Nabila Budayana's Blog, page 6
November 1, 2015
Pertemuan Musik Surabaya : Improvisasi Akord bersama Tamam Hoesein
Memiliki seorang guru yang hangat, humoris dan menyenangkan di pertemuan pertama tidak mudah. Namun kesan positif itu justru langsung terasa dalam 'ruang kelas' dengan pengajar spesial, Tamam Hoesein. Pertemuan Musik Surabaya yang terus konsisten menyelenggarakan acara bulanan dengan tema musik yang cerdas, selalu menarik untuk diikuti. Kali ini dihadirkan seorang Tamam Hoesein yang bersedia berbagi ilmu tentang teknik improvisasi dengan akord.
Tema yang sangat dekat dan aplikatif membuat kelas ini berhasil dipenuhi oleh anak-anak muda yang tertarik mendapat cipratan ilmu dari Pak Tamam. Ruang aula Wisma Jerman Surabaya, 25 Oktober 2015 kali itu dipenuhi audiens.
Bukan hanya sibuk dengan penjelasan teorinya, terlihat Tamam Hoesein sangat interaktif dengan aktif menanyakan sejauh mana audiens memahami penjelasannya. Dengan gaya santai, ia bahkan tak segan untuk menyapa beberapa nama yang ia kenal di antara audiens. Grand piano di hadapannya hanya sesekali ia gunakan untuk memperjelas apa yang ia tuliskan di white board. Kemauannya untuk ingin selalu mendengar penuh perhatian apa yang ditanyakan oleh audiens membuat proses belajar menjadi menyenangkan. Transfer ilmu itu berjalan seakan tanpa batasan. Dengan jam terbang dan berbagai pengalamannya mengajar, Ia memang terlihat begitu terbiasa dengan suasana pembelajaran.
Tamam Hoesein menjelaskan tentang bagaimana berimprovisasi dengan memberikan bunyi dan nuansa yang berbeda. Dalam proses improvisasi ini, sangat penting untuk mengenal akord Tonic dan Dominant. Tonic merupakan akord yang bisa berdiri sendiri, tidak memerlukan akord tambahan untuk menyelesaikannya. Sedangkan akord Dominant merupakan akord yang tidak bisa berdiri sendiri, dibutuhkan akord Tonic untuk menyelesaikannya. Alih-alih menggunakan pola yang biasa,secara umum misalnya urutan akord I - V7 - I, ia memberikan alternatif dengan cara mensubsitusi akord. Akord V7 yang digunakan, bisa diganti dengan variasi yang berbeda sesuai kebutuhan. Tentu saja dengan akord yang tetap masih 'sejalan' dengan yang ingin dimainkan. Misalnya dengan mengubah pola sebagai berikut :
I V7 II IIm7 V7 II IIm7 IIb7 II IIm7 II7 I
Pak Tamam pun tak setengah-setengah dalam memberikan materi. Dalam modul ciptaannya, dijelaskan berbagai jenis akord dan opsi-opsi bagaimana melakukan improvisasi untuk menghasilkan melodi yang lebih halus, sesuai dengan kebutuhan. Dalam hal ini, kebutuhan penggunaan jenis akord sangat bergantung pada pemain menghasilkan melodi apa yang diinginkan. Meski begitu jangan sampai memaksakan untuk menciptakan kesan "rumit" atau "jazzy".
Seorang audiens menanyakan tentang permasalahannya yang kesusahan dalam melakukan improvisasi akord, karena berangkat dari jalur musik klasik yang lebih sering bermain musik sesuai dengan partitur. Tamam Hoesein menjelaskan bahwa dalam musik klasik pun sesungguhnya beberapa komposer menerapkan pola improvisasi yang sama. Beliau menyarankan audiens untuk membuktikannya dengan menganalisa komposisi-komposisi yang diciptakan Chopin.
Berbicara tentang musik klasik, Pak Tamam berkisah tentang pengalamannya mengajar di sebuah sekolah musik tertua di Indonesia yang didirikan tahun 1950 di Medan. Sekolah tersebut pada awalnya hanya mengajarkan musik klasik pada siswa-siswinya. Namun kemudian berbagai jenis musik mulai diajarkan. Kebetulan ia diminta untuk mengenalkan musik jazz. Sesungguhnya musik jazz 'lebih sederhana' dibanding musik klasik, karena pemain lebih bebas untuk menyampaikan apa yang ingin disampaikan. Sedangkan pada musik klasik, pemain diminta untuk mempelajari dan memainkan komposisi dari komposer tertentu. Tamam Hoesein mulai mengajarkan Blues. Siswa-siswi yang telah terbiasa bermain musik klasik secara spontan diminta untuk berimproviasi dengan gaya Blues. Awalnya mereka merasa kesulitan, karena belum terbiasa bermain secara bebas. Namun pada akhirnya mereka merasa gembira karena menemukan 'garis-garis yang dibongkar' dan boleh melakukan apa saja dengan lagu. "Feel free to do that." Berkaca dari pengalaman tersebut, Tamam Hoesein memberikan saran agar audiens mampu menikmati musik dengan bermain secara bebas. Bagi yang telah terbiasa memainkan musik klasik, banyaklah mendengar berbagai improvisasi lagu. Di awal proses tersebut pemain akan tiba di tahap meniru terlebih dahulu. Namun proses itu tetap harus dilanjutkan dengan terus mencoba serta menjaga konsistensi untuk berlatih setiap hari.
Dalam sub bab Reharmonisasi, Pak Tamam memainkan lagu lawas milik Harold Arlen, "Over The Rainbow" yang beliau reharmonisasi menjadi lebih jazzy dengan banyak menerapkan akord-akord IIm7 dan V7. Berkaca dari cara beliau yang mampu mengimprovisasi berbagai lagu, tips yang disarankan pada audiens adalah dengan mengaplikasikan pola I - V7 (beserta turunannya)- I pada dua belas kunci yang ada.
Bicara tentang improvisasi, bukan berarti kemudian melupakan substansi bermain musik. Seorang Tamam Hoesein pun memberikan pandangan-pandangan membuminya. Bahwa tidak pernah ada masalah di musik dan tak perlu dipermasalahkan. Pernyataan itu berlanjut dengan bahwa dalam musik tidak ada yang benar atau salah. Seluruhnya hanya masalah selera, suka atau tidak.
"Musik adalah cermin apa yang kita rasakan." - Tamam Hoesein.
Tema yang sangat dekat dan aplikatif membuat kelas ini berhasil dipenuhi oleh anak-anak muda yang tertarik mendapat cipratan ilmu dari Pak Tamam. Ruang aula Wisma Jerman Surabaya, 25 Oktober 2015 kali itu dipenuhi audiens.
Bukan hanya sibuk dengan penjelasan teorinya, terlihat Tamam Hoesein sangat interaktif dengan aktif menanyakan sejauh mana audiens memahami penjelasannya. Dengan gaya santai, ia bahkan tak segan untuk menyapa beberapa nama yang ia kenal di antara audiens. Grand piano di hadapannya hanya sesekali ia gunakan untuk memperjelas apa yang ia tuliskan di white board. Kemauannya untuk ingin selalu mendengar penuh perhatian apa yang ditanyakan oleh audiens membuat proses belajar menjadi menyenangkan. Transfer ilmu itu berjalan seakan tanpa batasan. Dengan jam terbang dan berbagai pengalamannya mengajar, Ia memang terlihat begitu terbiasa dengan suasana pembelajaran.

Tamam Hoesein menjelaskan tentang bagaimana berimprovisasi dengan memberikan bunyi dan nuansa yang berbeda. Dalam proses improvisasi ini, sangat penting untuk mengenal akord Tonic dan Dominant. Tonic merupakan akord yang bisa berdiri sendiri, tidak memerlukan akord tambahan untuk menyelesaikannya. Sedangkan akord Dominant merupakan akord yang tidak bisa berdiri sendiri, dibutuhkan akord Tonic untuk menyelesaikannya. Alih-alih menggunakan pola yang biasa,secara umum misalnya urutan akord I - V7 - I, ia memberikan alternatif dengan cara mensubsitusi akord. Akord V7 yang digunakan, bisa diganti dengan variasi yang berbeda sesuai kebutuhan. Tentu saja dengan akord yang tetap masih 'sejalan' dengan yang ingin dimainkan. Misalnya dengan mengubah pola sebagai berikut :
I V7 II IIm7 V7 II IIm7 IIb7 II IIm7 II7 I
Pak Tamam pun tak setengah-setengah dalam memberikan materi. Dalam modul ciptaannya, dijelaskan berbagai jenis akord dan opsi-opsi bagaimana melakukan improvisasi untuk menghasilkan melodi yang lebih halus, sesuai dengan kebutuhan. Dalam hal ini, kebutuhan penggunaan jenis akord sangat bergantung pada pemain menghasilkan melodi apa yang diinginkan. Meski begitu jangan sampai memaksakan untuk menciptakan kesan "rumit" atau "jazzy".
Seorang audiens menanyakan tentang permasalahannya yang kesusahan dalam melakukan improvisasi akord, karena berangkat dari jalur musik klasik yang lebih sering bermain musik sesuai dengan partitur. Tamam Hoesein menjelaskan bahwa dalam musik klasik pun sesungguhnya beberapa komposer menerapkan pola improvisasi yang sama. Beliau menyarankan audiens untuk membuktikannya dengan menganalisa komposisi-komposisi yang diciptakan Chopin.
Berbicara tentang musik klasik, Pak Tamam berkisah tentang pengalamannya mengajar di sebuah sekolah musik tertua di Indonesia yang didirikan tahun 1950 di Medan. Sekolah tersebut pada awalnya hanya mengajarkan musik klasik pada siswa-siswinya. Namun kemudian berbagai jenis musik mulai diajarkan. Kebetulan ia diminta untuk mengenalkan musik jazz. Sesungguhnya musik jazz 'lebih sederhana' dibanding musik klasik, karena pemain lebih bebas untuk menyampaikan apa yang ingin disampaikan. Sedangkan pada musik klasik, pemain diminta untuk mempelajari dan memainkan komposisi dari komposer tertentu. Tamam Hoesein mulai mengajarkan Blues. Siswa-siswi yang telah terbiasa bermain musik klasik secara spontan diminta untuk berimproviasi dengan gaya Blues. Awalnya mereka merasa kesulitan, karena belum terbiasa bermain secara bebas. Namun pada akhirnya mereka merasa gembira karena menemukan 'garis-garis yang dibongkar' dan boleh melakukan apa saja dengan lagu. "Feel free to do that." Berkaca dari pengalaman tersebut, Tamam Hoesein memberikan saran agar audiens mampu menikmati musik dengan bermain secara bebas. Bagi yang telah terbiasa memainkan musik klasik, banyaklah mendengar berbagai improvisasi lagu. Di awal proses tersebut pemain akan tiba di tahap meniru terlebih dahulu. Namun proses itu tetap harus dilanjutkan dengan terus mencoba serta menjaga konsistensi untuk berlatih setiap hari.
Dalam sub bab Reharmonisasi, Pak Tamam memainkan lagu lawas milik Harold Arlen, "Over The Rainbow" yang beliau reharmonisasi menjadi lebih jazzy dengan banyak menerapkan akord-akord IIm7 dan V7. Berkaca dari cara beliau yang mampu mengimprovisasi berbagai lagu, tips yang disarankan pada audiens adalah dengan mengaplikasikan pola I - V7 (beserta turunannya)- I pada dua belas kunci yang ada.
Bicara tentang improvisasi, bukan berarti kemudian melupakan substansi bermain musik. Seorang Tamam Hoesein pun memberikan pandangan-pandangan membuminya. Bahwa tidak pernah ada masalah di musik dan tak perlu dipermasalahkan. Pernyataan itu berlanjut dengan bahwa dalam musik tidak ada yang benar atau salah. Seluruhnya hanya masalah selera, suka atau tidak.
"Musik adalah cermin apa yang kita rasakan." - Tamam Hoesein.
Published on November 01, 2015 04:08
October 24, 2015
Music is a New Hope : Charity Concert
Finna Kurniawati (violin), Shienny Kurniawati (harp), Ade Sinata (cello), Michael Adi Tjandra (viola), Glenn Bagus (piano), SOOS (String Orchestra of Surabaya) Children Ensemble menampilkan musik mereka untuk sebuah konser amal yang digagas oleh Sheraton Surabaya, SOOS, dan UNICEF, bertajuk Check Out For Children 2015. Sesuai temanya, dana yang terkumpul dari konser ini dikelola dan donasikan UNICEF untuk anak-anak yang membutuhkan di berbagai negara, seperti Indonesia, Bangladesh, India dan China.
Karena kebaikan hati Mbak Gema Swaratyagita, saya bisa nonton bersama teman-teman dari Pertemuan Musik Surabaya di hari itu, 19 Oktober 2015. Antusiasme penonton sangat bagus. Terbukti, begitu pintu ballroom Sheraton dibuka, kursi di baris-baris terdepan dengan cepat terisi. Kami mendapat tempat di bagian tengah ruang. Beberapa kali menonton pertunjukan musik di lokasi yang sama, saya jarang memilih bagian tengah dan cenderung agak ke belakang. Jadi, sedikit banyak saya penasaran dengan sensasi baru ini. Sembari menunggu audiens berdatangan, hadirin disajikan video-video tentang anak-anak dari berbagai negara.
Jeda tak terlalu lama, pertunjukan kemudian dimulai. Sesuai dengan tema amal untuk anak-anak, rombongan SOOS Children Ensemble tampil terlebih dahulu dengan menghadirkan melodi menyenangkan, Turkish March milik Beethoven menjadi sebuah irama string masal oleh belasan anak dan seorang pianis ini. Mereka menampilkan melodi dengan cukup baik dengan vivace yang cukup terasa. Komposisi ini akan lebih menarik dengan ketegasan ala March juga dinamika yang lebih tereskplorasi. Namun rasanya hal itu hanya masalah minor yang akan dengan mudah diperbaiki oleh anak-anak berbakat ini. Di atas itu semua, saya sesungguhnya mengharapkan ekspresi dari semua performer anak ini. Jam terbang akan membuat mereka lebih menikmati waktu ketika berada di atas panggung.
Meski ada sedikit gangguan dari suara speaker ballroom yang masih memutarkan musik-musik hotel, namun hal itu teratasi di komposisi berikutnya. Setelah diberikan staccato-staccato dari Turkish March, Children's Prayer from Hansel and Gretel yang mendayu menjadi komposisi kedua. Disambung dengan Come Back to Sorrento milik Ernesto De Curtis yang menjadi akhir penampilan mereka. Phrasing dan dinamika yang lebih jelas tentu akan membuat audiens lebih merasakan ambiance dari komposisi ini.
Penampil anak-anak digantikan oleh kakak beradik Shienny Kurniawati (Harpa) dan Finna Kurniawati (Violin) yang membawakan Romanza Andaluza milik Pablo de Sarasate. Finna memainkan melodi dengan ekspresif. Kolaborasi Harpa dari Shienny membuat ini cukup menjadi tantangan, karena rancak komposisi ini membutuhkan tempo dan ritmis yang lincah.
Baroque Flamenco ditampilkan oleh Shienny dengan cukup mengesankan. Ini agak membuat saya deja vu. Saya pernah menyaksikan Maya Hasan memainkan komposisi yang sama dan di lokasi yang sama tahun lalu. Irama cepat bernuansa Flamenco tentu menuntut teknik permainan yang tidak mudah. Komposisi ini juga meminta banyak ketukan pada soundboard dan arpeggio lincah agar nuansa Flamenco dapat dipertahankan. Saya membayangkan, jika saya berada di posisi yang lebih depan, saya tentu akan lebih merasakan nuansa flamenco ini.
Baru sebulan lalu saya menikmati permainan Cello Ade Sinata dengan Cascade Trio, kali ini ia hadir bersama dengan Glenn Bagus dan Finna Kurniawati. Ini pertama kalinya, dan sejujurnya saya cukup tertarik bagaimana hasil kolaborasi mereka. Finna dan Ade saya ketahui sebagai performer yang sama-sama ekspresif. Membentuk kolaborasi dalam waktu singkat memang tidak mudah. Namun profesionalitas mereka mampu mengatasi komposisi. Meski saya akan cenderung untuk memilih Ade di dalam Cascade, juga Finna dan Glenn yang bermain solo.
Intermession memberi kesempatan pada sebagian besar audiens yang merasa suhu ruang terlalu dingin untuk keluar dari ballroom. Setelah break usai, Piano Quintet Op. 44 milik Robert Schumann menjadi sajian berikutnya. Glenn Bagus, Finna dan Shienny Kurniawati, Ade Sinata dan Michael Adi Tjandra membahu menampilkan komposisi ini bersama. Karya jagoan Schumann untuk musik kamar ini menampilkan nuansa romantik ala Schumann yang selalu menuntut berbagai teknik dan dinamika. Performer ditantang untuk membuat bunyi piano menonjol dengan keempat instrumen string mengingat Schumann sedang ingin menciptakan bunyi piano dengan ekspresif ketika mencipta komposisi ini. Seringkali pula terdengar berbagai eksplorasi tema yang menarik. Movement ke-dua menjadi favorit saya. Silence di antara phrase yang lebih luas memberi ruang berpikir yang menarik sebelum kembali digeber dengan running-running notes. Tema yang diberikan Schumman pun menarik dan berbeda.
Komposisi ciptaan sang pianis, The Passion, menjadi penutup dari keseluruhan pertunjukan. Selain mengantar audiens beranjak dengan karya yang easy-listening, penutupan itu sesuai dengan tema yang diberikan. Menyumbangkan sesuatu untuk kemanusiaan dengan berbagai cara, lebih-lebih dengan passion, adalah sebentuk kesempatan yang luar biasa. Para performer membagikan semangat itu pada audiens melalui musik yang mereka sajikan.

Karena kebaikan hati Mbak Gema Swaratyagita, saya bisa nonton bersama teman-teman dari Pertemuan Musik Surabaya di hari itu, 19 Oktober 2015. Antusiasme penonton sangat bagus. Terbukti, begitu pintu ballroom Sheraton dibuka, kursi di baris-baris terdepan dengan cepat terisi. Kami mendapat tempat di bagian tengah ruang. Beberapa kali menonton pertunjukan musik di lokasi yang sama, saya jarang memilih bagian tengah dan cenderung agak ke belakang. Jadi, sedikit banyak saya penasaran dengan sensasi baru ini. Sembari menunggu audiens berdatangan, hadirin disajikan video-video tentang anak-anak dari berbagai negara.
Jeda tak terlalu lama, pertunjukan kemudian dimulai. Sesuai dengan tema amal untuk anak-anak, rombongan SOOS Children Ensemble tampil terlebih dahulu dengan menghadirkan melodi menyenangkan, Turkish March milik Beethoven menjadi sebuah irama string masal oleh belasan anak dan seorang pianis ini. Mereka menampilkan melodi dengan cukup baik dengan vivace yang cukup terasa. Komposisi ini akan lebih menarik dengan ketegasan ala March juga dinamika yang lebih tereskplorasi. Namun rasanya hal itu hanya masalah minor yang akan dengan mudah diperbaiki oleh anak-anak berbakat ini. Di atas itu semua, saya sesungguhnya mengharapkan ekspresi dari semua performer anak ini. Jam terbang akan membuat mereka lebih menikmati waktu ketika berada di atas panggung.
Meski ada sedikit gangguan dari suara speaker ballroom yang masih memutarkan musik-musik hotel, namun hal itu teratasi di komposisi berikutnya. Setelah diberikan staccato-staccato dari Turkish March, Children's Prayer from Hansel and Gretel yang mendayu menjadi komposisi kedua. Disambung dengan Come Back to Sorrento milik Ernesto De Curtis yang menjadi akhir penampilan mereka. Phrasing dan dinamika yang lebih jelas tentu akan membuat audiens lebih merasakan ambiance dari komposisi ini.
Penampil anak-anak digantikan oleh kakak beradik Shienny Kurniawati (Harpa) dan Finna Kurniawati (Violin) yang membawakan Romanza Andaluza milik Pablo de Sarasate. Finna memainkan melodi dengan ekspresif. Kolaborasi Harpa dari Shienny membuat ini cukup menjadi tantangan, karena rancak komposisi ini membutuhkan tempo dan ritmis yang lincah.

Baroque Flamenco ditampilkan oleh Shienny dengan cukup mengesankan. Ini agak membuat saya deja vu. Saya pernah menyaksikan Maya Hasan memainkan komposisi yang sama dan di lokasi yang sama tahun lalu. Irama cepat bernuansa Flamenco tentu menuntut teknik permainan yang tidak mudah. Komposisi ini juga meminta banyak ketukan pada soundboard dan arpeggio lincah agar nuansa Flamenco dapat dipertahankan. Saya membayangkan, jika saya berada di posisi yang lebih depan, saya tentu akan lebih merasakan nuansa flamenco ini.
Baru sebulan lalu saya menikmati permainan Cello Ade Sinata dengan Cascade Trio, kali ini ia hadir bersama dengan Glenn Bagus dan Finna Kurniawati. Ini pertama kalinya, dan sejujurnya saya cukup tertarik bagaimana hasil kolaborasi mereka. Finna dan Ade saya ketahui sebagai performer yang sama-sama ekspresif. Membentuk kolaborasi dalam waktu singkat memang tidak mudah. Namun profesionalitas mereka mampu mengatasi komposisi. Meski saya akan cenderung untuk memilih Ade di dalam Cascade, juga Finna dan Glenn yang bermain solo.

Intermession memberi kesempatan pada sebagian besar audiens yang merasa suhu ruang terlalu dingin untuk keluar dari ballroom. Setelah break usai, Piano Quintet Op. 44 milik Robert Schumann menjadi sajian berikutnya. Glenn Bagus, Finna dan Shienny Kurniawati, Ade Sinata dan Michael Adi Tjandra membahu menampilkan komposisi ini bersama. Karya jagoan Schumann untuk musik kamar ini menampilkan nuansa romantik ala Schumann yang selalu menuntut berbagai teknik dan dinamika. Performer ditantang untuk membuat bunyi piano menonjol dengan keempat instrumen string mengingat Schumann sedang ingin menciptakan bunyi piano dengan ekspresif ketika mencipta komposisi ini. Seringkali pula terdengar berbagai eksplorasi tema yang menarik. Movement ke-dua menjadi favorit saya. Silence di antara phrase yang lebih luas memberi ruang berpikir yang menarik sebelum kembali digeber dengan running-running notes. Tema yang diberikan Schumman pun menarik dan berbeda.

Komposisi ciptaan sang pianis, The Passion, menjadi penutup dari keseluruhan pertunjukan. Selain mengantar audiens beranjak dengan karya yang easy-listening, penutupan itu sesuai dengan tema yang diberikan. Menyumbangkan sesuatu untuk kemanusiaan dengan berbagai cara, lebih-lebih dengan passion, adalah sebentuk kesempatan yang luar biasa. Para performer membagikan semangat itu pada audiens melalui musik yang mereka sajikan.
Published on October 24, 2015 18:30
October 21, 2015
Permohonan Maaf Pembatalan Acara Goodreads Surabaya tanggal 24 Oktober 2015.
Sebagai seorang biasa, teman-teman tim Goodreads Indonesia regional Surabaya yang merelakan waktu, tenaga, pikiran, bahkan materi di balik terselenggaranya acara-acara literasi selama ini selalu berharap setiap acara akan berjalan seperti harapan. Lancar, tak terkendala apa pun hingga akhir. Tentunya, dengan tujuan besar untuk dapat memberi manfaat pada audiens dan turut meramaikan semangat literasi yang kami yakini akan mampu membawa setiap orang untuk menjadi lebih baik.Tapi, bukan hal besar jika dalam perjalanannya selalu mudah dan sesuai harapan. Kami sering mengalami kendala. Mencari lokasi, kas yang terbatas, bahkan melobi nara sumber/pembicara. Beberapa tahun belakangan, ketika acara-acara yang disusun menjadi kenyataan adalah karena izin Pencipta yang mempertemukan kami dengan pihak-pihak yang bersedia mendukung acara kami. Tentu saja sifat komunitas kami yang non profit, tidak semua pihak bisa memberi support. Ternyata materi bukan satu-satunya kendala. Kami sempat tegang luar biasa karena salah seorang pembicara kami nekat hadir dengan kondisi jiwa yang terancam terkait dengan suatu isu yang sedang hangat saat itu. Beliau menyamar, hadir tanpa pengawalan, dan berkata “Saya sih sudah siap mati. Yang saya khawatirkan cuma acara (kalian).” Kami mengapresiasi dan sangat tersentuh dengan ucapan beliau saat itu. Beruntung, acara berlangsung lancar hingga akhir. Nara sumber yang lain pun seringkali rela hadir dari jauh, menyelipkan mengisi acara kami di tengah jadwal aktivitas sehingga mesti berlari-lari mengejar waktu, dan banyak pengorbanan lainnya. Itu sejujurnya yang membuat semangat kami terus terungkit. Karena kami tahu, begitu banyak orang lain yang bersedia bergandengan tangan dengan kami untuk membuat literasi menjadi suatu hal yang penting dan menyenangkan. Baik dukungan lokasi acara, media, dan teman-teman komunitas lain yang juga memiliki semangat yang sama.Failure is the condiment that gives success its flavor.Seperti ucapan Truman Capote, penulis Amerika yang tersohor karena novelnya, Breakfast at Tiffany’s dan In Cold Blood, tidak semua acara yang kami susun sepenuhnya berhasil. Tentu masih banyak kekurangan, maupun dengan sangat terpaksa kami batalkan. Seperti kali ini. Acara bulan ini, Sabtu, 24 Oktober 2015 yang dijadwalkan akan kami adakan di Perpustakaan Medayu Agung, dengan begitu banyak pertimbangan akhirnya kami memutuskan untuk membatalkannya. Tentu ini menjadi hal yang begitu berat kami putuskan, karena publikasi telah menyebar luas melalui media sosial, dan kami telah berusaha maksimal untuk mempertahankannya. Banyak yang kecewa, banyak yang menyayangkan. Namun kami menghargai sepenuhnya keputusan bijaksana dari nara sumber. Mengingat adanya berbagai faktor eksternal yang secara detail tak dapat kami jelaskan, membuat kami dan nara sumber tak punya pilihan selain membatalkannya. Semangat kami boleh masih menggebu untuk mempertahankan berlangsungnya acara ini, namun pertimbangan kebaikan untuk semua pihak memang semestinya lebih utama.Dengan kekecewaan yang sama besarnya dengan calon audiens, kami, tim Goodreads Surabaya memohon maaf sebesar-besarnya untuk pembatalan acara kali ini. Juga kami kirimkan ucapan terima kasih banyak dan apresiasi tinggi untuk teman-teman yang telah berniat hadir, media partner, dan Perpustakaan Medayu Agung. Terima kasih untuk semua pemakluman yang diberikan. Kami berharap besar pembatalan ini tak menghalangi keinginan teman-teman untuk hadir kembali di acara-acara kami berikutnya. Mari sama-sama menumbuhkan semangat membaca, karena Baca Itu Seru! Sampai bertemu di acara-acara berikutnya!
Salam hangat,Nabila Budayana
Koordinator Goodreads Indonesia regional Surabaya
Salam hangat,Nabila Budayana
Koordinator Goodreads Indonesia regional Surabaya
Published on October 21, 2015 00:46
October 5, 2015
Pertemuan Musik Surabaya : Cascade Trio
"The trio is a bit frightening at first glance, but it is not really that difficult to perform: seek and you shall find!” - Felix Mendelssohn
"Bulan depan Cascade Trio."
Di tengah obrolan akhir Agustus lalu, Mbak Gema Swaratyagita memberikan bocoran acara berikutnya dari Pertemuan Musik Surabaya.
Pertemuan kedua saya dengan Cascade Trio terjadi Senin lalu, 28 September 2015. Sebelumnya, setahun lalu, saya sempat menonton pertunjukan mereka, juga di Surabaya. Berbeda dengan pengalaman sebelumnya di mana saya datang terlambat dan mendapatkan seat terbelakang, kali ini saya lebih tepat waktu. Partner nonton saya kali ini pun istimewa. Hanya bisa didatangkan setahun sekali dari Denver, Colorado. Kebetulan guru musik saya sedang berlibur tahunan ke Indonesia, jadi saya tak panjang pikir untuk mengajaknya bergabung menonton.
Di Senin terakhir di September, setelah kelas, kami meluncur ke Melodia untuk mengikuti workshop pasif. Di luar perkiraan, kami hadir terlalu awal dan workshop menarik ini minim peserta. Mengingat jumlah peserta yang sedikit, kami bisa mendapat seat paling depan untuk leluasa menyimak workshop peserta aktif. Peserta workshop aktif akan tampil juga di malam hari di sela program yang ditampilkan Cascade Trio. Tim quartet dari Sendratasik Unesa String Quartet mendapatkan kesempatan pertama untuk workshop. Para pemain string muda ini telah mendapat workshop intensif sehari sebelumnya di tempat yang berbeda. Mereka membawakan Quartetto 46 op. 33 No. 1, 1st movement dari 'sang empunya' quartet gesek, Joseph Haydn. Harapan timbul dengan adanya bibit string quartet baru yang masih segar. Namun bibit-bibit baru potensial ini mesti dipoles dan diberi kesempatan kembali untuk menjadi sebuah 'hasil jadi'. Kesiapan secara teknis, kematangan dalam membawakan komposisi, komunikasi antar performer dan rasa percaya diri menjadi hal yang secara umum perlu diperhatikan. Dibimbing oleh Danny Ceri dan Ade Sinata, mereka banyak ditekankan pada menciptakan padu antar instrumen, phrasing, bowing, dinamika, rhytm, juga pembiasaan pada sebuah ruang konser yang besar. Kedua mentor memberikan berbagai saran, terutama tentang keyakinan dalam menampilkan komposisi. Keempat personil pun berusaha maksimal dalam menyerap dan memperbaiki kualitas penampilan.
Airin Efferin kebagian untuk membimbing dua pianis muda yang memainkan sebuah komposisi 4 tangan. Kedua peserta, Lisa Angelia dan Aubrey Ruby tampak telah siap dengan komposisi yang mereka bawakan. Tak heran, Airin memuji perkembangan mereka karena telah memperbaiki begitu banyak hal yang ia sarankan untuk menyempurnakan penampilan. Airin terlihat begitu ekspresif dalam memberikan workshop. Kedua pianis diberikan berbagai saran upaya perbaikan dari sisi mood, ekspresi, komunikasi dan kerja sama satu sama lain, beberapa teknis yang berkaitan dengan phrasing, bahkan posisi tumpuan duduk. Tak lama kemudian workshop diakhiri.
Membawa partner workshop yang tepat, saya pun diberikan begitu banyak masukan dari guru di sebelah saya. Meski hanya peserta pasif, saya belajar banyak hari itu. Begitu akan beranjak pulang, kami sempat menyapa dan berbincang singkat dengan Airin Efferin. Karena waktu hanya tersisa beberapa jam dari waktu konser di malam hari, begitu workshop selesai, Cascade Trio berlanjut untuk melakukan latihan.
Kami kembali di malam harinya untuk menikmati puncak acara. Konser chamber music dari Cascade Trio dan peserta workshop cukup ramai oleh penikmat musik. Puluhan audiens memenuhi ruang konser Wisma Musik Melodia Surabaya. Kali ini audiens cukup tertib dalam menikmati pertunjukan, sehingga fokus dapat sepenuhnya diberikan pada penampil.
Pertunjukan kali ini menjadi lebih menarik bagi saya, karena adanya kesempatan untuk menonton peserta workshop terlebih dahulu sebelumnya. Tentu ambience ketika workshop dan konser akan sangat berbeda. Penampil dan sebagian penonton memiliki kesempatan untuk menikmati keduanya. Panggung menjadi milik duo pianis, Lisan Angelia dan Aubrey Ruby dengan Sonata for Four Hand milik Francis Poulenc terlebih dahulu. Terlihat bahwa mereka sudah terbiasa untuk tampil di depan umum, sehingga kualitas penampilan mereka cukup terjaga. Berbagi tuts piano dengan pianis lain untuk membahu menampilkan satu komposisi yang sama memang tak mudah. Tentu komunikasi satu sama lain akan sangat berperan. Saya rasa komposisi ini akan jauh lebih menarik ketika duo pianis ini lebih menikmati melodi yang dihasilkan dan memberikan fokus lebih pada interpretasi serta penyampaian musik pada audiens. Not-not yang repetitif yang khas dan dinamika yang menarik sesungguhnya mampu menampilkan rasa ceria dan pengalaman mendengarkan yang menyenangkan bagi penonton.
String Quartet dari UNESA yang diisi oleh Ridwan Alwy, Rendi Fakhrudin, Dwi Rendra Sugiatma dan Mardha Putra memutuskan untuk memberi kejutan dengan menampilkan bukan hanya Haydn, namun juga Mozart. Meski komposisi utamanya adalah Haydn, namun Mozart juga sempat dimainkan ketika sesi workshop. Meski masih terkesan kurang yakin, namun String Quartet ini mencoba sebaik mungkin. Keberanian mereka untuk mencoba berkolaborasi menjadi satu tim quartet patut diberikan apresiasi. Mereka hanya butuh waktu, kesempatan, ketekunan dan jam terbang lebih untuk menjadi Quartet yang menjanjikan.
Cascade Trio masih memikat. Berbeda dengan kali pertama menonton penampilan mereka, saya jauh lebih menikmati pertunjukan kali ini. Airin, Dany dan Ade tampil begitu profesional. Di kesempatan pertama mereka membawakan Piano Trio no.6 op. 22 kepunyaan Felix Mendellsohn (1809-1847) yang terdiri dari empat movements. Cascade Trio juga menghadirkan Shostakovich Piano Trio No 1 in C minor op 8 yang banyak bermain di tempo dan karakter. Di antara persiapan mereka di atas panggung sebelum tampil, Ade memecah kecanggungan dengan memberi penjelasan pada penonton tentang partitur yang panjang. Meski ini hal minor, namun menjadi trik yang bagus untuk membangun chemistry dengan penonton bahkan sebelum komposisi dimainkan. Profesionalitas mereka terwujud dengan komunikasi yang terjalin sangat baik. Bahkan saya rasa penonton akan tak begitu menyadari bagaimana mereka bertukar isyarat ketika mesti memulai nada di timing yang sama. Dinamika-dinamika dan bagian-bagian komposisi dihadirkan] jelas dan menghibur. Forte-forte dihadirkan dengan yakin dan ekspresif selalu menjadi bagian favorit saya karena berhasil menampilkan nuansa grande. Saya jadi membayangkan, apabila saya memilih seat paling terbelakang sekali pun, nuansa akan sama didapatkan. Meski cenderung menjadi hal kecil, tapi bagi saya, membaca ekspresi wajah performer ketika memainkan komposisi juga menjadi sebentuk 'kelengkapan' paket hiburan untuk audiens yang juga ingin dimanjakan secara visual. Ekspresi itu dapat ditemukan dari Ade Sinata. Memberikan nada-nada pentatonik, Cascade memutuskan untuk menyajikan Variasi Pelog milik Budi Ngurah yang mereka bawakan ketika menjalani workshop di Spanyol. Sembilan variasi pendek dihadirkan.
Keseriusan, ketekunan, konsistensi dan dedikasi Cascade Trio seakan membuktikan bahwa mereka harus diperhitungkan. Tidak heran ketika mereka menjadi satu-satunya trio dari Indonesia yang berhak menimba ilmu langsung dari Trio Arbos di Spanyol baru-baru ini. Membagikan ilmu pada performer-performer baru adalah sebentuk usaha yang sangat positif. Ini seakan menjadi gambaran investasi Cascade Trio pada perkembangan musik kamar di masa mendatang.
"Bulan depan Cascade Trio."
Di tengah obrolan akhir Agustus lalu, Mbak Gema Swaratyagita memberikan bocoran acara berikutnya dari Pertemuan Musik Surabaya.
Pertemuan kedua saya dengan Cascade Trio terjadi Senin lalu, 28 September 2015. Sebelumnya, setahun lalu, saya sempat menonton pertunjukan mereka, juga di Surabaya. Berbeda dengan pengalaman sebelumnya di mana saya datang terlambat dan mendapatkan seat terbelakang, kali ini saya lebih tepat waktu. Partner nonton saya kali ini pun istimewa. Hanya bisa didatangkan setahun sekali dari Denver, Colorado. Kebetulan guru musik saya sedang berlibur tahunan ke Indonesia, jadi saya tak panjang pikir untuk mengajaknya bergabung menonton.
Di Senin terakhir di September, setelah kelas, kami meluncur ke Melodia untuk mengikuti workshop pasif. Di luar perkiraan, kami hadir terlalu awal dan workshop menarik ini minim peserta. Mengingat jumlah peserta yang sedikit, kami bisa mendapat seat paling depan untuk leluasa menyimak workshop peserta aktif. Peserta workshop aktif akan tampil juga di malam hari di sela program yang ditampilkan Cascade Trio. Tim quartet dari Sendratasik Unesa String Quartet mendapatkan kesempatan pertama untuk workshop. Para pemain string muda ini telah mendapat workshop intensif sehari sebelumnya di tempat yang berbeda. Mereka membawakan Quartetto 46 op. 33 No. 1, 1st movement dari 'sang empunya' quartet gesek, Joseph Haydn. Harapan timbul dengan adanya bibit string quartet baru yang masih segar. Namun bibit-bibit baru potensial ini mesti dipoles dan diberi kesempatan kembali untuk menjadi sebuah 'hasil jadi'. Kesiapan secara teknis, kematangan dalam membawakan komposisi, komunikasi antar performer dan rasa percaya diri menjadi hal yang secara umum perlu diperhatikan. Dibimbing oleh Danny Ceri dan Ade Sinata, mereka banyak ditekankan pada menciptakan padu antar instrumen, phrasing, bowing, dinamika, rhytm, juga pembiasaan pada sebuah ruang konser yang besar. Kedua mentor memberikan berbagai saran, terutama tentang keyakinan dalam menampilkan komposisi. Keempat personil pun berusaha maksimal dalam menyerap dan memperbaiki kualitas penampilan.

Airin Efferin kebagian untuk membimbing dua pianis muda yang memainkan sebuah komposisi 4 tangan. Kedua peserta, Lisa Angelia dan Aubrey Ruby tampak telah siap dengan komposisi yang mereka bawakan. Tak heran, Airin memuji perkembangan mereka karena telah memperbaiki begitu banyak hal yang ia sarankan untuk menyempurnakan penampilan. Airin terlihat begitu ekspresif dalam memberikan workshop. Kedua pianis diberikan berbagai saran upaya perbaikan dari sisi mood, ekspresi, komunikasi dan kerja sama satu sama lain, beberapa teknis yang berkaitan dengan phrasing, bahkan posisi tumpuan duduk. Tak lama kemudian workshop diakhiri.

Membawa partner workshop yang tepat, saya pun diberikan begitu banyak masukan dari guru di sebelah saya. Meski hanya peserta pasif, saya belajar banyak hari itu. Begitu akan beranjak pulang, kami sempat menyapa dan berbincang singkat dengan Airin Efferin. Karena waktu hanya tersisa beberapa jam dari waktu konser di malam hari, begitu workshop selesai, Cascade Trio berlanjut untuk melakukan latihan.
Kami kembali di malam harinya untuk menikmati puncak acara. Konser chamber music dari Cascade Trio dan peserta workshop cukup ramai oleh penikmat musik. Puluhan audiens memenuhi ruang konser Wisma Musik Melodia Surabaya. Kali ini audiens cukup tertib dalam menikmati pertunjukan, sehingga fokus dapat sepenuhnya diberikan pada penampil.
Pertunjukan kali ini menjadi lebih menarik bagi saya, karena adanya kesempatan untuk menonton peserta workshop terlebih dahulu sebelumnya. Tentu ambience ketika workshop dan konser akan sangat berbeda. Penampil dan sebagian penonton memiliki kesempatan untuk menikmati keduanya. Panggung menjadi milik duo pianis, Lisan Angelia dan Aubrey Ruby dengan Sonata for Four Hand milik Francis Poulenc terlebih dahulu. Terlihat bahwa mereka sudah terbiasa untuk tampil di depan umum, sehingga kualitas penampilan mereka cukup terjaga. Berbagi tuts piano dengan pianis lain untuk membahu menampilkan satu komposisi yang sama memang tak mudah. Tentu komunikasi satu sama lain akan sangat berperan. Saya rasa komposisi ini akan jauh lebih menarik ketika duo pianis ini lebih menikmati melodi yang dihasilkan dan memberikan fokus lebih pada interpretasi serta penyampaian musik pada audiens. Not-not yang repetitif yang khas dan dinamika yang menarik sesungguhnya mampu menampilkan rasa ceria dan pengalaman mendengarkan yang menyenangkan bagi penonton.
String Quartet dari UNESA yang diisi oleh Ridwan Alwy, Rendi Fakhrudin, Dwi Rendra Sugiatma dan Mardha Putra memutuskan untuk memberi kejutan dengan menampilkan bukan hanya Haydn, namun juga Mozart. Meski komposisi utamanya adalah Haydn, namun Mozart juga sempat dimainkan ketika sesi workshop. Meski masih terkesan kurang yakin, namun String Quartet ini mencoba sebaik mungkin. Keberanian mereka untuk mencoba berkolaborasi menjadi satu tim quartet patut diberikan apresiasi. Mereka hanya butuh waktu, kesempatan, ketekunan dan jam terbang lebih untuk menjadi Quartet yang menjanjikan.
Cascade Trio masih memikat. Berbeda dengan kali pertama menonton penampilan mereka, saya jauh lebih menikmati pertunjukan kali ini. Airin, Dany dan Ade tampil begitu profesional. Di kesempatan pertama mereka membawakan Piano Trio no.6 op. 22 kepunyaan Felix Mendellsohn (1809-1847) yang terdiri dari empat movements. Cascade Trio juga menghadirkan Shostakovich Piano Trio No 1 in C minor op 8 yang banyak bermain di tempo dan karakter. Di antara persiapan mereka di atas panggung sebelum tampil, Ade memecah kecanggungan dengan memberi penjelasan pada penonton tentang partitur yang panjang. Meski ini hal minor, namun menjadi trik yang bagus untuk membangun chemistry dengan penonton bahkan sebelum komposisi dimainkan. Profesionalitas mereka terwujud dengan komunikasi yang terjalin sangat baik. Bahkan saya rasa penonton akan tak begitu menyadari bagaimana mereka bertukar isyarat ketika mesti memulai nada di timing yang sama. Dinamika-dinamika dan bagian-bagian komposisi dihadirkan] jelas dan menghibur. Forte-forte dihadirkan dengan yakin dan ekspresif selalu menjadi bagian favorit saya karena berhasil menampilkan nuansa grande. Saya jadi membayangkan, apabila saya memilih seat paling terbelakang sekali pun, nuansa akan sama didapatkan. Meski cenderung menjadi hal kecil, tapi bagi saya, membaca ekspresi wajah performer ketika memainkan komposisi juga menjadi sebentuk 'kelengkapan' paket hiburan untuk audiens yang juga ingin dimanjakan secara visual. Ekspresi itu dapat ditemukan dari Ade Sinata. Memberikan nada-nada pentatonik, Cascade memutuskan untuk menyajikan Variasi Pelog milik Budi Ngurah yang mereka bawakan ketika menjalani workshop di Spanyol. Sembilan variasi pendek dihadirkan.

Keseriusan, ketekunan, konsistensi dan dedikasi Cascade Trio seakan membuktikan bahwa mereka harus diperhitungkan. Tidak heran ketika mereka menjadi satu-satunya trio dari Indonesia yang berhak menimba ilmu langsung dari Trio Arbos di Spanyol baru-baru ini. Membagikan ilmu pada performer-performer baru adalah sebentuk usaha yang sangat positif. Ini seakan menjadi gambaran investasi Cascade Trio pada perkembangan musik kamar di masa mendatang.
Published on October 05, 2015 22:28
September 11, 2015
Sebuah Pertanyaan : Tentang Taman Baca Kampung Pemulung
"Memang program mbak ini akan berapa lama? Berapa bulan? Setahun? Dua tahun?"Seorang teman pernah menanyakan hal itu di suatu sore. Saya tak tahu mesti menjawab apa. Ketika melihat ekspresi saya, ia mengatakan bahwa ia khawatir program ini akan menjadi boomerang untuk adik-adik : memberi harapan palsu mendukung pendidikan mereka untuk kemudian meninggalkannya. Saya berterimakasih padanya. Ia mengatakan hal yang selama ini saya takutkan.Tapi kemudian itu menjadi pertanyaan yang berputar di kepala. Berapa lama saya dan teman-teman volunteer akan terus mendampingi perkembangan adik-adik Taman Baca Kampung Pemulung Kalisari Damen Surabaya ? Mendampingi 40 orang anak setiap Jumat bukan hal yang mudah untuk kami. Kami sering multitasking : memberikan soal matematika pada satu anak, menjelaskan cara menjawab soal pada yang lain, memberi kosa kata baru Bahasa Inggris pada yang lebih dewasa, menemani membaca buku cerita pada yang balita. Seluruhnya dilakukan nyaris dalam satu waktu. Belum lagi melerai yang berkelahi, menghimbau untuk merawat buku dan alat tulis dengan baik, menenangkan yang menangis dan yang selalu minta perhatian. Mudah? Tidak.
Hari ini termasuk Jumat yang spesial. Setiap salah satu donatur memutuskan untuk menyalurkan zakatnya pada kami, adik-adik mendapatkan beberapa potong roti di samping susu kotak yang rutin kami bagikan setiap Jumat. Di akhir pertemuan, tanpa dikomando, mereka sudah berbaris, siap menerima susu dan roti. Seringkali saling dorong, berebut ingin dapat lebih dulu. Begitu adik-adik sudah seluruhnya mendapat bagian, makanan dan susu yang berlebih kami bagikan ke warga sekitar musholla. Kami menyebutnya "roadshow" : membagi-bagikan makanan pada warga, menyapa, sekaligus menghimbau jika anak atau cucunya boleh bergabung untuk belajar dan membaca/meminjam buku di musholla setiap Jumat secara gratis. Rutenya pun bergantian, jalan sebelah kanan atau kiri musholla. Kami akan berjalan beramai-ramai sembari mengamati bagaimana kondisi tempat tinggal dan keluarga adik-adik.Saya perlu berterimakasih banyak pada teman-teman volunteer yang luar biasa. Saya selalu terharu membaca ungkapan kangen kalian pada adik-adik ketika berhalangan hadir. Saya kerap merasa bersalah ketika meminta bantuan kalian untuk membeli alat tulis untuk adik-adik, padahal lelah kalian belum kering sehabis pulang kuliah atau kantor. Saya tahu beberapa dari kalian kerap membelah hiruk-pikuk lalu lintas dari ujung Surabaya hanya demi menghabiskan sore bersama adik-adik. Saya juga tahu beberapa dari kalian mesti susah payah menembus izin orang tua. Saya bisa merasakan ketulusan kalian, dan keinginan untuk selalu kembali. Bukan karena hal-hal lain, namun demi adik-adik. Terima kasih.Beberapa dari kalian yang terhalang waktu dan jarak karena kesibukan, saya ingin mengabarkan beberapa berita. Tentang Hakiki yang begitu gemar membuat keributan, hari ini ia begitu tenang dan tekun belajar perkalian. Meski sudah bukan di usia semestinya untuk menghapal tabel perkalian, tapi usahanya membuat saya bahagia luar biasa. Nung yang baru saja khitan minggu lalu, sudah kembali bermain seperti biasa. Amel yang jangkung dan dewasa, sudah mulai bisa membantu kita untuk mengajari adik-adik yang lebih kecil. Trio 'rusuh' Nopal, Reja dan Ali sudah jauh lebih tertib dan tenang. Mereka lebih sering membaca buku, menggambar atau meminta dibacakan cerita. Meski masih suka membuat khawatir karena berlarian mengikuti mobil dan motor kita ketika pulang. Adit dan Rizki masih sering ribut, tapi setidaknya tak sampai saling meninju perut seperti sebelumnya. Yenni yang pernah menangis karena kangen ayahnya, kini berkembang cepat menghapal kosa kata Bahasa Inggris. Biyan yang sebelumnya kita sempat khawatirkan, minggu lalu membuat saya haru. Ia dengan antusias menceritakan tentang roti dan susu yang ia makan bersama adiknya, Sehan. Mudah-mudahan tak ada lagi adik-adik yang memakan singkong bakar dengan kulitnya. Hari ini banyak dari mereka yang melihat pertama kali buku pop-up dengan antusias. Membolak-balik dan memainkan halamannya. Banyak berita lain yang tak tertangkap mata, kiranya. Tapi semuanya berkembang lebih baik. Cukup jauh dari ketika pertama kali kita memulai. Karena itu, terima kasih karena telah turut merasa memiliki taman baca ini. Saya tahu beberapa dari kalian akan tak setuju dengan adanya tulisan ini, karena ada kekhawatiran adanya kesan 'menjual kesedihan'. Bukan. Ini bentuk berbagi kebahagiaan dan rasa syukur. smile emoticon
Terlalu banyak harapan yang kami inginkan dari program ini. Meski dimulai dari hal-hal kecil, namun mudah-mudahan akan berdampak pada peningkatan kualitas pendidikan, literasi dan kesehatan adik-adik. Seandainya hanya sedikit bermanfaat pun tak apa. Kami akan terus mencoba yang terbaik.Jika ditanya, "Sampai kapan?" Biarkan kami menjawab dengan langkah kami yang selalu ingin kembali.
-Nabila Budayana-
Hari ini termasuk Jumat yang spesial. Setiap salah satu donatur memutuskan untuk menyalurkan zakatnya pada kami, adik-adik mendapatkan beberapa potong roti di samping susu kotak yang rutin kami bagikan setiap Jumat. Di akhir pertemuan, tanpa dikomando, mereka sudah berbaris, siap menerima susu dan roti. Seringkali saling dorong, berebut ingin dapat lebih dulu. Begitu adik-adik sudah seluruhnya mendapat bagian, makanan dan susu yang berlebih kami bagikan ke warga sekitar musholla. Kami menyebutnya "roadshow" : membagi-bagikan makanan pada warga, menyapa, sekaligus menghimbau jika anak atau cucunya boleh bergabung untuk belajar dan membaca/meminjam buku di musholla setiap Jumat secara gratis. Rutenya pun bergantian, jalan sebelah kanan atau kiri musholla. Kami akan berjalan beramai-ramai sembari mengamati bagaimana kondisi tempat tinggal dan keluarga adik-adik.Saya perlu berterimakasih banyak pada teman-teman volunteer yang luar biasa. Saya selalu terharu membaca ungkapan kangen kalian pada adik-adik ketika berhalangan hadir. Saya kerap merasa bersalah ketika meminta bantuan kalian untuk membeli alat tulis untuk adik-adik, padahal lelah kalian belum kering sehabis pulang kuliah atau kantor. Saya tahu beberapa dari kalian kerap membelah hiruk-pikuk lalu lintas dari ujung Surabaya hanya demi menghabiskan sore bersama adik-adik. Saya juga tahu beberapa dari kalian mesti susah payah menembus izin orang tua. Saya bisa merasakan ketulusan kalian, dan keinginan untuk selalu kembali. Bukan karena hal-hal lain, namun demi adik-adik. Terima kasih.Beberapa dari kalian yang terhalang waktu dan jarak karena kesibukan, saya ingin mengabarkan beberapa berita. Tentang Hakiki yang begitu gemar membuat keributan, hari ini ia begitu tenang dan tekun belajar perkalian. Meski sudah bukan di usia semestinya untuk menghapal tabel perkalian, tapi usahanya membuat saya bahagia luar biasa. Nung yang baru saja khitan minggu lalu, sudah kembali bermain seperti biasa. Amel yang jangkung dan dewasa, sudah mulai bisa membantu kita untuk mengajari adik-adik yang lebih kecil. Trio 'rusuh' Nopal, Reja dan Ali sudah jauh lebih tertib dan tenang. Mereka lebih sering membaca buku, menggambar atau meminta dibacakan cerita. Meski masih suka membuat khawatir karena berlarian mengikuti mobil dan motor kita ketika pulang. Adit dan Rizki masih sering ribut, tapi setidaknya tak sampai saling meninju perut seperti sebelumnya. Yenni yang pernah menangis karena kangen ayahnya, kini berkembang cepat menghapal kosa kata Bahasa Inggris. Biyan yang sebelumnya kita sempat khawatirkan, minggu lalu membuat saya haru. Ia dengan antusias menceritakan tentang roti dan susu yang ia makan bersama adiknya, Sehan. Mudah-mudahan tak ada lagi adik-adik yang memakan singkong bakar dengan kulitnya. Hari ini banyak dari mereka yang melihat pertama kali buku pop-up dengan antusias. Membolak-balik dan memainkan halamannya. Banyak berita lain yang tak tertangkap mata, kiranya. Tapi semuanya berkembang lebih baik. Cukup jauh dari ketika pertama kali kita memulai. Karena itu, terima kasih karena telah turut merasa memiliki taman baca ini. Saya tahu beberapa dari kalian akan tak setuju dengan adanya tulisan ini, karena ada kekhawatiran adanya kesan 'menjual kesedihan'. Bukan. Ini bentuk berbagi kebahagiaan dan rasa syukur. smile emoticon
Terlalu banyak harapan yang kami inginkan dari program ini. Meski dimulai dari hal-hal kecil, namun mudah-mudahan akan berdampak pada peningkatan kualitas pendidikan, literasi dan kesehatan adik-adik. Seandainya hanya sedikit bermanfaat pun tak apa. Kami akan terus mencoba yang terbaik.Jika ditanya, "Sampai kapan?" Biarkan kami menjawab dengan langkah kami yang selalu ingin kembali.
-Nabila Budayana-
Published on September 11, 2015 05:40
September 6, 2015
Dari Bunyi ke Kata : Workshop Menulis Peristiwa Musik oleh Erie Setiawan
"Tuhan mengkodratkan orang jelas sedikit, yang tidak jelas lebih banyak."
Tajam, dalam, menohok. Meski kritiknya dalam dunia musik sering mengena, seorang musikolog, Erie Setiawan nyatanya mampu menampilkan dirinya dalam suasana santai. Dari Bunyi ke Kata. Sebuah workshop yang diselenggarakan oleh Pertemuan Musik Surabaya di penghujung Agutsus 2015 ini dibagi ke dalam dua bagian. Hari pertama, 30 Agustus 2015 untuk workshop penulisan peristiwa musik secara umum, hari kedua, 31 Agustus 2015 dikhususkan bagi peserta workshop yang telah mengirimkan tulisan.
Belum pernah terpikirkan dalam kepala saya bahwa 'ruang belajar' ini ada. Saya kira bidang ini masih begitu terbatas dan hanya sederet manusia yang menekuninya di Indonesia. Tanpa perlu berpikir panjang, saya memutuskan untuk mendaftar. Selama ini Erie Setiawan saya ketahui sebagai sosok di balik penerbitan buku-buku musik Art Music Today. Penerbit ini telah cukup banyak melahirkan berbagai tulisan tentang musik dari berbagai pakar. Di antaranya Slamet Abdul Sjukur dan Vincent McDermott.
Ketika saya hadir di waktu yang ditentukan, workshop ini cenderung sepi. Rupanya peserta banyak yang belum hadir. Jadi saya memutuskan untuk berkeliling mengintip punggung-punggung buku di perpustakaan C20 saja. Setelah puas membolak-balik beberapa halaman koleksi Kundera, Pamuk, dan koleksi-koleksi lain yang membuat iri, saya segera beranjak menuju ruang bagian belakang perpustakaan, lokasi workshop diadakan.
Di depan peserta sudah disambut oleh berbagai CD dan buku-buku produksi Art Music Today, juga beberapa modul dari Pertemuan Musik Surabaya yang dijual dengan harga sangat murah. Cukup lama saya 'tertahan' di meja itu, sampai saya kira lebih baik menunggu di dalam lokasi saja. Secara penataan, tak ada yang 'spesial' dari workshop ini. Hanya tikar yang digelar nyaris menutupi seluruh ruangan baru C20 library dan sebuah LCD yang sudah siap menampilkan slide. Tapi justru itu menjadi menyenangkan. Workshop ini jadi membumi dan tak terkesan formal. Pembelajar dan pemberi materi duduk sama tinggi, peserta bisa duduk santai dan menerima materi tanpa tuntutan formalitas apa-apa. Selayaknya satu ruang diskusi yang tak perlu sekat apa pun.
Hanya perlu menunggu beberapa saat yang saya isi dengan membaca sekilas modul, sampai akhirnya peserta terkumpul dan Erie Setiawan siap membagikan materi. Peserta yang hadir cukup banyak untuk acara ini. Lebih dari dua puluh orang menyimak dalam beberapa jam. Lalu apa yang dilakukan Erie Setiawan dalam mengubah dari bunyi ke kata?
Bagi Erie, kita selalu membutuhkan sesuatu yang bisa direkam untuk menjadi bahan refleksi orang lain, termasuk musik. Meski musik tanpa kata-kata sudah berbicara, namun tetap ada tugas untuk mengubah bunyi ke fakta. Tulisan menjelaskan sesuatu yang tidak mampu dilakukan oleh bunyi. Dalam praktisnya, Michael Tenzer, seorang composer dan music educator Amerika yang memiliki keterikatan kuat dengan Gamelan, membagi musik di seluruh dunia menjadi 20 jenis. Bahkan penggambaran jenis musik dari Tenzer pun hanyalah sebatas permukaan dari betapa luasnya wilayah musik yang ada di dunia. Sedangkan kita, hanya mendengar musik yang begitu terbatas dalam keseharian.
Sejak kapan bunyi dikonversi ke kata? Sejarahnya, sejak abad ke-18, seorang komposer zaman Barok, Charles Avison (1709-1770) menuliskan esai kritik musik yang diawali dari pergulatan pemikirannya, kemudian diikuti dengan reportase peristiwa musiknya. Di zaman tersebut, lebih banyak yang membicarakan tentang musik vokal. Pembahasan tentang musik instrumental baru dimulai 500 tahun kemudian. Di abad ke-19, Ernst Theodor Amadeus Hoffman dan Robert Schumann mendalami dunia kritik musik. Dari beberapa contoh tokoh-tokoh yang disebutkan, ruang profesi kritikus banyak diisi oleh pemusik. Eduard Hanslick, seorang kritikus musik dari Jerman di abad ke-19 memberikan pencerahan tentang hal apa saja yang perlu diperhatikan dalam melakukan kritik musik melalui "On Musical Beauty". Seperti hal-hal lainnya di dunia, perdebatan tentang subjektifitas kritik musik juga yang membuat Wagner dan Brahms berbeda pandangan. Wagner berpendapat bahwa musik mesti diekspresikan secara kontekstual, memiliki muatan cerita di dalamnya. Sementara Brahms berada di sisi sebaliknya, bahwa musik adalah sebentuk ekspresi yang mengalir apa adanya.
Paris Hector Berlioz di abad yang sama, melambung dengan karya-karyanya untuk jurnal musik. Hingga di abad 20 kritik musik berkembang dengan pesat, terutama dengan lahirnya teknologi internet yang memungkinkan siapa saja untuk menulis. Kenyataan tersebut mesti dihadapi dengan sikap selektif. Kita harus memilih informasi yang kredibel dan tepat. Meski begitu, terdapat sisi ironi yang lain. Kritik musik di Indonesia semakin ditinggalkan, semakin banyak yang tidak peduli. Walaupun jurnalisme musik semakin berkembang, namun kebanyakan condong pada musik populer yang mainstream. Beberapa nama yang aktif menjadi reviewer dan katalog musik antara lain Denny Sakrie, Bens Leo dan Adib Hidayat. Namun beberapa nama konsisten untuk memilih 'jalur' yang berbeda : Slamet Abdul Sjukur, Suka Hardjana, Remy Silado, Harry Roesli yang menampilkan musik dengan sisi intelektual. Di luar negeri kritik musik lebih hidup salah satunya ditunjukkan dengan adanya Liner Note, sebuah review panjang dari kritikus yang dicantumkan dalam CD musik.
Lantas, seberapa pentingkah tulisan tentang musik? "Tidak penting bagi yang tidak mengerti tentang musik." Begitulah Erie Setiawan mengutip ucapan Slamet Abdul Sjukur. Tidak semua orang butuh, namun bersifat penting bagi yang mengerti tentang musik. Musik adalah budaya. Jika bicara tentang budaya, kita harus meninggalkan jejak-jejak untuk refleksi diri. Itu menunjukkan betapa pentingnya tulisan tentang musik.
Dalam musik, terdapat beberapa bidang yang dapat dipelajari lebih dalam : - Musikologi- Performing Studies- Cultural Studies of Music- Interdiciplinary Studies Concentration in Music
Secara praktis, sebab-sebab mengapa musik harus dituliskan antara lain : - Memberi informasi kronologis peristiwa musik- Media Promosi- Media untuk berdialog dengan publik- Meningkatkan pengetahuan dan apresiasi musik- Pemberitahuan media massa- Kepentingan studi atau forum- Menemukan pandangan atau teori baru tentang musik- Sebagai tugas kuliah, penelitian, penerbitan- Panduan untuk menjelaskan teknik dan seluk-beluk permainan musik
Tulisan-tulisan tentang musik mewujud dalam berbagai bentuk : - Reportase. Jelas dibutuhkan kelengkapan elemen 5W+1H pada tulisan jenis ini.- Resensi. Mengupas berbagai karya, seperti buku, rekaman musik, jurnal musik- Esai. Bersifat reflektif dan informatif. - Kritik Musik. Dalam wujudnya, ia lebih spesifik daripada esai. Dalam membuat kritik, bijaklah dalam menuliskan. Kritik yang perlu, jangan mengada-ada. Dapatkan pengalaman empiris dari pertunjukan musik sebelum melakukan pembahasan. Lakukan juga wawancara, referensi atau komparasi yang pas. Temukan angle yang tepat agar tajam. Meski begitu kritik juga harus bersifat apresiatif, agar tak menjadi boomerang. Biarkan kritik musik menjadi opini publik dengan membiarkan pembaca yang menilai fakta- Analisa Musik- Buku atau Hasil Penelitian Musik
"Apa yang kita tulis hari ini tidak harus selalu bermanfaat hari ini."
Erie Setiawan juga mengutarakan opininya tentang adanya genre dalam musik. Genre baginya adalah hasil fanatisme. Yang perlu digarisbawahi, menjadi seorang penulis sebaiknya bersikap netral. Mengingat begitu luasnya dunia musik untuk dituliskan. Boleh merasa suka atau tidak suka terhadap suatu jenis musik, namun jangan sampai anti. Kemudian timbul pertanyaan siapa saja yang bisa menuliskan musik? Apa harus selalu seorang pemusik? Erie menjawab diplomatis. Bahwa penulis peristiwa musik harus mampu memainkan alat musik. Cukup menjadi pencinta musik dan mengalami langsung pengalaman empirisnya dalam menikmati musik. Musikologi empiris merupakan pengalaman mendengar musik yang bisa disadari sebagai pengetahuan. Dalam menulis musik, tidak harus selalu terpatok pada apa yang terlihat (pertunjukan), namun juga apa yang tak disaksikan oleh audiens. Misalnya persiapan backstage, proses latihan, dan sebagainya. Sedangkan Musikologi adalah wawasan musikal yang telah ada sejak 130 tahun yang lalu. Dalam bidang ini, sudah ada pendidikan tingkat sarjana hingga doktoral.
Dalam menghadiri pertunjukan music concert di mana kita tak mengerti komposisi apa saja yang akan dimainkan, Erie menyarankan penulis untuk datang dengan bekal. Setidaknya mempelajari tentang latar belakang sejarah komposer terlebih dahulu. Namun bukan berarti hal tersebut akan menyempitkan interpretasi kita ketika menikmati pertunjukan. Mencoba berbagai perspektif yang berbeda untuk menuliskan berbagai jenis musik tentu juga akan menarik. Misalnya mengkritik pertunjukan music concert dari sudut pandang musik rock.
"Seniman bisa muncul karena ada yang menuliskannya."
Serupa dengan jenis penulisan yang lain, dalam menuliskan peristiwa musik, kita mesti cermat menentukan angle. Sebagai pertimbangan, mesti diketahui sasaran pembaca yang kita tuju. Dengan begitu, kita bisa menyesuaikan judul, gaya bahasa, penyampaian, dan faktor-faktor lain yang menunjang agar tulisan kita mampu diterima dengan baik oleh pembaca. Misalnya ketika penulis akan mengirimkan karya tulis ke media. Media begitu menitikberatkan penilaian pada opini yang otentik. Bagaimana cara mendapatkannya? Tulis dulu apa yang ada di dalam kepala, setelah itu lakukan kroscek tentang referensi. Yang terpenting adalah jujur dengan pengetahuan yang kita miliki.
Dalam menekuni karir menulis peristiwa musiknya selama dua belas tahun belakangan, Erie memulainya dengan belajar secara otodidak. Dalam perjalanannya, tentu tak begitu saja dijalani dengan mudah. Meski memiliki latar belakang pendidikan formal musik, namun dalam karirnya, Erie Setiawan mengalami kesusahan di lima tahun pertama. Namun ia terus konsisten untuk menulis dan belajar dari kesalahan. Konsistensi begitu penting mengambil peran dalam bidang penulisan.
Salah satu hal yang terpenting dari sebuah karya adalah ide, juga tulisan. Gaya penyampaian yang tidak bertele-tele, pandai mengatur napas pembaca, menemukan komposisi yang tepat agar tak terlalu sederhana maupun berlebihan adalah beberapa hal yang mesti diperhatikan. Jika sudah baik, barulah tulisan tersebut menemukan fungsinya.
Dalam menghasilkan tulisan yang baik, tentu tak bisa ditinggalkan bahan-bahan referensi untuk memperkaya ide. Bidang ini masih belum banyak digeluti di Indonesia. Oleh karenanya Erie memilih untuk mengakses referensi dari luar negeri. Seperti membeli buku impor, mengakses e-book, jurnal musik, dan lain sebagainya. Kamus musik pun diwajibkan Erie untuk menemukan arti dari istilah-istilah yang digunakan. Informasi yang bagus berasal dari sumber yang bagus pula. Pada intinya, sebuah tulisan harus berhasil membuat pembaca paham. Dalam menggunakan referensi, banyak yang harus diperhatikan. Misalnya bahwa tidak semua karya tulis terbitan lama tidak up to date, karena cukup banyak yang masih relevan. Perhatikan siapa yang menulis dan menerbitkan karya yang akan kita jadikan bahan referensi. Lakukan juga pemilihan sub-bab buku yang kita butuhkan, catat inti dari tulisan, buat review-nya, dan diskusikan. Sebuah rangkuman yang baik adalah rangkuman hasil refleksi diri kita sendiri, bukan hasil kutipan. Demi meluaskan pandangannya, Erie Setiawan tak hanya mengakses referensi-referensi musik, ia melahap referensi dari bidang lain pula. Baginya, terkadang orang membutuhkan informasi di luar 'wilayah'nya. Hal tersebut menjadikan tulisan-tulisannya luas dan beragam. Misalnya ia kerap mendapat inspirasi tentang prosa dari karya-karya Linus Suryadi dan belajar tentang logika dan metaforik dari Emha Ainun Nadjib.
Komposisi subjektifitas penulis dalam tulisan peristiwa musik begitu penting. Namun berapa porsi yang baik? Subjektifitas hanya diperkenankan maksimal kurang lebih 60 persen dari keseluruhan tulisan yang berimbang. Meski interpretasi boleh beragam, namun selalu ada batasan hal-hal 'pakem' yang tidak boleh menghasilkan interpretasi beragam di kepala pembaca. Karena itu ketika penulis mengalami pengalaman menonton langsung pertunjukan, dengarkan dan tonton secara mendalam. Deep listening, deep seeing. Bagaimana ekspresi performer, faktor bunyi, dan begitu banyak hal lain yang mesti diperhatikan dengan saksama. Kejelian dalam mengambil sudut pandang pun sangat menentukan hasil tulisan. Bedakan musik mana yang baik dibahas konteksnya, mana musik yang mesti dibahas secara teks. Erie memisalkan dengan pertunjukan musik yang dilakukan oleh teman-teman penyandang disabilitas, penampilan penyanyi dangdut yang erotis, atau grup Merah Bercerita yang membawa pesan sosial tertentu. Tentu saja akan lebih menarik membahasnya dari sisi sosial, secara konteks.
Dalam mengamati sebuah pertunjukan, penulis perlu tahu tentang adanya Komunikasi Struktural dan Komunikasi Emosional yang dilakukan oleh penampil. Komunikasi Struktural adalah komunikasi antara pemusik dengan karyanya, sedangkan Komunikasi Emosional merupakan komunikasi antara penampil dengan penonton. Bagi Erie, musisi belum istimewa jika masih memberi kerumitan pada penonton. Secanggih apa pun ia ketika memainkan musik, ketika berhadapan dengan penonton ia harus 'membumi' memperhatikan penonton. Berbeda dengan pertunjukan musik, jika ingin meliput workshop musik setidaknya pelajari teknis instrumen terlebih dahulu.
Sebaik-baiknya seorang penulis selalu akan ada tanggapan negatif. Oleh karena itu Erie mengingatkan bahwa dalam menulis kita mesti siap untuk menghadapi risiko dibenci, dianggap sok tahu, berkurang teman, dan sebagainya. Namun dengan konsistensi dan tak berhenti, lama kelamaan khalayak akan mampu menerima kehadiran karya kita.
Menanggapi pertanyaan tentang iklim penulisan musik di Surabaya, Erie menjawab bahwa Surabaya hanya belum memiliki saatnya. Sungguh tak adil jika membandingkan kota ini dengan kota lainnya, di mana pertunjukan musik jauh lebih sering diselenggarakan. Indikator kualitas tidak selalu ditentukan dengan banyaknya event yang diselenggarakan.
"Serius menulis musik ada peluang, yang tidak serius juga ada peluang : peluang kehancuran."
Materi hari pertama begitu menggugah, membawa peserta workshop ke hari kedua. Kali ini suasana cenderung 'agak menegangkan' karena karya masing-masing peserta dikupas dan dikomentari oleh Mas Erie Setiawan. Berbeda dengan hari pertama yang lebih bersifat teori, hari kedua justru sangat praktis. Kami bebas melontarkan pertanyaan maupun sesuatu yang ingin didiskusikan bersama. Dari tulisan-tulisan kami, Mas Erie memberikan cukup banyak masukan terkait hal-hal yang mesti diperhatikan.
Dalam memulai tulisan, judul memiliki peranan yang begitu penting sebagai kalimat pertama yang mengindikasikan isi dan yang menentukan apakah pembaca akan tertarik untuk membaca lebih lanjut. Erie mengingatkan untuk tak membuat judul yang multitafsir. Apabila judul kurang jelas, tidak ada salahnya menambahkan sub judul. Sub judul berguna untuk memberi kelenturan dalam tulisan. Selain itu, usahakan judul dalam bentuk kalimat aktif. Judul menjadi sebegitu penting karena redaktur media akan membaca judul dan paragraf pertama. Dalam isi pun, boleh diselipkan sub judul untuk memberi napas pada pembaca.
Variabel yang tepat sangat menentukan ke mana arah tulisan akan terwujud. Mengutamakan informasi pada pembaca tentu menjadi hal yang utama. Menulislah langsung pada intinya. Kalimat pertama yang 'menembak' membuat pembaca berpikir dan berimajinasi. Sementara kalimat penutup yang optimis atau metaforik maupun reflektif akan lebih menarik. Demi kenyamanan pembaca, usahakan tak lebih dari 10 baris dalam setiap paragraf.
Dalam menulis esai musik dibutuhkan kecermatan yang tinggi dimulai dengan menemukan inspirasi, mewujudkan ide dan menemukan konklusi. Kecermatan pun mesti merasuk hingga hal terkecil : typo. Manusiawi, zero typo adalah hal yang susah, namun tetap mesti diusahakan. Dalam menggunakan istilah, utamakan untuk menggunakan istilah yang baku dalam musik. Tentu saja merujuk pada kamus musik. Istilah-istilah tersebut mesti disertai dengan penjelasan.
Menulis adalah masalah melatih 'otot', benar adanya. Erie Setiawan menyarankan penulis untuk terus meningkatkan produktifitas. Perlahan dimulai dengan reportase musik, menjadi esai musik, kritik musik, bahkan menjadi buku. Tentunya dengan tetap menyajikan informasi-informasi yang istimewa untuk pembaca. Sebisa mungkin, jangan mengulang informasi. Berikan yang segar dan baru. Bukan hanya informasi, namun juga diperlukan imajinasi untuk menarik perhatian pembaca. Penggunaan terlalu banyak metafora tidak disarankan demi menghindari kaburnya informasi. Maksimal hanya sebanyak 20 hingga 30 persen dari keseluruhan tulisan. Metafora hanya berperan sebagai jembatan untuk menjelaskan informasi.
Penetapan jenis tulisan apa yang akan ditulis sangat penting dilakukan agar tahu apa yang akan disampaikan. Esai musik populer biasanya diperuntukkan untuk media dengan pembaca yang tidak spesifik. Dalam menuliskannya diperlukan siasat pembahasan yang fleksibel. Sedangkan esai ilmiah populer ditujukan untuk media massa dengan pembaca yang lebih spesifik. Reportase bersifat lebih sederhana, mudah dimengerti dan menceritakan pada pembaca tanpa tendensi apa-apa. Perbandingan reportase dan esai adalah reportase tak memerlukan solusi apa-apa, sedangkan esai memerlukan pendekatan studi kasus (case study).
"Yang penting punya gaya menulis yang kita nikmati, dan patut untuk diperjuangkan. Jangan sampai berhenti di rata-rata. Harus berada di garda depan."
Yang diharapkan Erie dari forum ini adalah agar masing-masing peserta mampu bermanfaat bagi diri sendiri dan komunitas. Diharapkan untuk belajar terus menerus, melatih kemampuan diri dan menambah pergaulan.
"Maju terus, berikan informasi musik yang cerdas kepada masyarakat."
Workshop persembahan Pertemuan Musik Surabaya ini begitu menyegarkan. Menginspirasi, mencerahkan, terutama memberi harapan untuk perkembangan musik melalui budaya merekamnya melalui tulisan.
Tajam, dalam, menohok. Meski kritiknya dalam dunia musik sering mengena, seorang musikolog, Erie Setiawan nyatanya mampu menampilkan dirinya dalam suasana santai. Dari Bunyi ke Kata. Sebuah workshop yang diselenggarakan oleh Pertemuan Musik Surabaya di penghujung Agutsus 2015 ini dibagi ke dalam dua bagian. Hari pertama, 30 Agustus 2015 untuk workshop penulisan peristiwa musik secara umum, hari kedua, 31 Agustus 2015 dikhususkan bagi peserta workshop yang telah mengirimkan tulisan.
Belum pernah terpikirkan dalam kepala saya bahwa 'ruang belajar' ini ada. Saya kira bidang ini masih begitu terbatas dan hanya sederet manusia yang menekuninya di Indonesia. Tanpa perlu berpikir panjang, saya memutuskan untuk mendaftar. Selama ini Erie Setiawan saya ketahui sebagai sosok di balik penerbitan buku-buku musik Art Music Today. Penerbit ini telah cukup banyak melahirkan berbagai tulisan tentang musik dari berbagai pakar. Di antaranya Slamet Abdul Sjukur dan Vincent McDermott.
Ketika saya hadir di waktu yang ditentukan, workshop ini cenderung sepi. Rupanya peserta banyak yang belum hadir. Jadi saya memutuskan untuk berkeliling mengintip punggung-punggung buku di perpustakaan C20 saja. Setelah puas membolak-balik beberapa halaman koleksi Kundera, Pamuk, dan koleksi-koleksi lain yang membuat iri, saya segera beranjak menuju ruang bagian belakang perpustakaan, lokasi workshop diadakan.
Di depan peserta sudah disambut oleh berbagai CD dan buku-buku produksi Art Music Today, juga beberapa modul dari Pertemuan Musik Surabaya yang dijual dengan harga sangat murah. Cukup lama saya 'tertahan' di meja itu, sampai saya kira lebih baik menunggu di dalam lokasi saja. Secara penataan, tak ada yang 'spesial' dari workshop ini. Hanya tikar yang digelar nyaris menutupi seluruh ruangan baru C20 library dan sebuah LCD yang sudah siap menampilkan slide. Tapi justru itu menjadi menyenangkan. Workshop ini jadi membumi dan tak terkesan formal. Pembelajar dan pemberi materi duduk sama tinggi, peserta bisa duduk santai dan menerima materi tanpa tuntutan formalitas apa-apa. Selayaknya satu ruang diskusi yang tak perlu sekat apa pun.
Hanya perlu menunggu beberapa saat yang saya isi dengan membaca sekilas modul, sampai akhirnya peserta terkumpul dan Erie Setiawan siap membagikan materi. Peserta yang hadir cukup banyak untuk acara ini. Lebih dari dua puluh orang menyimak dalam beberapa jam. Lalu apa yang dilakukan Erie Setiawan dalam mengubah dari bunyi ke kata?
Bagi Erie, kita selalu membutuhkan sesuatu yang bisa direkam untuk menjadi bahan refleksi orang lain, termasuk musik. Meski musik tanpa kata-kata sudah berbicara, namun tetap ada tugas untuk mengubah bunyi ke fakta. Tulisan menjelaskan sesuatu yang tidak mampu dilakukan oleh bunyi. Dalam praktisnya, Michael Tenzer, seorang composer dan music educator Amerika yang memiliki keterikatan kuat dengan Gamelan, membagi musik di seluruh dunia menjadi 20 jenis. Bahkan penggambaran jenis musik dari Tenzer pun hanyalah sebatas permukaan dari betapa luasnya wilayah musik yang ada di dunia. Sedangkan kita, hanya mendengar musik yang begitu terbatas dalam keseharian.
Sejak kapan bunyi dikonversi ke kata? Sejarahnya, sejak abad ke-18, seorang komposer zaman Barok, Charles Avison (1709-1770) menuliskan esai kritik musik yang diawali dari pergulatan pemikirannya, kemudian diikuti dengan reportase peristiwa musiknya. Di zaman tersebut, lebih banyak yang membicarakan tentang musik vokal. Pembahasan tentang musik instrumental baru dimulai 500 tahun kemudian. Di abad ke-19, Ernst Theodor Amadeus Hoffman dan Robert Schumann mendalami dunia kritik musik. Dari beberapa contoh tokoh-tokoh yang disebutkan, ruang profesi kritikus banyak diisi oleh pemusik. Eduard Hanslick, seorang kritikus musik dari Jerman di abad ke-19 memberikan pencerahan tentang hal apa saja yang perlu diperhatikan dalam melakukan kritik musik melalui "On Musical Beauty". Seperti hal-hal lainnya di dunia, perdebatan tentang subjektifitas kritik musik juga yang membuat Wagner dan Brahms berbeda pandangan. Wagner berpendapat bahwa musik mesti diekspresikan secara kontekstual, memiliki muatan cerita di dalamnya. Sementara Brahms berada di sisi sebaliknya, bahwa musik adalah sebentuk ekspresi yang mengalir apa adanya.
Paris Hector Berlioz di abad yang sama, melambung dengan karya-karyanya untuk jurnal musik. Hingga di abad 20 kritik musik berkembang dengan pesat, terutama dengan lahirnya teknologi internet yang memungkinkan siapa saja untuk menulis. Kenyataan tersebut mesti dihadapi dengan sikap selektif. Kita harus memilih informasi yang kredibel dan tepat. Meski begitu, terdapat sisi ironi yang lain. Kritik musik di Indonesia semakin ditinggalkan, semakin banyak yang tidak peduli. Walaupun jurnalisme musik semakin berkembang, namun kebanyakan condong pada musik populer yang mainstream. Beberapa nama yang aktif menjadi reviewer dan katalog musik antara lain Denny Sakrie, Bens Leo dan Adib Hidayat. Namun beberapa nama konsisten untuk memilih 'jalur' yang berbeda : Slamet Abdul Sjukur, Suka Hardjana, Remy Silado, Harry Roesli yang menampilkan musik dengan sisi intelektual. Di luar negeri kritik musik lebih hidup salah satunya ditunjukkan dengan adanya Liner Note, sebuah review panjang dari kritikus yang dicantumkan dalam CD musik.
Lantas, seberapa pentingkah tulisan tentang musik? "Tidak penting bagi yang tidak mengerti tentang musik." Begitulah Erie Setiawan mengutip ucapan Slamet Abdul Sjukur. Tidak semua orang butuh, namun bersifat penting bagi yang mengerti tentang musik. Musik adalah budaya. Jika bicara tentang budaya, kita harus meninggalkan jejak-jejak untuk refleksi diri. Itu menunjukkan betapa pentingnya tulisan tentang musik.
Dalam musik, terdapat beberapa bidang yang dapat dipelajari lebih dalam : - Musikologi- Performing Studies- Cultural Studies of Music- Interdiciplinary Studies Concentration in Music
Secara praktis, sebab-sebab mengapa musik harus dituliskan antara lain : - Memberi informasi kronologis peristiwa musik- Media Promosi- Media untuk berdialog dengan publik- Meningkatkan pengetahuan dan apresiasi musik- Pemberitahuan media massa- Kepentingan studi atau forum- Menemukan pandangan atau teori baru tentang musik- Sebagai tugas kuliah, penelitian, penerbitan- Panduan untuk menjelaskan teknik dan seluk-beluk permainan musik
Tulisan-tulisan tentang musik mewujud dalam berbagai bentuk : - Reportase. Jelas dibutuhkan kelengkapan elemen 5W+1H pada tulisan jenis ini.- Resensi. Mengupas berbagai karya, seperti buku, rekaman musik, jurnal musik- Esai. Bersifat reflektif dan informatif. - Kritik Musik. Dalam wujudnya, ia lebih spesifik daripada esai. Dalam membuat kritik, bijaklah dalam menuliskan. Kritik yang perlu, jangan mengada-ada. Dapatkan pengalaman empiris dari pertunjukan musik sebelum melakukan pembahasan. Lakukan juga wawancara, referensi atau komparasi yang pas. Temukan angle yang tepat agar tajam. Meski begitu kritik juga harus bersifat apresiatif, agar tak menjadi boomerang. Biarkan kritik musik menjadi opini publik dengan membiarkan pembaca yang menilai fakta- Analisa Musik- Buku atau Hasil Penelitian Musik
"Apa yang kita tulis hari ini tidak harus selalu bermanfaat hari ini."
Erie Setiawan juga mengutarakan opininya tentang adanya genre dalam musik. Genre baginya adalah hasil fanatisme. Yang perlu digarisbawahi, menjadi seorang penulis sebaiknya bersikap netral. Mengingat begitu luasnya dunia musik untuk dituliskan. Boleh merasa suka atau tidak suka terhadap suatu jenis musik, namun jangan sampai anti. Kemudian timbul pertanyaan siapa saja yang bisa menuliskan musik? Apa harus selalu seorang pemusik? Erie menjawab diplomatis. Bahwa penulis peristiwa musik harus mampu memainkan alat musik. Cukup menjadi pencinta musik dan mengalami langsung pengalaman empirisnya dalam menikmati musik. Musikologi empiris merupakan pengalaman mendengar musik yang bisa disadari sebagai pengetahuan. Dalam menulis musik, tidak harus selalu terpatok pada apa yang terlihat (pertunjukan), namun juga apa yang tak disaksikan oleh audiens. Misalnya persiapan backstage, proses latihan, dan sebagainya. Sedangkan Musikologi adalah wawasan musikal yang telah ada sejak 130 tahun yang lalu. Dalam bidang ini, sudah ada pendidikan tingkat sarjana hingga doktoral.
Dalam menghadiri pertunjukan music concert di mana kita tak mengerti komposisi apa saja yang akan dimainkan, Erie menyarankan penulis untuk datang dengan bekal. Setidaknya mempelajari tentang latar belakang sejarah komposer terlebih dahulu. Namun bukan berarti hal tersebut akan menyempitkan interpretasi kita ketika menikmati pertunjukan. Mencoba berbagai perspektif yang berbeda untuk menuliskan berbagai jenis musik tentu juga akan menarik. Misalnya mengkritik pertunjukan music concert dari sudut pandang musik rock.
"Seniman bisa muncul karena ada yang menuliskannya."
Serupa dengan jenis penulisan yang lain, dalam menuliskan peristiwa musik, kita mesti cermat menentukan angle. Sebagai pertimbangan, mesti diketahui sasaran pembaca yang kita tuju. Dengan begitu, kita bisa menyesuaikan judul, gaya bahasa, penyampaian, dan faktor-faktor lain yang menunjang agar tulisan kita mampu diterima dengan baik oleh pembaca. Misalnya ketika penulis akan mengirimkan karya tulis ke media. Media begitu menitikberatkan penilaian pada opini yang otentik. Bagaimana cara mendapatkannya? Tulis dulu apa yang ada di dalam kepala, setelah itu lakukan kroscek tentang referensi. Yang terpenting adalah jujur dengan pengetahuan yang kita miliki.
Dalam menekuni karir menulis peristiwa musiknya selama dua belas tahun belakangan, Erie memulainya dengan belajar secara otodidak. Dalam perjalanannya, tentu tak begitu saja dijalani dengan mudah. Meski memiliki latar belakang pendidikan formal musik, namun dalam karirnya, Erie Setiawan mengalami kesusahan di lima tahun pertama. Namun ia terus konsisten untuk menulis dan belajar dari kesalahan. Konsistensi begitu penting mengambil peran dalam bidang penulisan.
Salah satu hal yang terpenting dari sebuah karya adalah ide, juga tulisan. Gaya penyampaian yang tidak bertele-tele, pandai mengatur napas pembaca, menemukan komposisi yang tepat agar tak terlalu sederhana maupun berlebihan adalah beberapa hal yang mesti diperhatikan. Jika sudah baik, barulah tulisan tersebut menemukan fungsinya.
Dalam menghasilkan tulisan yang baik, tentu tak bisa ditinggalkan bahan-bahan referensi untuk memperkaya ide. Bidang ini masih belum banyak digeluti di Indonesia. Oleh karenanya Erie memilih untuk mengakses referensi dari luar negeri. Seperti membeli buku impor, mengakses e-book, jurnal musik, dan lain sebagainya. Kamus musik pun diwajibkan Erie untuk menemukan arti dari istilah-istilah yang digunakan. Informasi yang bagus berasal dari sumber yang bagus pula. Pada intinya, sebuah tulisan harus berhasil membuat pembaca paham. Dalam menggunakan referensi, banyak yang harus diperhatikan. Misalnya bahwa tidak semua karya tulis terbitan lama tidak up to date, karena cukup banyak yang masih relevan. Perhatikan siapa yang menulis dan menerbitkan karya yang akan kita jadikan bahan referensi. Lakukan juga pemilihan sub-bab buku yang kita butuhkan, catat inti dari tulisan, buat review-nya, dan diskusikan. Sebuah rangkuman yang baik adalah rangkuman hasil refleksi diri kita sendiri, bukan hasil kutipan. Demi meluaskan pandangannya, Erie Setiawan tak hanya mengakses referensi-referensi musik, ia melahap referensi dari bidang lain pula. Baginya, terkadang orang membutuhkan informasi di luar 'wilayah'nya. Hal tersebut menjadikan tulisan-tulisannya luas dan beragam. Misalnya ia kerap mendapat inspirasi tentang prosa dari karya-karya Linus Suryadi dan belajar tentang logika dan metaforik dari Emha Ainun Nadjib.
Komposisi subjektifitas penulis dalam tulisan peristiwa musik begitu penting. Namun berapa porsi yang baik? Subjektifitas hanya diperkenankan maksimal kurang lebih 60 persen dari keseluruhan tulisan yang berimbang. Meski interpretasi boleh beragam, namun selalu ada batasan hal-hal 'pakem' yang tidak boleh menghasilkan interpretasi beragam di kepala pembaca. Karena itu ketika penulis mengalami pengalaman menonton langsung pertunjukan, dengarkan dan tonton secara mendalam. Deep listening, deep seeing. Bagaimana ekspresi performer, faktor bunyi, dan begitu banyak hal lain yang mesti diperhatikan dengan saksama. Kejelian dalam mengambil sudut pandang pun sangat menentukan hasil tulisan. Bedakan musik mana yang baik dibahas konteksnya, mana musik yang mesti dibahas secara teks. Erie memisalkan dengan pertunjukan musik yang dilakukan oleh teman-teman penyandang disabilitas, penampilan penyanyi dangdut yang erotis, atau grup Merah Bercerita yang membawa pesan sosial tertentu. Tentu saja akan lebih menarik membahasnya dari sisi sosial, secara konteks.
Dalam mengamati sebuah pertunjukan, penulis perlu tahu tentang adanya Komunikasi Struktural dan Komunikasi Emosional yang dilakukan oleh penampil. Komunikasi Struktural adalah komunikasi antara pemusik dengan karyanya, sedangkan Komunikasi Emosional merupakan komunikasi antara penampil dengan penonton. Bagi Erie, musisi belum istimewa jika masih memberi kerumitan pada penonton. Secanggih apa pun ia ketika memainkan musik, ketika berhadapan dengan penonton ia harus 'membumi' memperhatikan penonton. Berbeda dengan pertunjukan musik, jika ingin meliput workshop musik setidaknya pelajari teknis instrumen terlebih dahulu.
Sebaik-baiknya seorang penulis selalu akan ada tanggapan negatif. Oleh karena itu Erie mengingatkan bahwa dalam menulis kita mesti siap untuk menghadapi risiko dibenci, dianggap sok tahu, berkurang teman, dan sebagainya. Namun dengan konsistensi dan tak berhenti, lama kelamaan khalayak akan mampu menerima kehadiran karya kita.
Menanggapi pertanyaan tentang iklim penulisan musik di Surabaya, Erie menjawab bahwa Surabaya hanya belum memiliki saatnya. Sungguh tak adil jika membandingkan kota ini dengan kota lainnya, di mana pertunjukan musik jauh lebih sering diselenggarakan. Indikator kualitas tidak selalu ditentukan dengan banyaknya event yang diselenggarakan.
"Serius menulis musik ada peluang, yang tidak serius juga ada peluang : peluang kehancuran."
Materi hari pertama begitu menggugah, membawa peserta workshop ke hari kedua. Kali ini suasana cenderung 'agak menegangkan' karena karya masing-masing peserta dikupas dan dikomentari oleh Mas Erie Setiawan. Berbeda dengan hari pertama yang lebih bersifat teori, hari kedua justru sangat praktis. Kami bebas melontarkan pertanyaan maupun sesuatu yang ingin didiskusikan bersama. Dari tulisan-tulisan kami, Mas Erie memberikan cukup banyak masukan terkait hal-hal yang mesti diperhatikan.
Dalam memulai tulisan, judul memiliki peranan yang begitu penting sebagai kalimat pertama yang mengindikasikan isi dan yang menentukan apakah pembaca akan tertarik untuk membaca lebih lanjut. Erie mengingatkan untuk tak membuat judul yang multitafsir. Apabila judul kurang jelas, tidak ada salahnya menambahkan sub judul. Sub judul berguna untuk memberi kelenturan dalam tulisan. Selain itu, usahakan judul dalam bentuk kalimat aktif. Judul menjadi sebegitu penting karena redaktur media akan membaca judul dan paragraf pertama. Dalam isi pun, boleh diselipkan sub judul untuk memberi napas pada pembaca.
Variabel yang tepat sangat menentukan ke mana arah tulisan akan terwujud. Mengutamakan informasi pada pembaca tentu menjadi hal yang utama. Menulislah langsung pada intinya. Kalimat pertama yang 'menembak' membuat pembaca berpikir dan berimajinasi. Sementara kalimat penutup yang optimis atau metaforik maupun reflektif akan lebih menarik. Demi kenyamanan pembaca, usahakan tak lebih dari 10 baris dalam setiap paragraf.
Dalam menulis esai musik dibutuhkan kecermatan yang tinggi dimulai dengan menemukan inspirasi, mewujudkan ide dan menemukan konklusi. Kecermatan pun mesti merasuk hingga hal terkecil : typo. Manusiawi, zero typo adalah hal yang susah, namun tetap mesti diusahakan. Dalam menggunakan istilah, utamakan untuk menggunakan istilah yang baku dalam musik. Tentu saja merujuk pada kamus musik. Istilah-istilah tersebut mesti disertai dengan penjelasan.
Menulis adalah masalah melatih 'otot', benar adanya. Erie Setiawan menyarankan penulis untuk terus meningkatkan produktifitas. Perlahan dimulai dengan reportase musik, menjadi esai musik, kritik musik, bahkan menjadi buku. Tentunya dengan tetap menyajikan informasi-informasi yang istimewa untuk pembaca. Sebisa mungkin, jangan mengulang informasi. Berikan yang segar dan baru. Bukan hanya informasi, namun juga diperlukan imajinasi untuk menarik perhatian pembaca. Penggunaan terlalu banyak metafora tidak disarankan demi menghindari kaburnya informasi. Maksimal hanya sebanyak 20 hingga 30 persen dari keseluruhan tulisan. Metafora hanya berperan sebagai jembatan untuk menjelaskan informasi.
Penetapan jenis tulisan apa yang akan ditulis sangat penting dilakukan agar tahu apa yang akan disampaikan. Esai musik populer biasanya diperuntukkan untuk media dengan pembaca yang tidak spesifik. Dalam menuliskannya diperlukan siasat pembahasan yang fleksibel. Sedangkan esai ilmiah populer ditujukan untuk media massa dengan pembaca yang lebih spesifik. Reportase bersifat lebih sederhana, mudah dimengerti dan menceritakan pada pembaca tanpa tendensi apa-apa. Perbandingan reportase dan esai adalah reportase tak memerlukan solusi apa-apa, sedangkan esai memerlukan pendekatan studi kasus (case study).
"Yang penting punya gaya menulis yang kita nikmati, dan patut untuk diperjuangkan. Jangan sampai berhenti di rata-rata. Harus berada di garda depan."
Yang diharapkan Erie dari forum ini adalah agar masing-masing peserta mampu bermanfaat bagi diri sendiri dan komunitas. Diharapkan untuk belajar terus menerus, melatih kemampuan diri dan menambah pergaulan.
"Maju terus, berikan informasi musik yang cerdas kepada masyarakat."
Workshop persembahan Pertemuan Musik Surabaya ini begitu menyegarkan. Menginspirasi, mencerahkan, terutama memberi harapan untuk perkembangan musik melalui budaya merekamnya melalui tulisan.
Published on September 06, 2015 07:51
August 8, 2015
LPM Stories for Children - GRI Surabaya
Siang itu Punggawa Oost mesti tergusur dari singgasananya.
Di bagian belakang area outdoor Oost Koffie n Thee tersedia sebuah kursi panjang yang biasanya diduduki oleh para punggawa (mas-mas yang membantu pengunjung ketika memesan makanan). Hari Sabtu, 1 Agustus 2015 lalu selama beberapa jam, mas punggawa mesti legawa. Ya, hari itu ruang outdoor Oost ramai oleh audiens yang ingin menghadiri acara kami, Goodreads Indonesia Regional Surabaya. Kursi ruang outdoor Oost nyaris terisi penuh, hingga para Punggawa harus merelakan kursinya ditempati oleh audiens yang hadir.
***
Meski agak terlambat, Goodreads Surabaya ingin turut merayakan Hari Anak Nasional yang jatuh di tanggal 23 Juli 2015 lalu. Mengundang Watiek Ideo, penulis buku anak produktif dan Nindia Nurmayasari, seorang pendongeng, pengajar dan penulis buku anak. Diskusi siang itu berjalan santai. Kami membahas tentang serba-serbi cerita anak. Mulai urgensi, menulis dan mendongeng cerita anak, hingga bagaimana kiprah buku-buku cerita anak di Indonesia.
Acara kali ini menjadi menarik karena hubungan antar kedua pembicara cukup dekat. Memiliki latar belakang pendidikan yang sama, alumni jurusan Psikologi Universitas Airlangga dan sama-sama memiliki ketertarikan khusus pada dunia anak-anak. Secara kebetulan, di acara kali ini mereka mengumumkan tentang adanya proyek menulis buku anak bersama yang sedang digarap. Watiek Ideo dikenal sebagai penulis buku anak produktif. Dalam kurun waktu empat tahun berkarya di industri perbukuan, ia sudah menghasilkan seratus judul buku lebih. Karya-karyanya diterbitkan oleh berbagai penerbit, bahkan telah mendapat apresiasi positif dari Bapak Presiden Joko Widodo dan Ibu Linda Gumelar. Sementara Nindia Nurmayasari adalah seorang pendongeng, penulis buku anak, pengajar creative writing dan konsultan pendidikan anak yang telah cukup lama bergelut dengan profesinya.
Buku-buku anak di Indonesia semakin banyak menempati rak-rak toko buku. Meski tantangan untuk menghadapi buku-buku anak terjemahan yang terus menyerbu, namun penulis buku anak lokal masih terus bergeliat. Tentu saja hal tersebut mesti diimbangi dengan masyarakat yang memahami betapa pentingnya cerita untuk anak-anak, sehingga menjadi konsumen setia buku-buku anak. Watiek Ideo banyak membagikan pengetahuannya akan industri buku anak. Menurutnya, tema Islami masih menjadi tren dunia buku anak Indonesia saat ini. Jika mesti membandingkan buku anak lokal dan luar negeri, tentu berbeda. Menurut Watiek, pasar buku anak Indonesia cenderung menyukai kisah dengan cerita yang menggurui, juga buku anak dengan komposisi teks yang lebih banyak. Pasar untuk early reader pun belum banyak yang menggarap. Meski begitu, Watiek Ideo tidak ingin mengejar momen dan tren. Misalnya ketika sedang ramai isu-isu tertentu di dunia anak, ia tidak akan begitu saja menulis kisah yang berkaitan dengan hal tersebut. Ia lebih suka untuk menuliskan apa yang sedang ia minati.
Bicara tentang karir penulisannya, Watiek Ideo telah mulai menulis sejak SD, dan mulai menulis secara menggebu setelah dirinya memiliki anak dan mendirikan bisnis clothing. Dalam menjalankan bisnisnya, ia dihadapkan dengan ilustrator. Dari sana, ia terpikir untuk berkolaborasi dengan ilustrator untuk menuliskan buku anak dan dikirimkan ke penerbit. Semenjak itu, jalan karirnya terbuka lebar. Di awal karirnya ia juga menapaki proses yang sama. Mengirimkan naskah dan mesti menghadapi berbagai penolakan. Namun karena 'darah' menulis telah mengalir dalam dirinya, kendala apa pun tak membuatnya menyerah. Dengan berbagai liku-liku itu, Watiek mengatakan bahwa pada akhirnya yang dicari penerbit bukan siapa penulisnya, namun apakah karya yang diajukan layak untuk diterbitkan dan dipasarkan. Masing-masing penerbit menetapkan standar yang berbeda dalam menerbitkan naskah buku anak. Cara cerdiknya, Watiek selalu mencaritahu dengan melakukan survey ke toko buku demi mencari tahu buku apa yang sedang digemari dari penerbit tersebut.
Watiek Ideo (paling kanan), Nindia Nurmayasari (tengah), Nabila Budayana
Buku anak tak bisa lepas begitu saja dari ilustrasi. Berbicara tentang ilustrasi, Watiek mengatakan bahwa masing-masing buku perbandingan banyaknya teks dan ilustrasi berbeda. Tergantung untuk siapa buku tersebut ditujukan. Pembaca awal tentu membutuhkan lebih banyak komposisi gambar daripada tulisan, dan sebagainya. Penyesuaian tersebut wajib menjadi pertimbangan dari penulis sendiri. Dalam berkomunikasi dengan ilustrator, Watiek membuat sebuah tabel yang berisi keterangan cerita dan keterangan gambar. Setelah itu, barulah karya dikerjakan. Namun ternyata, dalam membuat ilustrasi, tak semudah yang dikira. Ilustrator memerlukan waktu hingga tiga bulan untuk satu judul cerita, dimana dalam satu buku terdapat beberapa cerita.
Kompromi terbesar yang mesti Watiek Ideo lakukan dengan penerbit adalah ketika ia mesti membuat komik, karena ada begitu banyak hal yang menjadi komponennya. Dalam membuat cerita, Watiek mengaku ia tak bergantung pada outline. Ide dalam kepalanya telah begitu saja terbentuk, sehingga ia jarang menggunakan 'panduan cerita'. Oleh karena itu penting sekali mengetahui kemana tujuan dari cerita yang ditulis. Watiek memberikan tips untuk penulis pemula bahwa jangan terus membaca ulang naskah dari awal, karena itu akan menghambat proses penulisan. Jika mengalami kebuntuan di tengah jalan, Watiek akan berhenti untuk melakukan hal-hal lain selain menulis. Namun dengan catatan bahwa proses berhenti itu tidak akan terlalu lama. Maksimal satu hari, ia sudah akan kembali menulis. Baginya, penulis harus berhasil memaksa dirinya sendiri untuk kembali menulis. Namun, Watiek tak pernah terlalu kesusahan untuk itu. Ia justru merasakan kejanggalan jika tak menulis. Dalam mendapatkan inspirasi, Watiek juga membaca buku-buku anak luar negeri. Yang menjadi favoritnya adalah Roald Dahl. Ia mengagumi bagaimana Dahl sebagai orang dewasa mampu menulis dengan gaya yang sangat terasa anak-anak. Di masa kecil, Watiek begitu suka membaca buku-buku cerita rakyat Indonesia yang menginspirasi karir menulisnya.
Kak Nindia menjawab tentang bagaimana trik agar cerita tidak membosankan untuk anak-anak. Ia berkata bahwa kunci mendongeng adalah pemilihan cerita yang disukai oleh anak-anak, bagaimana cara penyampaian orang tua ketika membacakan cerita, dan tak kalah pentingnya, memilih momen yang tepat. Misalnya, hindari membacakan cerita ketika anak merasa lelah. Dari sisi psikologis, waktu yang baik adalah di saat sore hari atau menjelang tidur. Berperan sebagai pembaca cerita, orangtua mesti sabar dan telaten, dan jangan terobsesi untuk membacakan buku sebanyak mungkin. Jangan lupa juga untuk memerhatikan ekspresi, gestur, suara, intonasi,di atas semua hal tersebut : rasa gembira dan antusias dalam membacakan cerita. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah pengurangan porsi menonton televisi atau bermain gadget. Membudayakan membaca daripada menonton akan memiliki dampak lebih positif untuk anak di masa depan. Hal tersebut tentu berkaitan dengan bagaimana menumbuhkan minat baca. Minat baca pada anak tidak serta-merta tumbuh begitu saja, namun mesti didahului oleh teladan orang tua.
Berbeda dengan Watiek Ideo, Nindia Nurmaya memilih untuk 'membalik' proses penulisan cerita anaknya. Buku yang ia tulis adalah hasil dari kumpulan dongeng-dongeng yang ia bacakan di hadapan anak-anak selama ini. Ketika ditanya mengapa ia memilih membukukan dongeng-dongengnya, Nindia menjelaskan bahwa ia memiliki harapan besar untuk menyebarkan ceritanya tanpa batasan tempat. Jika pada saat mendongeng ia hanya mampu membagikan ceritanya kepada beberapa anak, maka dengan buku, kisah-kisahnya akan mampu dinikmati anak-anak lain di mana saja.
Sebagai seorang pendongeng, Nindia pun pernah mendongeng dengan konsep drama boneka. Lalu timbul pertanyaan dari audiens, berapa lama waktu efektif untuk menyajikan drama tersebut? Nindia menjelaskan bahwa durasi waktu sangat bergantung pada usia anak-anak yang menjadi audiens. Jika anak masih berusia lima tahun, drama dapat dilakukan dalam waktu sekitar lima menit. Jika audiens anak sudah berusia lebih dewasa, durasi bisa disesuaikan dengan ditambah. Apakah drama dengan dual bahasa baik untuk disajikan untuk anak? Meski mengutamakan penyajian drama dalam satu bahasa, namun semuanya dikembalikan pada tujuan pembuatan drama tersebut. Jika memang ditujukan agar anak mampu belajar bahasa asing, tentu tidak masalah menyajikan drama dalam dua bahasa.
Acara Stories for Children di harian Jawa Pos
Ketika sesi talkshow berakhir, beberapa anak-anak yang datang mendapat sesi dongeng beberapa menit dari Kak Nindia. Dengan antusias mereka berkumpul di depan dan menyimak dongeng buaya yang tak suka gosok gigi. Sama seperti setiap para penanya dewasa, salah seorang dari anak-anak tersebut mendapatkan hadiah buku dari pembicara untuk dibawa pulang. Mendapatkan keseruan dunia orang tua dan anak menjadi hal baru untuk kami, Goodreads Surabaya. Terima kasih untuk teman-teman GRI Sby yang telah bekerja keras demi acara ini, juga audiens yang telah berkenan hadir dengan antusiasme luar biasa. Terima kasih juga kami kirimkan untuk Watiek Ideo dan Nindia Nurmayasari yang dengan ketulusan hati rela berbagi wawasan dan inspirasi baru. Tentu terima kasih dan jabat tangan erat kami selalu berikan untuk semua pihak yang mendukung terselenggaranya acara ini : Oost Koffie en Thee, lokasi yang selalu hangat menyambut kehadiran kami, terutama untuk Mbak Ifana, juga Mas Seno selaku owner yang turut sibuk mendokumentasikan acara. Pun untuk Kopdar Surabaya, Event Surabaya, Agenda Kota yang telah membantu meluaskan publikasi kami kepada khalayak. Terima kasih juga untuk Prima Radio Surabaya dan Jawa Pos yang telah meliput jalannya acara. Terutama dan terbesar untuk kawan-kawan Goodreads Indonesia untuk segala dukungan dalam berliterasi.
Sebagian audiens berfoto bersama
Kami tak akan bosan menyambut teman-teman di kegiatan-kegiatan Goodreads Surabaya berikutnya! Sampai bertemu! :)
- Nabila Budayana -
*Dokumentasi acara lebih lengkap dapat diakses di sini
Di bagian belakang area outdoor Oost Koffie n Thee tersedia sebuah kursi panjang yang biasanya diduduki oleh para punggawa (mas-mas yang membantu pengunjung ketika memesan makanan). Hari Sabtu, 1 Agustus 2015 lalu selama beberapa jam, mas punggawa mesti legawa. Ya, hari itu ruang outdoor Oost ramai oleh audiens yang ingin menghadiri acara kami, Goodreads Indonesia Regional Surabaya. Kursi ruang outdoor Oost nyaris terisi penuh, hingga para Punggawa harus merelakan kursinya ditempati oleh audiens yang hadir.
***
Meski agak terlambat, Goodreads Surabaya ingin turut merayakan Hari Anak Nasional yang jatuh di tanggal 23 Juli 2015 lalu. Mengundang Watiek Ideo, penulis buku anak produktif dan Nindia Nurmayasari, seorang pendongeng, pengajar dan penulis buku anak. Diskusi siang itu berjalan santai. Kami membahas tentang serba-serbi cerita anak. Mulai urgensi, menulis dan mendongeng cerita anak, hingga bagaimana kiprah buku-buku cerita anak di Indonesia.
Acara kali ini menjadi menarik karena hubungan antar kedua pembicara cukup dekat. Memiliki latar belakang pendidikan yang sama, alumni jurusan Psikologi Universitas Airlangga dan sama-sama memiliki ketertarikan khusus pada dunia anak-anak. Secara kebetulan, di acara kali ini mereka mengumumkan tentang adanya proyek menulis buku anak bersama yang sedang digarap. Watiek Ideo dikenal sebagai penulis buku anak produktif. Dalam kurun waktu empat tahun berkarya di industri perbukuan, ia sudah menghasilkan seratus judul buku lebih. Karya-karyanya diterbitkan oleh berbagai penerbit, bahkan telah mendapat apresiasi positif dari Bapak Presiden Joko Widodo dan Ibu Linda Gumelar. Sementara Nindia Nurmayasari adalah seorang pendongeng, penulis buku anak, pengajar creative writing dan konsultan pendidikan anak yang telah cukup lama bergelut dengan profesinya.
Buku-buku anak di Indonesia semakin banyak menempati rak-rak toko buku. Meski tantangan untuk menghadapi buku-buku anak terjemahan yang terus menyerbu, namun penulis buku anak lokal masih terus bergeliat. Tentu saja hal tersebut mesti diimbangi dengan masyarakat yang memahami betapa pentingnya cerita untuk anak-anak, sehingga menjadi konsumen setia buku-buku anak. Watiek Ideo banyak membagikan pengetahuannya akan industri buku anak. Menurutnya, tema Islami masih menjadi tren dunia buku anak Indonesia saat ini. Jika mesti membandingkan buku anak lokal dan luar negeri, tentu berbeda. Menurut Watiek, pasar buku anak Indonesia cenderung menyukai kisah dengan cerita yang menggurui, juga buku anak dengan komposisi teks yang lebih banyak. Pasar untuk early reader pun belum banyak yang menggarap. Meski begitu, Watiek Ideo tidak ingin mengejar momen dan tren. Misalnya ketika sedang ramai isu-isu tertentu di dunia anak, ia tidak akan begitu saja menulis kisah yang berkaitan dengan hal tersebut. Ia lebih suka untuk menuliskan apa yang sedang ia minati.
Bicara tentang karir penulisannya, Watiek Ideo telah mulai menulis sejak SD, dan mulai menulis secara menggebu setelah dirinya memiliki anak dan mendirikan bisnis clothing. Dalam menjalankan bisnisnya, ia dihadapkan dengan ilustrator. Dari sana, ia terpikir untuk berkolaborasi dengan ilustrator untuk menuliskan buku anak dan dikirimkan ke penerbit. Semenjak itu, jalan karirnya terbuka lebar. Di awal karirnya ia juga menapaki proses yang sama. Mengirimkan naskah dan mesti menghadapi berbagai penolakan. Namun karena 'darah' menulis telah mengalir dalam dirinya, kendala apa pun tak membuatnya menyerah. Dengan berbagai liku-liku itu, Watiek mengatakan bahwa pada akhirnya yang dicari penerbit bukan siapa penulisnya, namun apakah karya yang diajukan layak untuk diterbitkan dan dipasarkan. Masing-masing penerbit menetapkan standar yang berbeda dalam menerbitkan naskah buku anak. Cara cerdiknya, Watiek selalu mencaritahu dengan melakukan survey ke toko buku demi mencari tahu buku apa yang sedang digemari dari penerbit tersebut.

Buku anak tak bisa lepas begitu saja dari ilustrasi. Berbicara tentang ilustrasi, Watiek mengatakan bahwa masing-masing buku perbandingan banyaknya teks dan ilustrasi berbeda. Tergantung untuk siapa buku tersebut ditujukan. Pembaca awal tentu membutuhkan lebih banyak komposisi gambar daripada tulisan, dan sebagainya. Penyesuaian tersebut wajib menjadi pertimbangan dari penulis sendiri. Dalam berkomunikasi dengan ilustrator, Watiek membuat sebuah tabel yang berisi keterangan cerita dan keterangan gambar. Setelah itu, barulah karya dikerjakan. Namun ternyata, dalam membuat ilustrasi, tak semudah yang dikira. Ilustrator memerlukan waktu hingga tiga bulan untuk satu judul cerita, dimana dalam satu buku terdapat beberapa cerita.
Kompromi terbesar yang mesti Watiek Ideo lakukan dengan penerbit adalah ketika ia mesti membuat komik, karena ada begitu banyak hal yang menjadi komponennya. Dalam membuat cerita, Watiek mengaku ia tak bergantung pada outline. Ide dalam kepalanya telah begitu saja terbentuk, sehingga ia jarang menggunakan 'panduan cerita'. Oleh karena itu penting sekali mengetahui kemana tujuan dari cerita yang ditulis. Watiek memberikan tips untuk penulis pemula bahwa jangan terus membaca ulang naskah dari awal, karena itu akan menghambat proses penulisan. Jika mengalami kebuntuan di tengah jalan, Watiek akan berhenti untuk melakukan hal-hal lain selain menulis. Namun dengan catatan bahwa proses berhenti itu tidak akan terlalu lama. Maksimal satu hari, ia sudah akan kembali menulis. Baginya, penulis harus berhasil memaksa dirinya sendiri untuk kembali menulis. Namun, Watiek tak pernah terlalu kesusahan untuk itu. Ia justru merasakan kejanggalan jika tak menulis. Dalam mendapatkan inspirasi, Watiek juga membaca buku-buku anak luar negeri. Yang menjadi favoritnya adalah Roald Dahl. Ia mengagumi bagaimana Dahl sebagai orang dewasa mampu menulis dengan gaya yang sangat terasa anak-anak. Di masa kecil, Watiek begitu suka membaca buku-buku cerita rakyat Indonesia yang menginspirasi karir menulisnya.
Kak Nindia menjawab tentang bagaimana trik agar cerita tidak membosankan untuk anak-anak. Ia berkata bahwa kunci mendongeng adalah pemilihan cerita yang disukai oleh anak-anak, bagaimana cara penyampaian orang tua ketika membacakan cerita, dan tak kalah pentingnya, memilih momen yang tepat. Misalnya, hindari membacakan cerita ketika anak merasa lelah. Dari sisi psikologis, waktu yang baik adalah di saat sore hari atau menjelang tidur. Berperan sebagai pembaca cerita, orangtua mesti sabar dan telaten, dan jangan terobsesi untuk membacakan buku sebanyak mungkin. Jangan lupa juga untuk memerhatikan ekspresi, gestur, suara, intonasi,di atas semua hal tersebut : rasa gembira dan antusias dalam membacakan cerita. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah pengurangan porsi menonton televisi atau bermain gadget. Membudayakan membaca daripada menonton akan memiliki dampak lebih positif untuk anak di masa depan. Hal tersebut tentu berkaitan dengan bagaimana menumbuhkan minat baca. Minat baca pada anak tidak serta-merta tumbuh begitu saja, namun mesti didahului oleh teladan orang tua.
Berbeda dengan Watiek Ideo, Nindia Nurmaya memilih untuk 'membalik' proses penulisan cerita anaknya. Buku yang ia tulis adalah hasil dari kumpulan dongeng-dongeng yang ia bacakan di hadapan anak-anak selama ini. Ketika ditanya mengapa ia memilih membukukan dongeng-dongengnya, Nindia menjelaskan bahwa ia memiliki harapan besar untuk menyebarkan ceritanya tanpa batasan tempat. Jika pada saat mendongeng ia hanya mampu membagikan ceritanya kepada beberapa anak, maka dengan buku, kisah-kisahnya akan mampu dinikmati anak-anak lain di mana saja.
Sebagai seorang pendongeng, Nindia pun pernah mendongeng dengan konsep drama boneka. Lalu timbul pertanyaan dari audiens, berapa lama waktu efektif untuk menyajikan drama tersebut? Nindia menjelaskan bahwa durasi waktu sangat bergantung pada usia anak-anak yang menjadi audiens. Jika anak masih berusia lima tahun, drama dapat dilakukan dalam waktu sekitar lima menit. Jika audiens anak sudah berusia lebih dewasa, durasi bisa disesuaikan dengan ditambah. Apakah drama dengan dual bahasa baik untuk disajikan untuk anak? Meski mengutamakan penyajian drama dalam satu bahasa, namun semuanya dikembalikan pada tujuan pembuatan drama tersebut. Jika memang ditujukan agar anak mampu belajar bahasa asing, tentu tidak masalah menyajikan drama dalam dua bahasa.

Ketika sesi talkshow berakhir, beberapa anak-anak yang datang mendapat sesi dongeng beberapa menit dari Kak Nindia. Dengan antusias mereka berkumpul di depan dan menyimak dongeng buaya yang tak suka gosok gigi. Sama seperti setiap para penanya dewasa, salah seorang dari anak-anak tersebut mendapatkan hadiah buku dari pembicara untuk dibawa pulang. Mendapatkan keseruan dunia orang tua dan anak menjadi hal baru untuk kami, Goodreads Surabaya. Terima kasih untuk teman-teman GRI Sby yang telah bekerja keras demi acara ini, juga audiens yang telah berkenan hadir dengan antusiasme luar biasa. Terima kasih juga kami kirimkan untuk Watiek Ideo dan Nindia Nurmayasari yang dengan ketulusan hati rela berbagi wawasan dan inspirasi baru. Tentu terima kasih dan jabat tangan erat kami selalu berikan untuk semua pihak yang mendukung terselenggaranya acara ini : Oost Koffie en Thee, lokasi yang selalu hangat menyambut kehadiran kami, terutama untuk Mbak Ifana, juga Mas Seno selaku owner yang turut sibuk mendokumentasikan acara. Pun untuk Kopdar Surabaya, Event Surabaya, Agenda Kota yang telah membantu meluaskan publikasi kami kepada khalayak. Terima kasih juga untuk Prima Radio Surabaya dan Jawa Pos yang telah meliput jalannya acara. Terutama dan terbesar untuk kawan-kawan Goodreads Indonesia untuk segala dukungan dalam berliterasi.

Kami tak akan bosan menyambut teman-teman di kegiatan-kegiatan Goodreads Surabaya berikutnya! Sampai bertemu! :)
- Nabila Budayana -
*Dokumentasi acara lebih lengkap dapat diakses di sini
Published on August 08, 2015 22:18
July 5, 2015
Bandung Bondowoso : Buka Bersama Taman Baca Kampung Pemulung Kalisari Damen
Meski rutin mengajak membaca dan belajar adik-adik Taman Baca Kampung Pemulung Kalisari Damen Surabaya setiap Jumat sore, kami (volunteer) tak memiliki rencana untuk berbuka puasa bersama mereka. Bahkan hingga seminggu lalu, ide itu belum tercetus. Bukan karena kami tak ingin melakukannya, tapi lebih karena kami tak memiliki cukup dana untuk melaksanakannya, mengingat jumlah adik-adik yang nyaris menyentuh angka 50 orang. Sampai pada Jumat, 26 Juni 2015 lalu, Putri, salah seorang adik yang datang ke Musholla Annisa dan bertemu kami mengatakan pada saya, "Kak, nggak ada buka bersama?" Saya hanya menjawab, "Semoga."
Saya, Putri (jilbab putih) dan Rohman sedang belajar Bahasa Inggris bersama
Siapa sangka, keinginan Putri terkabul. Beberapa hari kemudian, teman-teman dari Rumah Bahasa Surabaya, Mas Hariadi dan Rahenda yang menyenggol saya untuk mewujudkan acara buka bersama dengan mereka. Saya iseng mengajukan usul tersebut pada teman-teman volunteer taman baca. Murni tanpa ekspektasi apa-apa. Yang terpikir saat itu, jika teman-teman volunteer belum menyetujui, saya juga akan legawa untuk menundanya hingga tahun depan saja. Mengingat akan butuh tenaga dan donasi yang tidak sedikit untuk acara ini. Sedangkan saldo kami untuk taman baca hanya tersisa sekitar sepersepuluh angka pertama dari 6 digit Rupiah. Itu pun rencananya memang akan digunakan untuk kepentingan fasilitas adik-adik setiap Jumat, seperti buku bacaan, kertas, krayon dan sebagainya.
Ternyata teman-teman volunteer menyambut dengan antusias (padahal sebagian dari mereka justru mahasiswa yang sedang sibuk mempersiapkan UAS). Tanggal sudah ditemukan, 4 Juli 2015, ustadz musholla pun sudah mengiyakan. Tapi kami hanya punya waktu 3 hari menuju hari H! Ini cukup membuat saya panik. Dana kami Rp. 0!
Kegiatan adik-adik dan kakak-kakak volunteer sembari menunggu waktu buka puasa
Saya pun meminta donasi dari teman-teman volunteer dan Rumah Bahasa. Hasilnya : masih jauh dari cukup bahkan untuk menutup biaya membeli makanan beratnya saja. Blar. Saya putar otak cepat, dan berinisiatif untuk mengirim pesan chatting ke beberapa teman yang saya kira akan sudi membantu untuk pendanaan. Sejujurnya, saya kurang begitu suka untuk BC permohonan donasi. Tapi saya tak punya pilihan lain. Akhirnya nekad saya lakukan juga, sembari harap-harap cemas.
Tuhan menyayangi adik-adik dengan cara yang luar biasa. Meski tak mem-BC secara membabi-buta, satu per satu chat kesanggupan untuk memberi donasi masuk. Harapan saya diungkit sedikit demi sedikit. Meski belum cukup, saya nekad memesan makanan, memberi DP separuhnya, juga berbelanja untuk keperluan minuman dan ta'jil. Hanya dalam satu malam keperluan terbeli setengahnya.
Alhamdulillah, donasi masih terus masuk, bahkan hingga hari H. Saya dibantu Putri Eka Ardiyanti menghitung pengeluaran dan pemasukan, merencanakan acara, dsb hingga larut pukul sebelas malam. Di hari Jumat sore kami tetap hadir di taman baca untuk rapat final. Tugas sudah dibagi. Saya, Dian dan Nindy belanja keperluan ta'jil dan hadiah yang belum terbeli, serta mengambil pesanan makanan. Ghozi Septiandri , Icha, Winda, Devi saya minta tolong untuk 'jaga kandang', menangani adik-adik yang sudah mulai berdatangan. Sementara teman-teman yang lain mempersiapkan donasinya masing-masing.
Kakak-kakak volunteer yang hadir
Meski sebagian besar perempuan, kami cukup tangguh! :)
Sore kemarin, Sabtu 4 Juli 2015, acara berjalan cukup baik. Meski kami nyaris selalu kewalahan untuk menangani sekitar 40 orang adik-adik, tapi kami berusaha maksimal. Sambil menunggu jam buka puasa, beberapa memilih membaca buku, belajar Bahasa Inggris, atau bermain dengan kakak-kakak volunteer. Saat buka puasa pun mereka mendapat 'set komplit' : ta'jil, makanan berbuka puasa, hingga makanan kecil, hadiah dan buku cerita untuk dibawa pulang. Tangan-tangan kecil mereka kewalahan karena mesti membawa barang-barang untuk dibawa pulang. :) Belum lagi karena makanan yang berlebih, kami masih bisa membagi belasan kotak makanan untuk warga sekitar juga.
Membaca, belajar, bermain
Suasana berbuka puasa
Suasana berbuka puasa
Nabila kecil yang kerepotan membawa pulang makanan dan hadiah
Tidak ada ekspektasi dalam benak kami semua bahwa acara akan sebegini meriah. Meski mesti menjelma Bandung Bondowoso yang menyiapkan segalanya dalam satu malam, hasilnya sama sekali tak mengecewakan. Donasi bahkan jauh berlebih dari yang kami harapkan, sehingga adik-adik bisa tersenyum gembira. Rasanya itu tak bisa digantikan oleh apa pun di hati kami. Saya mustahil melakukannya sendiri tanpa bantuan penuh ketulusan dari teman-teman volunteer dan para donatur. Terima kasih untuk kerja kerasnya, teman-teman volunteer : Ghozi, Icha, Devi, Winda, Dian, Ovie, Nindy, Arifah Siti Arifah , Mas Hariadi, dan Rahenda. Terima kasih untuk begitu banyak perhatian dan kesediaan untuk selalu hadir kembali demi adik-adik. Terima kasih untuk para donatur yang tak satu pun ingin disebutkan namanya. Saya tahu kalian membaca post ini. Terima kasih banyak dari hati saya yang terdalam.
Sampai bertemu di kegiatan Taman Baca Kampung Pemulung Kalisari Damen berikutnya! :)
- Nabila Budayana -

Siapa sangka, keinginan Putri terkabul. Beberapa hari kemudian, teman-teman dari Rumah Bahasa Surabaya, Mas Hariadi dan Rahenda yang menyenggol saya untuk mewujudkan acara buka bersama dengan mereka. Saya iseng mengajukan usul tersebut pada teman-teman volunteer taman baca. Murni tanpa ekspektasi apa-apa. Yang terpikir saat itu, jika teman-teman volunteer belum menyetujui, saya juga akan legawa untuk menundanya hingga tahun depan saja. Mengingat akan butuh tenaga dan donasi yang tidak sedikit untuk acara ini. Sedangkan saldo kami untuk taman baca hanya tersisa sekitar sepersepuluh angka pertama dari 6 digit Rupiah. Itu pun rencananya memang akan digunakan untuk kepentingan fasilitas adik-adik setiap Jumat, seperti buku bacaan, kertas, krayon dan sebagainya.
Ternyata teman-teman volunteer menyambut dengan antusias (padahal sebagian dari mereka justru mahasiswa yang sedang sibuk mempersiapkan UAS). Tanggal sudah ditemukan, 4 Juli 2015, ustadz musholla pun sudah mengiyakan. Tapi kami hanya punya waktu 3 hari menuju hari H! Ini cukup membuat saya panik. Dana kami Rp. 0!

Saya pun meminta donasi dari teman-teman volunteer dan Rumah Bahasa. Hasilnya : masih jauh dari cukup bahkan untuk menutup biaya membeli makanan beratnya saja. Blar. Saya putar otak cepat, dan berinisiatif untuk mengirim pesan chatting ke beberapa teman yang saya kira akan sudi membantu untuk pendanaan. Sejujurnya, saya kurang begitu suka untuk BC permohonan donasi. Tapi saya tak punya pilihan lain. Akhirnya nekad saya lakukan juga, sembari harap-harap cemas.
Tuhan menyayangi adik-adik dengan cara yang luar biasa. Meski tak mem-BC secara membabi-buta, satu per satu chat kesanggupan untuk memberi donasi masuk. Harapan saya diungkit sedikit demi sedikit. Meski belum cukup, saya nekad memesan makanan, memberi DP separuhnya, juga berbelanja untuk keperluan minuman dan ta'jil. Hanya dalam satu malam keperluan terbeli setengahnya.
Alhamdulillah, donasi masih terus masuk, bahkan hingga hari H. Saya dibantu Putri Eka Ardiyanti menghitung pengeluaran dan pemasukan, merencanakan acara, dsb hingga larut pukul sebelas malam. Di hari Jumat sore kami tetap hadir di taman baca untuk rapat final. Tugas sudah dibagi. Saya, Dian dan Nindy belanja keperluan ta'jil dan hadiah yang belum terbeli, serta mengambil pesanan makanan. Ghozi Septiandri , Icha, Winda, Devi saya minta tolong untuk 'jaga kandang', menangani adik-adik yang sudah mulai berdatangan. Sementara teman-teman yang lain mempersiapkan donasinya masing-masing.


Sore kemarin, Sabtu 4 Juli 2015, acara berjalan cukup baik. Meski kami nyaris selalu kewalahan untuk menangani sekitar 40 orang adik-adik, tapi kami berusaha maksimal. Sambil menunggu jam buka puasa, beberapa memilih membaca buku, belajar Bahasa Inggris, atau bermain dengan kakak-kakak volunteer. Saat buka puasa pun mereka mendapat 'set komplit' : ta'jil, makanan berbuka puasa, hingga makanan kecil, hadiah dan buku cerita untuk dibawa pulang. Tangan-tangan kecil mereka kewalahan karena mesti membawa barang-barang untuk dibawa pulang. :) Belum lagi karena makanan yang berlebih, kami masih bisa membagi belasan kotak makanan untuk warga sekitar juga.




Tidak ada ekspektasi dalam benak kami semua bahwa acara akan sebegini meriah. Meski mesti menjelma Bandung Bondowoso yang menyiapkan segalanya dalam satu malam, hasilnya sama sekali tak mengecewakan. Donasi bahkan jauh berlebih dari yang kami harapkan, sehingga adik-adik bisa tersenyum gembira. Rasanya itu tak bisa digantikan oleh apa pun di hati kami. Saya mustahil melakukannya sendiri tanpa bantuan penuh ketulusan dari teman-teman volunteer dan para donatur. Terima kasih untuk kerja kerasnya, teman-teman volunteer : Ghozi, Icha, Devi, Winda, Dian, Ovie, Nindy, Arifah Siti Arifah , Mas Hariadi, dan Rahenda. Terima kasih untuk begitu banyak perhatian dan kesediaan untuk selalu hadir kembali demi adik-adik. Terima kasih untuk para donatur yang tak satu pun ingin disebutkan namanya. Saya tahu kalian membaca post ini. Terima kasih banyak dari hati saya yang terdalam.
Sampai bertemu di kegiatan Taman Baca Kampung Pemulung Kalisari Damen berikutnya! :)


- Nabila Budayana -
Published on July 05, 2015 05:25
June 17, 2015
[Review] Konzertone : Trio Broadway
“Music sounds different to the one who plays it. It is the musician's curse.”
― Patrick Rothfuss
Surabaya Symphony Orchestra Conservatory Hall Surabaya, Rabu lalu, 10 juni 2015 sejak pukul 18.30 sudah tampak ramai. Konzertone : Trio Broadway Recital kali itu adalah penyebabnya. Di ruangan dan panggung yang tak terlalu besar, justru menjadikan konser ini bersuasana santai dan akrab. Ketika break, audiens disuguhkan berbagai jenis kudapan manis. Macaroon, fruit cake, mini doughnut, biscuit, dan lain sebagainya disajikan di taman belakang yang memberikan nuansa hangat pada recital kali ini.
Jessica Sudarta, Nikodemus Lukas, Mariska Setiawan ditantang untuk menyanyikan komposisi-komposisi broadway adalah sebuah hal baru. Pihak Konzertone menyebut mereka sebagai Natural Born Entertainers. Muda, berbakat, berprestasi dan memiliki kesempatan besar untuk berkembang. Mengapa broadway menjadi pilihan untuk recital kali ini? Pihak Konzertone menilai bahwa tema broadway mampu menghibur audiens.
Jessica Sudarta, haprist muda produktif yang sedang bersinar ini kembali hadir dengan lagu-lagu broadway. Sempat hadir pertanyaan di kepala saya, mengapa di e-flyer dan invitation foto Chika - nama panggilan Jessica- mengambil porsi paling besar di acara ini. Nyatanya, memang Chika bermain harpa sepanjang program. Baik untuk mengiringi atau pun bermain solo. Kali itu kesempatan pertama saya menyaksikan penampilan sang soprano, Mariska Setiawan. Membalik-balik booklet, saya menemukan prestasi yang dimilikinya cukup mengagumkan. Mulai menjadi soprano Paduan Suara Gita Bahana hingga berkolaborasi dengan Ananda Sukarlan. Ia pun sempat berguru pada Aning Katamsi dan Bernadeta Astari. Melengkapi Chika dan Mariska, tampillah Nikodemus L. Hariono, yang berperan sebagai tenor. Jejak rekam suaranya juga tak bisa dibilang remeh. Ananda Sukarlan, Indra Aziz, Aning Katamsi sempat menjadi mentornya. Ketiga bakat muda ini berkolaborasi di satu panggung, namun bukan untuk komposisi-komposisi klasik, justru berangkat dengan tema broadway.
Beruntunglah saya datang lebih awal. Partner nonton saya kali ini pun tak terlambat. Kami berhasil mendapatkan tempat yang cukup strategis. Baris terdepan untuk penonton. Dua baris di depan kami dikhususkan untuk tamu undangan. Ketika menunggu partner saya datang, seperti biasa, saya langsung menelusuri booklet. Wow, ekspektasi saya tentang komposisi-komposisi klasik yang saya kira akan dimainkan, luruh seketika. Nyaris seluruh komposisi di dalam program merupakan lagu-lagu yang berangkat dari soundtrack film layar lebar. Dan pilihan lagunya cukup familiar di telinga audiens. Pertanyaan dan keheranan kami terjawab oleh pihak Konzertone mengatakan bahwa memang pertunjukan kali ini sengaja disusun ringan dan menghibur. Penonton tidak terikat pada aturan-aturan konser klasik seperti biasa. Bahkan audiens dipersilakan untuk bertepuk tangan maupun bernyanyi bersama ketika komposisi dimainkan.
Di babak pertama, panggung menjadi milik Chika. Bersama harpanya, ia memainkan berbagai komposisi. Namun ada satu kejadian menarik yang melekat di ingatan saya. Meski masih berusia sangat muda, sebagai musisi profesional, Chika menampilkan etika yang cukup mengagumkan. Ketika ia telah siap dengan harpanya, audiens sempat dibuat heran dengan komposisi yang tak segera dimainkan. Alih-alih, Chika hanya tersenyum memandang audiens. Ternyata ia sedang menunggu 'kanvas'nya tersedia. Kanvas musisi yang berupa sunyi masih belum bisa dihadirkan oleh beberapa penonton yang datang terlambat dan meninggalkan ketukan sepatu pada lantai kayu sepanjang perjalanannya menuju kursi di bagian belakang. Dengan tenang, Chika hanya tersenyum dan ketika sunyi sudah ia dapatkan, komposisi dimainkan. Over The Rainbow sebagai pembuka sangat menarik, terutama ketika Chika memainkannya dengan penghayatan yang baik. Melodi lagu ini yang sederhana seringkali berpotensi membuat pemain ingin bervirtuoso dan mempercepat tempo, namun Chika tidak melakukannya. Ia memilih untuk menghadirkan ambience yang tenang dan manis. Saya suka ekspresinya ketika damping di bagian akhir. Menjadi terasa lebih mengena karena ini merupakan lagu favorit saya.
My Favourite Things yang mengemuka melalui The Sound of Music menjadi komposisi pilihan kedua. Komposisi ketiga dan keempat menjadi spesial untuk Chika karena ia mempersembahkan khusus lagu-lagu tersebut untuk kedua orangtuanya, My Way dan Memory. Ketika Memory dimainkan, saya sempatkan untuk mengintip ekspresi dari ibunda Chika, tante Yenny Sudarta yang tersenyum bangga. Saat giliran dimainkannya When You Wish Upon A Star, sesuatu yang berbeda terjadi. Kejutan, ini kali pertama saya melihat Chika dengan konsep permainan yang berbeda. Ia tak hanya bermain harpa, namun juga memainkan harpa dan xylophone bersamaan. Konsep ini agak riskan, dan cukup banyak pertaruhan ekspektasi dari konseptor acara. Konsentrasi untuk memainkan dua alat musik secara bersamaan berpotensi menimbulkan kesalahan. Namun cerdiknya, xylophone dipilih karena relatif mudah dimainkan, meski cukup terkesan repot, namun konsentrasi Chika dalam memainkan harpa tidak terlalu terganggu. Tangan kanannya masih lincah memetik harpa sebagai iringan, sedangkan tangan kirinya sibuk memukul xylophone sebagai melodi dari When You Wish Upon A Star.
Dalam memainkan harpa dan bernyanyi pada Sunrise Sunset, sebuah komposisi dari film Fiddler on The Roof, Chika tampil cukup baik. Bernyanyi dalam program yang sama dengan dua penyanyi profesional tentu bukan hal mudah. Namun, Chika terlihat berani keluar dari zona aman dan berniat menyajikan sesuatu yang baru untuk audiens. Saya memilih memejamkan mata dan merasakannya. Komposisi yang 'minor' ini cukup membuat suasana kelam mengambang di hall conservatory.
Pertunjukan dilanjutkan dengan I Got Rhytm yang jazzy. Sebelum memainkannya, Chika mengatakan bahwa ini adalah lagu jazz pertama yang ia mainkan dengan harpa. Tantangan komposisi ini ada pada pengaturan pedaling dan rhytm yang tentu tidak mudah. Meski sempat sedikit missed, namun Chika tetap tenang dalam mengatasi lagu. Come What May sebagai komposisi terakhir sebelum break, disajikan oleh ketiga penampil. Nikodemus dan Mariska tampak hangat menyapa penonton. Diambil dari drama Shakespeare : Macbeth, komposisi ini disajikan dengan penuh energi. Mariska dan Nikodemus tampak menyenangkan, kompak dan saling mengimbangi. Komposisi yang seharusnya sangat pop ini menjadi terasa klasik di tangan mereka bertiga. Bagian favorit saya tentu klimaks akhir dengan lirik "I will love you until my dying day" dimana Mariska dan Nikodemus sama-sama mengeluarkan virtuosonya.
Babak kedua menjadi lebih semarak. Unexpected Song dan I Dreamed A Dream dinyanyikan oleh Mariska Setiawan dengan iringan harpa Chika. Sebagai pembukaan dari Mariska Setiawan, lagu ini menantang Mariska untuk mengeksplorasi range vokal, baik chest voice maupun head voice. Dengan iringan harpa Chika, lagu ini terdengar syahdu, ekspresi yang ditampilkan Mariska pun tepat. Penampilan Mariska yang menyajikan I Dreamed A Dream adalah salah satu yang paling membekas di kepala saya. Lagu yang begitu pedih ini menceritakan tentang dinamika kehidupan seorang wanita yang sedang berada di titik terendah hidupnya dan dihimpit penderitaan dalam Les Miserables. Mariska rela kembali ke belakang panggung untuk melepas sepatunya. Hebatnya, ia sudah memulai penjiwaannya bahkan ketika belum menaiki panggung. Ekspresinya begitu sedih. Saya duga lagu ini akan berhasil. Tepat. Dinamika dan pesan yang tersampaikan menghasilkan tepuk tangan meriah. Di komposisi itu, Mariska dan Chika tampil sama-sama 'kuat'.
Seisi Conservatory Hall SSO malam itu kemudian dibawa pada keceriaan baru. Part of Your World dari Little Mermaid. Di komposisi ini Chika bermain dewasa dengan mengikuti dinamika dari Mariska. Karakter Mariska tereksplorasi baik. Saya bahkan cukup merinding di bagian ini. Tapi karena ruang panggung yang masih luas, saya jadi membayangkan seandainya Mariska bisa melakukan sedikit perpindahan atau ekpresi gerak tambahan ke sisi panggung yang lain. Mengingat lagu ini begitu penuh harapan tentang suatu lingkungan dan tempat yang baru. Salah satu komposisi favorit saya di sepanjang program ini.
Di komposisi I Could Have Dance All Night, Mariska berkespansi ke sisi panggung yang lain. Menuntut tempo yang agak cepat, Mariska menyampaikan lagu ini dengan modern dan dinamis. Alih-alih terlalu terpaku pada unjuk virtuoso, Mariska memilih untuk menikmati lagu dan menyajikan dengan karakternya sendiri. Phrasing di lagu ini pun dilakukan mulus. Ditutup dengan klimaks pertunjukan head voice di akhir, komposisi lincah ini tersampaikan baik. Di bagian akhir, bahkan Chika turut memberi applause untuk penampilan Mariska kali ini.
Nikodemus tampil dengan senyum mengembang kemudian, membawakan You'll Never Walk Alone lagu kebangsaan dari klub bola Liverpool. Di lagu berikutnya adalah saat paling interaktif sepanjang acara. Moon River yang begitu familiar di antara audiens, dibawakan Nikodemus dengan berbagai kejutan. Di pengulangan bait, ia menyerahkan panggung pada suara penonton yang bernyayi secara masal. Diiringi harpa Chika, 'paduan suara' ini menciptakan syahdu. Merasa ini lagu favorit, saya tentu tak ingin ketinggalan bernyanyi. Trik ini jitu menjadikan penonton tak lagi malu-malu untuk bernyanyi mengikuti melodi di komposisi-komposisi berikutnya.
Nikodemus masih berada di panggung untuk menyanyikan komposisi pendek, Tonight. Nikodemus diminta untuk menggeber power di sepanjang lagu. Kendati demikian, lagu tersebut tak terasa 'kosong' meski dinyanyikan oleh tenor seorang diri. Menjelang bagian-bagian akhir dari program, Mariska kembali bergabung untuk menampilkan medley The Sound of Music. Secara berurutan Maria, The Sound of Music, Sixteen Going on Seventeen, Edelweiss, Climb Every Mountains, Do-Re-Mi, So Long Farewell. Jika saya tidak alpa mengingat, terselip juga My Favorite Things di deretan medley. Bagian kesukaan saya di komposisi ini tentu Edelweiss. Seketika berhasil membawa kenangan masa kecil ketika saya dan mama seringkali bernyanyi bersama dan saya memainkannya di organ.
The Prayer memberikan ruang pada Nikodemus untuk dominan. Di komposisi yang begitu familiar ini, banyak penonton yang memilih untuk bersenandung bersama. Time To Say Goodbye. Seluruh program ditutup dengan Con Te Partiro yang begitu identik dengan suara dari Andrea Bocelli dan Sarah Brightman. Meski telah familiar, tantangan para penampil adalah menghadirkan kesan grande yang biasa diciptakan oleh orchestra. Mariska dan Nikodemus cukup berhasil menggaungkan The Prayer dengan kesan yang berbeda. Untuk akhir pertunjukan dengan tepuk tangan audiens lebih dari sepuluh detik, dihadiahkan encore. Encore kali ini cukup berbeda. Nyatanya ada permintaan khusus dari tamu undangan untuk dimainkan Twinkle-Twinkle Little Star dan Nina Bobo. Tak serta merta dimainkan, lagu-lagu tersebut diawali dengan drama kecil antara Nikodemus dan Mariska yang berebut memainkan xylophone. Chika datang menengahi dan pada akhirnya mereka menghadirkannya kepada penonton. Penutupan itu seakan ingin menunjukkan bahwa tema dari keseluruhan program kali ini adalah entertaining-menghibur. Tentang bagaimana mengenang, bernyanyi, menikmati secara bebas musik yang disajikan.
― Patrick Rothfuss
Surabaya Symphony Orchestra Conservatory Hall Surabaya, Rabu lalu, 10 juni 2015 sejak pukul 18.30 sudah tampak ramai. Konzertone : Trio Broadway Recital kali itu adalah penyebabnya. Di ruangan dan panggung yang tak terlalu besar, justru menjadikan konser ini bersuasana santai dan akrab. Ketika break, audiens disuguhkan berbagai jenis kudapan manis. Macaroon, fruit cake, mini doughnut, biscuit, dan lain sebagainya disajikan di taman belakang yang memberikan nuansa hangat pada recital kali ini.
Jessica Sudarta, Nikodemus Lukas, Mariska Setiawan ditantang untuk menyanyikan komposisi-komposisi broadway adalah sebuah hal baru. Pihak Konzertone menyebut mereka sebagai Natural Born Entertainers. Muda, berbakat, berprestasi dan memiliki kesempatan besar untuk berkembang. Mengapa broadway menjadi pilihan untuk recital kali ini? Pihak Konzertone menilai bahwa tema broadway mampu menghibur audiens.

Jessica Sudarta, haprist muda produktif yang sedang bersinar ini kembali hadir dengan lagu-lagu broadway. Sempat hadir pertanyaan di kepala saya, mengapa di e-flyer dan invitation foto Chika - nama panggilan Jessica- mengambil porsi paling besar di acara ini. Nyatanya, memang Chika bermain harpa sepanjang program. Baik untuk mengiringi atau pun bermain solo. Kali itu kesempatan pertama saya menyaksikan penampilan sang soprano, Mariska Setiawan. Membalik-balik booklet, saya menemukan prestasi yang dimilikinya cukup mengagumkan. Mulai menjadi soprano Paduan Suara Gita Bahana hingga berkolaborasi dengan Ananda Sukarlan. Ia pun sempat berguru pada Aning Katamsi dan Bernadeta Astari. Melengkapi Chika dan Mariska, tampillah Nikodemus L. Hariono, yang berperan sebagai tenor. Jejak rekam suaranya juga tak bisa dibilang remeh. Ananda Sukarlan, Indra Aziz, Aning Katamsi sempat menjadi mentornya. Ketiga bakat muda ini berkolaborasi di satu panggung, namun bukan untuk komposisi-komposisi klasik, justru berangkat dengan tema broadway.
Beruntunglah saya datang lebih awal. Partner nonton saya kali ini pun tak terlambat. Kami berhasil mendapatkan tempat yang cukup strategis. Baris terdepan untuk penonton. Dua baris di depan kami dikhususkan untuk tamu undangan. Ketika menunggu partner saya datang, seperti biasa, saya langsung menelusuri booklet. Wow, ekspektasi saya tentang komposisi-komposisi klasik yang saya kira akan dimainkan, luruh seketika. Nyaris seluruh komposisi di dalam program merupakan lagu-lagu yang berangkat dari soundtrack film layar lebar. Dan pilihan lagunya cukup familiar di telinga audiens. Pertanyaan dan keheranan kami terjawab oleh pihak Konzertone mengatakan bahwa memang pertunjukan kali ini sengaja disusun ringan dan menghibur. Penonton tidak terikat pada aturan-aturan konser klasik seperti biasa. Bahkan audiens dipersilakan untuk bertepuk tangan maupun bernyanyi bersama ketika komposisi dimainkan.
Di babak pertama, panggung menjadi milik Chika. Bersama harpanya, ia memainkan berbagai komposisi. Namun ada satu kejadian menarik yang melekat di ingatan saya. Meski masih berusia sangat muda, sebagai musisi profesional, Chika menampilkan etika yang cukup mengagumkan. Ketika ia telah siap dengan harpanya, audiens sempat dibuat heran dengan komposisi yang tak segera dimainkan. Alih-alih, Chika hanya tersenyum memandang audiens. Ternyata ia sedang menunggu 'kanvas'nya tersedia. Kanvas musisi yang berupa sunyi masih belum bisa dihadirkan oleh beberapa penonton yang datang terlambat dan meninggalkan ketukan sepatu pada lantai kayu sepanjang perjalanannya menuju kursi di bagian belakang. Dengan tenang, Chika hanya tersenyum dan ketika sunyi sudah ia dapatkan, komposisi dimainkan. Over The Rainbow sebagai pembuka sangat menarik, terutama ketika Chika memainkannya dengan penghayatan yang baik. Melodi lagu ini yang sederhana seringkali berpotensi membuat pemain ingin bervirtuoso dan mempercepat tempo, namun Chika tidak melakukannya. Ia memilih untuk menghadirkan ambience yang tenang dan manis. Saya suka ekspresinya ketika damping di bagian akhir. Menjadi terasa lebih mengena karena ini merupakan lagu favorit saya.

Dalam memainkan harpa dan bernyanyi pada Sunrise Sunset, sebuah komposisi dari film Fiddler on The Roof, Chika tampil cukup baik. Bernyanyi dalam program yang sama dengan dua penyanyi profesional tentu bukan hal mudah. Namun, Chika terlihat berani keluar dari zona aman dan berniat menyajikan sesuatu yang baru untuk audiens. Saya memilih memejamkan mata dan merasakannya. Komposisi yang 'minor' ini cukup membuat suasana kelam mengambang di hall conservatory.
Pertunjukan dilanjutkan dengan I Got Rhytm yang jazzy. Sebelum memainkannya, Chika mengatakan bahwa ini adalah lagu jazz pertama yang ia mainkan dengan harpa. Tantangan komposisi ini ada pada pengaturan pedaling dan rhytm yang tentu tidak mudah. Meski sempat sedikit missed, namun Chika tetap tenang dalam mengatasi lagu. Come What May sebagai komposisi terakhir sebelum break, disajikan oleh ketiga penampil. Nikodemus dan Mariska tampak hangat menyapa penonton. Diambil dari drama Shakespeare : Macbeth, komposisi ini disajikan dengan penuh energi. Mariska dan Nikodemus tampak menyenangkan, kompak dan saling mengimbangi. Komposisi yang seharusnya sangat pop ini menjadi terasa klasik di tangan mereka bertiga. Bagian favorit saya tentu klimaks akhir dengan lirik "I will love you until my dying day" dimana Mariska dan Nikodemus sama-sama mengeluarkan virtuosonya.
Babak kedua menjadi lebih semarak. Unexpected Song dan I Dreamed A Dream dinyanyikan oleh Mariska Setiawan dengan iringan harpa Chika. Sebagai pembukaan dari Mariska Setiawan, lagu ini menantang Mariska untuk mengeksplorasi range vokal, baik chest voice maupun head voice. Dengan iringan harpa Chika, lagu ini terdengar syahdu, ekspresi yang ditampilkan Mariska pun tepat. Penampilan Mariska yang menyajikan I Dreamed A Dream adalah salah satu yang paling membekas di kepala saya. Lagu yang begitu pedih ini menceritakan tentang dinamika kehidupan seorang wanita yang sedang berada di titik terendah hidupnya dan dihimpit penderitaan dalam Les Miserables. Mariska rela kembali ke belakang panggung untuk melepas sepatunya. Hebatnya, ia sudah memulai penjiwaannya bahkan ketika belum menaiki panggung. Ekspresinya begitu sedih. Saya duga lagu ini akan berhasil. Tepat. Dinamika dan pesan yang tersampaikan menghasilkan tepuk tangan meriah. Di komposisi itu, Mariska dan Chika tampil sama-sama 'kuat'.
Seisi Conservatory Hall SSO malam itu kemudian dibawa pada keceriaan baru. Part of Your World dari Little Mermaid. Di komposisi ini Chika bermain dewasa dengan mengikuti dinamika dari Mariska. Karakter Mariska tereksplorasi baik. Saya bahkan cukup merinding di bagian ini. Tapi karena ruang panggung yang masih luas, saya jadi membayangkan seandainya Mariska bisa melakukan sedikit perpindahan atau ekpresi gerak tambahan ke sisi panggung yang lain. Mengingat lagu ini begitu penuh harapan tentang suatu lingkungan dan tempat yang baru. Salah satu komposisi favorit saya di sepanjang program ini.
Di komposisi I Could Have Dance All Night, Mariska berkespansi ke sisi panggung yang lain. Menuntut tempo yang agak cepat, Mariska menyampaikan lagu ini dengan modern dan dinamis. Alih-alih terlalu terpaku pada unjuk virtuoso, Mariska memilih untuk menikmati lagu dan menyajikan dengan karakternya sendiri. Phrasing di lagu ini pun dilakukan mulus. Ditutup dengan klimaks pertunjukan head voice di akhir, komposisi lincah ini tersampaikan baik. Di bagian akhir, bahkan Chika turut memberi applause untuk penampilan Mariska kali ini.
Nikodemus tampil dengan senyum mengembang kemudian, membawakan You'll Never Walk Alone lagu kebangsaan dari klub bola Liverpool. Di lagu berikutnya adalah saat paling interaktif sepanjang acara. Moon River yang begitu familiar di antara audiens, dibawakan Nikodemus dengan berbagai kejutan. Di pengulangan bait, ia menyerahkan panggung pada suara penonton yang bernyayi secara masal. Diiringi harpa Chika, 'paduan suara' ini menciptakan syahdu. Merasa ini lagu favorit, saya tentu tak ingin ketinggalan bernyanyi. Trik ini jitu menjadikan penonton tak lagi malu-malu untuk bernyanyi mengikuti melodi di komposisi-komposisi berikutnya.

The Prayer memberikan ruang pada Nikodemus untuk dominan. Di komposisi yang begitu familiar ini, banyak penonton yang memilih untuk bersenandung bersama. Time To Say Goodbye. Seluruh program ditutup dengan Con Te Partiro yang begitu identik dengan suara dari Andrea Bocelli dan Sarah Brightman. Meski telah familiar, tantangan para penampil adalah menghadirkan kesan grande yang biasa diciptakan oleh orchestra. Mariska dan Nikodemus cukup berhasil menggaungkan The Prayer dengan kesan yang berbeda. Untuk akhir pertunjukan dengan tepuk tangan audiens lebih dari sepuluh detik, dihadiahkan encore. Encore kali ini cukup berbeda. Nyatanya ada permintaan khusus dari tamu undangan untuk dimainkan Twinkle-Twinkle Little Star dan Nina Bobo. Tak serta merta dimainkan, lagu-lagu tersebut diawali dengan drama kecil antara Nikodemus dan Mariska yang berebut memainkan xylophone. Chika datang menengahi dan pada akhirnya mereka menghadirkannya kepada penonton. Penutupan itu seakan ingin menunjukkan bahwa tema dari keseluruhan program kali ini adalah entertaining-menghibur. Tentang bagaimana mengenang, bernyanyi, menikmati secara bebas musik yang disajikan.
Published on June 17, 2015 15:58
June 7, 2015
The Joy of Music
Melihat Jessica Sudarta bermain bersama guru-gurunya sudah saya lakukan beberapa kali. Bagaimana ketika ia mesti bermain dengan muridnya?
23 Mei 2015 lalu, saya diundang Tante Yenny Sudarta untuk hadir di acara penampilan musikal siswa-siswi sekolah musik dan sekolah tari. Usia penampil beragam mulai anak-anak hingga remaja. Karena ada sedikit kejadian yang tidak diharapkan, saya dan kedua partner nonton saya mesti lapang dada untuk sedikit terlambat mengikuti program acara. Sesuai dengan konsepnya yang fun dan anak-anak, tak ada penampilan 'berat' sore itu. Pilihan-pilihan lagu pun disesuaikan dengan keceriaan dan kegembiraan khas dunia anak-anak. Terhitung dua puluh empat lagu yang dibawakan oleh para pemain. Tak heran, waktu konser ini juga lebih panjang dari konser biasanya. Lagu yang dibawakan kebanyakan sangat akrab di telinga anak-anak, seperti Soundtrack Doraemon dan Disney. Meski begitu juga ditampilkan komposisi pop barat, Mandarin dan lagu Indonesia.
Selayaknya pentas seni, ditampilkan drama musikal, permainan instrumen musik personal maupun kelompok, tarian, dan lain sebagainya. Kami cukup dibuat geli dan gemas dengan penampilan dari anak-anak yang menari dengan berbagai kostum lucu, atau ansamble biola dengan salah satu pesertanya yang sangat mungil. Panggung besar menampilkan ansamble gesek di bagian ujung kiri, diikuti Jessica Sudarta bersama harpanya. Bagian tengah dikosongkan untuk ruang tampil, di bagian kiri berdiri Grand piano hitam, keyboard dan drum. Yang membuat tampilan semakin menarik adalah layar LCD besar yang menjadi background panggung. Layar tersebut seringkali menampilkan animasi-animasi seperti Aladdin, Mickey Mouse, dan Mulan ketika soundtrack dimainkan.
Penampilan dari anak-anak ini memang nyaris selalu kolektif. Entah ansamble piano, biola dan mini orchestra, saksofon bersama harpa, dan lain sebagainya. Di balik kelucuan dan cerianya anak-anak awal usia yang menari, terselip beberapa penampilan menarik dari Jessica Sudarta dan murid Harpanya, Ferren. Meski terlihat belum sematang Jessica dari sisi keyakinan dan kepercayaan diri, namun Ferren tampil cukup baik. Belakangan saya mendapat informasi bahwa ia menginjak tahun pertama berguru pada Jessica. Edelweiss sukses membawa saya ke masa kecil dimana saya cukup sering memainkan dan menyayikan lagu itu. A Whole New World kembali membawa angan pada konser debut Jessica. Meski tak se-grande sebelumnya, namun saya tetap menikmati melodinya sebagai lagu kesukaan.
Di akhir pertunjukan, anak-anak yang telah tampil diminta untuk memberikan hadiah dan berkenalan dengan teman-teman baru mereka dari sebuah yayasan. Seakan ingin menyampaikan bahwa bermusik adalah masalah melatih kepekaan, juga kepekaan sosial.
Mengatur begitu banyak anak dalam satu acara, bahkan seringkali mesti berkolaborasi, saya mesti angkat topi pada guru dan pengatur acara. Meski sempat beberapa kali terjadi 'kecelakaan kecil' di bidang teknis, namun secara umum, acara tersebut cukup menghibur. Pertunjukan ini seakan mengingatkan bahwa musik memang semestinya dimainkan bebas, riang gembira, tak peduli siapa yang mendengar dan bagaimana komentar yang akan didapatkan. Saya 'ditampar' kembali tentang esensi kegembiraan bermusik.
23 Mei 2015 lalu, saya diundang Tante Yenny Sudarta untuk hadir di acara penampilan musikal siswa-siswi sekolah musik dan sekolah tari. Usia penampil beragam mulai anak-anak hingga remaja. Karena ada sedikit kejadian yang tidak diharapkan, saya dan kedua partner nonton saya mesti lapang dada untuk sedikit terlambat mengikuti program acara. Sesuai dengan konsepnya yang fun dan anak-anak, tak ada penampilan 'berat' sore itu. Pilihan-pilihan lagu pun disesuaikan dengan keceriaan dan kegembiraan khas dunia anak-anak. Terhitung dua puluh empat lagu yang dibawakan oleh para pemain. Tak heran, waktu konser ini juga lebih panjang dari konser biasanya. Lagu yang dibawakan kebanyakan sangat akrab di telinga anak-anak, seperti Soundtrack Doraemon dan Disney. Meski begitu juga ditampilkan komposisi pop barat, Mandarin dan lagu Indonesia.
Selayaknya pentas seni, ditampilkan drama musikal, permainan instrumen musik personal maupun kelompok, tarian, dan lain sebagainya. Kami cukup dibuat geli dan gemas dengan penampilan dari anak-anak yang menari dengan berbagai kostum lucu, atau ansamble biola dengan salah satu pesertanya yang sangat mungil. Panggung besar menampilkan ansamble gesek di bagian ujung kiri, diikuti Jessica Sudarta bersama harpanya. Bagian tengah dikosongkan untuk ruang tampil, di bagian kiri berdiri Grand piano hitam, keyboard dan drum. Yang membuat tampilan semakin menarik adalah layar LCD besar yang menjadi background panggung. Layar tersebut seringkali menampilkan animasi-animasi seperti Aladdin, Mickey Mouse, dan Mulan ketika soundtrack dimainkan.
Penampilan dari anak-anak ini memang nyaris selalu kolektif. Entah ansamble piano, biola dan mini orchestra, saksofon bersama harpa, dan lain sebagainya. Di balik kelucuan dan cerianya anak-anak awal usia yang menari, terselip beberapa penampilan menarik dari Jessica Sudarta dan murid Harpanya, Ferren. Meski terlihat belum sematang Jessica dari sisi keyakinan dan kepercayaan diri, namun Ferren tampil cukup baik. Belakangan saya mendapat informasi bahwa ia menginjak tahun pertama berguru pada Jessica. Edelweiss sukses membawa saya ke masa kecil dimana saya cukup sering memainkan dan menyayikan lagu itu. A Whole New World kembali membawa angan pada konser debut Jessica. Meski tak se-grande sebelumnya, namun saya tetap menikmati melodinya sebagai lagu kesukaan.
Di akhir pertunjukan, anak-anak yang telah tampil diminta untuk memberikan hadiah dan berkenalan dengan teman-teman baru mereka dari sebuah yayasan. Seakan ingin menyampaikan bahwa bermusik adalah masalah melatih kepekaan, juga kepekaan sosial.
Mengatur begitu banyak anak dalam satu acara, bahkan seringkali mesti berkolaborasi, saya mesti angkat topi pada guru dan pengatur acara. Meski sempat beberapa kali terjadi 'kecelakaan kecil' di bidang teknis, namun secara umum, acara tersebut cukup menghibur. Pertunjukan ini seakan mengingatkan bahwa musik memang semestinya dimainkan bebas, riang gembira, tak peduli siapa yang mendengar dan bagaimana komentar yang akan didapatkan. Saya 'ditampar' kembali tentang esensi kegembiraan bermusik.
Published on June 07, 2015 02:23