Nabila Budayana's Blog, page 7
June 4, 2015
Kamisan 10 season 3 : Monster Biru
Monster biru tak pernah tidur. Ia selalu mencoba hinggap di kepalamu, ingin menyelip di lekuk hatimu, juga berharap mampu bersarang di sela jarimu. Monster biru.
***
Ibu tak pernah menyadurkan sesuatu secara berlebihan. Cenderung kisah yang komplit, tanpa repot-repot dicerna ulang atau disederhanakan. Katanya, kasihan penulis butuh berdamai dengan jejaring otaknya demi memilih sebuah kata. Bocah itu hanya mengangguk sembari mengamini, meski hanya setengah mengerti. Terserah apa katamu, yang penting kisah berlanjut. Bocah itu telah fasih berpikir egois, rupanya. Sementara kisah terus berjalan, kepala mungil itu makin nyaman bersandar pada lengan sang ibu. Sesekali sang ibu membetulkan posisi karena rambut tajam sang bocah yang menusuk kulitnya.
Monster biru tak pernah datang tanpa diundang. Meski berbulu menakutkan, mata yang melotot mengerikan, ia bisa saja dengan sopan menawarkan secangkir susu hangat ketika malam, juga menghadirkan tawa renyah untuk menyelamatkan kecanggungan.
Ini tentunya bukan monster yang sibuk keluar masuk pintu, monster yang pemakan kue, atau monster pantai biru mungil dengan telinga lebar.
"Ibu, aku ingin menjadi monster biru.""Menjadi monster biru tak semenyenangkan itu."
Sang wanita hanya terkekeh kecil. Menggeleng tak percaya ketika bocah laki-lakinya memperlihatkan sinar mata yang sungguhan.
***
Belakangan sang bocah merasa cemburu. Tak ada kisah sebelum tidur yang dibacakan, atau sekadar ucapan selamat malam. Ibu begitu sibuk. Katanya ia mesti menyelamatkan pundi-pundi harta karun di ruang bawah tanah. Sang bocah berkali-kali mencari di mana ruang bawah tanah itu. Diselidikinya setiap celah di lantai, digesernya tiap perbabotan yang dianggap mencurigakan. Ia yakin akan menemukan sang ibu sedang menjaga tumpukan peti emas di bawah tanah. Mengapa ia tak mengajaknya untuk permainan seseru itu?
Sesaat sang bocah berharap di dalam hatinya. Bisakah ia mendapat bantuan dari monster biru?
Mengapa ibu selalu melarangnya untuk bertemu monster biru?
***
Berpuluh tahun berjalan, bocah itu telah ditarik waktu menjadi dewasa. Tampilan trendy tanpa perlu berlebihan membuatnya begitu saja dihampiri banyak wanita. Sayang, jiwanya tak pernah bisa beranjak dari teka-teki monster biru yang belum juga terpecahkan. Ia begitu saja ditinggalkan mengambang oleh ibu yang sudah tak lagi sama di hari-hari setelahnya. Ia semakin sibuk melanglang, sementara sang bocah ditinggalkan bersama seorang pengasuh bayaran robotik yang bekerja hanya karena uang.
"Membosankan. Dan sepi."
"Maafkan ibu."
Di suatu tempat, mereka berdua berhadapan. Mengejutkan, sang ibu justru semakin menampilkan aura muda. Rok midi di atas lutut dengan wedges nyaris menyentuh tujuh centi. Mereka berhadapan untuk sebuah pertanyaan.
"Di mana monster biru?"
"Ia sudah meninggal empat tahun lalu."
Laki-laki rupawan itu tercekat.
***
Secara filmis kenangan menyembul dari ujung berdebu kepala sang laki-laki. Jauh, jauh sebelum hari dibacakannya dongeng itu, ia ketakutan melihat seorang pria yang melangkah ke rumah dengan lebam kebiruan di sekujur tubuhnya. Meski ia tersenyum, sang bocah tak mau melihatnya lagi. Sang monster biru memutuskan untuk pergi dari rumah setelahnya.
Moster biru terus bertarung di arena pertaruhan, memulung pundi-pundi harta demi sang ibu dan bocah laki-laki yang tak lagi bisa ia temui hingga akhir hayatnya.
Monster biru bahkan rela menjadi sebatas dongeng bagi putra satu-satunya.
***
Ditulis untuk proyek menulis Kamisan
***
Ibu tak pernah menyadurkan sesuatu secara berlebihan. Cenderung kisah yang komplit, tanpa repot-repot dicerna ulang atau disederhanakan. Katanya, kasihan penulis butuh berdamai dengan jejaring otaknya demi memilih sebuah kata. Bocah itu hanya mengangguk sembari mengamini, meski hanya setengah mengerti. Terserah apa katamu, yang penting kisah berlanjut. Bocah itu telah fasih berpikir egois, rupanya. Sementara kisah terus berjalan, kepala mungil itu makin nyaman bersandar pada lengan sang ibu. Sesekali sang ibu membetulkan posisi karena rambut tajam sang bocah yang menusuk kulitnya.
Monster biru tak pernah datang tanpa diundang. Meski berbulu menakutkan, mata yang melotot mengerikan, ia bisa saja dengan sopan menawarkan secangkir susu hangat ketika malam, juga menghadirkan tawa renyah untuk menyelamatkan kecanggungan.
Ini tentunya bukan monster yang sibuk keluar masuk pintu, monster yang pemakan kue, atau monster pantai biru mungil dengan telinga lebar.
"Ibu, aku ingin menjadi monster biru.""Menjadi monster biru tak semenyenangkan itu."
Sang wanita hanya terkekeh kecil. Menggeleng tak percaya ketika bocah laki-lakinya memperlihatkan sinar mata yang sungguhan.
***
Belakangan sang bocah merasa cemburu. Tak ada kisah sebelum tidur yang dibacakan, atau sekadar ucapan selamat malam. Ibu begitu sibuk. Katanya ia mesti menyelamatkan pundi-pundi harta karun di ruang bawah tanah. Sang bocah berkali-kali mencari di mana ruang bawah tanah itu. Diselidikinya setiap celah di lantai, digesernya tiap perbabotan yang dianggap mencurigakan. Ia yakin akan menemukan sang ibu sedang menjaga tumpukan peti emas di bawah tanah. Mengapa ia tak mengajaknya untuk permainan seseru itu?
Sesaat sang bocah berharap di dalam hatinya. Bisakah ia mendapat bantuan dari monster biru?
Mengapa ibu selalu melarangnya untuk bertemu monster biru?
***
Berpuluh tahun berjalan, bocah itu telah ditarik waktu menjadi dewasa. Tampilan trendy tanpa perlu berlebihan membuatnya begitu saja dihampiri banyak wanita. Sayang, jiwanya tak pernah bisa beranjak dari teka-teki monster biru yang belum juga terpecahkan. Ia begitu saja ditinggalkan mengambang oleh ibu yang sudah tak lagi sama di hari-hari setelahnya. Ia semakin sibuk melanglang, sementara sang bocah ditinggalkan bersama seorang pengasuh bayaran robotik yang bekerja hanya karena uang.
"Membosankan. Dan sepi."
"Maafkan ibu."
Di suatu tempat, mereka berdua berhadapan. Mengejutkan, sang ibu justru semakin menampilkan aura muda. Rok midi di atas lutut dengan wedges nyaris menyentuh tujuh centi. Mereka berhadapan untuk sebuah pertanyaan.
"Di mana monster biru?"
"Ia sudah meninggal empat tahun lalu."
Laki-laki rupawan itu tercekat.
***
Secara filmis kenangan menyembul dari ujung berdebu kepala sang laki-laki. Jauh, jauh sebelum hari dibacakannya dongeng itu, ia ketakutan melihat seorang pria yang melangkah ke rumah dengan lebam kebiruan di sekujur tubuhnya. Meski ia tersenyum, sang bocah tak mau melihatnya lagi. Sang monster biru memutuskan untuk pergi dari rumah setelahnya.
Moster biru terus bertarung di arena pertaruhan, memulung pundi-pundi harta demi sang ibu dan bocah laki-laki yang tak lagi bisa ia temui hingga akhir hayatnya.
Monster biru bahkan rela menjadi sebatas dongeng bagi putra satu-satunya.
***
Ditulis untuk proyek menulis Kamisan
Published on June 04, 2015 19:28
May 25, 2015
Musim Semi dan Alunan Debussy : French Spring Concert String Orchestra of Surabaya
Jika bukan karena Teh Irma, responsable pedagogique dari IFI Surabaya yang mengatakan di grup chat kami bahwa ia sedang menerjemahkan informasi mengenai acara Printemps Francaise ke Bahasa Indonesia, mungkin kami tak akan ribut. Sebelumnya, ketika mengetahui bahwa IFI Surabaya akan mengadakan rangkaian acara Printemps Francais, saya langsung 'memburu' program-program musik klasik yang disajikan IFI. Salah satunya program yang akan dibawakan oleh String Orchestra of Surabaya, 18 Mei 2015.
Begitu tiba sekitar empat puluh lima menit sebelum acara dimulai, sejumlah audiens sudah berkumpul di depan ballroom Sheraton. Terlihat juga tim dari IFI yang sedang sibuk menemui tamu, maupun menyambut di meja registrasi. Setelah sesaat menunggu partner nonton yang masih belum menjejak Sheraton juga, saya memilih untuk masuk terlebih dahulu. Tujuannya sama seperti audiens yang lain, sebisa mungkin untuk mendapat seat paling depan.
Bertekad datang tepat saat open gate, saya berhasil mendapatkan seat baris pertama untuk audiens umum (baris ketiga setelah dua baris pertama diisi khusus tamu-tamu undangan). Saya duduk manis sembari menunggu partner nonton kali ini saya datang. Booklet program hanya satu lembar, saya menyisir daftarnya. Debussy, Offenbach, Bizet, Charpentier. Di deretan pemain, saya menangkap beberapa nama yang sudah tak asing : Finna Kurniawati, Shienny Kurniawati, juga keluarga musik Celine Liviani Tandiono dan Felicia Liviani Tandiono.
Secara umum, acara ini banyak diminati. Terlalu sibuk dengan booklet, tanpa saya sadari, dalam waktu singkat, kursi-kursi terpenuhi hingga bangku paling belakang. Keputusan tepat untuk hadir begitu open gate dilaksanakan. Acara dibuka dengan sambutan dari pihak Sheraton dan IFI Surabaya. Veronique Mathelin, direktur IFI Surabaya memberi kejutan dengan membacakan sambutan dalam Bahasa Indonesia yang cukup baik. Ada aura kesedihan yang mengambang tiba-tiba ketika di dalam sambutan tersebutkan nama Alm. Bapak Slamet Abdul Sjukur. Saya mendapat jawaban tentang apa yang saya cari-cari di bangku depan sejak awal. Di acara musik klasik, terutama yang berhubungan dengan Prancis, saya selalu bisa menemukan Pak Slamet duduk di antara undangan di bangku depan. Di antara break program atau di akhir acara, biasanya saya menghampiri beliau dan menyapa. Di konser kali ini, saya baru menyadari, saya tak bisa melakukannya lagi.
String Orchestra of Surabaya (SOOS) membuat saya heran, karena di atas panggung hanya terlihat sebuah grand piano hitam dengan dua kursi kosong. Trio? Ternyata dugaan saya dijawab oleh booklet program yang menampilkan komposisi Trois Pieces pour Violon, Violoncelle et Piano op.54. Ya, dihadapan, Angela Soegito, Finna Kurniawati and Novia Devita menampilkan komposisi musik kamar dari Rene de Boisdeffre (1838-1906), komposer abad ke-19 penerima penghargaan untuk musik kamarnya. Nuansa elegan dari komposisi tersebut dimainkan dengan baik oleh ketiga pemusik. Layaknya movement seperti biasanya, nomor-nomor yang ditampilkan cenderung pendek. Sangat terlihat, Finna Kurniawati memegang kendali dalam upaya mewujudkan keselarasan permainan. Ia bermain dengan sangat dewasa. Begitupun dengan Angelia dan Novia, mereka tampak menikmati komposisi tanpa perlu memaksakan diri untuk 'bervirtuoso' ria.
Secara general, 'gangguan' ala konser pada umumnya hanya tampak sedikit kali ini. Namun masih ada bunyi shutter camera, audiens yang sengaja batuk di waktu yang tidak tepat, ponsel yang berbunyi, khusus untuk saya, ada gangguan sepasang muda-mudi yang ngobrol berbisik pada saat komposisi dimainkan. Saya kembali mesti mengatakan dan mencoba meyakinkan diri bahwa hal itu adalah proses pendewasaan penonton.
Mari nikmati kembali komposisi kedua : Allegro Appasionato op. 43. Tentu komposisi ini merupakan tantangan tersendiri bagi sang pemain Cello. Ia mesti menerjemahkan dan menghadirkan maksud Saint-Saens untuk menciptakan komposisi yang senatural mungkin, selayaknya pohon apel menghasilkan buah apel. Dituntut untuk bermain dengan tempo cepat dan menampilkan virtuoso, tentunya komposisi ini cukup menguras tenaga. Dinamika wajib hadir, melodi rapat digeber, plus kekompakan dengan pianist. Novia Devita bermain baik di komposisi ini. Hanya saja mungkin ada energi yang kurang tersampaikan, mengingat ukuran ruang yang cukup besar.
La Capricieuse op 17 milik Edward Elgar, komposer Inggris, berganti menampilkan kembali Finna Kurniawati dan Angelia Soegito. Dengan bunyi violin yang dominan, Finna Kurniawati tampil memimpin di komposisi post-romantic ini. Secara personal, saya suka gerak-gerik setiap kali Finna Kurniawati memainkan komposisi. Dalam komposisi ini, Finna berhasil menampilkan running-running melodi dengan hidup, ekspresif, namun dewasa. Komposisi ini sukses hadir dengan staccato-staccato yang menyenangkan.
Ketika break program, saya memilih untuk tetap di tempat. Selain bisa mengobrol kecil dengan partner nonton, saya juga penasaran untuk menoleh pada muda-mudi yang berbisik-bisik di belakang sejak tadi. Terangnya lampu membuat kami sadar, semenjak komposisi awal dimainkan, lampu audiens dibiarkan tetap terang, sehingga mengurangi penciptaan suasana. Syukurlah hal yang sama tidak terjadi pada komposisi-komposisi yang dimainkan setelah break. Empat komposisi yang tersisa dimainkan dalam formasi 19 pemain orchestra.
Komposisi zaman Barok, Concert Pour quatre parties de violes H. 545 milik Marc-Antoine Charpentier menjadi pembuka. Komposisi ini terdiri dari cukup banyak bagian atau movements yang pendek-pendek. Finna Kurniawati memimpin chamber music dengan baik, selain dirinya juga memainkan violin. Nuansa zaman Barok terasa. Agak saya sayangkan, di antara movements masih ada tepuk tangan dari penonton. Mestinya memang applause diberikan di akhir keselutuhan komposisi. Di komposisi ini tidak ada running-running notes yang terlalu berlebihan. Cukup untuk memberikan imajinasi pada audiens tentang pedansa-pedansa di masa Barok.
Setelah diberi alunan dansa Barok yang 'mudah ditebak', audiens dilempar beberapa ratus tahun ke depan dengan emosi yang lebih 'rumit'. Debussy dihadirkan di panggung musim semi dengan nada-nada lincah Golliwogg's Cake-Walk from Children's Corner. Melodi-melodi awal yang khas tersebut cukup menarik minat. Komposisi yang sejatinya diperuntukkan untuk solo piano ini menarik seakan penonton sedang dibawa ke nuansa lincahnya anak-anak ketika bermain, meski dari sudut pandang orang dewasa. Debussy mendedikasikan komposisi ini untuk Claude-Emma, putrinya, yang sayangnya meninggal karena difteri pada usia belia, setahun setelah kematian ayahnya.
Dua komposisi terakhir seakan dipilih agar menjadi penutup yang mengena. Kedua komposisinya cukup familiar di telinga audiens dibanding komposisi-komposisi yang lain.
Jika bisa dikatakan, komposisi yang sangat populer milik Jacques Offenbach, Orpheus in the Underworld menjadi klimaks acara. Audiens merasa familiar dengan komposisi riang ini karena kerap menjadi back sound dari berbagai film animasi. Komposisi pendek yang gembira dan menyenangkan ini berhasil menciptakan suasana berbeda. Diciptakan untuk kepentingan opera, maka komposisi ini terasa 'ringan dan mudah diterima'. hingga mampu menghasilkan applause paling meriah di antara komposisi lainnya.
Mari berpetualang ke Bizet. dengan Melodies from Carmen Opera. SOOS menyampaikan dinamika dengan baik. Harmoni juga begitu jelas. Nada-nada riang di awal, kemudian berubah menjadi harmoni-harmoni yang lebih 'gelap' dan tenang. Secara keseluruhan komposisi ini menggambarkan kisah opera kehidupan kaum proletar dan sifat manusia yang tak bermoral. Komposisi untuk opera ini hidup dengan baik di tangan SOOS.
Saya secara pribadi menyukai pilihan komposisi untuk program kali ini. Seakan hadirin memang disajikan deretan virtuoso yang menarik, dengan waktu masing-masing komposisi yang tidak terlalu panjang. Peletakan dua komposisi yang lebih familiar di telinga masyarakat umum juga cukup menarik. Sama seperti menyambut harapan dan bunga bermekaran, Bienvenue, Printemps Francais! J
- Nabila Budayana -
Begitu tiba sekitar empat puluh lima menit sebelum acara dimulai, sejumlah audiens sudah berkumpul di depan ballroom Sheraton. Terlihat juga tim dari IFI yang sedang sibuk menemui tamu, maupun menyambut di meja registrasi. Setelah sesaat menunggu partner nonton yang masih belum menjejak Sheraton juga, saya memilih untuk masuk terlebih dahulu. Tujuannya sama seperti audiens yang lain, sebisa mungkin untuk mendapat seat paling depan.
Bertekad datang tepat saat open gate, saya berhasil mendapatkan seat baris pertama untuk audiens umum (baris ketiga setelah dua baris pertama diisi khusus tamu-tamu undangan). Saya duduk manis sembari menunggu partner nonton kali ini saya datang. Booklet program hanya satu lembar, saya menyisir daftarnya. Debussy, Offenbach, Bizet, Charpentier. Di deretan pemain, saya menangkap beberapa nama yang sudah tak asing : Finna Kurniawati, Shienny Kurniawati, juga keluarga musik Celine Liviani Tandiono dan Felicia Liviani Tandiono.
Secara umum, acara ini banyak diminati. Terlalu sibuk dengan booklet, tanpa saya sadari, dalam waktu singkat, kursi-kursi terpenuhi hingga bangku paling belakang. Keputusan tepat untuk hadir begitu open gate dilaksanakan. Acara dibuka dengan sambutan dari pihak Sheraton dan IFI Surabaya. Veronique Mathelin, direktur IFI Surabaya memberi kejutan dengan membacakan sambutan dalam Bahasa Indonesia yang cukup baik. Ada aura kesedihan yang mengambang tiba-tiba ketika di dalam sambutan tersebutkan nama Alm. Bapak Slamet Abdul Sjukur. Saya mendapat jawaban tentang apa yang saya cari-cari di bangku depan sejak awal. Di acara musik klasik, terutama yang berhubungan dengan Prancis, saya selalu bisa menemukan Pak Slamet duduk di antara undangan di bangku depan. Di antara break program atau di akhir acara, biasanya saya menghampiri beliau dan menyapa. Di konser kali ini, saya baru menyadari, saya tak bisa melakukannya lagi.
String Orchestra of Surabaya (SOOS) membuat saya heran, karena di atas panggung hanya terlihat sebuah grand piano hitam dengan dua kursi kosong. Trio? Ternyata dugaan saya dijawab oleh booklet program yang menampilkan komposisi Trois Pieces pour Violon, Violoncelle et Piano op.54. Ya, dihadapan, Angela Soegito, Finna Kurniawati and Novia Devita menampilkan komposisi musik kamar dari Rene de Boisdeffre (1838-1906), komposer abad ke-19 penerima penghargaan untuk musik kamarnya. Nuansa elegan dari komposisi tersebut dimainkan dengan baik oleh ketiga pemusik. Layaknya movement seperti biasanya, nomor-nomor yang ditampilkan cenderung pendek. Sangat terlihat, Finna Kurniawati memegang kendali dalam upaya mewujudkan keselarasan permainan. Ia bermain dengan sangat dewasa. Begitupun dengan Angelia dan Novia, mereka tampak menikmati komposisi tanpa perlu memaksakan diri untuk 'bervirtuoso' ria.
Secara general, 'gangguan' ala konser pada umumnya hanya tampak sedikit kali ini. Namun masih ada bunyi shutter camera, audiens yang sengaja batuk di waktu yang tidak tepat, ponsel yang berbunyi, khusus untuk saya, ada gangguan sepasang muda-mudi yang ngobrol berbisik pada saat komposisi dimainkan. Saya kembali mesti mengatakan dan mencoba meyakinkan diri bahwa hal itu adalah proses pendewasaan penonton.
Mari nikmati kembali komposisi kedua : Allegro Appasionato op. 43. Tentu komposisi ini merupakan tantangan tersendiri bagi sang pemain Cello. Ia mesti menerjemahkan dan menghadirkan maksud Saint-Saens untuk menciptakan komposisi yang senatural mungkin, selayaknya pohon apel menghasilkan buah apel. Dituntut untuk bermain dengan tempo cepat dan menampilkan virtuoso, tentunya komposisi ini cukup menguras tenaga. Dinamika wajib hadir, melodi rapat digeber, plus kekompakan dengan pianist. Novia Devita bermain baik di komposisi ini. Hanya saja mungkin ada energi yang kurang tersampaikan, mengingat ukuran ruang yang cukup besar.
La Capricieuse op 17 milik Edward Elgar, komposer Inggris, berganti menampilkan kembali Finna Kurniawati dan Angelia Soegito. Dengan bunyi violin yang dominan, Finna Kurniawati tampil memimpin di komposisi post-romantic ini. Secara personal, saya suka gerak-gerik setiap kali Finna Kurniawati memainkan komposisi. Dalam komposisi ini, Finna berhasil menampilkan running-running melodi dengan hidup, ekspresif, namun dewasa. Komposisi ini sukses hadir dengan staccato-staccato yang menyenangkan.
Ketika break program, saya memilih untuk tetap di tempat. Selain bisa mengobrol kecil dengan partner nonton, saya juga penasaran untuk menoleh pada muda-mudi yang berbisik-bisik di belakang sejak tadi. Terangnya lampu membuat kami sadar, semenjak komposisi awal dimainkan, lampu audiens dibiarkan tetap terang, sehingga mengurangi penciptaan suasana. Syukurlah hal yang sama tidak terjadi pada komposisi-komposisi yang dimainkan setelah break. Empat komposisi yang tersisa dimainkan dalam formasi 19 pemain orchestra.
Komposisi zaman Barok, Concert Pour quatre parties de violes H. 545 milik Marc-Antoine Charpentier menjadi pembuka. Komposisi ini terdiri dari cukup banyak bagian atau movements yang pendek-pendek. Finna Kurniawati memimpin chamber music dengan baik, selain dirinya juga memainkan violin. Nuansa zaman Barok terasa. Agak saya sayangkan, di antara movements masih ada tepuk tangan dari penonton. Mestinya memang applause diberikan di akhir keselutuhan komposisi. Di komposisi ini tidak ada running-running notes yang terlalu berlebihan. Cukup untuk memberikan imajinasi pada audiens tentang pedansa-pedansa di masa Barok.
Setelah diberi alunan dansa Barok yang 'mudah ditebak', audiens dilempar beberapa ratus tahun ke depan dengan emosi yang lebih 'rumit'. Debussy dihadirkan di panggung musim semi dengan nada-nada lincah Golliwogg's Cake-Walk from Children's Corner. Melodi-melodi awal yang khas tersebut cukup menarik minat. Komposisi yang sejatinya diperuntukkan untuk solo piano ini menarik seakan penonton sedang dibawa ke nuansa lincahnya anak-anak ketika bermain, meski dari sudut pandang orang dewasa. Debussy mendedikasikan komposisi ini untuk Claude-Emma, putrinya, yang sayangnya meninggal karena difteri pada usia belia, setahun setelah kematian ayahnya.
Dua komposisi terakhir seakan dipilih agar menjadi penutup yang mengena. Kedua komposisinya cukup familiar di telinga audiens dibanding komposisi-komposisi yang lain.
Jika bisa dikatakan, komposisi yang sangat populer milik Jacques Offenbach, Orpheus in the Underworld menjadi klimaks acara. Audiens merasa familiar dengan komposisi riang ini karena kerap menjadi back sound dari berbagai film animasi. Komposisi pendek yang gembira dan menyenangkan ini berhasil menciptakan suasana berbeda. Diciptakan untuk kepentingan opera, maka komposisi ini terasa 'ringan dan mudah diterima'. hingga mampu menghasilkan applause paling meriah di antara komposisi lainnya.
Mari berpetualang ke Bizet. dengan Melodies from Carmen Opera. SOOS menyampaikan dinamika dengan baik. Harmoni juga begitu jelas. Nada-nada riang di awal, kemudian berubah menjadi harmoni-harmoni yang lebih 'gelap' dan tenang. Secara keseluruhan komposisi ini menggambarkan kisah opera kehidupan kaum proletar dan sifat manusia yang tak bermoral. Komposisi untuk opera ini hidup dengan baik di tangan SOOS.
Saya secara pribadi menyukai pilihan komposisi untuk program kali ini. Seakan hadirin memang disajikan deretan virtuoso yang menarik, dengan waktu masing-masing komposisi yang tidak terlalu panjang. Peletakan dua komposisi yang lebih familiar di telinga masyarakat umum juga cukup menarik. Sama seperti menyambut harapan dan bunga bermekaran, Bienvenue, Printemps Francais! J
- Nabila Budayana -
Published on May 25, 2015 22:01
May 21, 2015
Kamisan 9 Season 3 : Tentang Bapak dan Teddy
Sejak dulu aku tak pernah bisa membelikanku boneka. Katanya, untuk makan saja keluarga kami sudah begitu susahnya. Di rumah kami tak pernah ada kisah karpet Aladdin atau dunia penuh keajaiban Alice. Setelah dewasa, aku baru mengenal siapa Yasmine dan Mad Hatter. Kami terlalu sibuk dengan bagaimana kehidupan hari esok. Tentang apa yang akan ada di atas piring seng kami. Tapi jangan berikanku tatapan iba itu. Bahkan hal itu bukan menjadi hal memalukan untukku. Tak perlu juga memberikanku tatapan simpati yang berlebihan hanya karena segan.
***
Aku telah akrab dengan aroma itu sejak kecil. Aroma alkohol menyengat yang selalu hadir ketika bapak menjejakkan kaki di rumah dengan berjalan limbung. Biasanya ia begitu saja berbaring di tikar anyaman plastik warna-warni, satu-satunya tanda bahwa ruang kecil setelah pintu masuk adalah ruang tamu. Itu hal terbaik yang bisa kudapatkan. Namun bapak yang 'sekadar berbaring' hanya terjadi beberapa kali. Ia lebih sering mengamuk, membanting piring, panci, gelas belimbing berisi kopi, atau bingkai foto kenangan ibu satu-satunya tentang kakek. Bagus, kami tak perlu tukang loak, sindir ibu. Memangnya ada barang kita yang bisa diloak? dalam hati, aku penasaran. Sehari-hari, aku menjaga rumah ketika ibu bekerja menjadi pembantu rumah tangga di kota. Jangan tanyakan tentang bapak, ia selalu berangkat dan pulang selayaknya pekerja kantoran, meski tak pernah membawa uang sepeser pun untuk kami. Menghitung jumlah ubin, bermain Cublak Cublak Suweng seorang diri, atau membayangkan berbagai bentuk dari goresan di tembok, menjadi kegiatan sehari-hariku. Saat ini aku heran bahwa aku tak jadi gila dengan masa kecil yang sedemikian. Kami benar-benar tak punya apa-apa. Apalagi mainan dan buku anak. Jangan harapkan untuk ada. Dan memang aku tak boleh mengharapkannya.
***
Lalu, saat ini, ketika aku sudah dewasa, pria itu datang ingin menebus semuanya. Katanya, masa lalu kami tak semestinya begitu. Sudah kukatakan bahwa ia tak perlu berkata demikian. Teras dengan bunyi gemericik air, kicau burung, juga kursi goyang yang nyaman untuk punggung dan lehernya sering pegal karena usia. Lebih sering, ia memegang dadanya yang sesak. Meski tak pernah mengeluhkannya, aku tahu dari kebiasaannya memijat sendiri dengan tangan yang entah sejak kapan telah menggelambir dan mengendur kulitnya. Rasanya mungkin sejak aku terakhir kali mencium tangannya lima, sepuluh tahun lalu? Entah. Apa untungnya menyembunyikan keluhan? Aku bahkan mampu membawanya ke dokter spesialis paling mahal. Jika bukan karena keinginannya yang menolak dengan keras, tentu aku sudah akan membawanya paksa untuk memeriksakan tubuhnya. Bolehkah kukatakan bahwa sejujurnya aku berterimakasih padanya?
***
Aku seorang berhati mulia. Semua kulakukan untuknya sebagai balas jasa. Yang mengubahku sedemikian rupa. Sejak usia belasan, ia benar-benar berubah, Ted. Ia membawakanmu, mainan pertama semenjak kelahiranku. Aku melihat bayangan samar diriku sendiri di cembung mata hitammu. Aku jatuh cinta dengan senyummu yang lebar dan tak pernah berkurang seinci pun. Bulu lembut kecokelatan yang selalu berhasil membuatku memeluk dan menggendongmu sesering mungkin. Teman pertama yang menyenangkan. Masing ingat ketika kemudian bapak membawa kita pindah ke rumah besar? Katanya di sana akan ada banyak Teddy selucu dirimu. Siapa yang tak ingin, bukan? Semenjak itu aku tinggal bersama bapak lain. Ia memberiku banyak kawan-kawanmu sebanyak yang kumau. Sebagai gantinya, aku menghadirkan banyak manusia-manusia kecil dari rahimku. Bapak tidak sejahat yang kubayangkan. Ia yang menemukanku dengan bapak lain, dan Teddy-Teddy lain sepertimu. Karenanya, aku ingin membalas segala kebaikannya.
***
Mengapa pria tua penuh penyesalan itu kerap mengataiku bodoh, Teddy?
***
Kisah ini ditulis untuk proyek menulis Kamisan
***
Aku telah akrab dengan aroma itu sejak kecil. Aroma alkohol menyengat yang selalu hadir ketika bapak menjejakkan kaki di rumah dengan berjalan limbung. Biasanya ia begitu saja berbaring di tikar anyaman plastik warna-warni, satu-satunya tanda bahwa ruang kecil setelah pintu masuk adalah ruang tamu. Itu hal terbaik yang bisa kudapatkan. Namun bapak yang 'sekadar berbaring' hanya terjadi beberapa kali. Ia lebih sering mengamuk, membanting piring, panci, gelas belimbing berisi kopi, atau bingkai foto kenangan ibu satu-satunya tentang kakek. Bagus, kami tak perlu tukang loak, sindir ibu. Memangnya ada barang kita yang bisa diloak? dalam hati, aku penasaran. Sehari-hari, aku menjaga rumah ketika ibu bekerja menjadi pembantu rumah tangga di kota. Jangan tanyakan tentang bapak, ia selalu berangkat dan pulang selayaknya pekerja kantoran, meski tak pernah membawa uang sepeser pun untuk kami. Menghitung jumlah ubin, bermain Cublak Cublak Suweng seorang diri, atau membayangkan berbagai bentuk dari goresan di tembok, menjadi kegiatan sehari-hariku. Saat ini aku heran bahwa aku tak jadi gila dengan masa kecil yang sedemikian. Kami benar-benar tak punya apa-apa. Apalagi mainan dan buku anak. Jangan harapkan untuk ada. Dan memang aku tak boleh mengharapkannya.
***
Lalu, saat ini, ketika aku sudah dewasa, pria itu datang ingin menebus semuanya. Katanya, masa lalu kami tak semestinya begitu. Sudah kukatakan bahwa ia tak perlu berkata demikian. Teras dengan bunyi gemericik air, kicau burung, juga kursi goyang yang nyaman untuk punggung dan lehernya sering pegal karena usia. Lebih sering, ia memegang dadanya yang sesak. Meski tak pernah mengeluhkannya, aku tahu dari kebiasaannya memijat sendiri dengan tangan yang entah sejak kapan telah menggelambir dan mengendur kulitnya. Rasanya mungkin sejak aku terakhir kali mencium tangannya lima, sepuluh tahun lalu? Entah. Apa untungnya menyembunyikan keluhan? Aku bahkan mampu membawanya ke dokter spesialis paling mahal. Jika bukan karena keinginannya yang menolak dengan keras, tentu aku sudah akan membawanya paksa untuk memeriksakan tubuhnya. Bolehkah kukatakan bahwa sejujurnya aku berterimakasih padanya?
***
Aku seorang berhati mulia. Semua kulakukan untuknya sebagai balas jasa. Yang mengubahku sedemikian rupa. Sejak usia belasan, ia benar-benar berubah, Ted. Ia membawakanmu, mainan pertama semenjak kelahiranku. Aku melihat bayangan samar diriku sendiri di cembung mata hitammu. Aku jatuh cinta dengan senyummu yang lebar dan tak pernah berkurang seinci pun. Bulu lembut kecokelatan yang selalu berhasil membuatku memeluk dan menggendongmu sesering mungkin. Teman pertama yang menyenangkan. Masing ingat ketika kemudian bapak membawa kita pindah ke rumah besar? Katanya di sana akan ada banyak Teddy selucu dirimu. Siapa yang tak ingin, bukan? Semenjak itu aku tinggal bersama bapak lain. Ia memberiku banyak kawan-kawanmu sebanyak yang kumau. Sebagai gantinya, aku menghadirkan banyak manusia-manusia kecil dari rahimku. Bapak tidak sejahat yang kubayangkan. Ia yang menemukanku dengan bapak lain, dan Teddy-Teddy lain sepertimu. Karenanya, aku ingin membalas segala kebaikannya.
***
Mengapa pria tua penuh penyesalan itu kerap mengataiku bodoh, Teddy?
***
Kisah ini ditulis untuk proyek menulis Kamisan
Published on May 21, 2015 08:52
May 10, 2015
Menjadi Pelanggan yang Manusiawi
Perlu saya katakan di awal, blog post berikut murni merupakan catatan dan sudut pandang saya, tanpa kepentingan untuk hal-hal tertentu lainnya.
“Never ruin an apology with an excuse.” - Benjamin Franklin
Hari Minggu, 10 Mei 2015 sekitar pukul 13.00 WIB, mengendarai mobil seorang diri, saya melewati perumahan Babatan Pantai Barat Surabaya. Jalan di perumahan tersebut memang tak begitu besar dan sepi. Hanya muat dua mobil berpapasan. Dari ujung jalan gang, hanya terlihat sebuah taksi yang berhenti di depan salah satu rumah di deret kiri. Ketika saya semakin mendekat, tampak taksi baru menurunkan penumpang (seorang wanita tua turun dari pintu bagian kiri, bukan pintu di sisi jalan). Baru beberapa meter - tentu saja dengan kecepatan rendah, karena di dalam perumahan - saya dikejutkan suara benturan yang cukup keras dari arah kiri. Spion kaca mobil saya tertangkup karena benturan, sehingga saya juga tidak bisa mengetahui persis apa yang terjadi di bagian kiri, sampai saya menoleh dan mencari tahu melalui jendela tengah bagian kiri. Ternyata seorang ibu penumpang taksi yang berhenti tadi membuka pintu dengan keras persis ketika mobil yang saya kendarai melaju di sebelahnya.
Jantung saya berdegup. Bukan karena amarah, tapi saya khawatir masalah ini akan panjang. Saya memutuskan untuk menepi di depan rumah seberang taksi berhenti. Saya beranjak turun, taksi menepi ke depan tempat saya parkir. Kami berempat bertemu : saya, sopir taksi, ibu penumpang, dan koko pemilik rumah seberang yang kebetulan melihat kejadian (saya tak sempat menanyakan namanya). Kami bertiga tidak saling berbicara pada awalnya. Saya dan supir taksi sama-sama sibuk mengecek kondisi kendaraan masing-masing, sedang ibu penumpang tak berbicara apa-apa, entah kaget atau merasa bersalah. Dengan benturan seperti itu, saya duga setidaknya akan menimbulkan penyok. Benar, bagian depan mobil saya sebelah kiri melesak ke dalam plus beret cukup panjang tanda pintu yang terseret. Cat silver pun 'dihiasi' cat oranye dari warna taksi. Saya pun menegur si ibu, "Gimana sih, Bu. Buka pintu kok nggak lihat-lihat?" Sementara sang supir hanya diam, si ibu justru sempat menuduh saya mengebut. Merasa mengetahui kejadiannya, untunglah Koko pemilik rumah seberang membela saya dan mengatakan bahwa saya tidak mengebut. Hanya satu-dua percakapan setelah itu yang kami lontarkan. Kami bertiga terlihat sama-sama enggan berdebat. Sang supir taksi memutuskan untuk melaporkannya ke kantor taksi dan meminta petugas bagian laka untuk datang, mengingat taksi juga mengalami kerusakan di bagian pintu hingga tidak bisa ditutup sempurna. Ketimbang berdebat, saya percayakan saja pada bagaimana hasil investigasi petugas laka. Kedatangan petugas memang cukup lama. Sembari menunggu, saya ditanya-tanya oleh Koko seberang rumah tentang peristiwa tadi. Saya juga mencoba menghubungi orang rumah untuk datang.
Kami menunggu cukup lama. Saya memilih duduk di dalam mobil, sedangkan ibu penumpang dan supir memilih berdiri berjauhan di teduhan bayang rumah. Sang supir yang saya kira usianya sekitar awal dua puluhan beberapa kali bolak-balik dengan cemas mengecek telepon selulernya, begitu pun dengan saya dan ibu penumpang (wanita paruh baya). Beberapa menit kemudian, papa saya datang. Belum sempat saya bercerita tentang kejadian, Koko seberang rumah (selanjutnya saya sebut Koko saja) lah yang menjelaskan secara garis besar. Papa saya melihat kondisi mobil dan taksi. Melihat kondisinya, sudah jelas kesalahan dari ibu penumpang yang membuka pintu tanpa hati-hati, karena bekas benturan di tengah, bukan di bagian depan. Jika memang saya yang salah dan menabrak pintu, tentu saja benturan akan bertempat di depan. Papa saya langsung me-review peristiwa dan memberi argumen-argumen penyelesaian. Nada papa sempat agak meninggi pada ibu penumpang, cepat saja saya tenangkan untuk menunggu pihak laka taksi saja. Kami menunggu cukup lama. Untung Koko rajin mengajak kami bicara, sehingga suasana agak cair. Belakangan saya tahu kalau Koko cukup khawatir jika saya akan trauma menyetir. Hehehe.
Sebelum petugas laka datang, suami dari ibu penumpang datang bergabung. Cerita kembali di-review, diulang sebagai penjelasan. Sang suami hanya mengeluarkan satu-dua argumen, kemudian diam di sisa waktu. Petugas laka pun datang. Seorang bapak paruh baya berkulit gelap dengan kaus putih bergaris dan jaket hitam. Setelah mengetahui permasalahan lengkap dan kondisi kendaraan, dengan tenang ia menengahi. Dengan meminta maaf sebelumnya, intinya ia mengatakan bahwa sesungguhnya kejadian ini adalah salah ibu penumpang yang kurang berhati-hati : membuka pintu tanpa mengecek kondisi jalan. Meski begitu, karena berhubungan dengan taksinya, dengan bijak ia menawarkan solusi untuk 50-50. Total tanggungan biaya perbaikan dari kerusakan taksi dan mobil kami dibebankan ke dua pihak : supir taksi dan ibu penumpang. Solusi itu masuk akal menurut saya. Jika saya berada di sisi ibu, mungkin saya akan berinisiatif untuk membayar semua kerugian. Karena jelas itu merupakan kelalaiannya, meski ia berperan sebagai penumpang yang notabene menggunakan dan membayar ongkos taksi. Jika boleh ditambah dari sisi emosional, saya sungguh tak tega membiarkan mas supir taksi menanggung kerugian. Sikapnya cukup sopan dan sabar meski dalam tuduhan.
Perdebatan berpindah menjadi antara papa, petugas laka taksi, dan suami si ibu. Beberapa saat terakhir, ditambah Pak RT setempat yang turut bergabung. Ini menjadi agak lucu, sementara kami bertiga yang terlibat langsung sudah enggan berdebat. Meski sesekali muncul nada agak tinggi, tapi argumen-argumen yang saling dilontarkan cukup masuk akal (kecuali ketika suami ibu penumpang yang salah melogika hitungan 100%). Cukup lama, belum ada kata sepakat juga dari pihak taksi maupun ibu penumpang. Saya dan papa lebih banyak diam, karena kami hanya 'berperan' sebagai korban. Perdebatan semakin alot, Pak laka mulai terkikis kesabarannya. Mungkin merasa logika dan argumennya cukup jelas, namun belum bisa diterima oleh suami ibu penumpang. Pak laka menawarkan untuk membawa masalah ini ke pihak kepolisian saja, jika memang tak kunjung ada kesepakatan. Kami semua bersedia, terkecuali suami sang ibu. Dengan berbagai tawar-menawar kembali, akhirnya kami sepakat untuk mengetahui seberapa jauh kerusakan dan berapa biaya yang mesti ditanggung ke bengkel terdekat.
Kami sempat mengira perdebatan akan berakhir. Nyatanya bahkan ketika di bengkel pun sang suami ibu penumpang masih saja tak terima jika ia mesti menanggung biaya (menurut kami, biaya itu tak terlalu besar, bahkan tidak sampai menyentuh tujuh digit angka). Merasa iba dengan mas supir, papa sudah menawarkan urunan biaya (meski kami korban) untuk perbaikan mobil kami. Suami sang ibu masih kukuh dan memilih diam tak memberi penyelesaian. Kesabaran sudah dituntut ke titik maksimal, kami memutuskan untuk menyelesaikan masalah ini di kantor polisi. Setelah didesak untuk kesekian kalinya dengan susah payah luar biasa, akhirnya suami sang ibu memutuskan untuk menanggung kerugian (tidak penuh, karena berbagi dengan mas supir taksi dan papa saya).
Lalu, apa intinya saya panjang-lebar berkisah tentang kejadian yang mungkin tidak terlalu penting ini? Ialah Bapak petugas laka O-renz taksi bernama Junaidi ini lah yang saya mesti beri jempol. Di saat bersamaan, ia bisa mengontrol kondisi pembicaraan agar kondusif, menenangkan supir taksi, berargumen secara sopan, melihat masalah secara berimbang dan tetap menghargai penumpang (meski saya tahu ia sudah sangat geregetan). Ia pun tidak serta merta menumpukan kesalahan pada supir taksi maupun sang ibu penumpang. Sementara saya juga mesti mengapresiasi Mas Joko Bagus P, supir taksi O-renz dengan nomor lambung taksi CA 109 yang begitu bersabar dengan keputusan dan berbesar hati turut mengganti kerugian. Ketika saya dan papa beranjak pulang, Pak Junaidi dan Mas Joko masih mengantar kami dan meminta maaf untuk kejadian ini sembari menangkupkan kedua tangan. Secara personal, saya berterimakasih pada mereka. Untuk berbesar hati mengalah dan bersabar.
Inti sikap mengakui kesalahan dan berbesar hati, bertanggung jawab dan bijak menjawab, berani mengucap maaf dan mengatakan apa adanya mudah-mudahan tak sekadar berakhir pada kalimat buku kewarganegaraan ketika SD belaka. Ini juga seperti kesempatan untuk mengoreksi diri. Apa selama ini saya sudah menjadi pelanggan yang manusiawi?
Sebuah catatan pribadi di kelas kewarganegaraan yang berbeda,
Nabila Budayana
“Never ruin an apology with an excuse.” - Benjamin Franklin
Hari Minggu, 10 Mei 2015 sekitar pukul 13.00 WIB, mengendarai mobil seorang diri, saya melewati perumahan Babatan Pantai Barat Surabaya. Jalan di perumahan tersebut memang tak begitu besar dan sepi. Hanya muat dua mobil berpapasan. Dari ujung jalan gang, hanya terlihat sebuah taksi yang berhenti di depan salah satu rumah di deret kiri. Ketika saya semakin mendekat, tampak taksi baru menurunkan penumpang (seorang wanita tua turun dari pintu bagian kiri, bukan pintu di sisi jalan). Baru beberapa meter - tentu saja dengan kecepatan rendah, karena di dalam perumahan - saya dikejutkan suara benturan yang cukup keras dari arah kiri. Spion kaca mobil saya tertangkup karena benturan, sehingga saya juga tidak bisa mengetahui persis apa yang terjadi di bagian kiri, sampai saya menoleh dan mencari tahu melalui jendela tengah bagian kiri. Ternyata seorang ibu penumpang taksi yang berhenti tadi membuka pintu dengan keras persis ketika mobil yang saya kendarai melaju di sebelahnya.
Jantung saya berdegup. Bukan karena amarah, tapi saya khawatir masalah ini akan panjang. Saya memutuskan untuk menepi di depan rumah seberang taksi berhenti. Saya beranjak turun, taksi menepi ke depan tempat saya parkir. Kami berempat bertemu : saya, sopir taksi, ibu penumpang, dan koko pemilik rumah seberang yang kebetulan melihat kejadian (saya tak sempat menanyakan namanya). Kami bertiga tidak saling berbicara pada awalnya. Saya dan supir taksi sama-sama sibuk mengecek kondisi kendaraan masing-masing, sedang ibu penumpang tak berbicara apa-apa, entah kaget atau merasa bersalah. Dengan benturan seperti itu, saya duga setidaknya akan menimbulkan penyok. Benar, bagian depan mobil saya sebelah kiri melesak ke dalam plus beret cukup panjang tanda pintu yang terseret. Cat silver pun 'dihiasi' cat oranye dari warna taksi. Saya pun menegur si ibu, "Gimana sih, Bu. Buka pintu kok nggak lihat-lihat?" Sementara sang supir hanya diam, si ibu justru sempat menuduh saya mengebut. Merasa mengetahui kejadiannya, untunglah Koko pemilik rumah seberang membela saya dan mengatakan bahwa saya tidak mengebut. Hanya satu-dua percakapan setelah itu yang kami lontarkan. Kami bertiga terlihat sama-sama enggan berdebat. Sang supir taksi memutuskan untuk melaporkannya ke kantor taksi dan meminta petugas bagian laka untuk datang, mengingat taksi juga mengalami kerusakan di bagian pintu hingga tidak bisa ditutup sempurna. Ketimbang berdebat, saya percayakan saja pada bagaimana hasil investigasi petugas laka. Kedatangan petugas memang cukup lama. Sembari menunggu, saya ditanya-tanya oleh Koko seberang rumah tentang peristiwa tadi. Saya juga mencoba menghubungi orang rumah untuk datang.
Kami menunggu cukup lama. Saya memilih duduk di dalam mobil, sedangkan ibu penumpang dan supir memilih berdiri berjauhan di teduhan bayang rumah. Sang supir yang saya kira usianya sekitar awal dua puluhan beberapa kali bolak-balik dengan cemas mengecek telepon selulernya, begitu pun dengan saya dan ibu penumpang (wanita paruh baya). Beberapa menit kemudian, papa saya datang. Belum sempat saya bercerita tentang kejadian, Koko seberang rumah (selanjutnya saya sebut Koko saja) lah yang menjelaskan secara garis besar. Papa saya melihat kondisi mobil dan taksi. Melihat kondisinya, sudah jelas kesalahan dari ibu penumpang yang membuka pintu tanpa hati-hati, karena bekas benturan di tengah, bukan di bagian depan. Jika memang saya yang salah dan menabrak pintu, tentu saja benturan akan bertempat di depan. Papa saya langsung me-review peristiwa dan memberi argumen-argumen penyelesaian. Nada papa sempat agak meninggi pada ibu penumpang, cepat saja saya tenangkan untuk menunggu pihak laka taksi saja. Kami menunggu cukup lama. Untung Koko rajin mengajak kami bicara, sehingga suasana agak cair. Belakangan saya tahu kalau Koko cukup khawatir jika saya akan trauma menyetir. Hehehe.
Sebelum petugas laka datang, suami dari ibu penumpang datang bergabung. Cerita kembali di-review, diulang sebagai penjelasan. Sang suami hanya mengeluarkan satu-dua argumen, kemudian diam di sisa waktu. Petugas laka pun datang. Seorang bapak paruh baya berkulit gelap dengan kaus putih bergaris dan jaket hitam. Setelah mengetahui permasalahan lengkap dan kondisi kendaraan, dengan tenang ia menengahi. Dengan meminta maaf sebelumnya, intinya ia mengatakan bahwa sesungguhnya kejadian ini adalah salah ibu penumpang yang kurang berhati-hati : membuka pintu tanpa mengecek kondisi jalan. Meski begitu, karena berhubungan dengan taksinya, dengan bijak ia menawarkan solusi untuk 50-50. Total tanggungan biaya perbaikan dari kerusakan taksi dan mobil kami dibebankan ke dua pihak : supir taksi dan ibu penumpang. Solusi itu masuk akal menurut saya. Jika saya berada di sisi ibu, mungkin saya akan berinisiatif untuk membayar semua kerugian. Karena jelas itu merupakan kelalaiannya, meski ia berperan sebagai penumpang yang notabene menggunakan dan membayar ongkos taksi. Jika boleh ditambah dari sisi emosional, saya sungguh tak tega membiarkan mas supir taksi menanggung kerugian. Sikapnya cukup sopan dan sabar meski dalam tuduhan.
Perdebatan berpindah menjadi antara papa, petugas laka taksi, dan suami si ibu. Beberapa saat terakhir, ditambah Pak RT setempat yang turut bergabung. Ini menjadi agak lucu, sementara kami bertiga yang terlibat langsung sudah enggan berdebat. Meski sesekali muncul nada agak tinggi, tapi argumen-argumen yang saling dilontarkan cukup masuk akal (kecuali ketika suami ibu penumpang yang salah melogika hitungan 100%). Cukup lama, belum ada kata sepakat juga dari pihak taksi maupun ibu penumpang. Saya dan papa lebih banyak diam, karena kami hanya 'berperan' sebagai korban. Perdebatan semakin alot, Pak laka mulai terkikis kesabarannya. Mungkin merasa logika dan argumennya cukup jelas, namun belum bisa diterima oleh suami ibu penumpang. Pak laka menawarkan untuk membawa masalah ini ke pihak kepolisian saja, jika memang tak kunjung ada kesepakatan. Kami semua bersedia, terkecuali suami sang ibu. Dengan berbagai tawar-menawar kembali, akhirnya kami sepakat untuk mengetahui seberapa jauh kerusakan dan berapa biaya yang mesti ditanggung ke bengkel terdekat.
Kami sempat mengira perdebatan akan berakhir. Nyatanya bahkan ketika di bengkel pun sang suami ibu penumpang masih saja tak terima jika ia mesti menanggung biaya (menurut kami, biaya itu tak terlalu besar, bahkan tidak sampai menyentuh tujuh digit angka). Merasa iba dengan mas supir, papa sudah menawarkan urunan biaya (meski kami korban) untuk perbaikan mobil kami. Suami sang ibu masih kukuh dan memilih diam tak memberi penyelesaian. Kesabaran sudah dituntut ke titik maksimal, kami memutuskan untuk menyelesaikan masalah ini di kantor polisi. Setelah didesak untuk kesekian kalinya dengan susah payah luar biasa, akhirnya suami sang ibu memutuskan untuk menanggung kerugian (tidak penuh, karena berbagi dengan mas supir taksi dan papa saya).
Lalu, apa intinya saya panjang-lebar berkisah tentang kejadian yang mungkin tidak terlalu penting ini? Ialah Bapak petugas laka O-renz taksi bernama Junaidi ini lah yang saya mesti beri jempol. Di saat bersamaan, ia bisa mengontrol kondisi pembicaraan agar kondusif, menenangkan supir taksi, berargumen secara sopan, melihat masalah secara berimbang dan tetap menghargai penumpang (meski saya tahu ia sudah sangat geregetan). Ia pun tidak serta merta menumpukan kesalahan pada supir taksi maupun sang ibu penumpang. Sementara saya juga mesti mengapresiasi Mas Joko Bagus P, supir taksi O-renz dengan nomor lambung taksi CA 109 yang begitu bersabar dengan keputusan dan berbesar hati turut mengganti kerugian. Ketika saya dan papa beranjak pulang, Pak Junaidi dan Mas Joko masih mengantar kami dan meminta maaf untuk kejadian ini sembari menangkupkan kedua tangan. Secara personal, saya berterimakasih pada mereka. Untuk berbesar hati mengalah dan bersabar.
Inti sikap mengakui kesalahan dan berbesar hati, bertanggung jawab dan bijak menjawab, berani mengucap maaf dan mengatakan apa adanya mudah-mudahan tak sekadar berakhir pada kalimat buku kewarganegaraan ketika SD belaka. Ini juga seperti kesempatan untuk mengoreksi diri. Apa selama ini saya sudah menjadi pelanggan yang manusiawi?
Sebuah catatan pribadi di kelas kewarganegaraan yang berbeda,
Nabila Budayana
Published on May 10, 2015 05:34
May 7, 2015
Kamisan 8 Season 3 : Mimpi dan Puluhan Televisi
"Seratus lima puluh ribu?"
Dasar opurtunis. Ia pasti telah mengenalku dari penjual toko sebelah.
"Maaf, uang saya tidak segitu."
Wanita paruh baya itu kemudian melenggang pergi. Melampaui jalan pertokoan, mengambil sisi jalan yang lain dan berbelok di ujung. Roda kereta barang lipat yang dibawanya berbunyi sepanjang jalan. Gudang. Toko ini cukup terkenal di kalangan pemburu barang antik. Bangunannya tak sebesar toko-toko yang lain, namun selalu membuat heran siapa pun, karena ia mampu menampung segala jenis benda berdebu itu dengan ruang yang cukup pantas untuk disinggahi. Tanpa ragu ia mendorong pintu kaca berbingkai mahoni hingga lonceng bergemerincing. Sang wanita langsung bertatapan dengan pria berambut berantakan. Senyumnya khas dengan gigi yang jarang.
"TV lagi? Belum ada. Maaf. Mungkin kau ingin mencoba pemutar piringan hitam ini? Kemarin seseorang menawarnya dengan harga mahal, tak kuberikan. Kukira ini lebih tepat untukmu."
Perempuan itu hanya menggeleng dan tersenyum. Dia bahkan sudah hapal benar bagaimana jurus rayuan sang pemilik toko.
Angin sepoi yang datang begitu ia menghambur keluar toko berhasil mengenyahkan bau apak yang terekam dalam penciumannya. Setelah menimbang sesaat, ia memutuskan kembali menyusuri jalan yang lain. Layar berwarna elektronik itu harus didapatkan.
***
"Sampai kapan?"
Suatu kali, ia bertanya pada sang wanita.
Lagi-lagi tak ada jawaban.
Sang wanita menatap tembok dengan puluhan televisi yang menggantung, mengagumi hasil kerja kerasnya itu selama beberapa waktu. Ia beranjak ke sofa yang biasa, mengambil remote dan menikmati waktunya. Dunianya berputar kembali. Dalam remang ruangan, sang wanita menatap benar pada layar-layar yang membiaskan cahaya. Seketika semua layar itu menghadirkan seorang pria berkumis bersamaan. Mereka semua tampak sedang melakukan hal yang sama : dengan gembira mempersiapkan perlengkapan liburan, peralatan barbeque. Pria itu tampak agak terlalu bersemangat hilir mudik mengangkut karung arang, pemanggang, hingga alat memasak dan peralatan makan. Sesaat kamera fokus pada sang pria. Tak ada orang lain di sana, selain sang pria dan pemegang kamera. Jika ini bukan dilihat oleh sang wanita, tentu akan menjadi video liburan pasangan yang sangat membosankan.
"Kemari. Lihatlah ini. Ini bagian yang paling menyenangkan."
Meski sang gadis remaja telah hapal benar dengan tabiat sang ibu, ia tetap melakukan apa yang diinginkannya. Bergabung, menonton bersama.
"Aku sudah muak dengan video liburan ini ibu. Diputar berapa kali pun ayah tak akan pernah kembali." sang remaja cukup terkejut dengan dirinya sendiri yang mampu berkata demikian. Kejenuhan telah menguasai dirinya.
Ini pertama kalinya ia melihat sang ibu tersenyum.
"Sudah saatnya kamu tahu," ucap sang wanita.
Sang gadis remaja bertanya-tanya apa maksudnya. Sesaat tak ada yang tampak berbeda di layar-layar itu. Ayahnya yang dalam beberapa detik tiba-tiba menghilang dari kamera dan adegan berikutnya telah menampilkan ia yang telah terbaring tak berdaya. Adegan ini juga sudah kerap kali ia saksikan. Meski menyakitkan, mereka sudah sepakat untuk bisa menerima hal itu. Ayah yang terkena serangan jantung tiba-tiba. Itu yang membuat hidup sang gadis remaja tak pernah kembali sama. Tiba-tiba video berhenti terputar. Adegan kembali diulang. Layar-layar televisi itu menampilkan hal yang selama ini luput dari pandangan sang remaja. Tangan berlumur darah yang tak pernah terlihat sebelumnya, karena hanya hadir sekelebat. Jelas, itu tangan sang pemegang kamera.
"Aku yang membunuhnya. Agar ia tak membuatmu sengsara," sang wanita berkata datar.
Sang gadis belum percaya, menatap benar-benar sang wanita.
"Agar engkau tak perlu memiliki sosok ayah yang memiliki dua wanita dalam hidupnya."
"Layar-layar televisi di dinding ini adalah dendamku. Agar kelak semua orang dengan jelas menyaksikan. Wanita tak bisa begitu saja diremehkan."
Dunianya diputarbalikkan seketika. Sang gadis ingin melewati detik ini dan menganggapnya mimpi. Mimpi buruk tentang ayah, ibu juga puluhan televisi di hadapannya.
***
Dasar opurtunis. Ia pasti telah mengenalku dari penjual toko sebelah.
"Maaf, uang saya tidak segitu."
Wanita paruh baya itu kemudian melenggang pergi. Melampaui jalan pertokoan, mengambil sisi jalan yang lain dan berbelok di ujung. Roda kereta barang lipat yang dibawanya berbunyi sepanjang jalan. Gudang. Toko ini cukup terkenal di kalangan pemburu barang antik. Bangunannya tak sebesar toko-toko yang lain, namun selalu membuat heran siapa pun, karena ia mampu menampung segala jenis benda berdebu itu dengan ruang yang cukup pantas untuk disinggahi. Tanpa ragu ia mendorong pintu kaca berbingkai mahoni hingga lonceng bergemerincing. Sang wanita langsung bertatapan dengan pria berambut berantakan. Senyumnya khas dengan gigi yang jarang.
"TV lagi? Belum ada. Maaf. Mungkin kau ingin mencoba pemutar piringan hitam ini? Kemarin seseorang menawarnya dengan harga mahal, tak kuberikan. Kukira ini lebih tepat untukmu."
Perempuan itu hanya menggeleng dan tersenyum. Dia bahkan sudah hapal benar bagaimana jurus rayuan sang pemilik toko.
Angin sepoi yang datang begitu ia menghambur keluar toko berhasil mengenyahkan bau apak yang terekam dalam penciumannya. Setelah menimbang sesaat, ia memutuskan kembali menyusuri jalan yang lain. Layar berwarna elektronik itu harus didapatkan.
***
"Sampai kapan?"
Suatu kali, ia bertanya pada sang wanita.
Lagi-lagi tak ada jawaban.
Sang wanita menatap tembok dengan puluhan televisi yang menggantung, mengagumi hasil kerja kerasnya itu selama beberapa waktu. Ia beranjak ke sofa yang biasa, mengambil remote dan menikmati waktunya. Dunianya berputar kembali. Dalam remang ruangan, sang wanita menatap benar pada layar-layar yang membiaskan cahaya. Seketika semua layar itu menghadirkan seorang pria berkumis bersamaan. Mereka semua tampak sedang melakukan hal yang sama : dengan gembira mempersiapkan perlengkapan liburan, peralatan barbeque. Pria itu tampak agak terlalu bersemangat hilir mudik mengangkut karung arang, pemanggang, hingga alat memasak dan peralatan makan. Sesaat kamera fokus pada sang pria. Tak ada orang lain di sana, selain sang pria dan pemegang kamera. Jika ini bukan dilihat oleh sang wanita, tentu akan menjadi video liburan pasangan yang sangat membosankan.
"Kemari. Lihatlah ini. Ini bagian yang paling menyenangkan."
Meski sang gadis remaja telah hapal benar dengan tabiat sang ibu, ia tetap melakukan apa yang diinginkannya. Bergabung, menonton bersama.
"Aku sudah muak dengan video liburan ini ibu. Diputar berapa kali pun ayah tak akan pernah kembali." sang remaja cukup terkejut dengan dirinya sendiri yang mampu berkata demikian. Kejenuhan telah menguasai dirinya.
Ini pertama kalinya ia melihat sang ibu tersenyum.
"Sudah saatnya kamu tahu," ucap sang wanita.
Sang gadis remaja bertanya-tanya apa maksudnya. Sesaat tak ada yang tampak berbeda di layar-layar itu. Ayahnya yang dalam beberapa detik tiba-tiba menghilang dari kamera dan adegan berikutnya telah menampilkan ia yang telah terbaring tak berdaya. Adegan ini juga sudah kerap kali ia saksikan. Meski menyakitkan, mereka sudah sepakat untuk bisa menerima hal itu. Ayah yang terkena serangan jantung tiba-tiba. Itu yang membuat hidup sang gadis remaja tak pernah kembali sama. Tiba-tiba video berhenti terputar. Adegan kembali diulang. Layar-layar televisi itu menampilkan hal yang selama ini luput dari pandangan sang remaja. Tangan berlumur darah yang tak pernah terlihat sebelumnya, karena hanya hadir sekelebat. Jelas, itu tangan sang pemegang kamera.
"Aku yang membunuhnya. Agar ia tak membuatmu sengsara," sang wanita berkata datar.
Sang gadis belum percaya, menatap benar-benar sang wanita.
"Agar engkau tak perlu memiliki sosok ayah yang memiliki dua wanita dalam hidupnya."
"Layar-layar televisi di dinding ini adalah dendamku. Agar kelak semua orang dengan jelas menyaksikan. Wanita tak bisa begitu saja diremehkan."
Dunianya diputarbalikkan seketika. Sang gadis ingin melewati detik ini dan menganggapnya mimpi. Mimpi buruk tentang ayah, ibu juga puluhan televisi di hadapannya.
***
Published on May 07, 2015 09:51
May 5, 2015
Green Tea French Macaroon
Wanita itu sudah sepucat mayat. Tak ada senyuman, tak ada sapaan ramah seperti biasanya. Dahinya berkerut, membuatnya tampak jauh lebih tua. Tangannya bergetar, menghasilkan bunyi ketukan pada mangkuk dan sendok yang digenggamnya. Putih telur dan almond bubuk ia tumpahkan begitu saja. Tanpa ukuran sendok makan atau gram timbangan. Cuma berdasar kira-kira. Hanya gula yang mampu menunggu digabungkan secara perlahan. Di sekitar mangkuk, permukaan meja dihiasi berbagai tumpahan bahan yang tercecer. Tak apa, katanya meyakinkan dirinya sendiri dalam hati. Ini hanya masalah kecil belaka. Aku bisa.
***
Busa-busa putih sudah terbentuk. Bahan-bahan itu sudah berganti rupa, saling menggulung dalam putih yang lembut dan anggun. Meringue tercipta. Katanya, ini selalu seperti gula-gula, juga angan-angan di atas kepala. Manis, tapi terlalu indah untuk dunia nyata. Seandainya saja ia masih muda, mampu memakan segala rupa gula-gula dengan leluasa. Ia kini bahkan tak mampu merasakan hasil karyanya sendiri. Terlalu riskan untuk gula darah, pertaruhan antara hasrat dan sisa usia. Larut dalam pikirannya sendiri tak menjamin tangan tua itu tak payah. Mengocok bukan lagi hal mudah untuk otot tangannya. Ia tak suka menggunakan mesin yang baginya selalu berhasil membuat manusia menjadi manja. Tremor, seisi mangkuk tertumpah. Wanita itu tenggelam jauh dalam tangisan. Katanya, tangisan seorang tua akan selalu jadi sia-sia. Tak cukup menarik untuk diketahui permasalahannya, juga karena selalu dianggap seakan bocah saja.
***
Putri yang berada dalam ambang keputusan. Antara tinggal menemani sisa usia sang wanita, atau justru memilih kehidupan lain bersama laki-laki pilihannya di tanah yangberbeda, dimana putih salju berkuasa, meringue dalam kualitas terbaik.
Ini tentang suatu kisah pertaruhan. Dalam tujuh menit, ketika uap panas dan cairan teh putriku tandas, ia akan memberi jawaban, hidupku ditentukan. Itu ucap sang wanita tua. Kini terjawab. Tak ada Green Tea French Macaroon kesukaan yang mampu ia sajikan. Sang wanita tua kalah telak, mesti mengakui kemampuannya tak lagi seperti puluhan tahun lalu.
“Apa yang terjadi tujuh menit lagi?”
Langkah sang wanita muda tak dapat terhentikan. Antara pertaruhan Macaroon dan kerinduan ibunya. Sejak awal, ia memang tak ingin tinggal. Takdir menghadiahinya alibi. Tujuh menit tadi, biarlah menjadi dosa yang terus ia sesali.
***
Ditulis untuk proyek menulis dwi mingguan : Sisa Selasa
***
Busa-busa putih sudah terbentuk. Bahan-bahan itu sudah berganti rupa, saling menggulung dalam putih yang lembut dan anggun. Meringue tercipta. Katanya, ini selalu seperti gula-gula, juga angan-angan di atas kepala. Manis, tapi terlalu indah untuk dunia nyata. Seandainya saja ia masih muda, mampu memakan segala rupa gula-gula dengan leluasa. Ia kini bahkan tak mampu merasakan hasil karyanya sendiri. Terlalu riskan untuk gula darah, pertaruhan antara hasrat dan sisa usia. Larut dalam pikirannya sendiri tak menjamin tangan tua itu tak payah. Mengocok bukan lagi hal mudah untuk otot tangannya. Ia tak suka menggunakan mesin yang baginya selalu berhasil membuat manusia menjadi manja. Tremor, seisi mangkuk tertumpah. Wanita itu tenggelam jauh dalam tangisan. Katanya, tangisan seorang tua akan selalu jadi sia-sia. Tak cukup menarik untuk diketahui permasalahannya, juga karena selalu dianggap seakan bocah saja.
***
Putri yang berada dalam ambang keputusan. Antara tinggal menemani sisa usia sang wanita, atau justru memilih kehidupan lain bersama laki-laki pilihannya di tanah yangberbeda, dimana putih salju berkuasa, meringue dalam kualitas terbaik.
Ini tentang suatu kisah pertaruhan. Dalam tujuh menit, ketika uap panas dan cairan teh putriku tandas, ia akan memberi jawaban, hidupku ditentukan. Itu ucap sang wanita tua. Kini terjawab. Tak ada Green Tea French Macaroon kesukaan yang mampu ia sajikan. Sang wanita tua kalah telak, mesti mengakui kemampuannya tak lagi seperti puluhan tahun lalu.
“Apa yang terjadi tujuh menit lagi?”
Langkah sang wanita muda tak dapat terhentikan. Antara pertaruhan Macaroon dan kerinduan ibunya. Sejak awal, ia memang tak ingin tinggal. Takdir menghadiahinya alibi. Tujuh menit tadi, biarlah menjadi dosa yang terus ia sesali.
***
Ditulis untuk proyek menulis dwi mingguan : Sisa Selasa
Published on May 05, 2015 10:02
April 23, 2015
Kamisan 7 Season 3 : Cerminan
Menatap riak air di gelas minuman selalu membuatnya bahagia. Diam-diam, ia sengaja berlama-lama menatapi isi gelas. Karenanya, ia begitu menggemari minuman panas. Selalu ada alasan baginya untuk berlama-lama menandaskan isinya dengan alasan menunggu dingin. Kali ini ia terkikik kecil. Gadis kecil samar-samar itu sangat menawan. Tak banyak bicara, namun juga tak menyimpan durja. Senyumnya cukup, semanis teh dengan sedikit gula.
***
Kali ini yang muncul seorang bocah nakal. Matanya nyalang, seringkali tak bersahabat. Beberapa waktu kemudian bocah itu sudah komat-kamit, bibirnya bergerak semakin cepat. Tanpa perlu menduga-duga, ia tahu bahwa itu bentuk amarah. Rasanya ia begitu mengenali bocah itu. Tak asing dan akrab saja.
***
Ia berpikir bahwa selamanya tak mungkin untuk selalu menatap ke dalam cangkir, berharap akan selalu ada sosok dan cerita. Ia ingin sesuatu yang lebih besar, lebih leluasa. Langkahnya pertama kali menjejak setapak yang baru, yang belum ia jajaki sebelumnya. Ia menguak keraguan dan ketakutan. Demi untuk satu hal : permukaan air yang besar.
***
Gadis itu tak pernah benar-benar mengerti tentang bagian dirinya yang selalu ia saksikan sendiri. Melalui permukaan-permukaan air minum di dalam gelas, bahkan danau yang besar. Ketika gambaran dirinya seutuhnya terbuka, ia tak pernah merasa gembira dan percaya.Justru bertanya, "Bolehkah aku mengulang usia?"
***
Kali ini yang muncul seorang bocah nakal. Matanya nyalang, seringkali tak bersahabat. Beberapa waktu kemudian bocah itu sudah komat-kamit, bibirnya bergerak semakin cepat. Tanpa perlu menduga-duga, ia tahu bahwa itu bentuk amarah. Rasanya ia begitu mengenali bocah itu. Tak asing dan akrab saja.
***
Ia berpikir bahwa selamanya tak mungkin untuk selalu menatap ke dalam cangkir, berharap akan selalu ada sosok dan cerita. Ia ingin sesuatu yang lebih besar, lebih leluasa. Langkahnya pertama kali menjejak setapak yang baru, yang belum ia jajaki sebelumnya. Ia menguak keraguan dan ketakutan. Demi untuk satu hal : permukaan air yang besar.
***
Gadis itu tak pernah benar-benar mengerti tentang bagian dirinya yang selalu ia saksikan sendiri. Melalui permukaan-permukaan air minum di dalam gelas, bahkan danau yang besar. Ketika gambaran dirinya seutuhnya terbuka, ia tak pernah merasa gembira dan percaya.Justru bertanya, "Bolehkah aku mengulang usia?"
Published on April 23, 2015 09:53
April 21, 2015
Pertanyaan
Sahabat karibku adalah biru. Biru yang terkadang seukuran tubuhku, terkadang terlalu besar untuk kurangkul. Biru tak pernah pergi. Ia setia. Sesetia aku yang selalu mencintainya tanpa lelah. Namun, mengapa aku begitu mencintai biru? Alasan nomor satunya sederhana. Ia tidak pernah pergi.
***
Biru tak pernah menunjukkan ia merasa lapar. Ia hanya memandangiku ketika aku lahap menyantap bubur ayam hambar yang biasa di pagi hari, atau nasi campur dengan hanya seiris dua iris potongan daging dan sayuran tanpa bumbu.
"Kau tak ingin makan bersamaku?"Ia bergeming.Mungkin karena makananku tak pernah membuatnya berselera. Entah. Ia justru bertanya."Apa kau takut lapar?"
***
Tidak ada yang sanggup menghentikan amarahku kali ini. Gaung teriakanku mampu membuat siapapun menutup telinga. Aku hanya mampu membuat suara, menghentak-hentak, berguling, layaknya penari yang sedang kehilangan akal. Setiap kali memang melelahkan. Tapi ini satu-satunya jalan. Sayang, rasanya ini tak lengkap. Tak ada benda-benda yang mampu kuhancurkan. Yang berdenting merdu ketika menghantam lantai, dan berkeping indah menjadi serpih terkecil. Bukankah selalu ada kepuasan di diri manusia ketika mampu menghancurkan sesuatu? Menihilkan hasil ciptaan, entah karena kecemburuan atau ketidakmampuan. Bagaimana dengan menghancurkan diriku sendiri? Bukan ide yang buruk. Bisa kucoba lain kali.
Siapa yang mampu menghalangiku? Biru? Dia selalu mengafirmasi apapun yang kulakukan. Bukankah menyenangkan? Tapi bukan berarti ia alpa menanyakan.
"Mengapa kau selalu marah begitu?" tanyanya suatu kali."Hei, apa kau pernah merasakan rasanya tak memiliki apapun, paling miskin dan paling bodoh?""Kau merasa miskin dan bodoh?""Kau sebut apa orang yang bahkan tak memiliki memori sepertiku?"Biru hanya diam.
***
Perbincangan kami berlanjut tentang hal berbeda, suatu kali yang lain. "Hei, Biru. Apa yang kau takutkan di dunia ini?""Kau.""Aku?""Kau yang suatu saat bisa pergi begitu saja,"Biru sangat absurd. Jawaban macam apa itu. Permainan kuputarbalik. "Jika kau, apa yang membuatmu takut?""Tidak ada. Karena kurasa aku tak punya apa-apa. Ah, aku cuma punya kau," jawabku tanpa ragu. Biru terdiam kembali. Kuajak ia bernyanyi, ia bungkam. Kuajak ia bergulingan, ia tak menghiraukan. Tiba-tiba Biru kembali berucap, "Kau pembohong. Jangan-jangan kau hanya pengecut yang selalu khawatir tak memiliki rasa takut?"
Aku tak ambil peduli. Aku berlari, menatap, berteriak, membentur, menendang, menyakiti, menghantam. Biru memang selalu seperti itu. Seisi rumah sakit ini pun begitu.
Kenalkan. Ia Biru, dinding di kepalaku.
***
*Ditulis untuk proyek menulis dwi mingguan, Sisa Selasa #3
***
Biru tak pernah menunjukkan ia merasa lapar. Ia hanya memandangiku ketika aku lahap menyantap bubur ayam hambar yang biasa di pagi hari, atau nasi campur dengan hanya seiris dua iris potongan daging dan sayuran tanpa bumbu.
"Kau tak ingin makan bersamaku?"Ia bergeming.Mungkin karena makananku tak pernah membuatnya berselera. Entah. Ia justru bertanya."Apa kau takut lapar?"
***
Tidak ada yang sanggup menghentikan amarahku kali ini. Gaung teriakanku mampu membuat siapapun menutup telinga. Aku hanya mampu membuat suara, menghentak-hentak, berguling, layaknya penari yang sedang kehilangan akal. Setiap kali memang melelahkan. Tapi ini satu-satunya jalan. Sayang, rasanya ini tak lengkap. Tak ada benda-benda yang mampu kuhancurkan. Yang berdenting merdu ketika menghantam lantai, dan berkeping indah menjadi serpih terkecil. Bukankah selalu ada kepuasan di diri manusia ketika mampu menghancurkan sesuatu? Menihilkan hasil ciptaan, entah karena kecemburuan atau ketidakmampuan. Bagaimana dengan menghancurkan diriku sendiri? Bukan ide yang buruk. Bisa kucoba lain kali.
Siapa yang mampu menghalangiku? Biru? Dia selalu mengafirmasi apapun yang kulakukan. Bukankah menyenangkan? Tapi bukan berarti ia alpa menanyakan.
"Mengapa kau selalu marah begitu?" tanyanya suatu kali."Hei, apa kau pernah merasakan rasanya tak memiliki apapun, paling miskin dan paling bodoh?""Kau merasa miskin dan bodoh?""Kau sebut apa orang yang bahkan tak memiliki memori sepertiku?"Biru hanya diam.
***
Perbincangan kami berlanjut tentang hal berbeda, suatu kali yang lain. "Hei, Biru. Apa yang kau takutkan di dunia ini?""Kau.""Aku?""Kau yang suatu saat bisa pergi begitu saja,"Biru sangat absurd. Jawaban macam apa itu. Permainan kuputarbalik. "Jika kau, apa yang membuatmu takut?""Tidak ada. Karena kurasa aku tak punya apa-apa. Ah, aku cuma punya kau," jawabku tanpa ragu. Biru terdiam kembali. Kuajak ia bernyanyi, ia bungkam. Kuajak ia bergulingan, ia tak menghiraukan. Tiba-tiba Biru kembali berucap, "Kau pembohong. Jangan-jangan kau hanya pengecut yang selalu khawatir tak memiliki rasa takut?"
Aku tak ambil peduli. Aku berlari, menatap, berteriak, membentur, menendang, menyakiti, menghantam. Biru memang selalu seperti itu. Seisi rumah sakit ini pun begitu.
Kenalkan. Ia Biru, dinding di kepalaku.
***
*Ditulis untuk proyek menulis dwi mingguan, Sisa Selasa #3
Published on April 21, 2015 08:50
April 9, 2015
Kamisan 6 Season 3 : Writer's Block
"Sepuluh menit. Cukup?"
Itu syaratnya ketika aku meminta untuk mengintip apa isi USB yang selalu ia kalungkan di dadanya. Aku mengangguk setuju. Antara antusias dan berdebar cemas. Mungkin ini adalah kesempatan pertama dan terakhir. Setelah itu, yang tersisa hanya sesal atau kegembiraan.
***
Kata takjub apa yang bisa kukeluarkan. USB-nya bukan berisi tumpukan folder atau file yang tercecer. Lebih dari itu, bunyi ombak dan embus angin di pantai terdengar. Ada seorang laki-laki di dalamnya. Aku merasakan percikan asin air laut. Pria itu sedang bekerja keras memotong senja dan menyesakkannya pada sepucuk kartu pos. File ini menyimpan senja. Lengkap dengan balada dan pemain serupa Sukab dan Alina.
***
Kemudian aku berpindah ke file berikutnya. Kalender yang menempel di suatu dinding nyatanya selalu basah. Apa yang menyebabkannya? Kuperhatikan dengan lekat. Kalender itu terbuka di lembar Juni. Seorang pria dengan topi pet di kepalanya menatap kalender itu, kemudian menulis puisi diiringi rintik hujan. Romansa dan suasana hujan menyentuhku begitu saja. Entah semerbak petrichor atau bunyi tetes hujan yang jatuh ke tanah. Rasanya aku ingin memandangi puas-puas punggung pria penyair itu. Pria yang membuat tabah, bijak dan arif Sang Hujan.
***
Kali ini aku tak bisa menahan rasa penasaran. Dua kali terpercik air dan menatap bayang senja, rasanya begitu ingin merasakan sensasi lainnya. Kali ini kupilih file yang nyaris keseluruhan iconnya dipenuhi tinta hitam yang menetes-netes kepenuhan. Tunggu. Aku salah lihat. Alih-alih hitam, itu merah kehitaman. Darah. Kubuka file itu dengan penuh debar. Pisau, seorang perempuan, dan anak laki-laki. Apa yang di....
"Namanya Radian" ia menarik pundakku, mengagetkan.
Aku mendongak dan selama beberapa saat baru menyadari bahwa aku tak pernah benar-benar berada di pantai dengan senja, duduk di dekat pria penyair, ataupun menatap dari jauh ibu dan anak itu. Rasanya benar-benar dekat dan nyata. Sesaat, dadaku berdebar marah. Jika ia tak menarik pundakku, aku tentu masih berada di sana. Bertualang lebih jauh.
"Izinkan aku kembali!" aku memohon.
"Kau yakin? Penyesalan tak diperbolehkan kali ini."
Decak tak sabarku sudah jelas mengindikasikan jawaban apa. Segera, ia izinkan aku kembali menyelam dalam USB-nya. Aku bersiap menyambut petualangan baru. Kupilih icon file yang tampak tak utuh, seperti bekas terbakar di ujungnya. Yang kulihat hanya lorong gelap dan pintu-pintu yang tertutup. Ia tiba-tiba muncul di hadapanku dengan senyum, yang herannya, terasa menakutkan.
"Ini setengah perjalanan dari kisah yang kutulis. Tak ada senja, hujan atau Radian."
"Mengapa hanya ada gelap?" aku bertanya sungguh-sungguh.
"Kisah ini terlalu lama menunggu pemeran utama untuk tinggal di dalamnya. Sayang aku sudah memutuskan berbeda."
"Apa keputusanmu?"
"Pemeran itu kita. Dan aku tak akan pernah mengakhiri kisah ini. Anggap saja writer's block."
Seringainya kali ini benar-benar menyeramkan.
***
Itu syaratnya ketika aku meminta untuk mengintip apa isi USB yang selalu ia kalungkan di dadanya. Aku mengangguk setuju. Antara antusias dan berdebar cemas. Mungkin ini adalah kesempatan pertama dan terakhir. Setelah itu, yang tersisa hanya sesal atau kegembiraan.
***
Kata takjub apa yang bisa kukeluarkan. USB-nya bukan berisi tumpukan folder atau file yang tercecer. Lebih dari itu, bunyi ombak dan embus angin di pantai terdengar. Ada seorang laki-laki di dalamnya. Aku merasakan percikan asin air laut. Pria itu sedang bekerja keras memotong senja dan menyesakkannya pada sepucuk kartu pos. File ini menyimpan senja. Lengkap dengan balada dan pemain serupa Sukab dan Alina.
***
Kemudian aku berpindah ke file berikutnya. Kalender yang menempel di suatu dinding nyatanya selalu basah. Apa yang menyebabkannya? Kuperhatikan dengan lekat. Kalender itu terbuka di lembar Juni. Seorang pria dengan topi pet di kepalanya menatap kalender itu, kemudian menulis puisi diiringi rintik hujan. Romansa dan suasana hujan menyentuhku begitu saja. Entah semerbak petrichor atau bunyi tetes hujan yang jatuh ke tanah. Rasanya aku ingin memandangi puas-puas punggung pria penyair itu. Pria yang membuat tabah, bijak dan arif Sang Hujan.
***
Kali ini aku tak bisa menahan rasa penasaran. Dua kali terpercik air dan menatap bayang senja, rasanya begitu ingin merasakan sensasi lainnya. Kali ini kupilih file yang nyaris keseluruhan iconnya dipenuhi tinta hitam yang menetes-netes kepenuhan. Tunggu. Aku salah lihat. Alih-alih hitam, itu merah kehitaman. Darah. Kubuka file itu dengan penuh debar. Pisau, seorang perempuan, dan anak laki-laki. Apa yang di....
"Namanya Radian" ia menarik pundakku, mengagetkan.
Aku mendongak dan selama beberapa saat baru menyadari bahwa aku tak pernah benar-benar berada di pantai dengan senja, duduk di dekat pria penyair, ataupun menatap dari jauh ibu dan anak itu. Rasanya benar-benar dekat dan nyata. Sesaat, dadaku berdebar marah. Jika ia tak menarik pundakku, aku tentu masih berada di sana. Bertualang lebih jauh.
"Izinkan aku kembali!" aku memohon.
"Kau yakin? Penyesalan tak diperbolehkan kali ini."
Decak tak sabarku sudah jelas mengindikasikan jawaban apa. Segera, ia izinkan aku kembali menyelam dalam USB-nya. Aku bersiap menyambut petualangan baru. Kupilih icon file yang tampak tak utuh, seperti bekas terbakar di ujungnya. Yang kulihat hanya lorong gelap dan pintu-pintu yang tertutup. Ia tiba-tiba muncul di hadapanku dengan senyum, yang herannya, terasa menakutkan.
"Ini setengah perjalanan dari kisah yang kutulis. Tak ada senja, hujan atau Radian."
"Mengapa hanya ada gelap?" aku bertanya sungguh-sungguh.
"Kisah ini terlalu lama menunggu pemeran utama untuk tinggal di dalamnya. Sayang aku sudah memutuskan berbeda."
"Apa keputusanmu?"
"Pemeran itu kita. Dan aku tak akan pernah mengakhiri kisah ini. Anggap saja writer's block."
Seringainya kali ini benar-benar menyeramkan.
***
Published on April 09, 2015 09:09
April 7, 2015
Tukang Kayu dan Genting Kaca
"Sudah sejauh apa?"
Hari ini ulang tahunnya yang ke delapan puluh. Kursi goyang itu perlahan terus bergerak. Laki-laki dengan sweater abu itu menatap langit dari balik genting transparan lebar. Tak peduli siang atau malam, ia terus menatap genting kaca itu. Entah untuk menatap burung-burung pulang, atau langit yang sebegitu saja tak pernah memberinya jawaban.
***
Tiga Belas
Bagaimana jika ayunan di bawah pohon? Kau bisa menghabiskan siangmu dengan membaca buku, mengobrol denganku, dan bermain ayunan bersama. Aku akan mendorongmu, kau akan berayun di atasnya dengan gembira. Menikmati embus angin menerpa wajah, dan ayunan kencang yang membuat isi perutmu serasa terbang.
***
Dua Puluh Dua
Desain rumah untuk anjingmu sudah jadi. Bayangkan, di musim panas dan angin semilir, ketika kita bersama nanti, akan ada rumah besar dengan taman yang leluasa untuk anak-anak berlarian dengan anjing-anjing kesayangan.
***
Empat Puluh Delapan
Ini memang sedikit terlambat. Tapi akan ada saatnya kita akan mempunyai pondokan di hari tua nanti. Sebuah pondokan dari kayu mahoni di tepi pantai, dimana kita habiskan masa liburan bersama. Oh, coba bayangkan, kau bahkan bisa menyaksikan matahari terbenam di pantulan oranye air laut.
***
"Sudah sejauh apa aku mewujudkan keinginannya?" tanyanya sekali lagi.
Pemuda itu hanya diam. Ia tak tahu mesti berkata apa pada kawan tuanya. Mendengar kisah yang sama setiap hari cukup membuatnya bosan, namun kawan tuanya bukan hanya seorang tukang kayu. Ia juga seorang pencerita jagoan. Selalu ada yang baru dari kisah awal, layaknya bawang yang dikelupas kulitnya secara perlahan. Ini kisah tentang perjalanan seorang pria yang ingin membahagiakan wanitanya sepanjang hidupnya, dari tahun ke tahun.
Sang pemuda tak sebegitu teganya untuk memberikan jawaban. Bukannya ingin diam. Ia bahkan tak tahu bagaimana cara mengatakan bahwa kawan tuanya hanya mampu membangun pondokan kecil dengan genting kaca lebar. Sementara sang wanita memiliki hidupnya sendiri, tak pernah benar-benar bersamanya selama delapan puluh tahun ini.
Meski selalu dalam penantian, sesungguhnya pria tua itu bahkan tak pernah memulainya.
*Ditulis untuk sesi menulis dwi mingguan, Sisa Selasa #2
Hari ini ulang tahunnya yang ke delapan puluh. Kursi goyang itu perlahan terus bergerak. Laki-laki dengan sweater abu itu menatap langit dari balik genting transparan lebar. Tak peduli siang atau malam, ia terus menatap genting kaca itu. Entah untuk menatap burung-burung pulang, atau langit yang sebegitu saja tak pernah memberinya jawaban.
***
Tiga Belas
Bagaimana jika ayunan di bawah pohon? Kau bisa menghabiskan siangmu dengan membaca buku, mengobrol denganku, dan bermain ayunan bersama. Aku akan mendorongmu, kau akan berayun di atasnya dengan gembira. Menikmati embus angin menerpa wajah, dan ayunan kencang yang membuat isi perutmu serasa terbang.
***
Dua Puluh Dua
Desain rumah untuk anjingmu sudah jadi. Bayangkan, di musim panas dan angin semilir, ketika kita bersama nanti, akan ada rumah besar dengan taman yang leluasa untuk anak-anak berlarian dengan anjing-anjing kesayangan.
***
Empat Puluh Delapan
Ini memang sedikit terlambat. Tapi akan ada saatnya kita akan mempunyai pondokan di hari tua nanti. Sebuah pondokan dari kayu mahoni di tepi pantai, dimana kita habiskan masa liburan bersama. Oh, coba bayangkan, kau bahkan bisa menyaksikan matahari terbenam di pantulan oranye air laut.
***
"Sudah sejauh apa aku mewujudkan keinginannya?" tanyanya sekali lagi.
Pemuda itu hanya diam. Ia tak tahu mesti berkata apa pada kawan tuanya. Mendengar kisah yang sama setiap hari cukup membuatnya bosan, namun kawan tuanya bukan hanya seorang tukang kayu. Ia juga seorang pencerita jagoan. Selalu ada yang baru dari kisah awal, layaknya bawang yang dikelupas kulitnya secara perlahan. Ini kisah tentang perjalanan seorang pria yang ingin membahagiakan wanitanya sepanjang hidupnya, dari tahun ke tahun.
Sang pemuda tak sebegitu teganya untuk memberikan jawaban. Bukannya ingin diam. Ia bahkan tak tahu bagaimana cara mengatakan bahwa kawan tuanya hanya mampu membangun pondokan kecil dengan genting kaca lebar. Sementara sang wanita memiliki hidupnya sendiri, tak pernah benar-benar bersamanya selama delapan puluh tahun ini.
Meski selalu dalam penantian, sesungguhnya pria tua itu bahkan tak pernah memulainya.
*Ditulis untuk sesi menulis dwi mingguan, Sisa Selasa #2
Published on April 07, 2015 07:15