Nabila Budayana's Blog, page 10
February 23, 2014
"Does every little girl really have to be a princess?”
"Aku menika sama pangeran." - aku menikah dengan pangeran.
Tulisan itu datang dari seorang gadis kecil yang melengkapinya dengan gambar perempuan berekor sedang tersenyum (mungkin maksudnya putri angsa atau yang lainnya). Seorang teman dari ujung timur Indonesia membagikan foto dari karya seorang anak didiknya. Ia memang kerap kali membagi gambar-gambar yang menarik dari aktivitas suatu sekolah di Timika, Papua tempat dirinya mengajar. Mulai isi kelas, kegiatan anak-anak, hingga karya-karya mereka. Ketika melihat gambar itu, saya tertawa. Betapa seorang gadis cilik sudah memiliki impian selayaknya dongeng putri Disney. Hal itu berlawanan dengan yang saya dapatkan dari seorang murid dari tempat saya mengajar. Dalam beberapa kesempatan ketika kami menyebut tentang kisah princess, murid saya, gadis cilik sepuluh tahun itu bicara, "Kenapa sih, kisah princess harus selalu happy ending? Kenapa harus selalu happily ever after? Kenapa harus selalu menikah? Itu kan cerita anak-anak? Kan bisa berteman (dengan pangeran)?" Baginya, belum saatnya bagi anak-anak untuk mendapatkan kisah yang berakhir dengan ciuman, apalagi menikah. Ia lebih senang dengan cerita putri yang berubah menjadi kodok, atau justru memilih menjadi penyihir di dalam pentas drama yang kami susun bersama. Terus terang saja, saya belum menyiapkan jawaban untuk pertanyaan semacam itu. Saya hanya mencari jalan keluar mudah dengan mengatakan, "Kalau gitu, tugasmu untuk bikin cerita princess yang kamu mau. Yang ending-nya nggak menikah dengan pangeran." Merasa belum menemukan jawaban yang tepat, hal itu menyangkut dalam benak saya, hingga saat ini.
Sejak kecil ternyata saya bukan penggemar berat kisah-kisah princess. Meski, masih sesekali mengikutinya. Meski begitu, jika seseorang menyebut kisah princess, kepala saya akan mengarah otomatis pada karakter princesses Disney. Lalu dari mana Disney's Princesses lahir? Nyatanya, ide itu berawal dari Andy Mooney sebagai pimpinan Disney Consumer Products di akhir 1990an. Ia memutuskan untuk mematenkan rancangan princess pada produknya setelah melihat beberapa gadis cilik berpakaian ala princess hadir ke pertunjukan Disney on Ice. Kisah-kisah putri Disney menjadi lahan bisnis yang menarik untuk dikerjakan. Ia mewujud dalam berbagai bentuk pertunjukan, film, buku, dan lain sebagainya. Bahkan persahabatan, kecantikan, kebaikan hati dari Putri Salju dalam "Snow White and the Seven Dwarfs" mampu menyeret kesuksesan dari karya Disney lainnya seperti Pinocchio, Dumbo dan Bambi.
Namun, di balik kilau-kilau kisah putri Disney, di tahun 1937, "Snow White and the Seven Dwarfs" sudah menimba ketidaksetujuan dari kaum feminis karena dianggap sebagai perwujudan dari subjektifitas pribadi bagaimana Walt Disney, sang penemu, memandang kehidupan keluarganya. Selain itu, juga dianggap merepresentasikan budaya patriarki di tahun 1940an. Ketidaksetujuan tentang kisah princess Disney pada gadis-gadis cilik juga diutarakan Peggy Orenstein, seorang feminis dan seorang ibu, yang menulis artikel "What's Wrong With Cinderella?" dan dipublikasikan tahun 2006 di New York Times. Tamara Weston dari Time memberikan kritik juga untuk kisah princess Disney yang dianggap tak cocok untuk menjadi contoh bagi gadis-gadis muda.
Saya teringat saat saya sedang mencoba satu dress panjang di toko kecil karena tertarik ketika dikenakan manekin di etalase. Ada dua warna yang mesti saya pilih. Putih dan oranye. Saat itu bagi saya lebih baik yang berwarna putih. Pramuniaga yang menatap saya mengatakan, "Pilih putih biar kayak putri-putri ya?" oke, kemudian saya merunduk sebal, tak menatap sang pramuniaga, meski akhirnya tetap membawa dress itu pulang. Setiap kali mengenakannya, setidaknya, belum ada yang mengatakan saya seperti princess, atau justru mengubah kehidupan saya layaknya princess. Pada akhirnya saya berpikir betapa kuatnya kesan princess pada kepala sebagian besar manusia. Mungkin saja di luar sana, seseorang sedang berharap memiliki kulit semulus putri salju, atau mati-matian berjuang mengecilkan perut demi sekadar terlihat selangsing princess, atau bahkan berharap pasangannya dapat berubah dari Beast menjadi Prince. Ya, bagaimanapun untuk sebuah bisnis, meski bukan satu-satunya, Disney Princess berhasil membangun image-nya, yang kadang kala tak kita sadari, beberapa detailnya masuk ke kepala kita.
Saya mungkin tak setajam Orenstein dalam memandang pernik-pernik hal berbau princess. Terutama ketika di awal esainya ia berkisah tentang betapa kekesalan menumpuk di dada saat putrinya ditawarkan segala hal yang berbau princess (panggilan princess, makan siang ala putri, hingga balon warna pink), dan ia bertanya, "Does every little girl really have to be a princess?” pertanyaan yang selama ini ada di benak saya juga.
Kembali melayangkan pikiran di kelas tempat saya mengajar, ketika menatap mata mereka, para gadis cilik, saya berharap setidaknya mereka bukan hanya memiliki harapan sebesar putri yang ingin hidup bahagia bersama sang pangeran, namun juga mampu berjuang seberani Pocahontas dan berani jujur pada diri sendiri layaknya Mulan. Rasa-rasanya, kisah princess tak akan terlalu buruk. Hanya, ekspektasi akan kehidupan seperti princess yang saya harap tak membebani langkah mereka kelak.
Tapi ternyata saya belum bisa merasa lega dan mesti memutar otak kembali, ketika baru-baru ini seorang gadis cilik yang berbeda bertanya, "Kenapa princess harus pink?"
Tulisan itu datang dari seorang gadis kecil yang melengkapinya dengan gambar perempuan berekor sedang tersenyum (mungkin maksudnya putri angsa atau yang lainnya). Seorang teman dari ujung timur Indonesia membagikan foto dari karya seorang anak didiknya. Ia memang kerap kali membagi gambar-gambar yang menarik dari aktivitas suatu sekolah di Timika, Papua tempat dirinya mengajar. Mulai isi kelas, kegiatan anak-anak, hingga karya-karya mereka. Ketika melihat gambar itu, saya tertawa. Betapa seorang gadis cilik sudah memiliki impian selayaknya dongeng putri Disney. Hal itu berlawanan dengan yang saya dapatkan dari seorang murid dari tempat saya mengajar. Dalam beberapa kesempatan ketika kami menyebut tentang kisah princess, murid saya, gadis cilik sepuluh tahun itu bicara, "Kenapa sih, kisah princess harus selalu happy ending? Kenapa harus selalu happily ever after? Kenapa harus selalu menikah? Itu kan cerita anak-anak? Kan bisa berteman (dengan pangeran)?" Baginya, belum saatnya bagi anak-anak untuk mendapatkan kisah yang berakhir dengan ciuman, apalagi menikah. Ia lebih senang dengan cerita putri yang berubah menjadi kodok, atau justru memilih menjadi penyihir di dalam pentas drama yang kami susun bersama. Terus terang saja, saya belum menyiapkan jawaban untuk pertanyaan semacam itu. Saya hanya mencari jalan keluar mudah dengan mengatakan, "Kalau gitu, tugasmu untuk bikin cerita princess yang kamu mau. Yang ending-nya nggak menikah dengan pangeran." Merasa belum menemukan jawaban yang tepat, hal itu menyangkut dalam benak saya, hingga saat ini.
Sejak kecil ternyata saya bukan penggemar berat kisah-kisah princess. Meski, masih sesekali mengikutinya. Meski begitu, jika seseorang menyebut kisah princess, kepala saya akan mengarah otomatis pada karakter princesses Disney. Lalu dari mana Disney's Princesses lahir? Nyatanya, ide itu berawal dari Andy Mooney sebagai pimpinan Disney Consumer Products di akhir 1990an. Ia memutuskan untuk mematenkan rancangan princess pada produknya setelah melihat beberapa gadis cilik berpakaian ala princess hadir ke pertunjukan Disney on Ice. Kisah-kisah putri Disney menjadi lahan bisnis yang menarik untuk dikerjakan. Ia mewujud dalam berbagai bentuk pertunjukan, film, buku, dan lain sebagainya. Bahkan persahabatan, kecantikan, kebaikan hati dari Putri Salju dalam "Snow White and the Seven Dwarfs" mampu menyeret kesuksesan dari karya Disney lainnya seperti Pinocchio, Dumbo dan Bambi.
Namun, di balik kilau-kilau kisah putri Disney, di tahun 1937, "Snow White and the Seven Dwarfs" sudah menimba ketidaksetujuan dari kaum feminis karena dianggap sebagai perwujudan dari subjektifitas pribadi bagaimana Walt Disney, sang penemu, memandang kehidupan keluarganya. Selain itu, juga dianggap merepresentasikan budaya patriarki di tahun 1940an. Ketidaksetujuan tentang kisah princess Disney pada gadis-gadis cilik juga diutarakan Peggy Orenstein, seorang feminis dan seorang ibu, yang menulis artikel "What's Wrong With Cinderella?" dan dipublikasikan tahun 2006 di New York Times. Tamara Weston dari Time memberikan kritik juga untuk kisah princess Disney yang dianggap tak cocok untuk menjadi contoh bagi gadis-gadis muda.
Saya teringat saat saya sedang mencoba satu dress panjang di toko kecil karena tertarik ketika dikenakan manekin di etalase. Ada dua warna yang mesti saya pilih. Putih dan oranye. Saat itu bagi saya lebih baik yang berwarna putih. Pramuniaga yang menatap saya mengatakan, "Pilih putih biar kayak putri-putri ya?" oke, kemudian saya merunduk sebal, tak menatap sang pramuniaga, meski akhirnya tetap membawa dress itu pulang. Setiap kali mengenakannya, setidaknya, belum ada yang mengatakan saya seperti princess, atau justru mengubah kehidupan saya layaknya princess. Pada akhirnya saya berpikir betapa kuatnya kesan princess pada kepala sebagian besar manusia. Mungkin saja di luar sana, seseorang sedang berharap memiliki kulit semulus putri salju, atau mati-matian berjuang mengecilkan perut demi sekadar terlihat selangsing princess, atau bahkan berharap pasangannya dapat berubah dari Beast menjadi Prince. Ya, bagaimanapun untuk sebuah bisnis, meski bukan satu-satunya, Disney Princess berhasil membangun image-nya, yang kadang kala tak kita sadari, beberapa detailnya masuk ke kepala kita.
Saya mungkin tak setajam Orenstein dalam memandang pernik-pernik hal berbau princess. Terutama ketika di awal esainya ia berkisah tentang betapa kekesalan menumpuk di dada saat putrinya ditawarkan segala hal yang berbau princess (panggilan princess, makan siang ala putri, hingga balon warna pink), dan ia bertanya, "Does every little girl really have to be a princess?” pertanyaan yang selama ini ada di benak saya juga.
Kembali melayangkan pikiran di kelas tempat saya mengajar, ketika menatap mata mereka, para gadis cilik, saya berharap setidaknya mereka bukan hanya memiliki harapan sebesar putri yang ingin hidup bahagia bersama sang pangeran, namun juga mampu berjuang seberani Pocahontas dan berani jujur pada diri sendiri layaknya Mulan. Rasa-rasanya, kisah princess tak akan terlalu buruk. Hanya, ekspektasi akan kehidupan seperti princess yang saya harap tak membebani langkah mereka kelak.
Tapi ternyata saya belum bisa merasa lega dan mesti memutar otak kembali, ketika baru-baru ini seorang gadis cilik yang berbeda bertanya, "Kenapa princess harus pink?"
Published on February 23, 2014 21:11
January 14, 2014
Geliat Penulis Perjalanan Muda
Kini, buku-buku perjalanan sedang menapaki tangga kejayaan dan memiliki ruang yang cukup besar di masyarakat. Berbagi dan membaca hasil dari suatu perjalanan menjadi terdengar menyenangkan bagi banyak orang. Nama-nama yang tercetak di buku bukan hanya didominasi oleh para penulis perjalanan kawakan. Bibit-bibit penulis perjalanan baru kini pun bermunculan. Mereka yang selama ini menulis untuk halaman-halaman pribadi, mulai keluar dan menerbitkan buku. Gaya dan ide baru tentang penulisan perjalanan pun mengikuti pertumbuhan itu. Sejauh apa kiprah para penulis perjalanan muda itu di dunia travel writing saat ini, dan apa semangat yang mereka bawa?
Dari perbincangan dan diskusi saya dengan Lalu Abdul Fatah : seorang penulis perjalanan muda, seorang penulis buku "Travelicious Lombok", kontributor di belasan antologi buku perjalanan, editor dan penggagas komunitas "Lombok Backpacker" selama ini, seringkali saya tertarik dengan gagasan yang ia bawa. Di tengah kesibukannya menyelesaikan skripsi, saya ajukan beberapa pertanyaan tentang geliat penulis perjalanan muda dan hasilnya, ia menyajikan sudut pandang yang berbeda.
Sejauh apa sesungguhnya travel writing / tulisan perjalanan dapat diartikan?Kalau bicara teori, tulisan perjalanan dibagi ke dalam empat jenis. Ia bisa berupa jurnal perjalanan, buku panduan perjalanan, buku perjalanan, dan yang saat ini sedang naik daun adalah sastra perjalanan. Bedanya terletak pada gaya tulisannya. Jika tulisannya lebih ke arah naratif dan instruktif, itu termasuk catatan perjalanan. Kalau deskriptif dan instruktif, itu masuk kategori buku panduan perjalanan. Sementara kalau evokatif (menggugah) dan deskriptif, itu terkategorikan buku perjalanan. Dan, sastra perjalanan itu lebih bergaya evokatif dan naratif.Itu teori idealnya. Sebab, ada juga yang membagi tulisan perjalanan ke ranah komersil dan tidak komersil. Maksudnya, tulisan perjalanan yang komersil itu lebih menonjolkan eksotisme, keindahan, dan hal-hal surgawi di dalamnya. Tujuannya memang untuk membangkitkan fantasi pembaca sekaligus menarik mereka untuk mau berkunjung ke tempat tersebut. Sebaliknya, tulisan perjalanan non-komersil mengangkat sisi lain di luar keindahan tempat, kenikmatan kuliner, dan hal-hal menyenangkan dalam perjalanan. Ia lebih mengangkat sisi humanis, kritik sosial, ataupun hal-hal yang bersifat perenungan atau kontemplatif. Tapi, tentu saja pembagian-pembagian di atas sangat bisa diperdebatkan. Tidak ada batasan kaku, bahkan terjadinya lintas subgenre pun sangat memungkinkan. Dan, tulisan perjalanan pun jika dikembalikan ke ‘fitrah’nya adalah tulisan, sebuah ekspresi kebebasan berpikir manusia. Penulis perjalanan punya hak sekaligus tanggung jawab hendak ke mana membawa arah tulisannya. Namun, satu hal yang mesti digarisbawahi dalah tulisan perjalanan itu bersifat non-fiksi alias faktual. Bukan khayalan penulisnya. Jika perjalanan penulisnya disampaikan dalam wujud novel atau cerita pendek, yang tentu saja ada tambahan bumbu-bumbu di sana sini biar lebih dramatis, misalnya, maka ia sudah masuk ranah fiksi. Saya kira, ini yang bisa menjadi ruang lingkup paling jelas untuk tulisan perjalanan. Ia berlindung di bawah kubah bernama non-fiksi.
Mengapa Anda memilih tulisan perjalanan sebagai pilihan genre?Sebenarnya saya masih pemain baru di genre ini. Saya mulai menekuni tulisan perjalanan sejak 2010. Buku solo perdana saya berjudul Travelicious Lombok. Buku yang bisa dikategorikan mixed antara buku panduan perjalanan dan jurnal perjalanan. Sebab di situ saya tidak hanya memberi informasi mengenai akomodasi, transportasi, kuliner, dan tips-tips teknis untuk berkeliling Lombok, tapi juga ada cerita perjalanan saya dari hari ke hari. Namun, sebagaimana buku panduan yang informasi di dalamnya rentan kadaluwarsa, saya mulai beranjak ke travelogue alias cerita perjalanan. Alur dan gaya bertutur jauh lebih bisa saya lenturkan lewat cerita perjalanan. Tidak melulu bahasannya hal-hal teknis jika di buku panduan. Maka, pasca buku solo saya itu terbit, gairah menulis di genre ini terus meningkat. Jika dalam menyanyi ada istilah range vocal, begitu pula dalam menulis. Saya melihat genre tulisan perjalanan ini memiliki range atau jangkauan yang luas, sebagaimana yang saya sebutkan di atas. Dan, saya pikir, ada peluang bagi saya untuk mengeksplorasinya. Saya pun menulis artikel perjalanan untuk majalah. Di buku TraveLove, saya menulis cerita perjalanan yang dibumbui dengan romansa. Di buku Love Journey: Ada Cinta di Tiap Perjalanan, saya melakukan otokritik atas publikasi yang melulu menceritakan keindahan dan itu sedikit tidak, juga langsung dan tidak langsung, berdampak pada arus kunjungan yang membludak di area wisata dan tentu saja berdampak. Di buku Traveling Note Competition, saya menulis ala jurnal perjalanan saat berkunjung ke Taman Nasional Way Kambas juga Karimun Jawa. Sementara di buku yang baru-baru ini terbit, Storycake for Your Life: Backpackers, saya berkisah dengan gaya yang lebih kontemplatif dengan sentuhan kocak.Bagi saya pribadi, meminjam elemen-elemen fiksi untuk tulisan perjalanan itu jauh lebih menarik. Mengapa? Saya bisa memainkan alur dan mengeksplorasi gaya bercerita. Dan, itu jauh lebih bisa saya nikmati. Sebab, sebelum menulis buku solo pertama, saya lebih dahulu akrab menulis puisi, cerpen, dan naskah drama. Akhir-akhir ini buku bertema perjalanan mendapat banyak tempat di antara pembaca. Menurut Anda, faktor apa yang mendukung fenomena tersebut?Ada asap, pasti ada api. Jika buku bertema perjalanan sedang marak disukai pembaca di Indonesia saat ini, saya kira itu tidak lepas dari kesuksesan serial The Naked Traveler yang ditulis oleh Trinity. Ketika buku itu dilempar ke publik pada 2007 dan akhirnya dicetak berkali-kali, maka di situ jelas-jelas berlaku hukum permintaan dan penawaran. Ternyata, The Naked Traveler disukai karena gaya menulisnya yang blak-blakan dan cenderung kocak. Kalau saya menerka, hasrat untuk mengetahui daerah lain beserta manusia yang tumbuh di atasnya merupakan hal alamiah dalam diri seseorang. Pengalaman-pengalaman tak terduga, menyebalkan, menyenangkan, mengejutkan, dan seterusnya yang dialami seorang pejalan di daerah lain, memancing rasa ingin tahu. Apalagi jika pengalaman itu diolah dengan keterampilan menulis yang bagus, maka peluang untuk mengkhatamkannya sangat besar. Ujung-ujungnya apa? Permintaan buku-buku bertema perjalanan pun meningkat. Penerbit pun sigap menyikapi ini. Mereka menawari pembaca yang skupnya luas dan minatnya beragam dengan buku-buku perjalanan yang juga beraneka macam. Ada pembaca yang menyukai cerita-cerita ringan dan kocak, maka pilihan jatuh, misalnya, pada The Naked Traveler. Ada pembaca yang menyukai kisah-kisah perjalanan penuh petualangan dengan ramuan sejarah yang kental, maka larilah mereka ke buku-buku yang ditulis oleh Agustinus Wibowo. Ada pula pembaca yang butuh buku-buku teknis yang akan memandu mereka ke suatu kota, pulau, atau negara, maka penerbit pun berlomba-lomba menyajikan itu.Dan, hasrat bertualang dalam diri pribadi, ditambah asupan buku-buku bertema perjalanan, lantas kawin dengan maraknya media sosial dan promosi wisata baik dari pemerintah maupun swasta, klop sudah.
Dari banyak buku bertema perjalanan, sesungguhnya adakah pengelompokkan jenis-jenis tulisan perjalanan pada spesifikasi tertentu? Apa kelebihan dan kekurangan masing-masing?Pengelompokan ini sudah saya jawab di atas. Masalah kelebihan dan kekurangan, tentu saja ada. Tapi, ini juga berbeda tergantung masing-masing orang melihatnya. Misalnya, saya melihat buku panduan perjalanan punya kelebihan di sisi teknis dan panduannya. Bagi pemula dalam aktivitas jalan-jalan, mereka akan terbantu oleh buku jenis ini. Apalagi jika cetakannya dalam bentuk saku, enteng di bawa ke mana-mana. Buku jenis ini bisa menjadi alternatif bantuan ketika di daerah yang dikunjungi ternyata tidak memiliki sinyal untuk akses informasi melalui internet, misalnya. Namun, tentu saja kelemahannya adalah pada data dan informasi yang rentan kadaluwarsa. Dan, saya melihat penerbit-penerbit di Indonesia, masih belum seserius The Lonely Planet untuk terus memperbarui konten buku-buku panduan perjalanan terbitan mereka. Untuk jurnal perjalanan, ini bisa jadi alternatif bacaan yang mengasyikkan. Bisa dibawakan dengan gaya ringan tapi tetap berisi. Tapi, penilaian pembaca tentu akan beragam. Jika tidak diolah dengan dinamis, jurnal perjalanan bisa akan jatuh membosankan. Tapi, jika diselipi dengan humor, satir, kritik, dan elemen-elemen lainnya, saya yakin akan mampu membetot perhatian pembaca. Hal ini berlaku juga untuk buku perjalanan.Sementara, sastra perjalanan, saya melihat kekuatannya pada kemampuannya untuk lintas waktu dan tempat. Jika mencermati buku-buku Agustinus Wibowo, misalnya, ia akan tetap asyik dibaca pada 10 atau 30 tahun mendatang, bahkan mungkin lebih dari itu. Mengapa? Karena telah ada usaha untuk menguniversalkannya. Universal yang saya maksudkan adalah nilai-nilai yang ia sematkan dalam kisah-kisah perjalanannya, bisa saja relevan dengan kondisi pada 10 atau 30 tahun mendatang. Apalagi tulisan-tulisannya berkutat pada urusan sosial, politik, agama, budaya, dan sejarah. Bukankah ada yang bilang kalau sejarah akan berulang? Dan, potensi keberulangan itu menyebabkan ia berpeluang pula untuk punya relevansi dengan kondisi mendatang. Menurut pengamatan Anda, bagaimana respons pembaca pada buku perjalanan dibandingkan dengan, sebut saja, buku-buku fiksi?Genre buku itu punya peminatnya masing-masing. Meskipun tentu saja tidak kaku bahwa seorang pembaca akan melulu baca buku yang sesuai genre minatnya. Sebagai penikmat buku perjalanan juga buku fiksi macam novel, saya mengamati bahwa buku perjalanan masih belum bisa menyaingi dominasi buku-buku fiksi. Tak perlu jauh-jauh menganalisi. Cobalah ke toko buku. Bandingkan jumlah buku-buku fiksi dengan buku perjalanan. Di beberapa toko buku yang saya kunjungi, rak buku perjalanan masih cuma satu. Sementara buku-buku fiksi, seperti novel, tak usah ditanya. Bejibun! Apalagi novel lebih bisa mengusung tema-tema yang jauh lebih beragam ketimbang buku perjalanan. Ya, dunia khayalan memang jauh lebih luas dari dunia nyata.
Selain menerbitkan buku sendiri, Anda juga seringkali mengkoordinir dan berkolaborasi dengan penulis perjalanan muda lainnya dalam antologi kisah perjalanan. Ada hal menarik yang bisa dibagi tentang itu?Saya membaca potensi. Mungkin bisa dibilang kalau saya ‘meminjam’ mata editor. Sebagai narablog aktif, saya melihat banyak tulisan perjalanan yang bagus. Bagi saya, sayang jika hanya berakhir di blog, tidak dibukukan. Meskipun hal ini pun masih bisa didebatkan di era internet saat ini yang justru lebih gampang mengakses konten di dunia maya daripada ke toko untuk membeli buku perjalanan. Selain itu, saya melihat ada potensi pembaca buku perjalanan. Dengan berkaca pada diri saya sendiri yang haus akan buku-buku perjalanan, maka saya menerjemahkannya demikian pula pada pembaca di Indonesia. Maka, saya adakan audisi untuk menjaring tulisan-tulisan perjalanan. Audisi terakhir yang saya lakukan adalah untuk buku Love Journey 2: Mengeja Seribu Wajah Indonesia. Dari segi tema, banyak yang bilang itu menarik dan menantang. Mengapa? Karena saya menantang para calon kontributor untuk menulis catatan perjalanan mereka di Indonesia tapi dari sudut pandang yang lebih kritis. Misalnya, bagaimana mereka melihat kondisi tempat wisata yang banyak sampahnya, bagaimana mereka mengisahkan kehidupan pembatik, kondisi sosial yang tercermin dari para pedagang di pasar, atau kisah perjalanan ke situs wisata yang ternyata menyimpan sejarah yang jarang diungkap. Dengan antusiasme yang lebih besar dari audisi sebelumnya untuk Love Journey: Ada Cinta di Tiap Perjalanan, saya berani bilang bahwa tulisan-tulisan perjalanan masih diminati. Potensinya besar dan tinggal kejelian kita untuk menggalinya dengan menghadirkan tema-tema yang unik dan menarik.
Dengan semakin gencarnya buku-buku perjalanan yang bermunculan, apa itu menjadi indikasi bahwa para pejalan mulai tertarik untuk membagi pengalamannya melalui tulisan?Saya kira demikian. Selain karena faktor hukum permintaan dan penawaran tadi. Bagaimanapun itu sebuah kesadaran positif. Kesadaran untuk berliterasi di antara para pejalan. Bahwa, sekalipun destinasi yang dikunjungi sama, tapi perspektif yang berbeda akan menghasilkan pengalaman yang juga berbeda. Hal itu akan tampak dari tulisan-tulisan perjalanan yang mereka ramu.
Topik apa yang menjadi jamak diangkat oleh para penulis perjalanan muda? Apa ada penulis perjalanan tertentu yang sedang banyak menjadi acuan mereka?Saya melihat bahwa para penulis perjalanan muda masih terjebak pada destinasi. Yakni, bercerita tentang tempat yang mereka kunjungi. Masih jarang yang mencoba untuk menceritakan hal dan cara yang lebih subtil. Maksudnya, berupaya untuk menangkap makna-makna lain dalam perjalanan mereka untuk kemudian dituliskan. Entahlah alasannya apa. Bisa jadi karena kekurangan referensi untuk menulis yang lebih dari sekadar bercerita tentang destinasi. Jawaban paling mudah dan telak bisa kita temukan di rak buku perjalanan di toko buku. Akan terlihat perbandingan yang mencolok antara buku-buku perjalanan yang bicara destinasi semata dengan buku yang berkisah tentang kedalaman, tentang makna perjalanan. Untuk acuan, saya melihat Trinity dan Agustinus Wibowo masih terkuat untuk saat ini.
Bagaimana karya-karya penulis perjalanan muda dalam ruang literasi Indonesia? Semangat apa yang mereka bawa?Sebelumnya saya merasa harus memberikan apresiasi positif pada semangat para penulis perjalanan muda. Jika mau direnungkan lebih dalam lagi, di luar urusan pencapaian pribadi kala bertualang di sebuah wilayah, ada spirit dan nilai yang mereka tularkan pada pembaca. Kalau saya menerjemahkannya sebagai spirit untuk menjelajah, mengenal orang dan budaya yang berbeda, juga untuk menikmati sekaligus menemukan hikmah-hikmah tersembunyi di bumi. Apalagi di era yang rentan konflik etnis atau agama yang diakibatkan oleh pemikiran sempit. Maka, di sinilah penulis perjalanan bisa memainkan perannya. Mereka bisa memancing pembaca untuk mengenal orang lain dengan segala keunikan mereka, baik adat, bahasa, kuliner, budaya, dan sejarahnya. Dan, tentu saja ini bisa membantu kita untuk meluaskan pandangan sekaligus wawasan. Terlepas dari polemik tulisan perjalanan yang dianggap memicu ekses negatif bagi rusaknya destinasi, saya kira perlu dibangun pula kesadaran pada penulis perjalanan agar lebih bijak dalam menulis. Bijak ini maknanya luas. Silakan masing-masing menerjemahkannya.
Apa kendala yang dihadapi para penulis perjalanan muda? Apa yang dibutuhkan mereka untuk berkembang?Referensi. Saya kira, saya dan penulis perjalanan muda lainnya, butuh lebih banyak lagi referensi buku perjalanan. Saya tidak mengatakan ‘referensi buku perjalanan yang baik’ karena itu sifatnya subjektif sekali. Karena pada dasarnya untuk tahu bahwa sesuatu baik, tentu karena ada pembandingnya yang buruk. Baik dan buruk, dalam ranah buku perjalanan, juga relatif. Ketika referensi bacaan lebih banyak, cakrawala pemikiran meluas, maka ini pun akan berefek pada kedalaman tulisan. Sekali lagi, referensi. Banyak membaca, banyak menulis.
Apa yang Anda harapkan pada dunia penulisan perjalanan Indonesia beberapa tahun ke depan?Saya berharap ini bukan tren semata yang akan tenggelam dalam beberapa tahun ke depan. Dan, untuk tetap membuatnya berada di atas permukaan, maka cara satu-satunya adalah dengan terus berkarya. Dan, saya sangat optimis dengan itu. Mengapa? Karena eksistensi tulisan perjalanan berbanding lurus dengan wilayah di bumi ini. Menuliskan satu wilayah saja bisa dari berbagai sudut pandang. Coba bayangkan ada berapa desa, kota, distrik, pulau, provinsi, negara, dan benua yang bisa dieksplorasi dalam tulisan-tulisan perjalanan. Medianya pun bisa jadi amat beragam nantinya. Tidak melulu dicetak di atas kertas, tapi juga bisa dinikmati melalui media digital. Jika saat ini tulisan perjalanan sudah bisa dinikmati versi buku elektroniknya yang interaktif, maka ke depannya bisa lebih atraktif daripada itu. Membuat versi buku suara (audio book), misalnya, atau hal-hal yang saat ini belum terpikirkan oleh manusia.
Industri perbukuan tampaknya masih sangat terbuka untuk berbagai nama baru dan konsep-konsep yang juga segar. Perjalanan, perkara menjelajah tempat dan menghayatinya, akan terus menjadi daya tarik tersendiri untuk dituliskan. Henry Miller pun menegaskan inti dari perjalanan, “Tempat tidak pernah menjadi tujuan seseorang, tetapi tujuannya adalah suatu cara baru melihat hal-hal.”
-Nabila Budayana-
Published on January 14, 2014 21:06
December 28, 2013
Sepenggal Picisan
“Namanya Debur Ombak Selatan. Oke, orang tua macam apa yang menamai anaknya Debur Ombak Selatan?”
Bahkan sudah bosan aku mendengarnya. Itu bisik-bisik yang sudah sampai di telingaku. Sayang, aku pun tak mengerti mengapa namaku begitu. Setidaknya sampai hari ini. Di akhir perbincanganku dengan ayah.
***
Ayah. Aku tak pernah ingin menyalahkan ayah. Kata ibu, hanya seorang pecundang lah yang terus saja menyalahkan orang lain. Seandainya saja ayah saat itu tak membawa kami pindah ke mari. Ke tepi selatan suatu pulau, yang seakan terpencil ini. Kehidupan kami di kota sangat baik sebelumnya. Ayah mampu hidup dari honor menulisnya, dan ibu mampu menambah biaya hidup kami dengan bekerja sebagai perawat di sebuah rumah sakit besar. Tak ada kejanggalan apapun saat itu, sampai akhirnya bertahun-tahun kemudian, saat ini, ketika diriku bukan lagi anak-anak. Usiaku sudah lebih dari dua puluh tahun. Ayah mengajak kami mengepak semua barang, dan memilih tinggal di sebuah pondokan tepi pantai selatan yang sederhana, namun tertata apik.
Bukan aku tak suka. Namun, mestinya ayah menyadari rasanya menjadi seorang gadis muda yang telah terbiasa dengan segala fasilitas kota. Untunglah kami tak benar-benar terputus dari kehidupan. Ada akses internet yang sengaja ayah pasang untuk mengirimkan naskah-naskahnya pada penerbit dan media. Sedangkan ibu, telah berhenti total dari pekerjaannya. Ia murni menjadi seorang wanita rumah tangga. Ketika aku bertanya, apa alasan ayah mengajak kami pindah ke mari, yang keluar dari bibirnya hanya “Sudah saatnya kembali ke masa lalu.”
***
Jauh, jauh sebelum saat ini, di kepala ayah, sebuah kisah lahir. Ia sesumbar kisah itu akan menjadi bagian penting dalam buku yang sedang ditulisnya. Buku yang mungkin akan bernasib sama seperti buku-buku sebelumnya. Tak terlalu laku. Hanya bertahan beberapa minggu di bagian rak depan toko buku, sebelum akhirnya berpindah di bagian pojok, dan berakhir di tumpukan gudang, menanti saat-saat ia masuk pada tumpukan rak diskon beberapa tahun kemudian. Aku selalu berpikir, apa yang menyebabkan buku ayah tak laku. Apa karena temanya yang sudah terlalu umum? Atau teknis penulisannya yang jauh dari cukup? Entah. Namun, ayah pun tak pernah peduli dengan itu. Ia seakan menutup kedua telinganya terhadap surat-surat elektronik yang berisi cacian pembaca. Hebat juga, pikirku.
Anganku belum menemukan muara, ketika kudengar suara langkah seseorang dari belakang. Ternyata ayah. Ia mengambil tempat di ayunan kosong sebelahku. Ayunan ini kubuat sendiri, ketika kurasa tak ada tempat yang tepat untuk memandang laut. “Sudah lama?”“Lumayan. Tulisan ayah sudah selesai?” kataku tanpa menoleh padanya.“Melihatmu dari jendela, ayah jadi ingin bergabung,” senyumnya masih sehambar warna langit di depan kami.“Sejak kapan kamu menjadi sebesar ini?”“Sejak ayah terlalu sibuk dengan pekerjaan,” kata-kataku agak ketus, tapi biarlah.Kami kemudian berada dalam kecanggungan. Seperti dua orang yang sudah lama tak saling bicara. Meski raga kami berada di dimensi yang sama.“Mengapa ayah suka menulis kisah roman? Bukankah bagi sebagian orang itu terdengar payah?”“Haha. Mungkin selama ini ayah terlalu sibuk dengan tulisan, hingga tak mendengar jika orang berbicara begitu?” ia sedikit tergelak. Aku tak merasa itu lucu.“Ini kisah terbaru yang ayah tulis. Khusus untukmu, ada spoiler istimewa.”Aku sudah yakin, tak akan ada yang menarik dari seorang penulis laki-laki yang bukunya telah membuat rugi penerbit dan berakhir di gudang. Tapi, biarlah. Lagipula, aku sedang senggang. Di antara deru suara angin pantai di telinga kami, ia pun lamat-lamat mulai bercerita.
***
Hanya ada tiga tokoh di kisah ini. Seorang laki-laki jahat, seorang pria payah yang berlagak pahlawan, dan seorang wanita yang tingkat kesabarannya keterlaluan. Maklum, lah. Hanya ada sekat tipis antara kesabaran dan kebodohan mau diperdaya.
Sang laki-laki menjanjikan banyak hal untuk sang wanita. Keberanian, kebijaksanaan, dan yang paling utama, janji-janji yang begitu manis. Janji setia, janji menyayangi, janji sehidup semati. Klise, gombalan tak mutu. Kata orang, keberuntungan adalah ketika kita berhadapan dengan musuh yang tepat. Sang wanita yang selalu menyajikan senyum dan ketulusan tanpa pura-pura, sayangnya terperdaya. Ia selalu setuju dengan ajakan sang laki-laki untuk bertemu setiap kali. Tak ada kecurigaan, tak ada prasangka. Semua laki-laki sebaik bapak, baginya. Sayang, bunga yang indah tak selalu mekar di tempat yang tepat. Sang laki-laki menghancurkan hidupnya seketika. Bukan hanya untuk saat itu, namun seterusnya. Laki-laki itu hanya mengaku ia tak sengaja melakukannya. Sang wanita, mengaku telah mencoba melawan sekuat tenaga. Namun, apa daya, ia hanya perempuan dengan bobot tubuh yang tak lebih dari lima puluh kilogram. Kuku-kuku jarinya sudah putus karena membela diri, tak mampu merobohkan tubuh besar sang laki-laki. Rasanya ia nyaris buta karena meratap. Meronta, menangis, mencoba bunuh diri, sudah ia coba lakukan semua. Bukan hanya untuk kehidupannya yang berantakan, namun kepercayaan dan ketulusannya yang telah dimanfaatkan. Butuh waktu yang lama sebelum akhirnya ia berani menatap kembali harinya, dan membuka diri pada seorang pria yang lain. Pria payah yang tak pernah menjanjikan apapun, namun bertekad membawa sang wanita keluar dari pusaran kemuraman. Bukan hal mudah. Sang pria pun harus meluluhkan hatinya dalam waktu yang lama. Wanita itu begitu rapuh, hingga ia takut menjadi pria kedua yang menghancurkan hidupnya. Sang pria terus mencoret kalendernya, menunggu waktu hingga sang wanita menerima pinangannya. Di sela itu, sang pria masih sibuk dengan dirinya sendiri, dengan tulisan-tulisannya sendiri.
Aku begitu ingin menutup kisah ini dengan bahagia. Oleh karena itu, sang pria kubuat bertekad kuat dalam dirinya sendiri, bahkan menuliskannya besar-besar di setiap halaman catatannya. KEBAHAGIAAN UNTUKKU DAN WANITAKU. Kubuat sang pria meminang sang wanita di suatu pantai. Keduanya sepakat. Untuk memungut dan menyusun sisa-sisa harapan. Melanjutkan kehidupan. Nyatanya, kenyataan tak semudah itu. Mereka belum siap untuk bersama-sama. Sang perempuan belum banyak mampu menerima seorang pria di samping tempat tidurnya setiap saat. Ia masih terbayang laki-laki yang dulu, yang melantakkan hidupnya. Sang pria memilih mengalah, ketimbang memaksakan. Kemudian keduanya sepakat berpisah. Memberi waktu masing-masing untuk berpikir. Namun, aku tetap kukuh ingin menjadikan kisah ini bahagia. Jadi kubuat mereka bertemu kembali, di tepi pantai yang sama, beberapa tahun kemudian. Mereka kembali. Kali ini keduanya berjanji untuk tak saling pergi. Debur ombak menyaingi suara janji mereka. Janji itu benar adanya. Putri mereka yang lahir beberapa tahun kemudian, dinamakan Debur Ombak Selatan. Setelah beberapa tahun pergi, mereka kini tinggal kembali di sana, di tepi pantai itu, untuk menyusuri masa lalu. Sejak itu, diam-diam, mata sang wanita selalu terlihat sembab, dan ia seringkali menatapi kuku jarinya sendiri. Sedangkan sang pria sibuk menuliskan kembali kisah itu, sekaligus mengungkapkan masa lalunya. Meski akhirnya terkesan picisan dan penuh drama, itu hidupnya. Dan kini ia mengungkap rahasia dua puluh tahunnya. Kepada Debur Ombak Selatan, putri yang tak pernah tahu betapa besar rasa sayangnya.
***
Ayah menarik napas panjang setelah bercerita. Aku terdiam. Tak ada yang mampu kukatakan. Kisah roman itu menjadi kisah paling mengubah hidupku. Setelah itu, aku tak pernah lagi bertanya-tanya. Mengapa kami pindah ke mari, dan mengapa ibu tak pernah memberi penjelasan dari mana nama Debur Ombak Selatan itu berasal. Namun itu sekaligus menyulut benci pada diriku. Mengapa ayah selalu berkisah roman. Yang saat ini kukira, tak selalu picisan.
* Ditulis untuk tantangan menulis #ombak Jia Effendie
Published on December 28, 2013 23:12
December 8, 2013
Bicara Buku Indie dengan Kirana Kejora
Kira-kira setahun lalu, di suatu acara, saya tertarik dengan kisah seorang Kirana Kejora, seorang penulis kelahiran Ngawi, 2 Februari tentang bagaimana perjuangannya menerbitkan buku secara indie. Dengan gaya santai dan apa adanya, Kirana bagi saya jauh dari kesan penulis yang ‘berjarak’. Bahkan masih teringat betul apa yang dikatakannya pada saya saat itu. “Jangan takut memilih. Tuhan tidak pernah salah memilihkan.”Kemudian akhir-akhir ini, buku-bukunya diangkat ke layar lebar. Seorang penulis lain kembali membuktikan ia mampu berangkat dari penerbitan indie. Saya jadi teringat bahwa semakin banyak penulis-penulis yang memilih jalur indie sebagai pilihan langkahnya. Ketika saya tawarkan beberapa pertanyaan sebagai sarana berbagi, beliau menyambut dengan hangat. Hasilnya, sebuah jawaban-jawaban menarik yang bermanfaat untuk siapapun yang memilih menerbitkan buku melalui jalur indie.
Memang, sudah begitu banyak artikel tentang menerbitkan buku secara indie. Namun, saya rasa pengalaman Kirana bisa memberi satu sudut pandang baru. Silakan disimak!

Menurut Kirana, apa arti penerbit indie dan major?
Penerbit indie adalah penerbit yang memproduksi sebuah buku dalam jumlah yang terbatas, tanpa tekanan dan pesanan pihak tertentu serta tak peduli dengan selera pasar, lebih memikirkan idealis diri sendiri atau komunitas yang mau dibidik.
Penerbit major adalah penerbit yang memproduksi buku dalam jumlah yang besar, dengan perhitungan tertentu, membidik pasar dan segmen, lebih profesional, lebih ke industri yang memikirkan benar-benar untung ruginya menerbitkan sebuah produk.
Mengapa pada awalnya Anda memilih untuk menerbitkan melalui jalur indie?
Saat itu di Surabaya minim penerbit buku fiksi atau sastra, saya terbiasa kerja sama dengan teman-teman indie (band dan club fotografer), saat itu saya ada sanggar model dan teater kecil. Banyak CD lagu-lagu indie beberapa teman yang sukses, memicu saya untuk menerbitkan buku secara indie atas dukungan mereka pula. Semangat berkesenian, itu pada awalnya.
Seni itu bebas. Jadi bagi saya alangkah baiknya saya terbitkan buku sendiri, toh ada dukungan dari komunitas yang saya bentuk dengan teman-teman lintas seni saat itu. Seni yang tidak tergantung pasar, apalagi tekanan. Bebas menerbitkan dan memasarkan bukunya kemanapun dengan cara apapun. Merasa yakin buku laku dengan kemasan serta isinya. Indie bukan berarti sendiri. Dulu saya menerbitkan dan mencetak buku saya sendiri karena awalnya buku-buku saya adalah sebatas curahan hati dan pemikiran pribadi saja yang tak mau diedit siapapun. Menulis saat itu bagi saya adalah obat sakit jiwa. Namun meski indie, saya juga melakukan prosedur layaknya penerbit major, mengurus ISBN serta kerjasama dengan toko-toko buku yang mau menerima buku saya. Saya melakukannya sendiri, dalam arti dari sisi menulis, mengurus ISBN, mencetak, mengemas produk, memasarkan dan promosi. Karena tidak dalam tekanan siapapun, indie, maka saya pun melenggang asyik bisa kerja sama dengan siapapun untuk pemasaran buku saya Kepak Elang Merangkai Eidelweis (2006) novelet dan puisi, Selingkuh (2006) kumpulan cerpen dan puisi, Perempuan dan Daun (2007) kumpulan cerpen, puisi, dan foto, serta Novel Elang (2009), semua buku tersebutedar di toko buku kecil maupun major selain direct selling dari Almira Management punya saya pribadi.
Apa saja tantangan dari menerbitkan buku melalui jalur indie saat itu?
Bagaimana buku yang sedikit jumlahnya ini bisa dilihat pasar dengan minimnya ruang untuk pajangannya di toko.
Strategi apa yang digunakan Kirana untuk memperkenalkan buku indie pada khalayak?
Saat itu belum ada FB, jadi selain melalui acara-acara lintas seni, share dengan festival Band, pameran lukisan. Saya mengemas pertunjukan promo buku dari panggung ke panggung dengan menampilkan puisi, petikan cerpen dipadu dengan musikatau lukisan. Tak lelah bikin musikalisasi puisi atau menawarkan puisi jadi lirik lagu teman-teman indie yang disambut baik, dan jadilah lagu-lagu mereka dari buku-buku saya.Foto kegiatan promo buku diunggah di blog multiply selain promo melalui chating dan radio yang tertarik mengundang saya, yang saat itu dilihat sebagai perintis buku indie di Surabaya, hanya bonek saja modalnya. Berani di caci maki, itu saja. Kalau ada pujian anggap bonus. Narsis bagian dari optimis, itu prinsip saya sebagai penulis dan penerbit indie.
Ada kejadian menarik yang paling diingat tentang seorang Kirana yang menerbitkan melalui jalur indie?
Saat itu anak sanggar model saya membantu menawarkan buku pertama saya, Kepak Elang Merangkai Eidelweis (KEME) seharga 20 ribu, ke Gramedia Tunjungan Plaza, dia sudah ditolak satpam sebelum bertemu bagian pemasaran. Sementara toko buku lain di Surabaya sudah mengedarkan buku saya dan lumayan laku meski kecil omzet-nya, maklum jumlah buku saya saat itu hanya 500 ex yang edar di Surabaya. Saya penasaran saja, nekad, esoknya membawa 50 buku KEME ke toko tsb. Dan langsung mau bicara dengan manajer tokonya. Saya bilang kalau saya penulisnya. Eh,langsung diterima dengan baik dan beliau bilang begini, ”Sebuah kehormatan saya, didatangi penulisnya langsung.” Rasanya kepala terbang saja saat itu, lha wong saya ini hanya penulis cilik, indie, dan ecek-ecek, namun beliau sangat menghargai kedatangan dan kenekatan saya, atau mungkin kasian dan merasa iba? Entahlah, yang jelas bapak itu langsung menerima buku yang saya bawa, dan bahkan membuka jalur saya untuk bisa lebih luas memasarkan ke seluruh Indonesia melalui bagian pemasaran Gramedia Pusat di Jakarta Timur. Langsung saya diberi contact person, dan segera saya nekad ke Jakarta share dengan bagian pemasaran (gudang). Alhamdulillah setelah saya presentasi,akhirnya mereka minta share750 ex buku saya, kecil jumlahnya bagi mereka namun besar bagi saya. Semenjak itu saya semakin semangat menulis dan menerbitkan buku secara indie. Karena makin banyak peluang serta guru di jalan yang membantu saya berkembang pada akhirnya.
Sejauh ini, apa yang Kirana rasakan saat menerbitkan buku secara major dan indie?
Karena saya semakin banyak pekerjaan di FTV maupun film untuk menulis script, maka energisaya mulai terkuras untuk mengurusi penerbitan indie saya. Mengingat untuk penagihan, pengiriman buku memakan waktu dan tenaga, hal ini akan menyusahkan saya tentunya dengan semakin banyaknya buku saya yang terbit. Kapan saya ada waktu tenang menulis lagi? Akhirnya setelah memilah memilih tawaran kerjasama dari beberapa penerbit major, saya pun memilih kerjasama dengan Group Hi-Fest Publishing. Saya nyaman, karena saya sangat diberi penghargaan dalam proses kreatif dari kepenulisan hingga promosinya, mereka selalu mendukung penuh apa yang ada dalam pemikiran saya. Dari layout, pemilihan cover, saya dilibatkan dan kami bisa saling berbagi dengan nyaman untuk kebaikan kemasan produk yang tentu harus lebih baik hasilnya dari buku-buku saya dulu. Serahkan pada ahlinya, itu saya. Saya tetap merasa bebas berkreasi dengan diskusi yang baik serta terbuka dengan penerbit, idealis saya tentu buku saya bisa terbaca dengan baik oleh semua orang dan dapat tersebar seluas-luasnya. Maka saya pun tak lagi bisa egois menulis untuk diri sendiri, namun juga memperhatikan pembaca yang telah mengeluarkan uang untuk beli buku saya, tentu saya juga berusaha tidak mengecewakan mereka. Saya mulai peduli apa kebutuhan pembaca di tanah air dengan dukungan penerbit yang cerdas menyiasati apa yang ada di kepala saya dengan apa yang diinginkan pasar. Terbukti buku-buku saya yang diterbitkan major label bisa bagus hasilnya, dan salah satunya AIR MATA TERAKHIR BUNDA dalam waktu enam bulan sudah cetak ulang 6kali, hingga diangkat ke layar lebar dan menang di beberapa festival film. Dan yang baru AYAH MENYAYANGI TANPA AKHIR (AMTA) sudah cetak ulang 3 kali dan telah dipinang sebuah PH besar untuk diangkat ke layar lebar. Sementara yang terbaru PENCARIAN CINTA TERAKHIR baru saja edar.
Apa perbedaan yang paling besar dirasakan dari penerbit indie dan major?
Lebih nyaman menulis, karena telah ada tim kreatif yang mendukung dari penerbit major. Mereka lebih tahu dari saya apa yang terbaik bagi tulisan saya. Saya banyak belajar tentang ‘selling point’ sebuah buku.
Apa tanggapan Kirana dengan semakin banyaknya penulis-penulis yang memilih jalur indie untuk berkontribusi dalam dunia literasi?
Ya asyik saja. Semakin banyak penulis baru lahir dan berani menerbitkan bukunya. Hanya sayang banget setelah terbit mereka lupa merawatnya. Buku itu adalah bayi, bagaimanakita menumbuhkembangkan dia menjadi seorang anak manis yang banyak disukai orang karena sehat, lucu, cantik, ganteng, dan menyenangkan. Artinya, banyak teman-teman hanya efouria saja menerbitkan buku indie, launching besar, namun minim di promosi berikutnya. Dulu kemanapun saya pergi, di dalam tas saya selalu ada buku-buku saya buat saya promosikan dimanapun saya berada. Jangan pernah malu membawa buku kemanapun kita jalan, karena buku itulah sayap kita untuk terbang.
Sebagian khalayak masih menilai buku-buku indie belum sebaik buku-buku dari penerbit major. Bagaimana Anda memandang masalah ini?
Ya nyatanya memang begitu. Karena keterbatasan tim kreatif yang tidak melakukan riset pasar saja saya kira. Riset bagaimana sebuah buku itu bisa diterima, dilihat dan dibaca banyak orang, bukan hanya komunitas saja, hal ini sangat penting!
Ada tips yang bisa dibagikan untuk penulis yang memilih menerbitkan buku secara indie?
- Berani dengan ide, jujur dengan tema.- Jangan setengah-setengah.- Berlakulah layaknya major label yang berpikir untung ruginya baik dari sisi nilai maupun harga sebuah buku.- Ramahlah dengan pembaca, jaga mereka.- Layani pembeli siapapun dia dengan sama, adil.- Belajar professional di promosi maupun penjualannya.- Terus semangat promosi dengan kata-kata yang tidak hanya inspriratif, kreatif, komunikatif, tapi juga provokatif.- Serius dalam hal marketing komunikasi, peka terhadap pasar dan sponsor.- Jangan sepelekan selling point buku : Judul, Cover, Harga, Kemasan, Kertas, Tagline, Sinopsis atau petikan buku di back cover, serta harga. Ini kunci sebuah buku indie agar terlihat diantara ribuan buku yang setiap hari lahir dan terpampang mewah di rak-rak toko.- Banyak mendengar dan bertanya pada orang yang memang tepat sebagai praktisi buku atau penerbitan.- Jalin selalu kerjasama yang nyaman dengan pihak distributor maupun toko.- Jangan sungkan menawarkan kerjasama dengan siapapun.- Percaya diri, yakin buku kita laku!- Semua buku punya takdir sendiri-sendiri
Mungkin akan banyak luka dan perjuangan Anda menerbitkan karya melalui jalur indie. Namun mengutip prinsip Kirana, “Derita itu sebuah kekuatan, bukan kematian. Dan luka itu menghasilkan karya.” Tidak ada pilihan lain selain ‘mengolah luka’, berdiri dan kembali berjuang.
-Nabila Budayana-
Published on December 08, 2013 19:59
November 26, 2013
Oleh-oleh dari Kuliah Umum Agustinus Wibowo
Saya kebetulan hadir dalam kuliah umum Agustinus Wibowo di UK Petra 23 November 2013 yang lalu. Karena temanya tentang bagaimana menulis cerita perjalanan, kali ini materinya cukup berbeda dengan talkshow/seminar beliau sebelumnya. Lebih spesifik tentang how to dan tips-tips menarik. Jadi, mari disimak. Karena disampaikan dengan cukup cepat dan kemampuan saya sebagai notulis gadungan patut dipertanyakan, jadi akan saya sampaikan dalam bentuk poin-poin saja, di samping memudahkan anda membacanya pula. Silakan, dan semoga bermanfaat.
*Cerita perjalanan bukan merupakan panduan perjalanan, meskipun bisa jadi merupakan panduan perjalanan. Jika suatu buku mengulas tentang bagaimana menuju ke suatu tempat tujuan, itu bukan cerita perjalanan.
*Dalam dunia travel writing, sesungguhnya tidak perlu ada genre baru berupa fiksi perjalanan. Karena semua cerita perjalanan adalah bentuk tulisan non fiksi.
*Buku panduan perjalanan merupakan travel guide, bukan travel writing.
*Roh nomor satu dari tulisan perjalanan adalah tempat. Meski begitu, tempat bukan hanya menjadi sekadar setting. Roh nomor dua adalah harus adanya unsur pengalaman dari penulis. Harus ada informasi siapa yang melakukan perjalanan. Roh nomor tiga adalah harus adanya unsur rasa maupun opini, juga sudut pandang personal. Rasa yang dimaksudkan adalah adanya opini pribadi yang bisa dipertanggungjawabkan. Dicontohkan, pada zaman dahulu tulisan perjalanan memang jamak tidak ada pelaku di dalamnya. Misalnya saja, Marcopolo. Namun kondisi itu sudah kurang mampu diterima lagi pada zaman ini. Saat ini harus ada pelaku pada tulisan perjalanan tersebut. Semua cerita perjalanan adalah cerita tentang kemanusiaan.
*Cerita adalah cara kita berkomunikasi untuk menyampaikan pesan. Esensinya adalah pesan. Bukan bisa dikatakan cerita ketika tak ada pesan di dalamnya. Dan esensi dari cerita atau tulisan adalah narasi. Sedangkan cerita perjalanan bertujuan mengomunikasikan pesan yang ingin disampaikan melalui perjalanan.
*Lalu, apa esensi dari perjalanan? Perjalanan adalah kodrat hidup manusia. Orang-orang melakukan perjalanan untuk kemudian kembali dan menceritakan tentang perjalanannya pada orang lain (fantasi universal). Perjalanan bukan tentang tempat yang jauh, maupun tempat eksotis yang belum pernah terjamah. Melainkan tentang bagaimana kita mengenali diri kita sendiri. Kita bisa melakukan perjalanan di mana saja. Bahkan di rumah sendiri sekalipun.
*Di luar negeri, travel writing digunakan untuk menengok sejarah. Tulisan perjalanan penting untuk belajar sejarah. Banyak tokoh-tokoh yang melakukan perjalanan dan menuliskannya, antara lain : Marco Polo, Ibnu Batutah, Biksu Tong, dll. Perjalanan merupakan mimpi semua orang. Tulisan perjalanan adalah perkara bagaimana mengemas fakta dalam bentuk berita, agar mampu diterima semua orang. Hal itu menjadikan tulisan perjalanan berkesan pada pembaca di waktu apapun. Tulisan perjalanan membantu kita mengenal dunia dan diri sendiri. “Tempat yang paling jauh bukan di ujung dunia, tapi ke dalam diri kita sendiri.”
“The misconception is that the travel book is about a country. It’s really about the person who’s travelling.” – Paul Theroux
*Dari tulisan perjalanan, pembaca harus bisa meraba karakter penulisnya. Hal itu bertolak dari tujuannya agar pembaca harus merasa ikut melakukan perjalanan. Jika tidak, maka akan ada jarak. Tulisan perjalanan yang baik hanya dapat dihasilkan oleh pejalan yang baik. Jika tidak, teknik sebaik apapun akan percuma.
*Dalam menulis perjalanan, sudut pandang yang segar/baru sangat berperan penting. Namun, kita seringkali dijebak oleh rutinitas. Hal-hal yang terus berulang itu menjadi hal yang biasa. Mata kita tidak akan melihat hal yang baru, juga sensitifitas yang sudah tereduksi. Oleh karena itu, ada baiknya kita berpikir dari berbagai sudut pandang. Perlu ditekankan bahwa tidak pernah ada sudut pandang yang salah. Maka, seorang pejalan mesti bersifat terbuka.
*Perjalanan adalah travelling with purpose. Tetapkan apa yang ingin disampaikan (pesan), komunikasi (interview orang lain), observasi (rasa ingin tahu yang besar), juga riset.
*Bagi seorang Agustinus, melakukan komunikasi dengan warga lokal sangat penting. Ia benar-benar merasa sudah benar-benar berada di sebuah tempat ketika ia bisa tertawa dan menangis dengan mereka.
*Observasi mesti dilakukan secara detail.
*Jurnalis wajib melakukan riset. Baik sebelum melakukan perjalanan, saat di perjalanan, sesudah perjalanan, maupun saat menuliskannya. Singkatnya, riset harus tetap ada di setiap tahapan.
*Banyak orang yang melakukan perjalanan untuk membuktikan informasi-informasi yang telah mereka dapatkan sebelumnya. Namun, sesungguhnya perjalanan bukan untuk membuktikan hasil riset. Karena selain informasi yang didapat belum tentu merupakan kebenaran, juga menimbulkan prasangka yang membuat kita menutup mata pada hal lain. Oleh karena itu, saat melakukan perjalanan, tinggalkanlah semua prasangka.
*Satu hal krusial lain dari tulisan perjalanan adalah kejujuran. Yang dimaksud kejujuran dalam hal ini adalah tidak boleh ada unsur fiksi sedikitpun. Hal itu mempertaruhkan hal besar pada penulis : kredibilitas. Agustinus mencontohkan kasus yang terjadi pada “Three Cups of Tea”, buku perjalanan mega bestseller yang bercerita tentang seorang Amerika yang pergi ke Pakistan. Beberapa waktu setelah terbit, buku itu terbukti bahwa terdapat banyak kebohongan di dalamnya melalui investigasi seorang jurnalis. Hal itu memberikan pelajaran, bahwa jika ingin memasukkan unsur fiksi, katakanlah itu sebagai fiksi. Namun jika tidak, harus 100% berupa tulisan non fiksi.
*Tulisan perjalanan yang baik juga harus melibatkan emosi. Hal itu menjadi penting karena sebuah tulisan harus melibatkan pembaca. Emosi menjadi benang merahnya. “Eat, Pray, Love” merupakan salah satu contoh tulisan yang berhasil menampilkan emosi yang universal pada banyak orang. Buah dari hal itu adalah jumlah penjualan buku yang bagus. Di sisi lain, kita harus berhati-hati dengan emosi. Karena hakikat dari tulisan perjalanan adalah menyeimbangkan emosi dan fakta. Keduanya harus diusahakan agar seimbang, dengan perpindahan yang halus.
“Menulis perjalanan adalah juga sebuah perjalanan.” – Agustinus Wibowo
*Agustinus berkisah bahwa awalnya ia berpikir bahwa perjalanannya akan cukup diceritakan melalui media foto, karena adanya kedekatan antara fotografer dan objek. Kelamaan ternyata ia merasa bahwa penyampaian lewat foto tidak sepenuhnya cukup. Maka ia memilih menyampaikan juga melalui kata-kata, dan menjadi penulis.
Langkah Menulis :1) Tentukan Tema. Tema adalah ide besar yang mendasari cerita. Tidak berupa kalimat yang panjang. Maksimal satu buah kalimat, bahkan satu kata. Tema besar tidak boleh bertele-tele, tentukan tokoh (bukan selalu manusia, bisa berupa alam, kejadian, ketakutan, dsb).2) Daftar Ide Pertanyaan3) Strategi Penulisan. Contoh : Alur, plot, dsb. Meskipun menulis cerita perjalanan yang bersifat non fiksi, namun seorang jurnalis disarankan agar banyak membaca novel untuk mempelajari bagaimana menulis kreatif. Demikian pula dengan penulis yang harus belajar jurnalistik agar mampu menyampaikan fakta secara logis. Tersebut juga genre ‘Jurnalisme Sastrawi’ yang merupakan cara bagaimana memberikan jurnalisme melalui cerita.4) Menyusun kerangka. Salah satu penyebab orang yang menulis di awal sangat semangat, kemudian di tengah proses merasa bosan, kebanyakan karena mereka menulis tanpa kerangka.5) Prinsip 5W+1H*Tulisan perjalanan mengandalkan detail, namun jangan sampai berlebih, hingga mengaburkan cerita anda. Juga harus ada informasi dan konflik. Konflik adalah perbedaan pandangan yang menyebabkan perselisihan tokoh. Selama ini sering terjadi kesalahan persepsi. Konflik bukan pertengkaran, namun apa yang menjadi penyebab pertengkaran tersebut.
*Resolusi dapat berupa penutup, kesimpulan, pertanyaan, dsb.
*Struktur tulisan : Pembukaan, Isi, Penutup. Pada pembukaan, jangan pernah bertele-tele. Paragraf pertama harus menarik dan sudah langsung bisa dideteksi oleh pembaca apa yang ingin diceritakan. Jangan pernah memulai tulisan dengan penggambaran cuaca, suasana, bahkan informasi yang tidak penting.Contoh tulisan dengan paragraf pembuka yang bagus : “The New Mecca” – George Saunders.
*Cara paling baik untuk membuka tulisan adalah dengan anekdot untuk memancing masalah yang lebih besar selanjutnya. Jika anda membicarakan hal yang berat pada tulisan, jangan letakkan itu di depan. Karena akan menyurutkan niat pembaca untuk membaca lebih jauh.
*Dalam tulisan perjalanan, detail adalah nyawa. Pada deskripsi, lakukan sistem “Show, Don’t Tell.” Ceritakan, untuk membuat deskripsi lebih hidup.
*Dalam jurnalistik, haram menyebutkan kata sifat. Contoh sebagai pembanding :1. Kereta api ini sangat sesak.2. Kereta api ini sangat sesak sampai tidak ada tempat untuk lewat.3. Kereta api ini sangat sesak sampai saya terpaksa harus berdiri dengan satu kaki.Contoh di atas menunjukkan bagaimana mendeskripsikan kata ‘sesak’. Dalam deskripsi, gunakan panca inderamu, bawa pembaca ke dalam suasana yang tergambar. Jangan memberi tahu pembaca, tapi deskripsikan.
*Dalam tulisan perjalanan menggunakan kata sifat tidak haram, namun harus hati-hati. Karena tidak semua hal harus dideskripsikan dengan detail. Jika cukup dijelaskan dengan kata sifat, tidak apa-apa. Namun, pilihlah kata yang spesifik/detail, bukan generik. Misal : Jangan hanya sebutkan “tinggi” namun jelaskan tinggi yang seperti apa. Hal itu juga berlaku pada kata, seperti : cantik. Cantiknya seperti apa? Apa dia elegan, artistik atau anggun. Juga berhati-hatilah pada kata ‘unik’ karena unik berarti sama sekali tidak ada duanya. Apa kita yakin bahwa hal yang kita beri label unik tersebut memang benar-benar tidak ada duanya? “Paling indah” “Paling ramah” “Paling seru”, berhati-hatilah juga dengan kata “paling” harus ada dasar yang kuat untuk itu. Apa kita sudah menyelidiki semua data, sehingga berani memberi kata “paling”? Berhati-hatilah dengan generalisasi, stereotype, dsb. Untuk memperkaya diri dengan itu, banyak gunakan kamus dan tesaurus untuk mencari diksi yang cocok.
*Hal lain yang harus dihindari adalah klise. Adanya hal yang klise membuat kualitas tulisan anda menurun. Misalkan : “Matahari bersinar cerah” atau “Surga di bumi”, juga contoh lain berupa deskripsi tempat dengan permata, zamrud dan harta karun.
*Creative writing bukan berarti menulis tanpa aturan. Bukan pula ajang pamer diksi. Creative writing yang bagus berarti tulisan yang mampu menyampaikan pesan.
*Kita tidak bisa menggunakan pengalaman pribadi kita untuk menilai sebuah tempat.
*Narasi harus dibuat hidup. Jangan hanya memberi data dan fakta. Caranya adalah dengan membuat dialog. Perlu dicatat, dialog tidak sama dengan percakapan. Percakapan merupakan ucapan sehari-hari yang dituliskan. Misal, masih ada kata-kata seperti “Dar!” “Klik” “Wek” “Ngiik” dalam percakapan. Jangan gunakan kata-kata itu pada dialog kecuali perlu sekali. Juga, jangan beri dialog yang tidak ada artinya. Saring dialog anda, sampai menyisakan hanya yang benar-benar informatif. Contoh ada pada Paul Theroux yang memiliki tulisan dengan dialog yang baik. Ia bisa memberi gambaran, namun membiarkan pembaca yang menilai/berinterpretasi.
*Tulisan yang baik adalah tulisan yang ketika dibaca berulang mampu menimbulkan interpretasi yang berbeda-beda setiap kali.
*Cara menghidupkan tulisan adalah dengan menghidupkan adegan. Misalnya menceritakan kejadian perampokan tanpa menyebutkan “perampokan”, namun menggunakan deskripsi keadaan perampokan tersebut.
*Setelah menulis, biasakan membaca ulang hasil tulisan. Tulisan yang bagus adalah tulisan yang enak dibaca ulang, bukan tulisan yang monoton (jumlah kata sama, repetitif, bentuk kalimat sama). Oleh karena itu, gunakan semua bentuk kalimat.
*Prinsip jurnalistik : “Less is More”. Semakin ekonomis, semakin kuat tulisan anda. Mengutip pernyataan “Keep it simple, stupid (and short)”
*Berhati-hatilah dengan tulisan yang panjang. Tantangannya adalah harus dinamis. Cerita harus bergerak dan ada perpindahan.
*Sebuah tulisan mestinya harus ‘disedot lemak’ (membuang bagian-bagian yang kurang efektif dan tidak penting) hingga hanya menyisakan sebuah tulisan yang sederhana dan indah.
*Jangan menjabarkan perasaan. Biarkan pembaca yang merasakannya sendiri. Juga jangan berikan semua hal pada pembaca. Karena mereka membutuhkan ruang untuk berimajinasi, berpikir dan memberikan interpretasi. Karya sastra yang bagus adalah yang seperti itu. Yang memberi ruang pada pembaca.
*Penulis perjalanan yang tidak mendalami perjalanannya, akan hanya menulis tentang data. Namun yang mendalami perjalanannya akan memberikan opini dan deksripsi yang menunjukkan bahwa sang pejalan benar-benar berada di tempat yang diceritakan. Seorang penulis perjalanan tidak bisa tidak melakukan perjalanan.
*Bagian penutup yang paling biasa dipakai pada tulisan perjalanan adalah akhir dari perjalanan (secara kronologis). Namun akan lebih menarik apabila dibuat sebuah penutup yang terbuka. Tidak ada kesimpulan di sana, namun justru diberikan pada pembaca. Juga dapat dilakukan teknik ‘penutup melingkar’ dengan memberi kata kunci yang sama pada pembuka dan penutup, juga ada benang merah di antara keduanya.
Tips untuk memulai menulis perjalanan :*“Nothing is New” berlaku di dalam dunia penulisan. Yang membuat tulisan berbeda adalah cara anda menyampaikan, juga sudut pandang yang berbeda.*Seorang pejalan mesti memanusiakan manusia. Perlakukan mereka sebagaimana anda ingin diperlakukan.*Jangan pernah remehkan pembaca. Sembilan puluh persen pembaca lebih pintar dari penulisnya. Cobalah untuk intropeksi diri.*Berbohong adalah sebuah dosa besar. Hal itu tentu juga berlaku pada tulisan perjalanan yang memijak teguh non fiksi. Kredibilitas anda dipertaruhkan.*Jangan berhenti sebelum memulai.*Tidak ada penulis yang langsung menulis bagus. Semua ada proses tulis ulang. “The first draft of anything is shit.” – Hemingway.*Banyaklah lakukan perjalanan, banyak membaca, banyak menulis.*Kedalaman adalah sesuatu yang penting. Agustinus mencontohkan, pada Lonely Planet. Ia sudah tak mampu bertahan karena tidak adanya kedalaman/opini. Misalkan sebuah buku terbit di tahun ini, tahun depan sudah akan basi, karena semua orang mampu mencarinya di internet.*Travel writing adalah tentang sudut pandang. Ada opini, namun berikan opini yang berdasar. Jika tidak dapat menjadi stigma. Setiap pandangan kita harus ada dasarnya.
*Pembaca yang baik, bukan yang kejar setoran. Tapi yang mempelajari apa yang dibacanya.
*Karena tulisan perjalanan adalah tentang detail, seringkali banyak alat yang mampu membantu untuk menyimpan detail. Misalkan kamera atau recorder. Namun, alat bantu yang paling penting jutsru adalah kertas dan pulpen. Agustinus mencontohkan bahwa ia selalu mencatat kejadian dalam buku harian. Ia memberi permisalan bahwa ia bisa menulis dengan detail bagaimana aroma pada penggorengan di India. Sebegitu pentingnya buku harian, maka ia lebih memilih kehilangan dompet daripada kehilangan buku harian.
*Memulai tulisan perjalanannya dengan menulis di blog memberi kesan yang berbeda dengan saat Agustinus menulis buku. Buku harus punya tema besar yang kuat, berbeda dengan blog yang bersifat ‘lepas’.
*Perbedaan antara tulisan perjalanan dan feature travel adalah pada tulisan perjalanan, terdapat cerita dengan unsur personal penulis yang kuat. Sedangkan feature travel belum tentu merupakan cerita perjalanan. Namun feature travel waktu ini sudah bergeser. Tidak melulu membahas destinasi, namun juga memberi ikatan pada pembaca melalui narasi. Karena unsur tulisan perjalan yang bagus adalah yang mengandung unsur komunikasi.
*Bagaimana cara menyikapi menempatkan sejarah pada tulisan, jika sejarah itu masih ‘buram’? Orang bercerita adalah fakta. Kita melihat sudut pandang orang yang bercerita. Sudut pandang orang-orang yang berbeda.
*Tulisan perjalanan memiliki cakupan yang luas. Antropologi, budaya, science, memoar, linguistik, dsb. Oleh karena itu penulis perjalanan harus kuat di observasi dan dialog. Karena dialog sesungguhnya menunjukkan opini.
Published on November 26, 2013 00:46
November 16, 2013
5BukuDalamHidupku | Jujur Tak Perlu Menunggu
(Katanya) ini penutupan. Hari terakhir #5BukuDalamHidupku membuat saya bimbang buku apa yang mesti saya sampaikan. Entah karena terlalu banyak, atau justru tak ada. Saya menarik napas, dan mulai berpikir perlahan. Kemudian satu judul buku muncul di kepala saya. Rasanya tak adil membiarkan buku ini tak mendapat ruang, setelah mengubah sedikit banyak sudut pandang saya. Maka, tanpa berharap menjadi terasa berlebihan, saya ingin berkisah tentang ini.
Sebuah langkah awal kadang kala tak selalu ditentukan oleh hal yang besar. Dan kaki-kaki saya tak mampu memilih jalan dan kapan saat itu datang. Ketika merasa siap dengan ekspektasi tinggi, tak ada yang datang. Namun ketika diri kosong dan tak mengharap apapun, momen itu dengan mengejutkan datang, dan mengisi dengan hal baru. Saya tak menyadarinya, hingga datang hari itu. Dua tahun lalu, di tengah jadwal kuliah yang menghimpit, saya iseng saja membeli buku bersampul putih dan bergambar apel itu. “9 Summers 10 Autumns” karangan Iwan Setyawan. Saya membeli dengan ekspektasi kosong. Alasannya sederhana. Saya orang yang tak mudah termotivasi.
Buku itu merebut empati saya karena satu hal yang sangat sederhana : kejujuran. Penulis nampak menumpahkan semua yang memang ingin ia katakan. Terbaca, penulis murni ingin membagi. Seakan tak peduli dengan apa kata orang lain nantinya. Lalu, saya mendapati informasi tentang bedah bukunya. Saya hadir dengan alasan sekadar ingin lembar awal buku ditandatangan. Tapi ternyata semuanya bisa terjadi tanpa diduga. Saya belajar banyak dari sang penulis. Sejak itu saya mulai mengambil jarak dengan diri sendiri, dan kembali mengenal diri secara berbeda, dan coba menelaah apa yang sebenarnya yang saya miliki. Saya seperti seorang yang selama ini selalu menghindari cermin. Takut akan bayangan sendiri. Khawatir akan melihat hal yang tak ingin saya lihat dalam refleksi itu. Saya pun takut melihat bayangan itu di mata orang lain. Saya tak pernah benar-benar mengambil jarak dekat, dan dengan gagah berani melihat bayangan diri saya di mata orang lain. Yang saya tahu, hanya kaki sendiri dan mengatur langkah dengan hati-hati. Awalnya berat. Saya mengintip perlahan. Membuka tirai yang menutupi cermin pelan-pelan, seperti mengucap permisi pada sebuah rumah yang baru didatangi. Untung refleksi itu tak bilang terlambat. Ia menjabat tangan saya perlahan dan menyambut dengan ramah, seakan sudah menunggu lama. Ia menunjukkan apa yang bisa dikenali dari diri saya. Apa yang harus saya terima, hadapi, dan sikapi. Kemudian perlahan saya membuat mimpi-mimpi kecil. Jangankan mencatatnya, membayangkan hasilnya pun saya enggan. Namun dari situlah saya menjadi (mulai) berani menghadapi diri saya sendiri.
Di titik itu, saya kembali menanyakan pada diri saya sendiri, apa mimpi saya selama ini? Apa mimpi saya sudah sebesar si Iwan kecil dari sudut kota Batu itu? Atau jangan-jangan untuk bermimpi saja saya takut? Kemudian saya juga bertanya, apa saya juga sudah memeluk diri saya seerat pelukan sang pria dan si bocah kecil berbaju putih merah? Lain lagi jika saya bertanya, sudahkah rasa sayang saya cukup besar untuk mama, seperti penulis yang menyayangi ibunya? Atau sudahkah saya setangguh penulis dalam menghadapi kehidupan? Dan sudahkah saya melihat dunia seluas si penulis? Banyak pertanyaan lain yang saya kira bisa jawab, nyatanya selama itu pula saya hanya berusaha menghindarinya, atau memilih menjawabnya nanti-nanti saja.
Published on November 16, 2013 05:51
November 15, 2013
#5BukuDalamHidupku | Menyusuri Ensiklopedia
Tak punya terlalu banyak waktu dengan orang tua yang mesti bekerja, saat kecil, saya dan seorang kakak perempuan seringkali hanya berdua di rumah sepulang sekolah. Selain adu mulut dan bertengkar karena masalah sepele khas anak-anak, kami biasa bermain apa saja. Jika keduanya sudah terasa membosankan, kami membaca. Sayang, dibandingkan dengan koleksi milik sepupu, buku dan majalah kami yang hanya beberapa buah terlihat sangat minus. Hanya sekadar buku warisan yang halamannya menguning (anak-anak tak suka itu), beberapa majalah, juga beberapa komik hasil merengek di toko buku beberapa kali. Jika sudah bosan berkali-kali mengkhatamkan buku yang sama, kami akan mengajukan protes pada mama, mengapa kami tak memiliki buku sebanyak koleksi sepupu. Mama menjawabnya dengan sederhana. Uang mama dan papa tak sebanyak uang om dan tantemu. Setiap kali, mama akan mengingatkan hal yang sama. Sederhana. Tapi mengena. Jadi, saya dan kakak hanya terus berusaha merengek dan terus mengulang bacaan-bacaan yang sama. Sampai hapal hingga ke detail plot dan gambarnya.
Setiap akhir pekan, sebelum jadwal berkunjung ke rumah kakek, kami selalu meminta untuk mampir ke rumah sepupu. Apalagi yang mampu membuat gembira selain melihat rak-rak dengan komik seri lengkap, buku cerita berwarna, juga majalah-majalah tanpa terlewat satu edisi pun? Dan yang paling membuat gembira, kami diperbolehkan untuk meminjamnya, dengan janji mengembalikan sesuai dengan kondisi semula, begitu sudah selesai dibaca. Secara kontinyu, kami meminjam komik-komik anak. Sampai suatu kali, kami melihat buku-buku besar yang direkomendasikan oleh sepupu. Setiap halamannya tebal dan yang penting penuh ilustrasi dan berwarna. Seri yang dimilikinya lengkap. Tiap seri menceritakan hal-hal yang berbeda. Ensiklopedia itu berjudul : "Widya Wiyata Pertama Anak-Anak" Karena merasa ensiklopedia akan penting bagi kami, mama meminjam ensiklopedia-ensiklopedia itu. Setiap kali satu seri. Hitungan hari setelahnya, sudah ada ensiklopedia yang sama bagi kami. Hanya saja lebih buram. Hitam-putih. Ternyata mama membawanya ke fotokopi dan menjilidnya rapi. Jadi, masalah selesai, dan kami punya ensiklopedia yang sama. Meski dengan protes kecil sana-sini, mau tak mau ensiklopedia itu membahagiakan juga.
Saya melihat ensiklopedia yang sama di sebuah perpustakaan ketika mengajar anak-anak beberapa minggu yang lalu. Di antara buku-buku yang lebih menarik dan berwarna, ensiklopedia-ensiklopedia itu dijajarkan pada ujung bawah rak yang susah terlihat. Ketika dibebaskan memilih buku, anak-anak pun tak berniat memilihnya. Mungkin penanda bahwa ensiklopedia itu telah kehilangan pembacanya? Entahlah. Yang jelas kemudian ensiklopedia itu menjadi mesin waktu yang membawa saya kembali ke salah satu serinya.
Yang paling saya ingat adalah seri Kehidupan Sehari-hari. Ia menjawab banyak hal yang terkadang tak pernah terpikirkan di kepala seorang gadis kecil. Misalnya, mengapa tidak boleh menonton sambil makan, mengapa seorang kakak harus mengalah pada adik, mengapa kita tidak boleh bermain di jalan, dan sebagainya. Jawaban-jawaban ensiklopedia itu sangat mudah dipahami anak-anak. Jadi saya selalu bergaya, jika saya berbuat nakal dan membuat kakak marah, misalnya. Akan saya gunakan bab tentang mengalah kepada adik sebagai senjata. Di luar itu, ensiklopedia itu mengajari saya banyak hal. Meski sekadar logika-logika kecil yang tak mungkin tak berarti apapun untuk orang dewasa, namun berarti besar bagi anak-anak. Juga, melatih saya untuk membaca tentang pengetahuan dengan cara yang menyenangkan. Rasanya bacaan di usia-usia awal di luar fiksi yang masih begitu teringat di kepala saya adalah ensiklopedia. Tentunya itu mempengaruhi cara membaca yang terbiasa dengan banyak gambar pada komik, untuk mulai beranjak pada tulisan dan belajar melogika banyak hal. Dan yang paling penting, untuk belajar tidak sirik dengan koleksi buku orang lain! :)
Setiap akhir pekan, sebelum jadwal berkunjung ke rumah kakek, kami selalu meminta untuk mampir ke rumah sepupu. Apalagi yang mampu membuat gembira selain melihat rak-rak dengan komik seri lengkap, buku cerita berwarna, juga majalah-majalah tanpa terlewat satu edisi pun? Dan yang paling membuat gembira, kami diperbolehkan untuk meminjamnya, dengan janji mengembalikan sesuai dengan kondisi semula, begitu sudah selesai dibaca. Secara kontinyu, kami meminjam komik-komik anak. Sampai suatu kali, kami melihat buku-buku besar yang direkomendasikan oleh sepupu. Setiap halamannya tebal dan yang penting penuh ilustrasi dan berwarna. Seri yang dimilikinya lengkap. Tiap seri menceritakan hal-hal yang berbeda. Ensiklopedia itu berjudul : "Widya Wiyata Pertama Anak-Anak" Karena merasa ensiklopedia akan penting bagi kami, mama meminjam ensiklopedia-ensiklopedia itu. Setiap kali satu seri. Hitungan hari setelahnya, sudah ada ensiklopedia yang sama bagi kami. Hanya saja lebih buram. Hitam-putih. Ternyata mama membawanya ke fotokopi dan menjilidnya rapi. Jadi, masalah selesai, dan kami punya ensiklopedia yang sama. Meski dengan protes kecil sana-sini, mau tak mau ensiklopedia itu membahagiakan juga.
Saya melihat ensiklopedia yang sama di sebuah perpustakaan ketika mengajar anak-anak beberapa minggu yang lalu. Di antara buku-buku yang lebih menarik dan berwarna, ensiklopedia-ensiklopedia itu dijajarkan pada ujung bawah rak yang susah terlihat. Ketika dibebaskan memilih buku, anak-anak pun tak berniat memilihnya. Mungkin penanda bahwa ensiklopedia itu telah kehilangan pembacanya? Entahlah. Yang jelas kemudian ensiklopedia itu menjadi mesin waktu yang membawa saya kembali ke salah satu serinya.
Yang paling saya ingat adalah seri Kehidupan Sehari-hari. Ia menjawab banyak hal yang terkadang tak pernah terpikirkan di kepala seorang gadis kecil. Misalnya, mengapa tidak boleh menonton sambil makan, mengapa seorang kakak harus mengalah pada adik, mengapa kita tidak boleh bermain di jalan, dan sebagainya. Jawaban-jawaban ensiklopedia itu sangat mudah dipahami anak-anak. Jadi saya selalu bergaya, jika saya berbuat nakal dan membuat kakak marah, misalnya. Akan saya gunakan bab tentang mengalah kepada adik sebagai senjata. Di luar itu, ensiklopedia itu mengajari saya banyak hal. Meski sekadar logika-logika kecil yang tak mungkin tak berarti apapun untuk orang dewasa, namun berarti besar bagi anak-anak. Juga, melatih saya untuk membaca tentang pengetahuan dengan cara yang menyenangkan. Rasanya bacaan di usia-usia awal di luar fiksi yang masih begitu teringat di kepala saya adalah ensiklopedia. Tentunya itu mempengaruhi cara membaca yang terbiasa dengan banyak gambar pada komik, untuk mulai beranjak pada tulisan dan belajar melogika banyak hal. Dan yang paling penting, untuk belajar tidak sirik dengan koleksi buku orang lain! :)
Published on November 15, 2013 06:23
November 14, 2013
#5BukuDalamHidupku | Electone School for Children, Step 1
Gadis kecil itu tak pernah sekalipun terpikir bahwa kelak ia akan mempunya teman sesetia itu. Bahkan ketika ia memandang dan melewati benda besar itu setiap kali. Berkali-kali mesti menerima marah karena bermain di kolongnya, atau memanjat-manjat pada kursinya, ia tak pernah tahu benda apa itu. Mungkin sejenis meja, atau patung besar yang sekadar ditutup kain. Belum lagi letaknya yang berada di ujung ruang, di dekat lorong di mana lemari-lemari buku milik opa tinggal. Hingga suatu hari beberapa tahun kemudian, ia melihat sang tante yang membuka kain dan tutup benda besar itu. Ia terpana dan bertanya. Apa itu? Organ katanya. Ternyata ada banyak tombol garis panjang hitam-putih yang diatur berjajar. Dan hebatnya, itu dua tingkat juga mengeluarkan bunyi. Diam-diam ia menyimpan bunyi itu di dalam kepalanya.
Beberapa tahun kemudian bunyi itu masih ada. Di usianya yang kesepuluh, setelah lelah meniup pianika tua warisan turun temurun, sang ayah mendaftarkannya kursus musik. Dengan gembira, ia menyambut organ tua pindahan dari rumah opa. Ia pun bertemu dengan seorang perempuan berkacamata. Kata tante yang mengantar, kelak beliau akan menjadi guru si gadis kecil. Malu-malu gadis itu menjabat tangan sang perempuan. Lalu sang perempuan meminta si gadis untuk memainkan lagu apa saja pada organnya. Organ yang jauh lebih canggih dan modern daripada sekadar organ warisan opa. Banyak tombol bercahaya yang tak ia mengerti. Bingung ingin memainkan lagu apa, ia menatap takut-takut pada sang tante, seakan minta diselamatkan. Namun sang perempuan berkata agar si gadis memainkan lagu apa saja yang ia bisa. Satu-satunya lagu yang selama ini mampu ia mainkan dengan pianika adalah lagu “Lihat Kebunku” ciptaan Ibu Sud dan “Bintang” yang dinyanyikan oleh salah satu band di tahun 90an. Semua not angkanya dituliskan di selembar kertas HVS oleh sang papa, yang senang bermusik, namun tak pernah mengenyam pendidikan formal musik sedikitpun. Merasa “Lihat Kebunku” terlalu kekanakan, ia memilih memainkan sepenggal lagu “Bintang”. Mi Sol Re Mi Fa.. dan seterusnya berputar di kepalanya, kemudian ia terjemahkan dengan jari-jari kecil, mencoba memainkan sebaik sebelumnya, meski akhirnya lupa di banyak bagian. Mulai saat itu, saya, si gadis kecil penakut itu, diterima sebagai murid beliau, sang perempuan. Dan dibawakan sebuah buku yang merupakan buku pelajaran musik pertama, “Electone School for Children, Step 1” untuk dibawa pulang.
***
Selama sepuluh tahun itu, saya sama sekali tak mengerti tentang teori musik apapun. Di dalam buku pertama itu, saya langsung tertarik dengan gambar ilustrasi organ juga gambar-gambar lucu khas anak-anak. Gajah lucu yang ditarik sang pawang, sekelompok kelinci dan rakun yang berbaris, juga santa dan rusanya. Tapi saya sama sekali belum mampu membaca apa arti kecambah-kecambah terbalik di atas garis-garis. Guru saya menjelaskan semuanya. Bahwa itu adalah not balok, bahwa garis-garis itu membagi dirinya menjadi beberapa bar, dan lain sebagainya. Lagu pertama saat itu, “Lightly Row” lagu rakyat Jerman dengan ketukan 4/4 dan not ketukan satu yang sederhana. Mengikutinya, “Tug of War”, “Quiet, Quiet”, “Mary Had A Little Lamb” dan lagu-lagu lainnya.
Saya merasa memiliki teman baru sejak itu. Teman yang selalu mendengarkan apa yang saya katakan, tanpa menyela atau bertanya. Teman yang selalu membagi melodi indahnya kepada saya ketika sedih atau senang. Teman yang selalu berhasil membuat saya merasa tak sendiri.
Meski organ warisan opa sudah tak berbekas sejak lama. Meski kini organ itu telah digantikan dengan keyboard, kemudian piano. Namun buku itu tak pernah pergi. Ia selalu mengingatkan saya pada sebuah langkah pertama. Pertemuan pertama dengan hal yang selamanya mengubah hidup saya. Yang memberikan musik sebagai salah satu hal terbesar yang saya miliki, juga seorang guru yang tak pernah seharipun tak saya sukai sejak tiga belas tahun waktu mengajarnya. Meski tak lagi menggunakan organ yang sama, opa yang telah lama pergi menuju Tuhan, juga guru yang telah terpisah jauh di benua berbeda, buku pertama itu masih berada di samping piano saya. Terselip di antara buku dan partitur yang lain. Terkadang, saya membuka halaman dan memainkan beberapa lagunya. Demi mengingat kenangan, juga awal pertemuan yang terlalu berkesan untuk diabaikan.
- Nabila Budayana -
Published on November 14, 2013 01:25
November 13, 2013
#5BukuDalamHidupku | Mengantongi 50 Ribu
Selain pecahan uang berwarna biru, kami sebelumnya tak memiliki definisi lain akan angka lima puluh ribu. Ah, tunggu. Mungkin ada satu : kami sama-sama menganggap lima puluh ribu adalah delapan gelas minuman cincau yang menemani (lebih dari) lima jam pertemuan kami setiap kali. Bertemu pertama kalinya di salah satu acara workshop, juga merasa memiliki kesamaan minat pada hal yang sama, kami mengumpulkan tekad, kemudian menyatukannya. Setelah di akhir tahun sebelumnya berhasil merampungkan sembilan puisi, sepuluh cerita pendek, juga sebelas fiksi pendek di dalam satu sampul yang sama, kami melangkah kembali. Mungkin hanya langkah kecil dan perlahan, namun pasti.
Saat itu pun begitu. Kami bertemu, di antara obrolan ringan, tercetus kalimat “Kita harus bikin proyek bareng lagi” Enam kepala, lima perempuan dan satu laki-laki, sama-sama tak melahirkan ide baru. Buntu, suram, tak menemukan. Lalu ada satu celetukan dari hasil candaan : “Lima Puluh Ribu!” berlanjut ada yang menyahut untuk menjadikan Lima Puluh Ribu sebagai benang merah. Ide-ide itu datang. Berbeda, namun kami gabungkan. Dipilah dan disatukan. Didiskusikan dan diperdebatkan. Setuju, tidak setuju. Dipilih dan diganti sana-sini. Hingga akhirnya kami menemukan satu konsep baru yang disetujui semua kepala.
Kami mencoba melangkah setapak lebih berani. Mencoba konsep baru yang lebih bebas. Mendatangi tempat di mana kami bisa bermain, dan bersenang-senang. Kisah bukan lagi dimiliki seseorang secara utuh. Namun dibagi. Kami berbagi ruang. Kami berbagi plot dan tokoh. Kisah ditulis estafet. Bahkan sang pencipta kisah di awal tak akan tahu bagaimana kisah akan menjadi. Seorang marah-marah karena tokohnya yang ‘dihancurlebur’kan, seorang terkejut karena mendapati ekspektasi yang berbeda, sementara sisanya sibuk komat kamit berdoa demi undian setiap minggu untuk menentukan urutan. Bukan berarti semua berjalan lancar-lancar saja. Proyek ini susah bagi kami. Tenggat waktu yang rapat, genre dan gaya tulisan yang berbeda-beda, pembagian tugas hingga ke penerbitan, ketidaksamaan persepsi, perdebatan kecil, semuanya terkadang membuat frustasi, dan ingin berhenti. Namun ada satu yang membuat kami terus mencoba : keinginan agar proyek ini rampung dan mampu dibaca banyak orang nantinya.
Setelah proses menulis selesai, kami pontang panting mengurus semua keperluannya, hingga mengatur mini launching sendiri. Melobi kanan-kiri, demi menepatkan kelahirannya persis di tanggal 10-11-12. Sepuluh November 2012. Lanjutan dari buku kami sebelumnya di 9-10-11. Sembilan Oktober 2011. Beruntung, banyak pihak lain yang dengan murah hati membantu keperluan-keperluan kami. Mengembus napas lega, sore itu melaju lancar untuk kami. Cukup banyak teman-teman yang berkenan hadir. Bukan acara besar, memang. Namun terasa cukup bagi kami.
Hingga hari ini, jika ditanya proyek apa yang paling mengasyikkan? Kemungkinan besar saya akan menjawab “50 Ribu”. Karena saya (dan kami) belajar banyak hal. Bagaimana melepaskan beban ketakutan, mengenyampingkan keinginan masing-masing, menghargai satu sama lain, menyatukan karakter yang jelas berbeda. Mereka adalah partner, juga teman. Bahwa mungkin kelak sepuluh tahun lagi, dua puluh tahun lagi, berapapun itu, saat kami mungkin sudah alpa atau lupa, akan ada kenangan bahwa kami pernah melahirkan “50 Ribu” bersama.
Kadang kala ada kerinduan dari saya untuk menemui mereka kembali di proyek-proyek baru. Namun saya memang suka lupa. Terkadang ada beberapa hal yang mesti kami maklumi bersama. Kesibukan yang mengikat, jarak yang semakin lebar, juga waktu yang terus terasa minus. Saya mengatur langkah, dan membawa lembar(an) “50 Ribu” di kantong saya.
- Nabila Budayana -
Published on November 13, 2013 01:13
November 11, 2013
#5BukuDalamHidupku | Penumpang Tetap Kereta Tidur
"Di baris ketujuh sebelah kiri, empat kursi dari ujung, Tuhan duduk dan menangis. Di tangannya tergenggam sebuah dadu. Pada semua sisinya tertulis : dosa."
Semoga saja saya diizinkan mengutip kalimat akhir dari sebuah cerita pendek berjudul "Perempuan Pertama" oleh sang penulis, Avianti Armand. Selain karena terasa hidup, kuat, berani namun juga melankolis, saya memiliki kesan tersendiri di dengan kalimat itu.
Di sebuah bangku di ujung meja panjang, sembari menunggu pesanan, di salah satu rumah makan di Kota Malang, saya tenggelam kembali sebagai 'penumpang' "Kereta Tidur". Entah itu proses pembacaan ulang yang keberapa, saya lupa. Yang jelas, saat itu saya memilih membawanya, selain karena saya yang belum bosan dengan kisahnya, juga karena jumlah halamannya yang tak terlalu banyak, membantu punggung saya tak memanggul terlalu banyak beban bawaan. Mendung itu tak membuat saya berdiri di selasar rumah makan dan melayangkan kenangan. Justru saya sibuk membaca ulang "Kereta Tidur". Sesungguhnya sedikit banyak saya cukup menyebalkan. Ketika obrolan di antara teman sudah kurang menarik bagi saya, saya akan kabur pada halaman-halaman buku. Kali itu pun begitu. Meski sudah kesekian kalinya, Tuhan masih menangis di baris ketujuh. Saya ulang, ulang, ulang dan ulang kembali kalimat penutup itu. Ada apa? Mengapa Tuhan selalu menangis? Mengapa di kursi keempat, baris ketujuh? Mengapa di semua sisi dadu tertulis dosa? Saya tenggelam dalam pertanyaan di antara keramaian obrolan teman-teman. Saya sibuk menelaah. Saya sibuk mencari jalan menelusuri lorong-lorong pikir seorang Avianti. Sebelum saya berhasil menyusurinya, bangku di sebelah saya berderit tergeser. Seseorang menempatinya. Saya mengalihkan pandangan, mencari tahu siapa yang duduk di sebelah saya. Ternyata seorang teman yang sudah lama saya kenal, namun tak pernah cukup lama kami berbincang atau berdiskusi. Ia bertanya, apa yang sedang saya baca. Saya menjawab dengan menunjukkan sampul awal dari "Kereta Tidur". Dia tak begitu suka membaca, dan menanyakan hal-hal kecil tentang buku yang saya pegang. Siapa penulisnya, novel atau kumpulan cerpen, bagus atau tidak, dan sebagainya. Entah untuk basa-basi atau benar-benar ingin tahu. Saya jelaskan dengan riang. Entah karena saya yang otomatis semangat bicara setiap bercerita tentang buku bagus, atau karena memang suasana hati yang sedang ingin bicara banyak. Beberapa pasang mata teman menatap kami bicara. Maklum, kami kombinasi yang cukup 'aneh'. Mungkin sebagian mereka bertanya-tanya apa yang kami bicarakan.
Lalu saya tunjukkan padanya tentang kalimat penutup yang indah itu. "Coba deh, baca ini" jari saya menunjuk pada halaman di mana kalimat itu berada.Ia sejenak tenggelam dalam diam. Nampaknya berkosentrasi betul dengan kalimat di hadapannya. Entah karena ingin, atau sekadar tak enak hati pada saya. Sesaat, ia mengembalikan buku itu ke tangan saya dibarengi cengiran khasnya. Nampaknya ia pun sibuk menelaah. Saya kembali mempersuasinya bahwa kalimat itu hebat. Ia hanya kembali nyengir.
Saya tak ingat bagaimana awalnya, kami tiba-tiba bicara tentang Tuhan. Kebetulan kepercayaan kami berbeda. Juga tak biasanya ia bicara serius. Mungkin kali itu saja. Sempat saya kira kami akan berbeda dan sedikit menimbulkan percikan di antara pendapat. Namun, ternyata, kami justru saling bertanya. Timbal balik, tukar opini dan ilmu. Ia memberikan pandangan baru terhadap saya tentang Tuhan. Beberapa bagian tak mampu ia jelaskan. Katanya, saya hanya bisa mengerti itu ketika saya berada di posisi dirinya. Saya masih bertanya. Ia menyederhanakan kalimat. Kemudian kesempatan itu juga saya gunakan untuk menanyakan sejarah dari beberapa cerita yang ada di "Kereta Tidur" tentang bagaimana yang tertulis di kitab sucinya. Tak terlalu banyak yang saya dapatkan, namun cukup. Dari saat itu saya belajar banyak tentang hal-hal baru yang mempengaruhi cara berpikir saya hingga saat ini. Terutama tentang perbedaan kepercayaan. Mulai saat itu saya bertransformasi dari seorang 'penumpang' yang hanya duduk dan memandang jendela, menjadi 'penumpang' yang mulai berani berjalan di antara lorong kereta.
***
Seorang ibu paruh baya yang tak pernah menangis di depan putri yang disayanginya, tiba-tiba tak mampu menahan air matanya. Sang gadis bertanya-tanya apa yang terjadi dengan sang ibu. Nyatanya, sang ibu menyaksikan kejadian yang membuat batinnya terguncang luar biasa. Ia bertemu dengan sang suami, ayah sang gadis, yang menghilang dan telah lama ia tunggu. Sayang, pertemuan itu tak membahagiakan. Sang suami justru nampak tengah menjalani rumah tangga bahagia dengan seorang wanita pemetik teh.
Itu sepenggal adegan dari cerita pendek yang sempat saya tulis untuk satu sayembara. Lalu di mana peran "Kereta Tidur"? Saya menceritakan bahwa sang ibu, di tengah kesedihannya, menyempatkan diri tenggelam dalam halaman-halaman "Kereta Tidur" dan merasa senasib dengan tokoh perempuan berbaju putih yang duduk di kursi tunggu berwarna kuning, Naomi. Mereka sama-sama terjebak penantian, kisah yang salah dan masa lalu.
Tak saya sangka, cerita pendek itu mendapat apresiasi yang baik dari juri. Mungkin sekadar keberuntungan, atau karena ada Naomi di dalamnya? Entahlah. Namun cerita pendek itu berhasil meyakinkan saya bahwa tulisan saya tak terlalu buruk. Juga sebagai sekelumit kecil bentuk apresiasi saya terhadap Kereta Tidur. Ucapan terima kasih karena saya telah diberikan tempat sebagai 'penumpang tetap'nya. 'Penumpang tetap' yang selalu ingin menulis dengan sama indahnya.
***
Dalam cerita pendek berjudul "Sempurna" saya menemukan sebagian gambar dari hidup saya, dan mungkin sebagian perempuan lainnya yang selalu merasa kesal diperbandingkan seperti benda. Juga memperhatikan orang lain yang selalu terobsesi dengan kesempurnaan. Bahkan hingga harus menyakiti diri sendiri. Ironis, namun ada. Bahkan membuat saya selalu bertanya, hingga pada tahap apa saya ingin menjadi Lara yang selalu ingin sempurna hanya untuk sekadar menuruti keinginan untuk 'terlihat'. Tak ada yang benar-benar sempurna.
***
Buku ini mengubah hidup? Ya. Memberi kesan dalam di diri saya, mengantarkan pada pandangan-pandangan baru, juga membuat saya (setidaknya) terus mencoba bergerak dan menulis seindah dan sebaik itu.
***
Saya pun masih menjadi penumpang tetap "Kereta Tidur" dan menikmati metafora indah, juga pesan yang melekat melalui jendela setiap kali. Terkadang mungkin saya turun dan menumpang kereta lain. Namun setumpuk tiket Kereta Tidur masih ada di genggaman, dan siap digunakan kapan saja.
- Nabila Budayana -
Semoga saja saya diizinkan mengutip kalimat akhir dari sebuah cerita pendek berjudul "Perempuan Pertama" oleh sang penulis, Avianti Armand. Selain karena terasa hidup, kuat, berani namun juga melankolis, saya memiliki kesan tersendiri di dengan kalimat itu.
Di sebuah bangku di ujung meja panjang, sembari menunggu pesanan, di salah satu rumah makan di Kota Malang, saya tenggelam kembali sebagai 'penumpang' "Kereta Tidur". Entah itu proses pembacaan ulang yang keberapa, saya lupa. Yang jelas, saat itu saya memilih membawanya, selain karena saya yang belum bosan dengan kisahnya, juga karena jumlah halamannya yang tak terlalu banyak, membantu punggung saya tak memanggul terlalu banyak beban bawaan. Mendung itu tak membuat saya berdiri di selasar rumah makan dan melayangkan kenangan. Justru saya sibuk membaca ulang "Kereta Tidur". Sesungguhnya sedikit banyak saya cukup menyebalkan. Ketika obrolan di antara teman sudah kurang menarik bagi saya, saya akan kabur pada halaman-halaman buku. Kali itu pun begitu. Meski sudah kesekian kalinya, Tuhan masih menangis di baris ketujuh. Saya ulang, ulang, ulang dan ulang kembali kalimat penutup itu. Ada apa? Mengapa Tuhan selalu menangis? Mengapa di kursi keempat, baris ketujuh? Mengapa di semua sisi dadu tertulis dosa? Saya tenggelam dalam pertanyaan di antara keramaian obrolan teman-teman. Saya sibuk menelaah. Saya sibuk mencari jalan menelusuri lorong-lorong pikir seorang Avianti. Sebelum saya berhasil menyusurinya, bangku di sebelah saya berderit tergeser. Seseorang menempatinya. Saya mengalihkan pandangan, mencari tahu siapa yang duduk di sebelah saya. Ternyata seorang teman yang sudah lama saya kenal, namun tak pernah cukup lama kami berbincang atau berdiskusi. Ia bertanya, apa yang sedang saya baca. Saya menjawab dengan menunjukkan sampul awal dari "Kereta Tidur". Dia tak begitu suka membaca, dan menanyakan hal-hal kecil tentang buku yang saya pegang. Siapa penulisnya, novel atau kumpulan cerpen, bagus atau tidak, dan sebagainya. Entah untuk basa-basi atau benar-benar ingin tahu. Saya jelaskan dengan riang. Entah karena saya yang otomatis semangat bicara setiap bercerita tentang buku bagus, atau karena memang suasana hati yang sedang ingin bicara banyak. Beberapa pasang mata teman menatap kami bicara. Maklum, kami kombinasi yang cukup 'aneh'. Mungkin sebagian mereka bertanya-tanya apa yang kami bicarakan.
Lalu saya tunjukkan padanya tentang kalimat penutup yang indah itu. "Coba deh, baca ini" jari saya menunjuk pada halaman di mana kalimat itu berada.Ia sejenak tenggelam dalam diam. Nampaknya berkosentrasi betul dengan kalimat di hadapannya. Entah karena ingin, atau sekadar tak enak hati pada saya. Sesaat, ia mengembalikan buku itu ke tangan saya dibarengi cengiran khasnya. Nampaknya ia pun sibuk menelaah. Saya kembali mempersuasinya bahwa kalimat itu hebat. Ia hanya kembali nyengir.
Saya tak ingat bagaimana awalnya, kami tiba-tiba bicara tentang Tuhan. Kebetulan kepercayaan kami berbeda. Juga tak biasanya ia bicara serius. Mungkin kali itu saja. Sempat saya kira kami akan berbeda dan sedikit menimbulkan percikan di antara pendapat. Namun, ternyata, kami justru saling bertanya. Timbal balik, tukar opini dan ilmu. Ia memberikan pandangan baru terhadap saya tentang Tuhan. Beberapa bagian tak mampu ia jelaskan. Katanya, saya hanya bisa mengerti itu ketika saya berada di posisi dirinya. Saya masih bertanya. Ia menyederhanakan kalimat. Kemudian kesempatan itu juga saya gunakan untuk menanyakan sejarah dari beberapa cerita yang ada di "Kereta Tidur" tentang bagaimana yang tertulis di kitab sucinya. Tak terlalu banyak yang saya dapatkan, namun cukup. Dari saat itu saya belajar banyak tentang hal-hal baru yang mempengaruhi cara berpikir saya hingga saat ini. Terutama tentang perbedaan kepercayaan. Mulai saat itu saya bertransformasi dari seorang 'penumpang' yang hanya duduk dan memandang jendela, menjadi 'penumpang' yang mulai berani berjalan di antara lorong kereta.
***
Seorang ibu paruh baya yang tak pernah menangis di depan putri yang disayanginya, tiba-tiba tak mampu menahan air matanya. Sang gadis bertanya-tanya apa yang terjadi dengan sang ibu. Nyatanya, sang ibu menyaksikan kejadian yang membuat batinnya terguncang luar biasa. Ia bertemu dengan sang suami, ayah sang gadis, yang menghilang dan telah lama ia tunggu. Sayang, pertemuan itu tak membahagiakan. Sang suami justru nampak tengah menjalani rumah tangga bahagia dengan seorang wanita pemetik teh.
Itu sepenggal adegan dari cerita pendek yang sempat saya tulis untuk satu sayembara. Lalu di mana peran "Kereta Tidur"? Saya menceritakan bahwa sang ibu, di tengah kesedihannya, menyempatkan diri tenggelam dalam halaman-halaman "Kereta Tidur" dan merasa senasib dengan tokoh perempuan berbaju putih yang duduk di kursi tunggu berwarna kuning, Naomi. Mereka sama-sama terjebak penantian, kisah yang salah dan masa lalu.
Tak saya sangka, cerita pendek itu mendapat apresiasi yang baik dari juri. Mungkin sekadar keberuntungan, atau karena ada Naomi di dalamnya? Entahlah. Namun cerita pendek itu berhasil meyakinkan saya bahwa tulisan saya tak terlalu buruk. Juga sebagai sekelumit kecil bentuk apresiasi saya terhadap Kereta Tidur. Ucapan terima kasih karena saya telah diberikan tempat sebagai 'penumpang tetap'nya. 'Penumpang tetap' yang selalu ingin menulis dengan sama indahnya.
***
Dalam cerita pendek berjudul "Sempurna" saya menemukan sebagian gambar dari hidup saya, dan mungkin sebagian perempuan lainnya yang selalu merasa kesal diperbandingkan seperti benda. Juga memperhatikan orang lain yang selalu terobsesi dengan kesempurnaan. Bahkan hingga harus menyakiti diri sendiri. Ironis, namun ada. Bahkan membuat saya selalu bertanya, hingga pada tahap apa saya ingin menjadi Lara yang selalu ingin sempurna hanya untuk sekadar menuruti keinginan untuk 'terlihat'. Tak ada yang benar-benar sempurna.
***
Buku ini mengubah hidup? Ya. Memberi kesan dalam di diri saya, mengantarkan pada pandangan-pandangan baru, juga membuat saya (setidaknya) terus mencoba bergerak dan menulis seindah dan sebaik itu.
***
Saya pun masih menjadi penumpang tetap "Kereta Tidur" dan menikmati metafora indah, juga pesan yang melekat melalui jendela setiap kali. Terkadang mungkin saya turun dan menumpang kereta lain. Namun setumpuk tiket Kereta Tidur masih ada di genggaman, dan siap digunakan kapan saja.
- Nabila Budayana -
Published on November 11, 2013 23:43