Tersihir Cita Rasa Kerak Telor Jakarta Fair 2011

Oleh: Eko Nurhuda - Bung Eko dotcom
[image error]SEBAGAI orang pelosok nan jauh dari pusat negara, menjejakkan kaki ke Jakarta merupakan impian yang sudah lama terpendam dalam benak saya. Mungkin rekan-rekan lain sesama warga pelosok di berbagai penjuru Indonesia juga punya impian serupa. Melihat Jakarta dari film atau siaran berita saja sudah sedemikian takjub, apatah lagi menginjak tanahnya dengan telapak kaki sendiri?

Jika dihitung-hitung sejak SMP, berarti sudah sekitar 15 tahun saya memendam hasrat ke Jakarta sampai saat ini! Kapan ke Jakarta? Tanya saya dalam hati selalu.

Saya beruntung. Adik perempuan saya yang kuliah dan lalu bekerja di Tangerang dapat promosi ke kantor pusat perusahaannya di Jakarta. Kalau dulu problem utama setiap hendak ke Jakarta adalah mencari siapa yang mau ditumpangi, kini saya tidak perlu pusing-pusing lagi. Tinggal SMS, trus langsung berangkat deh.

Jakarta Fair, Aku Datang..!
Kapan waktu yang tepat ke Jakarta? Ini pertanyaan selanjutnya setelah urusan tempat menumpang tidur selama di ibu kota terjawab. Ya, sebaiknya kapan sih ke Jakarta kalau niatnya untuk pelesiran? Menunggu musim liburan tentu tak nyaman, semua tempat wisata dijamin penuh sesak. Sedangkan di saat-saat normal kemacetan terpampang di mana-mana. Lebaran? Mana mungkin, saya dan adik tentu lebih memilih pulang kampung ke Sungai Bahar, Jambi.

Jawabannya saya dapat saat menonton berita di televisi. Waktu yang tepat ke Jakarta adalah saat Jakarta Fair digelar. Kebetulan Jakarta Fair 2011 digelar tepat pada musim liburan sekolah, 9 Juni – 10 Juli. Setelah cari info dari koran dan internet, didapatlah jadwal acara-acara selama ajang yang juga dikenal sebagai Pekan Raya Jakarta ini.

Pamflet Jakarta Fair 2011 di berbagai sudut Jakarta.Sebagai pecinta berat musik, jadwal konser musik jadi incaran pertama. Sayang, karena baru bisa ke Jakarta awal Juli, saya melewatkan konser penyanyi idola saya: Ari Lasso (9 Juni) dan Iwan Fals (15 Juni). Demikian juga band-band favorit semacam Naif (12 Juni), tipe-X (14 Juni), /rif (17 Juni), Sheila on 7 (21 Juni), Netral (23 Juni), dan Shaggydog (24 Juni). Dan karena hanya bisa sehari di Jakarta, saya juga melewatkan konser penyanyi cewek idola saya lainnya, Astrid (4 Juli), dan juga Godbless (7 Juli).

Apa boleh buat. Selera musik memang tidak terpenuhi, tapi saya masih punya selera lain yang rasanya masih bisa terpuaskan di hari-hari terakhir Jakarta Fair. Apa itu? Selera perut alias makanan. Kebetulan pula adik saya yang bakal jadi "pemandu wisata" selama di Jakarta doyan jajan. Klop sudah.

Target #1: Kerak Telor
Dari tempat tinggal adik saya di Palmerah, kami menuju ke Monas dengan transJakarta alias busway. "Lho, kok malah ke Monas sih?" Protes saya pada adik. Setahu saya venue Jakarta Fair di Kemayoran, tepatnya di Arena JIEXPO. Dia jawab dengan kalem, "Tar di Monas ada bis gratis ke arena PRJ." Ya sudah, saya pun ikut-ikutan kalem. ^_^

Meski ber-AC, di dalam busway jauh dari kata nyaman karena penumpang berdesak-desakan. Seperti ikan asin ditumpuk-tumpuk di keranjang. Bayangkan, bahkan untuk berdiri dengan berpegangan satu tangan saja susah! Bagaimana ini, Pak Fauzi Bowo?

Syukurlah, semua ketidak-nyamanan selama di jalan menguap begitu melihat betapa meriahnya suasana di Arena JIEXPO. Semasa masih kuliah dan kemudian merintis karir di Jogja (2000-2010), saya sering datang ke Pasar Malam Perayaan Sekaten (PMPS) atau biasa disebut pasar malam Sekaten saja. Bukan bermaksud membanding-bandingkan, tapi dari segi luas arena, jumlah stand, variasi wahana bermain, banyaknya artis penghibur, ramainya pengunjung, dan juga publikasi media, JakFair jelas mengungguli pasar malam Sekaten. Tak heran bila saya dibuat melongo jadinya.

Pedagang kerak telor.Satu-satunya kelebihan Sekaten dari JakFair adalah harga tiket masuk. Pemkot Yogyakarta hanya mematok harga Rp7.000/tiket, sedangkan Jakarta lebih mahal sekitar tiga kali lipat lebih: Rp25.000.

Sambil mendengar suara konser musik yang sayup-sayup sampai--menurut agenda yang tampil saat itu Glenn Fredly, Tompi, Andien, Citra dan Cassandra, saya dan adik berputar-putar memasuki setiap stand yang menarik hati. Sebagai "orang daerah", target utama saya adalah segala hal yang menjadi ciri khas Jakarta, terutama makanan. Satu makanan khas Jakarta yang langsung terbayang di kepala saya saat itu adalah kerak telor! Menurut cerita-cerita yang saya dengar, masakan (yang sengaja dibuat) agak gosong berbahan dasar telor ini nikmatnya luar biasa. Wajib cicip deh kalau ke Jakarta.

"Jangan ngaku ke Jakarta kalau belum nyicipin kerak telor," begitu kata Fahmi, kawan kuliah saya asal Jambi yang kemudian menetap di Jakarta sejak 2003.

Dasar rejeki. Saat mata kami sibuk mencari-cari stand makanan yang menjual kerak telor, pandangan saya tertumbuk ke seorang bapak dengan pikulan sederhana berkeranjang dua, tengah duduk di depan sebuah tungku berasap tipis. Di atas tungku tersebut ada kuali tertutup rapat. Di depan si pedagang, tepatnya diantara dua keranjang, terdapat tulisan, "Kerak Telor Betawi". Ah, dasar rejeki…

Perut Kenyang, Hati Senang
Tanpa basa-basi kami langsung memesan dua porsi. Satu porsi dibanderol Rp15.000, harga yang tidak bisa dibilang mahal, bahkan untuk kantong "orang daerah" seperti saya. Namun, seingat saya harga jajanan di Pemalang tak ada yang lebih dari Rp15.000/porsi. Grombyang Haji Warso yang paling terkenal di Pemalang, sempat didatangi Bondan Winarno bersama Wisata Kuliner-nya, harganya Rp12.500/porsi. Bakso, mi ayam, soto, sate, ayam bakar/goreng, maupun jajanan lain rata-rata dihargai Rp4.000-Rp5.500/porsi, paling mahal Rp7.000/porsi.

Seporsi kerak telor. Yummmy...Begitu si penjual menyodorkan pesanan kami, saya langsung menyuapkan sendok ke mulut. Tak lama kemudian saya tersenyum lebar. Rasanya tak bisa dilukiskan, pokoknya enak. Kalau mau ulasan detil soal rasanya mungkin bisa ditanyakan ke Bondan Winarno, Farah Quinn, atau Chef Edwin Lau. Satu hal yang saya catat, keraknya yang agak pahit justru membuat cita rasa makanan kebanggaan orang Betawi ini menjadi khas.

Suapan pertama sudah begitu menggoda, selanjutnya? Tandaslah sepiring kerak telor di tangan saya. Hanya dalam tempo kurang dari 10 menit! Adik saya menawarkan untuk menambah seporsi lagi, tapi perut sudah terasa penuh. Kenyang, plus senang karena keinginan menikmati Jakarta plus makanan khasnya yang paling terkenal, dapat terpenuhi malam itu.

Keesokan harinya, saat duduk di kursi Dewi Sri tujuan Jakarta-Pemalang, lamat-lamat terdengar alunan vokal Yon Koeswoyo menyanyikan lagu Kembali ke Jakarta. Sambil tersenyum, saya iseng memelesetkan lagu tersebut.

Ke Jakarta Fair, aku kan kembali…
Walaupun apa yang kan terjadi…
Ke Jakarta Fair, aku kan kembali…
Walaupun apa yang kan terjadi…
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on July 06, 2011 07:02
No comments have been added yet.