Nabila Budayana's Blog, page 5
February 8, 2016
Tape-Music oleh Piet Hein
Sonologis asal Belanda, Piet Hein kembali membagikan pengetahuan musik yang berbeda untuk publik Surabaya. Ketertarikan Piet Hein pada eksplorasi bunyi selama bertahun-tahun meluas hingga pada sejarah instrumen/tool baru. Pertemuan Musik Surabaya di tanggal 3 Februari 2016 kembali mengundang beliau untuk hadir dan memperluas cakrawala musik audiens. Berlokasi di Wisma Jerman Surabaya, Piet Hein tampak idealis namun humoris. Berbagai persiapan untuk sound juga ia lakukan sendiri dengan memperhatikan detail bunyi yang terdengar. Karena beberapa kendala detail teknis sound, Piet Hein bahkan sempat meminta maaf karena bunyi yang ia putarkan tidak terdengar maksimal, karena ia tidak hanya akan memberikan pengetahuan mengenai tape-music, melainkan juga menampilkan sejumlah komposisi sesuai dengan perkembangan eranya.
Musik turut berkembang dengan zaman. Teknologi begitu terpengaruh dalam prosesnya. Era baru dihias dengan berbagai kemungkinan perluasan variasi bunyi. Proses tersebut telah berlangsung sejak pertengahan 1900an di mana Theremin dan Onde Martenot muncul sebagai instrumen musik baru yang didukung tenaga listrik. Begitu pula dengan penemuan elektromagnetik yang memungkinkan penempatan bunyi pada sebuah layer. Layer ini kemudian menjadi sambungan metal pada bentuk pertama instrumen. Dicontohkan penerapannya pada kaset dan alat putarnya.
Penyimpanan bunyi dengan alat tersebut telah berlangsung dalam beberapa dekade, yang kemudian berkembang menjadi bentuk-bentuk digital. Tape recorder mulai muncul di masa perang dunia ke II. Meski awalnya digunakan untuk kepentingan perang, kreatifitas manusia membawanya sebagai alat untuk merekam musik. Tak hanya berhenti di situ, tape juga dimanfaatkan untuk memanipulasi bunyi dengan melakukan proses editing dan mixing.
Tape menjadi media penting dalam musik, hingga mampu melahirkan Concrete Music (Musik Konkret), Electronic Music (Musik Elektronik), SoundScape serta Electro Accoustic Music di kisaran tahun 1945 hingga 1980. Setelah tahun 80an, merekam dengan cara digital memungkinkan dilakukannya berbagai bentuk dan variasi manipulasi bunyi dengan software.
Piet Hein berkali-kali menegaskan bahwa tape music bukan tentang era atau genre musik, namun tentang tool atau instrumen. Terdapat perbedaan yang jelas antara tape-music dengan instrumen klasik barat. Dalam penemuannya, instrumen klasik tersebut hanya memberikan warna bunyi yang berbeda. Sedangkan tape-music menghasilkan style baru dalam penciptaan komposisi
Ialah Pierre Schaeffer yang pertama kali menggagas tape-music, dengan merekam bunyi dari lingkungan sekitar, kemudian di-edit dan dikombinasikan dengan bunyi lain. Hasil rekam bunyi tersebut diolah menjadi komposisi Etude Aux Chemins de Fer di tahun 1948, di mana Schaeffer mengambil bunyi-bunyi dari kereta, seperti peluit, bunyi roda kereta yang berbenturan dengan rel, hingga deru kereta yang menjauh. Schaeffer meng-edit dan menggabungkannya hingga menjadi satu komposisi baru yang menarik. Komposisi tersebut kemudian dikenal sebagai karya pertama untuk musik konkret (concrete music).
Lain lagi dengan Variation Pour Une Porte Un Soupir (Variasi untuk Pintu dan Napas). Pada komposisi ini Henry memadukan bunyi pintu dengan napas manusia. Hanya dengan merekam unsur bunyi pintu dan napas, Henry pun mengolah bunyi, melalui proses editing, menjadi satu komposisi yang baru dengan durasi sekitar 47 menit. Kualitas produksi terlihat jauh lebih baik ketimbang milik Scaheffer meski hanya berjarak 15 tahun kemudian.
Piet Hein kembali mengajak audiens mengenal komposisi Henry yang diciptakan empat tahun setelah komposisi terakhir yaitu Messe pour Le Temp Present (Mass for the Present Time). Komposisi ini sangat berbeda dengan tipikal musik Pintu dan Napas, jika dibahasakan dengan bahasa terkini, musik Henry ini terkesan seperti musik Pop, dengan menggabungkan juga dengan jenis Jazz dan kontemporer di dalamnya. Bunyi yang diolah dan diperdengarkan terkesan jauh lebih ramai dan lebih beragam, namun terasa modern dengan pernik instrumen dan accompaniment. Sesekali terdengar bunyi yang menggabungkan musik Jazz, populer dan kontemporer. Dalam perkembangannya, bunyi juga dihasilkan dengan tools yang berbeda, seperti sign-wave generators, alat pembangkit sinyal sinusoidal.
Diperdengarkan pula komposisi ke-tujuh dari Stockhausen, Etude-Study in Concrete Music yang diciptakan tahun 1952. Selama lebih dari tiga menit, terdengar benda-benda yang digeser, digaruk, dipukul, diotak-atik, bahkan digesek untuk menghasilkan kesinambungan bunyi. Di masa ini lah masa di mana komponis tidak lagi mempedulikan batas antara concrete dan synthetic sounds.
Gesang der Junglinge (Song of the Youths) milik Stockhausen terdengar cemerlang di awal, kemudian diikuti suara wanita dan anak kecil yang bersahutan menyuarakan beberapa nada berlainan. Juga terdengar nada minor dari string, dan tambahan efek elektronik dikemas dengan permainan volume yang dinamis. Membesar dan mengecil secara tiba-tiba, fade out, untuk kemudian muncul kembali. Komposisi ini benar-benar mengulik beragam bunyi dengan dinamika ekstrem.
Death tones dan pure tones merupakan bentuk pembagian tone dari seorang komposer asal Belgia, Karel Goeyvaerts. Death tones didefinisikan sebagai bunyi yang didominasi oleh sign waves sedangakan pure tones jauh lebih kaya dengan overtones. Untuk menjelaskannya lebih jauh, Piet Hein meminta audiens untuk mendengar perbandingan dua komposisi Goeyvaerts yaitu Study 4 dan Study 5. Audiens dapat mendengar death tones dengan kecenderungan monoton. Hal itu diekspresikan oleh komposer dengan wujud seperti nada bel yang dimainkan bersahutan. Pola yang sama mengalami repetisi sehingga terkesan sama. Sedangkan pure tones lebih liar dalam pola. Nada-nadanya pun dinamis, tak terikat dengan durasi tertentu. Pure tones terdengar dinamis dan variatif. Namun jika pure tones dan death tones dikombinasikan, mampu tercipta komposisi bunyi yang menarik.
Dalam electronic music, komposer Hungaria-Austria, Gyorgy Ligeti lah yang menciptakan Articulation, sebuah komposisi yang menggabungkan berbagai tones. Bahkan Ligeti menciptakan score yang bisa menampilkan secara real time, yaitu score dan bunyi yang berkesesuaian. Bentuk-bentuk yang ada di dalam score berupa grafik notasi menggambarkan karakter dari bunyi yang dihasilkan.
Perkembangan kembali dilakukan oleh Iannis Xenakis, komposer Yunani-Prancis yang menciptakan komposisi berjudul Concrete PH. Dulu disebut sebagai concrete music, untuk kemudian lebih banyak dikenal sebagai "electronic music" saat ini. Luciano Berio, komposer asal Italia menyambut tongkat estafet dengan meleburkan batasan synthetic sounds dan concrete sounds pada karyanya. Komposisi yang diciptakannya terdengar seakan seseorang sedang menggeram memainkan berbagai suara dari mulut diiringi berbagai bunyi-bunyi lain dalam Visage for Electronic Sounds and Cathy Barbarians Voice on Tape. Piet Hein mengingat, di tahun 1983, ia sempat bertemu dengan Slamet Abdul Sjukur dan mereferensikan komposisi ini pada SAS. Setelah itu, di tahun 2014 lalu digelar konser Sluman Slumun Slamet dalam rangka memperingati 79 tahun SAS, di salah satu karyanya, Piet Hein menduga kuat komposisi Berio tersebut menginspirasi karya SAS yang berjudul Gelandangan.
Waktu berkarya dari tahun 1929 hingga 2005 hidup seorang Luc Ferrari, ia menciptakan komposisi Soundscape Fullscale pertama kalinya. Komposisi ini terdengar bagai bunyi gerimis yang samar, kemudian di bagian tengah digabungkan dengan bunyi-bunyi benda yang dijatuhkan, namun terkesan penuh perhitungan. Piet Hein memberikan batasan beda yang jelas antara soundscape dan concrete music. Concrete music tidak diciptakan pada perspektif sound awareness (kepekaan terhadap bunyi) dan acoustic ecology. Di sisi lain, soundscape ditampilkan di luar gedung pertunjukan, dan mengambil bunyi dari lingkungan dengan pertimbangan sound awareness dan accoustic ecology. Concrete music, electronic music dan soundscapes bukan tentang style ataupun era dari musik, namun merupakan tool/instrumen baru bagi komposer. Ia mampu mewujud dalam berbagai style. Istilah tape music sudah tak lagi digunakan, alih-alih "tracks" untuk mendefinisikan berbagai bentuk bunyi yang telah direkam sebelumnya. Sedikit menyinggung tentang electro-accoustic yaitu perbedaannya dengan tiga jenis musik di atas, Piet Hein menjelaskan bahwa jenis ini adalah bentuk penggabungan antara musik elektronik dan akustik, di mana sebagian besar dilakukan secara live atau kombinasi live-tracks keduanya.
Mengakhiri sesi berbagi, Piet Hein memperdengarkan The Tubes dari Michael Fahres. Komposisi tersebut terdengar seperti penggabungan suara ombak dan diberikan berbagai efek musik. Bunyi ombak diulang terus menerus dengan pola yang sama, namun bunyi yang menjadi "tambahan"nya divariasikan sedemikian rupa.
Piet Hein membawa audiens ke sebuah pemahaman baru tentang sejarah perkembangan variasi musik dari sudut pandang yang berbeda, yaitu musik elektronik, musik konkret dan soundscape, juga hal lainnya yang berkembang bersama era tersebut. Mengenal musik dengan perspektif yang lebih luas mampu membawa pencinta musik meningkatkan sound awareness, kepekaan terhadap bunyi.
Musik turut berkembang dengan zaman. Teknologi begitu terpengaruh dalam prosesnya. Era baru dihias dengan berbagai kemungkinan perluasan variasi bunyi. Proses tersebut telah berlangsung sejak pertengahan 1900an di mana Theremin dan Onde Martenot muncul sebagai instrumen musik baru yang didukung tenaga listrik. Begitu pula dengan penemuan elektromagnetik yang memungkinkan penempatan bunyi pada sebuah layer. Layer ini kemudian menjadi sambungan metal pada bentuk pertama instrumen. Dicontohkan penerapannya pada kaset dan alat putarnya.
Penyimpanan bunyi dengan alat tersebut telah berlangsung dalam beberapa dekade, yang kemudian berkembang menjadi bentuk-bentuk digital. Tape recorder mulai muncul di masa perang dunia ke II. Meski awalnya digunakan untuk kepentingan perang, kreatifitas manusia membawanya sebagai alat untuk merekam musik. Tak hanya berhenti di situ, tape juga dimanfaatkan untuk memanipulasi bunyi dengan melakukan proses editing dan mixing.
Tape menjadi media penting dalam musik, hingga mampu melahirkan Concrete Music (Musik Konkret), Electronic Music (Musik Elektronik), SoundScape serta Electro Accoustic Music di kisaran tahun 1945 hingga 1980. Setelah tahun 80an, merekam dengan cara digital memungkinkan dilakukannya berbagai bentuk dan variasi manipulasi bunyi dengan software.
Piet Hein berkali-kali menegaskan bahwa tape music bukan tentang era atau genre musik, namun tentang tool atau instrumen. Terdapat perbedaan yang jelas antara tape-music dengan instrumen klasik barat. Dalam penemuannya, instrumen klasik tersebut hanya memberikan warna bunyi yang berbeda. Sedangkan tape-music menghasilkan style baru dalam penciptaan komposisi
Ialah Pierre Schaeffer yang pertama kali menggagas tape-music, dengan merekam bunyi dari lingkungan sekitar, kemudian di-edit dan dikombinasikan dengan bunyi lain. Hasil rekam bunyi tersebut diolah menjadi komposisi Etude Aux Chemins de Fer di tahun 1948, di mana Schaeffer mengambil bunyi-bunyi dari kereta, seperti peluit, bunyi roda kereta yang berbenturan dengan rel, hingga deru kereta yang menjauh. Schaeffer meng-edit dan menggabungkannya hingga menjadi satu komposisi baru yang menarik. Komposisi tersebut kemudian dikenal sebagai karya pertama untuk musik konkret (concrete music).
Lain lagi dengan Variation Pour Une Porte Un Soupir (Variasi untuk Pintu dan Napas). Pada komposisi ini Henry memadukan bunyi pintu dengan napas manusia. Hanya dengan merekam unsur bunyi pintu dan napas, Henry pun mengolah bunyi, melalui proses editing, menjadi satu komposisi yang baru dengan durasi sekitar 47 menit. Kualitas produksi terlihat jauh lebih baik ketimbang milik Scaheffer meski hanya berjarak 15 tahun kemudian.
Piet Hein kembali mengajak audiens mengenal komposisi Henry yang diciptakan empat tahun setelah komposisi terakhir yaitu Messe pour Le Temp Present (Mass for the Present Time). Komposisi ini sangat berbeda dengan tipikal musik Pintu dan Napas, jika dibahasakan dengan bahasa terkini, musik Henry ini terkesan seperti musik Pop, dengan menggabungkan juga dengan jenis Jazz dan kontemporer di dalamnya. Bunyi yang diolah dan diperdengarkan terkesan jauh lebih ramai dan lebih beragam, namun terasa modern dengan pernik instrumen dan accompaniment. Sesekali terdengar bunyi yang menggabungkan musik Jazz, populer dan kontemporer. Dalam perkembangannya, bunyi juga dihasilkan dengan tools yang berbeda, seperti sign-wave generators, alat pembangkit sinyal sinusoidal.
Diperdengarkan pula komposisi ke-tujuh dari Stockhausen, Etude-Study in Concrete Music yang diciptakan tahun 1952. Selama lebih dari tiga menit, terdengar benda-benda yang digeser, digaruk, dipukul, diotak-atik, bahkan digesek untuk menghasilkan kesinambungan bunyi. Di masa ini lah masa di mana komponis tidak lagi mempedulikan batas antara concrete dan synthetic sounds.
Gesang der Junglinge (Song of the Youths) milik Stockhausen terdengar cemerlang di awal, kemudian diikuti suara wanita dan anak kecil yang bersahutan menyuarakan beberapa nada berlainan. Juga terdengar nada minor dari string, dan tambahan efek elektronik dikemas dengan permainan volume yang dinamis. Membesar dan mengecil secara tiba-tiba, fade out, untuk kemudian muncul kembali. Komposisi ini benar-benar mengulik beragam bunyi dengan dinamika ekstrem.
Death tones dan pure tones merupakan bentuk pembagian tone dari seorang komposer asal Belgia, Karel Goeyvaerts. Death tones didefinisikan sebagai bunyi yang didominasi oleh sign waves sedangakan pure tones jauh lebih kaya dengan overtones. Untuk menjelaskannya lebih jauh, Piet Hein meminta audiens untuk mendengar perbandingan dua komposisi Goeyvaerts yaitu Study 4 dan Study 5. Audiens dapat mendengar death tones dengan kecenderungan monoton. Hal itu diekspresikan oleh komposer dengan wujud seperti nada bel yang dimainkan bersahutan. Pola yang sama mengalami repetisi sehingga terkesan sama. Sedangkan pure tones lebih liar dalam pola. Nada-nadanya pun dinamis, tak terikat dengan durasi tertentu. Pure tones terdengar dinamis dan variatif. Namun jika pure tones dan death tones dikombinasikan, mampu tercipta komposisi bunyi yang menarik.
Dalam electronic music, komposer Hungaria-Austria, Gyorgy Ligeti lah yang menciptakan Articulation, sebuah komposisi yang menggabungkan berbagai tones. Bahkan Ligeti menciptakan score yang bisa menampilkan secara real time, yaitu score dan bunyi yang berkesesuaian. Bentuk-bentuk yang ada di dalam score berupa grafik notasi menggambarkan karakter dari bunyi yang dihasilkan.
Perkembangan kembali dilakukan oleh Iannis Xenakis, komposer Yunani-Prancis yang menciptakan komposisi berjudul Concrete PH. Dulu disebut sebagai concrete music, untuk kemudian lebih banyak dikenal sebagai "electronic music" saat ini. Luciano Berio, komposer asal Italia menyambut tongkat estafet dengan meleburkan batasan synthetic sounds dan concrete sounds pada karyanya. Komposisi yang diciptakannya terdengar seakan seseorang sedang menggeram memainkan berbagai suara dari mulut diiringi berbagai bunyi-bunyi lain dalam Visage for Electronic Sounds and Cathy Barbarians Voice on Tape. Piet Hein mengingat, di tahun 1983, ia sempat bertemu dengan Slamet Abdul Sjukur dan mereferensikan komposisi ini pada SAS. Setelah itu, di tahun 2014 lalu digelar konser Sluman Slumun Slamet dalam rangka memperingati 79 tahun SAS, di salah satu karyanya, Piet Hein menduga kuat komposisi Berio tersebut menginspirasi karya SAS yang berjudul Gelandangan.
Waktu berkarya dari tahun 1929 hingga 2005 hidup seorang Luc Ferrari, ia menciptakan komposisi Soundscape Fullscale pertama kalinya. Komposisi ini terdengar bagai bunyi gerimis yang samar, kemudian di bagian tengah digabungkan dengan bunyi-bunyi benda yang dijatuhkan, namun terkesan penuh perhitungan. Piet Hein memberikan batasan beda yang jelas antara soundscape dan concrete music. Concrete music tidak diciptakan pada perspektif sound awareness (kepekaan terhadap bunyi) dan acoustic ecology. Di sisi lain, soundscape ditampilkan di luar gedung pertunjukan, dan mengambil bunyi dari lingkungan dengan pertimbangan sound awareness dan accoustic ecology. Concrete music, electronic music dan soundscapes bukan tentang style ataupun era dari musik, namun merupakan tool/instrumen baru bagi komposer. Ia mampu mewujud dalam berbagai style. Istilah tape music sudah tak lagi digunakan, alih-alih "tracks" untuk mendefinisikan berbagai bentuk bunyi yang telah direkam sebelumnya. Sedikit menyinggung tentang electro-accoustic yaitu perbedaannya dengan tiga jenis musik di atas, Piet Hein menjelaskan bahwa jenis ini adalah bentuk penggabungan antara musik elektronik dan akustik, di mana sebagian besar dilakukan secara live atau kombinasi live-tracks keduanya.
Mengakhiri sesi berbagi, Piet Hein memperdengarkan The Tubes dari Michael Fahres. Komposisi tersebut terdengar seperti penggabungan suara ombak dan diberikan berbagai efek musik. Bunyi ombak diulang terus menerus dengan pola yang sama, namun bunyi yang menjadi "tambahan"nya divariasikan sedemikian rupa.
Piet Hein membawa audiens ke sebuah pemahaman baru tentang sejarah perkembangan variasi musik dari sudut pandang yang berbeda, yaitu musik elektronik, musik konkret dan soundscape, juga hal lainnya yang berkembang bersama era tersebut. Mengenal musik dengan perspektif yang lebih luas mampu membawa pencinta musik meningkatkan sound awareness, kepekaan terhadap bunyi.
Published on February 08, 2016 03:31
Tape Music oleh Piet Hein
Sonologis asal Belanda, Piet Hein kembali membagikan pengetahuan musik yang berbeda untuk publik Surabaya. Ketertarikan Piet Hein pada eksplorasi bunyi selama bertahun-tahun meluas hingga pada sejarah instrumen/tool baru. Pertemuan Musik Surabaya di tanggal 3 Februari 2016 kembali mengundang beliau untuk hadir dan memperluas cakrawala musik audiens. Berlokasi di Wisma Jerman Surabaya, Piet Hein tampak idealis namun humoris. Berbagai persiapan untuk sound juga ia lakukan sendiri dengan memperhatikan detail bunyi yang terdengar. Karena beberapa kendala detail teknis sound, Piet Hein bahkan sempat meminta maaf karena bunyi yang ia putarkan tidak terdengar maksimal.
Musik turut berkembang dengan zaman. Teknologi begitu terpengaruh dalam prosesnya. Era baru dihias dengan berbagai kemungkinan perluasan variasi bunyi. Proses tersebut telah berlangsung sejak pertengahan 1900an di mana Theremin dan Onde Martenot muncul sebagai instrumen musik baru yang didukung tenaga listrik. Begitu pula dengan penemuan elektromagnetik yang memungkinkan penempatan bunyi pada sebuah layer. Layer ini kemudian menjadi sambungan metal pada bentuk pertama instrumen. Dicontohkan penerapannya pada kaset dan alat putarnya.
Penyimpanan bunyi dengan alat tersebut telah berlangsung dalam beberapa dekade, yang kemudian berkembang menjadi bentuk-bentuk digital. Tape recorder mulai muncul di masa perang dunia ke II. Meski awalnya digunakan untuk kepentingan perang, kreatifitas manusia membawanya sebagai alat untuk merekam musik. Tak hanya berhenti di situ, tape juga dimanfaatkan untuk memanipulasi bunyi dengan melakukan proses editing dan mixing.
Tape menjadi media penting dalam musik, hingga mampu melahirkan Concrete Music (Musik Konkret), Electronic Music (Musik Elektronik), SoundScape serta Electro Accoustic Music di kisaran tahun 1945 hingga 1980. Setelah tahun 80an, merekam dengan cara digital memungkinkan dilakukannya berbagai bentuk dan variasi manipulasi bunyi dengan software.
Piet Hein berkali-kali menegaskan bahwa tape music bukan tentang era atau genre musik, namun tentang tool atau instrumen. Terdapat perbedaan yang jelas antara tape music dengan instrumen klasik barat. Dalam penemuannya, instrumen klasik tersebut hanya memberikan warna bunyi yang berbeda. Sedangkan tape music menghasilkan style baru dalam penciptaan komposisi
Ialah Pierre Schaeffer yang pertama kali mewujudkan tape music, dengan merekam bunyi dari lingkungan sekitar, kemudian di-edit dan dikombinasikan dengan bunyi lain. Komposisi pertama tape music adalah Etude Aux Chemins de Fer di tahun 1948, di mana Schaeffer mengambil bunyi-bunyi dari kereta, seperti peluit, bunyi roda kereta yang berbenturan dengan rel, hingga deru kereta yang menjauh. Schaeffer meng-edit dan menggabungkannya hingga menjadi sebuah sajian bunyi yang menarik. Komposisi tersebut dikenal sebagai karya pertama untuk concrete music.
Lain lagi dengan Pierre Henry yang di tahun 1963 menciptakan Variation Pour Une Porte Un Soupir. Di mana Henry memadukan bunyi pintu dengan desau manusia. Kualitas produksi terlihat jauh lebih baik ketimbang milik Scaheffer meski hanya berjarak 15 tahun kemudian.
Piet Hein kembali mengajak audiens mengenal komposisi Henry yang diciptakan empat tahun setelah komposisi terakhir. Messe pour Le Temp Present (Mass for the Present Time). Terkesan jauh lebih ramai dan beragam bunyi yang diperdengarkan. Namun terasa modern dengan pernik instrumen dan accompaniment. Sesekali terdengar bunyi yang menggabungkan musik Jazz, populer dan kontemporer. Dalam perkembangannya, bunyi juga dihasilkan dengan tools yang berbeda, seperti sign-wave generators, alat pembangkit sinyal sinusoidal.
Diperdengarkan pula komposisi ke-tujuh dari Stockhausen, Etude-Study in Concrete Music diciptakan tahun 1952. Selama lebih dari tiga menit, terdengar benda-benda yang digeser, digaruk, dipukul, diotak-atik, bahkan digesek untuk menghasilkan kesinambungan bunyi. Di masa ini, komposer tak lagi mempedulikan batas antara concrete dan synthetic sounds.
Gesang der Junglinge (Song of the Youths) milik Stockhausen terdengar cemerlang di awal, kemudian diikuti suara wanita dan anak kecil yang bersahutan menyuarakan beberapa nada berlainan. Juga terdengar nada minor dari string, dan tambahan efek elektronik dikemas dengan permainan volume yang dinamis. Membesar dan mengecil secara tiba-tiba, fade out, untuk kemudian muncul kembali. Komposisi ini benar-benar mengulik beragam bunyi dengan dinamika ekstrem.
Death tones dan pure tones merupakan bentuk pembagian tone dari seorang komposer asal Belgia, Karel Goeyvaerts. Death tones didefinisikan sebagai bunyi yang didominasi oleh sign waves sedangakan pure tones jauh lebih kaya dengan overtones. Untuk menjelaskannya lebih jauh, Piet Hein meminta audiens untuk mendengar perbandingan dua komposisi Goeyvaerts yaitu Study 4 dan Study 5. Audiens dapat mendengar death tones dengan kecenderungan monoton. Hal itu diekspresikan oleh komposer dengan wujud seperti nada bel yang dimainkan bersahutan. Pola yang sama mengalami repetisi sehingga terkesan sama. Sedangkan pure tones lebih liar dalam pola. Nada-nadanya pun dinamis, tak terikat dengan durasi tertentu. Pure tones terdengar dinamis dan variatif. Namun jika pure tones dan death tones dikombinasikan, mampu tercipta komposisi bunyi yang menarik.
Dalam electronic music, komposer Hungaria-Austria, Gyorgy Ligeti lah yang menciptakan Articulation, sebuah komposisi yang menggabungkan berbagai tones. Bahkan Ligeti menciptakan score yang bisa menampilkan secara real time, score dan bunyi yang berkesesuaian. Bentuk-bentuk yang ada di dalam score menggambarkan karakter dari bunyi yang dihasilkan.
Perkembangan kembali dilakukan oleh Iannis Xenakin, komposer Yunani-Prancis yang menciptakan komposisi berjudul Concrete PH. Dulu disebut sebagai concrete music, untuk kemudian lebih banyak dikenal sebagai "electronic music" saat ini. Luciano Berio, komposer asal Italia menyambut tongkat estafet dengan meleburkan batasan synthetic sounds dan concrete sounds pada karyanya. Komposisi yang diciptakannya terdengar seakan seseorang sedang menggeram memainkan berbagai suara dari mulut diiringi berbagai bunyi-bunyi lain dalam Visage for Electronic Sounds and Cathy Barbarians Voice on Tape. Piet Hein mengingat, di tahun 1983, ia sempat bertemu dengan Slamet Abdul Sjukur dan mereferensikan komposisi ini pada SAS. Setelah itu, diduga kuat komposisi Berio tersebut menginspirasi karya SAS yang berjudul Berandalan.
Waktu berkarya dari tahun 1929 hingga 2005 hidup seorang Luc Ferrari, ia menciptakan komposisi Soundscape Fullscale pertama kalinya. Komposisi ini terdengar bagai bunyi gerimis yang samar, kemudian di bagian tengah digabungkan dengan bunyi-bunyi benda yang dijatuhkan, namun terkesan penuh perhitungan. Piet Hein memberikan batasan beda yang jelas antara soundscape dan concrete music. Concrete music tidak diciptakan pada perspektif sound awareness (kepekaan terhadap bunyi) dan acoustic ecology. Di sisi lain, soundscape ditampilkan di luar gedung pertunjukan, dan mengambil bunyi dari lingkungan. Concrete music, electronic music dan soundscapes bukan tentang style ataupun era dari musik, namun merupakan tool/instrumen baru bagi komposer. Ia mampu mewujud dalam berbagai style. Istilah tape music sudah tak lagi digunakan, alih-alih "tracks" untuk mendefinisikan berbagai bentuk bunyi yang telah direkam sebelumnya.
Mengakhiri sesi berbagi, Piet Hein memperdengarkan The Tubes dari Michael Fahres. Komposisi tersebut terdengar seperti penggabungan suara ombak dan diberikan berbagai efek musik. Bunyi ombak diulang terus menerus dengan pola yang sama, namun bunyi yang menjadi "tambahan"nya divariasikan sedemikian rupa.
Piet Hein membawa audiens ke sebuah pemahaman baru tentang sejarah perkembangan variasi musik dari sudut pandang yang berbeda. Mengenal musik dengan perspektif yang lebih luas mampu membawa pencinta musik meningkatkan sound awareness, kepekaan terhadap bunyi.
Musik turut berkembang dengan zaman. Teknologi begitu terpengaruh dalam prosesnya. Era baru dihias dengan berbagai kemungkinan perluasan variasi bunyi. Proses tersebut telah berlangsung sejak pertengahan 1900an di mana Theremin dan Onde Martenot muncul sebagai instrumen musik baru yang didukung tenaga listrik. Begitu pula dengan penemuan elektromagnetik yang memungkinkan penempatan bunyi pada sebuah layer. Layer ini kemudian menjadi sambungan metal pada bentuk pertama instrumen. Dicontohkan penerapannya pada kaset dan alat putarnya.
Penyimpanan bunyi dengan alat tersebut telah berlangsung dalam beberapa dekade, yang kemudian berkembang menjadi bentuk-bentuk digital. Tape recorder mulai muncul di masa perang dunia ke II. Meski awalnya digunakan untuk kepentingan perang, kreatifitas manusia membawanya sebagai alat untuk merekam musik. Tak hanya berhenti di situ, tape juga dimanfaatkan untuk memanipulasi bunyi dengan melakukan proses editing dan mixing.
Tape menjadi media penting dalam musik, hingga mampu melahirkan Concrete Music (Musik Konkret), Electronic Music (Musik Elektronik), SoundScape serta Electro Accoustic Music di kisaran tahun 1945 hingga 1980. Setelah tahun 80an, merekam dengan cara digital memungkinkan dilakukannya berbagai bentuk dan variasi manipulasi bunyi dengan software.
Piet Hein berkali-kali menegaskan bahwa tape music bukan tentang era atau genre musik, namun tentang tool atau instrumen. Terdapat perbedaan yang jelas antara tape music dengan instrumen klasik barat. Dalam penemuannya, instrumen klasik tersebut hanya memberikan warna bunyi yang berbeda. Sedangkan tape music menghasilkan style baru dalam penciptaan komposisi
Ialah Pierre Schaeffer yang pertama kali mewujudkan tape music, dengan merekam bunyi dari lingkungan sekitar, kemudian di-edit dan dikombinasikan dengan bunyi lain. Komposisi pertama tape music adalah Etude Aux Chemins de Fer di tahun 1948, di mana Schaeffer mengambil bunyi-bunyi dari kereta, seperti peluit, bunyi roda kereta yang berbenturan dengan rel, hingga deru kereta yang menjauh. Schaeffer meng-edit dan menggabungkannya hingga menjadi sebuah sajian bunyi yang menarik. Komposisi tersebut dikenal sebagai karya pertama untuk concrete music.
Lain lagi dengan Pierre Henry yang di tahun 1963 menciptakan Variation Pour Une Porte Un Soupir. Di mana Henry memadukan bunyi pintu dengan desau manusia. Kualitas produksi terlihat jauh lebih baik ketimbang milik Scaheffer meski hanya berjarak 15 tahun kemudian.
Piet Hein kembali mengajak audiens mengenal komposisi Henry yang diciptakan empat tahun setelah komposisi terakhir. Messe pour Le Temp Present (Mass for the Present Time). Terkesan jauh lebih ramai dan beragam bunyi yang diperdengarkan. Namun terasa modern dengan pernik instrumen dan accompaniment. Sesekali terdengar bunyi yang menggabungkan musik Jazz, populer dan kontemporer. Dalam perkembangannya, bunyi juga dihasilkan dengan tools yang berbeda, seperti sign-wave generators, alat pembangkit sinyal sinusoidal.
Diperdengarkan pula komposisi ke-tujuh dari Stockhausen, Etude-Study in Concrete Music diciptakan tahun 1952. Selama lebih dari tiga menit, terdengar benda-benda yang digeser, digaruk, dipukul, diotak-atik, bahkan digesek untuk menghasilkan kesinambungan bunyi. Di masa ini, komposer tak lagi mempedulikan batas antara concrete dan synthetic sounds.
Gesang der Junglinge (Song of the Youths) milik Stockhausen terdengar cemerlang di awal, kemudian diikuti suara wanita dan anak kecil yang bersahutan menyuarakan beberapa nada berlainan. Juga terdengar nada minor dari string, dan tambahan efek elektronik dikemas dengan permainan volume yang dinamis. Membesar dan mengecil secara tiba-tiba, fade out, untuk kemudian muncul kembali. Komposisi ini benar-benar mengulik beragam bunyi dengan dinamika ekstrem.
Death tones dan pure tones merupakan bentuk pembagian tone dari seorang komposer asal Belgia, Karel Goeyvaerts. Death tones didefinisikan sebagai bunyi yang didominasi oleh sign waves sedangakan pure tones jauh lebih kaya dengan overtones. Untuk menjelaskannya lebih jauh, Piet Hein meminta audiens untuk mendengar perbandingan dua komposisi Goeyvaerts yaitu Study 4 dan Study 5. Audiens dapat mendengar death tones dengan kecenderungan monoton. Hal itu diekspresikan oleh komposer dengan wujud seperti nada bel yang dimainkan bersahutan. Pola yang sama mengalami repetisi sehingga terkesan sama. Sedangkan pure tones lebih liar dalam pola. Nada-nadanya pun dinamis, tak terikat dengan durasi tertentu. Pure tones terdengar dinamis dan variatif. Namun jika pure tones dan death tones dikombinasikan, mampu tercipta komposisi bunyi yang menarik.
Dalam electronic music, komposer Hungaria-Austria, Gyorgy Ligeti lah yang menciptakan Articulation, sebuah komposisi yang menggabungkan berbagai tones. Bahkan Ligeti menciptakan score yang bisa menampilkan secara real time, score dan bunyi yang berkesesuaian. Bentuk-bentuk yang ada di dalam score menggambarkan karakter dari bunyi yang dihasilkan.
Perkembangan kembali dilakukan oleh Iannis Xenakin, komposer Yunani-Prancis yang menciptakan komposisi berjudul Concrete PH. Dulu disebut sebagai concrete music, untuk kemudian lebih banyak dikenal sebagai "electronic music" saat ini. Luciano Berio, komposer asal Italia menyambut tongkat estafet dengan meleburkan batasan synthetic sounds dan concrete sounds pada karyanya. Komposisi yang diciptakannya terdengar seakan seseorang sedang menggeram memainkan berbagai suara dari mulut diiringi berbagai bunyi-bunyi lain dalam Visage for Electronic Sounds and Cathy Barbarians Voice on Tape. Piet Hein mengingat, di tahun 1983, ia sempat bertemu dengan Slamet Abdul Sjukur dan mereferensikan komposisi ini pada SAS. Setelah itu, diduga kuat komposisi Berio tersebut menginspirasi karya SAS yang berjudul Berandalan.
Waktu berkarya dari tahun 1929 hingga 2005 hidup seorang Luc Ferrari, ia menciptakan komposisi Soundscape Fullscale pertama kalinya. Komposisi ini terdengar bagai bunyi gerimis yang samar, kemudian di bagian tengah digabungkan dengan bunyi-bunyi benda yang dijatuhkan, namun terkesan penuh perhitungan. Piet Hein memberikan batasan beda yang jelas antara soundscape dan concrete music. Concrete music tidak diciptakan pada perspektif sound awareness (kepekaan terhadap bunyi) dan acoustic ecology. Di sisi lain, soundscape ditampilkan di luar gedung pertunjukan, dan mengambil bunyi dari lingkungan. Concrete music, electronic music dan soundscapes bukan tentang style ataupun era dari musik, namun merupakan tool/instrumen baru bagi komposer. Ia mampu mewujud dalam berbagai style. Istilah tape music sudah tak lagi digunakan, alih-alih "tracks" untuk mendefinisikan berbagai bentuk bunyi yang telah direkam sebelumnya.
Mengakhiri sesi berbagi, Piet Hein memperdengarkan The Tubes dari Michael Fahres. Komposisi tersebut terdengar seperti penggabungan suara ombak dan diberikan berbagai efek musik. Bunyi ombak diulang terus menerus dengan pola yang sama, namun bunyi yang menjadi "tambahan"nya divariasikan sedemikian rupa.
Piet Hein membawa audiens ke sebuah pemahaman baru tentang sejarah perkembangan variasi musik dari sudut pandang yang berbeda. Mengenal musik dengan perspektif yang lebih luas mampu membawa pencinta musik meningkatkan sound awareness, kepekaan terhadap bunyi.
Published on February 08, 2016 03:31
February 6, 2016
Kaus Bergaris dan Jeans Belel
Keluar.
Itu kata terakhir dari Ayah yang selamanya tertancap di ingatan. Selama ini aku terus mencoba lari. Lari dari susupan rasa-rasa bersalah, penyesalan, dan takdir waktu yang tak bisa diulang.
***
Jam-jam kepulangan Ayah dari luar kota selalu membuat suasana rumah gempita. Seakan semua orang bersiap menerima kejutannya masing-masing. Ibu dan kakak-kakakku kelamaan merasa ini hanya sebuah permainan, karena Ayah paling sering membawakan kejutan untukku. Jam tangan dengan pengaturan alarm, agar aku selalu tepat waktu melakukan shalat, sampai mukenah ukuran anak yang kumiliki seperti koleksi, berganti-ganti setiap kali. Itu belum termasuk sampul kitab berbagai warna. Bagi Ayah, semua harapan perempuan sholehah ada di diriku. Bagiku, kejutan dan hadiah selalu menyenangkan. Tak peduli apa pun bentuknya.
***
Beranjak dewasa, aku meminta pindah dari sekolah swasta religius ke sekolah negeri dengan kemajemukan. Begitu banyak pertanyaanku tentang bagaimana dunia di luar sana. Tentang siapa Tuhan di kepala orang lain, tentang bagaimana rasanya memiliki teman sebangku dengan kepercayaan yang berbeda. Namun itu sama halnya dengan menentang awan gelap untuk menurunkan hujan. Ayah menolak habis-habisan. Katanya, aku sudah mencederai hati Ayah, parah. Mengecewakan, menghancurkan impian. tak tahu berterimakasih, dan berbagai macam ungkapan lainnya. Aku tak ingat lagi.
***
Kaus bergaris dan jeans belel dengan lubang di bagian lutut yang terpajang di etalase toko itu diam-diam tak bisa kuhilangkan dari kepala. Mulai ada bayangan tentang diriku sendiri jika memakainya. Tubuhku pun segera merespon dengan mulai menghitung isi tabungan. Kemudian ada amarah yang membuatku bergetar. Keinginan ini tentu akan mengecewakan Ayah lagi. Juga ada pertanyaan, manusia macam apa diriku. Semakin lama semakin menjauh dari gadis kecil yang Ayah harapkan. Bahkan, aku mulai meragukan siapa diriku sendiri.
***
Diriku tampak benar-benar berbeda dengan kaus bergaris dan jeans belel. Ini malam ketika Ayah sedang tak ada di rumah. Ia lembur hingga menjelang tengah malam, katanya. Kakak dan ibu sedang menginap di luar kota, mengunjungi saudara yang sedang terserang stroke akut. Tanpa Ayah di rumah, aku tiba-tiba ingin mencoba. Tak apa. Sekali ini saja. Lagipula aku tak berbohong apa-apa. Dan Ayah tak perlu tahu, sampai membebani dirinya sendiri. Sisanya, aku akan menjadi gadis impian Ayah lagi. Apa artinya beberapa jam saja. Sekadar mencoba. Malam itu, dengan kaus bergaris dan jeans belel, aku berjalan ke luar rumah dan melupakan sesaat tentang gadis impian Ayah. Mencari jawaban dan menemukan diriku yang benar-benar berbeda.
***
Tidak ada satu pun yang tahu tentang kaus bergaris dan jeans belel. Ia terlalu menggoda untuk hanya digunakan sekali. Hanya dengan keduanya, aku menemukan dunia yang selama ini cuma tersimpan penuh tanya di dalam kepala. Apa rasanya, dan bagaimana menyikapinya. Sesekali aku kenakan kembali kaus bergaris dan jeans belel itu tanpa pengetahuan siapa-siapa. Entah untuk keluar berjalan-jalan, atau sekadar berkaca di cermin jika tak memungkinkan. Namun selalu kuwajibkan diriku sendiri untuk kembali menjadi gadis impian Ayah. Cita-cita Ayah, keinginan Ayah.
***
Tidak ada tupai yang tak pernah terjatuh. Dengan kaus bergaris dan jeans belel yang sama, aku berbincang dengan beberapa teman di sebuah cafe. Tentu teman-temanku ini sama sekali tak masuk dalam perhitungan Ayah. Di luar dugaan, aku alpa bahwa itu jalur pulang kantor dan tempat Ayah biasa meeting dengan klien. Aku serasa dipukul langsung di bagian wajah. Aku begitu ingin menukar saat itu dengan apa saja. Apa saja, asal momen itu tak pernah terjadi.
***
Bertahun-tahun setelah Ayah memintaku keluar dari rumah, Ibu dan kakak mencariku mati-matian ke mana saja. Sementara aku sudah memilih tempat yang jauh, di luar pulau tempat kami tinggal. Hidup seorang diri dengan mulai dari belas kasihan teman. Tak ada pelukan paling hangat namun begitu terasa asing ketika aku bertemu Ibu dan Kakak untuk pertama kalinya setelah sekian lama. Ketakutan kami bertahun-tahun tentang perpisahan yang selamanya, dipupuskan melalui air mata, haru yang meluap tak terkira. Aku bahkan tak berani bertanya di mana Ayah ketika itu. Namun kepekaan Ibu tak pernah berkurang. Ia menggenggam tanganku dengan tangis yang sebisa-bisanya ia tahan. "Ayahmu ikhlas tentangmu.."
***
Ayah memang tak perlu tahu tentang kaus bergaris dan jeans belel yang tak pernah kusentuh lagi.
Ia memang tak perlu tahu. Aku hidup sesuai dengan cara yang dipilihkannya untukku setelah keluar dari rumah.
Ia memang juga tak perlu tahu. Seberapa besar penyesalan dan kata maaf yang begitu ingin kuhamburkan padanya.
Aku hanya datang dan tertegun tentang ketakberadaannya. Ayah alpa mengajarkanku memaafkan diri sendiri.Ayah lupa mengajarkanku merelakan keterlambatan.
Bertahun-tahun kemudian, bahkan entah sampai kapan, aku masih bertanya-tanya, apa arti merelakan sesungguhnya?
*Kisah fiksi ditulis untuk #NulisBarengAlumni @KampusFiksi
Itu kata terakhir dari Ayah yang selamanya tertancap di ingatan. Selama ini aku terus mencoba lari. Lari dari susupan rasa-rasa bersalah, penyesalan, dan takdir waktu yang tak bisa diulang.
***
Jam-jam kepulangan Ayah dari luar kota selalu membuat suasana rumah gempita. Seakan semua orang bersiap menerima kejutannya masing-masing. Ibu dan kakak-kakakku kelamaan merasa ini hanya sebuah permainan, karena Ayah paling sering membawakan kejutan untukku. Jam tangan dengan pengaturan alarm, agar aku selalu tepat waktu melakukan shalat, sampai mukenah ukuran anak yang kumiliki seperti koleksi, berganti-ganti setiap kali. Itu belum termasuk sampul kitab berbagai warna. Bagi Ayah, semua harapan perempuan sholehah ada di diriku. Bagiku, kejutan dan hadiah selalu menyenangkan. Tak peduli apa pun bentuknya.
***
Beranjak dewasa, aku meminta pindah dari sekolah swasta religius ke sekolah negeri dengan kemajemukan. Begitu banyak pertanyaanku tentang bagaimana dunia di luar sana. Tentang siapa Tuhan di kepala orang lain, tentang bagaimana rasanya memiliki teman sebangku dengan kepercayaan yang berbeda. Namun itu sama halnya dengan menentang awan gelap untuk menurunkan hujan. Ayah menolak habis-habisan. Katanya, aku sudah mencederai hati Ayah, parah. Mengecewakan, menghancurkan impian. tak tahu berterimakasih, dan berbagai macam ungkapan lainnya. Aku tak ingat lagi.
***
Kaus bergaris dan jeans belel dengan lubang di bagian lutut yang terpajang di etalase toko itu diam-diam tak bisa kuhilangkan dari kepala. Mulai ada bayangan tentang diriku sendiri jika memakainya. Tubuhku pun segera merespon dengan mulai menghitung isi tabungan. Kemudian ada amarah yang membuatku bergetar. Keinginan ini tentu akan mengecewakan Ayah lagi. Juga ada pertanyaan, manusia macam apa diriku. Semakin lama semakin menjauh dari gadis kecil yang Ayah harapkan. Bahkan, aku mulai meragukan siapa diriku sendiri.
***
Diriku tampak benar-benar berbeda dengan kaus bergaris dan jeans belel. Ini malam ketika Ayah sedang tak ada di rumah. Ia lembur hingga menjelang tengah malam, katanya. Kakak dan ibu sedang menginap di luar kota, mengunjungi saudara yang sedang terserang stroke akut. Tanpa Ayah di rumah, aku tiba-tiba ingin mencoba. Tak apa. Sekali ini saja. Lagipula aku tak berbohong apa-apa. Dan Ayah tak perlu tahu, sampai membebani dirinya sendiri. Sisanya, aku akan menjadi gadis impian Ayah lagi. Apa artinya beberapa jam saja. Sekadar mencoba. Malam itu, dengan kaus bergaris dan jeans belel, aku berjalan ke luar rumah dan melupakan sesaat tentang gadis impian Ayah. Mencari jawaban dan menemukan diriku yang benar-benar berbeda.
***
Tidak ada satu pun yang tahu tentang kaus bergaris dan jeans belel. Ia terlalu menggoda untuk hanya digunakan sekali. Hanya dengan keduanya, aku menemukan dunia yang selama ini cuma tersimpan penuh tanya di dalam kepala. Apa rasanya, dan bagaimana menyikapinya. Sesekali aku kenakan kembali kaus bergaris dan jeans belel itu tanpa pengetahuan siapa-siapa. Entah untuk keluar berjalan-jalan, atau sekadar berkaca di cermin jika tak memungkinkan. Namun selalu kuwajibkan diriku sendiri untuk kembali menjadi gadis impian Ayah. Cita-cita Ayah, keinginan Ayah.
***
Tidak ada tupai yang tak pernah terjatuh. Dengan kaus bergaris dan jeans belel yang sama, aku berbincang dengan beberapa teman di sebuah cafe. Tentu teman-temanku ini sama sekali tak masuk dalam perhitungan Ayah. Di luar dugaan, aku alpa bahwa itu jalur pulang kantor dan tempat Ayah biasa meeting dengan klien. Aku serasa dipukul langsung di bagian wajah. Aku begitu ingin menukar saat itu dengan apa saja. Apa saja, asal momen itu tak pernah terjadi.
***
Bertahun-tahun setelah Ayah memintaku keluar dari rumah, Ibu dan kakak mencariku mati-matian ke mana saja. Sementara aku sudah memilih tempat yang jauh, di luar pulau tempat kami tinggal. Hidup seorang diri dengan mulai dari belas kasihan teman. Tak ada pelukan paling hangat namun begitu terasa asing ketika aku bertemu Ibu dan Kakak untuk pertama kalinya setelah sekian lama. Ketakutan kami bertahun-tahun tentang perpisahan yang selamanya, dipupuskan melalui air mata, haru yang meluap tak terkira. Aku bahkan tak berani bertanya di mana Ayah ketika itu. Namun kepekaan Ibu tak pernah berkurang. Ia menggenggam tanganku dengan tangis yang sebisa-bisanya ia tahan. "Ayahmu ikhlas tentangmu.."
***
Ayah memang tak perlu tahu tentang kaus bergaris dan jeans belel yang tak pernah kusentuh lagi.
Ia memang tak perlu tahu. Aku hidup sesuai dengan cara yang dipilihkannya untukku setelah keluar dari rumah.
Ia memang juga tak perlu tahu. Seberapa besar penyesalan dan kata maaf yang begitu ingin kuhamburkan padanya.
Aku hanya datang dan tertegun tentang ketakberadaannya. Ayah alpa mengajarkanku memaafkan diri sendiri.Ayah lupa mengajarkanku merelakan keterlambatan.
Bertahun-tahun kemudian, bahkan entah sampai kapan, aku masih bertanya-tanya, apa arti merelakan sesungguhnya?
*Kisah fiksi ditulis untuk #NulisBarengAlumni @KampusFiksi
Published on February 06, 2016 06:20
February 5, 2016
Kampus Fiksi 15
"Sudah tahu, ya?"
Itu pertanyaan seorang teman suatu kali ketika kami berdiskusi tentang menulis beberapa kali. Ia curiga saya sudah mengerti apa yang ia katakan karena ia tahu, dulu saya sering keluar-masuk workshop/seminar. Merasa semakin pintar? Tidak. Merasa sebaliknya, hampir selalu pasti. Materi mungkin serupa. Namun sudut pandang memang wujud yang tak pernah kering, tak pernah habis dipelajari. Untuk apa saja, termasuk kemampuan menulis kreatif.
Saya juga sering bertanya-tanya pada diri sendiri. Kapan saya akan berhenti keluar-masuk workshop/seminar menulis? Jenuh, karena tak cukup membuat saya konsisten menghidupi motivasi diri, namun juga terlalu merasa sayang melewatkannya lalu begitu saja. Jadi, saya juga sering bertanya, mengangguk-angguk, merenungkan dan mencatat apa saja yang diterima, namun begitu saja mengabaikan dengan berbagai alasan, beberapa waktu kemudian. Bebal.
Tidak terbersit apa-apa ketika saya iseng saja mengirimkan cerita pendek untuk seleksi Kampus Fiksi. Sama seperti sayembara-sayembara lainnya, saya tidak berharap apa-apa. Ternyata semesta menjawab ke-setengahhati-an yang saja ajukan. Mungkin Tuhan menganggap api saya sudah terlalu kecil untuk memasak. Perlu ditambahkan minyak lagi agar baranya menyala, setidaknya cukup untuk penerangan beberapa langkah ke depan.
Pada akhirnya saya senang. Kampus Fiksi cukup kuat memberi alasan pada diri saya untuk kembali ke Jogjakarta setelah sekian lama. Ada teguran untuk janji-janji berkunjung yang belum ditepati, dan tentu saja utang kepada diri sendiri untuk kembali menemui kota ini.
Penyakit terlalu 'normatif' saya memang agak akut. Norma saya seperti janji yang sudah lama untuk diri sendiri. Menjejak Jogjakarta di menit-menit awal, saya bertekad mesti melepas rindu pada gang kecil Sosrowijayan terlebih dulu. Saya berutang banyak pada tempat itu sebagai setting cerpen dan iming-iming teman-teman yang memancing saya untuk kembali.
"Cari penginapan?" supir becak bertanya kesekian kalinya.Saya menggeleng. "Mau ke toko buku, Pak."
Dengan beban barang bawaan yang lumayan, roda-roda kecil tas saya menyusuri jalan kecil gang Sosrowijayan. Sepertinya bookshop di sana sudah bertambah beberapa dibanding kunjungan saya terakhir kali. Boomerang memang selalu saya wajibkan. Tapi tidak ada salahnya menjajal toko-toko lainnya. Tuhan tidak membiarkan saya melakukan dosa terlalu lama, rupanya. Dosa karena sebegitu mudahnya mengurangi jumlah pundi-pundi, dan selisih paham dengan tim Diva Press perkara penjemputan. Tapi ini murni saya yang nakal. Memindah tempat penjemputan seenak hati demi nazar yang menuntut dipenuhi. Hanya beberapa menit saja sempat menyisipkan Ben Okri, Ishiguro dan Eric Siblin ke dalam tas, saya kemudian menggeret roda-roda tas kembali ke ujung gang yang berlawanan untuk tempat penjemputan baru yang sudah diatur ulang. Dosa lainnya, saya salah ambil posisi, dan membuat repot lebih lagi dengan mesti berjalan menuju mobil jemputan yang berhenti di ujung jalan. Bawaan saya yang berat dibantu bawakan oleh laki-laki muda yang belakangan saya tahu seorang penghobi jalan kaki. Belum lagi membiarkan pengemudi yang untungnya, sabar dan riang menunggu. Benar-benar tak enak hati.
Bahkan tak sempat lama saya memperhatikan wajah gadis yang menyambut saya di bangku penumpang. Sedikit-sedikit pandangan ia tundukkan dengan wajah memerah. Ia tak banyak bicara dan hanya menjawab sekenanya jika ditanya. Saya kira, ia tak suka dengan orang baru. Maka kami tak banyak bicara, hanya saya saja yang lebih banyak bertanya pada laki-laki pejalan kaki dan pengemudi riang hati di bangku depan. Melihat bagaimana mereka sebegitu mudahnya membagikan rasa percaya dan keramahtamahan yang tak dibuat-buat, saya tahu ini sudah bukan hal baru bagi mereka. Kami kemudian menunggu di depan Lempuyangan untuk menunggu yang lainnya. Seorang demi seorang datang. Perempuan dengan riasan lengkap serta laki-laki humoris yang mengalah dengan duduk di bangku paling belakang. Perjalanan tidak berlalu kaku, selalu tersedia banyak bahan obrolan untuk sebuah perkenalan.
Kami dituntut cepat untuk menyesuaikan diri dengan tempat baru. Sebuah gedung di Bantul mengumpulkan banyak orang di satu atap. Jelas, saya satu kamar dengan gadis pemalu dan perempuan riasan lengkap. Dalam beberapa menit, itu hanya menjadi prasangka awal saja. Gadis itu tak pemalu, fisiknya hanya terlalu sensitif bereaksi ketika terpapar matahari berlebihan, membuatnya tak enak badan. Perempuan dengan riasan lengkap itu pemecah kebekuan. Apa adanya dirinya membuat hangat. Kami kemudian cepat akrab dan berinisiatif berjalan sore menuju swalayan yang kami kira hanya di ujung jalan. Nyatanya lebih dari satu kilometer bolak-balik berjalan kaki. Meski cukup menyesal berjalan jauh, tapi kami melihat hal-hal lokal yang kami sadari sudah bukan hal biasa untuk kami. Anak-anak kecil bermain bola ketimbang gadget, atau beberapa pria-pria tua yang menatapi papan catur dengan serius di beranda rumah tak bersekat, seakan mengundang siapa saja untuk bergabung. Kami, nyatanya, terlalu merasa modern untuk menganggap hal-hal itu kebiasaan. Padahal, sesungguhnya, kami hanya dikecoh arus serba materi.
Kembali ke gedung, kami menemukan lebih banyak lagi orang. Saya terus-terusan gagal mengingat nama beberapa detik setelah bersalaman, menyalahkan kepayahan ingatan. Kami berjubel di salah satu kamar. Seorang perempuan dengan tatapan tajam, perempuan dengan rambut tergerai dan gadis berkacamata pendiam yang tampak berhati-hati membaca keadaan. Juga seorang perempuan manis dengan ayu khas wanita Jawa, calon ibu muda yang matang. Saya kemudian tak ingat apa yang kami semua bicarakan. Mungkin tentang kamar mandi, makan malam, atau pengaturan posisi tidur. Entah. Tapi riuhnya luar biasa. Meski sama-sama mengenal Surabaya, saya sesungguhnya agak segan berbincang dengan perempuan tatapan tajam. Bahkan saya menebak, hingga akhir program, saya tak akan cukup banyak berinteraksi dengannya. Nyatanya, saya tahu dia perempuan dengan keteguhan luar biasa, jujur dan percaya dengan nilai dirinya sendiri. Impresif.
Perkenalan yang dituntut singkat dan cepat, belum sempat membuat kami menjadi dekat. Namun pembukaan mesti segera dimulai. Sebisanya, saya mengais-ngais mata untuk mencocokkan nama di papan nama masing-masing dengan wajah-wajah baru. Kepayahan saya semakin menjadi-jadi. Pasrah saja, akan menghapal seiring dengan jalannya waktu, hibur diri sendiri. Posisi yang cukup dekat dengan pemateri membuat saya gembira. Maklum, mata buram dan seringkali lemot jika tak mendapat greget suasana. Saya belum sempat berbincang sedikit pun dengan perempuan easy-going di sebelah kiri. Rambutnya yang selalu terkuncir rendah dengan pembawaan santai dan apa adanya itu menarik. Juga pandai memposisikan diri, saya kira ia jagoan, dan membuat karakternya dengan mudah menonjol di antara yang lain. Sesekali ketika melirik pada mejanya, catatannya tak penuh poin, justru sarat ornamen hiasan. Ia penggambar ulung. Arsitek. Dan bukan perempuan dandan. Ia menarik karena apa adanya dirinya. Bebas berteriak, bahkan mengucapkan ungkapan persahabatan yang kasar. Itu caranya sendiri, dan kami tak pernah tersinggung untuk itu. Saya tak banyak berbicara hingga akhir dengan gadis mungil di sebelah kanan. Bahkan saya agak segan memancing pembicaraan, karena sepertinya ia sungguh-sungguh mengikuti panel. Nanti saya akan berbicara kembali dengannya, itu selalu dalam tekad saya. Tapi nyatanya kami tak banyak bersinggungan, selain duduk bersebelahan. Tak apa. Masih ada lain kali.
Setelah setahun berlalu, saya melihat beliau, sang empunya acara, pria yang menjadikan pertemuan-pertemuan dan memfasilitasi apa saja yang semua orang butuhkan selama acara berlangsung. Saya jadi ingat, saya menanyakan tentang internalisasi tokoh padanya terakhir kali di Surabaya. Masih dengan senyum yang membumi, namun dalam secara filosofi. Kemampuan berbicaranya tetap menarik untuk diikuti. Tak ingin membuat ekspektasi kami terbang terlalu tinggi, beliau menceritakan tentang pahitnya dunia kepenulisan yang akan kami tempuhi. Bukan untuk menjatuhkan, namun sekadar memaparkan kenyataan. Belum habis, kami diminta untuk membuat rancangan cerita pendek kemudian. Katanya, untuk bekal menulis selama tiga jam keesokan hari.
Jam-jam pertama selalu jadi ruang penyesuaian. Malam itu, masalah dimulai. kamar yang terlalu kecil untuk sekian perempuan, cukup membuat repot. Barang bawaan yang bergeletakan, juga salah satu dari masalah setelah berebut giliran menggunakan kamar mandi. Perempuan dengan rambut tergerai yang santai di atas tempat tidur sejak tadi cukup membuat saya penasaran. Ada nada santai dalam setiap caranya berbicara. Namun saat-saat diamnya justru menimbulkan pertanyaan. Apa itu tentang hidup, pekerjaan, atau menilai perbincangan? Tak banyak yang bisa saya katakan tentang dirinya. Belakangan, kami tahu ia berkarir di sebuah penerbitan dan susah mendapat jadwal libur.
Kami tidur dengan pembagian yang seadanya. Beberapa mengalah memilih tidur di aula ketimbang mesti berdesakan di dalam kamar. Sisanya, termasuk saya, teguh mempertahankan slot. Maklum, saya sulit untuk tidur dengan ruang cenderung terbuka. Memilih untuk berhimpitan dengan perempuan tatapan tajam, perempuan rambut tergerai, juga perempuan riasan lengkap. Claustrophobia mesti diredam, karena butuh beberapa saat untuk bisa menerima tidur dengan lampu yang dimatikan. Sedikit terasa sesak di awal, tapi kemudian cukup terbiasa. Yang berhasil membuat saya lelap hanya lelah sisa menempuh perjalanan sepanjang pagi dan siang.
Mengingatkan tujuan sesungguhnya kami datang, program disusun beruntun dan padat di hari ke dua. Beliau, sang empunya acara hadir kembali dengan materi yang berbeda. Teknik kepenulisan secara umum, juga dengan pernik kisah pengalaman yang menarik untuk diikuti. Bukan sebentar kami mesti menyimak, namun jalan menyenangkan dalam penyampaian selalu berhasil menarik perhatian kembali. Seperti dua hal yang tak bisa dipisahkan, calon-calon penulis ini dibekali dengan materi self edit yang begitu sering kami abaikan setelah proses menulis usai. Perempuan editor mungil dengan gaya bertutur tegas, cepat, membuat kami mesti pasang fokus lebih. Tak meremehkan proses koreksi ulang patut dimasukkan daftar penting untuk menjadi seorang penulis. Bentuk penghargaan pada pembaca, meski hanya seorang pembaca pertama. Seperti menawarkan diri, kami akan dinilai berdasar karya yang kami tuliskan. Self edit menempati posisi penting dari rangkaian proses lahirnya sebuah karya.
Jam-jam istirahat bukannya berlalu tanpa pelajaran apa-apa. Sembari mengudap makan siang, kami mengobrol, mencari tahu, mendengar, berkisah tentang latar belakang hidup satu sama lain. Mencari kesamaan, belajar dari perbedaan. Seakan kami dihantui waktu bahwa hari hanya tersisa esok, dan belum saling mengenal adalah momok menakutkan. Saya mulai berbincang langsung dengan perempuan-perempuan muda di kamar yang berbeda. Mereka adalah karakter-karakter yang nyaris bertolak belakang dengan populasi kamar sebelumnya. Ada ketenangan yang lebih mengambang, dibarengi kedekatan yang seakan terbangun tanpa perlu berkata. Ekspresi datar dari wajah manis awal dua puluhan itu yang membuat saya selalu merasa kesusahan menilai apa yang ia bicarakan yang sebenarnya atau hanya sebuah canda. Ia seakan memiliki dunia sendiri dan ketakacuhan terhadap apa yang tak ia yakini. Pun, tak sebegitu mudahnya mengekspresikan kepanikan atau kemarahan. Kemudian perempuan jangkung manis dengan satu-dua kata yang tak mudah ditebak apa yang dipikirkannya. Aksen Sunda membuatnya mudah diingat. Lain lagi, perempuan super mungil yang dewasa dan tenang menyikapi pembicaraan. Jiwa baru yang sedang berkembang dalam rahimnya tak membuat ia kesusahan dan membatasi diri. Bahkan ia belum mengidam apa-apa, hanya mampu makan sedikit-sedikit setiap kali. Mengesankan. Gadis kecil lain menonjol karena berbeda dari wujud fisik kami kebanyakan. Masih di usia belia, meski terlihat imut, namun ia cukup dewasa memposisikan diri. Tanpa perlu berusaha keras, bahkan kami sudah mampu menyayanginya sebagai adik terkecil kami.
Saya sudah curiga dengan perempuan rapi yang cenderung pendiam di antara obrolan candaan kami. Saya kira ia agak angkuh di awal. Ternyata ia hanya telah melewati masanya. Ibu muda dua anak yang tenang dan dewasa. Karakter berbeda saya dapatkan dari seorang perempuan berkacamata. Ekspresinya jelas, seakan mudah dibaca. Amarahnya hanya sebentuk humor untuk membuat cair suasana. Manis. Perempuan menyenangkan berikutnya salah satu favorit saya. Apa adanya, khas wanita Jawa, namun saya percaya beberapa tahun ke depan kedewasaannya akan mengesankan. Sangat perhatian dan kerap membagikannya melalui hal-hal kecil. Ia tak ingin selalu menjadi jagoan, namun punya kebesaran hati untuk menjadikan orang lain sebagai jagoan. Impresif.
Terbiasa menulis secara bebas, tanpa batasan waktu, membuat saya cukup kewalahan dengan tiga jam target selesai sebuah cerita pendek. Diam-diam saya bersyukur setidaknya telah membuat coretan awal rancang adegan sembari menyesap teh pagi. Tapi saya tetap merasa goyah. Ada pernik yang mesti didapatkan dengan riset kecil-kecilan. Sesuai dugaan, menulis penuh selama tiga jam memang tak mudah. Seperti maraton, saya sering kehabisan napas. Namun melihat bara semangat teman-teman yang lain, ada harapan yang terus dipacu. Perempuan arsitek di sebelah saya selalu berhasil menjadi teman menghilangkan kejenuhan. Ide-ide humornya gila dan out of the box. Sedikit-banyak saya jadi bertanya-tanya, apa inti karakternya. Yang paling ceria biasanya justru yang paling menyembunyikan kedalaman yang tak terlihat. Ia dengan tulus meminjamkan modem untuk saya sekadar menelusur informasi tentang pesawat tempur atau warna garis test-pack. Kami berhasil menyelesaikan tugas persis ketika tutor kami, seorang wanita penyuka jalan-jalan dan pelaku pola makan sehat menyodorkan flashdisk, meminta hasil. Perempuan ini juga menarik. Ia bagai sebuah jendela kecil dengan tirai motif bunga sederhana. Santai, tak membangun benteng apa-apa dalam bersosialisasi. Menyambut hangat siapa saja yang ingin menyapa, tanpa menumbuhkan keseganan.
Sejalan dengan waktu-waktu santai yang diberikan, karakter-karakter peserta berikutnya semakin membuat penasaran. Lebih jangkung di antara yang lain, perempuan itu tampak malu-malu. Tak cukup banyak menyahut ketika obrolan-obrolan dilakukan. Kami hanya berpapasan sesekali ketika mengambil air minum atau di lorong kamar mandi. Tak banyak yang bisa kisahkan tentangnya, namun ia selalu mengundang tanya. Dua karakter terakhir laki-laki. Nyentrik secara penampilan, khas seniman Jogja. Merasa kecakapannya lebih banyak dalam meliukkan kata-kata, bukan dalam prosa. Sedang yang terakhir ala anak laki-laki polos yang tak berprasangka apa-apa. Ia sedang dalam fase awal perjalanan membaca dunia, dan memahami kehidupan. Seringkali keluguan yang ia tampilkan jadi bahan bercandaan.
Tak ada yang bisa menolak senang-senang. Berhimpitan dalam beberapa mobil, kami semua menuju tengah kota untuk bergabung dengan keramaian gemerlap malam minggu. Sayang, tak banyak yang mampu kami lakukan dan lihat dengan keramaian yang keterlaluan. Tapi mungkin memang bukan itu yang kami cari. Kami hanya perlu waktu santai bersama. Menikmati saat sebelum kembali ke kehidupan masing-masing. Sesekali menepis kenyataan bahwa momen yang sama tak akan bisa diulang.
Hari terakhir pun masih dipenuhi jadwal belajar. Membangun pengetahuan tentang keredaksian dan marketing yang memang semestinya diketahui seorang penulis. Bagian menegangkan berikutnya adalah mesti menerima komentar terhadap cerpen yang telah dituliskan sebelumnya. Ada beberapa kekhawatiran melesetnya ekspektasi yang berujung pada mempertanyakan kemampuan diri. Namun ternyata bisa kami lalui tanpa terlalu mengecewakan.
Saya mengutuk diri sendiri ketika tahu bahwa saya alpa mengecek rundown acara sebelum berangkat menuju Jogja. Barulah perempuan dengan riasan lengkap yang mengatakan bahwa bintang tamu untuk sesi panel cerpen koran adalah salah satu sastrawan favorit saya. Namun ini sekaligus menjadi jalan menyenangkan bagi saya. Sempat menjadi sesama kontributor di sebuah media online yang sama, saya bahkan tak cukup berani untuk menyapa beliau secara personal. Tertinggal acara peluncuran bukunya di Surabaya, saya juga cukup menyesal. Namun itu terbayar melalui Kampus Fiksi. Mampu mendengar berbagai pengalaman dan perjuangan beliau menyelami dunia sastra Indonesia, sangat menarik. Belum lagi keterbukaan dan kejujuran yang disampaikan. Sangat impresif.
Satu per satu langkah-langkah kami diantar kembali ke asal. Mulai malam hingga sore hari keesokan harinya, semua peserta kembali menyusur berkilo-kilo jalan dengan menyimpan kenangan dalam kepala. Pada akhirnya, untuk saya, Kampus Fiksi bukan hanya ruang belajar, namun juga wadah pertemuan. Bukankah terlalu naif dengan menganggap semua adalah teman baik dalam waktu sekejap? Kami toh bukannya telah melalui kesusahan saling membahu menyeberangi sungai berarus deras atau mendaki gunung dengan kelaparan berhari-hari. Kami berkumpul dengan serba tercukupi. Apakah bisa disebut sebagai teman baik hanya karena ditakdirkan berinteraksi dalam satu atap selama tiga hari penuh? Tapi Kampus Fiksi menciptakan harapannya, benihnya. Semua berbalik pada keinginan untuk memupuk, memelihara dan memperjuangkannya. Selalu ada rasa-rasa yang tak terdefinisi yang membuat kami sejauh ini saling merindukan pertemuan kembali. Jika suatu saat itu berubah, kami mungkin tak pernah menyesali. Bukankah kehidupan selalu terdiri dari banyak kenangan dan pemberhentian?
Untuk segalanya, ada ungkapan syukur dan terima kasih yang tak cukup diwujudkan lewat kata-kata.
Friendship is the hardest thing in the world to explain. It's not something you learn in school. But if you haven't learned the meaning of friendship, you really haven't learned anything. - Muhammad Ali
Itu pertanyaan seorang teman suatu kali ketika kami berdiskusi tentang menulis beberapa kali. Ia curiga saya sudah mengerti apa yang ia katakan karena ia tahu, dulu saya sering keluar-masuk workshop/seminar. Merasa semakin pintar? Tidak. Merasa sebaliknya, hampir selalu pasti. Materi mungkin serupa. Namun sudut pandang memang wujud yang tak pernah kering, tak pernah habis dipelajari. Untuk apa saja, termasuk kemampuan menulis kreatif.
Saya juga sering bertanya-tanya pada diri sendiri. Kapan saya akan berhenti keluar-masuk workshop/seminar menulis? Jenuh, karena tak cukup membuat saya konsisten menghidupi motivasi diri, namun juga terlalu merasa sayang melewatkannya lalu begitu saja. Jadi, saya juga sering bertanya, mengangguk-angguk, merenungkan dan mencatat apa saja yang diterima, namun begitu saja mengabaikan dengan berbagai alasan, beberapa waktu kemudian. Bebal.
Tidak terbersit apa-apa ketika saya iseng saja mengirimkan cerita pendek untuk seleksi Kampus Fiksi. Sama seperti sayembara-sayembara lainnya, saya tidak berharap apa-apa. Ternyata semesta menjawab ke-setengahhati-an yang saja ajukan. Mungkin Tuhan menganggap api saya sudah terlalu kecil untuk memasak. Perlu ditambahkan minyak lagi agar baranya menyala, setidaknya cukup untuk penerangan beberapa langkah ke depan.
Pada akhirnya saya senang. Kampus Fiksi cukup kuat memberi alasan pada diri saya untuk kembali ke Jogjakarta setelah sekian lama. Ada teguran untuk janji-janji berkunjung yang belum ditepati, dan tentu saja utang kepada diri sendiri untuk kembali menemui kota ini.
Penyakit terlalu 'normatif' saya memang agak akut. Norma saya seperti janji yang sudah lama untuk diri sendiri. Menjejak Jogjakarta di menit-menit awal, saya bertekad mesti melepas rindu pada gang kecil Sosrowijayan terlebih dulu. Saya berutang banyak pada tempat itu sebagai setting cerpen dan iming-iming teman-teman yang memancing saya untuk kembali.
"Cari penginapan?" supir becak bertanya kesekian kalinya.Saya menggeleng. "Mau ke toko buku, Pak."
Dengan beban barang bawaan yang lumayan, roda-roda kecil tas saya menyusuri jalan kecil gang Sosrowijayan. Sepertinya bookshop di sana sudah bertambah beberapa dibanding kunjungan saya terakhir kali. Boomerang memang selalu saya wajibkan. Tapi tidak ada salahnya menjajal toko-toko lainnya. Tuhan tidak membiarkan saya melakukan dosa terlalu lama, rupanya. Dosa karena sebegitu mudahnya mengurangi jumlah pundi-pundi, dan selisih paham dengan tim Diva Press perkara penjemputan. Tapi ini murni saya yang nakal. Memindah tempat penjemputan seenak hati demi nazar yang menuntut dipenuhi. Hanya beberapa menit saja sempat menyisipkan Ben Okri, Ishiguro dan Eric Siblin ke dalam tas, saya kemudian menggeret roda-roda tas kembali ke ujung gang yang berlawanan untuk tempat penjemputan baru yang sudah diatur ulang. Dosa lainnya, saya salah ambil posisi, dan membuat repot lebih lagi dengan mesti berjalan menuju mobil jemputan yang berhenti di ujung jalan. Bawaan saya yang berat dibantu bawakan oleh laki-laki muda yang belakangan saya tahu seorang penghobi jalan kaki. Belum lagi membiarkan pengemudi yang untungnya, sabar dan riang menunggu. Benar-benar tak enak hati.
Bahkan tak sempat lama saya memperhatikan wajah gadis yang menyambut saya di bangku penumpang. Sedikit-sedikit pandangan ia tundukkan dengan wajah memerah. Ia tak banyak bicara dan hanya menjawab sekenanya jika ditanya. Saya kira, ia tak suka dengan orang baru. Maka kami tak banyak bicara, hanya saya saja yang lebih banyak bertanya pada laki-laki pejalan kaki dan pengemudi riang hati di bangku depan. Melihat bagaimana mereka sebegitu mudahnya membagikan rasa percaya dan keramahtamahan yang tak dibuat-buat, saya tahu ini sudah bukan hal baru bagi mereka. Kami kemudian menunggu di depan Lempuyangan untuk menunggu yang lainnya. Seorang demi seorang datang. Perempuan dengan riasan lengkap serta laki-laki humoris yang mengalah dengan duduk di bangku paling belakang. Perjalanan tidak berlalu kaku, selalu tersedia banyak bahan obrolan untuk sebuah perkenalan.
Kami dituntut cepat untuk menyesuaikan diri dengan tempat baru. Sebuah gedung di Bantul mengumpulkan banyak orang di satu atap. Jelas, saya satu kamar dengan gadis pemalu dan perempuan riasan lengkap. Dalam beberapa menit, itu hanya menjadi prasangka awal saja. Gadis itu tak pemalu, fisiknya hanya terlalu sensitif bereaksi ketika terpapar matahari berlebihan, membuatnya tak enak badan. Perempuan dengan riasan lengkap itu pemecah kebekuan. Apa adanya dirinya membuat hangat. Kami kemudian cepat akrab dan berinisiatif berjalan sore menuju swalayan yang kami kira hanya di ujung jalan. Nyatanya lebih dari satu kilometer bolak-balik berjalan kaki. Meski cukup menyesal berjalan jauh, tapi kami melihat hal-hal lokal yang kami sadari sudah bukan hal biasa untuk kami. Anak-anak kecil bermain bola ketimbang gadget, atau beberapa pria-pria tua yang menatapi papan catur dengan serius di beranda rumah tak bersekat, seakan mengundang siapa saja untuk bergabung. Kami, nyatanya, terlalu merasa modern untuk menganggap hal-hal itu kebiasaan. Padahal, sesungguhnya, kami hanya dikecoh arus serba materi.
Kembali ke gedung, kami menemukan lebih banyak lagi orang. Saya terus-terusan gagal mengingat nama beberapa detik setelah bersalaman, menyalahkan kepayahan ingatan. Kami berjubel di salah satu kamar. Seorang perempuan dengan tatapan tajam, perempuan dengan rambut tergerai dan gadis berkacamata pendiam yang tampak berhati-hati membaca keadaan. Juga seorang perempuan manis dengan ayu khas wanita Jawa, calon ibu muda yang matang. Saya kemudian tak ingat apa yang kami semua bicarakan. Mungkin tentang kamar mandi, makan malam, atau pengaturan posisi tidur. Entah. Tapi riuhnya luar biasa. Meski sama-sama mengenal Surabaya, saya sesungguhnya agak segan berbincang dengan perempuan tatapan tajam. Bahkan saya menebak, hingga akhir program, saya tak akan cukup banyak berinteraksi dengannya. Nyatanya, saya tahu dia perempuan dengan keteguhan luar biasa, jujur dan percaya dengan nilai dirinya sendiri. Impresif.
Perkenalan yang dituntut singkat dan cepat, belum sempat membuat kami menjadi dekat. Namun pembukaan mesti segera dimulai. Sebisanya, saya mengais-ngais mata untuk mencocokkan nama di papan nama masing-masing dengan wajah-wajah baru. Kepayahan saya semakin menjadi-jadi. Pasrah saja, akan menghapal seiring dengan jalannya waktu, hibur diri sendiri. Posisi yang cukup dekat dengan pemateri membuat saya gembira. Maklum, mata buram dan seringkali lemot jika tak mendapat greget suasana. Saya belum sempat berbincang sedikit pun dengan perempuan easy-going di sebelah kiri. Rambutnya yang selalu terkuncir rendah dengan pembawaan santai dan apa adanya itu menarik. Juga pandai memposisikan diri, saya kira ia jagoan, dan membuat karakternya dengan mudah menonjol di antara yang lain. Sesekali ketika melirik pada mejanya, catatannya tak penuh poin, justru sarat ornamen hiasan. Ia penggambar ulung. Arsitek. Dan bukan perempuan dandan. Ia menarik karena apa adanya dirinya. Bebas berteriak, bahkan mengucapkan ungkapan persahabatan yang kasar. Itu caranya sendiri, dan kami tak pernah tersinggung untuk itu. Saya tak banyak berbicara hingga akhir dengan gadis mungil di sebelah kanan. Bahkan saya agak segan memancing pembicaraan, karena sepertinya ia sungguh-sungguh mengikuti panel. Nanti saya akan berbicara kembali dengannya, itu selalu dalam tekad saya. Tapi nyatanya kami tak banyak bersinggungan, selain duduk bersebelahan. Tak apa. Masih ada lain kali.
Setelah setahun berlalu, saya melihat beliau, sang empunya acara, pria yang menjadikan pertemuan-pertemuan dan memfasilitasi apa saja yang semua orang butuhkan selama acara berlangsung. Saya jadi ingat, saya menanyakan tentang internalisasi tokoh padanya terakhir kali di Surabaya. Masih dengan senyum yang membumi, namun dalam secara filosofi. Kemampuan berbicaranya tetap menarik untuk diikuti. Tak ingin membuat ekspektasi kami terbang terlalu tinggi, beliau menceritakan tentang pahitnya dunia kepenulisan yang akan kami tempuhi. Bukan untuk menjatuhkan, namun sekadar memaparkan kenyataan. Belum habis, kami diminta untuk membuat rancangan cerita pendek kemudian. Katanya, untuk bekal menulis selama tiga jam keesokan hari.
Jam-jam pertama selalu jadi ruang penyesuaian. Malam itu, masalah dimulai. kamar yang terlalu kecil untuk sekian perempuan, cukup membuat repot. Barang bawaan yang bergeletakan, juga salah satu dari masalah setelah berebut giliran menggunakan kamar mandi. Perempuan dengan rambut tergerai yang santai di atas tempat tidur sejak tadi cukup membuat saya penasaran. Ada nada santai dalam setiap caranya berbicara. Namun saat-saat diamnya justru menimbulkan pertanyaan. Apa itu tentang hidup, pekerjaan, atau menilai perbincangan? Tak banyak yang bisa saya katakan tentang dirinya. Belakangan, kami tahu ia berkarir di sebuah penerbitan dan susah mendapat jadwal libur.
Kami tidur dengan pembagian yang seadanya. Beberapa mengalah memilih tidur di aula ketimbang mesti berdesakan di dalam kamar. Sisanya, termasuk saya, teguh mempertahankan slot. Maklum, saya sulit untuk tidur dengan ruang cenderung terbuka. Memilih untuk berhimpitan dengan perempuan tatapan tajam, perempuan rambut tergerai, juga perempuan riasan lengkap. Claustrophobia mesti diredam, karena butuh beberapa saat untuk bisa menerima tidur dengan lampu yang dimatikan. Sedikit terasa sesak di awal, tapi kemudian cukup terbiasa. Yang berhasil membuat saya lelap hanya lelah sisa menempuh perjalanan sepanjang pagi dan siang.
Mengingatkan tujuan sesungguhnya kami datang, program disusun beruntun dan padat di hari ke dua. Beliau, sang empunya acara hadir kembali dengan materi yang berbeda. Teknik kepenulisan secara umum, juga dengan pernik kisah pengalaman yang menarik untuk diikuti. Bukan sebentar kami mesti menyimak, namun jalan menyenangkan dalam penyampaian selalu berhasil menarik perhatian kembali. Seperti dua hal yang tak bisa dipisahkan, calon-calon penulis ini dibekali dengan materi self edit yang begitu sering kami abaikan setelah proses menulis usai. Perempuan editor mungil dengan gaya bertutur tegas, cepat, membuat kami mesti pasang fokus lebih. Tak meremehkan proses koreksi ulang patut dimasukkan daftar penting untuk menjadi seorang penulis. Bentuk penghargaan pada pembaca, meski hanya seorang pembaca pertama. Seperti menawarkan diri, kami akan dinilai berdasar karya yang kami tuliskan. Self edit menempati posisi penting dari rangkaian proses lahirnya sebuah karya.
Jam-jam istirahat bukannya berlalu tanpa pelajaran apa-apa. Sembari mengudap makan siang, kami mengobrol, mencari tahu, mendengar, berkisah tentang latar belakang hidup satu sama lain. Mencari kesamaan, belajar dari perbedaan. Seakan kami dihantui waktu bahwa hari hanya tersisa esok, dan belum saling mengenal adalah momok menakutkan. Saya mulai berbincang langsung dengan perempuan-perempuan muda di kamar yang berbeda. Mereka adalah karakter-karakter yang nyaris bertolak belakang dengan populasi kamar sebelumnya. Ada ketenangan yang lebih mengambang, dibarengi kedekatan yang seakan terbangun tanpa perlu berkata. Ekspresi datar dari wajah manis awal dua puluhan itu yang membuat saya selalu merasa kesusahan menilai apa yang ia bicarakan yang sebenarnya atau hanya sebuah canda. Ia seakan memiliki dunia sendiri dan ketakacuhan terhadap apa yang tak ia yakini. Pun, tak sebegitu mudahnya mengekspresikan kepanikan atau kemarahan. Kemudian perempuan jangkung manis dengan satu-dua kata yang tak mudah ditebak apa yang dipikirkannya. Aksen Sunda membuatnya mudah diingat. Lain lagi, perempuan super mungil yang dewasa dan tenang menyikapi pembicaraan. Jiwa baru yang sedang berkembang dalam rahimnya tak membuat ia kesusahan dan membatasi diri. Bahkan ia belum mengidam apa-apa, hanya mampu makan sedikit-sedikit setiap kali. Mengesankan. Gadis kecil lain menonjol karena berbeda dari wujud fisik kami kebanyakan. Masih di usia belia, meski terlihat imut, namun ia cukup dewasa memposisikan diri. Tanpa perlu berusaha keras, bahkan kami sudah mampu menyayanginya sebagai adik terkecil kami.
Saya sudah curiga dengan perempuan rapi yang cenderung pendiam di antara obrolan candaan kami. Saya kira ia agak angkuh di awal. Ternyata ia hanya telah melewati masanya. Ibu muda dua anak yang tenang dan dewasa. Karakter berbeda saya dapatkan dari seorang perempuan berkacamata. Ekspresinya jelas, seakan mudah dibaca. Amarahnya hanya sebentuk humor untuk membuat cair suasana. Manis. Perempuan menyenangkan berikutnya salah satu favorit saya. Apa adanya, khas wanita Jawa, namun saya percaya beberapa tahun ke depan kedewasaannya akan mengesankan. Sangat perhatian dan kerap membagikannya melalui hal-hal kecil. Ia tak ingin selalu menjadi jagoan, namun punya kebesaran hati untuk menjadikan orang lain sebagai jagoan. Impresif.
Terbiasa menulis secara bebas, tanpa batasan waktu, membuat saya cukup kewalahan dengan tiga jam target selesai sebuah cerita pendek. Diam-diam saya bersyukur setidaknya telah membuat coretan awal rancang adegan sembari menyesap teh pagi. Tapi saya tetap merasa goyah. Ada pernik yang mesti didapatkan dengan riset kecil-kecilan. Sesuai dugaan, menulis penuh selama tiga jam memang tak mudah. Seperti maraton, saya sering kehabisan napas. Namun melihat bara semangat teman-teman yang lain, ada harapan yang terus dipacu. Perempuan arsitek di sebelah saya selalu berhasil menjadi teman menghilangkan kejenuhan. Ide-ide humornya gila dan out of the box. Sedikit-banyak saya jadi bertanya-tanya, apa inti karakternya. Yang paling ceria biasanya justru yang paling menyembunyikan kedalaman yang tak terlihat. Ia dengan tulus meminjamkan modem untuk saya sekadar menelusur informasi tentang pesawat tempur atau warna garis test-pack. Kami berhasil menyelesaikan tugas persis ketika tutor kami, seorang wanita penyuka jalan-jalan dan pelaku pola makan sehat menyodorkan flashdisk, meminta hasil. Perempuan ini juga menarik. Ia bagai sebuah jendela kecil dengan tirai motif bunga sederhana. Santai, tak membangun benteng apa-apa dalam bersosialisasi. Menyambut hangat siapa saja yang ingin menyapa, tanpa menumbuhkan keseganan.
Sejalan dengan waktu-waktu santai yang diberikan, karakter-karakter peserta berikutnya semakin membuat penasaran. Lebih jangkung di antara yang lain, perempuan itu tampak malu-malu. Tak cukup banyak menyahut ketika obrolan-obrolan dilakukan. Kami hanya berpapasan sesekali ketika mengambil air minum atau di lorong kamar mandi. Tak banyak yang bisa kisahkan tentangnya, namun ia selalu mengundang tanya. Dua karakter terakhir laki-laki. Nyentrik secara penampilan, khas seniman Jogja. Merasa kecakapannya lebih banyak dalam meliukkan kata-kata, bukan dalam prosa. Sedang yang terakhir ala anak laki-laki polos yang tak berprasangka apa-apa. Ia sedang dalam fase awal perjalanan membaca dunia, dan memahami kehidupan. Seringkali keluguan yang ia tampilkan jadi bahan bercandaan.
Tak ada yang bisa menolak senang-senang. Berhimpitan dalam beberapa mobil, kami semua menuju tengah kota untuk bergabung dengan keramaian gemerlap malam minggu. Sayang, tak banyak yang mampu kami lakukan dan lihat dengan keramaian yang keterlaluan. Tapi mungkin memang bukan itu yang kami cari. Kami hanya perlu waktu santai bersama. Menikmati saat sebelum kembali ke kehidupan masing-masing. Sesekali menepis kenyataan bahwa momen yang sama tak akan bisa diulang.
Hari terakhir pun masih dipenuhi jadwal belajar. Membangun pengetahuan tentang keredaksian dan marketing yang memang semestinya diketahui seorang penulis. Bagian menegangkan berikutnya adalah mesti menerima komentar terhadap cerpen yang telah dituliskan sebelumnya. Ada beberapa kekhawatiran melesetnya ekspektasi yang berujung pada mempertanyakan kemampuan diri. Namun ternyata bisa kami lalui tanpa terlalu mengecewakan.
Saya mengutuk diri sendiri ketika tahu bahwa saya alpa mengecek rundown acara sebelum berangkat menuju Jogja. Barulah perempuan dengan riasan lengkap yang mengatakan bahwa bintang tamu untuk sesi panel cerpen koran adalah salah satu sastrawan favorit saya. Namun ini sekaligus menjadi jalan menyenangkan bagi saya. Sempat menjadi sesama kontributor di sebuah media online yang sama, saya bahkan tak cukup berani untuk menyapa beliau secara personal. Tertinggal acara peluncuran bukunya di Surabaya, saya juga cukup menyesal. Namun itu terbayar melalui Kampus Fiksi. Mampu mendengar berbagai pengalaman dan perjuangan beliau menyelami dunia sastra Indonesia, sangat menarik. Belum lagi keterbukaan dan kejujuran yang disampaikan. Sangat impresif.
Satu per satu langkah-langkah kami diantar kembali ke asal. Mulai malam hingga sore hari keesokan harinya, semua peserta kembali menyusur berkilo-kilo jalan dengan menyimpan kenangan dalam kepala. Pada akhirnya, untuk saya, Kampus Fiksi bukan hanya ruang belajar, namun juga wadah pertemuan. Bukankah terlalu naif dengan menganggap semua adalah teman baik dalam waktu sekejap? Kami toh bukannya telah melalui kesusahan saling membahu menyeberangi sungai berarus deras atau mendaki gunung dengan kelaparan berhari-hari. Kami berkumpul dengan serba tercukupi. Apakah bisa disebut sebagai teman baik hanya karena ditakdirkan berinteraksi dalam satu atap selama tiga hari penuh? Tapi Kampus Fiksi menciptakan harapannya, benihnya. Semua berbalik pada keinginan untuk memupuk, memelihara dan memperjuangkannya. Selalu ada rasa-rasa yang tak terdefinisi yang membuat kami sejauh ini saling merindukan pertemuan kembali. Jika suatu saat itu berubah, kami mungkin tak pernah menyesali. Bukankah kehidupan selalu terdiri dari banyak kenangan dan pemberhentian?
Untuk segalanya, ada ungkapan syukur dan terima kasih yang tak cukup diwujudkan lewat kata-kata.
Friendship is the hardest thing in the world to explain. It's not something you learn in school. But if you haven't learned the meaning of friendship, you really haven't learned anything. - Muhammad Ali
Published on February 05, 2016 21:28
December 19, 2015
Menyambung Benang Merah Slamet Abdul Sjukur : Recital Piano oleh Cicilia Yudha
Recital pianis Cicilia Yudha menjadi penutup rangkaian acara Kaleidoskop Pertemuan Musik Surabaya. Tahun 2015 adalah tahun yang cukup emosional bagi PMS. Di awal tahun, PMS kehilangan seorang guru dan inspirator besar, Slamet Abdul Sjukur yang membangun PMS sejak berpuluh tahun lalu. Recital yang menjadi penutup program selama setahun ini pun tanpa sengaja mengambil lokasi di mana PMS pertama kali diselenggarakan di tahun 1957.
Seperti tanpa lelah, rangkaian acara dalam dua hari berturut-turut, 10 dan 11 Desember 2015 lalu tidak membuat Cicilia Yudha kehilangan energi. Sejak siang, ia terlihat tekun berlatih untuk recital malam hari. Membawa semangat "Menyambung Benang Merah Slamet Abdul Sjukur", komposisi-komposisi yang dibawakan di bagian kedua setelah intermission adalah ciptaan dari Dutilleux, yang merupakan guru Slamet Abdul Sjukur, serta komposisi dari SAS sendiri sebagai guru dari Cicilia Yudha. Sedangkan komposisi-komposisi untuk pembukaan dipilih yang memiliki keterikatan kuat secara personal di diri Cicilia. Schubert dan Mozart dipilih untuk dimainkan terlebih dahulu.
Recital dibuka dengan tampilan dari Gema Swaratyagita (piano) dan Samsul Pilot (Gong) yang membawakan "Tuwakatsa", sebuah komposisi karya Gema Swaratyagita berdasarkan permintaan dari Slamet Abdul Sjukur. Karya tersebut pertama kali dibawakan Bulan Juli 2015 saat perayaan ulang tahun ke-80 SAS. Seakan ingin menampilkan nuansa etnik, gong dan piano dimainkan dengan cara yang berbeda. Tak hanya menekan tuts, Gema juga bermain dengan senar-senar di bagian dalam piano. Bahkan ia juga membaca beberapa bait puisi Goethe di sela permainan. Sementara Samsul Pilot mengeksplorasi gong dengan berbagai cara. Memukul, mengetuk, hingga menghasilkan bunyi berbeda dengan kawat yang digesekkan pada gong.
Cicilia Yudha tampil menyejukkan di pembukaan pertama dengan Impromptu Op. 90 No.3 in G-flat Major. Komposisi ini terdengar teduh, menenangkan dan tidak emosional di tangannya. Memiliki keterikatan kuat dengan komposisi ini, Cicilia berkata bahwa ini adalah komposisi pertama yang ia bawakan di Amerika. Sonata in B-Flat Major K.333 milik Mozart dibawakan berikutnya. Keunggulan Cicilia terhadap kerapian menggarap melodi terlihat jelas di sini. Not-not yang dimainkan terdengar bersih dan jelas.
Jeda beberapa saat, recital berganti menggaungkan bunyi-bunyi disonan dari dua karya Dutilleux. Au gre des Ondes dan Blackbird. Sepanjang berbagai variasi yang ditampilkan dalam komposisi ini mengeksplorasi sentuhan-sentuhan lembut ala jazz dari Dutilleux. Penggarapan yang rapi dan sabar oleh Cicilia membuat ragam suasana dari masing-masing movement terasa pada audiens. Sementara Blackbird diciptakan karena terinspirasi oleh Messien yang kental dengan komposisi-komposisi yang mengimitasi suara burung. Komposisi pendek ini menuntut kekayaan warna dari produksi bunyi yang dihasilkan. Dinamika dan kejutan yang ditampilkan merupakan poin menarik bagi audiens.
Dibuka dengan komposisi piano dan gong, acara ditutup pula dengan kedua instrumen tersebut. Untuk pertama kalinya, Cicilia Yudha membawakan karya kontemporer Game-Land No.5 milik Slamet Abdul Sjukur. Seakan ingin mendobrak zona nyamannya sebagai pianis klasik, Cicilia tampil baik. Sungguh-sungguh mengeksplorasi suara, telapak tangan, instrumen kemanak (alat pukul dari logam), piano dan gong, ia mampu menghadirkan keunikan dari seorang SAS.
Menjadi penutup di rangkaian acara Kaledoskop Akhir Tahun PMS, recital ini menjadi perwujudan langgengnya semangat seorang Slamet Abdul Sjukur yang selalu ingin masyarakat mencintai musik. Semangat yang kiranya terus menular pada benak siapa saja yang ingin meneruskan semangat perjuangannya.
Untuk Rangkaian Acara Kaleidoskop Akhir Tahun PMS,
Nabila Budayana

Seperti tanpa lelah, rangkaian acara dalam dua hari berturut-turut, 10 dan 11 Desember 2015 lalu tidak membuat Cicilia Yudha kehilangan energi. Sejak siang, ia terlihat tekun berlatih untuk recital malam hari. Membawa semangat "Menyambung Benang Merah Slamet Abdul Sjukur", komposisi-komposisi yang dibawakan di bagian kedua setelah intermission adalah ciptaan dari Dutilleux, yang merupakan guru Slamet Abdul Sjukur, serta komposisi dari SAS sendiri sebagai guru dari Cicilia Yudha. Sedangkan komposisi-komposisi untuk pembukaan dipilih yang memiliki keterikatan kuat secara personal di diri Cicilia. Schubert dan Mozart dipilih untuk dimainkan terlebih dahulu.
Recital dibuka dengan tampilan dari Gema Swaratyagita (piano) dan Samsul Pilot (Gong) yang membawakan "Tuwakatsa", sebuah komposisi karya Gema Swaratyagita berdasarkan permintaan dari Slamet Abdul Sjukur. Karya tersebut pertama kali dibawakan Bulan Juli 2015 saat perayaan ulang tahun ke-80 SAS. Seakan ingin menampilkan nuansa etnik, gong dan piano dimainkan dengan cara yang berbeda. Tak hanya menekan tuts, Gema juga bermain dengan senar-senar di bagian dalam piano. Bahkan ia juga membaca beberapa bait puisi Goethe di sela permainan. Sementara Samsul Pilot mengeksplorasi gong dengan berbagai cara. Memukul, mengetuk, hingga menghasilkan bunyi berbeda dengan kawat yang digesekkan pada gong.
Cicilia Yudha tampil menyejukkan di pembukaan pertama dengan Impromptu Op. 90 No.3 in G-flat Major. Komposisi ini terdengar teduh, menenangkan dan tidak emosional di tangannya. Memiliki keterikatan kuat dengan komposisi ini, Cicilia berkata bahwa ini adalah komposisi pertama yang ia bawakan di Amerika. Sonata in B-Flat Major K.333 milik Mozart dibawakan berikutnya. Keunggulan Cicilia terhadap kerapian menggarap melodi terlihat jelas di sini. Not-not yang dimainkan terdengar bersih dan jelas.
Jeda beberapa saat, recital berganti menggaungkan bunyi-bunyi disonan dari dua karya Dutilleux. Au gre des Ondes dan Blackbird. Sepanjang berbagai variasi yang ditampilkan dalam komposisi ini mengeksplorasi sentuhan-sentuhan lembut ala jazz dari Dutilleux. Penggarapan yang rapi dan sabar oleh Cicilia membuat ragam suasana dari masing-masing movement terasa pada audiens. Sementara Blackbird diciptakan karena terinspirasi oleh Messien yang kental dengan komposisi-komposisi yang mengimitasi suara burung. Komposisi pendek ini menuntut kekayaan warna dari produksi bunyi yang dihasilkan. Dinamika dan kejutan yang ditampilkan merupakan poin menarik bagi audiens.

Dibuka dengan komposisi piano dan gong, acara ditutup pula dengan kedua instrumen tersebut. Untuk pertama kalinya, Cicilia Yudha membawakan karya kontemporer Game-Land No.5 milik Slamet Abdul Sjukur. Seakan ingin mendobrak zona nyamannya sebagai pianis klasik, Cicilia tampil baik. Sungguh-sungguh mengeksplorasi suara, telapak tangan, instrumen kemanak (alat pukul dari logam), piano dan gong, ia mampu menghadirkan keunikan dari seorang SAS.
Menjadi penutup di rangkaian acara Kaledoskop Akhir Tahun PMS, recital ini menjadi perwujudan langgengnya semangat seorang Slamet Abdul Sjukur yang selalu ingin masyarakat mencintai musik. Semangat yang kiranya terus menular pada benak siapa saja yang ingin meneruskan semangat perjuangannya.
Untuk Rangkaian Acara Kaleidoskop Akhir Tahun PMS,
Nabila Budayana
Published on December 19, 2015 00:43
December 16, 2015
Piano Masterclass dan Diskusi Pedagogi oleh Cicilia Yudha
Membawa musik menjadi bahasan pendidikan menjadikan agenda akhir tahun Pertemuan Musik Surabaya menarik untuk diikuti oleh berbagai pelaku di dunia musik. Masterclass hingga ruang diskusi pedagogi musik dihadirkan ke publik Surabaya di Sekolah Musik Melodia dan Balai Pemuda Surabaya, 10 hingga 11 Desember 2015 lalu
Belajar langsung dengan ahli memang tak ingin begitu saja dilewatkan oleh pianis-pianis muda Surabaya. Selalu berhasil meninggalkan impresi positif, partisipan piano masterclass Cicilia Yudha kali ini diisi oleh seluruhnya perempuan. Berusia antara 11 hingga 25 tahun, mereka unjuk kebolehan dan siap menerima masukan dari sang ahli. Beberapa peserta pasif pun tekun mengikuti jalannya kelas.
Masterclass ini menunjukkan bagaimana Cicilia Yudha piawai, hangat dan interaktif dalam menjalin kedekatan dengan murid-muridnya. Sehabis peserta memainkan komposisi yang mereka ajukan, Cicilia tak luput untuk selalu memberi pujian untuk kelebihan-kelebihan yang mereka miliki.
Peserta pertama, Lim Lisa menghadirkan Trois Nocturne op. 9 No 1 milik Chopin. Cicilia menyarankan padanya untuk merapikan detail-detail not yang dimainkan berurutan agar lebih rata. Di samping itu, Cicilia juga menyarankan cara bermain yang lebih bernyanyi pada komposisi tersebut. Masih senada dengan peserta pertama, Calligenia Tenggara yang masih berusia 15 tahun memilih untuk memainkan Chopin Variation Brillantes Op.12. Kali ini Cicilia memberi masukan pada pengaturan pedal, phrasing, hingga ekspresi, agar lebih berani menampilkan komposisi. Peserta ketiga, Ivana Halingkar lebih baik secara teknik. Cicilia meminta peserta untuk menggali lebih dalam tentang komposisi yang ia mainkan. Kesempurnaan teknik mesti disertai dengan produksi suara piano yang berbeda. Lizst dikenal bermain dengan komposisi yang bernuansa "dingin" ingin dibawa ke permukaan oleh Cicilia melalui tangan peserta. Begitu pun dengan himbauan ekspresi yang lebih sungguh-sungguh dalam berbagai kalimat di komposisi.
Foto oleh Gema Swaratyagita
Pengalaman Cicilia sebagai pengajar terlihat begitu mendukung jalannya masterclass. Ia kerap menggunakan berbagai perumpamaan gerakan benda atau alam untuk menggambarkan apa yang ingin ia sampaikan. Kevina Tenggara memberi impresi melalui nuansa yang berbeda dari Romanian Folk Dances milik Bartok. Komposisi ini tercipta berdasar inspirasi dari kegiatan sehari-hari orang pedesaan di Hungaria. Komposisi ini menjadi berbeda dan memberi warna baru dalam musik di eranya. Permainan peserta disarankan untuk lebih playful, sesuai dengan karakter komposisi. Gerak tubuh yang alami dan menjiwai akan lebih mendukung untuk produksi bunyi yang diinginkan. Manajemen tempo, memperjelas aksen, hingga menerangkan jeda di antara frase menjadi masukan berikutnya. Masterclass ditutup oleh Liv Clementine De Kweldju dengan komposisi Prokofiev, Prelude Op. 12 No.7. Gadis sebelas tahun ini memiliki kemampuan yang mumpuni. Cicilia memberi masukan secara lebih dalam tentang fisiologis tubuh dan tangan ketika bermain demi kebaikan jangka panjang pianis muda ini.
Saling berkaitan, diskusi pedagogi musik juga diikuti oleh audiens yang ingin memperdalam tentang bagaimana teknik mengajar musik dengan efektif. Cicilia membagikan pengalaman beserta tips dan solusi untuk mengatasi kendala dalam pengajaran. Ia menegaskan bahwa fondasi dari setiap anak yang mulai belajar bermain musik berada di tangan pengajar. Mengajar di conservatory, membuat Cicilia mengalami banyak pengalaman dalam proses mengajar berbagai karakter anak dengan rentang kemampuan bermusik yang berbeda. Untuk memperluas cakrawala pengajarannya, Cicilia bahkan tidak segan untuk memilih mengajar di sekolah umum dengan kemampuan anak yang cenderung beragam, ketimbang mengajar anak dengan kemampuan bermusik yang telah berada di atas rata-rata bahkan ketika masih di usia muda. Hal mendasar yang mengingatkan kita adalah di Indonesia, kebanyakan orang menilai bahwa musik adalah hiburan, bukan bentuk kebudayaan. Padahal, musik sama saja dengan disiplin ilmu yang lain. Akar permasalahannya berasal dari pertanyaan apakah masyarakat menganggap musik sebagai hiburan, atau sebuah kebutuhan.
Di Amerika Serikat, musik adalah mata pelajaran wajib di tingkat sekolah dasar hingga menengah. Sementara itu, banyak negara lain yang telah menyadari betapa pentingnya memberikan mata pelajaran musik bagi anak-anak. seperti Hungaria yang memahami bahwa dengan mempelajari musik, siswa akan menjadi lebih cerdas dan sehat.
"Semua orang tidak menjadi pianis di panggung, namun setidaknya masing-masing mereka mampu menghargai musik."
Sama halnya seperti Matematika, musik adalah salah satu cabang ilmu. Cara kita mengajar adalah refleksi cara kita belajar. Maka dari itu, proses belajar tak bisa begitu saja diremehkan. Bagi Cicilia, bermain musik memang seharusnya berbobot, bukan hanya sekadar main-main saja. Namun, musik tetap merupakan sesuatu yang mesti dinikmati. Tak jarang Cicilia menemukan bakat-bakat di usia muda yang bersinar sangat terang, kemudian menghilang. Dari hal tersebut, perlu disadari bahwa di atas kemampuan bermusik yang sempurna, mestinya ada motivasi bagaimana menumbuhkan ketertarikan yang berkelanjutan.
"Practice doesn't make perfect, it makes habit."
Cicilia memberikan pemahaman dasar bahwa dalam mengajar, seorang guru mestinya bukan hanya mengajar untuk memainkan piano, namun untuk membiasakan murid displin berlatih meski tanpa pengawasan guru. Perencanaan dalam setiap proses pengajaran juga sangat berperan penting. Mengatasi kejenuhan dari pembelajaran di satu bagian, dapat diakali dengan mengalihkan objek pembelajaran ke lagu lain, namun dengan topik yang sama. Misalnya, murid mengalami kesusahan di bagian triplet di komposisi A dan mengalami jenuh, coba arahkan pada triplet di komposisi B.
Kejelian untuk mengajar pun diperlukan. Di tiap repertoar ada patokan yang tidak boleh dimainkan sembarangan. Sebelum mengajar, coba bandingkan detail repertoar dengan mengecek edisi yang berbeda. Teknologi adalah salah satu sarana yang memudahkan murid dalam belajar musik. Literatur-literatur musik banyak tersedia di internet. Salah satu trik untuk membangun kepercayaan diri murid adalah dengan mengajaknya tampil bersama guru, atau pemain musik lain agar murid terbiasa untuk bersosialisasi dan menghilangkan kesan bahwa bermain piano adalah kegiatan individual. Guru bukan makhluk sempurna. Lakukan koreksi diri dengan menonton rekaman ketika mengajar untuk perbaikan di masa depan. Rendah hati, terbuka dengan berbagai sudut pandang, juga kreatif adalah syarat yang tak bisa begitu saja ditinggalkan untuk menjadi seorang pengajar musik.
Menjadi seorang guru dan murid adalah keseharian sebagai manusia. Cicilia membawa semangat yang Slamet Abdul Sjukur tunjukkan. Hingga akhir hidupnya, beliau selalu mencintai hal-hal baru yang membuat semangat belajar dan bertumbuhnya tak pernah padam.
Untuk rangkaian acara Kaleidoskop Akhir Tahun PMS,
Nabila Budayana
Belajar langsung dengan ahli memang tak ingin begitu saja dilewatkan oleh pianis-pianis muda Surabaya. Selalu berhasil meninggalkan impresi positif, partisipan piano masterclass Cicilia Yudha kali ini diisi oleh seluruhnya perempuan. Berusia antara 11 hingga 25 tahun, mereka unjuk kebolehan dan siap menerima masukan dari sang ahli. Beberapa peserta pasif pun tekun mengikuti jalannya kelas.
Masterclass ini menunjukkan bagaimana Cicilia Yudha piawai, hangat dan interaktif dalam menjalin kedekatan dengan murid-muridnya. Sehabis peserta memainkan komposisi yang mereka ajukan, Cicilia tak luput untuk selalu memberi pujian untuk kelebihan-kelebihan yang mereka miliki.
Peserta pertama, Lim Lisa menghadirkan Trois Nocturne op. 9 No 1 milik Chopin. Cicilia menyarankan padanya untuk merapikan detail-detail not yang dimainkan berurutan agar lebih rata. Di samping itu, Cicilia juga menyarankan cara bermain yang lebih bernyanyi pada komposisi tersebut. Masih senada dengan peserta pertama, Calligenia Tenggara yang masih berusia 15 tahun memilih untuk memainkan Chopin Variation Brillantes Op.12. Kali ini Cicilia memberi masukan pada pengaturan pedal, phrasing, hingga ekspresi, agar lebih berani menampilkan komposisi. Peserta ketiga, Ivana Halingkar lebih baik secara teknik. Cicilia meminta peserta untuk menggali lebih dalam tentang komposisi yang ia mainkan. Kesempurnaan teknik mesti disertai dengan produksi suara piano yang berbeda. Lizst dikenal bermain dengan komposisi yang bernuansa "dingin" ingin dibawa ke permukaan oleh Cicilia melalui tangan peserta. Begitu pun dengan himbauan ekspresi yang lebih sungguh-sungguh dalam berbagai kalimat di komposisi.

Pengalaman Cicilia sebagai pengajar terlihat begitu mendukung jalannya masterclass. Ia kerap menggunakan berbagai perumpamaan gerakan benda atau alam untuk menggambarkan apa yang ingin ia sampaikan. Kevina Tenggara memberi impresi melalui nuansa yang berbeda dari Romanian Folk Dances milik Bartok. Komposisi ini tercipta berdasar inspirasi dari kegiatan sehari-hari orang pedesaan di Hungaria. Komposisi ini menjadi berbeda dan memberi warna baru dalam musik di eranya. Permainan peserta disarankan untuk lebih playful, sesuai dengan karakter komposisi. Gerak tubuh yang alami dan menjiwai akan lebih mendukung untuk produksi bunyi yang diinginkan. Manajemen tempo, memperjelas aksen, hingga menerangkan jeda di antara frase menjadi masukan berikutnya. Masterclass ditutup oleh Liv Clementine De Kweldju dengan komposisi Prokofiev, Prelude Op. 12 No.7. Gadis sebelas tahun ini memiliki kemampuan yang mumpuni. Cicilia memberi masukan secara lebih dalam tentang fisiologis tubuh dan tangan ketika bermain demi kebaikan jangka panjang pianis muda ini.
Saling berkaitan, diskusi pedagogi musik juga diikuti oleh audiens yang ingin memperdalam tentang bagaimana teknik mengajar musik dengan efektif. Cicilia membagikan pengalaman beserta tips dan solusi untuk mengatasi kendala dalam pengajaran. Ia menegaskan bahwa fondasi dari setiap anak yang mulai belajar bermain musik berada di tangan pengajar. Mengajar di conservatory, membuat Cicilia mengalami banyak pengalaman dalam proses mengajar berbagai karakter anak dengan rentang kemampuan bermusik yang berbeda. Untuk memperluas cakrawala pengajarannya, Cicilia bahkan tidak segan untuk memilih mengajar di sekolah umum dengan kemampuan anak yang cenderung beragam, ketimbang mengajar anak dengan kemampuan bermusik yang telah berada di atas rata-rata bahkan ketika masih di usia muda. Hal mendasar yang mengingatkan kita adalah di Indonesia, kebanyakan orang menilai bahwa musik adalah hiburan, bukan bentuk kebudayaan. Padahal, musik sama saja dengan disiplin ilmu yang lain. Akar permasalahannya berasal dari pertanyaan apakah masyarakat menganggap musik sebagai hiburan, atau sebuah kebutuhan.
Di Amerika Serikat, musik adalah mata pelajaran wajib di tingkat sekolah dasar hingga menengah. Sementara itu, banyak negara lain yang telah menyadari betapa pentingnya memberikan mata pelajaran musik bagi anak-anak. seperti Hungaria yang memahami bahwa dengan mempelajari musik, siswa akan menjadi lebih cerdas dan sehat.
"Semua orang tidak menjadi pianis di panggung, namun setidaknya masing-masing mereka mampu menghargai musik."
Sama halnya seperti Matematika, musik adalah salah satu cabang ilmu. Cara kita mengajar adalah refleksi cara kita belajar. Maka dari itu, proses belajar tak bisa begitu saja diremehkan. Bagi Cicilia, bermain musik memang seharusnya berbobot, bukan hanya sekadar main-main saja. Namun, musik tetap merupakan sesuatu yang mesti dinikmati. Tak jarang Cicilia menemukan bakat-bakat di usia muda yang bersinar sangat terang, kemudian menghilang. Dari hal tersebut, perlu disadari bahwa di atas kemampuan bermusik yang sempurna, mestinya ada motivasi bagaimana menumbuhkan ketertarikan yang berkelanjutan.
"Practice doesn't make perfect, it makes habit."
Cicilia memberikan pemahaman dasar bahwa dalam mengajar, seorang guru mestinya bukan hanya mengajar untuk memainkan piano, namun untuk membiasakan murid displin berlatih meski tanpa pengawasan guru. Perencanaan dalam setiap proses pengajaran juga sangat berperan penting. Mengatasi kejenuhan dari pembelajaran di satu bagian, dapat diakali dengan mengalihkan objek pembelajaran ke lagu lain, namun dengan topik yang sama. Misalnya, murid mengalami kesusahan di bagian triplet di komposisi A dan mengalami jenuh, coba arahkan pada triplet di komposisi B.
Kejelian untuk mengajar pun diperlukan. Di tiap repertoar ada patokan yang tidak boleh dimainkan sembarangan. Sebelum mengajar, coba bandingkan detail repertoar dengan mengecek edisi yang berbeda. Teknologi adalah salah satu sarana yang memudahkan murid dalam belajar musik. Literatur-literatur musik banyak tersedia di internet. Salah satu trik untuk membangun kepercayaan diri murid adalah dengan mengajaknya tampil bersama guru, atau pemain musik lain agar murid terbiasa untuk bersosialisasi dan menghilangkan kesan bahwa bermain piano adalah kegiatan individual. Guru bukan makhluk sempurna. Lakukan koreksi diri dengan menonton rekaman ketika mengajar untuk perbaikan di masa depan. Rendah hati, terbuka dengan berbagai sudut pandang, juga kreatif adalah syarat yang tak bisa begitu saja ditinggalkan untuk menjadi seorang pengajar musik.
Menjadi seorang guru dan murid adalah keseharian sebagai manusia. Cicilia membawa semangat yang Slamet Abdul Sjukur tunjukkan. Hingga akhir hidupnya, beliau selalu mencintai hal-hal baru yang membuat semangat belajar dan bertumbuhnya tak pernah padam.
Untuk rangkaian acara Kaleidoskop Akhir Tahun PMS,
Nabila Budayana
Published on December 16, 2015 17:17
December 13, 2015
Menjelajah Musik dari Zaman ke Zaman bersama Cicilia Yudha
2015 diakhiri dengan agenda akhir tahun yang istimewa oleh Pertemuan Musik Surabaya. Berbeda dari biasanya, PMS kali ini menghadirkan rangkaian acara selama dua hari bersama Pianist dan Music Educator yang bermukim di Amerika, Cicilia Yudha. Secara khusus ia menyempatkan diri untuk hadir di Surabaya dan berbagi pengetahuannya tentang musik dan pendidikan musik. Selain menjadi seorang piano performer dan pendidik di Dana School of Music Youngstown State University, ia juga meraih begitu banyak penghargaan dan aktif untuk bermain dalam orkestra, chamber maupun solo.
Rangkaian acara PMS dimulai dengan Seminar Interpretasi Musik dari Zaman ke Zaman. Mengambil tempat di salah satu ruang di sekolah musik Melodia Surabaya, forum kecil itu terasa hangat dengan sekitar 20 orang partisipan. Ditemani sebuah piano upright dan sebuah LCD, Cicilia menjabarkan tentang bagaimana musik berkembang dari masa ke masa. Tampilan dan kesederhanaan Cicilia terlihat dari bagaimana ia membawa diri. Senyum dan interaksi hangat dengan audiens nyaris selalu ia lontarkan. Sesekali bahkan ia tak segan untuk meminta bantuan dari audiens jika tak menemukan padanan kata dalam Bahasa Indonesia yang ia maksudkan. Maklum, sejak usia 15 tahun, Cicilia telah mendapat beasiswa ke Amerika untuk melanjutkan pendidikan musiknya. Namun yang patut diapresiasi adalah ia sebisa mungkin berbicara dalam Bahasa Indonesia tanpa campuran Bahasa Inggris. Sehingga audiens merasa nyaman mendengarnya dalam memberi penjelasan panjang lebar.
Darah musik sudah ada pada diri Cicilia bahkan semenjak ia dalam kandungan Sang Ibu. Profesi guru piano yang ditekuni oleh ibunya menjadikan Cicilia terbiasa untuk mendengar dan mengenal musik sejak usia awal hidupnya. Di usia 13 tahun, ia diterima untuk belajar di Yayasan Pendidikan Musik bersama pioneer pianist perempuan Indonesia, Ibu Iravati M Sudiarso. Terinspirasi Iravati, Cicilia pun mengejar impiannya dan berhasil mendapat beasiswa ke luar negeri di usia 15 tahun.
Nama Slamet Abdul Sjukur lah yang membawa Cicilia sejauh ini untuk datang ke Indonesia. Mengenal Pak SAS sejak usia 10 tahun, Cicilia belum mengerti benar kebesaran nama seorang SAS. Bertahun-tahun kemudian ketika bertemu dengan beliau di Jakarta, Cicilia diminta secara khusus oleh SAS untuk memainkan sebuah komposisi musik kontemporer ciptaannya. Hal itu yang membawanya kembali kemari. Untuk berbagi ilmu dan pengalaman bermusik melalui Pertemuan Musik Surabaya, sebuah organisasi nirlaba yang didirikan oleh SAS sejak 1957. Di awal seminar, Cicilia bahkan menyampaikan rasa hormatnya pada SAS dan bahwa jiwa semangat memasyarakatkan musik milik SAS masih terasa hadir, mewujud di berbagai acara PMS.
Masuk ke dalam materi musik dari zaman ke zaman, Cicilia mengawali dengan pertanyaan apa itu musik klasik. Selama ini, label "musik klasik" adalah sebuah terminologi yang keliru. Klasik sesungguhnya merujuk pada salah satu fase zaman perkembangan musik di pertengahan abad 18. Diduga, penyebutan musik klasik karena kata "klasik" diartikan sebagai sesuatu yang mampu bertahan melawan arus waktu karena keistimewaannya. Misalnya saja komposisi-komposisi milik Bach dan Beethoven yang masih terus dimainkan hingga saat ini. Lantas, bagaimana cara mengapresiasi musik klasik? Cicilia mengungkapkan bahwa ada beberapa hal yang mesti diperhatikan. Misalnya saja pendengar mesti mempelajari sejarah musik, juga melatih daya pendengaran agar tak hanya menjadi kegiatan pasif namun juga aktif. Kedua hal tersebut berkesinambungan satu sama lain. Dalam catatan, meski interpretasi musik bersifat sangat subjektif, namun hal tersebut perlu dilatih untuk dapat berkembang.
Era musik klasik dimulai dari abad 17 (sekitar tahun 1600-an) Masehi di negara-negara Eropa seperti Jerman, Prancis, Inggris dan Austria yang juga disebut sebagai musik middle ages. Bach, seorang komposer Jerman yang membuat sejarah awal di dunia musik, sehingga karya-karyanya menjadi dasar untuk pengajaran musik hingga saat ini. Di masa Barok, musik kebanyakan dimainkan di dalam gereja. Musik di zaman tersebut begitu identik dengan karakter seni di masanya. Misalnya saja dalam seni arsitektur bangunan, bentuk katedral yang ada bersifat megah dan simetris sempurna. Musik dimainkan di setiap katedral yang ada di tiap kota. Setiap minggu, Bach mesti menulis Cantata untuk pelayanan di gereja. Kaum bangsawan lah yang bertanggungjawab untuk menghadirkan segala seni pada saat itu. Tarian dan pertunjukan di zaman Barok pun sangat khas. Terkesan kaku, teratur dan tertata. Dalam komposisi musik, biasanya komposisi yang berjudul Menuet ataupun Bouree terinspirasi dari tarian Barok.
Di masa akhir hidup Bach, musik era klasik dipelopori oleh beberapa komposer tersohor seperti Haydn dan Beethoven. Vienna menjadi pusat musik dunia. Yang membedakan era Barok dan Klasik adalah ornamen yang jauh berkurang di era klasik, ciri khas Barok yang polyphonic digantikan oleh karakter komposisi yang lebih halus seiring dengan berkembangnya instrumen piano, juga kesempurnaan budaya. Penikmat musik pun mulai bergeser. Berbeda dengan zaman Barok, di mana musik hanya dinikmati di gereja dan di antara para bangsawan, di masa klasik musik sudah mulai berkembang. Rakyat biasa bahkan sudah memiliki akses ke partitur komposisi. Opera diadakan sebagai bentuk seni baru. Musik dan sastra pun berhubungan erat sebagai bentuk seni ekspresi. Komposer Schubert juga menjadi raja melodi di puncak zaman Klasik.
Dalam transisi zaman Klasik menjadi Romantik, Beethoven yang visioner telah menciptakan not-not yang lebih rendah dari yang ada di saat itu. Di zamannya, harpsichord di zaman Barok yang memiliki 49 kunci telah berkembang menjadi 73 kunci. Hingga menjadi 88 kunci sesuai dengan yang kita gunakan saat ini. Muncul kemudian seorang Chopin, seorang komposer asal Polandia yang terpaksa mengungsi ke Prancis ketika negaranya mengalami peperangan dengan Rusia. Ciri khas komposisi Chopin tidak jauh dari melankoli dan nasionalisme. Tchaikovsky pun meneruskan semangat Schubert. Ragam seni lain juga berkembang. Ballet, misalnya. Begitu berbeda dengan tarian Barok dari segi kostum yang begitu tetutup hingga mata kaki dengan gerakan yang cenderung kaku, Ballet hadir dengan kondisi berlawanan. Gerakan mendayu, variatif dan kostum yang bahkan memperlihatkan jenjang kaki penari. Anggapan bahwa musik klasik selalu serius, rasanya kurang tepat. Buktinya, di era ini, opera komedi banyak bermunculan.
Di akhir romantik menyambut era modern, sekitar penghujung abad 19, musik Jerman berada di puncak ketenaran. Tekstur komposisi pun berkembang menjadi lebih tebal karena jumlah personel orkestra juga semakin besar. Dimisalkan dengan komposisi Die Walkure Prelude milik Richard Wagner yang tebal dan berat. Di masa itu, Debussy dan beberapa komposer lainnya merasa muak dengan dengan berbagai aturan dari komposisi musik Jerman. Banyak pula seniman yang sependapat dengan Debussy dan ingin kembali membawa nuansa zaman klasik Yunani yang kental dengan simbolisme ke dalam karya-karya mereka. Tahun 1899 adalah masa bersejarah bagi Debussy. Untuk pertama kalinya di sebuah world exhibition, ia mendengar Gamelan Jawa yang dimainkan oleh beberapa orang Indonesia yang bekerja di perkebunan teh kekuasaan Belanda. Bunyi pentatonik dengan interval beda yang berulang dari gamelan membawa Debussy pada sebuah inspirasi warna musik baru. Saat itu menjadi keterikatan awal Debussy dengan Gamelan. Debussy menciptakan lompatan besar dalam dunia musik, karena setelah eranya, komposisi-komposisi musik menjadi bebas, tidak bisa lagi ditebak akan berbentuk seperti apa.
Ialah Arnold Schoenberg yang mengisi dunia musik di akhir 1800-an hingga pertengahan 1900. Ia dikenal eksentrik karena menyusun komposisi tanpa tangga nada sehingga bunyi begitu disonan, meski terasa bersih dan transparan. Musik kamar mengalami perkembangan dengan adanya viola dan cello, bahkan alat musik tiup. Komposer Rusia, Igor Stravinsky juga berada di zaman ini. Ia begitu dikenal dan kontroversial dengan karyanya yang mendobrak norma budaya di masanya, Le Sacre du Printemps. Bermunculan juga nama-nama tersohor seperti Tchaikovsky.
Musik modern mendapat sumbangan besar dari seorang Olivier Messien (1908-1992) yang banyak menciptakan komposisi musiknya dari berbagai jenis cuitan burung-burung. Di saat ini pula, piano sudah mampu menjadi alat musik yang mampu mengimitasi bunyi alat musik lainnya. Berbeda dengan Robert Casadesus yang menyusun komposisi dengan mencampurkan mayor dan minor. Ia juga memasukkan nuansa Andalusia karena masih memiliki darah keturunan di dirinya. Kemudian, musik menjadi begitu bebas dan luas. Di Venezuela, Leonard Bernstein, seorang komposer, konduktor dan pianis menciptakan komposisi Mambo yang begitu rancak.
Akhir abad 20, konsep mendengar musik ditantang untuk eksplorasi yang lebih luas. John Cage hadir dengan Prepared Piano-nya yang begitu unik. Ia menggabungkan banyak peralatan sehari-hari untuk membuat musik, bahkan memasang berbagai objek di antara senar pianonya demi menghasilkan bunyi yang berbeda. Baginya, bunyi tidak perlu diinterpretasi. Ada pula Lou Harrison yang bekerja sama dengan John Cage untuk menciptakan pementasan Double Music. Harrison bahkan berguru pada seorang seniman Indonesia asal Yogyakarta, Pak Cokro (Tjokrowarsito). Musik kembali mengalami perkembangan oleh Steve Reich. Ia mengusung musik minimalism dengan hadir di tengah panggung hanya berbekal tape (pemutar kaset) dan soundboard. Gyorgi Ligeti asal Hungaria juga memimpin dalam inovasi musik kontemporer, ia menciptakan musik dengan hitungan Matematika dan memperkenalkan teknik micropolyphony.
Ialah Slamet Abdul Sjukur yang menjadi komposer musik kontemporer Indonesia legendaris. Belajar dari Messien dan Deutileux, SAS membawa impresionisme Jawa ke Prancis. Meski lama belajar di Prancis, namun SAS memiliki ekspresinya sendiri dalam bermusik. Ia membuka kembali koneksi musik Indonesia dengan Prancis dan membawa kembali ke penikmat dan pelaku seni musik Indonesia. Karyanya yang tersohor, Game-Land 5 dimainkan pertama kali oleh seorang pianist Prancis, Nicholas Stavy dan sempat dipentaskan di Indonesia. Cicilia Yudha pun membawakannya untuk pertama kali di Balai Pemuda Surabaya.
Menikmati musik dapat membawa kita melintasi zaman, Cicilia menegaskan itu sebagai keistimewaan tersendiri. Dalam bermusik dan menikmati musik, kita mesti memiliki cakrawala luas dan keterbukaan untuk selalu mampu menerima hal baru, seiring dengan inovasi manusia terhadap musik dan bunyi.
Untuk rangkaian acara Kaleidoskop akhir tahun PMS,
Nabila Budayana
Rangkaian acara PMS dimulai dengan Seminar Interpretasi Musik dari Zaman ke Zaman. Mengambil tempat di salah satu ruang di sekolah musik Melodia Surabaya, forum kecil itu terasa hangat dengan sekitar 20 orang partisipan. Ditemani sebuah piano upright dan sebuah LCD, Cicilia menjabarkan tentang bagaimana musik berkembang dari masa ke masa. Tampilan dan kesederhanaan Cicilia terlihat dari bagaimana ia membawa diri. Senyum dan interaksi hangat dengan audiens nyaris selalu ia lontarkan. Sesekali bahkan ia tak segan untuk meminta bantuan dari audiens jika tak menemukan padanan kata dalam Bahasa Indonesia yang ia maksudkan. Maklum, sejak usia 15 tahun, Cicilia telah mendapat beasiswa ke Amerika untuk melanjutkan pendidikan musiknya. Namun yang patut diapresiasi adalah ia sebisa mungkin berbicara dalam Bahasa Indonesia tanpa campuran Bahasa Inggris. Sehingga audiens merasa nyaman mendengarnya dalam memberi penjelasan panjang lebar.
Darah musik sudah ada pada diri Cicilia bahkan semenjak ia dalam kandungan Sang Ibu. Profesi guru piano yang ditekuni oleh ibunya menjadikan Cicilia terbiasa untuk mendengar dan mengenal musik sejak usia awal hidupnya. Di usia 13 tahun, ia diterima untuk belajar di Yayasan Pendidikan Musik bersama pioneer pianist perempuan Indonesia, Ibu Iravati M Sudiarso. Terinspirasi Iravati, Cicilia pun mengejar impiannya dan berhasil mendapat beasiswa ke luar negeri di usia 15 tahun.
Nama Slamet Abdul Sjukur lah yang membawa Cicilia sejauh ini untuk datang ke Indonesia. Mengenal Pak SAS sejak usia 10 tahun, Cicilia belum mengerti benar kebesaran nama seorang SAS. Bertahun-tahun kemudian ketika bertemu dengan beliau di Jakarta, Cicilia diminta secara khusus oleh SAS untuk memainkan sebuah komposisi musik kontemporer ciptaannya. Hal itu yang membawanya kembali kemari. Untuk berbagi ilmu dan pengalaman bermusik melalui Pertemuan Musik Surabaya, sebuah organisasi nirlaba yang didirikan oleh SAS sejak 1957. Di awal seminar, Cicilia bahkan menyampaikan rasa hormatnya pada SAS dan bahwa jiwa semangat memasyarakatkan musik milik SAS masih terasa hadir, mewujud di berbagai acara PMS.
Masuk ke dalam materi musik dari zaman ke zaman, Cicilia mengawali dengan pertanyaan apa itu musik klasik. Selama ini, label "musik klasik" adalah sebuah terminologi yang keliru. Klasik sesungguhnya merujuk pada salah satu fase zaman perkembangan musik di pertengahan abad 18. Diduga, penyebutan musik klasik karena kata "klasik" diartikan sebagai sesuatu yang mampu bertahan melawan arus waktu karena keistimewaannya. Misalnya saja komposisi-komposisi milik Bach dan Beethoven yang masih terus dimainkan hingga saat ini. Lantas, bagaimana cara mengapresiasi musik klasik? Cicilia mengungkapkan bahwa ada beberapa hal yang mesti diperhatikan. Misalnya saja pendengar mesti mempelajari sejarah musik, juga melatih daya pendengaran agar tak hanya menjadi kegiatan pasif namun juga aktif. Kedua hal tersebut berkesinambungan satu sama lain. Dalam catatan, meski interpretasi musik bersifat sangat subjektif, namun hal tersebut perlu dilatih untuk dapat berkembang.
Era musik klasik dimulai dari abad 17 (sekitar tahun 1600-an) Masehi di negara-negara Eropa seperti Jerman, Prancis, Inggris dan Austria yang juga disebut sebagai musik middle ages. Bach, seorang komposer Jerman yang membuat sejarah awal di dunia musik, sehingga karya-karyanya menjadi dasar untuk pengajaran musik hingga saat ini. Di masa Barok, musik kebanyakan dimainkan di dalam gereja. Musik di zaman tersebut begitu identik dengan karakter seni di masanya. Misalnya saja dalam seni arsitektur bangunan, bentuk katedral yang ada bersifat megah dan simetris sempurna. Musik dimainkan di setiap katedral yang ada di tiap kota. Setiap minggu, Bach mesti menulis Cantata untuk pelayanan di gereja. Kaum bangsawan lah yang bertanggungjawab untuk menghadirkan segala seni pada saat itu. Tarian dan pertunjukan di zaman Barok pun sangat khas. Terkesan kaku, teratur dan tertata. Dalam komposisi musik, biasanya komposisi yang berjudul Menuet ataupun Bouree terinspirasi dari tarian Barok.
Di masa akhir hidup Bach, musik era klasik dipelopori oleh beberapa komposer tersohor seperti Haydn dan Beethoven. Vienna menjadi pusat musik dunia. Yang membedakan era Barok dan Klasik adalah ornamen yang jauh berkurang di era klasik, ciri khas Barok yang polyphonic digantikan oleh karakter komposisi yang lebih halus seiring dengan berkembangnya instrumen piano, juga kesempurnaan budaya. Penikmat musik pun mulai bergeser. Berbeda dengan zaman Barok, di mana musik hanya dinikmati di gereja dan di antara para bangsawan, di masa klasik musik sudah mulai berkembang. Rakyat biasa bahkan sudah memiliki akses ke partitur komposisi. Opera diadakan sebagai bentuk seni baru. Musik dan sastra pun berhubungan erat sebagai bentuk seni ekspresi. Komposer Schubert juga menjadi raja melodi di puncak zaman Klasik.
Dalam transisi zaman Klasik menjadi Romantik, Beethoven yang visioner telah menciptakan not-not yang lebih rendah dari yang ada di saat itu. Di zamannya, harpsichord di zaman Barok yang memiliki 49 kunci telah berkembang menjadi 73 kunci. Hingga menjadi 88 kunci sesuai dengan yang kita gunakan saat ini. Muncul kemudian seorang Chopin, seorang komposer asal Polandia yang terpaksa mengungsi ke Prancis ketika negaranya mengalami peperangan dengan Rusia. Ciri khas komposisi Chopin tidak jauh dari melankoli dan nasionalisme. Tchaikovsky pun meneruskan semangat Schubert. Ragam seni lain juga berkembang. Ballet, misalnya. Begitu berbeda dengan tarian Barok dari segi kostum yang begitu tetutup hingga mata kaki dengan gerakan yang cenderung kaku, Ballet hadir dengan kondisi berlawanan. Gerakan mendayu, variatif dan kostum yang bahkan memperlihatkan jenjang kaki penari. Anggapan bahwa musik klasik selalu serius, rasanya kurang tepat. Buktinya, di era ini, opera komedi banyak bermunculan.
Di akhir romantik menyambut era modern, sekitar penghujung abad 19, musik Jerman berada di puncak ketenaran. Tekstur komposisi pun berkembang menjadi lebih tebal karena jumlah personel orkestra juga semakin besar. Dimisalkan dengan komposisi Die Walkure Prelude milik Richard Wagner yang tebal dan berat. Di masa itu, Debussy dan beberapa komposer lainnya merasa muak dengan dengan berbagai aturan dari komposisi musik Jerman. Banyak pula seniman yang sependapat dengan Debussy dan ingin kembali membawa nuansa zaman klasik Yunani yang kental dengan simbolisme ke dalam karya-karya mereka. Tahun 1899 adalah masa bersejarah bagi Debussy. Untuk pertama kalinya di sebuah world exhibition, ia mendengar Gamelan Jawa yang dimainkan oleh beberapa orang Indonesia yang bekerja di perkebunan teh kekuasaan Belanda. Bunyi pentatonik dengan interval beda yang berulang dari gamelan membawa Debussy pada sebuah inspirasi warna musik baru. Saat itu menjadi keterikatan awal Debussy dengan Gamelan. Debussy menciptakan lompatan besar dalam dunia musik, karena setelah eranya, komposisi-komposisi musik menjadi bebas, tidak bisa lagi ditebak akan berbentuk seperti apa.
Ialah Arnold Schoenberg yang mengisi dunia musik di akhir 1800-an hingga pertengahan 1900. Ia dikenal eksentrik karena menyusun komposisi tanpa tangga nada sehingga bunyi begitu disonan, meski terasa bersih dan transparan. Musik kamar mengalami perkembangan dengan adanya viola dan cello, bahkan alat musik tiup. Komposer Rusia, Igor Stravinsky juga berada di zaman ini. Ia begitu dikenal dan kontroversial dengan karyanya yang mendobrak norma budaya di masanya, Le Sacre du Printemps. Bermunculan juga nama-nama tersohor seperti Tchaikovsky.
Musik modern mendapat sumbangan besar dari seorang Olivier Messien (1908-1992) yang banyak menciptakan komposisi musiknya dari berbagai jenis cuitan burung-burung. Di saat ini pula, piano sudah mampu menjadi alat musik yang mampu mengimitasi bunyi alat musik lainnya. Berbeda dengan Robert Casadesus yang menyusun komposisi dengan mencampurkan mayor dan minor. Ia juga memasukkan nuansa Andalusia karena masih memiliki darah keturunan di dirinya. Kemudian, musik menjadi begitu bebas dan luas. Di Venezuela, Leonard Bernstein, seorang komposer, konduktor dan pianis menciptakan komposisi Mambo yang begitu rancak.
Akhir abad 20, konsep mendengar musik ditantang untuk eksplorasi yang lebih luas. John Cage hadir dengan Prepared Piano-nya yang begitu unik. Ia menggabungkan banyak peralatan sehari-hari untuk membuat musik, bahkan memasang berbagai objek di antara senar pianonya demi menghasilkan bunyi yang berbeda. Baginya, bunyi tidak perlu diinterpretasi. Ada pula Lou Harrison yang bekerja sama dengan John Cage untuk menciptakan pementasan Double Music. Harrison bahkan berguru pada seorang seniman Indonesia asal Yogyakarta, Pak Cokro (Tjokrowarsito). Musik kembali mengalami perkembangan oleh Steve Reich. Ia mengusung musik minimalism dengan hadir di tengah panggung hanya berbekal tape (pemutar kaset) dan soundboard. Gyorgi Ligeti asal Hungaria juga memimpin dalam inovasi musik kontemporer, ia menciptakan musik dengan hitungan Matematika dan memperkenalkan teknik micropolyphony.
Ialah Slamet Abdul Sjukur yang menjadi komposer musik kontemporer Indonesia legendaris. Belajar dari Messien dan Deutileux, SAS membawa impresionisme Jawa ke Prancis. Meski lama belajar di Prancis, namun SAS memiliki ekspresinya sendiri dalam bermusik. Ia membuka kembali koneksi musik Indonesia dengan Prancis dan membawa kembali ke penikmat dan pelaku seni musik Indonesia. Karyanya yang tersohor, Game-Land 5 dimainkan pertama kali oleh seorang pianist Prancis, Nicholas Stavy dan sempat dipentaskan di Indonesia. Cicilia Yudha pun membawakannya untuk pertama kali di Balai Pemuda Surabaya.
Menikmati musik dapat membawa kita melintasi zaman, Cicilia menegaskan itu sebagai keistimewaan tersendiri. Dalam bermusik dan menikmati musik, kita mesti memiliki cakrawala luas dan keterbukaan untuk selalu mampu menerima hal baru, seiring dengan inovasi manusia terhadap musik dan bunyi.
Untuk rangkaian acara Kaleidoskop akhir tahun PMS,
Nabila Budayana
Published on December 13, 2015 03:35
November 27, 2015
Goodreads Surabaya : Perempuan dan Literasi bersama Sirikit Syah
Banyak yang menarik dari seorang Sirikit Syah. Kiprahnya di bidang jurnalistik dan kesusastraan yang telah dijalani begitu lama membuatnya menjadi tokoh yang menarik dengan banyak inspirasi. Tanggal 22 November 2015 lalu, Goodreads Indonesia regional Surabaya mendapat kehormatan untuk berdiskusi langsung dengan beliau.
Mengajukan tiga tema sebelumnya, Sirikit memutuskan untuk merangkum ketiga tema tersebut dalam Perempuan dan Literasi yang menggambarkan karier beliau secara keseluruhan, baik dalam bidang jurnalistik maupun literasi. Sesungguhnya, tema kali ini agak terlalu luas. Namun justru menjadi menarik karena audiens bebas menanyakan apa saja dan bagaimana Sirikit menempatkan diri dalam berpendapat dan memandang berbagai hal, terutama terkait dengan beliau yang vokal dan tajam dalam mengupas sesuatu.
Foto oleh Lina Handriyani
Bukan hanya pada karyanya, kesan perempuan dengan pendirian kuat dan daya juang tinggi juga melekat di diri seorang Sirikit Syah. Hal itu tergambarkan melalui bagaimana pilihan-pilihan hidup yang beliau ambil dalam kisah perjalanan hidupnya. Sirikit pun tak segan mengakui kesalahan-kesalahannya dalam mengambil keputusan besar ketika dihadapkan dengan berbagai pilihan. Seperti ketika beliau mesti memilih antara berangkat untuk pertukaran pemuda ke luar negeri atau bekerja. Juga menolak tawaran menjadi dosen dari sastrawan senior, Budi Darma dan memilih bekerja di Surabaya Post. Namun lebih banyak keputusan yang beliau tak sesali. Memutuskan untuk berhenti bekerja karena enggan untuk terlibat dalam politik uang, misalnya. Beliau berharap bahwa ini mampu menjadi bahan pembelajaran pada kaum muda untuk lebih bijak dan matang dalam mengambil keputusan.
Karir seorang Sirikit Syah dimulai ketika beliau lulus dari perguruan tinggi IKIP Surabaya dengan major Pendidikan Sastra Inggris. Pernah menjadi wartawan di harian Surabaya Post hingga The Brunei Times, juga menjalani tahun-tahun panjang jenjang karier di media pertelevisian seperti SCTV dan RCTI membuatnya banjir pengalaman. Kejadian di dunia media suatu kali mengusik kepalanya. Beliau berpendapat bahwa belakangan media sudah terlalu bebas dan sarkas. Ingin menunjukkan jurnalisme damai, beliau memutuskan untuk membentuk Media Watch, sebuah lembaga konsumen media. Beliau juga melatih ratusan jurnalis dari banyak wilayah di Indonesia untuk menulis dengan lebih berimbang. Jika mesti membandingkan antara media cetak dan media televisi, Sirikit Syah lebih nyaman untuk menulis di koran. Baginya, media televisi terlalu sempit untuk mengutarakan sesuatu. Sedangkan di koran, gagasan dapat dibaca secara utuh oleh khalayak.
Erat kaitan dengan perempuan, Sirikit Syah sangat optimis dengan penulis-penulis perempuan di Indonesia saat ini. Baginya, penulis perempuan di Indonesia telah mendapat kedudukan yang baik sekali. Secara kuantitas, menurutnya lebih banyak penulis perempuan saat ini. Dari sisi kualitas pun hampir sama antara perempuan dan laki-laki. Sebagai contoh, ia mengaku menyukai karya dan diksi dari juniornya, Dee, yang indah. Sirikit Syah pun optimis terhadap dunia sastra Indonesia ke depan. Baginya, keunggulan sastra Indonesia ada pada keberagaman hal yang bisa diangkat. Menjawab pertanyaan tentang bagaimana memisahkan jurnalistik dan sastra, beliau berkata bahwa menulis fiksi semestinya membebaskan. Dalam karya fiksi, penulis bisa merasa bebas, mampu membela diri, meski karya tersebut diangkat dari fakta-fakta yang didramatisir. Baginya, eksplorasi dalam sastra oleh penulis sebaiknya bersifat bebas dan "liar". Karena sastra adalah medium untuk menjangkau banyak orang, dengan simbolisme, dengan majas. Sastra harus mampu menyentuh banyak hati. Sementara dalam jurnalistik mesti ada sifat ketepatan dan real. Menjembatani antara sastra dan jurnalistik, terdapat jurnalisme sastrawi. Namun jurnalisme sastrawi dapat digunakan untuk menulis feature.
Dalam kumpulan cerita pendeknya yang berjudul Harga Perempuan. Sirikit Syah banyak menampilkan sudut pandang tokoh perempuan yang memiliki karakter tersendiri. Karakter perempuan dalam kumcer tersebut berbeda dari karakter-karakter perempuan dalam fiksi yang ada saat itu. Salah satu yang menjadi inspirasinya adalah sosok perempuan tangguh yang ditampilkan Pram dalam Bumi Manusia. Diary Anne Frank, kisah seorang anak perempuan dalam setting Holocaust lah yang membawa Sirikit Syah untuk menulis sastra secara serius di masa mudanya. Berbicara tentang perempuan, pertanyaan menarik datang dari seorang audiens tentang feminisme. Menjadi sebuah kata yang bermakna sangat subjektif, Sirikit memberikan pandangan dirinya terhadap makna feminisme dengan mengambil contoh rumah tangganya. Baginya, kesuksesan seorang perempuan tergantung pada bagaimana ia memilih pasangan hidup yang tepat. Beliau membiarkan laki-laki sebagai seorang pemimpin. Sang Suami berhak memutuskan apa saja dalam keluarga. Dalam tubuh manusia, ia adalah kepala. Namun, Sirikit bertutur bahwa perempuan adalah leher. Kepala boleh saja memiliki keputusan. Tapi, kepala tak akan bisa bergerak ketika leher tak mengizinkan. Baginya, dalam mendampingi perempuan, laki-laki mampu memimpin dengan berjalan di depannya, bisa menjaga dengan berjalan di belakang, namun lebih sering berada di samping untuk menemani.
Memiliki karier panjang dalam dunia penulisan jurnalistik dan sastra, Sirikit Syah membagi pesan substansial pada generasi muda.
"Open your eyes, your ears, your mind, and your heart."
Beliau seakan mengingatkan kembali bakat-bakat muda yang terlalu sibuk menggali pernik-pernik di permukaan. Bahwa kepekaan sosial adalah modal dasar dalam kepengarangan. Sirikit Syah juga membuktikan dengan perjalanan kariernya, bahwa perempuan dengan keistimewaannya selalu memiliki ruang tersendiri dalam ranah literasi.
Foto oleh Lina Handriyani
Mengajukan tiga tema sebelumnya, Sirikit memutuskan untuk merangkum ketiga tema tersebut dalam Perempuan dan Literasi yang menggambarkan karier beliau secara keseluruhan, baik dalam bidang jurnalistik maupun literasi. Sesungguhnya, tema kali ini agak terlalu luas. Namun justru menjadi menarik karena audiens bebas menanyakan apa saja dan bagaimana Sirikit menempatkan diri dalam berpendapat dan memandang berbagai hal, terutama terkait dengan beliau yang vokal dan tajam dalam mengupas sesuatu.

Bukan hanya pada karyanya, kesan perempuan dengan pendirian kuat dan daya juang tinggi juga melekat di diri seorang Sirikit Syah. Hal itu tergambarkan melalui bagaimana pilihan-pilihan hidup yang beliau ambil dalam kisah perjalanan hidupnya. Sirikit pun tak segan mengakui kesalahan-kesalahannya dalam mengambil keputusan besar ketika dihadapkan dengan berbagai pilihan. Seperti ketika beliau mesti memilih antara berangkat untuk pertukaran pemuda ke luar negeri atau bekerja. Juga menolak tawaran menjadi dosen dari sastrawan senior, Budi Darma dan memilih bekerja di Surabaya Post. Namun lebih banyak keputusan yang beliau tak sesali. Memutuskan untuk berhenti bekerja karena enggan untuk terlibat dalam politik uang, misalnya. Beliau berharap bahwa ini mampu menjadi bahan pembelajaran pada kaum muda untuk lebih bijak dan matang dalam mengambil keputusan.
Karir seorang Sirikit Syah dimulai ketika beliau lulus dari perguruan tinggi IKIP Surabaya dengan major Pendidikan Sastra Inggris. Pernah menjadi wartawan di harian Surabaya Post hingga The Brunei Times, juga menjalani tahun-tahun panjang jenjang karier di media pertelevisian seperti SCTV dan RCTI membuatnya banjir pengalaman. Kejadian di dunia media suatu kali mengusik kepalanya. Beliau berpendapat bahwa belakangan media sudah terlalu bebas dan sarkas. Ingin menunjukkan jurnalisme damai, beliau memutuskan untuk membentuk Media Watch, sebuah lembaga konsumen media. Beliau juga melatih ratusan jurnalis dari banyak wilayah di Indonesia untuk menulis dengan lebih berimbang. Jika mesti membandingkan antara media cetak dan media televisi, Sirikit Syah lebih nyaman untuk menulis di koran. Baginya, media televisi terlalu sempit untuk mengutarakan sesuatu. Sedangkan di koran, gagasan dapat dibaca secara utuh oleh khalayak.
Erat kaitan dengan perempuan, Sirikit Syah sangat optimis dengan penulis-penulis perempuan di Indonesia saat ini. Baginya, penulis perempuan di Indonesia telah mendapat kedudukan yang baik sekali. Secara kuantitas, menurutnya lebih banyak penulis perempuan saat ini. Dari sisi kualitas pun hampir sama antara perempuan dan laki-laki. Sebagai contoh, ia mengaku menyukai karya dan diksi dari juniornya, Dee, yang indah. Sirikit Syah pun optimis terhadap dunia sastra Indonesia ke depan. Baginya, keunggulan sastra Indonesia ada pada keberagaman hal yang bisa diangkat. Menjawab pertanyaan tentang bagaimana memisahkan jurnalistik dan sastra, beliau berkata bahwa menulis fiksi semestinya membebaskan. Dalam karya fiksi, penulis bisa merasa bebas, mampu membela diri, meski karya tersebut diangkat dari fakta-fakta yang didramatisir. Baginya, eksplorasi dalam sastra oleh penulis sebaiknya bersifat bebas dan "liar". Karena sastra adalah medium untuk menjangkau banyak orang, dengan simbolisme, dengan majas. Sastra harus mampu menyentuh banyak hati. Sementara dalam jurnalistik mesti ada sifat ketepatan dan real. Menjembatani antara sastra dan jurnalistik, terdapat jurnalisme sastrawi. Namun jurnalisme sastrawi dapat digunakan untuk menulis feature.
Dalam kumpulan cerita pendeknya yang berjudul Harga Perempuan. Sirikit Syah banyak menampilkan sudut pandang tokoh perempuan yang memiliki karakter tersendiri. Karakter perempuan dalam kumcer tersebut berbeda dari karakter-karakter perempuan dalam fiksi yang ada saat itu. Salah satu yang menjadi inspirasinya adalah sosok perempuan tangguh yang ditampilkan Pram dalam Bumi Manusia. Diary Anne Frank, kisah seorang anak perempuan dalam setting Holocaust lah yang membawa Sirikit Syah untuk menulis sastra secara serius di masa mudanya. Berbicara tentang perempuan, pertanyaan menarik datang dari seorang audiens tentang feminisme. Menjadi sebuah kata yang bermakna sangat subjektif, Sirikit memberikan pandangan dirinya terhadap makna feminisme dengan mengambil contoh rumah tangganya. Baginya, kesuksesan seorang perempuan tergantung pada bagaimana ia memilih pasangan hidup yang tepat. Beliau membiarkan laki-laki sebagai seorang pemimpin. Sang Suami berhak memutuskan apa saja dalam keluarga. Dalam tubuh manusia, ia adalah kepala. Namun, Sirikit bertutur bahwa perempuan adalah leher. Kepala boleh saja memiliki keputusan. Tapi, kepala tak akan bisa bergerak ketika leher tak mengizinkan. Baginya, dalam mendampingi perempuan, laki-laki mampu memimpin dengan berjalan di depannya, bisa menjaga dengan berjalan di belakang, namun lebih sering berada di samping untuk menemani.
Memiliki karier panjang dalam dunia penulisan jurnalistik dan sastra, Sirikit Syah membagi pesan substansial pada generasi muda.
"Open your eyes, your ears, your mind, and your heart."
Beliau seakan mengingatkan kembali bakat-bakat muda yang terlalu sibuk menggali pernik-pernik di permukaan. Bahwa kepekaan sosial adalah modal dasar dalam kepengarangan. Sirikit Syah juga membuktikan dengan perjalanan kariernya, bahwa perempuan dengan keistimewaannya selalu memiliki ruang tersendiri dalam ranah literasi.

Published on November 27, 2015 04:59
November 8, 2015
Concert de Piano : Pascal & Ami Roge
Setelah mendapat sambutan baik di Jakarta, Pascal Roge dan Ami Roge akhirnya hadir di Surabaya. Di hari ke-empat November 2015, IFI Surabaya bersama Diapason Music mendatangkan pasangan pianis ini ke Ballroom Sheraton Hotel yang berhasil menarik perhatian begitu banyak audiens yang antusias. Bahkan pintu masuk tetap dibuka untuk menampung audiens yang terlambat datang dan terpaksa berdiri untuk menonton pertunjukan.
Membawa semangat Negeri Eiffel bersama duo pianis ini, ditampilkan berbagai komposisi ciptaan komposer-komposer Prancis yang tersohor seperti Claude Debussy, Erik Satie, Maurice Ravel, Igor Stravinsky, dan Henri Dutilleux. Meski begitu, Pasangan Roge juga ingin menunjukkan penghargaan mereka pada komposer Indonesia. Karya Slamet Abdul Sjukur dan Trisutji Kamal yang memiliki keterikatan khusus dengan Prancis turut dibawakan.
Kali ini sang performer tak langsung tampil. Pertunjukan dibuka dengan penampilan secara bergilir beberapa anak yang mengikuti masterclass Pascal dan Ami Roge. Anak-anak Surabaya usia 9 hingga 13 tahun ini menampilan berbagai komposisi. Liszt hingga Debussy. Ini menjadi menarik karena mereka menjadi penampil pembuka dari performer utama. Ketujuh bakat baru ini memiliki kualitas penampilan yang luar biasa. Di usia belia, mereka telah berhasil menaklukkan komposisi-komposisi dengan teknik tinggi. Beberapa dari mereka menonjol dengan kemampuan komunikasi emosional dengan audiens melalui karya yang mereka mainkan. Jonathan Inkirawang dan Sally Yapto mengagumkan dan begitu menikmati waktu mereka di atas panggung. Mereka seakan telah siap untuk menjadi performer andal masa depan.
Ballroom semakin penuh ketika Pascal dan Ami Roge tampil. Bersama, mereka membawakan Petite Suite piano duet dari Debussy. Pilihan ini cukup mengejutkan. Alih-alih membuka konser dengan komposisi yang menuntut show-off berbagai teknik dengan menggebu, kali ini justru dibuka dengan movement En Bateu yang bright, tenang dan mengalir. Komposisi yang didominasi Andantino dan Moderato ini baru menampilkan melodi-melodi cepat Allegro di movement terakhir, Ballet. Komposisi ini memang pendek, sederhana dan mudah dicerna. Debussy sengaja menciptakannya untuk pianis amatir, berlawanan dengan karya modern lain yang ia ciptakan.
Pascal Roge kembali seorang diri untuk menampilkan karya tersohor milik Satie, Gymnopedie 1. Frase awal yang familiar memikat audiens dan seketika mengudarakan atmosfer sepi dan muram. Komposisi ini konon terinspirasi dari novel historical karya sastrawan Prancis Gustave Flaubert, Salammbo. Tak seperti ketika menulis Madam Bovary, Flaubert banyak dipandang aneh di buku ini. Nuansa epic itu pun terlihat pada Gymnopedie dengan melodi-melodi yang tak terduga khas Satie. Pascal kemudian menyajikan time-line waktu penciptaan komposisi yang berurutan terhadap karya Satie. Gnossiennes 5 yang masih bertempo lambat namun banyak menampilkan hitungan yang tak terduga ditampilkan jelas oleh Pascal. Pemilihan Satie dalam daftar karya yang ditampilkan memang menjadi menarik, mengingat karakteristik Satie yang unik.
Photo by : Vincent Jose
Audiens kemudian dibawa ke nuansa yang berbeda dengan running-running notes dan legato Sonatine milik Ravel. Petualangan berikutnya ini membawa pada suasana elegan dan klasik dengan virtuoso dari Pascal Roge. Emosi yang tak berlebihan dan kejernihan dalam penyampaian membuat komposisi ini nyaman untuk dinikmati. Modere, Movement de Menuet dan Anime digarap rapi dan baik oleh Pascal. L'adoration de la Terre milik Stravinsky mendapat giliran berikutnya. Audiens diboyong ke suasana Rusia dengan dinamika yang menegangkan dan kental dengan bunyi disonan. Tak dihadirkan dengan bantuan string, ketegangan di komposisi ini sesungguhnya berpotensi minim grande. Namun ambiance ketegasan dan kesuraman tentang pengorbanan seorang perempuan masih terasa lekat.
Jeda sejenak sebelum komposisi berikutnya ditampilkan, cukup banyak penonton yang tak ingin meninggalkan kursinya. Suhu dingin ballroom tak membuat mereka kehilangan antusiasme untuk mengikuti pertunjukan hingga usai. Ketika akhirnya performer kembali ke panggung, Pascal dan Ami Roge sempat berkisah singkat bahwa komposer Prancis begitu banyak yang terpengaruh dengan Gamelan Indonesia. Oleh karena itu, setelah dibawa ke beragam warna komposisi Prancis sebelum intermession, Gunung Agung Act 1 Joy of Life milik Trisutji Kamal yang bernuansa khas Indonesia dibawakan. Meski tak mengajak kolaborasi I Ketut Budiyasa seperti pada konser di Jakarta, namun Pascal dan Ami tak membuatnya terlihat timpang. Komposisi ini tetap termainkan dengan nuansa pentatonik yang menarik. Duo pianis ini juga mengajak audiens untuk mengenang Slamet Abdul Sjukur. Komposisi Tobor : Tiring ditampilkan oleh Ami Roge. Karya ini seakan mengingatkan bahwa Indonesia benar-benar kehilangan seorang komposer besar dengan warisan karya-karya yang mendunia. Hal minor yang menarik dari pasangan suami istri ini adalah keterikatan emosi mereka yang sangat terlihat. Ketika Ami memainkan Tobor, Pascal dengan setia memilih untuk duduk di tepi panggung dengan membiarkan kakinya menggantung. Selama karya dimainkan, ia menunduk, meresapi permainan sang istri dalam-dalam.
Yang spesial, karya dari Henri Dutilleux yang merupakan guru dari Slamet Abdul Sjukur turut dibawakan. Semakin spesifik, Resonance ciptaan Dutilleux ini hanya bisa dimainkan oleh Pascal Roge, mengingat komposisi ini diciptakan secara khusus untuknya. Ketenangan Pascal dalam bermain memang mengagumkan. Bergantian, Ami memilih untuk duduk di antara kursi penonton. Ia mendengarkan dengan serius harmoni-harmoni yang diciptakan sang suami.
Menjelang akhir, Debussy dan Ravel sengaja dipilih untuk meninggalkan kesan Prancis pada audiens. Sebelum memainkan keduanya, Pascal mengatakan bahwa kedua komposer ini baginya adalah dua komposer terhebat dalam ranah musik klasik Prancis. Mereka menentukan keistimewaan warna musik Prancis. Ia pun bercanda bahwa untuk menentukan siapa yang terbaik, audiens hanya perlu mendengarnya dan menentukan pilihannya masing-masing. Berkewarganegaraan dan hidup di zaman yang sama, pun sama-sama disebut mengusung musik impresionis, tak heran banyak yang membandingkan Debussy dan Ravel. 4 Preludes milik Debussy terpilih untuk dibawakan lebih dulu. Voiles membuat audiens terlempar kembali ke ketenangan dengan banyak ruang imajinasi di antara frase. Le Vent dans la Plaine dan La Fille aux Cheveux de Lin yang lebih dinamis menaikkan dinamika emosional audiens dengan permainan yang tenang namun dinamis. Tetap terkontrol, Minstrels menjadi puncak dengan dinamika yang lebih tajam dengan forte dan arpeggio yang kerap muncul.
Pemilihan komposisi terakhir ciptaan Ravel yang justru erat dengan nuansa Spanyol, Rapsodie Espagnole empat tangan menjadi karya terakhir dalam daftar. Tema yang terus berulang berpotensi menimbulkan kemonotonan. Meski begitu heningnya malam hari terasa di movement pertama, Prelude a la nuit. Nuansa rancak Spanyol mulai terlihat di Malaguenas. Movement singkat ini seakan memperlihatkan penari Flamenco yang mulai berdansa. Audiens kembali melambatkan mood dengan diberikan Habanera, sebelum akhirnya ditutup dengan Feria yang sangat hidup dan ramai. Begitu komposisi berakhir, selain tepuk tangan panjang, duo pianis Roge juga menerima hujan apresiasi berbentuk karangan bunga dan kado dari peserta masterclass mereka. Mereka mengaku begitu tersentuh dengan segala bentuk penghargaan tersebut. Kekaguman mereka pun tercurah untuk kualitas bakat-bakat baru musisi klasik Surabaya yang melebihi ekspektasi. Interaksi manis suami-istri ini pun terlihat melalui beberapa hal kecil. Selain selalu menggandeng tangan sang istri setiap kali turun panggung, hal serupa pun terjadi ketika Ami sedang berbicara pada penonton dan tampak kerepotan dengan kado dan karangan bunga yang memenuhi tangannya, dengan sabar Pascal mengambilnya satu per satu dan memindahkannya ke panggung. Tanpa berlama-lama, duo pianis ini memberikan encore pendek ciptaan Colin McPhee, seorang komposer asal Canada yang tekun mengeksplorasi Gamelan Bali.
Photo by Vincent Jose
Pascal dan Ami Roge meninggalkan kesan dengan menjadi penampil yang tak emosional berlebihan. Gerakan yang efisien dan rapi juga menjadi referensi simplicity dalam performa musik klasik. Duo ini seakan membiarkan komposisi yang mereka mainkan menjadi indah dengan sendirinya. Pertunjukan pun telah direncanakan matang dengan pemilihan komposisi dan urutan yang menyenangkan. Sebagian besar waktu penyajian yang tak terlalu panjang membuat audiens mudah menerima dan tak terkesan melelahkan. Komunikasi yang terbangun selaras di antara duo ini pun membentuk kepaduan yang menyenangkan untuk komposisi-komposisi piano empat tangan, serta keseluruhan pertunjukan.
Membawa semangat Negeri Eiffel bersama duo pianis ini, ditampilkan berbagai komposisi ciptaan komposer-komposer Prancis yang tersohor seperti Claude Debussy, Erik Satie, Maurice Ravel, Igor Stravinsky, dan Henri Dutilleux. Meski begitu, Pasangan Roge juga ingin menunjukkan penghargaan mereka pada komposer Indonesia. Karya Slamet Abdul Sjukur dan Trisutji Kamal yang memiliki keterikatan khusus dengan Prancis turut dibawakan.
Kali ini sang performer tak langsung tampil. Pertunjukan dibuka dengan penampilan secara bergilir beberapa anak yang mengikuti masterclass Pascal dan Ami Roge. Anak-anak Surabaya usia 9 hingga 13 tahun ini menampilan berbagai komposisi. Liszt hingga Debussy. Ini menjadi menarik karena mereka menjadi penampil pembuka dari performer utama. Ketujuh bakat baru ini memiliki kualitas penampilan yang luar biasa. Di usia belia, mereka telah berhasil menaklukkan komposisi-komposisi dengan teknik tinggi. Beberapa dari mereka menonjol dengan kemampuan komunikasi emosional dengan audiens melalui karya yang mereka mainkan. Jonathan Inkirawang dan Sally Yapto mengagumkan dan begitu menikmati waktu mereka di atas panggung. Mereka seakan telah siap untuk menjadi performer andal masa depan.
Ballroom semakin penuh ketika Pascal dan Ami Roge tampil. Bersama, mereka membawakan Petite Suite piano duet dari Debussy. Pilihan ini cukup mengejutkan. Alih-alih membuka konser dengan komposisi yang menuntut show-off berbagai teknik dengan menggebu, kali ini justru dibuka dengan movement En Bateu yang bright, tenang dan mengalir. Komposisi yang didominasi Andantino dan Moderato ini baru menampilkan melodi-melodi cepat Allegro di movement terakhir, Ballet. Komposisi ini memang pendek, sederhana dan mudah dicerna. Debussy sengaja menciptakannya untuk pianis amatir, berlawanan dengan karya modern lain yang ia ciptakan.
Pascal Roge kembali seorang diri untuk menampilkan karya tersohor milik Satie, Gymnopedie 1. Frase awal yang familiar memikat audiens dan seketika mengudarakan atmosfer sepi dan muram. Komposisi ini konon terinspirasi dari novel historical karya sastrawan Prancis Gustave Flaubert, Salammbo. Tak seperti ketika menulis Madam Bovary, Flaubert banyak dipandang aneh di buku ini. Nuansa epic itu pun terlihat pada Gymnopedie dengan melodi-melodi yang tak terduga khas Satie. Pascal kemudian menyajikan time-line waktu penciptaan komposisi yang berurutan terhadap karya Satie. Gnossiennes 5 yang masih bertempo lambat namun banyak menampilkan hitungan yang tak terduga ditampilkan jelas oleh Pascal. Pemilihan Satie dalam daftar karya yang ditampilkan memang menjadi menarik, mengingat karakteristik Satie yang unik.

Audiens kemudian dibawa ke nuansa yang berbeda dengan running-running notes dan legato Sonatine milik Ravel. Petualangan berikutnya ini membawa pada suasana elegan dan klasik dengan virtuoso dari Pascal Roge. Emosi yang tak berlebihan dan kejernihan dalam penyampaian membuat komposisi ini nyaman untuk dinikmati. Modere, Movement de Menuet dan Anime digarap rapi dan baik oleh Pascal. L'adoration de la Terre milik Stravinsky mendapat giliran berikutnya. Audiens diboyong ke suasana Rusia dengan dinamika yang menegangkan dan kental dengan bunyi disonan. Tak dihadirkan dengan bantuan string, ketegangan di komposisi ini sesungguhnya berpotensi minim grande. Namun ambiance ketegasan dan kesuraman tentang pengorbanan seorang perempuan masih terasa lekat.
Jeda sejenak sebelum komposisi berikutnya ditampilkan, cukup banyak penonton yang tak ingin meninggalkan kursinya. Suhu dingin ballroom tak membuat mereka kehilangan antusiasme untuk mengikuti pertunjukan hingga usai. Ketika akhirnya performer kembali ke panggung, Pascal dan Ami Roge sempat berkisah singkat bahwa komposer Prancis begitu banyak yang terpengaruh dengan Gamelan Indonesia. Oleh karena itu, setelah dibawa ke beragam warna komposisi Prancis sebelum intermession, Gunung Agung Act 1 Joy of Life milik Trisutji Kamal yang bernuansa khas Indonesia dibawakan. Meski tak mengajak kolaborasi I Ketut Budiyasa seperti pada konser di Jakarta, namun Pascal dan Ami tak membuatnya terlihat timpang. Komposisi ini tetap termainkan dengan nuansa pentatonik yang menarik. Duo pianis ini juga mengajak audiens untuk mengenang Slamet Abdul Sjukur. Komposisi Tobor : Tiring ditampilkan oleh Ami Roge. Karya ini seakan mengingatkan bahwa Indonesia benar-benar kehilangan seorang komposer besar dengan warisan karya-karya yang mendunia. Hal minor yang menarik dari pasangan suami istri ini adalah keterikatan emosi mereka yang sangat terlihat. Ketika Ami memainkan Tobor, Pascal dengan setia memilih untuk duduk di tepi panggung dengan membiarkan kakinya menggantung. Selama karya dimainkan, ia menunduk, meresapi permainan sang istri dalam-dalam.
Yang spesial, karya dari Henri Dutilleux yang merupakan guru dari Slamet Abdul Sjukur turut dibawakan. Semakin spesifik, Resonance ciptaan Dutilleux ini hanya bisa dimainkan oleh Pascal Roge, mengingat komposisi ini diciptakan secara khusus untuknya. Ketenangan Pascal dalam bermain memang mengagumkan. Bergantian, Ami memilih untuk duduk di antara kursi penonton. Ia mendengarkan dengan serius harmoni-harmoni yang diciptakan sang suami.
Menjelang akhir, Debussy dan Ravel sengaja dipilih untuk meninggalkan kesan Prancis pada audiens. Sebelum memainkan keduanya, Pascal mengatakan bahwa kedua komposer ini baginya adalah dua komposer terhebat dalam ranah musik klasik Prancis. Mereka menentukan keistimewaan warna musik Prancis. Ia pun bercanda bahwa untuk menentukan siapa yang terbaik, audiens hanya perlu mendengarnya dan menentukan pilihannya masing-masing. Berkewarganegaraan dan hidup di zaman yang sama, pun sama-sama disebut mengusung musik impresionis, tak heran banyak yang membandingkan Debussy dan Ravel. 4 Preludes milik Debussy terpilih untuk dibawakan lebih dulu. Voiles membuat audiens terlempar kembali ke ketenangan dengan banyak ruang imajinasi di antara frase. Le Vent dans la Plaine dan La Fille aux Cheveux de Lin yang lebih dinamis menaikkan dinamika emosional audiens dengan permainan yang tenang namun dinamis. Tetap terkontrol, Minstrels menjadi puncak dengan dinamika yang lebih tajam dengan forte dan arpeggio yang kerap muncul.
Pemilihan komposisi terakhir ciptaan Ravel yang justru erat dengan nuansa Spanyol, Rapsodie Espagnole empat tangan menjadi karya terakhir dalam daftar. Tema yang terus berulang berpotensi menimbulkan kemonotonan. Meski begitu heningnya malam hari terasa di movement pertama, Prelude a la nuit. Nuansa rancak Spanyol mulai terlihat di Malaguenas. Movement singkat ini seakan memperlihatkan penari Flamenco yang mulai berdansa. Audiens kembali melambatkan mood dengan diberikan Habanera, sebelum akhirnya ditutup dengan Feria yang sangat hidup dan ramai. Begitu komposisi berakhir, selain tepuk tangan panjang, duo pianis Roge juga menerima hujan apresiasi berbentuk karangan bunga dan kado dari peserta masterclass mereka. Mereka mengaku begitu tersentuh dengan segala bentuk penghargaan tersebut. Kekaguman mereka pun tercurah untuk kualitas bakat-bakat baru musisi klasik Surabaya yang melebihi ekspektasi. Interaksi manis suami-istri ini pun terlihat melalui beberapa hal kecil. Selain selalu menggandeng tangan sang istri setiap kali turun panggung, hal serupa pun terjadi ketika Ami sedang berbicara pada penonton dan tampak kerepotan dengan kado dan karangan bunga yang memenuhi tangannya, dengan sabar Pascal mengambilnya satu per satu dan memindahkannya ke panggung. Tanpa berlama-lama, duo pianis ini memberikan encore pendek ciptaan Colin McPhee, seorang komposer asal Canada yang tekun mengeksplorasi Gamelan Bali.

Pascal dan Ami Roge meninggalkan kesan dengan menjadi penampil yang tak emosional berlebihan. Gerakan yang efisien dan rapi juga menjadi referensi simplicity dalam performa musik klasik. Duo ini seakan membiarkan komposisi yang mereka mainkan menjadi indah dengan sendirinya. Pertunjukan pun telah direncanakan matang dengan pemilihan komposisi dan urutan yang menyenangkan. Sebagian besar waktu penyajian yang tak terlalu panjang membuat audiens mudah menerima dan tak terkesan melelahkan. Komunikasi yang terbangun selaras di antara duo ini pun membentuk kepaduan yang menyenangkan untuk komposisi-komposisi piano empat tangan, serta keseluruhan pertunjukan.
Published on November 08, 2015 00:42
November 6, 2015
Pencarian Bunyi Baru oleh Piet Hein
Ketertarikan Piet Hein akan Indonesia masih kental dengan bukti kembalinya ia untuk mengeksplorasi bunyi. Sound Adventures, pengalamannya menggali bunyi di tahun 2014 lalu mendapat tanggapan yang cukup memuaskan.
Piet Hein, yang sempat menjadi produser acara radio di Belanda selama 35 tahun, di masa pensiunnya memilih untuk kembali menjelajah dan mengeksplorasi musik dan budaya Indonesia. Namun ia kembali dengan misi yang cukup berbeda kali ini. Tahun lalu, ia menyelenggarakan Sound Adventures, sebuah program yang bertujuan untuk menemukan bunyi baru dari perluasan penggunaan instrumen musik. Misalnya piano yang dimainkan dengan cara berbeda dari biasanya. Seperti meletakkan objek-objek tertentu di atas senar dengan tujuan produksi suara yang berbeda. Berkaca dari tahun sebelumnya, tahun ini Piet Hein memutuskan untuk mengusung sebuah misi baru : New Sounds Adventures. Meski kurang lebih serupa dengan tahun sebelumnya, namun program tahun ini ingin lebih mengutamakan kebaruan dari berbagai sisi. Ia tak hanya fokus mencari bunyi baru, namun juga bentuk instrumen. Dalam hal ini, Piet Hein mengutamakan adanya instrumen-instrumen baru di luar instrumen musik biasanya demi terciptanya sebuah komposisi bunyi yang berbeda.
Meski baru dimulai Januari 2016 mendatang, Piet Hein saat ini mulai mendatangi berbagai kota demi menemukan bibit-bibit seniman yang tertarik untuk mengembangkan dirinya pada suatu bentuk bunyi baru. Bersama rekannya, Roderik The Man, ia akan memberikan pelatihan untuk perjalanan menemukan bunyi tersebut. Pelatihan akan meliputi beberapa tahapan, diawali dengan proses pencarian instrumen dan bunyi baru, mengkatalog bunyi-bunyi yang didapatkan, berlatih untuk membentuk sebuah komposisi, memadukan komposisi tersebut dengan komposisi lain dalam pertunjukan besar, serta mengevaluasinya. Tujuan besar dari pada proses-proses tersebut adalah untuk membangun kepedulian terhadap bunyi.
Mendukung misi tersebut, Pertemuan Musik Surabaya 2 November 2015 lalu mendatangkan Piet Hein untuk berbicara langsung pada mahasiswa jurusan Sendratasik UNESA dan khalayak umum. Bertempat di salah satu ruang kelas gedung Sendratasik, Peit Hein memberikan referensi bagi audiens. Di awal pertemuan, ia mencontohkan sebuah contoh bunyi baru dengan tiba-tiba meremas sebuah botol mineral kosong. Suara yang renyah itu mampu menjadi bagian dari sebuah komposisi. Hein menyatakan bahwa bunyi baru dapat diperoleh dari mana saja. Bunyi dari batang pohon pisang, atau bunyi ketika seseorang membuka jendela. Ia bahkan tak menyarankan penggunaan instrumen musik, elektronik, komputer, dan synthesizer di program New Sound Adventures. Baginya, sungguh tidak menarik menghasilkan musik hanya dengan membuka laptop dan menciptakan bunyi dari program komputer.
Piet Hein dan Gema Swaratyagita
Untuk menjelaskan dengan lebih detail, Hein memutarkan sebuah video lama dari John Cage, seorang komposer objek Amerika yang tersohor. Cage terkenal dengan komposisi ciptaannya 4'33, yang 'hanya' menampilkan suara dari lingkungan sekitar dan audiens selama pertunjukan berlangsung. Ia pun menjadi pioneer untuk prepared piano di mana piano dimainkan dengan meletakkan objek-objek pada senar atau hammer piano. Sedikit banyak ini mengingatkan pada grup musik The Piano Guys yang kerap melakukan teknik yang berbeda dari biasanya dengan instrumen mereka. Dalam video yang diputar Hein, Cage memiliki panggungnya sendiri dengan menggunakan berbagai peralatan untuk menciptakan bunyi seperti Grand Piano, ketel uap, bak mandi, teko, radio dan benda-benda keseharian lainnya. Cara memainkannya pun unik. Melempar, menjatuhkan, membuang, menuang, memukul hingga berbagai jenis bunyi dihasilkan baik secara tunggal maupun bersamaan. Meski begitu, Cage melakukannya dengan perhitungan matematis.
Hal itu menginspirasi New Sound Adventures yang mengusung semangat "Menggunakan objek yang sangat biasa untuk menghasilkan bunyi yang luar biasa." Dalam workshop tersebut, Hein akan memberikan referensi-referensi untuk menyusun komposisi dan membagikan masukan tentang bagaimana menciptakan bunyi-bunyi yang menarik bagi telinga penonton. Komposisi bunyi tersebut akan diciptakan secara berkelompok dan akan ditampilkan secara ensemble. Hein tampaknya juga ingin bermain dengan berbagai karakter manusia sebagai sarana produksi bunyi baru dengan mengacak kelompok peserta. Pun, peserta tak harus selalu memiliki kemampuan untuk memainkan alat musik. Tahun lalu, seorang perupa mampu menghasilkan lukisan yang bagus hasil imajinasinya terhadap bunyi yang dimainkan oleh kawan sekelompoknya. Mengusung benang merah yang sama, Hein juga memberikan informasi tentang Black Pencil & Friends, sebuah ensemble musik kontemporer dari Belanda yang dalam waktu dekat akan mengadakan pertunjukan dan pemberian materi edukasi musik di ISI Jogjakarta.
"Break the rules how the sound should be."
Ucapan Piet Hein ini menjadi inspirasi tentang bagaimana membebaskan pikiran dan mengasah kepekaan bukan hanya tentang bunyi, namun juga dari hal-hal biasa lainnya. Hal ini dapat dimaknai secara besar bahwa manusia selalu mampu mendapatkan berbagai hal baru tak terduga dengan melewati garis yang biasa, dengan mengubah sudut pandangnya.
Piet Hein, yang sempat menjadi produser acara radio di Belanda selama 35 tahun, di masa pensiunnya memilih untuk kembali menjelajah dan mengeksplorasi musik dan budaya Indonesia. Namun ia kembali dengan misi yang cukup berbeda kali ini. Tahun lalu, ia menyelenggarakan Sound Adventures, sebuah program yang bertujuan untuk menemukan bunyi baru dari perluasan penggunaan instrumen musik. Misalnya piano yang dimainkan dengan cara berbeda dari biasanya. Seperti meletakkan objek-objek tertentu di atas senar dengan tujuan produksi suara yang berbeda. Berkaca dari tahun sebelumnya, tahun ini Piet Hein memutuskan untuk mengusung sebuah misi baru : New Sounds Adventures. Meski kurang lebih serupa dengan tahun sebelumnya, namun program tahun ini ingin lebih mengutamakan kebaruan dari berbagai sisi. Ia tak hanya fokus mencari bunyi baru, namun juga bentuk instrumen. Dalam hal ini, Piet Hein mengutamakan adanya instrumen-instrumen baru di luar instrumen musik biasanya demi terciptanya sebuah komposisi bunyi yang berbeda.
Meski baru dimulai Januari 2016 mendatang, Piet Hein saat ini mulai mendatangi berbagai kota demi menemukan bibit-bibit seniman yang tertarik untuk mengembangkan dirinya pada suatu bentuk bunyi baru. Bersama rekannya, Roderik The Man, ia akan memberikan pelatihan untuk perjalanan menemukan bunyi tersebut. Pelatihan akan meliputi beberapa tahapan, diawali dengan proses pencarian instrumen dan bunyi baru, mengkatalog bunyi-bunyi yang didapatkan, berlatih untuk membentuk sebuah komposisi, memadukan komposisi tersebut dengan komposisi lain dalam pertunjukan besar, serta mengevaluasinya. Tujuan besar dari pada proses-proses tersebut adalah untuk membangun kepedulian terhadap bunyi.
Mendukung misi tersebut, Pertemuan Musik Surabaya 2 November 2015 lalu mendatangkan Piet Hein untuk berbicara langsung pada mahasiswa jurusan Sendratasik UNESA dan khalayak umum. Bertempat di salah satu ruang kelas gedung Sendratasik, Peit Hein memberikan referensi bagi audiens. Di awal pertemuan, ia mencontohkan sebuah contoh bunyi baru dengan tiba-tiba meremas sebuah botol mineral kosong. Suara yang renyah itu mampu menjadi bagian dari sebuah komposisi. Hein menyatakan bahwa bunyi baru dapat diperoleh dari mana saja. Bunyi dari batang pohon pisang, atau bunyi ketika seseorang membuka jendela. Ia bahkan tak menyarankan penggunaan instrumen musik, elektronik, komputer, dan synthesizer di program New Sound Adventures. Baginya, sungguh tidak menarik menghasilkan musik hanya dengan membuka laptop dan menciptakan bunyi dari program komputer.

Untuk menjelaskan dengan lebih detail, Hein memutarkan sebuah video lama dari John Cage, seorang komposer objek Amerika yang tersohor. Cage terkenal dengan komposisi ciptaannya 4'33, yang 'hanya' menampilkan suara dari lingkungan sekitar dan audiens selama pertunjukan berlangsung. Ia pun menjadi pioneer untuk prepared piano di mana piano dimainkan dengan meletakkan objek-objek pada senar atau hammer piano. Sedikit banyak ini mengingatkan pada grup musik The Piano Guys yang kerap melakukan teknik yang berbeda dari biasanya dengan instrumen mereka. Dalam video yang diputar Hein, Cage memiliki panggungnya sendiri dengan menggunakan berbagai peralatan untuk menciptakan bunyi seperti Grand Piano, ketel uap, bak mandi, teko, radio dan benda-benda keseharian lainnya. Cara memainkannya pun unik. Melempar, menjatuhkan, membuang, menuang, memukul hingga berbagai jenis bunyi dihasilkan baik secara tunggal maupun bersamaan. Meski begitu, Cage melakukannya dengan perhitungan matematis.
Hal itu menginspirasi New Sound Adventures yang mengusung semangat "Menggunakan objek yang sangat biasa untuk menghasilkan bunyi yang luar biasa." Dalam workshop tersebut, Hein akan memberikan referensi-referensi untuk menyusun komposisi dan membagikan masukan tentang bagaimana menciptakan bunyi-bunyi yang menarik bagi telinga penonton. Komposisi bunyi tersebut akan diciptakan secara berkelompok dan akan ditampilkan secara ensemble. Hein tampaknya juga ingin bermain dengan berbagai karakter manusia sebagai sarana produksi bunyi baru dengan mengacak kelompok peserta. Pun, peserta tak harus selalu memiliki kemampuan untuk memainkan alat musik. Tahun lalu, seorang perupa mampu menghasilkan lukisan yang bagus hasil imajinasinya terhadap bunyi yang dimainkan oleh kawan sekelompoknya. Mengusung benang merah yang sama, Hein juga memberikan informasi tentang Black Pencil & Friends, sebuah ensemble musik kontemporer dari Belanda yang dalam waktu dekat akan mengadakan pertunjukan dan pemberian materi edukasi musik di ISI Jogjakarta.
"Break the rules how the sound should be."
Ucapan Piet Hein ini menjadi inspirasi tentang bagaimana membebaskan pikiran dan mengasah kepekaan bukan hanya tentang bunyi, namun juga dari hal-hal biasa lainnya. Hal ini dapat dimaknai secara besar bahwa manusia selalu mampu mendapatkan berbagai hal baru tak terduga dengan melewati garis yang biasa, dengan mengubah sudut pandangnya.
Published on November 06, 2015 03:48