Eko Nurhuda's Blog, page 60
August 4, 2011
Foto-foto Nyeleneh dari Album Pernikahan
Oleh: Eko Nurhuda - Bung Eko dotcom
HARI ini, 4 Agustus 2011, tepat 2 tahun usia perkawinan saya dan istri, Ratna Dewi . Rasanya baru kemarin saya mengucapkan kalimat qobul yang didahului dengan ucapan ijab dari Bapak Penghulu. Kini, ternyata 2 tahun sudah momen bersejarah di Masjid al-Munawaroh Kec. Taman, Pemalang, itu berlalu.
Nah, dalam rangka mengenang HUT pernikahan yang ke-2, berikut saya sajikan beberapa foto dicuplik dari album pribadi saya. Bukan foto-foto pernikahan seperti biasa, saya sengaja memilih foto-foto nyeleneh bin menggelikan. Foto-foto yang merekam hal-hal yang biasanya tidak terjadi dalam sebuah pesta perkawinan nan serius.
So, enjoy the photos, Pals…
Foto-foto: Koleksi pribadi Eko Nurhuda
HARI ini, 4 Agustus 2011, tepat 2 tahun usia perkawinan saya dan istri, Ratna Dewi . Rasanya baru kemarin saya mengucapkan kalimat qobul yang didahului dengan ucapan ijab dari Bapak Penghulu. Kini, ternyata 2 tahun sudah momen bersejarah di Masjid al-Munawaroh Kec. Taman, Pemalang, itu berlalu.
Nah, dalam rangka mengenang HUT pernikahan yang ke-2, berikut saya sajikan beberapa foto dicuplik dari album pribadi saya. Bukan foto-foto pernikahan seperti biasa, saya sengaja memilih foto-foto nyeleneh bin menggelikan. Foto-foto yang merekam hal-hal yang biasanya tidak terjadi dalam sebuah pesta perkawinan nan serius.
So, enjoy the photos, Pals…
Foto-foto: Koleksi pribadi Eko Nurhuda
Published on August 04, 2011 07:46
July 9, 2011
Wajah Baru PSSI, Harapan Baru Indonesia
Oleh: Eko Nurhuda - Bung Eko dotcom
KONGRES Luar Biasa (KLB) PSSI di Solo, siang hingga sore tadi berlangsung sukses. Tak ada deadlock seperti yang dikhawatirkan banyak pihak sebelumnya. Dan, yang lebih penting, PSSI sudah memiliki nahkoda baru. Untuk periode 2011-2015, PSSI bakal dipimpin duet Prof. Djohar Arifin Husin dan Farid Rahman.
Terpilihnya dua sosok ini memang tak terlalu mengejutkan. Pasalnya, Djohar sudah lama diketahui merupakan jagoan alternatif yang diusung Kelompok 78 setelah peluang Arifin Panigoro (AP) dan George Toisutta (GT) tertutup rapat. Meski hanya dicalonkan oleh PS Madina Medan Jaya yang bahkan tak punya hak suara di kongres, berkat dukungan massif K-78 sang Profesor dapat melenggang mulus meninggalkan pesaing-pesaingnya.
Demikian juga dengan Farid Rahman. Adalah Akor FC, klub Divisi 3 PSSI di Jombang, yang mengusung nama pengurus asosiasi tenis meja nasional ini. Meski Akor FC tak ikut menyumbang suara, toh, sebagai salah satu pentolan K-78 ia bisa menyingkirkan saingan terberatnya, Erwin Aksa. Oya, sekedar mengingatkan, Farid adalah perwakilan K-78 saat menemui FIFA di Zurich pasca-Kongres 20 Mei yang berakhir deadlock.
Dinanti Segudang Masalah
Djohar Arifin Husin, Ketua Umum PSSI 2011-2015.Sebelum terpilih, para calon Ketua Umum PSSI tentunya tahu kalau induk organisasi sepak bola nasional ini sedang dirundung banyak masalah. Mulai dari pendanaan timnas senior dan U-23, dualisme kompetisi antara LPI dan LSI, hingga pemutaran kompetisi semua jenjang yang terhambat akibat kisruh. Jangan lupakan pula dua blok yang selama ini saling jegal menjelang kongres.
Dengan pengalamannya sebagai Sekjen KONI, Ketua Pengda PSSI Sumatera Utara, Staf Ahli Menpora, juga pemain PSMS Medan, aksi Djohar dalam menjawab semua tantangan yang sudah di depan matanya sangat dinanti seluruh penggemar sepak bola nasional. Mau dibawa ke mana sepak bola Indonesia empat tahun ke depan, semua tergantung gerak langkah Djohar.
Soal dana jangan khawatir, AP jelas mendukung penuh Djohar. Apalagi ketika ditanya wartawan soal kebutuhan dana sebesar Rp 2 milyar untuk memberangkatkan timnas Pra-Piala Dunia 2014 ke Turkmenistan, tak lama setelah terpilih, ia menjawab dananya siap. Dengan berseloroh ia berkata, "Saya punya bandar besar: Allah SWT." Tapi, tentu kita bisa meraba siapa sesungguhnya "bandar besar" yang ia maksud itu.
Well, setumpuk harapan ditumpukan pada Djohar. Mampukah ia memuaskan ekspektasi publik bola tanah air? Kita tunggu bersama jawabannya...
KONGRES Luar Biasa (KLB) PSSI di Solo, siang hingga sore tadi berlangsung sukses. Tak ada deadlock seperti yang dikhawatirkan banyak pihak sebelumnya. Dan, yang lebih penting, PSSI sudah memiliki nahkoda baru. Untuk periode 2011-2015, PSSI bakal dipimpin duet Prof. Djohar Arifin Husin dan Farid Rahman.
Terpilihnya dua sosok ini memang tak terlalu mengejutkan. Pasalnya, Djohar sudah lama diketahui merupakan jagoan alternatif yang diusung Kelompok 78 setelah peluang Arifin Panigoro (AP) dan George Toisutta (GT) tertutup rapat. Meski hanya dicalonkan oleh PS Madina Medan Jaya yang bahkan tak punya hak suara di kongres, berkat dukungan massif K-78 sang Profesor dapat melenggang mulus meninggalkan pesaing-pesaingnya.
Demikian juga dengan Farid Rahman. Adalah Akor FC, klub Divisi 3 PSSI di Jombang, yang mengusung nama pengurus asosiasi tenis meja nasional ini. Meski Akor FC tak ikut menyumbang suara, toh, sebagai salah satu pentolan K-78 ia bisa menyingkirkan saingan terberatnya, Erwin Aksa. Oya, sekedar mengingatkan, Farid adalah perwakilan K-78 saat menemui FIFA di Zurich pasca-Kongres 20 Mei yang berakhir deadlock.
Dinanti Segudang Masalah
Djohar Arifin Husin, Ketua Umum PSSI 2011-2015.Sebelum terpilih, para calon Ketua Umum PSSI tentunya tahu kalau induk organisasi sepak bola nasional ini sedang dirundung banyak masalah. Mulai dari pendanaan timnas senior dan U-23, dualisme kompetisi antara LPI dan LSI, hingga pemutaran kompetisi semua jenjang yang terhambat akibat kisruh. Jangan lupakan pula dua blok yang selama ini saling jegal menjelang kongres.Dengan pengalamannya sebagai Sekjen KONI, Ketua Pengda PSSI Sumatera Utara, Staf Ahli Menpora, juga pemain PSMS Medan, aksi Djohar dalam menjawab semua tantangan yang sudah di depan matanya sangat dinanti seluruh penggemar sepak bola nasional. Mau dibawa ke mana sepak bola Indonesia empat tahun ke depan, semua tergantung gerak langkah Djohar.
Soal dana jangan khawatir, AP jelas mendukung penuh Djohar. Apalagi ketika ditanya wartawan soal kebutuhan dana sebesar Rp 2 milyar untuk memberangkatkan timnas Pra-Piala Dunia 2014 ke Turkmenistan, tak lama setelah terpilih, ia menjawab dananya siap. Dengan berseloroh ia berkata, "Saya punya bandar besar: Allah SWT." Tapi, tentu kita bisa meraba siapa sesungguhnya "bandar besar" yang ia maksud itu.
Well, setumpuk harapan ditumpukan pada Djohar. Mampukah ia memuaskan ekspektasi publik bola tanah air? Kita tunggu bersama jawabannya...
Published on July 09, 2011 06:25
July 6, 2011
Tersihir Cita Rasa Kerak Telor Jakarta Fair 2011
Oleh: Eko Nurhuda - Bung Eko dotcom
[image error]SEBAGAI orang pelosok nan jauh dari pusat negara, menjejakkan kaki ke Jakarta merupakan impian yang sudah lama terpendam dalam benak saya. Mungkin rekan-rekan lain sesama warga pelosok di berbagai penjuru Indonesia juga punya impian serupa. Melihat Jakarta dari film atau siaran berita saja sudah sedemikian takjub, apatah lagi menginjak tanahnya dengan telapak kaki sendiri?
Jika dihitung-hitung sejak SMP, berarti sudah sekitar 15 tahun saya memendam hasrat ke Jakarta sampai saat ini! Kapan ke Jakarta? Tanya saya dalam hati selalu.
Saya beruntung. Adik perempuan saya yang kuliah dan lalu bekerja di Tangerang dapat promosi ke kantor pusat perusahaannya di Jakarta. Kalau dulu problem utama setiap hendak ke Jakarta adalah mencari siapa yang mau ditumpangi, kini saya tidak perlu pusing-pusing lagi. Tinggal SMS, trus langsung berangkat deh.
Jakarta Fair, Aku Datang..!
Kapan waktu yang tepat ke Jakarta? Ini pertanyaan selanjutnya setelah urusan tempat menumpang tidur selama di ibu kota terjawab. Ya, sebaiknya kapan sih ke Jakarta kalau niatnya untuk pelesiran? Menunggu musim liburan tentu tak nyaman, semua tempat wisata dijamin penuh sesak. Sedangkan di saat-saat normal kemacetan terpampang di mana-mana. Lebaran? Mana mungkin, saya dan adik tentu lebih memilih pulang kampung ke Sungai Bahar, Jambi.
Jawabannya saya dapat saat menonton berita di televisi. Waktu yang tepat ke Jakarta adalah saat Jakarta Fair digelar. Kebetulan Jakarta Fair 2011 digelar tepat pada musim liburan sekolah, 9 Juni – 10 Juli. Setelah cari info dari koran dan internet, didapatlah jadwal acara-acara selama ajang yang juga dikenal sebagai Pekan Raya Jakarta ini.
Pamflet Jakarta Fair 2011 di berbagai sudut Jakarta.Sebagai pecinta berat musik, jadwal konser musik jadi incaran pertama. Sayang, karena baru bisa ke Jakarta awal Juli, saya melewatkan konser penyanyi idola saya: Ari Lasso (9 Juni) dan Iwan Fals (15 Juni). Demikian juga band-band favorit semacam Naif (12 Juni), tipe-X (14 Juni), /rif (17 Juni), Sheila on 7 (21 Juni), Netral (23 Juni), dan Shaggydog (24 Juni). Dan karena hanya bisa sehari di Jakarta, saya juga melewatkan konser penyanyi cewek idola saya lainnya, Astrid (4 Juli), dan juga Godbless (7 Juli).
Apa boleh buat. Selera musik memang tidak terpenuhi, tapi saya masih punya selera lain yang rasanya masih bisa terpuaskan di hari-hari terakhir Jakarta Fair. Apa itu? Selera perut alias makanan. Kebetulan pula adik saya yang bakal jadi "pemandu wisata" selama di Jakarta doyan jajan. Klop sudah.
Target #1: Kerak Telor
Dari tempat tinggal adik saya di Palmerah, kami menuju ke Monas dengan transJakarta alias busway. "Lho, kok malah ke Monas sih?" Protes saya pada adik. Setahu saya venue Jakarta Fair di Kemayoran, tepatnya di Arena JIEXPO. Dia jawab dengan kalem, "Tar di Monas ada bis gratis ke arena PRJ." Ya sudah, saya pun ikut-ikutan kalem. ^_^
Meski ber-AC, di dalam busway jauh dari kata nyaman karena penumpang berdesak-desakan. Seperti ikan asin ditumpuk-tumpuk di keranjang. Bayangkan, bahkan untuk berdiri dengan berpegangan satu tangan saja susah! Bagaimana ini, Pak Fauzi Bowo?
Syukurlah, semua ketidak-nyamanan selama di jalan menguap begitu melihat betapa meriahnya suasana di Arena JIEXPO. Semasa masih kuliah dan kemudian merintis karir di Jogja (2000-2010), saya sering datang ke Pasar Malam Perayaan Sekaten (PMPS) atau biasa disebut pasar malam Sekaten saja. Bukan bermaksud membanding-bandingkan, tapi dari segi luas arena, jumlah stand, variasi wahana bermain, banyaknya artis penghibur, ramainya pengunjung, dan juga publikasi media, JakFair jelas mengungguli pasar malam Sekaten. Tak heran bila saya dibuat melongo jadinya.
Pedagang kerak telor.Satu-satunya kelebihan Sekaten dari JakFair adalah harga tiket masuk. Pemkot Yogyakarta hanya mematok harga Rp7.000/tiket, sedangkan Jakarta lebih mahal sekitar tiga kali lipat lebih: Rp25.000.
Sambil mendengar suara konser musik yang sayup-sayup sampai--menurut agenda yang tampil saat itu Glenn Fredly, Tompi, Andien, Citra dan Cassandra, saya dan adik berputar-putar memasuki setiap stand yang menarik hati. Sebagai "orang daerah", target utama saya adalah segala hal yang menjadi ciri khas Jakarta, terutama makanan. Satu makanan khas Jakarta yang langsung terbayang di kepala saya saat itu adalah kerak telor! Menurut cerita-cerita yang saya dengar, masakan (yang sengaja dibuat) agak gosong berbahan dasar telor ini nikmatnya luar biasa. Wajib cicip deh kalau ke Jakarta.
"Jangan ngaku ke Jakarta kalau belum nyicipin kerak telor," begitu kata Fahmi, kawan kuliah saya asal Jambi yang kemudian menetap di Jakarta sejak 2003.
Dasar rejeki. Saat mata kami sibuk mencari-cari stand makanan yang menjual kerak telor, pandangan saya tertumbuk ke seorang bapak dengan pikulan sederhana berkeranjang dua, tengah duduk di depan sebuah tungku berasap tipis. Di atas tungku tersebut ada kuali tertutup rapat. Di depan si pedagang, tepatnya diantara dua keranjang, terdapat tulisan, "Kerak Telor Betawi". Ah, dasar rejeki…
Perut Kenyang, Hati Senang
Tanpa basa-basi kami langsung memesan dua porsi. Satu porsi dibanderol Rp15.000, harga yang tidak bisa dibilang mahal, bahkan untuk kantong "orang daerah" seperti saya. Namun, seingat saya harga jajanan di Pemalang tak ada yang lebih dari Rp15.000/porsi. Grombyang Haji Warso yang paling terkenal di Pemalang, sempat didatangi Bondan Winarno bersama Wisata Kuliner-nya, harganya Rp12.500/porsi. Bakso, mi ayam, soto, sate, ayam bakar/goreng, maupun jajanan lain rata-rata dihargai Rp4.000-Rp5.500/porsi, paling mahal Rp7.000/porsi.
Seporsi kerak telor. Yummmy...Begitu si penjual menyodorkan pesanan kami, saya langsung menyuapkan sendok ke mulut. Tak lama kemudian saya tersenyum lebar. Rasanya tak bisa dilukiskan, pokoknya enak. Kalau mau ulasan detil soal rasanya mungkin bisa ditanyakan ke Bondan Winarno, Farah Quinn, atau Chef Edwin Lau. Satu hal yang saya catat, keraknya yang agak pahit justru membuat cita rasa makanan kebanggaan orang Betawi ini menjadi khas.
Suapan pertama sudah begitu menggoda, selanjutnya? Tandaslah sepiring kerak telor di tangan saya. Hanya dalam tempo kurang dari 10 menit! Adik saya menawarkan untuk menambah seporsi lagi, tapi perut sudah terasa penuh. Kenyang, plus senang karena keinginan menikmati Jakarta plus makanan khasnya yang paling terkenal, dapat terpenuhi malam itu.
Keesokan harinya, saat duduk di kursi Dewi Sri tujuan Jakarta-Pemalang, lamat-lamat terdengar alunan vokal Yon Koeswoyo menyanyikan lagu Kembali ke Jakarta. Sambil tersenyum, saya iseng memelesetkan lagu tersebut.
Ke Jakarta Fair, aku kan kembali…
Walaupun apa yang kan terjadi…
Ke Jakarta Fair, aku kan kembali…
Walaupun apa yang kan terjadi…
[image error]SEBAGAI orang pelosok nan jauh dari pusat negara, menjejakkan kaki ke Jakarta merupakan impian yang sudah lama terpendam dalam benak saya. Mungkin rekan-rekan lain sesama warga pelosok di berbagai penjuru Indonesia juga punya impian serupa. Melihat Jakarta dari film atau siaran berita saja sudah sedemikian takjub, apatah lagi menginjak tanahnya dengan telapak kaki sendiri?
Jika dihitung-hitung sejak SMP, berarti sudah sekitar 15 tahun saya memendam hasrat ke Jakarta sampai saat ini! Kapan ke Jakarta? Tanya saya dalam hati selalu.
Saya beruntung. Adik perempuan saya yang kuliah dan lalu bekerja di Tangerang dapat promosi ke kantor pusat perusahaannya di Jakarta. Kalau dulu problem utama setiap hendak ke Jakarta adalah mencari siapa yang mau ditumpangi, kini saya tidak perlu pusing-pusing lagi. Tinggal SMS, trus langsung berangkat deh.
Jakarta Fair, Aku Datang..!
Kapan waktu yang tepat ke Jakarta? Ini pertanyaan selanjutnya setelah urusan tempat menumpang tidur selama di ibu kota terjawab. Ya, sebaiknya kapan sih ke Jakarta kalau niatnya untuk pelesiran? Menunggu musim liburan tentu tak nyaman, semua tempat wisata dijamin penuh sesak. Sedangkan di saat-saat normal kemacetan terpampang di mana-mana. Lebaran? Mana mungkin, saya dan adik tentu lebih memilih pulang kampung ke Sungai Bahar, Jambi.
Jawabannya saya dapat saat menonton berita di televisi. Waktu yang tepat ke Jakarta adalah saat Jakarta Fair digelar. Kebetulan Jakarta Fair 2011 digelar tepat pada musim liburan sekolah, 9 Juni – 10 Juli. Setelah cari info dari koran dan internet, didapatlah jadwal acara-acara selama ajang yang juga dikenal sebagai Pekan Raya Jakarta ini.
Pamflet Jakarta Fair 2011 di berbagai sudut Jakarta.Sebagai pecinta berat musik, jadwal konser musik jadi incaran pertama. Sayang, karena baru bisa ke Jakarta awal Juli, saya melewatkan konser penyanyi idola saya: Ari Lasso (9 Juni) dan Iwan Fals (15 Juni). Demikian juga band-band favorit semacam Naif (12 Juni), tipe-X (14 Juni), /rif (17 Juni), Sheila on 7 (21 Juni), Netral (23 Juni), dan Shaggydog (24 Juni). Dan karena hanya bisa sehari di Jakarta, saya juga melewatkan konser penyanyi cewek idola saya lainnya, Astrid (4 Juli), dan juga Godbless (7 Juli).Apa boleh buat. Selera musik memang tidak terpenuhi, tapi saya masih punya selera lain yang rasanya masih bisa terpuaskan di hari-hari terakhir Jakarta Fair. Apa itu? Selera perut alias makanan. Kebetulan pula adik saya yang bakal jadi "pemandu wisata" selama di Jakarta doyan jajan. Klop sudah.
Target #1: Kerak Telor
Dari tempat tinggal adik saya di Palmerah, kami menuju ke Monas dengan transJakarta alias busway. "Lho, kok malah ke Monas sih?" Protes saya pada adik. Setahu saya venue Jakarta Fair di Kemayoran, tepatnya di Arena JIEXPO. Dia jawab dengan kalem, "Tar di Monas ada bis gratis ke arena PRJ." Ya sudah, saya pun ikut-ikutan kalem. ^_^
Meski ber-AC, di dalam busway jauh dari kata nyaman karena penumpang berdesak-desakan. Seperti ikan asin ditumpuk-tumpuk di keranjang. Bayangkan, bahkan untuk berdiri dengan berpegangan satu tangan saja susah! Bagaimana ini, Pak Fauzi Bowo?
Syukurlah, semua ketidak-nyamanan selama di jalan menguap begitu melihat betapa meriahnya suasana di Arena JIEXPO. Semasa masih kuliah dan kemudian merintis karir di Jogja (2000-2010), saya sering datang ke Pasar Malam Perayaan Sekaten (PMPS) atau biasa disebut pasar malam Sekaten saja. Bukan bermaksud membanding-bandingkan, tapi dari segi luas arena, jumlah stand, variasi wahana bermain, banyaknya artis penghibur, ramainya pengunjung, dan juga publikasi media, JakFair jelas mengungguli pasar malam Sekaten. Tak heran bila saya dibuat melongo jadinya.
Pedagang kerak telor.Satu-satunya kelebihan Sekaten dari JakFair adalah harga tiket masuk. Pemkot Yogyakarta hanya mematok harga Rp7.000/tiket, sedangkan Jakarta lebih mahal sekitar tiga kali lipat lebih: Rp25.000.Sambil mendengar suara konser musik yang sayup-sayup sampai--menurut agenda yang tampil saat itu Glenn Fredly, Tompi, Andien, Citra dan Cassandra, saya dan adik berputar-putar memasuki setiap stand yang menarik hati. Sebagai "orang daerah", target utama saya adalah segala hal yang menjadi ciri khas Jakarta, terutama makanan. Satu makanan khas Jakarta yang langsung terbayang di kepala saya saat itu adalah kerak telor! Menurut cerita-cerita yang saya dengar, masakan (yang sengaja dibuat) agak gosong berbahan dasar telor ini nikmatnya luar biasa. Wajib cicip deh kalau ke Jakarta.
"Jangan ngaku ke Jakarta kalau belum nyicipin kerak telor," begitu kata Fahmi, kawan kuliah saya asal Jambi yang kemudian menetap di Jakarta sejak 2003.
Dasar rejeki. Saat mata kami sibuk mencari-cari stand makanan yang menjual kerak telor, pandangan saya tertumbuk ke seorang bapak dengan pikulan sederhana berkeranjang dua, tengah duduk di depan sebuah tungku berasap tipis. Di atas tungku tersebut ada kuali tertutup rapat. Di depan si pedagang, tepatnya diantara dua keranjang, terdapat tulisan, "Kerak Telor Betawi". Ah, dasar rejeki…
Perut Kenyang, Hati Senang
Tanpa basa-basi kami langsung memesan dua porsi. Satu porsi dibanderol Rp15.000, harga yang tidak bisa dibilang mahal, bahkan untuk kantong "orang daerah" seperti saya. Namun, seingat saya harga jajanan di Pemalang tak ada yang lebih dari Rp15.000/porsi. Grombyang Haji Warso yang paling terkenal di Pemalang, sempat didatangi Bondan Winarno bersama Wisata Kuliner-nya, harganya Rp12.500/porsi. Bakso, mi ayam, soto, sate, ayam bakar/goreng, maupun jajanan lain rata-rata dihargai Rp4.000-Rp5.500/porsi, paling mahal Rp7.000/porsi.
Seporsi kerak telor. Yummmy...Begitu si penjual menyodorkan pesanan kami, saya langsung menyuapkan sendok ke mulut. Tak lama kemudian saya tersenyum lebar. Rasanya tak bisa dilukiskan, pokoknya enak. Kalau mau ulasan detil soal rasanya mungkin bisa ditanyakan ke Bondan Winarno, Farah Quinn, atau Chef Edwin Lau. Satu hal yang saya catat, keraknya yang agak pahit justru membuat cita rasa makanan kebanggaan orang Betawi ini menjadi khas.Suapan pertama sudah begitu menggoda, selanjutnya? Tandaslah sepiring kerak telor di tangan saya. Hanya dalam tempo kurang dari 10 menit! Adik saya menawarkan untuk menambah seporsi lagi, tapi perut sudah terasa penuh. Kenyang, plus senang karena keinginan menikmati Jakarta plus makanan khasnya yang paling terkenal, dapat terpenuhi malam itu.
Keesokan harinya, saat duduk di kursi Dewi Sri tujuan Jakarta-Pemalang, lamat-lamat terdengar alunan vokal Yon Koeswoyo menyanyikan lagu Kembali ke Jakarta. Sambil tersenyum, saya iseng memelesetkan lagu tersebut.
Ke Jakarta Fair, aku kan kembali…
Walaupun apa yang kan terjadi…
Ke Jakarta Fair, aku kan kembali…
Walaupun apa yang kan terjadi…
Published on July 06, 2011 07:02
July 1, 2011
Samsung GT-E1080T, Hape Murah Gila!
Oleh: Eko Nurhuda - Bung Eko dotcom
SAMSUNG GT-E1080 T, harga Rp150.000. Wow, begitu membaca iklannya di tabloid BOLA edisi Kamis-Jum'at, 23-24 Juni 2011, saya langsung panas-dingin. Kok ya kebetulan sekali sih. Saat hape saya dan istri kompak rusak, dan kami belum ada bujet untuk beli hape baru, iklan itu muncul. Meski keuangan mepet, saya tetap memaksakan diri beli.
Kalau Nexian, Mito, ht, Cross, Maxtron, CSL Blueberry, dan hape merek Cina lainnya berharga murah segila-gilanya, saya tidak heran. Tapi ini Samsung! Walaupun fiturnya minimalis sekali, hanya bisa ber-SMS dan menelepon/ditelepon, tetap saja harga Rp150.000 sangat murah untuk merek sekelas Samsung.
Apalagi kalau dilihat tampilannya yang tidak tampak murahan. Bodi tipis model candy bar dengan keypad cantik, plus layar warna dan mendukung ringtone MP3, bergaransi setahun pula, orang tak akan mengira kalau Samsung GT-E1080 T cuma seharga Rp150.000. Gila apa hape Samsung harganya di bawah Rp200.000?
Tapi nampaknya Samsung memang sudah ikut-ikutan gila gara-gara membanjirnya hape Cina berharga murah. Daripada dilibas persaingan, lebih baik ikuti arus. Mungkin begitu pikir bos-bos Samsung di Korea Selatan sana. Toh, dari segi merek Samsung jelas jauh lebih mentereng dari (maaf) Nexian, Mito, ht, Cross, Maxtron, CSL Blueberry, dan sederet hape merek Cina lainnya.
Di Pemalang Rp160.000-Rp180.000
Begitulah. Hanya selang beberapa hari setelah melihat iklan di BOLA tersebut, saya langsung hunting Samsung GT-E1080 T. Sejak awal saya sadar, di Pemalang harganya tak akan sesuai dengan di iklan. Pasti ada selisih antara Rp20.000-Rp30.000. Jadi, saya pun menyediakan anggaran sebesar Rp180.000.
Dugaan saya tak salah. Ada satu konter hape di bilangan Pasar Banjardawa, Kec. Taman, yang menjual hape tersebut seharga Rp180.000. Beli? Nanti dulu. Otak "kikir" saya langsung bekerja. Kalau di pelosok saja harganya segitu, berarti di kota bisa lebih murah. Maka, sayapun berangkat ke Pemalang kota, dengan target mencari konter yang menjual Samsung GT-E1080 T dengan selisih harga Rp15.000-Rp20.000.
Sayang, konter pertama dan kedua yang saya datangi malah tidak menjual hape Samsung sama sekali. Mereka cuma punya stok Nokia dan seabrek merek Cina. Saya lantas bergerak lagi, dan keberuntungan memayungi saya di konter ketiga. Tanpa basa-basi saya langsung bilang mau cari Samsung GT-E1080 T, dan penjaga konternya bilang, "Harganya Rp160.000." Alhamdulillah…
Well, setelah dicoba di rumah ternyata saya puas dengan Samsung GT-E1080 T ini. Tipis dan ringan, jadi pas di saku. Fiturnya lebih dari lengkap bagi saya, meski memang tak sementereng Nokia N70 saya yang rusak dan entah kapan bisa diservis. Buat blogger bokek seperti saya, hape ini sudah lumayanlah. ^_^
SAMSUNG GT-E1080 T, harga Rp150.000. Wow, begitu membaca iklannya di tabloid BOLA edisi Kamis-Jum'at, 23-24 Juni 2011, saya langsung panas-dingin. Kok ya kebetulan sekali sih. Saat hape saya dan istri kompak rusak, dan kami belum ada bujet untuk beli hape baru, iklan itu muncul. Meski keuangan mepet, saya tetap memaksakan diri beli.
Kalau Nexian, Mito, ht, Cross, Maxtron, CSL Blueberry, dan hape merek Cina lainnya berharga murah segila-gilanya, saya tidak heran. Tapi ini Samsung! Walaupun fiturnya minimalis sekali, hanya bisa ber-SMS dan menelepon/ditelepon, tetap saja harga Rp150.000 sangat murah untuk merek sekelas Samsung.
Apalagi kalau dilihat tampilannya yang tidak tampak murahan. Bodi tipis model candy bar dengan keypad cantik, plus layar warna dan mendukung ringtone MP3, bergaransi setahun pula, orang tak akan mengira kalau Samsung GT-E1080 T cuma seharga Rp150.000. Gila apa hape Samsung harganya di bawah Rp200.000?
Tapi nampaknya Samsung memang sudah ikut-ikutan gila gara-gara membanjirnya hape Cina berharga murah. Daripada dilibas persaingan, lebih baik ikuti arus. Mungkin begitu pikir bos-bos Samsung di Korea Selatan sana. Toh, dari segi merek Samsung jelas jauh lebih mentereng dari (maaf) Nexian, Mito, ht, Cross, Maxtron, CSL Blueberry, dan sederet hape merek Cina lainnya.
Di Pemalang Rp160.000-Rp180.000
Begitulah. Hanya selang beberapa hari setelah melihat iklan di BOLA tersebut, saya langsung hunting Samsung GT-E1080 T. Sejak awal saya sadar, di Pemalang harganya tak akan sesuai dengan di iklan. Pasti ada selisih antara Rp20.000-Rp30.000. Jadi, saya pun menyediakan anggaran sebesar Rp180.000.Dugaan saya tak salah. Ada satu konter hape di bilangan Pasar Banjardawa, Kec. Taman, yang menjual hape tersebut seharga Rp180.000. Beli? Nanti dulu. Otak "kikir" saya langsung bekerja. Kalau di pelosok saja harganya segitu, berarti di kota bisa lebih murah. Maka, sayapun berangkat ke Pemalang kota, dengan target mencari konter yang menjual Samsung GT-E1080 T dengan selisih harga Rp15.000-Rp20.000.
Sayang, konter pertama dan kedua yang saya datangi malah tidak menjual hape Samsung sama sekali. Mereka cuma punya stok Nokia dan seabrek merek Cina. Saya lantas bergerak lagi, dan keberuntungan memayungi saya di konter ketiga. Tanpa basa-basi saya langsung bilang mau cari Samsung GT-E1080 T, dan penjaga konternya bilang, "Harganya Rp160.000." Alhamdulillah…
Well, setelah dicoba di rumah ternyata saya puas dengan Samsung GT-E1080 T ini. Tipis dan ringan, jadi pas di saku. Fiturnya lebih dari lengkap bagi saya, meski memang tak sementereng Nokia N70 saya yang rusak dan entah kapan bisa diservis. Buat blogger bokek seperti saya, hape ini sudah lumayanlah. ^_^
Published on July 01, 2011 06:50
June 17, 2011
Reformasi Salah Kaprah
Oleh: Eko Nurhuda - Bung Eko dotcom
COBA Bung iseng bertanya ke masyarakat awam, lebih enak mana hidup di jaman Pak Harto dengan setelah reformasi 1998? Bisa dipastikan sebagian besar masyarakat bakal menjawab, "Enakan jaman Pak Harto dong. Apa-apa murah, nggak ada bom-boman. Sekarang?"
Apakah reformasi yang dimotori mahasiswa 13 tahun lalu gagal? Kalau ukurannya hanya pergantian tampuk kekuasaan, tentu saja gerakan ini sukses. Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun berhasil ditumbangkan. Tapi kalau ukurannya kepentingan masyarakat banyak, boleh dibilang reformasi malah membuat hidup sebagian besar rakyat Indonesia lebih susah.
Tak heran jika akibat melonjaknya harga kebutuhan bahan-bahan pokok, masyarakat memplesetkan kata "reformasi" menjadi "repot nasi".
Cerita serupa tapi tak sama rupanya terulang di tubuh PSSI. Gerah melihat kepemimpinan negatif Nurdin Halid ditambah dengan minusnya prestasi timnas selama delapan tahun ke belakang, gerakan reformasi terjadi di sepak bola nasional. Seluruh elemen bersatu padu untuk melengserkan NH dari singgasananya. Mulai dari kelompok suporter hingga klub pemilik hak suara, semua sepakat ingin menurunkan NH.
NH sempat berusaha mati-matian mempertahankan diri. Namun "intervensi" pemerintah melalui Menpora Andi Alfian Mallarangeng yang membekukan kepengurusan NH, plus dibentuknya Komite Normalisasi oleh FIFA menyusul gagalnya Kongres Pekanbaru, membuat NH tak berkutik. Iapun mundur.
Melenceng
Reformasi sepak bola nasional sukses? Tunggu dulu. Menyingkirkan NH dan kroni-kroninya dari PSSI hanyalah babak awal. Ada tujuan yang jauh lebih penting dari itu, yakni memperbaiki kondisi sepak bola nasional.
Sayang, seperti halnya Reformasi 1998, reformasi sepak bola tahun ini justru berbuntut friksi di kalangan elite PSSI. Perebutan kursi PSSI 1 adalah pemicunya. Dan gagalnya Kongres 20 Mei lalu adalah akibatnya. Indonesia nyaris diskors, tapi kesempatan kedua justru diberikan FIFA.
Kali ini deadline yang wajib dipenuhi adalah tanggal 30 Juni. PSSI sudah harus memilih kepengurusan baru sebelum tanggal tersebut. Jika kembali gagal, sepak bola Indonesia musti siap-siap menjadi katak dalam tempurung.
Sayangnya, jauh-jauh hari sudah tercium aroma tak sedap berupa potensi deadlock seperti kongres sebelumnya. Lebih disayangkan lagi karena yang jadi penyebab identik: segelintir oknum pemilik hak suara ngotot mengegolkan pasangan bakal calon ketua umum dan wakil ketua umum yang didiskualifikasi FIFA.
Ironisnya, oknum-oknum yang awalnya dikenal sebagai Kelompok 78 dan lalu dilabeli Gerombolan 78 ini, sejak awal Juni mendeklarasikan diri sebagai Gerakan Reformasi Sepak Bola Nasional Indonesia (GRSNI). Dengan penuh percaya diri mereka mendengung-dengungkan bahwa kelompoknya adalah reformis yang siap mengubah wajah sepak bola Indonesia menjadi lebih baik.
Salah kaprah! Itulah dua kata yang patut ditujukan pada GRSNI. Jika betul-betul hendak mereformasi PSSI demi lebih baiknya prestasi Indonesia, ngotot sampai mati demi memperjuangkan pasangan bakal calon yang dilarang FIFA adalah tindakan kontraproduktif. Alih-alih membuat perbaikan, bisa-bisa sepak bola Indonesia malah jauh lebih buruk dari era kepemimpinan NH.
Jangan sampai masyarakat pecinta sepak bola nasional kelak berkata, "Enakan jaman Nurdin Halid dong. Biar nggak pernah juara, tapi kita bisa nonton timnas main di pentas internasional." [en]
COBA Bung iseng bertanya ke masyarakat awam, lebih enak mana hidup di jaman Pak Harto dengan setelah reformasi 1998? Bisa dipastikan sebagian besar masyarakat bakal menjawab, "Enakan jaman Pak Harto dong. Apa-apa murah, nggak ada bom-boman. Sekarang?"
Apakah reformasi yang dimotori mahasiswa 13 tahun lalu gagal? Kalau ukurannya hanya pergantian tampuk kekuasaan, tentu saja gerakan ini sukses. Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun berhasil ditumbangkan. Tapi kalau ukurannya kepentingan masyarakat banyak, boleh dibilang reformasi malah membuat hidup sebagian besar rakyat Indonesia lebih susah.
Tak heran jika akibat melonjaknya harga kebutuhan bahan-bahan pokok, masyarakat memplesetkan kata "reformasi" menjadi "repot nasi".
Cerita serupa tapi tak sama rupanya terulang di tubuh PSSI. Gerah melihat kepemimpinan negatif Nurdin Halid ditambah dengan minusnya prestasi timnas selama delapan tahun ke belakang, gerakan reformasi terjadi di sepak bola nasional. Seluruh elemen bersatu padu untuk melengserkan NH dari singgasananya. Mulai dari kelompok suporter hingga klub pemilik hak suara, semua sepakat ingin menurunkan NH.
NH sempat berusaha mati-matian mempertahankan diri. Namun "intervensi" pemerintah melalui Menpora Andi Alfian Mallarangeng yang membekukan kepengurusan NH, plus dibentuknya Komite Normalisasi oleh FIFA menyusul gagalnya Kongres Pekanbaru, membuat NH tak berkutik. Iapun mundur.
Melenceng
Reformasi sepak bola nasional sukses? Tunggu dulu. Menyingkirkan NH dan kroni-kroninya dari PSSI hanyalah babak awal. Ada tujuan yang jauh lebih penting dari itu, yakni memperbaiki kondisi sepak bola nasional.
Sayang, seperti halnya Reformasi 1998, reformasi sepak bola tahun ini justru berbuntut friksi di kalangan elite PSSI. Perebutan kursi PSSI 1 adalah pemicunya. Dan gagalnya Kongres 20 Mei lalu adalah akibatnya. Indonesia nyaris diskors, tapi kesempatan kedua justru diberikan FIFA.
Kali ini deadline yang wajib dipenuhi adalah tanggal 30 Juni. PSSI sudah harus memilih kepengurusan baru sebelum tanggal tersebut. Jika kembali gagal, sepak bola Indonesia musti siap-siap menjadi katak dalam tempurung.
Sayangnya, jauh-jauh hari sudah tercium aroma tak sedap berupa potensi deadlock seperti kongres sebelumnya. Lebih disayangkan lagi karena yang jadi penyebab identik: segelintir oknum pemilik hak suara ngotot mengegolkan pasangan bakal calon ketua umum dan wakil ketua umum yang didiskualifikasi FIFA.
Ironisnya, oknum-oknum yang awalnya dikenal sebagai Kelompok 78 dan lalu dilabeli Gerombolan 78 ini, sejak awal Juni mendeklarasikan diri sebagai Gerakan Reformasi Sepak Bola Nasional Indonesia (GRSNI). Dengan penuh percaya diri mereka mendengung-dengungkan bahwa kelompoknya adalah reformis yang siap mengubah wajah sepak bola Indonesia menjadi lebih baik.
Salah kaprah! Itulah dua kata yang patut ditujukan pada GRSNI. Jika betul-betul hendak mereformasi PSSI demi lebih baiknya prestasi Indonesia, ngotot sampai mati demi memperjuangkan pasangan bakal calon yang dilarang FIFA adalah tindakan kontraproduktif. Alih-alih membuat perbaikan, bisa-bisa sepak bola Indonesia malah jauh lebih buruk dari era kepemimpinan NH.
Jangan sampai masyarakat pecinta sepak bola nasional kelak berkata, "Enakan jaman Nurdin Halid dong. Biar nggak pernah juara, tapi kita bisa nonton timnas main di pentas internasional." [en]
Published on June 17, 2011 15:30
June 13, 2011
Liverpool Tanpa Anggur
Oleh: Eko Nurhuda - Bung Eko dotcom
"Liverpool without European football is like a banquet without wine."
PENGGEMAR Liverpool mana yang lupa dengan kalimat legendaris ini? Adalah Roy Evans, mantan bek (Oktober 1965-1970) dan manajer (Januari 1994-November 1998, sejak Juli 1998 menjadi joint-manager bersama Gerrard Houlier) The Reds, si pelontar kata-kata tersebut.
Meski sepanjang karirnya sebagai gaffer di Anfield tak menorehkan prestasi fenomenal—kecuali mengorbitkan Robbie Fowler dan Steve McManaman mungkin, ucapan Evans tetap pantas dikenang kubu Merseyside Merah. Ya, secara tradisional tempat Liverpool adalah 4 besar klasemen akhir Liga Inggris dan berlaga di kompetisi Eropa.
Kenny Dalglish tentu paham benar makna ucapan eks anak buahnya ini. Sebagai eks pemain, player-manager (Mei 1985-Februari 1991), dan kini manajer Liverpool, ia tahu ada sesuatu yang hilang kala pemegang 5 trofi Liga Champions, 3 tofi Piala UEFA (kini Europa League), dan 3 trofi Piala Super Eropa ini tak mengikuti kompetisi Eropa.
Lebih Baik di Eropa
Sejak terakhir kali absen di pentas Eropa pada 1999, tak sekalipun Liverpool gagal ke Eropa. Tidak selalu ke Liga Champion memang. Tapi, sejelek-jeleknya klub berseragam merah-merah ini dipastikan tampil di Piala UEFA. Uniknya lagi, prestasi Liverpool di kejuaraan kontinental malah sering lebih baik dari pencapaian di kompetisi domestik.
Ambil contoh saat The Reds meraih trofi Liga Champion ketiganya di Paris, 27 Mei 1981. Mencatat sejarah sebagai klub Inggris pertama yang mampu membawa pulang Si Kuping Besar sebanyak tiga kali, Liverpool malah cuma menempati posisi 5 di klasemen akhir Liga Inggris 1980/81.
Begitu juga saat The Reds meraih trofi Liga Champion kelimanya di Istanbul, Mei 2005. Heroisme Steven Gerrard dkk. mengalahkan AC Milan di Stadion Attaturk kala itu membuat final tersebut dilabeli The Miracle of Istanbul. Boleh dibilang, itulah penampilan terbaik Liverpool di Eropa sejak merajai Liga Champion pada era manajer legendaris Bob Paisley.
Ironisnya, akhir musim 2004/05 Liverpool tak mampu finish di zona Liga Champion. Untung saja UEFA memberikan dispensasi, sehingga anak asuh Rafael Benitez boleh bertanding ke kompetisi tertinggi Eropa itu di musim berikutnya dengan status juara bertahan.
Kemenangan di Turki itu nampaknya menjadi titik balik neraca peruntungan Liverpool di Eropa. Ketika harapan akan titel Premiership tak kunjung mendekat, prestasi di pentas antarnegara malah ikut-ikutan merosot sejak malam dramatis itu.
Benitez sempat hampir memberikan trofi Liga Champion kedua ketika Liverpool kembali bersua AC Milan di final 2006/07. Sayang, kali itu gantian Milan yang membawa pulang piala. Setelah itu Liverpool cuma mampu ke semifinal, dan musim lalu malah hanya berlaga di Europa League. Itupun mandeg di perdelapan final, kalah dari klub semenjana Portugal bernama Sporting Braga pula!
Visi King Kenny
Ketika Benitez memilih pergi, kemudian Roy Hodgson yang menjadi penerus hanya bertahan setengah musim, asa Liverpudlian ditumpukan pada Kenny Dalglish. Bersama legenda hidup Liverpool inilah diharapkan kejayaan kembali ke Anfield. Harapan terbesar tentu saja mengulang masa keemasan di era Bob Paisley, ketika Liverpool meraih 3 trofi Liga Champion dalam rentang 5 tahun. King Kenny sendiri pasti mau mengulangi raihan double winner yang ia persembahkan pada musim 1985/86.
Melihat bagaimana Dalglish mengerek posisi Liverpool di klasemen dari peringkat 12 ke 6, Liverpudlian boleh berharap banyak. Visi Sang Raja dalam membangun tim juga patut diacungi jempol. Selain langkah beraninya melepas Fernando Torres ke Chelsea pada Januari lalu, kebijakannya soal pemain muda layak diapresiasi.
Setelah mempromosikan Jay Spearing, Martin Kelly, Jonjo Shelvey, John Flanagan, Jack Robinson, serta sejumlah pemain remaja lain dari akademi Liverpool, duo striker anyar yang direkrut saat transfer window lalu berkategori pemain muda. Luis Suarez masih berusia 24 tahun, sedangkan Andy Carroll malah dua tahun lebih muda.
Lihat juga siapa yang diincar Liverpool menjelang awal musim 2011/12 nanti. Nama yang belakangan santer terdengar adalah gelandang Sunderland, Jordan Henderson, yang masih berusia 20 tahun. Masih dari klub sama, ada nama Lee Cattermole yang usianya terpaut tiga tahun dari Henderson.
Untuk memperkuat lini belakang, Scott Dann (Birmingham City) adalah target utama King Kenny. Usianya 24 tahun, belum terlalu tua untuk menemani Flanagan atau Kelly. Incaran lainnya, Fabio Coentrao (Benfica), James McCarthy (Wigan Athletic), Stewart Downing (Aston Villa), dan Sylvain Marveaux (Rennes), paling tua berusia 25 tahun.
Melihat rataan umur skuad Liverpool, 26 tahun lebih sedikit, fan Liverpool boleh berharap Dalglish mampu menghadirkan kegembiraan di Anfield sebelum kontraknya berakhir Mei 2014 kelak. Andaipun tak bisa kembali menyejajarkan diri dengan Manchester United dalam mengoleksi gelar juara Liga Inggris, mereguk manisnya anggur bernama kompetisi antarklub Eropa di musim 2012/13 adalah target mutlak.
Ya, seperti komentar Evans kala melihat Liverpool terseok-seok di Premiership bersama Benitez, bagi The Reds, "Top four is a must!". Untuk Dalglish, ucapan itu bisa diperlunak menjadi, "European football is a must!".
"Liverpool without European football is like a banquet without wine."
PENGGEMAR Liverpool mana yang lupa dengan kalimat legendaris ini? Adalah Roy Evans, mantan bek (Oktober 1965-1970) dan manajer (Januari 1994-November 1998, sejak Juli 1998 menjadi joint-manager bersama Gerrard Houlier) The Reds, si pelontar kata-kata tersebut.
Meski sepanjang karirnya sebagai gaffer di Anfield tak menorehkan prestasi fenomenal—kecuali mengorbitkan Robbie Fowler dan Steve McManaman mungkin, ucapan Evans tetap pantas dikenang kubu Merseyside Merah. Ya, secara tradisional tempat Liverpool adalah 4 besar klasemen akhir Liga Inggris dan berlaga di kompetisi Eropa.
Kenny Dalglish tentu paham benar makna ucapan eks anak buahnya ini. Sebagai eks pemain, player-manager (Mei 1985-Februari 1991), dan kini manajer Liverpool, ia tahu ada sesuatu yang hilang kala pemegang 5 trofi Liga Champions, 3 tofi Piala UEFA (kini Europa League), dan 3 trofi Piala Super Eropa ini tak mengikuti kompetisi Eropa.
Lebih Baik di Eropa
Sejak terakhir kali absen di pentas Eropa pada 1999, tak sekalipun Liverpool gagal ke Eropa. Tidak selalu ke Liga Champion memang. Tapi, sejelek-jeleknya klub berseragam merah-merah ini dipastikan tampil di Piala UEFA. Uniknya lagi, prestasi Liverpool di kejuaraan kontinental malah sering lebih baik dari pencapaian di kompetisi domestik.
Ambil contoh saat The Reds meraih trofi Liga Champion ketiganya di Paris, 27 Mei 1981. Mencatat sejarah sebagai klub Inggris pertama yang mampu membawa pulang Si Kuping Besar sebanyak tiga kali, Liverpool malah cuma menempati posisi 5 di klasemen akhir Liga Inggris 1980/81.
Begitu juga saat The Reds meraih trofi Liga Champion kelimanya di Istanbul, Mei 2005. Heroisme Steven Gerrard dkk. mengalahkan AC Milan di Stadion Attaturk kala itu membuat final tersebut dilabeli The Miracle of Istanbul. Boleh dibilang, itulah penampilan terbaik Liverpool di Eropa sejak merajai Liga Champion pada era manajer legendaris Bob Paisley.
Ironisnya, akhir musim 2004/05 Liverpool tak mampu finish di zona Liga Champion. Untung saja UEFA memberikan dispensasi, sehingga anak asuh Rafael Benitez boleh bertanding ke kompetisi tertinggi Eropa itu di musim berikutnya dengan status juara bertahan.
Kemenangan di Turki itu nampaknya menjadi titik balik neraca peruntungan Liverpool di Eropa. Ketika harapan akan titel Premiership tak kunjung mendekat, prestasi di pentas antarnegara malah ikut-ikutan merosot sejak malam dramatis itu.
Benitez sempat hampir memberikan trofi Liga Champion kedua ketika Liverpool kembali bersua AC Milan di final 2006/07. Sayang, kali itu gantian Milan yang membawa pulang piala. Setelah itu Liverpool cuma mampu ke semifinal, dan musim lalu malah hanya berlaga di Europa League. Itupun mandeg di perdelapan final, kalah dari klub semenjana Portugal bernama Sporting Braga pula!
Visi King Kenny
Ketika Benitez memilih pergi, kemudian Roy Hodgson yang menjadi penerus hanya bertahan setengah musim, asa Liverpudlian ditumpukan pada Kenny Dalglish. Bersama legenda hidup Liverpool inilah diharapkan kejayaan kembali ke Anfield. Harapan terbesar tentu saja mengulang masa keemasan di era Bob Paisley, ketika Liverpool meraih 3 trofi Liga Champion dalam rentang 5 tahun. King Kenny sendiri pasti mau mengulangi raihan double winner yang ia persembahkan pada musim 1985/86.
Melihat bagaimana Dalglish mengerek posisi Liverpool di klasemen dari peringkat 12 ke 6, Liverpudlian boleh berharap banyak. Visi Sang Raja dalam membangun tim juga patut diacungi jempol. Selain langkah beraninya melepas Fernando Torres ke Chelsea pada Januari lalu, kebijakannya soal pemain muda layak diapresiasi.
Setelah mempromosikan Jay Spearing, Martin Kelly, Jonjo Shelvey, John Flanagan, Jack Robinson, serta sejumlah pemain remaja lain dari akademi Liverpool, duo striker anyar yang direkrut saat transfer window lalu berkategori pemain muda. Luis Suarez masih berusia 24 tahun, sedangkan Andy Carroll malah dua tahun lebih muda.
Lihat juga siapa yang diincar Liverpool menjelang awal musim 2011/12 nanti. Nama yang belakangan santer terdengar adalah gelandang Sunderland, Jordan Henderson, yang masih berusia 20 tahun. Masih dari klub sama, ada nama Lee Cattermole yang usianya terpaut tiga tahun dari Henderson.
Untuk memperkuat lini belakang, Scott Dann (Birmingham City) adalah target utama King Kenny. Usianya 24 tahun, belum terlalu tua untuk menemani Flanagan atau Kelly. Incaran lainnya, Fabio Coentrao (Benfica), James McCarthy (Wigan Athletic), Stewart Downing (Aston Villa), dan Sylvain Marveaux (Rennes), paling tua berusia 25 tahun.
Melihat rataan umur skuad Liverpool, 26 tahun lebih sedikit, fan Liverpool boleh berharap Dalglish mampu menghadirkan kegembiraan di Anfield sebelum kontraknya berakhir Mei 2014 kelak. Andaipun tak bisa kembali menyejajarkan diri dengan Manchester United dalam mengoleksi gelar juara Liga Inggris, mereguk manisnya anggur bernama kompetisi antarklub Eropa di musim 2012/13 adalah target mutlak.
Ya, seperti komentar Evans kala melihat Liverpool terseok-seok di Premiership bersama Benitez, bagi The Reds, "Top four is a must!". Untuk Dalglish, ucapan itu bisa diperlunak menjadi, "European football is a must!".
Published on June 13, 2011 15:30
June 6, 2011
2010/2011, Musim Kemenangan Akal
Oleh: Eko Nurhuda - Bung Eko dotcom
TAK terasa musim 2010/2011 sudah berakhir. Sejumlah liga di Eropa bahkan sudah mempunyai juara ketika kompetisi masih menyisakan 2 laga. Yang menarik bagi saya, musim ini boleh dibilang merupakan pertarungan antara klub berkapital besar melawan klub yang mengandalkan kecerdikan akal pelatih di tengah keterbatasan uang untuk belanja pemain.
Menariknya lagi, akhir musim ini menunjukkan betapa kapital besar tak berbanding lurus dengan prestasi besar. Klub-klub dengan sokongan dana berlimpah justru harus gigit jari karena gelar juara direbut pesaing yang tak terlalu mengandalkan kapital. Ya, 2010/2011 diakhiri dengan tampilnya klub-klub dengan skuad 'biasa-biasa' dan tidak jor-joran di bursa transfer sebagai juara.
Contoh paling mencolok adalah Bundesliga. Secara mengejutkan gelar Deutscher Meister justru direbut Borussia Dortmund. Padahal, anak asuhan Juergen Klopp ini hanya mengandalkan pemain-pemain muda, nyaris tanpa bintang. Mungkin cuma Nuri Sahin yang bisa disebut sebagai bintang, membuat sang pemain dilirik Real Madrid musim depan. Bila dibandingkan dengan Bayern Muenchen yang saat ini berada di peringkat 3 klasemen, dari segi kekayaan jelas kubu Dortmund kalah jauh.
Di Inggris, gelar juara sepertinya sudah hampir pasti direbut Manchester United yang tinggal membutuhkan 1 poin dari 2 laga sisa. Meski diperhitungkan sebagai tim besar, namun keperkasaan Setan Merah bukan dibangun dengan kekuatan kapital. Sudah menjadi rahasia umum kalau Sir Alex Ferguson adalah jagonya menemukan mutiara terpendam. Alih-alih membeli pemain bintang, ia justru kerap melahirkan bintang. Ryan Gigs, David Beckham, dan Cristiano Ronaldo adalah beberapa contoh pemain bintang skala dunia yang berangkat dari bukan siapa-siapa di MU.
Prestasi MU ini jelas menampar muka Chelsea yang sejak diakuisisi Roman Abramovich gemar mendatangkan bintang-bintang dunia. Begitu juga dengan Manchester City, klub paling boros dalam belanja pemain di bursa transfer Inggris. Chelsea tak mampu menyalip MU, sedangkan The Citizen sudah sangat bersyukur bisa memastikan tempat di Liga Champion musim depan.
Cerita serupa terjadi di Spanyol. Barcelona sudah memastikan diri sebagai juara La Liga musim ini, meninggalkan Real Madrid di posisi runner up. Kita sama-sama tahu, Real Madrid adalah klub yang begitu mendewa-dewakan uang. Florentino Perez adalah jenis presiden klub yang percaya bahwa uang bisa mendatangkan prestasi. Berkali-kali gagal setelah mengeluarkan terlalu banyak uang, Perez tak juga jera. Barcelona, yang mengandalkan pemain-pemain binaan sendiri, dari segi prestasi justru lebih mentereng dari Madrid.
Menarik ditunggu, akankah kekuatan akal masih mampu mengalahkan kekuatan kapital di musim depan?

TAK terasa musim 2010/2011 sudah berakhir. Sejumlah liga di Eropa bahkan sudah mempunyai juara ketika kompetisi masih menyisakan 2 laga. Yang menarik bagi saya, musim ini boleh dibilang merupakan pertarungan antara klub berkapital besar melawan klub yang mengandalkan kecerdikan akal pelatih di tengah keterbatasan uang untuk belanja pemain.
Menariknya lagi, akhir musim ini menunjukkan betapa kapital besar tak berbanding lurus dengan prestasi besar. Klub-klub dengan sokongan dana berlimpah justru harus gigit jari karena gelar juara direbut pesaing yang tak terlalu mengandalkan kapital. Ya, 2010/2011 diakhiri dengan tampilnya klub-klub dengan skuad 'biasa-biasa' dan tidak jor-joran di bursa transfer sebagai juara.
Contoh paling mencolok adalah Bundesliga. Secara mengejutkan gelar Deutscher Meister justru direbut Borussia Dortmund. Padahal, anak asuhan Juergen Klopp ini hanya mengandalkan pemain-pemain muda, nyaris tanpa bintang. Mungkin cuma Nuri Sahin yang bisa disebut sebagai bintang, membuat sang pemain dilirik Real Madrid musim depan. Bila dibandingkan dengan Bayern Muenchen yang saat ini berada di peringkat 3 klasemen, dari segi kekayaan jelas kubu Dortmund kalah jauh.
Di Inggris, gelar juara sepertinya sudah hampir pasti direbut Manchester United yang tinggal membutuhkan 1 poin dari 2 laga sisa. Meski diperhitungkan sebagai tim besar, namun keperkasaan Setan Merah bukan dibangun dengan kekuatan kapital. Sudah menjadi rahasia umum kalau Sir Alex Ferguson adalah jagonya menemukan mutiara terpendam. Alih-alih membeli pemain bintang, ia justru kerap melahirkan bintang. Ryan Gigs, David Beckham, dan Cristiano Ronaldo adalah beberapa contoh pemain bintang skala dunia yang berangkat dari bukan siapa-siapa di MU.Prestasi MU ini jelas menampar muka Chelsea yang sejak diakuisisi Roman Abramovich gemar mendatangkan bintang-bintang dunia. Begitu juga dengan Manchester City, klub paling boros dalam belanja pemain di bursa transfer Inggris. Chelsea tak mampu menyalip MU, sedangkan The Citizen sudah sangat bersyukur bisa memastikan tempat di Liga Champion musim depan.
Cerita serupa terjadi di Spanyol. Barcelona sudah memastikan diri sebagai juara La Liga musim ini, meninggalkan Real Madrid di posisi runner up. Kita sama-sama tahu, Real Madrid adalah klub yang begitu mendewa-dewakan uang. Florentino Perez adalah jenis presiden klub yang percaya bahwa uang bisa mendatangkan prestasi. Berkali-kali gagal setelah mengeluarkan terlalu banyak uang, Perez tak juga jera. Barcelona, yang mengandalkan pemain-pemain binaan sendiri, dari segi prestasi justru lebih mentereng dari Madrid.
Menarik ditunggu, akankah kekuatan akal masih mampu mengalahkan kekuatan kapital di musim depan?
Catatan: Posting ini merupakan naskah asli surat pembaca berjudul Mou, Bukan Pelatih Bintang di rubrik 'Rumah Suporter' tabloid BOLA edisi 2.196, Sabtu-Minggu 14-15 Mei 2011.
Published on June 06, 2011 15:30
Visi King Kenny untuk Liverpool
Oleh: Eko Nurhuda - Bung Eko dotcom
LIVERPUDLIAN boleh kecewa Liverpool hanya finish di peringkat 6 musim ini. Pemegang 5 trofi Liga Champion ini pun harus puas hanya berlaga di kompetisi domestik musim mendatang. Tapi, segenap pendukung Steven Gerrard cs. boleh berharap banyak musim depan.
Ya, kisah Liverpool bisa jadi sangat berbeda di musim 2011/2012. Adalah Kenny Dalglish si pemberi harapan itu. Sejak mengambil alih posisi manajer dari Roy Hodgson, King Kenny terus meningkatkan performa The Reds. Dari berperingkat 12 di paruh kompetisi, Liverpool dibawa naik 6 strip ke peringkat 6 di akhir musim.
Foto: LiverpoolFC.tv
Kenny Dalglish, tangan dinginnya mengangkat performa Liverpool.Mungkin sejak awal sadar tak bisa terlalu banyak menolong eks klubnya, King Kenny membuat terobosan visioner di tim. Ia mengambil kebijakan jangka panjang dengan merekrut pemain-pemain muda yang sedang menanjak: Luis Suarez (24) dari Ajax dan Andy Carroll (22) dari Newcastle United.
Langkah tersebut diikuti dengan kerapnya pemain muda jebolan akademi Liverpool dipromosikan ke tim utama. Mulai dari Jay Spearing dan Martin Kelly yang baru berusia awal 20-an, hingga Jonathan Flanagan, Jonjo Shelvey, Conor Coady, Jack Robinson, dan Raheem Sterling yang masih berumur belasan tahun. Trio Spearing, Kelly, dan Flanagan bahkan sering dipercaya sebagai starter.
Dengan rataan usia pemain 26,6 tahun, Liverpudlian boleh berharap Liverpool dapat kembali ke level bergengsi dalam empat tahun ke depan. Dan, 'tabungan' King Kenny musim ini mungkin sudah bisa dinikmati musim depan. Kita tunggu saja.
You'll never walk alone, Anfield Gank…
LIVERPUDLIAN boleh kecewa Liverpool hanya finish di peringkat 6 musim ini. Pemegang 5 trofi Liga Champion ini pun harus puas hanya berlaga di kompetisi domestik musim mendatang. Tapi, segenap pendukung Steven Gerrard cs. boleh berharap banyak musim depan.
Ya, kisah Liverpool bisa jadi sangat berbeda di musim 2011/2012. Adalah Kenny Dalglish si pemberi harapan itu. Sejak mengambil alih posisi manajer dari Roy Hodgson, King Kenny terus meningkatkan performa The Reds. Dari berperingkat 12 di paruh kompetisi, Liverpool dibawa naik 6 strip ke peringkat 6 di akhir musim.
Foto: LiverpoolFC.tvKenny Dalglish, tangan dinginnya mengangkat performa Liverpool.Mungkin sejak awal sadar tak bisa terlalu banyak menolong eks klubnya, King Kenny membuat terobosan visioner di tim. Ia mengambil kebijakan jangka panjang dengan merekrut pemain-pemain muda yang sedang menanjak: Luis Suarez (24) dari Ajax dan Andy Carroll (22) dari Newcastle United.
Langkah tersebut diikuti dengan kerapnya pemain muda jebolan akademi Liverpool dipromosikan ke tim utama. Mulai dari Jay Spearing dan Martin Kelly yang baru berusia awal 20-an, hingga Jonathan Flanagan, Jonjo Shelvey, Conor Coady, Jack Robinson, dan Raheem Sterling yang masih berumur belasan tahun. Trio Spearing, Kelly, dan Flanagan bahkan sering dipercaya sebagai starter.
Dengan rataan usia pemain 26,6 tahun, Liverpudlian boleh berharap Liverpool dapat kembali ke level bergengsi dalam empat tahun ke depan. Dan, 'tabungan' King Kenny musim ini mungkin sudah bisa dinikmati musim depan. Kita tunggu saja.
You'll never walk alone, Anfield Gank…
Published on June 06, 2011 15:30
June 3, 2011
Liga Champions untuk Manchester City
Oleh: Eko Nurhuda - Bung Eko dotcom
SEGENAP fan Manchester City patut berbahagia musim ini. Kebahagiaan pertama jelas untuk trofi Piala FA, yang menjadi gelar pertama The Citizens sejak 35 tahun lalu. Kebahagiaan kedua, apalagi kalau bukan lolosnya Carlos Tevez dkk. ke Liga Champion musim depan.
Namun, City dan suporternya musti hati-hati. Keriaan itu bisa berbalik jadi kemurungan musim depan. Apa pasal?
Liga Champion adalah ajangnya tim-tim terbaik seantero Eropa. Syarat awal menjadi peserta memang peringkat terbaik di klasemen akhir liga domestik. Tapi, untuk mencapai sukses dibutuhkan prasyarat lain. Diantaranya manajemen, kekuatan finansial, kesiapan mental tim, kedalaman materi skuat, kualitas pelatih, hingga konsentrasi terbaik.
Foto: Zimbio.com
Carlos Tevez, andalan City.Dari semua prasyarat di atas, anak asuhan Roberto Mancini baru terlihat unggul di segi kekuatan finansial. Padahal, kesuksesan di LC tak bisa 'ditebus' dengan uang. Real Madrid adalah contoh bagus dalam kasus ini. Sejak era Los Galacticos digulirkan 10 tahun lalu, Madrid cuma bisa meraih satu trofi Liga Champion.
Ada baiknya Mancini belajar dari pengalaman Tottenham Hotspurs dan Schalke. Dua tim anak bawang ini menorehkan prestasi gemilang dengan menembus perempatfinal dan semifinal. Schalke bahkan sempat mengalahkan juara bertahan Inter Milan dengan skor telak.
Sayangnya, prestasi bagus di level Eropa tidak dibarengi hasil positif di liga domestik. Spurs tak bisa kembali ke LC setelah hanya mampu finish di zona Liga Eropa dalam klasemen akhir Premiership. Sedangkan Schalke malah terperosok ke posisi 14 klasemen akhir Bundesliga. Gelar juara DFB Pokal pun sekedar menjadi pengusap air mata Raul Gonzalez cs.
Kalau tak mau bernasib seperti kedua tim tersebut, Manchester City harus pandai-pandai membagi konsentrasi dan energi. Keberhasilan meraih gelar juara Piala FA sekaligus menembus posisi 3 musim ini, bisa dijadikan modal bagus untuk mengarungi Liga Champion musim depan.

SEGENAP fan Manchester City patut berbahagia musim ini. Kebahagiaan pertama jelas untuk trofi Piala FA, yang menjadi gelar pertama The Citizens sejak 35 tahun lalu. Kebahagiaan kedua, apalagi kalau bukan lolosnya Carlos Tevez dkk. ke Liga Champion musim depan.
Namun, City dan suporternya musti hati-hati. Keriaan itu bisa berbalik jadi kemurungan musim depan. Apa pasal?
Liga Champion adalah ajangnya tim-tim terbaik seantero Eropa. Syarat awal menjadi peserta memang peringkat terbaik di klasemen akhir liga domestik. Tapi, untuk mencapai sukses dibutuhkan prasyarat lain. Diantaranya manajemen, kekuatan finansial, kesiapan mental tim, kedalaman materi skuat, kualitas pelatih, hingga konsentrasi terbaik.
Foto: Zimbio.comCarlos Tevez, andalan City.Dari semua prasyarat di atas, anak asuhan Roberto Mancini baru terlihat unggul di segi kekuatan finansial. Padahal, kesuksesan di LC tak bisa 'ditebus' dengan uang. Real Madrid adalah contoh bagus dalam kasus ini. Sejak era Los Galacticos digulirkan 10 tahun lalu, Madrid cuma bisa meraih satu trofi Liga Champion.
Ada baiknya Mancini belajar dari pengalaman Tottenham Hotspurs dan Schalke. Dua tim anak bawang ini menorehkan prestasi gemilang dengan menembus perempatfinal dan semifinal. Schalke bahkan sempat mengalahkan juara bertahan Inter Milan dengan skor telak.
Sayangnya, prestasi bagus di level Eropa tidak dibarengi hasil positif di liga domestik. Spurs tak bisa kembali ke LC setelah hanya mampu finish di zona Liga Eropa dalam klasemen akhir Premiership. Sedangkan Schalke malah terperosok ke posisi 14 klasemen akhir Bundesliga. Gelar juara DFB Pokal pun sekedar menjadi pengusap air mata Raul Gonzalez cs.
Kalau tak mau bernasib seperti kedua tim tersebut, Manchester City harus pandai-pandai membagi konsentrasi dan energi. Keberhasilan meraih gelar juara Piala FA sekaligus menembus posisi 3 musim ini, bisa dijadikan modal bagus untuk mengarungi Liga Champion musim depan.
Catatan: Posting ini merupakan naskah asli surat pembaca berjudul Belajar dari Schalke di rubrik 'Rumah Suporter' tabloid BOLA edisi 2.202, Sabtu-Minggu 28-29 Mei 2011.
Published on June 03, 2011 15:30
May 28, 2011
Barca, The King of Europe
Oleh: Eko Nurhuda - Bung Eko dotcom
BARCELONA kembali sukses menundukkan Manchester United di partai puncak Liga Champions. Setelah kemenangan 2-0 di Stadion Olimpico, Roma, pada final 2008/09, semalam (28/5) Lionel Messi dkk. menang 3-1 di Stadion Wembley untuk membawa pulang trofi Liga Champions keempat bagi klub Catalan tersebut.
Datang sekitar sepekan sebelum laga rupanya membawa berkah pada penampilan pasukan Josep Guardiola. Meski MU sempat menekan ketat di menit-menit awal, Xavi Hernandez cs. mampu lepas dari tekanan dan mencetak gol pertama di menit ke-27. Adalah Pedro yang membuat fan Barca di Wembley bersorak kala tendangannya tak mampu ditangkap Edwin van der Saar.
Gol Wayne Rooney di menit ke-34 sempat membuat kedudukan imbang hingga babak pertama usai. Namun, di babak kedua dominasi Blaugrana berlanjut. Penguasaan bola (ball possession) di atas 65% seperti ditunjukkan di babak pertama kembali diulangi Barca, membuat pemain-pemain MU hanya bisa membayang-bayangi pergerakan Andres Iniesta dkk.
Foto: fcbarcelona.com
Josep Guardiola, trofi Liga Champions keduanya sebagai pelatih Barca dalam tiga tahun.Gol kedua Barca yang dicetak Messi di menit ke-54 membuat pasukan Sir Alx Ferguson tampak panik. Permainan keras mulai dikeluarkan. Antonio Valencia beruntung tidak sampai dikartu merah wasit Viktor Kassai. Beberapa kali MU mendapat peluang melakukan serangan balik, tapi selalu kandas dan bola kembali dikuasai Barca. MU semakin mati angin ketika David Villa mencetak gol ketiga buat juara La Liga 2010/11. Skor 3-1 berakhir hingga laga usai.
Wayne Rooney menangis, golnya tak kuasa membantu tim. Ryan Giggs menggeleng-gelengkan kepalanya karena dua kali dikalahkan tim yang sama di final Liga Champions. Van der Saar urung mengakhiri karirnya di dunia sepak bola dengan trofi di genggaman tangan. Javier "Chicharito" Hernandez tak kalah kecewa. Ia bahkan terus saja berjalan melewati Michel Platini yang hendak mengalungkan medali perak saat prosesi penyerahan trofi di tribun. Platini sampai menarik penyerang berwajah bayi itu agar medali dapat dikalungkan ke leher si pemain.
Foto: fcbarcelona.com
David Villa, mencetak gol untuk trofi Liga Champions pertamanya bersama Barca.
Sportivitas Sir Alex
Saya menangkap satu momen menarik di akhir laga. Meski di atas lapangan timnya kalah segalanya, namun Sir Alex tak segan-segan menghampiri Guardiola. Bukan sekedar jabat tangan basa-basi, pelatih gaek ini juga menepuk-nepuk pundak rivalnya sambil tersenyum lebar--meski tetap mengunyah permen karet.
Dari mimik wajah dan gesture tubuhnya saat itu, saya melihat Sir Alex begitu kagum pada Guardiola. Ucapannya di media bahwa pelatih Barca itu layak menggantikan posisinya di MU suatu saat nanti, rupanya bukan sekedar basa-basi menjelang final. Bukan pula serangan psikologis yang biasa dilakukan kepada calon lawan menjelang laga. Sir Alex, pelatih dengan segudang prestasi di MU, tampak benar-benar mengagumi sosok Guardiola.
Sungguh satu pertunjukkan kebesaran jiwa yang patut ditiru oleh pelatih manapun di dunia. Dalam olah raga berasaskan fair play seperti sepak bola, sikap Sir Alex malam itu sungguh patut diacungi dua jempol.
Bravo, Barca!
BARCELONA kembali sukses menundukkan Manchester United di partai puncak Liga Champions. Setelah kemenangan 2-0 di Stadion Olimpico, Roma, pada final 2008/09, semalam (28/5) Lionel Messi dkk. menang 3-1 di Stadion Wembley untuk membawa pulang trofi Liga Champions keempat bagi klub Catalan tersebut.
Datang sekitar sepekan sebelum laga rupanya membawa berkah pada penampilan pasukan Josep Guardiola. Meski MU sempat menekan ketat di menit-menit awal, Xavi Hernandez cs. mampu lepas dari tekanan dan mencetak gol pertama di menit ke-27. Adalah Pedro yang membuat fan Barca di Wembley bersorak kala tendangannya tak mampu ditangkap Edwin van der Saar.
Gol Wayne Rooney di menit ke-34 sempat membuat kedudukan imbang hingga babak pertama usai. Namun, di babak kedua dominasi Blaugrana berlanjut. Penguasaan bola (ball possession) di atas 65% seperti ditunjukkan di babak pertama kembali diulangi Barca, membuat pemain-pemain MU hanya bisa membayang-bayangi pergerakan Andres Iniesta dkk.
Foto: fcbarcelona.comJosep Guardiola, trofi Liga Champions keduanya sebagai pelatih Barca dalam tiga tahun.Gol kedua Barca yang dicetak Messi di menit ke-54 membuat pasukan Sir Alx Ferguson tampak panik. Permainan keras mulai dikeluarkan. Antonio Valencia beruntung tidak sampai dikartu merah wasit Viktor Kassai. Beberapa kali MU mendapat peluang melakukan serangan balik, tapi selalu kandas dan bola kembali dikuasai Barca. MU semakin mati angin ketika David Villa mencetak gol ketiga buat juara La Liga 2010/11. Skor 3-1 berakhir hingga laga usai.
Wayne Rooney menangis, golnya tak kuasa membantu tim. Ryan Giggs menggeleng-gelengkan kepalanya karena dua kali dikalahkan tim yang sama di final Liga Champions. Van der Saar urung mengakhiri karirnya di dunia sepak bola dengan trofi di genggaman tangan. Javier "Chicharito" Hernandez tak kalah kecewa. Ia bahkan terus saja berjalan melewati Michel Platini yang hendak mengalungkan medali perak saat prosesi penyerahan trofi di tribun. Platini sampai menarik penyerang berwajah bayi itu agar medali dapat dikalungkan ke leher si pemain.
Foto: fcbarcelona.comDavid Villa, mencetak gol untuk trofi Liga Champions pertamanya bersama Barca.
Sportivitas Sir Alex
Saya menangkap satu momen menarik di akhir laga. Meski di atas lapangan timnya kalah segalanya, namun Sir Alex tak segan-segan menghampiri Guardiola. Bukan sekedar jabat tangan basa-basi, pelatih gaek ini juga menepuk-nepuk pundak rivalnya sambil tersenyum lebar--meski tetap mengunyah permen karet.
Dari mimik wajah dan gesture tubuhnya saat itu, saya melihat Sir Alex begitu kagum pada Guardiola. Ucapannya di media bahwa pelatih Barca itu layak menggantikan posisinya di MU suatu saat nanti, rupanya bukan sekedar basa-basi menjelang final. Bukan pula serangan psikologis yang biasa dilakukan kepada calon lawan menjelang laga. Sir Alex, pelatih dengan segudang prestasi di MU, tampak benar-benar mengagumi sosok Guardiola.
Sungguh satu pertunjukkan kebesaran jiwa yang patut ditiru oleh pelatih manapun di dunia. Dalam olah raga berasaskan fair play seperti sepak bola, sikap Sir Alex malam itu sungguh patut diacungi dua jempol.
Bravo, Barca!
Published on May 28, 2011 21:48


