Hilal Asyraf's Blog, page 11
February 27, 2018
Cerpen : Reuni Hati
“Nabila, ayo cepat!” ujar Naura sedikit berteriak. Ia terlihat begitu gelisah. Tak ia perdulikan hawa sejuk yang menembus jaketnya. Sedangkan beberapa meter di belakang, Nabila berjalan dengan santainya.
“Ini baru pukul 6, kenapa kau terburu-buru?” tanya Nabila sambil mensejajarkan langkah dengan sahabatnya itu.
“Apa kau lupa dengan rutinitas pagiku?”.
“Lalu apa kau tak bisa menghentikan kebiasaan konyolmu itu, untuk hari ini?”.
Naura tak lagi memperdulikan kata-kata sahabatnya. Ia terus berjalan dengan lajunya. Seperti biasa, pemandangan hijau langsung menyambut mereka, begitu Naurah dan Nabila melewati gerbang sekolah. Pepohonan tertata rapi di sepanjang jalan menuju kelas, bunga-bunga yang bermekaran pun seolah memberikan senyuman kepada keduanya.
Setelah menyimpan tasnya di laci meja, Naura langsung kembali ke teras. Kelas mereka yang berada di lantai tiga membuat mereka bisa dengan leluasa melihat seisi sekolah dari atas.
Beberapa menit kemudian, seorang pemuda datang dengan berkendara sepeda. Dengan ramah ia menyapa satpam sekolah, yang dibalas dengan senyuman hangat.
Sepasang mata memerhatikannya dari kejauhan. Penglihatannya tak pernah lepas dari sosok Azan Abdullah. Azan adalah pemuda yang banyak diidamkan oleh gadis-gadis di sekolahnya. Prestasi yang gemilang, akhlak yang menawan ditambah dengan wajah yang rupawan menjadi daya tarik tersendiri bagi Azan. Tak heran bila Naura pun jatuh hati padanya.
“Dor..!”
“Eh, Copot..copot!”.
Tawa Nabila bergema di lorong kelas begitu melihat ekspresi terkejut sahabatnya.
“Dasar, kau!” ujar Naura kesal.
“Kau tahu, matamu seperti akan copot karena memerhatikan kak Azan. Sudah terlalu banyak hal yang kamu lakukan untuk dia, bukan?
Apa kau benar mencintainya?
Apa dia pernah melakukan hal yang sama sepertimu?”
“Ssttt.. Jangan keras-keras, aku bisa malu jika didengar orang. Aku jelas mencintainya, apalagi kalau bukan cinta?” jawab Naura sambil menutup rapat mulut sahabatnya dengan kedua tangan.
“Apa kau yakin itu cinta?” tanya Nabila lagi. Tangan Naurah tak lagi berada di mulutnya kini.
“Tentu.”
”Yang kutahu, itu hanya kesia-siaan.” Ekspresinya berubah serius.
Nabila menarik Naura menuju taman belakang. Karpet hijau terhampar rapi di taman itu. Air mancur yang berada tepat di tengah taman menjadikan taman itu semakin indah dipandang.
“Cinta itu kesucian, dia tidak akan membuatmu menyimpangi hukum-Nya. Kau tahu kan, Allah memerintahkan kita untuk menundukkan pandangan, tapi yang kamu lakukan itu sebaliknya. Sepertinya kau lupa bahwa Allah itu Maha Menyatukan, Ia pula Maha Memisahkan. Jika benar namanya yang tertulis di di langit untukmu, sejauh apapun kau pergi dia akan menemukanmu. Begitu sebaliknya, jika bukan namamu yang tertulis untuknya, sekalipun kalian sedekat nadi, kalian akan terpisah dengan cara yang tak pernah kau ketahui.”
Naura tertegun mendengar penuturan sahabatnya.
“Aku tidak bermaksud menceramahimu, aku seperti ini karena menyayangimu. Aku tidak ingin, sholatmu kemudian sia-sia, auratmu yang tertutup juga tidak ada gunanya kalau kamu bertindak demikian. Mencintai tidak salah, itu fitrah kita sebagai manusia, hanya saja kita harus memerhatikan juga perintah dan larangan-Nya.”
“Lalu apa yang harus kulakukan?”
“Aku tahu, kau tahu jawabannya.”
Naura lalu memeluk sahabatnya, pagi itu warnai dengan tangis Naura. Ia sadar apa yang dia lakukan tidaklah benar. Ia bersyukur telah dipertemukan dengan Nabila yang selalu mengingatkannya ketika salah.
***
Tahun berlalu begitu cepat. Naura dan Nabila kini telah menyelesaikan studi mereka dan bekerja di perusahaan ternama. Nabilla telah dipinang setahun yang lalu oleh salah seorang lulusan pesantren terkemuka yang ada di daerah Jawa. Lain halnya dengan Nabila, Naura masih memilih sendiri.
“Bu, hari ini kita ada rapat bersama investor. Rapatnya dijadwalkan pukul sembilan.” Ujar sekertaris Naura.
“Baiklah. siapkan semuanya. Aku akan segera kesana.”
Tak perlu waktu lama bagi Naura menyelesaikan tugasnya. Ia lalu menuju ke ruang pertemuan. Matanya langsung tertumbuk pada sesosok pria berjas hitam yang terlihat sedang menunggunya. Dengan ragu ia lalu mendekati pria tersebut.
“Selamat pagi. Maaf bila anda lama menunggu.” Ucapnya basa-basi.
“Tidak masalah. Apa kau Naura Rania?” tanya pria itu to the point.
“Iya,” jawabnya ragu.
“Apa kau tak mengenaliku?” Kening Rania berkerut, menyambut pertanyaan itu. Ia memang mengenali sosok di depannya. Tapi ia tidak yakin dengan hal itu.
“Aku Azan. Azan Abdullah. Apa kau sudah dilamar?”
“Be..belum.” ia sampai terbata mengucap kata.
“Baiklah. Aku akan menemui kau dan orangtuamu. Aku juga akan datang bersama orang tuaku. Aku akan melamarmu.”
Belum hilang keterkejutan dalam diri Naura, ia kembali terkejut bukan kepalang mendengar pernyataan Azan kepadanya. Ia bahkan tak bisa mengontrol degub jantungnya. Tak ada kata yang mampu menggambarkan perasaanya. Hati yang lama menjauh, berujung pada temu yang tak pernah keduanya tahu.
February 26, 2018
kecantikan sebenar
Apa ertinya berkulit mulus bersinar seperti epal Granny Smith’s jika hati busuk seperti Amorphaphallus Titanum, sejenis bunga yang kelihatan cantik tetapi berbau seperti bangkai. Bukankah Allah S.W.T. memandang kecantikan dalaman iaitu ketakwaan kita, bukannya kecantikan luaran semata. Kecantikan anugerah tuhan tidak bermakna ia menjadi tiket untuk menghina kekurangan orang lain. Kecantikan itu hanyalah satu kelebihan sedang kita sebagai manusia masih punya banyak kekurangan.
Ketika dia termenung melihat pemandangan malam kota Kuala Lumpur, mindanya memutar kembali peristiwa beberapa hari lalu. Peristiwa yang memaparkan sisi buruk masyarakat hari ini ketika dia berkelana cuba lari dari kesibukan kerja sambil melihat keindahan ciptaan tuhan.
Ikmal menapak keluar dari teksi Uber setelah menghulur tambang kepada pemandunya. Ketika itu dia dapat melihat senyuman terukir di wajah tua pemandu itu. Barangkali sebagai pengganti ucapan terima kasih atau tanda syukur atas rezeki yang diperoleh. Tanpa sedar dia turut tersenyum ketika menutup pintu . Setelah teksi itu bergerak pergi, dia memusingkan tubuh, menghadap sebuah restoran. Cat’fe, Dining and Cat Boutique , nama itu terpapar pada papan tanda di dinding restoran.
Beberapa hari lalu, dia melayari laman sesawang berkenaan tempat makan yang menarik di Shah Alam dan tertarik melihat paparan berkenaan restoran ini. Sesuai dengan namanya, restoran yang beralamat di Vista Walk, unit B-G-9 dan B-I-9, Jalan Ikhtisas, Vista Alam, Seksyen 14 ini menjadi lokasi warga kota mengisi perut sambil melayan kerenah pelbagai spesies kucing tempatan dan luar negara. Oleh kerana Ikmal menyukai kucing, dia mengambil keputusan berkunjung kesini , melihat kucing kucing cantik sambil melepaskan tekanan kerja.
Sebaik sahaja melabuhkan punggung, dia lekas memanggil pelayan. Seorang wanita bertubuh kecil molek kelihatan pantas menghampiri. Suaranya lembut bertanyakan pesanan. Ikmal hanya memesan jus oren dan menyatakan dia akan memesan makanan kemudian. Pelayan itu hanya mengangguk kecil dan lekas berlalu. Seketika kemudian , matanya mula meliar melihat suasana kedai. Dia tersenyum sediri melihat perlakuan beberapa ekor kucing dari baka British Shorthair. “ ciptaan tuhan yang sangat comel, “ dia bermonolog. Sorotan matanya terhenti di satu sudut . kelihatan seorang wanita bergaya tipikal watak antagonis drama Tv3 duduk berseorangan .Ikmal terus memerhati, seakan ada sesuatu yang meminta dia berbuat demikian.
Seekor Selkirk Rex kelihatan mendekati wanita itu lalu mencuit lembut kakinya, tanda inginkan perhatian. Namun tindak balas wanita itu agak mengejutkan apabila menolak kasar kucing itu dengan kakinya. Wajahnya jelas menunjukkan tanda tidak suka akan perlakuan kucing itu. Ikmal bingkas bangun mendekati lalu mengambil kucing itu sambil menjeling tajam wanita itu. Ekor matanya dapat menangkap nama yang tertera pada baju wanita itu. “Hasna Hidayah, nama yang cantik, tapi sayang tak secantik sifatnya,” Ikmal berkata pelahan. “Eloklah, bawa kucing tu jauh dari saya. Tak suka kucing dekat dengan saya, geli,” Husna bersuara kasar.
Langkah kaki Ikmal menuju mejanya terhenti. Dia memusingkan tubuhnya kembali kearah Husna. “ ironik, awak tak suka kucing tapi datang ke kafe kucing. Bukankah itu tindakan kurang bijak? Mungkin awak tak baca papan tanda nama kafe kat luar,” Ikmal membidas lembut. Namun tiada sebarang tindak balas daripada Husna. Dia hanya menjeling tajam tanpa bergerak sedikit pun.mulutnya bergerak tanpa suara. Barangkali dia merasa kurang senang atas teguran nya. Ikmal menggeleng kepala sambil menggosok lembut kucing ditangannya. Dia kembali menuju ke meja.
Beberapa minit kemudian, ketika Ikmal mencicipi minumannya, ekor mata Ikmal menangkap kelibat seorang gadis bertudung. Dua tangannya kelihatan memangku seekor kucing Scottish Fold betina. Gadis itu kelihatan cuba mencari meja kosong namun gagal kerana semua kerusi telah diduduki kecuali dua meja termasuk mejanya. Akhirnya dia bergerak menuju meja yang diduduki gadis bernama Husna tadi. “ Boleh saya duduk disini? Semua meja dah penuh,” gadis itu bertanya, cuba meminta kebenaran. Namun tiada sebarang respon daripada Husna. Dia menarik kerusi, terpaksa duduk disitu kerana tiada pilihan lain.
Husna yang sedang asyik dengan telefon pintarnya lekas berpaling apabila mendengar keriuk kerusi ditarik. Sebaik sahaja melihat wajah dihadapannya, amarahnya meledak tanpa amaran. “Hei perempuan, siapa suruh kau duduk disini?” dia menjerit marah tiba tiba. Semua mata mula memerhati Husna yang kini bercekak pingggang. Beberapa ekor kucing melompat kerana terperanjat. Gadis itu kelihatan terpana menerima jerkahan tiba tiba. Tangannya menolak perlahan menolak kembali kerusi. Matanya kelihatan sedikit berkaca.
“ Semua meja sudah penuh kecuali meja ini. Saya sudah minta kebenaran tapi cik tidak memberi respon,” gadis itu cuba membela diri. “Aku tak suka perempuan hodoh macam kau duduk disini. Muka berjerawat, kulit hitam, pakaian macam orang kampung,” Husna menghamburkan kata kata penghinaan. Ikmal yang mendengar kekecohan itu memutar kerusinya, kearah meja Husna. Peristiwa itu ternyata menerbitkan rasa marah dihatinya. Dia menyilangkan kaki, cuba bertenang sambil melihat perlakuan Husna yang semakin menjadi jadi.
Gadis itu melepaskan Scottish Fold ditangannya. Air matanya mula mengalir, sedih dengan penghinaan yang diterima. Husna yang melihat gadis itu menangis tersenyum kerana merasa kemenangan. Gadis itu kelihatan berjalan menuju pintu keluar, mungkin membatalkan hasrat menjamu selera disitu. Ikmal memanggilnya kembali, bertanyakan namanya kemudian menawarkan mejanya. “Harsya Hawadah, nama yang indah. Awak duduk disini, saya dah selesai.”
Ikmal mendekati meja Husna lalu duduk tanpa meminta kebenaran. Husna yang melihat dia duduk cepat berpaling. “Awak lagi, apa yang awak mahu?” dia bertanya, masih dengan nada kasar. Ikmal ketawa kecil, lalu bertanya, “Adakah awak merasa awak cantik?” Husna tersenyum tanpa menyedari maksud tersirat disebalik pertanyaan itu. “Sudah tentu. Rambut saya panjang mengurai, wajah putih berseri tanpa jerawat, pakaian mengikut fesyen terkini. Saya rasa sangat cantik, tak macam dia . pakai baju kurung, muka berjerawat, kotor, hodoh,” dia memuji diri sendiri sambil terus menghina Harsya Hawadah.
Ikmal melihat sekilas kearah Harsya Hawadah yang tunduk merenung lantai. Air matanya kelihatan semakin lebat menitis. Rasa simpati terbit dihati Ikmal. Dia merasa gadis itu tidak sepatutnya menerima penghinaan sebegitu rupa. Dia kembali merenung wajah Husna, cuba menahan marah dan mengatur kata-kata. Dia ingin menyedarkan Husna tanpa menghambur rasa marah.
“Tiada gunanya berwajah cantik jika mendatangkan riak dan sombong sehingga sanggup menghina orang lain. Seperti epal yang berkulit licin mulus tetapi buruk didalam. Sesungguhnya Allah s.w.t mengurniakan kecantikan fizikal itu sebagai satu nikmat dan ujian pada waktu yang sama. Sayangnya awak telah menggunakan nikmat itu untuk menjatuhkan orang lain, gagal dalam ujian tuhan. Allah s.w.t tidak memandang kecantikan wajah, sebaliknya kecantikan hati,” kata Ikmal, cuba menasihati Husna.
Namun Husna hanya mencebik, seakan enggan menerima kata-kata Ikmal. Dia merasakan nasihat itu hanya kata-kata kosong yang tidak bermakna. “Jadi? Suka hati saya, kubur masing masing, awak nak berlagak ustaz ni kenapa?” Husna menengking lalu bergerak keluar dari kafe. Ikmal melihat dengan rasa kecewa. “Dia ingat kubur asing-asing, dia mati masuk sendiri dalam kubur ke? Nama saja cantik, tapi perangai buruk,” kata Ikmal perlahan.
Mengingati peristiwa itu hanya menyedarkan Ikmal hakikat masyarakat yang berlumba lumba menjual dan membeli produk kecantikan fizikal tetapi gagal menjaga kecantikan hati, sedangkan kecantikan sebenar terletak pada hati yang baik, bukan pada wajah semata. Seorang lelaki inggeris pernah berkata, “I do not care how much beautiful you are, if you behave ugly, you are ugly.” Tidak kira betapa cantik seseorang itu, jika berperangai buruk, maka dia akan dilihat buruk.
Imbauan memori terhenti apabila Ikmal mendengar keriuhan kucing bercakaran. Dia mengeluh beberapa kali sebelum merebahkan diri ke katil, cuba menghanyutkan diri ke alam mimpi.
Untuk Aku Sebagai Manusia
Manusia itu punya jiwa. Setiap jiwa itu punya hati dan perasaan. Jika manusia itu beriman, maka lembut dan tenanglah hati dan perasaannya. Jika manusia itu kufur, maka keras dan gundah-gulanalah jiwanya sehingga tiada lagi sifat kemanusiaan.
Manusia itu dilahirkan dengan tidak tahu apa-apa. Kerana itu, Allah kurniakan pancaindera untuk mencari dan merasai hikmahnya. Telah tersedia hidayah daripada-Nya. Terpulang kepada kita sama ada mahu bersyukur atau mengingkari.
Allah ciptakan manusia bukan sekadar perhiasan bumi. Bukan hanya untuk sia-sia. Tetapi sebagai khalifah di atas muka bumi ini serta tunduk taat kepada Allah dan beribadah hanyasanya kerana-Nya. Mengerjakan yang ma’ruf dan jauhi yang mungkar. Dalam erti kata lain, melakukan kebaikan dan kebajikan.
Firman Allah s.w.t dalam surah al-Baqarah, ayat 177:
لَيۡسَ الۡبِرَّ اَنۡ تُوَلُّوۡا وُجُوۡهَكُمۡ قِبَلَ الۡمَشۡرِقِ وَ الۡمَغۡرِبِ وَلٰـكِنَّ الۡبِرَّ مَنۡ اٰمَنَ بِاللّٰهِ وَالۡيَوۡمِ الۡاٰخِرِ وَالۡمَلٰٓـئِکَةِ وَالۡكِتٰبِ وَالنَّبِيّٖنَۚ وَاٰتَى الۡمَالَ عَلٰى حُبِّهٖ ذَوِى الۡقُرۡبٰى وَالۡيَتٰمٰى وَالۡمَسٰكِيۡنَ وَابۡنَ السَّبِيۡلِۙ وَالسَّآئِلِيۡنَ وَفِى الرِّقَابِۚ وَاَقَامَ الصَّلٰوةَ وَاٰتَى الزَّکٰوةَ ۚ وَالۡمُوۡفُوۡنَ بِعَهۡدِهِمۡ اِذَا عٰهَدُوۡا ۚ وَالصّٰبِرِيۡنَ فِى الۡبَاۡسَآءِ وَالضَّرَّآءِ وَحِيۡنَ الۡبَاۡسِؕ اُولٰٓـئِكَ الَّذِيۡنَ صَدَقُوۡا ؕ وَاُولٰٓـئِكَ هُمُ الۡمُتَّقُوۡن
“Bukanlah perkara kebajikan itu hanya kamu menghadapkan muka ke pihak timur dan barat, tetapi kebajikan itu ialah berimannya seseorang kepada Allah dan hari akhirat dan segala malaikat dan segala kitab dan sekalian nabi dan mendermanya seseorang akan hartanya sedang ia menyayanginya, kepada kaum kerabat dan anak-anak yatim dan orang-orang miskin dan orang yang terlantar dalam perjalanan dan kepada orang-orang yang meminta dan untuk memerdekakan hamba-hamba abdi dan mengerjanya seseorang akan sembahyang serta mengeluarkan zakat dan perbuatan orang-orang menyempurnakan janjinya apabila mereka membuat perjanjian dan ketabahan orang-orang yang sabar dalam masa kesempitan dan dalam masa kesakitan dan juga dalam masa bertempur dalam perjuangan perang sabil. (orang-orang demikian sifatnya) mereka itulah orang-orang yang benar (beriman dan mengerjakan kebajikan) dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa.”
Daripada kalam Allah yang tertera di atas, dapat disenaraikan 10 kategori kebajikan itu iaitu:
Beriman kepada Allah
Beriman kepada hari akhirat
Beriman kepada malaikat
Beriman kepada kitab-Nya
Beriman kepada Nabi dan Rasul
Menyumbangkan harta yang dicintainya kepada kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, orang yang musafir, orang yang meminta-minta dan memerdekakan hamba-hamba.
Mengerjakan solat
Mengeluarkan zakat
Menunaikan janji
Sabar dalam kesempitan, penderitaan dan pada masa peperangan
Tafsir Fi Zilalil Quran telah menafsir dan menerangkan ayat di atas bahawa tujuan perubahan kiblat dan syi’ar-syi’ar islam bukanlah menghadap ke timur dan ke barat atau ke Baitul Maqdis atau Masjidil Haram. Matlamat amalan-amalan kebaktian itu atau seluruh amalan kebaikan bukanlah daripada dalam hati semata dan sunyi dari perilaku di dalam kehidupan.
Malah kebaktian itu ialah pandangan, kefahaman, perasaan, tindakan-tindakan dan perilaku. Kefahamannya akan melahirkan kesan di dalam hati nurani individu dan masyarakat. Hakikat yang mendalam ini tidak boleh digantikan dengan semata-mata menghalakan muka ke timur dan ke barat sama ada menghadap kearah kiblat ini atau kiblat itu atau memberi salam ke kanan atau ke kiri yakni di dalam solat atau di dalam seluruh pergerakan yang dilakukan manusia dalam beribadah.
Tetapi kebajikan atau kebaikan itu seperti dalam ayat yang disenaraikan di atas. Itulah kebaktian yang menjadi wadah segala kebaikan. Sungguh tinggi nilainya di sisi Allah s.w.t. Itu lah juga sifat yang perlu ada pada seorang manusia yang bersifat kemanusiaan. Kefahaman dan perasaan yang melahirkan tindakan dan perilaku.
Kemanusiaan itu bukan sahaja menyertai misi kemanusiaan, baru dikatakan kemanusiaan. Tetapi bermula daripada diri-sendiri iaitu keimanan dan seterusnya menginfakkan harta, mengerjakan ibadah, menunaikan janji dan bersifat sabar.
Oleh itu, marilah sama-sama kita menjadi manusia yang beriman dan mengajak manusia lainnya kepada keimanan serta membantu saudara-saudara kita yang menderita dan memerlukan bantuan. Mereka itulah yang dikatakan Allah, orang-orang yang benar dan orang-orang yang bertaqwa.
February 25, 2018
How knowledge transformed me to become a better muslim
It’s been 8 years since I’ve found Islam. I don’t come from a family that practises Islam and observes its obligations, and the only person in my family who practises Islam is my father. So to be given guidance by Allah ‘Azza Wa Jal is the biggest blessing in my life – a life of eeman bears more fruits of patience and endurance in understanding life’s struggles.
Throughout my journey in finding Allah, I’ve had the opportunity to meet many muslims who have shaped me to become who I am today. Surprisingly, these individuals are the ones who are like me; they had little of Islam in their hearts, but something, perhaps a calamity or a trial in their lives that brought them out of their comfort zones sparked the fire within to search for the truth. They wanted clarity, a new lense to see the world as it is. Living in a fast-paced society, there was no room for one to take a breather and catch an air. They couldn’t pause for a moment to ponder upon life and reflect its purpose; in the slowness we witness life.
Today, Islam has helped me see reality as it is. Too many times we’ve clouded our perception of life by bombarding our minds with information that do not reflect the reality of this world. The media, if we’re not adept in using it, will more likely cause harm to our minds and ultimately, our souls. Just like food – the more junk food we eat, the more harm it will cause to our bodies. The more junk information we feed our minds, the more incapable we’ll become in discerning between truth and falsehood.
When I was beginning to learn more about Islam, I became a voracious reader. There was this intrinsic need to know more about the religion, so the curiosity bloomed and it turned into a never ending quest for peace. I still remember the two books I bought which ultimately shaped my journey into seeking knowledge – Don’t be sad by Dr ‘Aid Al-Qarni and Enjoy your life by Dr Al-Arifi. The titles imply something was troubling me within. Don’t be sad is still one of.my favourite books today.
As I read more and more, I expanded my worldview, my empathy towards others and the world around me. It became clear how chaotic the world is, but at the same time, in the chaos there is a sense of order, a sign that keeps nagging in my mind, telling me that everything has been measured – everything has been written. Naturally, with reading, writing came along.
So I began to write a lot, spending my pocket money on stationery, mostly pens and notebooks. Writing would become second nature to me. I’d write whatever that fascinated me, how I felt when I came across a certain matter and how I reacted to these feelings. Writing not only helped me clarify my thoughts; it’s given me an identity. I became more serious in it when I was confronted with matters that I couldn’t handle. It was only a matter of time that this undertaking led me to understanding my thought process better; writing was helping me see how I think things through.
It’s a wonderful package Allah has given me – reading, writing, and thinking. They all intertwine in the process of improving yourself. Be thankful that you are given these gifts, even though you may be oblivious to it now. It will come to you, but only if you make the first step to improve yourself.
It became clear to me then, that Islam is a religion of knowledge. You want to do something? Act with knowledge. Knowledge, knowledge, and knowledge – Knowledge before action.
The Prophet(peace be upon him) said in a long hadith,”…Whosoever pursues a path to seek knowledge therein, Allah will thereby make easy for him a path to Paradise.” (Sahih Muslim)
It’s an impetus, for with seeking knowledge one comes to learn how to build the foundation needed for a purposeful life. The pillars of Islam and Eeman are both stepping stones to make you a firm believer in Him alone. And in the process you learn how to strenghten it.
Before I knew the virtues of seeking knowledge, my first action was to get back into praying. It was awkward at first, as I would hide myself from my family whenever I wanted to pray, and I remember shying away from the masjid just because I feared the elderly would judge me for wanting to learn how to pray. When learning to become a better muslim, never fear judgment. It’s always the reason why people hesitate to practise their Islam.
I would come to understand how meaningful life is when it is dictated by the Qur’an and the Prophet’s (peace be upon him) teachings. It’s helped me to rearrange my priorities, realign my focus and shift my mental paradigm to something more impeccable; I had learnt then, through the sacred texts, to ask the right questions about life.
If we know that “To Allah we belong and to Him we shall return”, then we should understand that there is accountability that awaits us in the hereafter, and that we will be questioned as to how we’ve lived our lives.
There are a few Prophetic narrations that I’ve etched on my mind so as to remind myself whenever I slip from the Straight Path.
The first hadith is,
It was narrated from Abu Hurayrah that the Prophet (peace and blessings of Allaah be upon him) said: “The first thing among their deeds for which the people will be brought to account on the Day of Resurrection will be prayer. Our Lord will say to His angels, although He knows best, ‘Look at My slave’s prayer, is it complete or lacking?’ If it is complete, it will be recorded as complete, but if it is lacking, He will say, ‘Look and see whether my slave did any voluntary (naafil) prayers.’ If he had done voluntary prayers, He will say, ‘Complete the obligatory prayers of My slave from his voluntary prayers.’ Then the rest of his deeds will be examined in a similar manner.”
(Narrated by Abu Dawood, 864; classed as saheeh by al-Albaani in Saheeh Abi Dawood, 770).*
So prayer is the first thing I would always keep in check to see whether it is done in accordance to the Prophetic tradition, and whether it is full of devotion and concentration. When the going gets tough, I would take the time off and inspect my prayer to make sure that my connection with Allah is still strong.
Then comes the second hadith,
It was narrated from Ibn Mas’ood (may Allaah be pleased with him) that the Prophet (peace and blessings of Allaah be upon him) said: “The son of Adam will not be dismissed from before his Lord on the Day of Resurrection until he has been questioned about five things: his life and how he spent it, his youth and how he used it, his wealth and how he earned it and how he disposed of it, and how he acted upon what he acquired of knowledge.”
(Narrated by al-Tirmidhi, 2422; classed as hasan by al-Albaani in Saheeh al-Tirmidhi, 1969)**
Life, youth, wealth, and knowledge. These are the key components that make up a life. If you were to truly reflect on these words, they not only help you ask the right questions about life, but they remind you to utilise your time on Earth and to take care of it in the best way possible.
I am still learning how to become a better muslim, and the only way to do that is to keep seeking knowledge and practise whatever I have learnt. It’s important for every muslim to seek knowledge because only then will a society or a nation rise in the midst of chaos we are in today. And we don’t want to be a muslim who worships Allah without knowledge; it’ll only bring us farther from Allah rather than bringing us closer to Him.
But how do you know that you’re changing for the better?
When people begin to notice of your change, whether it be in your demeanor or your appearance – they will signal you of how much you’ve changed for the better. It could be that you begin to be more responsive towards your parents whenever they need your help. Before this, you were negligent in meeting their needs. After knowing Islam deeper and the virtues of doing good to your parents, you become more eager to serve them in the best manner because you know that Allah loves this act of worship and that Paradise is waiting for you.
It could be that you’ve heard from the Prophetic text that a smile to your brother is a form of charity, and thus you take the initiative to give the Salaam first and smile at them knowing that Allah loves those who are gentle towards others.
Knowledge transforms you. It has transformed me for the better and I hope to be better every second of my life. It will only stop unless Allah wills it to stop.
How has knowledge transformed you to become a better muslim?
Source of hadith for * & **: https://islamqa.info/en/22203
Cerpen : Pinjaman dariNya
Cerpen : Pinjaman dariNya
Teratak Khadijah masih sunyi sepi. Nyanyian cengkerik juga tidak kedengaran seperti kebiasaan. Dedaun hijau basah dek titisan embun. Di luar Teratak Khadijah kelihatan susuk tubuh seorang gadis. Mata bundarnya memandang ke langit. Melihat kerlipan bintang-bintang yang ditemani sinaran cahaya bulan. Sesekali angin malam meniup lembut. Nyaman dan dingin terasa. Gadis itu masih tidak berganjak dan masih berpeluk tubuh menikmati keindahan ciptaan tuhan. Matanya dipejam rapat lalu dihembus nafasnya perlahan. Terasa tenang seketika.
““Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang engkau dustakan,” sampuk satu suara dari belakang Ainin Sofiyya.
Ainin Sofiyya tetap menatap keindahan di hadapannya itu. Dia mendengar kata-kata tadi walaupun tiada respon dari dirinya.
“Ayat ini diulang di dalam Al-Quran sebanyak 31 kali di dalam Surah Ar-Rahman. Sesiapa sahaja yang membaca malah yang mendengarnya pasti terpegun dengan ayat ini,” sambung suara itu.
“Pastinya kita tak boleh menipu dan menafikan dengan kesombongan kita dengan nikmat yang Allah kurniakan. Kita tidak mampu menolak kebenaran tentang hakikat kekuasaan Allah yang menciptakan alam ini,” Ainin Sofiyya pula melontar kata-kata.
“Betul tu Ainin. Semoga kita zahirkan kesyukuran kita kepadaNya dengan selalu mengikut perintahnya serta meninggalkan larangannya,” balas Hakimah sambil meletakkan tangannya di atas bahu Ainin.
Mereka berdua kembali mendongak memandang langit yang terbentang luas yang dihiasi kerlipan bintang yang tidak terkira. Sesungguhnya banyak lagi keindahan yang Allah ciptakan yang mereka sendiri belum pernah tatapi. Hebat sungguh aturan Allah yang Maha Kaya dengan kekuasaannya. Ingatlah setiap ciptaan Allah itu bukan sia-sia.
“Kenapa kau belum tidur lagi?” soal Hakimah memecah lamunan seketika tadi.
“Aku tak dapat tidur. Aku masih teringat pasal dia. Rasa bersalah pada dia sangat tebal dalam diri aku. Kerana dia aku jadi diri aku yang sekarang,” balas Ainin sebak.
“Ainin, kau jangan sedih. Kau tahu, dia pasti gembira bila kau berubah. Allah hantarkan dia sebagai wasilah untuk diri kau. Kau doakan dia ya.”
Hakimah memegang tangan Ainin Sofiyya. Dia cuba memberi kekuatan kepada kawannya itu. Itulah apa yang perlu dilakukan sebagai seorang kawan.
“InsyaAllah. Terima kasih Hakimah,” Ainin menyeka airmata yang membasahi pipinya.
Tiga tahun lepas.
“Weh, aku dengar kau dapat roommate baharu.”
Sergah Hakimah dari belakang. Buku yang dipegangnya di hempas di atas meja. Semua mata memandangnya.
“Kau ni.. ingat perpustakaan ni kau punya ke?” omel Ainin Sofiyya.
“Ya, semalam dia datang. Aku pun malas nak layan dia. Baru datang dah nak tegur aku itu ini. Rimas.”
“Kau tu jahat sangat. Memang patut la dia tegur kau. Tengok macam aku, baik je kan,” balas Hakimah sambil membetulkan tudungnya.
“Kau tu sama je dengan aku. Dah la, aku nak balik bilik. Jumpa lagi.”
Ainin Sofiyya mengemas buku-bukunya dan beredar dari perpustakaan. Hakimah membebel sendiri apabila ditinggalkan begitu.
“Ainin, awak dah solat Zohor?” tanya Athirah Huda.
“Nanti aku solatlah! Tak nampak ke aku tengah baca majalah ni,” tengking Ainin Sofiyya.
“Tapi, awak boleh je baca majalah tu nanti. Bangun la solat dulu.”
Tegur Athirah Huda lembut. Ainin berang dan membaling majalah ke muka Athirah Huda sebelum mencapai kunci kereta dan beredar keluar dari biliknya.
Majalah diambil dan diletakkan kembali ke atas meja Ainin Sofiyya. Airmata Athirah Huda mengalir laju. Dia bukan mahu menjaga tepi kain orang, tetapi itu adalah tanggungjawab dirinya sebagai seorang kawan bahkan seorang muslim.
Athirah Huda kembali ke katilnya. Buku catatanya diambil dan dibelek setiap helaian. Lama dia merenung setiap tulisan itu. Dia mula membaca setiap tulisan itu. Suaranya seakan berbisik.
“Sesiapa antara kamu yang melihat kemungkaran hendaklah dia mengubahnya dengan tangan, jika tidak mampu hendaklah dengan lidahnya, jika tidak mampu hendaklah dengan hatinya, dan yang demikian itu adalah selemah-lemah iman.” (riwayat Muslim)
“Catat hadis ini betul-betul. Setiap dari kita mampu untuk melaksanakan tuntutan ini sebenarnya. Contohnya, kita menyuruh kawan kita menunaikan solat. Selain itu, kita melarang kawan kita membuang sampah merata-rata. Itu adalah salah satu dakwah.”
“Huda, dakwah ini fleksibel. Kita boleh berdakwah dengan banyak cara. Dakwah ini juga seni. Bagaimana kita menyampaikan dakwah itu sangat penting kerana ia dapat memberi kesan kepada apa yang disampaikan dan juga orang yang mendengar.”
Itulah yang disampaikan oleh naqibah usrah yang disertai oleh Athirah Huda ketika di maahad dahulu. Bukan senang untuk berdakwah. Malah nabi Muhammad sollahualaihiwasalam juga berdakwah kepada kerabat terdekat secara rahsia pada mulanya. Akhirnya nabi Muhammad berdakwah secara terang-terangan walupun menerima tentangan juga halangan. Nabi Muhammad tetap menyampaikan Islam dan akhirnya kita semua dapat merasai keindahan agama Islam itu sendiri.
“Terima kasih kak Yusra. Huda akan kuat untuk sampaikan risalah dakwah ini,” buku catatannya dipeluk erat. Sangat bermakna buku catatannya itu buat diri Athirah Huda.
Jam menunjukkan pukul 8.30 pagi. Ainin Sofiyya merenung gerak geri rakan sebiliknya itu. Sungguh Ainin Soffiyya sangat rimas dengan sikap Athirah Huda yang suka menegur dirinya. Selama ini tiada siapa yang berani menegur cara dirinya berpakaian, cara percakapan. Malah ibunya sendiri juga tidak mengendahkan apa yang dia ingin lakukan. Ayahnya jauh sekali. Sejak bercerai dengan ibunya, batang tubuh ayahnya langsung tidak kelihatan.
Ainin Sofiyya masih terkenangkan peristiwa semalam. Dia hampir dilanggar oleh sebuah lori balak dan dia sempat mengelak. Sempat juga dia memaki hamun pemandu lori tersebut. Peristiwa itu masih bermain-main di mindanya.
“Mungkin ini ke cara Allah nak tegur aku?”
Bisik Ainin Sofiyya. Dia cuba melupakan peristiwa semalam. Baginya itu adalah kecuaian pemandu lori tersebut. Bukan teguran dari Allah. Matanya tidak terlepas memandang susuk tubuh Athirah Huda yang sedang melaksanakan solat Dhuha.
“Ainin… Ainin,” panggil Athirah Huda setelah selesai solat Dhuha.
Ainin Sofiyya masih dengan lamunanya. Athirah Huda mendekati Ainin Sofiyya. Lengan Ainin Sofiyya dipegang. Ainin Sofiyya tersedar dari lamunannya.
“Kau nak apa? Nah!”
“Ambil balik tudung ni. Aku dah ada berlambak dalam almari!”
Tudung yang dibeli Athirah Huda kepada Ainin Sofiyya dicampak begitu sahaja.
“Tapi saya beli tudung ini sebagai hadiah perkenalan kita.”
“Diam la! Dah pergi! Jangan kacau aku,” Selimut terus ditarik menyelubungi dirinya.
Tudung berwarna turquoise itu dikutip kembali dari lantai. Athirah Huda tahu itu warna kegemaran Ainin Sofiyya. Dia berharap Ainin Sofiyya menyukai pemberiannya itu. Malah dia sangat berharap Ainin Sofiyya mampu memakai tudung yang mengikut syariat Islam. Allah telah berfirman di dalam Surah An-Nur ayat 31 tentang penjagaan aurat bagi wanita.
“Ainin, semoga suatu hari nanti awak pakai tudung ini. Mungkin ketika itu saya tak dapat tengok awak, tapi Allah itu Maha Melihat. Semoga ia dapat memberi pahala untuk awak.”
Athirah Huda bercakap dengan tudung yang berada di dalam genggamannya. Dia melipat dengan rapi dan menyimpan di dalam almari Ainin Sofiyya. Ainin Sofiyya mendengar setiap kata-kata Athirah Huda sebentar tadi. Dia cuba untuk tidak memikirkan tentang itu.
Hari ini Ainin Sofiyya menghabiskan masanya di perpustakaan. Kelas pada hari ini dibatalkan oleh pensyarahnya kerana ada kursus perlu dihadiri oleh pensyarahnya.
“Kenapa dia selalu baik dengan aku?”
“Aku selalu sakitkan hati dia. Tapi dia tetap sabar layan kerenah aku.”
“Aku selalu maki hamun dia. Dia tetap diam dan senyum.”
“Dia tu bukan manusia ke apa?”
Soal Ainin Sofiyya sendirian. Entah kenapa dia selalu memikirkan Athirah Huda walaupun bagi dirinya gadis itu sangat menjengkelkan di matanya.
“Assalamualaikum, cakap dengan siapa tu?”
Sapa Hakimah sebelum melabuhkan punggungnya di sebelah Ainin Sofiyya. Dia tahu kawannya itu sedang memikirkan sesuatu.
“Kau tak nampak ke hantu kat depan aku ni? Aku tengah sembang dengan dia la,” seloroh Ainin Sofiyya.
“Amboi. Kau ada masalah ke?” soal Hakimah sambil menatap wajah kawannya itu.
Soalan Hakimah dibalas dengan pandangan kosong oleh Ainin Sofiyya.
“Mesti kau tengah fikirkan pasal budak tu kan?”
“Siapa?”
“Athirah Huda, budak bilik kau.” Balas Hakimah ringkas.
“Entah…” Ainin Sofiyya menongkat dagu sambil memandang buku yang tidak terusik dari tadi.
Hakimah tahu perihal Ainin Sofiyya dan Athirah Huda. Layanan Ainin Sofiyya terhadap Athirah Huda bukan layanan seorang kawan tetapi sebagai musuh.
Ainin Sofiyya mendengar setiap butir kata-kata daripada mulut Hakimah. Dia akui sikap egonya sangat tinggi. Dia juga ingin menjadi seorang gadis yang baik seperti Athirah Huda. Ramai orang suka berkawan dengan Athirah Huda walaupun gadis itu bukanlah seorang yang petah berbicara, tetapi akhlaknya itu menjadi teladan kepada semua. Ainin Sofiyya begitu cemburu melihat rakan sebiliknya itu.
“Hakimah, semakin hari hati aku tidak tenang. Banyak sangat dosa yang aku lakukan.”
“Aku berdosa padaNya, aku berdosa pada Athirah Huda.”
Tiba-tiba ada getaran pada suara Ainin Sofiyya. Dia menangis. Dia tidak mampu lagi menahan seksanya menahan ego dan dosa-dosanya.
“Ainin, kalau kau berdosa pada Allah, mintalah keampunan dariNya. Kalau kau berdosa dengan manusia, kau pergilah berjumpa dengannya.”
“Tiada manusia yang tak melakukan dosa. Jika terdetik untuk melakukan dosa, segeralah beristighfar.”
Hakimah menghulurkan tisu kepada Ainin Sofiyya.
“Mana kau belajar semua ni?” soal Ainin Sofiyya.
“Athirah Huda selalu pesan semua ni pada aku. Aku bersyukur dapat kenal dia.”
“Hakimah, bawa aku jumpa Athirah Huda. Tolong aku,” rayu Ainin Sofiyya.
Sudah seminggu Athirah Huda menghilang. Tiada khabar berita dari kawan terdekat. Ainin Sofiyya menjadi risau dan rasa bersalah menghantui dirinya.
Ainin Sofiyya segera mejawab panggilan daripada Hakimah. Ainin Sofiyya sangat gembira apabila Hakimah sudi membawanya ke kampung Athirah Huda di Perak. Apabila sampai di sana, Ainin Sofiyya segera mencari Athirah Huda tetapi tiada. Dia hampa. Akhirnya ibu Athirah Huda menceritakan segalanya. Ke mana Athirah Huda menghilang.
“Ya Allah! Saya berdosa dengan Huda! Kenapa dia yang pergi dulu, bukan saya?”
Ainin Sofiyya meraung setelah mengetahui bahawa Athirah Huda terlibat dalam kemalangan ketika menghadiri majlis ilmu. Sebelum mereka pulang, ibu Athirah Huda membawa mereka berdua menziarahi kubur Athirah Huda.
Ainin Sofiyya membuka buku catatan milik Athirah Huda yang disampaikan oleh ibunya.
“Simpan buku ni elok-elok. Dia pesan untuk berikan buku ini kepada kamu.”
“Assalamualaikum sahabatku yang aku sayangi kerana Allah. Setiap pertemuan pasti adanya perpisahan. Setiap persahabatan, pasti ada pahit manisnya. Terima kasih kerana menjadi semangat kepada saya untuk menjadi seorang yang kuat untuk meneruskan dakwah ini. Saya hampir berputus asa, tetapi setelah saya bertemu dengan awak, saya mampu bangkit jadi lebih kuat. Ainin Sofiyya, simpan buku ini elok-elok. Awak bacalah dan tulislah apa yang awak rasa di dalam buku ini. Ini sahaja yang mampu saya berikan sebagai hadiah terakhir sebagai seorang sahabat. Jadilah seorang muslimah yang menjadikan malu sebagai perisai dalam diri. Maafkan saya selama perkenalan kita. Semoga kita bertemu di syurgaNya. Pesanan terakhir saya, setiap apa yang berlaku di sekeliling kita adalah pengajaran buat kita. Wallahualam.”
Sahabatmu, Athirah Huda. Feb 25,2015. 11:37 p.m
“Ainin, sama-sama kita doakan semoga roh Athirah Huda dicucuri rahmat.”
“Hakimah, nanti bawa aku ziarah kubur Huda. Aku rindu dia,” pinta Ainin Sofiyya sambil mengusap tudung pemberian Athirah Huda.
“Baiklah.”
Teratak Khadijah menjadi saksi pertemuan Ainin Sofiyya dan Athirah Huda. Apa yang dilakukan Athirah Huda kepadanya bukan untuk memperlekehkan tetapi untuk bersama-sama berjalan di atas landasan kebenaran. Ada ganjaran yang sangat hebat bagi mereka yang selalu melakukan kebaikan dan bersabar di atas ujian yang datang. Kerana syurga bukan percuma.
“Hidayah itu milik Allah, bukan milik manusia.”
“Allah hantarkan seseorang kepada kita samada untuk mengubah kita atau kita mengubah mereka.”
“Terima kasih Allah kerana pinjamkan Athirah Huda untuk kami.”
Sahabatku, kau pergi jua setelah kasihku kini membara.
Belum sempat kucurahkan kasihku.
Kau pergi tak kembali.
Terima kasih sahabat.
Ainin Sofiyya, Feb 27, 2018 , 5:35 p.m
February 24, 2018
Transisi: Pengikut kepada Pemimpin
Sejak zaman sekolah, aku dan kehidupan berpersatuan tidak dapat dipisahkan. Aku tidak mengerti istilah duduk diam dan hanya melepak. Kehidupan sebegitu berlarutan sehingga ke alam kampus universiti.
Penglibatan dalam Persatuan di Kampus
Ketika tahun satu pengajianku di kampus, aku mula melibatkan diri sebagai ahli jawatan kuasa biasa dalam dua persatuan. Persatuan pertama ialah Sekretariat Pelajar Psikologi UIAM yang berfokus kepada kebajikan pelajar-pelajar Psikologi dan program-program yang berkaitan dengan bidang psikologi. Secara spesifiknya, aku menjadi ahli jawatan kuasa biro Khidmat Masyarakat. Persatuan kedua pula, ialah Imaratul Masjid Group yang berfokus kepada aktiviti menghidupkan masjid melalui penganjuran kuliah pengajian agama, program iftar, kelas al-Quran, qiamullail dan aktiviti berkaitan masjid yang lain.
Kedua-dua persatuan ini mempunyai suasana yang berbeza dari segi bentuk program, cara pimpinan, pemikiran ahli-ahlinya dan pergaulan antara lelaki dan perempuan. Kadang-kadang aku rasa seolah-olah aku meletakkan kaki dalam dunia yang berbeza dek kerana perbezaan yang agak ketara. Selama setahun, sedikit demi sedikit aku belajar rentak cara berpersatuan di UIAM sebagai ahli jawatankuasa biasa.
Perubahan Rutin Hidup
Pada semester ini pula, aku dilantik sebagai Setiausaha 2 dalam Sekretariat Pelajar Psikologi UIAM. Pada saat awal aku menerima amanah itu, aku berasa agak seronok dan teruja untuk menjalani cabaran baru. Namun, naifnya aku, kerana memegang amanah itu bukanlah sesuatu yang menyeronokkan secara total. Amanah menuntut pengorbanan yang amat banyak baik dari segi masa, buah fikiran, tenaga dan kewangan. Tuntasnya, aku harus banyak berubah dan berhijrah.
Selama dua minggu pertama semester ini, jadual aku begitu padat dengan perancangan program sepanjang semester, induksi, simposium, tugasan sebagai jawatankuasa pendaftaran subjek dan banyak lagi. Aku berasa seronok apabila dapat bekerja dan bersilaturahim dengan orang-orang baru. Namun, dengan bermulanya minggu pembelajaran semester ini, aku mulai rasa bibit-bibit tekanan dengan segala kerja yang ada. Aku tidak dapat fokus dengan tuntutan akademik di dalam kelas dan belum lagi menyusun rancangan atau jadual pembelajaranku semester ini. Kudrat aku untuk berfikir dan memperuntukkan masa untuk diri sendiri berbaki hanya sedikit.
Rutin harianku juga mulai berubah. Jawatan yang aku sandang menuntut aku untuk sering keluar dari bilik awal pagi dan hanya pulang apabila malam menjelma. Waktu rehat, makan dan bersantai sering kali perlu dikorbankan. Semuanya berlalu dengan pantas dan padat.
Pesan Maktok kepada Cucu
Sudah masuk minggu kedua semester. Kepalaku mulai diberatkan dengan pelbagai persoalan dan masalah yang memberatkan kepala dan menyesakkan dada. Ketika berdiskusi bersama rakan-rakan pimpinanku, kami mulai mendapati masalah komunikasi dan pengurusan dalam pasukan kami. Aku tidak malu mengakuinya kerana masalah ini normal dalam apa jua pasukan yang baru hendak stabil, namun pemimpin perlu bijak mencari solusi dalam masalah itu.
Sejujurnya, sedikit rasa kegagalan sebagai seorang pemimpin mulai menyusup secara halus ke dalam minda dan jiwaku. Keletihan yang asyik menemaniku selama dua minggu tidak hilang-hilang, malah berganda. Maka aku memutuskan untuk pulang ke rumah nenekku yang dipanggil Maktok.
Aku pulang ke rumah Maktok dengan tubuh yang longlai dan minda yang sudah lesu. Sewaktu aku menjamah minum petang di sisi Maktok, aku sempat mengeluh;
“Penatlah kehidupan universiti ni Maktok.”
“Biasalah tu, Auni. Hidup memang macam itu. We have to always change, hijrah,” balas Maktok.
Aku diam sahaja, mengiyakan dalam hati. Benar sekali kata Maktok. Aku perlu berhijrah daripada berfikiran dan berkelakuan seperti pengikut kepada seorang pemimpin. Seorang pengikut boleh sahaja berkelakuan pasif dan menunggu arahan daripada ketua. Namun, apabila dilantik menjadi pemimpin, aku tidak boleh lagi bergoyang kaki di zon selesa. Malah, aku perlu proaktif serta mengambil inisiatif untuk menyelesaikan masalah pelajar dan organisasi. Aku perlu bersedia secara mental, spiritual, emosional dan fizikal untuk menerima pelbagai lagi bentuk perubahan.
Memimpin dengan Rendah Hati
Bekas ketua biro aku dahulu berpesan;
“Walau setinggi mana kejayaan yang kita berjaya daki nanti, jangan pernah lupa di mana kita bermula.”
Pesanan beliau amat penting sekali untuk mengingatkan aku untuk bersabar dalam membimbing pasukan pimpinanku. Setiap orang mempunyai latar belakang dan personaliti yang berbeza. Maka, proses untuk mengasah potensi mereka mungkin mengambil masa dan kesabaran.
Aku masih lagi ingat kali pertama menghadiri perjumpaan biro Khidmat Masyarakat. Aku hanya banyak diam, memerhati dan masih malu-malu kucing untuk bersuara. Setelah setahun melibatkan diri dalam persatuan itu, barulah aku mulai lebih berani untuk menyuarakan pendapat. Pembelajaran ialah suatu proses yang panjang.
Sudah Masanya untuk Bersuara
Pada suatu malam, ketika kami mengadakan mesyuarat beratapkan langit malam, ketua kami menyuarakan satu permintaan.
“Boleh tak saya nak minta anda semua untuk berani ke hadapan dan bersuara? Saya memerlukan suara anda semua”, ujarnya.
Ahli-ahli mesyuarat yang lain hanya diam walaupun permintaan ketua aku itu amat penting. Apabila menjadi seorang pemimpin, maka mahu atau tidak, aku harus berani bersuara. Mengapakah?
Dengan mengutarakan pendapat masing-masing dengan berhemah dalam sesuatu perkara, idea dapat dikembangkan dengan lebih baik dan keputusan dapat dibuat dengan lebih matang. Kalau dalam konteks hubungan sekretariat dengan orang luar pula, ahli jawatankuasa sekretariat harus berani dan berkeyakinan diri untuk membawa suara pelajar, menyelesaikan masalah mereka dan membantu para pensyarah di departmen Psikologi. Tidak boleh lagi menyorok di celah-celah keramaian orang atau kekal pasif sahaja bila masalah timbul. Tanggungjawab di atas bahu menuntut harganya.
Proses belajar tiada noktah
Terlalu banyak transisi yang harus aku pelajari dengan segera. Pada masa yang sama, aku juga harus menjadi pembimbing dan sumber rujukan untuk ahli-ahli pasukanku. Kadang-kadang fikiran negatif sering kali singgah di mindaku. Namun percayalah, Allah tidak memberatkan seseorang dengan sesuatu yang di luar kudratnya.
Teruskan berusaha dengan segenap kemampuan. Jika berasa lelah, rehat sebentar, segarkan diri dan kembalilah menjalankan amanah dengan ikhlas.
Ada Bahagian Untuk Kamu
Ketika pensyarah sedang mengajar di hadapan, Abu yang duduk disebelah Alan membisik di telinga kawanya itu.
‘’Alan, habis waktu kelas ini, kau, Endi dan Syafik tunggu dalam kelas ni. Aku nak jumpa semua.’’Walaupun hanya berbisik, nada suara Abu tegas. Ini memberi tanda tanya kepada Alan.
‘’Baik, aku bisik kepada mereka pula ya.’’ Jawab Alan.
Kelas W-1-202 yang mereka belajar tadi, hanya tinggal Sir Kamarul sahaja. Pelajar lain sudah tidak kelihatan. Atas sebab itu, Sir Kamarul menyapa mereka,
‘’Kamu tak ada kelas ke lepas ini?
‘’Tak ada sir, kelas kami mula semula petang ini.’’ Ujar Abu.
‘’Oh, semua sekali. Bagus, macam ada hal penting saja nak jumpa?’’ Balas Sir Kamarul sambil jarinya tunjuk ke arah mereka.
‘’Hehe, kami nak buat postmortem fasal presentation tadi huhu,’’ tutur Abu.
Dengar saja Abu sebut ‘posmoterm presentation tadi’ riak muka Endi, Syafik dan Alan berubah. Endi yang sebelum ini badannya bersandar ke kerusi, terus betulkan kedudukanya. Manakala Syafik dan Alan yang leka bermain telefon pintarnya, terus masukkan telefon mereka ke dalam poket seluar masing-masing.
Sir Kamarul perasan perubahan mereka, bunyi suara Abu macam serius, lalu Sir Kamarul mengangkat punggung dan beredar dari situ. Syafik pula bangun dari tempat duduknya untuk tutup pintu, barangkali sir lupa nak tutup pintu.
Selepas Syafik tutup pintu, suara Abu bagaikan petir keluar daripada mulutnya.
‘’Sebab kau! Kami pun turut dipotong markah presentation. Ini semester terakhir kami, aku nak skor sehabis baik.’’ Berang Abu sambil jari tulunjukya tepat pada muka Endi.
‘’Betul tu, asal kau tergagap ha? Mana pergi suara kau tadi. Kalau macam inilah, lain kali kau carilah kumpulan lain. Cari yang sama-sama gagap macam kau.’’ Kata Alan.
‘’Entah-entah nak masuk kumpulan ni sebab kumpulan lain dah tahu perangai kau ya!’’ Jerit pula Syafik.
Endi tak balas walaupun sepatah, dia terus ambil begnya dan keluar daripada kelas itu.
‘’Ah, tak puas hati aku.’’ Ujar Abu sambil tangan kanannya digenggam kuat.
‘’Aku pun sama, dia beredar macam tu saja. Dasar budak gagap.’’ Kata Alan.
‘’Habis tu macam mana ni, kita nak beritahu sir yang kita nak buat semula presentation ke? Soal Syafik.
‘’Sir tu dari wajahnya nampak garang, boleh ke dia bagi kita buat semula? Macam tak ada saja.’’ Endi pula menyoal.
‘’Alah, kita cuba dahulu. Tak cuba tak tahu, dah cuba baru tahu.’’ Jawab Alan.
‘’Pandai pula kau bermadah-madah, haha.’’ Kata Syafik. Suasana tidak serius macam tadi, dek ketawa Alan dan Syafik. Abu pula wajahnya tidak lagi bengis macam tadi.
****
‘’Aku bukan sengaja nak bergagap macam budak junior baru pertama kali nak presentation tadi. Setengah jam sebelum presentation tadi, aku dapat khabar daripada mesej abang aku yang dia perlukan bantuan aku. Bantuan berbentuk wang, kerana dia sudah meminjam Ah long.
Dia terpaksa meminjam untuk membayar bil hospital dan rumah sewa. Tiga hari lepas, isterinya bersalin dan itulah satu-satu cara dia ada untuk pinjam secara cepat dan mudah. Nak salahkan dia? Aku rasa, itu bukan salahkan dia, sebab situasi gentir masa itu manusia boleh lakukan apa saja tanpa berfikir panjang.
Sekarang aku perlu bantu dia, kasihan dia. Tapi aku sendiri buntu nak bantu abang aku ini.’’ Endi melepaskan suaranya di depan cermin singki tandas.
Keluar saja dari tandas, Endi terus menuju ke tempat makan utama. Pilihan lauk-pauk bermacam-macam. Tapi pilihannya cuma nasi putih separuh, berlauk ayam goreng kunyit dan air kosong.
Perutnya lapar, tapi selera tidak ada. Jadi, ini alas perut sahaja. Disuapkan ke dalam mulut sikit demi sikit nasi ini. Tiba-tiba Sir Kamarul duduk disebelahnya.
“Eh sir, jemput makan,’’ ujar Endi.
‘’Okay, mari sini nasi tu,’’ Bergurau Sir Kamarul.
Ketawa kecil Endi.
‘’Kamu okay Endi?’’ Soal Sir.
‘’Alhamdulillah okay.’’
‘’Betul ni,’’ ujar lagi sir buat kali kedua.
Habis satu suap nasi. Endi membalas,
‘’Okay sir,’’ kata Endi sambil memberi senyuman.
‘’Baiklah, sir ekori kamu dari pergaduhan mulut, kamu ke tandas sehingga sini. Maaf jika buatkamu tidak senang. Tetapi sir kesian lihat kamu. Kamu pelajar pandai, tetapi kamu banyak tak datang kelas. Waktu kelas, banyak dengan sir kan? Sebab itu sir tahu.
‘’Tak apa sir. Terima kasih puji saya pandai. Saya tidak datang kerana tiada kekuatan untuk melangkah ke kelas, kerana ada masalah keluarga.’’ Jawab Endi.
‘’Sir curi-curi dengar kamu bercakap di tandas tadi, ini masalah abang kamu kan?’’
‘’A’ah, saya harap sir tidak beritahu siapa-siapa ya? Kata Endi.
‘’Insya-Allah tidak. Boleh sir tolong kamu. Mari sini no akaun bank kamu, sir trasfer-kan.’’
‘’Eh, menyusahkan sir sahaja.’’ Ujar Endi.
‘’Huhu, rezeki yang sir terima ini, bukan untuk diri sendiri. Kadang ada bahagian untuk orang lain juga. Insya-Allah kita mudahkan urusan orang lain, Allah akan mudahkan urusan kita. Macam dalam surah Al-Maidah yang kita tadabbur kelas tempoh hari.
Dan tolong-menolonglah kamu dalam mengejarkan kebajikan dan takwa dan janganlah kamu bertolong-tolong dalam kemasiatan. Bertaqwahlah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Berat seksanya bagi sesiapa melanggar perintahNya.’’
“Terima kasih sir, nanti ada wang kembali, saya pulangkan.’’ Tutur Endi dengan nada hiba.
‘’Tak perlu ganti dengan wang, tapi ganti dengan pointer 3.5 untuk semester in,i’’ pinta Sir Kamarul.
‘’Hehe, insya-Allah,’’ balas Endi. Baginya isu pointer 3.5 ini, dia boleh lakukan. Kerana setiap semester dia dekan kecuali semester lepas.
‘’Sir ada kelas lepas ni, minta diri dulu ya,’’ ujar Sir Kamarul sambil bangun dari tempat duduk itu.
‘’Terima sir, sekali lagi.’’
‘’Sama-sama.’’
February 23, 2018
Till the Last Fight
Someone yanked my backpack and half-dragged me across the field. All around me, there were shouts and screams, voices all blended together to make a deafening sound. I hear guns and crashes, people screaming for help. It was total chaos.
I was pulled into an underground bomb shelter. I looked up to a stranger, still holding firmly onto my backpack. We were both breathless. Around us, there were more people who were injured. More crying, more blood, more death. Old women were huddled in a corner, trembling softly. Children held their injured father, mother or siblings. Mothers held their dying children. All I could see was fear in their eyes. It was a scene from a typical war movie.
My knees gave way and I fell to the ground. The stranger helped me to unmount my backpack and sat next to me, still trying to catch his breath. I have never seen this person in my entire life. He looked rugged, with fresh scars on his face still glistening with blood. His face was dirty, smeared with handprints that tried to wipe away soot. He pushed his head back against the wall and closed his eyes, breathing heavily.
My senses kicked in and suddenly I felt pain. My hands and feet were scraped and scratched, there were bruises and blood everywhere. I realised I looked no different than the stranger next to me. Still examining my injuries, the stranger called out to me. I looked up only to see him tossing a sword towards me, which could have stabbed me if I reacted slower. The sword fell into my hands, and I lifted it up in awe. I have never held a sword in my entire life.
“Take what you need,” the stranger said. “We’re going back in.”
I looked at him blankly.
“We? Going back in? In to where? And who are you?” I was confused.
“You lost your mind or something?” He stared right back at me. “Come on, Akhtar, you only hurt your limbs, not your head!”
I blinked. He knew my name.
“You know my name?” I blurted out.
The stranger widened his eyes and reached out to grab my shoulders.
“Wake up Akhtar! It’s me, Umar!” He shook me, looking at me straight in the eye. “We are in the middle of the war! Everyone is either dead or still fighting! It’s only me and you now! And after you get your senses back, we are going back to the battlefield with the rest of them!”
Umar pointed to the back of the shelter. Before I could look, he grabbed my face.
“Do you understand me now? Are you awake Akhtar!” Umar was shouting into my face, exasperated.
I pushed him away and tried to fathom what he just said. I looked to the back and saw a group of young men, just like me and Umar. Each of them held a weapon, and they were injured as well. I don’t recognise any of them. I looked back at Umar. Before I could ask anything else, there was a loud explosion and the ground shook.
Some part of the shelter began to crumble, and the walls threatened to fall on top of us any moment now. Everyone in the shelter started running, seeking for safer places. The chaos was deafening. I was afraid.
“We got to go soon!” Umar shouted above the chaos, pulling me to my feet.
“We got to go now, Umar!” A voice shouted from the back.
I scrambled to my feet and grabbed my backpack. Gripping the sword tightly, I took deep breaths as I ran after Umar towards the back, joining the group. I have never felt so afraid in my life. The realisation that I could die any moment now crippled me of my senses. The group of young men were huddled closely together. One of them pulled me into a side hug and squeezed my shoulders.
“You are going to make it ok? We all are!” He shouted amidst the noise. “Whatever it is, just make sure you reach the other side safely!”
“How do I get there!” I shouted in response. My mind was blank. I have no idea what I was going to face when we leave the shelter.
“Whatever you know, whatever you can do, just do it! Just give your all! Just don’t give up!” He shouted.
The rest of them started to nod in agreement, as they hugged one another for strength. They were all scared as I was. I could see it in their eyes. My pulse raced as adrenaline rushed in my blood. It felt like I was playing a game but instead this time I was in it. I knew that we were on the good side, and whatever bad that was waiting for us outside – I know that we have to win. Perhaps this will make sense later, but right now, I have a battle to fight.
There was another explosion, and this time it was much closer to us. The pillars near us collapsed entirely and we knew that if we stayed any longer we would be dead. With one final glance at one another, we put on a brave front and started running for the light at the front of the shelter. It was the only exit left. Umar pushed me to go in front of him, and he was the last of us to leave the place.
“Till the last fight!” Umar shouted.
“Till the last fight!” We all echoed, taking out our swords and charging into the battlefield.
——–
“Akhtar?”
Tap tap.
“Akhtar Umar, wake up,” Someone tapped my shoulder lightly. “Stop having nightmares. Go sleep in your bed.”
I opened my eyes. Instantly, I was blinded by the light from the lamp in front of me. Cringing, I tried to move my head. Pain shot from my neck and I winced. I have a sore neck. Rubbing my neck, I straightened my back slowly, still squinting.
“Where am I?” I mumbled, rubbing my eyes as they adjust to the light.
I was sitting in a swivel chair in front of a desk full of papers, books and stationery. An empty coffee mug sat on my right. The digital clock in front of me showed 2.30AM. I blinked a few times to make myself awake.
“Hey, you ok?” The same voice said. “I know you’re all stressed out – you even had a nightmare! Take a break, will you?”
I turned to see Ziyad on my left, looking at me with eyes half-closed as he toyed with a pen. He too had papers and books strewn over his desk.
Instantly, I was awake. I began to realise that it was only just a dream. Ziyad is my roommate at our campus. Seeing him made so much sense. Part of me still felt nervous and jumpy as though I still have adrenaline pumping throughout my body, but part of me felt so relieved to know that it was just a dream and not a reality. I took a deep breath, held my face in my palms and exhaled.
Ziyad gathered some papers and sat upright. He took his pen and starting writing notes from his books. I shook my head to get rid of any sleep that was still in my eyes and started to rearrange my desk. I realised I had fallen asleep while revising for my final exam in two days’ time. This exam is the toughest for me and I remembered losing much sleep since the past weeks, just to ensure that I would ace the subject. This exam would determine a huge part of my future and I have been worried sick just thinking about it.
“Till the last fight,” Ziyad mumbled. He glanced at me and continued writing.
“Wait, what?” I stopped arranging my notes and looked at him.
“Till the last fight. You were whispering it when you had your nightmare,” Ziyad explained. “Seemed like a tough sleep you had right there.”
I felt a smile creeping up onto my face. I quietly arranged my papers, still smiling to myself. I knew that it wasn’t a dream. I knew it was real. I did go into the battlefield. Picking up a pen, I started to write my notes onto a new page in my notebook.
My pen is my sword, and my knowledge is my backpack. I knew I was already halfway in the battlefield. This final exam is my last fight.
And I will not give up till I reach the end.
February 22, 2018
You Did Great!
Imagine the Great Pyramid of Giza, standing high and proud at Egypt for nearly four thousand years ago. Imagine a clock, ticking away second by second. Now what do both have in common? What can possibly a great pyramid have in common with clocks that we can see everyday and nearly everywhere?
Both consists of small parts, various parts that then form a magnificent entity.
A pyramid cannot possibly be built without all the small bricks that are combined which then form one of The Seven Wonders of Ancient World. A clock cannot possibly function well if one of its parts are broken or missing. Various things in this world are made up of smaller units of things.
The same way of thinking or concept should be applied to ourselves. Namely, our efforts and responsibilities.
“Do your best” is a common phrase used to encourage others in doing something and it usually works. However, it can be a double-edged sword in certain situations. When things do not work out as we expected, being disappointed is a common emotion to feel. But some people will start blaming themselves for it and start to think that what they did is a waste of time. That it is all useless and things might be better if they just gave up at the very beginning.
That is not it.
Doing our best does not mean that we have to push ourselves to the extent that we will get hurt. It does not mean that we have to be harsh and strict with ourselves to the point that we ignore our own well-being.
Doing our best means that we gave it our best shot and we do what we can do without hurting ourselves. Our effort is valid. Even if it is not as good as others, it is still valid, just like the small bricks that eventually become the majestic pyramid. It is completely fine if we do not do as much as others. They are not us and our contribution are just as important.
Take a deep breath and think back on what we had accomplished all this time. Sometimes we need time to actually appreciate ourselves and compliment ourselves on the things that we had done even if it did not work out that well. We gave it a try and that is something. To regret doing something at first is better that regretting not doing it for a lifetime.
We all have our weaknesses, our own talents and our own limits. That makes sense since we are all different individuals with different backgrounds. Thus, the things that we can do and are actually good at naturally might be something that someone else is trying hard to master. Vice versa, the things that other people can do might be something that is hard for us.
But we have to remember, human have a unique thing that is granted to us by Him. We have our mind, we can think compared to animals that only have instincts to rely on. And with it, we can improve ourselves in various aspects such as the skill to talk in front of a huge crowd. With our brain, we can learn and be a better person compared to who we are yesterday. Therefore, it is not the end if we lose today. Tomorrow still holds a lot of possibilities. Strengthen your will and fight on.
There are times when we feel like the effort that we had exerted for something is not as significant as others. There are times when we feel like, even if we do not do our part of the task, everything is going to be just as usual.
Stop thinking like that. Snap out of that way of thinking. Stop thinking that our effort is not as significant as others.
Instead, focuses on what we had done and if we think that it is not the best that we can do, improve it. But never think that our effort is useless and not worth it. We did great.
February 21, 2018
English: Phoneless
“I’ve become so numb, I can’t feel you there. Become so tired, so much more aware. By becoming this all I want to do. Is be more like me and be less like you.” Somehow the Linkin Park song entitled numb rang into my ears when I became phoneless. Have you ever felt numb, not knowing what to do without your phone? As if your soul went out of your body for a while? Thinking what will happen without your phone. Feeling lifeless. Feeling anxious. No more swiping up and down. No more getting the latest updates in life (As if…). No more liking or double tapping here and there. Everything felt dark and being sucked into a black hole. Have you felt that way when your phone went wrong? Well, I did. I was taken aback how dependent I was with this tiny gadget when my phone decided to take a nap, forever. That I felt a part of me – was gone. Sounds like a phone addict aren’t I? Long story short, my phone was damaged where the screen went black and poof, I am then phoneless.
Relating my case to phone addiction, did you know that there is even a new term developed for people that fear if their mobile phone is not working or unable to use it for certain reasons. Realise it or not, we have all become truly dependent on mobile phones. This tiny little gadget has enabled us to do so many things like accessing to the internet for online banking, search for information, check our calendars, connecting with others via social media and also play games. It has replaced the purpose of the camera, alarm clocks and a planner. Apart from that, the use of mobile phones is able to release the chemical called dopamine which makes us feels good. That is why whenever we get a notification or a text, we feel good. So we tend to go back to our postings to see the likes and see if gets the approval of our peers.
Sadly, despite the unending innovation in mobile phones, it has inevitably made us, less human. Our communication level with people, friends and families deteriorates. We would rather text with someone not in front of us instead of talking with someone present. Our productivity decreases where an hour work lengthens to three or four hours with our constant phone checking. Also, our personal growth stopped when we end up becoming potato couch as we browse through the phone non-stop. We are put asleep with fancy applications like Instagram, Snapchat, Twitter etc. We look for false and deceptive approval from this medium. Indirectly, the materialism is drifting us apart from getting close to Allah. Let’s ponder a few of this questions to know how mobile phones/technology has actually influenced our lives.
What do you normally do when you wake up? Check your phones?
When was the last time you felt the connection with Allah in your prayers?
When was the last time you truly appreciate Mother Nature without posting all your journey using your social media?
When was the last time you really had a real conversation with people?
Do remember the time when you sincerely prayed to Allah and not on social media?
How often do you check your phone?
Do you care so much about how many followers do you have on your social media?
These questions will reflect on how dependent we are towards mobile phone. Knowing that we are attached this type of mobile phone entertainment, we must all wake up from this illusion. Be realistic about how much time do we spend with mobile phones. We have more important matters to do. We have so much more to learn. Discovering ourselves, learning the seerah of our prophets and see what we can contribute to the world. We need to detox ourselves from the connection of mobile phones. When we have so much strength to develop, won’t it be a total waste just by playing with your phone? We need to rethink the relationship we made with our mobile phones. We must revive our love for Allah and His messengers. Just like when we were kids, we were always inquisitive and carefree. As kids, we always wanted to see the world and try the impossible. Let’s get back on track, dear friends. We need to be present. Resisting mobile phones which is part of the entertainment, you can definitely fly higher and go beyond your current capabilities.
Cal Newport wrote in his book “Deep Work: Rules for Focused Success in a Distracted World” supports the idea of increasing productivity, getting the results we desire by avoiding the technology. He said that:
“If you want to eliminate the addictive pull of entertainment sites on your time and attention, give your brain a quality alternative. Not only will this preserve your ability to resist distraction and concentrate. But you might experience, perhaps for the first time, what it means to live, and not just exist.”
It is interesting to know that, we have to follow four simple rules: (1) Work deeply; (2) Embrace boredom; (3) Quit social media; and (4) Drain the Shallows. Designing how you would spend your day will enable you to work deeply and focus to achieve a respective goal. Know the process to support your work. Work progressively to eliminate boredom by practising meditation to enhance your attention mentally towards your work. Rewire our brain to be at ease with declining any distraction. The author also encouraged that we can try to stop using the social media for 30 days and see what happens. Do not uninstall all the applications explicitly and announce it to the world. Train ourselves that access to the internet is not the only entertainment we have. Lastly, know that it takes time to engage a productive life.
Besides these suggestions, in order to put us back on track in remembering Allah, I would suggest that we surround ourselves with daily dzikr, selawat and prayers. Enrich yourself with Islamic knowledge, contemporary issues and national stories. Meet like-minded people to nurture your passion and interest. Know that you should NOT be a slave to the technology but use it as a tool to be a better Muslim. Consolidate your heart to be accustomed to what is right and forsake pleasures. After all, life is short. We must work to obtain the beautiful Garden of Paradise and avoid the painful Fire of Grieve.
This phone tragedy has made me reflect on myself a lot. Suddenly I can do so many things without the phone. Although I was stunned for a while on what to do, I actually started doing things. I became more aware of my surrounding. I became more attentive to people. I focused more. I started reading again after a long hiatus. It became a silver lining eventually. Having a mobile phone could become an advantage to you or an adversity. We choose. I end this article with a poem. Cheers!
Phoneless,
Makes you lifeless,
Also in stress,
Though, never distress,
You may progress,
Rewire, resist, reconnect, reprocess,
Work slowly but with express,
To get His bless.