Eva Sri Rahayu's Blog, page 6
November 2, 2016
[Blog Tour] Review + Giveaway Novel Beat Of The Second Chance: Read And Feel The Beat

Cover novel Beat Of The Second Chance (diambil di studio mini artisticinside)
Bicara tentang kesempatan, kadang kala ada yang tak percaya bahwa kesempatan kedua benar-benar bisa datang dalam kehidupan. Seperti judulnya, Beat of the Second Chance membahas tentang kesempatan kedua, bukan serupa keajaiban, tetapi diraih secara sadar. Novel ini bukan menjual mimpi kosong, tapi dikemas dengan mengkombinasikannya realitas.
Seperti biasa dalam postingan blog tour, sebelum membahas novel dari pembacaan saya, kita kenalan dulu dengan penulisnya.
Siapa Zachira Indah?
Zachira Indah mengaku sebagai perempuan introvert kelahiran Tegal yang sangat cuek dengan banyak hal. Tapi seriusannya, bagi orang yang sudah mengenalnya, Zachira ini punya karakter yang pedulian, ramah, dan enggak keberatan berbagi ilmu. Ibu dari dua malaikat unyu, penggila Game of Throne dan pecinta makanan manis yang selalu gagal diet. Sedikit terobsesi dengan minuman cokelat panas.
Ini list novelnya yang sudah terbit, Diamond Sky In Edinburgh (Diva Press), Kimi no Hitomi ni Hikari (Grasindo), The Wedding Storm (Grasindo), Dearest (Grasindo), Homeless (Grasindo), Beat of Second Chance (Grasindo).
Zachira bisa dihubungi melalui akun twitter @zachira, IG @zachira.indah dan email zachira.indah@gmail.com. Sekadar kenalan atau curhat akan ditanggapi dengan senang hati.
Sesi Kepoin Zachira Indah
1. Novel Beat of the Second Chance berlatar musik yang kuat, bagaimana riset Zachira untuk menghidupkan musik di novel ini? Apa memang secara pribadi Zachira memang pernah terjun di dunia musik?
Secara pengalaman, saya memang pernah bersentuhan dengan alat musik drum, sejak SMP hingga kuliah. Karenanya selain alasan personal, menurut saya memainkan drum itu menyenangkan. Begitu pula dengan menuliskannya sebagai sebuah novel.
Bedanya, saya dulu belajar drum hanya otodidak dan nggak menerima teori-teori bahkan nggak bisa baca not drum. Baru saat riset saya pelajari sedikit-sedikit, karena kemudahan akses informasi, membaca not balok (drum khususnya) bukan hal yang rumit. Thanks to youtube, majalah musik, dan situs online drummer lesson, membuat saya sangat enjoy menggabungkan pengalaman pribadi dan riset ke dalam sebuah tulisan. Oh ya, saya bahkan sampai menyewa studio sendiri untuk benar-benar merasakan atmosfer duduk di belakang drumset dan mengayunkan stik drum. Selain untuk nostalgia, juga untuk kepentingan riset di mana saya mencoba bermacam variasi drum fills. Hehe… Seru pokoknya.
2. Kenapa memilih membahas drum?
Karena drum itu menyenangkan. Preferensi musik yang saya sukai memang dekat dengan genre musik rock, alternatif, pop rock, slow rock, hip metal dan segala hal yang berbau gebukan drum yang atraktif. Secara otomatis, dari alat musik dan genre itu sendiri sudah mengesankan dekat dengan kehidupan anak muda khususnya generasi modern musik. Jadi temanya pun otomatis menyesuaikan.
Selain itu, ini untuk membedakan tema dan tone cerita dari novel saya sebelumnya. Kebetulan di novel Diamond Sky in Edinburgh saya mengambil setting musik klasik pula dengan piano dan celo sebagai instrumennya. Singkatnya, untuk memberikan variasi pada pembaca. Alasan lain, karena saya sendiri pun jarang menemukan novel bertema tentang drum sebagai alat musik.
3. Ceritakan pengalaman luar biasa di dunia menulis.
Pertanyaan berat nih… Hehe karena saat ini saya masih merasa nggak tenar-tenar amat di kalangan pembaca. Dari dulu penyakit kronis saya ada di rasa minder dan kurang pede yang kadang suka kumat dikombinasikan dengan sifat introvert bawaan. Tapi ada satu wadah yang lumayan ‘menyelamatkan’ penyakit kronis itu biar ga jadi parah-parah bingit gitu.
Saya bergabung dalam komunitas kampus fiksi dan mendapatkan apresiasi pada satu cerpen lama di dalam acara kampus fiksi itu (yang menjadi cikal bakal novel Diamond Sky in Edinburgh). Mungkin ini kedengaran biasa, tapi Pak Edi yang menjadi CEO penerbit yang membentuk wadah kampus fiksi itu–yang hari itu bertindak sebagai pembedah–memberikan apresiasi yang tinggi untuk cerita yang waktu itu saya anggap biasa-biasa saja. Saya terharu, dan merasa diri sendiri yang saat itu semangat nulisnya lagi tiarap karena kesibukan kerja mendadak punya rasa percaya diri. Dan dari sanalah semua berawal akhirnya saya konsisten terus menulis.
Ditambah pula, sejak itu saya jadi pede ikut lomba, thanks untuk komunitas KF yang juga jadi kompor penyemangat hingga sekarang. Ditambah tahun kemarin dan beberapa waktu lalu saya menjadi pemenang kedua di satu lomba penulisan novel berhadiah trip ke Korea dan menjadi pemenang kedua juga di lomba penulisan novel Young Adult. Hanya pemenang kedua tapi itu sesuatu banget untuk penulis minderan kayak saya….
Beuuuh, total banget ya risetnya, sampai nyewa studio segala
October 30, 2016
Cara Cari Mobil Paling Praktis Dan Pas Buat Anak Muda
Sebagai anak muda yang tingkat keingintahuannya masih menyaingi anak-anak, dalam membeli sesuatu saya kepengin puas dan tuntas dapet detail-detail harga dan spesifikasi barang yang kepengin dibeli. Maka udah bukan sesuatu yang mencengangkan lagi dong ya ketika menemukan kenyataan kalau ada orang yang ngelilingin mal dari ujung ke ujung buat sepotong baju, terus akhirnya balik lagi ke toko pertama. Gempor? Udah pasti. Capek? Itu sih biasa. Kaki sampe kram? Gak masalah asalkan dapet barang incaran dengan harga paling murah. Ketimbang nyesel pas tahu ada barang sama harganya beda seribu. Duuh, nyeseknya bukan cuman di kaki, tapi sampe kebawa mimpi
September 17, 2016
[Blog Tour] Review + Giveaway Novel “Searching My Husband” Karya Octya Celline
Searching My Husband merupakan novel kelahiran dari Wattpad kesekian yang saya baca versi cetaknya. Buat saya, membaca novel ini serupa dengan menonton serial drama Korea. Menghibur dan bikin baper.
Sebelum sesi kupas mengupas novelnya, kita kenalan dulu sama sosok di balik terciptanya novel SMH yang merupakan pegiat Wattpad.
Siapa Octya Celline?
Octya Celline, biasa dipanggil Selin atau Line. Lahir di Surabaya, 19 Oktober 1996, anak ketiga dari tiga bersaudara, berzodiak Libra dan pecinta olah raga. Saat ini sedang mengenyam pendidikan sebagai mahasiswa di Fakultas Teknik Jurusan Teknik Kimia Konsentrasi Teknologi Proses Pangan Universitas Surabaya semester 5. Menulis adalah salah satu dari sekian banyak hobi yang digelutinya sejak tahun 2015. Searching My Husband adalah novel pertamanya yang dicetak dalam bentuk buku, dan novel keempat yang ditulisnya di Wattpad.
Mau ngobrol langsung sama Celline? Hubungi di media sosialnya
Instagram: @octyacelline
Facebook: Octya Celline
Wattpad: @OctyaCelline
Line: yoshikuni_tsubaki
Sesi Kepoin Octya Celline
1. Apa sih bedanya novel Searching My Husband di Wattpad dan versi cetak?
Octya: Bedanya Novel SMH di versi cetak dan Wattpad tentu saja di penyusunan cerita dan alur yang lebih teratur. Ada tokoh barunya, yaitu William. Lalu di novel cetak juga ada tambahan beberapa bab yang tidak ada di Wattpad, rasanya ada kira-kira 5 bab baru.
2. Dari semua tokoh di novel Searching My Husband, mana yang favoritmu? Kenapa?
Octya: Dari semua tokoh di novel SMH yang menjadi favorit saya adalah R. Mengapa bisa R? Karena tanpa R, cerita ini tidak akan tercipta. R adalah sosok lelaki yang saya idamkan sebagai seorang suami. Figur itu muncul setelah saya memikirkan memiliki seorang suami yang begitu setia dan hanya bisa melihat ke arah saya seperti layaknya setangkai bunga matahari yang hanya bisa menoleh ke arah matahari.
3. Apa arti Wattpad buatmu?
Octya: Wattpad adalah tempat pertama saya menumpahkan kebosanan dan keisengan saya. Mulai dari coba-coba menulis untuk ikut GiveAway sampai akhirnya saya menjadi juara 1, dan jadi ketagihan menulis sampai buku saya bisa terbit. Walau baru bergabung kurang dari setahun di Wattpad, tapi saya sudah mendapatkan banyak ilmu dari sana. Bulan ini genap satu tahun saya gabung di Wattpad, dan saya baru menulis SMH di bulan-bulan Oktober, tepatnya tanggal 18, sehari sebelum saya ultah.
Masih penasaran tentang proses kreatif Octya? Tenaang, misteri tentang penulis satu ini bakalan terkuak sama blog host lain di postingan blog tour tiap minggunya
September 15, 2016
Hapus Was-was Perjalanan Dengan Uber

Hapus Was-was Perjalanan Dengan Uber
Bagi si penakut seperti saya, mengendarai sepeda motor dan mobil sendiri ada di daftar paliiiiiing bawah dalam list kehidupan. Beberapa kali belajar motor, sebanyak itu pula saya gagal. Hiks. Pasalnya, baru ngeliat kepadetan jalan aja saya udah ngeper, apalagi pas di perempatan dan lewat jalan layang, mana berani saya bersaing dengan pengendara lain. Udahlah saya menjelma si Kabayan yang tiap papasan kendaraan lain malah “pupuntenan”. Fatalnya bisa bikin pengendara lain jengkel, dan saya sport jantung akibat konser klakson. Duh! Maka dari itu saya setia sama kendaraan umum. Tapi masih seringkali saya pusing ketika bepergian bersama anak pas banget hujan datang. Sebagai pecinta hujan, saya sih enggak keberatan main air, tapi sebagai ibu yang membawa anak, dalam hati saya menyanyikan satu lagu jagoan Dora the eksplorer. Begini liriknya, “Hujan-hujan pergilah, datanglah lain kali.” Kebayang kan kalau pergi-pergian sama anak gimana repotnya, bawa barang udah kayak mindahin gudang, padahal isinya mainan sama baju ganti. Yang paling epic tuh, kalau bepergian berdua, saat anak ketiduran dan saya mesti gendong sekaligus bawa barang sekuali. Pegelnya tuh… di sini *tunjuk kepala, pundak, lutut, kaki, lutut, kaki* Deritanya enggak sampe di sana, saya pun dilanda was-was takut terjadi apa-apa. Bermacam pikiran buruk nyangkut di kepala. Semacam dijabret, anak jatuh dari gendongan, barang hilang, dan kekhawatiran lain yang lebih serem dari Valak. Sampai akhirnya saya dapet solusi dari masalah-masalah tadi: aplikasi Uber.
Pengalaman saya menggunakan aplikasi Uber yang bikin ngerasa aman dan nyaman dalam perjalanan
Sebelumnya saya udah sering denger soal aplikasi Uber, tapi baru jadi pemakai bulan ini. Terus terang, saya ngerasa aman dan nyaman. Kayak pengalaman saya kemarin. Pulang acara bersama kembaran dan anak, saya memesan Uber. Enggak lama, satu kendaraan datang menjemput kami. Ternyata ada sesuatu yang bikin kami mesti ini itu dulu yang mengakibatkan driver Uber mesti menunggu agak lama. Tapi pas ketemu, driver-nya menyambut kami dengan ramah yang tulus, enggak tercetak sama sekali kekesalan di wajahnya. Bikin ‘nyeees’ di hati liatnya. Tepat waktu itu juga hujan turun deras, dua kelegaan datang sekaligus, karena kami terhindar dari basah kuyup. Di perjalanan, kami sempat minta berhenti di mini market. Driver Uber dengan sabar mengantar kami. Meskipun jalanan lengang karena sudah malam, sopir Uber enggak menjalankan mobil dengan ugal-ugalan supaya cepat sampai. Saya jadi teringat sore harinya ketika berangkat, kami juga diantar sopir Uber yang menyetir dengan sabar walaupun berhadapan dengan macetnya lalu lintas. Enggak ada tuh umpatan kekesalan, membunyikan klakson dengan brutal, atau selip sana selip sini. Enggak lama kami sampai ke rumah dengan selamat.
Gimana sih cara menggunakan aplikasi Uber?
Pertama, unduh aplikasi Uber di Google Playstore atau Apple Appstore atau Window Store.
Kedua, buka aplikasinya, lalu tentukan lokasi penjemputan.

Menentukan lokasi penjemputan
Ketiga, masukan tempat tujuan kita.
Keempat, nah ini salah satu yang super penting. Setelah konfirmasi lokasi penjemputan dan lokasi tujuan, kita bisa melihat estimasi biaya. Mengetahui estimasi ongkos bisa menghindarkan kita dari kekurangan dana
August 21, 2016
[Cerpen] Bapak Berbulu Luwak
Bapak Berbulu Luwak
Oleh Eva Sri Rahayu
Saat kopi Luwak buatan Bapak masih beraroma hutan liar bercampur kuaran bau tanah tersiram hujan, aku suka sekali menyesap uapnya. Dari kopinya kudengar alunan angin menggoyangkan pohon-pohon kopi. Namun hanya sekali saja aku mencicipinya, terlalu pahit di lidah bocahku yang baru tujuh tahun. Apalagi rasanya bertahan berjam-jam di kerongkongan. Bahkan rasa obat warung yang diberi Ibu ketika kepalaku pusing lebih enak ditelan. Aku baru memahami nikmat kopi Luwak setahun sebelum lulus SD. Kafein di dalamnya membuatku tak kuyu meskipun berjam-jam membaca bertumpuk-tumpuk buku. Kopi pun akhirnya kupakai sebagai penawar sakit kepala menggantikan obat warung. Kini kopi Luwak bikinan Bapak beraroma apak dan tengik, kopinya bukan hanya bau, tapi selalu memekik lirih dengan suara Musang Luwak yang sekarat.
Aroma kopi Bapak berubah perlahan-lahan sejak bertemu kawannya dari Jakarta. Dengan dandanan perlente dia mengiming-imingi Bapak bergabung dengan usaha coffeshop-nya yang menyajikan kopi Luwak eksklusif.
“Ugeng, tambahlah kau punya Luwak, jumlah segitu manalah cukup menghasilkan banyak kopi. Seluruh dunia lagi rakus kopi Luwak. Mana bisa cukup kopi-kopimu memberi minum mereka semua,” ucap kawan bapak ketika aku menyuguhkan kopi ke meja.
Sekilas ketika aku melewati Bapak untuk kembali ke dapur, kulihat kepalanya mengangguk-angguk dengan bibir mengepulkan asap rokok.
Minggu itu luwak di perkebunan kopi kami bertambah puluhan ekor, entah dari mana Bapak mendapatkannya. Setelah itu Bapak membuat kandang-kandang baru dari kayu. Tiap kali Bapak memasukkan luwak-luwak yang telah dianggapnya anak-anak sendiri ke dalam kandang, kulihat beliau meminta maaf tulus pada mereka. Meski hanya mendapat jawaban tak jelas dari mata bening coklat mencuat si luwak. Semusim itu, Bapak begitu telaten mengurus luwak. Bapak tampak begitu keras membungkam rasa bersalah di dadanya akibat mencerabut kemerdekaan hidup mereka. Setiap hari, Bapak memberikan pisang dan pepaya yang telah dikupas untuk mereka makan. Seminggu sekali, diberinya juga mereka burung-burung kecil untuk disantap. Hanya seminggu dua kali saja Bapak memberi buah-buah kopi untuk dimakan luwak. Itu pun buah-buah kopi ceri yang matang dan berwarna merah segar dari perkebunan kopi Bapak seluas tiga hektar. Saat itu, aku masih senang menemani Bapak dan lima pegawainya memanen kopi.
Kemudian, hari titik balik perubahan tabiat Bapak datang. Ketika itu aku tengah membantu Ibu menyangrai kopi-kopi yang telah bersih dari kotoran luwak dan dijemur berhari-hari di bawah terik matahari. Biji-biji kopi hampir berubah warna menjadi hitam pekat saat Bapak masuk ke dapur untuk memintaku menyeduh dua gelas kopi. Kawan Bapak rupanya sudah bertandang lagi.
Gelas kopi yang kupindahkan dari atas nampan hampir saja jatuh saat mataku terpaku pada tumpukan uang di meja. Kutaksir jumlah uang itu lebih banyak dari yang pernah kami miliki. Kulirik Bapak untuk melihat reaksinya. Bola mata Bapak berbinar cerah, mukanya kemerahan dimabuk kebahagiaan.
“Ini tak seberapa, Geng. Kau bisa dapat berlipat-lipat lagi kalau hasil kopimu berlimpah. Ada teman yang siap mengekspor kopimu ke luar negeri.”
“Tapi… bagaimana caranya, Zam?”
“Kudengar dari pegawaimu, luwak-luwak itu hanya kau beri buah kopi seminggu dua kali. Beri mereka kopi tiap hari. Kalau perlu, tak usah kau kasih makan apa-apa lagi,” jelas si Kawan dengan mata licik.
Musim panen berikutnya Bapak seperti kesetanan. Belasan luwak yang dikirim lagi ke rumah dijejal-jejalkan Bapak dalam beberapa kandang saja. Pepaya, pisang, dan burung-burung kecil berangsur-angsur dikurangi jumlahnya, hingga menghilang sama sekali dari gudang, menyisakan buah-buah kopi ceri beraneka warna. Padahal buah kopi ceri hijau belumlah lagi matang. Tangan-tangan Bapak telah terampil berkhianat pada kata hati saat memberikan buah-buah kopi ceri mentah itu pada luwak. Binatang-binatang itu hanya dipaksa makan buah-buah kopi. Tak peduli usus-usus mereka luka. Otak Bapak telah dipenuhi tai-tai luwak. Musim demi musim panen terus memudarkan jiwa Bapak. Mata Bapak tak lagi menyorotkan kasih sayang sebagai seorang ayah, kopi dan luwak buat Bapak sekarang hanya mesin pencetak uang. Bapak tak peduli kualitas kopi lagi, yang beliau butuhkan hanya kuantitas saja. Makin banyak, makin uang mengalir ke kantongnya. Bapak seperti ular berubah kulit.
Bukan hanya Bapak satu-satunya yang berubah. Aku pun telah berubah.
Aku tak lagi mau memanen buah-buah kopi. Tak sanggup memperdayai nurani. Dan karena tak kutemukan lagi Bapak yang dulu berkisah, “Kopi Luwak muncul dari kesengsaraan para petani yang begitu menginginkan minum kopi hingga mengolah biji-biji di tai luwak. Kita beruntung bisa meneguknya tiap hari. Ingat, Wan, nikmatnya kopi Luwak itu karena luwak pintar memilih buah-buah kopi terbaik. Kemudian ada proses di dalam usus luwak yang menjadikan rasanya unik. Karena itu kita mesti berterima kasih pada luwak-luwak itu, memperlakukan mereka seperti keluarga.”
Aku pun tak lagi mengurus luwak-luwak. Tak mampu menatap tubuh-tubuh ringkih yang jumlah bulu rontoknya bertambah dari hari ke hari.
Dan… aku pun berhenti minum kopi Luwak karena rasanya seperti menelan darah luwak.
“Pak, itu si Tua sakit. Mau diapakan, Pak? Kita panggil dokter hewan?” lapor salah satu pegawai Bapak. Tua adalah nama luwak pertama yang Bapak miliki. Usianya telah serenta namanya. Tua beruntung masih diberi nama, karena luwak-luwak Bapak yang lain tidak lagi bernama, mereka hanya bernomor, seperti uang.
“Jangan, Jen. Jual saja itu ke tetangga. Kemarin Bu Nursimah perlu untuk mengobati anaknya yang sakit asma,” perintah Bapak.
Seandainya saja memang tujuan Bapak mulia untuk membantu kesembuhan anak Bu Nursiah, tentu aku tak akan segusar ini. Tapi aku tahu betul, Bapak hanya tak mau rugi. “Pak, jangan, Pak. Kita obati saja dulu,” sergahku.
“Halah, repot!” gerutu Bapak sambil mengibaskan tangan, memberi tanda pada Jejen untuk segera melaksanakan perintahnya.
Aku berjalan cepat mengekori Jejen. “Jen, si Tua jangan diapa-apain,” kataku setegas mungkin. Jejen hanya menghela napas sembari mengangkat bahu.
Kakiku baru saja akan melangkah ketika suara Bapak menggelegar memecah siang. “Bapak tidak suka dibantah! Berani-beraninya kamu melarang Jejen melanggar perintah Bapak!”
“I… itu… bukan begitu, Pak. Ridwan hanya kasihan sama luwaknya,” ucapku terbata-bata.
Bapak bahkan tak mendengar kata-kataku, beliau mengambil arit, kemudian melesat ke kandang luwak. Dikeluarkannya si Tua, lalu tangan kekar itu terpeciki darah Tua yang meregang nyawa. Tatapan mata Bapak dan Tua terekam dalam di kepalaku. Pendarnya terlalu kontras. Bapak bukan lagi seperti manusia.
Perlahan-lahan penglihatanku menampakkan sesuatu yang merindingkan bulu roma. Di sekujur tubuh Bapak tumbuh bulu-bulu. Mula-mula munculnya di tangan yang terciprati darah si Tua. Hidungnya memanjang menjadi mencong. Bibirnya mengerucut kecil. Jika musang bisa berbulu domba, bapakku berbulu luwak. Kuusap-usap mata dengan jari jemari, tapi pemandangan itu tak berubah sama sekali. Bapak melihat perubahan di ekspresi wajahku, aku tahu dari pertanyaannya yang terdengar seperti cicitan. Gegas aku berlari mengunci diri di kamar, meninggalkan Luwak Bapak yang kebingungan.
Malam itu jangkrik yang berbunyi nyaring berhasil membangunkanku. Setengah pusing aku bangun dari tempat tidur. Perlahan ingatan tentang Bapak yang berubah menjadi luwak memenuhi kepalaku. Pasti sekadar mimpi. Tidak mungkin manusia berubah menjadi luwak seperti dalam cerita-cerita horor. Namun betapa terkejutnya aku saat membuka pintu kamar. Bapak masih setia dengan tubuh luwaknya. Berdiri dengan dua kaki di depan cermin besar yang menempel pada pintu lemari hias. Matanya terus menekuri cermin dengan bulu-bulu tegak. Bapak telah sepenuhnya bermetamorfosis. Panjangnya kutaksir kurang dari seratus senti. Bulunya berwana abu-abu kecoklatan. Jalur di punggungnya berupa lima garis gelap yang terbentuk oleh bintik-bintik besar. Dahinya berwarna keputih-putihan persis uban rambutnya ketika masih berwujud manusia.
Aku bergidik. Tak lama kupaksakan diri mencari Ibu dan semua pegawai Bapak. Tidak kutemukan satu pun manusia di rumah ini. Saat kupanggil Ibu, bukannya sahutan, yang terdengar hanya gaung suaraku melebur dengan cicitan gelisah luwak-luwak dari kandang-kandang mereka. Binatang-binatang nokturnal itu telah aktif. Bapak ikut mencicit padaku.
“Bapak?” tanyaku pada luwak di depan cermin. Memastikan bahwa ini bukan halusinasi.
Luwak itu mencicit sambil mengangguk.
Mendadak aku tahu apa yang mesti kuperbuat. Aku menghampiri Luwak Bapak, kugendong tubuh ringannya. Kubawa Luwak Bapak menuju ke kandang. Awalnya Luwak Bapak tenang-tenang saja di dekapanku, tapi saat menyadari aku akan memasukkannya ke kandang, Luwak Bapak melawan. Perlu mengerahkan segenap tenaga supaya Luwak Bapak bisa kujejalkan bersama belasan ekor lain di kandang paling gelap dan sempit.
“Lihat baik-baik dari sana, Pak,” kataku dengan sorot mata tajam.
Aku membuka satu per satu kandang luwak, mengeluarkan seluruh isinya. Mereka berlarian bebas, sebagian terpincang-picang. Luwak Bapak mencicit keras, mungkin beliau sedang menjerit frustrasi. Setelah semua kandang kosong hingga menyisakan satu kandang tempat Luwak Bapak berada, aku mendekatinya. Kubuka pintu kandang itu setengah hingga luwak-luwak bisa keluar, hanya Luwak Bapak saja yang kutahan meski tanganku terluka oleh cakaran kuku-kukunya.
“Tenanglah, Pak. Aku akan memperlakukan Bapak dengan baik,” tutupku sebelum meninggalkannya pada malam.
Paginya kutemukan Luwak Bapak tengah kelaparan. Maka aku memetik buah-buah kopi ceri hijau untuk sarapannya. Pada mulanya Luwak Bapak tampak tak selera melihat buah-buah kopi ceri muda itu. Tapi rasa lapar telah mendorongnya memakan yang ada. Begitu juga dengan sorenya. Berulang hingga keesokan harinya.
Ada yang berbeda hari ini. Luwak Bapak telah mengeluarkan kotorannya. Kusendok untuk kuperlihatkan pada Luwak Bapak. “Lihat, Pak. Ini tai kopi pertama Bapak. Bapak pasti bangga kan?” tanyaku. Luwak Bapak hanya mondar-mandir gusar.
Tubuh Luwak Bapak dari hari ke hari kian ringkih. Luwak Bapak makin sering mogok makan buah-buah kopi. “Makanlah, Pak. Jangan keras kepala begitu,” ucapku saat menemukan buah-buah kopi masih tak tersentuh. Luwak Bapak mengangkat kepalanya sedikit untuk melihatku. Matanya tak jernih. Sepertinya sakit. Setelah kutunggui berjam-jam, pada akhirnya Luwak Bapak makan juga karena tak kuat melawan lapar.
Aku telah mengumpulkan tai-tai Luwak Bapak selama seminggu. Kotoran-kotoran itu kujemur hingga kering, lalu kutumbuk agar biji-bijinya terpisah, kemudian kutampi hingga hanya menyisakan biji-biji kopi. Kucuci hingga bersih, dan menyangrainya bersama pasir sampai hitam sempurna. Setelah melewati beberapa proses lagi, kuseduh kopi Luwak pertamaku setelah bertahun-tahun berhenti mencecap rasanya.
Napas Luwak Bapak tampak satu-satu ketika aku mendekati kandangnya.
“Pak, ini kopi dari tubuhmu. Akan kuminum selagi panas. Aku selalu ingat kata-kata Bapak. Rasa kopi terus berubah seiring suhunya merambat dingin.”
Aku menyesap kopi kental perlahan, merasakan cairan hitam membasahi kerongkongan. Menikmati aroma belantara yang melekat pada kopi. Rasanya tak pahit. Kopi paling nikmat seumur hidupku, yang keluar bersama feses Bapak yang memerah oleh darah.
***
August 10, 2016
12 Cara Mempromosikan Buku [Bagian Pertama]
Setelah rangkaian riset-menulis-revisi-editing-revisi-editing melelahkan yang bikin Naruto yang punya energi melimpah ruah sekalipun ingin mengibarkan bendera putih, satu karya masih harus melewati proses panjang penerbitan. Sesudah buku cetak dan disebarkan, apakah selesai di sana? Tentu saja tidak, masih ada satu lagi perjalanan terjal setara berenang gaya koprol di Samudera Atlantik yang mesti diperjuangkan: Promosi Buku. Sebagai penulis, saat ini lebih baik untuk berperan aktif dalam mempromosikan buku. Tidak pasif saja menyerahkan semuanya pada penerbit dan berharap buku langsung best seller lalu difilmkan. Apalagi kalau buku kita diterbitkan secara indie, sudah pasti penulis harus siap menjadi garda terdepan dalam mempromosikan bukunya. Tentu saja pilar pertama yang akan mempromosikan adalah kualitas karya itu sendiri. Jadi ketika kamu menulis penuh cinta dan sebaik mungkin, itu sudah satu langkah mempromosikan karyamu. Karena itu menulislah sebaik-baiknya, Karena karya akan lebih banyak bicara. Kebanyakan penulis pemula sering bingung harus melakukan apa saja dalam kegiatan promosi ini. Jangan sedih dulu dan tebar-tebar drama, kamu mungkin bisa menerapkan 12 cara mempromosikan buku ini.
12 Cara Mempromosikan Buku:
Buat Book Trailer
Kamu pasti sering menonton trailer film kan? Book trailer tidak jauh beda dengan trailer film, hanya produk yang dipromosikannya berbeda, Jangan memikirkan kalau membuat book trailer itu jelimet. Tenang, rambut keritingmu tidak akan berubah lurus, atau rambut lurusmu tidak akan tiba-tiba keriting karena saking mumetnya memikirkan pembuatan book trailer. Ada bermacam-macam book trailer dari yang simpel sampai yang rumit, dari yang biaya pembuatannya murah meriah sampai yang memerlukan budget tinggi. Paling penting adalah membuat book trailer semenarik mungkin. Seperti juga deadline, percaya deh kepepet dan keterbatasan akan mengasah kreativitasmu.
Book trailer bisa berupa video pendek yang diperankan oleh manusia, dapat berbentuk motion comic, atau kumpulan slide-slide gambar. Usahakan hak cipta semua materi yang dipakai adalah milikmu. Bisa menggunakan karya orang lain yang bebas dipakai untuk segala kepentingan. Atau kamu dapat menghubungi pemilik karyanya dan bekerja sama dalam satu kolaborasi. Misalnya kamu memakai musik band indie, mintalah baik-baik pada mereka untuk menggunakannya bukan menodong dengan mode senggol bacok, sehingga ketika book trailer-mu diunggah di Youtube, book trailer-mu tidak akan di-banned .
Book trailer berupa film pendek manusia. Kalau kamu memilih bentuk seperti ini, kamu harus membuat skenarionya dulu berdasar bukumu. Ambil satu atau beberapa adegan menarik yang menggambarkan bukumu. Hati-hati spoiler ya. Contoh proses pembuatan book trailer yang saya buat dengan metode ini bisa kamu baca di Behind The Book Trailer – TwiRies contoh hasilnya bisa kamu tonton di
Namun tidak mesti melulu orang- orang yang berperan. Kamu juga dapat membuat video berupa pemandangan, jalan, kesibukan orang-orang, scrapbook, atau apa saja yang sesuai dengan cerita bukumu, padukan dengan narasi yang dibacakan narator. Cara ini lebih simpel, murah, dan bisa kamu lakukan sendiri. Kamu dapat mengambil video menggunakan kamera ponse, dan mengedit sendiri dengan mengisi narasi yang juga kamu bacakan sendiri.
Book trailer berupa motion comic. Pembuatannya sama saja, yaitu menuliskan skenario komiknya dulu, kemudian digambar sendiri atau meminta bantuan ilustrator. Cara membuat skenario komik bisa kamu baca di Tips Membuat Skenario Komik. Karena saya tidak bisa menggambar komik, saya bekerja sama dengan ilustrator. Tapi kalau kamu suka bereksperimen dan suka menggambar, buat saja sendiri, lumayan memangkas budget. Komik yang dibuat harus ber-layer-layer, supaya bisa dianimasikan. Selain gambar, musiknya mesti diperhatikan. Pengalaman saya sih, dulu berkolaborasi dengan penyanyi indie. Saya diberi izin menggunakannya, tentu dengan mencantumkan pemilik hak ciptanya. Contoh book trailer motion comic yang pernah saya buat bisa ditonton di
Book trailer berupa slide gambar. Slide-slide-nya bisa kamu isi dengan blurb bukumu, dan quotes-nya. Gambar yang digunakan sebaiknya milikmu, bisa berupa gambar kreasimu sendiri atau foto yang kamu ambil. Bila tidak memungkinkan, kamu bisa meminta bantuan teman, atau memakai foto/gambar yang hak ciptanya telah dibebaskan. Book trailer model ini pembuatannya sangat simpel dan tidak memerlukan budget tinggi.
2. Bagikan Teaser Bukumu.
Posting satu sampai dua bab karyamu di blog atau Wattpad agar bisa dibaca secara bebas. Sebelumnya kamu harus meminta izin dulu pada penerbit, karena sangat memungkinkan penerbit tidak memperbolehkannya. Cara ini lazim dilakukan pada penjualan e-book. Coba saja kamu buka google play book, kamu bisa mengakses beberapa bab pertama buku dengan gratis. Dengan begitu, Pembaca bisa menentukan apakah akan membeli karyamu atau tidak. Memang membutuhkan kepercayaan diri tinggi untuk menggunakan promosi cara ini.
3. Sebarkan Photo Quotes di Media Sosial
Kalau kamu termasuk penulis yang memilih personal branding aktif di media sosial, kamu bisa menyebarkan photo quotes bukumu di semua akun. Buat foto sebagus mungkin atau memakai foto yang bebas digunakan–tentu saja yang sesuai dengan quotes-nya, lalu sebarkan di Instagram, Twitter, Facebook, dan lainnya. Pilih quotes yang jleb sehingga pembaca tertarik pada bukumu.
Contoh photoquotes
4. Buat Behind The BookProses menelurkan karya selalu menarik dan berwarna-warni, tidak kalah seru dengan isi buku itu sendiri. Buat satu artikel curhat tentang proses pembuatan bukumu. Ceritakan bagaimana jatuh bangunnya riset yang kamu lakukan, pencarian penerbit–kalau ada drama penolakan bisa banget kamu masukkan, proses revisi yang membuatmu bermimpi buruk, sampai pemilihan cover yang bikin sedilema memilih pasangan. Bentuknya bisa juga dikreasikan. Misalnya saya mengkreasikannya menjadi fun fact.
Contohnya bisa kamu baca di Behind The Book: Di Balik Pelit dan Kisah Di Balik Cerpen Saya.
5. Bekerja Sama dengan Blogger Buku.
Supaya bukumu dari awal sudah ada gaungnya, bekerja samalah dengan para blogger buku untuk diresensi. Harap dicatat, kamu tidak bisa menyetir resensor untuk ‘hanya’ memberikan review bagus tanpa memasukkan kritikan. Itu terjadi secara alamiah, kalau karyamu memang matang, mereka sudah pasti akan memberikan apresiasi berbentuk pujian. Para resensor ini punya standar kualitas review yang sudah ditetapkan masing-masing, ketika mereka merekomendasikan buku, mereka juga sedang mempertaruhkan penilaiannya. Lebay? Tidak. Itu faktanya. Supaya kamu tidak drop ketika membaca masukan atau kritikan dalam ulasannya, ada baiknya kamu stalking dulu blog-blog para blogger buku itu. Kamu bisa memilih gaya review mana yang sesuai dengan karaktermu. Kalau kamu baperan, pilihlah resensor yang menyampaikan kritikan dengan halus. Para blogger buku itu bukan kepengin dapet buku gratisan, mereka membantu promosi buku karena murni atas kecintaan terhadap dunia literasi. Kalau bukumu dibaca banyak orang, mereka ikut bahagia.
Contoh review saya untuk novel Me Vs Daddy
6. Membuat Blog Tour
Ada kemiripan dengan meminta review dari blogger buku–salah satunya karena blog host biasanya memang blogger buku juga, dalam blog tour juga bukumu akan diulas. Bedanya, blog tour sepaket dengan giveaway, dan ada jadwal postingan berantai di beberapa blog. Kalau di-review saja oleh blogger buku, jadwalnya tidak pasti kapan-kapannya. Postingan blog tour juga bisa dipecah menjadi beberapa artikel. Misalnya artikel review, artikel wawancara penulis, dan postingan giveaway-nya. Biasanya penerbit sudah mengakomodir promosi model ini. Penulis dan editor bisa berdiskusi mengenai pemilihan blog-blog yang akan diajak dalam blog tour bukumu. Ada beberapa kriteria memilih host blog, kualitas ulasannya, banyaknya followers akun media sosialnya, sampai seberapa ramai blognya. Sama seperti bentuk kerja sama dengan blogger buku, kamu bisa stalking dulu blog-blognya untuk menentukan blog host yang sesuai.
Contoh Blog Tour ketika saya menjadi blog host Blog Tour Novel Anak Pohon, Blog Tour Novel Tiger On My Bed [Review] , dan Blog Tour Novel Tiger On My Bed [Giveaway] .
Itu baru enam dari 12 cara mempromosikan buku. Artikelnya saya bagi menjadi dua postingan karena panjang-panjang. Akan saya sambung di artikel berikutnya. Semoga bermanfaat ya ^ _ ^ Boleh banget kamu share cara promosi bukumu di komentar, atau kirim buntelan buku ke rumah saya
August 4, 2016
[Review] Me Vs Daddy Karya Sayfullan
Hubungan orangtua dan anak kadang rumit. Perbedaan usia dan pengalaman menyebabkan sudut pandang sering kali tak sejalan. Namun kadang kala, masa lalulah penyebabnya. Seperti yang diangkat Sayfullan dalam novel “Me Vs Daddy” ini.

Penampakan Sayfullan
Kenalan dengan Sayfullan
Sayfullan adalah nama pena dari Saiful Anwar. Lulusan Teknik Kimia Universitas Diponegoro ini sangat menyenangi dunia tulis-menulis. Kocak dan gokil adalah kata yang pas untuk menggambarkan karakternya.
Pemain teater ini memiliki banyak hobi, selain menulis, dia juga sangat menyukai renang, volly, dan lari. Namun semua hobby olahraganya harus rela ditinggalkan karena penyakit gagal ginjal yang dideritanya. Dia juga masih melaksanakan rutinitas hemodialisa dua kali seminggu. Penyakit itu tidak merenggut semangatnya untuk terus berkarya dan menyebarkan inspirasi.
Sayfullan bisa dihubungi di Email: eter.233@gmail.com, twitter : @sayfullan dan Facebook : rawna_lufias@yahoo.co.id
Data Buku
Judul : Me Vs Daddy
Penulis : Sayfullan
Penerbit : deTEENS (Diva Press Group)
Tebal : 219 Halaman
Editor : Vita Brevis
ISBN : 9786023912025
Blurb :
Karel dan eclair. Kecintaan Karel terhadap kue kering berbentuk panjang berisi aneka krim pasta ini bukan cuma karena rasanya yang legit dan enak. Mengingatkannya juga pada Claudia, mendiang sang mama. Namun, Marvin ingin Karel mengikuti jejaknya dalam bidang properti. Kopanda Cafe dan Eclair Shop adalah ajang pertaruhan antara anak dan ayah. Karel harus bisa membuktikan kemampuannya. Jika tidak, konsekuensi berat menunggunya.
Review Buku
Saya merindukan membaca novel lokal yang bercerita tentang hubungan anak dan orangtua yang harmonis. Karena saya lebih banyak membaca buku yang menceritakan bagaimana teman-teman justru lebih berarti ketimbang orangtua karena lebih paham dunia mereka dan menjadi penyemangat dari keterpurukan. Kalau dari judul dan blurbnya, novel “Me Vs Daddy” memiliki problematika yang senada. Yaitu hubungan orangtua dan anak yang renggang. Tapi saya merasa bahwa novel ini pada akhirnya akan memberikan solusi yang baik untuk memperbaiki hubungan buruk itu. Maka mulailah saya menyantap bab demi bab.
Judul “Me Vs Daddy” cukup provokatif dan menjanjikan konflik menarik. Cover-nya sederhana namun cukup eye catchy. Tapi saya justru dibuat penasaran oleh tagline-nya, yaitu “Antara kenangan masa lalu dan rasa bersalah”. Terus terang, saya punya ketertarikan khusus pada kisah-kisah masa lalu kelam yang mengunci jiwa dengan rasa bersalah. Saya selalu penasaran, bagaimana penulis membuat tokohnya akhirnya bisa berdamai dengan masa silam dan memaafkan dirinya–kalau akhirnya itu yang terjadi. Kemudian, blurb novel ini saya nilai memiliki daya jual. Pendek tapi langsung mengena pada konflik.
Dalam waktu satu jam saja, saya sudah menuntaskan delapan bab pertama. Karena bab pertamanya sudah menyajikan konflik tanpa basa-basi. Dimana dikisahkan bahwa Karel menemui ayahnya untuk meminta restu dan modal menjalankan usaha kafe Kopanda sebagai manajemen sekaligus chef cake dan ahli patisserie. Permintaan itu berbuah ajang pertaruhan antara ayah dan anak. Bab awal yang memicu penasaran.
Sedangkan, konsep vintage dari Kopanda terlihat dari adanya susunan batu bata kasar di dinding bagian bawah kafe yang sengaja tidak dihaluskan. Juga bingkai-bingkai pigura tanpa gambar dari kayu berpelitur coklat pekat yang tersebar di dinding berwarna krem itu berhasil menambah kesan eksotis, lampau, dan unik pada Kopanda. — Halaman 26
Penulis mendeskripsikan setting dengan detail tapi tidak berlebihan, membuat saya merasa akrab dengan tempat-tempat dalam novelnya. Begitu pula dengan kue-kue di kafe Kopanda, Sayfullan bukan hanya menarasikan bentuknya, tapi juga rasa dan keharumannya.
Semua yang kami sajikan di sini adalah wujud harapan dan mimpi yang luar biasa dari kami — Halaman 31
Saya kemudian berkenalan dengan banyak tokohnya. Karel si tokoh utama yang digambarkan memiliki fisik manis namun teguh pendirian dan pekerja keras, Marvin sang ayah yang keras dan tampan, para pegawai kafe Kopanda yang solid, kemudian Jiana anak SMA yang cerdas tapi keras kepala, dan Renne ibu Jiana yang membesarkan anaknya seorang diri. Renne memiliki karakter keibuan, tapi agak centil. Dalam keberagaman karakter inilah saya mendapatkan humor ala Sayfullan. Chemistry tokoh-tokohnya cukup baik. Saya bisa merasakan harmoninya hubungan Renne dan Jiana. Namun chemistry Karel dan Jiana dibangun dengan terburu-buru, sehingga terasa kurang kuat. Tahu-tahu saja mereka sudah dekat. Pembaca tidak diajak step by step menyaksikan perubahan rasa antara mereka.
Karena sejujurnya dia tahu, menyesap kembali pekatnya kenangan bersama Claudia akan bermuara akhir pada lautan rasa sakit hati. –Halaman 15-16
Sayfullan memiliki gaya bahasa puitis yang di tempatkan di beberapa bagian yang pas, menjadikan novel ini enak dinikmati. Me Vs Daddy mempunyai diksi dan kosakata yang cukup kaya. Secara keseluruhan novel ini memakai bahasa ringan yang mudah dicerna. Sayang, untuk dialognya “Me Vs Daddy” tidak konsisten. Pada awal-awal, dialog Karel dan Marvin percampuran antara kaku dan santai. Saya sampai mengira bahwa mereka akan konsisten berdialog kaku, tetapi semakin ke sana, obrolan mereka makin cair. Bukan, bukan karena hubungan mereka membaik atau apa, tapi memang tidak konsisten saja. Permasalahan pemilihan gaya bahasa dialog ini pun membuat karakter Marvin menjadi tidak ajeg. Marvin tidak lagi tergambarkan sebagai sosok pria bertangan dingin, padahal belum ada kejadian yang bisa membuat karakternya bisa berubah. Syukurnya selain Marvin, meskipun kadang saya menemukan ketidakkonsistenan, tetapi tidak sampai terasa mengubah karakter tokohnya.
Bisa dibilang, cerita dalam novel ini terbagi ke dalam dua bagian besar. Pertama, kisah ayah dan anak Karel-Marvin. Kedua, tentang ibu dan anak Renne dan Jiana. Keduanya memiliki cerita dan konflik yang menarik. Karel-Marvin berkonflik karena Marvin tidak menyetujui impian anaknya sebab cita-cita Karel mengingatkannya pada sang istri. Hubungan Marvin dan Claudia istrinya kurang baik karena dia cemburu pada sahabat istrinya. Kemudian terjadi sesuatu yang membuatnya tenggelam dalam rasa bersalah. Lalu konflik Renne-Jiana berputar antara pengorbanan Renne melepas kariernya demi mengurus anaknya, dan pem-bully-an di sekolah Jiana. Benang merah konflik terletak pada Marvin dan Renne sama-sama memiliki masa lampau yang kelam dan kegagalan rumah tangga, sedang Karel dan Jiana memiliki impian yang tidak mudah diraih.
Dia pun akhirnya hanya bisa mencoba memejamkan mata. Berharap masa lalu bersama Claudia hilang, pejam oleh waktu dan zaman. — Halaman 24.
Konflik disampaikan lewat alur maju mundur sehingga pembaca diberi sedikit demi sedikit demi menjaga penasaran. Saya sendiri selalu menunggu bagian yang menceritakan masa lalu Marvin dan Renne. Namun, penulis memberi porsi yang berlebihan untuk kisah Renne dan Jiana, sehingga memungkinkan pembaca lebih merasa merekalah tokoh utamanya. Novel ini memiliki potensi konflik yang jelimet dan dalam, tetapi penulis memilih menyuguhkannya dengan ringan. Tapi saya suka bagaimana Sayfullan memasukan selipan-selipan humor di beberapa bab sehingga pembaca tidak bertubi-tubi disuguhkan ketegangan. Yang disayangkan adalah semua konflik yang disuguhkan tidak diberi pendalaman, dan penyelesaiannya terkesan mudah. Sehingga ketika pembaca baru akan larut, masalah sudah selesai duluan, tidak memberi ruang untuk tenggelam dalam empati. Misalnya perjuangan Karel menggapai impiannya, tidak ada batu besar yang menghalang, hanya kerikil-kerikil tajam yang mudah disingkirkan. Untungnya masalah Jiana cukup menggigit. Sayfullan tampak terburu-buru menyelesaikan konflik-konfliknya. Padahal konfliknya sangat menarik.
Bukankah selalu ada pertumbuhan dalam setiap fase kehidupan? — Halaman 25.
Bukan berarti novel ini tidak berhasil mentransfer emosi pada pembacanya. Pada beberapa bagian, terutama adegan masa lalu Marvin, Sayfullan berhasil mengaduk-aduk perasaan pembaca. Part-part Renne dan Jiana pun menyentuh. Saya selalu merasa hangat dan dekat tiap membaca bagian ketika mereka bersama. Dari hubungan ibu dan anak itulah dahaga saya akan cerita kedekatan orangtua dan anak terpuaskan.
Pada akhirnya, apa yang saya cari dari novel ini saya dapatkan. Pesan moral yang tidak menggurui, dan kisah orangtua anak yang bittersweet. Saya rekomendasikan novel ini untuk kamu yang menyukai novel ringan, menghibur, dan menghangatkan hati.
July 22, 2016
Cerpen “Hari Untuk Ibu” Dimuat di Taman Fiksi Edisi 4
*****Catatan: Cerpen ini dimuat di www (dot) Tamanfiksi (dot) com edisi keempat tahun 2015 lalu.
Hari Untuk Ibu
Oleh: Eva Sri Rahayu
Sejujurnya aku selalu enggan mengunjungi Ibu. Sebisa mungkin aku akan menghindari pertemuan dengan berbagai alasan, meski harus mengarang sekalipun. Namun, hari ini hari ulang tahunnya. Sebagai anak, rasanya keterlaluan kalau aku tidak datang. Karena itu aku mengumpulkan seluruh keberanian untuk dapat duduk berhadapan dengan Ibu di dapur rumah tempat aku dibesarkan.
“Selamat ulang tahun, Bu,” ucapku sambil memegang tangannya yang makin dipenuhi keriput.
Wajah Ibu yang bulat dihiasi senyuman, dia lalu mengangguk pelan, dilepaskannya peganganku, kemudian berdiri. Meskipun memunggungiku, dari gerakan tangannya aku tahu beliau sedang memotong sesuatu. Ketika Ibu berbalik, aku melihat sepotong kue yang terlihat enak dan mahal di tangannya. “Ini dari kakakmu, tadi dia ke sini membawakan kue ulang tahun. Padahal Ibu sudah bilang jangan repot-repot,” katanya, sambil menyodorkan kue itu padaku. Mata Ibu berbinar, tampak sangat jelas beliau begitu bangga pada kakakku itu.
Hatiku langsung berdenyut. Ah, iya, aku tidak membawa apa-apa. Aku tidak sanggup membawakannya sesuatu, bahkan barang murah sekalipun. “Maaf, Bu, tadi aku ketinggalan kadonya,” ujarku gugup sembari mengusap rambut pendekku yang sebenarnya tidak butuh dirapikan—rambut itu kupotong sampai tengkukku terlihat agar tidak menghabiskan banyak biaya perawatan. Kebohongan entah keberapa yang kulontarkan padanya, aku tidak ingat jumlahnya, karena terlalu terbiasa berdusta.
“Tas yang kamu janjikan waktu pulang dari Bali saja lupa terus. Kamu itu kebiasaan bohong,” ucap Ibu tajam. Aku menelan ludah mendengarnya tanpa mampu membalas apa-apa.
Sebenarnya aku memang belum membelikan tas itu, aku tidak punya uang. Yang membuatku terpaksa berjanji karena takut dianggap anak pelit. Waktu itu aku memang mendapat proyek cukup besar di Bali, tapi hutangku yang terus menumpuk jauh lebih besar lagi. Aku sudah ditagih-tagih, bahkan dengan tidak hormat. Hutang-hutang itu muncul bukan karena gaya hidupku yang hedon, semuanya kupakai untuk bertahan hidup, dan … demi menjaga gengsiku di mata Ibu.
“Mama, Ika mau minum susu,” celoteh Triska, anakku. Tangannya sibuk menjawil-jawil rok lipitku.
Buru-buru aku membuka tas, mengeluarkan kaleng susu formula yang masih penuh. Aku menghindari pandangan Ibu yang kurasa sedang menelitiku.
“Susunya masih yang lama, kan?” selidik Ibu. Yang dimaksudnya adalah susu formula paling mahal di pasaran. Ibu memaksaku menggunakannya karena kakakku memberikan susu itu untuk anaknya.
“Iya,” jawabku sembari menyibukan diri dengan membuat susu, sebisa mungkin menghindari kontak mata dengan Ibu, takut ketahuan berbohong lagi karena isi kaleng itu telah kuganti dengan merek susu lain yang bisa terjangkau dengan penghasilanku.
Di depan Ibu, aku tidak ingin terlihat miskin. Aku selalu takut keluarga kecilku dihinanya. Sebisa mungkin aku menyembunyikan kesulitan keluargaku padanya, aku tidak ingin suamiku yang hanya pegawai toko itu terus direndahkan. Yah, keadaan kakakku memang jauh lebih baik dari kami. Suaminya anggota dewan, sekalipun dia hanya ibu rumah tangga, segalanya lebih dari tercukupi. Beda denganku yang harus ikut banting tulang kerja serabutan.
“Sudah lama kamu tidak menitipkan Ika pada Ibu, apa kamu belum dapat proyek?” tanya Ibu heran, kedua alisnya bertaut hingga kerutan halus di keningnya tampak makin jelas.
“Ada kok, Bu. Aku sekarang nulis artikel buat website,” jawabku jujur.
“Ah, kerja begituan kan tidak menghasilkan. Triska sudah makin besar, sebentar lagi masuk SD, butuh biaya gede. Kamu harus punya tabungan, Gia. Mendingan cari kerja yang bener,” nasihat Ibu.
Aku menghela napas dalam-dalam, bingung menjawab apa. Dulu aku pernah kerja kantoran, sayangnya aku berenti sebelum habis masa kontrak. Ibu mengatakan sudah tidak kuat mengurus Triska yang waktu itu sedang belajar berjalan. Usia Ibu memang sudah menginjak enam puluh lebih, wajar kalau mudah lelah. Sementara kalau kutitipkan pada day care, Ibu juga tidak setuju, malah menyebutku ingin membuang anak. Aku dihadapkan pada dilema antara pekerjaan dan keluarga.
Setelah berhenti, sekarang aku bekerja berdasarkan proyek saja agar hanya sesekali meninggalkan Triska. Supaya lebih banyak waktu untuk membesarkannya. Tapi toh ternyata itu tidak cukup. Ibu tetap menuntut banyak padaku. Lalu sekarang, Ibu menyuruhku untuk bekerja lagi. Hidup ini memang jenaka, terdiri dari lelucon tuntutan dan kepentingan.
Aku menatap wajah Ibu yang sedang menanti jawabanku. Kali ini akulah yang menelisiknya. Bertanya-tanya apakah Ibu pernah punya mimpi yang ingin digapainya, yang dibuangnya untuk anak-anaknya. “Bu, apakah Ibu dulu punya impian?” tanyaku tanpa bisa ditahan.
Ibu mengernyit. “Tentu saja, kebahagiaan kalianlah impian Ibu.”
Mendengar itu aku tersenyum miris. Ibu, betapa mulianya engkau. Andai aku sepertimu. Andai aku … seperti … ah, tidak! Aku tidak ingin menjadi sepertimu. Aku tidak mau memenuhi hidup anakku dengan kepalsuan.
“Katanya CPNS sudah dibuka,” Ibu kembali mengarahkan pembicaraan pada jalur yang diinginkannya.
“Oh, yah. Nanti aku coba cari infonya, Bu. Tapi gimana nanti Triska? Ibu kan sudah tidak kuat menjaganya,” kataku ragu-ragu.
“Gaji PNS kan besar, kamu bisa gaji pembantu untuk bantu Ibu,” jawab Ibu mantap.
Hmm, iya, semuanya kembali soal uang. Kemudian hening di antara kami. Aku melemparkan pandangan ke jendela, menatap jajaran bunga kacapiring. Suara samar nyanyian Triska memecah kesunyian di antara kami. Aku dan Ibu sama-sama memusatkan perhatian pada Triska yang sedang menyanyi sambil menari kecil di dekatku.
“Ika cucu Nenek sayang, sudah lama ya Nenek tidak melihat Ika menari balet. Coba Nenek mau lihat.” Deg! Jantungku rasanya berhenti berdetak mendengar perkataan Ibu. Triska sudah hampir setahun ini kuberhentikan dari les baletnya tanpa sepengetahuan Ibu.
Bukan hanya aku yang kaget, wajah Triska pun memperlihatkan ekspresi keterkejutan. Dia lalu menatapku takut-takut. Aku menjawab mata bening itu dengan intimidasi, seolah berkata “Jangan katakan apa-apa pada Nenek kalau kamu tidak ingin Mama dimarahi.” Triska menunduk, sebelah tangannya yang tidak memegang gelas memainkan pita di bajunya. Sedari dulu ibulah yang mendesak agar Triska ikut les balet agar hobinya tersalurkan, sedangkan aku memaksakan diri berhutang untuk membiayainnya demi dianggap sebagai orangtua yang baik.
“Ika, kenapa, Sayang?” tanya Ibu lembut sembari tanganya berusaha menjangkau rambut keriting sebahu Ika. Tapi Ika malah membenamkan wajahnya ke perutku. Ibu menatapku tajam, mata itu tampak marah. “Gia, jujur pada Ibu. Triska masih kamu les baletkan, kan?” tanya Ibu lagi, kata perkata disampaikannya penuh penekanan.
“Itu … tempat lesnya tutup, Bu. Katanya … kurang siswa,” jawabku gagap. Kentara sekali aku memalsukan fakta.
“Jangan bohong, Gia! Kenapa kamu berhentikan? Tidak ada uang? Katakan pada Ibu, nanti Ibu yang bayar!” bentak Ibu.
“Ada … ada kok, Bu,” ucapku.
“Ah, memang kapan sih kamu punya uang,” sindir Ibu. Seketika itu hatiku seperti dilanda badai. Ya, memang pada akhirnya selalu Ibulah yang membiayai keperluan-keperluan besar Triska. Mulai dari operasi kelahiran, ekahan, dan saat Triska dirawat di rumah sakit karena demam berdarah. Tapi mendengar kalimat itu tetap saja membuat ulu hatiku nyeri.
Prang! Bunyi gelas pecah membuat aku dan Ibu kembali menatap Ika yang sedang berdiri mematung. Kakinya penuh pecahan gelas bercampur air susu. Aku langsung naik pitam melihatnya. “Ika! Makanya hati-hati pegang gelasnya!” bentakku yang langsung membuat Ika menangis dalam diam. Kedua bahunya bergetar.
Aku berdiri, mengambil sapu dan pengki, memasukan pecahan gelas itu ke pengki dengan gerakan kasar penuh emosi. Tidak kuhiraukan Triska yang berkali-kali mengucapkan kata “Maaf”.
“Kamu itu kenapa sih jadi mudah marah begitu? Dulu kamu anaknya penurut dan sabar! Kenapa sekarang berubah begini!” teriak Ibu. Beliau lalu menggendong Triska.
“Iya, Bu, aku bosan jadi bonekamu!” balasku.
“Gia! Sekarang kamu selalu balas membentak Ibu!” ucap Ibu dengan suara bergetar. Ya, ledakan ini bukan kali pertama, entah sudah berapa kali kami cekcok begini. Seperti kata Ibu, aku memang telah berubah. Aku sudah tidak bisa meredam amarah lagi ketika diperlakukan kasar oleh Ibu. Aku tahu Ibu sakit hati, tapi hatiku lebih pedih.
“Tuh, Ika, gara-gara kamu Mama dimarahi Nenek! Puas kamu?” ucapku sambil memberikan tatapan setajam pisau pada Triska. Bocah itu menangis lebih keras.
“Jangan salahkan Ika atas ketidak becusanmu, Gia! Mikir!!! Dasar tidak punya otak! Cobalah jadi orangtua yang baik!” Ibu memberondongiku dengan makian. Sudah kenyang aku mendengarnya, tapi ternyata tidak juga kebal.
“Iya, Bu, aku memang orangtua gagal! Semua yang kulakukan selalu salah! Dari dulu Ibu selalu mengatakan aku orangtua yang buruk, kan?” kataku lagi, juga menaikan suara beberapa oktaf. “Ibu sudah berhasil mencuci otakku. Gara-gara perkataan Ibu, tidak pernah sedetik pun aku merasa menjadi seorang mama yang baik.”
Ibu tampat tersentak. Kulihat air mata melinangi pipinya. Nenek dan cucu itu saling berpelukan dalam tangis. Dadaku semakin sesak. Aku telah menyakiti keduanya. Namun sungguh, aku tidak bermaksud demikian. Aku sudah berusaha menahankan semuanya. Kemudian aku pun turut menangis, hingga dapur dipenuhi suara isakan.
Kutatap Ibu. Aku seperti melihat cerminan diriku. Mati-matian aku ingin menjadi bagian terbaikmu, Bu. Namun aku yang sekarang kembali terlahir dari sisi burukmu.
Pandanganku beralih pada Triska. Nak, jangan pernah menjadi pantulan Mama. Tapi aku sadar, dia telah kudidik menjadi sepertiku. Rantai karakter yang tidak terputus.
Entah berapa lama waktu berlalu yang kami habiskan dalam kesibukan pikiran masing-masing. Akhirnya kuputuskan untuk hengkang dari rumah ini. Kurenggut Triska dari dekapan Ibu. “Aku pulang, Bu,” pamitku sambil mengemasi barang. Ibu hanya diam saja, bergeming.
Kuseret Triska dalam langkah cepat-cepat. Triska masih menangis sesenggukan. “Diam, Ika!” bentakku. Tapi tangis Triska malah makin kencang. Langkahnya yang lamban membuat pegangan tangan kami terlepas. Aku tidak menurunkan kecepatan, kubiarkan Triska tertinggal di belakang.
“Huhuhu … Ika mau sama Mama. Ika mau, hiks, sama Mama. Hiks,” ucapnya lemah, tapi cukup membuatku mendengarnya.
Langkahku terhenti seketika. Aku berbalik untuk menatap Triska. Kulihat gadis kecilku merentangkan kedua tangannya, meminta kugapai. Hidungnya merah karena menangis lama. Hatiku tersentuh melihatnya.
“Mama … hiks, Ika mau sama Mama, hiks,” katanya lagi dengan tangan menggapai-gapai. Mata itu penuh kasih sayang meskipun terluka. Perasaan yang tulus dan dalam. Aku mengenali perasaan itu. Mengenali perkataan itu. Perasaan dari masa kecilku pada Ibu. Dan perasaan Ibu padaku. Aku pun selalu ingin bersama Ibu, saling bergenggaman tangan dengannya. Air mataku meleleh lagi.
Kupeluk Triska erat. “Maafkan Mama, ya. Maafkan Mama,” ujarku sambil mengelus rambut Triska.
Bu, betapapun kita saling menyakiti, kita selalu saling menyayangi. Meskipun Ibu membuatku seringkali membenci diri sendiri dan sekaligus membencimu, tapi Ibu selalu menyediakan diri menjadi tempatku bersandar. Dan tanganmu, tidak pernah melepaskanku.
Kugendong Triska, kembali ke rumah Ibu. Saat aku memasuki dapur, tubuh ringkih Ibu masih tampak naik turun. Rupanya tangis Ibu belum juga reda.
“Bu …,” panggilku lirih.
Ibu membalikkan tubuhnya. Mata kami bersirobok. Tidak ada kata-kata yang keluar dari bibir kami, tapi aku tahu, kami telah saling bertukar maaf.
July 1, 2016
Kampanye Lingkungan dan Kesehatan Dalam Mudik Gratis Sidomuncul 2016
Mudik Bukan Hanya Perkara Kepulangan
Mudik bukan hanya perkara kepulangan, bukan sekadar merebahkan raga di tanah kelahiran. Ada rindu yang meremas hati, perkara rasa yang mesti dilabuhkan. Menjejakkan kaki di kampung halaman, seperti mengulang memoar hidup. Napak tilas sejak kelahiran hingga raga pergi ke perantauan. Maka atas perkara rasa, perkara cinta, mudik menuntaskan hak atas perjamuan pertemuan dengan keluarga. Mudik memang peristiwa ajaib yang menyatukan, melikatkan kembali persaudaraan.
Setiap tahun saya selalu mendengar berita mudik lebaran gratis Sidomuncul dari mama saya. Beliau bercerita dengan ekspresi terharu, ikut senang atas apresiasi Sidomuncul untuk para pedagang jamu mereka dan orang-orang kurang mampu. Kala itu saya hanya manggut-manggut saja, sambil dalam hati merasa mudik gratis ini program sosial yang brilian. Saya enggak pernah menyangka, tahun ini bisa turut dalam keriaan itu, meskipun bukan sebagai pemudik. Namun euforia mudik itu tetap menyentuh hati. Dapat saya bayangkan, betapa bahagianya para pedagang jamu Sidomuncul dapat pulang, kumpul keluarga besar di kampung. Saya pun datang ke acara Jumpa Pers Mudik Gratis Sidomuncul dengan penasaran.

Konferensi press 27 Kali Mudik Gratis Sidomuncul
Apa yang Beda?
Selalu ada yang beda tiap tahunnya di acara Mudik Gratis Sidomuncul. Tahun ini PT. Sidomuncul Tbk. menyisipkan kampanye lingkungan dan kesehatan bagi para pemudik. Kampanye lingkungan ini merupakan sinergi dengan program pemerintah. Caranya cukup unik, yaitu menempelkan stiker komik berisi ajakan peduli lingkungan dengan memilah-milah sampah organik dan non organik. Memakai komik supaya setiap pemudik mudah menangkap isi pesan. Kemudian, kenapa ditempelkan di tiap belakang kursi bus, supaya mudah terlihat, dan selama perjalanan para pemudik akan tanpa sadar akan terus menerus membacanya. Diharapkan dengan begitu pesan akan menempel pada pemudik.

Si kembar bersama Pak Irwan Hidayat
Kedua, selama mudik gratis, Sidomuncul membuka pendaftaran operasi katarak yang juga gratis untuk umum. Tahun ini PT. Sidomuncul Tbk. telah mengoperasi 50 ribu mata, rencananya akhir tahun bakalan mengoperasi lagi 14 ribu. Pada awalnya Sidomuncul kesulitan mencari masyarakat yang mau mengikuti program operasi katarak. Masyarakat masih takut untuk dioperasi. Pak Irwan Hidayat, Direktur Marketing PT. Sidomuncul Tbk. bercerita bahwa sewaktu mengawal operasi katarak, beliau melihat banyak sekali warga yang datang ke tempat, tetapi ketika ditanya, kebanyakan mereka ternyata bukan pasien, tetapi yang mengantar. Katanya, mereka baru mau mendaftar kalau melihat keluarga atau tetangga mereka yang dioperasi berhasil. Dalam mudik gratis tahun ini Sidomuncul sekaligus ingin menyosialisasikan lebih luas mengenai program operasi katarak supaya masyarakat lebih melek bahwa katarak bisa disembuhkan.

Blogger berbincang dengan Pak Irwan Hidayat
Sejarah Mudik Gratis Sidomuncul
Tahun 1991, Pak Sofyan Hidayat yang kini telah menjabat sebagai Direktur Utama PT. Sidomuncul Tbk. memiliki ide untuk mengadakan mudik gratis bagi para pedagang jamu Sidomuncul sebagai bentuk insentif. Ide itu diamini untuk direalisasikan, jadi diberangkatkanlah 17 bus membawa para pemudik ke kampung halaman mereka. Kala itu, tak ada media, tak ada acara apa-apa, pun pejabat pemerintah, hanya dilepas secara sederhana oleh Pak Kris Irawan yang waktu itu menjabat sebagai Marketing Manajer Sidomuncul. Begitu sampai tahun 1993. Hingga pada tahun 1994 acara mudik gratis ini mulai diorganisir lebih serius lagi. Barulah Sidomuncul mengadakan acara hiburan untuk pemudik sebelum dilepas, manajemen pun kemudian mengundang pejabat untuk melepas pemudik, mengundang media, dan memasang promosi produk Sidomuncul di bis. Bukan semata-mata bertujuan marketing, tetapi lebih jauh, agar warga luas dapat mengetahui program ini sehingga bisa mendaftar pada acara selanjutnya. Selain itu para pedagang jamu pun jadi lebih bersemangat dan bangga menjadi penjual jamu Sidomuncul. Kebahagiaan mereka merupakan alasan utama program ini.

Pak Irwan Hidayat Sang SocioMarketer
Irwan Hidayat Sang SocioMarketer
Ini pertemuan ke sekian kalinya saya dengan Pak Irwan Hidayat, dan saya selalu dibuat kagum dengan karakter dan pemikirannya. Kali ini kami membincangkan tentang konsep marketing yang dijalankan Sidomuncul, yaitu menggunakan dana marketing perusahaan untuk dua hal sekaligus. Promosi produk sekaligus menyisipkan berbagai kampanye sosial. Memang setiap produk memiliki kampanye sendiri. Seperti Kuku Bima dengan kampanye pariwisatanya, atau Tolak Linu dengan kampanye lingkungannya. Dalam obrolan, Pak Irwan mengatakan kalau beliau lebih suka disebut SocioMarketer ketimbang Direktur Marketing. Beliau mengakui bahwa beliau bukanlah seorang filantropi, tetapi SocioMarketing. Karena memang Pak Irwan selalu menyelaraskan marketing dan sosial. Dan hasilnya malah lebih banyak ketimbang hanya memarketingkan produk saja. Menurut beliau, SocioMarketing sangat cocok diterapkan di Indonesia. Pak Irwan berharap semoga SocioMarketing yang dia jalankan dapat menginspirasi banyak perusahaan.

Komik peduli lingkungan yang bisa dimodifikasi untuk ucapan selamat lebaran
Pak Irwan meminta kami untuk turut berpartisipasi menyabarkan pesan kebaikan dalam momen lebaran, yaitu dengan memanfaatkan komik peduli lingkungan yang digagas Sidomuncul. Selama lebaran, kita biasanya memberikan ucapan ‘maaf’ lewat gambar yang telah ditambahkan tulisan. Pak Irwan menganjurkan agar memakai gambar komik dengan modifikasi di atasnya ditambahkan selamat lebaran dan foto sendiri. “Tulisan Sidomuncul tidak usah ditampilkan saja,” ucap beliau. Bahkan Pak Irwan langsung mencontohkannya dengan memperlihatkan ucapan selamat lebaran miliknya.

Acara pelepasan Mudik Gratis Sidomuncul 2016
270 Bus Untuk 27 Kali Mudik Gratis Sidomuncul
Hari Jumat tanggal 1 Juli 2016, PT. Sidomuncul Tbk. memberangkatkan 270 bus dari titik pelepasan Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta. Jumlah 270 Bus selaras dengan angka 27 yang merupakan banyaknya program mudik gratis yang telah dilaksanakan. Pelepasan mudik lebaran kali ini dihadiri oleh Direktur Utama PT. Sidomuncul Tbk, Pak Sofyan Hidayat, dan Ibu Siti Nurbaya Bakar yang merupakan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutan RI. Ibu Situ sangat mengapresiasi Sidomuncul yang terus mengkampanyekan peduli lingkungan bahkan dalam suasana mudik. Beliau berharap para pemudik menularkan virus kepedulian lingkungan ini pada sanak saudara di kampungnya.

Bus mulai berjalan
Tampak wajah-wajah para pemudik yang semringah. Tidak terlihat besitan pikiran keluhan akan perjalanan mudik yang biasanya akan dihiasi kemacetan dan kelelahan. Bayangan akan keindahan kampung halaman, pelukan hangat keluarga, dan segala nostalgianya telah mengalahkan rasa lelah. Bis kemudian mulai berjalan, membawa 16.000 senyum bahagia pemudik yang pulang, kembali ke kampung halaman, kembali pada cinta yang telah membesarkan.

Para pemudik yang bahagia
June 29, 2016
Bikin Seru Mudik Dengan 5 Hal Ala #4GinAja Andromax E2+
Apa kata yang terbesit di pikiranmu saat mendengar kata MUDIK? Silaturahmi, pulang kampung, ketemu keluarga besar, perjalanan jauh, macet-macetan, bosan, capek, pegel-pegel, ditanya ‘Kapan nikah?’ *bekep yang nanya*
Dipikir-pikir, mudik memang kayak dua sisi mata uang. Ada dua sisi berbeda. Hal yang nyenengin, dan hal yang nyebelin. Bagian bagusnya, mudik seperti menyimpan energi luar biasa, dimana kekuatan itu datang dari kehangatan kumpul keluarga setelah selama berbulan-bulan tenggelam dalam kesibukan pekerjaan. Pulang kampung serasa kembali jadi bocah dengan hari-hari indahnya. Tapi baru aja masuk ke jalan, pemandangan mobil-mobil yang mengular udah menguras tenaga duluan, hadeuuh. Udahlah ya jangan ditanya efek pegel, capek, dan belum lagi kalau anak rewel karena perjalanan jauh. Rasa-rasanya tuh pengin ngerengek-rengek kayak Nobita, “Doraemoooon, keluarkan pintu ke mana sajaaaa.” Tapi tetep gak rela kan kalau hanya karena berbagai persoalan kecil itu bikin acara mudikmu batal? Langsung kebayang wajah sedih keluarga di seberang sana, hiks.
Tapi-tapi-tapi, ada gak sih cara supaya mudik jadi seru? Ada, ada banget! Caranya bikin mudik seru tuh ya… #4GinAja sama Andromax E2+
Kayak gimana sih mudik seru ala #4GinAja itu?
Video call-an dengan teknologi canggih VoLTE
Saat macet, stuck, mobil enggak bisa jalan sama sekali, jangan mati gaya duluuu. Kamu bisa video call-an dengan memanfaatkan teknologi VoLTE dari Smartfren di Andromax E2+ Suaranya jernih, Guys, soalnya berkualitas HD. Serunya, Andromax E2+ ini dirancang buat multitasking, jadi… sambil video call-an, download-an kamu tetep jalan. dan kalau lagi di-tethering internet kamu enggak keputus. Enggak akan ada yang sebel karena hapenya dipake video call-an, selama tethering jalan


