangat penting untuk anak dan ibu. Anak tetap mendapatkan ASI, dan ibu tetap sehat.
Lalu kisah tentang Titik Kartika—selanjutnya saya sebut Kartika—yang terpaksa menjadi tomboy karena kehidupan keras di lingkungan preman. Dibalik kekerasan hatinya tersimpan kesepian, meskipun dia mengatakan sudah biasa sendirian. Di part kartika ini saya paling suka bagian romantismenya. Nggak ada adegan pelukan atau ciuman. Cukup digambarkan dengan Kartika yang salah tingkah ketika Atok–teman kerja, sahabat, sekaligus pria yang menyukai Kartika–datang ke kosannya. Kartika malah membereskan barang-barangnya. Adegan itu bisa bikin deg-degan dan romantisnya kerasa. Salut! Kritik tajam di bagian ini adalah ketika pabrik tempat Kartika bekerja memperkerjakan anak-anak SD untuk mengurangi cost. Agar anak-anak itu mau bekerja, mereka dicekoki dengan lem aibon sehingga mabuk.
Sedang cerita Titik Dewanti yang diperankan Lola—selanjutnya saya sebut Dewanti—merupakan perwakilan top manajemen pabrik. Dikisahkan bahwa Dewanti mati-matian memperjuangkan nasib para buruh, tetapi berjuang sendiri adalah kesia-siaan. Dewanti bukan hanya melakukan riset dengan wawancara langsung dengan para buruh, lebih jauh, dia memilih seharian nongkrong di warung kopi tempat para buruh biasa ke sana. Dan memang begitulah, warung kopi punya cerita. Kalau ingin tahu tentang kehidupan masyarakat sekitar, pilihan nongkrong di warung kopi adalah tepat. Dengan menguping pembicaraan mereka, tahulah kita semua rahasianya.
Kelebihan film ini memang dari ceritanya yang sangat kuat. Meski tetap ada bopeng di beberapa titik. Seperti kartu AS yang dipegang Kartika untuk melawan bos preman yang memanfaatkan anak-anak SD. Juga singgungan antara Kartika dan Dewanti secara langsung hanya di warung kopi. Kisah Kartika seperti berdiri sendiri.
Pemilihan Ririn sebagai pemain sangat tepat, dari semuanya dia tampil sangat all out. Akting yang paling saya suka ketika dia terlihat sangat tersiksa karena tidak bisa mengeluarkan air susu. Natural. Akting Maryam Supraba sebagai Kartika juga bagus. Dia memang baru dalam dunia perfilman, tapi cukup senior sebagai aktris teater. Sedangkan akting Lola seperti biasanya tidak istimewa. Standar saja. Akting Inggrid sebagai pemilik warung juga sangat memuaskan. Dari segi akting, film ini bagus.
Dari sinematografi walaupun tidak begitu mengesankan tapi cukup baik. Pemilihan ending yang pas juga cerdas, bisa dibilang ending menggantung tapi cerita memang telah selesai. Masalah buruh memang seperti lingkaran setan, seperti tidak berujung. Kenapa ending-nya saya sebut cerdas? Karena kalau ending-nya bahagia, tapi enggak masuk logika, maka jatuhnya jadi utopis. Kalau ending-nya terpuruk semua, jatuhnya film ini seperti tidak memberi pengharapan bahwa hidup para buruh nantinya akan lebih baik. Film ini memang depresif, tapi tidak terasa menggurui. Beberapa scene kritik disampaikan dengan humor segar menjadi nilai plus.
Ada satu kalimat yang jleb banget buat saya. Begini intinya, saya kutip intisarinya.
“Kalau upah buruh dinaikan, semua kebutuhan pokok akan ikut naik. Jadinya percuma. Kalau cost naik, pemasukan kurang, pabrik akan tutup. Akhirnya para buruh dipecat. Imbasnya pada semua perekonomian di sekitar pabrik, seperti warung kopi, dan kos-kosan. Kalau sudah begitu orang-orang akan menerima pekerjaan apa saja tanpa melihat besarnya upah. Mereka hanya butuh untuk memenuhi kebutuhan hidup, dan sekedar ada yang bisa diperbuat.”
Film yang memberi banyak pencerahan. Enggak akan nyesel nonton filmnya.
Film ini saya beri rating 4 dari 5 Bintang.

