Yusiana Basuki's Blog - Posts Tagged "agama"
Love Is Accepting Each Other's Differences
Sewaktu mengantar anak saya ke sekolah, secara tidak sengaja saya melihat poster di pintu ruangan kelas anak saya yang bertuliskan
"Love is accepting each other's differences."
Cinta adalah menerima perbedaan-perbedaan yang ada.
Saya termenung dengan kalimat itu karena selama ini perbedaan-perbedaan itulah yang menjadi sumber pemicu dari suatu pertikaian atau kerusuhan.
Misalnya, di Indonesia suatu kerusuhan biasanya di awali oleh karena adanya perbedaan suku, agama atau pun faktor asal/keturunan, atau di mana saja di belahan bumi ini seperti Pakistan memisahkan diri dari India karena perbedaan agama. Kasus Israel dan Palestina juga disebabkan oleh perbedaan agama yang membuat mereka tidak bisa hidup berdampingan dengan damai. Dan masih banyak lagi masalah-masalah lain yang didasari karena adanya perbedaan-perbedaan di antara mereka.
Di tempat kerja pun soal perbedaan-perbedaan ini juga sering menimbulkan masalah. Dari beberapa staff yang bekerja untuk saya, ada dua orang yang sangat handal sehingga kalau saya tidak masuk kerja pun akan merasa tenang karena dengan penuh keyakinan bahwa semua rutinitas pekerjaan akan berjalan dengan baik. Dua wanita ini memiliki suatu pribadi yang bertolak belakang satu sama lainnya. Hillary (bukan nama sebenarnya) adalah seorang wanita yang memiliki disiplin tinggi, tegas dan cenderung kaku. Nancy (bukan nama sebenarnya) adalah seorang wanita yang memiliki sifat compromise, berhati lembut dan berperasaan peka. Saya membutuhkan kedua assistant tersebut karena keduanya memiliki perbedaan sifat-sifat yang menonjol yang berguna untuk menjalankan team yang saya kelola. Pada saat saya harus berhadapan dengan orang tua murid, biasanya saya akan mendelegasikan salah satu di antara mereka tergantung dari karakter orang tua murid yang akan dihadapi, apakah perlu disikapi secara tegas atau akan diajak compromise. Kerja sama.
Sifat mereka yang bertolak belakang tersebut juga sering mengakibatkan perselisihan diantara mereka yang pada akhirnya harus melibatkan saya untuk turun tangan menjadi penengah dalam menyelesaikan perselisihan mereka. Belum lama ini terjadi lagi kesalahpahaman di antara mereka sehingga Hillary minta dipindahkan ke site lain. Tentu saja saya tidak menyetujui permintaannya tersebut. Saya tidak ingin kehilangan salah satu dari mereka. Kami pun mengadakan pembicaraan enam mata antara saya, Hillary dan Nancy. Pada saat kami membicarakan masalah mereka, saya teringat dengan kalimat di pintu ruangan kelas anak saya, lalu saya pun mengutip kalimat tersebut "Love is accepting each other's differences." Sewaktu mengucapkan kalimat tersebut mereka memandang saya dengan bingung, mungkin mereka berpikir "What are you talking about?" Apa yang kamu bicarakan? Lalu entah dari mana saya bisa memberi ceramah terhadap mereka bahwa "differences makes our life unique, colorful and more chalenging". Perbedaan-perbedaan membuat hidup kita unik, bervariasi dan lebih menantang. Saya pun membicarakan bahwa dengan perbedaan-perbedaan yang ada kita bisa saling mengisi dan bisa menghasilkan suatu kekuatan baru. Saya juga mengatakan pada mereka agar jangan hanya berfokus terhadap perbedaan dari segi negatifnya saja tetapi justru melihat perbedaan dari segi positifnya. Kalaupun sampai tidak bisa menerima ataupun setuju dengan perbedaan yang ada, setidaknya menghormati sikap, perilaku dan pandangan mereka satu sama lainnya. Entah mereka mengerti apa yang saya katakan atau karena ada faktor lain, sejak kami membicarakan soal "love is accepting each other's differences", sikap diantara mereka pun berubah satu sama lainnya. Hillary tidak lagi "menyerang" dengan sikap kaku dan tegasnya yang selama ini sering menyinggung perasaan Nancy yang memang peka perasaannya. Nancy pun berubah dengan tidak lagi menjadi terlalu peka terhadap sikap dan perilaku Hillary yang kaku; seakan-akan telah terjadi suatu pengertian diantara mereka; "accepting each other's differences." Bisa menerima perbedaan-perbedaan yang ada.
Lalu saya pun berandai-andai, kalau saja di dalam hidup ini kita bisa menerapkan sikap yang telah diambil oleh Hillary dan Nancy; yang akhirnya bisa menerima perbedaan-perbedaan yang mereka miliki dan pada akhirnya timbul rasa saling pengertian di antara keduanya, maka banyak hal positif yang bisa kita raih, misalnya: suami istri bisa menjalani hidup ini dengan lebih bahagia dan akan mengurangi tingkat perceraian; hubungan antara orang tua dan anak-anak akan menjadi lebih harmonis; kerukunan antar suku, agama, dan ras yang berbeda bisa tercapai. Tidak akan ada lagi peperangan yang terjadi di dunia ini, dan sebagainya, dan sebagainya. Apakah saya sedang bermimpi? Ataukah angan-angan ini bisa menjadi suatu kenyataan kalau saja kita menjalani hidup ini dengan berdasarkan "love is accepting each other's differences?"
Di tempat kerja pun soal perbedaan-perbedaan ini juga sering menimbulkan masalah. Dari beberapa staff yang bekerja untuk saya, ada dua orang yang sangat handal sehingga kalau saya tidak masuk kerja pun akan merasa tenang karena dengan penuh keyakinan bahwa semua rutinitas pekerjaan akan berjalan dengan baik. Dua wanita ini memiliki suatu pribadi yang bertolak belakang satu sama lainnya. Hillary (bukan nama sebenarnya) adalah seorang wanita yang memiliki disiplin tinggi, tegas dan cenderung kaku. Nancy (bukan nama sebenarnya) adalah seorang wanita yang memiliki sifat compromise, berhati lembut dan berperasaan peka. Saya membutuhkan kedua assistant tersebut karena keduanya memiliki perbedaan sifat-sifat yang menonjol yang berguna untuk menjalankan team yang saya kelola. Pada saat saya harus berhadapan dengan orang tua murid, biasanya saya akan mendelegasikan salah satu di antara mereka tergantung dari karakter orang tua murid yang akan dihadapi, apakah perlu disikapi secara tegas atau akan diajak compromise. Kerja sama.
Sifat mereka yang bertolak belakang tersebut juga sering mengakibatkan perselisihan diantara mereka yang pada akhirnya harus melibatkan saya untuk turun tangan menjadi penengah dalam menyelesaikan perselisihan mereka. Belum lama ini terjadi lagi kesalahpahaman di antara mereka sehingga Hillary minta dipindahkan ke site lain. Tentu saja saya tidak menyetujui permintaannya tersebut. Saya tidak ingin kehilangan salah satu dari mereka. Kami pun mengadakan pembicaraan enam mata antara saya, Hillary dan Nancy. Pada saat kami membicarakan masalah mereka, saya teringat dengan kalimat di pintu ruangan kelas anak saya, lalu saya pun mengutip kalimat tersebut "Love is accepting each other's differences." Sewaktu mengucapkan kalimat tersebut mereka memandang saya dengan bingung, mungkin mereka berpikir "What are you talking about?" Apa yang kamu bicarakan? Lalu entah dari mana saya bisa memberi ceramah terhadap mereka bahwa "differences makes our life unique, colorful and more chalenging". Perbedaan-perbedaan membuat hidup kita unik, bervariasi dan lebih menantang. Saya pun membicarakan bahwa dengan perbedaan-perbedaan yang ada kita bisa saling mengisi dan bisa menghasilkan suatu kekuatan baru. Saya juga mengatakan pada mereka agar jangan hanya berfokus terhadap perbedaan dari segi negatifnya saja tetapi justru melihat perbedaan dari segi positifnya. Kalaupun sampai tidak bisa menerima ataupun setuju dengan perbedaan yang ada, setidaknya menghormati sikap, perilaku dan pandangan mereka satu sama lainnya. Entah mereka mengerti apa yang saya katakan atau karena ada faktor lain, sejak kami membicarakan soal "love is accepting each other's differences", sikap diantara mereka pun berubah satu sama lainnya. Hillary tidak lagi "menyerang" dengan sikap kaku dan tegasnya yang selama ini sering menyinggung perasaan Nancy yang memang peka perasaannya. Nancy pun berubah dengan tidak lagi menjadi terlalu peka terhadap sikap dan perilaku Hillary yang kaku; seakan-akan telah terjadi suatu pengertian diantara mereka; "accepting each other's differences." Bisa menerima perbedaan-perbedaan yang ada.
Lalu saya pun berandai-andai, kalau saja di dalam hidup ini kita bisa menerapkan sikap yang telah diambil oleh Hillary dan Nancy; yang akhirnya bisa menerima perbedaan-perbedaan yang mereka miliki dan pada akhirnya timbul rasa saling pengertian di antara keduanya, maka banyak hal positif yang bisa kita raih, misalnya: suami istri bisa menjalani hidup ini dengan lebih bahagia dan akan mengurangi tingkat perceraian; hubungan antara orang tua dan anak-anak akan menjadi lebih harmonis; kerukunan antar suku, agama, dan ras yang berbeda bisa tercapai. Tidak akan ada lagi peperangan yang terjadi di dunia ini, dan sebagainya, dan sebagainya. Apakah saya sedang bermimpi? Ataukah angan-angan ini bisa menjadi suatu kenyataan kalau saja kita menjalani hidup ini dengan berdasarkan "love is accepting each other's differences?"
Published on February 24, 2011 12:27
•
Tags:
agama, bhineka-tungal-ika, differences, love, peace, ras, suku
Agama Adalah Candu Masyarakat???
Karl Marx, seorang filsuf asal Jerman berpendapat "agama adalah candu masyarakat" karena agama bisa meninabobokan penderitaan yang dialami seseorang, yaitu dengan percaya adanya takdir atau sudah menjadi kehendak Allah. Bagi kita orang yang beragama menghadapi pendapat Karl Marx tersebut tidak perlu marah atau berpikir negatif tentang pendapat filsuf tersebut. Kita mencoba melihatnya dari sisi positifnya, kalau agama dianggap sebagai candu masyarakat adalah suatu candu yang baik karena agama tidak menimbulkan ketagihan atau effek sampingan yang buruk malah sebaliknya mendorong orang untuk melakukan hal-hal yang baik.
Memang benar agama mengajarkan kita untuk berpasrah terhadap kehendak Allah, takdir, sehingga tidak ada kekuatiran dalam menjalani hidup ini. Tapi, ada kalanya kita merasa tidak diperdulikan Tuhan pada saat kita membutuhkan bantuanNya, misalnya do'a kita tidak terkabul dan banyak hal-hal lain di luar dugaan yang menambah beban derita kita. Lalu omelan atau rintihan pun keluar dari mulut. Sebenarnya tidak perlu ngedumel bila doa kita merasa tidak terjawab. Tuhan tahu dan peduli akan kebutuhan setiap manusia, hanya terkadang manusia sering memaksakan kehendaknya sendiri tanpa berusaha untuk mencoba mengerti apa yang menjadi kehendak Allah.
Setiap doa pasti dijawab oleh Allah kita yang maha baik, kadang-kadang jawabannya pas seperti yang kita maui; kadang-kadang jawabannya sesuai dengan rencana Allah yang mengharuskan kita untuk lebih bersabar dan akan mengerti kenapa jawabannya seperti itu di kemudian hari. Seringkali manusia menjadi tidak sabaran atau menganggap Tuhan itu seperti 'bell boy', yang kalau kita “pencet bel” (berdoa), maka DIA akan segera datang dan memberi jawaban yang sesuai dengan keinginan kita. Kalau kita berpasrah sepenuhnya kepada kehendak Allah maka kita akan mengerti bahwa setiap doa kita akan dijawab olehNya.
Seorang petani menanam gandum/padi/jagung, dan sebagainya dengan harapan bahwa pada saatnya tiba bisa panen berkelimpahan. Dalam proses penantian masa panen tiba, sang petani harus rajin menyirami supaya tanamannya tidak kekeringan dan mati, memupuk tanamannya supaya tumbuh subur. Bisa saja semua yang sudah direncanakan atau dilakukan oleh sang petani bisa gagal sebelum masa panen tiba karena adanya hama yang merusak tanaman tersebut, atau kemarau panjang yang membuat tanamannya mati. Tetapi sang petani tidak akan berhenti menjadi petani dengan adanya halangan atau bencana ini. Dia akan terus berusaha dan berkarya; akan terus menyebarkan benih-benih tanamannya; akan terus dengan rajinnya merawat, menyirami dan memupuk tanamannya sehingga hasil panen yang diidamkannyapun akan tiba dan bisa menikmati hasil kerja kerasnya tersebut dengan hati bahagia dan penuh rasa syukur.
Seperti petani tersebut, kita pun harus rajin memupuk dan merawat iman kita, mencoba mendengarkan suaraNya di dalam pikiran dan hati kita melalui meditasi (tirakat) dan berdoa, mempraktekan ajaran-ajaranNya yang baik dalam kehidupan sehari-hari. Pada saat kita gagal memperoleh apa yang kita inginkan misalnya jawaban doa yang tidak langsung terjawab, atau menghadapi cobaan hidup yang berat seperti krisis keuangan, sakit parah, punya anak cacat fisik atau mental, patah hati, dan sebagainya, kita tidak akan berpaling dari Allah. Seperti seorang petani, kita akan kembali bangkit merawat iman kita dengan telaten sampai akhirnya masa panen pun tiba, dan kita pun dengan penuh rasa syukur bisa menikmati hasil panenan tersebut.
Memang benar agama mengajarkan kita untuk berpasrah terhadap kehendak Allah, takdir, sehingga tidak ada kekuatiran dalam menjalani hidup ini. Tapi, ada kalanya kita merasa tidak diperdulikan Tuhan pada saat kita membutuhkan bantuanNya, misalnya do'a kita tidak terkabul dan banyak hal-hal lain di luar dugaan yang menambah beban derita kita. Lalu omelan atau rintihan pun keluar dari mulut. Sebenarnya tidak perlu ngedumel bila doa kita merasa tidak terjawab. Tuhan tahu dan peduli akan kebutuhan setiap manusia, hanya terkadang manusia sering memaksakan kehendaknya sendiri tanpa berusaha untuk mencoba mengerti apa yang menjadi kehendak Allah.
Setiap doa pasti dijawab oleh Allah kita yang maha baik, kadang-kadang jawabannya pas seperti yang kita maui; kadang-kadang jawabannya sesuai dengan rencana Allah yang mengharuskan kita untuk lebih bersabar dan akan mengerti kenapa jawabannya seperti itu di kemudian hari. Seringkali manusia menjadi tidak sabaran atau menganggap Tuhan itu seperti 'bell boy', yang kalau kita “pencet bel” (berdoa), maka DIA akan segera datang dan memberi jawaban yang sesuai dengan keinginan kita. Kalau kita berpasrah sepenuhnya kepada kehendak Allah maka kita akan mengerti bahwa setiap doa kita akan dijawab olehNya.
Seorang petani menanam gandum/padi/jagung, dan sebagainya dengan harapan bahwa pada saatnya tiba bisa panen berkelimpahan. Dalam proses penantian masa panen tiba, sang petani harus rajin menyirami supaya tanamannya tidak kekeringan dan mati, memupuk tanamannya supaya tumbuh subur. Bisa saja semua yang sudah direncanakan atau dilakukan oleh sang petani bisa gagal sebelum masa panen tiba karena adanya hama yang merusak tanaman tersebut, atau kemarau panjang yang membuat tanamannya mati. Tetapi sang petani tidak akan berhenti menjadi petani dengan adanya halangan atau bencana ini. Dia akan terus berusaha dan berkarya; akan terus menyebarkan benih-benih tanamannya; akan terus dengan rajinnya merawat, menyirami dan memupuk tanamannya sehingga hasil panen yang diidamkannyapun akan tiba dan bisa menikmati hasil kerja kerasnya tersebut dengan hati bahagia dan penuh rasa syukur.
Seperti petani tersebut, kita pun harus rajin memupuk dan merawat iman kita, mencoba mendengarkan suaraNya di dalam pikiran dan hati kita melalui meditasi (tirakat) dan berdoa, mempraktekan ajaran-ajaranNya yang baik dalam kehidupan sehari-hari. Pada saat kita gagal memperoleh apa yang kita inginkan misalnya jawaban doa yang tidak langsung terjawab, atau menghadapi cobaan hidup yang berat seperti krisis keuangan, sakit parah, punya anak cacat fisik atau mental, patah hati, dan sebagainya, kita tidak akan berpaling dari Allah. Seperti seorang petani, kita akan kembali bangkit merawat iman kita dengan telaten sampai akhirnya masa panen pun tiba, dan kita pun dengan penuh rasa syukur bisa menikmati hasil panenan tersebut.
Be More Sensitive
Even though, I think that in general I am a sensitive person but I am still struggling to be a better one.
Sejak kecil jarang sekali ada sentuhan atau tekanan atau kebutuhan untuk sensitive terhadap perasaan atau kebutuhan orang-orang lain di sekitarnya. Tinggal di lingkungan yang relatively normal, di lingkungan yang relatively 'hakuna matata'. Sekolah di tempat yang relatively bagus, punya teman-teman yang pintar-pintar yang nampaknya mereka semua tidak punya masalah, yang akan punya kehidupan yang cerah.
Setelah melangkah keluar menjadi lebih terasa, lho kok beda ya dengan orang-orang sekitarnya, lho kok yang kayak saya sangat-sangat sedikit sekali, lho kok cara mereka ngomong kedengaran aneh. Ahh, baru terasa kalau saya sekarang masuk dalam kategori yang super-super minoritas. Orang-orang sekitar memandang saya dengan anehnya, mungkin pikirnya, ini orang dari planet mana, kesasar kali.
Dengan berjalannya waktu menjadi belajar untuk lebih sensitive terhadap orang-orang yang minoritas. Bukan hanya minoritas dalam hal suku, ras, agama, atau nationality tetapi juga minoritas dalam hal appearances, behaviors, way of thinkings, wealthiness, ataupun minoritas dalam hal yang lainnya. Betapa mereka hampir selalu ditindas, dianiaya dan disepelekan oleh kelompok mayoritas, baik secara fisik ataupun secara mental. Kelompok mayoritas hampir selalu merasa pongah, gagah, dan dengan bangganya menjajah orang-orang yang tidak masuk dalam kelompok mereka.
Sekarang ini, kalau berhadapan dengan pejabat akan memperlakukan mereka sama saja dengan rakyat. Kalau berhadapan dengan orang yang naik Mercedes perasaannya sama saja kalau ketemu dengan orang yang naik bajay. Kalau berhadapan dengan orang yang tinggal di ‘Ritz-Carlton’ sama saja dengan orang yang tinggal di Motel.
Still, I am struggling for not judging people by their attributes or appearances or situations or way of thinkings or behaviors, or what ever it is. Its getting better over time but still need some improvements. I really want to be able to respect people regardless who they are, anytime, anywhere.
Sejak kecil jarang sekali ada sentuhan atau tekanan atau kebutuhan untuk sensitive terhadap perasaan atau kebutuhan orang-orang lain di sekitarnya. Tinggal di lingkungan yang relatively normal, di lingkungan yang relatively 'hakuna matata'. Sekolah di tempat yang relatively bagus, punya teman-teman yang pintar-pintar yang nampaknya mereka semua tidak punya masalah, yang akan punya kehidupan yang cerah.
Setelah melangkah keluar menjadi lebih terasa, lho kok beda ya dengan orang-orang sekitarnya, lho kok yang kayak saya sangat-sangat sedikit sekali, lho kok cara mereka ngomong kedengaran aneh. Ahh, baru terasa kalau saya sekarang masuk dalam kategori yang super-super minoritas. Orang-orang sekitar memandang saya dengan anehnya, mungkin pikirnya, ini orang dari planet mana, kesasar kali.
Dengan berjalannya waktu menjadi belajar untuk lebih sensitive terhadap orang-orang yang minoritas. Bukan hanya minoritas dalam hal suku, ras, agama, atau nationality tetapi juga minoritas dalam hal appearances, behaviors, way of thinkings, wealthiness, ataupun minoritas dalam hal yang lainnya. Betapa mereka hampir selalu ditindas, dianiaya dan disepelekan oleh kelompok mayoritas, baik secara fisik ataupun secara mental. Kelompok mayoritas hampir selalu merasa pongah, gagah, dan dengan bangganya menjajah orang-orang yang tidak masuk dalam kelompok mereka.
Sekarang ini, kalau berhadapan dengan pejabat akan memperlakukan mereka sama saja dengan rakyat. Kalau berhadapan dengan orang yang naik Mercedes perasaannya sama saja kalau ketemu dengan orang yang naik bajay. Kalau berhadapan dengan orang yang tinggal di ‘Ritz-Carlton’ sama saja dengan orang yang tinggal di Motel.
Still, I am struggling for not judging people by their attributes or appearances or situations or way of thinkings or behaviors, or what ever it is. Its getting better over time but still need some improvements. I really want to be able to respect people regardless who they are, anytime, anywhere.
Published on June 25, 2012 10:34
•
Tags:
agama, behaviors, nationality, ras, respect, sensitive, struggling
Act of Honor
People who don't value themselves, they can't value others.
Thus, don't lose respect or manner even in the worst situations.
Dalam menjalani kehidupan ini, seringkali kita dihadapkan dengan situasi yang “kurang menguntungkan”. Banyak contoh dari kehidupan sehari-hari yang dapat kita jadikan sebagai cermin untuk lebih bisa mengintrospeksi terhadap diri kita sendiri.
Untuk merayakan hari yang istimewa, sepasang suami istri ingin menikmatinya di rumah makan yang cukup terkenal. Setelah disambut dengan senyum ramah dan lembut kata kemudian diantarkannya ke meja yang lokasinya cukup nyaman dan romantis. Setelah pesan makan dan minuman merekapun berbincang-bincang dengan sambil menunggu hidangannya datang. Waktu terus berlalu dan pesanannya tidak kunjung datang. Percakapan yang tadinya ramah telah berubah menjadi amarah dan ketika pelayannya datang tanpa membawa apa-apa sumpah serapahpun melayang dari segala arah.
Ketika anaknya memperkenalkan pacarnya kepada orang tuanya, mereka disambut dengan manis dan penuh senyum. Hidangan yang enak-enakpun tersaji di meja tamu. Keadaannya berubah 180 derajat setelah mereka mengobrol dan mengetahui bahwa pekerjaan pacar anaknya adalah pekerjaan kelas bawah. Orang tua itupun langsung mencercah bahwa pacar anaknya adalah orang miskin, orang bodoh, orang yang tidak terhormat, orang yang tidak tahu diri yang berani-beraninya berpacaran dengan anaknya yang berpendidikan tinggi dan mempunyai masa depan yang cerah. Anaknya pun tak lepas dari makian orang tuanya.
Tiba-tiba saja badannya sakit yang tidak tertahankan dan akhirnya tergoler dipinggir jalan ketika tersadar dirinya sudah berada di ranjang rumah sakit dan disampingnya berdiri orang yang telah menolongnya, mengangkat dan membawanya ke rumah sakit untuk menyelamatkannya. Apa boleh dikata, ketika melihat sang penolong yang memakai identitas dari agama yang berbeda dengan agama yang dianutnya maka diapun marah-marah dan menuduh hal-hal yang bukan-bukan.
Pertemuan antar alumni adalah saat yang dinanti-nantikan untuk saling bernostalgia apalagi kalau acaranya pada saling membawa keluarga mereka. Tapi tidak dinyana-nyana ketika salah satu teman membawa anaknya yang berperilaku tidak seperti anak-anak normal lainnya merekapun berbisik-bisik dan menghindari keluarga temannya itu. Bukan hanya waktu reuni saja mereka menghindarinya tetapi setelah itupun mereka tidak mau mengenalnya lagi.
Pesta yang tadinya cukup meriah telah berubah menjadi gerah karena ada beberapa orang yang datang yang berpakaian sederhana dan berdandan ala kadarnya. Banyak orang yang melecehkannya karena mereka tidak sepantar dengan yang lain yang berbusana mewah dan berdandan bak “keturunan raja-raja”.
Masih banyak contoh-contoh yang lain. Banyak orang yang langsung bereaksi yang tidak sepantasnya tanpa terlebih dahulu berusaha mengetahui apa yang terjadi sebenarnya.
Mankind is a reflection of God but in imperfection. We, human is imperfect, we often forget that every human has value. Sometimes we look down on other people just because of their professions, health/physical/mental conditions, or they are different from us: religion, race, ethnicity, etc. Prejudice is common among us, but do not let the imperfection of human being let us off guard of our honor. To honor others means to honor ourselves; the way we treat others is the way how we value ourselves.
May peace always be with you.
Thus, don't lose respect or manner even in the worst situations.
Dalam menjalani kehidupan ini, seringkali kita dihadapkan dengan situasi yang “kurang menguntungkan”. Banyak contoh dari kehidupan sehari-hari yang dapat kita jadikan sebagai cermin untuk lebih bisa mengintrospeksi terhadap diri kita sendiri.
Untuk merayakan hari yang istimewa, sepasang suami istri ingin menikmatinya di rumah makan yang cukup terkenal. Setelah disambut dengan senyum ramah dan lembut kata kemudian diantarkannya ke meja yang lokasinya cukup nyaman dan romantis. Setelah pesan makan dan minuman merekapun berbincang-bincang dengan sambil menunggu hidangannya datang. Waktu terus berlalu dan pesanannya tidak kunjung datang. Percakapan yang tadinya ramah telah berubah menjadi amarah dan ketika pelayannya datang tanpa membawa apa-apa sumpah serapahpun melayang dari segala arah.
Ketika anaknya memperkenalkan pacarnya kepada orang tuanya, mereka disambut dengan manis dan penuh senyum. Hidangan yang enak-enakpun tersaji di meja tamu. Keadaannya berubah 180 derajat setelah mereka mengobrol dan mengetahui bahwa pekerjaan pacar anaknya adalah pekerjaan kelas bawah. Orang tua itupun langsung mencercah bahwa pacar anaknya adalah orang miskin, orang bodoh, orang yang tidak terhormat, orang yang tidak tahu diri yang berani-beraninya berpacaran dengan anaknya yang berpendidikan tinggi dan mempunyai masa depan yang cerah. Anaknya pun tak lepas dari makian orang tuanya.
Tiba-tiba saja badannya sakit yang tidak tertahankan dan akhirnya tergoler dipinggir jalan ketika tersadar dirinya sudah berada di ranjang rumah sakit dan disampingnya berdiri orang yang telah menolongnya, mengangkat dan membawanya ke rumah sakit untuk menyelamatkannya. Apa boleh dikata, ketika melihat sang penolong yang memakai identitas dari agama yang berbeda dengan agama yang dianutnya maka diapun marah-marah dan menuduh hal-hal yang bukan-bukan.
Pertemuan antar alumni adalah saat yang dinanti-nantikan untuk saling bernostalgia apalagi kalau acaranya pada saling membawa keluarga mereka. Tapi tidak dinyana-nyana ketika salah satu teman membawa anaknya yang berperilaku tidak seperti anak-anak normal lainnya merekapun berbisik-bisik dan menghindari keluarga temannya itu. Bukan hanya waktu reuni saja mereka menghindarinya tetapi setelah itupun mereka tidak mau mengenalnya lagi.
Pesta yang tadinya cukup meriah telah berubah menjadi gerah karena ada beberapa orang yang datang yang berpakaian sederhana dan berdandan ala kadarnya. Banyak orang yang melecehkannya karena mereka tidak sepantar dengan yang lain yang berbusana mewah dan berdandan bak “keturunan raja-raja”.
Masih banyak contoh-contoh yang lain. Banyak orang yang langsung bereaksi yang tidak sepantasnya tanpa terlebih dahulu berusaha mengetahui apa yang terjadi sebenarnya.
Mankind is a reflection of God but in imperfection. We, human is imperfect, we often forget that every human has value. Sometimes we look down on other people just because of their professions, health/physical/mental conditions, or they are different from us: religion, race, ethnicity, etc. Prejudice is common among us, but do not let the imperfection of human being let us off guard of our honor. To honor others means to honor ourselves; the way we treat others is the way how we value ourselves.
May peace always be with you.


