Eko Nurhuda's Blog, page 61
May 25, 2011
Head to Head Final Liga Champions Eropa 2011
Oleh: Eko Nurhuda - Bung Eko dotcom
DUEL super panas bertajuk final Liga Champions Eropa musim 2010/2011 bakal segera tersaji. Sabtu (28/5) mendatang, penggila bola di seluruh penjuru dunia bakal disuguhi pertandingan kelas dunia. FC Barcelona versus Manchester United, itulah 2 tim yang bakal bertanding di Stadion Wembley, London. Siapa yang bakal memenangkan duel super seru ini? Sebelum menebak-nebak, ada baiknya kita lihat dulu head to head kedua tim.
Melihat deretan trofi yang dipunyai kedua tim di level domestik, tentu tak diragukan bahwa keduanya merupakan jagoan masing-masing negara: Spanyol dan Inggris. Begitu juga jika melihat koleksi trofi regional dan internasional yang mereka punyai, semakin sahlah jika duel keduanya Sabtu (28/5) nanti dilabeli final super panas.
Siapa yang bakal menjadi juara Liga Champions 2010/2011? Kita tunggu saja...
DUEL super panas bertajuk final Liga Champions Eropa musim 2010/2011 bakal segera tersaji. Sabtu (28/5) mendatang, penggila bola di seluruh penjuru dunia bakal disuguhi pertandingan kelas dunia. FC Barcelona versus Manchester United, itulah 2 tim yang bakal bertanding di Stadion Wembley, London. Siapa yang bakal memenangkan duel super seru ini? Sebelum menebak-nebak, ada baiknya kita lihat dulu head to head kedua tim.
VS
Futbol Club Barcelona
29 November 1899
Estadio Camp Nou
Sandro Rosell
Josep "Pep" Guardiola
Lionel Messi, Xavi H.
La Liga (21 kali)
Copa del Rey (25)
Copa de la Liga (2)
Super Copa de Espana (9)
Copa Eva Duarte (4)
Liga Champions 3 kali (1992, 2006, 2009)
Piala UEFA 4 kali (1979, 1982, 1989, 1997)
FIFA Club World Cup (2009)
7 kali (1961, 1986, 1992, 1994, 2006, 2009, 2011)
2009 (2 tahun lalu)
Nama Klub
Berdiri
Stadion
Presiden
Pelatih
Pemain Kunci
Prestasi Lokal
Gelar Regional
Gelar Internasional
Final Liga Champions
Final Sebelumnya
Manchester United FC
1878, sbg. Newton Heath FC
Old Trafford
Joel & Avram Glazer
Alex Ferguson
Wayne Rooney, N. Vidić
Premiership (19 kali)
FA Cup (11)
Piala Liga (4)
FA Charity/Community Shield (18)
Liga Champions 3 kali (1968, 1999, 2008)
Piala Winner (1991)
UEFA Super Cup (1991)
Intercontinental Cup (1991)
FIFA Club World Cup (2008)
3 kali (1968, 1999, 2008)
2008 (3 tahun lalu)
Melihat deretan trofi yang dipunyai kedua tim di level domestik, tentu tak diragukan bahwa keduanya merupakan jagoan masing-masing negara: Spanyol dan Inggris. Begitu juga jika melihat koleksi trofi regional dan internasional yang mereka punyai, semakin sahlah jika duel keduanya Sabtu (28/5) nanti dilabeli final super panas.
Siapa yang bakal menjadi juara Liga Champions 2010/2011? Kita tunggu saja...
Published on May 25, 2011 15:30
May 24, 2011
Mourinho Bukan Pelatih Bintang
Oleh: Eko Nurhuda - Bung Eko dotcom
KEGAGALAN Real Madrid menuju final Liga Champions Eropa 2010/2011 seolah membenarkan asumsi saya bahwa Jose Mourinho masih belum pantas dijuluki pelatih terbaik dunia. Kenapa? Sebab, Mou mempunyai satu kelemahan: tidak bisa menangani tim bertabur bintang di turnamen antarklub Eropa!
Mari kita lihat jejak rekam The Special One. Nama Mou mulai diperhitungkan di kancah sepakbola Eropa ketika membawa Porto menjuarai Piala UEFA (kini Europa League) musim 2002/2003. Semusim berikutnya Mou membawa Porto menjuarai Liga Champions. Prestasi ini menjadi istimewa karena skuad Porto waktu itu sama sekali tidak diisi nama-nama mentereng. Malah dengan prestasi tersebut sejumlah pilar Porto menjadi bintang. Sebut saja Deco, Ricardo Cravalho, dan Paulo Ferreira.
Foto: esportmag.com
Mou, belum pantas terbaik.Ketika menangani Chelsea, Mourinho memiliki skuat yang jauh lebih mentereng dibanding Porto. Selain Frank Lampard dan John Terry yang sudah menghuni Chelsea sejak lama, Roman Abramovich mendatangkan bintang-bintang Eropa. Mulai dari rising star seperti Didier Drogba, Michael Essien, dan trio mantan anak asuhnya di Porto, pemain-pemain berpengalaman seperti Michael Ballack, Mateja Kezman dan Andriy Shevchenko juga sempat jadi penghuni Stamford Brigde. Sayang, sampai 3,5 musim di Chelsea Mou sama sekali tak bedaya di Liga Champions.
Mou kemudian ke Italia untuk menangani Inter. Di sini, Mou boleh dibilang tak punya pemain bintang. Mungkin hanya Wesley Sneijder dan Samuel Eto'o saja pemain Inter yang bisa dikategorikan sebagai bintang saat menjuarai Liga Champions 2009/2010. Sisanya adalah pemain "kelas dua". Ternyata Mourinho meninggalkan kesan manis berupa raihan treble winner ketika meninggalkan Inter.
Musim ini Mou menerima tantangan menangani klub bertabur bintang Real Madrid. Sesuai julukannya, Los Galacticos, skuad Madrid bertabur bintang. Mulai dari Karim Benzema, Ricardo Kaka, Cristiano Ronaldo, hingga bintang-bintang lokal Spanyol seperti Iker Casillas. Hasilnya? Musim ini bisa dipastikan hanya Copa del Rey saja gelar yang diberikan Mou untuk klub ibukota Spanyol tersebut. Tentu saja ini bukan prestasi mentereng bagi pelatih terbaik dunia dan tim dengan skuat bintang-bintang kelas wahid.
Well, berdasarkan fakta-fakta inilah saya menyebut Mourinho bukanlah seorang pelatih bintang. Bagaimana menurut pendapat Bung?

KEGAGALAN Real Madrid menuju final Liga Champions Eropa 2010/2011 seolah membenarkan asumsi saya bahwa Jose Mourinho masih belum pantas dijuluki pelatih terbaik dunia. Kenapa? Sebab, Mou mempunyai satu kelemahan: tidak bisa menangani tim bertabur bintang di turnamen antarklub Eropa!
Mari kita lihat jejak rekam The Special One. Nama Mou mulai diperhitungkan di kancah sepakbola Eropa ketika membawa Porto menjuarai Piala UEFA (kini Europa League) musim 2002/2003. Semusim berikutnya Mou membawa Porto menjuarai Liga Champions. Prestasi ini menjadi istimewa karena skuad Porto waktu itu sama sekali tidak diisi nama-nama mentereng. Malah dengan prestasi tersebut sejumlah pilar Porto menjadi bintang. Sebut saja Deco, Ricardo Cravalho, dan Paulo Ferreira.
Foto: esportmag.comMou, belum pantas terbaik.Ketika menangani Chelsea, Mourinho memiliki skuat yang jauh lebih mentereng dibanding Porto. Selain Frank Lampard dan John Terry yang sudah menghuni Chelsea sejak lama, Roman Abramovich mendatangkan bintang-bintang Eropa. Mulai dari rising star seperti Didier Drogba, Michael Essien, dan trio mantan anak asuhnya di Porto, pemain-pemain berpengalaman seperti Michael Ballack, Mateja Kezman dan Andriy Shevchenko juga sempat jadi penghuni Stamford Brigde. Sayang, sampai 3,5 musim di Chelsea Mou sama sekali tak bedaya di Liga Champions.
Mou kemudian ke Italia untuk menangani Inter. Di sini, Mou boleh dibilang tak punya pemain bintang. Mungkin hanya Wesley Sneijder dan Samuel Eto'o saja pemain Inter yang bisa dikategorikan sebagai bintang saat menjuarai Liga Champions 2009/2010. Sisanya adalah pemain "kelas dua". Ternyata Mourinho meninggalkan kesan manis berupa raihan treble winner ketika meninggalkan Inter.
Musim ini Mou menerima tantangan menangani klub bertabur bintang Real Madrid. Sesuai julukannya, Los Galacticos, skuad Madrid bertabur bintang. Mulai dari Karim Benzema, Ricardo Kaka, Cristiano Ronaldo, hingga bintang-bintang lokal Spanyol seperti Iker Casillas. Hasilnya? Musim ini bisa dipastikan hanya Copa del Rey saja gelar yang diberikan Mou untuk klub ibukota Spanyol tersebut. Tentu saja ini bukan prestasi mentereng bagi pelatih terbaik dunia dan tim dengan skuat bintang-bintang kelas wahid.
Well, berdasarkan fakta-fakta inilah saya menyebut Mourinho bukanlah seorang pelatih bintang. Bagaimana menurut pendapat Bung?
Catatan: Posting ini merupakan naskah asli surat pembaca berjudul Mou, Bukan Pelatih Bintang di rubrik 'Rumah Suporter' tabloid BOLA edisi 2.193, Sabtu-Minggu 7-8 Mei 2011.
Published on May 24, 2011 15:30
May 21, 2011
Sepak Bola Indonesia Siaga Satu
Oleh: Eko Nurhuda - Bung Eko dotcom
ENTAH disengaja atau tidak, hari pelaksanaan Kongres PSSI 2011 yang ditetapkan Komite Normalisasi (KN) bertepatan dengan peringatan Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas). Tanggal 20 Mei 1908, dr. Soetomo dan teman-temannya sesama mahasiswa kedokteran Stovia mendirikan Budi Utomo.
Organisasi berlandaskan kebangsaan Indonesia inilah yang menginspirasi bersatunya pejuang-pejuang kemerdekaan nasional dalam satu tujuan: kemerdekaan Indonesia. Sepuluh tahun kemudian, tepatnya pada 28 Oktober 1928, pemuda-pemuda seluruh Indonesia berkumpul di Surakarta(?). Hasilnya, lahirlah Sumpah Pemuda sebagai sikap bersama segenap generasi muda nusantara terhadap tanah airnya.
Foto: Soccerfact.com
Agum Gumelar, wewenangnya sebagai Ketua Komite Normalisasi PSSI digoyang Kelompok 78.Kongres PSSI yang dilaksanakan tepat saat Harkitnas pun tak pelak memunculkan optimisme. Hasil kongres diharapkan menjadi awal kebangkitan sepak bola nasional. Sejumlah pengamat bahkan menggadang-gadang 20 Mei 2011 sebagai Hari Kebangkitan Sepak Bola Nasional.
Kebetulan pula, sehari kemudian ada momen yang tak kalah penting dalam sejarah bangsa Indonesia. Tanggal 21 Mei 1998, Presiden Soeharto mundur dari jabatannya setelah berkuasa selama 32 tahun. Desakan reformasi yang disuarakan mahasiswa sejak setahun sebelumnya sukses meruntuhkan pemerintahan Orde baru yang korup. Era Reformasi bergulir membawa harapan baru.
Apa lacur, dua momen penting tersebut rupanya tak dihayati oleh sebagian peserta kongres. Kombinasi antara egoisme, aroganisme, kekeras-kepalaan, kebodohan, dan sifat materialistis dari sejumlah pihak membuat kongres buntu. Alih-alih menjadi awal kebangkitan sepak bola nasional, 20 Mei 2011 bisa jadi awal malapetaka. Sanksi FIFA mengintai Indonesia!
Kelompok 78 Ngotot
Buntunya Kongres PSSI tentu sangat disayangkan. Sebab, dengan agenda yang sudah jelas dan diketahui peserta kongres sebelumnya, semestinya tak perlu lagi ada pembahasan hal-hal yang tidak substansial.
Ini dia para pentolan K-78: Wisnu Wardhana, Usman Fakakubun, Saleh Mukadar, Halim Mahfudz, Dityo Pramono, Sihar Sitorus, dan Hadiyandra. Gugat mereka kalau sampai Indonesia dapat sanksi FIFA!!!Kengototan Kelompok 78 patut dituding sebagai penyebab buntunya Kongres PSSI. Selain ngotot mengegolkan GT-AP sebagai kandidat bakal calon duet pemimpin PSSI 2011-2015, kelompok ini juga ngotot menuntut Komisi Banding diberi kesempatan untuk menjelaskan alasan diterimanya banding jagoan mereka. Puncaknya, mereka ngotot meminta KN yang sekaligus bertindak sebagai pimpinan kongres diganti.
Kalau saja Kelompok 78 mau sedikit berpikir jernih, sesat pikir seperti itu tak akan terjadi, apalagi dipaksakan. GT-AP sudah jelas-jelas dicekal FIFA, dan ini bersifat final. Bukankah gugatan untuk FIFA yang mereka ajukan ke komite arbitrase olah raga (CAS) juga sudah ditolak? Sementara itu, penjelasan Komite Banding sejak awal memang tidak ada dalam agenda kongres.
Foto: Vivanews.com
Wisnu Wardhana, ngotot sampai mati demi GT-AP.Hal paling konyol tentu saja niat menggusur KN. Sebagai badan yang dibentuk langsung oleh FIFA, menyusul kacaunya Kongres Pekanbaru pada Maret silam, KN tidak bisa dimakzulkan oleh Kongres PSSI. Bahkan, sekalipun 101 pemilik hak suara sepakat mengganti KN, tidak ada satu forum pun dalam lingkup PSSI yang dapat melakukannya.
Alasan bahwa keberadaan KN melanggar Statuta PSSI dan juga Statuta FIFA jelas menunjukkan betapa Kelompok 78 tak memahami aturan main. Statuta PSSI, Statuta FIFA, serta perangkat peraturan lain terkait pemilihan kepengurusan hanya berlaku dalam kondisi normal. Masalahnya, kisruh di tubuh PSSI yang berujung pada rusuhnya Kongres Pekanbaru membuat FIFA beranggapan PSSI dalam masalah serius sehingga tidak mampu menjalankan fungsinya. Karena itulah Komite Darurat FIFA membentuk KN untuk menormalisasi PSSI. FIFA baru akan menganggap PSSI normal jika kepengurusan baru sudah terbentuk. Saat itulah segala macam statuta dan kode etik berlaku lagi.
Darurat dan tidak normal, seharusnya dua kata kunci itu menjadi pegangan Kelompok 78 dalam bersikap. Kalau saja mereka memahami situasi yang berkembang belakangan ini, berbesar hati menerima keputusan FIFA adalah keputusan terbaik. Ingat, sepak bola nasional jadi taruhannya!
Kini, sepak bola nasional benar-benar dalam kondisi darurat. Setelah PSSI dua kali gagal menggelar kongres, rasanya FIFA akan lebih mudah menjatuhkan sanksi untuk Indonesia. Jika itu terjadi, bak seorang pilot yang pesawatnya meluncur deras ke bawah tanpa terkendali, segenap pecinta sepak bola nasional rasanya pantas berteriak, "May day, may day..!"
ENTAH disengaja atau tidak, hari pelaksanaan Kongres PSSI 2011 yang ditetapkan Komite Normalisasi (KN) bertepatan dengan peringatan Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas). Tanggal 20 Mei 1908, dr. Soetomo dan teman-temannya sesama mahasiswa kedokteran Stovia mendirikan Budi Utomo.
Organisasi berlandaskan kebangsaan Indonesia inilah yang menginspirasi bersatunya pejuang-pejuang kemerdekaan nasional dalam satu tujuan: kemerdekaan Indonesia. Sepuluh tahun kemudian, tepatnya pada 28 Oktober 1928, pemuda-pemuda seluruh Indonesia berkumpul di Surakarta(?). Hasilnya, lahirlah Sumpah Pemuda sebagai sikap bersama segenap generasi muda nusantara terhadap tanah airnya.
Foto: Soccerfact.comAgum Gumelar, wewenangnya sebagai Ketua Komite Normalisasi PSSI digoyang Kelompok 78.Kongres PSSI yang dilaksanakan tepat saat Harkitnas pun tak pelak memunculkan optimisme. Hasil kongres diharapkan menjadi awal kebangkitan sepak bola nasional. Sejumlah pengamat bahkan menggadang-gadang 20 Mei 2011 sebagai Hari Kebangkitan Sepak Bola Nasional.
Kebetulan pula, sehari kemudian ada momen yang tak kalah penting dalam sejarah bangsa Indonesia. Tanggal 21 Mei 1998, Presiden Soeharto mundur dari jabatannya setelah berkuasa selama 32 tahun. Desakan reformasi yang disuarakan mahasiswa sejak setahun sebelumnya sukses meruntuhkan pemerintahan Orde baru yang korup. Era Reformasi bergulir membawa harapan baru.
Apa lacur, dua momen penting tersebut rupanya tak dihayati oleh sebagian peserta kongres. Kombinasi antara egoisme, aroganisme, kekeras-kepalaan, kebodohan, dan sifat materialistis dari sejumlah pihak membuat kongres buntu. Alih-alih menjadi awal kebangkitan sepak bola nasional, 20 Mei 2011 bisa jadi awal malapetaka. Sanksi FIFA mengintai Indonesia!
Kelompok 78 Ngotot
Buntunya Kongres PSSI tentu sangat disayangkan. Sebab, dengan agenda yang sudah jelas dan diketahui peserta kongres sebelumnya, semestinya tak perlu lagi ada pembahasan hal-hal yang tidak substansial.
Ini dia para pentolan K-78: Wisnu Wardhana, Usman Fakakubun, Saleh Mukadar, Halim Mahfudz, Dityo Pramono, Sihar Sitorus, dan Hadiyandra. Gugat mereka kalau sampai Indonesia dapat sanksi FIFA!!!Kengototan Kelompok 78 patut dituding sebagai penyebab buntunya Kongres PSSI. Selain ngotot mengegolkan GT-AP sebagai kandidat bakal calon duet pemimpin PSSI 2011-2015, kelompok ini juga ngotot menuntut Komisi Banding diberi kesempatan untuk menjelaskan alasan diterimanya banding jagoan mereka. Puncaknya, mereka ngotot meminta KN yang sekaligus bertindak sebagai pimpinan kongres diganti.
Kalau saja Kelompok 78 mau sedikit berpikir jernih, sesat pikir seperti itu tak akan terjadi, apalagi dipaksakan. GT-AP sudah jelas-jelas dicekal FIFA, dan ini bersifat final. Bukankah gugatan untuk FIFA yang mereka ajukan ke komite arbitrase olah raga (CAS) juga sudah ditolak? Sementara itu, penjelasan Komite Banding sejak awal memang tidak ada dalam agenda kongres.
Foto: Vivanews.comWisnu Wardhana, ngotot sampai mati demi GT-AP.Hal paling konyol tentu saja niat menggusur KN. Sebagai badan yang dibentuk langsung oleh FIFA, menyusul kacaunya Kongres Pekanbaru pada Maret silam, KN tidak bisa dimakzulkan oleh Kongres PSSI. Bahkan, sekalipun 101 pemilik hak suara sepakat mengganti KN, tidak ada satu forum pun dalam lingkup PSSI yang dapat melakukannya.
Alasan bahwa keberadaan KN melanggar Statuta PSSI dan juga Statuta FIFA jelas menunjukkan betapa Kelompok 78 tak memahami aturan main. Statuta PSSI, Statuta FIFA, serta perangkat peraturan lain terkait pemilihan kepengurusan hanya berlaku dalam kondisi normal. Masalahnya, kisruh di tubuh PSSI yang berujung pada rusuhnya Kongres Pekanbaru membuat FIFA beranggapan PSSI dalam masalah serius sehingga tidak mampu menjalankan fungsinya. Karena itulah Komite Darurat FIFA membentuk KN untuk menormalisasi PSSI. FIFA baru akan menganggap PSSI normal jika kepengurusan baru sudah terbentuk. Saat itulah segala macam statuta dan kode etik berlaku lagi.
Darurat dan tidak normal, seharusnya dua kata kunci itu menjadi pegangan Kelompok 78 dalam bersikap. Kalau saja mereka memahami situasi yang berkembang belakangan ini, berbesar hati menerima keputusan FIFA adalah keputusan terbaik. Ingat, sepak bola nasional jadi taruhannya!
Kini, sepak bola nasional benar-benar dalam kondisi darurat. Setelah PSSI dua kali gagal menggelar kongres, rasanya FIFA akan lebih mudah menjatuhkan sanksi untuk Indonesia. Jika itu terjadi, bak seorang pilot yang pesawatnya meluncur deras ke bawah tanpa terkendali, segenap pecinta sepak bola nasional rasanya pantas berteriak, "May day, may day..!"
Published on May 21, 2011 22:36
May 3, 2011
Stop Naturalisasi Pemain!
Oleh: Eko Nurhuda - Bung Eko dotcom
SETELAH dianggap sukses, program naturalisasi pemain yang dijalankan Badan Tim Nasional (BTN) semakin kencang. Menjelang SEA Games 2011 dan Prakualifikasi Piala Dunia 2014, tujuh pemain keturunan Indonesia yang berlaga di kompetisi luar negeri, plus dua pemain asing yang berkiprah di Liga Super Indonesia (LSI), siap diberi paspor hijau.
Dahaga publik akan prestasi dijadikan alasan bagi BTN untuk mengencangkan laju naturalisasi pemain. Target utama adalah merebut medali emas sepak bola di SEA Games mendatang. Target berikutnya, melangkah sejauh mungkin dalam Prakualifikasi Piala Dunia 2014. Bisa menjadi satu dari 32 tamu di Brasil tiga tahun mendatang tentu menjadi harapan kita semua. Namun, masuk ke babak utama prakualifikasi Asia saja sudah merupakan prestasi hebat.
Alasan lain, BTN menganggap proyek naturalisasi jilid I yang menghadirkan Cristian Gonzales sukses besar. Bersama Irfan Bachdim, striker kelahiran Uruguay ini tampil dominan di Piala AFF 2010 lalu. Dua golnya di dua laga semifinal kontra Filipina membawa Indonesia ke final. Crisgo dan Irfan pun jadi idola baru pecinta bola tanah air, menyingkirkan Bambang Pamungkas yang sebelumnya selalu dielu-elukan fans timnas.
Cristian Gonzales, belum bisa dibilang sukses.
Pertanyaannya, benarkah program naturalisasi sukses? Bila acuannya prestasi di Piala AFF 2010, jawabannya "BELUM", kalau tidak mau dikatakan "TIDAK".
Ingat, Indonesia sudah tiga kali mencapai final Piala AFF (dulu bernama Piala Tiger) jauh sebelum program naturalisasi digulirkan PSSI. Ketiganya bahkan dicapai secara beruntun, yakni di tahun 2000, 2002, dan 2004. Final tahun lalu adalah yang keempat. Soal performa, timnas Piala Asia 2007 di bawah pelatih Ivan Kolev tampil sangat trengginas tanpa "pemain asing". Artinya, prestasi timnas yang berisi pemain naturalisasi hanya mampu mengulangi alias menyamai pencapaian sebelumnya. Padahal, kita berharap hasil lebih baik dari program andalan BTN ini.
Dengan demikian, bolehkah disimpulkan jika program naturalisasi sejauh ini belum memberikan efek positif dari segi prestasi. Timnas Piala AFF 2010 seolah-olah sukses karena begitu massifnya ekspos media massa. Belum pernah media, terutama televisi dan tayangan infotainment, memberikan perhatian sedemikian besar pada timnas. Tak heran bila Alfred Riedl sampai merasa perlu mengkomplain wartawan karena menganggap ekspos media bakal mengganggu konsentrasi pemain.
Mengancam Regenerasi
Andai BTN mau berpikir lebih jauh, program naturalisasi sejatinya justru merusak pola pembinaan di tanah air. Hadirnya pemain-pemain dari luar LSI jelas membuat potensi lokal tergusur. Jangankan menaturalisasi pemain asing untuk timnas, terlalu banyak pemain asing di liga domestik saja sudah dapat merusak regenerasi pemain lokal.
Foto: sport.manadotoday.com
Stefano Lilipaly, "mengancam" pemain-pemain asli Indonesia.Ambil contoh Spanyol. Ketika Real Madrid jor-joran mengumpulkan bintang-bintang dunia ke Santiago Bernabeu, banyak sekali potensi muda asli Spanyol di Madrid yang lantas redup. Guti Hernandez salah satunya. Gelandang yang sempat menjadi harapan Spanyol ini tidak berkembang karena Madrid kala itu punya Zinedine Zidane, Luis Figo, dan lantas David Beckham. Era kejayaan Spanyol dimulai seiring dominannya Barcelona di La Liga. Berkebalikan dengan Madrid yang skuadnya lebih banyak diisi pemain asing, Barca malah mengandalkan jebolan akademinya sendiri. Kebijakan ini kian menguat di era Pep Guardiola. Dan, timnas Spanyol yang didominasi pemain-pemain Barca pun menjuarai Euro 2008, disusul Piala Dunia 2010.
Contoh berikutnya Inggris. Coba perhatikan, dari 8 tim papan atas Liga Primer Inggris yang bertarung di level Eropa, hanya Manchester City yang memasang kiper asli Inggris sebagai pilihan utama. Tim-tim elit seperti Manchester United, Arsenal, Chelsea, Liverpool, hingga Tottenham Hotspurs lebih memilih kiper asing. Akibatnya, kita sama-sama tahu kalau hingga kini Inggris masih kesulitan mencari sosok yang tepat di bawah mistar timnas.
"...penyebab mundurnya prestasi timnas adalah buruknya kompetisi dan sistem pembinaan. Akibat dari dua hal tersebut adalah jeleknya kualitas pemain yang dihasilkan untuk timnas."
-bungeko.comKembali ke program naturalisasi BTN, hendaknya program ini jangan dijadikan proyek jangka panjang. Percuma saja LSI digelar kalau untuk skuad timnas BTN justru sibuk mencari pemain keturunan Indonesia yang berlaga di kompetisi luar negeri. Bagaimana perasaan pemain-pemain lokal di LSI bila hal ini terus-menerus terjadi.
Bayangkan saja, untuk skuad SEA Games 2011 setidaknya ada empat slot yang dikhususkan untuk pemain naturalisasi. Mereka adalah Ruben Wuarbanaran, Stefano Lilipaly, Diego Michiels, dan Joey Suk. Berita jeleknya, bisa dipastikan keempat pemain ini bakal menjadi pilihan utama Riedl. Ini artinya, kesempatan pemain-pemain muda asli Indonesia untuk merasakan laga internasional di SEA Games tertutup.
Okelah kalau kemampuan para pemain naturalisasi tersebut jauh di atas pemain lokal. Pada kenyataannya, skill mereka, meminjam istilah Bambang Nurdiansyah, hanya rata-rata air alias tidak terlalu istimewa. Iklim kompetisi dan fasilitas pendukung yang lebih memadai saja yang membuat mereka terlihat berbeda kelas dibanding pemain lokal. Pendapat ini masuk akal. Sebab jika mereka betul-betul hebat, mana mungkin mereka mau membela Indonesia.
Jadi, penyebab mundurnya prestasi timnas adalah buruknya kompetisi dan sistem pembinaan. Akibat dari dua hal tersebut adalah jeleknya kualitas pemain yang dihasilkan untuk timnas. Kalau saja PSSI mampu menciptakan liga domestik seperti La Liga atau setidaknya Eredivisie, saya rasa BTN tidak perlu susah-susah keliling dunia mencari pemain keturunan Indonesia.
Bagaimana pendapat Bung?

SETELAH dianggap sukses, program naturalisasi pemain yang dijalankan Badan Tim Nasional (BTN) semakin kencang. Menjelang SEA Games 2011 dan Prakualifikasi Piala Dunia 2014, tujuh pemain keturunan Indonesia yang berlaga di kompetisi luar negeri, plus dua pemain asing yang berkiprah di Liga Super Indonesia (LSI), siap diberi paspor hijau.
Dahaga publik akan prestasi dijadikan alasan bagi BTN untuk mengencangkan laju naturalisasi pemain. Target utama adalah merebut medali emas sepak bola di SEA Games mendatang. Target berikutnya, melangkah sejauh mungkin dalam Prakualifikasi Piala Dunia 2014. Bisa menjadi satu dari 32 tamu di Brasil tiga tahun mendatang tentu menjadi harapan kita semua. Namun, masuk ke babak utama prakualifikasi Asia saja sudah merupakan prestasi hebat.
Alasan lain, BTN menganggap proyek naturalisasi jilid I yang menghadirkan Cristian Gonzales sukses besar. Bersama Irfan Bachdim, striker kelahiran Uruguay ini tampil dominan di Piala AFF 2010 lalu. Dua golnya di dua laga semifinal kontra Filipina membawa Indonesia ke final. Crisgo dan Irfan pun jadi idola baru pecinta bola tanah air, menyingkirkan Bambang Pamungkas yang sebelumnya selalu dielu-elukan fans timnas.
Cristian Gonzales, belum bisa dibilang sukses.Pertanyaannya, benarkah program naturalisasi sukses? Bila acuannya prestasi di Piala AFF 2010, jawabannya "BELUM", kalau tidak mau dikatakan "TIDAK".
Ingat, Indonesia sudah tiga kali mencapai final Piala AFF (dulu bernama Piala Tiger) jauh sebelum program naturalisasi digulirkan PSSI. Ketiganya bahkan dicapai secara beruntun, yakni di tahun 2000, 2002, dan 2004. Final tahun lalu adalah yang keempat. Soal performa, timnas Piala Asia 2007 di bawah pelatih Ivan Kolev tampil sangat trengginas tanpa "pemain asing". Artinya, prestasi timnas yang berisi pemain naturalisasi hanya mampu mengulangi alias menyamai pencapaian sebelumnya. Padahal, kita berharap hasil lebih baik dari program andalan BTN ini.
Dengan demikian, bolehkah disimpulkan jika program naturalisasi sejauh ini belum memberikan efek positif dari segi prestasi. Timnas Piala AFF 2010 seolah-olah sukses karena begitu massifnya ekspos media massa. Belum pernah media, terutama televisi dan tayangan infotainment, memberikan perhatian sedemikian besar pada timnas. Tak heran bila Alfred Riedl sampai merasa perlu mengkomplain wartawan karena menganggap ekspos media bakal mengganggu konsentrasi pemain.
Mengancam Regenerasi
Andai BTN mau berpikir lebih jauh, program naturalisasi sejatinya justru merusak pola pembinaan di tanah air. Hadirnya pemain-pemain dari luar LSI jelas membuat potensi lokal tergusur. Jangankan menaturalisasi pemain asing untuk timnas, terlalu banyak pemain asing di liga domestik saja sudah dapat merusak regenerasi pemain lokal.
Foto: sport.manadotoday.comStefano Lilipaly, "mengancam" pemain-pemain asli Indonesia.Ambil contoh Spanyol. Ketika Real Madrid jor-joran mengumpulkan bintang-bintang dunia ke Santiago Bernabeu, banyak sekali potensi muda asli Spanyol di Madrid yang lantas redup. Guti Hernandez salah satunya. Gelandang yang sempat menjadi harapan Spanyol ini tidak berkembang karena Madrid kala itu punya Zinedine Zidane, Luis Figo, dan lantas David Beckham. Era kejayaan Spanyol dimulai seiring dominannya Barcelona di La Liga. Berkebalikan dengan Madrid yang skuadnya lebih banyak diisi pemain asing, Barca malah mengandalkan jebolan akademinya sendiri. Kebijakan ini kian menguat di era Pep Guardiola. Dan, timnas Spanyol yang didominasi pemain-pemain Barca pun menjuarai Euro 2008, disusul Piala Dunia 2010.
Contoh berikutnya Inggris. Coba perhatikan, dari 8 tim papan atas Liga Primer Inggris yang bertarung di level Eropa, hanya Manchester City yang memasang kiper asli Inggris sebagai pilihan utama. Tim-tim elit seperti Manchester United, Arsenal, Chelsea, Liverpool, hingga Tottenham Hotspurs lebih memilih kiper asing. Akibatnya, kita sama-sama tahu kalau hingga kini Inggris masih kesulitan mencari sosok yang tepat di bawah mistar timnas.
"...penyebab mundurnya prestasi timnas adalah buruknya kompetisi dan sistem pembinaan. Akibat dari dua hal tersebut adalah jeleknya kualitas pemain yang dihasilkan untuk timnas."
-bungeko.comKembali ke program naturalisasi BTN, hendaknya program ini jangan dijadikan proyek jangka panjang. Percuma saja LSI digelar kalau untuk skuad timnas BTN justru sibuk mencari pemain keturunan Indonesia yang berlaga di kompetisi luar negeri. Bagaimana perasaan pemain-pemain lokal di LSI bila hal ini terus-menerus terjadi.
Bayangkan saja, untuk skuad SEA Games 2011 setidaknya ada empat slot yang dikhususkan untuk pemain naturalisasi. Mereka adalah Ruben Wuarbanaran, Stefano Lilipaly, Diego Michiels, dan Joey Suk. Berita jeleknya, bisa dipastikan keempat pemain ini bakal menjadi pilihan utama Riedl. Ini artinya, kesempatan pemain-pemain muda asli Indonesia untuk merasakan laga internasional di SEA Games tertutup.
Okelah kalau kemampuan para pemain naturalisasi tersebut jauh di atas pemain lokal. Pada kenyataannya, skill mereka, meminjam istilah Bambang Nurdiansyah, hanya rata-rata air alias tidak terlalu istimewa. Iklim kompetisi dan fasilitas pendukung yang lebih memadai saja yang membuat mereka terlihat berbeda kelas dibanding pemain lokal. Pendapat ini masuk akal. Sebab jika mereka betul-betul hebat, mana mungkin mereka mau membela Indonesia.
Jadi, penyebab mundurnya prestasi timnas adalah buruknya kompetisi dan sistem pembinaan. Akibat dari dua hal tersebut adalah jeleknya kualitas pemain yang dihasilkan untuk timnas. Kalau saja PSSI mampu menciptakan liga domestik seperti La Liga atau setidaknya Eredivisie, saya rasa BTN tidak perlu susah-susah keliling dunia mencari pemain keturunan Indonesia.
Bagaimana pendapat Bung?
NB: Posting ini merupakan naskah asli untuk rubrik 'Oposan' di Tabloid BOLA. Alhamdulillah, dimuat di BOLA edisi 2.186, Kamis-Jumat 21-22 April 2011. Sayangnya, alih-alih dimuat di rubrik 'Oposan', opini saya ini dimuat di rubrik 'Ola Ole'. Ya, tak apalah. ^_^
Published on May 03, 2011 15:30
April 30, 2011
NTLDR is Missing...
Oleh: Eko Nurhuda - Bung Eko dotcom
SELANG dua hari setelah Diandra lahir, adik perempuan saya yang di Jakarta datang ke Pemalang. Tujuan pertama malah mau tilik (=menjenguk) Damar, kakaknya Diandra. Tujuan kedua baru tilik si bayi sendiri. Nah, tujuan ketiganya adalah untuk meminjami saya laptop karena komputer saya rusak dan belum bisa membeli beberapa hardware yang harus diganti.
Adik saya membawa laptop Axioo NEON MNC yang ia beli di Glodok. Dan saya langsung suka pada pandangan pertama. Satu-satunya yang membuat saya kurang sreg dengan laptop itu adalah partisi harddisk-nya yang cuma dua, serta banyaknya virus shortcut di hampir seluruh bagian. So, PR pertama saya sebelum bisa bebas memakai laptop pinjaman si adik ini untuk menulis, adalah menginstal ulang sekaligus membagi harddisk-nya menjadi setidaknya empat bagian biar lebih nyaman.
NTLDR is Missing?
Foto: Axioo-shop.com
Axioo NEON MNC, murah meriah...Berkat pergaulan dengan teman-teman jurusan TI/TK selama di Jogja, kalau cuma instal ulang dan partisi harddisk saja saya bisa. Well, sekitar sejam saja laptop itu sudah dipartisi sesuai keinginan, plus operating system-nya juga sudah memakai Windows XP yang biasa saya pakai selama ini. Tapi, maaf sekali, CD-nya bajakan. Itu pun hasil mengopi dari teman yang juga membajak. Don't try it at home, ya? Kasihan Bill Gates kalau program-program Microsoft dibajak terus. (^_^)
Masalah timbul ketika sehari kemudian tiba-tiba saja bermunculan balon-balon dialog di pojok kanan bawah monitor, memberi tahu sejumlah file di drive C: corrupt. Hmmm, alamat tidak enak ini. Benar saja. Ketika kemudian saya restart, alih-alih booting, monitor laptop itu malah menampilkan layar hitam pekat dengan tulisan putih berbunyi, "NTLDR is missing". Lalu di bawahnya ada tulisan, "Press Ctrl+Alt+Del to restart".
Foto: Lupa sumbernya
NTLDR is Missing: Bikin bingung saya selama semalaman.Deg! Jantung saya langsung berdegup kencang. NTLDR? Apa itu? Seumur-umur memakai komputer, baru sekali ini saya menjumpai pesan serupa itu. Jadi, maklum saja kalau saya tidak tahu apa maksudnya. Yang saya tahu, laptop pinjaman di depan saya tidak mau booting, apalagi masuk ke Windows. Bahasa gampangnya, laptop itu tidak bisa dipakai! So, saya harus mencari tahu apa itu NTLDR dan bagaimana cara mengatasi problem tersebut.
Pada Google Kubertanya
Alhasil, saya jadi kelabakan dibuatnya. Pertama-tama mengirim SMS ke teman-teman 'ahli komputer' di Jogja. Setelah jawabannya dirasa kurang memuaskan, saya telpon satu-satu. Tetap juga tidak ada titik terang. Rata-rata teman saya bilang, "Wah, kalau tidak lihat sendiri susah je." Hmmm, ke mana lagi harus bertanya nih?
Ting! Tiba-tiba saja saya ingat internet, ingat Google. Begitulah. Setelah menidurkan Damar, saya langsung berangkat ke warnet, membuka Google, dan langsung searching segala hal seputar hilangnya si NTLDR ini. Alhamdulillah, Google langsung memberi daftar sumber-sumber yang bisa saya percayai untuk mencari tahu tentang NTLDR dan bagaimana cara mengatasi problem NTLDR is missing.
Dan, posting ini boleh dibilang merupakan hasil sampingan dari proses pencarian saya. Sekedar intermezzo, sama sekali tidak berniat membuat panduan atau tutorial.
SELANG dua hari setelah Diandra lahir, adik perempuan saya yang di Jakarta datang ke Pemalang. Tujuan pertama malah mau tilik (=menjenguk) Damar, kakaknya Diandra. Tujuan kedua baru tilik si bayi sendiri. Nah, tujuan ketiganya adalah untuk meminjami saya laptop karena komputer saya rusak dan belum bisa membeli beberapa hardware yang harus diganti.
Adik saya membawa laptop Axioo NEON MNC yang ia beli di Glodok. Dan saya langsung suka pada pandangan pertama. Satu-satunya yang membuat saya kurang sreg dengan laptop itu adalah partisi harddisk-nya yang cuma dua, serta banyaknya virus shortcut di hampir seluruh bagian. So, PR pertama saya sebelum bisa bebas memakai laptop pinjaman si adik ini untuk menulis, adalah menginstal ulang sekaligus membagi harddisk-nya menjadi setidaknya empat bagian biar lebih nyaman.
NTLDR is Missing?
Foto: Axioo-shop.comAxioo NEON MNC, murah meriah...Berkat pergaulan dengan teman-teman jurusan TI/TK selama di Jogja, kalau cuma instal ulang dan partisi harddisk saja saya bisa. Well, sekitar sejam saja laptop itu sudah dipartisi sesuai keinginan, plus operating system-nya juga sudah memakai Windows XP yang biasa saya pakai selama ini. Tapi, maaf sekali, CD-nya bajakan. Itu pun hasil mengopi dari teman yang juga membajak. Don't try it at home, ya? Kasihan Bill Gates kalau program-program Microsoft dibajak terus. (^_^)
Masalah timbul ketika sehari kemudian tiba-tiba saja bermunculan balon-balon dialog di pojok kanan bawah monitor, memberi tahu sejumlah file di drive C: corrupt. Hmmm, alamat tidak enak ini. Benar saja. Ketika kemudian saya restart, alih-alih booting, monitor laptop itu malah menampilkan layar hitam pekat dengan tulisan putih berbunyi, "NTLDR is missing". Lalu di bawahnya ada tulisan, "Press Ctrl+Alt+Del to restart".
Foto: Lupa sumbernyaNTLDR is Missing: Bikin bingung saya selama semalaman.Deg! Jantung saya langsung berdegup kencang. NTLDR? Apa itu? Seumur-umur memakai komputer, baru sekali ini saya menjumpai pesan serupa itu. Jadi, maklum saja kalau saya tidak tahu apa maksudnya. Yang saya tahu, laptop pinjaman di depan saya tidak mau booting, apalagi masuk ke Windows. Bahasa gampangnya, laptop itu tidak bisa dipakai! So, saya harus mencari tahu apa itu NTLDR dan bagaimana cara mengatasi problem tersebut.
Pada Google Kubertanya
Alhasil, saya jadi kelabakan dibuatnya. Pertama-tama mengirim SMS ke teman-teman 'ahli komputer' di Jogja. Setelah jawabannya dirasa kurang memuaskan, saya telpon satu-satu. Tetap juga tidak ada titik terang. Rata-rata teman saya bilang, "Wah, kalau tidak lihat sendiri susah je." Hmmm, ke mana lagi harus bertanya nih?
Ting! Tiba-tiba saja saya ingat internet, ingat Google. Begitulah. Setelah menidurkan Damar, saya langsung berangkat ke warnet, membuka Google, dan langsung searching segala hal seputar hilangnya si NTLDR ini. Alhamdulillah, Google langsung memberi daftar sumber-sumber yang bisa saya percayai untuk mencari tahu tentang NTLDR dan bagaimana cara mengatasi problem NTLDR is missing.
Dan, posting ini boleh dibilang merupakan hasil sampingan dari proses pencarian saya. Sekedar intermezzo, sama sekali tidak berniat membuat panduan atau tutorial.
Published on April 30, 2011 02:16
April 27, 2011
Selamat Datang, Diandra...
Oleh: Eko Nurhuda - Bung Eko dotcom
TEPAT sehari menjelang Hari Kartini, alhamdulillah, anak kedua saya lahir. Waktu persisnya adalah pada Rabu, 20 April 2011, pukul 19.00 WIB. Seorang bayi perempuan, bobotnya 2,8 kg. Setelah berdiskusi panjang bersama istri, mertua, adik-adik, dan juga orang tua saya di Jambi, akhirnya gadis kecil kami ini diberi nama Diandra Prameshwari Cahyaningtyas.
Artinya apa? Sang kakek, alias bapaknya istri saya, pengen nama Dian. Kebetulan kakaknya, anak pertama kami yang lahir 19 Mei 2010 lalu, diberi nama Fadhiil Akbar Damar Panuluh. Nah, Dian dan Damar itu artinya sama, yakni "lampu". Jadi, rasanya cocok deh. Kakaknya Damar, adiknya Dian.
Namun, saya merasa kurang sreg kalau cuma Dian saja, maka saya tambahkan frasa "dra". Ini adalah singkatan dari kata "candra" atau "condro" dalam bahasa Jawa, artinya "bulan". Kebetulan si kecil lahir pas tanggal 16 menurut perhitungan Jawa, tepat saat bulan purnama. Kata "diandra" juga bisa dipanjangkan (atau diplesetkan?) menjadi "dianing condro" alias "cahaya rembulan", menandakan kalau anak kedua saya ini lahir menjelang malam berbulan.
Foto: Maulana Tri SC
Diandra, gadis kecilku.
Kata "prameshwari" sendiri merupakan sumbangan dari ibu saya di Jambi. Artinya "istri raja" atau "permaisuri". Tentu saja saya tidak berharap gadis kecil ini kelak jadi istri raja. Cukuplah ia menjadi berbudi sehalus dan bersikap sebaik seorang permaisuri. Dan, mudah-mudahan juga wajah dan penampilannya semenarik seorang permaisuri. Hmmm, orang tua mana sih yang tidak ingin punya anak gadis secantik Balqis, Ratu Kerajaan Saba', atau Cleopatra, Ratu Mesir Kuno?
Terakhir, kata "cahyaningtyas" adalah bahasa Jawa. Terdiri dari kata "cahya" atau "cahyo" yang berarti "cahaya", dan kata "tyas" yang berarti "hati" atau "jiwa". Kedua kata ini dihubungkan dengan kata "ing" atau di sini menjadi "ning" karena kata "cahya" berakhiran huruf vokal. Artinya kurang lebih "of" dalam tata bahasa Inggris. Jadi, "cahyaningtyas" bisa diartikan sebagai "cahaya hati" atau "cahaya jiwa".
Well, orang boleh bilang, "Apalah arti sebuah nama". Bagi saya, nama adalah doa. Amin...
TEPAT sehari menjelang Hari Kartini, alhamdulillah, anak kedua saya lahir. Waktu persisnya adalah pada Rabu, 20 April 2011, pukul 19.00 WIB. Seorang bayi perempuan, bobotnya 2,8 kg. Setelah berdiskusi panjang bersama istri, mertua, adik-adik, dan juga orang tua saya di Jambi, akhirnya gadis kecil kami ini diberi nama Diandra Prameshwari Cahyaningtyas.
Artinya apa? Sang kakek, alias bapaknya istri saya, pengen nama Dian. Kebetulan kakaknya, anak pertama kami yang lahir 19 Mei 2010 lalu, diberi nama Fadhiil Akbar Damar Panuluh. Nah, Dian dan Damar itu artinya sama, yakni "lampu". Jadi, rasanya cocok deh. Kakaknya Damar, adiknya Dian.
Namun, saya merasa kurang sreg kalau cuma Dian saja, maka saya tambahkan frasa "dra". Ini adalah singkatan dari kata "candra" atau "condro" dalam bahasa Jawa, artinya "bulan". Kebetulan si kecil lahir pas tanggal 16 menurut perhitungan Jawa, tepat saat bulan purnama. Kata "diandra" juga bisa dipanjangkan (atau diplesetkan?) menjadi "dianing condro" alias "cahaya rembulan", menandakan kalau anak kedua saya ini lahir menjelang malam berbulan.
Foto: Maulana Tri SCDiandra, gadis kecilku.
Kata "prameshwari" sendiri merupakan sumbangan dari ibu saya di Jambi. Artinya "istri raja" atau "permaisuri". Tentu saja saya tidak berharap gadis kecil ini kelak jadi istri raja. Cukuplah ia menjadi berbudi sehalus dan bersikap sebaik seorang permaisuri. Dan, mudah-mudahan juga wajah dan penampilannya semenarik seorang permaisuri. Hmmm, orang tua mana sih yang tidak ingin punya anak gadis secantik Balqis, Ratu Kerajaan Saba', atau Cleopatra, Ratu Mesir Kuno?
Terakhir, kata "cahyaningtyas" adalah bahasa Jawa. Terdiri dari kata "cahya" atau "cahyo" yang berarti "cahaya", dan kata "tyas" yang berarti "hati" atau "jiwa". Kedua kata ini dihubungkan dengan kata "ing" atau di sini menjadi "ning" karena kata "cahya" berakhiran huruf vokal. Artinya kurang lebih "of" dalam tata bahasa Inggris. Jadi, "cahyaningtyas" bisa diartikan sebagai "cahaya hati" atau "cahaya jiwa".
Well, orang boleh bilang, "Apalah arti sebuah nama". Bagi saya, nama adalah doa. Amin...
Published on April 27, 2011 03:18
April 20, 2011
Safee Mirip Saya?
Oleh: Eko Nurhuda - Bung Eko dotcom
SUATU sore, saat saya sedang asyik menonton pertandingan Liga Super Indonesia antara Pelita Jaya melawan Deltras di Sidoarjo, handphone saya berbunyi. Nada pesan singkat alias SMS, ternyata dari Kang Nawar. Sejenak kemudian saya tertawa terpingkal-pingkal dibuatnya. "Ah, Kang Nawar ini ada-ada saja!" Begitu kata saya dalam hati sambil geleng-geleng kepala.
Apa sih kata Kang Nawar dalam SMS-nya? "Sepintas wajah safee salee mirip wajah bung eko?" Begitu katanya. Bagaimana saya tidak tertawa terpingkal-pingkal dibuatnya? Entah bagaimana ceritanya sampai-sampai Kang Nawar bisa punya kesimpulan begitu. Saya sendiri baru mulai memperhatikan wajah Safee, orang yang paling tidak saya sukai di Piala AFF 2010 lalu, setelah membawa SMS tersebut.
Daripada penasaran, saya pun coba membanding-bandingkan diri sendiri dengan Safee. Dan, inilah tabel hasil perbandingan yang saya buat:
Nah, setelah melihat tabel di atas, apakah Bung sepakat dengan SMS Kang Nawar? Atau malah dengan tegas bilang, "Mirip dari Hong Kong?" Hahaha...
SUATU sore, saat saya sedang asyik menonton pertandingan Liga Super Indonesia antara Pelita Jaya melawan Deltras di Sidoarjo, handphone saya berbunyi. Nada pesan singkat alias SMS, ternyata dari Kang Nawar. Sejenak kemudian saya tertawa terpingkal-pingkal dibuatnya. "Ah, Kang Nawar ini ada-ada saja!" Begitu kata saya dalam hati sambil geleng-geleng kepala.
Apa sih kata Kang Nawar dalam SMS-nya? "Sepintas wajah safee salee mirip wajah bung eko?" Begitu katanya. Bagaimana saya tidak tertawa terpingkal-pingkal dibuatnya? Entah bagaimana ceritanya sampai-sampai Kang Nawar bisa punya kesimpulan begitu. Saya sendiri baru mulai memperhatikan wajah Safee, orang yang paling tidak saya sukai di Piala AFF 2010 lalu, setelah membawa SMS tersebut.
Daripada penasaran, saya pun coba membanding-bandingkan diri sendiri dengan Safee. Dan, inilah tabel hasil perbandingan yang saya buat:
VS
Mohd. Safee bin Mohd. Sali
29 Januari 1984
Kajang, Selangor
Laki-laki (belum terbukti)
170 cm & (?)
Belum beristri
Belum beranak (hahaha...)
Pesepak bola
(1) Top Scorer Piala AFF 2010
(2) Juara Piala AFF 2010 (Malaysia)
(3) Juara Malaysia Super League 2010 (Selangor FC)
(4) Juara Piala Merdeka 2007 (Malaysia U-23)
Nama Lengkap
Tanggal Lahir
Tempat Lahir
Jenis Kelamin
Tinggi & Berat Badan
Nama Istri
Nama Anak
Profesi
Prestasi
Eko Nurhuda
10 Desember 1982
Palembang, Sumsel
Laki-laki (terbukti!)
171 cm & 85 kg
Ratna Dewi
F.A. Damar Panuluh
Tidak jelas
(1) Finalis/20 besar Beat Blog Writing Contest 2011
(2) Salah satu pemenang Blogdetik Writing Contest "Inspiring Woman" 2010
(3) Juara 3 kontes menulis yang diadakan oleh BlogIsmail.com 2010
(4) Apa lagi?
Nah, setelah melihat tabel di atas, apakah Bung sepakat dengan SMS Kang Nawar? Atau malah dengan tegas bilang, "Mirip dari Hong Kong?" Hahaha...
Published on April 20, 2011 00:21
April 17, 2011
Rindu Pesepak Bola Tionghoa
Oleh: Eko Nurhuda - Bung Eko dotcom
KONON, nenek moyang bangsa Indonesia adalah orang Yunan, sebuah wilayah yang sekarang menjadi bagian dari Republik Rakyat Cina. Dirunut lebih dekat lagi, sejarah mencatat orang Tionghoa sudah tinggal di kepulauan Nusantara sejak sekitar abad ke-4.
Melihat fakta ini, tak heran jika peran orang Tionghoa sangat kental mewarnai perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Peran tersebut juga tampak nyata di dunia sepak bola. Bahkan, mengutip Srie Agustina Palupi dalam buku Politik dan Sepak Bola di Jawa 1920-1942, dari orang-orang Tionghoa-lah penduduk pribumi mengenal sepak bola.
Sebelum PSSI lahir, orang-orang Tionghoa mendirikan Hwa Nan Voetbal Bond (HNVB). Organisasi sepak bola ini dibentuk untuk 'menyaingi' Nederlandsch Indische Voetbal Bond (NIVB) yang Belanda-sentris. Klub-klub anggota HNVB pun sudah ada sebelum kaum bumiputra ramai bermain sepak bola. Sebutlah klub Union Makes Strength (UMS), Tionghoa (kini Suryanaga), dan Tjung Hwa (kini PS Tunas Jaya).
Foto: Wikipedia
Endang Witarsa: Mantan pemain dan pelatih timnas Indonesia. Ia lahir dengan nama Liem Soen Joe.Yang bikin bangga, ketika PSSI didirikan klub-klub milik orang Tionghoa memilih bergabung dengan klub-klub perserikatan di bawah naungan PSSI. Klub UMS bergabung dengan Voetbalbond Indonesia Jacatra (VIJ, kini Persija), sedangkan klub Tionghoa bergabung dengan Soerabajasche Indonesische Voetbalbond (SIVB, kini Persebaya).
Hal ini membuat kekuatan PSSI berlipat ganda. NIVB yang kemudian berganti nama menjadi Nederlandsch Indische Voetbal Unie (NIVU) dibuat gentar karenanya. Apalagi dalam berbagai kesempatan tim PSSI selalu dapat mengungguli tim NIVU. Dalam kompetisi PSSI ke III tahun 1933 di Surabaya, SIVB yang diperkuat bintang-bintang andalan NIVU kalah 1-2 melawan VIJ. Kemudian dalam satu kesempatan uji coba dengan tim Nan Hwa dari Cina di Semarang tahun 1937, tim PSSI menang 2-0. Padahal sebelumnya tim NIVU dibekuk 0-4 oleh Nan Hwa.
Ketangguhan Indonesia mulai menjadi buah bibir, membuat FIFA mengundang Indonesia untuk mewakili Asia dalam Piala Dunia 1938. Sayang, kesempatan tersebut 'direbut' NIVU sehingga yang tampil adalah tim bentukan NIVU, bukan PSSI. Meski begitu, NIVU membawa banyak pemain Tionghoa ke Prancis. Sebutlah Tan Mo Heng, kiper andalan SIVB, bersama Tan Siong Houw, dan Pan Hong Tjien.
Di awal-awal kompetisi perserikatan yang diadakan PSSI, pemain Tionghoa mendominasi posisi penting di berbagai tim elit. Persija (VIJ) sempat punya gelandang jempolan seperti Tan Liong Houw (Latief Haris Tanoto) dan Thio Him Tjiang. Berikutnya ada bek tangguh Fan Tek Fong (Hadi Mulyadi) di lini belakang Macan Kemayoran. Jangan lupakan pemain bintang yang lantas menjadi pelatih Persija, drg. Endang Witarsa (Liem Soen Joe).
Union Makes Strength (UMS)Persebaya setali tiga uang. Pada era 1940-an dan 1950-an, Bajul Ijo punya trio penyerang maut berdarah Tionghoa: Tee San Liong, Bhe Ing Hien, dan Liem Tiong Hoo (dr. Hendro Hoediono). Selain ketiganya masih ada Kho Thiam Gwan, Liem Thay Hie, dan Phoa Sian Liong yang jadi langganan timnas.
Masih ingat saat Indonesia menahan imbang Uni Sovyet 0-0 di perempatfinal Olimpiade Melbourne 1956? Saat itu setidaknya ada lima pemain Tionghoa di atas lapangan. Mereka adalah Endang Witarsa, Kwee Kiat Sek, Tan Liong Houw, Phwa Sian Liong, dan Thio Him Tjiang. Medali perunggu Asian Games 1958 juga diraih Indonesia bersama pemain-pemain keturunan Tionghoa.
Jauh sebelum Kurniawan Dwi Yulianto membuat Indonesia bangga saat direkrut FC Lucern, Swiss, pada 1994-1995, Liem Soei Liang alias Surya Lesmana menjadi salah satu pelopor eksodus pemain Indonesia ke luar negeri. Tahun 1974, Surya dikontrak salah satu klub Hong Kong dengan gaji HKD 2.000/bulan. Sebuah jumlah yang sangat tinggi untuk ukuran saat itu.
Kini, tak banyak pemain keturunan Tionghoa di pentas sepak bola nasional. Di Liga Super Indonesia hanya ada Nova Arianto (Persib) dan Juan Revi (Arema). Sedangkan di Liga Primer Indonesia ada Irvin Museng dan Febryanto Wijaya (Medan Chiefs), serta Kim Jeffrey Kurniawan (Persema). Dari kelimanya, belum satu pun yang menjadi andalan timnas.
Di tengah gencarnya program naturalisasi pemain asing keturunan Indonesia, ada baiknya PSSI melalui BTN juga menjaring bakat-bakat pesepak bola pribumi keturunan Tionghoa. Untuk urusan loyalitas dan totalitas, saya kira pemain keturunan Tionghoa yang lahir dan besar di Indonesia lebih unggul dibanding pemain keturunan Indonesia yang lahir dan besar di luar negeri. Jika dulu timnas menjadi Macan Asia saat diperkuat pemain-pemain keturunan Tionghoa, siapa tahu prestasi serupa bisa diulangi lagi kini.
Bagaimana pendapat Bung?
KONON, nenek moyang bangsa Indonesia adalah orang Yunan, sebuah wilayah yang sekarang menjadi bagian dari Republik Rakyat Cina. Dirunut lebih dekat lagi, sejarah mencatat orang Tionghoa sudah tinggal di kepulauan Nusantara sejak sekitar abad ke-4.
Melihat fakta ini, tak heran jika peran orang Tionghoa sangat kental mewarnai perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Peran tersebut juga tampak nyata di dunia sepak bola. Bahkan, mengutip Srie Agustina Palupi dalam buku Politik dan Sepak Bola di Jawa 1920-1942, dari orang-orang Tionghoa-lah penduduk pribumi mengenal sepak bola.
Sebelum PSSI lahir, orang-orang Tionghoa mendirikan Hwa Nan Voetbal Bond (HNVB). Organisasi sepak bola ini dibentuk untuk 'menyaingi' Nederlandsch Indische Voetbal Bond (NIVB) yang Belanda-sentris. Klub-klub anggota HNVB pun sudah ada sebelum kaum bumiputra ramai bermain sepak bola. Sebutlah klub Union Makes Strength (UMS), Tionghoa (kini Suryanaga), dan Tjung Hwa (kini PS Tunas Jaya).
Foto: WikipediaEndang Witarsa: Mantan pemain dan pelatih timnas Indonesia. Ia lahir dengan nama Liem Soen Joe.Yang bikin bangga, ketika PSSI didirikan klub-klub milik orang Tionghoa memilih bergabung dengan klub-klub perserikatan di bawah naungan PSSI. Klub UMS bergabung dengan Voetbalbond Indonesia Jacatra (VIJ, kini Persija), sedangkan klub Tionghoa bergabung dengan Soerabajasche Indonesische Voetbalbond (SIVB, kini Persebaya).
Hal ini membuat kekuatan PSSI berlipat ganda. NIVB yang kemudian berganti nama menjadi Nederlandsch Indische Voetbal Unie (NIVU) dibuat gentar karenanya. Apalagi dalam berbagai kesempatan tim PSSI selalu dapat mengungguli tim NIVU. Dalam kompetisi PSSI ke III tahun 1933 di Surabaya, SIVB yang diperkuat bintang-bintang andalan NIVU kalah 1-2 melawan VIJ. Kemudian dalam satu kesempatan uji coba dengan tim Nan Hwa dari Cina di Semarang tahun 1937, tim PSSI menang 2-0. Padahal sebelumnya tim NIVU dibekuk 0-4 oleh Nan Hwa.
Ketangguhan Indonesia mulai menjadi buah bibir, membuat FIFA mengundang Indonesia untuk mewakili Asia dalam Piala Dunia 1938. Sayang, kesempatan tersebut 'direbut' NIVU sehingga yang tampil adalah tim bentukan NIVU, bukan PSSI. Meski begitu, NIVU membawa banyak pemain Tionghoa ke Prancis. Sebutlah Tan Mo Heng, kiper andalan SIVB, bersama Tan Siong Houw, dan Pan Hong Tjien.
Di awal-awal kompetisi perserikatan yang diadakan PSSI, pemain Tionghoa mendominasi posisi penting di berbagai tim elit. Persija (VIJ) sempat punya gelandang jempolan seperti Tan Liong Houw (Latief Haris Tanoto) dan Thio Him Tjiang. Berikutnya ada bek tangguh Fan Tek Fong (Hadi Mulyadi) di lini belakang Macan Kemayoran. Jangan lupakan pemain bintang yang lantas menjadi pelatih Persija, drg. Endang Witarsa (Liem Soen Joe).
Union Makes Strength (UMS)Persebaya setali tiga uang. Pada era 1940-an dan 1950-an, Bajul Ijo punya trio penyerang maut berdarah Tionghoa: Tee San Liong, Bhe Ing Hien, dan Liem Tiong Hoo (dr. Hendro Hoediono). Selain ketiganya masih ada Kho Thiam Gwan, Liem Thay Hie, dan Phoa Sian Liong yang jadi langganan timnas.Masih ingat saat Indonesia menahan imbang Uni Sovyet 0-0 di perempatfinal Olimpiade Melbourne 1956? Saat itu setidaknya ada lima pemain Tionghoa di atas lapangan. Mereka adalah Endang Witarsa, Kwee Kiat Sek, Tan Liong Houw, Phwa Sian Liong, dan Thio Him Tjiang. Medali perunggu Asian Games 1958 juga diraih Indonesia bersama pemain-pemain keturunan Tionghoa.
Jauh sebelum Kurniawan Dwi Yulianto membuat Indonesia bangga saat direkrut FC Lucern, Swiss, pada 1994-1995, Liem Soei Liang alias Surya Lesmana menjadi salah satu pelopor eksodus pemain Indonesia ke luar negeri. Tahun 1974, Surya dikontrak salah satu klub Hong Kong dengan gaji HKD 2.000/bulan. Sebuah jumlah yang sangat tinggi untuk ukuran saat itu.
Kini, tak banyak pemain keturunan Tionghoa di pentas sepak bola nasional. Di Liga Super Indonesia hanya ada Nova Arianto (Persib) dan Juan Revi (Arema). Sedangkan di Liga Primer Indonesia ada Irvin Museng dan Febryanto Wijaya (Medan Chiefs), serta Kim Jeffrey Kurniawan (Persema). Dari kelimanya, belum satu pun yang menjadi andalan timnas.
Di tengah gencarnya program naturalisasi pemain asing keturunan Indonesia, ada baiknya PSSI melalui BTN juga menjaring bakat-bakat pesepak bola pribumi keturunan Tionghoa. Untuk urusan loyalitas dan totalitas, saya kira pemain keturunan Tionghoa yang lahir dan besar di Indonesia lebih unggul dibanding pemain keturunan Indonesia yang lahir dan besar di luar negeri. Jika dulu timnas menjadi Macan Asia saat diperkuat pemain-pemain keturunan Tionghoa, siapa tahu prestasi serupa bisa diulangi lagi kini.
Bagaimana pendapat Bung?
Published on April 17, 2011 15:30
April 11, 2011
Malam di Alun-alun Selatan Yogyakarta
Oleh: Eko Nurhuda - Bung Eko dotcom
SEORANG pemuda menutup mata teman perempuannya dengan seutas kain hitam. Diikatnya penutup tersebut erat-erat agar mata teman perempuannya benar-benar tak dapat melihat. Setelah itu dituntunnya si perempuan ke tengah lapangan. Di satu posisi segaris lurus dengan bagian tengah lapangan yang diapit dua pohon beringin besar, dilepaskannya si perempuan berjalan ke depan.
Dengan mata tertutup rapat tentu sulit berjalan lurus melewati bagian di antara dua beringin besar di tengah lapangan. Begitu pula si perempuan tadi. Berulangkali ia harus ditangkap temannya karena berjalan miring ke kiri atau ke kanan. Orang banyak yang turut melihat sebagian ikut berteriak memberi petunjuk arah mana yang harus ditempuh. Tapi, tetap saja si perempuan tidak dapat berjalan lurus.
Itulah pemandangan yang terlihat di alun-alun selatan Yogyakarta setiap malam. Melewati bagian tengah alun-alun yang diapit dua beringin besar dengan mata tertutup seolah-olah sudah menjadi kewajiban bagi yang mengunjungi tempat ini. Boleh dibilang tidak afdol rasanya kalau mengunjungi alun-alun selatan tanpa melakukan kegiatan tersebut. Terutama bagi pendatang dari luar kota.
Tidak Remang-remang Lagi
Foto: Flickr.com
Plengkung Gadhing: Pintu masuk ke kawasan Keraton Yogyakarta dari arah selatan.Alun-alun selatan adalah sebuah lapangan yang terletak di bagian selatan Kraton Yogyakarta. Orang Jogja biasa menyebutnya Alkid, singkatan dari alun-alun kidul (kidul = selatan). Sebagai bagian dari Kraton, Alkid termasuk dalam kawasan yang dikenal sebagai jeron betheng atau wilayah di dalam benteng Kraton. Karena itu, bila kita masuk dari arah selatan akan melewati gerbang selatan Kraton yang dikenal sebagai Plengkung Gadhing.
Dulu, gerbang di Plengkung Gadhing hanya dibuka antara pukul 06.00-22.00. Yang boleh masuk ke kawasan jeron betheng juga tidak sembarangan karena harus seijin prajurit yang berjaga di gerbang tersebut. Setiap gerbang akan dibuka atau ditutup diadakan satu upacara kecil yang sekaligus menjadi acara serah-terima tugas antara prajurit jaga dengan prajurit yang akan menggantikannya. Namun, beberapa tahun setelah Sri Sultan Hamengku Buwono X naik tahta gerbang tersebut tidak pernah ditutup lagi. Daun pintunya malah sudah tidak terlihat di gerbang bersejarah itu.
Awal tahun 2000-an suasana Alkid masih remang-remang. Pedagang juga tidak seramai sekarang. Penerangan yang tidak memadai membuat bagian tengah lapangan gelap-gulita. Kondisi ini dimanfaatkan oleh beberapa pasangan muda-mudi nakal untuk bercumbu ala kadarnya, baik di atas motor ataupun di atas rumput dengan beralaskan koran. Beberapa pekerja seks komersial juga menjadikan Alkid sebagai daerah operasi, membuat tempat ini mendapat cap buruk di mata masyarakat.
Usaha membersihkan Alkid dari praktik-praktik mesum mulai terlihat setelah Herry Zudianto menjabat sebagai Walikota Jogja. Penerangan ditambah sehingga seluruh bagian alun-alun terang benderang. Beberapa bagian yang berpotensi disalah-gunakan untuk berbuat mesum ditiadakan. Perubahan ini sempat membuat Alkid sepi pengunjung. Namun seiring berjalannya waktu Alkid kembali ramai dikunjungi. Tak hanya pasangan muda-mudi yang tengah kasmaran, banyak juga keluarga datang bersama anak-anak mereka ke Alkid untuk menikmati suasana malam sambil duduk melahap jajanan di atas rumput.
Tempat Wisata Keluarga
Bagian barat Alkid adalah tempat yang paling ramai. Selain lebih banyak pedagang, di tempat tersebut juga terdapat kandang gajah. Keluarga yang membawa anak kecil biasanya mengajak anak-anak mereka melihat gajah milik Kraton di kandang tersebut. Setelah puas melihat gajah, acara bisa dilanjutkan dengan membeli jajanan dan melahapnya sambil duduk santai beralaskan tikar di tengah lapangan luas.
Beragam jenis makanan dijajakan di Alkid. Mulai dari jajanan tradisional seperti kacang rebus, jagung rebus, kawi Malang, hingga jajanan yang lebih 'modern' seperti tempura, bakso. Mau makanan berat seperti nasi kucing dan gudeg juga ada. Setiap pedagang menyediakan tikar sebagai tempat duduk, namun kebanyakan pembeli lebih suka melahap jajanan sambil mengobrol di atas motor ataupun berdiri. Maka tak heran jika kebanyakan pedagang terlihat sepi karena pembelinya langsung pergi begitu mendapatkan pesanan yang diminta.
Di malam Minggu atau malam-malam liburan lainnya, bagian utara menjadi tempat paling ramai. Di sana para muda-mudi yang kebanyakan mahasiswa dan pelajar berkumpul untuk mencoba melewati bagian tengah alun-alun yang diapit dua beringin besar dengan mata tertutup rapat. Menurut kepercayaan sebagian orang, siapa yang dapat melakukan hal tersebut akan dikabulkan segala permintaannya.
Awalnya para muda-mudi ini hanya menutup mata mereka dengan penutup ala kadarnya. Ada yang memakai syal, sapu tangan, atau bahkan sekedar memejamkan mata tanpa ditutup apa-apa. Ramainya peminat kegiatan ini membuat beberapa orang berpikir kreatif untuk menyewakan penutup mata yang dibuat dari kain hitam. Harga yang dipatok cukup murah, yakni hanya Rp1.000 sekali pakai.
Semakin larut suasana Alkid menjadi semakin sepi. Pasangan-pasangan dan keluarga meninggalkan tempat ini seiring dengan semakin dinginnya hawa malam. Tinggallah para tukang becak dan bapak-bapak yang tinggal di sekitar Alkid duduk mengobrol tentang apa saja sambil menikmati kopi atau jahe panas di angkringan.

SEORANG pemuda menutup mata teman perempuannya dengan seutas kain hitam. Diikatnya penutup tersebut erat-erat agar mata teman perempuannya benar-benar tak dapat melihat. Setelah itu dituntunnya si perempuan ke tengah lapangan. Di satu posisi segaris lurus dengan bagian tengah lapangan yang diapit dua pohon beringin besar, dilepaskannya si perempuan berjalan ke depan.
Dengan mata tertutup rapat tentu sulit berjalan lurus melewati bagian di antara dua beringin besar di tengah lapangan. Begitu pula si perempuan tadi. Berulangkali ia harus ditangkap temannya karena berjalan miring ke kiri atau ke kanan. Orang banyak yang turut melihat sebagian ikut berteriak memberi petunjuk arah mana yang harus ditempuh. Tapi, tetap saja si perempuan tidak dapat berjalan lurus.
Itulah pemandangan yang terlihat di alun-alun selatan Yogyakarta setiap malam. Melewati bagian tengah alun-alun yang diapit dua beringin besar dengan mata tertutup seolah-olah sudah menjadi kewajiban bagi yang mengunjungi tempat ini. Boleh dibilang tidak afdol rasanya kalau mengunjungi alun-alun selatan tanpa melakukan kegiatan tersebut. Terutama bagi pendatang dari luar kota.
Tidak Remang-remang Lagi
Foto: Flickr.comPlengkung Gadhing: Pintu masuk ke kawasan Keraton Yogyakarta dari arah selatan.Alun-alun selatan adalah sebuah lapangan yang terletak di bagian selatan Kraton Yogyakarta. Orang Jogja biasa menyebutnya Alkid, singkatan dari alun-alun kidul (kidul = selatan). Sebagai bagian dari Kraton, Alkid termasuk dalam kawasan yang dikenal sebagai jeron betheng atau wilayah di dalam benteng Kraton. Karena itu, bila kita masuk dari arah selatan akan melewati gerbang selatan Kraton yang dikenal sebagai Plengkung Gadhing.
Dulu, gerbang di Plengkung Gadhing hanya dibuka antara pukul 06.00-22.00. Yang boleh masuk ke kawasan jeron betheng juga tidak sembarangan karena harus seijin prajurit yang berjaga di gerbang tersebut. Setiap gerbang akan dibuka atau ditutup diadakan satu upacara kecil yang sekaligus menjadi acara serah-terima tugas antara prajurit jaga dengan prajurit yang akan menggantikannya. Namun, beberapa tahun setelah Sri Sultan Hamengku Buwono X naik tahta gerbang tersebut tidak pernah ditutup lagi. Daun pintunya malah sudah tidak terlihat di gerbang bersejarah itu.
Awal tahun 2000-an suasana Alkid masih remang-remang. Pedagang juga tidak seramai sekarang. Penerangan yang tidak memadai membuat bagian tengah lapangan gelap-gulita. Kondisi ini dimanfaatkan oleh beberapa pasangan muda-mudi nakal untuk bercumbu ala kadarnya, baik di atas motor ataupun di atas rumput dengan beralaskan koran. Beberapa pekerja seks komersial juga menjadikan Alkid sebagai daerah operasi, membuat tempat ini mendapat cap buruk di mata masyarakat.
Usaha membersihkan Alkid dari praktik-praktik mesum mulai terlihat setelah Herry Zudianto menjabat sebagai Walikota Jogja. Penerangan ditambah sehingga seluruh bagian alun-alun terang benderang. Beberapa bagian yang berpotensi disalah-gunakan untuk berbuat mesum ditiadakan. Perubahan ini sempat membuat Alkid sepi pengunjung. Namun seiring berjalannya waktu Alkid kembali ramai dikunjungi. Tak hanya pasangan muda-mudi yang tengah kasmaran, banyak juga keluarga datang bersama anak-anak mereka ke Alkid untuk menikmati suasana malam sambil duduk melahap jajanan di atas rumput.
Tempat Wisata Keluarga
Bagian barat Alkid adalah tempat yang paling ramai. Selain lebih banyak pedagang, di tempat tersebut juga terdapat kandang gajah. Keluarga yang membawa anak kecil biasanya mengajak anak-anak mereka melihat gajah milik Kraton di kandang tersebut. Setelah puas melihat gajah, acara bisa dilanjutkan dengan membeli jajanan dan melahapnya sambil duduk santai beralaskan tikar di tengah lapangan luas.Beragam jenis makanan dijajakan di Alkid. Mulai dari jajanan tradisional seperti kacang rebus, jagung rebus, kawi Malang, hingga jajanan yang lebih 'modern' seperti tempura, bakso. Mau makanan berat seperti nasi kucing dan gudeg juga ada. Setiap pedagang menyediakan tikar sebagai tempat duduk, namun kebanyakan pembeli lebih suka melahap jajanan sambil mengobrol di atas motor ataupun berdiri. Maka tak heran jika kebanyakan pedagang terlihat sepi karena pembelinya langsung pergi begitu mendapatkan pesanan yang diminta.
Di malam Minggu atau malam-malam liburan lainnya, bagian utara menjadi tempat paling ramai. Di sana para muda-mudi yang kebanyakan mahasiswa dan pelajar berkumpul untuk mencoba melewati bagian tengah alun-alun yang diapit dua beringin besar dengan mata tertutup rapat. Menurut kepercayaan sebagian orang, siapa yang dapat melakukan hal tersebut akan dikabulkan segala permintaannya.
Awalnya para muda-mudi ini hanya menutup mata mereka dengan penutup ala kadarnya. Ada yang memakai syal, sapu tangan, atau bahkan sekedar memejamkan mata tanpa ditutup apa-apa. Ramainya peminat kegiatan ini membuat beberapa orang berpikir kreatif untuk menyewakan penutup mata yang dibuat dari kain hitam. Harga yang dipatok cukup murah, yakni hanya Rp1.000 sekali pakai.
Semakin larut suasana Alkid menjadi semakin sepi. Pasangan-pasangan dan keluarga meninggalkan tempat ini seiring dengan semakin dinginnya hawa malam. Tinggallah para tukang becak dan bapak-bapak yang tinggal di sekitar Alkid duduk mengobrol tentang apa saja sambil menikmati kopi atau jahe panas di angkringan.
Posting ini adalah ungkapan rindu saya kepada Jogja, kota yang sempat saya diami selama 10 tahun (Juni 2000 – Mei 2010). Kota di mana saya menemukan identitas diri, kota yang telah mengajarkan banyak hal, serta kota tempat impian terbesar saya pertama kali muncul. Saya berharap bisa kembali ke Jogja untuk mewujudkan impian tersebut.
Published on April 11, 2011 08:02
April 7, 2011
Jennie S. Bev: Sukses Adalah Saya
Oleh: Eko Nurhuda - Bung Eko dotcom
MASIH ingat dengan Jennie S. Bev? Ya, penulis wanita asal Indonesia yang survive di tengah kerasnya persaingan di California, Amerika Serikat, itulah yang saya maksud. Bukan cuma bertahan hidup, Jennie bahkan sukses menyeruak dari ketatnya persaingan dunia kepenulisan dan tampil sebagai sosok yang boleh dikatakan sukses besar. Tak heran jika profilnya kerap menghiasi media cetak, baik di AS maupun di Indonesia. Prestasinya menjadi motivasi bagi sebagian besar penulis, termasuk saya.
Nah, setelah sempat menampilkan ringkasan sekaligus rangkuman wawancaranya dengan sejumlah media massa pada posting bertanggal 21 April tahun lalu, tepat pada peringatan Hari Kartini, April tahun ini saya berkesempatan melakukan wawancara langsung via email dengan wanita yang telah menulis lebih dari 1.000 artikel dan 80 ebook dan print book ini.
Awalnya saya ragu ketika hendak mengajukan pertanyaan. Draf pertanyaan sudah saya siapkan sejak pertengahan tahun lalu, tepatnya beberapa saat setelah posting di tanggal 21 April 2010. Namun kesibukan Mbak Jennie, demikian saya menyapanya, membuat saya ragu akankah pertanyaan-pertanyaan saya bakal dijawab. Akhirnya, keberanian itu timbul di tahun 2011. Ya, 10 Februari saya memberanikan diri mengirim draf pertanyaan ke Mbak Jennie. Setelah menunggu sebulan, 14 Maret jawabannya saya terima.
Oke, tanpa banyak basa-basi, berikut hasil wawancara saya dengan Jennie S. Bev. Semoga bermanfaat.
Bung tertarik menyebar-luaskan wawancara ini? Silakan saja, asal jangan lupa menyebutkan alamat URL halaman ini sebagai referensinya. Sekali lagi, semoga bermanfaat.
MASIH ingat dengan Jennie S. Bev? Ya, penulis wanita asal Indonesia yang survive di tengah kerasnya persaingan di California, Amerika Serikat, itulah yang saya maksud. Bukan cuma bertahan hidup, Jennie bahkan sukses menyeruak dari ketatnya persaingan dunia kepenulisan dan tampil sebagai sosok yang boleh dikatakan sukses besar. Tak heran jika profilnya kerap menghiasi media cetak, baik di AS maupun di Indonesia. Prestasinya menjadi motivasi bagi sebagian besar penulis, termasuk saya.
Nah, setelah sempat menampilkan ringkasan sekaligus rangkuman wawancaranya dengan sejumlah media massa pada posting bertanggal 21 April tahun lalu, tepat pada peringatan Hari Kartini, April tahun ini saya berkesempatan melakukan wawancara langsung via email dengan wanita yang telah menulis lebih dari 1.000 artikel dan 80 ebook dan print book ini.
Awalnya saya ragu ketika hendak mengajukan pertanyaan. Draf pertanyaan sudah saya siapkan sejak pertengahan tahun lalu, tepatnya beberapa saat setelah posting di tanggal 21 April 2010. Namun kesibukan Mbak Jennie, demikian saya menyapanya, membuat saya ragu akankah pertanyaan-pertanyaan saya bakal dijawab. Akhirnya, keberanian itu timbul di tahun 2011. Ya, 10 Februari saya memberanikan diri mengirim draf pertanyaan ke Mbak Jennie. Setelah menunggu sebulan, 14 Maret jawabannya saya terima.
Oke, tanpa banyak basa-basi, berikut hasil wawancara saya dengan Jennie S. Bev. Semoga bermanfaat.
Jennie S. BevSelain krisis moneter, apa alasan Mbak Jennie merantau ke AS? Kenapa harus AS?
Melanjutkan studi pascasarjana tingkat Master dan Doktoral. Sejak usia 3 tahun, saya sudah bisa berbicara Bahasa Inggris dengan aksen Amerika, maka wajar kalau saya lebih tertarik ke AS daripada ke negara lain.
Saya baca dari beberapa referensi, Mbak Jennie sempat melakoni beberapa pekerjaan di AS sebelum akhirnya menekuni dunia tulis-menulis. Kalau boleh diceritakan, pekerjaan apa saja yang pernah Mbak Jennie jalani waktu itu?
Koki pembuat sushi, memandikan binatang piaraan, penjaga toko, asisten di law firm, analis di Depnaker California, antara lain.
Apa yang membuat Mbak Jennie akhirnya memutuskan total di dunia kepenulisan?
Perasaan nyaman dan menguasai ketrampilan tulis-menulis yang telah saya lakoni sejak di bangku kuliah di Universitas Indonesia dan menerbitkan artikel pertama di tahun 1994.
Persaingan di dunia kepenulisan di AS sedemikian ketat, bagaimana cara Mbak Jennie menembus ketatnya persaingan tersebut dan akhirnya menyeruak dari kerumunan?
Tidak kecil hati dan terus mengirimkan portfolio tulisan ke redaksi-redaksi dan penerbit-penerbit. Sesekali pasti ada editor yang tertarik, hubungan dibina dengan baik sejak itu sehingga pintu-pintu bisa terbuka lebih lebar di lain kali.
Berapa kali Mbak mengirim artikel ke media-media di AS sampai akhirnya dimuat untuk pertama kali? Boleh tahu judul artikel pertama Mbak Jennie yang dimuat di media AS dan (maaf) berapa honornya?
Sebenarnya saya hanya mengirimkan abstrak (pitch) dari artikel yang akan ditulis, dan ada editor yang tertarik. Saat itu saya baru memulai kegiatan fitnes, sehingga punya pengalaman-pengalaman menarik. Artikel pertama saya dimuat di sebuah majalah tentang kebugaran. Honornya $400.
Dari menulis di media cetak kemudian merambah dunia buku. Boleh diceritakan bagaimana awalnya sampai Mbak Jennie terjun ke dunia kepenulisan buku? Buku pertama yang ditulis/diterbitkan?
Buku pertama saya di mancanegara berbentuk ebook Guide to Become a Management Consultant diterbitkan oleh Fabjob, Inc. tahun 2002. Ini mendapatkan penghargaan finalis EPPIE Award for Excellence in Electronic Publishing tahun 2003.Solusi Bisnis dari Seberang: buku terbaru Jennie S. Bev yang ditulis bersama suaminya, Dr. Beni Bevly.Sejauh ini Mbak Jennie sudah menulis lebih dari 1000 artikel dan 70 judul buku, baik yang dicetak maupun dalam bentuk e-book. Apa rahasianya sehingga dapat sedemikian produktif?
80 lebih ebook dan print books (belum dihitung satu per satu) sejak 2002. Kerjakan saja apa yang perlu dikerjakan setiap hari. Tidak perlu menunggu sampai dapat inspirasi. Jangan memanjakan diri dengan menganggap menulis adalah suatu pekerjaan super istimewa yang hanya bisa dilakukan kalau sedang mendapatkan "wangsit" atau inspirasi atau motivasi tertentu.
Buku terbaru ditulis bersama suami Dr. Beni Bevly, berjudul Solusi Bisnis dari Seberang yang berisi strategi-strategi aplikatif yang diambil dari studi-studi kasus mancanegara, untuk memecahkan masalah-masalah bisnis sehingga bisa bersaing di era kompetitif ini. Buku ini dikerjakan dengan kesadaran value added studi-studi kasus di AS untuk diaplikasikan di Indonesia. Jadi sering kali saya menulis karena melihat pentingnya memecahkan suatu masalah. Menulis sendiri adalah proses berpikir yang dituangkan dalam bentuk tertulis.
Rintangan apa saja yang pernah Mbak Jennie alami selama ini? Kalau boleh tahu, rintangan apa yang paling berat dirasakan yang mungkin sempat menghambat langkah Mbak Jennie?
Rintangan setiap hari pasti ada. Saya pernah ditolak menulis untuk suatu majalah karena tidak menguasai writing style tertentu. Untuk ini, saya kembali kuliah mengambil kelas-kelas jurnalisme dan creative writing, sehingga jelas apa bedanya dengan academic writing dan genre-genre lainnya.
Di Indonesia, sulit mengharapkan penghasilan berlimpah dari royalti buku. Apalagi penulis pemula yang naskahnya hanya dibeli dengan harga murah karena tidak memiliki nilai tawar di mata penerbit (contohnya saya yang hanya diberi Rp 2 juta/naskah). Penghasilan lebih besar justru didapatkan seorang penulis buku dari kegiatan-kegiatan di luar menulis, seperti menjadi pembicara seminar. Bagaimana pendapat Mbak Jennie mengenai kondisi ini? Apa yang harus dilakukan si penulis?
Saya pun tidak mengharapkan royalti dari beberapa buku berbahasa Indonesia yang diterbitkan di Indonesia. Juga karena kurang penghargaan, tidak transparansinya pembayaran royalti, dan banyaknya pelanggaran hak cipta. Untuk pasar Indonesia, memang buku-buku saya yang diterbitkan hanya berperan sebagai "kartu nama eksklusif" untuk sementara ini. Namun, bagi mereka yang berlatar belakang jurnalistik, ini sebenarnya sangat tidak menguntungkan. Strateginya mungkin bisa membangun website atau blog yang bisa dipakai sebagai platform untuk membangun personal brand. Dengan mempunyai personal brand, maka kita terpacu untuk terus meningkatkan ilmu sesuai brand yang kita miliki, sehingga juga menjadi semakin produktif. Saya percaya bahwa buku adalah jembatan antar umat manusia yang paling efektif. Semua pikiran besar dituangkan dalam bentuk buku. Buku-buku adalah pegangan hidup. Suatu saat pasti pikiran besar kita membawa hasil materil sesudah sedemikan banyak membawa hasil imateril.
Menurut Mbak Jennie, faktor apa sih yang paling memengaruhi kesuksesan seseorang?
Mindset. Sukses adalah saya. Saya adalah sukses. Default state saya adalah sukses, ketika jatuh, ini hanya untuk sementara dan tidak bisa mendefinisikan siapa saya.
Saya dengar Mbak Jennie begitu menekankan pentingnya konsep memberi dan berbagi pada sesama. Mengapa konsep ini penting? Dan apa pengaruhnya bagi perjalanan karir seseorang?
Ini sebenarnya hanya insting saja. Apalagi di rantau tidak kenal siapa pun. Bagaimana orang lain bisa mengenal isi hati dan pikiran kita jika kita tidak berbagi? Berbagilah, terutama informasi, kepada orang lain. Ketulusan hati pasti terpancar dan suatu hari akan membawa hasil walaupun tidak seketika. Bantulah orang lain, apa saja, tidak perlu yang besar-besar dan muluk-muluk. Justru yang kecil-kecil inilah yang mengesankan dan membina persahabatan.
Banyak orang-orang sukses mengatakan bahwa kesuksesan mereka diawali oleh sebuah impian yang menuntun mereka untuk terus bekerja keras mewujudkan impian tersebut. Bagaimana pendapat Mbak Jennie mengenai impian ini? Apakah seseorang harus memiliki impian untuk mencapai sukses?
Impian adalah target. Sukses sendiri bukanlah impian karena ini adalah mindset. Dengan mindset sukses, impian pasti tercapai, apapun itu. Siapa dan apa saya ditentukan oleh mindset yang akan menuntun kita kepada target dengan keberanian dan kebesaran jiwa.
Adakah penulis lain, mungkin penulis idola, yang memberikan pengaruh pada Mbak Jennie dalam menulis?
Banyak sekali penulis yang saya kagumi, biasanya setiap buku yang saya baca pasti saya kagumi kelebihan-kelebihannya. Yang jelas, saya sangat mengagumi penulis-penulis paling produktif sejagad. Barbara Cartland telah menerbitkan 732 buku dalam 60 tahun karirnya (kira-kira satu buku setiap dua minggu), Isaac Asimov telah menerbitkan 500-an buku, dan Jane Yolen 300 buku. Mereka berhasil menuliskan buku secara kontinyu berpuluh-puluh tahun lamanya. Ini menunjukkan betapa kemampuan berpikir dan otak manusia adalah sumber mata air yang tiada pernah berhenti. Mereka adalah sumber inspirasi saya.
Punya kutipan favorit? Kenapa menyukainya?
"I attempted to fracture the totalizing logic of their representational practices by othering myself from the stereotypical consolidation of the rich, non-resident Indian subject." (Gayatri Spivak)
"Let the dead have the immortality of fame, but the living the immortality of love." (Rabindranath Tagore)
"Do not go where the path may lead, go instead where there is no path and leave a trail." (Ralph Waldo Emerson)
Jelas kutipan-kutipan ini mencerminkan apa yang saya anggap paling penting di dalam hidup dan saya menerapkannya dalam kehidupan pribadi dan profesional.
Saya dengar sudah banyak tawaran menggiurkan untuk Mbak Jennie kalau mau pulang ke Indonesia. Adakah rencana pulang dan menetap di Indonesia?
Belum ada rencana pastinya karena sedang proses mengambil program doktoral satu lagi dibidang komunikasi psikologi.
Terima kasih banyak, Mbak. May God bless you… ^_^
Banyak terima kasih juga Eko. God bless you too.
Bung tertarik menyebar-luaskan wawancara ini? Silakan saja, asal jangan lupa menyebutkan alamat URL halaman ini sebagai referensinya. Sekali lagi, semoga bermanfaat.
Published on April 07, 2011 07:30

VS
VS
Jennie S. BevSelain krisis moneter, apa alasan Mbak Jennie merantau ke AS? Kenapa harus AS?
Solusi Bisnis dari Seberang: buku terbaru Jennie S. Bev yang ditulis bersama suaminya, Dr. Beni Bevly.Sejauh ini Mbak Jennie sudah menulis lebih dari 1000 artikel dan 70 judul buku, baik yang dicetak maupun dalam bentuk e-book. Apa rahasianya sehingga dapat sedemikian produktif?
