Nabila Budayana's Blog, page 12

August 20, 2013

"Masih Banyak Nian Nanti!"

Ini sudah kesekian kalinya, saya dan Bapak K. Usman, seorang sastrawan senior yang masih konsisten berkarya hingga saat ini, berbalas surat konvensional. Saya mengirimkan satu ekslemplar "Itu Bukan Biru" kumpulan Flash Fiction pertama saya untuk beliau. Di antara suratnya, beliau menyelipkan beberapa paragraf untuk menanggapi "Itu Bukan Biru". Saya mencantumkan ini bukan semata-mata akan 'nilai' positif yang beliau berikan untuk IBB, namun sesungguhnya banyak pelajaran yang mampu kita ambil dari kalimat-kalimat tesebut. Saya sengaja mencantumkannya, untuk berbagi.  

"Lantas, apa yang dikatakan sebuah titik kepadamu?" (Halaman 21 "Itu Bukan Biru"). Sebuah titik bagiku bukanlah tanda selesai seluruhnya! Alinea baru masih sangat panjang setelah titik itu, Nabila, Anakku! Masalahnya manusia pada umumnya hanya berpikir hari ini, besok, lusa sampai abad-abad berlari, tapi sering benar lupa, masih banyak nanti setelah menutup mata di dunia. Masih banyak nian nanti!
Sketsa-sketsa seperti termuat dalam "Itu Bukan Biru", bisa jadi bagian kecil tentang pengalaman sehari-hari  kita. Begitu dituliskan, 'mereka' menjadi penting ketimbang hanya dilisankan, lalu dilupakan, sehingga jejaknya tak terlacak.
Urusan kita hari ini dan nanti bukan hanya 'jam terbang yang tinggi' dan sang pemula. Yang lebih utama adalah kepedulian kita kepada nasib manusia di lingkungan terdekat kita dan di mana saja. Seni, khususnya sastra bukanlah masalah aku dan kau belaka. Akan tiba saat bagi pengarang-pengarang seusia berapa pun untuk bersikap mengenai kehidupan. Kematangan sikap itu akan tampak dalam proses penciptaan (dalam karya). Tanpa sikap, samalah dengan yang mayoritas itu!" 
K. Usman
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on August 20, 2013 21:10

July 30, 2013

Sebatang Lilin Kurus


“Good fiction creates its own reality.” - Nora Roberts

Apa yang ada di pikiran Edgar Allan Poe ketika ia menulis "The Narrative of Arthur Gordon Pym of Nantucket", kisah tentang tiga manusia yang mampu selamat dari karamnya kapal yang mereka tumpangi, kemudian mereka dihampiri rasa lapar dan haus yang akhirnya membuat mereka melakukan 'tindakan gila'. Seorang dari mereka bernama Richard Parker harus rela untuk dimakan oleh sesamanya. Di tahun 1884, empat puluh enam tahun setelah karya itu terbit, terjadilah kisah nyata yang nyaris serupa dengan Edgar Allan Poe tulis. Sebuah kapal karam dan membuat tiga manusia, kapten kapal bernama Tom Dudley dan dua pelaut yang selamat, mencoba membunuh seorang pelayan kabin, orang keempat, demi mengenyahkan rasa lapar. Dan orang yang tak beruntung tersebut pun adalah seorang awak kabin berusia tujuh belas tahun bernama Richard Parker, persis seperti nama yang Edgar Allan Poe ciptakan. Seakan ingin meneruskan sejarah nama Richard Parker, Yann Martel, penulis Life of Pi pun mengabadikannya menjadi nama karakter harimau untuk kisahnya (yang lagi-lagi berhubungan dengan survivor kapal karam).

Saya tak tahu apa yang Poe rasakan. Namun mungkin kawan saya ini sedikit banyak merasakan apa yang Edgar Allan Poe rasakan.
Mendekati deadline, saya iseng menanyakan seorang teman penulis tentang tulisan yang ia akan kirimkan sebagai bahan project bersama kami. Tak biasanya ia terlupa akan tenggat. Ketika saya menanyainya mengapa, ia menjawab karena "masih shock". Saya yang keheranan menanyainya apa yang membuatnya shock. Ia bertutur bahwa ia sedang menulis tentang sebuah kisah dengan inspirasi dari kisah percintaan seorang kawannya. Namun karena ini fiksi, ia memutuskan untuk membuat akhir kisah yang berbeda (sad ending, berlawanan dengan kenyataan yang sesungguhnya). Siapa yang akan menyangka, jika setelahnya, justru kenyataan lah yang mengikuti kisah fiksi. Pasangan yang menjadi model cerita rekan saya tersebut malah justru benar-benar tertimpa musibah yang meski tidak sama persis dengan yang ditulis, namun mengubah akhir kisah nyata itu menjadi sad ending. Teman saya kehilangan kata-kata bagaimana kisah yang ditulisnya (nyaris) menjadi nyata.


Meski itu cerita dengan dampak terbesar yang sejauh ini saya dengar, sebelumnya beberapa teman juga mengatakan hal yang nyaris serupa.
Seorang teman penulis yang sedang membentuk karakter seorang pria idaman, akhirnya ia menemukan nama yang sama di dunia nyata. Ia bercerita dengan heboh kepada kami, partner menulisnya. Memang, kami seringkali bercanda untuk 'menghancurkan' karakter yang ia bentuk itu (saat itu kami menulis secara estafet). Sayang, beberapa waktu kemudian ia bercerita bahwa hubungannya tak lama dengan sang pria. Tak sama seperti kisah yang ia tulis, di mana tokoh wanita mendapat hidup bahagia dengan sang pria.
Yang lebih ekstrim, seorang teman yang lain sudah mewanti-wanti agar jangan 'macam-macam' menulis dengan POV 1 ('aku', 'saya', dsb) karena ia sedang mengalami sendiri apa yang ia tuliskan. Secara personal, saya belum pernah merasakannya, dan saya harap agar jangan pernah terjadi. Seindah apapun itu, atau seburuk apapun itu. 
Fiksi memang tak pernah benar-benar lepas dari kenyataan. Semua fiksi mengambil dasar kehidupan nyata, meski akhirnya imajinasi penulis akan menjadikannya berbeda dan memiliki dunianya sendiri untuk hidup dan berkembang. Namun jika ternyata itu terjadi di dunia nyata, tak ada yang sanggup menjawab bagaimana bisa. Menjadi penentu untuk kisah fiksi sangat berbeda saat dipaksa menjadi Penentu dalam kehidupan sebenarnya. Sebatang lilin yang kurus tentu tak memiliki kapasitas yang sama besar dengan matahari untuk memberi cahaya. 
Menjadikan fiksi yang nyata, sungguh sangat berbeda dengan menjadikan kenyataan serupa fiksi.

“That's what fiction is about, isn't it, the selective transforming of reality? The twisting of it to bring out its essence?” - Yann Martel
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on July 30, 2013 19:12

July 17, 2013

Sekadar Nostalgia?

Saya bahkan sudah lupa kapan terakhir kali menulis surat dengan cara konvensional. Mata, tangan dan pikiran saya lebih familiar dengan keyboard komputer dan tampilan interface e-mail ketimbang kertas, pulpen dan amplop.

Beberapa bulan lalu, dari iseng menulis review tentang suatu novel, saya berkenalan dengan seorang sastrawan senior yang sudah menghasilkan ratusan, mungkin ribuan karya dalam perjalanan kariernya. Beliau sangat ramah dan bersahabat dengan saya yang masih 'hijau' ini. Awalnya kami berbincang melalui sambungan telepon saja. Namun, selanjutnya beliau mengirimi saya sebuah surat di antara paket bukunya. Saya tertegun. Rasanya saya kembali dikirim ke masa lampau. Ke masa-masa di mana surat dan kartu pos masih menjadi sarana mengirim dan menerima kata-kata. Selama ini surat dalam bentuk kertas memang masih akrab dengan saya. Namun itu sebatas surat yang dalamnya merupakan hasil cetak dari ketikan komputer saja. Jadilah saya sedikit banyak merasa takjub dengan 'mesin waktu' bernama surat itu. Saya amati benar-benar. Tulisan beliau rapi dan indah dengan bentuk karakter yang memanjang ke atas. Aura 'lama' semakin menguar menghampiri saya. 16 Juli lalu, tanpa disangka beliau mengirimi saya sebuah buku lain sebagai hadiah ulang tahun. Saya berinisiatif untuk tak mengucapkan terima kasih melalui telepon, namun melalui surat konvensional (beliau berhalangan mengakses e-mail). Saya pikir, saya sudah tak mampu menghindar kembali untuk menulis surat, dan harus mulai 'menjelajah waktu' dengan surat. Rasanya luar biasa, meski harus mengakui tulisan tangan saya tak sebaik beliau.

Bukan hanya surat yang berhasil mengajak saya ke masa lalu. Kartu pos pun mampu. Beberapa waktu lalu, seorang teman group chat berinisiatif mengirim kartu pos kepada sesama anggota. Meski kami mampu mengirim dan menerima pesan dalam hitungan detik kepada semua anggota, namun ia mengerti. Ada rasa yang tak terbeli dari kepuasan berkirim pesan melalui kartu pos dan perangko. Saat saya menerimanya, saya kembali merasa telah menemukan 'mesin waktu'.

Seorang teman yang lain sempat berkisah tentang dirinya yang memutuskan untuk mulai menulis surat kepada adik-adiknya di kampung karena terinspirasi kisah "Perpustakaan Ajaib Bibbi Bokken" yang ditulis Jostein Gaarder. Alasannya sederhana. Ia ingin melatih adik-adiknya untuk mengungkap rasa melalui kalimat-kalimat dalam surat.

Kadang memang kita terlalu nyaman dibuai teknologi. Larut dalam proses serba mudah dan cepat. Namun saya seakan dingatkan bahwa menulis surat atau kartu pos bukan hanya sekadar nostalgia, namun selalu ada rasa yang berbeda ketika pulpen bergesekan dengan permukaan kertas, menggoreskan satu per satu karakter, untuk membentuk kalimat. Bahkan terkadang harus merelakan 'draft pertama', dan memulai dari awal dengan lembar kertas yang baru. Beberapa kisah teringat kembali dalam kepala saya karena surat.

Zainuddin dan Hayati dalam "Kapal Van Der Wijck" - Hamka begitu rajin menulis surat. Dengan gaya bahasa melayu yang kental, mereka saling berbalas kabar, yang menjadi satu-satunya penghubung ketika mereka saling berjauhan. Sayang, surat terakhir justru membawa berita wafatnya Zainuddin yang membuat Hayati hancur.

Penyair Austria, Rainer Maria Rilke menyampaikan berbagai pandangan, kritik, saran yang mendalam dan dekat kepada seorang penyair muda, Franz Kappus. Surat-surat itu terasa sangat personal, mengesankan bukan hanya untuk Kappus, karena Rilke tak hanya membahas arti sempit sebuah karya, namun sesungguhnya ia juga berbicara tentang kehidupan.

Dan saya belum bisa melupakan bagaimana hangatnya hati seorang tukang pos, tokoh utama dalam novel grafis Kim Dong Hwa, "Sepeda Merah". Hanya karena ia menjadi seorang pengantar surat dengan sepeda berwarna merah di suatu desa di Korea, ia menemukan banyak hal yang memperkaya jiwanya dan melembutkan hatinya. Profesinya tak bisa dianggap remeh. Ia bukan hanya sekadar mengantar amplop berisi kertas, namun lebih dari itu, membantu menghubungkan perasaan antara pengirim dan penerima.

Setelah ini mungkin saya harus mulai berpikir. Walaupun cara berkirim pesan instan lebih mudah, cepat dan praktis, sesekali menulis surat dengan cara konvensional menyenangkan juga. Meski memang tak ada emoticon, sticker dan sebagainya untuk ditambahkan. Surat menuntut saya untuk lebih murni mengungkapkan sesuatu hanya dengan kata-kata. Meski menyampaikan sedikit pesan dibutuhkan perjuangan ke kantor pos, membeli perangko, dan mengirimnya. Meski akan dibutuhkan waktu yang lama untuk menyampaikan satu-dua kalimat. Akan ada kembali rasa cemas pada pengirim apakah suratnya akan sampai tepat waktu. Akan ada kembali rasa pada penerima, apakah akan datang surat sewaktu-waktu.

Pesan nyatanya selalu memiliki saatnya dan caranya sendiri untuk tiba. Mengirim surat dengan cara konvensional bukan selalu berarti tua dan tak praktis. Bisa jadi, karena rindu dengan semua sisi kehidupan yang serba perlahan dan butuh waktu. Di mana kita pikirkan benar-benar kalimat sebelum dikirimkan. Bukan sekadar pesan asal yang terkirim dalam hitungan detik, kemudian disesali karena terlanjur menimbulkan berbagai interpretasi dan salah persepsi.



 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on July 17, 2013 23:12

July 11, 2013

Mendamba Beno atau Membodohi Tohru


Di suatu kesempatan, seorang teman wanita berkisah pengalaman 'menarik'nya tentang perjodohan yang terjadi pada dirinya. Garis besar cerita, ia merasa tak cocok dengan pria pilihan orang tuanya karena satu dan lain hal. Itu membuka mata saya, bahwa waktu tak bisa dibohongi. Dua orang manusia bersinggungan rasanya memang mesti menanti 'saat yang tepat'. Tapi saya tak ingin berbicara tentang perjodohan itu. Saya tertarik dengan ia yang menyelipkan kalimat ini di tengah berbagi pengalamannya itu. "Dia (sang calon) dokter bedah. Beno banget!" Saya bahkan masih mengingat bagaimana ia mengucapkannya. Sangat bersemangat dengan sorot mata yang meledak. Oke. Kemudian otak saya langsung menangkap. Ia penggemar novel-novel Ika Natassa. Pasti karakter Beno dalam novel Divortiare dan Twivortiare yang dimaksudnya. Saya tersenyum dan takjub. Ternyata sesosok tokoh rekaan pun begitu mampu untuk merasuk dalam kehidupan pembacanya. Betapa penulis selalu memiliki peluang untuk memberikan pengaruh pada kehidupan banyak orang. Tentunya, pengaruh itu diciptakan dari banyak sebab. Penulis yang sebegitu baiknya dalam melakukan eksplorasi tokoh, pembaca yang merasa memiliki kedekatan personal, subjektifitas dan sebagainya.
Kemudian saya berkaca untuk bertanya pada diri sendiri. Siapa tokoh fiksi yang mampu 'mendekati' dan menyentuh saya secara personal. Ia tidak berada di dalam novel-novel yang saya baca, ternyata. Ia justru berdiam di halaman-halaman komik berseri yang dulu kerap kali saya koleksi. Gadis SMA yang hidup sebatang kara, namun selalu tegar dan ceria. Honda Tohru dalam "Fruits Basket" - Natsuki Takaya yang saya maksud. Dalam panel-panel komik itu, seringkali ia mendapat julukan bodoh karena tetap ceria, sehingga terkesan terlalu naif dalam kondisi apapun. Bahkan saat dimanfaatkan atau dibenci. Saya tentu bukan selayaknya Honda Tohru. Namun saya merasa berempati padanya. Bagi saya, sesungguhnya ia adalah gadis yang luar biasa pintar. Pintar menjalani kehidupan. Ia seakan tak pernah merasa berhak sakit hati untuk dirinya sendiri. Ia mampu terluka lebih dalam demi kesulitan hidup orang lain. Saking 'bodoh'nya, ia bahkan seringkali tak menyadari bahwa ada kebencian besar yang ditujukan padanya. Kemampuannya untuk selalu berprasangka baik dan memandang kehidupan dengan positif itu yang tanpa sadar saya kagumi. Tohru juga sangat tulus memandang kepercayaan. Dalam bergaul, ia lebih memilih memercayai orang lain, bahkan yang tidak ia kenal atau yang berniat jahat padanya sekalipun. Tohru seringkali menjadi pengingat bagi saya bahwa memercayai lebih baik daripada mencurigai. Entah apakah 'kebodohan' Tohru ada di dunia nyata atau tidak. Namun rasa-rasanya Tohru percaya, bahwa Tuhan tak akan membiarkan niat dan tindakan baik menjadi sia-sia. 
Belajar dari itu, tokoh fiksi sesungguhnya tak selalu benar-benar di awang-awang, mereka selalu menjadi refleksi sifat manusia, yang seringkali membuat kita bercermin dan berempati, atau bahkan terobsesi. Tanpa sadar, mereka menyusup dalam kepala kita dan menciptakan sebentuk ekspektasi baru akan diri, akan kehidupan sendiri. Sisanya, kita sebagai pembaca dituntut untuk selalu bijak menikmati, sekaligus menyikapi.
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on July 11, 2013 20:20

June 17, 2013

Awan yang Berserat-serat


Saya termenung sejenak menatap langit. Awan mencipta serat-serat yang menjalin bentuk apa saja. Katanya, awan bisa berbentuk sesuai dengan yang dipikirkan oleh mata yang melihatnya. Tapi saat itu berbeda. Awan tak mampu menerjemahkan kesedihan yang ada di kepala. Kesedihan saya? Bukan. Ini tentang kesedihan orang lain. Seseorang yang bahkan baru saya temui kurang dari hitungan sebelah jari tangan. Namun, jangan anggap itu sedatar menyapa, berbincang, bersalaman hingga kemudian mengucap sampai bertemu. Saya, belajar banyak darinya. Bahkan sebelum ia sempat mengucapkan suatu apa. Gerak tubuhnya menggambarkan bagaimana ia menyikapi hidup. Bagaimana ia sebagai seorang anggota dari kaum Hawa, namun keberanian dan kegigihan adalah bagian dari dirinya. Yang melekat, menyusup dalam setiap embus napas yang ada. Ia tak terlalu banyak bercerita tentang dirinya. Namun, orang lain bahkan tak sanggup menahan diri untuk berkisah tentang karakternya yang... luar biasa. Selalu ada tekad dalam jiwanya. Ia bagai memiliki banyak pertahanan yang selalu mendukungnya untuk terus hidup. Sangat berbeda dengan saya. Sangat berbeda. Hingga sesekali saya merasa, saya tak pernah cukup baik, bahkan untuk diri saya sendiri. Lalu, kehidupan saat ini memberi pelajaran baru untuknya. Terpaan besar mampir dalam rumah hatinya. 
Kehilangan. Ini tentang kehilangan. Tabu yang seringkali kita naifkan dalam kegembiraan; sesekali merasuk memberi sejumput ketakutan, kemudian hilang; juga yang membuat kita tak sanggup menahannya saat ia benar-benar datang. Tak pernah ada yang sanggup mengerti seberapa dalam ruang hampa yang ditinggalkan di kalbu. Hingga kita benar-benar dihampiri kehilangan.
Kini ia sedang berdiri di tengah pusaran. Berjuang merelakan, menata ulang, kemudian melanjutkan kehidupan. Keberanian dan kelembutannya nyata diuji. Demi menguatkan dirinya sendiri, juga menguatkan orang lain. 
Saya bahkan terlalu bingung mengapa saya turut merasakan kesedihan yang menghambur, meski tentu tak sebesar miliknya. Ketika kejujuran itu datang, ternyata saya bahkan sanggup membawanya ke dalam doa. Yang biasanya bahkan seringkali alpa terucapkan. Hanya sesederhana, "Langkahkan kakinya pada kekuatan"
Kemudian langit seakan kembali bergerak dalam tatapan saya. Masih berupa serat-serat yang nyaris karam dalam tumpukan mendung. Sebelum beranjak, harapan saya pada langit berubah. Jadilah sebentuk roket atau pesawat, agar kau sampaikan doa saya pada Tuhan cepat.      



 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on June 17, 2013 02:54

June 6, 2013

Risau - [Flash Fiction]

Dingin membuatnya bergidik kecil. Entah karena risau, atau hujan. Kepalanya penuh berlalu-lalang akan berbagai pilihan. Bukan hanya sekadar ya atau tidak. Namun juga bagaimana, meski ia telah paham betul siapa. Ia mesti menentukan. Bahkan saat ini juga. Ia bukan peragu, hanya pemikir. Jemarinya sibuk membentuk irama, bersentuhan dengan permukaan meja. Satu per satu butir menit berjatuhan. Sama seperti hujan. Ia akhirnya memutuskan. Kilau pisau iu belum habis juga menyita pandangan sang wanita. Diraihnya benda berkilap itu secepat yang ia bisa. Dalam kepalanya, terbayang wajah suaminya. Di sana. Di tengah hujan.
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on June 06, 2013 19:33

June 4, 2013

Mengapa Hujan, ditulis di Bulan Juni

"Yang tabah merahasiakan rindu, bijak menghapus jejak dan arif menyimpan rahasia, ternyata bukan kita. Tapi Hujan Bulan Juni."

Hari pertama bulan Juni, saya terpikir untuk memposting kalimat itu pada akun twitter saya. Saat itu hujan turun sejak pagi hari, dan saya (seperti banyak orang lainnya) terbersit tentang puisi Sapardi yang luar biasa melegenda. Dan rasanya, tepat sekali dengan momen yang terjadi : "Hujan Bulan Juni".

Dulu (mungkin sampai saat ini) saya masih seringkali mengutuk hujan. Saat kecil, saya bukan termasuk anak-anak yang dengan riang mampu berlarian dan bermain di tengah hujan. Saya lebih sering dilarang dan hanya sanggup memandangi hujan dari dalam rumah. Namun itu sangat beralasan. Ibu saya paham betul. Tubuh saya tak sekuat kawan-kawan yang lain. Bermain di tengah hujan hari ini, esok akan mudah diprediksi : tumbang dan demam. Jadi, bergembiralah anda yang memiliki banyak kenangan masa kecil dengan hujan. Saat dewasa, ketika sudah menganggap tubuh lebih kuat dan bisa memutuskan pilihan sendiri, saya justru tak ingin berhujan-hujan. Dengan skeptisnya saya berpikir : "untuk apa?" Saya sudah merasa lebih baik hanya dengan melihatnya dari balik jendela saja. Ternyata, saya tidak jodoh dan tidak menjodohkan diri dengan hujan hingga saat ini. Masa kecil tak mampu, saat dewasa sudah tak mau.

Tapi bukan berarti saya anti. Kerap kali pula, saya jatuh cinta dengannya. Membau aromanya, mengagumi jatuhnya, hingga mewujudkannya dalam cerita. Hujan memesona penciuman dengan menarik Petrichor dan Geosmin dari tumbuhan dan tanah, yang lebih sering memperkenalkan dirinya dengan 'bau hujan'. Jatuh satu-satu, kemudian berubah semakin kencang dan cepat. Lalu saya sibuk menyimak bunyi derap derasnya dan berakhir pada angan juga kenangan, lelap atau mengucap doa.

Hujan belum habis memikat siapa saja, bukan hanya saya. Bagi pembaca dan penulis, misalnya. Entah berapa judul buku telah mengulas tentang hujan, tentang kisah drama di dalamnya, tentang keindahannya, tentang ia yang ternyata memiliki pengaruh lebih besar dari sekadar 'membasahi bumi'.

Saya teringat dan masih begitu terpikat dengan kisah Julia dan Shaheryar dalam "Humsafar" yang ditulis Hanny Kusumawati. Kisah itu melibatkan seorang wanita Indonesia pengusaha pemakaman dan seorang pria Pakistan wartawan perang. Pertemuan mereka di bandara yang sekilas ternyata berujung panjang. Sang wartawan meninggal dalam tugas, dan sang wanita yang tak bisa lupa. Lalu di mana peran hujan? Gerimis selalu turun ketika sang wanita menyambangi makam yang sesungguhnya berisi buku catatan sang pria. Sang pria sempat berkata, suatu saat jika dirinya meninggal ia ingin dalam suasana mendung dan gerimis.

"Hujan. Deras Sekali." yang ditulis oleh M. Aan Mansyur memberi peran lebih besar pada hujan. Hujan ternyata mampu membuat lingkaran perselingkuhan di antara tokoh-tokohnya. Pembaca diajak mengarungi pengertian bahwa hujan tak melulu bermain dalam melankoli itu-itu saja. Hujan pun mampu 'nakal' dan mengusik kepala manusia untuk menjadikannya alasan atas segala perbuatan.

Puisi Joko Pinurbo yang ditujukan untuk Sapardi Djoko Damono, "Kepada Penyair Hujan" tentu melibatkan hujan. Menurut penafsiran saya yang dangkal, puisi itu seakan menawarkan pertemanan pada "Hujan Bulan Juni". Ia gambarkan pertemuan hujan dan senja yang berakhir pada pelangi. Hujan yang akhirnya berhenti turun, kemudian menjadi risau. Kerisauan ini saya tangkap, masih berkorelasi dengan hujan Juni milik Sapardi yang sedang menahan diri dan memupuk kesabaran, meski ia sedang dalam kerinduan.

Seno Gumira Ajidarma menyandingkan hujan sebagai variabel dalam prosesnya memfiksikan tragedi sejarah Penembakan Misterius. "Bunyi Hujan di Atas Genting" merupakan sebuah kisah yang datang dari seorang juru cerita. Ia bercerita pada Alina (pasangan Sukab, tokoh yang begitu dikenal oleh pembaca karya-karya SGA) tentang sesosok wanita bernama Sawitri yang selalu was-was setiap kali hujan datang. Karena ia selalu membuka jendela dan menemukan mayat bertato di depan rumahnya. Ketakutan itu beralasan. Selain karena selalu ada mayat di depan rumahnya, ia takut dan bertanya-tanya apa itu Pamuji, pasangannya yang juga bertato dan bisa jadi salah satu target penembakan misterius. Hujan dan mayat yang memberi risau pada seorang wanita.

Goenawan Mohamad pun mengawinkan pagi dan hujan dalam epigramnya. Tentang hujan yang menimpa kembang, namun memberi arti untuk dimulainya hari. Hujan mengambil peran kedua dan bersifat ringan saja. "Pagi : Sisa hujan tadi malam masih jatuh dari kemuning. Yang segar akan sebentar. Yang harum akan coba bertahan. Lumayan."

Hujan ternyata meresap hingga pada kata. Ia menari turun dari langit, menghampiri pikiran lalu melebur dan menyimpan ruhnya dalam aksara. Menghampiri siapapun yang merindukannya, mengangankannya atau yang sedang bermain bersamanya. Ia akan datang. Hari ini, minggu depan, sepuluh tahun lagi, seterusnya. Meski bukan di bulan Juni.

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on June 04, 2013 22:28

May 19, 2013

Apa yang kau rindukan dari sebuah perpisahan?


Seberapa dalam Anda mencintai orang terdekat? Seberapa dalam Anda tak ingin berpisah darinya? Hal itu juga seringkali menjadi pertanyaan dalam diri saya. Lebih-lebih di saat saya sudah tahu kapan akan berpisah dengan orang tersebut. Sebut saja, perpisahan dengan kawan satu kelas di bangku perguruan tinggi dan sekolah, yang saya tahu beberapa tahun ke depan kami akan berpisah dan menjalani jalan kehidupan masing-masing. Namun juga, lebih sering kita mesti menjalani ketidakpastian akan kapan perpisahan itu datang. Satu jam lagi, sepuluh hari lagi, dua puluh tahun lagi, siapa tahu. Dalam permisalan, hal yang paling absolut di muka bumi : kematian. Hingga saya cenderung lebih sering mengalami ini. Menaifkan rasa yang menggedor, bahwa suatu saat perpisahan itu akan pasti datang. Saya tak ingin merusak momen dan membiarkan ketakutan akan perpisahan di suatu hari nanti itu akan hadir menjemput. "Biarlah saya nikmati momen-momen ini sebelum saat itu tiba." Itu yang seringkali bercokol pada kepala saya dan mungkin juga Anda. 
Mungkin saja suatu perpisahan bersifat sementara. Hanya membutuhkan beberapa hari atau beberapa tahun untuk menjalaninya. Kemudian kita akan menyatukan kembali rasa rindu dengan jiwa yang selalu kita nanti kehadiran fisiknya. Tapi terkadang, itu tak selalu mengobati sepenuhnya hati yang telah dicungkil paksa oleh perpisahan. Kita memang mampu menggenggam tangan mereka serta memeluk hangat dan merasakan detak jantung mereka. Namun, bagi saya, ada kepingan yang selalu hilang dan seringkali tak mampu ditemukan sekeras apapun saya mencari. Rasa yang sama. Rasa yang sama antara kami sebelum terjadinya perpisahan. 
Namun, meski tak ingin, akan hadir masanya di mana kita akan berpisah hingga di saat yang kita tak akan pernah tahu. Ketidaktahuan kapan lagi waktu untuk bertemu, melahirkan kecemasan yang bahkan sanggup menyesakkan. Kita hanya mampu mengikuti garis takdir yang telah dituliskan. Meraba hari, menata hati dan mencoba sebisa mungkin menjalani. Lagi-lagi, apa benar yang kita rindukan adalah orang yang berpisah dari kita?
Bagaimana waktu tak begitu istimewanya. Setiap ketukan dinamika hidupnya, ia tak pernah menyajikan wajah yang sama. Kita yang tinggal di dalamnya akhirnya mesti juga dihadapkan pada momen yang berbeda setiap detiknya. Bisa jadi detik yang melahirkan banyak kenangan itu akan berulang di kemudian hari, tanpa kita sadari, atau kita sadari sepenuhnya. Namun, kembali, tak akan pernah ada rasa dan kesan yang sama meski itu terjadi lagi.
Dari analisa asal-asalan di atas, saya jadi curiga pada diri saya sendiri. Bisa jadi dalam perpisahan selama ini bukan seseorang yang saya rindukan. Namun ternyata seperti yang telah saya duga sebelumnya, saya justru rindu dengan momen dan rasa sama yang tak akan pernah kembali serupa.
Jadi, apa yang bisa saya lakukan saat ini? Ternyata saya tak mampu melakukan apa-apa. Hanya setingkat lebih baik untuk menghargai momen yang terlewati dan yang akan terjadi nanti. Tentunya, dengan siapa saja yang singgah dalam kehidupan saya.

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on May 19, 2013 21:51

May 5, 2013

Menilik Halau Galau

Galau sesungguhnya tak mengenal gender. Siapa saja boleh merasa galau, baik dengan sembunyi-sembunyi atau terang-terangan (yang ini, jika berlebihan, mungkin bisa dianggap menyebalkan). Saya tak begitu mengerti apa kegalauan pria. Namun wanita? sedikit banyak saya (lebih) tahu beberapa waktu terakhir. Percaya atau tidak, itu hanya karena sebuah kolom mingguan suatu surat kabar. 
Seakan menanggapi 'booming'nya ungkapan 'galau' di kepala kita semua, para wanita, hadirlah Halau Galau, sebuah kolom yang mengambil bagian dalam Jawa Pos for Her yang mengungkap banyak permasalahan di kalangan perempuan. Temanya selalu berganti di tiap edisi. Finansial, hubungan, emansipasi, dan segudang topik lainnya.  Kadang lucu, menyentuh, menyenangkan, mencerahkan bahkan juga mampu 'menampar'.  
Saya terpikat di edisi perdananya. Mengapa? Bisa jadi saya yang membaca tanpa ekspektasi apapun sebelumnya. Bisa jadi juga karena saya belum membaca banyak kolom yang mengungkap masalah perempuan. Bisa jadi pula saya yang memang suka dengan cara menulis Kika Dhersy Putri, kolumnisnya. Ada diksi yang khas, ada metafora yang menggigit juga tentu saja pemilihan tema yang informatif dan solutif untuk kaum hawa. Sepanjang perjalanan membacanya, saya merasa bahwa wanita adalah makhluk yang kompleks. Permasalahannya menyeimbangkan ekspektasi dan menghadapi dunia sungguh beragam dan dalam. Problem itu seringkali hanya mengendap dalam hati wanita, mungkin sebagian justru tak terungkapkan karena berbagai batasan. Halau Galau mencoba untuk membeberkannya secara terbuka. 
Saya iseng saja berselancar tentang Halau Galau melalui mesin pencari, dan mendapati seseorang yang mengatakan bahwa salah satu edisi Halau Galau begitu persis dengan kejadian dalam hidupnya sendiri. Ia sama sekali tak mendapat jawaban bagaimana kisah hidupnya bisa begitu sama, dan tiba-tiba menjadi satu bentuk pembahasan pada kolom suatu surat kabar. Saya rasa itu cukup dianggap pembuktian bahwa Halau Galau memang sangat nyata dan apa adanya.
Keberhasilan Halau Galau dalam menarik minat penikmatnya, saya rasa tak lepas dari ketelitian dan kejelian mata seorang Kika Dhersy Putri dalam memandang detail kehidupan, terutama tentang perempuan dan problemanya. Ia sadar betul wanita perlu 'diistimewakan'. Dengan pembahasannya melalui kolom itu, ia mencoba membantu memberi jawaban pada pembacanya. Di antara pertemuan-pertemuan saya dengan Mbak Kika - begitu saya memanggilnya -, pernah suatu kali ia mengatakan ada kecemasan darinya apa semua pembaca mampu menerima apa yang ia tulis. Namun, tanpa perlu jawaban, nyatanya, hingga hari ini Halau Galau masih terus mengudara, menyapa pembaca setianya. Di kesempatan lain, saya merasa senang karena 'berjasa' mempertemukan sang penulis kolom dengan penggemarnya di salah satu acara perbukuan. Saat itu, teman di sesama salah satu komunitas perbukuan, bertanya kepada saya, "Siapa dia?" - sembari merujuk pada perempuan di sebelah saya - Mungkin ia merasa heran melihat kegembiraan saya bertemu tanpa sengaja dengan sang perempuan. Saya jelaskan lah berbagai profesi yang digeluti sang perempuan (oke, di sini ketahuan saya adalah penggemarnya). Ia hanya terus mengangguk sampai saya mengakhiri kalimat dengan kata-kata "kolumnis Halau Galau Jawa Pos". Matanya seketika membesar dan raut-raut wajahnya menunjukkan ekspresi terkejut. Lantas setelah saya perkenalkan, ia berkata "Aduh, nggak nyangka bisa ketemu kolumnis Halau Galau!" Dari hal itu, saya mengambil kesimpulan bahwa ternyata, diam-diam, Halau Galau juga punya pembaca setia.    
Menganut sistem 'jodoh-jodohan', tak semua edisi Halau Galau menjadi favorit saya. Ada masanya saya hanya mampu berbicara "ohh, begitu", di lain waktu saya pun mampu mengatakan "gila! jleb! bagus banget!". Meski begitu seluruh edisinya belum pernah ada yang mampu membuat saya mengatakan "tidak suka". Sejujurnya, saya rasa itu hanya masalah personal. Menyentuh atau tidak. Karena saya sadar betul, tidak semua wanita mengalami pengalaman dan gaya hidup yang sama. Sedangkan pembahasan Halau Galau sangat beragam. Bisa jadi mengena di saya, namun belum tentu mengena di orang lain. Begitupun sebaliknya.
Di suatu kesempatan yang lain, saya sempat iseng beberapa kali mengusulkan pada Mbak Kika, untuk membukukan Halau Galau saja. Selain lebih mudah membaca ulang dari edisi pertama, saya rasa buku itu nantinya akan sanggup menjadi lebih dari sekadar bacaan menarik bagi perempuan. Bisa pula menjadi bacaan kaum Adam yang ingin mengenal lebih dalam wanitanya. Namun, apapun itu jadinya nanti, baik berakhir pada halaman blog atau buku, saya yang hanya salah seorang penikmat tetapnya, berharap Halau Galau dapat terus memberi manfaat bagi banyak pembacanya.
Jika dibilang saya fans berat Halau Galau, mungkin kurang tepat juga. Buktinya, saya tak tahu persis kapan kolom ini berulang tahun. Ya, meski sudah -terlalu lama- lewat, saya tetap mengucapkan Happy Belated Birthday untuk Halau Galau, sebuah kolom yang saya harap mampu terus memberi manfaat dan mengurangi kegelisahan yang menghantui kepala wanita. Karena bagi saya, setangguh apapun itu, wanita tetaplah wanita. Yang sebagian besar jiwanya diisi perasaan. Yang sejatinya tetap membutuhkan pundak untuk menangis, tangan untuk digenggam, telinga untuk mendengarkan, juga kalimat-kalimat yang menentramkan sekaligus memberi solusi. Halau Galau hadir hanya untuk poin terakhir dan bukan dengan sentuhan fisik, memang. Tapi ia seringkali dan sanggup saja menyusup pada hati yang bergemuruh dan menutup lorong-lorong pertanyaan yang melompong menginginkan jawaban. Jika pertanyaan telah terjawab, hati menjadi tentram, bisa saja sentuhan fisik menjadi nomor dua dari kebutuhan.



Untuk Halau Galau,

Nabila Budayana
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on May 05, 2013 22:13

April 15, 2013

Dari sebuah bincang-bincang

Seberapa jauh sebuah mimpi?

Apa selebar jarak bumi dan bulan?
Atau mungkin hanya sebentangan benang antar kaleng bekas untuk bermain telepon-teleponan?


Tak ada yang pasti tahu. Bahkan sang pemilik mimpi pun tak juga tahu.
Mereka hanya bersiap, melangkah pelan, berjalan, bahkan berlari menuju impiannya. Kadang juga terseok dan terbentur jatuh. Ada yang terluka, kemudian menangis dan berhenti. Ada yang terus mencoba bangkit, meski masih sesenggukan sesekali. Ada yang dengan gagah menerobos halang rintang, merasa tujuan telah sedekat telunjuk dan ibu jarinya sendiri.

Saat merasa terlalu jauh, mungkin sebaiknya tak menganggap mimpi itu masih jauh di depan sana.
Saat merasa sudah dekat, mungkin sebaiknya tak jemawa dan tetap menjejak kerendahhatian.

Tetapi di atas segalanya, ada Sang Penentu yang bahkan mampu mengubah segala logika jauh-dekat, persepsi paling liar, juga apapun yang mungkin terjadi. Kadang Ia terlihat menyebalkan dan keras kepala. Menguji dengan beban yang terasa tak sanggup terpikul, hingga pemimpi menyerah dan terluka. Namun, Ia juga mampu menjadi menyenangkan dan penuh kejutan. Kadang memberi hadiah kontan untuk sesuatu yang bahkan selama ini tak pernah terbayang pada kepala pemimpi karena dirasa terlalu besar dan muluk saja.


Lalu, masih seberapa jauh mimpimu?

Jangan-jangan saat ini kau telah hidup dalam mimpi itu, tanpa pernah menyadarinya?

 
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on April 15, 2013 22:39