Eko Nurhuda's Blog, page 63

March 2, 2011

Mimpi ke Kampung 99 Pepohonan Depok

Oleh: Eko Nurhuda - Bung Eko dotcom
DARIPADA terus-menerus kecewa gara-gara hape Nokia Flexi Chatting dari blogDetik yang seharusnya menjadi milik saya sebagai salah 1 dari 10 pemenang blogDetik Writing Contest "Inspiring Woman" pertengahan tahun lalu akhirnya benar-benar tidak dapat saya peroleh, saya curahkan emosi yang begitu membuncah ini untuk mengikuti berbagai kontes blog. Mudah-mudahan saja kali ini saya lebih beruntung. Maksudnya, bukan cuma jadi pemenang, tapi juga mendapatkan hadiahnya. ^_^

Salah satu kontes yang saya ikuti adalah Beat Blog Writing Contest 2011, diadakan oleh VHR Media. Tema tulisan yang dipersyaratkan seputar lingkungan. Saya menulis 2 posting, Menabung Sampah Pangkal Selamat dan Jadi Pemulung, Yuk!. Dua-duanya tentang persoalan penanganan sampah yang terus-menerus menjadi PR tersulit di Indonesia. Meski sama-sama mengulas tentang problematika sampah, namun kedua tulisan tersebut menampilkan gaya yang sangat berbeda. I just did the best I can do, soal hasil saya serahkan kepada Yang Maha Pemurah.

Jalan-jalan Sambil Menulis di Kampung 99 Pepohonan, Depok
Foto: wira186.multiply.com
Salah satu pemandangan di tepi sungai di Kampung 99 Pepohonan, Depok.Beat Blog Writing Contest 2011 disponsori oleh sejumlah perusahaan besar. Mulai dari operator GSM Pro XL, penerbit Gagas Media, Djarum Foundation, hingga Ford Foundation. Dengan sederet sponsor top seperti ini, tak heran bila hadiah yang ditawarkan sangat menggiurkan. Juara pertama memperoleh uang tunai Rp5.000.000 plus 1 buah Blackberry. Tidak usah jadi juara, terpilih sebagai salah satu dari 17 nominator saja sudah sangat beruntung. Sebab, selain dapat uang tunai Rp500.000, posting para nominator akan dibukukan bersama posting-posting para pemenang utama. Asyik, bukan?

Asyiknya tidak berhenti sampai di situ saja. Melengkapi hadiah uang tunai senilai total puluhan juta rupiah, Blackberry untuk pemenang utama, serta pembukuan posting, 3 pemenang utama dan 17 nominator kontes bersama 10 jurnalis terpilih akan diajak mengikuti program Report from the Field . Program ini dilangsungkan guna memperingati Hari Bumi. Peserta akan tinggal di satu area konservasi selama beberapa hari dengan mengikuti pola hidup warga setempat, sembari membuat laporan pandangan mata tentang kegiatan tersebut.

Menurut rencana, program Report from the Field dilaksanakan pada 23-24 April 2011 di Kampung 99 Pepohonan, Depok, Jawa Barat. Di situs resmi VHR Media disebutkan kalau waktu dan tempat ini masih tentatif, jadi masih bisa berubah lagi kelak. Saya sendiri berharap waktunya yang diundur menjadi Mei atau Juni, karena anak kedua saya diperkirakan lahir pertengahan April. Sedangkan tempatnya sebaiknya tetap di Kampung 99 Pepohonan, Depok.

Sekilas tentang Kampung 99 Pepohonan, Depok
Sesuai namanya, Kampung 99 Pepohonan adalah sebuah kampung artifisial yang penuh pepohonan. Selain rumah-rumah panggung dari kayu, lahan seluas 5 hektar di Desa Meruyung, Cinere, oleh Depok, Jawa Barat, ini dipenuhi deretan pepohonan. Di antaranya pohon mahoni, gandaria, ulin, menteng, meranti, trembesi, bintaro, kemang, dan beberapa rumpun bambu. Melengkapi keasriannya itu, di kampung ini juga terdapat lima ekor rusa jenis timorensis. Karenanya sebagian orang juga menyebut kampung ini sebagai Kampung Rusa.

Foto: http://ibun.blogdetik.com
Rumah panggung dari kayu, ciri khas hunian di Kampung 99 Pepohonan yang alami nan asri.Kampung 99 Pepohonan adalah sebuah area yang dirancang sebagai hunian yang bersahabat dengan alam dengan menjalankan konsep gaya hidup organik, kembali ke alam. Agar lingkungan asri dan udara segar terus didapatkan, seluruh penghuninya kompak tidak merokok. Lalu penghuni kampung juga dilarang menebang pohon, memetik daun, membuang sampah sembarangan, apalagi sampah plastik.

Hunian yang dibangun di kampung ini diupayakan ramah lingkungan. Tidak ada gedung, yang ada hanya rumah-rumah kayu. Luas setiap rumah tidak lebih dari 100 meter persegi, tanpa pagar, dan dibangun secara bergotong-royong oleh seluruh penghuni kampung. Di setiap rumah terdapat kolam penyangga untuk memelihara ikan atau ternak, serta kebun seluas setidaknya 100 meter persegi.

Kegiatan sehari-hari anak-anak di kampung ini tidak lepas dari alam. Alih-alih bermain, anak-anak diajarkan untuk menanam pohon, menanam padi dan sayur-sayuran, menangkap ikan, dan membuat roti. Sementara penghuni dewasa setiap hari menanam setidaknya 10 pohon berbagai jenis. Lebih hebatnya lagi, pohon-pohon yang ditanam adalah pohon produktif yang dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari penduduk kampung. Mulai dari kelapa, sukun, hingga beragam jenis pohon buah-buahan.

Kini, hasil bumi Kampung 99 Pepohonan berlimpah-ruah. Hasil pertanian seperti padi dan sayur-sayuran lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan para penghuninya. Begitu pula dengan susu, madu, ikan, dan aneka buah. Kelebihan hasil alam itu kemudian dijual ke luar, sebagian lagi diolah menjadi produk-produk seperti yogurt, cuka apel, cuka kelapa, hingga yogurt sukun. Berbagai inovasi lain juga dilakukan. Misalnya dengan memproses air irigasi untuk mandi agar pemakaian air tanah semakin berkurang, serta pembangkit listrik sendiri dengan memanfaatkan tenaga kincir air.

Coba, siapa yang tidak tertarik mengunjungi kampung asri nan mandiri seperti ini? Saya mau sekali! Karena itulah saya ikut Beat Blog Writing Contest 2011 yang diadakan VHR Media. Mohon doanya ya, Bung...
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on March 02, 2011 14:30

February 26, 2011

Pupus Sudah...

Oleh: Eko Nurhuda - Bung Eko dotcom
SETELAH berharap-harap cemas selama hampir sebulan, kabar itu akhirnya saya terima dari blogDetik. Email yang saya kirim Sabtu, 30 Januari, lalu sebenarnya sudah dibalas tepat pada Hari Valentina, 14 Februari. Itupun karena saya kembali mengirim email di tanggal tersebut. Jawaban dari blogDetik waktu itu harus diakui tidak sesuai harapan saya, jadi saya terus mendesak dengan kembali mengirimkan email. Hasilnya? Mentok! Keputusan blogDetik sudah final: saya tidak bisa mengklaim hape Nokia Flexi Chatting yang seharusnya saya dapatkan sebagai salah satu pemenang blogDetik Writing Contest "Inspiring Woman" yang digelar pertengahan 2010 lalu.

Berikut korespondensi saya dengan salah satu staf blogDetik (namanya sengaja saya samarkan), dimulai dari email pertama saya setelah mengetahui kalau saya ternyata jadi salah satu pemenang kontes tersebut pada 30 Januari lalu:

Nokia Flexi Chatting: Akhirnya, hape keren ini tidak bisa saya miliki.Dear blogDetik,
Saya Eko Nurhuda, salah satu pemenang Blogdetik Writing Contest "Inspiring Woman", tepatnya yang berhak mendapat hadiah sebuah handphone Nokia Flexi Chatting (nomor 9 dalam pengumuman pemenang).

Saya baru saja tahu kalau saya adalah salah satu pemenang kontes tersebut! Ya, benar-benar barusan, sesaat sebelum saya menulis komentar di halaman pengumuman pemenang dan email ini. (Mohon maaf, kalau tidak salah saya tidak mendapat email pemberitahuan dari panitia kalau saya jadi salah satu pemenang. Atau, saya yang lupa memberi konfirmasi?)

Pertanyaan saya sederhana saja, apakah saya masih bisa mengklaim hadiah saya ini? Ya, saya tahu sudah lebih dari setengah tahun sejak tanggal terakhir yang ditetapkan blogDetik untuk konfirmasi, tapi saya akan sangat bergembira sekali apabila hadiah tersebut masih bisa saya klaim. Jika tidak, apa boleh buat. Barangkali memang bukan rejeki saya.

Itu saja dari saya. Saya sangat menantikan jawaban dari blogDetik, dan mudah-mudahan itu kabar gembira. Amin.

Saya harus menunggu hingga 2 pekan, dan tak ada jawaban! Saya tidak percaya kalau email tersebut tidak dibaca atau tidak sampai. Kemungkinannya hanyalah, email tersebut sengaja diabaikan. Atau, mungkin staf blogDetik yang menerimanya bingung mau menjawa apa? Akhirnya, 14 Februari saya kembali mengirim email ke blogDetik. Isi emailnya tidak jauh berbeda dari email pertama.

Dear blogDetik,
Saya Eko Nurhuda, salah satu pemenang Blogdetik Writing Contest "Inspiring Woman", tepatnya yang berhak mendapat hadiah sebuah handphone Nokia Flexi Chatting (nomor 9 dalam pengumuman pemenang).

Saya baru saja tahu kalau saya adalah salah satu pemenang kontes tersebut! Ya, benar-benar barusan, sesaat sebelum saya menulis komentar di halaman pengumuman pemenang dan email ini. (Mohon maaf, kalau tidak salah saya tidak mendapat email pemberitahuan dari panitia kalau saya jadi salah satu pemenang. Atau, saya yang lupa memberi konfirmasi?)

Pertanyaan saya sederhana saja, apakah saya masih bisa mengklaim hadiah saya ini? Ya, saya tahu sudah lebih dari setengah tahun sejak tanggal terakhir yang ditetapkan blogDetik untuk konfirmasi, tapi saya akan sangat bergembira sekali apabila hadiah tersebut masih bisa saya klaim. Jika tidak, apa boleh buat. Barangkali memang bukan rejeki saya.

Ini adalah email kedua saya setelah yang pertama saya kirim pada 30 Januari 2011 lalu tidak kunjung mendapat jawaban. Saya masih sangat menantikan jawaban dari blogDetik, dan mudah-mudahan itu kabar gembira. Amin.

Bila sebelumnya sampai 14 hari tak ada jawaban, maka email kedua ini langsung mendapat jawaban. Ya, tak lama setelah saya mengirim email, jawaban dari salah satu staf blogDetik masuk ke mailbox saya.

"Dikarenakan email konfirmasi dikirim jauh setelah pengumuman pemenang Blogdetik Writing Contest 'Inspiring Woman', dan hadiah untuk tahun lalu tidak dapat diambil kembali karena telah masuk audit tahun lalu."
- Tim blogDetikDear Eko Nurhuda,
Terima kasih telah mengirimkan permohonan tersebut. Namun, kami minta maaf karena tidak dapat mengabulkan. Dikarenakan email konfirmasi dikirim jauh setelah pengumuman pemenang Blogdetik Writing Contest 'Inspiring Woman', dan hadiah untuk tahun lalu tidak dapat diambil kembali karena telah masuk audit tahun lalu.

Terima kasih atas pengertiannya.

Regards,
Tim Blogdetik

Wesley Seneijder: Kecewa karena Belanda kalah dari Spanyol di final Piala Dunia 2010. Saya justru kecewa karena menang. What a funny life!Alasan "email konfirmasi dikirim jauh setelah pengumuman pemenang Blogdetik Writing Contest 'Inspiring Woman'" jelas-jelas sudah saya bantah sejak mengirim email pertama. Harap dicatat, blogDetik tidak memberikan email konfirmasi kalau saya jadi pemenang! Sedangkan untuk alasan "hadiah untuk tahun lalu tidak dapat diambil kembali karena telah masuk audit tahun lalu", saya tidak bisa berkomentar banyak. Terlepas dari kekakuan pembukuan perusahaan, hanya blogDetik saja yang tahu benar apakah memang benar begitu.

Bagi saya, jawaban ini merupakan paradoks: blogDetik sebenarnya MAMPU tapi TIDAK MAU. Bukankah di mana ada kemauan di situ ada jalan? Mungkin blogDetik tidak percaya kata bijak ini. Saya tidak putus harapan, dan langsung membalas email tersebut. Isinya seperti berikut ini:

Dear Detik,
Terima kasih atas responnya, membuat saya harap-harap cemas sejak email pertama pada 30 Januari lalu.

Well, mungkin apa yang saya ceritakan di blog saya (http://www.bungeko.com/2011/01/ternya...) bisa menggambarkan kenapa saya baru tahu pengumumannya 8 bulan setelahnya. Lagipula, saya tidak menerima email pemberitahuan dari blogDetik kan? Mohon koreksi saya kalau salah, tapi saya yakin saya tidak menerima email pemberitahuan pada saat itu.

Saya tidak memaksa, tapi sampai kapanpun saya akan memperjuangkan hak saya. Apalagi saya merasa bukan salah saya sehingga kemudian baru tahu 8 bulan setelah pengumuman. So, saya amat mengharapkan kemurahan hati blogDetik. Kalau keputusan ini sudah final, apa boleh buat? Siapalah saya? Jelas saya tidak bisa memaksa. Mungkin memang bukan rejeki saya, walaupun saya yakin mudah saja bagi Detik untuk mengusahakan jalan keluar yang lebih menggembirakan bagi saya.

Terima kasih.

Entah karena kesal atau malah meladeni saya, sampai beberapa hari kemudian tak ada jawaban dari blogDetik. Maka, sayapun kembali mengirim email pada 19 Februari. Ngeyel banget ya? ^_^

"Bagi saya, jawaban ini merupakan paradoks: blogDetik sebenarnya MAMPU tapi TIDAK MAU. Bukankah di mana ada kemauan di situ ada jalan? Mungkin blogDetik tidak percaya kata bijak ini."
- Bung EkoDear blogDetik,
Sekedar bertanya, apakah memang keputusan blogDetik untuk tidak mengabulkan klaim hadiah kontes blog yang diadakan blogDetik Mei 2010 lalu--dan baru saya ketahui akhir Januari 2011 lalu karena tidak ada pemberitahuan dari penyelenggara--sudah final? Artinya, apakah blogDetik memang benar-benar tidak ingin memberikan keajaiban (sesuatu yang sebenarnya untuk ukuran korporasi sebesar Detik bukanlah keajaiban) kepada saya?

Itu saja. Terima kasih.

Pertanyaan saya rasanya sederhana. Tapi tampaknya jawabannya begitu sulit disampaikan oleh blogDetik, sehingga saya harus menunggu sampai tanggal 21 Februari untuk menerima balasannya. Isinya sudah saya tebak, dan semakin menegaskan kesimpulan saya kalau KEMAMPUAN tidak selalu sejalan dengan KEMAUAN.

Dear Eko Nurhuda,
Mohon maaf, kami tidak bisa mengabulkan, karena masalah audit di tahun yang berbeda dari waktu penyelenggaraan kuis dan konfirmasi email Pemenang. Kami hanya menjalankan prosedur perusahaan, dan kami harus mematuhinya. Mohon dimengerti. Terima kasih.

Regards,
M***y

Kecewa? Jelas! Padahal, kalau saja blogDetik menawarkan hadiah pengganti, walaupun sangat remeh seperti kaos atau sertifikat, rasa kecewa saya bisa terobati. Tapi saya tidak boleh terlalu kecewa. Toh, saya masih bisa tetap berbangga hati menjadi salah satu dari 10 Pemenang blogDetik Writing Contest 'Inspiring Woman' 2010. Apalagi dari 10 pemenang, 7 diantaranya merupakan pengguna blogDetik.

Satu pelajaran penting yang saya peroleh dari pengalaman ini: kalau ikut kontes yang diselenggarakan perusahaan besar seperti Detik, rajin-rajinlah menengok halaman pengumuman pemenang. Perusahaan besar seperti Detik tidak butuh memenangkan kita, tapi kitalah yang butuh dimenangkan olehnya. Jadi, rajin-rajinlah berkunjung ke halaman kontesnya karena pemenang tidak akan diberitahu.

Bagaimana pendapat Bung?
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on February 26, 2011 14:30

February 24, 2011

Tips Aman Ber-Facebook Ria

Oleh: Eko Nurhuda - Bung Eko dotcom
TIDAK bisa dipungkiri lagi Facebook telah menjadi situs jejaring sosial paling populer saat ini. Dibanding Friendster yang lebih dulu hadir di Indonesia, Facebook memiliki lebih banyak kelebihan. Baik dari segi tampilan maupun fitur dan layanannya.

Salah satu fitur yang membuat orang lebih menyukai Facebook adalah kemampuannya mempertemukan seorang pengguna dengan teman lama. Banyak cerita mengenai pertemuan kembali dua sahabat yang telah lama berpisah. Mereka akhirnya bertemu setelah sama-sama menjadi pengguna Facebook. Bahkan tak sedikit orang yang membuat akun di Facebook dengan tujuan mencari teman-teman lamanya.


Facebook: Andalan untuk mencari teman lama yang telah hilang kontak sama sekali.Untuk dapat memaksimalkan fitur pencarian teman, pengguna harus memasukkan data pribadinya pada saat mendaftar. Data ini sebaiknya tidak fiktif, karena berdasarkan data itulah Facebook menghubungkan pengguna-penggunanya yang memiliki kesamaan latar belakang.

Sayangnya, pencantuman data pribadi asli di Facebook memiliki resiko negatif. Yang sering terjadi, data-data tersebut bisa saja dicuri orang-orang tidak bertanggungjawab. Ada banyak hal yang mungkin dilakukan dengan data curian itu. Seperti membuat akun palsu di situs lain, atau mendaftar program-program tertentu yang kesemuanya dapat merugikan si pemilik data.

Fenomena terhangat adalah maraknya impersonation . Polanya, seseorang yang tidak bertanggungjawab mendaftar ke sebuah situs menggunakan nama dan identitas pribadi yang dicuri dari Facebook. Di situs tersebut, orang itu bertindak sebagai pengguna Facebook yang datanya ia curi. Kelihatannya tidak berbahaya. Tapi bayangkan jika orang tersebut melakukan tindakan merugikan orang lain. Tentunya pemilik data asli yang akan terkena dampak negatif.

Hal demikian pernah menimpa Rima, seorang mahasiswi di Jakarta. Data-data pribadi Rima dicuri dan pelaku kemudian membuat sebuah blog atas nama Rima. Di blog tersebut data pribadi dan foto-foto Rima diumbar. Pelaku bahkan melakukan pembunuhan karakter dengan posting-postingnya yang membuat kesan bahwa Rima adalah seorang perempuan bermoral rendah.

Tips Aman Ber-facebook
Demi mencegah agar tidak menjadi korban pencurian data, ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Pertama, jangan cantumkan semua data pribadi dalam halaman informasi. Facebook membolehkan penggunanya untuk menyembunyikan beberapa data yang tidak ingin ditampilkan untuk umum. Cukup tampilkan nama lengkap, tanggal lahir, sekolah, kampus, dan blog pribadi jika ada, selebihnya sembunyikan saja.

"Pernah terjadi seorang internet marketer gencar menawarkan produknya lewat Facebook. Awalnya ia mengajukan permohonan pertemanan pada pengguna Facebook lainnya. Setelah disetujui ia kemudian melakukan serangkaian promosi agar si teman barunya tadi membeli produk yang ia jual."Kedua, proteksi informasi pribadi dengan membuatnya tidak dapat ditampilkan kecuali pada orang-orang yang telah ditambahkan sebagai teman. Hal ini dapat dilakukan dengan mengubah pengaturan di member area. Dengan demikian, risiko terjadinya pencurian data bisa diminimalisir karena seorang pencuri tentu tak ingin identitasnya diketahui calon korbannya. Kalaupun terjadi pencurian data, setidaknya Anda bisa menyempitkan kecurigaan hanya pada orang-orang yang ada di dalam daftar teman.

Ketiga—dan ini yang sangat penting, jangan sembarangan menambahkan teman. Selalu pastikan bahwa orang yang akan ditambahkan sebagai teman benar-benar telah dikenal. Kepopuleran Facebook dengan jutaan pengguna membuat banyak orang tidak bertanggungjawab memanfaatkannya untuk mengeruk keuntungan pribadi. Karena itu, kita yang harus ekstra hati-hati memanfaatkan layanan ini.

Pernah terjadi seorang internet marketer gencar menawarkan produknya lewat Facebook. Awalnya ia mengajukan permohonan pertemanan pada pengguna Facebook lainnya. Setelah disetujui ia kemudian melakukan serangkaian promosi agar si teman barunya tadi membeli produk yang ia jual. Tentu saja hal-hal demikian sangat mengganggu privasi kita sebagai pengguna Facebook.

Terakhir, jangan terlalu banyak mengumbar foto, terutama yang bersifat pribadi sekali. Misalnya foto-foto dengan busana minim. Hal ini untuk menghindari tangan-tangan usil yang dapat merekayasa foto untuk tujuan-tujuan tertentu. Tanpa diharapkan, bisa saja foto-foto tersebut diubah sedemikian rupa sehingga merugikan nama baik pemiliknya.

Foto-foto yang tersimpan di Facebook dapat dengan mudah dikopi oleh pengguna lainnya. Karena itu, bersikaplah bijak saat memasukkan foto. Agar aman, sebaiknya hanya upload foto di mana ada banyak orang di dalamnya dan momennya bersifat umum.

Bermain Facebook memang sangat menyenangkan. Namun kesenangan ini dapat berubah menjadi bencana jika kita tidak bersikap bijak dalam menggunakannya. Sebelum hal buruk menimpa, maka lebih baik berhati-hati. [bungeko]
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on February 24, 2011 14:30

February 22, 2011

Hosting Murah Berkualitas, Tren Hosting Indonesia

Oleh: Eko Nurhuda - Bung Eko dotcom
RASANYA sudah jadi kebiasaan orang Indonesia, setiap kali mencari barang atau layanan/jasa maunya dapat yang berkualitas, tapi dengan harga murah. Mulai dari tiket pertandingan sepakbola sampai tiket pesawat, mau makan di warung lesehan atau di restoran bonafid, yang paling dicari selalu yang paling berkualitas, namun juga yang harganya paling murah.

Begitu juga dengan layanan webhosting. Sejak blog menjadi tren di Indonesia pada awal tahun 2000-an, permintaan akan layanan hosting melonjak. Banyak blogger baru berarti banyak blog baru. Setelah bosan dengan blog gratisan, para blogger mulai melirik layanan hosting profesional untuk blognya. Dan, lagi-lagi, yang dicari selalu layanan hosting yang super murah tapi berkualitas paling oke. Memang ada webhosting Indonesia yang begitu?

Antara Murah dan Murahan
Memadukan layanan berkualitas dengan harga murah adalah hal sulit. Orang Jawa bilang, "Ono rego ono rupo." Maksudnya, kualitas sesuatu itu ditentukan oleh harganya. Semakin tinggi harganya bisa dipastikan kualitasnya semakin baik. Dan, fakta yang kita lihat sehari-hari memang seperti itu. Kaos boleh sama-sama kaos berbahan kain cotton combed, tapi kaos distro berharga minimal Rp50.000/buah jelas berbeda jauh dengan kaos di Pasar Beringharjo atau Pasar Tanah Abang yang cuma berharga Rp15.000. Begitu juga makananan. Ayam bakar bisa saja sama-sama ayam bakar, tapi ayam bakar di warung pinggir jalan seharga Rp6.000/porsi mana bisa dibandingkan dengan ayam bakar Wong Solo atau Taliwang Bersaudara.

Bagaimana dengan webhosting? Adakah webhosting tangguh nan berkualitas tapi harganya bersahabat? Sebelum menjawab pertanyaan ini, musti kita samakan dulu pemahaman mengenai kata 'murah' di sini. Selama ini banyak orang selalu menghubungkan murah dengan harga rendah. Nah, murah yang dimaksud di sini adalah kualitas tinggi dengan beban biaya rendah. Harga rendah tapi kualitas juga rendah mana bisa dikatakan murah!

Foto: nursingbegin.com
Mi instan: Terkesan murah, padahal malah jauh lebih mahal harganya.Contoh. Mi instan memang rendah harganya, sebungkus tak sampai Rp1.500. Kalau Bung beli seporsi mi telor di warung bubur kacang ijo (burjo) yang banyak ditemukan di pojok-pojok Kota Yogyakarta, harganya sekitar Rp3.000. Murah? Nanti dulu. Coba hitung, berapa lama perut Bung bisa menahan rasa lapar setelah memakan semangkuk mi telor tersebut? Saya rasa bisa bertahan 3 jam saja sudah sangat bagus.

Bandingkan dengan nasi telor. Harga sebungkus nasi telor di beberapa warung lesehan di sekitar Jl. Kusumanegara, tempat saya ngekos sampai Mei 2010 lalu, antara Rp4.000-Rp4.500. Bila dibandingkan dengan harga mi telor memang tampaknya lebih mahal. Tapi, coba bandingkan, berapa lama perut Bung bisa menahan rasa lapar setelah memakan sebungkus nasi telor? Setidaknya antara 5-6 jam.

Dari perbandingan ini, menurut saya nasi telor jauh lebih murah dibandingkan mi telor. Dengan nasi telor, perut saya tidak merasa lapar selama 5-6 jam, sedangkan dengan mi telor hanya setengahnya. Kalau saya mau tahan lapar selama 5-6 jam dengan mi telor, maka saya butuh 2 porsi. Bila seporsi harganya Rp3.000, dikali 2 sama dengan Rp6.000. Lihat, sama-sama bisa tahan lapar 5-6 jam, tapi Bung butuh uang lebih banyak bila memakan mi telor. Masih beranggapan mi telor murah?

Murah, tapi Berkualitas Tinggi
Kembali lagi ke topik webhosting, adakah webhosting terbaik nan tangguh tapi harganya bersahabat? Menggunakan makna 'murah' seperti yang dimaksud dalam contoh mi telor dan nasi telor di atas, rasa-rasanya kita bisa menyebut sebuah nama: IDWebHost.

Foto: http://o.gi.web.id
IDWebHost: Menawarkan paket hosting murah berkualitas.Nama IDWebHost tentu tidak asal disebut begitu saja. Ada parameter jelas dalam menentukan layanan hosting yang dioperasikan oleh CV JogjaCamp ini sebagai webhosting murah berkualitas. Apa itu? Apalagi kalau bukan layanan webhosting yang diberikannya, dibandingkan dengan harga yang dibebankan kepada konsumennya. Agar tidak dibilang subjektif, layanan dan harga ini harus dikomparasikan dengan layanan hosting perusahaan lain. Untuk kepentingan ini, saya memilih 2 perusahaan yang sama-sama berpredikat 5 besar dalam daftar Top Hosting Companies in Indonesia yang dirilis oleh WebHosting.info per 23 Februari 2011.

Dimulai dari IDWebHost. Harga paling rendah di situs ini adalah banderol untuk Paket idBasic , yakni Rp1.000/bulan. Meski calon pengguna paket ini harus menyewa 12 tahun sekaligus, harga totalnya tetap saja terbilang murah: Rp12.000/tahun. Dengan harga ini, calon pengguna akan memperoleh jatah ruang penyimpanan data (space) sebesar 10 MB dan bandwidth sebanyak 1 GB. Tambahan lain, biaya setup dan biaya upgrade-nya GRATIS!

Sekarang bandingkan dengan perusahaan hosting asal Yogyakarta berinisial RUW. Untuk hosting berkapasitas penyimpanan 10 MB harganya memang sama, yakni Rp1.000/bulan. Tapi, di sini bandwidth yang diberikan cuma 0,5 GB/bulan. Bandingkan pula dengan layanan sebuah perusahaan hosting berinisial ARH yang berbasis di Jakarta. Untuk layanan hosting dengan space 30 MB dan bandwidth 2 GB, perusahaan ini mematok harga sebesar Rp80.000/tahun. Harga ini lebih dari 6,5 kali lipat dari yang ditagih IDWebHost, padahal spesifikasinya hanya 3 kali lipat (space) dan 2 kali lipat (bandwidth) dari yang ditawarkan IDWebHost.

Itu soal harga. Bagaimana dengan kualitas dan layanannya? Sebagai gambaran saja, IDWebHost merupakan peringkat 3 dalam daftar Top Hosting Companies in Indonesia yang dirilis oleh WebHosting.info per 23 Februari 2011. Pertengahan Januari 2010, IDWebHost bahkan berada di urutan ke-2. Tapi penurunan peringkat ini sangat berbanding terbalik dengan peningkatan jumlah nama domain yang dikelola dan market share-nya.

Januari 2010, ketika berperingkat 2, IDWebHost menguasai 10,6179% market share dengan mengelola sebanyak 16.644 nama domain. Kini, saat peringkatnya turun 1 strip, market share IDWebHost justru meningkat menjadi 13.3241%. Jumlah nama domain yang dikelolanya juga bertambah 7.314 buah menjadi 23.958 nama domain. Bandingkan dengan peringkat 1 yang kenaikan market share-nya tidak berbeda jauh dengan IDWebHost, yakni sebanyak 3,8647% (11,867% per 18 Januari 2010, menjadi 15,7317% per 23 Februari 2011) dan jumlah nama domain yang dikelolanya bertambah 9.685 buah (18.602 buah per 18 Januari 2010, menjadi 28.287 buah per 23 Februari 2011).

Soal layanan konsumen alias customer service (CS), IDWebHost tampak tidak mau main-main. Mereka sadar, layanan kepada konsumen harus prima serta optimal agar motto yang diusung, Best Service at Affordable Cost, tidak sekedar menjadi janji kosong. Untuk itu, manajemen IDWebHost menempatkan 23 staf khusus untuk menangani desk layanan konsumen. Bila armada CS perusahaan hosting lain hanya membantu masalah administrasi dan sedikit tentang urusan teknis, staf CS IDWebHost bisa membantu hingga ke hal-hal detil seperti scripting pemrograman. Yang lebih menarik, IDWebHost juga memberikan jadwal jaga staf CS-nya di web, sehingga konsumen dapat menghubungi CS kapanpun dibutuhkan.

(http://r324cancer.blogspot.com)
Server: Kunci tangguhnya sebuah layanan hosting.Lihat, di tangan IDWebHost layanan webhosting berkualitas dan harga rendah dapat disatukan dengan sangat baik. Inilah yang saya sebut webhosting murah berkualitas.

38 Server, 7 Datacenter, 2 Negara
Bila perusahaan webhosting diibaratkan mata air pegunungan, lalu data-data yang disimpan di dalamnya adalah air jernih nan segar, maka server adalah komponen yang bertugas seperti sungai mengalirkan air tersebut ke penduduk desa. Sungai yang bersih dan baik menjamin air dari mata air di pegunungan sampai ke penduduk desa dalam kondisi tetap jernih nan segar. Sebaliknya, apabila sungai kotor, air segar nan jernih dari mata air di pegunungan akan sampai ke penduduk dalam keadaan kotor.

Untuk menopang layanan webhosting-nya agar tetap berada di level tertinggi, IDWebHost memiliki 38 server di 7 datacenter yang tersebar mulai dari Yogyakarta, Jakarta, Texas, San Jose, dan beberapa tempat lain di Amerika Serikat. Jika mau lebih dirinci lagi, 21 server terletak di AS (9 inactive, 1 berstatus setup), sedangkan 17 server sisanya berada di Indonesia (Jakarta 16 server, 5 inactive; Yogyakarta 1). Melihat komposisi ini, pemakai layanan webhosting IDWebHost lebih banyak menyasar pasar nasional meski hanya berselisih 1 server saja dengan pelanggan luar negeri (12 server aktif di Indonesia berbanding 11 server aktif di AS).

Anyway, fakta adanya server di Yogyakarta ini jelas menarik bagi saya pribadi. Baru kali ini saya tahu ada server di Yogyakarta, apalagi letaknya di Hotel Inna Garuda yang berada di pangkal Jl. Malioboro nan populer se-Indonesia. Selama ini saya menduga cuma Jakarta yang punya datacenter, 2 diantaranya di Gedung Cyber dan Menara Rajawali, Mega Kuningan, di mana 16 server lokal IDWebHost berlokasi.

Nah, dengan sederet fakta ini, rasanya layanan hosting murah berkualitas yang diberikan IDWebHost bukanlah janji kosong belaka. Bila layanan hosting murah berkualitas adalah tren di tahun 2011, maka bolehlah kita bilang IDWebHost merupakan tren hosting Indonesia.

Bagaimana pendapat Bung?
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on February 22, 2011 14:30

February 18, 2011

Jadi Pemulung, Yuk!

Oleh: Eko Nurhuda - Bung Eko dotcom
AJAKAN gila! Mungkin itu yang bakal Bung semburkan ke saya sewaktu membaca judul di atas. Ini bisa jadi ajakan yang paling tidak menarik bagi siapapun yang membacanya. Tapi, "don't judge a book by its cover", kata sebuah pepatah asing. Untuk posting ini, rasanya saya bisa memodifikasinya menjadi, "Don't judge a blog post by its title." Jadi, silakan baca terus dan Bung akan tahu apa yang saya maksud. Hehehe…

Bagi sebagian besar orang, pemulung adalah pekerjaan yang hina, memalukan. Sebagian lagi malah tidak menggolongkan pemulung sebagai sebuah pekerjaan, apalagi profesi. Ya, interaksi seorang pemulung dengan tumpukan sampah menjadikan banyak orang jijik dengan pekerjaan ini. Menjadi pemulung? Saya yakin kebanyakan orang membayangkannya saja tidak pernah. Padahal, pemulung tidaklah sejelek yang tampak atau yang dipikirkan mayoritas orang.

Pemulung = Pahlawan Lingkungan
Satu fakta yang sering diabaikan adalah fakta bahwa pemulung merupakan pahlawan lingkungan. Oke, saya tahu ada yang protes dengan kata 'pahlawan' itu. Tapi, diakui atau tidak, pemulung sangat berjasa dalam upaya pengelolaan sampah.

Contoh kecil. Ketika kebanyakan orang hanya tahu membuang sampah di tempat sampah, pemulung dengan mahir memilah-milah sampah yang ia kumpulkan berdasarkan jenisnya: sampah plastik, kertas, atau logam. Bung tahu siapa yang pertama kali membersihkan Stadion Gelora Bung Karno dari sampah plastik berupa botol-botol minuman setiap kali pertandingan Persija Jakarta usai? Ya, 100 buat Bung. Jawabannya adalah pemulung.

Pemulung: Dibenci, tapi sekaligus dibutuhkan perannya.Kalau Bung pernah naik kereta api kelas ekonomi, maka Bung akan tahu betapa pentingnya peran pemulung di dalam gerbong. Berbekal sapu patah dan karung besar, pemulung yang kebanyakan masih remaja dengan semangat akan menyapu habis semua sampah yang ada di bawah kolong bangku dan sepanjang lorong gerbong. Mungkin selama ini Bung merasa terganggu dengan ulah mereka, tapi mulai sekarang berterima kasihlah pada mereka karena telah membersihkan tempat duduk Bung.

Penduduk sekitar TPAS Bantargebang, TPAS Kayu Manis, dan tempat-tempat pembuangan sampah lainnya juga patut berterima kasih pada pemulung. Penduduk kota begitu malas memilah-milah sampahnya sendiri sebelum dibuang, sedangkan petugas dinas kebersihan tidak punya cukup waktu untuk melakukannya. Beruntung Tuhan menciptakan pemulung, karena sosok inilah yang mau mengorek-korek gunungan sampah di tengah bau busuk yang menyengat plus sepasukan besar lalat beterbangan di sekitar mereka, untuk memilihi sampah-sampah plastik, kertas, dan logam.

Kita sama-sama tahu, plastik adalah jenis sampah yang tidak bisa terurai secepat kertas apalagi sampah organik. Hal ini membuat sampah terus menggunung hari demi hari. Berkat usaha pemulung, sampah-sampah plastik berpindah tempat, membuat TPAS hanya berisi sampah-sampah yang mudah terurai.

Pemulung = Peluang Penghasilan
Baiklah, saya tahu tidak semua orang mau dengan sukarela menjadi pahlawan lingkungan. Mendorong-dorong orang menjadi pemulung dengan iming-iming sebutan pahlawan lingkungan adalah sesuatu yang utopis. Tapi, mengintip penghasilan yang diperoleh seorang pemulung mungkin bisa menimbulkan motivasi untuk ikut-ikutan menekuni pekerjaan ini. Praktiknya tentu saja tidak zakelijk sama. Bung tidak harus memakai baju compang-camping, membawa karung di pundak, tongkat pengait di tangan, mengorek-korek tong sampah, atau berkeliaran di TPAS. Pekerjaannya boleh sama, yakni mengumpulkan sampah, tapi cara Bung mengerjakannya tidak harus sama dengan pemulung.

Ngomong-ngomong, seberapa besar sih penghasilan seorang pemulung?

Foto: http://okepress.wordpress.com
Siapa sangka jika pengumpul sampah dalam foto di atas adalah seorang kepala sekolah?Salah seorang saudara jauh saya yang tinggal di Jakarta pernah bercerita, tetangganya yang bekerja sebagai pemulung dapat memperoleh penghasilan rata-rata Rp50.000/hari hanya dari mengumpulkan gelas plastik bekas kemasan air mineral. Padahal, selain gelas plastik si pemulung juga mengumpulkan botol plastik, kertas, dan logam. Kalau semua sampah yang ia kumpulkan itu dijual semua, penghasilannya tentu bakal lebih dari Rp50.000/hari.

Bung bilang penghasilan itu kecil? Ya, kalau Bung menjadikannya sebagai penghasilan utama memang kecil. Apalah artinya uang Rp50.000/hari bagi penduduk Jakarta? Tapi bayangkan kalau penghasilan sebesar itu Bung peroleh dari pekerjaan iseng alias sambil lalu. Sambil berangkat ke kampus atau ke kantor, misalnya. Atau, kalau Bung rajin menonton pertandingan sepakbola di stadion, sambil menonton tim favorit bertanding. Kalau begini, rasa-rasanya Rp50.000/hari adalah uang yang sangat lumayan.

Pemulung Eksekutif
Pernahkah Bung menyadari betapa banyak sampah yang Bung hasilkan setiap bulan. Mulai dari kertas, daun, atau plastik bungkus makanan, botol-botol plastik bekas kemasan air mineral, kertas tisu, kertas print-out yang salah, sampai bekas bungkus sabun, kotak pasta gigi, atau plastik bungkus deterjen. Kalau masih kurang banyak juga, coba hitung juga sampah-sampah yang dihasilkan orang-orang seisi rumah Bung.

Wow!!! Saya tahu, itu yang akan Bung ucapkan begitu menyadari betapa banyaknya sampah yang selama ini dihasilkan. Nah, sekarang bayangkan kalau sampah sebanyak itu bisa menghasilkan tambahan pendapatan yang lumayan untuk Bung sekeluarga. Sebagai pemulung? Pekerjaannya sama, mengumpulkan sampah dan menjualnya. Tapi, Bung melakukannya dengan cara elegan. Kita sebut saja ini dengan istilah pemulung eksekutif.

Kalau pemulung mengumpulkan sampah dari tong-tong sampah, stadion, selokan jalan, atau TPAS, maka Bung cukup mengumpulkan sampah milik sendiri. Sampah-sampahnya pun jauh dari kata menjijikkan. Apanya yang menjijikkan dari kotak pasta gigi atau bungkus sabun yang baru dibeli dari supermarket? Saya yakin Bung juga tidak merasa jijik mengumpulkan plastik bekas bungkus camilan anak-anak Bung, iya kan?

Foto: http://blog.umy.ac.id/priambodo18/2010/11/19/mengangkat-derajat-sampah-lewat-bank-sampah/Jadi, Bung saya ajak menjadi pemulung untuk sampah di rumah sendiri. Kalau Bung bisa mengatasi rasa malu, areanya bisa diperluas menjadi rumah dan kantor. Alih-alih membuang begitu saja sampah-sampah yang Bung hasilkan ke kotak sampah, mulai sekarang pilah-pilahlah sampah-sampah tersebut dan simpan di satu tempat khusus. Kemudian jadwalkan agenda baru untuk menjual sampah-sampah tersebut setiap sepekan sekali. Ke mana?

Inilah bagian paling menariknya. Kalau pemulung biasa menjual sampah-sampah yang mereka pungut ke pengepul, Bung bisa memanfaatkan layanan bank sampah. Di sini Bung bisa membuka tabungan dengan setoran berupa sampah, namun kelak tabungan tersebut dapat ditarik dalam bentuk uang. Asyik, bukan?

Bank sampah sudah banyak tersebar di beberapa daerah di Indonesia, khususnya di wilayah Jakarta, Bandung, Bogor, dan Yogyakarta. Bank Sampah Gemah Ripah yang digagas Bambang Suwerda di Bantul, Yogyakarta, dan Bank Sampah Karya Mandiri yang dipelopori Nanang Suwandi di Semper Barat, Cilincing, Jakarta Utara, adalah 2 contoh bank sampah yang kerap diangkat media massa. Bank Sampah Karya Mandiri malah menjadi contoh untuk pengembangan program bank sampah di Jakarta yang masih memerlukan banyak sekali bank sampah.

Kalau Bung tidak dapat menjumpai bank sampah di sekitar tempat tinggal Bung, jadikan ini sebagai peluang. Ya, kenapa tidak menggagas sebuah bank sampah sendiri? Jadilah Bambang Suwerda atau Nanang Suwandi bagi lingkungan sekitar rumah Bung. Jadi, Bung tidak usah menjadi pemulung eksekutif, tapi mengambil peran lebih bergengsi lagi sebagai investor bank sampah. Kata 'investor' terdengar lebih keren dibanding 'pemulung', jadi Bung bisa membanggakannya kepada para kenalan. Percayalah, tak akan ada yang berani menanyakan bank apa yang Bung modali saat Bung menyebutkan pekerjaan sebagai 'investor bank'. (^_^)

Ide yang sangat menarik, bukan? Bagaimana pendapat Anda, Bung?
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on February 18, 2011 14:30

February 16, 2011

Mejeng Sebentar di Wikipedia

Oleh: Eko Nurhuda - Bung Eko dotcom
ISENG-ISENG, saya bergabung dengan Wikipedia Indonesia. Niat awalnya sih ingin ikut-ikutan berbagi pengetahuan dengan menuliskan sejumlah artikel seputar dunia blogging, internet, numismatik, dan mungkin juga sepakbola. Paling tidak saya bisa menambah-nambahi artikel yang sudah dibuat member Wikipedia lainnya.

Eh, baru sekejap akun saya aktif, pikiran narsis timbul. Kenapa tidak menulis profil saya sendiri saja? Maka, begitulah, sambil belajar membuat halaman di Wikipedia, saya menuliskan profil diri sendiri. Mulai dari tempat tanggal lahir, masa lalu waktu kecil, sampai cerita masa SMA yang—sekarang saya baru sadar—sama sekali tidak penting diketahui. ^_^

Setelah mengotak-atik template Wikipedia dan menuliskan teks panjang lebar selama lebih dari 1 jam, jadilah halaman profil saya di Wikipedia. Ya, sama seperti profil sosok-sosok pujaan saya (Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, Will Smith, Steven Gerrard, dan tentu saja Nabi Muhammad) di situs ensiklopedia bebas rintisan Jimmy Wales itu. Alamat URL-nya http://id.wikipedia.org/wiki/Eko_Nurhuda. Dan, tampilan halamannya seperti ini:


Sayang, baru sekejap pula saya bergembira punya halaman profil di Wikipedia, eh, seorang member senior sekaligus moderator memperingatkan saya untuk segera menghapusnya. Alasannya, setiap artikel di Wikipedia harus berdasarkan referensi yang kredibel (buku, koran, majalah, situs), dan halaman profil saya sama sekali tidak mempunyai referensi. Saya sempat ngeyel—banyak halaman di Wikipedia Indonesia yang tidak didukung referensi memadai kok, tapi kemudian saya hanya bisa pasrah saat sang moderator menghapus halaman profil yang saya buat dengan susah payah itu.

Begitulah. Meski cuma sebentar, saya senang pernah 'ada' di Wikipedia. ;p

Komentar, hujatan, cibiran, silakan saja... ^_^
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on February 16, 2011 14:30

February 15, 2011

Menabung Sampah Pangkal Selamat

Oleh: Eko Nurhuda - Bung Eko dotcom
"RAJIN menabung pangkal kaya." Demikian kata pepatah bijak yang sudah kita dengar sejak di bangku Sekolah Dasar dulu. Pertanyaannya, bagaimana kalau yang ditabung sampah? Apakah rajin menabung sampah juga pangkal kaya? Bisa jadi. Sebab kini sampah bisa ditabung. Di mana? Di bank sampah!

Ya, bank sampah memang sedang jadi topik hangat akhir-akhir ini. Media cetak dan elektronik ramai-ramai mengangkat profil bank sampah di beberapa daerah di Indonesia. Bank Sampah Gemah Ripah yang digagas Bambang Suwerda di Bantul, Yogyakarta, dan Bank Sampah Karya Mandiri yang dipelopori Nanang Suwandi di Semper Barat, Cilincing, Jakarta Utara, adalah 2 contoh bank sampah yang kerap dipublikasi media massa.

Sampah, PR Terbesar Indonesia
Sampah sebenarnya barang biasa. Sebagai manusia yang hidup dengan mengonsumsi serta memakai berbagai kebutuhan, setiap hari manusia menghasilkan sampah. Mulai dari 'sampah' hasil proses metabolisme alias (maaf) tinja, hingga sampah-sampah dari sisa-sisa barang-barang kebutuhan sehari-hari semisal plastik, kertas atau daun pembungkus makanan dan juga botol.

Untuk sampah sisa proses metabolisme tubuh, rasanya tidak menjadi masalah mengingat masyarakat sendiri cukup punya rasa malu untuk membuangnya sembarangan. Buang air besar sembarangan sama saja mengumbar aurat sembarangan, dan itu memalukan. Masalahnya justru terletak pada sampah-sampah yang lain, di mana masyarakat kita tidak punya rasa malu sedikitpun untuk membuangnya secara serampangan di tempat umum.

Kalau Bung pernah naik kereta api kelas ekonomi, maka Bung akan tahu betapa masa bodohnya masyarakat kita dengan kebersihan lingkungan. Selesai menyantap nasi bungkus, bungkusnya dibuang begitu saja ke kolong kursi kereta. Penumpang yang 'sedikit lebih beradab' membuangnya keluar jendela kereta karena tak ingin tempat duduknya kotor oleh sampah. Tapi tetap saja mereka membuang sampah sembarangan.

Foto: antarasumut.com
Gundukan sampah di salah satu sudut kota Medan, Sumatera Utara.Di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Bogor, Medan, Semarang, Surabaya, Makassar, hingga Samarinda, sampah adalah masalah super serius yang terus-menerus membuat pusing kepala para pejabat setempat. Volume sampah yang dihasilkan warga selalu jauh melampaui kemampuan Dinas Kebersihan dan Pertamanan dalam membersihkannya. Ambil contoh Jakarta Utara yang pada 2010 lalu rata-rata menghasilkan 2.500 meter kubik sampai setiap hari, atau Kota Bogor yang pada 2009 menghasilkan sampah rata-rata 2.294 meter kubik per hari tapi Pemkot cuma mampu mengangkut 1.602 meter kubik per hari.

Karena jumlah sampah yang dihasilkan warga jauh lebih banyak dari yang dibuang petugas kebersihan, tumpukan sampah terlihat di banyak sudut kota. Tempat sampah sudah tidak memadai lagi, membuat masyarakat memilih tempat-tempat lain sebagai pembuangan sampah. Di Jakarta dan daerah-daerah sekitarnya, sungai sudah beralih fungsi menjadi tempat sampah raksasa. Akibatnya, begitu musim hujan datang banjir merendam kota karena sungai tak sanggup menampung luapan air yang menuju ke Laut Jawa.

Bukan cuma di sungai atau got, bahkan di tempat-tempat wisata pun sampah berserakan merupakan pemandangan biasa. Coba lihat pantai-pantai di Yogyakarta. Mulai dari pantai-pantai yang tak terlalu terkenal seperti Ngerenehan, Sepanjang, dan Kwaru; hingga pantai-pantai yang kerap dikunjungi wisatawan seperti Parangtritis, Krakal, dan Kukup; semuanya kotor oleh sampah. Begitu juga dengan objek wisata Candi Prambanan, Borobudur, atau Kraton, di mana sampah berupa botol atau plastik-plastik terlihat berserakan di beberapa sudut. Padahal di sana disediakan kotak sampah.

Masalah Perilaku dan Strategi Pengelolaan Sampah
Menurut saya, setidaknya ada 2 hal yang menyebabkan sampah seperti begitu susah ditangani di Indonesia. Pertama, ini terkait dengan perilaku masyarakat kita yang sangat abai dengan kebersihan lingkungan. Kedua, strategi pengelolaan sampah yang diterapkan tidak tepat.

Foto: bataviase.wordpress.com
Mendayung sampan di sungai sampah.Soal perilaku masyarakat yang terbiasa membuang sampah sembarangan, DKI Jakarta mencoba menanganinya dengan menerbitkan Perda khusus. Di dalam Perda tersebut disebutkan bahwa warga Jakarta yang membuang sampah sembarangan dapat dikenai denda. Langkah serupa dilakukan Pemkot Yogyakarta, yang mengancam denda sebesar Rp 2 juta bagi siapapun yang membuang sampah sembarangan di Kota Yogya. Hasilnya? Masih sangat jauh dari harapan.

Di lain pihak, sampah-sampah yang diangkut petugas kebersihan hanya ditumpuk begitu saja di TPAS. Ya, hanya ditumpuk begitu saja, bahkan dipilah-pilah pun tidak. Akibatnya, semakin hari tumpukan sampah menjadi semakin tinggi. Tidak heran kalau TPAS Bantargebang bisa menewaskan seorang pemulung dengan longsoran sampahnya.
Tumpukan sampah di tempat terbuka juga menimbulkan bau busuk luar biasa. Belum lagi pasukan lalat yang akan berdatangan, membuat lingkungan sekitar TPAS menjadi terlihat jorok. Wajar saja jika rencana pembangunan TPAS Kayu Manis, Kelurahan Kayu Manis, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor, ditolak habis-habisan oleh warga sekitar.

Apa yang dilakukan Ma'had al-Zaytun, Ponpes asuhan Syaikh AS Panji Gumilang yang dituding sesat oleh sebagian kalangan, rasanya bisa jadi contoh. Ribuan santri plus tenaga pengajar dan pegawai Ponpes ini menghasilkan sampah yang sangat banyak setiap hari. Namun, sampah-sampah tersebut dikelola dengan bijaksana sehingga tidak menjadi gunungan yang menjijikkan. Sampah-sampah berupa sisa-sisa makanan diolah menjadi pakan ternak, sampah-sampah plastik dan kertas didaur ulang, sedangkan sisanya dijadikan pupuk kompos.

Bank Sampah, Inovasi Tepat Kurangi Sampah
Berterima kasihlah pada bank sampah. Inisiatif inovatif yang dipelopori oleh Bambang Suwerda di Bantul, Yogyakarta, lalu diikuti oleh Nanang Suwandi di Semper Barat, Jakarta Utara, boleh jadi merupakan solusi paling jitu untuk mengatasi persoalan sampah saat ini. Ide ini menyelesaikan sekaligus 2 poin utama dalam persoalan sampah yang saya sebut sebelumnya.

Foto: banksampah.com
Bank sampah, solusi jitu nan kreatif mengurangi tumpukan sampah.Pertama, sistem insentif yang diterapkan bank sampah membuat masyarakat tidak mau sembarangan membuang sampah. Alih-alih membuang sampah, warga di sekitar bank sampah justru mengumpulkan sampah-sampah mereka serta sampah-sampah yang berserakan di sekitar mereka untuk ditabung di bank. Tak jadi soal orientasi mereka uang, bukan kesadaran akan pentingnya kebersihan lingkungan. Yang terpenting, mereka tidak lagi menghambur-hamburkan sampah dan bersikap masa bodoh melihat sampah berserakan.

Kedua, kehadiran bank sampah secara tidak langsung mendidik masyarakat untuk mengelola sampah secara bijak. Harus diakui, pemerintah tak punya cukup tenaga untuk mengelola sampah-sampah warganya dengan baik. Jangankan memilah-milah dan memanfaatkan sampah, mengangkut tumpukan sampah ke TPAS saja masih keteteran. Jadi, mendorong pengelolaan sampah oleh unit terkecil dalam sebuah wilayah, yakni rumah tangga, adalah langkah tepat. Dengan kehadiran bank sampah, minimal masyarakat mau dan mampu memilah-milah sampahnya sendiri.

Bank Sampah Gemah Ripah yang dikelola Bambang Suwerda malah sudah melangkah lebih jauh. Tidak sekedar menjual sampah-sampah tabungan nasabahnya ke pengepul barang bekas, tapi bank sampah ini juga mulai mendaur ulang sampah-sampah plastik, stereofoam, dan kertas menjadi aneka produk kerajinan tangan. Hasil penjualannya tentu lebih besar lagi, sehingga keuntungan yang diperoleh bertambah banyak, membuat bank sampah ini semakin berkembang.

Melihat peran nyata bank sampah dalam mengatasi persoalan sampah, rasanya pemerintah perlu semakin menggalakkan gerakan bank sampah di seluruh daerah di Indonesia. Prioritas utama jelas kota-kota yang selama ini kesulitan mengelola sampahnya. Acungan jempol patut diberikan pada Pemprov Jawa Barat yang telah menyelenggarakan pelatihan sistem bank sampah pada Maret 2009 lalu. Nampaknya provinsi ini sadar betul akan posisinya sebagai penghasil sampah terbanyak di Indonesia (Harian Kompas, Kamis, 12 Nopember 2009). Langkah serupa semestinya diikuti daerah-daerah sehingga masyarakat turut berperan aktif dalam pengelolaan sampah. Setidaknya, masyarakat mau memilah-milah sampah dan tidak asal membuangnya begitu saja. Dengan adanya bank sampah, kepedulian masyarakat akan kebersihan lingkungan diharapkan menjadi lebih tinggi.

Okelah, bank sampah memiliki sisi negatif. Salah satunya, motivasi utama masyarakat adalah memperoleh uang, bukan turut peduli pada kebersihan lingkungan. Ini tidak baik. Tindakan apapun, kalau motivasinya semata-mata hanya uang bisa jadi kontraproduktif. Tapi, sejauh ini peran positif bank sampah lebih menonjol sehingga tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

Sekarang memang mereka masih berorientasi pada uang semata. Setiap melihat sampah, yang terbayang di kepala adalah uang dari bank sampah. Tapi, lambat-laun kesadaran akan pentingnya lingkungan yang bersih dan sehat bakal tumbuh. Sehingga kelak seandainya bank sampah tidak ada lagi, mereka tetap peduli pada kebersihan lingkungan. Mereka akan tetap mau memilah-milah sampah dan mengelolanya secara bijaksana.

Bagaimana pendapat Anda, Bung?
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on February 15, 2011 05:30

February 13, 2011

Cari Hosting Murah, Tapi Tidak Murahan

Oleh: Eko Nurhuda - Bung Eko dotcom
SUDAH sejak lama sekali saya ingin pindah ke WordPress. Yang saya maksud WordPress.org yang butuh hosting sendiri lho, bukan WordPress.com yang sama-sama gratis seperti Blogger. Keinginan ini bahkan sudah saya sampaikan sejak blog serius pertama saya, ekonurhuda.com (sekarang nama domainnya diparkir sama bule), sedang naik daun sekitar pertengahan tahun 2008 lalu.

Kata banyak blogger top seperti John Chow, Darren Rowse, juga Yaro Starak, memiliki blog ber-platform Wordpress adalah sebuah keharusan bagi siapapun yang berniat serius ngeblog. Memang ada juga blogger top yang menggunakan blog custom domain dengan platform Blogger. Tapi, bagaimanapun juga kesan profesional lebih menonjol ketika seorang blogger memakai WordPress. Blog ber-platform Blogger, kendati memakai nama domain sendiri, tetap saja mendapat cap gratisan. Dan, gratisan identik dengan murahan. Sebaliknya, semua yang berbayar, tidak peduli betapapun murah harganya, dipandang lebih baik dan lebih bergengsi ketimbang gratisan.

Bingung di Tengah Banyaknya Pilihan
Well, setelah sempat vakum dari blogosphere semenjak magang di 2 koran lokal Jogja, saya kembali serius ngeblog. Namun, alih-alih memakai blog dengan hosting sendiri, saya kembali memakai blog custom domain menggunakan Blogger. Ya, inilah dia blognya. Selain tidak mau menunggu terlalu lama karena terlebih dahulu harus memahami WordPress, saya juga bingung memilih layanan hosting terbaik.

Foto: http://o.gi.web.idBung sekalian tentu tahu, saat ini entah ada berapa puluh layanan hosting. Kalau layanan hosting luar negeri dan lokal digabung, jumlahnya bisa jadi ratusan. Semuanya mengklaim sebagai yang terbaik, tapi klaim sepihak tentu saja sangat meragukan. Kualitas sesungguhnya dapat diketahui dari komentar pihak lain, antara lain dari konsumen layanan hosting bersangkutan.

Saya sendiri sedang menimbang-nimbang untuk menggunakan layanan hosting murah yang ditawarkan IDWebHost.com. Penyedia layanan hosting yang berkantor di Jogja ini mematok harga mulai dari Rp1.000/bulan (paket idPersonal), total hanya Rp12.000 setahun. Saya rasa ini layanan hosting paling murah se-Indonesia, bahkan juga sedunia. Kalau fitur-fiturnya dianggap kurang memadai, harga paket idBasic yang sedikit lebih baik juga masih terhitung murah, yakni Rp5.000/bulan atau Rp60.000/bulan.

IDWebHost menjadi pertimbangan saya karena kebetulan sekali nama domain bungeko.com saya beli di situs yang dioperasikan oleh CV Jogja Camp ini. Selama 2 tahun usia bungeko.com, selama itu pula saya berinteraksi dengan IDWebHost. Satu hal yang saya catat baik-baik, customer service mereka bisa diandalkan. Selain selalu ada setidaknya 2 staf customer service yang standby di Yahoo!Messenger, setiap pertanyaan dijawab dengan ramah. Saya pernah beberapa kali menanyakan hal-hal sepele, tapi tetap dilayani dengan baik.

Murah, Tapi Tidak Murahan
Oke, penilaian berdasarkan harga murah dan layanan customer service mungkin terkesan sangat subjektif. Murah kata saya, bisa jadi masih mahal menurut Bung. Atau, mungkin Bung akan berkata, "Kok murah sekali? Ah, jangan-jangan hosting murahan tuh". Jadi, penilaian objektif adalah yang diberikan oleh pihak yang kredibel di bidang ini. Maka, sayapun membuka situs WebHosting.info yang mendata daftar perusahaan hosting di seluruh dunia dan mengurutkannya berdasarkan market share alias penguasaan pasar.


Dalam daftar "Top Hosting Companies in Indonesia" WebHosting.info yang saya kutip tepat sebelum menulis posting ini (14 Februari 2011), IDWebHost merupakan perusahaan hosting Indonesia terbesar ketiga. Masih menurut WebHosting.info, IDWebHost menguasai market share sebesar 13,2428% dengan total nama domain yang dikelola sebanyak 23.654 buah. Posisinya memang merosot 1 level dari daftar yang sama per 18 Januari 2010 lalu. Namun, angka market share dan total nama domainnya jauh meningkat. Saat itu IDWebHost hanya menguasai 10,6179% pasar Indonesia, dengan total nama domain yang dipercayakan di sana sebanyak 16.644 buah.

Lantas, kenapa saya kok malah mau memilih nomor 3, bukannya memilih yang pertama? Alasan pertama, nama domain bungeko.com saya beli di IDWebHost, dan selama 2 tahun ini tidak ada masalah. Kedua, saya merasa sangat nyaman dengan bantuan dan layanan customer service IDWebHost. Ketiga, IDWebHost berkantor di Jogja dan saya sangat familiar dengan kota ini. Hehehe...

Pertanyaannya sekarang, kapan saya bakal merealisasi keinginan pindah ke WordPress dan menggunakan layanan webhosting murah yang ditawarkan IDWebHost? Hmmm, saya sendiri masih belum punya jawabannya sekarang. Hal pertama yang harus saya lakukan untuk ini adalah kembali membuka-buka buku panduan WordPress. ^_^

Ada saran, Bung?
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on February 13, 2011 23:02

February 11, 2011

Ini Dia Tanggapan Bernas Jogja

Oleh: Eko Nurhuda - Bung Eko dotcom
TAK berapa lama setelah mendapat kabar bahwa profil saya dimuat di Bernas Jogja edisi Senin Kliwon, 13 Desember 2010, sayapun segera mengontak pihak koran tersebut. Karena jarak yang terpisah sedemikian jauh, maka kontak yang paling mungkin, sekaligus paling fleksibel dan irit, adalah dengan email. Jadi, sayapun mengirim email ke editor Bernas Jogja melalui form kontak yang saya temui di bernasjogja.com.

Sayang, sampai beberapa hari kemudian tidak ada tanggapan dari Bernas Jogja. Maka saya mengirim email langsung menggunakan layanan email pribadi saya, ditujukan ke alamat email yang tertera di halaman "Tentang Kami" bernasjogja.com. Ini dia isi email yang saya kirim pada tanggal 20 Desember 2010:

Dear Bernas,

Beberapa hari lalu saya mengontak Bernas Jogja via halaman kontak di web Bernas Jogja. Di sana saya menanyakan 1 berita, atau lebih tepatnya profil, tentang saya yang seharusnya bersifat fiktif karena si wartawan tidak pernah menemui maupun mengontak saya. Lebih parahnya lagi, saya tahu tentang hal ini dari teman saya yang jadi wartawan di koran lokal lain di Jogja. Ketika saya konfirmasi ke si wartawan yang berhasil saya dapatkan kontaknya beberapa hari kemudian, dia mengaku kalau dia memang telah menulis profil saya. "Aku kepepet je," begitu kilahnya via sms.

Sayangnya, saya tidak berhasil mendapatkan informasi detil kapan profil tersebut dimuat dan di rubrik apa. Baik teman saya yang memberi tahu pertama kali maupun si wartawan Bernas Jogja ini tidak mau memberitahukannya ke saya. Saya juga sudah mencoba melacak lewat situs Bernas Jogja, tapi edisi setelah tanggal 9 Des tidak bisa ditampilkan. Jadi, itulah sebabnya saya menanyakan hal ini beberapa hari lalu, namun tak ada respon sama sekali.

Saya hanya berharap kali ini ada tanggapan dari Bernas Jogja. Terima kasih.

--
Salam hangat,

Eko Nurhuda

Kali ini saya tidak menunggu lama. Ya, setidaknya tidak selama email pertama yang belum juga dibalas hingga 3 hari lebih. Pada tanggal 22 Desember 2010, Bernas Jogja memberikan jawaban, isinya seperti ini:

Dear Sdr Eko,

Mohon maaf jika kami baru bisa menanggapi Anda. Kami harus mencari lebih
dulu materi berita apa yang Anda anggap fiktif itu. Berdasarkan
penelusuran kami, satu-satunya berita yang menyangkut nama Anda pada bulan
Desember ini hanyalah profil yang kami muat pada tanggal 13 Desember di
suplemen BISNIS JOGJA di halaman 4 (terlampir: halaman 4 BISNIS JOGJA atau
Anda bisa akses di www.bernasjogja.com edisi tanggal 13 Desember 2010).

Berita itu hanyalah sebuah profil singkat tentang bisnis di dunia maya.
Jika sekiranya ada kesalahan atau kekeliruan, Anda bisa menggunakan hak
jawab yang bisa Anda kirimkan via email dan sesuai dengan Undang-undang
Pers akan kami muat sama dan seukuran dengan berita yang telah kami muat
sebelumnya.

Terlepas dari itu semua, kami mohon maaf jika sekiranya Anda merasa tidak
nyaman dengan berita "fiktif" tersebut.

Terima kasih

Balasan tersebut membuat saya mengerutkan kening. Setidaknya saya menandai 2 poin dari email jawaban Bernas Jogja hari itu, dan dua-duanya sengaja saya tebalkan dalam kutipan isi email di atas. Intinya, saya kok merasa Bernas Jogja tidak terlalu serius menanggapi laporan mengenai dugaan adanya berita imajiner alias berita fiktif yang dilakukan salah seorang oknum wartawannya. Coba lihat kembali kata atau frasa yang saya tebalkan di atas, dan Bung pasti sependapat kalau koran ini menganggap remeh laporan saya.

Saya merasa tidak perlu menggunakan hak jawab maupun hak koreksi karena ini berita imajiner, berita fiktif. Apanya yang harus saya sanggah dan koreksi kalau keseluruhan berita itu ditulis berdasarkan imajinasi oknum wartawan yang menulisnya?

Maka, sayapun menulis email lagi ke Bernas Jogja pada tanggal 24 Desember 2010. Isinya sebagai berikut, menampakkan betapa kecewanya saya dengan tanggapan yang diberikan koran tersebut.

Terima kasih atas responnya.

Ya, mungkin Anda benar, "berita itu hanyalah sebuah profil singkat tentang bisnis di dunia maya." "Hanyalah", saya suka sekali penggunaan kata ini.

Saya pernah menjadi bagian dari 2 media lokal di Jogja, dan baru pulang dari Padangsidimpuan, Sumut, untuk mengajar jurnalistik di sebuah lembaga pendidikan di sana. Jadi, soal UU Pers, saya tahu betul apa yang harus saya lakukan. Namun saya mau mengecek dulu, apakah yang dimaksud dalam informasi yang saya terima itu benar saya atau bukan. Saya tinggal di Pemalang, jadi tidak bisa langsung mengecek kabar yang saya terima dari teman (yang juga wartawan) di Jogja. Sebagai gambaran, teman yang memberi tahu saya itu tahu betul siapa saya dan apa aktivitas saya. Karena itulah dia memberi kabar pada saya begitu melihat berita Bernas tsb.

Okelah, nampaknya tanda kutip pada kalimat "kami mohon maaf jika sekiranya Anda merasa tidak nyaman dengan berita "fiktif" tersebut" membuat saya lebih baik menutup aduan ini sampai di sini saja.

Terima kasih.

Begitulah. Kasus ini kemudian saya lupakan begitu saja. Saya baru teringat untuk mengangkat masalah ini ketika memasuki awal Februari. Ya, 9 Februari adalah Hari Pers Nasional. Saya kira masalah berita imajiner di Bernas Jogja ini bisa menjadi bahasan menarik dalam rangka memperingati Hari Pers Nasional 2011.

Sebelum mempublikasikan posting berjudul Berita 'Ajaib' di Bernas Jogja tanggal 9 Februari lalu, saya mengirimkan draf postingnya ke Bernas Jogja, tapi, seperti judul lagu di album kedua The Beatles, no reply. Sama sekali tak ada respon dari koran yang kondisinya mirip kerakap di atas batu, hidup segan mati tak mau itu. Ketika kemudian saya memutuskan berubah pikiran dan menyampaikan nota keberatan sekaligus hak jawab juga hak koreksi, lagi-lagi tak ada reaksi. Saya juga tidak mendapat kabar apakah hak jawab/hak koreksi saya itu dimuat seperti yang dijanjikan Bernas Jogja sendiri sebelumnya.

Well, inilah wajah bopeng pers kita. Saya tunggu komentarnya, Bung...

UPDATE: Sampai saat ini--Ahad, 27 Februari 2011, saya masih belum mendapat kabar dari Bernas Jogja apakah hak jawab/hak koreksi saya dipublikasikan. Memalukan!
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on February 11, 2011 14:30

February 9, 2011

Berita 'Ajaib' di Bernas Jogja

Ini adalah posting pertama dari serial posting terkait berita imajiner mengenai Eko Nurhuda di harian Bernas Jogja edisi Senin Kliwon, 13 Desember 2010. Serial posting ini dibuat untuk memperingati Hari Pers Nasional yang jatuh pada tanggal 9 Februari 2011. That's today, Bro...

Oleh: Eko Nurhuda - Bung Eko dotcom
KALAU Bung membaca posting saya yang berjudul Tebar Pesona di Bernas Jogja secara teliti dan hati-hati, maka Bung bisa melihat sejumlah 'petunjuk' tersamar yang saya pakai untuk mengatakan kalau berita tersebut adalah sebuah kesalahan. Banyak kejanggalan dalam proses pembuatan berita tersebut, yang membuat saya sendiri heran saat dikabari seorang teman wartawan di Jogja kalau profil saya ada di Bernas Jogja edisi Senin Kliwon, 13 Desember 2010.

Singkat kata, berita tersebut 'ajaib'. Bukan berita bohong, tapi juga tidak benar. Berita ini mengingatkan saya pada seorang wartawan Jawa Pos yang ketahuan melakukan wawancara fiktif dengan istri Dr. Azahari akhir 2005 lalu, dan akhirnya dipecat. Juga mengingatkan saya kasus berita fiktif seputar Lapindo di Rakyat Merdeka edisi Juni 2006. Bagi para pembelajar jurnalisme, juga pasti ingat dengan Jayson Blair, mantan wartawan The New York Times yang sama-sama dipecat gara-gara ketahuan menulis sejumlah berita fiktif.

Coba kita perhatikan lagi posting tersebut baik-baik.

Tebar Pesona di Bernas Jogja
Oleh: Eko Nurhuda - Bung Eko dotcom
MASUK koran karena ada tulisan yang dimuat, itu sudah saya rasakan sejak duduk di kelas 2 SMA. Waktu itu, sekitar Maret 1999, cerpen saya yang berjudul Dhanyang Waru dimuat di harian Jambi Ekspres. Jauh sebelum itu, nama saya sudah duluan muncul di harian Independent (kini bernama Jambi Independent) sewaktu surat pembaca yang saya kirim dimuat.

Kalau masuk koran sebagai narasumber? Nah, ini benar-benar pengalaman baru bagi saya. Dan, mungkin inilah untungnya punya banyak teman wartawan. Saat mereka butuh liputan yang berkaitan dengan dunia saya, sayalah yang diliput. "Lha, daripada repot-repot nyari narasumber lain, mending teman sendiri saja yang diburu." Hehe, mungkin begitu alasannya...

Begitulah. Nama dan foto sayapun nongol di harian Bernas Jogja edisi Senin Kliwon, 13 Desember 2010. Tepatnya di rubrik Info Techno, halaman 4. Hanya berita sidebar sepanjang 5 paragraf sih, tapi tetap saja hati ini merasa "senang". Sayang, karena saya dan si wartawan tidak sempat bertatap muka, maka wawancaranya pun penuh kreativitas. Tidak hanya itu, fotonya juga terpaksa dicomot dari akun Facebook saya. Duh, kok foto yang itu sih, Mas..?

Well, sekali lagi maaf kalau ada yang bilang "narsis, ah!", tapi inilah bukti liputannya. Gambar saya repro dari situs bernasjogja.com (kiriman korannya belum sampai ke Pemalang).


Kebetulan sekali, 10 Desember adalah hari ulang tahun saya. Jadi, saya anggap saja ini kado ulang tahun dari teman saya di Bernas Jogja itu. ^_^

Oke, sekarang Bung sudah membacanya. Dan, saya yakin Bung bisa menebak apa yang sebenarnya saya ceritakan di posting tersebut. Bung tidak dapat menangkap petunjuknya? Well, sayangnya saya tidak bisa berlama-lama online saat ini. Jadi, saya akan mengungkapkan petunjuk-petunjuknya, sekaligus menjelaskan petunjuk-petunjuk tersebut, di posting mendatang.

Saya harap Bung mau bersabar menunggu kelanjutan ceritanya. ^_^
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on February 09, 2011 06:11