Skylashtar Maryam's Blog: Mimpi dan Ilusi, page 3
May 7, 2016
5 Perempuan Blogger yang Sering Membuat Saya Iri
Seperti kata Kang Ahda Imran, menulis adalah bekerja di ruang sunyi, bukan pekerjaan beramai-ramai di tengah keriuhan. Mungkin itu sebabnya mengapa saya cenderung malas bergabung dengan komunitas penulisan. Kalau ada acara menarik dan saya punya waktu luang ya datang, kalau tidak tidak pernah memaksakan. Begitu juga dengan forum-forum kajian yang lebih sering diisi dengan gunjingan daripada transfer ilmu. Kalaupun bergabung dengan forum diskusi, biasanya saya lebih senang berdiskusi dengan teman laki-laki. Eksklusif? Sombong? Bukan, tapi karena saya mau cari ilmu, bukan mau ngegosip.
Sebabnya sudah jelas. Saya penulis autodidak. Tidak punya guru atau mentor. Karier kepenulisan saya tidak dibangun di bawah bayang-bayang kelas penulisan atau komunitas mana pun. Dengan kata lain, saya lebih nyaman menjadi ronin.
Dalam dunia penulisan sastra, lebih tepatnya aktivis pembantai media massa, tidak banyak perempuan penulis yang saya kagumi. Dari segelintir penulis perempuan yang saya kagumi baik karya maupun karakternya paling-paling cuma Dee, Nenden Lilis, Djenar, Oka Rusmini, dan Cok Sawitri. Lainnya biasa-biasa saja.
Sejak ikut Fun Blogging bulan September 2015 silam dan aktif ngeblog, kebijakan saya tentang komunitas sedikit berubah. Saya dipertemukan dengan ratusan perempuan blogger yang memiliki berbagai macam karakter. Karena sudah terbiasa jadi ronin, saya tidak peduli dengan blogger lain. Maksudnya, saya tidak peduli blogger lain mau ngapain aja, sepanjang tidak cari masalah dengan saya ya terserah.
Namun, ternyata blogsphere (meminjam istilah Daeng Ipul) lebih riuh daripada dunia kepenulisan konvensional. Banyak polemik dan isu yang kadang tidak penting untuk dibahas. Well, beberapa polemik dipicu oleh tulisan-tulisan saya sih, walau demi Tuhan, saya tidak pernah berniat untuk itu.
Di tengah-tengah berbagai macam karakter dan latar belakang para perempuan blogger, ada lima orang blogger yang kerap membuat saya iri. Iri dalam arti positif, saya banyak berkaca kepada lima orang ini. Nominasi ini tentu tidak saya buat dengan main-main, tidak dibuat hanya karena dekat atau karena suka.
Oh iya, saya sengaja tidak memasukkan trio macan Haya Aliya Zaki, Ani Berta, dan Shinta Ries karena mereka bertiga sudah menempati tempat khusus di hati saya. #eaaa
1. Wylvera WindayanaSaya mengenal beliau sudah lama, sejak masih di IIDN meski baru sekarang-sekarang berinteraksi secara langsung. Mbak Wiwiek, begitu beliau kerap disapa, menurut saya adalah jenis blogger wali kelas yang kumaha aing. Maksudnya, sepanas apa pun dunia blogger, tidak penah sekalipun, saya ulangi, SEKALIPUN, saya melihat beliau menanggapi atau memberi komentar yang tidak perlu.
Beliau mah santai saja membuat status tentang anak-anak Lapas binaannya, tentang keluarga, tentang hal-hal yang tidak bikin sakit mata. Tulisan di blognya pun sama, begitu-begitu saja. Teu loba céta kalau kata urang Sunda mah.
Urusan prestasi? Sering lah menang lomba menulis. Urusan karya? Bukunya ngajengjreng di toko buku. Tipe penulis dan blogger seperti inilah yang kita perlukan. Well, saya iri dengan fokus dan kesabarannya.
"Mbak, gimana belajar tutup mata dari isu-isu di temlen, Mbak?"
2. Evrina BudiastutiSaya iri cenderung sebel sih sama dia. Nyaris setiap bulan adaaa aja postingan dia sedang traveling ke mana kek. Kemaren dia baru dari Rinjani. Kan saya iri, iri, iri. Bagi saya, cewek naik gunung itu keren. Walau saya nggak akan bisa sih naik gunung. Lah, jalan ke Jayagiri aja mimisan saya mah.
Tulisan? Jujur, dulu ketika baru pertama kali kenal sempet sih underestimate gitu. Pas udah baca postingan-postingan karya tulis ilmiahnya, saya langsung, "Oke, eV. Lu keren." Bagi saya yang terbiasa menulis fiksi, karya tulis ilmiah adalah siksaan dalam bentuk lain. Susah banget nulisnya.
Karakter? Sama seperti Mbak Wiwiek, nggak ada tuh dia bikin status nyinyir atau gimana. Kami pernah sih ngomongin orang di inbox. Misal, ngomongin Diko. Tapi ngomonginnya gini:
L: Sadis ya tu anak. Masa menang lomba lagi.
V: Iya, nih. Capek gue nyainginnya.
L: Kita cari lomba yang ga diikutin ama Diko aja, yuk.
V: Yuk yuk.
Dia juga tergabung ke dalam beberapa komunitas blogger. Di mana-mana ada. Tapi, sepanjang pengetahuan saya nggak ikut geng-gengan kayak anak teka.
3. Zata LigouwSebetulnya saya lebih iri ke fisiknya. Fresh dan fit. Dan coba lihat perutnya. Sudah punya anak tapi perut rata gitu. Perempuan mana yang nggak envy? Inspiratif banget bagi saya yang ingin perut rata tapi malas olah raga.
Ini rahasia, tolong jangan bilang-bilang sama Kak Zata, saya mulai rajin lari pagi setelah melihat foto-foto dia.
4. Yulia RahmawatiKalau harus ada sosok ukhti-ukhti yang karakternya adem, Teh Yulilah orangnya. Teh Yuli sudah saya kenal lama, sejak masih di Kompasiana dan Dumalana. Kalau perkara tulisan, sudahlah jangan ditanya. Perkara sikap? Online maupun offline ya adem.
Sama seperti eV, Teh Yuli tergabung dalam nyaris semua komunitas blogger yang ada di Indonesia (oke, ini agak lebay). Tapi, sepanjang penelitian saya, orangnya memang bukan tipe yang senang memancing di kolam tetangga. Ngeblog ya ngeblog aja.
5. Maya Lestari GFUni Maya ini penulis senior. Ketika blogger lain masih belajar membuat kalimat, karya dia sudah wara-wiri di berbagai media, pun dengan bukunya. Sudah ngeblog sejak lama tapi nggak banyak tingkah kayak saya.
Low profile-nya luar biasa. Padahal kalau ngomong-ngomong soal karya, para penulis dan pembaca generasi 90-an siapa sih yang nggak kenal Uni Maya? Ya sih, kadang dia suka komen-komen ga jelas gitu di statusnya Yuk Yetti KA, tapi itu bukan salah dia, itu salah Yuk Yetti yang sering mancing-mancing. *lalu dilempar boots
...
Dari kelima orang inilah saya belajar bagaimana cara sabar, bagaimana cara berprestasi tanpa membusungkan dada, bagaimana cara menghargai kesehatan tubuh sendiri, bagaimana cara menjadi padi.
Karena menjadi blogger berprestasi itu mudah. Yang sulit adalah menjadi blogger yang memiliki hati.
Salam,
~eL
Published on May 07, 2016 00:18
May 5, 2016
Lelaki dari Masa Lalu #2
Saya masih tidak mengenalnya, dan saya yakin ia juga tidak ingin mengenal saya. Hubungan kami sebatas follower dengan orang yang di-follow-nya. Maksudnya, saya yang meng-follow blog dan Twitter dia, bukan sebaliknya.
Bukan sifat saya mengambil kesimpulan sebelum benar-benar mengenal seseorang, namun dari beberapa kali interaksi di Twitter, saya membuat kesimpulan sementara: ia adalah saya dalam versi laki-laki. Sengaknya persis, sibuknya persis, pura-pura membenci cintanya juga persis. Yang agak berbeda mungkin cuma di isi kepala dan popularitas.
Tapi saya masih merasa bahwa saya pernah mengenalnya. Ini alarm tanda bahaya bagi saya.
Bahaya karena setiap kali firasat seperti itu datang, biasanya hal-hal menjemukan semacam jatuh cinta akan mengekor di belakang. Sedangkan saat ini saya bosan jatuh cinta, kepada siapa pun, dengan alasan apa pun.
Mungkin itu sebabnya setelah ia tidak membalas mention terakhir saya, saya memutuskan untuk berhenti membangun interaksi dalam bentuk apa pun. Oh, tentu saja saya masih membaca blognya, menikmati isi kepalanya. Itu adalah hal berbeda dengan degup di dada.
Tapi saya masih merasa bahwa saya pernah mengenalnya. Entah di kehidupan yang mana.
Ini menyiksa, tentu saja. Di satu sisi, keparat sekali sampai harus mengejar-ngejar lelaki yang bahkan tidak sadar bahwa saya ada. Di sisi lain, saya pun butuh diyakinkan bahwa firasat-firasat keparat yang kerap datang itu hanya dejavu, lintasan peristiwa yang semoga saja tidak nyata.
Pernah, suatu kali di malam yang begitu sunyi, saya sempat berpikir bahwa ialah lelaki yang tengah saya cari, lelaki yang sering saya kirimi surat cinta. Sayangnya sosok ia sama sekali berbeda dari yang saya bayangkan. Lagi pula, saya sudah menemukan "akang" yang saya cari beberapa bulan silam. Well, lebih tepatnya 3 tahun silam. Kami, saya dan Akang, memang dipertemukan. Sempat bersama selama beberapa bulan. Tapi, ia sama bangsatnya dengan lelaki yang sudah-sudah. Hanya menganggap saya sebagai perempuan murah, sekadar sampah.
Itu sebabnya saya malas menikah.
Menikah bagi saya hanya membuang-buang waktu dan tenaga. Waktu dan tenaga yang lebih baik saya gunakan untuk hal lain yang lebih bermanfaat bagi kemaslahatan umat. Saya malas menikah karena ... tidak ada satu pun lelaki yang cukup waras untuk memperlakukan perempuan dengan baik.
Mungkin termasuk lelaki yang sedang saya bicarakan ini. Entahlah.
Tapi saya masih merasa bahwa saya pernah mengenalnya. Saya masih merasa bahwa saya pernah jatuh cinta kepadanya. Entah di kehidupan yang mana.
Firasat-firasat yang menyiksa itu harus saya abaikan dengan segera sebelum saya benar-benar jatuh cinta kepadanya. Lebih baik saya mulai meniti jalan kesunyian, menjadi pertapa, meninggalkan segala hal keduniawian, membaktikan hidup untuk kemanusiaan dengan 3 macam bekal: laptop, smartphone, dan sinyal 4G.
~eL
Published on May 05, 2016 08:09
May 2, 2016
Saya Tidak Tahu Harus Memberi Judul Apa
Siapa pun, perempuan yang bekerja atau tidak, bisa saja marah ketika membaca postingan seperti di atas. Saya setuju jika perempuan harus mandiri secara ekonomi, tapi tidak setuju dengan pemikiran parsial si pembuat status. Rumah tangga seseorang adalah urusan domestik dan tidak bisa digeneralisasi sedemikian rupa. Pun, dengan para ibu rumah tangga. Si penulis status mungkin belum pernah bertemu dengan ibu rumah tangga yang menjadi "ratu" meski tidak bekerja.
Seperti biasa, saya menolak untuk terjebak dalam dikotomi yang ujung-ujungnya hanya saling caci. Bagi saya, status ini berakhir di kesimpulan: pemikiran parsial layak untuk diabaikan. Saya justru ingin membahas perkara kemandirian ekonominya.
Di berbagai kultur, suami berfungsi sebagai pencari nafkah utama. Meski di kota-kota besar, terutama kota-kota basis industri, pembagian peran ini kerap sebaliknya. Di Batam misalnya, tidak jarang saya menemukan para istri yang berfungsi sebagai pencari nafkah utama sedangkan suaminya menjadi bapak rumah tangga, tidak bekerja, diam di rumah untuk mengurus rumah dan anak-anak. Rumah tangga masyarakat urban, begitu saya menyebutnya.
Tidak jarang pula saya menemukan istri yang tidak bekerja tapi dijadikan "ratu" di rumahnya. Mau ke mana-mana tinggal minta, mau beli apa pun tinggal minta. Jadi, sekali lagi, perkara seperti ini tidak bisa digeneralisasi.
FUNGSI KEMANDIRIAN EKONOMI
Namun, di dalam setiap kesempatan baik itu di forum-forum diskusi atau obrolan warung kopi, saya selalu menyarankan bahwa perempuan harus mandiri secara ekonomi. Ada dua macam yang saya masukkan dalam kemandirian ekonomi: memiliki keahlian yang bisa "dijual" dan memiliki penghasilan.
KEAHLIANKeahlian di sini artinya adalah keahlian yang bisa menghasilkan. Berbelanja itu juga keahlian. Di luar negeri, ada profesi personal shopper, di Indonesia mungkin belum begitu familiar.
Keahlian juga tidak tergantung ijazah dan tingkat pendidikan. Keahlian bersifat aplikatif, bukan hanya busa-busa teori.
Kenapa perempuan harus memiliki keahlian di luar menjadi istri dan ibu bagi anak-anak? Agar jika terjadi sesuatu yang buruk, perceraian atau suami meninggal misalnya, seorang perempuan siap mengganti peran menjadi pencari nafkah utama.
Hasil obrolan santai saya dengan beberapa PSK yang sering nongkrong di Taman Jodoh beberapa tahun silam, mereka terjun ke dunia pelacuran karena bercerai sementara ada anak yang harus dihidupi. Mereka sulit mendapatkan pekerjaan karena tidak punya keahlian yang bisa dijual. Wirausaha? Mereka sudah mencoba, tapi gagal karena modal dan -lagi-lagi- keahlian manajemen yang buruk.
PENGHASILANMohon diingat bahwa memiliki penghasilan tidak harus bekerja di luar rumah. Ada para istri yang memilih untuk bekerja di rumah sambil mengurus anak-anak. Ada para ibu yang keluar dari kantor dan menjadi freelancer agar lebih memiliki waktu bersama anak-anak.
Penghasilan juga bukan perkara nominal. Memangnya Anda sedang bekerja untuk apa? Membangun Taj Mahal?
Ada beberapa alasan mengapa saya katakan bahwa perempuan disarankan mandiri secara ekonomi.
1. Aktualisasi Diri
Perempuan memiliki hak yang sama untuk mengaktualisasikan diri dan berkarier seperti lelaki, di dalam maupun di luar rumah. Bekerja adalah hak segala gender.
2. Ketahanan Finansial
Bukan, ini bukan agar Anda bisa membeli bedak atau baju atau traveling ke luar negeri seperti yang disebutkan dalam status di atas. Dengan memiliki penghasilan dan tabungan, artinya kita memiliki dana talangan. In case, anak-anak sakit dan memerlukan biaya perawatan cukup besar sementara suami di luar kota atau tidak bisa dihubungi, misalnya. Seorang ibu yang memiliki penghasilan tentu tidak harus pusing-pusing, bukan?
Atau, misalnya suami kecelakaan dan tidak bisa bekerja sehingga tidak ada pemasukan, masih ada penghasilan dari istri.
3. Bargaining Power
Ada beberapa suami bajingan yang merasa dirinya nabi hanya karena dia menjadi pencari nafkah utama. Suami seperti ini biasanya merasa bebas memperlakukan istrinya seenak udel dia karena dia berpikir si istri tidak akan bisa ke mana-mana.
Perempuan yang mandiri secara ekonomi memiliki kans lebih kecil untuk "diperbudak" sekaligus memiliki bargaining position.
4. Percaya Diri
Kemandirian ekonomi akan memupuk rasa percaya diri. Dan perempuan yang percaya diri lebih stabil secara emosi. Ini berimbas kepada ketika menghadapi masalah dalam rumah tangga atau ketika mengurus anak-anak.
Kasus-kasus kekerasan terhadap anak kandung dengan pelaku ibu sendiri kebanyakan dipicu oleh uang. Suami yang tidak pulang atau ketahuan selingkuh dan tidak memberi nafkah, itu adalah lagu lama yang terus diulang-ulang. Sialnya, yang biasanya menjadi korban adalah anak-anak.
Suami super baik tapi di rumah tidak ada beras juga banyak terjadi. Siapa lagi yang menjadi korban? Anak-anak. Kalau si istri memiliki penghasilan, setidaknya hal-hal seperti itu bisa diminimalisasi.
5. Tambahan Opsi
Tidak semua rumah tangga baik-baik saja. Kasus-kasus KDRT yang saya tangani ada beberapa yang berujung kepada si perempuan kembali lagi kepada suaminya karena takut anaknya kelaparan. Ujung-ujungnya ya dia dipukuli lagi, babak belur, tapi tidak berani membuat laporan kepada polisi karena takut cerai.
Miris memang, tapi kenyataannya memang begitu. Ada perempuan-perempuan yang terpaksa bertahan dalam pernikahan serupa neraka karena takut dengan nasib anak-anaknya. Atau, ada kasus lainnya. Si istri memang meminta cerai tapi terjun ke dunia pelacuran seperti yang saya ceritakan di atas.
Dengan mandiri secara ekonomi, para perempuan memiliki opsi tambahan jika ternyata rumah tangganya tidak baik-baik saja. Saya mengalami KDRT pada pernikahan kedua, selama dua tahun saya bertahan, tapi ketika saya nyaris mati di tangannya, saya memutuskan untuk pergi. Tidak, saya tidak takut tidak bisa makan karena toh saya punya penghasilan sendiri.
Di pernikahan ketiga, suami saya selingkuh dan sudah akan menikah dengan perempuan lain, tanpa pikir panjang saya pun meninggalkannya. Untuk apa bertahan dalam pernikahan seperti neraka? Poligami? Yang benar saja, punya istri satu saja tidak bisa menafkahi kok, apalagi punya dua. Yaiya sih, ada laki-laki yang tidak memiliki keseimbangan antara isi celana bagian depan dan belakang tapi sok-sokan jadi don juan. #eh
6. "Membeli Kebahagiaan"
Dalam ketiga pernikahan, saya pernah bekerja, pernah juga tidak. Terasa betul bedanya. Saya pernah bertengkar dengan suami gara-gara ingin membeli buku seharga 40 ribu. Karena tidak punya uang sendiri, akhirnya saya menabung sesen demi sesen dari sisa uang belanja yang tidak seberapa. Saya juga pernah dikatai "kamu hanya membebani hidup aku aja" karena tidak bekerja. Padahal saya perempuan yang tidak pernah mengeluh. Diberi nafkah seribu yang dicukup-cukupkan, diberi nafkah lima puluh juta ya dihambur-hamburkan. Oke, poin kedua itu fiksi.
Ketika saya bekerja, apakah saya lantas menjadi istri kurang ajar dan menginjak-injak harga diri suami dengan cara pelesiran ke luar negeri? Saya ingin sekali "balas dendam", sayangnya saya bukan tipe istri yang demikian. Saya malah berkontribusi terhadap beban ekonomi keluarga, membelikan hadiah ulang tahun ponsel, mengajak suami makan di luar, membeli lingerie, melakukan perawatan tubuh untuk menyenangkan mereka. Dan, tentu saja, membeli buku apa pun yang saya inginkan. No, buku adalah komoditas yang tidak bisa ditawar-tawar. Punya suami yang melarang saya membeli buku dengan uang saya sendiri? Artinya cuma satu: CIVIL WAR!
...
Sialnya, tidak semua laki-laki memiliki pemikiran terbuka untuk urusan kemandirian ekonomi istrinya. Alasannya pun bermacam-macam, dari mulai dalih agama sampai alasan yang direka-reka. Untuk urusan yang satu ini, saya tidak bisa memberi saran apa-apa. Tapi, kalau Anda memaksa, silakan inbox. #eh
Lalu, bagaimana dengan perempuan lajang atau janda? Ya sudah jelas atuh itu mah. Usia 18 tahun saya sudah keluar dari rumah dan mencari uang sendiri. Sebagai janda, tantangannya malah lebih besar lagi. Bukan sekali dua kali kondisi finansial saya dijadikan alasan untuk ya you know lah. Mula-mula baik, sering ngasih untuk susu Aksa dengan alasan sayang, lama-lama "minta bayaran".
Sepanjang karier saya sebagai janda, tidak ada satu pun lelaki yang benar-benar berniat tulus. Entah kenapa saya selalu dipertemukan dengan para bajingan, mungkin karena saya kurang tampak salehah atau bagaimana. Yang jelas, satu hal yang saya sarankan kepada para janda di luar sana: jangan pernah meminta bantuan perihal keuangan kepada laki-laki karena itu akan membuat mereka menganggap bahwa tubuh Anda bisa dibeli. Kalau Anda bertemu dengan tipe lelaki seperti itu, titip salam jari tengah dari saya untuk dia. *eh kok baper?
Di Jepang, para perempuan dibekali pendidikan tinggi untuk menjadi ibu rumah tangga. Di Indonesia, para perempuan berpendidikan tinggi yang menjadi ibu rumah tangga malah dihina. Mereka yang tidak kuat dengan stigma ini biasanya mengambil dua macam langkah: kembali bekerja atau terlibat perang argumen di dunia maya.
Terlepas dari stigma dan anggapan masyarakat, menjadi ibu rumah tangga adalah mulia. Menjadi ibu bekerja juga mulia. Menjadi ibu rumah tangga yang tidak bekerja? Itu juga mulia. Postingan saya ini hanya menawarkan perspektif yang berbeda, cocok atau tidak dengan kondisi rumah tangga Anda bukan saya yang memutuskan. Tolong jangan merasa terintimidasi atau terprovokasi.
Sekali lagi, setiap rumah tangga memiliki kondisi dan masalah yang berbeda-beda. Ibu bekerja atau tidak juga memiliki motivasi yang berbeda-beda. Anda boleh setuju dengan sudut pandang saya, boleh juga tidak. Saya menghargai pilihan Anda, apa pun itu. Asal jangan ada perang status di antara kita.
Salam,
~eL
(Konsultan percintaan yang berkali-kali gagal dalam percintaanya sendiri)
Published on May 02, 2016 08:53
April 26, 2016
Tiket Kereta ke Jakarta, Another Drama
Pagi ini saya ada jadwal syuting - dalam arti harfiah - di Jakarta. Tadinya mau berangkat tadi malam supaya salse. Tapi, tidak ada tiket kereta malam yang berangkat dari Stasiun Bandung atau Cimahi. Jadi, saya memutuskan untuk berangkat dengan kereta paling pagi karena sudah harus ada di studio MNC tepat pukul 9.
Urusan booking-membooking tiket ini kelihatannya mudah, tapi tidak bagi saya. Setelah saya cek di https://tiket.kereta-api.co.id, masih ada seat tersedia untuk keberangkatan Rabu, 27 April 2016, pukul 05.13. Argo Parahyangan, kelas eksekutif, seperti biasa. Da nggak ada lagi kereta lain atuh ari ke Jakarta mah. Dari sinilah masalah mulai timbul: tiket tidak bisa di-booking karena hari keberangkatan kurang dari H-2.
Di website-nya, PT KAI memberikan beberapa opsi pembelian tiket, saya pun mencoba satu per satu.
1. Alfamarat/IndomaretPergilah saya ke Alfamart di depan gang, tapi apa? Sistem mereka sedang bermasalah sehingga tidak bisa dipakai untuk membeli tiket.
Di Indomaret Cibabat lebih parah lagi, ternyata mereka sama sekali tidak menyediakan fasilitas pembelian tiket kereta api.
Saya berniat untuk mencari ke Alfa dan Indomaret lain, sayangnya waktu sudah menunjukkan pukul 23.00 dan itu artinya tidak semua minimarket masih buka. Saya dibantu teman di Bandung juga, tapi di Indomaret yang dia kunjungi hanya ada tiket kereta api untuk pukul 9 pagi. Ini juga tidak bisa karena saya harus berada di studio tepat pukul 9.
2. Tiket KAIDi www.tiketkai.com masih tersedia kereta untuk pukul 05.13. Saya gembira dan memutuskan untuk memesan dengan metode pembayaran transfer bank. Ketika akan melakukan transfer via internet banking, entah mengapa saya tidak bisa mengingat user ID dan password-nya. Sama sekali tidak ingat. Catatan saya pun entah ke mana.
Singkat cerita, dalam waktu satu malam dua internet banking saya sukses diblokir.
3. Tiket.comDi mitra yang ini harga tiketnya murah sekali, mungkin karena tiket promo (harga asli dari PT KAI-nya 50rb), tapi yang tersedia hanya untuk keberangkatan pukul 06.44. Oke, saya mencoba alternatif lain.
4. Oke TiketOketiket.com ini lebih brutal lagi. Kita harus log in terlebih dahulu jika ingin mengecek ketersediaan seat. Saya katakan brutal karena setelah sign up masih diperlukan verifikasi akun yang memakan waktu 22 jam.
Ini mau beli tiket apa nungguin kamu jadi duda, sih? Ribet amat. Dengan senang hati saya tinggalkan.
5. Baraya TravelWaktu sudah menunjukkan pukul 23.35 ketika saya memutuskan untuk memakai moda transportasi lain. Saya senang dong ketika menemukan jadwal keberangkatan pukul 4 pagi di tiketux.com, website pemesanan yang berafiliasi dengan beberapa travel dan bus kota. Tapi, ada satu lagi masalah. Oke, dua, eh banyak masalah:
Metode pembayaranKarena internet banking saya sudah diblokir, jadi metode pembayaran yang tersedia hanya dua: Indomaret dan ATM. Mula-mula saya pergi ke ATM, tapi ternyata kedua bank saya tidak bisa dipakai untuk membayar tiket Baraya. Oke, no problem, pikir saya. Pergilah saya ke Alfamart dengan niat untuk membayar tiket Baraya. Tapi apa yang terjadi, Saudara-Saudara? Alfa belum bekerja sama dengan tixetux.com. Oke, sebetulnya saya salah mengira Alfa sebagai Indomaret. Lokasi penjemputanLokasi penjemputan ada di Surapati, saya tidak punya kendaraan, tidak punya saudara atau teman yang bisa mengantar. Angkot? Tidak ada angkot pada jam 3 pagi, keleus. Go-jek? Sarare keneh eung tukang ojek na oge, arisia. #eh Kredibilitas pelayanan Terakhir kali naik Baraya, mobilnya telat sampai 1 jam. Jadi kalau memang terburu-buru, travel bukan moda transportasi yang tepat untuk digunakan.
6. Call center 021-121
Alternatif terakhir adalah memesan tiket via call center. Pukul 00.25 saya menelepon lalu tut tut tut, pulsa habis. Di titik ini saya ingin sekali menangis dan gogoleran di jalan, maka dengan tertatih-tatih saya kembali lagi ke ATM untuk mengisi pulsa.
Oh iya, teman-teman yang menelepon call center PT KAI, langsung saja tekan angka 1 setelah tersambung karena kalau tidak Anda harus mendengarkan pembukaan dari operator yang nauzubillah lamanya. Itu kalau dibikin slot iklan, udah bisa jadi iklan radio.
Dengan suara yang dibuat semerdu mungkin, saya bertanya kepada operator. "Mas, kalau reservasi tiket di sini bisa?"
"Bisa, Bu. Untuk keberangkatan kapan?" jawab operator di seberang sana.
Saya menyebutkan stasiun keberangkatan dan stasiun tujuan, menyebutkan tanggal, dan jam yang diinginkan.
"Oke, Bu. Masih ada tersedia 87 seat untuk kelas eksekutif bla bla bla."
Sebentar, 87 seat? Naha atuh aing tatadi booking online via tiket hapalah itu ceunah euweuh seat, sateh?
Well, meski kesal, tapi saya tetap berusaha agar suara saya terdengar merdu. Saya meminta seat yang dekat dengan jendela, seperti biasa. Ada dua jenis eksekutif yang tersedia, yang satu 120 ribu yang lain 115 ribu. Saya memilih yang 120 ribu karena satu alasan: biar keren aja.
Oh iya, ketika pesan tiket via call center, ada beberapa data yang harus dilengkapi:
Nama (nama asli ya, bukan nama panggung)Nomor KTP/SIM/PasporNomor ponsel Setelah verifikasi data selesai, sampailah kepada metode pembayaran. Karena waktu itu saya sedang berada di ATM (baca: nongkrong di pos satpam), saya meminta metode pembayaran via ATM. Mas-Mas operator yang kalau dari suaranya ganteng itu dengan senang hati memandu saya untuk transaksi via ATM BNI.
"Mas, ini kita kok kayak modus-modus penipuan transfer itu ya? Masnya nggak menghipnotis saya, kan?"
"Tidak Ibu, ini aman, kok," jawabnya meski saya mendengar dia mati-matian menahan tawa. Hey, saya hanya mencoba menghibur para pekerja shift malam.
Berikut langkah-langkahnya:
PembayaranTiketKereta apiMasukkan kode pembayaran Kode pembayaran ini didiktekan oleh si masnya. Seharusnya ada poin kelima berupa konfirmasi pembayaran, tapi sayangnya ATM saya malah macet, layar sama sekali tidak berfungsi ketika ditekan-tekan.
"Ya ampun, ATM saya tertelan. Mas, ATM saya tertelan, Mas. Cobaan apa lagi ini, Tuhaaannn?" saya histeris.
Satu menit kemudian ATM keluar dan saya mencoba ATM di bilik lain, kejadian yang sama terulang. Ternyata eh ternyata, mungkin itu masalah jaringan atau BNI sudah tidak bekerja sama lagi dengan PT KAI. Oh, jadi kalian musuhan? Gara-gara apa? Rebutan mantan? Hih!
"Ya sudah, bisa kok bayar di Alfa atau Indomaret," kata si Mas.
"Tapi kan saya nggak hafal kode pembayarannya, nggak hafal kode booking-nya. Saya nggak tahu harus berbuat apa lagi. Besok saya harus syuting di televisi lho, Mas. Ini gimana ini?"
"Bu, Bu, nanti di-SMS-kan, kok," si Mas mulai terdengar garang.
"Ohhh ... oke," saya lega sekaligus malu.
Dengan tergopoh-gopoh saya menyeberang, kembali ke Alfamart dan akang-akang kasir yang kelihatannya mulai kesal dengan saya.
Singkat cerita, tiket berhasil dibayar dan saya siap menuju ke Jakarta pagi ini. Yang harus saya pikirkan tinggal bagaimana caranya ngesot dari kosan ke stasiun pada pukul 4 pagi.
...
PELAJARAN MORALSebagai inspirator muda yang merangkap sebagai calon seleb, sudah sepantasnya saya menutup postingan ini dengan pelajaran moral. Bukan apa-apa, biar dikira beriman saja.
Pesan tiket jauh-jauh hari, kalaupun harus mendadak di hari yang sama usahakan memesan tiket di bawah pukul 10 malam. Alternatif pertama pemesanan tiket kereta api: Alfa atau Indomaret tapi pastikan kedua minimarket itu tidak berada di pasisian semacam Cimahi.Alternatif kedua: call center. Walau harus menghabiskan banyak pulsa, setidaknya bisa mendengar suara operator yang merdu, eh, maksudnya seat yang tersedia adalah real time. Lupakan website-website booking online itu kalau tidak mau ribet seperti saya. Jangan lupa user ID dan password internet banking dalam keadaan apa pun. Calling a friend untuk masalah-masalah seperti ini kadang malah membuat frustasi, beneran. Peduli apa orang saya telat syuting atau tidak? Peduli apa orang saya muter-muter Cimahi untuk nyari tiket? Peduli apa orang saya jungkir-jumpalik neneangan transportasi ke Surapati? Ini hidup saya, maka saya harus mengurusnya sendirian.
Poin kelima mengandung unsur baper, Anda boleh mengabaikannya supaya tidak DEPRESI.
Salam,
~eL
Urusan booking-membooking tiket ini kelihatannya mudah, tapi tidak bagi saya. Setelah saya cek di https://tiket.kereta-api.co.id, masih ada seat tersedia untuk keberangkatan Rabu, 27 April 2016, pukul 05.13. Argo Parahyangan, kelas eksekutif, seperti biasa. Da nggak ada lagi kereta lain atuh ari ke Jakarta mah. Dari sinilah masalah mulai timbul: tiket tidak bisa di-booking karena hari keberangkatan kurang dari H-2.
Di website-nya, PT KAI memberikan beberapa opsi pembelian tiket, saya pun mencoba satu per satu.
1. Alfamarat/IndomaretPergilah saya ke Alfamart di depan gang, tapi apa? Sistem mereka sedang bermasalah sehingga tidak bisa dipakai untuk membeli tiket.
Di Indomaret Cibabat lebih parah lagi, ternyata mereka sama sekali tidak menyediakan fasilitas pembelian tiket kereta api.
Saya berniat untuk mencari ke Alfa dan Indomaret lain, sayangnya waktu sudah menunjukkan pukul 23.00 dan itu artinya tidak semua minimarket masih buka. Saya dibantu teman di Bandung juga, tapi di Indomaret yang dia kunjungi hanya ada tiket kereta api untuk pukul 9 pagi. Ini juga tidak bisa karena saya harus berada di studio tepat pukul 9.
2. Tiket KAIDi www.tiketkai.com masih tersedia kereta untuk pukul 05.13. Saya gembira dan memutuskan untuk memesan dengan metode pembayaran transfer bank. Ketika akan melakukan transfer via internet banking, entah mengapa saya tidak bisa mengingat user ID dan password-nya. Sama sekali tidak ingat. Catatan saya pun entah ke mana.
Singkat cerita, dalam waktu satu malam dua internet banking saya sukses diblokir.
3. Tiket.comDi mitra yang ini harga tiketnya murah sekali, mungkin karena tiket promo (harga asli dari PT KAI-nya 50rb), tapi yang tersedia hanya untuk keberangkatan pukul 06.44. Oke, saya mencoba alternatif lain.
4. Oke TiketOketiket.com ini lebih brutal lagi. Kita harus log in terlebih dahulu jika ingin mengecek ketersediaan seat. Saya katakan brutal karena setelah sign up masih diperlukan verifikasi akun yang memakan waktu 22 jam.
Ini mau beli tiket apa nungguin kamu jadi duda, sih? Ribet amat. Dengan senang hati saya tinggalkan.
5. Baraya TravelWaktu sudah menunjukkan pukul 23.35 ketika saya memutuskan untuk memakai moda transportasi lain. Saya senang dong ketika menemukan jadwal keberangkatan pukul 4 pagi di tiketux.com, website pemesanan yang berafiliasi dengan beberapa travel dan bus kota. Tapi, ada satu lagi masalah. Oke, dua, eh banyak masalah:
Metode pembayaranKarena internet banking saya sudah diblokir, jadi metode pembayaran yang tersedia hanya dua: Indomaret dan ATM. Mula-mula saya pergi ke ATM, tapi ternyata kedua bank saya tidak bisa dipakai untuk membayar tiket Baraya. Oke, no problem, pikir saya. Pergilah saya ke Alfamart dengan niat untuk membayar tiket Baraya. Tapi apa yang terjadi, Saudara-Saudara? Alfa belum bekerja sama dengan tixetux.com. Oke, sebetulnya saya salah mengira Alfa sebagai Indomaret. Lokasi penjemputanLokasi penjemputan ada di Surapati, saya tidak punya kendaraan, tidak punya saudara atau teman yang bisa mengantar. Angkot? Tidak ada angkot pada jam 3 pagi, keleus. Go-jek? Sarare keneh eung tukang ojek na oge, arisia. #eh Kredibilitas pelayanan Terakhir kali naik Baraya, mobilnya telat sampai 1 jam. Jadi kalau memang terburu-buru, travel bukan moda transportasi yang tepat untuk digunakan.
6. Call center 021-121
Alternatif terakhir adalah memesan tiket via call center. Pukul 00.25 saya menelepon lalu tut tut tut, pulsa habis. Di titik ini saya ingin sekali menangis dan gogoleran di jalan, maka dengan tertatih-tatih saya kembali lagi ke ATM untuk mengisi pulsa.
Oh iya, teman-teman yang menelepon call center PT KAI, langsung saja tekan angka 1 setelah tersambung karena kalau tidak Anda harus mendengarkan pembukaan dari operator yang nauzubillah lamanya. Itu kalau dibikin slot iklan, udah bisa jadi iklan radio.
Dengan suara yang dibuat semerdu mungkin, saya bertanya kepada operator. "Mas, kalau reservasi tiket di sini bisa?"
"Bisa, Bu. Untuk keberangkatan kapan?" jawab operator di seberang sana.
Saya menyebutkan stasiun keberangkatan dan stasiun tujuan, menyebutkan tanggal, dan jam yang diinginkan.
"Oke, Bu. Masih ada tersedia 87 seat untuk kelas eksekutif bla bla bla."
Sebentar, 87 seat? Naha atuh aing tatadi booking online via tiket hapalah itu ceunah euweuh seat, sateh?
Well, meski kesal, tapi saya tetap berusaha agar suara saya terdengar merdu. Saya meminta seat yang dekat dengan jendela, seperti biasa. Ada dua jenis eksekutif yang tersedia, yang satu 120 ribu yang lain 115 ribu. Saya memilih yang 120 ribu karena satu alasan: biar keren aja.
Oh iya, ketika pesan tiket via call center, ada beberapa data yang harus dilengkapi:
Nama (nama asli ya, bukan nama panggung)Nomor KTP/SIM/PasporNomor ponsel Setelah verifikasi data selesai, sampailah kepada metode pembayaran. Karena waktu itu saya sedang berada di ATM (baca: nongkrong di pos satpam), saya meminta metode pembayaran via ATM. Mas-Mas operator yang kalau dari suaranya ganteng itu dengan senang hati memandu saya untuk transaksi via ATM BNI.
"Mas, ini kita kok kayak modus-modus penipuan transfer itu ya? Masnya nggak menghipnotis saya, kan?"
"Tidak Ibu, ini aman, kok," jawabnya meski saya mendengar dia mati-matian menahan tawa. Hey, saya hanya mencoba menghibur para pekerja shift malam.
Berikut langkah-langkahnya:
PembayaranTiketKereta apiMasukkan kode pembayaran Kode pembayaran ini didiktekan oleh si masnya. Seharusnya ada poin kelima berupa konfirmasi pembayaran, tapi sayangnya ATM saya malah macet, layar sama sekali tidak berfungsi ketika ditekan-tekan.
"Ya ampun, ATM saya tertelan. Mas, ATM saya tertelan, Mas. Cobaan apa lagi ini, Tuhaaannn?" saya histeris.
Satu menit kemudian ATM keluar dan saya mencoba ATM di bilik lain, kejadian yang sama terulang. Ternyata eh ternyata, mungkin itu masalah jaringan atau BNI sudah tidak bekerja sama lagi dengan PT KAI. Oh, jadi kalian musuhan? Gara-gara apa? Rebutan mantan? Hih!
"Ya sudah, bisa kok bayar di Alfa atau Indomaret," kata si Mas.
"Tapi kan saya nggak hafal kode pembayarannya, nggak hafal kode booking-nya. Saya nggak tahu harus berbuat apa lagi. Besok saya harus syuting di televisi lho, Mas. Ini gimana ini?"
"Bu, Bu, nanti di-SMS-kan, kok," si Mas mulai terdengar garang.
"Ohhh ... oke," saya lega sekaligus malu.
Dengan tergopoh-gopoh saya menyeberang, kembali ke Alfamart dan akang-akang kasir yang kelihatannya mulai kesal dengan saya.
Singkat cerita, tiket berhasil dibayar dan saya siap menuju ke Jakarta pagi ini. Yang harus saya pikirkan tinggal bagaimana caranya ngesot dari kosan ke stasiun pada pukul 4 pagi.
...
PELAJARAN MORALSebagai inspirator muda yang merangkap sebagai calon seleb, sudah sepantasnya saya menutup postingan ini dengan pelajaran moral. Bukan apa-apa, biar dikira beriman saja.
Pesan tiket jauh-jauh hari, kalaupun harus mendadak di hari yang sama usahakan memesan tiket di bawah pukul 10 malam. Alternatif pertama pemesanan tiket kereta api: Alfa atau Indomaret tapi pastikan kedua minimarket itu tidak berada di pasisian semacam Cimahi.Alternatif kedua: call center. Walau harus menghabiskan banyak pulsa, setidaknya bisa mendengar suara operator yang merdu, eh, maksudnya seat yang tersedia adalah real time. Lupakan website-website booking online itu kalau tidak mau ribet seperti saya. Jangan lupa user ID dan password internet banking dalam keadaan apa pun. Calling a friend untuk masalah-masalah seperti ini kadang malah membuat frustasi, beneran. Peduli apa orang saya telat syuting atau tidak? Peduli apa orang saya muter-muter Cimahi untuk nyari tiket? Peduli apa orang saya jungkir-jumpalik neneangan transportasi ke Surapati? Ini hidup saya, maka saya harus mengurusnya sendirian.
Poin kelima mengandung unsur baper, Anda boleh mengabaikannya supaya tidak DEPRESI.
Salam,
~eL
Published on April 26, 2016 13:59
April 11, 2016
Senyum Tuhan di Perempatan Jalan
Ini cerita tiga tahun lalu. Sehari setelah saya menerima honor pemateri, berangkatlah saya ke toko buku untuk melengkapi koleksi Anak Matahari Book Corner. Membeli buku selain sebagai investasi juga semacam menepati janji bahwa AMBC akan menjadi taman bacaan berisikan buku-buku sastra yang kompeten.
Sepulangnya dari sana, saya menumpang angkot Cicaheum - Ledeng untuk kembali ke Kebun Seni. Ketika angkot berhenti di lampu merah depan Baltos, ada seorang pengamen yang menyanyikan sebuah lagu (saya lupa judulnya), tapi saya masih ingat suaranya. Jika mau membandingkan, suaranya agak-agak mirip dengan Firman Idol tapi yang ini lebih bagus, petikan gitarnya pun enak di telinga. Satu lagi, dia tidak memakai embel-embel orasi yang menyebalkan seperti pengamen kebanyakan.
Honor yang saya terima tidak besar, tapi ada kesadaran bahwa di sana juga ada hak orang lain. Meskipun saya sudah membayar pajak kepada negara, sudah memenuhi kewajiban saya sebagai ibu sekaligus bapak kepada anak saya, sudah pula menyisihkan sebagian untuk orang tua saya, tapi saya masih yakin kalau rezeki yang saya terima juga pantas dibagi agar orang lain merasa bahagia.
Sisa uang saya hanya 20 ribu. Tiga ribu untuk ongkos angkot, sepuluh ribu untuk membeli makan, lima ribu saya berikan untuk sang pengamen bersuara bagus itu, sisa dua ribu saya simpan. Saya tahu bahwa uang dua ribu rupiah tidak akan cukup untuk makan saya esok harinya. Saya juga tahu bahwa uang lima ribu rupiah yang saya berikan pada pengamen itu tidaklah seberapa. Mungkin itu tidak akan cukup untuk mengganjal perut istri dan anaknya. Mungkin itu tidak akan bisa memenuhi biaya sekolah putra-putrinya. Saya tidak bisa membantu banyak, hanya itu yang mampu saya berikan.
Saat lampu berganti hijau, angkot pun kembali berjalan. Sang pengamen kembali ke trotoar, memindahkan uang kolekan ke saku bajunya. Ketika mendapati selembar uang lima ribuan, ia bersorak girang dan memamerkan kepada teman-temannya. Matanya jelalatan, mencari-cari saya di angkot yang tengah berjalan (ia tahu bahwa sayalah yang memberi uang itu). Saat mata kami berpapasan, ia memamerkan senyum paling riang sambil melambai. Lalu dari mulutnya tercetak frasa "nuhun", kepalanya mengangguk dalam-dalam. Saya membalas senyumnya dari kejauhan sementara angkot terus saja berjalan.
Senyum itulah, kata-kata terima kasih dan teriakan bahagia itulah yang menghantarkan kehangatan ke dada saya. Hari itu saya merasa benar-benar menjadi manusia. Hari itu saya benar-benar merasa berguna. Ketika kita membuat orang lain berbahagia, saat itu pulalah kita telah membahagiakan diri kita sendiri, bukan?
*Masih ingat kalau uang yang tersisa di kantong saya hanyalah dua ribu rupiah? Apakah saya lantas memikirkan akan makan apa? Tidak. "Makan apa hari ini" adalah pertanyaan yang tak pernah lagi saya ajukan sejak saya keluar dari kantor, keluar dari rumah, dan serius menulis.
Maka ketika pagi keesokan harinya saya bangun dan merasa lapar, saya pergi ke depan, melewati penjual nasi bungkus langganan, menuju kios dan membeli secangkir kopi hitam. Karena memang uang dua ribu rupiah hanya cukup untuk itu.
Saat lapar semakin melilit perut, yang bisa saya lakukan hanya tertawa dan berbahagia. Sebab ketika masih bisa merasakan lapar, itu artinya saya masih hidup.
Seperti yang sering saya katakan, ketika kita menitipkan diri kepada Sang Maha Kaya maka kita tidak akan pernah kekurangan apa-apa. Saat memutuskan untuk keluar dari kantor dan serius terjun di dunia penulisan, saya membuat semacam deal-deal-an dengan Tuhan.
"Aku akan melakukan usaha sekuat yang aku bisa. Untuk itu, aku menyerahkan segala hasilnya ke tanganMu. Dan aku menitipkan diriku serta kehidupan putriku juga kepadaMu. Lakukanlah apa saja yang menurutMu terbaik bagi kami. Lakukanlah apa saja."
Saya memang manusia banal, tak tahu cara paling tepat untuk berdoa. Tapi saya tahu bahwa Tuhan mengerti berbagai macam bahasa. Dan yang paling penting, saya menaruh rasa percaya kepadaNya melebihi kepercayaan saya terhadap siapapun. Bukankah kekuatan dari bertuhan adalah keimanan?
Lapar semakin menggigit sementara tak sepeser pun uang untuk membeli makanan. Anehnya saya tidak lantas merasa khawatir ataupun getir. Toh, lapar bukan sesuatu yang harus saya lawan.
Semakin siang, rasa lapar semakin tak tertahankan. Untuk meredam itu, saya mengingat kembali sebuah senyum yang saya dapat di perempatan jalan, senyum yang membuat si empunya bahagia, senyum yang juga membuat saya berbahagia. Jadi, meskipun lapar, saya tetap berbahagia.
"Tuhan, aku tahu Engkau ada," gumam saya, masih dengan senyuman.
Sepuluh menit setelah gumaman itu, ponsel saya berdering, tanda ada pesan masuk. Anda ingin tahu isinya? Isinya adalah SMS dari seseorang yang mengabarkan bahwa dia telah mengirimkan sejumlah uang ke rekening saya sebagai honor karena saya membantunya mengerjakan sebuah proyek biografi. Padahal saya sudah lupa mengenai piutang honor yang satu itu.
Saat itu juga saya tertawa, terbahak-bahak, bahu saya menandak-nandak. Bukan hanya karena jumlah kiriman honor yang jauh lebih besar daripada yang saya harapkan, tapi juga karena honor itu datang pada saat yang paling tepat.
"Ya, Engkau memang ada."
Saya kembali bergumam dengan desir yang kali itu lebih riuh karena ada buncahan rasa syukur yang tak dapat saya ukur.
Ya, Tuhan memang ada.
Published on April 11, 2016 21:02
April 10, 2016
[RESENSI] Kedai 1001 Mimpi, Sisi Mengerikan Arab Saudi
Judul: Kedai 1001 Mimpi: Kisah Nyata Seoran Penulis yang Menjadi TKI
Penulis: Valiant Budi
Penerbit: Gagas Media, 2011
Edisi: Cetakan kelima, 2014
ISBN: 979-780-497-6
Tebal buku: xii + 444 halaman (13 x 20 cm)
Bintang: 3/5
Harga: Rp19.000.00 (obral Gramedia)
"Datang ke sini itu harus siap 'dijajah'. Baik jiwa maupun raga!"
- Yuti
Setiap kali membaca buku Vabyo (Valiant Budi) saya harus siap dengan berbagai kejutan, pun kali ini. Meski ini buku nonfiksi, tapi saya yakin bahwa di dalamnya sudah disiapkan berbagai jebakan, sama seperti kedua buku Vibi sebelumnya: Joker dan Bintang Bunting. Sayangnya saya salah, kali ini tidak ada jebakan karena setiap bab di dalam buku adalah roaler coaster yang membuat saya meringis, bahkan ingin menangis.
Jadi ini sebabnya mengapa ia seakan menghilang? Pergi ke Saudi untuk menjadi TKI karena mewujudkan mimpi untuk tinggal di Negeri 1001 malam itu? "Tolol kali kau, Kang! Kayak nggak ada kerjaan lain aja," saya ingin mengatakan itu kepadanya. Tapi siapalah saya? Cuma pembaca yang pada akhirnya bersyukur karena salah satu penulis favoritnya berhasil selamat kembali ke Indonesia.
IRONIBerbeda dengan kedua bukunya yang lain, gaya bertutur Vabyo di Kedai 1001 Mimpi menurut saya agak "ganggu". Terutama rima di setiap akhir kalimat yang terkesan agak maksa. Juga karena gaya komedi yang memang tidak cocok untuk buku sejenis ini.
Namun, setelah selesai membaca buku ini, saya berspekulasi bahwa gaya bertuturnya memang disengaja. Kegetiran yang dikemas dengan gaya komedi, betapa ironi.
SISI MENGERIKAN ARAB SAUDIVabyo bekerja sebagai barista di Kota Dammam, kota kecil di Arab Saudi. Bukan, bukan kedai kopi seperti kafe-kafe lokal seperti di Indonesia, melainkan kedai kopi bertaraf internasional. Sayangnya kualitas kedai kopi itu jauh dari kualitas internasional.
Sejak hari pertama datang, ia sudah menghadapi berbagai tantangan. Jangan sebut cuaca esktrem, itu tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan yang ia alami kemudian.
Bab demi bab menyajikan cerita yang membuat saya berdoa, berharap bahwa itu semua fiksi belaka. Kedai kopi tempat Vabyo adalah "neraka" kalau kata saya. Mulai dari rekan kerja yang tidak kooperatif cenderung "kulub-able", store manager yang gemar meminjam uang dan menggelapkan uang penjualan, modus penahanan paspor oleh perusahaan, sampai para pelanggan yang menurut saya pantas diajak ngopi ama Jessica.
Belum lagi ada cerita tentang Teh Yuti, TKW asal Tasik yang berkali-kali akan diperkosa oleh majikannya, tapi Teh Yuti melawan dengan bersiasat. Akhirnya dia dinikahi meski kehidupan pernikahannya tidak sebahagia yang kita kira.
Ada juga Mas Blitar yang bekerja sebagai sopir, ia kerap kali mendapatkan serangan seksual dari sang madam. Keadaan memaksa dia merangkap menjadi "lelaki siap pakai", secara bergiliran pula.
Kalau Anda berpikir bahwa Arab Saudi adalah tempat orang-orang bergamis dan ber-abaya yang setiap saat menyebut nama Tuhan, relijius, para calon penghuni surga. Saya sarankan Anda membaca buku ini. Kalau Anda berpikir bahwa di negara tempat turunnya Islam ini nasib perempuan jauh lebih baik, lagi-lagi saya harus menyarankan agar Anda membaca buku ini. Kalau Anda berpikir bahwa Arab Saudi suci hama dari perzinahan. Kalau Anda berpikir homoseksual tidak ada di sana. Kalau Anda berpikir bahwa rasisme hanya milik orang-orang kulit putih. Kalau Anda berpikir bahwa di sana tidak ada pesta alkohol dan pesta seks.
SAYA SARANKAN ANDA MEMBACA BUKU INI.
Di Dammam, pernah ada perempuan yang diperkosa beramai-ramai oleh temannya lalu hamil. Ketika ia datang ke rumah sakit untuk aborsi, pihak rumah sakit malah melaporkannya atas tuduhan hamil di luar nikah. Perempuan itu kemudian dipenjara.
Sakit, ya?
Jujur, Kedai 1001 Mimpi membuat saya bersyukur lahir dan besar di Indonesia. Negeri yang meski sering dicerca oleh kaum feminis, tapi setidaknya perempuan di sini diperlakukan sebagai manusia. Saya meraba dada, ingat akan Aksa. Kalau saya tinggal di negara lain, mungkin kami akan mati dirajam. Jadi, Anda yang koar-koar melulu tentang kesetaraan gender, mungkin ada baiknya tinggal setahun dua tahun di Saudi. #eh
Gebleg juga ya. Aku berjanji tidak akan menceritakan perngalaman memalukan ini pada siapapun! Dikejar-kejar pria tengah malam sambil bawa-bawa ayam goreng. Nentang ayam disangka 'ayam'.
- Hal 115
Saya juga bersyukur karena meskipun kaum LGBT mulai agresif tapi setahu saya tidak ada om-om yang nyari mangsa di jalanan dengan cara yang nyaris sama dengan penculikan atau pemerkosaan. Gilanya, Vabyo tidak hanya sekali dua kali mendapatkan pelecehan seksual, tapi sering.
INI BUKAN TENTANG ISLAMKetika Vabyo menceritakan pengalamannya di Facebook dan blog, dia malah disangka sedang menjelek-jelekkan Islam oleh kebanyakan pembaca. Kebenaran itu memang pahit, ya? Saya kira kalau ada 10 orang saja TKW yang punya kemampuan menulis memoar, negara akan menarik semua TKW sektor informal dari Saudi Arabia. Well, tidak juga sih. Toh di KBRI juga banyak oknum yang sering meminta pungli jika ada TKW yang meminta pertolongan. Belum lagi ketika di bandara. Najis banget lah urusan TKW ini.
Oh iya, izinkan saya mengatakan bahwa buku ini bukan tentang Islam. Ini tentang sebuah bangsa yang sialnya sering kita puja-puja. Negara yang menjadikan Indonesia sebagai tempat wisata berahi. Hallow, Puncak! Araya keneh, yeuh?
OPINI TAMBAHANTerus terang, saya sudah muak membaca berita tentang TKW Saudi yang pulang tinggal nama atau hidup tapi gila. Saya sudah muak melihat para perempuan hanya dijadikan komoditas ekspor, sapi perahan atas nama devisa.
Saya sudah muak melihat sikap negara yang lebih banyak diam atas kasus-kasus penganiayaan dan pemerkosaan para TKW di Saudi. Kenapa? Tidak bisa menyediakan lapangan pekerjaan sehingga para perempuan lebih senang merantau ke Arab? Kenapa? Tidak sanggup membekali keahlian dan mencetak para wirausahawan? Kenapa? Takut sama Saudi karena di sana tempat lahir nabi? Kenapa? Takut hubungan bilateral cedera lalu umat Islam Indonesia dilarang pergi haji?
Demi Tuhan, ini sudah MEA. Masih musim ya jadi negara penghasil "babu"? Mbok ya kalau mau ekspor SDM middle-level, lah. Maaf-maaf kalau saya jadi emosi. Maaf juga kepada teman-teman blogger yang bekerja di sektor informal di luar negeri.
Dari buku ini saya banyak belajar dan bersyukur. Betul-betul bersyukur menjadi warga Indonesia. Meskipun setiap kali Pilpres selalu penuh drama. Meskipun para pejabatnya korup. Meskipun banyak orang yang sebentar-sebentar nuduh PKI. Meskipun ada FPI yang jadi pelurunya polisi. #eh
Meskipun isu agama masih laku untuk dijual karena banyak orang tolol yang termakan umpan. Meskipun harga BBM kerap kali naik. Meskipun sektor pendidikan masih jadi isu sampingan. Meskipun banyak demo buruh. Meskipun sering banjir. Meskipun cowok-cowok seksi yang enak cuma orang Bandung. #Eh lagi
Tapi ini Indonesia, hukum berlaku di sini walau tertatih-tatih. Tapi ini Indonesia, tempat perempuan yang diperkosa mendapatkan perlindungan meski pelakunya masih sulit dipenjara. Tapi ini Indonesia, negeri saya tercinta.
Negeri saya tercinta.
Salam,
~eL
Published on April 10, 2016 21:38
April 9, 2016
The Selfie Diary: Cantik dan Cerita-Cerita Sunyi di Baliknya
Ia, perempuan itu, mengatai saya sebagai si bibir monyong dan orang utan kerena kulit saya memang legam. Ia dan teman-temannya haha-hihi di Twitter seolah-olah fisik seseorang pantas dijadikan bahan lelucon. Yang lebih menyakitkan, suami saya membelanya, lebih tepatnya meninggalkan saya dan anak yang tengah saya kandung demi dia: perempuan yang lebih muda dan (mungkin) lebih cantik.
Saat itu, tiga setengah tahun lalu, saya bukan hanya kehilangan suami, tapi juga anak. Saya keguguran. Tak ada perempuan yang bisa bertahan ketika membaca pesan-pesan berisi rayuan dan janji pernikahan suaminya dengan perempuan lain.
Pasca perpisahan yang begitu menyakitkan, saya memiliki satu obsesi: tampak cantik di media sosial. Saya mempelajari segala macam teknik photo editing, mengambil foto dari berbagai sudut untuk mencari "the best of me".
Tapi lama-kelamaan saya lelah.
Cantik adalah kata yang selamanya memiliki arti relatif. Kulit putih, badan bak gitar spanyol, rambut lurus panjang terurai, bibir tipis berwarna merah muda, dan lainnya hanya klausul tak tertulis tentang arti cantik. Klausul yang setiap detiknya berubah, mengikuti selera orang-orang dan perkembangan zaman.
Pun, dengan frasa "terlihat cantik". Frasa ini tidak pernah memiliki definisi konkret, semua definisi yang ada selalu diikuti dengan "tergantung kepada". Dari zaman penciptaan manusia pertama hingga hari ini, tidak pernah ada yang berhasil merumuskan apa definisi sebenarnya, karena memang tidak perlu. Untuk apa? Toh selera setiap orang tidak pernah sama.
Ironisnya, ketika kamera smartphone semakin canggih, ketika mengambil foto sendiri dilabeli dengan kata "selfie", ketika saya tak perlu lagi software desain karena aplikasi demi aplikasi yang membuat foto tampak lebih cantik dapat diunduh gratis di Google Store, saya tak lagi ingin tampak cantik untuk memuaskan siapapun. Karena saya memiliki definisi sendiri tentang itu.
Akhirnya saya memasang foto profil hanya agar wajah saya dikenali, lainnya tidak. Saya memilih foto hanya atas dasar kepantasan: pose sopan, resolusi memadai, tone warna matching dengan foto sampul, hal-hal semacam itu. Tapi, saya paham selfie strategy karena itu sudah menjadi pengetahuan dasar bagi kebanyakan perempuan. Saya juga paham bagaimana menggunakan aplikasi-aplikasi kamera dan photo editing.
Saya bisa membuat wajah saya yang biasa-biasa saja jadi tampak seperti Sophia Latjuba KW. 9, sekadar untuk bersenang-senang. Seperti foto di bawah ini.
Atau mirip Sandrina Malakiano.
Tapi tahukah Anda bahwa untuk membuat foto seperti itu saya membutuhkan 3 layer photo editing? Iya, 3 macam aplikasi. Pertama untuk mengedit brightness dan warna, kedua untuk memperbaiki tekstur kulit, ketiga untuk filter. Kalau dengan jerih payah seperti ini saya bisa mendapatkan bonus Ariel Noah sih tidak masalah, lah ini? Yang komen emak-emak doang, kok. *sedih...SELFIE EXPERT Masalah selfie dan kecantikan ini akhirnya membawa saya ke dunia baru: fotografi. Menurut Madam Vivera Siregar, fotografer pro, fotografi itu bukan tergantung gear, tapi tergantung the man behind. Sebaliknya, selfie justru tergantung gear. Jadi, kalau ada smartphone selfie terbaik yang membuat foto saya tampak pantas dan tidak usah capek-capek mengedit, saya sih akan dengan senang hati meng-uninstall semua aplikasi tambahan itu.
Sebetulnya, smartphone dengan kamera selfie tanpa jerih payah sudah lama menjadi isu fenomenal di kalangan perempuan. Oke, saya sebut saja langsung, OPPO Cameraphone. Dan yang paling terbaru: OPPO F1 Selfie Expert.
Benar kata orang, kadang kita tidak pernah tahu akan bertemu siapa kita hari ini. Ketika timeline penuh dengan foto-foto Isyana Sarasvati dan Rio Haryanto yang sedang selfie berdua dan terus terang membuat iri, eh saya bertemu Madam. Lho? Apa hubungannya? Ada, dong.
Kemarin malam, saya dan Madam janjian untuk ngobrol-ngobrol soal infografis di sebuah kafe di Cibeureum. Setelah setengah jam ngobrol, Madam mengeluarkan smartphone berwarna gold dengan maksud minta difoto. Radar saya langsung menyala.
"Madam, itu OPPO, ya?"
"Iya," jawabnya.
"Tipe berapa?"
"F1," Madam menjawab tanpa prasangka.
"Aaaakkk ... nyobain selfie, dong," saya yang tadinya kaleum berwibawa berubah jadi agak norak. Maksud saya, selfie bagian dari fotografi, kan? Anggap saja fotografi kontemporer dan sebagai fotografer mualaf, saya tentu harus tahu.
"Nggg ... iya, boleh, boleh," jawab Madam dengan suara pelan dan senyum dikulum.
Belajar infografis dengan @langit_amaravati. Biasalah kalau udah belajar mah, suka lupa waktu dan lupa daratan. Sip, ilmu baru lagi. Tinggal.dipraktekkan ya buuu :) #friends #learning #viverasiregar #rumahselaras #metimeA photo posted by Vivera Siregar (@rumahselaras) on Apr 8, 2016 at 6:04am PDT
Jadi, Madam menghibahkan waktu untuk saya agar bisa mencoba OPPO F1. Tadinya saya sempat ragu karena saat itu malam hari dan penerangan di kafe tidak mencukupi. Selfie siang hari di dalam atau di luar ruangan mungkin tidak masalah, tapi malam hari?
Saya mengambil foto dengan dua kamera smartphone berbeda di tempat yang sama dengan pencahayaan yang sama. Hasilnya seperti ini:
1. MODE NORMAL
Dua-duanya tidak memakai flash, hanya kamera depan biasa, tidak pula diedit. Tolong abaikan ekspresi wajah di sebelah kanan, sulit untuk tampak seperti Sophia Latjuba atau Isyana tanpa kamera memadai.
2. BEAUTY 3.0
Foto kedua diambil menggunakan fitur Beauty 3.0 sedangkan yang di sebelah kanan dengan fitur kamera biasa karena memang tidak ada fitur beauty. Tanpa flash, juga tanpa diedit. Mohon maaf kalau wajah saya agak berminyak, tapi tolong perhatikan tekstur kulit dan lingkaran hitam di bawah mata. Di foto sebelah kiri, lingkaran hitam di bawah mata sama sekali hilang, flek hitam sama sekali tidak tampak, dan kulit saya betul-betul tampak seperti aslinya, bahkan lebih cerah. Ini sudah seperti foto before-after. Sebentar, OPPO F1 ini smartphone atau produk kecantikan, sih? Kok tiba-tiba saya ingin jadi beauty blogger, ya? *dilirik sinis ama Aprijanti & Putri KM
3. FOTO HITAM PUTIH
Saya selalu suka foto B/W, sayangnya ketajaman warna, kontras, dan saturasi yang pas jarang bisa didapat. Jadi, biasanya saya mengambil foto berwarna lalu mengeditnya. Kali ini tidak, saya langsung mengambil foto B/W, hasilnya seperti yang Anda lihat di atas.
4. VARIOUS FILTERS
Sebetulnya saya ingin sekali pamer semua filter yang dimiliki oleh OPPO Cameraphone dengan cara mengunggahnya satu per satu, bukan dibuat kolase seperti ini. Mmmhhh ... tapi saya khawatir Anda akan mimpi buruk jika terus-menerus terpapar foto selfie saya. FYI, kamera depan OPPO F1 memiliki fitur Various Filters. Ada 8 filter yang bisa Anda gunakan langsung ketika mengambil foto. 5. DOUBLE EXPOSURE
Ini contoh foto yang diambil dengan fitur Double Exposure, maksudnya Anda bisa menggabungkan dua foto dalam satu frame dengan dua kali shoot. 6. SELFIE SIANG HARI
Sayangnya untuk selfie di siang hari saya hanya punya contoh 1 foto karena waktu itu saya buru-buru akan berangkat ke Bekasi dan si empunya smartphone juga buru-buru akan berangkat ke kota lain.
...KAMERA BELAKANGWalaupun ini artikel tentang selfie sempurna setiap saat, tapi saya kira perlu juga membahas tentang kamera utamanya. OPPO F1 memiliki kamera utama 13 MP yang dilengkapi dengan teknologi Pure Image. Berikut foto-foto yang saya hasilkan.
Semacam tidak siap difoto. Hahaha. #Aksa #instakids #kids
Rehat.A photo posted by Langit Amaravati (@langit_amaravati) on Mar 26, 2016 at 8:31am PDT
Saya: Kang, ai ini gimana minumnya? Dia: Yang diminum kopinya, Neng. Bukan alat dripping-nya. . . Dia mah suka gitu sama saya teh. -_-" . . #coffeeA photo posted by Langit Amaravati (@langit_amaravati) on Mar 19, 2016 at 10:03am PDT
HARGA SEBUAH KECANTIKANDi kafe malam itu bukan pertemuan pertama saya dengan OPPO F1, dua minggu yang lalu saya sudah pernah bertemu dan mencoba kamera belakangnya dan satu kali mencoba kamera depan. Pemiliknya adalah ... siapa lagi kalau bukan dia yang namanya tidak boleh disebut? Tapi, ketika bersama dia saya tidak berani selfie banyak-banyak. Waktu itu saya hanya berani bertanya berapa harga smartphone OPPO F1 yang dia miliki. Sayangnya dia tidak menjawab, hanya senyum-senyum.
Padahal, mudah sekali kok mencari harga sebuah smartphone, di Blibli juga ada. Saya juga curiga kalau dia pre-order di sana karena Blibli.com adalah e-commerce pertama yang bekerja sama dengan OPPO untuk memasarkan F1.
Kalau saya pribadi ditanya kenapa harus membeli OPPO F1 di Blibli.com, saya punya beberapa alasan:
1. HEMAT WAKTU, TENAGA, DAN UANG
Meskipun freelancer, saya tidak punya banyak waktu untuk "berkeliaran" di toko elektronik. Lagi pula, OPPO official store yang terdekat dari Cimahi hanya ada di Bandung dan hanya ada di satu mal. Sayangnya, setiap kali ke mal itu saya selalu nyasar karena eskalator turun di mana, eskalator naik entah di mana, itu alasan pertama. Alasan kedua, karena sulit sekali untuk menetapkan hati. Berada di belantara gadget akan membuat perhatian saya terdistorsi. Ketiga, karena letaknya berada di belakang toko buku dan ini akan memicu alarm untuk membeli buku, padahal saya tidak perlu membeli buku karena buku yang ada saja belum semua dibaca.
Jadi, membeli di Blibli.com adalah solusi untuk menghemat waktu, tenaga, dan tentu saja uang. Ongkir? Kan gratis ongkir. *senyum-senyum
2. BISA DICICIL
Hanya di Blibli.com yang menyediakan opsi pembayaran cicilan, ada dua pilihan pula: 6 dan 12 bulan dengan bunga 0%.
3. TESTIMONI
Lagi-lagi, hanya di Blibli.com yang ada testimoni dari pembeli. Menurut saya ini penting karena walau bagimanapun, sebagai seorang calon pembeli, saya tentu ingin mendengar pendapat pembeli lain. Sesimpel itu.
4. DIKIRIM OLEH OPPO OFFICIAL STORE
Tentu saja ini juga menjadi pertimbangan. OPPO F1 akan dikirimkan langsung oleh OPPO Official Store sehingga saya tidak perlu khawatir soal kredibilitas store-nya. Jadi kalau ada apa-apa, mudah sekali melakukan klaim. 5. KETERIKATAN BATINOke, poin ini mungkin agak drama. Beberapa bulan lalu saya pernah berurusan dengan staf Blibli.com terkait pengiriman barang. Staf mereka, saya lupa jabatannya, yang jelas dia ramah sekali. Ternyata dia urang Sunda, karena tahu saya tinggal di Cimahi dan urang Sunda juga, maka waktu itu kami ngobrol memakai basa Sunda. Bagi saya itu poin plus. Maksudnya, meskipun masalahnya bisnis, tidak berarti harus kaku.
...SPEKInformasi ini sebagai catatan saya dan bahan referensi tambahan untuk Anda. Namun, jika Anda ingin info lebih detail mengenai OPPO F1, Anda bisa mengunjungi website OPPO atau ke Blibli.com. Anda juga bisa mengikuti media sosial mereka.
...
"Neng, kamu kelihatan kayak Isyana ya di foto itu? Tapi menurut Akang itu lebih karena pengaruh kamera Selfie Expert-nya OPPO F1, deh." *emot senyum
Sampai artikel ini selesai dibuat, pesan yang ia kirimkan masih berseliweran di kepala. Pesan yang kerap membuat saya senyum-senyum sendiri. Selfie strategy dan kamera depan smartphone memang penting untuk menjadi seorang selfie expert sehingga foto yang dihasilkan tampak pantas, baik untuk koleksi pribadi atau untuk menjadi foto profil di media sosial.
Tapi yang lebih penting dari itu, saya sedang bersama seseorang yang membuat saya selalu merasa cantik. Seseorang yang saya yakin melihat saya sebagai perempuan utuh, bukan hanya sebentuk tubuh. Tak peduli bibir saya tebal, tak peduli kulit saya legam, tak peduli tubuh saya tidak berbentuk seperti gitar.
Seperti yang ia katakan, dia bersama saya karena saya sehat, cerdas, menyenangkan, dan percaya diri. Maka itulah definisi cantik menurut saya, perempuan yang percaya diri. Perempuan yang percaya dirinya cantik. Terserah perempuan lain bilang apa, terserah apa yang dikatakan dunia. Karena cantik atau tidak, toh hanya perkara selera.
Salam,
~eL
Sumber referensi dan foto:
Koleksi pribadi Blibli.comOppo.comOppo Community
Published on April 09, 2016 01:23
April 6, 2016
Blogger Undercover
Ketika menulis ini, saya sadar bahwa saya telah melanggar kode etik blogger dan buzzer. Tapi, di atas itu semua, saya kira ada yang lebih penting untuk disikapi: nurani.
Sejak aktif di media sosial bertahun-tahun silam, sudah lama saya mengambil posisi sebagai pengamat. Isu demi isu bermunculan dari mulai gesekan sesama penulis terkait plagiarisme, Pilpres, working mom vs fulltime mom, sampai isu yang menuai pro dan kontra beberapa hari lalu: event blogger.
Mengenai event blogger yang saya tulis, banyak yang menanggapi dengan positif, lebih banyak lagi yang negatif. Status-status bernada nyinyir yang justru datang dari teman-teman saya sendiri berlalu-lalang di timeline, ada yang mengancam akan meng-hack blog saya, sampai meme-meme yang konon juga dibuat untuk menanggapi tulisan saya.
Tanggapan saya? Saya tidak peduli. Pun saya tidak sedang mencari sensasi. Untuk apa? Menuai view? Supaya terkenal? Maaf-maaf nih, Mas, Mbak, sejak tiga bulan lalu saya aktif kembali di dunia blogger pun saya sudah diperhitungkan banyak orang, kok. Oke, yang ini memang sengak, Anda boleh tampar saya sekarang.
Kali ini saya ingin membahas hal lain. Isu yang beberapa minggu ini mengusik nurani saya sebagai blogger. Anda boleh setuju boleh tidak. Boleh nyinyir di media sosial atau membuat postingan sanggahan. Silakan membuat meme sesuka hati Anda.
...
PELARANGAN OJEK ONLINEAnda ingat tidak, bulan Desember tahun lalu sempat dikeluarkan Surat Pemberitahuan Nomor UM.3012/1/21/Phb/2015 tentang Kendaraan Pribadi (Sepeda Motor, Mobil Penumpang, Mobil Barang) yang Digunakan untuk Mengangkut Orang dan/atau Barang dengan Memungut Bayaran? Saya sempat menulis tentang ini di sini. Surat pemberitahuan bertanggal 9 November 2015 ini kemudian ditarik kembali setelah menuai banyak sekali kecaman dari netizen.
Reaksi netizen tentu saja bermacam-macam, tapi kebanyakan kontra terhadap surat itu. Surat kepada Tuan Ignatius Jonan yang saya tulis, saya akui sangat reaktif alih-alih responsif. Setelah itu, seperti biasa, saya menarik diri dari keriuhan.
Saya kira urusan pelarangan angkutan umum ini sudah selesai sampai saya membaca berita bertajuk "Saham Blue Bird dan Taxi Express Naik Usai Terbitnya Surat Pemberitahuan". Saya bertanya-tanya, lebih tepatnya gelisah, "Ada apa sebenarnya?"
Anggaplah saya iseng dengan membaca semua berita tentang fluktuasi saham ini, sampai harus report-repot ngecek ke bursa efek. Dan memang, saya menemukan fluktuasi yang jika dijadikan grafik akan terlihat gagarinjulan.
Ada beberapa kesimpulan yang saya ambil dari ribut-ribut ini:
1. Bukan tentang AplikasiReaksi para netizen termasuk saya waktu itu adalah bahwa surat pemberitahuan itu tentang aplikasi, padahal bukan. Ini tentang plat kuning dan plat hitam. Ya kalau tentang moda transportasi berbasis aplikasi mah, Blue Bird juga kena atuh da pada bulan yang sama meluncurkan aplikasi My BlueBird. Saya datang ke acara peluncurannya dan sempat membuat review mengenai aplikasi ini.
Kenapa ini bisa terjadi? Karena kesalahan media relation atau markomnya Organda kalau kata saya mah. Coba Anda perhatikan, berita di media pada waktu itu malah lebih mengedepankan transportasi umum konvensional vs transportasi berbasis online. Di era digital, melarang "ojek online" sama dengan cari masalah kalau kata saya mah.
Mungkin, karena kesalahan point of interest inilah kemudian surat itu ditarik kembali. Mungkin lho, ya.
2. OrgandaSurat pemberitahuan ini diinisiasi oleh Organda. Nggak perlu analisis intelijen untuk tahu ini, baca saja pernyataan-pernyataan orang Organda di media. Dan Anda tahu siapa ketua Organda periode 2015-2020? Adrianto Djokosoetono, Direktur PT Blue Bird Tbk,.
Naif kalau saya bilang ini tidak berkorelasi.
3. PolitisasiSaya tidak tahu mengapa Presiden Jokowi sampai harus repot-repot ngetwit dan membela ojek online. Dengen ngetwit begitu hanya menunjukkan bahwa Menhub tidak becus, termasuk saya waktu itu. Siapa yang paling diuntungkan dengan adanya konflik horizontal di dalam badan eksekutif? Prabowo? DPR? Bukaaannn.
Situasi sosial politik akan berimbas kepada satu hal: harga saham.
Ini bukan "perang" kita. Kita, para netizen hanyalah ikan di kolam Internet. Surat pemberitahuan itu bisa saja hanya "test the water". Iseng-isengnya menteri dan para petinggi Organda.
...
CAMPAIGN BLOGGER & BUZZER Saya pikir masalah taksi dan ojek online ini sudah selesai. Saya pikir ini hanyalah gejolak biasa yang sebentar ingar sebentar padam. Sampai pada suatu hari di pertengahan bulan Maret, saya mendapatkan surel pemberitahuan campaign baru. Campaign itu diberi judul "SELAMATKAN MASA DEPAN TRANSPORTASI INDONESIA". Begitu saya membaca isinya yang lebih kepada transportasi online vs transportasi konvensional, reaksi saya adalah: bangke!
Saat itu saya memang tergoda untuk mengajukan proposal berisikan satu kalimat: kalian berani bayar saya berapa? Tapi tentu saja saya urungkan karena dibayar berapa pun saya tidak akan mau.
Yang kemudian jadi kekhawatiran saya adalah posisi blogger dan buzzer. Terbayang tidak sebesar apa konflik horizontal yang akan terjadi jika ada blogger yang nekad mengambil campaign ini? Untuk itulah saya menulis ini, mengajak Anda untuk menelaah bersama-sama posisi kita.
Ada beberapa poin yang menjadi kekhawatiran saya:
1. Konflik HorizontalAsal Anda tahu, ada beberapa blogger yang menjadi driver Go-Jek, tidak sedikit pula yang suami atau saudaranya menjadi sopir taksi konvensional. Go-Jek dan taksi telah menjadi kendaraan para blogger untuk datang ke event-event.
Kalau ada blogger yang memutuskan untuk mengambil campaign ini, dan kemungkinan besar akan viral. Yang akan terjadi bukan konflik transportasi konvensional vs transportasi online, tapi blogger vs blogger.
Kita semua tahu bahwa blog telah menjadi ajang kampanye berbagai macam isu. Kenapa? Karena blog bersifat testimoni pribadi, dan pembaca akan lebih percaya yang dikatakan blogger daripada media cetak maupun online. Tidak percaya? Hellow, memangnya Anda pikir job review itu untuk apa? CSR-nya brand?
2. Blogger Sebagai Cyber ArmyTadinya saya sempat pula berpikir bahwa campaign ini berasal dari para pemilik tansportasi berbasis online, semacam metode playing victim. Tapi setelah dipikir ulang, mereka tidak perlu melakukan ini karena tanpa meng-hire blogger atau buzzer pun transportasi online ini sudah mendapat dukungan dari netizen. "Dibeking" presiden pula.
Akhirnya saya mengambil kesimpulan bahwa campaign ini adalah bentuk keputusasaan korporasi transportasi konvensional. Saya tidak tahu siapa yang menjadi konsultan media mereka, bisa jadi salah satu konsultannya adalah blogger juga, yang jelas langkah mereka serampangan.
Saya juga bertanya-tanya, jika pertarungan antar korporasi sudah berani dibawa ke ranah blogger, berikutnya apa lagi? Memangnya kita dianggap apa? Cyber army?
3. Blogger BayaranIni topik yang rentan. Saya tidak tahu berapa bayaran untuk campaign ini karena memang tidak disebutkan. Yang jelas, si pemilik campaign bisa saja beranggapan bahwa blogger dan buzzer hanyalah orang-orang yang bisa dibayar.
Anda mengerti kan maksud saya?
4. Media BumperAnda tahu bumper? Kalau ada tabrakan, bumper inilah yang memiliki kans besar untuk kena duluan. Kalau media online betulan yang di-hire lalu terjadi keributan yang tidak diinginkan, misalnya pro kontra di kalangan netizen, mudah sekali menempatkan media online sebagai "pesakitan". Media online vs netizen, kita tahu siapa yang akan menang. Selesai.
Kalau sesama blogger yang menulis tentang ini, perdebatannya tidak akan selesai sampai seluruh es di Antartika mencair.
5. SubjektivitasMeskipun tidak semua jurnalis media online memiliki dedikasi dan paham kode etik jurnalistik, tapi mereka agak sulit "dibeli". Mungkin mereka belajar dari kesalahan strategi surat pemberitahuan beberapa bulan silam sehingga mengambil strategi yang berbeda.
Perlu tenaga besar untuk memengaruhi media massa, juga perlu keahlian seorang media relation kawakan agar transportasi konvensional ini dicitrakan baik di setiap berita. Pun, berita yang ada akan sangat objektif, tidak akan berpengaruh apa-apa terhadap pola pikir masyarakat.
Berbeda kalau yang menulis adalah blogger. Saking subjektifnya, pembaca yang tidak peka akan menganggap bahwa tulisan si blogger adalah testimoni pribadi, panggilan hati nurani, padahal tidak. Berapa banyak dari kita yang sanggup berada di batas-batas nurani jika dibayar? Jangankan ikut campaign yang jelas-jelas dibayar, postingan lomba saja banyak kok yang terkesan "menjilat".
...
DEMOBeberapa hari saya menunggu postingan campaign sambil berdebar-debar. Ternyata tidak ada, kalaupun ada mungkin tidak viral. Saya bernapas lega, berbaik sangka bahwa tidak ada blogger atau buzzer yang cukup gila untuk ikut campaign ini. Sampai ... demo Blue Bird terjadi.
APA LAGI INI? Pikir saya.
Ini saya benar-benar ingin tahu, siapa sih konsultan media Blue Bird? Mbok ya cerdas sedikit. Kalau ingin mengambil hati masyarakat bukan begitu caranya, itu mah kayak cowok yang ditolak cewek terus mukulin siapapun cowok yang jalan sama cewek gebetannya. Maaf-maaf nih ya, kekanak-kanakan.
Di isu-isu seperti ini, akhirnya kita semua jadi para spekulan, termasuk saya. Jadi, spekulasi saya adalah bahwa demo ini adalah "senjata" terakhir, senjata yang kemudian menjadi bumerang. Anda pernah membaca buku Memoirs of Geisha? Ada adegan pertarungan sumo, intinya adalah si pesumo berbadan besar dikalahkan oleh pesumo berbadan kecil. Jurusnya cuma satu: memanfaatkan kekuatan lawan. Begitulah saya memandang demo ini.
Tapi, karena saya cenderung memikirkan hal-hal yang sebetulnya tidak harus saya pikirkan, ada beberapa hal yang saya cermati:
1. Gejolak Arus BawahAnda ingat apa isu yang diangkat oleh para sopir taksi itu? Kesenjangan pendapatan. Iya, benar, masalah duit dan perut anak bini. Siapa yang tidak terketuk hatinya dengan isu seperti ini? Maka beramai-ramailah para netizen berkomentar soal ini. Selain demo di Jakarta, media sosial memanas dengan pro dan kontra.
Pernahkah Anda bertanya mengapa perusahaan taksi konvensional ini tidak bertarung di ranah regulasi? Padahal sudah jelas kan undang-undang plat hitam dan plat kuning ini ada? Padahal sudah jelas kan sepeda motor memang bukan untuk transportasi publik?
Karena efeknya berbeda. Siapa sih yang akan peduli dengan perusahaan taksi yang sedang berusaha menegakkan undang-undang? Lagi pula, sudah ada instruksi presiden untuk membina para start up di bidang transportasi.
2. Koflik HorizontalAnda tahu bahwa para driver Go-Jek di beberapa kota adalah para ojek pangkalan? Anda tahu bahwa banyak sopir taksi yang pada akhirnya menyeberang ke taksi online? Masyarakat kelas bawah sendiri sudah lama mengambil sikap seperti jerapah, menyesuaikan diri.
Kenapa harus demo segala? Supaya rame aja. Supaya masyarakat menganggap bahwa gesekan itu benar-benar ada. Oke, memang ada. Tapi tidak separah isu yang diangkat ketika demo.
Di mana para petinggi taksi Blue Bird ketika demo terjadi? Di mana para ketua Organda ketika para sopir Blue Bird melakukan sweeping? Di mana para pemilik start up ketika driver mereka dipukuli?
3. Salah StrategiKetika situasi masih panas, Blue Bird dengan semena-mena mengeluarkan kebijakan taksi gratis. Waktu itu saya tertawa. Mereka meremehkan kekuatan netizen. Taksi gratis ini akhirnya cuma jadi lelucon.
...
Blogpost ini sudah semakin panjang, perlu Anda tahu bahwa saya tidak dibayar oleh perusahaan taksi konvensional maupun oleh transportasi online. Perlu juga Anda tahu bahwa saya menulis ini sebagai blogger yang khawatir dan gelisah terhadap posisi blogger di perang korporasi besar. Saya tidak memihak keduanya.
Sebelum Anda menetapkan posisi Anda di mana, tolong ingat beberapa hal. Satu, Blue Bird dan mungkin akan diikuti perusahaan transportasi konvensional lainnya sudah punya sistem reservasi online via aplikasi. Tolong jangan lagi ribut soal metode reservasi yang satu online yang satu tidak.
Dua, para sopir taksi dan opang bisa bersinergi dengan kemajuan teknologi. Mereka tidak setolol yang kita kira. Yang harus kita cermati adalah mengapa selalu terjadi pergesekan di arus bawah?
Tiga, ini bukan konflik kesenjangan sosial. Go-Jek dan sebangsanya bukan UMKM sehingga patut Anda bela mati-matian dengan alasan sharing economy dan bla bla bla. Bulan Agustus tahun lalu Go-Jek mendapatkan suntikan dana sebesar US$ 200 juta dari Sequoia Capital.
Empat, pada saat start up-start up ini mendapatkan investasi triliyunan, saham transportasi konvensional kembang-kempis di pasaran. Ini bukan tentang nasib para opang atau para sopir taksi konvensional, Saudara-Saudara. Ini tentang korporasi-korporasi besar.
Lima, dengan adanya campaign yang saya sebutkan di atas. Itu berarti posisi blogger mulai diperhitungkan. Diperhitungkan sebagai peluru, pihak bayaran yang hanya dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan yang bahkan kita sendiri tidak tahu.
Terus terang saya sedih. Monetesasi blog ternyata hanya berujung kepada ini. Job review, reportase, campaign, placement article, afiliasi, dan lain-lainnya itu membuat kita mudah sekali dijadikan alat. Itu hanya satu campaign, dan saya yakin akan ada campaign-campaign lainnya yang tidak kalah mengerikan.
Baru berapa tahun monetesasi blog ini mulai marak? Tapi kita sudah sampai pada titik nadir ini. Hari ini cuma korporasi-korporasi yang menjadikan blogger sebagai peluru, besok mungkin kita akan dijadikan alat kampanye politik. Atau mungkin sudah?
For the God Sake, wake up!
Itu sebabnya mengapa senior-senior saya selalu menekankan, dedikasi, dedikasi, dedikasi! Memonetisasi blog sah-sah saja. Toh memang sudah zamannya. Tapi izinkan saya mengajukan satu pertanyaan: demi uang, maukah Anda hanya dijadikan peluru?
Salam,
~eL
Published on April 06, 2016 00:57
April 4, 2016
Lomba-Lomba "Bedebah" Itu
Kehidupan pribadi saya terancam berantakan sejak saya jadi blogger.
Lebih berantakan lagi ketika saya mulai intens ikut lomba-lomba yang menyita tenaga, waktu, dan pikiran. Saya sadar bahwa setiap kerja keras akan selalu terbayarkan, tapi saya lupa bahwa saya juga punya tanggung jawab profesi lain. Profesi saya bukan hanya blogger, saya juga desainer dengan tenggat waktu padat merayap. Saya juga cerpenis yang sudah terlalu lama vakum. Saya juga wirausahawan yang bisa saja memiliki omzet besar kalau saya punya lebih banyak waktu.
Pekerjaan utama saya bukan blogger dan semoga saja tidak akan menjadi profesi utama, jadi saya tidak harus repot-repot punya 100 blog untuk menghidupi anak-anak seperti Mas Anonymus yang nyolotan itu. Ikut lomba hanyalah usaha saya untuk memicu adrenalin, untuk mencari sparring partner, sekaligus media agar saya berusaha meningkatkan skill. Menang ya syukur, kalah ya sudah. Memonetisasi blog hanya ikhtiar saya menghargai jerih payah saya sendiri, sama dengan ketika saya menulis cerpen.
Pun, saya lupa bahwa selain memiliki tanggung jawab profesi, saya juga memiliki tanggung jawab sosial. Saya punya anak usia remaja yang sebentar lagi masuk SMP, saya punya anak batita yang sering protes karena tidak diperhatikan, saya juga punya (katakanlah) kekasih yang lebih sering jadi teman diskusi atau tukang bikin kopi karena setiap kali bertemu saya sedang dikejar deadline. Kalau begini terus, kapan cita-cita saya untuk membangun rumah tangga samara akan tercapai? Kapaaannn?
Puncaknya adalah ketika dua minggu yang lalu Aksa harus menginap di rumah pengasuhnya selama beberapa hari berturut-turut. Karena apa? Karena saya sedang mengejar deadline. Hari pertama tidak ada masalah, hari kedua pengasuhnya datang ke kosan karena Aksa terus-menerus rewel sambil berceloteh, "Ndaaa ... Ndaaa." Ibu macam apa saya?
Lomba-lomba blog telah membuat saya kembali bertanya, apa prioritas utama hidup saya?
Untuk apa saya menang hadiah jutaan rupiah kalau pada akhirnya hubungan saya dengan anak-anak menjadi renggang? Untuk apa saya disebut-disebut sebagai pesaing utama Handiko Rahman si pengacau lomba itu kalau pada akhirnya saya dipecat ama si Akang? Nikah sama Diko? Kan, nggak mungkin. (P.S. Saya nggak suka brondong)
"Manajemen waktu atuh, Teh."
Mas, Mbak, dua tahun ini untuk napas aja saya susah, manajemen waktu macam mana lagi? Intinya, saya harus berhenti sejenak, menetapkan kembali skala prioritas kalau tidak ingin depresi.
...RE-CHARGE & RE-THINKIya, saya jenuh. Lelah mengejar deadline lomba hanya untuk memicu adrenalin. Saya harus menjaga kembali keseimbangan hidup. Ada beberapa hal yang saya lakukan, ini bukan tip, bisa saja cocok untuk Anda bisa juga tidak.
1. Keluarga Adalah Nomor SatuEciyeee ... yang sedang mem-branding diri jadi ibu sekaligus calon istri salehah. Oh well, kejadian dengan Aksa adalah tamparan telak bagi saya. Walau bagaimanapun anak-anak adalah nomor satu, saya tidak bisa egois dengan terus-terusan mengejar karier. Ya persetanlah dengan karier dan profesi jika harus menyita waktu yang seharusnya saya pergunakan untuk anak-anak.
Saya jenuh dan lelah terus-menerus didera rasa bersalah. Saya tidak mau karier apa pun yang tengah saya tapaki malah jadi bumerang bagi saya sendiri. Sejak dua minggu lalu saya sudah memutuskan untuk membatasi apa pun kegiatan saya, fokus kepada Aksa dan Salwa. Juga fokus kepada kesehatan diri saya sendiri.
Jadi saya akan kembali ke jalan yang benar, jalan yang digariskan oleh Tuhan: ibu.
2. Menyelesaikan SEMUA Outstanding JobSaya punya beberapa outstanding job yang sempat terbengkalai karena terlalu serius ngeblog. Iya, ini salah saya. Sepenuhnya salah saya.
Selain kehidupan pribadi, kondisi finansial saya juga terancam. Meskipun freelancer, pendapatan rutin saya ya dari desain.Terus terang, sejak aktif ngeblog beberapa bulan lalu, pendapatan saya sama sekali berhenti karena saya tidak menyelesaikan order desain.
Ketahanan ekonomi akan menyeimbangkan antara idelisme dengan realitas. Kalau terus-terusan seperti ini, lama-kelamaan saya akan terjebak "jual diri" seperti Mas-Mas Anonymus itu *dibahas. Jujur, saya juga ingin mendapatkan DOLLAR dari blog, kalau perlu poundsterling yang nilai tukarnya lebih tinggi. Tapi saya tidak bisa, lebih tepatnya saya tidak mau.
Blog adalah media tulisan, dan menulis bagi saya adalah takdir yang harus selalu digenapi. Kalau perlu dikomersialkan, cara saya menyeimbangkan idelisme dengan realitas adalah dengan membuat tulisan berkualitas sehingga memiliki nilai ekonomi tinggi, tidak dengan cara "jual diri".
Jadi kalau saya mau tetap berada di jalur takdir yang tepat, saya harus secure secara finansial.
3. Mengurangi Intensitas Ikut Lomba BlogTerutama lomba-lomba bertema teknologi yang harus mengeluarkan efforts banyak. Tenaga dan ide untuk membuat grafis lebih baik saya gunakan untuk mengerjakan layout-an yang hasilnya lebih jelas. Tolong jangan senang dulu, sesekali saya masih akan ikut lomba, tapi tidak akan memaksakan diri lagi. Kalau sempat ya ikut, kalau tidak ya sudah.
4. Menulis untuk Bersenang-SenangDalam dua minggu ini saya sedang ikut program One Day One Post (ODOP) yang diadakan oleh Fun Blogging. Setiap hari temanya berbeda-beda, tapi kami bebas menulis dari sudut pandang mana saja. Blogpost saya "Anda dan Saya Blogger, Bukan Event Cheerleader" adalah bagian dari ODOP. Temanya adalah cara hemat ketika datang ke event blogger, entah kenapa saya malah nyasar dan menulis postingan yang kemudian menuai view polemik.
Begitulah cara saya bersenang-senang. Yang baru mengenal saya mungkin akan sedikit shock dan benci tapi rindu. Tapi Anda yang sudah mengenal saya lama pasti paham bahwa karakter tulisan saya memang berasa tomyam: asem, manis, pedas, tapi enak. (Iya deh, Chan, iya)
5. Menulis CerpenDosa besar saya sebagai cerpenis adalah vakum menulis cerpen. Saking vakumnya, sampai-sampai ada cerpenis baru yang nyinyir setiap kali saya posting artikel lomba atau postingan-postingan sponsored post. Bukan salah dia memang, toh dia tidak tahu bahwa ketika dia masih belajar membuat opening lead, saya sudah ke UWRF. (Songong lu, Chan)
Dua tahun saya vakum menulis cerpen. Sudah waktunya saya kembali dan mengulang tahun-tahun kejayaan. *halah
6. MembacaAda ratusan buku yang belum sempat saya baca. Buku yang selama ini hanya jadi penghias rak. Membaca selalu bisa menjadi bunker tempat saya melarikan diri dari kejenuhan macam apa pun. Lagi pula, membaca juga bisa berfungsi mengisi nutrisi.
Saya sadar, semakin sering menulis, apalagi untuk lomba, tulisan saya jadi semakin cair. Seperti kata Pandu Dryad dalam komentarnya, akhir-akhir ini blog saya hanya dibaca para blogger lagi, terutama postingan-postingan lomba. Dulu, meskipun komen dan view sedikit, saya punya pembaca loyal. Para pembaca yang memang suka dengan tulisan saya. Sekarang? Berapa persen sih dari pembaca yang betul-betul ingin tahu fitur gadget? Kebanyakan kan cuma riset kompetitor atau melihat grafisnya.
Iya, kan?
7. Self HealingSebetulnya ketujuh poin ini juga berfungsi untuk self healing sih, saya cuma ingin menegaskan. Anda tahu tidak bahwa didera deadline terus-terusan bisa membuat kita stres? Dua minggu lalu saya sampai depresi. Lebay, ya? Da saya mah gini orangnya, di luar aja kelihatan sangar padahal hatinya mah lemah lembut dan gemulai. Nikahable banget lah pokoknya.
Oke, fokus!
Sebelum kejadian Aksa nangis sambil bilang "Ndaaa ... ndaaa..." itu, pada suatu sore dia rewel sekali. Ingin main sepeda di luar padahal sedang hujan. Apa yang saya lakukan? Saya marahi dia, tidak tanggung-tanggung, saya sampai bilang begini, "Aku sudah mempertaruhkan hidupku demi mempertahankan kamu. Aku rela dimusuhi seluruh dunia agar kamu ada. Jangan uji aku dengan cara seperti ini!"
Setelah capek menangis, Aksa langsung tidur, tanpa minum susu, tanpa dipuk-pukin.
Setelah itu saya duduk di depan laptop, memandangi layar berisi draft postingan lomba, bertanya-tanya dalam hati mengapa saya sampai tega mengeluarkan kata-kata itu kepada Aksa? Dia bahkan tidak pernah minta dilahirkan dari rahim saya. Itu bukan hal yang bisa dia pilih. Tuhanlah yang mengirimkan Aksa kepada saya untuk menjadi jangkar.
Saya juga bertanya-tanya, apa yang menyebabkan emosi saya serentan itu? Jawabannya ada di depan saya: tenggat waktu membuat emosi saya tidak stabil. Karena saya keras kepala dan pantang berjuang setengah-setengah, besoknya saya meminta agar Aksa menginap di tempat pengasuhnya.
Apakah langkah saya berhasil? Tidak, yang ada adalah kejadian seperti yang saya ceritakan di awal. Saya menyerah. Memenangkan lomba tidak lebih penting daripada anak-anak dan kesehatan mental saya.
...
Manajemen waktu saja tidak cukup. Saya sudah semakin ahli mereview gadget, tapi semakin tumpul mereview hidup saya sendiri. Saya lelah didera deadline terus-menerus. Cemen? Boleh jadi. Kenyataannya memang kesehatan saya tidak mendukung untuk melulu begadang, lupa makan, lupa pacaran. Kalaupun mau mereview karena saya suka bidang ini, saya akan melakukannya atas inisiatif sendiri, bukan cuma untuk memuaskan dewan juri. Kalaupun ingin ikut lomba, saya akan memilih lomba yang betul-betul ingin saya tulis.
Saya jenuh ngeblog hanya agar traffic bagus, memikat brand, atau hal-hal semacam itu. Saya akan kembali menerapkan prinsip "setiap tulisan memiliki takdirnya sendiri-sendiri". Untuk apa saya menulis hal-hal yang tidak saya sukai atau hal-hal yang tidak ingin saya bagi?
Personal branding. Menjaga hubungan baik dengan sesama blogger, agensi, dan brand. Menjaga engagement dengan pembaca. Hal-hal itu tentu masih akan saya jaga karena ini berlaku di setiap profesi.
Tapi, saya tetap ingin menjadi blogger amatir. Yang menulis blog karena suka, karena cinta. Dapat bayaran atau tidak, itu tidak lagi menjadi prioritas saya.
Salam,
~eL
Published on April 04, 2016 06:37
April 2, 2016
Anda dan Saya Blogger, Bukan Event Cheerleader
Saya yakin bahwa semua blogger memiliki kebijakan tersendiri mengenai cara memperlakukan dirinya dan blog yang dikelola. Saya tidak ingin mengatakan bahwa yang begini salah sedangkan yang begitu benar. Sebab menjebak diri dalam dikotomi salah dan benar tidak akan membawa kita ke mana-mana.
Sebelumnya, saya ingin mengajak Anda kembali menelaah pengertian blog dan blogger.
Dari pengertian-pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa blog adalah web berisi catatan pribadi, yang dibagikan adalah hal-hal pribadi. Kalau isinya melulu berita dan reportase, itu namanya media online. Kalau isinya melulu iklan, itu namanya e-commerce. Kalau isinya melulu placement article, itu namanya ... saya tidak tahu, mungkin namanya blog kos-kosan.
Tapi tunggu dulu, beberapa tahun terakhir pengertian itu telah bergeser. Pada praktiknya blog dan blogger menjadi frontline media marketing. Ini dekade digital, brand lebih suka memasang iklan di blog dan mengundang blogger ketika mengadakan event daripada mengundang wartawan betulan.
Kita tidak bisa menutup mata terhadap kesempatan-kesempatan ini, bukan? Naif kalau kita mengatakan, "Saya cuma mau ngeblog dan berbagi dengan pembaca, tidak mau dibayar atau menjadi blog kos-kosan."
Bohooonggg. Siapa sih yang tidak ngiler ketika melihat blogger pamer gadget hadiah doorprize dari event-event blogger? Siapa sih yang tidak tergoda untuk banting stir dari penulis media militan ke blogger yang bayarannya lebih mahal? Siapa sih yang tidak terketuk hatinya ketika melihat blogger pamer kemenangan di lomba blog yang jumlahnya berkali-kali lipat dari honor cerpen Kompas?
Well, mungkin ada, tapi tidak banyak.
Pertanyaannya adalah: sampai di mana kita menetapkan batasan-batasan agar blog kita tidak tergerus atau berakhir menjadi media online. Sampai di mana kita tahan untuk tidak (sorry) melacurkan diri?
EVENT-EVENT BLOGGER, YES OR NO?Sampai tiga bulan lalu saya selalu merasa berkecil hati dan pesimis ketika melihat teman-teman lain berbagi tentang event-event blogger yang mereka hadiri. Tiga bulan lalu saya selalu merasa sedih ketika melihat blogger lain diundang ke acara launching gadget sementara saya tidak.
Sekarang? Sekarang saya bahkan berani menolak undangan. Songong? Bukan, tapi karena yang mengundang adalah provider A sedangkan saya sudah jadi buzzer provider Q. Memang tidak ada kontrak ekslusif, saya sih cuma concern terhadap kode etik.
Untuk datang ke event blogger itu perlu biaya, Mas, Mbak. Kita juga perlu mengerahkan berbagai macam sumber daya. Waktu, tenaga, pengetahuan, dan lain-lain. Kalau benefit yang kita dapatkan tidak seimbang, untuk apa?
Sebelum membahas tentang biaya, cara hemat, dan (katakanlah) timbal balik, ada beberapa hal yang saya pertimbangkan sebelum datang ke event blogger.
1. TEMAAnda tahu Ulul atau Nurul Wachdiyyah? Blogger Bandung sekaligus teman satu angkatan saya di Fun Blogging. Ulul berani menolak datang ke event blogger dengan alasan, "Maaf, temanya tidak cocok dengan blog saya."
Blogger-blogger "berdedikasi" beginilah yang kita perlukan. Misalnya, saya tidak akan datang ke event beauty blogger bertema kecantikan karena ya untuk apa? Pakai eyeliner saja masih tertatih-tatih, kok. Kecuali kalau produk kecantikannya mengusung tema brand lokal, saya akan datang (walau belum tentu diundang sih) karena saya concern terhadap produk-produk lokal.
Oke, contoh lain. Blog saya yang ini akhirnya lebih banyak membahas teknologi. Artinya berhubungan dengan ribuan launching smartphone terbaru, provider, aplikasi, dan perangkat teknologi lain. Saya akan datang apabila diundang atau mengajukan diri karena temanya sesuai. Tapi ... ada faktor lain juga yang saya pertimbangkan.
2.KODE ETIKIni sengaja saya tempatkan di urutan kedua karena (sorry) saya sendiri masih banyak melihat blogger yang hari ini ngetwit tentang provider A, besoknya ngetwit provider C. Saaayyy, itu namanya face to face, Saaayyy. Cari masalah sama brand.
Seperti yang saya ceritakan di atas, meski blog saya yang ini lebih banyak membahas teknologi (ini gara-gara sering ikut lomba gadget ini), saya tidak akan datang ke event yang diadakan oleh provider kompetitor.
Ini saya kasih bocoran saja, ya. Sebelum meng-hire blogger atau buzzer untuk kerja sama, brand juga memerhatikan media sosial kita. Jadi kalau misalnya Anda kerap datang ke event blogger yang diadakan provider A tapi tidak pernah di-hire jadi buzzer betulan, coba ingat-ingat, berapa banyak provider lain yang pernah Anda twitkan.
Bahkan untuk lomba pun saya hati-hati, kok. Misalnya, ada 2 lomba dari brand smartphone berbeda tapi mengedepankan fitur yang nyaris sama. Bisa dipastikan saya hanya memilih salah satunya. Sebesar apa pun hadiahnya.
Contoh lain, pernah ada 2 lomba yang diadakan 2 e-commerce dengan deadline hanya selang beberapa hari. Saya tergoda untuk ikut kedua-duanya. Tapi bedebahlah saya jika berani-beraninya ikut dua-duanya. Jadi saya cuma ikut salah satunya. Hasilnya? Juara I, dong. *lambai-lambai kamera
3. BENEFITSebelum memutuskan datang ke event blogger, saya harus mempertimbagkan benefit yang akan saya dapat. Seperti kata Teh Ani, benefit itu bukan hanya berupa materi. Bisa saja berupa ilmu, teman baru, jaringan, atau membuka pintu baru. Ini akan saya bahas di subbab lain.
Sayangnya takaran benefit ini relatif cenderung absurd. Ada blogger yang nongol terus di setiap event dengan alasan untuk membuka kesempatan baru. Tapi lupa bahwa kesempatan yang dicari harus dibayar dengan banyak sekali sumber daya.
Tekun itu boleh, tapi sayangilah diri sendiri. Lagi pula, networking macam apa yang akan didapat kalau ketemunya dengan blogger yang itu-itu saja? Jadi, kalau tidak ada "keuntungan" sebagai timbal balik, sudah dipastikan saya tidak akan datang. Maaf, saya sibuk. Pekerjaan saya bukan cuma jadi event cheerleader.
3. LOKASIJakarta-Bandung itu cuma 3 jam naik kereta. Saya bisa saja datang ke setiap event blogger yang ada di sana demi kesempatan. Tapi tidak, demi keseimbangan profesi saya yang lain dan kehidupan pribadi saya yang terancam berantakan, saya harus menahan diri.
Jangankan Jakarta atau kota lain, di Bandung saja saya masih mikir-mikir, kok. Kalau event bloggernya berada di lokasi yang susah diakses atau jauh sekali dari Cimahi, biasanya saya skip. Saya tidak mau menua di jalan raya.
Berbeda halnya jika saya diundang khusus seperti event Hangout Bareng IM3 Ooredoo bulan Desember lalu. Lagi-lagi, songong? Bukaaannn, ini karena saya punya bakat terpendam untuk selalu nyasar, di luar maupun di dalam kota. Hadir ke event blogger yang lokasinya ribet itu berisiko, kalau saya ada yang nyulik, gimana? Kasihan kan si Akang. #eh
4. WAKTUJadwal harian saya padat merayap. Saya punya banyak kegiatan lain selain datang ke event blogger. Jadi kalau saya datang itu artinya acaranya penting sekali atau saya memang punya waktu.
To be honest, sejak profesi saya bertambah dengan blogger profesional *eheum, kehidupan pribadi saya kacau-balau. Saya tidak punya waktu bahkan untuk diri saya sendiri.
Saya mau sih ngajak-ngajak anak ke event blogger agar sekalian ngasuh. Tapi nggak bisa karena dipikir-pikir, itu artinya saya merampok waktu mereka. Mereka berhak mendapatkan waktu yang berkualitas dengan bundanya yang seksi ini tanpa harus diganggu dengan livetweet.
5. COSTIni berhubungan dengan benefit. Jadi waktu ngobrol-ngobrol asyik dengan Mak Winda beberapa hari lalu, beliaunya mengatakan bahwa untuk datang ke Jakarta dibutuhkan ongkos taksi sebesar 500 ribu bolak-balik. What? Pikir saya.
Tapi memang iya sih. Untuk datang ke event blogger di Bandung saja, minimal 50 ribu mah keluar da. Kalau tidak ada benefit tanda kutip yang bisa saya dapat, ngapain saya datang? Mendingan uangnya dibelikan susu Aksa.
Masih banyak lho brand yang zalim sama blogger. Ngundang blogger dari luar kota segala tapi tidak diberi ongkos, cuma dikasih makan siang itu pun nasi kotak. Yakali travel bisa dibayar pake review.
Jangan menyamakan diri dengan jurnalis, dong. Jurnalis atau wartawan itu sudah dibayar oleh kantor, lha blogger dibayar ama siapa? Gudibeg? Say, saya nggak bilang kalau blogger itu harus mata duitan, tapi realistis sedikit lah. Anda tahu berapa tarif iklan di media cetak dan online? Satu juta sampai ratusan juta. Berapa banyak artikel di Internet yang akan didapat brand ketika mengundang blogger? Puluhan. Dan gratis. Nggak adil.
Kalau kata saya sih, ini juga cara para blogger mengedukasi brand. You'll do your efforts, I'll do my efforts. Itu aja sih.
...
BENEFIT VS COST
Saya blogger pemula, pengalaman saya di bidang ini hanya seujung kuku jika dibandingkan dengan mereka-mereka yang lebih senior. Saya juga sudah sering mendengar kisah-kisah heroik tentang loyalitas. Kisah-kisah heroik tentang blogger yang akhirnya dibayar puluhan juta rupiah. Tapi kita lupa satu hal: mereka yang loyal itu artinya loyal kepada satu brand, bukan yang hari ini ngetwit satu brand besoknya ngetwit kompetitornya.
Nah, ngomong-ngomong soal benefit dan cost, kadang kita harus tetap datang ke event blogger meskipun misalnya tidak mendapatkan benefit berupa materi. Sebagai mamah muda yang setiap kali mengeluarkan uang selalu membandingkan dengan harga susu, saya punya beberapa tip agar fardu kalaku sunnah kalampah, kalau kata urang Sunda mah.
COSTSemacam tip hemat:
1. Transportasi di Dalam KotaPilih moda transportasi dan bandingkan ongkosnya. Misalnya, kalau lokasi acara bisa diakses dengan satu atau dua kali naik angkot atau bus, saya biasanya memilih bus atau angkot. Kalau untuk datang ke lokasi saya harus turun naik 3 angkot yang ongkosnya lumayan, saya biasanya naik ojek online.
Kalau ada teman, biasanya saya mengajak barengan supaya bisa share ongkos taksi. Kalau ada teman yang membawa kendaraan, lebih baik nebeng. #eh
2. Ongkos ke Luar KotaKadang, ada beberapa event di luar kota yang PERLU saya hadiri. Biasanya saya akan memilih moda transportasi paling murah, paling nyaman, paling cepat, dan paling dekat ke lokasi acara.
Misalnya, ada event di Slipi, saya tidak mungkin naik kereta api ke Gambir. Lebih baik naik Baraya Travel langsung ke Slipi. Karena ongkos kereta itu 120 ribu sedangkan travel hanya 85 ribu, lebih dekat pula dengan lokasi.
3. KonsumsiSaya tidak rempong kalau urusan makan. Ngafe-ngafe asyik, ayo. Makan di restoran, ayo. Makan di kaki lima pun mari. Tapi ada term & condition-nya. Bujet saya hanya 100 ribu, lebih dari itu artinya akan dikurangi dari pos pengeluaran lainnya.
Saya juga tidak pernah peduli apakah di sebuah event blogger saya diberi makan atau tidak. Asal amplopnya bisa mengkover biaya ngafe. #eh
Oke, begini. Biasanya saya makan dulu di rumah. Saya juga jarang jajan kecuali ngopi.
4. AkomodasiBiasanya ini untuk event-event di luar kota. Sebetulnya, saya lebih memilih untuk tidur di Sevel daripada menginap di rumah sesama blogger. Karena apa? Takut mengganggu. Apalagi kebanyakan blogger perempuan kan sudah berumah tangga, punya suami, punya anak. Saya merokok, sebisa mungkin tidak menginap di rumah blogger yang punya anak. Kalau menginap di blogger yang single pun harus pikir-pikir dulu, takutnya yang bersangkutan tidak tahan asap rokok.
Belum, saya belum mempertimbangkan untuk menginap di rumah blogger laki-laki, entah kenapa. Yakali mau digorok si Akang. Hahaha.
Well, kalau ada event blogger di luar kota, sebisa mungkin saya berangkat pagi dan pulang hari itu juga. Kalau harus menginap, saya harus memastikan bahwa keberadaan saya tidak merepotkan. Kalau ada bujet untuk menginap di hotel, ya menginap di hotel. Pun, kalau menginap di hotel saya akan membawa pekerjaan lain dari rumah agar waktu saya tidak terbuang percuma.
...
BENEFITJika saya harus hadir ke event blogger dengan cost besar, saya harus memastikan akan ada benefit yang saya dapatkan. Tentu saja bukan cuma materi da rezeki mah sudah diatur sama Tuhan atuh, aikamu.
Ada beberapa bentuk benefit yang saya pertimbangkan:
1. IlmuSetiap event blogger menjanjikan ilmu baru, saya akui itu. Tapi saya juga harus pandai menetapkan skala prioritas. Saya juga harus pandai menetapkan ilmu yang tepat bagi saya dan blog saya.
Misalnya, event blogger tentang cara menanam padi organik. Iya, saya peduli lingkungan dan lebih senang mengonsumsi bahan-bahan organik, tapi saya tidak butuh ilmu cara menanam padi. Itu mah bagiannya Evrina Budiastuti.
"Tapi kan ilmu, Teh. Belajar mah apa aja atuh."
Ya tapi saya tidak harus datang dan mengeluarkan biaya besar untuk ilmu yang bisa saja saya dapatkan di Internet. Lagi pula, ini bukan ilmu praktis. Saya tidak mungkin menanam padi di halaman kosan, kan? Get real aja sih.
Contoh lain, kelas-kelas advanced blogger itu datangable banget. Di luar kota sih dan saya harus mengeluarkan bujet untuk datang ke sana. Tapi ya ilmunya itu lho. Sayang kemarin sempat gagal datang karena Aksa baru saja keluar dari rumah sakit.
Atau teman-teman tahu bahwa Fun Blogging selalu mengadakan event secara berkala? Ini datangable juga. Ilmu yang didapatkan sudah terbukti membuka banyak pintu baru. Percaya deh sama saya. (Paragraf ini mengandung unsur iklan terselubung)
2. RekreasiBlogger juga kadang butuh hiburan, gaes. Contohnya, blogger gathering ke Tahura yang diadakan Teh Ani beberapa bulan lalu. Well, saya sih tidak mengeluarkan cost besar, yang mengeluarkan cost besar mah teman-teman yang datang dari luar kota.
Ini bukan acara yang diadakan oleh brand, tidak ada gudibeg, tidak ada biaya pengganti transportasi dan akomodasi. Tapi kenapa worth it? Karena halan-halan ke gunung dengan udara yang masih bersih itu pantas dilakukan. Duduk 12 jam lebih di depan laptop akan membuat kita cepat mati muda, sekali-kali olah raga lah.
Jadi ya gitu, kalau ada acara yang beneran rekreasi tanpa harus livetweet segala, saya sih mau-mau saja datang.
3. SilaturahmiWaktu datang ke Jakarta bulan Desember tahun lalu, saya harus mengeluarkan ongkos sendiri. Tapi kok saya datang? Karena dua alasan: satu, karena saya sedang melakukan pencarian. Kedua, karena itu satu-satunya kesempatan saya bisa bertemu blogger dari Jakarta, Bekasi, dan sekitarnya.
Silaturahmi ini juga harus dibatasi kalau menurut saya. Maksudnya, saya tidak bisa bela-belain datang terus ke setiap event dan harus mengeluarkan cost besar hanya untuk silaturahmi. Pertama, karena ketemunya dengan orang yang itu-itu aja. Kedua, takut cinta lokasi kalau terlalu sering ketemuan.
4. BerbagiPelatihan infografis saya kira termasuk event blogger. Sebetulnya ini tidak sengaja, waktu itu Evrina, Teh Anne, dan saya sahut-sahutan di Twitter. Membahas tentang kelas infografis, jadilah diadakan sebuah kelas dengan saya sebagai bintang tamu. Hahaha.
Mmmhhh ... terus terang, saya tidak suka mengajar, dengan atau tanpa bayaran. Ngajar cerpen saja yang jelas-jelas dibayar saja saya udah nggak mau, kok. Apatah lagi grafis, di lua kota, saya bukan ahli pula. Tapi, kok saya mau? Ya karena ingin berbagi, sekadar membukakan pintu pengetahuan untuk teman-teman sesama blogger.
Sebelum ada obrolan soal "ganti ongkos", saya sudah menyediakan bujet untuk ongkos ke Tangerang. Waktu itu eV pernah nanya, "Chan, fee kamu berapa?". Saya bilang fee saya gratis, kalian tidak akan sanggup bayar saya. Hahaha.
Tapi atas inisiatif mereka, akhirnya dibuat kesepakatan tentang iuran, itung-itung barter ilmu. Tuhan emang maha baik sama blogger salehah. Beneran, deh.
5. Networking Jaringan ini bisa berupa dengan sesama blogger atau dengan brand. Networking juga ada term and condition-nya kalau menurut saya. Hadir di event blogger brand yang meng-hire saya jadi buzzer atau sponsored post atau yang memiliki kans besar, itu namanya networking. Hadir di setiap event dengan alasan networking itu namanya buang-buang waktu.
Untuk membangun networking ini saya lebih suka memilih satu atau dua kali pertemuan, selebihnya melakukan pendekatan secara pribadi. Pendekatan pribadi ini maksudnya melalui postingan atau komunikasi yang lebih intens. Percaya, deh. Saya lebih jago urusan mendapatkan dan menjaga networking jika dilakukan di media sosial daripada ketika ketemuan.
...
Well, blogging ini adalah fenomena yang menarik untuk dikaji. Pun dengan karakteristik para blogger. Sejak dulu, sejak terjun ke dunia kepenulisan, saya belajar banyak tentang bagaimana menempatkan diri menjadi perahu kokoh yang mengapung dan punya kendali sendiri, bukan hanya menjadi gelondongan kayu yang terseret arus lalu tenggelam.
Ada berapa ribu blogger di Indonesia? Menempatkan diri hanya sebagai event cheerleader dalam mata rantai dunia marketing digital hanya akan menjadikan kita remah-remah yang mudah sekali ditepiskan.
Saya tahu, datang ke berbagai event blogger adalah hak preogratif Anda. Tapi coba pikirkan, mau sampai kapan Anda punya tenaga? Sorry to say, Anda yang setiap minggu menulis reportase event ada saja yang lupa untuk meningkatkan kualitas tulisan, bahkan lupa untuk belajar ejaan. Anda bahkan lupa cara menulis sambil bersenang-senang.
Anda bukan wartawan yang dibayar kantor untuk menuliskan laporan kegiatan. Anda dan saya adalah blogger, digital enterpreneur. Sudah saatnya kita mengedukasi brand. Sudah saatnya kita mengedukasi diri sendiri untuk meningkatkan kualitas, dedikasi, dan loyalitas. Materi itu kompensasi akhir, akan datang kepada mereka yang memang PANTAS.
Tapi, yang terpenting dari artikel minta digampar ini, saya ingin mengingatkan diri saya sendiri dan Anda bahwa kita adalah penulis. Dan penulis yang baik akan tetap menjaga kualitas tulisannya.
Akhir kata, bersatulah blogger-blogger Indonesia! #eh
Salam,
~eL
Sebelumnya, saya ingin mengajak Anda kembali menelaah pengertian blog dan blogger.
Blog, berasal dari kata web log, yang berarti catatan online (yang berada di web). Pengertian yang lebih lengkap, blog adalah situs web yang berisi tulisan, artikel atau informasi bermanfaat yang diupdate (diperbaharui) secara teratur dan dapat diakses secara online baik untuk umum maupun pribadi.
Blog: 1. a shared on-line journal where people can post diary entries about their personal experiences and hobbies.
Blogger: 1. a person who keeps and updates a blog.
(Sumber: artikata.com)
Dari pengertian-pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa blog adalah web berisi catatan pribadi, yang dibagikan adalah hal-hal pribadi. Kalau isinya melulu berita dan reportase, itu namanya media online. Kalau isinya melulu iklan, itu namanya e-commerce. Kalau isinya melulu placement article, itu namanya ... saya tidak tahu, mungkin namanya blog kos-kosan.
Tapi tunggu dulu, beberapa tahun terakhir pengertian itu telah bergeser. Pada praktiknya blog dan blogger menjadi frontline media marketing. Ini dekade digital, brand lebih suka memasang iklan di blog dan mengundang blogger ketika mengadakan event daripada mengundang wartawan betulan.
Kita tidak bisa menutup mata terhadap kesempatan-kesempatan ini, bukan? Naif kalau kita mengatakan, "Saya cuma mau ngeblog dan berbagi dengan pembaca, tidak mau dibayar atau menjadi blog kos-kosan."
Bohooonggg. Siapa sih yang tidak ngiler ketika melihat blogger pamer gadget hadiah doorprize dari event-event blogger? Siapa sih yang tidak tergoda untuk banting stir dari penulis media militan ke blogger yang bayarannya lebih mahal? Siapa sih yang tidak terketuk hatinya ketika melihat blogger pamer kemenangan di lomba blog yang jumlahnya berkali-kali lipat dari honor cerpen Kompas?
Well, mungkin ada, tapi tidak banyak.
Pertanyaannya adalah: sampai di mana kita menetapkan batasan-batasan agar blog kita tidak tergerus atau berakhir menjadi media online. Sampai di mana kita tahan untuk tidak (sorry) melacurkan diri?
EVENT-EVENT BLOGGER, YES OR NO?Sampai tiga bulan lalu saya selalu merasa berkecil hati dan pesimis ketika melihat teman-teman lain berbagi tentang event-event blogger yang mereka hadiri. Tiga bulan lalu saya selalu merasa sedih ketika melihat blogger lain diundang ke acara launching gadget sementara saya tidak.
Sekarang? Sekarang saya bahkan berani menolak undangan. Songong? Bukan, tapi karena yang mengundang adalah provider A sedangkan saya sudah jadi buzzer provider Q. Memang tidak ada kontrak ekslusif, saya sih cuma concern terhadap kode etik.
Untuk datang ke event blogger itu perlu biaya, Mas, Mbak. Kita juga perlu mengerahkan berbagai macam sumber daya. Waktu, tenaga, pengetahuan, dan lain-lain. Kalau benefit yang kita dapatkan tidak seimbang, untuk apa?
Sebelum membahas tentang biaya, cara hemat, dan (katakanlah) timbal balik, ada beberapa hal yang saya pertimbangkan sebelum datang ke event blogger.
1. TEMAAnda tahu Ulul atau Nurul Wachdiyyah? Blogger Bandung sekaligus teman satu angkatan saya di Fun Blogging. Ulul berani menolak datang ke event blogger dengan alasan, "Maaf, temanya tidak cocok dengan blog saya."
Blogger-blogger "berdedikasi" beginilah yang kita perlukan. Misalnya, saya tidak akan datang ke event beauty blogger bertema kecantikan karena ya untuk apa? Pakai eyeliner saja masih tertatih-tatih, kok. Kecuali kalau produk kecantikannya mengusung tema brand lokal, saya akan datang (walau belum tentu diundang sih) karena saya concern terhadap produk-produk lokal.
Oke, contoh lain. Blog saya yang ini akhirnya lebih banyak membahas teknologi. Artinya berhubungan dengan ribuan launching smartphone terbaru, provider, aplikasi, dan perangkat teknologi lain. Saya akan datang apabila diundang atau mengajukan diri karena temanya sesuai. Tapi ... ada faktor lain juga yang saya pertimbangkan.
2.KODE ETIKIni sengaja saya tempatkan di urutan kedua karena (sorry) saya sendiri masih banyak melihat blogger yang hari ini ngetwit tentang provider A, besoknya ngetwit provider C. Saaayyy, itu namanya face to face, Saaayyy. Cari masalah sama brand.
Seperti yang saya ceritakan di atas, meski blog saya yang ini lebih banyak membahas teknologi (ini gara-gara sering ikut lomba gadget ini), saya tidak akan datang ke event yang diadakan oleh provider kompetitor.
Ini saya kasih bocoran saja, ya. Sebelum meng-hire blogger atau buzzer untuk kerja sama, brand juga memerhatikan media sosial kita. Jadi kalau misalnya Anda kerap datang ke event blogger yang diadakan provider A tapi tidak pernah di-hire jadi buzzer betulan, coba ingat-ingat, berapa banyak provider lain yang pernah Anda twitkan.
Bahkan untuk lomba pun saya hati-hati, kok. Misalnya, ada 2 lomba dari brand smartphone berbeda tapi mengedepankan fitur yang nyaris sama. Bisa dipastikan saya hanya memilih salah satunya. Sebesar apa pun hadiahnya.
Contoh lain, pernah ada 2 lomba yang diadakan 2 e-commerce dengan deadline hanya selang beberapa hari. Saya tergoda untuk ikut kedua-duanya. Tapi bedebahlah saya jika berani-beraninya ikut dua-duanya. Jadi saya cuma ikut salah satunya. Hasilnya? Juara I, dong. *lambai-lambai kamera
3. BENEFITSebelum memutuskan datang ke event blogger, saya harus mempertimbagkan benefit yang akan saya dapat. Seperti kata Teh Ani, benefit itu bukan hanya berupa materi. Bisa saja berupa ilmu, teman baru, jaringan, atau membuka pintu baru. Ini akan saya bahas di subbab lain.
Sayangnya takaran benefit ini relatif cenderung absurd. Ada blogger yang nongol terus di setiap event dengan alasan untuk membuka kesempatan baru. Tapi lupa bahwa kesempatan yang dicari harus dibayar dengan banyak sekali sumber daya.
Tekun itu boleh, tapi sayangilah diri sendiri. Lagi pula, networking macam apa yang akan didapat kalau ketemunya dengan blogger yang itu-itu saja? Jadi, kalau tidak ada "keuntungan" sebagai timbal balik, sudah dipastikan saya tidak akan datang. Maaf, saya sibuk. Pekerjaan saya bukan cuma jadi event cheerleader.
3. LOKASIJakarta-Bandung itu cuma 3 jam naik kereta. Saya bisa saja datang ke setiap event blogger yang ada di sana demi kesempatan. Tapi tidak, demi keseimbangan profesi saya yang lain dan kehidupan pribadi saya yang terancam berantakan, saya harus menahan diri.
Jangankan Jakarta atau kota lain, di Bandung saja saya masih mikir-mikir, kok. Kalau event bloggernya berada di lokasi yang susah diakses atau jauh sekali dari Cimahi, biasanya saya skip. Saya tidak mau menua di jalan raya.
Berbeda halnya jika saya diundang khusus seperti event Hangout Bareng IM3 Ooredoo bulan Desember lalu. Lagi-lagi, songong? Bukaaannn, ini karena saya punya bakat terpendam untuk selalu nyasar, di luar maupun di dalam kota. Hadir ke event blogger yang lokasinya ribet itu berisiko, kalau saya ada yang nyulik, gimana? Kasihan kan si Akang. #eh
4. WAKTUJadwal harian saya padat merayap. Saya punya banyak kegiatan lain selain datang ke event blogger. Jadi kalau saya datang itu artinya acaranya penting sekali atau saya memang punya waktu.
To be honest, sejak profesi saya bertambah dengan blogger profesional *eheum, kehidupan pribadi saya kacau-balau. Saya tidak punya waktu bahkan untuk diri saya sendiri.
Saya mau sih ngajak-ngajak anak ke event blogger agar sekalian ngasuh. Tapi nggak bisa karena dipikir-pikir, itu artinya saya merampok waktu mereka. Mereka berhak mendapatkan waktu yang berkualitas dengan bundanya yang seksi ini tanpa harus diganggu dengan livetweet.
5. COSTIni berhubungan dengan benefit. Jadi waktu ngobrol-ngobrol asyik dengan Mak Winda beberapa hari lalu, beliaunya mengatakan bahwa untuk datang ke Jakarta dibutuhkan ongkos taksi sebesar 500 ribu bolak-balik. What? Pikir saya.
Tapi memang iya sih. Untuk datang ke event blogger di Bandung saja, minimal 50 ribu mah keluar da. Kalau tidak ada benefit tanda kutip yang bisa saya dapat, ngapain saya datang? Mendingan uangnya dibelikan susu Aksa.
Masih banyak lho brand yang zalim sama blogger. Ngundang blogger dari luar kota segala tapi tidak diberi ongkos, cuma dikasih makan siang itu pun nasi kotak. Yakali travel bisa dibayar pake review.
Jangan menyamakan diri dengan jurnalis, dong. Jurnalis atau wartawan itu sudah dibayar oleh kantor, lha blogger dibayar ama siapa? Gudibeg? Say, saya nggak bilang kalau blogger itu harus mata duitan, tapi realistis sedikit lah. Anda tahu berapa tarif iklan di media cetak dan online? Satu juta sampai ratusan juta. Berapa banyak artikel di Internet yang akan didapat brand ketika mengundang blogger? Puluhan. Dan gratis. Nggak adil.
Kalau kata saya sih, ini juga cara para blogger mengedukasi brand. You'll do your efforts, I'll do my efforts. Itu aja sih.
"Tapi kan ini untuk mencari kesempatan, Teh. Saya blogger pemula yang sedang membuka networking, keluar modal dikit nggak apa-apa."Ya terserahlah. Asal jangan sering-sering. Situ sendiri yang menentukan level situ di mana, bukan saya.
...
BENEFIT VS COST
Saya blogger pemula, pengalaman saya di bidang ini hanya seujung kuku jika dibandingkan dengan mereka-mereka yang lebih senior. Saya juga sudah sering mendengar kisah-kisah heroik tentang loyalitas. Kisah-kisah heroik tentang blogger yang akhirnya dibayar puluhan juta rupiah. Tapi kita lupa satu hal: mereka yang loyal itu artinya loyal kepada satu brand, bukan yang hari ini ngetwit satu brand besoknya ngetwit kompetitornya.
Nah, ngomong-ngomong soal benefit dan cost, kadang kita harus tetap datang ke event blogger meskipun misalnya tidak mendapatkan benefit berupa materi. Sebagai mamah muda yang setiap kali mengeluarkan uang selalu membandingkan dengan harga susu, saya punya beberapa tip agar fardu kalaku sunnah kalampah, kalau kata urang Sunda mah.
COSTSemacam tip hemat:
1. Transportasi di Dalam KotaPilih moda transportasi dan bandingkan ongkosnya. Misalnya, kalau lokasi acara bisa diakses dengan satu atau dua kali naik angkot atau bus, saya biasanya memilih bus atau angkot. Kalau untuk datang ke lokasi saya harus turun naik 3 angkot yang ongkosnya lumayan, saya biasanya naik ojek online.
Kalau ada teman, biasanya saya mengajak barengan supaya bisa share ongkos taksi. Kalau ada teman yang membawa kendaraan, lebih baik nebeng. #eh
2. Ongkos ke Luar KotaKadang, ada beberapa event di luar kota yang PERLU saya hadiri. Biasanya saya akan memilih moda transportasi paling murah, paling nyaman, paling cepat, dan paling dekat ke lokasi acara.
Misalnya, ada event di Slipi, saya tidak mungkin naik kereta api ke Gambir. Lebih baik naik Baraya Travel langsung ke Slipi. Karena ongkos kereta itu 120 ribu sedangkan travel hanya 85 ribu, lebih dekat pula dengan lokasi.
3. KonsumsiSaya tidak rempong kalau urusan makan. Ngafe-ngafe asyik, ayo. Makan di restoran, ayo. Makan di kaki lima pun mari. Tapi ada term & condition-nya. Bujet saya hanya 100 ribu, lebih dari itu artinya akan dikurangi dari pos pengeluaran lainnya.
Saya juga tidak pernah peduli apakah di sebuah event blogger saya diberi makan atau tidak. Asal amplopnya bisa mengkover biaya ngafe. #eh
Oke, begini. Biasanya saya makan dulu di rumah. Saya juga jarang jajan kecuali ngopi.
4. AkomodasiBiasanya ini untuk event-event di luar kota. Sebetulnya, saya lebih memilih untuk tidur di Sevel daripada menginap di rumah sesama blogger. Karena apa? Takut mengganggu. Apalagi kebanyakan blogger perempuan kan sudah berumah tangga, punya suami, punya anak. Saya merokok, sebisa mungkin tidak menginap di rumah blogger yang punya anak. Kalau menginap di blogger yang single pun harus pikir-pikir dulu, takutnya yang bersangkutan tidak tahan asap rokok.
Belum, saya belum mempertimbangkan untuk menginap di rumah blogger laki-laki, entah kenapa. Yakali mau digorok si Akang. Hahaha.
Well, kalau ada event blogger di luar kota, sebisa mungkin saya berangkat pagi dan pulang hari itu juga. Kalau harus menginap, saya harus memastikan bahwa keberadaan saya tidak merepotkan. Kalau ada bujet untuk menginap di hotel, ya menginap di hotel. Pun, kalau menginap di hotel saya akan membawa pekerjaan lain dari rumah agar waktu saya tidak terbuang percuma.
...
BENEFITJika saya harus hadir ke event blogger dengan cost besar, saya harus memastikan akan ada benefit yang saya dapatkan. Tentu saja bukan cuma materi da rezeki mah sudah diatur sama Tuhan atuh, aikamu.
Ada beberapa bentuk benefit yang saya pertimbangkan:
1. IlmuSetiap event blogger menjanjikan ilmu baru, saya akui itu. Tapi saya juga harus pandai menetapkan skala prioritas. Saya juga harus pandai menetapkan ilmu yang tepat bagi saya dan blog saya.
Misalnya, event blogger tentang cara menanam padi organik. Iya, saya peduli lingkungan dan lebih senang mengonsumsi bahan-bahan organik, tapi saya tidak butuh ilmu cara menanam padi. Itu mah bagiannya Evrina Budiastuti.
"Tapi kan ilmu, Teh. Belajar mah apa aja atuh."
Ya tapi saya tidak harus datang dan mengeluarkan biaya besar untuk ilmu yang bisa saja saya dapatkan di Internet. Lagi pula, ini bukan ilmu praktis. Saya tidak mungkin menanam padi di halaman kosan, kan? Get real aja sih.
Contoh lain, kelas-kelas advanced blogger itu datangable banget. Di luar kota sih dan saya harus mengeluarkan bujet untuk datang ke sana. Tapi ya ilmunya itu lho. Sayang kemarin sempat gagal datang karena Aksa baru saja keluar dari rumah sakit.
Atau teman-teman tahu bahwa Fun Blogging selalu mengadakan event secara berkala? Ini datangable juga. Ilmu yang didapatkan sudah terbukti membuka banyak pintu baru. Percaya deh sama saya. (Paragraf ini mengandung unsur iklan terselubung)
2. RekreasiBlogger juga kadang butuh hiburan, gaes. Contohnya, blogger gathering ke Tahura yang diadakan Teh Ani beberapa bulan lalu. Well, saya sih tidak mengeluarkan cost besar, yang mengeluarkan cost besar mah teman-teman yang datang dari luar kota.
Ini bukan acara yang diadakan oleh brand, tidak ada gudibeg, tidak ada biaya pengganti transportasi dan akomodasi. Tapi kenapa worth it? Karena halan-halan ke gunung dengan udara yang masih bersih itu pantas dilakukan. Duduk 12 jam lebih di depan laptop akan membuat kita cepat mati muda, sekali-kali olah raga lah.
Jadi ya gitu, kalau ada acara yang beneran rekreasi tanpa harus livetweet segala, saya sih mau-mau saja datang.
3. SilaturahmiWaktu datang ke Jakarta bulan Desember tahun lalu, saya harus mengeluarkan ongkos sendiri. Tapi kok saya datang? Karena dua alasan: satu, karena saya sedang melakukan pencarian. Kedua, karena itu satu-satunya kesempatan saya bisa bertemu blogger dari Jakarta, Bekasi, dan sekitarnya.
Silaturahmi ini juga harus dibatasi kalau menurut saya. Maksudnya, saya tidak bisa bela-belain datang terus ke setiap event dan harus mengeluarkan cost besar hanya untuk silaturahmi. Pertama, karena ketemunya dengan orang yang itu-itu aja. Kedua, takut cinta lokasi kalau terlalu sering ketemuan.
4. BerbagiPelatihan infografis saya kira termasuk event blogger. Sebetulnya ini tidak sengaja, waktu itu Evrina, Teh Anne, dan saya sahut-sahutan di Twitter. Membahas tentang kelas infografis, jadilah diadakan sebuah kelas dengan saya sebagai bintang tamu. Hahaha.
Mmmhhh ... terus terang, saya tidak suka mengajar, dengan atau tanpa bayaran. Ngajar cerpen saja yang jelas-jelas dibayar saja saya udah nggak mau, kok. Apatah lagi grafis, di lua kota, saya bukan ahli pula. Tapi, kok saya mau? Ya karena ingin berbagi, sekadar membukakan pintu pengetahuan untuk teman-teman sesama blogger.
Sebelum ada obrolan soal "ganti ongkos", saya sudah menyediakan bujet untuk ongkos ke Tangerang. Waktu itu eV pernah nanya, "Chan, fee kamu berapa?". Saya bilang fee saya gratis, kalian tidak akan sanggup bayar saya. Hahaha.
Tapi atas inisiatif mereka, akhirnya dibuat kesepakatan tentang iuran, itung-itung barter ilmu. Tuhan emang maha baik sama blogger salehah. Beneran, deh.
5. Networking Jaringan ini bisa berupa dengan sesama blogger atau dengan brand. Networking juga ada term and condition-nya kalau menurut saya. Hadir di event blogger brand yang meng-hire saya jadi buzzer atau sponsored post atau yang memiliki kans besar, itu namanya networking. Hadir di setiap event dengan alasan networking itu namanya buang-buang waktu.
Untuk membangun networking ini saya lebih suka memilih satu atau dua kali pertemuan, selebihnya melakukan pendekatan secara pribadi. Pendekatan pribadi ini maksudnya melalui postingan atau komunikasi yang lebih intens. Percaya, deh. Saya lebih jago urusan mendapatkan dan menjaga networking jika dilakukan di media sosial daripada ketika ketemuan.
...
Well, blogging ini adalah fenomena yang menarik untuk dikaji. Pun dengan karakteristik para blogger. Sejak dulu, sejak terjun ke dunia kepenulisan, saya belajar banyak tentang bagaimana menempatkan diri menjadi perahu kokoh yang mengapung dan punya kendali sendiri, bukan hanya menjadi gelondongan kayu yang terseret arus lalu tenggelam.
Ada berapa ribu blogger di Indonesia? Menempatkan diri hanya sebagai event cheerleader dalam mata rantai dunia marketing digital hanya akan menjadikan kita remah-remah yang mudah sekali ditepiskan.
Saya tahu, datang ke berbagai event blogger adalah hak preogratif Anda. Tapi coba pikirkan, mau sampai kapan Anda punya tenaga? Sorry to say, Anda yang setiap minggu menulis reportase event ada saja yang lupa untuk meningkatkan kualitas tulisan, bahkan lupa untuk belajar ejaan. Anda bahkan lupa cara menulis sambil bersenang-senang.
Anda bukan wartawan yang dibayar kantor untuk menuliskan laporan kegiatan. Anda dan saya adalah blogger, digital enterpreneur. Sudah saatnya kita mengedukasi brand. Sudah saatnya kita mengedukasi diri sendiri untuk meningkatkan kualitas, dedikasi, dan loyalitas. Materi itu kompensasi akhir, akan datang kepada mereka yang memang PANTAS.
Tapi, yang terpenting dari artikel minta digampar ini, saya ingin mengingatkan diri saya sendiri dan Anda bahwa kita adalah penulis. Dan penulis yang baik akan tetap menjaga kualitas tulisannya.
Akhir kata, bersatulah blogger-blogger Indonesia! #eh
Salam,
~eL
Published on April 02, 2016 01:09
Mimpi dan Ilusi
- Skylashtar Maryam's profile
- 8 followers
Skylashtar Maryam isn't a Goodreads Author
(yet),
but they
do have a blog,
so here are some recent posts imported from
their feed.

