Eko Nurhuda's Blog, page 62
April 3, 2011
Benarkah Rajin Menabung Pangkal Kaya?
Oleh: Eko Nurhuda - Bung Eko dotcom
"RAJIN menabung pangkal kaya." Masih ingat dengan kalimat bijak yang diajarkan guru kita di Sekolah Dasar ini? Ada juga kalimat bijak lain yang masih berhubungan dengan tabung-menabung, "Sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit." Maksudnya, jangan pedulikan seberapa sedikit uang yang ditabung, yang penting teruslah menabung secara rutin. Lama-lama, uang di tabungan akan bertambah banyak.
Pertanyaan saya sederhana saja, benarkah dengan rajin menabung kita bakal kaya? Logika sederhana kita bakal langsung mengatakan "ya".
Ilusi Bunga Bank

Celengan: Lebih aman daripada tabungan di bank?Kita tentu sama tahu kalau menabung di bank akan mendapat bunga. Saya tidak tahu berapa rate bunga tabungan ataupun deposito di bank dewasa ini, tapi yang jelas semua bentuk tabungan mendapat bunga sehingga bisa dipastikan jumlahnya bakal bertambah. Kalau tabungan tersebut tidak pernah diambil, tapi sebaliknya terus-menerus ditambah secara rutin, maka jumlah tabungan akan terus berlipat-ganda berkat sistem bunga berbunga.
Anggap saja Bung punya uang sebanyak Rp10.000.000 dan menabungnya di bank dalam bentuk deposito. Untuk deposito berjangka 1 tahun, Bung memperoleh bunga 8%. Memakai hitung-hitungan sederhana saja kita sudah tahu, setahun kemudian uang Bung akan bertambah menjadi Rp10.800.000. Pertanyaannya saya ulangi, apakah Bung bertambah kaya dibuatnya?
Kalau hanya melihat dari angka rupiah di tabungan yang semula Rp10.000.000 kemudian menjadi Rp10.800.000 setahun kemudian, memang Bung bertambah kaya. Tabungan Bung bertambah Rp800.000 dan itu berarti Bung bertambah kaya. Tapi coba lihat realita yang kita hadapi bersama, maka Bung akan tahu bahwa bertambahnya Rp800.000 ke dalam tabungan sama sekali tidak membuat Bung bertambah kaya. Kok bisa?
Nominal Bertambah, Tapi Nilai Berkurang
"...meskipun uang Bung bertambah Rp800.000 tapi Bung cuma bisa membeli bakso sebanyak 1.542 mangkuk atau 124 mangkuk lebih sedikit!"Saya beri contoh mudah. Kebetulan saya suka bakso, maka contohnya adalah harga semangkuk bakso yang dibandingkan dengan jumlah uang yang Bung punya.
Setahun lalu, pada saat menyetorkan tabungan ke bank, harga bakso masih Rp6.000/mangkuk. Dengan uang Rp10.000.000 Bung bisa membeli sekitar 1.666 mangkuk bakso. Setahun kemudian, pada saat tabungan bertambah menjadi Rp10.800.000 karena bunga, harga bakso sudah naik menjadi Rp7.000/mangkuk (cuma naik Rp1.000!). Sekarang coba hitung berapa banyak bakso yang bisa Bung beli dengan uang yang sudah bertambah banyak itu. Jangan kaget, meskipun uang Bung bertambah Rp800.000 tapi Bung cuma bisa membeli bakso sebanyak 1.542 mangkuk atau 124 mangkuk lebih sedikit!
Pertanyaannya saya ulangi sekali lagi, apakah Bung bertambah kaya? Kalau dihitung berdasarkan jumlah barang yang bisa Bung beli, menabung di bank rupanya tidak membuat Bung bertambah kaya. Benar tabungan Bung bertambah setahun kemudian, tapi jumlah barang yang bisa Bung beli dengan uang yang sudah bertambah itu malah semakin sedikit. Lucu, bukan?
Silakan disimpulkan sendiri-sendiri.
"RAJIN menabung pangkal kaya." Masih ingat dengan kalimat bijak yang diajarkan guru kita di Sekolah Dasar ini? Ada juga kalimat bijak lain yang masih berhubungan dengan tabung-menabung, "Sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit." Maksudnya, jangan pedulikan seberapa sedikit uang yang ditabung, yang penting teruslah menabung secara rutin. Lama-lama, uang di tabungan akan bertambah banyak.
Pertanyaan saya sederhana saja, benarkah dengan rajin menabung kita bakal kaya? Logika sederhana kita bakal langsung mengatakan "ya".
Ilusi Bunga Bank

Celengan: Lebih aman daripada tabungan di bank?Kita tentu sama tahu kalau menabung di bank akan mendapat bunga. Saya tidak tahu berapa rate bunga tabungan ataupun deposito di bank dewasa ini, tapi yang jelas semua bentuk tabungan mendapat bunga sehingga bisa dipastikan jumlahnya bakal bertambah. Kalau tabungan tersebut tidak pernah diambil, tapi sebaliknya terus-menerus ditambah secara rutin, maka jumlah tabungan akan terus berlipat-ganda berkat sistem bunga berbunga.
Anggap saja Bung punya uang sebanyak Rp10.000.000 dan menabungnya di bank dalam bentuk deposito. Untuk deposito berjangka 1 tahun, Bung memperoleh bunga 8%. Memakai hitung-hitungan sederhana saja kita sudah tahu, setahun kemudian uang Bung akan bertambah menjadi Rp10.800.000. Pertanyaannya saya ulangi, apakah Bung bertambah kaya dibuatnya?
Kalau hanya melihat dari angka rupiah di tabungan yang semula Rp10.000.000 kemudian menjadi Rp10.800.000 setahun kemudian, memang Bung bertambah kaya. Tabungan Bung bertambah Rp800.000 dan itu berarti Bung bertambah kaya. Tapi coba lihat realita yang kita hadapi bersama, maka Bung akan tahu bahwa bertambahnya Rp800.000 ke dalam tabungan sama sekali tidak membuat Bung bertambah kaya. Kok bisa?
Nominal Bertambah, Tapi Nilai Berkurang
"...meskipun uang Bung bertambah Rp800.000 tapi Bung cuma bisa membeli bakso sebanyak 1.542 mangkuk atau 124 mangkuk lebih sedikit!"Saya beri contoh mudah. Kebetulan saya suka bakso, maka contohnya adalah harga semangkuk bakso yang dibandingkan dengan jumlah uang yang Bung punya.
Setahun lalu, pada saat menyetorkan tabungan ke bank, harga bakso masih Rp6.000/mangkuk. Dengan uang Rp10.000.000 Bung bisa membeli sekitar 1.666 mangkuk bakso. Setahun kemudian, pada saat tabungan bertambah menjadi Rp10.800.000 karena bunga, harga bakso sudah naik menjadi Rp7.000/mangkuk (cuma naik Rp1.000!). Sekarang coba hitung berapa banyak bakso yang bisa Bung beli dengan uang yang sudah bertambah banyak itu. Jangan kaget, meskipun uang Bung bertambah Rp800.000 tapi Bung cuma bisa membeli bakso sebanyak 1.542 mangkuk atau 124 mangkuk lebih sedikit!
Pertanyaannya saya ulangi sekali lagi, apakah Bung bertambah kaya? Kalau dihitung berdasarkan jumlah barang yang bisa Bung beli, menabung di bank rupanya tidak membuat Bung bertambah kaya. Benar tabungan Bung bertambah setahun kemudian, tapi jumlah barang yang bisa Bung beli dengan uang yang sudah bertambah itu malah semakin sedikit. Lucu, bukan?
Silakan disimpulkan sendiri-sendiri.
Published on April 03, 2011 15:30
April 1, 2011
Alternatif Nahkoda Baru PSSI
Oleh: Eko Nurhuda - Bung Eko dotcom
MENARIK sekali mengikuti gejolak di tubuh PSSI menjelang pemilihan ketua umum periode 2011-2015. Namun, kita semua tentu sepakat, bukan konflik berkepanjangan seperti yang ditunjukkan Nurdin Halid cs. versus Arifin Panigoro cs. (plus Pemerintah melalui Kemenpora) saat ini yang dibutuhkan sepak bola Indonesia. Mau dibawa ke mana sepak bola nasional jika pengurus PSSI terus-menerus bertikai?
Rasanya tidak perlu berdebat untuk mengatakan PSSI butuh perubahan sekaligus penyegaran demi kemajuan sepak bola nasional. Kepengurusan status quo yang telah menjabat selama delapan tahun terbukti minim prestasi. Karenanya, Nurdin Halid cs. mestinya legowo untuk menyerahkan kekuasaan pada sosok-sosok lain. Publik sepak bola nasional akan sangat menaruh respek tinggi pada NH jika ia rela tidak mencalonkan diri lagi.
Pertanyaannya sekarang, siapa yang layak menduduki kursi PSSI 1? Jika mengacu pada keputusan Komite Banding Pemilihan yang dipimpin Cipta Lesmana lalu, empat kandidat sebelumnya (NH, Nirwan Bakrie, George Toissuta, dan Arifin Panigoro) seharusnya tidak bisa mencalonkan diri lagi. Apalagi sesuai Standard Electoral Code FIFA, keputusan Komite Banding adalah final dan mengikat. Dengan demikian, PSSI butuh nama-nama baru sebagai calon nahkoda selanjutnya pada periode mendatang.
Sejumlah nama telah diapungkan, baik oleh para peserta kongres, pemilik hak suara, media, maupun para pengamat. Siapapun yang dicalonkan tentu sah-sah saja. Namun, mengingat PSSI adalah organisasi olahraga terpopuler sekaligus terfavorit di Indonesia, juga mengingat kondisi kritis sepak bola nasional yang terus menurun dari waktu ke waktu, calon Ketum berikutnya sudah semestinya disaring secara super ketat sebelum maju ke bursa pemilihan.
Saya pribadi melihat setidaknya ada lima faktor penting yang harus dimiliki seorang bakal calon Ketum PSSI 2011-2015. Kelima faktor tersebut adalah:
1. Menyukai dan paham sepakbola
Ini adalah harga mati. PSSI merupakan organisasi sepak bola, jadi sudah semestinya orang nomor satu di PSSI adalah seorang yang menyukai dan paham seluk-beluk sepak bola. Pengetahuan memadai akan sepak bola bakal sangat membantu Ketum PSSI dalam merumuskan kebijakan-kebijakannya, termasuk juga dalam hal-hal sepele tapi penting seperti hubungan PSSI dan pelatih Timnas.
2. Bukan bagian dari pengurus PSSI sekarang
NH dan kroni-kroninya yang berada di kepengurusan PSSI sekarang adalah pihak yang paling bertanggung jawab terhadap kemerosotan sepak bola nasional. Memilih Ketum baru dari kubu status quo sama saja dengan memilih NH untuk kali ketiga. PSSI butuh penyegaran, dan misi ini hanya akan berhasil jika posisi Ketum periode mendatang diisi sosok yang bebas dari pengaruh pengurus PSSI saat ini.
3. Tidak berafiliasi dengan Parpol manapun
Sudah dua periode PSSI diurus oleh para politisi. Hasilnya? Kita bisa lihat sendiri. Alih-alih menorehkan prestasi, sepak bola justru dijadikan kendaraan untuk meraih simpati publik. Bukti terbaru adalah politisasi Timnas saat berlaga di Piala AFF 2010 lalu. Belum lagi gelar juara diraih, politisi sudah ramai-ramai 'menunggangi' Timnas dengan berbagai kepentingan di luar sepak bola. Akibatnya, trofi yang di atas kertas dapat diraih dengan mudah justru melayang secara menyesakkan.
4. Memiliki skill manajerial mumpuni
Karena PSSI adalah sebuah organisasi besar dan terhitung kompleks, maka faktor satu ini merupakan kunci yang harus dimiliki calon Ketum PSSI mendatang. Untuk ini, tokoh-tokoh yang banyak berpengalaman di organisasi menjadi prioritas. Memiliki skill manajerial juga berarti memiliki strong leadership, sebab PSSI butuh pemimpin yang tegas dan tak mudah disetir pihak ketiga.
5. Mempunyai sokongan dana berlimpah
Meski PSSI memiliki sumber dana cukup banyak dari APBN dan juga sumbangan FIFA, namun calon Ketum yang mempunyai sokongan dana berlimpah tetap diperlukan. Membangun sepak bola Indonesia ke pentas dunia adalah proyek besar yang butuh dana tak terbatas. Hanya mengandalkan APBN saja tidak akan pernah cukup, begitu juga sumbangan FIFA yang jumlahnya terbatas. Karenanya, Ketum PSSI mendatang sebaiknya adalah orang yang pandai mencari dana untuk menyokong program-program PSSI.
Foto: bandarbola.com
Sutiyoso: Bersedia dicalonkan sebagai Ketua Umum PSSI periode 2011-2015.Berpatokan pada lima poin di atas, saya melihat setidaknya ada tiga nama yang paling layak diajukan. Mereka adalah Sutiyoso, Agum Gumelar, dan IGK Manila. Nama Jusuf Kalla sebenarnya masuk kriteria. Sayang, JK sudah menyatakan tidak berminat menjadi Ketum PSSI. Dari kalangan generasi muda, nama mantan Menpora Adhyaksa Dault sebenarnya pantas disebut. Namun, Adhyaksa yang mendukung penuh langkah PSSI dalam mencalonkan diri sebagai tuan rumah Piala Dunia 2018/2022 ini terlanjur lekat dengan salah satu Parpol pendukung pemerintah. Track record-nya di dunia sepak bola juga tidak meyakinkan.
Sutiyoso yang menjabat sebagai Pembina Persija bisa dijadikan pilihan pertama. Kegilaannya pada sepak bola tidak perlu diragukan lagi. Saat masih menjabat Gubernur DKI, ia menggagas kompetisi pramusim bertajuk Piala Emas Bang Yos. Memimpin DKI selama dua periode, sempat menjadi Ketum PBSI, dan saat ini masih menduduki kursi Ketum Perbasi dan Orari, membuatnya unggul dari segi pengalaman berorganisasi. Relasinya yang luas di Jakarta adalah senjata ampuhnya dalam menggalang dana.
Sedikit di bawah Sutiyoso, Agum Gumelar adalah pilihan yang sangat pantas. Pengalaman dan pencapaiannya sebagai Ketum PSSI sebelum digantikan NH adalah modal penting. Rencananya mendatangkan Manchester United medio 2009 lalu adalah bukti kegilaannya pada sepak bola, sekaligus kepiawaiannya dalam menggalang dana. Ingat juga, Agum merupakan salah satu penggagas Kongres Sepak Bola Nasional di Malang pertengahan tahun lalu. Meski sempat digandeng salah satu Parpol dalam Pilpres 2004 dan kemudian Pemilukada, Agum tidak berafiliasi dengan partai manapun.
Calon ketiga, IGK Manila, juga tak kalah bagus. Meski namanya tak sebesar Sutiyoso dan Agum Gumelar, tapi kualitas mantan manajer Persija ini beda-beda tipis dengan kedua nama dari kalangan militer tersebut. Yang paling penting, sama seperti Sutiyoso dan Agum, IGK Manila adalah sosok properubahan. Kehadirannya di kepengurusan PSSI mendatang bakal membuat hembungan angin reformasi semakin kencang menghembus Senayan.
Kita tunggu saja, akankah ketiga nama yang saya sebut di atas masuk bursa calon Ketum PSSI periode 2011-2015. (bungeko)
MENARIK sekali mengikuti gejolak di tubuh PSSI menjelang pemilihan ketua umum periode 2011-2015. Namun, kita semua tentu sepakat, bukan konflik berkepanjangan seperti yang ditunjukkan Nurdin Halid cs. versus Arifin Panigoro cs. (plus Pemerintah melalui Kemenpora) saat ini yang dibutuhkan sepak bola Indonesia. Mau dibawa ke mana sepak bola nasional jika pengurus PSSI terus-menerus bertikai?
Rasanya tidak perlu berdebat untuk mengatakan PSSI butuh perubahan sekaligus penyegaran demi kemajuan sepak bola nasional. Kepengurusan status quo yang telah menjabat selama delapan tahun terbukti minim prestasi. Karenanya, Nurdin Halid cs. mestinya legowo untuk menyerahkan kekuasaan pada sosok-sosok lain. Publik sepak bola nasional akan sangat menaruh respek tinggi pada NH jika ia rela tidak mencalonkan diri lagi.Pertanyaannya sekarang, siapa yang layak menduduki kursi PSSI 1? Jika mengacu pada keputusan Komite Banding Pemilihan yang dipimpin Cipta Lesmana lalu, empat kandidat sebelumnya (NH, Nirwan Bakrie, George Toissuta, dan Arifin Panigoro) seharusnya tidak bisa mencalonkan diri lagi. Apalagi sesuai Standard Electoral Code FIFA, keputusan Komite Banding adalah final dan mengikat. Dengan demikian, PSSI butuh nama-nama baru sebagai calon nahkoda selanjutnya pada periode mendatang.
Sejumlah nama telah diapungkan, baik oleh para peserta kongres, pemilik hak suara, media, maupun para pengamat. Siapapun yang dicalonkan tentu sah-sah saja. Namun, mengingat PSSI adalah organisasi olahraga terpopuler sekaligus terfavorit di Indonesia, juga mengingat kondisi kritis sepak bola nasional yang terus menurun dari waktu ke waktu, calon Ketum berikutnya sudah semestinya disaring secara super ketat sebelum maju ke bursa pemilihan.Saya pribadi melihat setidaknya ada lima faktor penting yang harus dimiliki seorang bakal calon Ketum PSSI 2011-2015. Kelima faktor tersebut adalah:
1. Menyukai dan paham sepakbola
Ini adalah harga mati. PSSI merupakan organisasi sepak bola, jadi sudah semestinya orang nomor satu di PSSI adalah seorang yang menyukai dan paham seluk-beluk sepak bola. Pengetahuan memadai akan sepak bola bakal sangat membantu Ketum PSSI dalam merumuskan kebijakan-kebijakannya, termasuk juga dalam hal-hal sepele tapi penting seperti hubungan PSSI dan pelatih Timnas.
2. Bukan bagian dari pengurus PSSI sekarang
NH dan kroni-kroninya yang berada di kepengurusan PSSI sekarang adalah pihak yang paling bertanggung jawab terhadap kemerosotan sepak bola nasional. Memilih Ketum baru dari kubu status quo sama saja dengan memilih NH untuk kali ketiga. PSSI butuh penyegaran, dan misi ini hanya akan berhasil jika posisi Ketum periode mendatang diisi sosok yang bebas dari pengaruh pengurus PSSI saat ini.
3. Tidak berafiliasi dengan Parpol manapun
Sudah dua periode PSSI diurus oleh para politisi. Hasilnya? Kita bisa lihat sendiri. Alih-alih menorehkan prestasi, sepak bola justru dijadikan kendaraan untuk meraih simpati publik. Bukti terbaru adalah politisasi Timnas saat berlaga di Piala AFF 2010 lalu. Belum lagi gelar juara diraih, politisi sudah ramai-ramai 'menunggangi' Timnas dengan berbagai kepentingan di luar sepak bola. Akibatnya, trofi yang di atas kertas dapat diraih dengan mudah justru melayang secara menyesakkan.
4. Memiliki skill manajerial mumpuni
Karena PSSI adalah sebuah organisasi besar dan terhitung kompleks, maka faktor satu ini merupakan kunci yang harus dimiliki calon Ketum PSSI mendatang. Untuk ini, tokoh-tokoh yang banyak berpengalaman di organisasi menjadi prioritas. Memiliki skill manajerial juga berarti memiliki strong leadership, sebab PSSI butuh pemimpin yang tegas dan tak mudah disetir pihak ketiga.
5. Mempunyai sokongan dana berlimpah
Meski PSSI memiliki sumber dana cukup banyak dari APBN dan juga sumbangan FIFA, namun calon Ketum yang mempunyai sokongan dana berlimpah tetap diperlukan. Membangun sepak bola Indonesia ke pentas dunia adalah proyek besar yang butuh dana tak terbatas. Hanya mengandalkan APBN saja tidak akan pernah cukup, begitu juga sumbangan FIFA yang jumlahnya terbatas. Karenanya, Ketum PSSI mendatang sebaiknya adalah orang yang pandai mencari dana untuk menyokong program-program PSSI.
Foto: bandarbola.comSutiyoso: Bersedia dicalonkan sebagai Ketua Umum PSSI periode 2011-2015.Berpatokan pada lima poin di atas, saya melihat setidaknya ada tiga nama yang paling layak diajukan. Mereka adalah Sutiyoso, Agum Gumelar, dan IGK Manila. Nama Jusuf Kalla sebenarnya masuk kriteria. Sayang, JK sudah menyatakan tidak berminat menjadi Ketum PSSI. Dari kalangan generasi muda, nama mantan Menpora Adhyaksa Dault sebenarnya pantas disebut. Namun, Adhyaksa yang mendukung penuh langkah PSSI dalam mencalonkan diri sebagai tuan rumah Piala Dunia 2018/2022 ini terlanjur lekat dengan salah satu Parpol pendukung pemerintah. Track record-nya di dunia sepak bola juga tidak meyakinkan.
Sutiyoso yang menjabat sebagai Pembina Persija bisa dijadikan pilihan pertama. Kegilaannya pada sepak bola tidak perlu diragukan lagi. Saat masih menjabat Gubernur DKI, ia menggagas kompetisi pramusim bertajuk Piala Emas Bang Yos. Memimpin DKI selama dua periode, sempat menjadi Ketum PBSI, dan saat ini masih menduduki kursi Ketum Perbasi dan Orari, membuatnya unggul dari segi pengalaman berorganisasi. Relasinya yang luas di Jakarta adalah senjata ampuhnya dalam menggalang dana.
Sedikit di bawah Sutiyoso, Agum Gumelar adalah pilihan yang sangat pantas. Pengalaman dan pencapaiannya sebagai Ketum PSSI sebelum digantikan NH adalah modal penting. Rencananya mendatangkan Manchester United medio 2009 lalu adalah bukti kegilaannya pada sepak bola, sekaligus kepiawaiannya dalam menggalang dana. Ingat juga, Agum merupakan salah satu penggagas Kongres Sepak Bola Nasional di Malang pertengahan tahun lalu. Meski sempat digandeng salah satu Parpol dalam Pilpres 2004 dan kemudian Pemilukada, Agum tidak berafiliasi dengan partai manapun.
Calon ketiga, IGK Manila, juga tak kalah bagus. Meski namanya tak sebesar Sutiyoso dan Agum Gumelar, tapi kualitas mantan manajer Persija ini beda-beda tipis dengan kedua nama dari kalangan militer tersebut. Yang paling penting, sama seperti Sutiyoso dan Agum, IGK Manila adalah sosok properubahan. Kehadirannya di kepengurusan PSSI mendatang bakal membuat hembungan angin reformasi semakin kencang menghembus Senayan.
Kita tunggu saja, akankah ketiga nama yang saya sebut di atas masuk bursa calon Ketum PSSI periode 2011-2015. (bungeko)
Published on April 01, 2011 01:38
March 30, 2011
Keyboard Rusak (Edited Version)
Oleh: Eko Nurhuda - Bung Eko dotcom
MASIH bingung membaca posting kemarin yang banyak sekali typo alias salah ketik? Ceritanya keyboard komputer saya rusak. Penyebabnya karena saya masih numpang di rumah mertua. Lho, apa hubungannya? Hubungannya adalah, saya tidak punya ruang khusus untuk mengetik. Komputer saya ditempatkan di kamar tidur di mana saya bersama istri dan anak tidur.
Foto: Koleksi pribadi
Si keyboard rusak itu.Nah, di sinilah penyakitnya. Si kecil Damar sering sekali melihat saya asyik mengetik di depan komputer. Namanya saja anak kecil, lama-lama dia tertarik dengan komputer dan mulai mendekat. Mungkin dia kira mainan. Setiap kali saya lengah keyboard dan mouse dibanting-banting tanpa ampun.
Sekali-dua kali tidak apa-apa. Tapi setelah terlalu sering dibanting keyboard-nya tidak tahan dan rusak. Alih-alih membeli baru, saya coba menyervis keyboard rusak itu."Jika barang atau alat elektronik rusak, maka tidak langsung membuangnya menjadi limbah atau sampah elektronik yang berbahaya, tetapi berupaya dahulu untuk melakukan perbaikan atau Repair,."
gogreenindonesiaku.com Yah, hitung-hitung turut menyukseskan salah satu program dalam 9 Program Go Green Indonesiaku. Toh, masalahnya cuma kabel yang menghubungkan keyboard dengan PC putus. Jadi saya sambung saja kabelnya. Alhamdulillah, problem solved dan keyboard mau menyala lagi.
Eh, walau mau menyala ternyata fungsinya tidak bisa pulih 100%. Sejumlah tuts tidak bekerja seperti seharusnya. Kalau tuts "K" atau "L" diketik, kedua huruf malah muncul bersamaan. Begitu juga dengan tuts "I" dan "O", "8" dan "9", "," dan ".", serta "". Begitulah jadinya. Posting kemarin pun jadi aneh begitu.
Nah, sekarang Bung sudah tidak bingung lagi kan?
MASIH bingung membaca posting kemarin yang banyak sekali typo alias salah ketik? Ceritanya keyboard komputer saya rusak. Penyebabnya karena saya masih numpang di rumah mertua. Lho, apa hubungannya? Hubungannya adalah, saya tidak punya ruang khusus untuk mengetik. Komputer saya ditempatkan di kamar tidur di mana saya bersama istri dan anak tidur.
Foto: Koleksi pribadiSi keyboard rusak itu.Nah, di sinilah penyakitnya. Si kecil Damar sering sekali melihat saya asyik mengetik di depan komputer. Namanya saja anak kecil, lama-lama dia tertarik dengan komputer dan mulai mendekat. Mungkin dia kira mainan. Setiap kali saya lengah keyboard dan mouse dibanting-banting tanpa ampun.
Sekali-dua kali tidak apa-apa. Tapi setelah terlalu sering dibanting keyboard-nya tidak tahan dan rusak. Alih-alih membeli baru, saya coba menyervis keyboard rusak itu."Jika barang atau alat elektronik rusak, maka tidak langsung membuangnya menjadi limbah atau sampah elektronik yang berbahaya, tetapi berupaya dahulu untuk melakukan perbaikan atau Repair,."
gogreenindonesiaku.com Yah, hitung-hitung turut menyukseskan salah satu program dalam 9 Program Go Green Indonesiaku. Toh, masalahnya cuma kabel yang menghubungkan keyboard dengan PC putus. Jadi saya sambung saja kabelnya. Alhamdulillah, problem solved dan keyboard mau menyala lagi.
Eh, walau mau menyala ternyata fungsinya tidak bisa pulih 100%. Sejumlah tuts tidak bekerja seperti seharusnya. Kalau tuts "K" atau "L" diketik, kedua huruf malah muncul bersamaan. Begitu juga dengan tuts "I" dan "O", "8" dan "9", "," dan ".", serta "". Begitulah jadinya. Posting kemarin pun jadi aneh begitu.
Nah, sekarang Bung sudah tidak bingung lagi kan?
Published on March 30, 2011 15:30
March 25, 2011
Belajar dari LPI
Oleh: Eko Nurhuda - Bung Eko dotcom
KONFLIK sepakbola nasional semakin memanas. Setelah kubu status quo berusaha menjegal langkah Arifin Panigoro dan George Toisutta melalui Komisi Pemilihan, giliran Pemerintah melalui Menpora yang meminta Komisi Banding untuk "mengoreksi" keputusan Komisi Pemilihan tersebut. Ujung ceritanya sudah sama-sama kita ketahui. Komisi Banding malah membatalkan hasil verifikasi Komisi Pemilihan dan mengembalikan mandat kongres kepada Komite Eksekutif PSSI. Kongres pun ditunda, dan rencananya mulai digelar lagi 26 Maret mendatang.
Ilustrasi: Jurnal Perempuan
Nurdin Halid: Tetap ngeyel maju sebagai ketua umum PSSI meski kepemimpinannya "gatot" alias gagal total.Sungguh sangat disayangkan jika konflik ini terus berlanjut. Imbasnya bahkan sudah dirasakan Timnas U-23 yang akan melakoni laga leg kedua pra-Olimpiade melawan Turkmenistan di Ashgabat, Rabu (9/3) lalu. Pengucuran anggaran untuk Timnas Pra-Olimpiade dari Pemerintah tersendat, membuat Badan Tim Nasional (BTN) terpaksa menalangi seluruh dana operasional yang mencapai Rp 3 miliar (BOLA edisi 2.164).
Saya pribadi sependapat dengan apa yang dikatakan Pemred BOLA, Ian Situmorang, saat diundang tvone dalam program Apa Kabar Indonesia, Ahad (27/2) pagi. Dengan lugas Ian mengatakan, tidak selalu yang kita musuhi itu jelek. Jadi, solusi yang diusulkannya adalah PSSI dan Konsorsium LPI duduk bersama demi menemukan solusi terbaik bagi kemajuan sepakbola Indonesia.
Ya, tidak selalu yang kita musuhi itu jelek. Terkadang justru ada banyak hal positif yang bisa dipelajari dari "musuh". Dalam kaitannya dengan konflik PSSI vs Konsorsium LPI, secara jujur PSSI harus mengakui kalau LPI memiliki sejumlah hal positif yang bisa mereka adopsi demi meningkatkan kualitas LSI. Saya mencatat setidaknya ada 6 poin positif yang diajarkan LPI kepada PSSI.
1. Nama Klub Peserta Lebih Kreatif
Dalam rubrik Bolamania di BOLA edisi 1.316, 3 Juni 2003, saya sempat mengkritisi nama klub-klub Liga Indonesia yang nyaris seragam. Bahkan ada sejumlah klub yang namanya sama persis: Persiba Bantul dan Persiba Balikpapan, Persis Solo dan Persiss Sorong. Bukankah nama-nama seperti Bogor Raya, Bandung FC, Semarang United, atau Real Mataram lebih enak didengar?
Logo Liga Primer Indonesia2. Tidak Ada Iklan Rokok
Rokok dan kegiatan olahraga adalah 2 hal yang sangat berlawanan. Maka, iklan rokok di kompetisi sepakbola merupakan sebuah paradoks. Lucunya, sepanjang sejarah Liga Indonesia sponsor utamanya hampir selalu rokok! Selain sponsor utama yang produknya justru membuat tidak sehat, sponsor pendukung biasanya "hanya" perusahaan apparel klub tuan rumah, Bank Pembangunan Daerah setempat, dan koran lokal. Bedakan dengan LPI yang sanggup menggaet sejumlah perusahaan besar dunia seperti Coca Cola atau Microsoft.
3. Wasit Asing
Ketika penggunaan wasit asing di LSI masih sekedar wacana, pertandingan LPI, terutama yang disiarkan langsung, sudah memakai wasit luar negeri. Memang hal ini terbukti belum menjadi solusi atas jeleknya kinerja wasit lokal. Beberapa wasit asing yang didatangkan LPI malah dikeluhkan klub peserta. Tapi setidaknya LPI telah mengajarkan bahwa setiap ide itu harus dicoba untuk mengetahui hasilnya. Kini, PT Liga Indonesia sudah mulai menggunakan wasit asing di LSI.
4. Kualitas Siaran Langsung
Saya tidak tahu dengan daerah lain, tapi di kota Yogyakarta (saya 10 tahun di sana) dan Pemalang (tempat domisili saya sejak Mei 2010) siaran langsung LSI yang dipancarkan antv tidak pernah jernih. Ini ditambah lagi dengan host yang masih sering salah menyebut nama pemain dan hanya menyampaikan apa yang juga penonton lihat di layar kaca. Demikian pula dengan komentatornya yang kerap berkomentar secara subjektif.
Bandingkan dengan siaran langsung LPI yang disiarkan oleh Indosiar, Trans TV, dan Trans 7. Ketiga stasiun televisi ini mampu menampilkan gambar yang sangat jernih, serta kualitas host dan komentatornya—menurut saya—sedikit di atas kualitas host dan komentator siaran langsung LSI.
5. Lagu Indonesia Raya
Di LPI, sebelum kick off selalu diperdengarkan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Memang ini bukan aturan baku dalam sebuah pertandingan kompetisi lokal, namun pemutaran lagu kebangsaan sebelum pertandingan sedikit banyak akan meningkatkan rasa nasionalisme. Saya rasa ini hal positif.
Foto: PSSI
Irfan Bachdim: Nasibnya di Timnas bakal terus terkatung-katung akibat konflik PSSI vs Konsorsium LPI.6. Tidak Menggunakan APBD
Velix Wanggai, salah satu staf Presiden SBY, sempat melontarkan pujian terhadap LPI di media. Poin plus LPI yang menurut Velix patut dicontoh adalah klub-klub pesertanya tidak menggunakan dana APBD. Di LSI, hanya Arema Indonesia, Persib Bandung, dan Semen Padang saja yang tidak dibiayai APBD. Lalu di Divisi Utama mungkin nama Pro Titan bisa disebut. Sampai kapan klub-klub Liga Indonesia lepas dari APBD? Atau, pertanyaan yang lebih tepat mungkin, bisakah klub-klub Liga Indonesia lepas dari APBD?
Selama ini PSSI hanya mengandalkan legalitas setiap membandingkan LSI dengan LPI. Oke, legalitas memang penting. Tapi, apa gunanya legalitas tanpa kualitas? Peringkat 8 besar Asia yang disematkan AFC pada LSI 2 tahun lalu nyatanya tidak terlihat dalam ajang Liga Champions Asia maupun AFC Cup. Bukti teranyar, Sriwijaya FC mampu ditahan imbang 1-1 di kandang oleh VB Sports dari Maladewa.
Jadi, benar kata Ian Situmorang dalam program Apa Kabar Indonesia yang disiarkan tvone, Ahad (27/2) pagi lalu. PSSI, Konsorsium LPI, dan juga Kemenpora harus duduk bersama untuk berdiskusi (bukan berdebat!) dalam kerangka memajukan sepakbola nasional. Bayangkan bila 6 kelebihan LPI di atas dipadukan dengan legalitas dan pengalaman yang dimiliki LSI, akan jadi seperti apa liga domestik Indonesia nantinya?
Salam sepakbola!
Catatan: Tulisan ini saya kirimkan ke rubrik Oposan di tabloid BOLA, tapi tabloid ini--yang nampaknya tidak setuju dengan adanya LPI--tidak memuatnya.
KONFLIK sepakbola nasional semakin memanas. Setelah kubu status quo berusaha menjegal langkah Arifin Panigoro dan George Toisutta melalui Komisi Pemilihan, giliran Pemerintah melalui Menpora yang meminta Komisi Banding untuk "mengoreksi" keputusan Komisi Pemilihan tersebut. Ujung ceritanya sudah sama-sama kita ketahui. Komisi Banding malah membatalkan hasil verifikasi Komisi Pemilihan dan mengembalikan mandat kongres kepada Komite Eksekutif PSSI. Kongres pun ditunda, dan rencananya mulai digelar lagi 26 Maret mendatang.
Ilustrasi: Jurnal PerempuanNurdin Halid: Tetap ngeyel maju sebagai ketua umum PSSI meski kepemimpinannya "gatot" alias gagal total.Sungguh sangat disayangkan jika konflik ini terus berlanjut. Imbasnya bahkan sudah dirasakan Timnas U-23 yang akan melakoni laga leg kedua pra-Olimpiade melawan Turkmenistan di Ashgabat, Rabu (9/3) lalu. Pengucuran anggaran untuk Timnas Pra-Olimpiade dari Pemerintah tersendat, membuat Badan Tim Nasional (BTN) terpaksa menalangi seluruh dana operasional yang mencapai Rp 3 miliar (BOLA edisi 2.164).
Saya pribadi sependapat dengan apa yang dikatakan Pemred BOLA, Ian Situmorang, saat diundang tvone dalam program Apa Kabar Indonesia, Ahad (27/2) pagi. Dengan lugas Ian mengatakan, tidak selalu yang kita musuhi itu jelek. Jadi, solusi yang diusulkannya adalah PSSI dan Konsorsium LPI duduk bersama demi menemukan solusi terbaik bagi kemajuan sepakbola Indonesia.
Ya, tidak selalu yang kita musuhi itu jelek. Terkadang justru ada banyak hal positif yang bisa dipelajari dari "musuh". Dalam kaitannya dengan konflik PSSI vs Konsorsium LPI, secara jujur PSSI harus mengakui kalau LPI memiliki sejumlah hal positif yang bisa mereka adopsi demi meningkatkan kualitas LSI. Saya mencatat setidaknya ada 6 poin positif yang diajarkan LPI kepada PSSI.
1. Nama Klub Peserta Lebih Kreatif
Dalam rubrik Bolamania di BOLA edisi 1.316, 3 Juni 2003, saya sempat mengkritisi nama klub-klub Liga Indonesia yang nyaris seragam. Bahkan ada sejumlah klub yang namanya sama persis: Persiba Bantul dan Persiba Balikpapan, Persis Solo dan Persiss Sorong. Bukankah nama-nama seperti Bogor Raya, Bandung FC, Semarang United, atau Real Mataram lebih enak didengar?
Logo Liga Primer Indonesia2. Tidak Ada Iklan RokokRokok dan kegiatan olahraga adalah 2 hal yang sangat berlawanan. Maka, iklan rokok di kompetisi sepakbola merupakan sebuah paradoks. Lucunya, sepanjang sejarah Liga Indonesia sponsor utamanya hampir selalu rokok! Selain sponsor utama yang produknya justru membuat tidak sehat, sponsor pendukung biasanya "hanya" perusahaan apparel klub tuan rumah, Bank Pembangunan Daerah setempat, dan koran lokal. Bedakan dengan LPI yang sanggup menggaet sejumlah perusahaan besar dunia seperti Coca Cola atau Microsoft.
3. Wasit Asing
Ketika penggunaan wasit asing di LSI masih sekedar wacana, pertandingan LPI, terutama yang disiarkan langsung, sudah memakai wasit luar negeri. Memang hal ini terbukti belum menjadi solusi atas jeleknya kinerja wasit lokal. Beberapa wasit asing yang didatangkan LPI malah dikeluhkan klub peserta. Tapi setidaknya LPI telah mengajarkan bahwa setiap ide itu harus dicoba untuk mengetahui hasilnya. Kini, PT Liga Indonesia sudah mulai menggunakan wasit asing di LSI.
4. Kualitas Siaran Langsung
Saya tidak tahu dengan daerah lain, tapi di kota Yogyakarta (saya 10 tahun di sana) dan Pemalang (tempat domisili saya sejak Mei 2010) siaran langsung LSI yang dipancarkan antv tidak pernah jernih. Ini ditambah lagi dengan host yang masih sering salah menyebut nama pemain dan hanya menyampaikan apa yang juga penonton lihat di layar kaca. Demikian pula dengan komentatornya yang kerap berkomentar secara subjektif.
Bandingkan dengan siaran langsung LPI yang disiarkan oleh Indosiar, Trans TV, dan Trans 7. Ketiga stasiun televisi ini mampu menampilkan gambar yang sangat jernih, serta kualitas host dan komentatornya—menurut saya—sedikit di atas kualitas host dan komentator siaran langsung LSI.
5. Lagu Indonesia Raya
Di LPI, sebelum kick off selalu diperdengarkan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Memang ini bukan aturan baku dalam sebuah pertandingan kompetisi lokal, namun pemutaran lagu kebangsaan sebelum pertandingan sedikit banyak akan meningkatkan rasa nasionalisme. Saya rasa ini hal positif.
Foto: PSSIIrfan Bachdim: Nasibnya di Timnas bakal terus terkatung-katung akibat konflik PSSI vs Konsorsium LPI.6. Tidak Menggunakan APBD
Velix Wanggai, salah satu staf Presiden SBY, sempat melontarkan pujian terhadap LPI di media. Poin plus LPI yang menurut Velix patut dicontoh adalah klub-klub pesertanya tidak menggunakan dana APBD. Di LSI, hanya Arema Indonesia, Persib Bandung, dan Semen Padang saja yang tidak dibiayai APBD. Lalu di Divisi Utama mungkin nama Pro Titan bisa disebut. Sampai kapan klub-klub Liga Indonesia lepas dari APBD? Atau, pertanyaan yang lebih tepat mungkin, bisakah klub-klub Liga Indonesia lepas dari APBD?
Selama ini PSSI hanya mengandalkan legalitas setiap membandingkan LSI dengan LPI. Oke, legalitas memang penting. Tapi, apa gunanya legalitas tanpa kualitas? Peringkat 8 besar Asia yang disematkan AFC pada LSI 2 tahun lalu nyatanya tidak terlihat dalam ajang Liga Champions Asia maupun AFC Cup. Bukti teranyar, Sriwijaya FC mampu ditahan imbang 1-1 di kandang oleh VB Sports dari Maladewa.
Jadi, benar kata Ian Situmorang dalam program Apa Kabar Indonesia yang disiarkan tvone, Ahad (27/2) pagi lalu. PSSI, Konsorsium LPI, dan juga Kemenpora harus duduk bersama untuk berdiskusi (bukan berdebat!) dalam kerangka memajukan sepakbola nasional. Bayangkan bila 6 kelebihan LPI di atas dipadukan dengan legalitas dan pengalaman yang dimiliki LSI, akan jadi seperti apa liga domestik Indonesia nantinya?
Salam sepakbola!
Catatan: Tulisan ini saya kirimkan ke rubrik Oposan di tabloid BOLA, tapi tabloid ini--yang nampaknya tidak setuju dengan adanya LPI--tidak memuatnya.
Published on March 25, 2011 15:30
March 20, 2011
Solusi Bisnis dari Seberang
Oleh: Eko Nurhuda - Bung Eko dotcom
SUATU hari di awal Februari, saya iseng-iseng mengontak Jennie S. Bev (tahu dong siapa dia?) via Facebook untuk mengajukan permohonan wawancara. Saya bilang iseng-iseng karena saya sedikit agak tidak yakin Mbak Jennie bakal punya waktu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sudah saya siapkan sejak tahun lalu. Ya, daftar pertanyaannya sudah saya susun sejak awal 2010! Tepatnya setelah saya merangkum sejumlah wawancara dengan Jennie S. Bev dari berbagai situs dan mempublikasikannya April 2010 lalu. Tapi karena ragu-ragu, baru awal 2011 saya berani mengirimkannya.
Solusi Bisnis dari SeberangEh, tak disangka tak dinyana ternyata Mbak Jennie menyambutnya dengan senang hati. Saya langsung diminta mengirim daftar pertanyaan tersebut via email. Bukan itu saja, penulis Indonesia tersukses di Amerika Serikat ini bahkan memberikan bonus. Sungguh sebuah surprise bagi saya, Mbak Jennie juga meminta alamat saya karena ingin mengirimkan buku terbarunya yang berjudul Solusi Bisnis dari Seberang (Afton Asia, 2011).
Jelas saja saya jadi deg-deg plas dibuatnya. Menunggu buku itu sampai ke rumah mertua di Pemalang terasa sangat lama, padahal tidak ada sebulan. Dan, setelah diselingi paket dari blogDetik, akhirnya paket dari PT Afton Asia di Jakarta yang berisi buku terbaru Jennie S. Bev pun sampai ke tangan saya. Senangnya...
Sesuai janji saya pada Mbak Jennie, segera setelah membaca tuntas buku Solusi dari Seberang ini saya akan membuat resensinya untuk dikirim ke media cetak. Karena saya berdomisili di Jawa Tengah, kemungkinan besar media pertama yang saya sasar adalah Suara Merdeka. Sebagai iseng-iseng tambahan, mungkin saya juga akan mengirim kopinya ke Kedaulatan Rakyat di Jogja atau koran lokal lain di Jawa Tengah.
Hmmm, jadi tidak sabar untuk segera menuntaskan membaca buku kiriman Mbak Jennie dan membuat resensinya. Mohon doanya semoga resensi yang kelak saya kirim dimuat ya. Oya, hasil wawancaranya akan saya publikasikan di blog ini bulan depan. Mohon sabar, hehehe...
SUATU hari di awal Februari, saya iseng-iseng mengontak Jennie S. Bev (tahu dong siapa dia?) via Facebook untuk mengajukan permohonan wawancara. Saya bilang iseng-iseng karena saya sedikit agak tidak yakin Mbak Jennie bakal punya waktu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sudah saya siapkan sejak tahun lalu. Ya, daftar pertanyaannya sudah saya susun sejak awal 2010! Tepatnya setelah saya merangkum sejumlah wawancara dengan Jennie S. Bev dari berbagai situs dan mempublikasikannya April 2010 lalu. Tapi karena ragu-ragu, baru awal 2011 saya berani mengirimkannya.
Solusi Bisnis dari SeberangEh, tak disangka tak dinyana ternyata Mbak Jennie menyambutnya dengan senang hati. Saya langsung diminta mengirim daftar pertanyaan tersebut via email. Bukan itu saja, penulis Indonesia tersukses di Amerika Serikat ini bahkan memberikan bonus. Sungguh sebuah surprise bagi saya, Mbak Jennie juga meminta alamat saya karena ingin mengirimkan buku terbarunya yang berjudul Solusi Bisnis dari Seberang (Afton Asia, 2011).Jelas saja saya jadi deg-deg plas dibuatnya. Menunggu buku itu sampai ke rumah mertua di Pemalang terasa sangat lama, padahal tidak ada sebulan. Dan, setelah diselingi paket dari blogDetik, akhirnya paket dari PT Afton Asia di Jakarta yang berisi buku terbaru Jennie S. Bev pun sampai ke tangan saya. Senangnya...
Sesuai janji saya pada Mbak Jennie, segera setelah membaca tuntas buku Solusi dari Seberang ini saya akan membuat resensinya untuk dikirim ke media cetak. Karena saya berdomisili di Jawa Tengah, kemungkinan besar media pertama yang saya sasar adalah Suara Merdeka. Sebagai iseng-iseng tambahan, mungkin saya juga akan mengirim kopinya ke Kedaulatan Rakyat di Jogja atau koran lokal lain di Jawa Tengah.
Hmmm, jadi tidak sabar untuk segera menuntaskan membaca buku kiriman Mbak Jennie dan membuat resensinya. Mohon doanya semoga resensi yang kelak saya kirim dimuat ya. Oya, hasil wawancaranya akan saya publikasikan di blog ini bulan depan. Mohon sabar, hehehe...
Published on March 20, 2011 22:27
March 18, 2011
Belum Rejeki...
Oleh: Eko Nurhuda - Bung Eko dotcom
DEG-DEGAN! Itulah yang saya rasakan sewaktu berada di Goethe Institut atawa Goethe Haus, Jl. Sam Ratulangi No. 9-15, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (17/3) malam kemarin. Bagaimana tidak? Setelah berhasil lolos ke 20 besar (dari total 1.110 peserta!), tidak ada harapan lebih besar kecuali menjadi 3 besar dalam Beat Blog Writing Contest yang diadakan VHR Media. Juara pertama dengan hadiah uang tunai Rp 5 juta plus sebuah Blackberry tentu jadi impian, tapi bagi saya masuk 3 besar saja rasanya bakal luar biasa sekali.
Foto: Dwin Friansi
Mejeng dulu, di depan pintu masuk tempat acara, Goethe Institute, Jakarta.Saya tidak sendirian. Adik saya Dwin Friansi yang jadi guide plus tempat tumpangan selama di Jakarta, dan Mas Ismail yang bela-belain langsung datang ke Goethe Institute dari tempat kerjanya di kawasan Gatot Subroto, semuanya harap-harap cemas. Mas Is bahkan sempat update status di Facebook, memintakan doa untuk saya. Dari Pemalang, istri saya tak henti-hentinya berkirim SMS di sela-sela kerepotannya mengasuh si kecil Damar. Begitu juga ibu saya tercinta di Jambi.
Masuk 20 besar saja sebenarnya sudah merupakan prestasi tersendiri. Bayangkan, dari jumlah total 1.110 peserta, dewan juri mengerucutkannya menjadi 100 besar. Kemudian dilakukan penjurian ulang untuk menciutkan naskah menjadi 50 besar. Proses penjurian kembali dilakukan untuk menentukan 20 finalis. Jadi, tulisan 20 finalis sudah melalui 3 kali penyaringan! Artinya, menjadi finalis saja sudah untung. Tapi, masa iya cuma berharap jadi finalis sih? Kenapa tidak sekalian berharap jadi juara 1 atau setidak-tidaknya 3 besar? Toh, berharap (baca: bermimpi) tidak butuh biaya, bukan?
Foto: Dwin Friansi
Saya dan Mas Ismail, sekalian kopi darat setelah selama ini hanya kontak lewat email dan SMS.
Sayang, harapan tak selalu jadi kenyataan. Ketika nama juara ketiga disebutkan pembawa acara, saya masih menaruh harapan besar untuk jadi juara 2 atau malah juara 1. Tapi, begitu nama juara 2 disebutkan dan itu bukan nama saya, saya langsung "turun ke bumi". Saya langsung sadar kali ini bukan jatah saya untuk menjadi pemenang kontes blog. Dan, sayapun harus puas hanya menjadi salah satu dari 17 finalis. Untunglah ada hadiah uang tunai sebesar Rp 500 ribu cash, juga posting yang masuk nominasi akan dibukukan oleh Gagas Media dengan judul (tentatif) Blogger Bicara Lingkungan. Ditambah goody bag berisi berbagai souvenir dari sponsor, kedua hal tersebut adalah pelipur lara yang setimpal.
Setidaknya, saya masih boleh berbangga hati. Kata adik saya, "Wah, berarti tulisan Kakak dibaca Happy Salma ya?" Memang, hanya naskah 20 finalis saja yang dinilai langsung oleh juri inti yang terdiri dari Happy Salma, IGG Maha Adi (direktur eksekutif Society of Environmental Journalists alias SIEJ dan wartawan National Geographic Indonesia), dan FX. Rudy Gunawan (penulis, wartawan VHR Media, dan pendiri Gagas Media). Sedangkan kata istri saya, "Lihat, Abi sudah menyingkirkan 1.090 peserta! Ini hebat!" Ibu saya lain lagi. Mungkin tahu saya kecewa tidak jadi pemenang, Ibu menulis SMS ke adik saya, "Kakakmu masih mau ikut kontes-kontes lagi, nggak?"
Foto: Dwin Friansi
Foto bersama: Para finalis berfoto bersama di atas panggung. Coba tebak, saya ada di mana?Apapun hasilnya, saya mensyukurinya. Toh, tulisan yang masuk nominasi ini justru tulisan kedua. Saya mengonsepnya secara mendadak, menulisnya dalam waktu kurang dari sejam, dan mendaftarkannya di detik-detik akhir waktu penyerahan naskah! Tulisan pertama yang saya konsep dengan matang dan ditulis lamaaa sekali, malah tidak masuk 100 besar. Jadi, masuk 20 besar saja sudah sebuah anugerah luar biasa. Soal tidak jadi pemenang utama, rasanya benar apa yang dikatakan Mas Ismail malam itu.
"Belum rejeki, Mas. Sabar..." Bisiknya sesaat setelah nama saya tidak terdapat dalam 3 besar. Ya, memang belum rejeki saya mempunyai Blackberry, juga belum rejeki saya memperoleh hadiah jutaan rupiah (meskipun saya sangat membutuhkannya untuk persiapan biaya kelahiran anak kedua sekitar akhir April atau awal Mei nanti). Jadi, syukuri saja apa yang sudah didapat. ^_^
Buat rekan-rekan pengunjung bungeko.com, saya ucapkan rasa terima kasih yang tulus dari dalam hati atas support-nya.
DEG-DEGAN! Itulah yang saya rasakan sewaktu berada di Goethe Institut atawa Goethe Haus, Jl. Sam Ratulangi No. 9-15, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (17/3) malam kemarin. Bagaimana tidak? Setelah berhasil lolos ke 20 besar (dari total 1.110 peserta!), tidak ada harapan lebih besar kecuali menjadi 3 besar dalam Beat Blog Writing Contest yang diadakan VHR Media. Juara pertama dengan hadiah uang tunai Rp 5 juta plus sebuah Blackberry tentu jadi impian, tapi bagi saya masuk 3 besar saja rasanya bakal luar biasa sekali.
Foto: Dwin FriansiMejeng dulu, di depan pintu masuk tempat acara, Goethe Institute, Jakarta.Saya tidak sendirian. Adik saya Dwin Friansi yang jadi guide plus tempat tumpangan selama di Jakarta, dan Mas Ismail yang bela-belain langsung datang ke Goethe Institute dari tempat kerjanya di kawasan Gatot Subroto, semuanya harap-harap cemas. Mas Is bahkan sempat update status di Facebook, memintakan doa untuk saya. Dari Pemalang, istri saya tak henti-hentinya berkirim SMS di sela-sela kerepotannya mengasuh si kecil Damar. Begitu juga ibu saya tercinta di Jambi.
Masuk 20 besar saja sebenarnya sudah merupakan prestasi tersendiri. Bayangkan, dari jumlah total 1.110 peserta, dewan juri mengerucutkannya menjadi 100 besar. Kemudian dilakukan penjurian ulang untuk menciutkan naskah menjadi 50 besar. Proses penjurian kembali dilakukan untuk menentukan 20 finalis. Jadi, tulisan 20 finalis sudah melalui 3 kali penyaringan! Artinya, menjadi finalis saja sudah untung. Tapi, masa iya cuma berharap jadi finalis sih? Kenapa tidak sekalian berharap jadi juara 1 atau setidak-tidaknya 3 besar? Toh, berharap (baca: bermimpi) tidak butuh biaya, bukan?
Foto: Dwin FriansiSaya dan Mas Ismail, sekalian kopi darat setelah selama ini hanya kontak lewat email dan SMS.
Sayang, harapan tak selalu jadi kenyataan. Ketika nama juara ketiga disebutkan pembawa acara, saya masih menaruh harapan besar untuk jadi juara 2 atau malah juara 1. Tapi, begitu nama juara 2 disebutkan dan itu bukan nama saya, saya langsung "turun ke bumi". Saya langsung sadar kali ini bukan jatah saya untuk menjadi pemenang kontes blog. Dan, sayapun harus puas hanya menjadi salah satu dari 17 finalis. Untunglah ada hadiah uang tunai sebesar Rp 500 ribu cash, juga posting yang masuk nominasi akan dibukukan oleh Gagas Media dengan judul (tentatif) Blogger Bicara Lingkungan. Ditambah goody bag berisi berbagai souvenir dari sponsor, kedua hal tersebut adalah pelipur lara yang setimpal.
Setidaknya, saya masih boleh berbangga hati. Kata adik saya, "Wah, berarti tulisan Kakak dibaca Happy Salma ya?" Memang, hanya naskah 20 finalis saja yang dinilai langsung oleh juri inti yang terdiri dari Happy Salma, IGG Maha Adi (direktur eksekutif Society of Environmental Journalists alias SIEJ dan wartawan National Geographic Indonesia), dan FX. Rudy Gunawan (penulis, wartawan VHR Media, dan pendiri Gagas Media). Sedangkan kata istri saya, "Lihat, Abi sudah menyingkirkan 1.090 peserta! Ini hebat!" Ibu saya lain lagi. Mungkin tahu saya kecewa tidak jadi pemenang, Ibu menulis SMS ke adik saya, "Kakakmu masih mau ikut kontes-kontes lagi, nggak?"
Foto: Dwin FriansiFoto bersama: Para finalis berfoto bersama di atas panggung. Coba tebak, saya ada di mana?Apapun hasilnya, saya mensyukurinya. Toh, tulisan yang masuk nominasi ini justru tulisan kedua. Saya mengonsepnya secara mendadak, menulisnya dalam waktu kurang dari sejam, dan mendaftarkannya di detik-detik akhir waktu penyerahan naskah! Tulisan pertama yang saya konsep dengan matang dan ditulis lamaaa sekali, malah tidak masuk 100 besar. Jadi, masuk 20 besar saja sudah sebuah anugerah luar biasa. Soal tidak jadi pemenang utama, rasanya benar apa yang dikatakan Mas Ismail malam itu.
"Belum rejeki, Mas. Sabar..." Bisiknya sesaat setelah nama saya tidak terdapat dalam 3 besar. Ya, memang belum rejeki saya mempunyai Blackberry, juga belum rejeki saya memperoleh hadiah jutaan rupiah (meskipun saya sangat membutuhkannya untuk persiapan biaya kelahiran anak kedua sekitar akhir April atau awal Mei nanti). Jadi, syukuri saja apa yang sudah didapat. ^_^
Buat rekan-rekan pengunjung bungeko.com, saya ucapkan rasa terima kasih yang tulus dari dalam hati atas support-nya.
Published on March 18, 2011 06:27
March 16, 2011
Menuju Jakarta...
Oleh: Eko Nurhuda - Bung Eko dotcom
PUKUL 14.46 WIB tadi, handphone saya berdering. Tidak cuma sekali, tapi sampai dua kali, dan dua-duanya tidak saya ketahui. Saya baru masuk kamar sekitar pukul 15.15. Nomor Jakarta, dan tidak ada di phonebook. Tadinya saya pikir dari salah satu penerbit Jakarta yang saya kirimi naskah buku, rupanya telepon itu dari VHR Media, penyelenggara Beat Blog Contest 2011.
Alhamdulillah, dari Mbak Wiwik, staf VHR Media yang menelepon tadi, saya diberi tahu kalau salah satu posting yang saya ikut-sertakan dalam Beat Blog Contest terpilih sebagai salah satu dari 20 nominator. Untuk itu, saya mendapat undangan menghadiri acara network gathering yang menurut rencana digelar di Goethe Insitute, Jakarta Pusat, besok (Kamis, 17/03/2011) pukul 18.00-22.00 WIB.
Foto: http://rossrightangle.info
Goethe Institute, Jakarta: Ke gedung inilah saya akan menghadiri acara pucak Beat Blog Contest 2011 yang diadakan VHR Media.Awalnya saya tidak ingin hadir. Saya malah sudah menelepon adik saya yang di Jakarta untuk mewakili saya. Namun, setelah menimbang-nimbang saya memutuskan untuk datang langsung ke Jakarta. Bukan apa-apa, saya penasaran sekali dengan atmosfir acara yang tentunya bakal diikuti puluhan blogger dari mana-mana itu. Lagipula, saya sudah lama sekali tidak kopdar dengan sesama blogger. Terakhir kopdar ya dengan Mas Arif Fayantory di Semarang, Jumat (11/03/2011) belum lama ini.
Soal ongkos saya tidak perlu pusing. Sebagai salah satu nominator, saya sudah dipastikan memperoleh hadiah uang tunai sebanyak Rp500.000 cash. Rasanya uang begini banyak sudah lebih dari cukup untuk ongkos Pemalang-Jakarta PP. Berhubung saya tidak paham Jakarta, besar kemungkinan saya akan mengajak adik saya yang tinggal di sana. Teman saya di Jakarta rasanya bakal bertambah setelah Mas Ismail menyatakan bersedia menemani. Asyik... :D
Jadi, setelah diskusi singkat dengan istri barusan, saya memutuskan berangkat ke Jakarta sore ini juga. Ah, tiba-tiba ingat lagu Koes Plus, "Ke Jakarta aku kan kembali..." :D
PUKUL 14.46 WIB tadi, handphone saya berdering. Tidak cuma sekali, tapi sampai dua kali, dan dua-duanya tidak saya ketahui. Saya baru masuk kamar sekitar pukul 15.15. Nomor Jakarta, dan tidak ada di phonebook. Tadinya saya pikir dari salah satu penerbit Jakarta yang saya kirimi naskah buku, rupanya telepon itu dari VHR Media, penyelenggara Beat Blog Contest 2011.
Alhamdulillah, dari Mbak Wiwik, staf VHR Media yang menelepon tadi, saya diberi tahu kalau salah satu posting yang saya ikut-sertakan dalam Beat Blog Contest terpilih sebagai salah satu dari 20 nominator. Untuk itu, saya mendapat undangan menghadiri acara network gathering yang menurut rencana digelar di Goethe Insitute, Jakarta Pusat, besok (Kamis, 17/03/2011) pukul 18.00-22.00 WIB.
Foto: http://rossrightangle.infoGoethe Institute, Jakarta: Ke gedung inilah saya akan menghadiri acara pucak Beat Blog Contest 2011 yang diadakan VHR Media.Awalnya saya tidak ingin hadir. Saya malah sudah menelepon adik saya yang di Jakarta untuk mewakili saya. Namun, setelah menimbang-nimbang saya memutuskan untuk datang langsung ke Jakarta. Bukan apa-apa, saya penasaran sekali dengan atmosfir acara yang tentunya bakal diikuti puluhan blogger dari mana-mana itu. Lagipula, saya sudah lama sekali tidak kopdar dengan sesama blogger. Terakhir kopdar ya dengan Mas Arif Fayantory di Semarang, Jumat (11/03/2011) belum lama ini.
Soal ongkos saya tidak perlu pusing. Sebagai salah satu nominator, saya sudah dipastikan memperoleh hadiah uang tunai sebanyak Rp500.000 cash. Rasanya uang begini banyak sudah lebih dari cukup untuk ongkos Pemalang-Jakarta PP. Berhubung saya tidak paham Jakarta, besar kemungkinan saya akan mengajak adik saya yang tinggal di sana. Teman saya di Jakarta rasanya bakal bertambah setelah Mas Ismail menyatakan bersedia menemani. Asyik... :D
Jadi, setelah diskusi singkat dengan istri barusan, saya memutuskan berangkat ke Jakarta sore ini juga. Ah, tiba-tiba ingat lagu Koes Plus, "Ke Jakarta aku kan kembali..." :D
Published on March 16, 2011 03:19
March 12, 2011
Sehari di Semarang
Oleh: Eko Nurhuda - Bung Eko dotcom
KAMIS (10/3) siang jam 13.41 WIB, sebuah SMS dari satu nomer Simpati berakhiran 5555 masuk ke handphone saya. Isinya lugas, to the point, sekaligus membuat dada saya berdebar kencang saat membacanya. "Panggilan untuk Sdr.Eko pd hari jumat,10 maret 2011 jam 10.00..Ruang cybernews kantor suara merdeka jl. Pandanaran 30.. -HRD SM-" Begitulah isi SMS sesuai aslinya, yang ternyata salah tulis tanggal.
Deg! Jantung saya seolah berhenti berdetak. Bagaimana tidak? Saya memang pernah mengajukan lamaran ke Suara Merdeka CyberNews antara November atau Desember tahun lalu. Sudah sangat lama sekali, saya sendiri sudah tidak pernah mengingat-ingatnya. Lagipula saya merasa seperti pungguk merindukan bulan. Pikir saya mana mungkin aplikasi saya masuk kualifikasi karena banyak yang tidak sesuai dengan persyaratan.
Naik Kereta Api, Tut-tut-tut…
Foto: Flickr
Kaligung Ekspres: Kereta bisnis jarak pendek jurusan Tegal-Semarang yang saya naiki.Posisi yang ditawarkan editor, dengan syarat lulus D3 atau S1, sedangkan kuliah saya di program D3 Jurnalistik Akademi Komunikasi Yogyakarta (AKY) sejak 2003 lalu sampai sekarang belum selesai. Pengalaman di dunia jurnalistik juga cetek, "hanya" menjadi reporter magang di mingguan Malioboro Ekspres (sudah tidak terbit lagi) selama kurang-lebih 3 bulan, ditambah 2,5 bulan di Harian Jogja edisi Minggu. Jadi, mengirim lamaran ke Suara Merdeka CyberNews kala itu memang saya niatkan sebagai sebuah gambling. Siapa sangka kok justru nama saya termasuk dalam 6 kandidat yang dipanggil wawancara ke Semarang.
Begitulah. Sore itu juga saya segera mempersiapkan perjalanan ke Semarang. Dimulai dari mengontak adik perempuan saya yang bekerja di Tangerang untuk meminjam uang untuk ongkos dan bekal secukupnya, mengecek jadwal keberangkatan kereta Kaligung Ekspres di Stasiun Pemalang, mencukur rambut, dan menyiapkan apa-apa yang sekiranya diperlukan selama wawancara. Jumat (11/3) jam setengah 5 saya berboncengan dengan istri berangkat ke stasiun. Jam 05.11 kereta api Kaligung Ekspres yang saya tumpangi pun berangkat.
Saya belum pernah bepergian ke Semarang dari Pemalang, apalagi naik kereta api. Maka, perjalanan sekitar 2,5 jam hari itu sangat saya nikmati. Sisa kantuk gara-gara menonton pertandingan Liga Europa antara Sporting Braga vs Liverpool saya tahan-tahan sekuat mungkin demi melihat pemandangan yang terbentang sepanjang Pemalang-Semarang. Jam 8 kurang 10 menit, kereta pun sampai di Stasiun Poncol, Semarang. Ah, akhirnya saya kembali menginjakkan kaki di kota yang konon dulu bernama Asem Arang ini.
Mengulang Memori di Jl. Pandanaran
Foto: Flickr
Bandeng Juwana, di depannya persis kantor Suara Merdeka berada.Dengan hari itu, berarti saya sudah 3 kali datang ke Semarang. Kunjungan pertama sekitar November 2007, ketika rombongan mahasiswa AKY melakukan studi wisata ke Koran Sindo area Jateng-DIY (kini Koran Sindo Jateng dan DIY terpisah), Radio Trijaya FM, dan terakhir mangkal di Simpang 5 yang tersohor itu. Dari Simpang 5 itulah saya dan 2 teman iseng-iseng berjalan ke barat menyusuri jalan di selatan Masjid Agung, dan ujung-ujungnya membeli bandeng dan wingko ala kadarnya untuk oleh-oleh. Jalan itu ternyata bernama Jl. Pandanaran, di mana kantor Suara Merdeka berada.
Kunjungan kedua sekitar pertengahan 2008, berlangsung singkat karena judulnya menjenguk (waktu itu) calon kakak ipar di RS Karyadi. Jam 12 siang berangkat dari Jogja bermotor, sampai sekitar jam 5 sore, dan setengah jam kemudian sudah balik lagi ke Jogja. Lalu yang ketiga juga cuma numpang lewat, saya dan seorang teman iseng bermotor dari Jogja-Solo-Purwodadi-Kudus-Jepara lalu ke barat melewati Demak-Semarang-Weleri-Batang-Pekalongan dan finish di Pemalang, tempat (waktu itu) calon mertua. Setelah menginap semalam, pagi-paginya kami pulang ke Jogja dengan rute Pemalang-Purbalingga-Banjarnegara-Kebumen-Purworejo-Bantul dan berhenti di Kota Jogja (lewat jalur selatan).
Sungguh saya tak pernah menduga kalau 3,5 tahun kemudian saya bakal kembali lagi menyusuri Jl. Pandanaran. Kalau dulu jalan-jalan, maka kali ini saya berjalan mencari kantor Suara Merdeka. Ya, saya sengaja berjalan kaki dari Simpang 5 sampai ke depan kantor koran terbesar se-Jawa Tengah itu. Tentu saja keringat saya bercucuran, kaos dalam pun basah kuyup dibuatnya begitu sampai di tujuan. Untunglah ruang tunggu yang disediakan ber-AC, jadi ketika giliran saya tiba keringat dan pakaian sudah kering. Baunya? Emang gue pikirin! Hahaha…
Seperti wawancara-wawancara yang saya lakoni sebelumnya, kali itu bahan wawancaranya juga ringan-ringan saja. Durasinya pun cuma sekitar 15 menit. Dari sekian pertanyaan, hanya satu saja yang menyangkut langsung dengan dunia jurnalistik, yakni mengenai ritme kerja seorang editor situs berita. Selebihnya, saya bahkan diajak berpikir apa saja kendala yang akan saya hadapi jika harus ditempatkan di Semarang. Mulai dari tempat tinggal, kendaraan, adaptasi, dan lain-lain.
Saya mau diterima? Belum tahu. Yang jelas dari arah pembicaraannya saya menangkap sinyal positif. Kalau saya bersedia mengatasi kendala-kendala yang bakal terjadi, besar kemungkinan saya akan segera berkantor di Jl. Pandanaran No. 30 sebagai editor Suara Merdeka CyberNews. Tapi saya sendiri, setelah melakukan perhitungan di atas kertas, lebih memilih tetap di Pemalang. Jadi, semisal nanti HRD SM menelepon (seperti yang dijanjikan) saya akan coba minta posisi sebagai koresponden Pemalang saja. Meskipun gajinya bisa jadi jauh lebih kecil, tapi biaya hidup saya di Pemalang jauh lebih rendah dibanding jika harus pindah ke Semarang. Lagipula, saya tidak betah lama-lama jauh dari istri. Hehehe…
Tugu Muda, Lawang Sewu, dan Mas Arif Fayantory
Foto: The Jakarta Post
Lawang Sewu: Di depan bangunan bersejarah yang sedang dipugar inilah saya dan Mas Arif mengobrol selama sekitar 2,5 jam.Seusai wawancara, sekitar jam 12, saya berniat langsung pulang. Jadi, dari kantor SM saya berencana berjalan kaki ke arah barat, menuju persimpangan Tugu Muda, lalu bablas ke Stasiun Poncol di utara. Eh, baru sampai di depan Lawang Sewu, Mas Arif Fayantory SMS kalau dia sudah on the way ke Jl. Pandanaran. Kami sebenarnya sudah janjian sebelumnya di Matahari Simpang 5 begitu saya tiba di Semarang. Tapi entah kenapa saya tunggu sampai jam setengah 10 Mas Arif tidak datang-datang. Baru ketika saya mau pulang dari kantor SM dia SMS lagi.
Awalnya saya berencana mengejar kereta Kaligung ekonomi yang berangkat jam 13.00. Tapi masa iya cuma mau ketemu beberapa menit saja dengan Mas Arif? Rencana langsung saya ubah, kepulangan ke Pemalang ditunda. Kebetulan masih ada kereta Kaligung Ekspres bisnis yang berangkat jam 5 sore. Kami pun ngobrol panjang-lebar sambil makan buah di depan Lawang Sewu. Dan, inilah uniknya blogger. Baru ketemu sekali, tapi akrabnya sudah seperti berteman bertahun-tahun.
Topik pembicaraan kami, apalagi kalau bukan, seputar dunia blogging dan make money online. Dari Mas Arif saya banyak belajar tentang perkembangan program-program periklanan online, trik-trik menghasilkan earning berlimpah, dan kisah-kisah sukses rekan-rekan sesama blogger. Tapi kami juga ngobrol soal keluarga lho. Bagi saya ini adalah topik wajib setiap kali bertemu dengan teman yang lebih senior dan lebih berpengalaman mengarungi kehidupan rumah tangga.
Time To Go Home
Sejak awal Mas Arif meminta saya menginap barang semalam di rumahnya, di daerah Semarang Atas, sekitar sejam dari pusat kota. Tapi saya sudah terlanjur janji pulang sore itu juga sama istri. Ya sudah, apa boleh buat? Sekitar jam setangah 4 kami pun berpisah. Saya menyeberang jalan menuju ke Jl. Imam Bonjol untuk mencari angkutan ke Stasiun Poncol, sedangkan Mas Arif balik lagi ke Jl. Pandanaran untuk mencari angkutan ke Semarang Atas.
"Petualangan" saya di Semarang berakhir ketika kereta Kaligung Ekspres meninggalkan Stasiun Poncol jam 6 lebih. Ya, sayangnya perjalanan seharian di Semarang nan mengesankan itu harus berakhir dengan sedikit menjengkelkan: kereta molor sejam lebih dari jadwal! Ini ditambah derita saya karena harus berdiri sepanjang perjalanan karena tidak ada tempat secuil pun untuk duduk. Tapi tak apa. Saya tetap berharap dapat kembali lagi ke Semarang suatu ketika.

KAMIS (10/3) siang jam 13.41 WIB, sebuah SMS dari satu nomer Simpati berakhiran 5555 masuk ke handphone saya. Isinya lugas, to the point, sekaligus membuat dada saya berdebar kencang saat membacanya. "Panggilan untuk Sdr.Eko pd hari jumat,10 maret 2011 jam 10.00..Ruang cybernews kantor suara merdeka jl. Pandanaran 30.. -HRD SM-" Begitulah isi SMS sesuai aslinya, yang ternyata salah tulis tanggal.
Deg! Jantung saya seolah berhenti berdetak. Bagaimana tidak? Saya memang pernah mengajukan lamaran ke Suara Merdeka CyberNews antara November atau Desember tahun lalu. Sudah sangat lama sekali, saya sendiri sudah tidak pernah mengingat-ingatnya. Lagipula saya merasa seperti pungguk merindukan bulan. Pikir saya mana mungkin aplikasi saya masuk kualifikasi karena banyak yang tidak sesuai dengan persyaratan.
Naik Kereta Api, Tut-tut-tut…
Foto: FlickrKaligung Ekspres: Kereta bisnis jarak pendek jurusan Tegal-Semarang yang saya naiki.Posisi yang ditawarkan editor, dengan syarat lulus D3 atau S1, sedangkan kuliah saya di program D3 Jurnalistik Akademi Komunikasi Yogyakarta (AKY) sejak 2003 lalu sampai sekarang belum selesai. Pengalaman di dunia jurnalistik juga cetek, "hanya" menjadi reporter magang di mingguan Malioboro Ekspres (sudah tidak terbit lagi) selama kurang-lebih 3 bulan, ditambah 2,5 bulan di Harian Jogja edisi Minggu. Jadi, mengirim lamaran ke Suara Merdeka CyberNews kala itu memang saya niatkan sebagai sebuah gambling. Siapa sangka kok justru nama saya termasuk dalam 6 kandidat yang dipanggil wawancara ke Semarang.
Begitulah. Sore itu juga saya segera mempersiapkan perjalanan ke Semarang. Dimulai dari mengontak adik perempuan saya yang bekerja di Tangerang untuk meminjam uang untuk ongkos dan bekal secukupnya, mengecek jadwal keberangkatan kereta Kaligung Ekspres di Stasiun Pemalang, mencukur rambut, dan menyiapkan apa-apa yang sekiranya diperlukan selama wawancara. Jumat (11/3) jam setengah 5 saya berboncengan dengan istri berangkat ke stasiun. Jam 05.11 kereta api Kaligung Ekspres yang saya tumpangi pun berangkat.
Saya belum pernah bepergian ke Semarang dari Pemalang, apalagi naik kereta api. Maka, perjalanan sekitar 2,5 jam hari itu sangat saya nikmati. Sisa kantuk gara-gara menonton pertandingan Liga Europa antara Sporting Braga vs Liverpool saya tahan-tahan sekuat mungkin demi melihat pemandangan yang terbentang sepanjang Pemalang-Semarang. Jam 8 kurang 10 menit, kereta pun sampai di Stasiun Poncol, Semarang. Ah, akhirnya saya kembali menginjakkan kaki di kota yang konon dulu bernama Asem Arang ini.
Mengulang Memori di Jl. Pandanaran
Foto: FlickrBandeng Juwana, di depannya persis kantor Suara Merdeka berada.Dengan hari itu, berarti saya sudah 3 kali datang ke Semarang. Kunjungan pertama sekitar November 2007, ketika rombongan mahasiswa AKY melakukan studi wisata ke Koran Sindo area Jateng-DIY (kini Koran Sindo Jateng dan DIY terpisah), Radio Trijaya FM, dan terakhir mangkal di Simpang 5 yang tersohor itu. Dari Simpang 5 itulah saya dan 2 teman iseng-iseng berjalan ke barat menyusuri jalan di selatan Masjid Agung, dan ujung-ujungnya membeli bandeng dan wingko ala kadarnya untuk oleh-oleh. Jalan itu ternyata bernama Jl. Pandanaran, di mana kantor Suara Merdeka berada.
Kunjungan kedua sekitar pertengahan 2008, berlangsung singkat karena judulnya menjenguk (waktu itu) calon kakak ipar di RS Karyadi. Jam 12 siang berangkat dari Jogja bermotor, sampai sekitar jam 5 sore, dan setengah jam kemudian sudah balik lagi ke Jogja. Lalu yang ketiga juga cuma numpang lewat, saya dan seorang teman iseng bermotor dari Jogja-Solo-Purwodadi-Kudus-Jepara lalu ke barat melewati Demak-Semarang-Weleri-Batang-Pekalongan dan finish di Pemalang, tempat (waktu itu) calon mertua. Setelah menginap semalam, pagi-paginya kami pulang ke Jogja dengan rute Pemalang-Purbalingga-Banjarnegara-Kebumen-Purworejo-Bantul dan berhenti di Kota Jogja (lewat jalur selatan).
Sungguh saya tak pernah menduga kalau 3,5 tahun kemudian saya bakal kembali lagi menyusuri Jl. Pandanaran. Kalau dulu jalan-jalan, maka kali ini saya berjalan mencari kantor Suara Merdeka. Ya, saya sengaja berjalan kaki dari Simpang 5 sampai ke depan kantor koran terbesar se-Jawa Tengah itu. Tentu saja keringat saya bercucuran, kaos dalam pun basah kuyup dibuatnya begitu sampai di tujuan. Untunglah ruang tunggu yang disediakan ber-AC, jadi ketika giliran saya tiba keringat dan pakaian sudah kering. Baunya? Emang gue pikirin! Hahaha…
Seperti wawancara-wawancara yang saya lakoni sebelumnya, kali itu bahan wawancaranya juga ringan-ringan saja. Durasinya pun cuma sekitar 15 menit. Dari sekian pertanyaan, hanya satu saja yang menyangkut langsung dengan dunia jurnalistik, yakni mengenai ritme kerja seorang editor situs berita. Selebihnya, saya bahkan diajak berpikir apa saja kendala yang akan saya hadapi jika harus ditempatkan di Semarang. Mulai dari tempat tinggal, kendaraan, adaptasi, dan lain-lain.
Saya mau diterima? Belum tahu. Yang jelas dari arah pembicaraannya saya menangkap sinyal positif. Kalau saya bersedia mengatasi kendala-kendala yang bakal terjadi, besar kemungkinan saya akan segera berkantor di Jl. Pandanaran No. 30 sebagai editor Suara Merdeka CyberNews. Tapi saya sendiri, setelah melakukan perhitungan di atas kertas, lebih memilih tetap di Pemalang. Jadi, semisal nanti HRD SM menelepon (seperti yang dijanjikan) saya akan coba minta posisi sebagai koresponden Pemalang saja. Meskipun gajinya bisa jadi jauh lebih kecil, tapi biaya hidup saya di Pemalang jauh lebih rendah dibanding jika harus pindah ke Semarang. Lagipula, saya tidak betah lama-lama jauh dari istri. Hehehe…
Tugu Muda, Lawang Sewu, dan Mas Arif Fayantory
Foto: The Jakarta PostLawang Sewu: Di depan bangunan bersejarah yang sedang dipugar inilah saya dan Mas Arif mengobrol selama sekitar 2,5 jam.Seusai wawancara, sekitar jam 12, saya berniat langsung pulang. Jadi, dari kantor SM saya berencana berjalan kaki ke arah barat, menuju persimpangan Tugu Muda, lalu bablas ke Stasiun Poncol di utara. Eh, baru sampai di depan Lawang Sewu, Mas Arif Fayantory SMS kalau dia sudah on the way ke Jl. Pandanaran. Kami sebenarnya sudah janjian sebelumnya di Matahari Simpang 5 begitu saya tiba di Semarang. Tapi entah kenapa saya tunggu sampai jam setengah 10 Mas Arif tidak datang-datang. Baru ketika saya mau pulang dari kantor SM dia SMS lagi.
Awalnya saya berencana mengejar kereta Kaligung ekonomi yang berangkat jam 13.00. Tapi masa iya cuma mau ketemu beberapa menit saja dengan Mas Arif? Rencana langsung saya ubah, kepulangan ke Pemalang ditunda. Kebetulan masih ada kereta Kaligung Ekspres bisnis yang berangkat jam 5 sore. Kami pun ngobrol panjang-lebar sambil makan buah di depan Lawang Sewu. Dan, inilah uniknya blogger. Baru ketemu sekali, tapi akrabnya sudah seperti berteman bertahun-tahun.
Topik pembicaraan kami, apalagi kalau bukan, seputar dunia blogging dan make money online. Dari Mas Arif saya banyak belajar tentang perkembangan program-program periklanan online, trik-trik menghasilkan earning berlimpah, dan kisah-kisah sukses rekan-rekan sesama blogger. Tapi kami juga ngobrol soal keluarga lho. Bagi saya ini adalah topik wajib setiap kali bertemu dengan teman yang lebih senior dan lebih berpengalaman mengarungi kehidupan rumah tangga.
Time To Go Home
Sejak awal Mas Arif meminta saya menginap barang semalam di rumahnya, di daerah Semarang Atas, sekitar sejam dari pusat kota. Tapi saya sudah terlanjur janji pulang sore itu juga sama istri. Ya sudah, apa boleh buat? Sekitar jam setangah 4 kami pun berpisah. Saya menyeberang jalan menuju ke Jl. Imam Bonjol untuk mencari angkutan ke Stasiun Poncol, sedangkan Mas Arif balik lagi ke Jl. Pandanaran untuk mencari angkutan ke Semarang Atas.
"Petualangan" saya di Semarang berakhir ketika kereta Kaligung Ekspres meninggalkan Stasiun Poncol jam 6 lebih. Ya, sayangnya perjalanan seharian di Semarang nan mengesankan itu harus berakhir dengan sedikit menjengkelkan: kereta molor sejam lebih dari jadwal! Ini ditambah derita saya karena harus berdiri sepanjang perjalanan karena tidak ada tempat secuil pun untuk duduk. Tapi tak apa. Saya tetap berharap dapat kembali lagi ke Semarang suatu ketika.
Berhubung kamera saya rusak, terpaksa deh foto-fotonya mencomot di sembarang situs. Semoga hal ini tidak mengurangi kredibilitas posting ini.
Published on March 12, 2011 03:49
March 10, 2011
KLeybioard Rusakl
IOkleh: Eklio Nurhuda - Bung Eklio diotciom
JANGAN biongung duklu membaca judukl dan juga iosio piostiong ionio yang banyakl seklaklio typio aklioas saklah kletiokl,. Ceriotanya kleybioard kliomputer saya rusakl,. Penyebabnya klarena saya masioh numpang dio rumah mertua,. Klhio,. Apa hubungannya? Hubungannya adaklah saya tiodakl punya ruang klhusus untukl mengetiokl,. Kliomputer saya diotempatklan dio klamar tiodur dio mana saya bersama iostrio dan anakl tiodur,.
Fiotio: KLiokleklsio priobadio
Sio kleybioard rusakl iotu,.Nah,. Dio sionioklah penyakliotnya,. Sio kleciokl Damar seriong seklaklio mekliohat saya asyiokl mengetiokl dio depan kliomputer,. Namanya saja anakl kleciokl,. Klama-klama dioa tertariokl dengan kliomputer dan muklaio mendeklat,. Mungklion dioa kliorioa maionan,. Setioap klaklio saya klengah kleybioard dan miouse diobantiong-bantiong tanpa ampun,.
Seklaklio-dua klaklio tiodakl apa-apa,. Tapio seteklah terklaklu seriong diobantiong kleybioard-nya tiodakl tahan dan rusakl,. Aklioh-aklioh membeklio baru,. Saya cioba menyervios kleybioard rusakl iotu,."Jika barang atau aklat eklekltrioniok rusakl, makla tiodakl klangsung membuangnya menjadio kliombah atau sampah eklekltrioniokl yang berbahaya, tetapio berupaya dahuklu untukl meklakluklan perbaioklan atau repaior,."
gogreenindonesiaku.com Yah,. Hiotung-hiotung turut menyuklsesklan saklah satu program daklam 89 Priogram Gio Green IOndionesioaklu,. Tioh,. Masaklahnya cuma klabekl yang menghubungklan kleybioard dengan PC putus,. Jadio saya sambung saja klabeklnya,. Aklhamduklioklklah,. priobklem sioklved dan kleybioard mau menyakla,.
Eh,. Waklau mau menyakla ternyata fungsionya tiodakl biosa puklioh 100%,. Sejumklah tuts tiodakl beklerja sepertio seharusnya,. Klaklau tuts "KL" dan "KL" diokletiokl,. Kledua huruf maklah muncukl bersamaan,. Begiotu juga dengan tuts "IO" dan "IO",. "89" dan "89",. ",." dan ",.",. serta "<>" dan "<>",. Begiotuklah jadionya,. Piostiong ioniopun jadio aneh begionio,.
Biongung baca piostiong ionio? Nantio deh cioba saya ediot dan diopiostiong klagio besiokl,.
JANGAN biongung duklu membaca judukl dan juga iosio piostiong ionio yang banyakl seklaklio typio aklioas saklah kletiokl,. Ceriotanya kleybioard kliomputer saya rusakl,. Penyebabnya klarena saya masioh numpang dio rumah mertua,. Klhio,. Apa hubungannya? Hubungannya adaklah saya tiodakl punya ruang klhusus untukl mengetiokl,. Kliomputer saya diotempatklan dio klamar tiodur dio mana saya bersama iostrio dan anakl tiodur,.
Fiotio: KLiokleklsio priobadioSio kleybioard rusakl iotu,.Nah,. Dio sionioklah penyakliotnya,. Sio kleciokl Damar seriong seklaklio mekliohat saya asyiokl mengetiokl dio depan kliomputer,. Namanya saja anakl kleciokl,. Klama-klama dioa tertariokl dengan kliomputer dan muklaio mendeklat,. Mungklion dioa kliorioa maionan,. Setioap klaklio saya klengah kleybioard dan miouse diobantiong-bantiong tanpa ampun,.
Seklaklio-dua klaklio tiodakl apa-apa,. Tapio seteklah terklaklu seriong diobantiong kleybioard-nya tiodakl tahan dan rusakl,. Aklioh-aklioh membeklio baru,. Saya cioba menyervios kleybioard rusakl iotu,."Jika barang atau aklat eklekltrioniok rusakl, makla tiodakl klangsung membuangnya menjadio kliombah atau sampah eklekltrioniokl yang berbahaya, tetapio berupaya dahuklu untukl meklakluklan perbaioklan atau repaior,."
gogreenindonesiaku.com Yah,. Hiotung-hiotung turut menyuklsesklan saklah satu program daklam 89 Priogram Gio Green IOndionesioaklu,. Tioh,. Masaklahnya cuma klabekl yang menghubungklan kleybioard dengan PC putus,. Jadio saya sambung saja klabeklnya,. Aklhamduklioklklah,. priobklem sioklved dan kleybioard mau menyakla,.
Eh,. Waklau mau menyakla ternyata fungsionya tiodakl biosa puklioh 100%,. Sejumklah tuts tiodakl beklerja sepertio seharusnya,. Klaklau tuts "KL" dan "KL" diokletiokl,. Kledua huruf maklah muncukl bersamaan,. Begiotu juga dengan tuts "IO" dan "IO",. "89" dan "89",. ",." dan ",.",. serta "<>" dan "<>",. Begiotuklah jadionya,. Piostiong ioniopun jadio aneh begionio,.
Biongung baca piostiong ionio? Nantio deh cioba saya ediot dan diopiostiong klagio besiokl,.
Published on March 10, 2011 14:30
March 3, 2011
Ah, Ternyata Saya Pria Romantis...
Oleh: Eko Nurhuda - Bung Eko dotcom
TEPAT saat orang-orang merayakan Valentine's Day, 14 Februari lalu, blogDetik mengadakan kuis menarik sepanjang hari itu. Nama kuisnya Kuis Kejutan Cinta. Ya, temanya memang Hari Kasih Sayang, maka pertanyaan-pertanyaannya pun seputar romantis-romantisan. Iseng-iseng saya ikuti kuisnya. Total ada 6 kuis dengan pertanyaan dan hadiah berbeda-beda, tapi saya cuma ikut 4 kuis. Sisa 2 kuis saya lewati karena sudah harus pulang dari warnet.
Foto: bungeko.com
Begitu paketnya tiba, Damar anak saya (9,5 bulan) dan istri (cuma terlihat sebelah kaki dan tangannya) langsung merubungnya karena penasaran.Saya kira saya bukan pria romantis, jadi ikut Kuis Kejutan Cinta itu memang kegiatan iseng-iseng belaka. Melihat jawaban-jawaban dari peserta lain yang lebih muda, sebagian besar sepertinya masih anak-anak sekolah, terus terang saya pesimis. Eh, siapa sangka jika nama saya masuk daftar pemenang di kuis ke-2 yang dipublikasikan 16 Februari alias 2 hari setelah kuis digelar.
Hadiahnya lumayan, paket merchandise dari Speedy yang berisi kaos, topi, mug, ballpoint, dan blocknote. Asyiknya lagi, hadiah ini diberikan untuk saya dan pasangan. Artinya, saya bakal menerima sepasang kaos, sepasang topi, sepasang mug, sepasang ballpoint, dan sepasang blocknote. Tidak seperti hape Nokia Flexi Chatting yang tidak jadi saya dapatkan meskipun nama saya ada dalam daftar 10 pemenang blogDetik Writing Contest 'Inspiring Woman' pertengahan tahun lalu, alhamdulillah, kali ini hadiah Kuis Kejutan Cinta blogDetik sudah saya terima pada Jumat (4/3) kemarin via kurir JNE Pemalang. ^_^

Hore, akhirnya Damar bisa membuka paket dari blogDetik. Dan, inilah isinya: kaos, topi, mug, blocknote, dan ballpoint dari TelkomSpeedy, masing-masing 2 buah alias sepasang
(Foto: bungeko.com).
Oya, mau tahu pertanyaan kuisnya seperti apa? Pertanyaannya sebenarnya sangat sederhana dan tergolong klise, "Hal Romantis apa yang akan atau sudah kamu lakukan ke orang yang kamu sayangi di hari Valentine ini ??" Tapi untuk menjawabnya tetap saja membuat kepala puyeng. Setengah mengarang, saya pun menjawab seperti ini:
Foto: bungeko.com
Si kecil Damar sedang asyik mainan mug Speedy.
Bagaimana, romantis tidak jawabannya? Romantis tidak romantis, nyatanya saya dipilih jadi salah satu pemenang kuis tersebut. Jadi, mau tidak mau Bung harus mengakui kalau saya seorang pria romantis. Hehehe…
TEPAT saat orang-orang merayakan Valentine's Day, 14 Februari lalu, blogDetik mengadakan kuis menarik sepanjang hari itu. Nama kuisnya Kuis Kejutan Cinta. Ya, temanya memang Hari Kasih Sayang, maka pertanyaan-pertanyaannya pun seputar romantis-romantisan. Iseng-iseng saya ikuti kuisnya. Total ada 6 kuis dengan pertanyaan dan hadiah berbeda-beda, tapi saya cuma ikut 4 kuis. Sisa 2 kuis saya lewati karena sudah harus pulang dari warnet.
Foto: bungeko.comBegitu paketnya tiba, Damar anak saya (9,5 bulan) dan istri (cuma terlihat sebelah kaki dan tangannya) langsung merubungnya karena penasaran.Saya kira saya bukan pria romantis, jadi ikut Kuis Kejutan Cinta itu memang kegiatan iseng-iseng belaka. Melihat jawaban-jawaban dari peserta lain yang lebih muda, sebagian besar sepertinya masih anak-anak sekolah, terus terang saya pesimis. Eh, siapa sangka jika nama saya masuk daftar pemenang di kuis ke-2 yang dipublikasikan 16 Februari alias 2 hari setelah kuis digelar.
Hadiahnya lumayan, paket merchandise dari Speedy yang berisi kaos, topi, mug, ballpoint, dan blocknote. Asyiknya lagi, hadiah ini diberikan untuk saya dan pasangan. Artinya, saya bakal menerima sepasang kaos, sepasang topi, sepasang mug, sepasang ballpoint, dan sepasang blocknote. Tidak seperti hape Nokia Flexi Chatting yang tidak jadi saya dapatkan meskipun nama saya ada dalam daftar 10 pemenang blogDetik Writing Contest 'Inspiring Woman' pertengahan tahun lalu, alhamdulillah, kali ini hadiah Kuis Kejutan Cinta blogDetik sudah saya terima pada Jumat (4/3) kemarin via kurir JNE Pemalang. ^_^

Hore, akhirnya Damar bisa membuka paket dari blogDetik. Dan, inilah isinya: kaos, topi, mug, blocknote, dan ballpoint dari TelkomSpeedy, masing-masing 2 buah alias sepasang
(Foto: bungeko.com).
Oya, mau tahu pertanyaan kuisnya seperti apa? Pertanyaannya sebenarnya sangat sederhana dan tergolong klise, "Hal Romantis apa yang akan atau sudah kamu lakukan ke orang yang kamu sayangi di hari Valentine ini ??" Tapi untuk menjawabnya tetap saja membuat kepala puyeng. Setengah mengarang, saya pun menjawab seperti ini:
Foto: bungeko.comSi kecil Damar sedang asyik mainan mug Speedy.
Kebetulan saya sudah berkeluarga, jadi jawaban saya ya sebagai seorang suami kepada istrinya.
Hal paling romantis yang akan saya berikan sebagai kado Hari Kasih Sayang? Hmmm, satu hal yang terlintas di kepala saya adalah mengerjakan seluruh pekerjaan rumah (mulai dari mencuci baju, masak, menyaou rumah, mengepel, memandikan anak, menyuapi anak, mengasuh anak, dll) selama 24 jam di hari itu. Walau cuma satu hari, tapi mudah-mudahan ia tahu kalau saya siap melakukan apapun untuk menunjukkan kasih sayang padanya. ^_^
Bagaimana, romantis tidak jawabannya? Romantis tidak romantis, nyatanya saya dipilih jadi salah satu pemenang kuis tersebut. Jadi, mau tidak mau Bung harus mengakui kalau saya seorang pria romantis. Hehehe…
Published on March 03, 2011 23:35


