Yusiana Basuki's Blog, page 4
September 5, 2011
Manusia Setengah Dewa
Kadang ada yang bertanya, apakah ada orang yang menjadi manusia yang berkepribadian luar biasa seandainya hidup mereka normal-normal saja?
Seseorang yang sakit sangat parah, yang secara nalar sudah tidak akan bisa sembuh lagi, dan dokterpun sudah menghitung hari bahkan memvonis mati, "near-death experience"-pun telah dilalui, tetapi bisa saja terjadi 'miracle' dan orang ini menjadi sehat kembali dan lebih bersemangat dalam mengarungi hidup ini.
Tidak jarang orang-orang ini menjadi "manusia setengah dewa".
Setelah melalui pengalaman tersebut, hari-haripun dilalui dengan lebih indah. Bangun pagi matahari bersinar berseri, keluar rumah menghirup udara segar mewangi. Menatap langit biru yang cerah dan disana-sini ada coretan awan putih suci. Sikap hidupnya berubah sama sekali. Dulu, hari-hari dilalui secara rutin. Bangun, makan pagi, kerja/kuliah, pulang ke rumah, istirahat dan siklus ini berjalan dari hari-hari dilalui dengan tanpa rasa tetapi saat ini setiap hirupan nafas disertai pujian terhadapNya. Setiap rejeki yang diterimanya, bersyukurlah dia.
Mendengar nyanyian merdu burung-burung di pepohonan, berserilah dia. Hari ke hari, jam ke jam, menit ke menit, detik ke detik dilalui dengan tak henti-hentinya berterima kasih kepadaNya karena dia percaya sepenuhnya bahwa 'miracle' tersebut karena campur tangan Allah melalui 'Cahaya Tuhan' yang telah bekerja dalam dirinya.
Banyak diantara kita yang sering mencemooh terhadap orang-orang yang telah melakukan kesalahan dalam hidupnya, terhadap orang yang mempunyai cacat jasmani ataupun rohani, terhadap orang-orang yang tidak kelihatan normal, dan sebagainya. Orang-orang ini dikategorikannya sebagai orang yang berpenyakit "kusta" yang pantas untuk dicaci dan dikucilkan.
Kita merasa jauh lebih tinggi kelasnya daripada orang-orang itu. Kita merasa tidak punya dosa sehingga tidak pantas untuk bergaul dengannya. Kita merasa sebagai orang yang tidak pernah bersalah sehingga sewajarnyalah memasukkan mereka ke golongan pariah.
Sebaliknya, tidak jarang orang-orang yang telah melakukan kesalahan dalam hidupnya ini telah cukup "dihukum". Telah "hit the bottom of their lives" dan akhirnya kembali bangkit dan menjalani hidup dengan lebih baik.
Setelah "bangkit kembali dari sakit jasmani atau rohani", banyak melakukan kebaikan tanpa pamrih, menolong orang lain tetapi tidak sok baik; banyak memberi sumbangan tetapi tidak sok sosial; menjadi orang yang mumpuni tetapi tidak sok pintar; dan sebagainya.
Baik dimata manusia ataupun Tuhan, orang yang telah "kembali" ini mempunyai kehidupan yang lebih baik daripada orang-orang yang telah mencemoohnya karena menjadi orang yang berkepribadian luar biasa.
Kembali ke "pertanyaan" di atas, haruskah kita menunggu untuk terjatuh dahulu ke dalam jurang, merintih, lemah dan tak berdaya agar kita bisa kembali hidup dan mempunyai kepribadian yang "luar biasa"?
Seseorang yang sakit sangat parah, yang secara nalar sudah tidak akan bisa sembuh lagi, dan dokterpun sudah menghitung hari bahkan memvonis mati, "near-death experience"-pun telah dilalui, tetapi bisa saja terjadi 'miracle' dan orang ini menjadi sehat kembali dan lebih bersemangat dalam mengarungi hidup ini.
Tidak jarang orang-orang ini menjadi "manusia setengah dewa".
Setelah melalui pengalaman tersebut, hari-haripun dilalui dengan lebih indah. Bangun pagi matahari bersinar berseri, keluar rumah menghirup udara segar mewangi. Menatap langit biru yang cerah dan disana-sini ada coretan awan putih suci. Sikap hidupnya berubah sama sekali. Dulu, hari-hari dilalui secara rutin. Bangun, makan pagi, kerja/kuliah, pulang ke rumah, istirahat dan siklus ini berjalan dari hari-hari dilalui dengan tanpa rasa tetapi saat ini setiap hirupan nafas disertai pujian terhadapNya. Setiap rejeki yang diterimanya, bersyukurlah dia.
Mendengar nyanyian merdu burung-burung di pepohonan, berserilah dia. Hari ke hari, jam ke jam, menit ke menit, detik ke detik dilalui dengan tak henti-hentinya berterima kasih kepadaNya karena dia percaya sepenuhnya bahwa 'miracle' tersebut karena campur tangan Allah melalui 'Cahaya Tuhan' yang telah bekerja dalam dirinya.
Banyak diantara kita yang sering mencemooh terhadap orang-orang yang telah melakukan kesalahan dalam hidupnya, terhadap orang yang mempunyai cacat jasmani ataupun rohani, terhadap orang-orang yang tidak kelihatan normal, dan sebagainya. Orang-orang ini dikategorikannya sebagai orang yang berpenyakit "kusta" yang pantas untuk dicaci dan dikucilkan.
Kita merasa jauh lebih tinggi kelasnya daripada orang-orang itu. Kita merasa tidak punya dosa sehingga tidak pantas untuk bergaul dengannya. Kita merasa sebagai orang yang tidak pernah bersalah sehingga sewajarnyalah memasukkan mereka ke golongan pariah.
Sebaliknya, tidak jarang orang-orang yang telah melakukan kesalahan dalam hidupnya ini telah cukup "dihukum". Telah "hit the bottom of their lives" dan akhirnya kembali bangkit dan menjalani hidup dengan lebih baik.
Setelah "bangkit kembali dari sakit jasmani atau rohani", banyak melakukan kebaikan tanpa pamrih, menolong orang lain tetapi tidak sok baik; banyak memberi sumbangan tetapi tidak sok sosial; menjadi orang yang mumpuni tetapi tidak sok pintar; dan sebagainya.
Baik dimata manusia ataupun Tuhan, orang yang telah "kembali" ini mempunyai kehidupan yang lebih baik daripada orang-orang yang telah mencemoohnya karena menjadi orang yang berkepribadian luar biasa.
Kembali ke "pertanyaan" di atas, haruskah kita menunggu untuk terjatuh dahulu ke dalam jurang, merintih, lemah dan tak berdaya agar kita bisa kembali hidup dan mempunyai kepribadian yang "luar biasa"?
Published on September 05, 2011 19:45
•
Tags:
dewa, kepribadian, manusia
August 19, 2011
Life is good; life is wonderful; life is pain
Cukup terkesan dengan cerita dan pesan dari film ‘Guzaarish’ setelah menyaksikannya tadi malam. Salah satu kalimat yang dinyanyikan dalam film tersebut adalah “life is good; life is wonderful; life is pain” terus terngiang di telinga.
Tuhan memberikan keindahan alam semesta yang menjadikan kehidupan ini terasa ‘wonderful’. Tuhan juga menyediakan segala isi dunia buat umat manusia untuk bisa dimanfaatkan, 'good', dengan sebaik-baiknya. Tetapi, dalam menjalani hidup ini tidak selamanya berjalan dengan mulus dan tidak jarang kita harus melalui kerikil-kerikil tajam, 'pain.'
Seorang anak kecil yang dihadiahi sepeda oleh orang tuanya merasa sangat bahagia dan membayangkan alangkah ‘wonderful’-nya bila dia bisa berkeliling desa, kota, dunia dengan sepeda barunya. Untuk meraih harapannya, sang anak harus belajar mengendarai sepedanya. Melihat orang-orang bersepeda lalu lalang dengan lajunya, dipikirnya dia akan bisa begitu saja mengendarai sepedanya. Pada kenyataannya, sang anak harus jatuh bangun. Lecet dan memar menjadi bagian dari proses belajar yang harus dirasakannya. Setelah jatuh, lecet, memar hampir putus asa kemudian bangkit kembali. Siklus tersebut harus dijalani beberapa kali sebelum sang anak lancar mengendarai sepedanya. Hal ini merupakan metaphor kehidupan kita, umat manusia, tidak jarang kita harus melalui proses yang 'painful' ini dan sering kali membuat kita putus asa. Harus bekerja banting tulang untuk sekedar menjalani kehidupan sehari-hari, kehilangan pekerjaan di saat kita membutuhkan 'income', ditinggalkan oleh orang-orang yang kita cintai, penyakit yang menggerogoti badan dan pikiran, dan sebagainya.
Kembali ke soal film 'Guzaarish'. Ceritanya adalah kisah tentang seorang pesulap yang mengalami kecelakaan di panggung saat mengadakan pertunjukan sehingga dia menjadi lumpuh total dari leher hingga ke kaki (quadriplegic). Semenjak itu dirawat oleh seorang perawat yang sangat berdedikasi dan berupaya sekuat tenaga agar dia terus bisa menjalani kehidupannya. Karena lumpuhnya, untuk mengusir lalat yang hinggap dihidungnya pun tidak bisa; untuk menggaruk luka gatalnya pun perlu bantuan orang lain. Sedemikian tidak berfungsinya pesulap tersebut, namanya Ethan, hingga setelah dua belas tahun tergeletak tak berdaya, akhirnya dia pun menyerah dan mengajukan euthanasia (practice of intentionally ending a life to relieve pain and suffering) ke pengadilan negeri Goa , India, untuk mengakhiri hidupnya. Dia tidak bisa membunuh dirinya sendiri karena hanya kepalanya yang bisa digerakkan sehingga harus ada orang lain yang membantu untuk melaksanakan niat tersebut. Pengadilan India menolak petisi euthanasia.
Hebatnya, dalam keadaan yang tak berdaya, Ethan bisa menulis buku dan menjadi penyiar radio yang selalu memberi semangat hidup kepada orang-orang yang tidak berdaya seperti dirinya. Kata-kata dan pesan yang disampaikannya lewat udara pun memberi inspirasi kepada kebanyakan orang untuk melakukan hal-hal yang baik dalam hidup ini, menganjurkan mereka untuk selalu berusaha menikmati hidup ini dalam situasi dan kondisi apa pun.. Salah satu kutipan pesan radionya: Life is short: smile broadly, laughed uncontrollably, forgive quickly, love unconditionally. Dan itu bukan hanya kata-kata gombal yang tak bermakna. Ethan mempraktekan di dalam kehidupannya. Dia bilang tidak ingin meninggalkan dunia fana tanpa meninggalkan ilmu trik-trik sulapnya. Dia melatih pesulap muda, Omar, yang datang kepadanya. Setelah Omar menamatkan masa pelatihan dan sudah mewarisi rahasia trik-trik sulapnya maka Omar pun berpamitan. Menjelang perpisahan, Omar bertanya pada Ethan. “Apakah kamu tahu kalau saya adalah anak Yaseer?” Ethan pun menjawab “Ya”. Yaseer adalah pesulap saingan Ethan yang juga adalah teman baiknya. Yaseer dengan sengaja telah mencelakakan Ethan saat dia mengadakan pertunjukan sulapnya. Yaseer telah membuat Ethan tak berdaya dan menderita. Tentu saja Omar sangat tercengang dan tidak menyangka kalau Ethan tahu siapa Omar yang sebenarnya. Disinilah letak kekuatan pesan film ini, yaitu mengajarkan kita untuk tidak terpuruk dengan penderitaan kita, tetapi bisa berbagi dan memaafkan, tidak menyimpan dendam yang hanya akan merugikan diri sendiri 'forgive quickly and love unconditionally'
Semoga kita bisa memetik hikmah dari tokoh fiktif Ethan ini, dalam 'pain' pun dia masih mau dan mampu menjadi cahaya bagi orang-orang lain yang sedang dalam kegelapan.
Yusiana
Tuhan memberikan keindahan alam semesta yang menjadikan kehidupan ini terasa ‘wonderful’. Tuhan juga menyediakan segala isi dunia buat umat manusia untuk bisa dimanfaatkan, 'good', dengan sebaik-baiknya. Tetapi, dalam menjalani hidup ini tidak selamanya berjalan dengan mulus dan tidak jarang kita harus melalui kerikil-kerikil tajam, 'pain.'
Seorang anak kecil yang dihadiahi sepeda oleh orang tuanya merasa sangat bahagia dan membayangkan alangkah ‘wonderful’-nya bila dia bisa berkeliling desa, kota, dunia dengan sepeda barunya. Untuk meraih harapannya, sang anak harus belajar mengendarai sepedanya. Melihat orang-orang bersepeda lalu lalang dengan lajunya, dipikirnya dia akan bisa begitu saja mengendarai sepedanya. Pada kenyataannya, sang anak harus jatuh bangun. Lecet dan memar menjadi bagian dari proses belajar yang harus dirasakannya. Setelah jatuh, lecet, memar hampir putus asa kemudian bangkit kembali. Siklus tersebut harus dijalani beberapa kali sebelum sang anak lancar mengendarai sepedanya. Hal ini merupakan metaphor kehidupan kita, umat manusia, tidak jarang kita harus melalui proses yang 'painful' ini dan sering kali membuat kita putus asa. Harus bekerja banting tulang untuk sekedar menjalani kehidupan sehari-hari, kehilangan pekerjaan di saat kita membutuhkan 'income', ditinggalkan oleh orang-orang yang kita cintai, penyakit yang menggerogoti badan dan pikiran, dan sebagainya.
Kembali ke soal film 'Guzaarish'. Ceritanya adalah kisah tentang seorang pesulap yang mengalami kecelakaan di panggung saat mengadakan pertunjukan sehingga dia menjadi lumpuh total dari leher hingga ke kaki (quadriplegic). Semenjak itu dirawat oleh seorang perawat yang sangat berdedikasi dan berupaya sekuat tenaga agar dia terus bisa menjalani kehidupannya. Karena lumpuhnya, untuk mengusir lalat yang hinggap dihidungnya pun tidak bisa; untuk menggaruk luka gatalnya pun perlu bantuan orang lain. Sedemikian tidak berfungsinya pesulap tersebut, namanya Ethan, hingga setelah dua belas tahun tergeletak tak berdaya, akhirnya dia pun menyerah dan mengajukan euthanasia (practice of intentionally ending a life to relieve pain and suffering) ke pengadilan negeri Goa , India, untuk mengakhiri hidupnya. Dia tidak bisa membunuh dirinya sendiri karena hanya kepalanya yang bisa digerakkan sehingga harus ada orang lain yang membantu untuk melaksanakan niat tersebut. Pengadilan India menolak petisi euthanasia.
Hebatnya, dalam keadaan yang tak berdaya, Ethan bisa menulis buku dan menjadi penyiar radio yang selalu memberi semangat hidup kepada orang-orang yang tidak berdaya seperti dirinya. Kata-kata dan pesan yang disampaikannya lewat udara pun memberi inspirasi kepada kebanyakan orang untuk melakukan hal-hal yang baik dalam hidup ini, menganjurkan mereka untuk selalu berusaha menikmati hidup ini dalam situasi dan kondisi apa pun.. Salah satu kutipan pesan radionya: Life is short: smile broadly, laughed uncontrollably, forgive quickly, love unconditionally. Dan itu bukan hanya kata-kata gombal yang tak bermakna. Ethan mempraktekan di dalam kehidupannya. Dia bilang tidak ingin meninggalkan dunia fana tanpa meninggalkan ilmu trik-trik sulapnya. Dia melatih pesulap muda, Omar, yang datang kepadanya. Setelah Omar menamatkan masa pelatihan dan sudah mewarisi rahasia trik-trik sulapnya maka Omar pun berpamitan. Menjelang perpisahan, Omar bertanya pada Ethan. “Apakah kamu tahu kalau saya adalah anak Yaseer?” Ethan pun menjawab “Ya”. Yaseer adalah pesulap saingan Ethan yang juga adalah teman baiknya. Yaseer dengan sengaja telah mencelakakan Ethan saat dia mengadakan pertunjukan sulapnya. Yaseer telah membuat Ethan tak berdaya dan menderita. Tentu saja Omar sangat tercengang dan tidak menyangka kalau Ethan tahu siapa Omar yang sebenarnya. Disinilah letak kekuatan pesan film ini, yaitu mengajarkan kita untuk tidak terpuruk dengan penderitaan kita, tetapi bisa berbagi dan memaafkan, tidak menyimpan dendam yang hanya akan merugikan diri sendiri 'forgive quickly and love unconditionally'
Semoga kita bisa memetik hikmah dari tokoh fiktif Ethan ini, dalam 'pain' pun dia masih mau dan mampu menjadi cahaya bagi orang-orang lain yang sedang dalam kegelapan.
Yusiana
Published on August 19, 2011 06:56
April 21, 2011
Wawancara Dengan Majalah Kabari - San Francisco, California
Beberapa waktu lalu saya diwawancarai oleh Majalah Kabari.
Hasil wawancara selengkapnya bisa dilihati di Majalah Kabari, artikel nomor 36547
Hasil wawancara selengkapnya bisa dilihati di Majalah Kabari, artikel nomor 36547
Published on April 21, 2011 16:44
•
Tags:
california, kabari, majalah-kabari, san-francisco, wawancara
March 29, 2011
Review - A Thousand Splendid Suns - Khaled Hosseini
Wow, luar biasa!!!
Pemilihan kata-kata dan penyusunan kalimat bahasa Inggris yang sederhana tetapi sarat dengan makna. Rangkaian ceritanya mudah untuk dicerna dan mampu menyeret simpati pembaca terhadap para tokoh ceritanya, khususnya tokoh wanitanya yaitu Mariam dan Laila.
Sebagian besar settingnya di kota Kabul dengan latar belakang sejarah dari tahun 1970 sampai dengan awal tahun 2000; mulai dari invasi Rusia, Muhajidin, hingga ke Taliban.
Sebagai seorang wanita, hati saya tersayat saat membaca bagaimana kaum wanita di Afghanistan diperlakukan tidak adil terutama pada saat Taliban menguasai Afghanistan, yang mana hukum sariah Islam diberlakukan dengan keras, seperti keharusan wanita memakai burqa, tidak boleh bepergian sendiri dan harus selalu didampingi saudara laki-laki muhrimnya, tidak boleh bekerja di luar rumah, dirajam batu kalau ketahuan berjinah, dan sebagainya.
Suatu buku yang perlu dibaca bagi mereka yang tertarik untuk mengetahui tentang Afghanistan dan penerapan sariah Islam yang coba diberlakukan oleh kaum Taliban. Selain itu, karya Khaled Hosseini ini memang sangat bagus baik dari segi ceritanya maupun cara menceritakannya.
Pemilihan kata-kata dan penyusunan kalimat bahasa Inggris yang sederhana tetapi sarat dengan makna. Rangkaian ceritanya mudah untuk dicerna dan mampu menyeret simpati pembaca terhadap para tokoh ceritanya, khususnya tokoh wanitanya yaitu Mariam dan Laila.
Sebagian besar settingnya di kota Kabul dengan latar belakang sejarah dari tahun 1970 sampai dengan awal tahun 2000; mulai dari invasi Rusia, Muhajidin, hingga ke Taliban.
Sebagai seorang wanita, hati saya tersayat saat membaca bagaimana kaum wanita di Afghanistan diperlakukan tidak adil terutama pada saat Taliban menguasai Afghanistan, yang mana hukum sariah Islam diberlakukan dengan keras, seperti keharusan wanita memakai burqa, tidak boleh bepergian sendiri dan harus selalu didampingi saudara laki-laki muhrimnya, tidak boleh bekerja di luar rumah, dirajam batu kalau ketahuan berjinah, dan sebagainya.
Suatu buku yang perlu dibaca bagi mereka yang tertarik untuk mengetahui tentang Afghanistan dan penerapan sariah Islam yang coba diberlakukan oleh kaum Taliban. Selain itu, karya Khaled Hosseini ini memang sangat bagus baik dari segi ceritanya maupun cara menceritakannya.
Published on March 29, 2011 21:31
•
Tags:
afghanistan, burqa, khaled-hosseini, mujahidin, rusia, sariah-islam, taliban
March 19, 2011
Review - Of Bees and Mist - Erick Setiawan
"Of Bees and Mist" karya Erick Setiawan adalah sebuah buku yang patut dibaca karena punya nilai sastra dilihat dari pemilihan kata dan rangkaian kalimatnya; ceritanya menarik tentang drama keluarga yaitu hubungan antara suami istri, menantu dan mertua, sesama ipar. Yang menarik adalah cara Erick menyampaikan ceritanya yang selalu diliputi oleh misteri, yang mana misteri tersebut dibuka lembar demi lembar dalam rangkaian ceritanya. Setting (berdasarkan imajinasi penulis) tentang sebuah kota yang tidak ada lagi di jaman sekarang (mungkin di jaman dulu), membawa imajinasi pembaca tentang kehadiran kota tersebut. Dilatarbelakangi cerita-cerita tahayul yang dipercayai oleh sebagian besar orang Tionghoa membuat cerita ini aneh dan mistik, memberi nilai tambah buat novel ini. Erick Setiawan patut diberikan acungan dua jempol untuk novel "Of Bees and Mist". Bangga memiliki seorang penulis berasal dari Indonesia yang mampu membuat sebuah tulisan dalam bahasa Inggris yang patut dibaca oleh semua orang, termasuk oleh orang sastra.
Meskipun latar belakang pendidikannya adalah dibidang psikologi dan komputer tetapi Erick telah menghasilkan karya sastra yang sebanding dengan karya-karya Amy Tan. Menurut saya ini hanya bisa terjadi karena Erick adalah 'gifted writer'.
Catatan: bila ada kesempatan silakan baca novel aslinya yang dalam bahasa Inggris untuk lebih bisa menghargai pemilihan kata dan cara penulisannya; bukan hanya sekedar jalan ceritanya.
Meskipun latar belakang pendidikannya adalah dibidang psikologi dan komputer tetapi Erick telah menghasilkan karya sastra yang sebanding dengan karya-karya Amy Tan. Menurut saya ini hanya bisa terjadi karena Erick adalah 'gifted writer'.
Catatan: bila ada kesempatan silakan baca novel aslinya yang dalam bahasa Inggris untuk lebih bisa menghargai pemilihan kata dan cara penulisannya; bukan hanya sekedar jalan ceritanya.
Published on March 19, 2011 17:18
•
Tags:
erick-setiawan, gifted-writer, karya-sastra, mistik, of-bees-and-mist, sastra, tahayul
March 10, 2011
No Third-Class Carriages
"The great secret...is not having bad manners or good manners...but having the same manner for all human souls: in short, behaving as if you were in HEAVEN, where there are no third-class carriages, and one soul is as good as another".
Suatu rahasia....bukan karena buruk atau baik tatakramanya....tetapi memiliki tatakrama yang sama untuk semua manusia; singkatnya, berperilaku seakan kamu ada di surga, di mana tidak ada penumpang kereta kelas tiga, seorang manusia yang satu sama baiknya dengan manusia yang lain. Dikutip dari
"Pygmalion"
karya
George Bernard Shaw
.
Pada saat berkunjung ke London, saya suka menyaksikan pementasan drama di West End, daerah Soho, salah satunya yang berkesan mendalam di hati saya adalah 'Pygmalion' karya George Bernard Shaw, yang di kemudian hari judulnya diubah menjadi "My Fair Lady" ; George Bernard Shaw adalah seorang penulis drama di Inggris yang peduli dengan masyarakat kelas bawah. Inti dari cerita 'Pygmalion' adalah transformasi seorang gadis jelata, pedagang asongan bunga di Covent Garden, London, yang cara bicaranya seronok dan tingkah lakunya kampungan menjadi seorang 'lady' wanita bangsawan. Pertemuan yang tidak disengaja antara Eliza dengan profesor Higgins menjadi tontonan yang menarik tatkala profesor Higgins merasa tertantang untuk mengubah logat udik dan tata krama Eliza menjadi seorang 'lady' bak keturunan bangsawati Inggris sejati. Banyak orang menganggap profesor Higgins telah mengambil sebuah 'mission impossible' tugas mustahil, tetapi pada akhirnya jadilah Eliza seorang 'lady' yang bisa mengecoh siapa saja, termasuk para kalangan bangsawan Inggris, yang tidak mengetahui latar belakang kehidupannya, akan menyangka bahwa Eliza adalah gadis dari keturunan yang berdarah biru. Kesimpulan cerita drama ini adalah "siapa saja" bisa menjadi seseorang yang istimewa bila kita memberikan kesempatan padanya.
Saya mengenal seorang immigrant yang datang dari daratan Cina yang bekerja sebagai tukang bangunan di Chicago area; sebenarnya dia adalah seorang yang menyandang pendidikan sebagai insinyur mesin 'Mechanical Engineer' yang berpengalaman dan handal di negara asalnya, tetapi dia memilih jadi tukang bangunan karena kesulitan mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan pendidikan dan latar belakangnya. Seorang teman merekomendasi Ching (bukan nama sebenarnya) untuk merenovasi rumah karena hasil kerjanya bagus dan tarifnya relatif lebih murah. Rekomendasi itu memang benar adanya, saya puas dengan hasil kerjanya dari beberapa proyek yang telah diselesaikannya. Dengan berjalannya waktu, Ching semakin sibuk karena banyak orang memintanya untuk merenovasi rumah mereka sehingga harus 'booking' memesan beberapa bulan di muka untuk bisa memakai jasanya.
Ching tadinya hanya bekerja seorang diri, kemudian bisnisnya menjadi semakin maju karena iklan positif dari mulut ke mulut, akhirnya usahanya lebih dikembangkan dan berkesempatan untuk berbagi rejeki dengan orang lain. Dia membawa beberapa tenaga tambahan, salah satunya adalah Julio (bukan nama sebenarnya). Saya menanyakan kepada Ching darimana dia mendapatkan Julio karena Julio bukan dari Cina tetapi seorang immigrant dari Mexico. "Saya menemukan Julio di pinggir jalan", jawab Ching dengan ringannya.
Saya memperlakukan Ching dan rekan-rekan kerjanya dengan baik, menghindari sikap untuk berburuk sangka (prejudice) dan menjauhkan pikiran untuk menghakimi mereka (Who am I to judge?) sehingga Julio merasa nyaman dan mempercayai saya dan keluarga. Dia menceritakan kisah hidupnya yang tragis yang mana ibunya membunuh ayahnya, lalu bunuh diri karena tekanan ekonomi yang sangat berat, merasa sangat berputus asa dan tidak tahu lagi jalan keluarnya. Julio kemudian menjadi sebatang kara dan lari ke Amerika Serikat untuk menemui pamannya yang telah lama mengembara dan tinggal di USA. Sungguh menyentuh hati kisah perjalanan Julio yang menjadi yatim piatu dalam usia muda, dari Mexico, harus menyeberangi dataran tandus dan kering di Arizona dan sempat terlunta-lunta sampai bertemu dengan pamannya.
Bertahun-tahun telah berlalu saya tetap berlangganan dengan Ching dalam urusan merenovasi rumah yang hampir setiap tahun selalu ada saja perubahan atau tambahan. Sungguh saya menaruh rasa hormat terhadap Ching karena dengan sabarnya dia mendidik dan melatih Julio hingga Julio sekarang ini menjadi pekerja yang trampil. Waktu pertama kali datang dahulu, Julio hanya bermodalkan tenaga dan otot saja tanpa "skill" keahlian, sekarang dia sudah dipercaya oleh Ching untuk menyelesaikan pekerjaan yang biasanya dikerjakan oleh Ching tanpa harus diawasi; hasilnya pun bagus dan bermutu. Julio adalah 'protege' yang terus dilatih oleh Ching hingga akhirnya menjadi tenaga kerja yang handal.
Dari berbagai berita tentang immigrant, ataupun yang terjadi di seputar kehidupan kita, baik di lingkungan rumah ataupun di tempat kerja, ada kalanya kita mendapati bahwa sebagian kelompok masyarakat Amerika Serikat merasa Amerika adalah miliknya dan tidak ingin membuka pintu untuk para immigrant yang baru datang. Mereka lupa bahwa nenek moyang bangsa Amerika adalah juga dari kalangan para immigrant yang datang dari berbagai negara lain; bukan hanya itu saja, immigrant juga sering diperlakukan sebagai 'aliens' orang asing yang membahayakan, yang berpotensi menjadi teroris, yang menggerogoti hasil pajak negara, yang menumpang hidup dan fasilitas dari orang Amerika, yang merusak pasar tenaga kerja, dan sebagainya. Para immigrant sering kali dianggap sebagai ancaman dan tidak diperlakukan sebagai "person with dignity and rights" manusia yang punya harga diri dan hak. Perlakuan sebagian masyarakat juga sering merefleksikan kegagalan untuk saling mengerti akan kebutuhan 'unity of the human family' kebersamaan sebagai manusia, bahkan ada yang mendewa-dewakan bangsanya (chauvinism) yang akhirnya menjurus pada sikap berburuk sangka dan diskriminasi.
Semoga kedua illustrasi di atas yaitu Eliza, tokoh dalam drama "Pygmalion" dan Julio, tokoh dalam kisah nyata, menginspirasikan kita untuk memberikan kesempatan bagi mereka yang membutuhkannya. We Are One Without Distinction. Kita adalah sama tanpa ada perbedaan. Hendaknya kita selalu mawas diri akan tindakan-tindakan kita terhadap para pendatang atau yang dianggap sebagai orang asing di mana pun kita berada; hindarkan sikap berburuk sangka dan menghakimi mereka.
Pada saat berkunjung ke London, saya suka menyaksikan pementasan drama di West End, daerah Soho, salah satunya yang berkesan mendalam di hati saya adalah 'Pygmalion' karya George Bernard Shaw, yang di kemudian hari judulnya diubah menjadi "My Fair Lady" ; George Bernard Shaw adalah seorang penulis drama di Inggris yang peduli dengan masyarakat kelas bawah. Inti dari cerita 'Pygmalion' adalah transformasi seorang gadis jelata, pedagang asongan bunga di Covent Garden, London, yang cara bicaranya seronok dan tingkah lakunya kampungan menjadi seorang 'lady' wanita bangsawan. Pertemuan yang tidak disengaja antara Eliza dengan profesor Higgins menjadi tontonan yang menarik tatkala profesor Higgins merasa tertantang untuk mengubah logat udik dan tata krama Eliza menjadi seorang 'lady' bak keturunan bangsawati Inggris sejati. Banyak orang menganggap profesor Higgins telah mengambil sebuah 'mission impossible' tugas mustahil, tetapi pada akhirnya jadilah Eliza seorang 'lady' yang bisa mengecoh siapa saja, termasuk para kalangan bangsawan Inggris, yang tidak mengetahui latar belakang kehidupannya, akan menyangka bahwa Eliza adalah gadis dari keturunan yang berdarah biru. Kesimpulan cerita drama ini adalah "siapa saja" bisa menjadi seseorang yang istimewa bila kita memberikan kesempatan padanya.
Saya mengenal seorang immigrant yang datang dari daratan Cina yang bekerja sebagai tukang bangunan di Chicago area; sebenarnya dia adalah seorang yang menyandang pendidikan sebagai insinyur mesin 'Mechanical Engineer' yang berpengalaman dan handal di negara asalnya, tetapi dia memilih jadi tukang bangunan karena kesulitan mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan pendidikan dan latar belakangnya. Seorang teman merekomendasi Ching (bukan nama sebenarnya) untuk merenovasi rumah karena hasil kerjanya bagus dan tarifnya relatif lebih murah. Rekomendasi itu memang benar adanya, saya puas dengan hasil kerjanya dari beberapa proyek yang telah diselesaikannya. Dengan berjalannya waktu, Ching semakin sibuk karena banyak orang memintanya untuk merenovasi rumah mereka sehingga harus 'booking' memesan beberapa bulan di muka untuk bisa memakai jasanya.
Ching tadinya hanya bekerja seorang diri, kemudian bisnisnya menjadi semakin maju karena iklan positif dari mulut ke mulut, akhirnya usahanya lebih dikembangkan dan berkesempatan untuk berbagi rejeki dengan orang lain. Dia membawa beberapa tenaga tambahan, salah satunya adalah Julio (bukan nama sebenarnya). Saya menanyakan kepada Ching darimana dia mendapatkan Julio karena Julio bukan dari Cina tetapi seorang immigrant dari Mexico. "Saya menemukan Julio di pinggir jalan", jawab Ching dengan ringannya.
Saya memperlakukan Ching dan rekan-rekan kerjanya dengan baik, menghindari sikap untuk berburuk sangka (prejudice) dan menjauhkan pikiran untuk menghakimi mereka (Who am I to judge?) sehingga Julio merasa nyaman dan mempercayai saya dan keluarga. Dia menceritakan kisah hidupnya yang tragis yang mana ibunya membunuh ayahnya, lalu bunuh diri karena tekanan ekonomi yang sangat berat, merasa sangat berputus asa dan tidak tahu lagi jalan keluarnya. Julio kemudian menjadi sebatang kara dan lari ke Amerika Serikat untuk menemui pamannya yang telah lama mengembara dan tinggal di USA. Sungguh menyentuh hati kisah perjalanan Julio yang menjadi yatim piatu dalam usia muda, dari Mexico, harus menyeberangi dataran tandus dan kering di Arizona dan sempat terlunta-lunta sampai bertemu dengan pamannya.
Bertahun-tahun telah berlalu saya tetap berlangganan dengan Ching dalam urusan merenovasi rumah yang hampir setiap tahun selalu ada saja perubahan atau tambahan. Sungguh saya menaruh rasa hormat terhadap Ching karena dengan sabarnya dia mendidik dan melatih Julio hingga Julio sekarang ini menjadi pekerja yang trampil. Waktu pertama kali datang dahulu, Julio hanya bermodalkan tenaga dan otot saja tanpa "skill" keahlian, sekarang dia sudah dipercaya oleh Ching untuk menyelesaikan pekerjaan yang biasanya dikerjakan oleh Ching tanpa harus diawasi; hasilnya pun bagus dan bermutu. Julio adalah 'protege' yang terus dilatih oleh Ching hingga akhirnya menjadi tenaga kerja yang handal.
Dari berbagai berita tentang immigrant, ataupun yang terjadi di seputar kehidupan kita, baik di lingkungan rumah ataupun di tempat kerja, ada kalanya kita mendapati bahwa sebagian kelompok masyarakat Amerika Serikat merasa Amerika adalah miliknya dan tidak ingin membuka pintu untuk para immigrant yang baru datang. Mereka lupa bahwa nenek moyang bangsa Amerika adalah juga dari kalangan para immigrant yang datang dari berbagai negara lain; bukan hanya itu saja, immigrant juga sering diperlakukan sebagai 'aliens' orang asing yang membahayakan, yang berpotensi menjadi teroris, yang menggerogoti hasil pajak negara, yang menumpang hidup dan fasilitas dari orang Amerika, yang merusak pasar tenaga kerja, dan sebagainya. Para immigrant sering kali dianggap sebagai ancaman dan tidak diperlakukan sebagai "person with dignity and rights" manusia yang punya harga diri dan hak. Perlakuan sebagian masyarakat juga sering merefleksikan kegagalan untuk saling mengerti akan kebutuhan 'unity of the human family' kebersamaan sebagai manusia, bahkan ada yang mendewa-dewakan bangsanya (chauvinism) yang akhirnya menjurus pada sikap berburuk sangka dan diskriminasi.
Semoga kedua illustrasi di atas yaitu Eliza, tokoh dalam drama "Pygmalion" dan Julio, tokoh dalam kisah nyata, menginspirasikan kita untuk memberikan kesempatan bagi mereka yang membutuhkannya. We Are One Without Distinction. Kita adalah sama tanpa ada perbedaan. Hendaknya kita selalu mawas diri akan tindakan-tindakan kita terhadap para pendatang atau yang dianggap sebagai orang asing di mana pun kita berada; hindarkan sikap berburuk sangka dan menghakimi mereka.
Published on March 10, 2011 13:03
•
Tags:
buruk-sangka, carriages, eliza, george-bernard-shaw, higgins, immigrant, lady, my-fair-lady, prejudice, pygmalion, third-class
March 3, 2011
Liputan tentang Yusiana Basuki di VOA (Voice Of America)
Beberapa waktu lalu saya diwawancarai oleh VOA (Voice Of America). Berikut ini adalah link-nya tentang liputan tersebut: Liputan Yusiana Basuki di VOA (Voice Of America)
Published on March 03, 2011 08:05
•
Tags:
liputan, voa, voice-of-america, yusiana-basuki
March 1, 2011
Strangers In The Dark
Dalam beberapa bulan terakhir ini, saya sering menyaksikan tayangan televisi atau membaca berita tentang masalah imigrasi di Amerika Serikat, terutama yang menyangkut dengan
'illegal immigrant'
pendatang haram. Berita hangat terakhir adalah hukum yang coba diterapkan di Arizona yang membatasi ruang gerak para pendatang haram di Arizona. Di Carpentersville, dimana saya tinggal, juga sedang ramai mendiskusikan masalah tersebut. Mereka membicarakan apakah perlu untuk mengadakan pemungutan suara untuk membuat 'village ordinance' peraturan desa dalam menangani pendatang haram. Dua usulan yang diajukan adalah: pertama, mengenakan hukuman bagi mereka yang memperkerjakan pendatang haram. Kedua, memberi hukuman bagi para pemilik apartment/rumah yang menyewakan tempatnya untuk pendatang haram. Hal ini dilakukan untuk membatasi ruang gerak pendatang haram. Seperti biasa kalau pengurus desa mendiskusikan usulan baru, banyak yang pro dan kontra. Hingga saat ini belum diputuskan apakah usulan itu akan diterima atau tidak.
Ada seribu satu alasan mengapa orang berimigrasi , baik ke Amerika Serikat ataupun ke negara lainnya. Mungkin karena faktor keluarga, ekonomi, sosial politik, agama, kekacauan masyarakat, bencana alam, peperangan, ataupun yang lainnya. Masih segar dalam ingatan saya, setelah peristiwa Mei 1998, banyak orang Indonesia yang berketurunan Cina berimigrasi ke berbagai negara, termasuk ke Amerika Serikat karena mereka merasa tidak mendapatkan jaminan keamanan bila terus menetap di Indonesia. Saya juga mengetahui bahwa banyak terjadi peperangan dan kekeringan yang mengenaskan di negara-negara Afrika, kekacauan politik dan peperangan di Timur Tengah; bencana alam yang dahsyat di Asia; kesulitan ekonomi yang parah di Amerika Selatan; serta kejadian-kejadian lain di berbagai belahan dunia. Mereka berimigrasi untuk mencari tempat yang lebih baik, yang lebih aman dan tenteram dalam menjalani hidup ini.
Sebagai orang yang baru berimigrasi, tentunya mereka menghadapi berbagai masalah di tempat yang baru. Dari kesulitan untuk mendapatkan tempat berteduh, memperoleh pekerjaan untuk membiayai diri sendiri dan keluarga, budaya yang berbeda serta proses beradaptasi, perlakuan masyarakat lokal yang tidak menyukainya, hingga masalah hukum dari pemerintah setempat. Saya terinspirasi untuk menulis kutipan berikut ini: "Maybe the purpose of being here, wherever we are, is to increase the durability and the occasions of love among and between people." -June Jordan . Mungkin alasan kita berada, di mana pun kita berada, untuk meningkatkan kasih dan kesempatan untuk saling mengasihi antara sesama manusia.
Saya bukan seorang politikus dan tidak tertarik dengan masalah politik, tetapi terinspirasi oleh kutipan di atas, selayaknya kita berbelas kasih bagi mereka yang masih dalam perjalanan untuk meraih harapan yang menjadi alasan utama mereka datang ke Amerika Serikat. Oleh karena itu, marilah membuka tangan dan hati kita buat mereka, yang sama sekali tidak kita kenal, 'strangers in the dark' , meskipun hanya dalam bentuk doa hingga mereka bisa mendapatkan tempat kehidupan yang lebih layak. Semoga Tuhan selalu dijadikan penuntun bagi mereka yang sedang mengarungi kehidupan yang penuh dengan ujian dan tantangan supaya mencapai tujuan dan meraih kehidupan yang lebih baik.
Ada seribu satu alasan mengapa orang berimigrasi , baik ke Amerika Serikat ataupun ke negara lainnya. Mungkin karena faktor keluarga, ekonomi, sosial politik, agama, kekacauan masyarakat, bencana alam, peperangan, ataupun yang lainnya. Masih segar dalam ingatan saya, setelah peristiwa Mei 1998, banyak orang Indonesia yang berketurunan Cina berimigrasi ke berbagai negara, termasuk ke Amerika Serikat karena mereka merasa tidak mendapatkan jaminan keamanan bila terus menetap di Indonesia. Saya juga mengetahui bahwa banyak terjadi peperangan dan kekeringan yang mengenaskan di negara-negara Afrika, kekacauan politik dan peperangan di Timur Tengah; bencana alam yang dahsyat di Asia; kesulitan ekonomi yang parah di Amerika Selatan; serta kejadian-kejadian lain di berbagai belahan dunia. Mereka berimigrasi untuk mencari tempat yang lebih baik, yang lebih aman dan tenteram dalam menjalani hidup ini.
Sebagai orang yang baru berimigrasi, tentunya mereka menghadapi berbagai masalah di tempat yang baru. Dari kesulitan untuk mendapatkan tempat berteduh, memperoleh pekerjaan untuk membiayai diri sendiri dan keluarga, budaya yang berbeda serta proses beradaptasi, perlakuan masyarakat lokal yang tidak menyukainya, hingga masalah hukum dari pemerintah setempat. Saya terinspirasi untuk menulis kutipan berikut ini: "Maybe the purpose of being here, wherever we are, is to increase the durability and the occasions of love among and between people." -June Jordan . Mungkin alasan kita berada, di mana pun kita berada, untuk meningkatkan kasih dan kesempatan untuk saling mengasihi antara sesama manusia.
Saya bukan seorang politikus dan tidak tertarik dengan masalah politik, tetapi terinspirasi oleh kutipan di atas, selayaknya kita berbelas kasih bagi mereka yang masih dalam perjalanan untuk meraih harapan yang menjadi alasan utama mereka datang ke Amerika Serikat. Oleh karena itu, marilah membuka tangan dan hati kita buat mereka, yang sama sekali tidak kita kenal, 'strangers in the dark' , meskipun hanya dalam bentuk doa hingga mereka bisa mendapatkan tempat kehidupan yang lebih layak. Semoga Tuhan selalu dijadikan penuntun bagi mereka yang sedang mengarungi kehidupan yang penuh dengan ujian dan tantangan supaya mencapai tujuan dan meraih kehidupan yang lebih baik.
Published on March 01, 2011 06:49
•
Tags:
cinta, damai, imigrasi, immigrant, june-jordan, kasih-sayang, love, peace, stranger
February 24, 2011
Love Is Accepting Each Other's Differences
Sewaktu mengantar anak saya ke sekolah, secara tidak sengaja saya melihat poster di pintu ruangan kelas anak saya yang bertuliskan
"Love is accepting each other's differences."
Cinta adalah menerima perbedaan-perbedaan yang ada.
Saya termenung dengan kalimat itu karena selama ini perbedaan-perbedaan itulah yang menjadi sumber pemicu dari suatu pertikaian atau kerusuhan.
Misalnya, di Indonesia suatu kerusuhan biasanya di awali oleh karena adanya perbedaan suku, agama atau pun faktor asal/keturunan, atau di mana saja di belahan bumi ini seperti Pakistan memisahkan diri dari India karena perbedaan agama. Kasus Israel dan Palestina juga disebabkan oleh perbedaan agama yang membuat mereka tidak bisa hidup berdampingan dengan damai. Dan masih banyak lagi masalah-masalah lain yang didasari karena adanya perbedaan-perbedaan di antara mereka.
Di tempat kerja pun soal perbedaan-perbedaan ini juga sering menimbulkan masalah. Dari beberapa staff yang bekerja untuk saya, ada dua orang yang sangat handal sehingga kalau saya tidak masuk kerja pun akan merasa tenang karena dengan penuh keyakinan bahwa semua rutinitas pekerjaan akan berjalan dengan baik. Dua wanita ini memiliki suatu pribadi yang bertolak belakang satu sama lainnya. Hillary (bukan nama sebenarnya) adalah seorang wanita yang memiliki disiplin tinggi, tegas dan cenderung kaku. Nancy (bukan nama sebenarnya) adalah seorang wanita yang memiliki sifat compromise, berhati lembut dan berperasaan peka. Saya membutuhkan kedua assistant tersebut karena keduanya memiliki perbedaan sifat-sifat yang menonjol yang berguna untuk menjalankan team yang saya kelola. Pada saat saya harus berhadapan dengan orang tua murid, biasanya saya akan mendelegasikan salah satu di antara mereka tergantung dari karakter orang tua murid yang akan dihadapi, apakah perlu disikapi secara tegas atau akan diajak compromise. Kerja sama.
Sifat mereka yang bertolak belakang tersebut juga sering mengakibatkan perselisihan diantara mereka yang pada akhirnya harus melibatkan saya untuk turun tangan menjadi penengah dalam menyelesaikan perselisihan mereka. Belum lama ini terjadi lagi kesalahpahaman di antara mereka sehingga Hillary minta dipindahkan ke site lain. Tentu saja saya tidak menyetujui permintaannya tersebut. Saya tidak ingin kehilangan salah satu dari mereka. Kami pun mengadakan pembicaraan enam mata antara saya, Hillary dan Nancy. Pada saat kami membicarakan masalah mereka, saya teringat dengan kalimat di pintu ruangan kelas anak saya, lalu saya pun mengutip kalimat tersebut "Love is accepting each other's differences." Sewaktu mengucapkan kalimat tersebut mereka memandang saya dengan bingung, mungkin mereka berpikir "What are you talking about?" Apa yang kamu bicarakan? Lalu entah dari mana saya bisa memberi ceramah terhadap mereka bahwa "differences makes our life unique, colorful and more chalenging". Perbedaan-perbedaan membuat hidup kita unik, bervariasi dan lebih menantang. Saya pun membicarakan bahwa dengan perbedaan-perbedaan yang ada kita bisa saling mengisi dan bisa menghasilkan suatu kekuatan baru. Saya juga mengatakan pada mereka agar jangan hanya berfokus terhadap perbedaan dari segi negatifnya saja tetapi justru melihat perbedaan dari segi positifnya. Kalaupun sampai tidak bisa menerima ataupun setuju dengan perbedaan yang ada, setidaknya menghormati sikap, perilaku dan pandangan mereka satu sama lainnya. Entah mereka mengerti apa yang saya katakan atau karena ada faktor lain, sejak kami membicarakan soal "love is accepting each other's differences", sikap diantara mereka pun berubah satu sama lainnya. Hillary tidak lagi "menyerang" dengan sikap kaku dan tegasnya yang selama ini sering menyinggung perasaan Nancy yang memang peka perasaannya. Nancy pun berubah dengan tidak lagi menjadi terlalu peka terhadap sikap dan perilaku Hillary yang kaku; seakan-akan telah terjadi suatu pengertian diantara mereka; "accepting each other's differences." Bisa menerima perbedaan-perbedaan yang ada.
Lalu saya pun berandai-andai, kalau saja di dalam hidup ini kita bisa menerapkan sikap yang telah diambil oleh Hillary dan Nancy; yang akhirnya bisa menerima perbedaan-perbedaan yang mereka miliki dan pada akhirnya timbul rasa saling pengertian di antara keduanya, maka banyak hal positif yang bisa kita raih, misalnya: suami istri bisa menjalani hidup ini dengan lebih bahagia dan akan mengurangi tingkat perceraian; hubungan antara orang tua dan anak-anak akan menjadi lebih harmonis; kerukunan antar suku, agama, dan ras yang berbeda bisa tercapai. Tidak akan ada lagi peperangan yang terjadi di dunia ini, dan sebagainya, dan sebagainya. Apakah saya sedang bermimpi? Ataukah angan-angan ini bisa menjadi suatu kenyataan kalau saja kita menjalani hidup ini dengan berdasarkan "love is accepting each other's differences?"
Di tempat kerja pun soal perbedaan-perbedaan ini juga sering menimbulkan masalah. Dari beberapa staff yang bekerja untuk saya, ada dua orang yang sangat handal sehingga kalau saya tidak masuk kerja pun akan merasa tenang karena dengan penuh keyakinan bahwa semua rutinitas pekerjaan akan berjalan dengan baik. Dua wanita ini memiliki suatu pribadi yang bertolak belakang satu sama lainnya. Hillary (bukan nama sebenarnya) adalah seorang wanita yang memiliki disiplin tinggi, tegas dan cenderung kaku. Nancy (bukan nama sebenarnya) adalah seorang wanita yang memiliki sifat compromise, berhati lembut dan berperasaan peka. Saya membutuhkan kedua assistant tersebut karena keduanya memiliki perbedaan sifat-sifat yang menonjol yang berguna untuk menjalankan team yang saya kelola. Pada saat saya harus berhadapan dengan orang tua murid, biasanya saya akan mendelegasikan salah satu di antara mereka tergantung dari karakter orang tua murid yang akan dihadapi, apakah perlu disikapi secara tegas atau akan diajak compromise. Kerja sama.
Sifat mereka yang bertolak belakang tersebut juga sering mengakibatkan perselisihan diantara mereka yang pada akhirnya harus melibatkan saya untuk turun tangan menjadi penengah dalam menyelesaikan perselisihan mereka. Belum lama ini terjadi lagi kesalahpahaman di antara mereka sehingga Hillary minta dipindahkan ke site lain. Tentu saja saya tidak menyetujui permintaannya tersebut. Saya tidak ingin kehilangan salah satu dari mereka. Kami pun mengadakan pembicaraan enam mata antara saya, Hillary dan Nancy. Pada saat kami membicarakan masalah mereka, saya teringat dengan kalimat di pintu ruangan kelas anak saya, lalu saya pun mengutip kalimat tersebut "Love is accepting each other's differences." Sewaktu mengucapkan kalimat tersebut mereka memandang saya dengan bingung, mungkin mereka berpikir "What are you talking about?" Apa yang kamu bicarakan? Lalu entah dari mana saya bisa memberi ceramah terhadap mereka bahwa "differences makes our life unique, colorful and more chalenging". Perbedaan-perbedaan membuat hidup kita unik, bervariasi dan lebih menantang. Saya pun membicarakan bahwa dengan perbedaan-perbedaan yang ada kita bisa saling mengisi dan bisa menghasilkan suatu kekuatan baru. Saya juga mengatakan pada mereka agar jangan hanya berfokus terhadap perbedaan dari segi negatifnya saja tetapi justru melihat perbedaan dari segi positifnya. Kalaupun sampai tidak bisa menerima ataupun setuju dengan perbedaan yang ada, setidaknya menghormati sikap, perilaku dan pandangan mereka satu sama lainnya. Entah mereka mengerti apa yang saya katakan atau karena ada faktor lain, sejak kami membicarakan soal "love is accepting each other's differences", sikap diantara mereka pun berubah satu sama lainnya. Hillary tidak lagi "menyerang" dengan sikap kaku dan tegasnya yang selama ini sering menyinggung perasaan Nancy yang memang peka perasaannya. Nancy pun berubah dengan tidak lagi menjadi terlalu peka terhadap sikap dan perilaku Hillary yang kaku; seakan-akan telah terjadi suatu pengertian diantara mereka; "accepting each other's differences." Bisa menerima perbedaan-perbedaan yang ada.
Lalu saya pun berandai-andai, kalau saja di dalam hidup ini kita bisa menerapkan sikap yang telah diambil oleh Hillary dan Nancy; yang akhirnya bisa menerima perbedaan-perbedaan yang mereka miliki dan pada akhirnya timbul rasa saling pengertian di antara keduanya, maka banyak hal positif yang bisa kita raih, misalnya: suami istri bisa menjalani hidup ini dengan lebih bahagia dan akan mengurangi tingkat perceraian; hubungan antara orang tua dan anak-anak akan menjadi lebih harmonis; kerukunan antar suku, agama, dan ras yang berbeda bisa tercapai. Tidak akan ada lagi peperangan yang terjadi di dunia ini, dan sebagainya, dan sebagainya. Apakah saya sedang bermimpi? Ataukah angan-angan ini bisa menjadi suatu kenyataan kalau saja kita menjalani hidup ini dengan berdasarkan "love is accepting each other's differences?"
Published on February 24, 2011 12:27
•
Tags:
agama, bhineka-tungal-ika, differences, love, peace, ras, suku
February 18, 2011
Freedom Writer
Musim dingin di Chicago tahun ini buruk sekali. Dua minggu yang lalu badai salju menerjang Chicago dan daerah sekitarnya. Selama dua hari arus lalu lintas serasa lumpuh karena kondisi jalan yang membahayakan sehingga orang-orang memilih tinggal di rumah. Udara yang teramat dingin terasa menyilet kulit dan juga mempengaruhi suasana hati menjadi terasa dingin (blue).
Sebagaimana cuaca di Chicago yang tidak selalu mulus, begitu pula hidup kita tidak selamanya berjalan dengan mulus, ada kalanya di dalam perjalanan hidup manusia akan mengalami perasaan yang naik turun seperti suhu udara di Chicago, dari dingin ke panas dan sebaliknya. Di saat seperti itu terkadang kita ingin berhenti sejenak dan termenung serta melupakan semua peristiwa yang terjadi dalam hidup kita. Saya yakin bahwa saya tidak sendirian dalam merasakan suasana hati yang seperti ini, hampir setiap orang, sesekali pernah mengalami perasaan merana; harus melalui jalan yang berliku, terjal, dan licin; tidak jarang sampai tersandung dan terpuruk. Perasaan seperti itulah yang terkadang saya rasakan di musim dingin selama tinggal di Chicago. Matahari terbit sekitar pukul 7 pagi dan tenggelam sekitar jam 5 sore. Biasanya sinar matahari yang cerah bisa membuat suasana hati pun terasa cerah. Disaat suasana hati sedang blue, ada beberapa hal yang suka saya lakukan untuk mencerahkan dan mengangkat mood agar bisa berjalan normal kembali, diantaranya:
1. Membaca adalah salah satu yang bisa menghangatkan kembali perasaan. Selama dua hari setelah badai salju berlalu, saya duduk di ruang favorit saya, yaitu di sudut ruang keluarga membaca novel Dan Brown, "The Lost Symbol" dengan secangkir kopi panas dan tahu/tempe goreng yang hangat.
2. Berkomunikasi dengan Allah melalui doa dengan mengungkapkan kegundahan hati yang hanya bisa saya utarakan dengan bebas kepadaNya dan yakin tidak akan bocor dan menjadi gosip hangat ;-).
3. Menonton film adalah salah satu hobi saya yang biasanya di akhir cerita saya bisa memetik hikmah dari tema film yang saya tonton. Belum lama ini saya menyaksikan film yang cukup menarik yang dibintangi Hillary Swank berjudul "Freedom Writer" yang berdasarkan kisah nyata. Cerita seorang guru muda yang berusaha untuk menyelamatkan murid-muridnya yang sudah tidak memiliki harapan atau masa depan cerah. Murid-muridnya terdiri dari berbagai keturunan: black, white, hispanic, asian, dll, yang berlokasi di Long Beach, California. Guru tersebut harus bekerja di 2 tempat sepulang mengajar, yaitu sebagai penjaga toko dan concierge di hotel supaya bisa mengumpulkan uang agar bisa memberikan bahan-bahan untuk pengajaran yang tidak disediakan oleh sekolahnya. Murid-muridnya kebanyakan adalah anggota suatu gang yang hidupnya selalu merasa terancam dari hari ke hari. Dengan menggunakan uang pribadi, sang guru berusaha membuka mata murid-muridnya tersebut melalui buku-buku bacaan, field trip ke museum dan sebagainya. Tujuannya adalah supaya mereka menyadari bahwa di dunia luar sana begitu banyak harapan atau kesempatan, jangan tenggelam dengan mengasihani dan menyalahkan diri sendiri atau siapa saja karena hidup mereka berada di lingkungan yang kurang menguntungkan. Di akhir cerita, si guru berhasil memotivasi murid-muridnya sehingga berhasil lulus SMA dan bahkan sebagian dari mereka ada yang melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Tema dari cerita tersebut kalau diambil benang merahnya: "unselfishness to serve or help others." Sikap tidak mementingkan diri sendiri dan keinginan untuk menolong sesama.
Menonton film tersebut membuat saya menjadi malu sendiri. Saya yang hanya mengurusi anak-anak dan rumah, dan bekerja paruh waktu terkadang merasa nelangsa. Di luar sana, seperti yang digambarkan "Freedom Writer" yang berdasarkan kisah nyata, begitu banyak anak-anak malang yang hidup di lingkungan yang kurang menguntungkan, anak-anak yang hidup di jalanan atau pun menjadi anggota gang, orang tua atau saudaranya dipenjara karena kasus kriminal, teman-temannya tertembak mati karena perang antar gang. Dalam film tersebut ada yang baik yang perlu kita tiru: jangan biarkan diri kita down oleh karena berada di lingkungan yang kurang mendukung atau pun sepelenya hanya karena cuaca musim dingin yang buruk. Singkat kata, jangan mudah tenggelam oleh masalah diri sendiri. Dengan berpikir positif maka hasilnya akan menjadi positif pula. Boleh boleh saja kita nelangsa, tapi jangan biarkan kita terlena berkepanjangan dengan mood seperti ini, tetapi segera bangkit dan berusaha untuk membuat hidup ini menjadi lebih layak dan berharga untuk dijalani.
Sebagaimana cuaca di Chicago yang tidak selalu mulus, begitu pula hidup kita tidak selamanya berjalan dengan mulus, ada kalanya di dalam perjalanan hidup manusia akan mengalami perasaan yang naik turun seperti suhu udara di Chicago, dari dingin ke panas dan sebaliknya. Di saat seperti itu terkadang kita ingin berhenti sejenak dan termenung serta melupakan semua peristiwa yang terjadi dalam hidup kita. Saya yakin bahwa saya tidak sendirian dalam merasakan suasana hati yang seperti ini, hampir setiap orang, sesekali pernah mengalami perasaan merana; harus melalui jalan yang berliku, terjal, dan licin; tidak jarang sampai tersandung dan terpuruk. Perasaan seperti itulah yang terkadang saya rasakan di musim dingin selama tinggal di Chicago. Matahari terbit sekitar pukul 7 pagi dan tenggelam sekitar jam 5 sore. Biasanya sinar matahari yang cerah bisa membuat suasana hati pun terasa cerah. Disaat suasana hati sedang blue, ada beberapa hal yang suka saya lakukan untuk mencerahkan dan mengangkat mood agar bisa berjalan normal kembali, diantaranya:
1. Membaca adalah salah satu yang bisa menghangatkan kembali perasaan. Selama dua hari setelah badai salju berlalu, saya duduk di ruang favorit saya, yaitu di sudut ruang keluarga membaca novel Dan Brown, "The Lost Symbol" dengan secangkir kopi panas dan tahu/tempe goreng yang hangat.
2. Berkomunikasi dengan Allah melalui doa dengan mengungkapkan kegundahan hati yang hanya bisa saya utarakan dengan bebas kepadaNya dan yakin tidak akan bocor dan menjadi gosip hangat ;-).
3. Menonton film adalah salah satu hobi saya yang biasanya di akhir cerita saya bisa memetik hikmah dari tema film yang saya tonton. Belum lama ini saya menyaksikan film yang cukup menarik yang dibintangi Hillary Swank berjudul "Freedom Writer" yang berdasarkan kisah nyata. Cerita seorang guru muda yang berusaha untuk menyelamatkan murid-muridnya yang sudah tidak memiliki harapan atau masa depan cerah. Murid-muridnya terdiri dari berbagai keturunan: black, white, hispanic, asian, dll, yang berlokasi di Long Beach, California. Guru tersebut harus bekerja di 2 tempat sepulang mengajar, yaitu sebagai penjaga toko dan concierge di hotel supaya bisa mengumpulkan uang agar bisa memberikan bahan-bahan untuk pengajaran yang tidak disediakan oleh sekolahnya. Murid-muridnya kebanyakan adalah anggota suatu gang yang hidupnya selalu merasa terancam dari hari ke hari. Dengan menggunakan uang pribadi, sang guru berusaha membuka mata murid-muridnya tersebut melalui buku-buku bacaan, field trip ke museum dan sebagainya. Tujuannya adalah supaya mereka menyadari bahwa di dunia luar sana begitu banyak harapan atau kesempatan, jangan tenggelam dengan mengasihani dan menyalahkan diri sendiri atau siapa saja karena hidup mereka berada di lingkungan yang kurang menguntungkan. Di akhir cerita, si guru berhasil memotivasi murid-muridnya sehingga berhasil lulus SMA dan bahkan sebagian dari mereka ada yang melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Tema dari cerita tersebut kalau diambil benang merahnya: "unselfishness to serve or help others." Sikap tidak mementingkan diri sendiri dan keinginan untuk menolong sesama.
Menonton film tersebut membuat saya menjadi malu sendiri. Saya yang hanya mengurusi anak-anak dan rumah, dan bekerja paruh waktu terkadang merasa nelangsa. Di luar sana, seperti yang digambarkan "Freedom Writer" yang berdasarkan kisah nyata, begitu banyak anak-anak malang yang hidup di lingkungan yang kurang menguntungkan, anak-anak yang hidup di jalanan atau pun menjadi anggota gang, orang tua atau saudaranya dipenjara karena kasus kriminal, teman-temannya tertembak mati karena perang antar gang. Dalam film tersebut ada yang baik yang perlu kita tiru: jangan biarkan diri kita down oleh karena berada di lingkungan yang kurang mendukung atau pun sepelenya hanya karena cuaca musim dingin yang buruk. Singkat kata, jangan mudah tenggelam oleh masalah diri sendiri. Dengan berpikir positif maka hasilnya akan menjadi positif pula. Boleh boleh saja kita nelangsa, tapi jangan biarkan kita terlena berkepanjangan dengan mood seperti ini, tetapi segera bangkit dan berusaha untuk membuat hidup ini menjadi lebih layak dan berharga untuk dijalani.
Published on February 18, 2011 08:48
•
Tags:
berdoa, berpikir-positif, chicago, freedom-write, help-others, musim-dingin, positive-thinking, winter


