Rhein Fathia's Blog, page 7
April 21, 2017
Don't Judge a Book By Its Tattoo
Menurut cerita Ibu, di era mantan presiden Soeharto ada sebuah operasi pembunuhan massal yang dinamakan Petrus atau penembak misterius. Operasi yang dikomandoi ABRI ini bertujuan memberantas siapa pun yang diduga menjadi penyebab keresahan masyarakat. Culik, tembak, tinggalkan mayatnya. Kala itu, banyak preman-preman ketakutan dan menyelamatkan diri dari incaran Petrus. Salah satu cara yang dilakukan adalah menghapus tato yang sudah dirajah di tubuh mereka.
Secara umum masyarakat Indonesia masih menganggap tato sebagai sesuatu yang dikaitkan dengan hal negatif. Sebagian orang menghubungkan tato dengan premanisme, kekasaran, kenakalan remaja, meskipun mereka tatoan tapi tak pakai narkoba. Apalagi kalau tato gambar sangar sebadan-badan. Saya akui saya pernah punya mindset seperti itu.
Saat traveling ke Pattaya, saya pernah berkenalan dengan seorang gadis Rusia yang berprofesi sebagai tatto artist. Dia traveling ke banyak negara dan mencari uang dengan cara merajah siapa saja yang mau dengan harga lebih rendah dari harga pasaran. Dia juga menawarkan diri untuk merajah kulit saya dengan gratis. Saya tolak dengan alasan tidak kuat menahan sakit tusukan jarum (Padahal mah alasannya karena takut dimarahin Bapa).
Sampai setahun lalu saat saya mendarat di Australia dan mulai gaul kesana kemari, saya berpikir, busyeeenngg... Ini kok orang-orang pada tatoan yak? Baik laki-laki atau perempuan, terutama para backpacker yang pernah saya temui, 90% bertato. Yang 10% mungkin tatonya nggak kelihatan (di telapak kaki, misalnya). Dari tato sangar sepanjang lengan sampai tato mungil gambar tapak kaki anjing.
Punya banyak teman bertato selama di Australia membuka pikiran saya bahwa ada satu sisi dunia yang menganggap tato adalah seni. Sama seperti lukisan, ukiran, kaligrafi. Yang membedakan hanya mediumnya adalah kulit manusia hidup. Saya suka kepo (maklum orang Indonesia) tanya-tanya kenapa kamu punya tato gambar itu atau kapan kamu punya tato itu, dll.
Jawabannya beragam. Ada yang punya tato gambar wajah neneknya yang paling disayang yang ia buat setelah neneknya meninggal. Ada juga gambar aktor favorit yang menjadi inspirasi. Atau sebaris kalimat motivasi di dada yang dibuat setelah dicampakkan sang kekasih sehingga tiap kali bercermin, dia merasa hidup tetap cerah. Ada tato tanggal kematian anjing pertamanya. Ada lambang-lambang dengan makna tertentu. Atau sekedar itu gambar keren. Saya beberapa kali melihat orang dengan tato macan, meski tidak ada yang bertato macan cisewu. Lokasi tato juga macam-macam. Pergelangan kaki, paha, lengan, belakang telinga, leher, punggung, dada, pusar, oke udah cukup saya cuma sampai situ aja kok liatnya.
Dari hasil kepo, ternyata tato itu bikin nagih. Mereka yang bertato selalu ingin merajah tubuhnya lagi. Ada juga beberapa cowok yang berkata, “Cewek tatoan itu keren, tapi saya ga mau pacar saya tatoan.” Lhah??
Satu hal penting, tato tidak ada hubungannya dengan kepribadian seseorang. Semua teman saya yang bertato baik banget. Saya juga pernah dipalak duit sama orang bertato.
Satu kesamaan, semua orang bertato yang pernah saya kepoin sepakat bahwa tato yang ada di tubuh mereka menjadi pengingat akan sesuatu. Seperti mendongeng, mereka akan cerita ke saya tato ini dibuat di mana, kapan, kenapa, ada kejadian apa, dengan siapa, dll. Kemudian saya akan melihat mereka sebagai sosok yang memiliki tubuh dengan kisah hidup tertulis indah di sana.
Jadi wahai kamu yang bertato, apa ceritamu? :)
pic source: an instagram accountLove is real, real is love. -John Lennon-
Secara umum masyarakat Indonesia masih menganggap tato sebagai sesuatu yang dikaitkan dengan hal negatif. Sebagian orang menghubungkan tato dengan premanisme, kekasaran, kenakalan remaja, meskipun mereka tatoan tapi tak pakai narkoba. Apalagi kalau tato gambar sangar sebadan-badan. Saya akui saya pernah punya mindset seperti itu.
Saat traveling ke Pattaya, saya pernah berkenalan dengan seorang gadis Rusia yang berprofesi sebagai tatto artist. Dia traveling ke banyak negara dan mencari uang dengan cara merajah siapa saja yang mau dengan harga lebih rendah dari harga pasaran. Dia juga menawarkan diri untuk merajah kulit saya dengan gratis. Saya tolak dengan alasan tidak kuat menahan sakit tusukan jarum (Padahal mah alasannya karena takut dimarahin Bapa).
Sampai setahun lalu saat saya mendarat di Australia dan mulai gaul kesana kemari, saya berpikir, busyeeenngg... Ini kok orang-orang pada tatoan yak? Baik laki-laki atau perempuan, terutama para backpacker yang pernah saya temui, 90% bertato. Yang 10% mungkin tatonya nggak kelihatan (di telapak kaki, misalnya). Dari tato sangar sepanjang lengan sampai tato mungil gambar tapak kaki anjing.
Punya banyak teman bertato selama di Australia membuka pikiran saya bahwa ada satu sisi dunia yang menganggap tato adalah seni. Sama seperti lukisan, ukiran, kaligrafi. Yang membedakan hanya mediumnya adalah kulit manusia hidup. Saya suka kepo (maklum orang Indonesia) tanya-tanya kenapa kamu punya tato gambar itu atau kapan kamu punya tato itu, dll.
Jawabannya beragam. Ada yang punya tato gambar wajah neneknya yang paling disayang yang ia buat setelah neneknya meninggal. Ada juga gambar aktor favorit yang menjadi inspirasi. Atau sebaris kalimat motivasi di dada yang dibuat setelah dicampakkan sang kekasih sehingga tiap kali bercermin, dia merasa hidup tetap cerah. Ada tato tanggal kematian anjing pertamanya. Ada lambang-lambang dengan makna tertentu. Atau sekedar itu gambar keren. Saya beberapa kali melihat orang dengan tato macan, meski tidak ada yang bertato macan cisewu. Lokasi tato juga macam-macam. Pergelangan kaki, paha, lengan, belakang telinga, leher, punggung, dada, pusar, oke udah cukup saya cuma sampai situ aja kok liatnya.
Dari hasil kepo, ternyata tato itu bikin nagih. Mereka yang bertato selalu ingin merajah tubuhnya lagi. Ada juga beberapa cowok yang berkata, “Cewek tatoan itu keren, tapi saya ga mau pacar saya tatoan.” Lhah??
Satu hal penting, tato tidak ada hubungannya dengan kepribadian seseorang. Semua teman saya yang bertato baik banget. Saya juga pernah dipalak duit sama orang bertato.
Satu kesamaan, semua orang bertato yang pernah saya kepoin sepakat bahwa tato yang ada di tubuh mereka menjadi pengingat akan sesuatu. Seperti mendongeng, mereka akan cerita ke saya tato ini dibuat di mana, kapan, kenapa, ada kejadian apa, dengan siapa, dll. Kemudian saya akan melihat mereka sebagai sosok yang memiliki tubuh dengan kisah hidup tertulis indah di sana.
Jadi wahai kamu yang bertato, apa ceritamu? :)

Published on April 21, 2017 00:06
April 15, 2017
One Year Later

Usai kurang lebih 13 jam perjalanan Melbourne-transit Kuala Lumpur-Jakarta, akhirnya saya kembali merasakan pelukan Ibu, Bapa, dan Bani yang menjemput di Soekarno-Hatta. Saya pun mengabari banyak teman dengan pesan singkat “Gw udah balik Indo. I’m home. I arrived safely. etc.” Kemudian pagi ini, hari pertama bangun tidur di rumah dengan perasaan tenang tanpa bertanya-tanya, “Sekarang gw lagi ada di mana ya?”(Percayalah, terlalu sering traveling, pindah-pindah hostel atau tempat tinggal, kadang membuat saya bingung akan situasi tiap bangun tidur).
Setahun ke belakang menjadi fase Long Vacation dalam hidup saya. Kalau pernah ada yang nonton dorama Jepang dengan judul sama, kira-kira seperti itulah gambaran filosofinya. Setelah kerja kantoran, lanjut kuliah S2, lulus, daftar kuliah lagi ke Eropa dan ga dapet-dapet, saya cukup stress mau ngapain selanjutnya. Mungkin setahun lalu Tuhan sedang ingin saya mengambil liburan dalam hidup. Dan saya pun terbang ke benua sebrang.
Saya menulis ini sambil senyum-senyum sendiri mengingat banyak kejadian selama memiliki Work & Holiday Visa di Australia. Mulai dari mendarat di bandara Sydney, sampai ke stasiun Central, tinggal satu apartemen dengan penghuni dari beragam negara, ikut short-course di Universitas Sydney (yang tugasnya banyak), pindah ke kota-kota lain, jalan-jalan, gonta-ganti pekerjaan, dan di sepanjang tahun ini saya juga melakukan banyak hal yang tidak pernah saya lakukan sebelumnya di Indonesia. Ceritanya nggak akan bisa ditulis dalam satu postingan, saya berencana untuk nulis lebih detail nanti (kalau mood #halah).
Saya tidak berekspektasi bahwa kehidupan dalam setahun bisa sebegitu seru dan berwarna. Australia memberi ruang kondusif agar saya mencoba banyak hal baru yang tidak pernah dilakukan di Indonesia, apalagi dari kacamata budaya & agama akan dianggap salah. Seorang Rhein yang tampak alim ini, ternyata hobi clubbing. Ternyata dia juga sanggup minum 2 botol wine dalam semalam, tanpa hangover pagi harinya. Dia punya kemampuan beginner's luck karena menang pas main judi di kasino. Dia juga sempat tinggal satu rumah dengan banyak laki-laki. Dan cerita-cerita the dark side lain #uhuk. I did a lot of things I’m not proud of them, but I don’t regret.
Di sisi lain, saya juga bekerja lebih workaholic daripada sebelumnya. Belanja lebih boros, traveling lebih jauh, tertawa lebih banyak, dan meneteskan air mata lebih deras. Saya yang sebelumnya sosok logis dan bisa mengontrol diri, selama di Australia, belajar untuk mengeksplorasi dan mengobservasi diri sendiri.
One year later, saya pulang dengan senyum damai. Satu tahun yang mengajarkan saya untuk bisa lebih bijaksana, menikmati hidup, memahami serta memaafkan diri sendiri dan orang lain. Satu tahun yang membuka cakrawala pikiran saya lebih luas tentang perbedaan dan bagaimana menjadi masyarakat internasional. Seperti yang pernah Feynman tulis dalam bukunya, "Learn what the rest of the world is like. The variety is worthwhile." Pastinya saat suatu hari punya anak, saya punya banyak cerita seru (nikah belum udah mikir anak, visioner sekali).
Nggak sedih ninggalin Australia? Sedih pasti ada, tapi saya sadar toh yang namanya liburan pasti ada akhirnya. So, udah nggak bingung lagi sama rencana selanjutnya di Indonesia? Masih nggak tau (bwahahaha, jawaban standar alumni WHV).
Terima kasih Australia. Terima kasih untuk semua orang yang menjadi bagian cerita selama saya di Negeri Selatan. Satu tahun penuh kenangan yang akan saya peluk dengan hangat.



Love is real, real is love. -John Lennon-
Published on April 15, 2017 23:29
April 1, 2017
Waitress Abal-Abal
Hari terakhir menjalani karir sebagai waitress abal-abal #halah.
Akhirnya, usai sudah kisah cinta pekerjaan saya sebagai waitress. Dari duluuuuu banget, saya suka membayangkan kalau tinggal di luar negeri pengen kerja di restoran dan malamnya kuliah. Kayaknya seru aja gitu jadi waitress ketemu banyak macam-macam orang apalagi kalau ada drama-drama lucu macam Penny di The Big Bang Theory atau Max di Two Broke Girls. Eh, selama di Australia ini terkabul dong.
Sejak sebelum berangkat ke benua selatan, pekerjaan part-time yang saya incar ada dua: waitress dan guru bahasa Indonesia. Ternyata yang terkabul hanya yang pertama dengan kesempatan bekerja di satu kafe dan dua restoran. Bulan Juni saya bekerja di Sette Cafe, Oktober-Januari di Fremantle Bakehouse, Februari-Maret di Jimmy’s Recipe.
Menjadi waitress abal-abal di negeri kanguru bagi saya menyenangkan meski kalau restoran rame capeknya bisa bikin kaki kram. Rutinitas yang saya kerjakan meliputi melayani order pembeli, bersih-bersih restoran, jaga mesin kasir, ngitung duit, promosi, kadang bantu-bantu di dapur, malah waktu kerja di kafe saya pun harus buat sandwich, toast, dan segala macam minuman. Pastinya sih tak lupa senyum setiap saat.
Alasan memilih pekerjaan waitress ada banyak. Pertama pastinya supaya bisa memperbagus english conversation karena mau nggak mau saya pasti mendengar dan bicara sama pembeli, dong. Belajar bicara dalam bahasa Inggris mungkin bisa dari les-les saat di Indonesia, tapi mendengar orang lain ngomong English dalam beragam aksen, itu pe-er lagi.
Kedua, menambah rasa percaya diri. Saya sosok introvert, pemalu, dan sulit memulai berkenalan dengan orang baru (Iya, padahal saya termasuk friendly). Kemudian pernah suatu kali saya mendengar (atau baca), salah satu cara memperbaiki sifat nggak pede adalah kita harus mencoba bicara dengan 5 orang baru yang lawan jenis setiap hari. Kebayang dong kalau kerja di restoran saya punya banyak kesempatan ngobrol sama beragam manusia. Bagi saya perkara bicara dengan orang baru ini di masa depan penting untuk urusan bisnis, melatih elevator pitch, belajar menjadi pribadi yang mudah disukai orang lain, membaca karakter orang, mendengar serta memahami keinginan konsumen, bagaimana supaya orang-orang tertarik dengan apa yang kita jual atau rekomendasikan. Berbeda dengan public speaking, menjadi waitress mengasah kemampuan berkomunikasi dua arah agar kita bisa memahami dan orang lain paham apa yang kita maksud. Kan cita-cita saya mau jadi Ibu Negara (apa hubungannya??).
Bagi saya efeknya berasa banget. Akhir-akhir ini rasanya lebih mudah untuk berkenalan dan berbaur dengan orang baru (teman dari teman dari temannya si anu). Saya juga menyadari ternyata banyak sekali yang memiliki problem nggak pede menghadapi orang baru dan bagaimana agar mereka nyaman bicara dengan saya. Tips yang biasa saya pakai sederhana: senyum, ramah, bersikap bahagia.
Alasan ketiga pengen kerja di restoran supaya bisa belajar masak. Sempat sih belajar beberapa jenis masakan. Kemudian ada kejadian saat saya masak di restoran untuk dimakan sendiri, itu kwetiau gosong dan bentuknya nggak keruan. Tapi saya yakin masih layak makan. Sampai tiba-tiba si chef lewat dan menatap saya iba sambil berkata, “I’ll cook for you.” Dengan cepat saya mengelak, “No, it’s okay. It just for my dinner.” Namun apa daya si chef dengan cepat menyambar wajan dan kwetiau tak berbentuk itu langsung dibuang ke tempat sampah. Giliran saya nyanyi depasif: Kau hancurkan aku dengan sikap mu. Tak sadarkah kau telah menyakiti ku.
Banyak pengalaman yang saya pelajari dari pekerjaan waitress. Bagi teman-teman work & holiday visa Indonesia yang mau mencoba, saya selalu dapat pekerjaan ini dengan mengantar resume/CV langsung ke restoran, minta ketemu manager, lalu bilang dengan singkat padat jelas kalau kita butuh kerja, jenis visa yang kita punya, I can speak English fluently, pengalaman kerja, dan yakinkan bahwa kita bisa cepat belajar dan pekerja keras.
"Hello, how are you? What can I get for you today?" :)
waittress abal-abal pose duluLove is real, real is love. -John Lennon-
Akhirnya, usai sudah kisah cinta pekerjaan saya sebagai waitress. Dari duluuuuu banget, saya suka membayangkan kalau tinggal di luar negeri pengen kerja di restoran dan malamnya kuliah. Kayaknya seru aja gitu jadi waitress ketemu banyak macam-macam orang apalagi kalau ada drama-drama lucu macam Penny di The Big Bang Theory atau Max di Two Broke Girls. Eh, selama di Australia ini terkabul dong.

Sejak sebelum berangkat ke benua selatan, pekerjaan part-time yang saya incar ada dua: waitress dan guru bahasa Indonesia. Ternyata yang terkabul hanya yang pertama dengan kesempatan bekerja di satu kafe dan dua restoran. Bulan Juni saya bekerja di Sette Cafe, Oktober-Januari di Fremantle Bakehouse, Februari-Maret di Jimmy’s Recipe.
Menjadi waitress abal-abal di negeri kanguru bagi saya menyenangkan meski kalau restoran rame capeknya bisa bikin kaki kram. Rutinitas yang saya kerjakan meliputi melayani order pembeli, bersih-bersih restoran, jaga mesin kasir, ngitung duit, promosi, kadang bantu-bantu di dapur, malah waktu kerja di kafe saya pun harus buat sandwich, toast, dan segala macam minuman. Pastinya sih tak lupa senyum setiap saat.
Alasan memilih pekerjaan waitress ada banyak. Pertama pastinya supaya bisa memperbagus english conversation karena mau nggak mau saya pasti mendengar dan bicara sama pembeli, dong. Belajar bicara dalam bahasa Inggris mungkin bisa dari les-les saat di Indonesia, tapi mendengar orang lain ngomong English dalam beragam aksen, itu pe-er lagi.
Kedua, menambah rasa percaya diri. Saya sosok introvert, pemalu, dan sulit memulai berkenalan dengan orang baru (Iya, padahal saya termasuk friendly). Kemudian pernah suatu kali saya mendengar (atau baca), salah satu cara memperbaiki sifat nggak pede adalah kita harus mencoba bicara dengan 5 orang baru yang lawan jenis setiap hari. Kebayang dong kalau kerja di restoran saya punya banyak kesempatan ngobrol sama beragam manusia. Bagi saya perkara bicara dengan orang baru ini di masa depan penting untuk urusan bisnis, melatih elevator pitch, belajar menjadi pribadi yang mudah disukai orang lain, membaca karakter orang, mendengar serta memahami keinginan konsumen, bagaimana supaya orang-orang tertarik dengan apa yang kita jual atau rekomendasikan. Berbeda dengan public speaking, menjadi waitress mengasah kemampuan berkomunikasi dua arah agar kita bisa memahami dan orang lain paham apa yang kita maksud. Kan cita-cita saya mau jadi Ibu Negara (apa hubungannya??).
Bagi saya efeknya berasa banget. Akhir-akhir ini rasanya lebih mudah untuk berkenalan dan berbaur dengan orang baru (teman dari teman dari temannya si anu). Saya juga menyadari ternyata banyak sekali yang memiliki problem nggak pede menghadapi orang baru dan bagaimana agar mereka nyaman bicara dengan saya. Tips yang biasa saya pakai sederhana: senyum, ramah, bersikap bahagia.
Alasan ketiga pengen kerja di restoran supaya bisa belajar masak. Sempat sih belajar beberapa jenis masakan. Kemudian ada kejadian saat saya masak di restoran untuk dimakan sendiri, itu kwetiau gosong dan bentuknya nggak keruan. Tapi saya yakin masih layak makan. Sampai tiba-tiba si chef lewat dan menatap saya iba sambil berkata, “I’ll cook for you.” Dengan cepat saya mengelak, “No, it’s okay. It just for my dinner.” Namun apa daya si chef dengan cepat menyambar wajan dan kwetiau tak berbentuk itu langsung dibuang ke tempat sampah. Giliran saya nyanyi depasif: Kau hancurkan aku dengan sikap mu. Tak sadarkah kau telah menyakiti ku.
Banyak pengalaman yang saya pelajari dari pekerjaan waitress. Bagi teman-teman work & holiday visa Indonesia yang mau mencoba, saya selalu dapat pekerjaan ini dengan mengantar resume/CV langsung ke restoran, minta ketemu manager, lalu bilang dengan singkat padat jelas kalau kita butuh kerja, jenis visa yang kita punya, I can speak English fluently, pengalaman kerja, dan yakinkan bahwa kita bisa cepat belajar dan pekerja keras.
"Hello, how are you? What can I get for you today?" :)

Published on April 01, 2017 06:13
January 31, 2017
The Chronicle in Fremantle

Pada suatu hari, salah seorang sahabat saya mengirimkan gambar di atas. Sebagai anak sok petualang, saya pun berkeyakinan bahwa suatu hari harus mencoba. Bukan hanya sekadar wisata, tapi benar-benar harus mencoba hidup di suatu tempat yang tidak satu pun tahu siapa saya dan tidak seorang pun yang saya kenal sebelumnya.
Usai lima bulan tinggal di Sydney dan mulai bosan (serta hampa plus lelah kebanyakan klabing #plak), saya pun berpikir saatnya menjelajahi tempat baru. Ide di gambar itu pun kembali muncul. Pilihan destinasi tertuju ke kota Fremantle yang gaulnya disebut Freo. Sebuah kota kecil dengan jarak 30 menit menggunakan kereta dari Perth City, Western Australia. Tidak banyak informasi yang saya dapat tentang kota ini sebelumnya karena saya malas googling. Dalam pikiran saya hanya, “Okay, I’ll go!”
Berbeda dengan saat pertama kali ke Australia, saya benar-benar penuh rencana. Ada teman bareng naik pesawat, sampai Sydney akan ada yang jemput, saya punya tempat tinggal sementara, udah daftar short-course, saya ikut komunitas orang Indonesia di Sydney, saya punya banyak teman dan sering kontak-kontakan, dan 90% saya pasti dapat kerja part-time dari kenalan.
Saat mendarat di Freo, saya sendirian, boro-boro ada yang jemput di bandara, kenalan aja saya nggak punya. Tempat tinggal hanya booking hostel 3 hari itu pun sekamar dengan 8 orang, nggak tahu nanti tinggal di mana selanjutnya, saya nggak ikut komunitas orang Indonesia, dan saya nggak tahu bakal kerja apaan atau gimana dapat kerja.
Waktu bilang ke sahabat bahwa saya sedang melakukan apa yang ada di gambar yang pernah dia kirim, saya malah dimarahi habis-habisan. Minta ditampol kamu, A’.
Lalu petualangan pun dimulai. Modal saya hanya doa orang tua, karena saya nggak yakin doa diri sendiri cepat dikabulkan Tuhan. Dari saya kenalan sama supir Uber, lalu berteman dengan backpacker asal Boston di hostel yang akhirnya kami berteman baik sampai sekarang, kemudian beberapa kali cari share house inspeksi ga dapet-dapet, uang saya menipis, ngider keliling kota ke kafe-kafe dan restoran-restoran sebar CV untuk cari kerja. Dari situ saya mikir, wooowww... hidup dari NOL ternyata begini rasanya. Rarieut urang.
Hampir tiap malam saya merengek ke Ibu Bapa untuk didoakan supaya segala urusan dimudahkan. Alhamdulillah punya orang tua soleh. Selang seminggu di Freo, saya nemu share-house yang harga sewa sesuai budget, dekat kemana-mana (pusat kota dan pantai), akses angkutan umum gampang, dapat kamar sendiri yang nyaman, tapiiiiiii... saya tinggal dengan 3 pria bule dan saya perempuan sendiri. Waktu pindahan dari hostel ke share-house, saya baru sadar kalau kamar saya nggak ada kuncinya (karena penghuni-penghuni sebelumnya cowok), akhirnya saya request untuk dipasang kunci dan dikabulkan. Hal lain, bahkan sampai cerita ini ditulis, kamar mandi di rumah nggak ada kuncinya yang pintunya kadang gerak-gerak kalau angin lagi kenceng. Bahahahaha... Kebodohan saya sih nggak teliti waktu inspeksi. Untungnya semua penghuni rumah baik-baik jadi saya aman sentosa.
Saya juga dapat pekerjaan sebagai waitress di sebuah restoran terkenal di Freo. Terkenal artinya sibuk dan tiap pulang kerja saya selalu berdesis, “Oh, my leg...” Dan, kehidupan di Freo pun mulai seru-seru lucu. Teman-teman yang saya punya ya hanya di restoran, 5 waitress (asal Jepang, Brazil, Jerman) dan 5 cowok kitchenhand yang 3 diantaranya para Oppa baik hati yang kalau mereka lagi ngobrol di depan saya, berasa lagi ada di drama Korea dan mereka memperebutkan saya gitu (lalu dilempar panci).
Pemilik restoran adalah sepasang suami-istri yang super baik hati. Mereka sudah seperti orang tua bagi para karyawannya. Karena selain jadi bos yang mengajarkan banyak hal, mereka selalu dengan senang hati mendengar segala curhatan suka-duka kami para backpacker pekerja part-time ini. Cerita lain adalah tentang pelanggan-pelanggan restoran yang baik hati, lucu, aneh, cunihin, yang sudah kami hapal menu-menu favoritnya. Bahkan kami tidak perlu lagi menulis pesanan mereka, cukup menulis (misalnya) “Mark is coming.”, maka barista dan chef sudah tahu harus membuat apa.
Dan cerita paling kocak adalah ketika seorang pelanggan melamar saya. Bule ini usianya udah tua, mungkin 40an tahun, suatu hari dia bilang ke saya (di depan bos) kalau dia pengen menikah dengan saya bahkan sampai bertanya saya mau pakai gaun apa. Saya pikir hanya bercanda, jadi saya hanya tanggapi dengan tawa sambil tetap kerja. Dua hari kemudian, sesampainya saya di restoran dan siap mau kerja, tiba-tiba dia datang dengan pakaian rapi, menghampiri saya, berlutut, mengambil kotak di saku dan menyodorkan ke saya sambil bilang, “Marry Me!”, DI DALAM RESTORAN DI DEPAN SEMUA ORANG!!
Melihat cincin dengan batu berkilat membuat saya syok. Is he serious??!! Saya celingukan, orang-orang malah ngeliatin, saya melihat ke teman waitress minta pertolongan, eh dia malah menahan ketawa. Singkat cerita saya menolak (ya menurut looo??!!). Sejak saat itu saya belajar menolak tiap ada pelanggan restoran yang mengajak kencan. Iya, nggak cuma sekali dan saya belajar bahwa di budaya barat (meski Australia letaknya di selatan), ajakan kencan adalah hal biasa (kalau ngelamar sih tetep gila).
Cerita lain juga saya dan teman-teman piknik ke pantai, wisata kuliner, merayakan natal, lihat kembang api saat tahun baru, mengunjungi museum-museum, nyebrang pulau, makan malam bersama, gosip-gosip lucu di restoran, main sama anjing (ini penting dan ajaib! Phobia saya sama anjing terobati!!). Ada juga saat saya klabing lalu diincer lesbian, atau saat Kitty (kucing peliharaan) mempersembahkan tikus untuk saya saat bangun pagi (horor abis). Dan kisah romansa semusim yang cukup saya dan dia yang tahu (plis jangan ada yang komen “Ditunggu kisahnya di novel selanjutnya”, saya jitak nanti).

Rencana saya tinggal di Freo hanya dua bulan dan malah molor jadi empat bulan. Perpisahan, satu hal yang saya harus terbiasa dalam setiap perjalanan tapi tetap rasanya menyedihkan. Saat saya bilang ke pelanggan restoran saat hari terakhir kerja, mereka dengan hangat bertanya rencana saya selanjutnya dan mendoakan untuk kesuksesan saya. Paling sedih tentunya saat memeluk satu per satu teman-teman waitress karena dengan mereka saya berbagi cerita sehari-hari. Atau saat Ibu bos berpesan, “You’re a good girl. You take care, okay?”, lalu saat Pak bos bilang, “You can come back here anytime you want.”
Dan pelukan terlama datang dari seorang Oppa. He said, “I will miss you. Take care of yourself.” And I replied, “Thank you for being so nice to me, Oppa.”
Yak! Dan drama Korea singkat ini terjadi di dapur restoran dengan ditonton pak bos dan semua waitress. Niat saya nangis ala ending drama Goblin pun harus diurungkan.
Kembali ke gambar pertama. Mencoba menjadi sosok asing tak dikenal dan tak mengenal siapa pun di tempat baru ternyata tidak terlalu buruk. Suka duka pasti ada. Tangis tawa menjadi warna. Prinsip saya sederhana, be a good person and you will meet nice person too. Traveling isn’t always fun. Sometimes it’s uneasy, uncomfy, or break my heart. But it still gave me beautiful memories and left mark in every step of my journey. Also I hope, I left something good behind.

Love is real, real is love. -John Lennon-
Published on January 31, 2017 00:00
January 16, 2017
Simple Girl
I rarely bring fancy handbag, backpack still the most comfortable for me.
I don't have pretty wallet. Even mine is simpler than men's wallet, the small one for cards and a little money inside.
I don't wear branded dress. I bought when I need it, the cheap one or discount price, as long as it fit and comfy.
I do love make up. I choose nude and natural look colour, then put them inside travel size pocket. I still want to look pretty when I take selfie.
My shoes, sure it should be high quality because I wear them everyday for my journey. Good shoes, healthy feet, amazing journey.
I'm a simple girl in appearance, but pretty sure not in experience.
Love is real, real is love. -John Lennon-
I don't have pretty wallet. Even mine is simpler than men's wallet, the small one for cards and a little money inside.
I don't wear branded dress. I bought when I need it, the cheap one or discount price, as long as it fit and comfy.
I do love make up. I choose nude and natural look colour, then put them inside travel size pocket. I still want to look pretty when I take selfie.
My shoes, sure it should be high quality because I wear them everyday for my journey. Good shoes, healthy feet, amazing journey.
I'm a simple girl in appearance, but pretty sure not in experience.

Love is real, real is love. -John Lennon-
Published on January 16, 2017 03:49
January 10, 2017
Rottnest Island, A Paradise
Surga itu ternyata hanya berjarak 30 menit dari tempat saya tinggal sekarang, Fremantle.
Setelah sekian lama saya selalu membanggakan pantai-pantai di Bali dan 3 Gili yang belum ada memandingi keindahan mereka di semua pantai yang pernah saya temui, akhirnya saya menemukan pulau surga lain: Rottnest Island.
Berbekal izin libur dari pak Bos, saya dan Kiyomi berangkat ke Rottnest untuk piknik setelah dua minggu kerja rodi di restoran saat musim liburan akhir & awal tahun yang oh-my-god kenapa tamu nggak berhenti-berhenti dateng?! Kami membeli tiket di hari selasa agar dapat separuh harga yang tiketnya bisa dibooking di sini. Saya tahu orang-orang bilang Rottnest indah dan menyenangkan terutama pantainya, tapi tidak mau berekspektasi besar karena dari pantai-pantai yang pernah saya kunjungi di Asia Tenggara dan Australia selama ini, belum ada yang se-memuaskan Bali dan 3 Gili (yang udah ke Raja Ampat, ga usah komentar. Saya belum kesana). Kemudian, sampailah kami di Rottnest dan.... Whooaaaa!!
Cara paling menyenangkan untuk mengeksplor Rottnest adalah dengan sepeda. Selama kami berkeliling pulau, ya Gusti... Beneran berasa surga. Cuaca cerah dengan angin sepoi-sepoi, pantai-pantai pasir putih dan laut biru, tebing-tebing yang ciamik untuk melihat seluruh pulau, jalanan aspal yang bagus tanpa kendaraan bermotor (ternyata surga ga perlu mobil atau motor bagus, gaes), hutan-hutan rindang yang menyaring cahaya matahari, binatang-binatang liar yang cantik dan hidup damai berdampingan. Selama sepedahan, saya dan Kiyomi berasa dua anak kecil lagi main-main. Kadang ngebut, kadang pelan-pelan, ngobrol dan ketawa-ketawa, berhenti di beberapa lokasi indah untuk foto-foto narsis, main sama burung atau quokka, makan bekal, berenang di pantai, lanjut naik sepeda dan cari pantai lain lalu berenang lagi.
The best day off!
Kasihan Quokka, dia nggak boleh masuk toko
Kalau ada burung ini liar di Jakarta pasti dalam sekejap udah ga adaKalau menginap di pulau ini, saya yakin akan ada sunset yang menakjubkan karena saat kami kembali ke Fremantle, dari kapal pun Matahari menjelang sunset bagus bangeeeettt.
Piknik kali ini bisa dibilang sekalian farewell. Saya dan Kiyomi datang ke Fremantle dan bekerja di restoran di waktu yang hampir bersamaan. Bulan Januari ini Kiyomi dan saya pun akan resign dan melanjutkan traveling ke tujuan yang berbeda. Namun itulah esensi dari sebuah perjalanan; bertemu, membuat kenangan indah, dan berharap suatu hari dipertemukan kembali.
Love is real, real is love. -John Lennon-
Setelah sekian lama saya selalu membanggakan pantai-pantai di Bali dan 3 Gili yang belum ada memandingi keindahan mereka di semua pantai yang pernah saya temui, akhirnya saya menemukan pulau surga lain: Rottnest Island.
Berbekal izin libur dari pak Bos, saya dan Kiyomi berangkat ke Rottnest untuk piknik setelah dua minggu kerja rodi di restoran saat musim liburan akhir & awal tahun yang oh-my-god kenapa tamu nggak berhenti-berhenti dateng?! Kami membeli tiket di hari selasa agar dapat separuh harga yang tiketnya bisa dibooking di sini. Saya tahu orang-orang bilang Rottnest indah dan menyenangkan terutama pantainya, tapi tidak mau berekspektasi besar karena dari pantai-pantai yang pernah saya kunjungi di Asia Tenggara dan Australia selama ini, belum ada yang se-memuaskan Bali dan 3 Gili (yang udah ke Raja Ampat, ga usah komentar. Saya belum kesana). Kemudian, sampailah kami di Rottnest dan.... Whooaaaa!!

Cara paling menyenangkan untuk mengeksplor Rottnest adalah dengan sepeda. Selama kami berkeliling pulau, ya Gusti... Beneran berasa surga. Cuaca cerah dengan angin sepoi-sepoi, pantai-pantai pasir putih dan laut biru, tebing-tebing yang ciamik untuk melihat seluruh pulau, jalanan aspal yang bagus tanpa kendaraan bermotor (ternyata surga ga perlu mobil atau motor bagus, gaes), hutan-hutan rindang yang menyaring cahaya matahari, binatang-binatang liar yang cantik dan hidup damai berdampingan. Selama sepedahan, saya dan Kiyomi berasa dua anak kecil lagi main-main. Kadang ngebut, kadang pelan-pelan, ngobrol dan ketawa-ketawa, berhenti di beberapa lokasi indah untuk foto-foto narsis, main sama burung atau quokka, makan bekal, berenang di pantai, lanjut naik sepeda dan cari pantai lain lalu berenang lagi.
The best day off!











Piknik kali ini bisa dibilang sekalian farewell. Saya dan Kiyomi datang ke Fremantle dan bekerja di restoran di waktu yang hampir bersamaan. Bulan Januari ini Kiyomi dan saya pun akan resign dan melanjutkan traveling ke tujuan yang berbeda. Namun itulah esensi dari sebuah perjalanan; bertemu, membuat kenangan indah, dan berharap suatu hari dipertemukan kembali.
Love is real, real is love. -John Lennon-
Published on January 10, 2017 18:25
January 1, 2017
I Will Meet You
Saya akan ketemu kamu suatu hari nanti.Kamu yang bisa mencintai saya dan keluarga saya dalam kondisi apa pun dan saya bisa melakukan hal sebaliknya.Kamu yang nggak akan marah kalau saya ganggu-ganggu ketika saya bosan. Yah, sesekali boleh lah marah kalau saya keterlaluan.Kamu yang akan memeluk saya lembut ketika saya drama dan melankolis.Kamu yang bisa melihat bahwa saya bukan perempuan tangguh ceria hobi ketawa, tapi ada sosok rapuh pemurung yang sinis pada dunia. Kamu yang mau memberi saya ruang dan waktu tiap pagi untuk saya melamun sendiri sembari menggenggam mug dan menyesap kopi. Kamu yang akan memaklumi kebiasaan saya yang sering protes karena merasa gendut dan jerawatan tapi tetap makan eskrim, cokelat, dan segalan camilan ber-MSG.Kamu yang akan terbiasa dengan wajah saya yang sesekali hitam semua, hijau semua, atau putih semua, karena sedang maskeran.Kamu yang hanya akan tertawa maklum karena saya tidak suka olahraga dan menggantinya dengan joget-joget nggak jelas dengan musik-musik disko. Kamu yang tidak merasa terintimidasi ketika saya punya potensi lain yang tidak kamu miliki dan mendukung saya untuk tetap bisa mandiri tanpa bersikap tak peduli. Kamu yang mau memahami bahwa saya punya banyak sekali imajinasi liar atau hopelessly romantic.Kamu yang akan saya berikan cinta sepenuh hati.Kamu yang akan jadi idola dan apa pun yang terjadi saya tetap fans nomor satu!Kamu yang demi kamu saya mau belajar hal-hal yang tidak pernah saya lakukan, belajar masak misalnya.Kamu yang bersedia menjadikan saya sebagai ibu untuk anak-anak kita nanti.Kamu yang akan selalu saya rindu di tiap hela napas dan detik yang berlalu.Kamu yang di tiap menjelang pertemuan kita akan selalu saya tunggu. Kamu yang mungkin sesekali jadi sumber kekesalan saya, lalu kita bertengkar karena saya egois ingin dimengerti, tapi kamu nggak ngerti-ngerti, dan akhirnya kita baikan lagi. Kamu yang mau menjadi imam saya, mendidik saya menjadi perempuan yang lebih baik, dan kita bisa belajar sama-sama menjadi manusia yang lebih baik.Kamu yang akan menjadi seseorang yang saya tidak merasa gengsi untuk meminta, “Please, hug me.”Kamu yang akan saya rengkuh tanpa perlu kamu bilang kalau kamu butuh.
Kamu yang pertama kali akan saya temui tiap bangun tidur dan kita bisa sama-sama gosok gigi.
Kamu yang mau bersama-sama saya untuk belajar saling mengerti, memahami, dan percaya bahwa masalah apa pun akan kita hadapi bersama dan kita akan baik-baik saja.
Kamu, yang akan jadi bayangan di samping saya tiap kali kita jalan-jalan nantiUntuk kamu, selamat tahun baru. Semoga tahun ini Tuhan yang Maha Baik Hati mengizinkan kita untuk bertemu.
Freo, 2nd January 2017
Love is real, real is love. -John Lennon-
Kamu yang pertama kali akan saya temui tiap bangun tidur dan kita bisa sama-sama gosok gigi.
Kamu yang mau bersama-sama saya untuk belajar saling mengerti, memahami, dan percaya bahwa masalah apa pun akan kita hadapi bersama dan kita akan baik-baik saja.

Freo, 2nd January 2017
Love is real, real is love. -John Lennon-
Published on January 01, 2017 17:47
December 22, 2016
Hari Ibu dan Mahmud Part-Time
Karena cerita tentang Ibu saya udah banyak (terakhir nulis ini), sekarang saya mau curhat tentang pengalaman saat bekerja menjadi au pair, atau saya lebih suka menyebutnya Mahmud Part-Time.
Bulan Juli lalu, ada pasangan German-Indonesia menghubungi dan meminta saya untuk membantu mengurus bayi mereka (kita sebut namanya Bayik) yang baru berusia 7 minggu. Saya super jarang ketemu bayi, menggendong bayi, apalagi pengalaman mengurus bayi, even keponakan pun cuma ketemu pas lebaran. Jadi saat pertama kali ketemu Bayik, dengan mata bulat yang menatap saya sendu, yang terlintas dalam pikiran saya, “Oh nooo.. Bayi, what should I do? What should I do?”
Saya excited sekaligus takut. Duh, ini bayi kecil banget kalau kenapa-kenapa gimana?? Ibunya Bayik (kita sebut saja Mommy) langsung mengajarkan cara menggendong dan bagaimana merebahkan Bayik ke box. Hari itu juga saya diajari cara ganti popok, bikin susu formula sesuai takaran, ganti baju, dll. Problem pertama: Bayik kalau apa-apa nangis. *yaeyalah*. Dia ngantuk, laper, ngompol, pup, semuanya nangis. Problem kedua: Bayik baru berhenti nangis kalau digendong dan kalau ngantuk baru bisa tidur kalau digendong sambil dinyanyiin. Saya pun jadi penyanyi dadakan.
Our first metTeman-teman perempuan seusia saya, kebanyakan sudah punya bayi, satu, dua, bahkan tiga. Sebagai perempuan single independent, jujur saya nggak paham dan nggak terlalu peduli apa asyiknya punya bayi. Saya tahu bayi lucu, saya juga suka anak kecil, but I’m not sure am I will be okay if I have ‘buntut’? *ini kalimat kacau abis*. Dan, pengalaman menjadi mahmud part-time ini menjadi satu hal paling berkesan dalam kehidupan saya.
Pekerjaan saya tiap hari hampir sama. Saya datang ke rumah Bayik, mengambil alih dia dari Mommy, memberi ASI atau susu formula dari botol tiap 2-3 jam sekali, ngajak main, jalan-jalan ke taman, menidurkan, ganti popok, dan selfie-selfie (mamah muda masa kini banget). Untungnya, saya dan Bayik cepat akrab dalam arti dia nggak nangis kalau Mommy memberikannya ke saya.
Bahwasanya benar memiliki anak akan mengubah seorang perempuan. Meski bukan anak sendiri, setidaknya saya mencicip nol koma nol nol ... satu persen rasanya menjadi ibu. Saya paham mengapa emak-emak suka banget motret anaknya. Saya mengerti perasaan seorang ibu yang susah payah menidurkan bayi rewel, lalu saat bayi baru saja tidur eh ada pengganggu atau suara berisik sedikit yang membuat bayi bangun lagi dan nangis (WHY OH WHY??!! *garuk tembok*). Saya merasakan bagaimana panik dan bingung hanya karena Bayik cegukan nggak berhenti. Saya sedih bangeeeeetttt ketika Bayik pilek dan dia nggak nyaman serta nangis terus (plis Gusti, mending saya yang sakit). Saya bosen, capek nyanyi, tangan pegel karena gendong terus, dan Bayik ngga tidur-tidur (kalau disimpan nangis lagi). Saya serba salah mau ke kamar mandi sebentar atau bikin susu, eh Bayik nangis karena ditinggal. Saya pusing, ngantuk, tapi Bayik maunya digendong sambil jalan-jalan (itu ngantuk sama pusing karena malemnya party, sih. Namanya juga mahmud part-time). Saya juga mulai memperhatikan warna pup Bayik dan berdiskusi dengan Mahmud Full-Time (my besties, Angie) apa maknanya (Makna di Balik Feses yang Terpendam #judulNovel). Daaaaannnn masih banyak cerita-cerita lain yang membuat saya ngeh, “Ooohh... ternyata gini rasanya...”
Bayik tidur. Mahmud part-time ketiduranDi balik semua kerempongan menjadi Mahmud Part-time, tiap kali melihat Bayik tersenyum atau tertawa, rasanya semua lelah terbang entah kemana lenyap tak bersisa (emak-emak abis lu, Rhein!). Saya jatuh cinta pada manusia kecil itu. Saya rela memberikan semua yang saya miliki untuknya. Sampai-sampai saya berkali-kali bilang sama sahabat saya kalau pengen punya bayi sendiri. Hahahaha...
Dari Bayik, saya belajar mencintai tanpa pamrih, tanpa berharap dia mengerti atau membalas rasa sayang yang saya curahkan sepenuh hati. Bayik membuat saya mengerti mengapa seorang perempuan rela menanggalkan semua atribut yang ia miliki demi sosok mungil yang sebenarnya merepotkan, bikin pusing, dan plis lah dia tuh maunya cuma dimengerti!
Kalau kamu yang jaga Bayik, Mommy kemana, Rhein? Kerja? Nggak kerja, ada di rumah juga meski kadang-kadang pergi. Oiya, Mommy ini orangnya super baik banget!
Saya baru tahu kalau di Australia cuti melahirkan itu 6 bulan. Mommy ini wanita karier. Setelah melahirkan, beliau cuti dan full di rumah. Awalnya saya mikir, “Lah ini emaknya di rumah ngapain juga butuh gw buat jagain bayinya?” #ditamparpaguyubanemakemak
Perlahan saya mengobservasi bahwa menjadi ibu apalagi ibu baru sangatlah tidak mudah. Saya tahu Mommy kurang tidur karena tiap 2-3 jam sekali Bayik harus menyusui, which is tengah malem juga bangun berkali-kali. Plis lah, saya bangun solat subuh aja masih setengah nyawa. Saya paham bahwa Mommy yang wanita karier, terbiasa dandan rapi, memiliki aktivitas bertemu banyak orang, sekarang beliau harus diam di rumah, hanya berdua dengan Bayik (yang nggak bisa diajak ngobrol), memakai baju seadanya bahkan mau mandi aja susah, bau susu atau ompol, boro-boro dandan milih warna shading untuk mancungin hidung. Saya paham tiap kali melihat Mommy menatap laptop dengan file-file pekerjaan (meski nggak diapa-apain), beliau tampak rindu dengan aktivitas yang menstimulus potensi dalam karirnya. Saya mencoba memahami bagaimana perubahan fisik ibu memberi rasa nyeri tersendiri. Payudara membesar, harus pompa ASI, kalau Bayik nggak mau nyusu terasa penuh dan sakit. Apalagi kalau melahirkan cesar, itu gimana rasa jahitan, yes? Mommy juga masih harus memikirkan rumah, belanja, masak, apa-apa kebutuhan suami dan Bayik. Saya sangat sangat mengerti kalau Mommy butuh ‘me time’ dan lepas sejenak dari Bayik. Bukan karena tidak cinta, namun karena setiap orang butuh mengisi kebutuhan jiwanya dulu sebelum ia sanggup berbagi jiwa dengan sosok lain, termasuk darah dagingnya sendiri.
Saya aja loh, kalau lagi capek ngurus Bayik terus liat fesbuk dan liat temen-temen lain sukses sama karier atau kuliah di luar negeri, langsung baper kok saya nggak ada apa-apanya cuma diem di rumah ngurus Bayik doang. (Ini saya menghayati banget jadi mahmud ya). Padahal itu bukan bayi saya, padahal pulang dari rumah Bayik saya masih lanjut kuliah bahkan bisa cabut party sampai pagi. Heh!
Namun Tuhan Maha Humoris. Ia tahu di usia saya yang segini (25 tahun plus), sebagai perempuan saya ini nggak ada apa-apanya. Saya hanya tahu belajar, main, jalan-jalan. Melalui Bayik dan Mommy saya belajar bahwa cinta perempuan sangatlah istimewa. Melalui mereka, saya bersyukur punya Ibu yang luar biasa. Nggak jarang kalau ada apa-apa dengan Bayik, lalu Mommy sedang tidak ada, saya pasti telepon Ibu di Indonesia. Beliau sih ketagihan dikirimin foto dan video Bayik, berasa punya cucu katanya. Hahahaha...
Saya jadi berfikir, Ibu punya tiga anak (saya dan adik-adik) yang banyak maunya dan susah diatur. Beliau mengurus kami sampai seperti sekarang, Gusti, itu seberapa besar sabar dan cintanya. Maka wajar kalau Rasulullah menyebut ibu sebanyak tiga kali sebagai orang yang patut kita prioritaskan. Maka hal lumrah ketika Tuhan memberi keistimewaan doa ibu lebih mudah dikabulkan. Saya ingin sekali menjadi sosok itu :)
Untuk semua perempuan yang memiliki dan mencurahkan rasa sayang serta cinta mereka pada apa pun itu, Selamat Hari Ibu.
mau minum susu aja musti ganti posisi berkali-kaliLove,#RheinHotMom2018
Love is real, real is love. -John Lennon-
Bulan Juli lalu, ada pasangan German-Indonesia menghubungi dan meminta saya untuk membantu mengurus bayi mereka (kita sebut namanya Bayik) yang baru berusia 7 minggu. Saya super jarang ketemu bayi, menggendong bayi, apalagi pengalaman mengurus bayi, even keponakan pun cuma ketemu pas lebaran. Jadi saat pertama kali ketemu Bayik, dengan mata bulat yang menatap saya sendu, yang terlintas dalam pikiran saya, “Oh nooo.. Bayi, what should I do? What should I do?”
Saya excited sekaligus takut. Duh, ini bayi kecil banget kalau kenapa-kenapa gimana?? Ibunya Bayik (kita sebut saja Mommy) langsung mengajarkan cara menggendong dan bagaimana merebahkan Bayik ke box. Hari itu juga saya diajari cara ganti popok, bikin susu formula sesuai takaran, ganti baju, dll. Problem pertama: Bayik kalau apa-apa nangis. *yaeyalah*. Dia ngantuk, laper, ngompol, pup, semuanya nangis. Problem kedua: Bayik baru berhenti nangis kalau digendong dan kalau ngantuk baru bisa tidur kalau digendong sambil dinyanyiin. Saya pun jadi penyanyi dadakan.

Pekerjaan saya tiap hari hampir sama. Saya datang ke rumah Bayik, mengambil alih dia dari Mommy, memberi ASI atau susu formula dari botol tiap 2-3 jam sekali, ngajak main, jalan-jalan ke taman, menidurkan, ganti popok, dan selfie-selfie (mamah muda masa kini banget). Untungnya, saya dan Bayik cepat akrab dalam arti dia nggak nangis kalau Mommy memberikannya ke saya.
Bahwasanya benar memiliki anak akan mengubah seorang perempuan. Meski bukan anak sendiri, setidaknya saya mencicip nol koma nol nol ... satu persen rasanya menjadi ibu. Saya paham mengapa emak-emak suka banget motret anaknya. Saya mengerti perasaan seorang ibu yang susah payah menidurkan bayi rewel, lalu saat bayi baru saja tidur eh ada pengganggu atau suara berisik sedikit yang membuat bayi bangun lagi dan nangis (WHY OH WHY??!! *garuk tembok*). Saya merasakan bagaimana panik dan bingung hanya karena Bayik cegukan nggak berhenti. Saya sedih bangeeeeetttt ketika Bayik pilek dan dia nggak nyaman serta nangis terus (plis Gusti, mending saya yang sakit). Saya bosen, capek nyanyi, tangan pegel karena gendong terus, dan Bayik ngga tidur-tidur (kalau disimpan nangis lagi). Saya serba salah mau ke kamar mandi sebentar atau bikin susu, eh Bayik nangis karena ditinggal. Saya pusing, ngantuk, tapi Bayik maunya digendong sambil jalan-jalan (itu ngantuk sama pusing karena malemnya party, sih. Namanya juga mahmud part-time). Saya juga mulai memperhatikan warna pup Bayik dan berdiskusi dengan Mahmud Full-Time (my besties, Angie) apa maknanya (Makna di Balik Feses yang Terpendam #judulNovel). Daaaaannnn masih banyak cerita-cerita lain yang membuat saya ngeh, “Ooohh... ternyata gini rasanya...”

Dari Bayik, saya belajar mencintai tanpa pamrih, tanpa berharap dia mengerti atau membalas rasa sayang yang saya curahkan sepenuh hati. Bayik membuat saya mengerti mengapa seorang perempuan rela menanggalkan semua atribut yang ia miliki demi sosok mungil yang sebenarnya merepotkan, bikin pusing, dan plis lah dia tuh maunya cuma dimengerti!
Kalau kamu yang jaga Bayik, Mommy kemana, Rhein? Kerja? Nggak kerja, ada di rumah juga meski kadang-kadang pergi. Oiya, Mommy ini orangnya super baik banget!
Saya baru tahu kalau di Australia cuti melahirkan itu 6 bulan. Mommy ini wanita karier. Setelah melahirkan, beliau cuti dan full di rumah. Awalnya saya mikir, “Lah ini emaknya di rumah ngapain juga butuh gw buat jagain bayinya?” #ditamparpaguyubanemakemak
Perlahan saya mengobservasi bahwa menjadi ibu apalagi ibu baru sangatlah tidak mudah. Saya tahu Mommy kurang tidur karena tiap 2-3 jam sekali Bayik harus menyusui, which is tengah malem juga bangun berkali-kali. Plis lah, saya bangun solat subuh aja masih setengah nyawa. Saya paham bahwa Mommy yang wanita karier, terbiasa dandan rapi, memiliki aktivitas bertemu banyak orang, sekarang beliau harus diam di rumah, hanya berdua dengan Bayik (yang nggak bisa diajak ngobrol), memakai baju seadanya bahkan mau mandi aja susah, bau susu atau ompol, boro-boro dandan milih warna shading untuk mancungin hidung. Saya paham tiap kali melihat Mommy menatap laptop dengan file-file pekerjaan (meski nggak diapa-apain), beliau tampak rindu dengan aktivitas yang menstimulus potensi dalam karirnya. Saya mencoba memahami bagaimana perubahan fisik ibu memberi rasa nyeri tersendiri. Payudara membesar, harus pompa ASI, kalau Bayik nggak mau nyusu terasa penuh dan sakit. Apalagi kalau melahirkan cesar, itu gimana rasa jahitan, yes? Mommy juga masih harus memikirkan rumah, belanja, masak, apa-apa kebutuhan suami dan Bayik. Saya sangat sangat mengerti kalau Mommy butuh ‘me time’ dan lepas sejenak dari Bayik. Bukan karena tidak cinta, namun karena setiap orang butuh mengisi kebutuhan jiwanya dulu sebelum ia sanggup berbagi jiwa dengan sosok lain, termasuk darah dagingnya sendiri.
Saya aja loh, kalau lagi capek ngurus Bayik terus liat fesbuk dan liat temen-temen lain sukses sama karier atau kuliah di luar negeri, langsung baper kok saya nggak ada apa-apanya cuma diem di rumah ngurus Bayik doang. (Ini saya menghayati banget jadi mahmud ya). Padahal itu bukan bayi saya, padahal pulang dari rumah Bayik saya masih lanjut kuliah bahkan bisa cabut party sampai pagi. Heh!
Namun Tuhan Maha Humoris. Ia tahu di usia saya yang segini (25 tahun plus), sebagai perempuan saya ini nggak ada apa-apanya. Saya hanya tahu belajar, main, jalan-jalan. Melalui Bayik dan Mommy saya belajar bahwa cinta perempuan sangatlah istimewa. Melalui mereka, saya bersyukur punya Ibu yang luar biasa. Nggak jarang kalau ada apa-apa dengan Bayik, lalu Mommy sedang tidak ada, saya pasti telepon Ibu di Indonesia. Beliau sih ketagihan dikirimin foto dan video Bayik, berasa punya cucu katanya. Hahahaha...
Saya jadi berfikir, Ibu punya tiga anak (saya dan adik-adik) yang banyak maunya dan susah diatur. Beliau mengurus kami sampai seperti sekarang, Gusti, itu seberapa besar sabar dan cintanya. Maka wajar kalau Rasulullah menyebut ibu sebanyak tiga kali sebagai orang yang patut kita prioritaskan. Maka hal lumrah ketika Tuhan memberi keistimewaan doa ibu lebih mudah dikabulkan. Saya ingin sekali menjadi sosok itu :)
Untuk semua perempuan yang memiliki dan mencurahkan rasa sayang serta cinta mereka pada apa pun itu, Selamat Hari Ibu.

Love is real, real is love. -John Lennon-
Published on December 22, 2016 03:32
December 18, 2016
What Have You Done in 8 Months
Tanpa terasa (terasa sih sebenarnya) sudah delapan bulan saya tinggal di Australia. Hidup 8 bulan di sini jauh lebih warna-warni daripada 28 tahun saya di Indonesia. Saya kerja, kuliah, jalan-jalan. Saya naksir dan ditaksir. Saya jatuh cinta lalu patah hati. Saya tertawa bahagia kemudian berderai air mata penuh drama. Saya nggak ninggalin sholat meski kadang khilaf dan melakukan maksiat (hey, saya bukan malaikat). Pertemuan dan perpisahan. Memiliki dan kehilangan. Memeluk erat kemudian melepaskan.
Perjalanan membuat saya menyederhakanan kehidupan sehari-hari; apa yang penting, apa yang mendesak, apa yang membuat bahagia. Jarak membuat saya melihat lebih jelas siapa-siapa yang ada ketika bahagia, siapa-siapa yang saya butuhkan dan hubungi ketika kesusahan menerpa, siapa-siapa yang ada dalam keduanya. Waktu adalah garis dimensi yang menjadi saksi (atau mungkin sosok penentu) kapan saya siap akan sesuatu. Saya belajar memahami semesta memiliki konspirasi tersendiri agar saya melalui segala hal tepat waktu, tidak terlambat atau terlalu cepat meski sedetik. Punya banyak teman internasional membuat saya bersyukur memiliki sahabat-sahabat baik di/dari Indonesia karena bagaimana pun, curhat dalam bahasa Indonesia itu tetap paling melegakan (karena ketika panik, sedih, dan harus mikir curhat dalam bahasa asing itu tambah bikin pusing. Hahaha). Keterasingan menjerumuskan saya dalam pilihan; berteman atau gila karena kesepian.
Perbedaan terasa begitu indah ketika saya belajar memahami. Hal-hal baru memberi efek excited yang pada akhirnya membuat saya puas dan bahagia (meski sebagian memberi efek syok, panik, dan drama). Saya punya sifat ceroboh, sometimes I'd like just to jump in new things without thinking. That's lead me to a lot of mistakes and such a mess. Namun sejak awal saya sudah meyakinkan diri, I'll take the risk. If I fall then I fall. Saya yang biasanya control freak akan segala sesuatu belajar menerima bahwa ada kalanya kita terjebak pada hal-hal yang kita anggap bodoh. I accept myself to made mistakes and did a lot stupid things. Saya belajar memaafkan orang lain dan diri sendiri. Sometimes everything happen out of control, but we just need to let universe work as it should be.
Masih ada sisa 4 bulan sebelum kembali ke Indonesia. Saya mau puas-puasin mengeksplorasi dan observasi hal seru lainnya.
“Mistakes are a fact of life; they are building blocks, stepping-stones, the way we learn new things. Columbus wasn’t looking for a New World, he was searching for a route to spices. All mistakes teach us something, so there are, in reality, no mistakes. Just things we learn.” Nikki Giovanni
Bonus postingan kali ini, suara saya yang tak disangka ternyata merdu banget! LOL
Love is real, real is love. -John Lennon-

Perjalanan membuat saya menyederhakanan kehidupan sehari-hari; apa yang penting, apa yang mendesak, apa yang membuat bahagia. Jarak membuat saya melihat lebih jelas siapa-siapa yang ada ketika bahagia, siapa-siapa yang saya butuhkan dan hubungi ketika kesusahan menerpa, siapa-siapa yang ada dalam keduanya. Waktu adalah garis dimensi yang menjadi saksi (atau mungkin sosok penentu) kapan saya siap akan sesuatu. Saya belajar memahami semesta memiliki konspirasi tersendiri agar saya melalui segala hal tepat waktu, tidak terlambat atau terlalu cepat meski sedetik. Punya banyak teman internasional membuat saya bersyukur memiliki sahabat-sahabat baik di/dari Indonesia karena bagaimana pun, curhat dalam bahasa Indonesia itu tetap paling melegakan (karena ketika panik, sedih, dan harus mikir curhat dalam bahasa asing itu tambah bikin pusing. Hahaha). Keterasingan menjerumuskan saya dalam pilihan; berteman atau gila karena kesepian.
Perbedaan terasa begitu indah ketika saya belajar memahami. Hal-hal baru memberi efek excited yang pada akhirnya membuat saya puas dan bahagia (meski sebagian memberi efek syok, panik, dan drama). Saya punya sifat ceroboh, sometimes I'd like just to jump in new things without thinking. That's lead me to a lot of mistakes and such a mess. Namun sejak awal saya sudah meyakinkan diri, I'll take the risk. If I fall then I fall. Saya yang biasanya control freak akan segala sesuatu belajar menerima bahwa ada kalanya kita terjebak pada hal-hal yang kita anggap bodoh. I accept myself to made mistakes and did a lot stupid things. Saya belajar memaafkan orang lain dan diri sendiri. Sometimes everything happen out of control, but we just need to let universe work as it should be.
Masih ada sisa 4 bulan sebelum kembali ke Indonesia. Saya mau puas-puasin mengeksplorasi dan observasi hal seru lainnya.
“Mistakes are a fact of life; they are building blocks, stepping-stones, the way we learn new things. Columbus wasn’t looking for a New World, he was searching for a route to spices. All mistakes teach us something, so there are, in reality, no mistakes. Just things we learn.” Nikki Giovanni
Bonus postingan kali ini, suara saya yang tak disangka ternyata merdu banget! LOL
Love is real, real is love. -John Lennon-
Published on December 18, 2016 17:36
November 29, 2016
Perempuan, Hijab, dan Perjalanan
Sebagai anak yang lahir dari keluarga yang memberi kebebasan penuh akan hidupnya, saya seringkali tidak terlalu ngeh kalau tiga poin yang menjadi judul adalah kombinasi yang spesial. Apalagi untuk sudut pandang di negeri tercinta Indonesia. Kalau diingat-ingat lagi, ternyata tidak sedikit teman-teman perempuan yang curhat kalau mereka kesulitan mendapat izin orang tua untuk bepergian. Bukan hanya dalam urusan traveling jarak jauh, bahkan sejak saya masih di bangku sekolah pun. “Ayahku nggak ngasih izin.” Kalimat klasik kalau saya ngajak teman perempuan jalan-jalan.
Ketinggalan rombongan biksu TongSatu hal yang wajar ketika seorang ayah menjaga putrinya. Harus malah. Lah, kalau saya dibolehin pergi-pergi sesuka hati, apa Bapa nggak menjaga atau khawatir? Ada satu waktu ketika Bapa juga sering melarang saya main ke luar rumah. Seiring berjalannya waktu, boleh main tapi tidak terlalu jauh dan serentet pertanyaan sponsor (ke mana, sama siapa, mau berbuat apa). Makin saya gede, main makin jauh dan biasanya nggak dapat izin. Akhirnya saya menggunakan trik, pergi aja dulu kalau udah sampe lokasi baru telepon minta izin. Terus kalau ternyata sama beliau nggak boleh, tinggal bilang deh.. “Yah, Pa.. Tapi Teteh udah sampe lokasi.” *anaknya licik*
Saya tahu Bapa pasti punya kekhawatiran tiap saya pergi-pergi. Kalau Ibu gimana? Beliau sih selama Bapa oke, ya ikutan oke. Hal yang saya lakukan adalah selalu cerita semua aktivitas yang saya lakukan. Contohnya waktu zaman SMA dan kuliah saya sering pergi-pergi untuk pengamatan Astronomi, ke luar kota, nyebrang pulau, dsb. Sesampainya di rumah, saya selalu cerita jalan-jalan ke mana saja, sama siapa, dan berbuat apa. Kebanyakan teman pastinya laki-laki, saya pun sering cerita tentang mereka ke keluarga. Dari situ saya merajut kepercayaan beliau, bahwa saya pergi untuk aktivitas positif dan belajar, saya bisa mencari teman yang baik dan supportif, saya akan baik-baik saja. Selepas kuliah, saya tidak pernah lagi meminta izin untuk pergi, cukup dengan memberi informasi. “Teteh mau pergi ke sini.”
ala-ala ElsaSelama saya backpacking, ketemu perempuan berhijab itu jarang. Ketemu perempuan berhijab yang backpacking sendirian apalagi. Seinget saya nggak pernah malah. Kalau ketemu perempuan berhijab kebanyakan dari negara Timur Tengah atau Malaysia dan mereka pasti bareng keluarga atau teman-teman serombongannya. Saya nggak tahu apa itu karena katanya ada perintah agama yang menyatakan bahwa perempuan tidak diperkenankan bepergian sendirian dan bukan dengan muhrimnya atau gimana. Saya nggak akan bahas tentang itu karena nggak cukup ilmu.
Serba-serbi backpacker dengan hijab bedanya hanya di pakaian kalau dari yang selama ini saya alami. Bawa tas pastinya lebih berat karena pakaian panjang dan hijab, beda dengan teman non-hijab yang tinggal bawa tanktop dan hotpants. Selain itu, sama aja. Sama-sama harus bayar tiket kalau mau naik pesawat.
Hal utama yang paling saya suka dari perjalanan adalah sensasi keterasingan. Perempuan backpacking sendirian itu termasuk asing, apalagi yang berhijab. Namun dari sana saya belajar untuk memulai berinteraksi. Dari tukang makanan di pinggir jalan, penduduk lokal (ini biasanya kalau nanya jalan), barista kalau pagi-pagi butuh kopi (cari yang ganteng), sampai ngobrol sama polisi (ini biasanya kalau saya udah nyasar). Saya suka bertemu hal dan orang baru. Saya suka berinteraksi dan bernegosiasi. Saya suka mengobservasi.
backpacker udah kecapean bahkan untuk dandanApa kalau perempuan jalan-jalan sendirian itu bahaya? Pertanyaan yang sering jadi kekhawatiran. Selama ini alhamdulillahnya nggak pernah ketemu orang-orang membahayakan. Ada sih kadang yang nodong minta rokok atau duit, atau kalau ketemu orang-orang sok baik padahal scam penipuan, atau pas butuh transport dan diketok harga mahal banget, atau pas di bis eh ada orang-orang mabuk dan jotos-jotosan, atau saat melintas beberapa negara lewat jalur darat dan ternyata harus lewat hutan gelap malam-malam. Well, toh perjalanan nggak selalu mulus kayak kaki anggota SNSD. Bagi saya perjalanan tidak selalu tentang foto-foto bagus, tapi lebih ke bagaimana kita bisa menyerap segala hal baru, kemudian kadang panik penuh drama, lalu meresponnya dengan bijaksana. Sama seperti mata uang dan hal lain di semesta, selalu ada dua sisi: resiko dan keuntungan.
Perjalanan memaksa saya mengasah skill pribadi karena mau nggak mau harus dilakukan. Contoh: skill komunikasi, baca peta (penting), negosiasi, mengambil keputusan di saat terdesak, meredam panik, ngatur duit, dan membuat rencana. Serta belajar tertawa di situasi paling bodoh dan sengsara. Yang terpenting adalah bagaimana mengelola semua hal itu sendiri. Skill yang tampak remeh ini bagi saya memiliki efek bagus untuk kehidupan di kemudian hari. Kita makhluk sosial, kita perlu banyak teman, dan kita tetap harus bisa mandiri. Zaman sudah berubah, perempuan perlu kualitas pribadi seperti itu.
Lalu bagaimana dengan pengalaman perjalanan sebagai perempuan berhijab? Selama ini seru-seru aja, sih. Bapa selalu mengatakan bahwa hijab adalah pembeda perempuan muslim dari yang lainnya. Bagi saya, hijab juga sebagai penjaga (seriously!). Sesekali ada orang penasaran, ngajak kenalan, dan tanya-tanya tentang Islam atau hijab. Saya juga mendapat banyak perspektif baru tentang Islam di mata non-muslim dunia. Ada yang mengira bahwa Islam terbagi 2: Islam jahat (yang suka perang) dan Islam baik (yang penduduk sipil dengan aktivitas manusiawi sehari-hari). Teman saya pernah dapat komentar, “Oh kamu muslim? Kamu teroris juga?” #makslep. Teman kerja part-time saya, malah menyangka saya Budha.
Media mungkin overrated dalam memberitakan Islam. Orang-orang yang saya temui nggak terlalu peduli tentang hijab yang saya kenakan. Kebanyakan malah nggak terlalu tahu tentang Islam dan Muslim. Saya punya banyak teman yang memeluk beragam agama, nggak punya agama, sampai nggak percaya Tuhan. Selama saya bersikap ramah dan baik, mereka akan berbuat hal sama. Simpel. Justru dengan hijab saya ingin lebih membuktikan bahwa Islam memiliki aturan habluminanas yang indah dan perempuan muslim tidak seperti anggapan media selama ini (tradisional, dikurung di rumah, akses melihat dunia terbatas). Perempuan muslim juga pintar, mandiri, dan survivor.
Pentingkah perempuan jalan-jalan? Penting, dong! Terlepas dia pakai hijab atau tidak, sendirian atau rame-rame. Syahdan saat bekerja sebagai au pair menjaga bayi usia 7 minggu, setiap kali melihat bayik, saya tersadarkan bahwa suatu hari saya akan menjadi seorang ibu. Dan saya ingin menjadi sosok ibu yang penuh akan pengalaman hidup. Di masa depan zaman akan lebih complicated. Mungkin saya akan kesulitan mengikuti era anak-anak saya nanti, tapi at least saya ingin tahu seberapa luas dunia agar bisa selalu mendampingi mereka.
bayik, aku rindu!
ps: mikirnya kejauhan, sis! Cari suami dulu sana!
Love is real, real is love. -John Lennon-

Saya tahu Bapa pasti punya kekhawatiran tiap saya pergi-pergi. Kalau Ibu gimana? Beliau sih selama Bapa oke, ya ikutan oke. Hal yang saya lakukan adalah selalu cerita semua aktivitas yang saya lakukan. Contohnya waktu zaman SMA dan kuliah saya sering pergi-pergi untuk pengamatan Astronomi, ke luar kota, nyebrang pulau, dsb. Sesampainya di rumah, saya selalu cerita jalan-jalan ke mana saja, sama siapa, dan berbuat apa. Kebanyakan teman pastinya laki-laki, saya pun sering cerita tentang mereka ke keluarga. Dari situ saya merajut kepercayaan beliau, bahwa saya pergi untuk aktivitas positif dan belajar, saya bisa mencari teman yang baik dan supportif, saya akan baik-baik saja. Selepas kuliah, saya tidak pernah lagi meminta izin untuk pergi, cukup dengan memberi informasi. “Teteh mau pergi ke sini.”

Serba-serbi backpacker dengan hijab bedanya hanya di pakaian kalau dari yang selama ini saya alami. Bawa tas pastinya lebih berat karena pakaian panjang dan hijab, beda dengan teman non-hijab yang tinggal bawa tanktop dan hotpants. Selain itu, sama aja. Sama-sama harus bayar tiket kalau mau naik pesawat.
Hal utama yang paling saya suka dari perjalanan adalah sensasi keterasingan. Perempuan backpacking sendirian itu termasuk asing, apalagi yang berhijab. Namun dari sana saya belajar untuk memulai berinteraksi. Dari tukang makanan di pinggir jalan, penduduk lokal (ini biasanya kalau nanya jalan), barista kalau pagi-pagi butuh kopi (cari yang ganteng), sampai ngobrol sama polisi (ini biasanya kalau saya udah nyasar). Saya suka bertemu hal dan orang baru. Saya suka berinteraksi dan bernegosiasi. Saya suka mengobservasi.

Perjalanan memaksa saya mengasah skill pribadi karena mau nggak mau harus dilakukan. Contoh: skill komunikasi, baca peta (penting), negosiasi, mengambil keputusan di saat terdesak, meredam panik, ngatur duit, dan membuat rencana. Serta belajar tertawa di situasi paling bodoh dan sengsara. Yang terpenting adalah bagaimana mengelola semua hal itu sendiri. Skill yang tampak remeh ini bagi saya memiliki efek bagus untuk kehidupan di kemudian hari. Kita makhluk sosial, kita perlu banyak teman, dan kita tetap harus bisa mandiri. Zaman sudah berubah, perempuan perlu kualitas pribadi seperti itu.
Lalu bagaimana dengan pengalaman perjalanan sebagai perempuan berhijab? Selama ini seru-seru aja, sih. Bapa selalu mengatakan bahwa hijab adalah pembeda perempuan muslim dari yang lainnya. Bagi saya, hijab juga sebagai penjaga (seriously!). Sesekali ada orang penasaran, ngajak kenalan, dan tanya-tanya tentang Islam atau hijab. Saya juga mendapat banyak perspektif baru tentang Islam di mata non-muslim dunia. Ada yang mengira bahwa Islam terbagi 2: Islam jahat (yang suka perang) dan Islam baik (yang penduduk sipil dengan aktivitas manusiawi sehari-hari). Teman saya pernah dapat komentar, “Oh kamu muslim? Kamu teroris juga?” #makslep. Teman kerja part-time saya, malah menyangka saya Budha.
Media mungkin overrated dalam memberitakan Islam. Orang-orang yang saya temui nggak terlalu peduli tentang hijab yang saya kenakan. Kebanyakan malah nggak terlalu tahu tentang Islam dan Muslim. Saya punya banyak teman yang memeluk beragam agama, nggak punya agama, sampai nggak percaya Tuhan. Selama saya bersikap ramah dan baik, mereka akan berbuat hal sama. Simpel. Justru dengan hijab saya ingin lebih membuktikan bahwa Islam memiliki aturan habluminanas yang indah dan perempuan muslim tidak seperti anggapan media selama ini (tradisional, dikurung di rumah, akses melihat dunia terbatas). Perempuan muslim juga pintar, mandiri, dan survivor.

Pentingkah perempuan jalan-jalan? Penting, dong! Terlepas dia pakai hijab atau tidak, sendirian atau rame-rame. Syahdan saat bekerja sebagai au pair menjaga bayi usia 7 minggu, setiap kali melihat bayik, saya tersadarkan bahwa suatu hari saya akan menjadi seorang ibu. Dan saya ingin menjadi sosok ibu yang penuh akan pengalaman hidup. Di masa depan zaman akan lebih complicated. Mungkin saya akan kesulitan mengikuti era anak-anak saya nanti, tapi at least saya ingin tahu seberapa luas dunia agar bisa selalu mendampingi mereka.

ps: mikirnya kejauhan, sis! Cari suami dulu sana!
Love is real, real is love. -John Lennon-
Published on November 29, 2016 21:55