Nabila Budayana's Blog, page 8

April 4, 2015

Antara Bach Flower dan Cuma Satu Nama


“Aku dong, dapet prioritas.”
Bukan. Itu bukan kalimat saya. Kalimat itu milik seorang teman beberapa waktu lalu ketika kami bertemu di acara meet and greet Trinity di Surabaya. Kali itu, setelah acara usai, tim Bentang Pustaka mengingatkan audiens untuk mengikuti kompetisi review Gelombang, karena reviewer terbaik akan mendapat kesempatan mengikuti Dee’s Coaching Clinic di bulan Maret. Dimentori Dee? Rasanya tidak ada yang tidak ingin. Namun saya punya satu alasan lain : Ingin membuktikan pada si empunya kalimat bahwa saya akan terpilih dengan kemampuan saya sendiri. Dari lubuk hati terdalam, thanks to you, hei, si empunya kalimat, saya jadi ‘panas’ dan berhasil mengirim review di detik-detik akhir dengan gemilang. Ada kontribusimu di balik kesempatan saya ini. Meski hanya sekadar kalimat sesumbar dan wajah menyebalkan. Oh, percayalah pembaca, saya sungguh berterimakasih padanya. Kelak jika bertemu kembali, saya janji akan mentraktirnya seporsi - dua porsi diskusi obrolan dari Coaching Clinic ini, juga mungkin secangkir bully-an yang sudah biasa kami saling lontarkan.  
Seorang sahabat yang berbeda mengabarkan bahwa nama saya ada di salah satu daftar reviewer terpilih Dee’s Coaching Clinic. Saya sama sekali tidak menyangka. Tapi rasanya luar biasa. Terutama ketika melihat ada beberapa teman penulis lain yang juga terpilih. Ini menjadi menyenangkan bukan karena ucapan selamat kawan-kawan di media sosial, tapi karena bayangan ‘oleh-oleh ilmu’ yang akan bisa saya bawa pulang. “Cuma Satu Nama dan Bach Flower Remedies” tiba-tiba juga terbayang di kepala. Oh, maaf, ini tentang sisi Dee yang lain.
***
Short boots dan tentengan tote bag penuh buku karya Dee di antara khalayak yang sedang ber-car free day di depan lokasi Coaching Clinic mungkin membuat saya terlihat absurd. Ketika peserta sudah mengambil tempat, sesaat suasana di aula perpustakaan Bank Indonesia dibayangi rasa antusias menyambut Sang Penulis. Benar, begitu Dee melangkah masuk, seluruh peserta tersergap aura penulis hingga terdiam. Dee tampil dengan chic. Skinny jeans hitam, gray stripes cardigan membuatnya ringkas namun smart. Ah, namun saya naksir berat dengan black platform pump shoes yang dikenakannya. Dee tampil memikat dengan pembawaan diri dan isi kepalanya. Nyaris setiap kata yang diucapkan Dee berarti. Tak membuang waktu dan ruang sia-sia, sama seperti tulisannya.




Dee mengungkap alasan mengapa ia bekerjasama dengan Bentang untuk mengadakan Coaching Clinic ini. Karena di dunia perbukuan Indonesia saat ini, buku tentang teknik menulis sangat sedikit. Penulis buku teknik menulis semestinya adalah orang yang sudah pernah merasakan asam-garam di dunia menulis. Namun, itu saja belum cukup. Yang terpenting, ia harus tahu apa yang dibutuhkan oleh pembaca yang memerlukan teknik menulisnya.
Berangkat dari hal itu, peserta Coaching Clinic diharapkan dapat mengetahui dan belajar langsung dari orang yang mengetahui tentang dunia menulis. Tak heran, materi Coaching Clinic ini berdasarkan pengalaman yang dimilikinya selama ini. Agar kesempatan besar dengan waktu yang sempit ini dapat benar-benar bermanfaat secara maksimal, Dee dan Bentang Pustaka menjaring peserta dengan kompetisi review “Gelombang”, serial terbaru Supernova. Dengan begitu, audiens dapat tepat sasaran, dipenuhi oleh orang yang memang memiliki keseriusan dengan dunia menulis. Sebelum workshop dimulai, Dee menyarankan pada peserta untuk bersikap egois. Dalam hal ini, egois berarti memanfaatkan dan menghargai kesempatan Coaching Clinic dengan sebaik-baiknya. Terbukti, hingga akhir, Coaching Clinic ini ibarat makanan bergizi dengan porsi besar. Padat, bermanfaat, dan terlalu sayang untuk disia-siakan, bahkan hingga ke remahnya.
Bicara tentang teknik menulis, Dee tidak pernah memulai karir menulisnya dengan pendidikan sastra formal. Ia mulai sebagai pembelajar otodidak, berkembang berdasarkan pengalaman. Terkadang ada kesulitan baginya untuk menerjemahkan apa yang ia alami dalam proses menulis ke dalam bentuk teori. Meski begitu, Dee berprinsip “Di atas langit masih ada langit” dimana ia masih merasa harus terus belajar dan mengembangkan kemampuan. Tak heran, seorang Dee bahkan masih kursus menulis online hingga saat ini.
Saya merasakan keseriusan dan ketulusan Dee dalam mengisi Coaching Clinic ini. Agar efektif, ia ingin mengetahui sejauh mana kemampuan menulis peserta. Oleh karenanya, Coaching Clinic ini langsung menjawab pertanyaan-pertanyaan yang telah kami ajukan sebelumnya melalui e-mail. Ia memilah dan mengelompokkan pertanyaan. Di antara kesibukannya, rasanya ia ingin benar-benar membagikan apa yang ia bisa. Kesungguhan itu juga tergambar ketika telepon selular seorang peserta berbunyi, dengan tegas dan kata ‘please’, Dee menegur peserta tersebut untuk mematikan dering teleponnya.
Dee memilih untuk selalu berpijak pada pengalaman menulisnya, karena pendekatan tersebut adalah cara paling praktis. Layaknya novel dengan bab-bab, Dee merangkum pertanyaan-pertanyaan seperti cara mempertahankan konsistensi plot cerita, cara menulis tanpa terjebak keinginan untuk mengedit, apakah penulis harus memiliki alter ego dan cara menghindari rasa malas dalam satu chapter :

Ego, Fokus, Deadline.
Dalam perjalanan karirnya, Dee seringkali ditanya tentang bagaimana cara menulis cerita yang berbeda, lain daripada yang lain. Jawabannya : Tidak Bisa! Alasannya, semua manusia memiliki rasa yang universal dan tidak ada yang istimewa darinya. Keinginan untuk menjadi berbeda justru berpotensi menjadi beban.
Dee mengatakan bahwa kami harus kembali ke pertanyaan mendasar milik salah satu peserta, Dheril :

Bagaimana cara berpikir kreatif?
Orang yang kurang kreatif biasanya hanya fokus pada dirinya. Oleh karena itu, kita mesti meluaskan pandangan. Contoh stimulus berpikir kreatif, misalnya saja ketika diminta untuk membuat cerita namun dengan tantangan, “Bagaimana seandainya kita menjadi seekor cicak?” Hal itu memaksa kita untuk berpikir kreatif dengan melihat sesuatu di luar diri kita.
"Berpikir kreatif adalah tentang bagaimana memperluas medan kesadaran kita. Expanding our awareness."
Dee mencontohkan bagaimana membuat cerita dari spidol di genggamannya : Spidol, hidupnya hanya sebatas tinta. Begitu tinta habis, hidupnya usai. Bahkan sebuah benda mati pun mampu menjadi tokoh dalam cerita. Ia kembali mengambil contoh tentang pengalamannya sebelum memasuki ruang Coaching Clinic Surabaya. Sekembalinya dari toilet, ia melihat pajangan ulir-ulir dari besi. Yang terpikirkan dalam kepalanya : bagaimana perajin ulir tersebut mampu membuatnya sedemikian detail, bahkan ketika peralatan canggih belum dibuat. Dee selalu mencoba melihat segala sesuatu dengan perspektif yang berbeda. Penulis memiliki dua ‘mode’ penglihatan. Penglihatan sehari-hari yang kita gunakan untuk bekerja, memasak, ke pasar, dsb. Mode lainnya untuk mengamati dan menganalisa sebagai bekal untuk menulis. Penulis yang baik adalah pengamat yang baik. Observasi menjadi modal utama. Ide-ide yang didapatkan dari hasil observasi kemudian dapat dimasukkan dalam celengan ide yang dapat dibentuk menjadi cerita kapan saja. Lebih baik tidak menghapus ide saat belum dibutuhkan. Suatu saat, ide tersebut akan berguna.
Berpikir kreatif erat dengan memperluas pengamatan dan kesadaran. Segalanya menjadi unik di mata penulis. Memaksakan menjadi berbeda merupakan hal yang nyaris mustahil, yang justru akan menjadi beban penulis. Setiap manusia unik, setiap penulis memiliki unique voice. Unique Voice tersebut tersimpan begitu dalam di diri penulis. Seperti permata, ia harus digali dengan begitu dalam. Berlatih menulis adalah tentang bagaimana menggali, mengeluarkan permata tersebut, mencari suara unik kita masing-masing. Ketika kita telah meyakini konsep tersebut, kita tak perlu lagi pusing tentang naskah kita. Apakah orang lain akan menyukainya, apakah penerbit akan meloloskannya, dan sebagainya.Dee menegaskan :
TULIS SAJA!
Meski begitu, menulis memerlukan bekal. Menulis adalah masalah mengkonkretkan yang abstrak. Oleh karena itu, penulis mesti memiliki cita-cita yang konkret. Penulis apa, dengan target apa. Buku macam apa yang disukai dan tema apa yang menciptakan greget. Penulis pun perlu memiliki peta tujuan agar tidak takut dan bimbang. Mengubah sesuatu yang abstrak dan diawang-awang menjadi sesuatu yang bisa diukur.
“Please, punya cita-cita yang konkret!”
Karena yang konkret akan membumikan yang abstrak.


Awalnya, seorang Dee tidak ingin menjadi penulis. Namun ia selalu berkhayal buku yang ditulisnya dapat ada di toko buku. Di waktu awal menulis hingga remaja, ia menulis cerita anak karena banyak dipengaruhi oleh penulis kenamaan Enid Blyton. Kemudian karirnya berlanjut dengan menulis cerpen untuk majalah-majalah. Sayangnya, Dee mengalami penolakan. Saat itu, ia mempunya dua pilihan :  putus asa dan merasa tidak berbakat, atau beranggapan bahwa tulisannya belum berjodoh dengan majalah tersebut. Seperti yang kita tahu, jika saat itu Dee memilih opsi pertama, tak akan ada seri Supernova di hadapan kita saat ini. Di Bulan September tahun 2000, Dee menyelesaikan Supernova : Ksatria Putri dan Bintang Jatuh. Demi menghadiahi diri sendiri di ulang tahun ke-25, Dee meminta sebuah percetakan untuk mencetaknya sebanyak 5000 copy. Belum habis buku-buku tersebut, Dee kembali mencetak 2000 copy. Di luar dugaan, ke 7000 copy buku tersebut terjual dalam waktu 14 hari, meski Dee tetap harus menunggu pundi-pundi hasil penjualan karena toko buku baru membayarkannya setelah 3 bulan. Saat itu, penulis masih dianggap profesi ‘miskin’. Ada anggapan bahwa untuk menjadi seorang penulis mesti bergabung di IKJ, atau kurus kering tanpa daya tarik. Profesi penulis belum diterima sebaik saat ini di masyarakat. Dee murni hanya ingin memiliki bukunya sendiri, bukan menjadi seorang penulis. Ketika datang pertanyaan “Mengapa menulis Supernova?” Dee merasa bahwa tema Supernova adalah tema favoritnya. Diantaranya membahas spiritualitas dan science. Karena memiliki renjana terhadap hal tersebut, Dee menyusun ceritanya. Oleh karena itu, penting untuk mencari tema yang paling greget, yang paling bisa menimbulkan emosi. Kemudian, tuliskan buku yang paling ingin kita baca. Hal itu merupakan sikap jujur terhadap diri sendiri. Karena pasar akan selalu berganti. Dee mencontohkan tentang mengapa Perahu Kertas (yang banyak dianggap terlalu ringan) ditulis? Karena Dee ingin membaca kisah cinta berliku ala cerber di majalah seperti favoritnya dahulu.
“Yang jadi patokan adalah diri sendiri!”
Hal tersebut berarti hal primer yang patut kita perhatikan adalah diri sendiri. Bukan faktor di luar itu.
Lantas apa saja modal yang dibutuhkan seorang penulis?Dee menjawabnya dalam 4 poin :
       1.       Berpikir Kreatif       2.       Tekun Berlatih                   Menulis adalah masalah otot (kebiasaan)        3.       Tahu buku apa yang ingin dituliskan                   Buku yang pengin kita baca banget       4.       Punya Deadline            Deadline penting untuk diri kita sendiri. Bagaikan ketika kita mulai perjalanan dengan menaiki kereta, ketika kita sudah duduk tenang di dalam kereta dan siap berangkat, peluit tanda berangkat adalah deadline kita.
“Jadikan deadline sebagai alat, bukan tujuan.”
Bagaimana cara membuat deadline?        1.       Tahu apa yang ditulis       2.       Tentukan jumlah kata dan estimasi waktu
Seorang Dee pun sering merasakan malas dalam menulis. Namun, selalu ada target dan niat awal. Target tersebut mesti konkret agar bisa dihitung. Jangan terlalu memitoskan proses kreatif, seperti menunggu waktu ideal, dsb. Masing-masing kita harus mempunyai disiplin terhadap diri sendiri. Dalam berkarya, Dee memiliki waktu yang tetap antar karya. Produktifitasnya terjaga dengan rata-rata mengeluarkan karya setiap 1,5 tahun, dengan estimasi menulis 2 halaman sehari.
“Ade Rai tidak kekar dalam semalam.”
Dee terkenang ketika dirinya melihat foto Ade Rai saat belum sekekar saat ini. Belajar dari Ade Rai, menulis adalah hal yang sama. Menulis adalah sebuah proses yang panjang dan bertahap. Carilah tempat ‘gym’ yang paling nyaman untuk menulis. Entah diary, blog atau lainnya.
Belajar secara otodidak, Dee menemukan teori dari teknik yang ia lakukan/alami ketika salah satu bukunya dibedah oleh sastrawan Budi Darma di Surabaya. Benang merah antara karya-karya Dee menurut beliau adalah tentang proses pencarian jati diri. Manusia yang mencari ‘rumah’, ‘asal’ mereka. Itu adalah ‘gatal’ milik Dee yang selalu ia ajukan dalam setiap karya-karyanya. Lantas, bagaimana bisa ‘gatal’? Setiap penulis harus mencarinya sendiri dengan mengetahui apa yang akan ‘digali’ dan tujuan kita. Ide bisa datang dari mana saja. Berkembang dan lahirnya ide menjadi sebuah cerita memerlukan deadline. Begitu mempunyai deadline, kita bukan lagi penunggu pasif yang tersesat. Kita adalah penulis yang punya tujuan dan perhitungan.
“Pikiran manusia serupa parabola yang kehujanan sinyal.”
Berbagai hal masuk ke dalam kepala kita setiap saat. Kita mesti menyaring dan mencari noise-nya. Begitulah ide bisa muncul.
Dee juga membagikan beberapa tips lain dalam mendapat, memilih dan mengembangkan ide :       1.       Personifikasi ide       2.       Berteman dengan ide       3.       Celengan ide
Anggaplah ide seperti teman. Dapatkan, dan catat ide tersebut. Namun, jangan buru-buru dituliskan. Berilah ia perhatian, kenali dan gali ia kembali. Ketika memang belum saatnya ia dituliskan, katakan padanya bahwa ia harus menunggu. Bicara ide, Dee nyaris tak pernah membuang apapun dari celengan idenya. Jangan pernah menutup potensi ide cerita. Simpan ide tersebut.

RISET
Dee mengelompokkan pertanyaan-pertanyaan ini ke dalam bagian riset :Tentang bagaimana mempercayai sumber riset dan bagaimana menggambarkan riset tentang tempat yang belum dikenal. Caranya :
       1.       Riset pustaka dan film       2.       Riset internet       3.       Wawancara       4.       Datang ke lokasi langsung
Sebagai gambaran, untuk keperluan riset tulisannya, Dee memiliki Lonely Planet semua negara ASEAN. Ketika ia tak bisa datang langsung ke negara yang dimaksud, ia rajin nongkrong di kantor sekertariat ASEAN di Jakarta untuk riset mengenai Laos dan Vietnam, misalnya. Ia pun rajin bertanya pada pegawai yang merupakan warga negara tersebut demi kroscek tentang hasil riset.
Verisimilitude adalah suatu hal yang membuat cerita fiksi terasa nyata. Selain riset, yang juga perlu diperhatikan adalah tentang penggunaan pancaindra untuk membangun adegan di dalam cerita. Kerap kali indra penglihatan lah yang digunakan oleh mayoritas penulis. Padahal, justru indra penciuman lah yang paling kuat di otak manusia. Setiap mendapat aroma dari suatu hal dan berpotensi untuk kita gunakan dalam tulisan, masukkan ke dalam celengan ide.
Dalam membangun adegan, bagaimana cara menggabungkan fakta dan fiksi? Dalam kasus ini, Dee mencontohkan Kopi Tiwus dan Bukit Jambul yang terasa begitu nyata dan ada dalam serial Supernova. Banyak pembaca yang mengira bahwa keduanya benar-benar ada, padahal sesungguhnya keduanya adalah rekaan dari Dee. Ia mengaku bahwa tips untuk melakukannya adalah dengan menggabungkan fiksi dan fakta. Fiksi dengan sedikit fakta akan membuat verisimilitude meningkat. Kita bisa mempermainkan kadar kepercayaan pembaca dengan porsi fakta.
“Fungsi riset adalah menguatkan fiksi.”
Namun, tidak semua hal yang kita dapatkan dari riset harus seutuhnya masuk ke dalam kisah yang kita tulis. Perhatikan apakah ada tujuan dari detail yang dimasukkan? Apakah itu membangun cerita? Jangan paksa pembaca untuk menelan kisah dengan terlalu detail, agar pembaca punya ruang untuk imajinasinya. Dee mencontohkan detail sederhana : dengan ‘suara berat dan wajah persegi’, pembaca sudah mempunyai cukup ruang untuk menduga bagaimana tokoh yang ditampilkan. So, you don’t have to describe the other, kata Dee. Pembaca yang memiliki ruang untuk berimajinasi, memiliki ikatan dengan cerita. Bicara tentang tempo cerita, terlalu panjang narasi, cerita akan melambat. Dengan dialog, tempo akan lebih cepat. Penggunaan keduanya, memang semestinya harus seimbang dalam cerita.

PEMETAAN
Tidak semua karya butuh pemetaan. Misalnya saja puisi. Puisi adalah karya dengan teritori penulis secara penuh. Sehingga bersifat ‘bebas’. Sementara cerpen, bisa menggunakan pemetaan, bisa tidak. Novel dengan kuantitas kata yang besar, misalnya 20.000 kata ke atas, sebaiknya menggunakan pemetaan agar tak kehabisan napas. Dalam pemetaannya, novel dibagi menjadi ‘pulau awal’ dan ‘pulau tujuan’. Di antara jarak awal dan tujuan terdapat ‘pulau-pulau transisi’ yang menjadi tahap-tahap cerita. Sehingga dalam menulis tidak terjadi ‘hilang arah’, karena tahap cerita tercatat.

Karena sangat umum digunakan, Dee menghimbau penulis fiksi untuk memahami struktur ‘3 babak’ dengan komposisi berikut :


Drama 3 Babak

Dalam menulis Intelegensi Embun Pagi, Dee bahkan membuat 4 karton besar (babak 1, 2A, 2B dan 3) dimana masing-masing berisi post it berbagai warna dengan masing-masing bertuliskan satuan terkecil dari cerita : adegan. Adegan tersebut dapat dengan leluasa Dee acak dan pindahkan. Babak kedua dibagi menjadi dua bagian agar terpetakan dengan lebih jelas, karena akan terlalu panjang. Dengan begitu, Dee dapat melihat garis besar penggambaran ceritanya dengan jelas. ·         Babak I berisi perkenalan tokoh dan setting·         Babak II A menceritakan ketika tokoh terlempar dari zona nyamannya. Tokoh mulai mengalami kehidupan ‘yang tidak seharusnya’. Di sinilah terjadi konflik yang mulai memuncak ·         Babak II B, tokoh mulai ragu akan keputusannya. Konflik mencapai puncak, memanas dan segala macam hal yang bersifat sangat emosional terjadi di sini·         Babak III merupakan penyelesaian. Jangan memunculkan pertanyaan baru di babak ini, kecuali ingin membentuk cerita ke dalam serial. Seluruh pertanyaan di babak sebelumnya mesti terjawab di sini
Untuk membuat cerita yang menarik, karakter harus menjerit-jerit minta ampun akan apa yang dihadapinya. Tugas kita adalah meyakinkan karakter menemukan yang dia inginkan. Cerita mengalir karena sequence-nya tepat : sebab – akibat. Bukan akibat- sebab. Mudahnya, dicontohkan Dee dalam kalimat : “Bodhi berteriak karena kesandung” àkalimat ini kurang tepat karena menggunakan konsep akibat – sebab.“Karena kakinya tersandung, Bodhi berteriak” à kalimat ini tepat karena menggunakan konsep sebab – akibat.
Teknik ‘ciprat-ciprat’ adalah teknik yang kerap digunakan Dee untuk menulis. Dimana ketika awal adalah A, tujuan adalah C, pertengahan adalah B. Ketika ia mengalami hambatan untuk menulis B, Dee akan mengerjakan C terlebih dahulu. Ketika C sudah selesai, B otomatis akan terlihat. Untuk menulis cerita yang mengalir, selalu dikontrol oleh tempo. Untuk menjadikan tulisan bertempo cepat, gunakan adegan dan dialog. Ketika ingin memperlambat, gunakan narasi. Namun ada baiknya penggunaan keduanya seimbang. Jika terus menerus memberikan narasi, pembaca ibarat masuk ke dalam ruang besar tanpa jendela, ia merasa sesak. Jadi berikan dialog untuk ‘memperlonggar’.
Lalu, bagaimana cara menciptakan karakter yang unik? Dan bagimana pula menciptakan karakter pendukung yang kuat? Dee menjawab bahwa tidak perlu ada character driven (karakter menyetir cerita). Kita memiliki kontrol penuh terhadap cerita. Karakter adalah kuli dari cerita. Untuk menciptakan karakter yang unik, buatlah tokoh yang mirip dengan keseharian manusia, namun mempunyai kemampuan spesial. Karakter yang hidup memiliki :

·         Habit/kebiasaanTujuannya agar memiliki kedekatan dengan pembaca·         KeistimewaanMembuat pembaca merasa suka / mengidolakan  ·         KelemahanAgar tidak terlalu sempurna, layaknya manusia biasa·         BeraksiKarakter bukan korban keadaan. Seperti Keenan yang memutuskan jalan hidupnya sendiri dalam Perahu Kertas.
“Kenali karaktermu dengan baik!”
Ada tip andalan dari Dee agar karakter kita memikat pembaca. Buatlah ia menjadi karakter yang berkorban. Karakter yang punya pengorbanan selalu berhasil menumbuhkan simpati dari pembaca.


Seusai materi, Dee membuka sesi pertanyaan bebas terhadap peserta :
Mengapa ia tidak menjawab hal-hal yang bersifat pribadi dari peserta? Dee menjawab bahwa hal itu agak kurang sesuai dengan tujuan Coaching Clinic. Ia telah merangkum semua pertanyaan pribadi dirinya di www.dee-interview.blogspot.com
Dee beralih untuk bicara tentang editor. Bagi Dee, editor berfungsi sebagai penyelaras bahasa. Masing-masing penerbit memilliki aturan tersendiri. Misalnya seluruh buku yang diterbitkan penerbit X memiliki aturan bahwa setiap penulisan judul harus ditulis miring. Selain sebagai penyelaras bahasa, editor juga turut mengecek dan menyelaraskan fakta. Editor tidak akan mengubah hal penting seperti gaya bahasa dan cerita sebelum berdiskusi dengan penulis.
Seseorang menanyakan, apakah ada makna tertentu di balik pemilihan cover dengan background hitam dan simbol tertentu dalam serial Supernova? Dee mengatakan bahwa ada kesinambungan satu sama lain antara simbol-simbol tersebut. Dan, Dee pun sekaligus menjelaskan tentang cetak ulang Supernova yang menjadi bentuk kecil. Ungkapnya, ide mencetak dengan ukuran lebih kecil tersebut datang dari Mas Salman Faridi, CEO Bentang Pustaka, untuk mengembalikan tren buku tahun 80-an. Selain itu merupakan trik marketing, dimana buku yang dicetak dengan kemasan baru akan diletakkan kembali di rak-rak terdepan toko buku.
Bagaimana Dee mampu membuat karya yang dapat diangkat menjadi film? Dee mengatakan bahwa jangan jadikan karyamu sebagai beban. Poin utama dari penulis adalah membuat cerita yang bagus dan menarik. Penulis tidak lagi bisa menjadi Tuhan untuk filmnya. Ada hak adaptasi yang dimiliki oleh pekerja film. Hal itu tentu sangat berbeda dengan ‘hak untuk mengangkat mentah-mentah isi film’. Apakah penulis memiliki hak untuk ‘mengontrol cerita dalam film’? Hal itu sangat bergantung pada perjanjian/kontrak yang telah disepakati. Film sangat berbeda dengan buku. Film adalah hasil kerja kolektif, karena melibatkan banyak orang. Jadi, tak heran film adaptasi kebanyakan terdapat perbedaan dengan bukunya.
Lantas, bagaimana Dee membangun sisi humor dalam tulisan-tulisannya? Humor sangat dipengaruhi selera. Dee selalu mencoba humor yang ditulisnya sendiri. Minimal, dirinya sendiri mampu tertawa karena humor tersebut. Setidaknya emosi dan energi dapat sampai ke diri kita sendiri. Ia mengatakan bahwa komedian banyak menggunakan absurditas sebagai pematik humor. Ia mencontohkan Raditya Dika dengan berbagai hal absurd yang ia ceritakan.
Bagaimana saran Dee untuk penulis yang ingin ‘menembus’ penerbit? Dee mengakui bahwa ini salah satu kelemahannya untuk menjawab. Karena ia memulai karir menulisnya bukan dari menawarkan pada penerbit, namun melalui jalur self publishing. Ketika respon dari buku yang diterbitkannya bagus, barulah berbagai penerbit datang untuk menawarkan diri.
Dee beranggapan bahwa tulisan itu bukan masalah jelek atau bagus. Tulisan adalah masalah suka atau tidak suka. Dee mengatakan bahwa karya-karya yang ditulisnya pun kerap mengalami kritik. Misalnya saja, beberapa orang yang menyebut karya-karya Dee sebagai ‘sastra ambang’. Menurut Dee, ‘gap’ antara ‘sastra’ dan ‘bukan sastra’ dijembatani Ayu Utami di tahun 1998 ketika ia mengeluarkan karyanya. Saat ini, penulis muda yang memutuskan untuk ‘menyeberang’ ke ranah ‘sastra’ jauh lebih sedikit. Dee pun mengenang tentang ungkapan Arswendo Atmowiloto ini, “Hati-hati dengan sesuatu yang trendy, biasanya umurnya pendek.”
Dalam suka-dukanya menjadi seorang juri kompetisi menulis, Dee selalu memperhatikan hal-hal berikut :
·         KerapihanEntah spasi atau ejaan·         Halaman atau paragraf pertamaMulailah cerita dari beberapa kalimat sebelum konflik. Sehingga pembaca merasa memiliki urgensi untuk terus membaca kelanjutan kisahnya
·         “Fiksi adalah membuat realitas yang tidak biasa. Fiksi membuang yang sifatnya ordinary.” 

Penulis bertugas mengubah wujud yang tidak terlihat menjadi detail.
Pertanyaan lain, apa syarat dari Dee untuk memberikan endorsement?
              *    Buku yang dikomentari sudah pasti akan diterbitkan       *    Ada ketertarikan Dee pada genre-nya


Hambatan terbesar Dee dalam menulis adalah rasa malas. Terutama transisi ketika memiliki anak. Setelah memiliki anak, ia harus menyesuaikan banyak hal,sehingga menjadi tantangan tersendiri baginya. Misalnya Dee yang telah terbiasa untuk menulis di malam hingga pagi hari. Ketika memiliki anak, ia tak lagi menemukan waktu yang sama. Pada akhirnya ia pun meyakini bahwa siang dan malam memiliki ‘hantu’nya sendiri. Dengan mengakrabi hantu tersebut, tak ada alasan baginya untuk menunggu waktu yang selalu sama. Menulis adalah masalah disiplin.
“Hambatan terbesar menulis : jerat personal tentang mitos menulis.”
Mengapa Dee berani mengangkat tema spiritualitas dalam karya-karyanya? Ketertarikan Dee pada bidang spiritualitas berawal dari ibunya yang begitu lurus dalam memeluk agama. Ada pertanyaan-pertanyaan dalam diri Dee tentang hal tersebut sepeninggal sang ibu. Di keseharian kita, juga banyak terjadi konflik agama. Dee selalu bertanya-tanya, mengapa orang bertikai karena masalah agama yang notabene adalah tentang Tuhan. Supernova adalah ledakan Dee atas semua pertanyaan tersebut.
Tips dalam menemukan judul cerita? Dalam memilih judul, Dee menyarankan kita untuk menggunakan intuisi. Akan ada kata-kata yang berulang-ulang di kepala tentang cerita yang kita tulis. Sebelum mem-publishcerita, perhatikan judul baik-baik. Usahakan konsisten dan sejiwa dengan cerita.
Apakah seorang penulis harus selalu bergabung dengan komunitas? Dee menjawab bahwa komunitas bagai pisau bermata dua. Kadang kita merasa sempit karena merasa bahwa karya kita merasa cukup dengan memuaskan komunitas. Meski, komunitas juga sering mendukung dengan lingkungan satu visi. Sesungguhnya kita menulis untuk diri sendiri. Penghargaan seperti best sellerdan lainnya jangan jadikan tujuan utama. Menulislah untuk diri kita sendiri. Karya yang jadi adalah hadiah terbesar.
“Tujuan menulis adalah untuk menggali ke dalam diri kita sendiri.” 
Ditanya tentang mengapa seorang Dee masih begitu membumi? Ia menjawab dengan diplomatis, bahwa ia merasa masih harus terus belajar, di atas langit masih ada langit. Kedua, Dee selalu menulis untuk dirinya sendiri, bukan karena orang lain. Pujian dan kritik bernilai sama untuknya. Setelah bertahun-tahun menghasilkan karya, Dee menyimpulkan bahwa kritik dan pujian berjumlah sama. 50-50. Terlalu mendengarkan keduanya dapat berdampak kurang baik untuk penulis. Untuk apa sesuatu yang tidak memberi manfaat untuk kepenulisan? Wajar saja memasukkan respon pembaca ke dalam hati, mengingat karya tersebut kita lahirkan dengan susah payah. Namun, kita tidak bisa membuat semua orang senang. Faktor eksternal hanya bonus baginya. Menulis menjadi karir yang penting bagi Dee karena menulis secara profesional adalah suatu hal yang benar-benar ia perjuangkan sendiri.
“Dunia ini adalah dualitas. Hitam-putih. Yin-yang.”
***
Seusai materi, kami tentunya diberi kesempatan untuk book signing dan foto bersama. Pada saat Dee membuka cover Gelombang milik saya untuk ditandatangan, disitulah saya merasa bahwa kesempatan ini adalah satuan terkecil cerita Tuhan untuk saya. Bagaimana tidak? Gelombang milik saya adalah hadiah dari Mbak Ade Kumalasari : editor dan translator Bentang Pustaka, juga mommy kece dari remaja luar biasa yang seminggu sekali saya ajak untuk bermain musik. Jika ia tak memberikannya untuk saya, mungkin saya tak akan mampu menyusun review tepat waktu, dan tak akan mendapat kesempatan untuk mengikuti Coaching Clinic ini. Di Coaching Clinic ini pula saya dan Mbak Ade sama-sama duduk di satu ruang untuk belajar langsung dengan Dee. Serendipity.
Cuma Satu Nama akan rilis tahun ini, kata Dee! :)

Bersama sang mommy kece, Ade Kumalasari



Selama Coaching Clinic ini, peserta serasa diajak introspeksi tentang proses menulisnya, juga ‘diobati’ permasalahannya seperti menenggak campuran Bach Flower agar tak moody. Menemukan proses agar mampu melihat ke dalam, memaklumi cela diri dan mencintai proses menulis seperti di Cuma Satu Nama.
Saya jadi menganggap bahwa Dee persis seperti tulisannya. Tenang, chic, penuh analogi dan imajinasi, rapi dan intelek. Ia adalah pengamat yang gila. Sudut pandangnya tidak terduga. Terencana dan terorganisir. Meski begitu, sangat manusiawi ketika beberapa kali saya menangkap Dee berkaca-kaca berkisah tentang adegan Partikel yang paling menyentuhnya, juga tentang dukungan ibunya terhadap karyanya. Tulisan yang bagus bagi saya adalah ketika saya mampu mendapat gambaran wujud gaya tulisan tersebut menjadi sesosok manusia. Dengan ini terbukti, tulisan Dee adalah wujud cerminan dirinya sendiri.  




Sumber : dokumentasi Dheril

5 April 2015,

Nabila Budayana



1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on April 04, 2015 16:25

March 26, 2015

Kamisan 5 Season 3 : Biru


Ini tahun paling berat dalam hidup kami, dan kami tak tahu sampai kapan ini akan terus berlangsung. Apakah kami tak punya lagi harapan?
***
Sudah jenuh rasanya mendengar tangisan ibu. Bahkan aku tak mampu mengingat ini sudah keberapakalinya. Jika hanya menangis, mungkin tak apa. Tapi nyatanya bukan hanya hati ibu yang sakit. Seluruh tubuhnya kebiruan, memar. Apa yang bisa kulakukan? Menemani ibu menangis sudah, mencoba menggenggam tangannya erat juga telah kulakukan berulang kali, memohon padanya untuk berhenti menangis pun lunas. Tidak ada yang benar-benar bekerja. Jadi aku lebih sering diam menatapi punggungnya dari kejauhan saja.
***
Sering aku bermimpi bahwa diriku seorang laki-laki. Tentu sudah kubakar ia hidup-hidup dengan tanganku sendiri. Aku mengingatnya dengan detail yang sama. Tubuh tegap besar yang rasanya susah dirobohkan, sesekali tangannya menggenggam tongkat atau sapu atau apapun yang kiranya mampu membuat seseorang wanita paruh baya tumbang. Di sela-sela jarinya, yang ia kenakan selalu sama. Cincin berbatu biru. Sejak itu aku membenci cincin apapun, bahkan yang bukan berwarna biru. Aku perlahan juga mulai membenci warna biru, bahkan langit dan laut. Hingga saat ini pun aku tak mengerti benar apa yang sesungguhnya pria itu inginkan. Selain menghajar ibu, ia juga seringkali muncul di rumah kami dengan aroma alkohol menyengat, memaki ibu habis-habisan, kemudian pergi begitu saja. Ia bahkan tak menghiraukanku yang berdiri menatapnya lekat. 
***
"Mengapa ibu tidak membalas? Kita bahkan punya pisau daging jika ibu ingin gunakan!" kalimat ini keluar begitu saja setelah aku tak bisa menahan diri lagi. Bahkan aku tahu, di dalam hatinya, kesabaran tumpah melebihi batasnya."Aku tak bisa, nak," jawabnya singkat dan lemah.Aku bahkan tak mampu menanyakan mengapa, hingga akhirnya ia berkata lirih.

"Bagaimana mungkin aku membunuh karakter ciptaanku sendiri?" Kepala memang ruang paling berbahaya. Hidup kami sudah menjadi biru karenanya.

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on March 26, 2015 09:55

March 24, 2015

Laki-laki yang Dibelenggu Kakinya

"Sejak kapan?"
***
Aku ditampar. Sekeras-kerasnya, hingga telinga berdenging, wajah memanas dan kepala berdenyut-denyut nyeri. "Tumpahkan saja lagi esok!"Ini pasti perkara bubur sarapan pagi ini yang tak sengaja tersenggol dan berhamburan ke lantai. Hanya karena hal begini kecil saja, putraku bisa begitu marah? Jika aku bukan penyabar, mungkin aku sudah membalas perbuatannya. Asal dia tahu saja, ditampar berkali-kali cukup membuat kebencian menumpuk pada hatimu. Seandainya aku bisa.
***
Aku ingin membaca buku. Rak-rak bukuku yang dipenuhi kilauan buku-buku indah yang telah kukumpulkan dengan susah payah selama ini hanya mampu kutatap dari jauh. Bahkan kebebasanku untuk membaca sudah direbut paksa dari tanganku. Sejauh ini aku hanya bisa membaca beberapa potongan artikel di koran bungkus makan siang atau makan malam. Dan semakin lama aku semakin bosan karena melihat berita kecelakaan lalu lintas atau korupsi yang dilakukan oleh pejabat pemerintahan saja. Jika mereka tak mengizinkanku melihat dunia, setidaknya izinkan aku membaca. Seandainya aku bisa.
*** 
Semuanya mampu kulakukan. Seandainya saja kakiku tidak terbelenggu seperti ini. Manusia macam apa mereka mampu mengikatku seperti ini. Dunia memang sudah berubah. Keadilan dan kebebasan sepertinya sudah menjadi kelangkaan. Dan aku termasuk korbannya. Pantaslah usahaku sehari-hari untuk menggugat mereka sia-sia. Bahkan kuping mereka saja terlalu sombong untuk mendengarkanku, setipe dengan manusia-manusia yang terlena dibuai jabatan dan popularitas. Apa demokrasi di negaraku ini tak berlaku padaku? Aku hanya diperlakukan seperti hewan dan segala gerak-gerikku diawasi. Dunia ini sudah serupa 1984 dan Animal Farm ciptaan Orwell, kalau begitu. Sampai kapan kakiku akan dibelenggu?
***
Seorang wanita setiap hari menghabiskan waktunya dengan memandangi sudut ruang. Tersembunyi, ia tak terlihat oleh sang pria yang duduk di sana. Tak jarang ia menangis. Sesekali bertanya-tanya tentang nasibnya. Ia lelah menjalani hidupnya, dan lelah menunggu waktu itu datang. Waktu untuk melepaskan belenggu di kaki suaminya. Waktu untuknya dan putranya berhenti memberi perlakuan fisik karena begitu liarnya sang suami bertindak. Waktu untuknya menemani suaminya membaca suatu sore di teras belakang rumah. Sampai kapan suaminya mesti tinggal di dunia yang berbeda. Dunia yang logika dan kesadaran bisa diputarbalikkan begitu saja. Meski sudah cukup kebal dengan perkataan orang, ia juga sudah enggan mendengar omongan, "Istri dari suami yang gila itu..." Runtutan kesialan sepertinya terus saja hadir pada dirinya. Ia tak ingin menambah beban pertanyaan "Sejak kapan?" Namun kepalanya tak bisa begitu saja melupakan malam dimana seluruh karya suaminya dibakar habis sekelompok manusia yang mengaku berseberangan idealisme politik dengannya. Pukulan itu berhasil membuatnya gila. Sejak malam itu, hidupnya sudah tak lagi sama. Luka itu tak ia ketahui apakah akan sembuh. Sebaiknya kau berhenti menanyakan "Sejak kapan?" padanya seperti itu. 


*Ditulis untuk proyek menulis dwi mingguan, Sisa Selasa #1
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on March 24, 2015 16:24

March 12, 2015

Kamisan 4 season 3 : Bahagia

Kadang aku berpikir bahwa alam selalu memunggungiku. Ramalan cuaca selalu berbohong. Tak pernah cukup berarti bagiku. Aku sering berharap sejuk ketika panas luar biasa. Namun aku pun kerap mengutuk hujan yang terlalu lama jatuh. Jangan pernah menggantungkan ekspektasi apapun pada alam. Apalagi, kebahagiaan.

***
Kali itu sudah perdebatan kami yang kesekian. Lagi-lagi ia menuduhku macam-macam. Perselingkuhan, menghamburkan uang tabungan, dan sederet sangkaan lainnya. Sembari berteriak-teriak, barang-barang mulai berterbangan. Awalnya kukira tak akan kena. Beberapa kali pelipisku berdarah, baru kusadari kekuatannya lumayan juga. Aku tak melawan. Ujungnya, dia yang merasa bersalah. Wanita memang sukar ditebak. Tapi seakan tak belajar dari keadaan, kejadian itu selalu berulang.

*** 
Tak lama, segalanya menemui akhir. Sepucuk surat kutemukan sebelum ia pergi. Permintaan terakhir yang tak bisa kuabaikan. Kembang api di upacara pemakaman. Seluruh hadirin menangis, katanya ironis. Namun diam-diam aku tersenyum mengingat obrolan kami jauh sebelum hari ini.

"Mengapa ada kembang api?"
"Karena manusia tidak pernah merasa cukup bahagia dengan dirinya sendiri. Mereka selalu butuh diyakinkan."

Nyatanya keputusanku tidak salah. Keputusan untuk membiarkan ia larut dalam rasa bersalah, dan membantu mengarahkan pistol ke pelipisnya. Aku suami yang bahagia. Alam dan kembang api mengafirmasinya.





 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on March 12, 2015 09:47

March 9, 2015

Share The Love, Membaca dan Berbagi Cinta

Membaca adalah mendapatkan. Berbagi sudah merupakan lain hal. Membaca sanggup membuat berbagi? Itu yang kami harapkan.
Mas Agung Beka, staf Perpustakaan UNAIR menghubungi kami. Di bulan Februari yang akrab dengan berbagai pernik kasih sayang itu, beliau ingin mengundang Goodreads Indonesia regional Surabaya untuk berbagi cerita pada mahasiswa tentang kecintaan kami terhadap buku dan membaca. Di kesempatan sebelumnya, kami sempat meminjam tempat di American Corner Perpus UNAIR untuk bedah novel Green Card milik Dani Sirait. Meski gembira dengan tawaran Mas Agung, kami merasa mesti mengembangkan konsep acara. Mengingat setiap bulannya pun kami kerap berbagi tentang Goodreads Surabaya. Berinisiatif menawarkan konsep acara baru, ternyata disambut antusias oleh beliau. 
Satu narasumber sudah biasa. Bagaimana dengan beberapa? Mengikuti alur tema kasih sayang, kami berinisiatif mengucapkan terima kasih pada sahabat-sahabat yang pernah bekerjasama dengan kami selama ini. Profesional, penulis, editor, penerjemah, media, pegiat literasi, dsb. Mereka memiliki kesempatan untuk berbagi tentang aktivitas yang sedang dilakukan, pun kami ingin mahasiswa yang hadir dapat mendengar berbagai inspirasi dan dapat menjalin komunikasi langsung dari para narasumber. Gayung bersambut. Sebelas undangan menyanggupi untuk hadir dan berbagi bersama GRI Sby di panggung FlashLounge Perpustakaan UNAIR tanggal 27 Februari 2015.


Kami sempat tak berekspektasi besar pada acara ini. Selain karena memang diadakan saat jam efektif sekolah dan kerja, kami murni hanya ingin bersilaturahim dengan berbagai pihak. Namun berkat kerjasama dengan Perpustakaan UNAIR, ini acara pertama kami yang dihadiri oleh lebih dari 80 orang peserta dengan 10 narasumber bersamaan di satu panggung. Sementara Airlangga Orchestra mengiringi kami dengan musik-musik indah.
Ade Kumalasari (Penulis, Penerjemah, Editor Bentang Pustaka), Nina DK (Manager Production nulisbuku.com, Nulisbuku Club Surabaya), Irma Nurul Chusnal (Pengajar IFI Surabaya), Karguna Purnama (Pengajar IFI Surabaya), Widyoseno Estitoyo (Owner Oost Koffie & Thee), Kuntari P Januwarsi (Penulis, penerjemah, editor, founder artebia.com), Diah Rizki (Koordinator Klub Buku Surabaya), Hestia Istiviani (Founder Subreaders), Zulva Avidiansyah (Peneliti GRI Surabaya), Praja Firdaus Nuryananda (Dosen, Pegiat Literasi UPN). 10 narasumber ini berbagi tentang aktivitas yang sedang dijalani, juga keterkaitan mereka dengan budaya literasi yang mempengaruhi profesi mereka. 
Sebagai seorang pekerja perbukuan, Mbak Ade Kumala menjadikan kegiatan membaca bukan sekadar hobi, namun juga ladang pekerjaan. Ia berkisah bahwa profesi penulis, editor lepas maupun penerjemah lepas sangat memudahkan dirinya dalam berkarir sekaligus menjadi seorang ibu. Ia mampu tetap produktif melakukan kegiatannya di rumah sembari mengurus keluarga. Begitu pula dengan Mbak Kuntari. Selain menekuni dunia perbukuan, ia juga sedang menjalankan sebuah media online, artiebia.com, dimana media ini diciptakan berdasarkan kecintaannya pada menulis tentang apa saja. Berbagai rubrik menarik ditampilkan agar mampu menjadi sumber hiburan dan informasi untuk para pembaca. Mengajak rasa cinta membaca kami, Kang Karguna dan Teh Irma yang pernah tinggal di Prancis mengatakan bahwa budaya literasi sudah tertanam dengan baik pada anak-anak muda di Prancis, dengan kapanpun mereka memiliki waktu, mereka akan melewatinya dengan membaca. Dengan itu, bukan tidak mungkin anak muda Surabaya kelak akan memiliki kebiasaan yang serupa. Kecintaan mereka pada bahasa, tentunya berangkat dari kecintaan pada membaca. Belajar bahasa asing pun akan mempermudah kita untuk membaca berbagai jenis buku. Namun, Teh Irma menekankan, yang perlu diperhatikan bukan hanya proses membaca, namun juga bagaimana mengamalkan nilai-nilai positif yang didapatkan setelah membaca. 
Membaca memiliki keterkaitan kuat dengan menulis. Mbak Nina DK berbagi harapan dengan adanya nulisbuku.com, dapat mewadahi karya-karya penulis melalui jalur self-publishing, sebagai opsi lain untuk menerbitkan buku dengan jalur konvensional. Beliau berpesan bahwa membaca seharusnya bukan hanya di waktu luang, agar membaca memiliki porsi yang lebih besar dalam kegiatan kita sehari-hari. Berbeda cara, Widyoseno Estitoyo memilih menyalurkan kegemaran membacanya dengan mengalokasikan salah satu sudut kafe miliknya untuk rak berisikan buku-buku menarik yang mampu diakses oleh pengunjung. Bahkan tak jarang pengunjung yang datang memberikan buku untuk diletakkan pada rak buku Oost. Kebiasaannya untuk melahap novel impor kini bergeser menjadi buku-buku self-help yang menunjang profesinya, baik sebagai seorang entrepreneur maupun seorang manager marketing sebuah perusahaan penerbitan. Mas Seno mengungkap sebuah fakta menarik menyangkut industri perbukuan. Menurutnya, di luar negeri yang jauh lebih dulu mempopulerkan e-book, saat ini penjualan buku digital justru menunjukkan jumlah yang stagnan. Tandanya, buku fisik masih akan punya tempat dan akan terus dicari. Diah dan Hesti merupakan representasi anak-anak muda yang peduli pada budaya membaca melalui komunitas-komunitas yang mereka pimpin. Berawal dari membaca, di masa kuliah mereka saat ini, mereka sudah memiliki pekerjaan sebagai reporter media online serta community manager. Mereka mengakui bahwa membaca sangat mendukung hal-hal yang mereka kerjakan. Bahkan Hesti mengangkat novel distopia sebagai objek untuk skripsinya. Masih berstatus mahasiswa, memiliki pekerjaan sampingan dan terus berbuat untuk literasi di kalangan anak muda, saya mesti angkat topi untuk kerja keras dan dedikasi mereka. 
Kuliah di bidang Ilmu Informasi dan Perpustakaan, Zulva Avidiansyah memutuskan untuk memilih GRI Sby sebagai objek pengerjaan skripsinya. Saat ini ia sedang meneliti bagaimana berkomunitas di dalam GRI Sby mampu berpengaruh pada sisi psikologis dan eksistensi generasi muda. Bicara tentang anak muda, ketika ditanya, apakah menurut Zulva ada pengaruh gadget di kalangan anak muda dengan kegiatan membaca mereka? Ia menjawab diplomatis bahwa semua hal bersifat subjektif pada setiap pembaca, apakah ia ingin memanfaatkan gadget sebagai sarana untuk meningkatkan intensitas kegiatan membaca atau tidak. Semua berpulang pada kesadaran dan pilihan masing-masing individu. Praja Firdaus pun membagikan informasi seputar kegiatan literasi di dalam lingkungan kampus. Sebagai salah seorang pegiat di Lingkar Literasi di UPN, ia berpendapat bahwa semestinya komunitas-komunitas literasi mengadakan acara di kampus sebagai pusat peradaban. Ia mengajak para mahasiswa untuk menyadari bahwa merekalah yang semestinya paling akrab dengan buku dan bacaan. 
Masing-masing narasumber berada dalam satu pendapat bahwa budaya membaca sangat penting untuk dimiliki setiap orang. Langkah-langkah profesional dan karya mereka pun tidak lepas dari kegiatan membaca yang begitu berpengaruh. Suatu anggapan yang tidak bisa dibetulkan jika masih menganggap kegiatan membaca adalah kegiatan yang bersifat individualistis. Share The Love menunjukkannya tanpa perlu bicara berbusa. Bahwa membaca juga berhasil mempertemukan kami dengan begitu banyak jalinan persahabatan dan inspirasi. Tidak ada yang lebih patut berterimakasih selain Goodreads Surabaya untuk sebentuk kepedulian, kerjasama, persahabatan dari Perpustakaan UNAIR, juga seluruh narasumber dan audiens. Untuk limpahan kepercayaan bahwa kecintaan membaca selalu bisa dimulai dan tumbuh dalam diri masing-masing dan orang lain. 

- Nabila Budayana -

Dokumentasi acara bisa dikunjungi di sini




 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on March 09, 2015 03:16

February 26, 2015

Kamisan 3 season 3 : Prasangka

Wanita itu masih mendengarkan dengan begitu jeli. Jam dinding di rumahnya berdetak seakan makin cepat. Ia curiga. Tik tok. Tik tok. Jangan-jangan kepalanya sendiri yang menghitung tak tepat. Ia salah mendasarkan perhitungannya pada detak jantungnya sendiri yang ketukannya makin lama makin kencang. Diiringi gelisah, kepala Sang Wanita dipenuhi dugaan. Apa kecerobohannya menumpahkan tepung saat mengayak berarti langkah yang terjerembab di luar sana. Apa lamunannya yang membuat calon adonan terlalu lama dikocok berarti hati yang tak tenang untuk seseorang yang dipikirkannya. Apa kealpaannya menentukan suhu yang salah berarti impian yang hangus di suatu tempat yang lain. Ia sama sekali tak mengerti. Pada akhirnya, ia memilih untuk menutupi kegelisahannya dengan mengatakan bahwa semuanya adalah prasangka belaka.
*** 
Bertahun lalu wanita itu merasa dunianya berubah seketika. Hatinya tak lagi pada putaran dirinya sendiri. Dunianya selalu penuh dengan kewajiban menulis kisah orang lain ke dalam artikel singkat majalah wanita. Matanya menemukan petualangan baru untuk melihat dunia di luar sana. Dunia yang begitu besar dengan hati yang lapang dan bijaksana milik Sang Pria. 
Pertemuan mereka sama sekali tidak disengaja. Ini terlihat klise. Tentang wanita yang mewawancara seorang generasi ketiga kebangsaan Belanda yang kerap mendengar kisah perjuangan sang kakek ketika mesti menjadi bagian dari Perang Dunia 2. Wanita itu terkesima bagaimana Sang Lelaki bermata biru redup mengisahkan ulang tentang kekelaman Rotterdam dan Middelburg yang dihujani bom secara besar-besaran. Berapi-api, ia seakan menghadirkan kakeknya kembali dengan deskripsi suasana dan ketegangan antara hidup-mati. Bahkan juga rasa kebangsaan sejati yang sangat kental, meski Sang Lelaki saat ini memutuskan untuk memilih tinggal di Amerika. Diam-diam, Sang Wanita merasa kesal. Bisa jadi, kakek Sang Pria mengesankan di hadapannya adalah salah satu Londo yang membuat negaranya dijajah selama ratusan tahun. Tapi kali itu ia mampu menyeimbangkan rasa dan logika. Itu sudah berlalu, dan kini ia mesti mendasarkan dirinya pada sikap profesional.
Obrolan hangat itu berakhir pada mereka yang saling berbagi cerita hidup dengan sepotong Red Velvet dan teh hangat untuk masing-masing. Sang wanita sempat menolak tawaran beberapa buah Poffertjes. "Maaf, saya tak terlalu suka rasanya,""Ah, seleramu sangat Amerika, rupanya." Sang Wanita agak merasa lucu. Ketika teman laki-lakinya sedang begitu menggandrungi kopi, bule Belanda di hadapannya justru sangat menggemari teh. Sang Lelaki bahkan tak goyah sedikitpun dengan promosi membusa Sang Wanita tentang Kopi Gayo atau Kopi Luwak. Berpendirian. Mengesankan.   
Baginya, laki-laki di hadapannya berdiri di dua negara yang bahkan turut andil dalam pengakuan kedaulatan negerinya. Ia meyakinkan dirinya sendiri bahwa akan melelahkan untuk menilai segala sesuatunya dari sejarah. Laki-laki di hadapannya masih membuatnya berhasil menciptakan kekaguman.
***Sang Wanita mengabarkan artikel yang telah dimuat. Mereka berjanji untuk bertemu kembali. Alasannya untuk saling mendiskusikan hasil jadi artikel yang telah terbit. Meski begitu, keduanya tak mampu menutupi bahwa justru sebagian besar hati mereka tergerak untuk menemukan kenyamanan yang sama satu sama lain. Obrolan dan tukar pikiran. Berdiskusi dalam merasa dan menilai segala sesuatunya. 
Red Velvet kedua hari itu berhasil membuat Sang Wanita kesal sekaligus bahagia. Meski harus merasakan sakit karena gigi yang ngilu, bahagia pun ia terima ketika tahu bahwa cincin lah yang terkunyah olehnya. Sementara laki-laki mata biru di hadapannya tak mampu menahan tawa. Sang Wanita begitu menyesal mengapa ia mengenakan celana cargo dan kaos yang sangat kasual hari itu.
"Lain kali, jangan letakkan cincin di dalam kue." sang wanita berlagak mengambek"Tentu tak ada lain kali. Saya tahu tak perlu melamarmu dua kali. Bukankah jawabannya "ya"?" Laki-laki itu mengerling usil.
*** 
Gelisah Sang Wanita belum juga habis. Justru semakin menjadi. Tak mampu dihitung lagi berapa kali ia menatap pada jam dinding. Tak habis-habisnya ia memainkan cincin di jari tangannya. Percobaan keenam kali membuat Red Velvet tak pernah lepas dari lidah penguji : sang suami. Pernah terasa enak, meski esoknya keras atau hangus. Ia selalu membutuhkan komentar lelakinya. Namun kali ini berbeda. Apakah ia masih boleh berharap? Mulutnya komat-kamit mengucap doa. Hatinya tak pernah lepas dari ketakutan akan kehilangan sang suami yang pamit menuju Amerika untuk mengurus keperluan perpindahan, sebelum ia berganti kewarganegaraan merah putih. Namun berita pesawat yang kehilangan kendali membuatnya cemas dan berharap itu bukan penerbangan Sang Lelaki. Ia terus saja menunggu berita...
***
Takdir boleh saja bertindak kejam. Kecemasan Sang Wanita bisa ditafsirkan apa saja. Siapa sangka Sang Pria telah mengabaikan segala rasa dan berpura-pura. Di tengah gemerlap New York, ia tengah menikmati kue berikutnya. Red Velvet yang tak pernah gagal dalam tampilan dan rasa. Di cake shop itu, ia menggenggam erat tangan wanita. Wanita kebangsaan Amerika penggemar makanan manis dengan lipstik semerah kue di hadapannya.


*ditulis untuk Nulis Kamisan 3 #3
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on February 26, 2015 05:28

February 12, 2015

Lautan


Sudah lama aku berangan ingin merasakan lautan, yang selama ini hanya terbatas dalam pandangan. Keinginan itu sempat kukira hanya akan menjadi kenangan. Namun ini keajaiban.

***
Pertama kali aku melangkah, mataku tak bisa lepas dari air yang begitu biru dan tak berbatas. Dimana langit dan laut seringkali menyatu, sulit dipisahkan. Ini terasa sangat berbeda. Dimana langit sangat oranye ketika matahari pulang, sedangkan air tercemar warnanya. Ombak terasa tak pernah habis. Bergerak, memberikan dinamika, seakan marah atau bicara. Aku bebas bermain pasir, berlarian, berenang dan menyentuh air.

Tak ada yang sanggup kuajak bicara, kecuali angin yang tak habis menderu. Seakan berteriak atau bernyanyi. Kukira dunia luar berhasil membuat bahagia. Lautan menemukanku pada seorang pria yang pertama kali menganggapku seorang wanita luar biasa. Yang selalu berhasil membuatku merasa istimewa.

***
Belakangan, hariku habis hanya untuk memandang wanita itu. Yang selalu menatap laut dengan mata yang menyimpan cerita. Kadang ia hanya menatap lama sembari bersenandung kecil. Sesekali ia berteriak, melampiaskan amarah pada lautan. Kemudian, ia juga pernah menangis sekeras-kerasnya, seakan ingin menandingi deru ombak. Aku bertanya-tanya, apa yang sesungguhnya ada dalam pikirannya? Sebegitu rumitkah manusia? Aku terlalu penasaran untuk mengabaikannya.

"Apa yang sedang ibu bayangkan?"
Ia hanya tersenyum tanpa berkata. Tetapi ia tersenyum, sedetik kemudian berubah tangisan. Mungkin ia gila. Raut wajah paruh bayanya membuatku tak tega. Aku ingin menggenggam tangannya.
"Anakku hilang di sini. Di pantai ini," air mata masih terus saja meleleh di pipinya.

***
Pria itu begitu mencintaiku. Pertemuan pertama kami di pantai ini membawa kami ke perjalanan hati yang jauh. Ia mengetahui kondisiku yang sementara. Ia bahkan tahu kapan hari terakhirku tiba. Aku tercengang ketika ia berkata ingin menggantikan posisiku agar aku selamanya merasakan lautan dan dunia. Bukan seekor kunang-kunang yang hanya terperangkap sarang ciptaan manusia.

Kini aku tak sanggup berkata-kata lagi pada wanita itu, selain menggantungkan sarang di sana. Sang Ibu hingga kini terus di tempatnya. Memandang lautan, menginginkan putranya pulang. Tanpa pernah percaya dan menerima bila lelaki itu ada di sana. Di hadapannya. Terperangkap di sarang kecil, menemaninya melihat lautan. Menjadi seekor kunang-kunang, seperti diriku sebelumnya.




*Ditulis untuk Nulis Kamisan 3 #2

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on February 12, 2015 08:11

February 11, 2015

LPM GRI Sby : "Di Balik Toko Buku"

Pembaca sekaligus pembelanja, pasti kerap menyambangi toko buku sebagai surganya. Kehabisan bahan bacaan, toko buku menjadi jujugan. Kini, toko buku tak hanya didominasi oleh satu nama besar. Toko-toko buku lain semakin menjamur dengan menawarkan berbagai rupa pelayanan yang menarik.
***
Berdasarkan permintaan beberapa teman yang ingin mengetahui lebih jauh tentang toko buku, di tanggal 31 Januari 2015 GRI Surabaya berinisiatif untuk menjembatani diskusi antara pihak toko buku dengan pembeli, yang seringkali hanya terhubung melalui sosial media atau kertas-kertas di kotak saran.
Dibantu oleh Bapak Poedjiono, General Manager toko buku Togamas sekaligus Store Manager Petra Togamas Surabaya, materi dengan tema "Di Balik Toko Buku" diberikan oleh Ibu Margaretha Debby selaku Store Manager Togamas Diponegoro Surabaya. Kota yang diguyur hujan deras siang itu tak menghalangi teman-teman untuk hadir di Oost Koffie & Thee. Beberapa dari mereka bahkan agak kuyup sepanjang perjalanan. Saya harus angkat topi untuk semangat mereka. Namun usaha itu tak sia-sia, ternyata. Selain mendapatkan ruang diskusi yang menarik, di akhir pertemuan ada kejutan spesial dari Ibu Debby untuk kami semua yang hadir.  
Dalam berbagi kisah tentang manajemen toko buku, Ibu Debby begitu banyak menyinggung sang founder jaringan toko buku Togamas, alm. Bapak Johan Budi Sava. Kedigdayaan Toko Buku Togamas diawali dari beliau, seorang mahasiswa yang tak rampung menyelesaikan beban kuliahnya. Seringkali berkumpul dan ngobrol dengan para mahasiswa membuat Bapak Johan Budi seringkali mendengar persoalan-persoalan yang dihadapi mereka. Salah satunya adalah harga buku yang belum terjangkau. Padahal, mereka sangat membutuhkan akses untuk buku-buku diktat yang menyangkut proses pembelajaran. Dengan berbekal kecintaannya pada membaca, tercetuslah sebuah toko buku kecil yang dimulai di ruang tamu kediaman Pak Johan di tahun 1999. Tujuannya, mengadakan sebuah toko buku yang memberikan diskon, namun tetap menawarkan kualitas buku yang sama, dengan sasaran utama, para mahasiswa.
Di Surabaya dan beberapa kota lainnya, toko buku Togamas telah begitu dikenal sebagai toko buku berdiskon. Menurut Ibu Debby, setiap cabang Togamas, secara sendirinya memiliki daya serap pasar yang berbeda, kebanyakan ditentukan oleh koleksi yang dimiliki. Untuk toko buku yang menyajikan banyak buku-buku diktat dan keperluan sekolah, akan memiliki pelanggan yang kebanyakan merupakan pelajar dan mahasiswa. Dengan koleksi yang lebih banya tentang sastra, akan mengundang masyarakat umum, begitu juga toko buku dengan kebanyakan koleksi buku religi. Tak heran, secara sendirinya, masing-masing toko memiliki dominasi pelanggan yang berbeda.
Karena ada pertanyaan tentang, “Mengapa Togamas bisa berdiskon?” Ibu Debby menjelaskan dengan cukup jelas bahwa Togamas memilih untuk memangkas biaya lain seperti biaya AC atau fasilitas lain, sehingga dapat dialokasikan untuk harga buku yang lebih terjangkau dibanding toko buku yang menjual buku dengan harga normal. Dengan itu, ada harapan agar setiap orang bisa membeli buku. Di sisi lain, semakin banyak pula toko-toko buku baru yang mengadopsi program diskon yang serupa. Namun Togamas tidak menganggap toko buku lain sebagai pesaing, justru sebagai partner dalam menumbuhkan minat membaca masyarakat. Menurut Ibu Debby, jika profit mampu bertambah setiap tahun, rasanya tak perlu menganggap toko buku lain sebagai pesaing.
Ditanya apakah ada perlakuan berbeda dari toko buku tentang penerbit besar dan kecil, Ibu Debby mengatakan tidak ada, berdasarkan prinsip Pak Johan yang tidak membedakan penerbit apapun. Meski tidak membatasi penerimaan buku, tetap harus ada evaluasi terhadap hasil penjualan suatu buku. Ada masa 3 hingga 6 bulan bagi suatu buku untuk diretur. Beliau mengatakan, setiap buku memiliki umurnya di toko buku masing-masing. Rata-rata untuk setiap judul berusia 1 hingga 3 bulan. Setelah 3 bulan, buku akan cukup susah untuk diangkat jumlah penjualannya. Toko buku berkewajiban untuk membuat laporan tentang hasil penjualan.
Tentang perilaku buku, Ibu Debby membaginya menjadi 4 jenis. Jenis pertama, grafik yang dimulai dengan tingkat penjualan kecil kemudian terus meningkat seiring dengan berjalannya waktu. Biasanya judul dengan jenis pertama ini, dari awal terbit menghasilkan jumlah penjualan yang biasa-biasa saja, namun karena ada sesuatu hal, penjualannya menjadi melejit dan terus naik. Jenis kedua berkebalikan dengan jenis pertama. Judul buku dengan jenis kedua memiliki ciri sangat besar nilai penjualannya di awal, namun terus menurun seiring berjalannya waktu. Jenis kedua ini biasanya sangat meledak di saat launching, namun tak mampu bertahan lama. Tipe ketiga, buku tesebut memiliki life time yang panjang, meski rata-rata hasil penjualannya stabil (biasa-biasa saja). Contoh tipe ketiga adalah kamus maupun kitab suci. Jenis terakhir menunjukkan grafik penjualan yang naik-turun. Buku-buku tersebut biasanya mengalami kenaikan penjualan ketika kepopulerannya meningkat karena adaptasi ke film atau hal lainnya.
Lantas, bagaimana dengan penulis self publishing yang ingin menitipkan bukunya di toko buku? Togamas selalu terbuka untuk penulis-penulis indie. Meski begitu, ada beberapa aturan yang perlu dilakukan. Misalnya saja hal-hal yang berhubungan dengan usia buku dan laporan penjualan. Sisanya, dapat dilakukan kesepakatan langsung dengan pihak toko. Untuk penerbit major, dalam kerjasamanya, Togamas menjemput bola maupun mendapatkan penawaran langsung. Dalam menitipkan buku yang diterbitkannya, penerbit juga melihat prospek, laporan administrasi serta kerjasama yang baik dari toko buku yang dituju.
Ibu Debby juga memberikan saran kepada para penulis. Berdasarkan pengalamannya mengamati perilaku konsumen dan perilaku buku, alangkah baiknya ketika seorang penulis juga memikirkan strategi promosi buku yang telah diterbitkan. Beberapa cara diantaranya adalah dengan menyusun program marketing dan display buku yang menarik. Dicontohkan dengan Seri Supernova : Gelombang yang ditulis oleh Dee Lestari. Gelombang di-launching dengan cara yang berbeda di tiap kota. Penulis yang disampaikan melalui penerbit meminta toko-toko buku untuk diadakan cosplay tokoh dari buku yang menyapa calon pembeli, hadiah merchandise berupa kaos dan mug, bahkan musik horor yang diputar di toko buku. Di samping acara launchingyang menggebrak, penulis dan penerbit dapat bekerja sama untuk mengemas konsep promosi dengan merchandising maupun bermain di display toko buku. Toko buku akan sangat terbuka untuk membantu dalam menampilkan display yang menarik.   
Kami kemudian bertanya apa parameter yang membuat suatu buku digolongkan dalam rak best seller atau new release. New release mencakup buku-buku yang baru terbit dalam rentang waktu satu bulan. Sedangkan Best Sellerdihuni oleh buku-buku yang telah mencapai nilai penjualan tertentu.

Dalam mengembangkan toko buku, diperlukan program-program yang menarik, sebagai bentuk promosi kepada pelanggan. Namun, bagaimana ide tersebut berasal? Beliau justru mengatakan bahwa ide-ide program itu didapatkan dari para pelanggan yang memang memberikan saran untuk toko buku kesayangan mereka. Program-program ini sangat menunjang hasil penjualan, karena memberikan fasilitas-fasilitas yang disukai oleh pelanggan.
Dengan maraknya penjualan online beberapa tahun terakhir, Ibu Debby membagi sarannya untuk para penjual buku, bahwa toko buku online akan timpang tanpa toko buku offline, dan sebaliknya. Pada hakikatnya, sebuah bisnis harus terus mengikuti perkembangan dan pasar. Bagaimana nasib buku-buku cetak yang mesti berdesakan, berbagi tempat dengan e-book, apakah juga menjadi ancaman bisnis toko buku offline? Buku cetak masih akan terus dicari, dibuktikan dengan semakin banyaknya toko buku offline yang bermunculan. Dengan optimisme yang sama, penulis dan penerbit baru bertambah dalam jumlah yang tak disangka-sangka banyaknya.
Lantas, mengapa harga buku terus menjadi mahal? Nyatanya setiap tahun harga buku selalu naik sekitar 10 hingga 20 persen. Hal tersebut dipengaruhi oleh kenaikan harga bahan bakar, sehingga ongkos ekspedisi dan otomatis harga buku pun menjadi meningkat. Mengapa harga buku juga bisa jatuh? Hal itu terjadi pada buku-buku yang diobral oleh penerbit, maupun buku-buku yang berada di gudang toko buku. Diskon biasanya mencapai 50 persen. Untuk buku-buku dengan permintaan yang banyak, penerbit akan melakukan cetak ulang. Harga buku-buku lokal dipengaruhi oleh bahan baku dan percetakan. Sedangkan untuk harga buku impor yang mahal, jelas dikarenakan adanya pajak untuk buku-buku fiksi. Sedangkan buku-buku non fiksi tersubsidi dengan tidak dibebankannya pajak.
Mengakhiri sesi bincang sore itu, Ibu Debby berharap akan semakin banyak orang yang mencintai toko buku, berujung dengan cinta kepada buku dan mengajak orang lain untuk rajin membaca.

Kecintaan dan idealisme Johan Budi Sava untuk meningkatkan minat baca masyarakat melalui toko buku terwujud bahkan mengepak lebar hingga saat ini. Tertarik mencoba juga?         
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on February 11, 2015 04:51

January 28, 2015

Hari Pengharapan

Sudah beberapa tahun ini, wajah-wajah di kota itu tak jua mengalami perubahan. Wajah tua dan muda nyaris sama. Wajah mereka seluruhnya pucat, tak merona. Matahari sudah lupa datang ke kota ini, rupanya.

Kota seakan selalu diselimuti kabut setelah hujan turun. Tinggal di dalam kesuraman yang sama selama bertahun-tahun membuat seluruh kota merasa ditempatkan pada sebuah penjara bawah tanah. Anak-anak muda tenggelam dalam lamunannya akan mendung yang selalu datang. Mereka lebih memilih memandang jendela dalam hening ditemani balada-balada romantis. Sedangkan yang tua lebih memilih merajut dan membaca koran diiringi bunyi tetesan hujan. Tak ada aktivitas belakangan. Hanya sektor-sektor penting yang masih bergerak. Misalnya industri batu bara, pangan dan media (sebagian besar mengabarkan berita dari luar kota dan iklan). Seluruhnya berjalan lambat.

Berdasarkan rancangan undang-undang pemerintahan kota, hujan sudah dianggap sebagai penyebab kesuraman dan ketidakproduktifan. Ia hujan, bukan kambing hitam. Namun kekuasaan berbicara. Perlahan kota mulai membenci hujan yang turun terus menerus selama bertahun-tahun. Tak ingin dianggap tak berhasil, walikota memerintahkan seluruh anak buahnya untuk mencari pengharapan di antara arsip perpustakaan. Salah seorang dari mereka berhasil menemukan. Menurut ramalan para tetua, akhir bulan depan akan ada hari istimewa.

Semua jiwa menunggu hari besar. Berdasarkan almanak, dalam satu hari, matahari akan mampir kembali sejenak. Ia menyelinap beberapa derajat dari garis edarnya. Menggantikan sementara hujan yang seakan abadi. Seluruh kota menantikan, bersiap. Generasi tua menantikan kembali setelah sekian lama, sedangkan pemuda bertanya-tanya seperti apa rupa matahari jika menyinari rumah dan tanah lapang mereka. Hari itu krusial karena ditumpuk dari begitu banyak pengharapan.

***
Di antara remang dan sepi, wanita paruh baya itu terbangun dengan cemas. Keringat dingin menyusur di sepanjang pelipisnya. Matanya membelalak, mencoba menangkap gambaran samar yang ia saksikan di alam bawah sadar sebelumnya. Napasnya memburu tak beraturan. Ditengoknya jam dinding, masih beberapa menit lewat tengah malam.

Seorang bocah laki-laki mengejutkannya, tampak di ambang pintu, dan menatapi wanita itu dengan seksama.

"Terjadi lagi?"

Sang wanita mengangguk lemah. Tubuhnya terasa lengket dengan keringat, membuat tak nyaman.

"Apa yang kali ini ibu lihat?"
Sang wanita mengacungkan telunjuk ke atas. Sang bocah membaca gerakan mulut ibunya. "Hujan"

***  
Meski lesu, kabar burung di kota ini selalu berhasil melesat cepat. Menyusup melalui celah gorong-gorong, menumpang partikel angin. Seseorang dengan begitu cepat dapat mengetahui perubahan di kota ini. Nyaris tak ada yang mampu disembunyikan kecuali bisikan hati terdalam. Dalam hitungan jam, kabar burung itu telah bertransformasi menjadi prasangka. Sedikit banyak ditambahi dan didramatisasi. Setiap orang tak lagi memperhitungkan logika dan empati, hanya keegoisan dan menikmati perhatian sebagai si paling tahu.

Si bocah laki-laki berlari ketakutan ke dalam rumah. Ini sudah kesekian kalinya. mestinya ia tak boleh setakut dulu. Ia berlari dengan derap kencang di sepanjang lantai kayu rumah. Meninggalkan bunyi derit-derit kayu dari tangga tua, melesat menuju kamar ibunya.

"Kali ini berbeda." katanya, bergetar, tersengal.

Sang ibu yang baru saja selesai menatap langit-langit, menoleh padanya.

"Mereka membawa obor dan minyak tanah."

Bocah laki-laki itu tak percaya dengan apa yang dilihatnya, dan apa yang dihadapinya. Tak disangkanya, setelah membuat ibunya tak mampu lagi bicara, mereka belum puas juga. Sementara teriakan di luar rumah semakin kencang saja. Semua memaki, menyalahkan sang wanita. Ia sudah bertekad untuk melindungi ibunya, apapun yang terjadi. Ia kira ia akan kuat. Nyatanya, tubuhnya gemetar. Kepalan tangan, teriakan, minyak tanah dan obor, sudah berhasil mengecilkan nyalinya. Sang wanita beranjak memeluk putranya erat. Kini mereka mesti menghadapinya berdua saja. Sementara itu derak-derak kayu yang ditelan api terdengar, bau asap mulai menghampiri penciuman. Sang bocah terisak menangis. Sementara sang ibu berairmata dalam diamnya...

***
Meski di ujung kamar mandi, masih terasa panas. Api semakin menyudutkan. Bayangan gelap seakan telah menjangkau-jangkau. Sebelum tak sadarkan diri dalam pelukan ibunya, bocah laki-laki itu menyesal setengah mati. Ia terus saja bertanya-tanya mengapa dibiarkannya sahabat kecilnya mengetahui cerita itu. Cerita tentang mimpi ibunya yang berpayung di tengah hujan, di hari pengharapan...





Ditulis untuk Nulis Kamisan Season 3 #1


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on January 28, 2015 21:50

January 21, 2015

Taman Baca Kampung Pemulung Kalisari Damen

Ide ini sesungguhnya telah lama tersimpan di kepala. Pengalaman mengajar menulis kreatif untuk anak-anak yang memicu saya. Meski cukup puas dengan kemampuan siswa-siswi, saya melihat banyak kekurangan dalam langkah saya.

Diilhami tatapan anak-anak yang dengan gigih menjajakan koran dan mengetuk kaca jendela kendaraan saat lampu lalu lintas berubah merah, saya mulai mengajukan pertanyaan pada diri saya sendiri. Jika anak-anak yang pernah saya ajar cukup beruntung dengan berbagai fasilitas bacaan dan kesempatan untuk belajar menulis, bagaimana dengan anak-anak yang belum memiliki akses untuk itu? Beberapa bulan lalu, saya sempat menyatakan keinginan untuk mengajar mereka kepada seorang teman. Sederhana. Saya kira itu hanya akan menjadi ucapan belaka.

Langkah saya seringkali ragu. Mampukah saya? Saya sejujurnya khawatir akan terjebak pada sindrom pembuktian diri. Saya khawatir ini akan dianggap menjadi ajang 'unjuk kebolehan' saya. Saya khawatir saya tidak akan mampu memberikan apapun untuk mereka. Saya khawatir mereka akan menolak kehadiran saya. Saya khawatir mereka tidak akan antusias dengan bacaan. Saya khawatir ini akan menjadi sia-sia. Berakhir pada album foto facebook dan like, tak berarti apa-apa.

Namun saya tergerak ingin mencoba. Dengan harapan, mungkin saja satu-dua anak akan tergerak. Setidaknya inspirasi dan imajinasi mampu melatih daya pikir mereka untuk berpikir lebih analitis dan kritis. Setidaknya itu akan menjadi kontribusi untuk investasi masa depan mereka kelak. Semua bisa dimulai dari memberikan mereka fasilitas bacaan.

Langkah dimantapkan, tekad dibulatkan. Kebetulan si mbok (wanita paruh baya yang berotoritas tinggi tentang seisi rumah kami) memiliki seorang teman yang tinggal di daerah Kalisari Damen Surabaya (tidak begitu jauh dari rumah, hanya butuh 5 menit dengan kendaraan bermotor). Putrinya sejak kecil pun seringkali bertandang ke rumah kami. Sesekali kami membawakannya pakaian layak pakai atau alat tulis. Saat ini, ia, Novi, sudah menginjak SMP, dan memiliki banyak teman dengan usia yang lebih muda darinya. Sementara ustadz yang kerap mengajarkan anak-anak mengaji di Mushola Annisa Kalisari Damen sering membantu kami untuk menyulap bagian-bagian rumah yang rusak. Sedikit banyak kami cukup dekat dengan daerah tersebut, meski jarang berkunjung.

Saya dan mama kebetulan sama-sama senang, tentu dengan dana terbatas yang kami miliki, membeli buku anak untuk diberikan pada rumah tahfidz binaan teman-teman PAY (Pencinta Anak Yatim) Suroboyo, tempat dimana kakak saya bergiat. Kemudian terpikir untuk membaginya juga dengan anak-anak kampung pemulung. Merasa jumlah buku yang sanggup kami kumpulkan masih sangat sedikit, terpikir untuk mengajak beberapa teman menyumbang buku-buku bacaan pula. Di gelombang awal sekitar 20-30 buku berhasil dikumpulkan dan kami titipkan pada Novi untuk diletakkan di mushola. Namun karena tak ada yang mengajak mereka untuk membaca, buku-buku itu pun belum tersentuh. Minim antusiasme.

Survei pertama saya lakukan. Beberapa penduduk sekitar mengatakan mushola masih seringkali terkendala dengan pembiayaan listrik. Belakangan ketika sedang membaca buku dengan anak-anak, ternyata atap bagian kanan mushola juga bocor, sehingga ada genangan ketika hujan. Meski anak-anak tak masalah dengan hal itu, namun cukup berbahaya karena mampu membuat mereka terpeleset, mengurangi ruang untuk ibadah (Mushola Annisa hanya seluas kira-kira 10 meter persegi) juga membasahi benda-benda di dalam mushola. Saya mengutarakan keinginan saya untuk mampir ke mushola sekali seminggu untuk mengajak anak-anak membaca. Novi tentu kooperatif. Rupanya mereka sudah terbiasa dengan kedatangan rekan-rekan mahasiswa yang kerap mampir untuk mengajarkan mata pelajaran sekolah atau menyumbangkan pakaian.

Tuhan mengabulkan impian saya. Ia memberi kesempatan pada saya untuk belajar bersama anak-anak yang membutuhkan. Desember 2014, saya mulai seorang diri. Saya meminta bantuan Novi untuk memanggil teman-temannya untuk berkumpul di mushola. Hampir dua puluh anak terkumpul meski saat itu hujan sangat deras datang. Rentang usia mereka 5-15 tahun. Rata-rata mengenakan busana muslim. Rapi, seperti akan mengaji. Begitu melihat buku-buku tambahan yang saya bawa, mereka langsung menyerbu dan berebut. Ada yang meminta dicarikan buku bergambar mobil, pesawat, tokoh kartun favorit sampai novel. Karena sebagian besar buku masih dalam keadaan terbungkus plastik, mereka meminta izin untuk membukanya. Alhasil, di akhir pertemuan seluruh mushola tersebar berbagai sampah plastik. Saya terkejut dengan kehausan mereka akan bacaan. Mereka sibuk memilih dan membaca. Beberapa dari mereka masih harus mengeja meski sudah seusia sekolah dasar. Anak laki-laki kecil dengan bedak dingin di wajahnya turut memegang rapat buku di dada, meski belum sanggup membaca. Nyaris semua anak ribut bertanya pada saya apakah mereka boleh membawa pulang bukunya. Berapa jumlah yang boleh dipinjam, dan sebagainya.

Di pertemuan-pertemuan berikutnya, mereka dengan tertib mengembalikan buku. Meski, tentu saja ada satu-dua orang yang lupa. Saya usahakan selalu menanyakan kesan dan bagaimana cerita yang telah mereka baca. Jika mereka hanya mengatakan singkat, "seru" atau "bagus" saya akan kejar mereka untuk memberi alasan. Seorang gadis kecil dengan semangat menunjukkan hasil tulisannya tentang buku yang telah usai ia baca. Meski masih jauh dari review yang saya harapkan, namun semangatnya patut dipuji. Perlahan saya berikan contoh pembenaran di bawah hasil tulisannya, sembari menanggapi gadis kecil lain yang ingin bercerita dari lift-the-flaps-book. Salah seorang dari tiga anak laki-laki sepantaran 4-5 tahun yang di awal pertemuan harus saya panggil dari tempat mereka bermain ayunan, di minggu berikutnya memberi kabar membahagiakan bahwa ia dibantu ibunya untuk membacakan buku ensiklopedi tentang pesawat tempur. Sementara yang lain bolak-balik meminta perhatian saya untuk meminta penjelaskan tentang tank.    

Beberapa teman yang saya ceritakan tentang taman baca ini bermurah hati menyumbangkan sejumlah nominal dan buku anak untuk adik-adik. Bahkan ada yang berinisiatif untuk bergabung dan mengajarkan bahasa asing. Jumlah buku yang berhasil dikumpulkan sekitar 200 buah (Mulai buku cerita anak bergambar, komik, kisah nabi, ensiklopedi, hingga lift-the-flaps-books). Seluruhnya kami titipkan di dalam lemari mushola. Sementara sejumlah uang kami alokasikan untuk membenahi atap mushola yang bocor, dengan harapan warga sekitar bisa lebih nyaman beribadah dan berkegiatan di dalam mushola. Sisa anggaran yang lain saya rencanakan untuk membeli perlengkapan berkreasi untuk mereka gunakan setiap Jumat, agar bisa melakukan aktivitas menulis dan mewarnai tanpa harus kembali ke rumah untuk mengambil alat tulis. Ada sederet rencana untuk mengajak mereka melakukan berbagai kegiatan pula.

Saya memang tak pernah tahu seberapa jauh kaki saya akan berjalan. Ternyata, ada satu hal yang membuat saya mengucap syukur dan selalu ingin kembali : lambaian tangan, dan tatapan mereka ketika mengantar saya pulang.
 






 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on January 21, 2015 03:07