Hilal Asyraf's Blog, page 91

October 7, 2013

Love’s Deceit


Love Sells?


Picture by pembit of Deviantart.com


It is true that love is an ever prevalent issue to be discussed. What love is, how to love, kinds of love, manifestations of love are the popular subtopics to be dissected under the four letter word.


Love needs to be repositioned, redefined as its definition has been polluted due to the effects of colonization (nothing to do with imperialization, just an analogy). Colonizers, through their evocative movies, video clips and songs have portrayed love as equivalent to sex. The phrase “Let’s make love” is the euphemism of “let’s have sex.”


Okay love is love. But for university students’, who is said to be the beacons of hope for the country, should they organize too many talks, too many forums talking about love?


Once in a while, it’s okay. But it is something worrying if the dominant programs organized are all about love.



Love Weakens


A baby elephant, when it has been tamed with handcuffs since young will never have the guts to break through the metal shackles cuffing it even when it is aged, big and strong. The elephant has strength but that’s not the problem, its vigor is lost.


Imagine a disoriented, distorted nature.


What is left of a lion if it can’t roar?

What is left of a cobra if it can’t sting?

What is left of a cheetah if it can’t run?


The lion will lose its title as the ‘King of Animals’, the Cobra is no longer the ‘The World’s Venomous Snake’ and the Cheetah; even a Cat can outrun it.


What happens if humans fail to confirm its identity as a vigorous being? What happens if they are addicted to love?


Humans, if they are always reminded with love, any kinds of love, they will forget.


Love is fitra, a natural disposition but vigor, enthusiasm, strength, robustness, power, potency are also fitra. Humans, in its beginning of creation, the sperm underwent trials and tribulations with vigor and determination to penetrate the walls of the ovum. But when they’ve become humans, they forget.


A baby when learning to walk never stopped trying. It falls down on the grown but stood up again until its muscles are strong enough, until its walking skills are adequate enough to lift its own body. But when it’s a grown up, it forgets.


Melodramatic meaningless love songs are like anesthesia when injected to any parts of the body. It induces numbness, it stimulates the soul to drown in weakness, it reminds the soul to be full of forgetfulness, and it makes the soul unproductive and infertile.


Posts like “Who will be my Imam?”, “My wife, whoever you are, just so you know, I’m waiting for you” are never absent from the Facebook wall posts of many infertile youths.


Seeing this pandemic is suffocating.


At times when the country is in need of vigorous young people who can bring young hope in the leadership, new ideas, new wave in politics, these young people are busy day dreaming, fantasizing about baseless love.


Pro-Love and Anti-Intellectualism


University students’ would choose to go to programs with the titles “Love”, “Marriage” rather than “Students’ and Activism.”


So it is not a surprise to see love related programs congested with hundreds of thousands of students’ and the already rare intellectual discussions empty without any living souls.


It is the orientation of the society to be too affected with feeling rather than thinking. This orientation shows the deteriorating standard quality of the society in general.


Assoc. Prof. Dr. Azmi Sharom of University Malaya once said “Right now, I don’t think there’s enough thinking going on, I mean, that’s the problem that we have, and there’s too much feeling.”


The society today is Anti-Intellectual and Pro-Love. That’s why those who like to criticize even though for improvement and those who are dense with intellectualism are seen as freaks. Hence, intellectualism is given a negative connotation.


That’s why, some political talks/ceramahs are often hijacked by thugs, by anti-intellectual movement. Some angry people think these talks are challenging the status quo.


That’s why, given the inclination towards feeling, the society including university students’ are affected with emotive-related programs. Not only on love-related programs but also entertainment based with the spur of entertainment reality shows.


Going back to the issue of love programs, the students’ are partially at fault but the university, the higher authority approving the programs should be questioned.


Rather than approving and approving love related programs, the university should set a quota and include necessary limitations for each semester and make any intellectual-based programs an obligation.


There are many programs worth organizing; book reviews, forums on various relevant theories, seminars on activism, talks on current issues and many more.


The speakers delivering the talks may not necessary be academicians’ only, regular university students’ or street intellectuals or public intellectuals can qualify, be well-versant and address better than academicians.


The more important issue is what is put forward, what the speech is rather than the speaker.


Less Lovey Dovey Programs, More Intellectualism


For students’ to be more inclined to attend more love related program is because of how the society is. But, whatever the reason is, students’ have to realize that talking about love can’t bring much change to the country, intellectualism will.


From a personal point of view, I believe, attending too many programs on love makes us forget who we are and what our responsibility to our community is.


Love is a complicated issue to be discussed but deterioration in intellectualism is a more serious offence.


There are many platforms available for intellectualism, to name a few; UTAM (Universiti Terbuka Anak Muda), Sekolah Pemikiran Ashatibi and TFTN (Teach for The Needs).


Be more rational, less emotional. Feeling should be moderated by thinking. Thinking should be outsourced from reading.


 

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on October 07, 2013 18:43

Himmah : 10 Hari Mulia Untuk Para Pencinta Dia

2415_worship


 


“Tidaklah ada hari-hari untuk beramal soleh di dalamnya yang lebih dicintai Allah melainkan hari-hari ini (sepuluh hari awal dalam Zulhijjah).” Sabda baginda s.a.w.


Para sahabat yang responsif iman mereka ini tidak sekadar mendengar dan mengangguk sahaja. Bahkan mereka bertanya pula untuk memastikan apa benarkah amalan soleh dalam 10  hari ini lebih baik atau jihad yang pernah Rasul s.a.w. sebutkan dalam satu hadis lain sebagai afdolul a’mal (sebaik-baik amal) itu yang lebih baik?


Sahabat bertanya baginda, “Wahai Rasulullah, walaupun jihad di jalan Allah?”


“Walau jihad di jalan Allah sekalipun melainkan seorang lelaki keluar dengan dirinya dan hartanya, tidaklah dia kembali walau dengan satu apapun dari (kedua-dua)nya itu.” [HR Bukhari, no 969].


 


Betapa Allah Sentiasa Menyediakan Medan Perubahan


“Dilebihkan 10 hari awal dari bulan Zulhijjah ini…” komen Ibn Hajar Al-Asqalani, “…adalah kerana berkumpul di dalamnya ibadah-ibadah yang ummahat (ibadah-ibadah besar) iaitu solat, puasa, sedekah dan haji, tidaklah datang semisal itu selainnya.” [Fathul Bari]


Banyak sekali pintu kebaikan yang Allah sediakan untuk insan. Bukan untuk membebankan, jauh sekali untuk memudaratkan hamba-Nya. Tetapi disediakan pintu-pintu kebaikan yang banyak ini agar insan mencari peluang pada masa-masa keemasan seperti 10 hari awal Zulhijjah ini untuk memperbaiki dirinya dan hubungannya dengan Allah.


Barangkali ketika melalui Ramadhan yang lepas, belum benar-benar timbul kesedaran dalam benak dirinya untuk berubah ke arah hidup yang lebih baik. Ramadhan itu merupakan sebaik-baik bulan. Di dalamnya pula terdapat sebaik-baik malam. Namun, mungkin pada ketika itu keterikatan dirinya dengan dosa masih belum dapat dirungkai, ketagihannya dengan sikap malas dan ego untuk tunduk kepada Tuhan mungkin masih belum dapat dihilangkan.


Maka, Allah sediakan lagi stesyen sebagai pintu kepada insan untuk membantu perubahan dirinya.


Betapa tidak pernah serik Allah mahu hamba-Nya kembali kepada-Nya, sentiasa dibuka pintu demi pintu untuk hamba-Nya kembali bersihkan diri mereka, namun kita saja yang sentiasa meletakkan hadangan demi hadangan dalam hati kita sendiri untuk kembali dekat kepada-Nya.


 


Ketaatan Adalah Kekuatan Menyuburkan Pengorbanan


Selepas 10 malam akhir Ramadhan yang merupakan antara malam-malam terbaik dalam setahun, maka Allah kurniakan pula 10 hari awal Zulhijjah sebagai antara hari-hari terbaik dalam setahun.


Hari untuk pembersihan jiwa.


Hari untuk kita memuhasabah perjalanan taqwa setelah beberapa hari meninggalkan gerbang taqwa pada Ramadhan lepas.


Adakah iman telah surut tinggal senipis bawang pasca musim semaian taqwa atau masih kekal bertahan jadi perisai yang kebal menahan dan melindungi iman dan amal kita?


Kalau iman telah menipis, ini masa untuk membaikinya semula.


Kalau iman masih subur dalam diri, ini adalah stesyen untuk memelihara istiqamah dalam ketaatan kepada Allah.


Di hujung 10 hari ini adalah sunnah melakukan korban.


Sunnah berkorban yang berkait rapat dengan kisah Ibrahim a.s. yang menerima perintah menyembelih anaknya, Ismail a.s. itu tidak hanya menuntut agar pisau dilalukan di leher binatang dan dikorbankan binatang itu semata-mata, tetapi yang lebih besar adalah agar dikorbankan juga kepentingan-kepentingan duniawi dalam hati kita selain Allah s.w.t.


 “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keredhaan) Allah, tetapi ketaqwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikian Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah khabar gembira kepada orang-orang yang berbuat kebaikan.” [Al-Haj : 37]


Roh ketaatan kepada Allahlah yang mendorong Ibrahim a.s. untuk melakukan perintah Allah s.w.t. itu. Bukan dilakukan dengan jiwa yang kosong dari iman dan takut kepada Allah s.w.t. Kalau ikutkan perasaan manusiawi seorang bapa, tidak mungkin akan dilakukan perkara sedemikian itu.


Bagaimana mungkin dikorbankan anaknya sendiri yang telah lama pula ditinggalkannya membesar di padang pasir yang panas dan terbiar itu?


Tetapi roh ketaatan kepada Allah itulah yang telah mendorong dirinya untuk sanggup mengorbankan kepentingan dirinya demi kepentingan Allah yang lebih besar dalam hatinya.


Hidup berjuang untuk Islam sentiasa berdepan dengan cabaran dan halangan. Perjuangan ini akan menuntut pengorbanan harta, tenaga dan akhirnya nyawa kita sendiri. Tidak akan lahir pengorbanan untuk Islam ini melainkan dengan hati yang tunduk dan taat kepada Allah s.w.t.


Hati yang tunduk dan taat kepada Allah s.w.t. akan sentiasa melihat ganjaran di sisi Tuhan itu jauh lebih baik dari hidup dunia ini.  Itulah yang melahirkan kesediaan untuk melakukan pengorbanan.


 


Suburkan 10 Hari Di Zulhijjah Ini Dengan Amal Soleh


Masih ada kesempatan buat kita sekiranya kita masih belum serius memanfaatkan peluang 10 hari ini sebagai sarana untuk tazkiyatunnas (penyucian jiwa) dan tarbiyah (pendidikan) untuk diri kita.


Beberapa hari yang berbaki ini, dicadangkan untuk kita memperbanyak dan memperbaiki kualiti amal soleh kita. Apa-apa saja amal soleh boleh dilakukan, antaranya :


1) Memperbanyak zikrullah, tasbih, tahmid, takbir dan tahlil


2) Berpuasa :  Bagi yang tidak melakukan haji, digalakkan untuk berpuasa terutamanya pada hari Arafah.


Dari Abi Qotadah r.a. berkata : Ditanya kepada Rasul s.a.w. tentang puasa pada hari Arafah? Baginda bersabda : “Diampunkan baginya dosa pada tahun lepas dan tahun akan datang.” [HR Muslim, no 1162]


3) Menambah tilawah dan tadabbur Al-Quran


4) Bersedekah di jalan Allah


5) Menjauhi maksiat – Stesyen kebaikan ini disediakan untuk sebagai satu rangsangan menuju perubahan. Rugilah siapa yang masih tidak mahu memanfaatkannya.


6) Berkorban


7) Beristighfar


8) Qiamullail


9) Bersilaturahim


10) Belajar dan menuntut ilmu


 


Penutup : Para Pencinta Dia Adalah Mereka Yang Bersedia Berkorban Untuk-Nya


Kenapa kita sentiasa perlu diingatkan dan dipesan untuk selalu beramal soleh?


Kerana itulah sumber kekuatan yang menghidupkan hati-hati para pencinta-Nya. Kita beramal soleh bukan kerana kita ada masa lapang, apalagi kerana merasa bosan dengan banyaknya kerosakan dunia ini dan kita pun ingin mengasingkan diri kita.


Tidak. Islam tidak mengajar kita mengasingkan diri dari ummat hanya kerana mahu beramal soleh seorang diri kita sambil membiarkan kerosakan dalam masyarakat tidak dibaiki.


Kerana rasa cinta kita kepada Dialah dan kerana merasakan inilah bekalan utama yang menjadi keperluan kekuatan kita dalam berjuang di atas jalan Islam dan iman ini, maka kita sentiasa mengintai ruang dan peluang untuk menambah dan memperbaiki amal soleh kita agar menjadi bekalan buat kita untuk mengislah masyarakat.


Natijah dari cinta adalah kesediaan untuk memberi dan berkorban.


Amal soleh dan ibadah yang dilakukan tanpa rasa cinta, akan membuatkan hati pemiliknya tidak dapat menjiwai kelazatan berhubung dengan Tuhannya.


Hati yang tidak merasai kelazatan berhubung dengan Tuhannya, dari manakah akan dia perolehi kekuatan untuk sedia berkorban demi Tuhannya?


Mari manfaatkan peluang 10 hari awal di Zulhijjah ini untuk tarbiyah dan tazkiyah diri.

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on October 07, 2013 14:44

Komik: Wasaari’u!

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on October 07, 2013 01:50

October 5, 2013

Kehidupan: Cinta – Jangan Cakap Saja

Actions_speak_louder_than_word_by_GFXPunkGambar oleh Josh Carroll.


Setiap manusia yang bergelar Muslim mencintai Allah.


Cinta itu bermula dengan kalimah Shahadah yang kita lafazkan di saat kita memeluk agama Islam ini. Tambahan pula, kalimah ini diulang setiap kali kita mendirikan solat. Dalam lima kali sehari kita solat, kalimah ini diulang-ulang – sebagai peringatan dan pengukuhan.


“Aku bersaksi bahawa tiada Tuhan yang layak disembah melainkan Allah dan aku bersaksi bahawa Nabi Muhammad SAW ialah hamba-Nya dan Rasul-Nya.”


Jadi, artikel ini tidak ditulis untuk mempersoalkan sama ada kita cinta Allah atau tidak. Artikel ini ditulis dengan satu persoalan yang berbeza: di manakah letaknya cinta kita kepada Allah dalam senarai semua perkara yang kita cintai?


Artikel ini ingin mempersoalkan prioriti kita dalam cinta. Saya menyoal diri saya dan anda menyoal diri anda.


Akan tiba detik-detik dalam hidup kita di mana kita akan berbelah bagi antara cinta kepada Allah dan cinta kepada dunia. Kebanyakan kita telah mengalaminya.


Jika ditanya, “Antara Allah dan dunia, manakah pilihan kita?”, sudah tentu ramai yang akan menjawab Allah sebagai pilihan mereka. Dari segi teorinya, mudah untuk kita membuat pilihan tersebut. Mudah untuk kita katakan apa yang benar. Tetapi, cakap sahaja tidak memadai.


Allah inginkan lebih daripada kata-kata cinta yang indah. Allah berfirman:


Katakanlah, [wahai Muhammad], “Jika kamu mencintai Allah, maka ikutlah aku. Allah akan mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu. Dan Allah itu Maha Pengampun dan Maha Mengasihani.” (Surah Ali Imran, Ayat 31)


Adakah Allah itu No. 1, ataupun slot No. 1 itu diisi dengan perkara lain?


Jika kita perhatikan ayat Quran di atas, jawapan kepada soalan ini tidak terkandung dalam perkataan, tetapi ia terkandung dalam perbuatan kita. Kita boleh gunakan informasi ini untuk ukur badan kita sendiri.


Apakah kita benar-benar cintakan Allah? Jawapannya: perhatikan perbuatan-perbuatan kita.


Apakah perbuatan-perbuatan kita menepati ajaran Rasulullah? Apakah perbuatan-perbuatan kita boleh dijadikan bukti di hadapan Allah bahawa kita benar-benar mencintai-Nya?


Ia tidak mudah, lebih-lebih lagi apabila kita berada dalam situasi di mana kita harus mengorbankan kesukaan dan hasrat dunia kita. Di saat kita harus memilih antara Allah dan dunia, di saat itulah ujian sebenar kita bermula. Di saat itulah cinta kita akan diuji.


Dalam banyak-banyak ujian ini, ada ketika kita akan gagal. Mustahil untuk kita lulus semua ujian ini. Tetapi, walaupun dalam kegagalan, Allah sebenarnya sedang menguji cinta kita. Apakah respon kita terhadap kegagalan tersebut? Apakah kita lari lebih jauh daripada Allah, ataupun kita dekati-Nya dengan taubat?


Kepatuhan kita terhadap Allah itu bukti cinta kita kepada Allah. Tetapi, di saat kita gagal mematuhi-Nya, itu tidak bermakna cinta kita hilang begitu sahaja. Taubat itu juga bukti cinta kita kepada Allah.


Allah cintai mereka yang mematuhi-Nya. Allah juga cintai mereka yang taubat kepada-Nya.


Dalam isu cinta ini, tiada sesiapa pun yang dapat menafikan atau membenarkan cinta kita kepada Allah berdasarkan pemerhatian luaran semata-mata. Hanya Allah sahaja yang tahu siapa yang benar-benar mencintai-Nya dan siapa yang hanya pura-pura.


Usah sibukkan diri dengan mengukur cinta orang lain kepada Allah. Sebaliknya, sibukkanlah diri dengan mengukur cinta diri kita sendiri kepada Allah. Apabila kita berdiri dihadapan-Nya nanti, kita akan ditanya tentang cinta kita kepada-Nya dan bukan cinta orang lain kepada-Nya.


Apabila kita ditanya nanti, lidah kita tidak akan berbicara, kerana bukti cinta bukan dalam perkataan. Apabila kita ditanya nanti, anggota-anggota kita yang akan berbicara, kerana bukti cinta kita terkandung dalam perbuatan.


Buatlah yang terbaik.


Aiman Azlan

5 Oktober 2013

Mississauga, Canada

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on October 05, 2013 09:00

October 3, 2013

Himmah : Ibrahim Mengajar Kita Makna Cinta

tumblr_mp3ig9A86E1sw931jo1_500


 


“Wahai anakku,” Ibrahim memanggil anak kesayangannya, Ismail, “sesungguhnya aku bermimpi bahawa aku menyembelihmu…”.


Ayah mana yang tidak berat hati bila disuruh melakukan sedemikian pada anaknya sendiri. Apalagi setelah anak itu pernah ditinggalkan berjauhan dari dirinya, diuji membesar di tengah padang pasir yang panas pula, tiba-tiba arahan seberat itu datang menguji dirinya.


Antara cintakan anaknya dan cintakan Tuhannya, Ibrahim mesti memilih. Tetapi pilihan ini pastilah bukan bertujuan menzalimi Ibrahim. Hanya mahu menguji akan ketaatan dan kekuatan imannya.


Pastinya dalam ujian ini, bukan Ibrahim seorang sahaja teruji. Ismail yang telah pernah lama ditinggalkannya itu juga diuji. Apakah dia bersedia menyerahkan dirinya dengan perintah sedemikian itu dari Allah?


Simbolik kepada cintakan dirinya atau cintakan Allahkah yang akan diutamakannya?


 


Legasi Cinta Ibrahim Yang Mengalir Dalam Didikannya Kepada Ismail


Imam Syafie pernah menyebut dalam salah satu petikan syairnya :


“Aku berserah sekiranya Allah berkehendakkan kepada suatu perkara,


     Dan aku akan tinggalkan apa yang aku mahu kepada apa yang Dia mahu.


Tiadalah ruang bagi kemahuanku, sekiranya Allah


    Menghendaki untuk aku apa yang aku tidak mahu.”


Ibrahim itu terkenal benar cerita hidupnya dengan ketaatan yang sangat dalam kepada Allah. Peristiwanya dengan kaumnya sudah menjadi sebahagian besar bukti cintanya yang dalam kepada Allah. Belum ditambah lagi dengan peristiwanya dibaling masuk ke dalam api, bagaimana baginda berdakwah kepada orang yang disebutkan sebagai ayahnya sendiri, diuji pula dengan disuruh untuk menghantar isterinya, Hajar dan anaknya yang baru lahir, iaitu Ismail tinggal di tengah padang pasir yang entah tidak pernah didiami oleh sesiapapun.


Kekuatan tawakkal dan pergantungannya kepada Allah yang sangat mendalamlah memberikan kekuatan untuk baginda terus mengharungi hari demi hari perjuangannya itu dengan sabar dan istiqamah.


Ada perkara yang diputuskan oleh Allah mungkin tidak menepati jiwa manusiawi Ibrahim, tetapi dituruti juga kerana keyakinan dan penyerahannya yang mendalam kepada Allah s.w.t.


Namun, baginda tidak berhenti sekadar itu. Anaknya Ismail dididik dengan didikan yang sama untuk meyakini dan meletakkan tawakkal yang tinggi kepada Allah dalam kehidupannya.


Perasaan berat hati seorang ayah menjelma dalam hati Ibrahim saat arahan penyembelihan anaknya itu berulang dalam mimpi. Itulah yang mungkin menyebabkan dia meminta pandangan anaknya dahulu sebelum terus melaksanakan arahan itu.


“…maka lihatlah apa pendapatmu…” kata Ibrahim kepada anaknya usai mengkhabarkan arahan penyembelihan itu.


Legasi didikan Ibrahim berjaya. Rasa cinta yang mendalam kepada Allah telah tertanam kuat dalam hati Ismail.


 “…wahai ayahku,…” kata Ismail, “ lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu, InsyaAllah engkau akan mendapati aku termasuk orang-orang yang sabar.”


 


Cinta Melahirkan Erti Korban


“Sekiranya kita melihat seseorang itu mencintai apa yang dicintai Tuhannya, membenci apa yang dibenci Tuhannya, kemudian setiap perkara yang menjadi kecintaan Tuhannya menjadi kecintaannya serta mengesani pula dirinya, serta setiap perkara yang menjadi kebencian Tuhan menjadi kebencian pula pada dirinya dan berusaha dijauhinya…” kata Ibn Qoyyim Al-Jauziyah, “…tahulah kita bahawa orang itu telah menjadi orang yang dekat dengan Tuhannya.” [Ad-Da’ Wa Dawa’]


Untuk memiliki kecintaan sebesar apa yang telah Ibrahim dan Ismail tunjukkan itu memerlukan usaha dan kesungguhan yang besar.


Logik akal pastinya menolak untuk seorang ayah menyembelih anaknya tanpa apa-apa sebab.


Tetapi kecintaan kedua-duanya kepada Allah jauh mendahului logik akal mereka, akhirnya, Allah gantikan Ismail dengan seekor kibasy.


Kecintaan mereka melahirkan pengorbanan.


Arahan penyembelihan Ismail itu seakan simbolik untuk ditayangkan sebagai pengajaran kepada ummat, bahawa kecintaan yang sebenar kepada Allah itu melahirkan pengorbanan.


Berkorban kepentingan diri sendiri demi mengutamakan kepentingan Allah.


Dalam beberapa hal dalam kehidupan kita, kadangkala kita sukar untuk mengutamakan kepentingan Allah dalam kehidupan kita.


Antara main game, berfacebook dengan solat berjemaah?


Antara bangun menunaikan solat Subuh dengan meneruskan tidur dalam pelukan selimut?


Antara kesediaan mahu meninggalkan rokok dengan sikap ego kita?


Antara melakukan hijrah ke arah kebaikan dengan terpengaruh terhadap tohmahan dan perlian kawan-kawan lama kita?


Antara kesediaan mahu berubah dengan alasan yang banyak dalam diri kita?


Yang manakah kita bersedia untuk korbankan? Yang mana pula kita bersedia untuk utamakan?


Semuanya kembali kepada asas cinta kita kepada Allah. Cinta kepada Allah membuatkan seseorang itu memandang kehidupan dan masa depannya dengan pandangan yang meluas dan mendalam.


Ia tidak memandang pada hidupnya untuk sehari dua saja, tetapi dia melihat kepada apa yang bakal terjadi kepada dirinya pada beberapa tahun akan datang, pada ketika dia kembali di hadapan Allah nanti.


Maka, untuk itu, dia harus menyediakan diri sebaiknya. Meletakkan kepentingan Allah di depan dan bersedia mengorbankan kepentingan dirinya dahulu sekiranya tidak membawa apa-apa manfaat untuk masa depannya.


 


Penutup : Beginilah Ibrahim Mengajar Kita Berkorban


Sunnah berkorban yang diwarisi sehinggalah ke hari ini dalam ummat Islam dengan menyembelih binatang-binatang an’am (seperti lembu, unta dan kambing), bukanlah semata-mata sunnah untuk ditiru zahirnya itu sahaja.


Tetapi untuk kita belajar dan menyerap roh pengorbanan itu sendiri.


Bagaimana boleh lahir tindakan Ibrahim sehingga tahap itu sekali, untuk sanggup menyembelih Ismail kerana mahu mengikuti arahan Tuhannya meskipun itu bercanggah dengan naluri kebapaannya, itulah yang perlu kita belajar dan selami.


Sedalam itu cinta Ibrahim kepada Tuhannya, sedalam itu jugalah kesanggupan yang lahir dari dirinya untuk berkorban untuk ummat dan deen Allah s.w.t.


Cinta mereka melahirkan pengorbanan untuk ummat dan agama. Cinta kita pula melahirkan apa?


Kerehatan? Ketidakpedulian?


Muhasabah. Mari belajar dari Ibrahim.

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on October 03, 2013 12:02

Umum: Seminar Bagaimana Menyentuh Hati(BAYU) – Pendaftaran Dibuka!

960169_573676066026027_385481551_n


 


 


Anjuran: LangitIlahi Consultancy dan Journalism Club UIA Gombak.

Tarikh: 10hb November 2013

Tempat: KAED Main Auditorium, UIA, Gombak.

Masa: 8.00am – 10.30pm.

Yuran: RM50

Promosi Early Bird(Valid hingga 31hb Oktober 2013): RM35 sahaja!


Pendaftaran secara online di: http://langitilahi.com/bayu


Tempat untuk Seminar BAYU ini hanya terhad kepada 500 orang sahaja!


Jom daftar segera!

Ajak kawan-kawan kita!


——————-

Tentatif:

08.30 pagi: Kehadiran

09.00 pagi: Ucaptama – Sentuhan Hati – Hilal Asyraf

10.00 pagi: Penyampaian 1 – Mengapa Hati Perlu Disentuh – Ustazah Fatimah Syarha

11.30 pagi: Penyampaian 2 – Strategi Menyentuh Hati – Ustaz Pahrol Md Juoi

01.00 petang: Rehat.

02.00 petang: Penyampaian 3 – Peribadi Penyentuh Hati – Abu Ridhwan.

03.30 petang: Sesi Bual Bicara ‘Hati Ke Hati’ Bersama Ustaz Hasrizal Abdul Jamil

04.30 petang: Rehat, solat asar

05.20 petang: Penyampaian 4 – Menyentuh Hati: Sebuah Perkongsian Pengalaman – Azmi Bahari.

06.30 petang: Rehat.

08.00 malam: Forum Menggencarkan Dakwah Kampus.

Moderator – Hilal Asyraf

Panel – Dr Azizan Ahmad, Sister Amnani Akhili, Dr Maszlee Malik


10.30 malam: Bersurai.

——————-


Daftar segera di: http://langitilahi.com/bayu\


1272032_573692496024384_170327718_o

1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on October 03, 2013 05:52

October 2, 2013

Fotografi: Knowledge

 



| Hall at Balliol College | University of Oxford | Oxford, England |

( Sony Alpha Nex-5N | f4 | 1/60 | ISO320 )


 


“Knowledge comes, but wisdom lingers.” 

― Alfred Tennyson

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on October 02, 2013 07:57

October 1, 2013

Poster: Perkataan Yang Baik

pohonyangbaik

“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik? Akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit? Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu beringat.”


“Have you not considered how Allah presents an example, (making) a good word like a good tree, whose root is firmly fixed and its branches (high) in the sky? It produces its fruit all the time, by permission of its Lord. And Allah presents examples for the people that perhaps they will be reminded.”


(Surah Ibrahim, 14 : 24–25)

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on October 01, 2013 16:10

Umum: Menjadi Kolumnis LangitIlahi.Com – Saringan 1

Team LangitIlahi


Assalamu’alaikum.

Dengan ini saya, Muhammad Hilal Asyraf, selaku pengasas dan pemilik kepada Website pembangunan minda dan rohani – LangitIlahi.Com mengumumkan bermulanya proses saringan pertama untuk memilih kolumnis baru di LangitIlahi.Com, menambah barisan kolumnis yang sedia ada.


Kami mencari:


Tiga orang penulis.

Tiga orang pelukis komik.

Dua orang pereka poster.

Seorang vlogger.

Seorang penasyid.


Terbuka kepada semua umur, juga kepada lelaki dan perempuan.



Sekiranya anda berminat, maka anda hendaklah melalui saringan pertama dengan memberikan kepada saya item-item berikut:


Item pertama: Biodata penuh -

- Gambar diri anda, high definition sebaiknya.

- Nama penuh

- Nombor Kad Pengenalan

- status diri

- Pengajian/Kelulusan/Pekerjaan

- Alamat terkini

- Nombor perhubungan

- Pencapaian: *jika ada


Item kedua: Contoh persembahan -


Requirement(setiap individu pilih satu sahaja).

- Penulis: Dua artikel/cerpen(minimum 3ms, maksimum 5ms, font callibri, size 11, single spacing)

- Pelukis: Dua komik(setiap satu komik,1ms)

- Vlog: Dua episod Vlog(tidak kurang dari 5min, tidak lebih dari 7min) yang diupload ke youtube secara berasingan – berikan link.

- Penasyid: Dua nasyid yang diupload ke Youtube secara berasingan – berikan link.

- Poster Designer: Empat Poster


Item ketiga: Jawab soalan berikut -

1 – Dari mana kenal LangitIlahi?

2 – Berapa lama mengenali LangitIlahi?

3 – Apa cita-cita anda di dalam hidup ini?

4 – Berapa karya Hilal Asyraf yang telah dibaca?

5 – Mengapa hendak menyertai kolumnis LangitIlahi?

6 – Sejauh mana anda mampu memberikan komitmen untuk menghantar karya ke LangitIlahi.Com? (berapa kali sebulan).


Hantar tiga item ini ke email hilalasyraf@langitilahi.com sebelum 25hb Oktober 2013.


Sekiranya anda berjaya melepasi saringan pertama ini, anda akan menerima reply daripada saya sendiri – Hilal Asyraf – pada 1hb November 2013, dan akan menerima arahan untuk saringan kedua pula. Saringan kedua hanya akan terbuka untuk mereka yang melalui saringan pertama sahaja. Harap maklum.


Selamat berjaya.

Mari Menjadi Hamba!

————————————–

Kepada yang berhajatkan gaji daripada tugasan menjadi Kolumnis LangitIlahi.Com ini, sila lupakan untuk memasuki saringan ini.


Peluang ini dibuka hanya untuk mereka yang ingin menyumbangkan bakat mereka kepada audiens yang lebih ramai, agar ianya dapat menumpahkan manfaat yang besar kepada ummah.


Kolumnis yang terpilih tidak dijanjikan apa-apa ganjaran berbentuk wang, selain kebersamaan dalam bekerja, saling lengkap melengkapi antara Team LangitIlahi, dan medan untuk meluahkan potensi yang ada.


Sekian, harap maklum.

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on October 01, 2013 04:15

September 30, 2013

Kehidupan: Mahasiswa dan Ilmu – Membina Generasi Iqra’

j164


 


Ayat pertama yang diturunkan di dalam Islam ialah Iqra’


Sebahagian kita hanya melihat itu adalah kepentingan Islam terhadap pentingnya ilmu. Bila dikatakan ‘membina generasi iqra’, ramai yang melihat ianya membina generasi berilmu. Namun saya sering melihat ia sebagai sesuatu yang lebih signifikan. Lebih besar.


Mahasiswa adalah satu lapisan komuniti yang mempunyai potensi yang tidak terhingga. Mahasiswa boleh menjadi kepimpinan negara, juga boleh menjadi yang merobohkannya. Nilai intelek, kreativiti, semangat, tenaga yang wujud pada anak-anak muda, bukanlah satu perkara yang patut dipandang sebelah mata.


Oleh orang lain, juga oleh mahasiswa itu sendiri. Kita bermula dari diri mahasiswa itu sendiri. Makanya mahasiswa perlu menyedari, membina dirinya untuk menjadi generasi Iqra’.


Apakah generasi Iqra’ itu?


 


Bermula Dengan Bacalah, bukan Berimanlah


Allah SWT menurunkan ayat pertama untuk Islam dengan ayat ‘bacalah’. Iqra’


Tidak Dia turunkan agama ini bermula dengan ayat – Berimanlah!


Tidak juga Dia turunkan agama ini bermula dengan arahan – Wahai Muhammad, pergilah menyeru manusia lain beriman kepadaKu!


Tetapi lafaz yang pertama, ialah Iqra’.


Apa yang perlu dilihat di sini ialah, Islam mengutamakan kefahaman. Tidaklah Islam itu datang dengan paksaan untuk beriman. Tetapi Islam datang membawa pencerahan, menambah kefahaman dan membuka minda manusia terhadap kebenaran.


Di sana kita lihat lengkapnya ayat Iqra’ ini dengan – Iqra’ bismirabbik al-ladzi kholaq. Bacalah dengan nama tuhanmu yang menciptakan.


Kita diarahkan untuk memperdalamkan kefahaman kita, untuk mencari sebuah kebenaran. Membuka minda kita untuk melihat apa yang sebenarnya perlu kita laksanakan di dalam kehidupan ini. Ayat itu diikat dengan – ‘dengan nama tuhanmu yang menciptakan’. Seakan-akan kefahaman itu perlu bermula dengan kita mempersoalkan diri kita.


Siapakah kita? Mengapa kita didatangkan? Dan ke mana kita akan pergi?


Antara soalan paling asas yang terbaik untuk kita mulakan perjalanan mencari kebenaran. Di sana kita akan melihat bahawa kita bukanlah hamba kepada mana-mana orang, juga mana-mana sistem, juga mana-mana ism. Tetapi kita bermula sebagai hamba kepada Allah SWT. Kita hanya tunduk kepada sistemNya. Dia sahajalah Tuhan kita.


Bila kita meneruskan pembacaan kita, kita akan bertemu dengan pelbagai bukti menunjuk ke arah ini. Terutama apabila kita menelaah Al-Quran itu sendiri.


 


Mahasiswa Dan Perhambaan Moden


Hari ini mungkin kita tidak dipaksa untuk sujud kepada berhala. Tetapi sentiasa sebenarnya syaitan itu berusaha dan tidak berputus asa. Berhala muncul dalam pelbagai bentuk dan rupa, jikalah kita ini tidak mempunyai minda yang sedar dan kebenaran tidak terbuka kepada kita, maka secara tidak sedar, kita telah sujud kepada berhala-berhala moden ini.


Berhala tersebut sama ada muncul dalam bentuk sukan, game, fesyen, parti politik dan sebagainya. Apa sahaja perkara yang mensisihkan kita daripada perhambaan kita kepada Allah SWT, hingga kita mampu mengenepikan tanggungjawab kita terhadapNya. Maka itulah dia berhala moden hari ini.


Mahasiswa sepatutnya mengambil semangat Ibrahim AS, yang kala usia mudanya telah menggapai kesedaran ini dengan ‘membaca’ suasana kelilingnya hingga terbuka kepadanya kebenaran. Sama-sama kita perhatikan kisahnya yang tercatat di dalam Al-Quran:


Dan (ingatlah) ketika Nabi Ibrahim berkata kepada bapanya Aazar: “Patutkah ayah menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan? Sesungguhnya aku melihatmu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata.” Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Nabi Ibrahim kebesaran dan kekuasaan (Kami) di langit dan di bumi, dan supaya menjadilah ia dari orang-orang yang percaya dengan sepenuh-penuh yakin. Maka ketika ia berada pada waktu malam yang gelap, ia melihat sebuah bintang (bersinar-sinar), lalu ia berkata: “Inikah Tuhanku?” Kemudian apabila bintang itu terbenam, ia berkata pula: “Aku tidak suka kepada yang terbenam hilang”. Kemudian apabila dilihatnya bulan terbit (menyinarkan cahayanya), dia berkata: “Inikah Tuhanku?” Maka setelah bulan itu terbenam, berkatalah dia: “Demi sesungguhnya, jika aku tidak diberikan petunjuk oleh Tuhanku, nescaya menjadilah aku dari kaum yang sesat”. Kemudian apabila dia melihat matahari sedang terbit (menyinarkan cahayanya), berkatalah dia: “Inikah Tuhanku? Ini lebih besar”. Setelah matahari terbenam, dia berkata pula: “Wahai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri (bersih) dari apa yang kamu sekutukan (Allah dengannya). “Sesungguhnya aku hadapkan muka dan diriku kepada Allah yang menciptakan langit dan bumi, sedang aku tetap di atas dasar tauhid dan bukanlah aku dari orang-orang yang menyekutukan Allah (dengan sesuatu yang lain)”. Surah Al-An’am ayat 74-79.


Dan lihatlah bagaimana pemuda ini kemudiannya memusnahkan berhala-berhala yang ada.


Lalu ia pergi kepada berhala-berhala mereka secara bersembunyi, serta ia bertanya (kepada berhala-berhala itu, secara mengejek-ejek): “Mengapa kamu tidak makan? “Mengapa kamu tidak menjawab?” Lalu ia memukul berhala-berhala itu dengan tangan kanannya (sehingga pecah berketul-ketul). (Setelah kaumnya mengetahui hal itu) maka datanglah mereka beramai-ramai kepadanya. (Bagi menjawab bantahan mereka), ia berkata: “Patutkah kamu menyembah benda-benda yang kamu pahat? “Padahal Allah yang mencipta kamu dan benda-benda yang kamu buat itu!” (Setelah tak dapat berhujah lagi, ketua-ketua) mereka berkata: “Binalah untuk Ibrahim sebuah tempat (untuk membakarnya), kemudian campakkan dia ke dalam api yang menjulang-julang itu”. Maka mereka (dengan perbuatan membakar Nabi Ibrahim itu) hendak melakukan angkara yang menyakitinya, lalu Kami jadikan mereka orang-orang yang terkebawah (yang tidak berjaya maksudnya). Surah As-Saffat ayat 91-98.


Kebenaran membuatkan dia berani memecahkan berhala-berhala tersebut.


Bukanlah apa yang saya tulis ini hendak menyeru kepada merosakkan rumah ibadat orang lain. Tetapi apa yang hendak saya serukan adalah agar mahasiswa-mahasiswi menjadi generasi yang mencari kebenaran, untuk seterusnya menjadi berani merobohkan berhala-berhala di dalam diri mereka, sekaligus tampil sebagai peribadi-peribadi yang boleh diberikan tanggungjawab untuk memimpin ummah ini.


Amat malang apabila mahasiswa yang mempunyai potensi yang tidak terhingga, tidak bergerak mencari kebenaran di dalam kehidupannya. Sangat rugi apabila golongan ini menjadi sempit, jumud dan terperangkap hanya dengan satu-satu cara fikir semata-mata.


Sedangkan untuk mengemudi ummat ini, yang mempunyai pelbagai jenis manusia, pelbagai jenis kaum, ditambah dengan pelbagai jenis ancaman baik yang jelas atau yang tersembunyi, kepimpinan perlu bijak dan matang untuk menjadikan pengemudian ini satu perkara yang berjaya.


 


Penutup: Membebaskan Minda dan Jiwa


Maka kita kembali kepada asalnya.


Menjadi generasi yang membaca. Membaca tidak semestinya membaca buku semata-mata. Membaca boleh jadi dengan tangan – bereksperimen, mengkaji. Membaca boleh jadi dengan kaki – berjalan, mengembara, pergi ke majlis ilmu. Membaca boleh jadi dengan mulut – bersembang dengan orang yang lebih tua. Membaca boleh jadi dengan mata – buat perhatian, membaca buku, menonton dokumentari.


Yang pastinya, kita tidak memenjara diri kita hanya dengan buku teks dan mata pelajaran kita semata-mata. Tidak cukup kita merasa lega hanya dengan usrah dan apa yang mas’ul kita suapkan buat kita.


Binalah diri yang kritis dan kreatif. Sambil mempunyai prinsip.


Lihatlah kala Allah SWT menurunkan ayat pertama itu, dipesankan agar kita ‘membaca dengan nama Tuhan yang menciptakan’. Yakni ilmu ini, pencarian ini, kita cari adalah untuk memperhambakan diri kita, dan orang lain kepada Allah SWT.


Tuhan kita hanya Allah SWT. Bukan orang lain. Bukan sistem lain. Bukan perkara lain.


Maka mulakanlah perjalanan ini. Kala diri masih muda, otak masih cerdas, mata masih tajam, tenaga masih banyak. Mengapa perlu menjadi orang tua yang menyesal dengan pembaziran masa mudanya.


Lebih teruk, nanti menjadi orang tua yang tidak menyesal kerana dia langsung rasa selesa dengan apa sahaja yang dunia suapkan kepadanya.


Semoga Allah menjadikan kita manusia yang cerah mindanya, bersih jiwanya.


Rabbi zidna ilma nafi’a, war zuqna fahman wasi’a!

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on September 30, 2013 20:08