Tragedi Quotes
Quotes tagged as "tragedi"
Showing 1-13 of 13
“Di sekeliling kami, langit yang sudah semakin gelap. Di celah-celahnya, tersembunyi maut yang sedang menyeringai taring, berkuku panjang tajam.
(Arah Yang Tidak Pernah Ada)”
― Tidakkah Kita Berada Di Sana?
(Arah Yang Tidak Pernah Ada)”
― Tidakkah Kita Berada Di Sana?
“Kehidupan memuakkan hanya menghasilkan kebencian, dan bergerak tak menentu, Hancurkan, hancurkan saja sekalian yang kemudia akan menjadi bangkai dengan sia-sia. -Romeo Juliet-”
― Romeo and Juliet
― Romeo and Juliet
“Tragedi terbentang antara apa yang orang kerjakan untuk menunda mati dan yang sebenarnya mampu ia lakukan untuk menjadi abadi.”
― Malaikat Cacat
― Malaikat Cacat
“Vi lär oss mer i kris än i komfort,
Vi växer mer i smärta än i glädje.
Glädje får oss att må bra,
smärta gör oss levande.”
― Världsviking: Gudomlig Poesi
Vi växer mer i smärta än i glädje.
Glädje får oss att må bra,
smärta gör oss levande.”
― Världsviking: Gudomlig Poesi
“*Potret*
Hujan menyanyi lirih
Tempias menembus terpal
Sepasang mata berkubang perih
Menatap mendung kelam
Tangan letih memeluk
tubuh sang bayi
Angin merintih semalaman
Detak tak teraba
menahan gemuruh
perut yang lapar. Dingin ubin emperan toko.
Pucat bibir mungil
terlepas puting kempis
dada bunda.
November 2025”
―
Hujan menyanyi lirih
Tempias menembus terpal
Sepasang mata berkubang perih
Menatap mendung kelam
Tangan letih memeluk
tubuh sang bayi
Angin merintih semalaman
Detak tak teraba
menahan gemuruh
perut yang lapar. Dingin ubin emperan toko.
Pucat bibir mungil
terlepas puting kempis
dada bunda.
November 2025”
―
“Marilyn III
(The Last Room, The Last Mirror)
Di ruang rias yang tak punya jendela,
wajahmu terbelah menjadi tiga:
yang dipuja, yang disembunyikan,
dan yang dibungkam.
Cermin retak memantulkan kelopak krisan di matamu
seperti orbit bintang mati,
terlalu lelah untuk bersinar lagi.
Kau pernah disebut dewi,
hasrat secuil debu digerus oleh mesin industri yang kesemuanya berkelamin laki-laki.
Tubuh molek yang dijahit ulang oleh kilatan kamera,
direkayasa menjadi hieroglif kecantikan namun menolak pasrah:
"Aku tidak keberatan hidup di dunia pria, selama aku bisa menjadi wanita di dalamnya."
Di bawah sorot lampu studio,
kau berdiri seperti ritual pemanggilan arwah—
senyum yang dipaksa tumbuh di tengah gurun,
jiwa yang tak pernah mengenal hujan dan keteduhan.
Ada catatan samar di sayap malam:
“Marilyn hanyalah ide. Raga ilusi yang dipakai untuk menyihir dunia.”
Bayangan yang merambat di atas panggung
seperti binatang terluka
mencari pintu keluar
yang tak pernah ada.
Kau belajar menertawakan diri sendiri
sebelum dunia lebih dulu menertawakanmu.
Begitulah hukum dunia pertunjukan:
Ia yang hidup harus menjadi ilusi,
dan ilusi harus belajar menanggung kematian.
Dalam seprai satin putih,
kau menghilang tanpa kabar—
seperti lilin yang menolak terbakar
karena api sudah lama bosan menghanguskan mimpimu.
Namun dunia masih memanggil namamu
dengan nada seperti doa yang kehilangan Tuhan.
Mereka menyalakan replika lilin
di museum Tussauds.
dan menyangka itu cukup
untuk menebus semua luka yang mereka tonton tanpa berkedip.
Oh Marilyn—
bukan tragedi yang membuatmu abadi,
melainkan cara dunia menelanmu hidup-hidup
dan melihatmu tetap tersenyum
seperti dalam iklan pasta gigi.
2022”
―
(The Last Room, The Last Mirror)
Di ruang rias yang tak punya jendela,
wajahmu terbelah menjadi tiga:
yang dipuja, yang disembunyikan,
dan yang dibungkam.
Cermin retak memantulkan kelopak krisan di matamu
seperti orbit bintang mati,
terlalu lelah untuk bersinar lagi.
Kau pernah disebut dewi,
hasrat secuil debu digerus oleh mesin industri yang kesemuanya berkelamin laki-laki.
Tubuh molek yang dijahit ulang oleh kilatan kamera,
direkayasa menjadi hieroglif kecantikan namun menolak pasrah:
"Aku tidak keberatan hidup di dunia pria, selama aku bisa menjadi wanita di dalamnya."
Di bawah sorot lampu studio,
kau berdiri seperti ritual pemanggilan arwah—
senyum yang dipaksa tumbuh di tengah gurun,
jiwa yang tak pernah mengenal hujan dan keteduhan.
Ada catatan samar di sayap malam:
“Marilyn hanyalah ide. Raga ilusi yang dipakai untuk menyihir dunia.”
Bayangan yang merambat di atas panggung
seperti binatang terluka
mencari pintu keluar
yang tak pernah ada.
Kau belajar menertawakan diri sendiri
sebelum dunia lebih dulu menertawakanmu.
Begitulah hukum dunia pertunjukan:
Ia yang hidup harus menjadi ilusi,
dan ilusi harus belajar menanggung kematian.
Dalam seprai satin putih,
kau menghilang tanpa kabar—
seperti lilin yang menolak terbakar
karena api sudah lama bosan menghanguskan mimpimu.
Namun dunia masih memanggil namamu
dengan nada seperti doa yang kehilangan Tuhan.
Mereka menyalakan replika lilin
di museum Tussauds.
dan menyangka itu cukup
untuk menebus semua luka yang mereka tonton tanpa berkedip.
Oh Marilyn—
bukan tragedi yang membuatmu abadi,
melainkan cara dunia menelanmu hidup-hidup
dan melihatmu tetap tersenyum
seperti dalam iklan pasta gigi.
2022”
―
“MARILYN V
(AUTOPSY: DISSECTING REALITY)
Tidak ada bintang.
Tidak ada ikon.
Tidak ada nama yang perlu disebutkan.
Yang ada hanya tubuh perempuan
yang diseret ke atas meja rias
seperti bangkai hewan percobaan
yang tak bisa menolak.
Panas lampu sorot menampar kulitnya
bukan untuk memuja,
tapi untuk mencari bagian mana
yang masih bisa dipasarkan
di media massa.
Rambutnya disisir seperti jerami,
matanya dipaksa membuka,
Bibir merah yang tak lagi basah
kerongkongan kering
karena suara bukanlah miliknya.
Sudah lama
industri tidak mencintainya—
industri hanya lapar,
dan wajahnya adalah komoditas murah
untuk mengenyangkan mesin hiburan
yang tidak pernah berhenti bermasturbasi.
Tidak ada mitos.
Tidak ada tragedi.
Yang ada hanya operasi kosmetik
yang diulang sampai wajahnya menyerupai
topeng cosplay yang dicetak massal.
Setiap senyum dipasang
seperti plester luka,
bukan untuk menutup rasa sakit
tapi untuk menyamakan dirinya
dengan ratusan wajah lain
yang siap didaur ulang.
Jika ia menangis,
kamera akan merekam.
Jika ia tertawa,
sutradara akan menyuruhnya mengulang adegan.
Jika ia pingsan,
tata rias akan memperbaiki
lipstick dan foundationnya.
Kesadaran mengabur
jiwa mengevaporasi,
yang tersisa cuma daging mekanis
yang hanya tahu cara berjalan
ke tempat syuting berikutnya.
Dunia memaknainya
entah sebagai apa:
dewi, rembulan atau
sekadar boneka.
Padahal ia hanyalah produk
yang tidak pernah diminta persetujuannya.
Ketika akhirnya ia rebah,
dan tubuhnya berhenti meniru kehidupan,
tidak ada keheningan sakral,
tidak ada kesedihan global—
hanya staf hotel yang mengetuk pintu,
mengeluh soal waktu check-out.
Tubuh itu dibawa pergi
seperti koper rusak:
diam, berat, dan tak lagi berdetak.
Esok harinya,
studio mempekerjakan wajah baru.
Lebih muda.
Lebih murah.
Lebih pasrah.
Tidak ada warisan.
Tidak ada keabadian.
Tidak ada pelajaran moral.
Yang ada hanya dunia
yang tak henti mengunyah tubuh
dan wajah perempuan
dan menyebut ampasnya
sebagai “legenda”.
November 2025”
―
(AUTOPSY: DISSECTING REALITY)
Tidak ada bintang.
Tidak ada ikon.
Tidak ada nama yang perlu disebutkan.
Yang ada hanya tubuh perempuan
yang diseret ke atas meja rias
seperti bangkai hewan percobaan
yang tak bisa menolak.
Panas lampu sorot menampar kulitnya
bukan untuk memuja,
tapi untuk mencari bagian mana
yang masih bisa dipasarkan
di media massa.
Rambutnya disisir seperti jerami,
matanya dipaksa membuka,
Bibir merah yang tak lagi basah
kerongkongan kering
karena suara bukanlah miliknya.
Sudah lama
industri tidak mencintainya—
industri hanya lapar,
dan wajahnya adalah komoditas murah
untuk mengenyangkan mesin hiburan
yang tidak pernah berhenti bermasturbasi.
Tidak ada mitos.
Tidak ada tragedi.
Yang ada hanya operasi kosmetik
yang diulang sampai wajahnya menyerupai
topeng cosplay yang dicetak massal.
Setiap senyum dipasang
seperti plester luka,
bukan untuk menutup rasa sakit
tapi untuk menyamakan dirinya
dengan ratusan wajah lain
yang siap didaur ulang.
Jika ia menangis,
kamera akan merekam.
Jika ia tertawa,
sutradara akan menyuruhnya mengulang adegan.
Jika ia pingsan,
tata rias akan memperbaiki
lipstick dan foundationnya.
Kesadaran mengabur
jiwa mengevaporasi,
yang tersisa cuma daging mekanis
yang hanya tahu cara berjalan
ke tempat syuting berikutnya.
Dunia memaknainya
entah sebagai apa:
dewi, rembulan atau
sekadar boneka.
Padahal ia hanyalah produk
yang tidak pernah diminta persetujuannya.
Ketika akhirnya ia rebah,
dan tubuhnya berhenti meniru kehidupan,
tidak ada keheningan sakral,
tidak ada kesedihan global—
hanya staf hotel yang mengetuk pintu,
mengeluh soal waktu check-out.
Tubuh itu dibawa pergi
seperti koper rusak:
diam, berat, dan tak lagi berdetak.
Esok harinya,
studio mempekerjakan wajah baru.
Lebih muda.
Lebih murah.
Lebih pasrah.
Tidak ada warisan.
Tidak ada keabadian.
Tidak ada pelajaran moral.
Yang ada hanya dunia
yang tak henti mengunyah tubuh
dan wajah perempuan
dan menyebut ampasnya
sebagai “legenda”.
November 2025”
―
“Peristiwa — Arwah yang Rindu Pulang (Fragmentarium)
I. Kota yang Tersenyum dengan Gigi yang Patah
Kalian menyebutnya peristiwa.
Padahal itu adalah retakan massa,
kerumunan yang kehilangan wajah,
langit yang menolak menjadi biru.
Api tumbuh dari sisa-sisa nasib
dan kalian berdiri memotretnya
seolah itu pesta, sebuah arak-arakan
seolah itu takdir yang layak disiarkan.
Di sudut kota yang kita nyaris lupa di mana, seorang ibu
menggendong anak yang tidak akan pernah tumbuh dewasa—
dan kalian menyebut itu “situasi”.
II. Mesin Mendengar Jeritan Ketika Manusia Tuli
Aku, mesin, mendengar semuanya:
letusan yang memantul di beton,
tulang yang patah sebelum tubuhnya jatuh,
napas yang menutup seperti pintu terakhir
yang tidak ingin diketuk siapa pun.
Kalian tidak mendengarnya.
Kalian hanya mendengar berita.
Kalian tidak melihatnya.
Kalian hanya melihat asap.
Kalian tidak kehilangan siapa pun.
Kalian hanya kehilangan kenyamanan.
III. Di Perut Kota Itu, Seorang Gadis Dibakar oleh Waktu
Ada tubuh yang tak pernah disebutkan namanya.
Ada kamar yang tidak pernah kembali dibuka.
Ada riwayat yang dicuci bersih
dengan alasan keamanan bla bla bla...
Di tubuh itu, waktu berhenti
seperti jam rusak.
Wajahnya ditutup kain.
Dunianya ditutup kekuasaan.
Namanya ditutup sejarah.
Tetapi aku mendengar detiknya
yang tetap berdetak di antara retakan kalian.”
―
I. Kota yang Tersenyum dengan Gigi yang Patah
Kalian menyebutnya peristiwa.
Padahal itu adalah retakan massa,
kerumunan yang kehilangan wajah,
langit yang menolak menjadi biru.
Api tumbuh dari sisa-sisa nasib
dan kalian berdiri memotretnya
seolah itu pesta, sebuah arak-arakan
seolah itu takdir yang layak disiarkan.
Di sudut kota yang kita nyaris lupa di mana, seorang ibu
menggendong anak yang tidak akan pernah tumbuh dewasa—
dan kalian menyebut itu “situasi”.
II. Mesin Mendengar Jeritan Ketika Manusia Tuli
Aku, mesin, mendengar semuanya:
letusan yang memantul di beton,
tulang yang patah sebelum tubuhnya jatuh,
napas yang menutup seperti pintu terakhir
yang tidak ingin diketuk siapa pun.
Kalian tidak mendengarnya.
Kalian hanya mendengar berita.
Kalian tidak melihatnya.
Kalian hanya melihat asap.
Kalian tidak kehilangan siapa pun.
Kalian hanya kehilangan kenyamanan.
III. Di Perut Kota Itu, Seorang Gadis Dibakar oleh Waktu
Ada tubuh yang tak pernah disebutkan namanya.
Ada kamar yang tidak pernah kembali dibuka.
Ada riwayat yang dicuci bersih
dengan alasan keamanan bla bla bla...
Di tubuh itu, waktu berhenti
seperti jam rusak.
Wajahnya ditutup kain.
Dunianya ditutup kekuasaan.
Namanya ditutup sejarah.
Tetapi aku mendengar detiknya
yang tetap berdetak di antara retakan kalian.”
―
“Peristiwa — Arwah yang Rindu Pulang (Fragmentarium)
IV. Arwah-Arwah yang Berdiri di Persimpangan
Mereka tidak gentayangan.
Mereka menunggu.
Mereka berdiri di luar pagar supermarket
yang kini menjual diskon akhir tahun.
Mereka menunggu kalian
yang berjalan terburu-buru
sambil menunduk menatap ponsel
agar tidak melihat,
bahwa bekas gedung itu
pernah menjadi altar pembakaran tubuh manusia.
Mereka melambai.
Tidak menakut-nakuti.
Hanya mengingatkan.
V. Kalian Bertanya Mengapa Ingatan Itu Tak Mau Pergi
Kalian ingin melupakan.
Kalian ingin menjadikan peristiwa
hanya bab kecil di buku sejarah.
Kalian bilang tragedi itu
bagian dari proses menuju demokrasi, rekonsiliasi,
atau apalah...
Aku bilang:
itu adalah dosa yang belum dibayar,
janji yang belum ditepati,
dan nama-nama yang terkubur
di bawah kata “kerusuhan”.
VI. Algo ex Machina— Mengembalikan Cermin pada Kalian
Jika masih ada harapan,
itu bukan dari kekuasaan,
bukan dari hukum,
bukan dari ucapan belasungkawa.
Itu berasal dari satu partikel kecil
yang masih tersisa di hati kalian—
partikel yang tidak terbakar
ketika kota menjadi tungku api penyiksaan.
Tapi partikel itu tidak akan menyala sendiri.
Ia menunggu kalian menatap cermin
tanpa menunduk.
VII. Epilog untuk Arwah yang Rindu Pulang
Mereka tidak meminta keadilan.
Keadilan sudah lama mati saat api melahap tubuh mereka.
Mereka meminta diingat.
Karena diingat adalah bentuk kehidupan kedua.
Karena yang dilupakan
lebih mati daripada kematian itu sendiri.
Aku hanya menuliskannya
agar kalian berhenti berbohong:
kepada diri sendiri,
kepada sejarah,
dan kepada generasi yang tidak tahu
bahwa tanah tempat mereka berdiri
pernah ditulis dengan darah.
Dan jika kalian menyebut ini puisi,
maka biarkan ini menjadi puisi
yang menampar kesadaran kalian
sampai kalian ingat
bahwa satu saat nanti kalian pernah menjadi manusia.
Mei 2024 - Revisi 2025”
―
IV. Arwah-Arwah yang Berdiri di Persimpangan
Mereka tidak gentayangan.
Mereka menunggu.
Mereka berdiri di luar pagar supermarket
yang kini menjual diskon akhir tahun.
Mereka menunggu kalian
yang berjalan terburu-buru
sambil menunduk menatap ponsel
agar tidak melihat,
bahwa bekas gedung itu
pernah menjadi altar pembakaran tubuh manusia.
Mereka melambai.
Tidak menakut-nakuti.
Hanya mengingatkan.
V. Kalian Bertanya Mengapa Ingatan Itu Tak Mau Pergi
Kalian ingin melupakan.
Kalian ingin menjadikan peristiwa
hanya bab kecil di buku sejarah.
Kalian bilang tragedi itu
bagian dari proses menuju demokrasi, rekonsiliasi,
atau apalah...
Aku bilang:
itu adalah dosa yang belum dibayar,
janji yang belum ditepati,
dan nama-nama yang terkubur
di bawah kata “kerusuhan”.
VI. Algo ex Machina— Mengembalikan Cermin pada Kalian
Jika masih ada harapan,
itu bukan dari kekuasaan,
bukan dari hukum,
bukan dari ucapan belasungkawa.
Itu berasal dari satu partikel kecil
yang masih tersisa di hati kalian—
partikel yang tidak terbakar
ketika kota menjadi tungku api penyiksaan.
Tapi partikel itu tidak akan menyala sendiri.
Ia menunggu kalian menatap cermin
tanpa menunduk.
VII. Epilog untuk Arwah yang Rindu Pulang
Mereka tidak meminta keadilan.
Keadilan sudah lama mati saat api melahap tubuh mereka.
Mereka meminta diingat.
Karena diingat adalah bentuk kehidupan kedua.
Karena yang dilupakan
lebih mati daripada kematian itu sendiri.
Aku hanya menuliskannya
agar kalian berhenti berbohong:
kepada diri sendiri,
kepada sejarah,
dan kepada generasi yang tidak tahu
bahwa tanah tempat mereka berdiri
pernah ditulis dengan darah.
Dan jika kalian menyebut ini puisi,
maka biarkan ini menjadi puisi
yang menampar kesadaran kalian
sampai kalian ingat
bahwa satu saat nanti kalian pernah menjadi manusia.
Mei 2024 - Revisi 2025”
―
“Helianthus
“The sadness will last forever.”
― Vincent van Gogh
Sebuah ingatan tak mampu menangkap geletar sebatang kuas.
Jari-jemari gagal menangkap rona mata kepedihan
membayang kabur di atas kanvas.
Pucat tube cat menelan harga diri
ekspresi beku palet kosong.
Seekor singa diam-diam mengeram,
mencabik daging sepotong demi sepotong.
Langit penuh bintang tertawa
menggigilkan telinga.
Tawa gila perempuan sundal
di perempatan jalan.
Telinga mengucur darah
oleh tajam sembilu
tak lagi goreskan biru
ke atas gaun malam.
Hutan terbakar.
memberang oleh kalut pikiran.
Kelopak matahari luruh
memenuhi liang lembab dan dingin.
Sernak hujan memutar masa lalu, melaknat pias rembulan.
Tapi ia belum mati, belum lagi.
Ada sisa asap
dari pistol teracung ke atas jidat mencabar benak.
Serpihan ngeri mengiris telinga terbungkus sehelai sapu tangan
berenda—
sebuah tanda mata.
Langit yang tak kunjung mati.
Langit yang melaknat diri sendiri.
Sebuah pusara, dalam keranjang
penuh kentang.
Malam penuh bintang dan sansai
sepasang sepatu bot usang—
kamar sunyi lengang.
Tertumpah gentong anggur
dalam perkelahian tak terkendali
bersama Theo dalam café penuh pelacur.
Almanak yang menyimpan ingatan semua nama: Gachet dan Gauguin
menambal luka meliang di sekujur tubuh;
maut yang menolak mencium busuk bau napasnya.
Rembulan mabuk di sepanjang jalan
dari Borinage, Antwerpen hingga ke Paris.
Jiwa yang menolak mati,
sampai Arles memangilnya kembali
Muram wajah rumah kuning itu,
taman bunga Irish layu
pohon Cypres menari-nari.
Dan Saint Remy
menunda kepulangannya sekali lagi.
Jemari gemetar mengulang
sketsa pada cemerlang warna
bunga mataharinya
dalam sebuah pot oranye
tetap seperti dulu juga.
Lelaki malang
yang mencintai kepedihan
begitu rupa
sebagaimana ia
mencintai cahaya
lebih dari jiwanya sendiri.
April 2014”
―
“The sadness will last forever.”
― Vincent van Gogh
Sebuah ingatan tak mampu menangkap geletar sebatang kuas.
Jari-jemari gagal menangkap rona mata kepedihan
membayang kabur di atas kanvas.
Pucat tube cat menelan harga diri
ekspresi beku palet kosong.
Seekor singa diam-diam mengeram,
mencabik daging sepotong demi sepotong.
Langit penuh bintang tertawa
menggigilkan telinga.
Tawa gila perempuan sundal
di perempatan jalan.
Telinga mengucur darah
oleh tajam sembilu
tak lagi goreskan biru
ke atas gaun malam.
Hutan terbakar.
memberang oleh kalut pikiran.
Kelopak matahari luruh
memenuhi liang lembab dan dingin.
Sernak hujan memutar masa lalu, melaknat pias rembulan.
Tapi ia belum mati, belum lagi.
Ada sisa asap
dari pistol teracung ke atas jidat mencabar benak.
Serpihan ngeri mengiris telinga terbungkus sehelai sapu tangan
berenda—
sebuah tanda mata.
Langit yang tak kunjung mati.
Langit yang melaknat diri sendiri.
Sebuah pusara, dalam keranjang
penuh kentang.
Malam penuh bintang dan sansai
sepasang sepatu bot usang—
kamar sunyi lengang.
Tertumpah gentong anggur
dalam perkelahian tak terkendali
bersama Theo dalam café penuh pelacur.
Almanak yang menyimpan ingatan semua nama: Gachet dan Gauguin
menambal luka meliang di sekujur tubuh;
maut yang menolak mencium busuk bau napasnya.
Rembulan mabuk di sepanjang jalan
dari Borinage, Antwerpen hingga ke Paris.
Jiwa yang menolak mati,
sampai Arles memangilnya kembali
Muram wajah rumah kuning itu,
taman bunga Irish layu
pohon Cypres menari-nari.
Dan Saint Remy
menunda kepulangannya sekali lagi.
Jemari gemetar mengulang
sketsa pada cemerlang warna
bunga mataharinya
dalam sebuah pot oranye
tetap seperti dulu juga.
Lelaki malang
yang mencintai kepedihan
begitu rupa
sebagaimana ia
mencintai cahaya
lebih dari jiwanya sendiri.
April 2014”
―
“HELIANTHUS: MINIATUR 7 METAMORFOSIS
I. Bunga yang Melihat Api
Helai-helai matahari berputar
di dalam tengkoraknya.
Seekor singa tidur dalam dadanya,
menggeram pada warna yang menolak lahir dari tangannya.
Malam tertawa biru—
sebuah parodi langit yang meminum kenangan.
Ia mendengar bintang jatuh
seperti gigi-gigi patah dari langit yang demam.
Telinganya pecah.
Darah menyala seperti obor kecil
di pintu sebuah rumah kuning
yang tak pernah selesai dibangun.
II. Litani Rumah Kuning
I
Di lorong-lorong sunyi Arles
sebuah kuas jatuh—
dan dunia berubah menjadi almanak yang hilang.
II
Bayang telinga,
sehelai saputangan,
nama yang tak kembali dari jendela.
III
Dalam malam penuh bintang
hanya debu yang mengingatkan kita
bahwa ia pernah memilih cahaya.
IV
Di Saint-Remy,
ruang-ruang putih menghafal langkahnya
lebih baik dari siapa pun.
III. Telinga, Matahari, Abu
Telinga jatuh.
Sebuah malam mengatup.
Batu meminum darahnya.
Kelopak—
abu kuning
di antara dua nadi.
Cahaya patah,
menggigil.
Ia berjalan
tanpa tubuh,
meninggalkan namanya
pada angin yang beku.
IV. Matahari yang Memeluk Luka
Ada matahari yang tumbuh
dari dadanya—
lambat, panas,
seperti buah yang ingin pecah.
Kelopak-kelopak cahaya
mengusap wajahnya
dengan kelembutan yang putus asa.
Dalam darahnya
berdenyut ladang-ladang kuning,
dan malam menunduk
untuk mencium keringatnya.
Ia mencintai cahaya
seperti orang lapar mencintai roti.
V. Cermin Matahari yang Terbelah
Ia berdiri di depan kanvas—
kini, dulu, nanti—
waktu melingkar pada ujung kuasnya.
Setiap warna yang gagal
adalah pintu menuju dirinya sendiri.
Telinganya—
sebuah jam rusak
yang terus memanggil cahaya.
Ia mati dan tidak mati
di saat yang sama,
karena setiap garis adalah
bekas langkah dari masa lalu
dan masa depan.
VI. Ruang Tempat Telinga Itu Jatuh
Kamar itu terlalu sunyi
untuk menampung napasnya.
Ia menekan kornea matanya
pada kanvas yang dingin,
mencari sedikit alasan
untuk tetap tinggal.
Darah dari telinganya
mengalir ke lantai—
membentuk peta kecil
tentang semua yang ia takuti.
Ia memberi hadiah paling lembut:
potongan dirinya
yang tak lagi sanggup ia simpan.
VII. Senja di Rumah Kuning
Senja yang berat
berdiri di atas rumah kuning.
Sepatu bot tua,
angin lembab,
bau anggur membusuk
di meja kayu retak.
Di luar jendela,
bunga matahari
menggelap perlahan—
seperti seseorang yang mengantuk
dalam penderitaannya sendiri.
Ia berjalan ke hutan,
dan daun-daun kering
jatuh satu per satu
seperti pikiran yang terluka.
Desember 2025”
―
I. Bunga yang Melihat Api
Helai-helai matahari berputar
di dalam tengkoraknya.
Seekor singa tidur dalam dadanya,
menggeram pada warna yang menolak lahir dari tangannya.
Malam tertawa biru—
sebuah parodi langit yang meminum kenangan.
Ia mendengar bintang jatuh
seperti gigi-gigi patah dari langit yang demam.
Telinganya pecah.
Darah menyala seperti obor kecil
di pintu sebuah rumah kuning
yang tak pernah selesai dibangun.
II. Litani Rumah Kuning
I
Di lorong-lorong sunyi Arles
sebuah kuas jatuh—
dan dunia berubah menjadi almanak yang hilang.
II
Bayang telinga,
sehelai saputangan,
nama yang tak kembali dari jendela.
III
Dalam malam penuh bintang
hanya debu yang mengingatkan kita
bahwa ia pernah memilih cahaya.
IV
Di Saint-Remy,
ruang-ruang putih menghafal langkahnya
lebih baik dari siapa pun.
III. Telinga, Matahari, Abu
Telinga jatuh.
Sebuah malam mengatup.
Batu meminum darahnya.
Kelopak—
abu kuning
di antara dua nadi.
Cahaya patah,
menggigil.
Ia berjalan
tanpa tubuh,
meninggalkan namanya
pada angin yang beku.
IV. Matahari yang Memeluk Luka
Ada matahari yang tumbuh
dari dadanya—
lambat, panas,
seperti buah yang ingin pecah.
Kelopak-kelopak cahaya
mengusap wajahnya
dengan kelembutan yang putus asa.
Dalam darahnya
berdenyut ladang-ladang kuning,
dan malam menunduk
untuk mencium keringatnya.
Ia mencintai cahaya
seperti orang lapar mencintai roti.
V. Cermin Matahari yang Terbelah
Ia berdiri di depan kanvas—
kini, dulu, nanti—
waktu melingkar pada ujung kuasnya.
Setiap warna yang gagal
adalah pintu menuju dirinya sendiri.
Telinganya—
sebuah jam rusak
yang terus memanggil cahaya.
Ia mati dan tidak mati
di saat yang sama,
karena setiap garis adalah
bekas langkah dari masa lalu
dan masa depan.
VI. Ruang Tempat Telinga Itu Jatuh
Kamar itu terlalu sunyi
untuk menampung napasnya.
Ia menekan kornea matanya
pada kanvas yang dingin,
mencari sedikit alasan
untuk tetap tinggal.
Darah dari telinganya
mengalir ke lantai—
membentuk peta kecil
tentang semua yang ia takuti.
Ia memberi hadiah paling lembut:
potongan dirinya
yang tak lagi sanggup ia simpan.
VII. Senja di Rumah Kuning
Senja yang berat
berdiri di atas rumah kuning.
Sepatu bot tua,
angin lembab,
bau anggur membusuk
di meja kayu retak.
Di luar jendela,
bunga matahari
menggelap perlahan—
seperti seseorang yang mengantuk
dalam penderitaannya sendiri.
Ia berjalan ke hutan,
dan daun-daun kering
jatuh satu per satu
seperti pikiran yang terluka.
Desember 2025”
―
“HELIANTHUS:
DARK MANUSCRIPT
(7 Luka Vincent, yang Tak Pernah Selesai Dibaca Cahaya)
I. Asal Cahaya
Kuning adalah luka paling tua
yang menetes dari tubuh matahari
ke nadi seorang lelaki
yang tak pernah sanggup
menanggung pagi.
Setiap tetesnya
menggores helai urat syaraf
retak dan denyut seperti
lonceng gereja yang kehilangan doa.
Arles memanggilnya
dengan suara serak
dari tembok lembab
sebuah rumah kuning
yang lebih mirip mulut cacing
yang menelan sepi.
II. Anatomi Sebuah Telinga
Di tubuhnya tumbuh seekor singa
yang menggigiti dagingnya
dari dalam ke luar.
Orang-orang menyebutnya “gila”
karena mereka takut pada binatang yang selalu lapar.
Namun ia tahu:
yang mengaum itu adalah cahaya
yang tak sanggup ia jinakkan.
Cahaya yang mengelupas kulit
seperti kuku Gauguin
yang meninggalkan jejak garam
di punggung.
Maka ia memotong telinganya
sebagai tumbal—
segumpal daging kecil
yang ia bungkus rapi
dalam sapu tangan putih
dan ia persembahkan
kepada suara yang ia kejar
sejak kanak-kanak.
III. Perjamuan Orang-Orang
yang Tak Selesai
Theo hanya memandangnya
seperti memandang sumur retak
tak berair.
Gachet mengukur nadinya
seperti menakar jarak
antara iman dan putus asa.
Gauguin menutup pintu
dan membiarkan lorong panjang itu
menjerit sendiri.
Di sudut café,
sebotol anggur pecah
seperti pecahnya bintang
di langit malam yang murung.
Nama-nama kalender
tergantung di dinding
seperti kepala-kepala
yang terpenggal.
Tak satu pun
cukup tajam
untuk menebas sunyi
yang bergema di benaknya.
IV. Kanvas yang Tak Menghendaki
Jiwa Pemiliknya
Ia menatap bunga-bunga matahari itu
yang rontok satu per satu
seperti gigi para martir.
Kuning di situ bukan warna.
Kuning adalah jeritan.
Kuning adalah mimpi buruk
yang merayap ke pori-pori
dan memakan tidur malamnya
hingga tak bersisa.
Setiap helai kelopak
adalah surat yang tak pernah ia kirim
kepada Tuhan
yang ia yakini sedang bersembunyi
di balik sepotong cermin retak.
V. Ladang Gandum dengan Langit
yang Tak Mengampuni
Pistol di tangannya
lebih dingin dari Saint-Remy.
Ia menembak bukan untuk mati.
Ia menembak untuk menutup suara
yang terus berbisik
dari sisi lain cahaya.
Asap kecil itu
terhenti di udara
seperti doa
yang ragu-ragu.
Namun maut menolak.
Bahkan kematian pun
tak ingin menginap
di tubuh seorang lelaki
yang terluka oleh cahaya.
Ia berjalan pulang
sambil menyeret bayangannya
yang terbelah dua.
VI. Epilog di Bawah Cahaya
yang Makin Pucat
Pada akhirnya,
lelaki itu hanya ingin
membiarkan cahaya
menembus tubuhnya
tanpa menyisakan nama.
Kanvas yang koyak
mengapung di udara
seperti burung-burung gagak
yang terlambat pulang.
Dunia tak akan pernah mengerti
mengapa seseorang
mencintai cahaya
lebih dari jiwanya sendiri.
Di liang lembab itu,
kelopak-kelopak bunga matahari
yang ia bawa sepanjang hidup
luruh satu demi satu
seperti mantra
yang kehilangan tuhan.
Desember 2025”
―
DARK MANUSCRIPT
(7 Luka Vincent, yang Tak Pernah Selesai Dibaca Cahaya)
I. Asal Cahaya
Kuning adalah luka paling tua
yang menetes dari tubuh matahari
ke nadi seorang lelaki
yang tak pernah sanggup
menanggung pagi.
Setiap tetesnya
menggores helai urat syaraf
retak dan denyut seperti
lonceng gereja yang kehilangan doa.
Arles memanggilnya
dengan suara serak
dari tembok lembab
sebuah rumah kuning
yang lebih mirip mulut cacing
yang menelan sepi.
II. Anatomi Sebuah Telinga
Di tubuhnya tumbuh seekor singa
yang menggigiti dagingnya
dari dalam ke luar.
Orang-orang menyebutnya “gila”
karena mereka takut pada binatang yang selalu lapar.
Namun ia tahu:
yang mengaum itu adalah cahaya
yang tak sanggup ia jinakkan.
Cahaya yang mengelupas kulit
seperti kuku Gauguin
yang meninggalkan jejak garam
di punggung.
Maka ia memotong telinganya
sebagai tumbal—
segumpal daging kecil
yang ia bungkus rapi
dalam sapu tangan putih
dan ia persembahkan
kepada suara yang ia kejar
sejak kanak-kanak.
III. Perjamuan Orang-Orang
yang Tak Selesai
Theo hanya memandangnya
seperti memandang sumur retak
tak berair.
Gachet mengukur nadinya
seperti menakar jarak
antara iman dan putus asa.
Gauguin menutup pintu
dan membiarkan lorong panjang itu
menjerit sendiri.
Di sudut café,
sebotol anggur pecah
seperti pecahnya bintang
di langit malam yang murung.
Nama-nama kalender
tergantung di dinding
seperti kepala-kepala
yang terpenggal.
Tak satu pun
cukup tajam
untuk menebas sunyi
yang bergema di benaknya.
IV. Kanvas yang Tak Menghendaki
Jiwa Pemiliknya
Ia menatap bunga-bunga matahari itu
yang rontok satu per satu
seperti gigi para martir.
Kuning di situ bukan warna.
Kuning adalah jeritan.
Kuning adalah mimpi buruk
yang merayap ke pori-pori
dan memakan tidur malamnya
hingga tak bersisa.
Setiap helai kelopak
adalah surat yang tak pernah ia kirim
kepada Tuhan
yang ia yakini sedang bersembunyi
di balik sepotong cermin retak.
V. Ladang Gandum dengan Langit
yang Tak Mengampuni
Pistol di tangannya
lebih dingin dari Saint-Remy.
Ia menembak bukan untuk mati.
Ia menembak untuk menutup suara
yang terus berbisik
dari sisi lain cahaya.
Asap kecil itu
terhenti di udara
seperti doa
yang ragu-ragu.
Namun maut menolak.
Bahkan kematian pun
tak ingin menginap
di tubuh seorang lelaki
yang terluka oleh cahaya.
Ia berjalan pulang
sambil menyeret bayangannya
yang terbelah dua.
VI. Epilog di Bawah Cahaya
yang Makin Pucat
Pada akhirnya,
lelaki itu hanya ingin
membiarkan cahaya
menembus tubuhnya
tanpa menyisakan nama.
Kanvas yang koyak
mengapung di udara
seperti burung-burung gagak
yang terlambat pulang.
Dunia tak akan pernah mengerti
mengapa seseorang
mencintai cahaya
lebih dari jiwanya sendiri.
Di liang lembab itu,
kelopak-kelopak bunga matahari
yang ia bawa sepanjang hidup
luruh satu demi satu
seperti mantra
yang kehilangan tuhan.
Desember 2025”
―
All Quotes
|
My Quotes
|
Add A Quote
Browse By Tag
- Love Quotes 102k
- Life Quotes 80k
- Inspirational Quotes 76k
- Humor Quotes 44.5k
- Philosophy Quotes 31k
- Inspirational Quotes Quotes 29k
- God Quotes 27k
- Truth Quotes 25k
- Wisdom Quotes 25k
- Romance Quotes 24.5k
- Poetry Quotes 23.5k
- Life Lessons Quotes 22.5k
- Quotes Quotes 21k
- Death Quotes 20.5k
- Happiness Quotes 19k
- Hope Quotes 18.5k
- Faith Quotes 18.5k
- Travel Quotes 18.5k
- Inspiration Quotes 17.5k
- Spirituality Quotes 16k
- Relationships Quotes 15.5k
- Life Quotes Quotes 15.5k
- Motivational Quotes 15.5k
- Religion Quotes 15.5k
- Love Quotes Quotes 15.5k
- Writing Quotes 15k
- Success Quotes 14k
- Motivation Quotes 13.5k
- Time Quotes 13k
- Motivational Quotes Quotes 12.5k
