Nabila Budayana's Blog, page 13
April 8, 2013
LPM Bedah Buku "Titik Nol" - Agustinus Wibowo, 7 April 2013
Laporan Pandangan MataAcara : Bedah Buku Titik Nol - Agustinus WibowoOleh : GRI Surabaya bekerjasama dengan Badan Arsip dan Perpustakaan Kota Surabaya serta Gramedia Pustaka UtamaTempat : Perpustakaan Kota Balai Pemuda Jalan Gubernur Suryo 15 SurabayaTanggal : 7 April 2013Pukul : 13.00 – SelesaiPembedah : Heti Palestina (Radar Surabaya)Moderator : Ficky Hidajat (Broadcast Indonesia)Audiens : Umum
Siang itu Korwil baru GRI Surabaya, Mbak Novri Chitra sedang harap-harap cemas. Mengapa? Mungkin bukan hanya tanggung jawab atas jabatan barunya, namun juga debut acara yang disusunnya akan berlangsung beberapa jam lagi. Meski telah lebih dari sebulan sebelumnya telah direncanakan dan dipersiapkan dengan baik, mulai dari melobi berbagai pihak untuk tempat, waktu, pengisi acara hingga kepentingan publikasi, namun hingga hari H, sang korwil masih repot ‘berlarian’ ke sana ke mari hingga usainya acara. Oleh karena itu, segenap anggota GRI Surabaya dan pengisi acara mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Mbak Novri Chitra yang telah bekerja jauh lebih keras dari anggota-anggotanya demi berlangsungnya acara ini. J Setengah jam sebelum acara berlangsung, tim GRI Surabaya dibantu oleh Staf Humas Perpustakaan Kota Surabaya, Ibu Evie Suryani, melakukan berbagai persiapan. Mulai konsumsi, hingga perubahan tata letak perabotan pada ruang yang akan digunakan untuk acara bedah buku. Beberapa hal terpaksa diubah demi memberi kenyamanan pada audiens untuk mengikuti acara. Jam berdetak terus, hingga jarumnya nyaris menyentuh angka satu. Sang nara sumber, Agustinus Wibowo tiba di tempat ditemani oleh pihak Gramedia Pustaka Utama. Mengenakan kaus lengan panjang berwarna hitam yang berkesan santai, Mas Agus dengan ramah menyapa semua orang. Sembari mempersiapkan bahan video di komputer jinjingnya, Mas Agus ngobrol santai dengan Ibu Evie Suryani dan moderator acara, Mas Ficky. Di sisi lain, tim Gramedia sedang sibuk memasang X Banner dan segala perlengkapan untuk memeriahkan acara. Satu per satu, audiens dengan buku-buku di tangan, hadir dan mengisi tempat. Usia dan profesi mereka pun beragam, muda hingga tua, mulai anak kuliahan hingga seniman. Begitupun dengan asal kota mereka, bukan hanya datang dari kota Surabaya, namun dengan antusias, beberapa bahkan datang dari Sidoarjo, Pandaan, Lumajang dan Madura. Kami, tim GRI sempat cemas karena di awal acara, audiens hanya sekitar dua puluh orang. Namun, sembari acara berjalan, audiens terus berdatangan hingga sekitar empat puluh hingga lima puluh orang. Perpustakaan baru kota Surabaya yang didesain modern itu seketika menjadi penuh, ramai dengan berbagai kalangan yang ingin menyimak bedah buku ini.
Pukul 13.15 moderator membuka acara dan menghangatkan suasana. Penulis LPM ini dikejutkan dengan moderator yang tiba-tiba memanggilnya untuk menjelaskan tentang review Titik Nol yang ia buat di Goodreads. Hanya mewakili Korwil untuk menyambut audiens sekaligus memberi sedikit gambaran akan Buku Titik Nol pada audiens. Di saat yang sama, Mas Agus sedang melakukan wawancara dengan media yang datang meliput. Penulis LPM menangkap jurnalis JTV (TV lokal Jawa Timur) dan Harian Radar Surabaya turut hadir untuk melakukan peliputan. Pukul 13.35, acara dimulai. Dibuka oleh moderator yang sangat berpengalaman dalam membawakan acara, juga dilanjutkan dengan pembukaan singkat dari Mas Agus dengan perkenalan diri. Saat itu, Mas Agus mengatakan asal nama yang dimilikinya. Nama Agustinus diberikan oleh orang tuanya sebagai perlambang seorang anak yang lahir di Bulan Agustus, dan agar semua orang dapat dengan mudah mengingat bulan ulang tahunnya. Mas Agus menuturkan tentang kisah awal perjalanannya. Berangkat dari impiannya untuk melihat dunia yang berbeda saat kecil. Saat masih duduk di Sekolah Dasar, seorang Agustinus Wibowo kecil dan beberapa teman bermainnya di Lumajang, selalu merasa antusias saat melihat pesawat terbang yang melintas. Baginya, pesawat terbang akan mengantarkan seseorang ke tempat yang jauh. Hingga akhirnya, seorang Agustinus Wibowo terobsesi dengan kata ‘jauh’. Namun pandangannya akan kata ‘jauh’ telah berubah saat dewasa. Baginya jauh adalah relatif. Dengan pesawat terbang, jauh bukan lagi menjadi hal mutlak. Berbeda dengan dua buku yang ia tulis sebelumnya, “Selimut Debu” dan “Garis Batas” yang bercerita tentang tempat-tempat jauh, kali ini ia ingin perjalanan yang dilakukannya bukan tentang jauh, hingga akhirnya mengantarkan keinginannya untuk menulis sebuah buku berjudul ‘Titik Nol’. Baginya kata ‘jauh’ memiliki banyak definisi. Ia pun mengungkapkan berbagi fakta menarik lainnya tentang Titik Nol yang ia tulis. Dibuka dengan adegan di rumah (Titik Nol) dengan seorang ibu yang sedang mengalami sakit. Seorang anak itu, Agustinus Wibowo sudah tak memiliki banyak waktu lagi untuk menemani ibunya. Di waktu yang sudah sempit itu, ia membacakan kisah perjalanannya. Adegan itu dan kelanjutannya bertindak sebagai plot pertama. Plot kedua, ia berkisah tentang isi perjalanannya. Agustinus Wibowo pun mengatakan bahwa perjalanan sesungguhnya bertujuan untuk mengenal diri kita sendiri.
Seusai Mas Agus melakukan pembukaan, Mbak Heti Palestina sebagai pembedah melakukan sesinya. Ia berkata bahwa dari buku-buku non fiksi, ia begitu jarang menemukan penulis yang memiliki frame bertutur. Sedangkan dalam Titik Nol, frame bertutur yang dimiliki Agustinus Wibowo adalah kekuatan dari bukunya. Hal itu yang menjadikan Titik Nol berbeda dengan buku traveling yang lain. Baginya, penulis memiliki kekuatan sastra. Ditunjukkan dengan bagaimana penulis memilih adegan pulang sebagai adegan pembuka. Apalagi ditambah dengan adegan sang ibu, membuatnya disebut sebagai pengalaman paling religius. Agustinus Wibowo memiliki cara penuturan dua hal yang berbeda. Pada tulisan cetak miring, sudah merupakan cerita utuh sendiri, apalagi jika ditambahkan dengan tulisan yang tak bercetak miring dalam buku Titik Nol. Mbak Heti menyatakan, penulis Titik Nol memiliki cara jenius dalam bertutur. Ia menambahkan, setiap buku memang harus dituliskan dengan cara yang berbeda oleh masing-masing penulisnya. Namun, jangan sampai frame bercerita itu nampak pada pembaca. Bagaimana menyampaikan cerita itulah yang tidak semua orang dapat melakukannya. Namun, jika cara bertutur tidak kuat, maka sebuah tulisan tidak akan memiliki kekuatan filosofis. Hal itu berangkat dari pengalaman religi setiap orang yang berbeda-beda, hingga akhirnya akan menghasilkan filosofi yang berbeda. Ia melanjutkan, Agustinus Wibowo memang tidak terlalu ‘sastra’. Namun, dramatisir cerita harus ada untuk membuat tulisan menjadi menarik. Tidak semua traveler bisa menulis seperti yang Agustinus Wibowo lakukan. Bagaimana cara penulis untuk men’sinetron’kan adegan, meski tidak berlebihan sangat menarik. Tips untuk para penulis pun Mbak Heti berikan. Jika ingin menulis seperti Mas Agus, buatlah frame tersebut sesuai dengan pengalaman religi masing-masing.
Acara pun dilanjutkan dengan sesi tanya jawab. Audiens nampak berebutan ingin bertanya, tak ingin menyia-nyiakan kesempatan. Seseorang memberikan pertanyaan pertama : “Keberanian apa yang membuat Agustinus Wibowo berani untuk menjelajah negara-negara jauh?”. Agustinus Wibowo menjawab dengan memberi gambaran akan dirinya yang seorang kutu buku dari Lumajang dengan minim pengalaman memberanikan diri untuk menjelajah negara lain. Pada awal perjalanannya, ia seringkali dirampok. Sempat terpikir olehnya untuk menyerah. Namun, ia selalu percaya bahwa akan selalu ada hal baik di depan, hingga ia meneruskan perjalanan satu tahun pertamanya dengan memberanikan diri untuk mengunjungi Afghanistan. Meski begitu, ketakutan baginya adalah hal yang sangat manusiawi. Ia pun menyampaikan “Orang yang tidak punya rasa takut itu bukan manusia.” Seorang hadirin yang lain mengajukan pertanyaan kedua tentang waktu penulisan buku Titik Nol yang terasa membutuhkan waktu lama. Agustinus menjawab dengan gamblang. Baginya, buku adalah curahan hati penulis. Buku yang enak dibaca adalah buku yang ditulis berulang karena seringkali penulis membutuhkan kemampuan untuk adaptasi di awal. Ia mencontohkan, buku keduanya ditulis selama lebih dari satu tahun, buku ketiganya ditulis selama lebih dari dua tahun. Dari hal itu, ia mengambil kesimpulan bahwa penulis tidak akan pernah sempurna di draftpertama. Menulis itu bagai memahat ukiran kayu. Membutuhkan proses membentuk, menghaluskan, hingga akhirnya menjadi sebuah karya yang bisa dinikmati. Agustinus Wibowo pun memberi pandangannya akan definisi ‘sastra’. Baginya, sastra adalah saat ketika pembaca merasa menikmati proses pembacaan. Tidak perlu bermain dengan diksi berbunga atau kalimat yang rumit, baginya, menulis secara apa adanya dapat menimbulkan efek yang lebih besar pada pembaca.
Setelah itu, moderator mengajukan pertanyaan tentang makna di balik tagline Titik Nol di sampul depan : “Perjalananku bukan perjalananmu, perjalananku adalah perjalananmu.” Agustinus memberikan jawaban yang begitu memukau. Baginya, setiap orang memiliki perjalananya masing-masing. Perjalanan bersifat personal. Oleh karena itu ia menyebutkan “Perjalananku bukan perjalananmu.” Namun di samping itu, biarpun perjalanan kita berbeda, semuanya berinti sama : kita berjuang untuk menjadi pahlawan, kemudian akhirnya akan kembali ke titik nol. Jawaban Agustinus itu mampu menciptakan aplaus yang meriah dari hadirin. Seseorang lain mengajukan pertanyaan ke-empat. “Apa yang membuat seorang Agustinus Wibowo menolak beasiswa yang ia peroleh?”. Penulis berkacamata itu menjelaskan bahwa hal tersebut adalah pilihan hidup yang ia ingin tempuh. Baginya, kebahagiaan hidupnya adalah berada di perjalanan. Berbeda dari jurusan yang diambilnya semasa kuliah, ia justru mengambil pilihan untuk berprofesi sebagai jurnalis. Meski begitu, sangat susah untuk meyakinkan orang tua akan hal tersebut. Apalagi, ia menambahkan, bahwa orang Tionghoa cenderung memiliki pola pikir turun temurun untuk harus memiliki hidup yang stabil. Sedangkan profesi sebagai pejalan dinilai bukan hidup ideal bagi orang tua Agustinus. Namun, ia meyakini, jalan ini yang harus ia ambil. Jika sudah begitu, tentu juga harus siap dengan segala risiko yang harus dihadapi. Ia pun berkisah sedikit tentang orang tuanya. Saat menulis, ibu yang ia cintai baru saja meninggal. Ia menyesal karena begitu jarang berada di sisinya semasa hidup. Dari hal itu, ia merasa ada pelepasan yang besar. Lebih dari itu, ia percaya bahwa manusia diciptakan untuk tujuan masing-masing. Meski tak setuju dengan profesinya, sang Ayahanda tercinta begitu gembira setiap kali tulisannya ditampilkan di kompas.com, mencetaknya dan menunjukkannya pada semua orang. Pada akhirnya, saat menjadi jurnalis di Afghanistan, ia mampu membiayai pengobatan sang ibu. Ia menyimpulkan, bahwa begitulah hidup. Selalu ada kelokan, namun kita semua ditakdirkan untuk menghadapinya.
Sesi pertanyaan dihentikan sementara untuk mengajak audiens menikmati video Titik Nol yang telah disiapkan oleh Agustinus Wibowo. Pada video itu, ditampilkan berbagai gambar tentang berbagai keragaman dan kemanusiaan yang disertai dengan kalimat-kalimat filosofis tentang makna-makna perjalanan. Khas dengan kata-kata seperti yang tercantum di halaman-halaman Titik Nol. Foto-foto yang ditampilkan penulis mampu membuat hening seluruh audiens yang nampaknya menikmati musik yang diputar bersama dengan video. Setelah pemutaran video, sesi pertanyaan kembali dilanjutkan. Kali ini pertanyaan yang hadir cukup unik. “Jika Mas Agus memiliki anak kelak, apa juga akan mengijinkan anaknya untuk melakukan perjalanan?” Tanpa ragu, Agustinus menjawab bahwa ia akan sangat menyarankan anaknya untuk melakukan perjalanan. Karena baginya perjalanan adalah proses untuk membuka mata. Seseorang perlu pergi jauh untuk mengenali diri sendiri. Ia menganalogikan, “Mata kita tak akan bisa melihat hidung sendiri, oleh karena itu kita perlu berkaca untuk melihat hidung.” Hal itu berarti, kita memerlukan refleksi orang lain untuk menemukan diri sendiri. Perjalanan yang baginya adalah kehidupan nyata juga dapat melatih kemandirian. Berbicara hal itu, Agustinus mengenang tentang kejadian pada salah satu awal perjalanannya. Di mana ia dicuri habis-habisan dan tak memiliki apapun untuk melanjutkan perjalanan. Awalnya ia menyangka hal itu sangat buruk. Namun kini, ia justru ingin berterimakasih pada pencuri yang mencuri dompetnya saat itu. Jika dompetnya tak tercuri, ia tak akan pernah menjejakkan kaki ke Afghanistan dan memutuskan untuk menjadi jurnalis.
Pertanyaan lain pun datang. “Bagaimana mungkin Agustinus menulis ulang sebanyak dua puluh kali lebih dan bagaimana caranya agar tidak bosan?” Agustinus menjawab dengan menuturkan bahwa sebelum menjadi seorang penulis, baginya menulis merupakan hal yang susah. Kemudian setelah lebih banyak menulis, ia merasakan ada kenikmatan dalam prosesnya. Karena menulis juga adalah sebuah perjalanan. Dengan menulis, ia menemukan detail perjalanan. Ada saat di mana kita berjalan, juga ada saat di mana kita berhenti. Menurutnya, bagian yang sulit dalam proses penulisan bukan di awal dan di akhir, namun di tengah. Mencontohkan Titik Nol, saat proses penulisan ia memiliki ide yang jelas, namun ia kehilangan arah saat menulis secara kronologis. Hingga akhirnya saat penulisan ulang ke-limabelas kalinya, tercetus ide untuk mengemas tulisan dalam plot paralel yang memakan satu tahun untuk menyelesaikannya. Meski yang dikisahkan adalah kisah non fiksi, ia bercerita dengan teknik fiksi. Agustinus pun memberikan tips untuk penulis pemula : Jangan pernah mengkhawatirkan suatu karya yang ditulis akan menjadi apa, tumpahkan saja. Jangan takut gagal. Tidak ada yang sempurna di tulisan pertama. Renungkan kegagalan yang merupakan hal biasa. Teruslah menulis.
Pertanyaan pun belum berhenti mengalir. Kali ini spesial, karena datang dari seorang pelukis senior yang menyempatkan diri hadir. Meski beliau belum sempat membaca Titik Nol, namun ia berkisah tentang sebuah buku traveling yang ia baca. Di buku yang ia baca, disebutkan bahwa untuk mencapai dunia, manusia dapat menggunakan empat hal : “Agama, filsafat, science dan sastra.” Menurutnya, ada korelasi Titik Nol dengan buku tersebut. Agustinus memberikan tanggapannya dengan memberikan contoh. Ia berkata bahwa Lumajang dan Tibet memiliki korelasi. Yaitu sama-sama memiliki Gunung Semeru dan Meru. Ia melakukan perjalanan di Gunung Meru di Tibet yang suci bagi agama Budha dan Hindu tersebut. Pengalaman dari mengelilinginya, terasa kegembiraan di awal, setelah susah payah mendaki puncak, ia sempat merasa telah melampaui semua hal tersulit. Namun ternyata, justru hal tersulit ada pada saat menuruni gunung tersebut. Pengalaman itu ia tarik ke dalam filosofi. Dalam hidup, kita harus belajar melepaskan. Sepanjang hidup kita akan selalu ketakutan pada mati yang merupakan ketakutan paling besar. Ziarah ke tempat suci seperti gunung , bertujuan untuk itu. Ziarah bukan tentang label, namun justru untuk menyelami lubuk hati.
Kali ini tak lagi datang pertanyaan, namun apresiasi dari seorang hadirin. Ia mengungkapkan kekagumannya akan Buku Titik Nol dan bahkan berniat akan membagi ilmu dari Titik Nol pada anak-cucunya. Hal tersebut memancing pernyataan lain dari sang pembedah, Mbak Heti Palestina. Ia menyatakan bahwa Titik Nol adalah buku yang religius. Ia pun berkomentar untuk berterima kasih pada sakit hati. Karena kebanyakan orang sukses berangkat dari rasa sakit hati. Menurut koreksinya, Agustinus perlu sakit hati lebih dalam untuk membuat karya yang lebih baik dan sukses. Agustinus menimpali dengan sebaris pernyataan. Ia membenarkan perlu sakit hati atau luka dalam hidupnya. Galau itu perlu. Karena dengan galau, dapat menyelami lebih dalam kehidupan. Luka itu yang membuat seorang penulis lebih baik dalam berkarya. Ia juga berkisah bahwa kita dibesarkan dengan cerita. Ia mencontohkan Legenda Malin Kundang dan perjalanan mencari kitab suci yang seringkali diceritakan pada masa kecilnya. Berangkat dari hal itu, ia ingin melakukan perjalanan dengan dongeng masa kecil yang ia dengar. Perjalanan mencari kitab suci justru berujung pada ditemukannya kitab tanpa aksara yang sesungguhnya adalah kitab kehidupan. Pertanyaan lain pun terlontar “Dari ketiga buku yang telah ditulis, sisi apa yang sesungguhnya ingin disampaikan Agustinus?” Agustinus menjelaskan satu per satu. Pada Selimut Debu, ia ingin menuturkan bahwa kita seringkali dijebak impresi. Padahal, impresi belum tentu merupakan realita, namun justru seringkali menyesatkan. Di balik perang Afghan yang begitu gencar, justru ada warna-warni kehidupan yang lebih indah. Pada Garis Batas ia ingin menyampaikan bahwa garis batas sesungguhnya ada di mana-mana dalam proses perjalanan hidup. Menilik pada dirinya, sejak kecil Agustinus telah merasa kekurangan identitas. Ia pun bertutur bahwa identitas bukan hal yang mewakili diri kita. Mbak Heti Palestina pun menambahkan pujiannya pada buku Titik Nol. Ia menyatakan bahwa tulisan Agustinus dilengkapi foto yang luar biasa bagus. Dalam jurnalistik, memilih foto bukan hanya dari sisi berita, namun juga dari sisi seni. Namun, ia menyayangkan mengapa justru foto yang menunjukkan seorang anak melompat dari pohon itu yang dipilih sebagai cover, karena baginya itu kurang menarik dibandingkan dengan foto lain yang tersaji. Agustinus menjawab dengan diplomatis. Bahwa proses pemilihan cover sangat lama. Dengan berbagai pertimbangan, dipilih cover tersebut karena mengandung banyak filosofi : Keberanian (ditunjukkan dengan seorang anak yang melompat dari pohon), ketakutan (ditunjukkan dengan anak lain yang tidak melompat), pilihan (seorang anak memilih melompat, sedang yang lain tidak), eksotisme (ditunjukkan langit biru), misteri (akan ke mana anak itu meloncat). Keseluruhannya menunjukkan bahwa dua perjalanan yang berbeda, namun akhirnya akan sama. Pembedah juga menyatakan kekagumannya dengan mengatakan bahwa tulisan Agustinus seperti tulisan Che Guevara. Ditanya apa yang akan Agustinus lakukan selanjutnya, ia menyatakan ingin fokus pada profesi travel writer, namun ia tak ingin berjalan, justru ingin tinggal lama di dalam dan menyelami suatu negara.
Pernyataan seorang Agustinus Wibowo itu mengakhiri sesi bedah buku. Berkali-kali mendapat sambutan, pujian dan apresiasi yang luar biasa baik dari seluruh pihak yang hadir, buku Titik Nol dan penulisnya menjadi objek berfoto semua orang setelahnya. Pihak Gramedia memberikan beberapa buku Titik Nol bertanda tangan untuk diserahkan pada berbagai pihak yang membantu terlaksananya acara ini. Setelah itu, sebagian besar hadirin berkerumun di meja penyaji demi mendapat tanda tangan pada buku masing-masing dan kesempatan foto bersama. Meski mendapat pernyataan bahwa lampu perpustakaan yang memanfaatkan genset harus dipadamkan pukul setengah empat sore, hadirin pantang pulang dan rela mengantri. Beberapa tumpukan buku yang menjulang menanti untuk ditandatangani. Ditanya apa Mas Agus merasa lelah menandatangani buku sebanyak itu, dengan ramah ia menjawab, “Pernah mendapat kesempatan untuk menandatangani buku yang jauh lebih banyak dari pada saat ini.” Di tengah-tengah sesi signing, ia seringkali mendapat pertanyaan atau sapaan tambahan. Dengan sabar, ia layani satu persatu hingga akhirnya satu per satu hadirin pulang dan hanya menyisakan panitia. Tim GRI Surabaya yang tersisa (sebagian sudah harus pulang lebih dulu) menyempatkan untuk foto bersama penulis. Namun, apa keseruan hanya sampai di situ? Ternyata tidak. Acara bedah buku Titik Nol akan kembali dilaksanakan pada hari Sabtu, tanggal 13 April 2013 di tempat yang berbeda. Akan lebih banyak cerita, lebih banyak inspirasi yang akan dibagikan oleh Agustinus Wibowo, seorang pejalan dengan berjuta pengalaman menarik yang mencerahkan. Meski menyatakan akan menetap di suatu negara, ia, Selimut Debu, Garis Batas dan Titik Nolnya akan terus berjalan…
Surabaya, 8 April 2013
Untuk Goodreads Indonesia,
Nabila Budayana
Published on April 08, 2013 01:44
March 23, 2013
In The Eye of The Storm
"Jangan Pernah Berhenti Berharap!"
Kalimat itu dituliskan pada masing-masing lembar pertama dari buku "In The Eye of The Storm" oleh sang penulis, Brilliant Yotenega. Baru-baru ini, Mas Ega (begitu, kami anak-anak Nulisbuku Club memanggilnya) menemukan jalan takdirnya menulis sebuah buku. Pada launching yang diselenggarakan 16 Maret 2013 lalu, ia mengungkap bukan hanya tentang apa yang ia ingin kisahkan melalui buku mungil bersampul putih ini, namun juga memberikan 'pengakuan'nya tentang serba-serbi sebagai salah satu founder nulisbuku.com. Mas Ega yang terlihat santai dan apa adanya itu, seolah menggambarkan apa yang ia tulis.
In The Eye of The Storm menjanjikan sebuah kisah nyata tentang sang penulis sendiri, semacam autobiografi. Awal saya membaca sedikit bagian dari ITEOTS adalah dari blog Mas Ega yang ia share melalui akun twitternya menjelang diterbitkannya buku ini. Tidak dipungkiri, judulnya yang cukup unik itu yang mengundang saya untuk menyelami kisah-kisah yang dibagikan. Tak mendapat klu apapun dari judulnya, saya bertandang menuju halaman blog Mas Ega tanpa ekspektasi apapun. Terkejut dan terenyuh yang saya justru dapatkan kemudian. Siapa sangka, di balik sosok seorang Brilliant Yotenega yang saat ini begitu sukses akan bisnis-bisnis yang digelutinya, di masa lalu, ia pernah melampaui begitu banyak rintangan kehidupan. Sekali lagi, kisah ini menjadi afirmasi bahwa "Tak ada kesuksesan yang didapatkan tanpa susah payah.". Melalui ITEOTS, penulis membagikan kisah-kisah hidupnya. Justru bukan seperti kebanyakan orang yang berbagi kisah sukses, namun kisah-kisah saat di mana ia "jatuh". Bukankah selalu ada begitu banyak pelajaran yang diambil dari sebuah masa lalu yang kita anggap 'buruk'? Penulis nampaknya ingin mencoba menyampaikan pesan itu pada pembaca. Pun nampaknya tulisan di buku ini juga sebagai sebentuk pelepasan diri dari kenangan masa lalu yang dimilikinya.
ITEOTS diawali dengan kisah penulis yang merantau ke ibu kota untuk hidup bersama sang istri. Meninggalkan segala kenyamanannya di Surabaya, ia tak pernah menyangka jika kehidupan yang akan dilaluinya di Jakarta akan sebegitu rumitnya. Himpitan finansial, belum juga mendapat pekerjaan, tak memiliki ijazah universitas, tekanan tanggung jawab terhadap keluarga menjadi tantangan paling berat untuk dirinya. Belum lagi harus menghadapi rasa bersalah, kekecewaan, kehilangan rasa percaya terhadap diri sendiri yang begitu memberatkan. Ia hanya mencoba menyalakan harapan dan keberanian yang terus terkikis. Kepercayaannya terhadap Sang Pencipta yang membuat segalanya menjadi lebih mudah. Mengikuti apa yang tertulis, pembaca dibuat haru namun sekaligus diajak untuk mengambil pelajaran kehidupan yang dibagikan penulis. Kisah digeber penuh tekanan membuat saya tak mampu menghentikan proses pembacaan, kemudian dituntaskan dan diberikan jawaban yang penuh keajaiban di bab akhir.
Bagaimana seorang Brilliant Yotenega dapat melalui segala halangan itu?
Lantas, "Berapa Harga Sebuah Masa Lalu?" untuk dirinya?
In The Eye of The Storm memberikan jawabannya.
Kalimat itu dituliskan pada masing-masing lembar pertama dari buku "In The Eye of The Storm" oleh sang penulis, Brilliant Yotenega. Baru-baru ini, Mas Ega (begitu, kami anak-anak Nulisbuku Club memanggilnya) menemukan jalan takdirnya menulis sebuah buku. Pada launching yang diselenggarakan 16 Maret 2013 lalu, ia mengungkap bukan hanya tentang apa yang ia ingin kisahkan melalui buku mungil bersampul putih ini, namun juga memberikan 'pengakuan'nya tentang serba-serbi sebagai salah satu founder nulisbuku.com. Mas Ega yang terlihat santai dan apa adanya itu, seolah menggambarkan apa yang ia tulis.

In The Eye of The Storm menjanjikan sebuah kisah nyata tentang sang penulis sendiri, semacam autobiografi. Awal saya membaca sedikit bagian dari ITEOTS adalah dari blog Mas Ega yang ia share melalui akun twitternya menjelang diterbitkannya buku ini. Tidak dipungkiri, judulnya yang cukup unik itu yang mengundang saya untuk menyelami kisah-kisah yang dibagikan. Tak mendapat klu apapun dari judulnya, saya bertandang menuju halaman blog Mas Ega tanpa ekspektasi apapun. Terkejut dan terenyuh yang saya justru dapatkan kemudian. Siapa sangka, di balik sosok seorang Brilliant Yotenega yang saat ini begitu sukses akan bisnis-bisnis yang digelutinya, di masa lalu, ia pernah melampaui begitu banyak rintangan kehidupan. Sekali lagi, kisah ini menjadi afirmasi bahwa "Tak ada kesuksesan yang didapatkan tanpa susah payah.". Melalui ITEOTS, penulis membagikan kisah-kisah hidupnya. Justru bukan seperti kebanyakan orang yang berbagi kisah sukses, namun kisah-kisah saat di mana ia "jatuh". Bukankah selalu ada begitu banyak pelajaran yang diambil dari sebuah masa lalu yang kita anggap 'buruk'? Penulis nampaknya ingin mencoba menyampaikan pesan itu pada pembaca. Pun nampaknya tulisan di buku ini juga sebagai sebentuk pelepasan diri dari kenangan masa lalu yang dimilikinya.
ITEOTS diawali dengan kisah penulis yang merantau ke ibu kota untuk hidup bersama sang istri. Meninggalkan segala kenyamanannya di Surabaya, ia tak pernah menyangka jika kehidupan yang akan dilaluinya di Jakarta akan sebegitu rumitnya. Himpitan finansial, belum juga mendapat pekerjaan, tak memiliki ijazah universitas, tekanan tanggung jawab terhadap keluarga menjadi tantangan paling berat untuk dirinya. Belum lagi harus menghadapi rasa bersalah, kekecewaan, kehilangan rasa percaya terhadap diri sendiri yang begitu memberatkan. Ia hanya mencoba menyalakan harapan dan keberanian yang terus terkikis. Kepercayaannya terhadap Sang Pencipta yang membuat segalanya menjadi lebih mudah. Mengikuti apa yang tertulis, pembaca dibuat haru namun sekaligus diajak untuk mengambil pelajaran kehidupan yang dibagikan penulis. Kisah digeber penuh tekanan membuat saya tak mampu menghentikan proses pembacaan, kemudian dituntaskan dan diberikan jawaban yang penuh keajaiban di bab akhir.
Bagaimana seorang Brilliant Yotenega dapat melalui segala halangan itu?
Lantas, "Berapa Harga Sebuah Masa Lalu?" untuk dirinya?
In The Eye of The Storm memberikan jawabannya.
Published on March 23, 2013 17:42
March 20, 2013
Bincang Buku Suara Surabaya FM
"Kejutan Tuhan tak pernah gagal."
Saya sepenuhnya meyakini hal itu. Oleh karena itu, saya enggan untuk berhenti percaya dan yakin akan segala kehendak dan kuasaNya. Tuhan membuktikan sekali lagi kejutan indahnya pada saya. Suatu siang, telepon genggam saya berdering dengan menampakkan sebuah nomor yang tak saya kenal. Meski tak mengenal, saya akhirnya memutuskan untuk menjawabnya. Di seberang sana, seorang wanita dengan nada bicara yang cepat, menanyakan apakah betul ia sedang berbicara dengan Nabila Budayana. Saya menjawabnya "benar". Setelah membutuhkan penjelasan singkat akan profil saya, dengan begitu lugas dan cepat, ia menuju inti pembicaraan. Ia ingin mengundang saya untuk menjadi nara sumber untuk program diskusi bisnis yang dipandu oleh Bapak Kresnayana Yahya. Kali itu, Pak Kresna ingin mengangkat tema perbukuan di Indonesia. Saya diundang dengan kapasitas sebagai penulis, dan bertugas untuk memberikan materi tentang "Faktor-faktor yang mendorong keinginan untuk menulis". Sejujurnya saya sempat bingung, dan berkata pada diri sendiri dalam hati "Mengapa saya yang diundang? Siapalah saya?" Namun, saya rasa, ini kesempatan yang tak akan datang untuk kedua kali. Saya pun tak asal. Dengan mengetahui tema yang harus saya bahas, saya tahu apakah saya mampu atau tidak. Menyadari bahwa saya sempat menyiapkan materi itu sebelumnya untuk acara berbeda, dengan cepat saya pun menyanggupi dan memberikan alamat email untuk menerima undangan secara resmi. Undangan itu menerangkan bahwa saya akan diundang untuk acara "ngobrol-ngobrol" dengan Pak Kresnayana Yahya dan Pak Paulus Tanojo (Store Manager Toko Buku Togamas). Sebagai pengalaman pertama saya untuk on air di radio, saya menyiapkan materi benar-benar. Terutama mengetahui bahwa nara sumber lainnya adalah seorang senior yang ahli di bidang masing-masing.
Hingga tibalah hari Jumat, 15 Maret 2013. Saya berangkat lebih awal untuk memberi jeda seandainya terhalang macet. Mengingat jarak rumah saya dan Radio Suara Surabaya cukup jauh. Sesampainya, saya disambut oleh petugas front office dan dipersilakan untuk mengisi daftar tamu. Dari daftar itu, saya tahu bahwa saya adalah orang pertama yang hadir. Dipersilakan untuk menunggu di lantai dua, di depan ruang siaran. Saya baru mengerti bahwa ternyata di balik suara siaran yang diperdengarkan dari radio ini, kru yang bertugas jauh lebih banyak. Mengetahui ada seorang 'anak kecil' yang celingukan ke depan ruang siaran, seorang kru keluar dari ruangannya dan menanyai keperluan saya. Saat menjelaskan, seorang laki-laki dan asistennya muncul di belakang saya. Ialah Pak Paulus Tanojo. Saya dan Pak Paulus dipersilakan untuk menunggu di ruang tunggu di balik ruang siaran. Namun, karena saat itu Pak Paulus sedang merokok, saya terpaksa menunggu sendiri di dalam ruang tunggu.
Sembari membaca Gandamayu, sebuah novel yang ditulis Bli Putu Fajar Arcana, saya menunggu kehadiran Pak Kresna dan on air siaran. Seorang laki-laki membawa baki tiba-tiba masuk ke dalam ruang tunggu dan menyajikan secangkir teh untuk saya. Saya selalu tertawa jika mengingat kejadian ini. Pasalnya, saat meletakkan cangkir teh di meja, ia berkata "Mbak, sedang nunggu bapaknya siaran, yah?" - rupanya, ia mengira saya putri dari Pak Kresna atau Pak Paulus. Saya mencoba menjelaskan untuk keperluan apa saya datang, namun sepertinya ia enggan perduli dengan tetap meminta saya untuk meminum teh yang tersaji di meja. Barulah saat itu saya 'ngeh' bahwa Pak Kresna telah tiba, bahkan telah siap dengan headset di ruang siaran bersama Pak Paulus. Yap, saya nyaris ditinggal, saudara-saudara! :) Untunglah, sang penyiar baru saja membuka acara dan saya segera muncul di pintu siaran yang terbuat dari kaca. Dengan bingung, saya menunjukkan ekspresi "Saya belum terlambat, kan? saya boleh masuk?" sembari menggerak-gerakkan tangan untuk menunjukkan keberadaan. Pak Kresna yang menyadarinya, langsung dengan ramah melambai pada saya, pertanda mempersilakan saya untuk masuk.
Tepat saya selesai duduk dan memasang headset pada telinga, saat itu juga siaran dimulai. Saya duduk di tengah-tengah Pak Paulus dan Pak Kresna. Saat itu saya baru berpikir "mungkin ada benarnya mas-mas tadi yang mengira saya putri salah satu dari mereka." *LOL* Perbincangan dimulai, dan saya segera membuka notes andalan. Di dalamnya sudah ada materi yang saya siapkan. Namun, ternyata sepanjang acara, notes itu hanya saya gunakan untuk mencatat banyak hal, bukannya untuk 'mengintip' materi saya. Perbincangan mengalir santai dan menyenangkan. Tak saya sangka, Pak Kresna dan Pak Paulus sungguh ramah. Saya yang duduk di tengah, setiap break, bebas mengajak ngobrol Pak Kresna dan Pak Paulus secara bergantian. Bagi saya, itu kesempatan untuk mengenal mereka. Dan tidak sia-sia, Pak Kresna sempat memberi dukungan dan membuka-buka buku yang saya bawa. Tak lupa, saya memberikan satu ekslemplar "Renjana dalam Bejana" untuk beliau sebagai kenang-kenangan. Sedang dengan Pak Paulus, saya diberikan kartu nama untuk kesempatan yang selama ini saya inginkan.
Sebelumnya, saya tak pernah terbayang akan menjadi seorang narsum, apalagi disandingkan dengan mereka yang senior. Pengalaman pertama saya menjadi narsum dan on air di radio, menjadi kenangan saya. Setidaknya dengan pengalaman baru ini, saya percaya akan membawa diri saya ke pengalaman dan kesempatan menarik berikutnya. Jadi, saya tak akan berhenti bermimpi. Karena Tuhan mendengar dan menyimpan banyak kejutan di belakang. Saya sepenuhnya percaya padaNya, sang Pemberi Kejutan Terbaik. :)
Saya sepenuhnya meyakini hal itu. Oleh karena itu, saya enggan untuk berhenti percaya dan yakin akan segala kehendak dan kuasaNya. Tuhan membuktikan sekali lagi kejutan indahnya pada saya. Suatu siang, telepon genggam saya berdering dengan menampakkan sebuah nomor yang tak saya kenal. Meski tak mengenal, saya akhirnya memutuskan untuk menjawabnya. Di seberang sana, seorang wanita dengan nada bicara yang cepat, menanyakan apakah betul ia sedang berbicara dengan Nabila Budayana. Saya menjawabnya "benar". Setelah membutuhkan penjelasan singkat akan profil saya, dengan begitu lugas dan cepat, ia menuju inti pembicaraan. Ia ingin mengundang saya untuk menjadi nara sumber untuk program diskusi bisnis yang dipandu oleh Bapak Kresnayana Yahya. Kali itu, Pak Kresna ingin mengangkat tema perbukuan di Indonesia. Saya diundang dengan kapasitas sebagai penulis, dan bertugas untuk memberikan materi tentang "Faktor-faktor yang mendorong keinginan untuk menulis". Sejujurnya saya sempat bingung, dan berkata pada diri sendiri dalam hati "Mengapa saya yang diundang? Siapalah saya?" Namun, saya rasa, ini kesempatan yang tak akan datang untuk kedua kali. Saya pun tak asal. Dengan mengetahui tema yang harus saya bahas, saya tahu apakah saya mampu atau tidak. Menyadari bahwa saya sempat menyiapkan materi itu sebelumnya untuk acara berbeda, dengan cepat saya pun menyanggupi dan memberikan alamat email untuk menerima undangan secara resmi. Undangan itu menerangkan bahwa saya akan diundang untuk acara "ngobrol-ngobrol" dengan Pak Kresnayana Yahya dan Pak Paulus Tanojo (Store Manager Toko Buku Togamas). Sebagai pengalaman pertama saya untuk on air di radio, saya menyiapkan materi benar-benar. Terutama mengetahui bahwa nara sumber lainnya adalah seorang senior yang ahli di bidang masing-masing.
Hingga tibalah hari Jumat, 15 Maret 2013. Saya berangkat lebih awal untuk memberi jeda seandainya terhalang macet. Mengingat jarak rumah saya dan Radio Suara Surabaya cukup jauh. Sesampainya, saya disambut oleh petugas front office dan dipersilakan untuk mengisi daftar tamu. Dari daftar itu, saya tahu bahwa saya adalah orang pertama yang hadir. Dipersilakan untuk menunggu di lantai dua, di depan ruang siaran. Saya baru mengerti bahwa ternyata di balik suara siaran yang diperdengarkan dari radio ini, kru yang bertugas jauh lebih banyak. Mengetahui ada seorang 'anak kecil' yang celingukan ke depan ruang siaran, seorang kru keluar dari ruangannya dan menanyai keperluan saya. Saat menjelaskan, seorang laki-laki dan asistennya muncul di belakang saya. Ialah Pak Paulus Tanojo. Saya dan Pak Paulus dipersilakan untuk menunggu di ruang tunggu di balik ruang siaran. Namun, karena saat itu Pak Paulus sedang merokok, saya terpaksa menunggu sendiri di dalam ruang tunggu.
Sembari membaca Gandamayu, sebuah novel yang ditulis Bli Putu Fajar Arcana, saya menunggu kehadiran Pak Kresna dan on air siaran. Seorang laki-laki membawa baki tiba-tiba masuk ke dalam ruang tunggu dan menyajikan secangkir teh untuk saya. Saya selalu tertawa jika mengingat kejadian ini. Pasalnya, saat meletakkan cangkir teh di meja, ia berkata "Mbak, sedang nunggu bapaknya siaran, yah?" - rupanya, ia mengira saya putri dari Pak Kresna atau Pak Paulus. Saya mencoba menjelaskan untuk keperluan apa saya datang, namun sepertinya ia enggan perduli dengan tetap meminta saya untuk meminum teh yang tersaji di meja. Barulah saat itu saya 'ngeh' bahwa Pak Kresna telah tiba, bahkan telah siap dengan headset di ruang siaran bersama Pak Paulus. Yap, saya nyaris ditinggal, saudara-saudara! :) Untunglah, sang penyiar baru saja membuka acara dan saya segera muncul di pintu siaran yang terbuat dari kaca. Dengan bingung, saya menunjukkan ekspresi "Saya belum terlambat, kan? saya boleh masuk?" sembari menggerak-gerakkan tangan untuk menunjukkan keberadaan. Pak Kresna yang menyadarinya, langsung dengan ramah melambai pada saya, pertanda mempersilakan saya untuk masuk.
Tepat saya selesai duduk dan memasang headset pada telinga, saat itu juga siaran dimulai. Saya duduk di tengah-tengah Pak Paulus dan Pak Kresna. Saat itu saya baru berpikir "mungkin ada benarnya mas-mas tadi yang mengira saya putri salah satu dari mereka." *LOL* Perbincangan dimulai, dan saya segera membuka notes andalan. Di dalamnya sudah ada materi yang saya siapkan. Namun, ternyata sepanjang acara, notes itu hanya saya gunakan untuk mencatat banyak hal, bukannya untuk 'mengintip' materi saya. Perbincangan mengalir santai dan menyenangkan. Tak saya sangka, Pak Kresna dan Pak Paulus sungguh ramah. Saya yang duduk di tengah, setiap break, bebas mengajak ngobrol Pak Kresna dan Pak Paulus secara bergantian. Bagi saya, itu kesempatan untuk mengenal mereka. Dan tidak sia-sia, Pak Kresna sempat memberi dukungan dan membuka-buka buku yang saya bawa. Tak lupa, saya memberikan satu ekslemplar "Renjana dalam Bejana" untuk beliau sebagai kenang-kenangan. Sedang dengan Pak Paulus, saya diberikan kartu nama untuk kesempatan yang selama ini saya inginkan.
Sebelumnya, saya tak pernah terbayang akan menjadi seorang narsum, apalagi disandingkan dengan mereka yang senior. Pengalaman pertama saya menjadi narsum dan on air di radio, menjadi kenangan saya. Setidaknya dengan pengalaman baru ini, saya percaya akan membawa diri saya ke pengalaman dan kesempatan menarik berikutnya. Jadi, saya tak akan berhenti bermimpi. Karena Tuhan mendengar dan menyimpan banyak kejutan di belakang. Saya sepenuhnya percaya padaNya, sang Pemberi Kejutan Terbaik. :)
Published on March 20, 2013 00:53
January 19, 2013
Jessica Sudarta's Harp Concert
Saya jarang menulis curhat setelah menonton recital atau konser. Entah mengapa, saya ingin menulis kali ini. Ini murni ke-subjektif-an saya. :)
18 Januari 2013 kemarin, bertempat di Grand City Ballroom Surabaya, saya dengan excited menghadiri harp concert Jessica Sudarta. Ini pertama kalinya saya menyaksikan permainan harpa. Seringnya sih hadir untuk recital-recital piano atau konser orchestra. Saya selalu merasa melihat mimpi saya yang terwakilkan di mata mereka, para musisi. Jadi, saya selalu senang untuk datang. Di samping, memang saya sudah lama ingin menyaksikan permainan Rama Widi, salah satu harpist membanggakan Indonesia.
Awalnya sih, ekspektasi saya untuk konser tersebut tidak sebesar itu. Begitu tiba, wah.. Grande! itu kesan saya. Semuanya nampak direncanakan dan dipersiapkan dengan baik. Karena saya hadir sendiri, saya bisa duduk di tempat yang cukup strategis. Beberapa baris dari depan meski di sayap kiri. Beruntunglah disediakan layar LCD yang membantu melihat lebih dekat para performer di panggung.
Sembari menunggu pertunjukan dimulai, perhatian saya tersedot pada booklet yang dibagikan sebelum acara berlangsung. Biasanya dalam recital atau konser yang pernah saya hadiri, hanya berupa pamflet dengan profil musisi, sambutan penyelenggara, daftar komposisi yang akan dimainkan, juga beberapa selipan iklan. Tapi kali itu berbeda. Masing-masing hadirin diberikan booklet ukuran besar. Saya buka-buka halaman-halaman yang ada. Bukan hanya diisi profil masing-masing pengisi acara, namun juga foto-foto juga testimoni-testimoni dari orang-orang terdekat Jessica Sudarta. Menarik. Saya rasa strategi itu tepat sebagai pengenalan kepada publik akan Jessica Sudarta, seorang gadis usia belasan multi talenta, yang memiliki bakat luar biasa. Hadirin menjadi tahu bahwa Surabaya juga memiliki seorang musisi muda hebat berbakat. Desain keseluruhan booklet nya pun sesuai dengan tema konser yang elegan.
Setelah sesaat asyik menyimak booklet, satu per satu musisi dari Java Philharmonic Orchestra berurutan masuk dan menempati posisi mereka. Tak lama, setelah seluruh anggota lengkap, sang conductor, Dian Alicia Suat, hadir menempati posisi. Persiapan dimulai, dengan masing-masing musisi yang melakukan tuning. Mendengar tuning mereka saja sudah sanggup membuat excited.
Komposisi pertama yang dimainkan oleh Java Philharmonic Orchestra adalah Finlandia Hymns. Menambah suasana Grande, di belakang orchestra ditampilkan animasi mendukung. Berupa salju yang berguguran jatuh dari pohon, pemandangan-pemandangan berbagai musim, dsb. Saya pikir animasi ini hanya akan sepotong dan menunjukkan satu adegan saja, yang kemudian akan digabungkan dengan potongan adegan lain. Namun, prasangka saya salah. Keseluruhan animasi membentuk satu plot kisah yang sesuai (baik tema maupun timing) didampingkan dengan komposisi yang sedang mengalun. Semenjak itu saya ‘ngeh’ bahwa animasi-animasi ini memang didesain dan dibuat secara khusus untuk masing-masing lagu.
Setelah puas menikmati ‘prolog’ dari orchestra, barulah seorang Jessica Sudarta, sang harpist muda hadir di atas panggung. Saya belum percaya jika ia masih berumur empat belas, jika MC tidak menyebutkannya. Bukan karena ia penampilannya yang anggun dan dewasa, namun karena di panggung, saat berkali-kali kamera menampilkan wajah Jessica, kedewasaan terpancar jelas. Bagaimana ia dengan sangat baik menggambarkan ekspresi kecintaannya pada musik yang besar, betapa ia menikmati lagu yang ia bawakan, bahkan juga bagaimana dengan sangat tenang ia menghadapi sedikit masalah dengan string harpanya di awal pertunjukan. Saat itu, saya langsung berkata dalam hati. “Anak ini telah matang dan siap untuk apa yang ia inginkan. Hebat.”
Diikuti kemudian beberapa repertoar harpa, “Autumn Leaves”, “Esquisse” dan “Sicilliana”. Sudah tak menjadi kejutan, Rama Widi akan berduet dengan Jessica Sudarta, karena memang telah disebutkan sebelumnya, juga dengan adanya dua harpa yang terpajang di panggung. Namun, yang cukup mengejutkan saya, pada saat Jessica Sudarta menampilkan komposisi (mungkin sejenis sonatina/sonata) “Concerto” dengan tiga movement : Allegro, Andante, Vivace, Rama Widi tak mendampinginya berduet harpa, justru memegang Baton dan bertindak sebagai conductor! Wow, kejutan yang menarik. Cara Rama meng-conduct sangat ekspresif dan eksplisit. Ternyata hal itu didasari oleh Rama yang juga sempat mengambil minor Conducting Orchestra saat berkuliah Music Education.
Setelah rehat selama lima belas menit, konser dilanjutkan kembali. Kali ini dengan komposisi-komposisi yang lebih ringan dan menyenangkan. Lagu-lagu Disney seperti "Hakuna Matata" dan "A Whole New World" dibawakan. Saya paling terkesan dengan “A Whole New World”, selain karena salah satu lagu favorit saya, lagu itu dibawakan dengan megah plus adegan saat Aladdin dan Jasmine melaju dengan karpet terbangnya. Sangat pas dan impresif. “New York New York” pun turut dihadirkan, membuat beberapa hadirin terhanyut dengan irama khas broadway. Nah, saya selalu senang jika ada komposisi nusantara di list sebuah konser/recital. Konser Jessica Sudarta menghadirkan “Bengawan Solo” dan “Yamko Rambe Yamko”. Lagu terakhir sangat mengesankan dengan duet harpa yang menarik. Jessica Sudarta sangat beruntung didampingi oleh gurunya, Rama Widi di konser ini. Keberadaan Rama Widi bukan menjadi pembanding, namun justru sebagai pendukung Jessica. Dan penonton yang hadir akan terpatri bahwa Jessica adalah harpist yang patut diperhitungkan, bahkan dengan harpist sekelas Rama Widi. Melalui "The Premiere, An Enchanting Harp Sound" Jessica Sudarta menunjukkan ia adalah hasil penjumlahan passion, doa, kerja keras, kesempatan serta kualitas yang tepat.
- Nabila Budayana -
18 Januari 2013 kemarin, bertempat di Grand City Ballroom Surabaya, saya dengan excited menghadiri harp concert Jessica Sudarta. Ini pertama kalinya saya menyaksikan permainan harpa. Seringnya sih hadir untuk recital-recital piano atau konser orchestra. Saya selalu merasa melihat mimpi saya yang terwakilkan di mata mereka, para musisi. Jadi, saya selalu senang untuk datang. Di samping, memang saya sudah lama ingin menyaksikan permainan Rama Widi, salah satu harpist membanggakan Indonesia.
Awalnya sih, ekspektasi saya untuk konser tersebut tidak sebesar itu. Begitu tiba, wah.. Grande! itu kesan saya. Semuanya nampak direncanakan dan dipersiapkan dengan baik. Karena saya hadir sendiri, saya bisa duduk di tempat yang cukup strategis. Beberapa baris dari depan meski di sayap kiri. Beruntunglah disediakan layar LCD yang membantu melihat lebih dekat para performer di panggung.
Sembari menunggu pertunjukan dimulai, perhatian saya tersedot pada booklet yang dibagikan sebelum acara berlangsung. Biasanya dalam recital atau konser yang pernah saya hadiri, hanya berupa pamflet dengan profil musisi, sambutan penyelenggara, daftar komposisi yang akan dimainkan, juga beberapa selipan iklan. Tapi kali itu berbeda. Masing-masing hadirin diberikan booklet ukuran besar. Saya buka-buka halaman-halaman yang ada. Bukan hanya diisi profil masing-masing pengisi acara, namun juga foto-foto juga testimoni-testimoni dari orang-orang terdekat Jessica Sudarta. Menarik. Saya rasa strategi itu tepat sebagai pengenalan kepada publik akan Jessica Sudarta, seorang gadis usia belasan multi talenta, yang memiliki bakat luar biasa. Hadirin menjadi tahu bahwa Surabaya juga memiliki seorang musisi muda hebat berbakat. Desain keseluruhan booklet nya pun sesuai dengan tema konser yang elegan.
Setelah sesaat asyik menyimak booklet, satu per satu musisi dari Java Philharmonic Orchestra berurutan masuk dan menempati posisi mereka. Tak lama, setelah seluruh anggota lengkap, sang conductor, Dian Alicia Suat, hadir menempati posisi. Persiapan dimulai, dengan masing-masing musisi yang melakukan tuning. Mendengar tuning mereka saja sudah sanggup membuat excited.
Komposisi pertama yang dimainkan oleh Java Philharmonic Orchestra adalah Finlandia Hymns. Menambah suasana Grande, di belakang orchestra ditampilkan animasi mendukung. Berupa salju yang berguguran jatuh dari pohon, pemandangan-pemandangan berbagai musim, dsb. Saya pikir animasi ini hanya akan sepotong dan menunjukkan satu adegan saja, yang kemudian akan digabungkan dengan potongan adegan lain. Namun, prasangka saya salah. Keseluruhan animasi membentuk satu plot kisah yang sesuai (baik tema maupun timing) didampingkan dengan komposisi yang sedang mengalun. Semenjak itu saya ‘ngeh’ bahwa animasi-animasi ini memang didesain dan dibuat secara khusus untuk masing-masing lagu.
Setelah puas menikmati ‘prolog’ dari orchestra, barulah seorang Jessica Sudarta, sang harpist muda hadir di atas panggung. Saya belum percaya jika ia masih berumur empat belas, jika MC tidak menyebutkannya. Bukan karena ia penampilannya yang anggun dan dewasa, namun karena di panggung, saat berkali-kali kamera menampilkan wajah Jessica, kedewasaan terpancar jelas. Bagaimana ia dengan sangat baik menggambarkan ekspresi kecintaannya pada musik yang besar, betapa ia menikmati lagu yang ia bawakan, bahkan juga bagaimana dengan sangat tenang ia menghadapi sedikit masalah dengan string harpanya di awal pertunjukan. Saat itu, saya langsung berkata dalam hati. “Anak ini telah matang dan siap untuk apa yang ia inginkan. Hebat.”
Diikuti kemudian beberapa repertoar harpa, “Autumn Leaves”, “Esquisse” dan “Sicilliana”. Sudah tak menjadi kejutan, Rama Widi akan berduet dengan Jessica Sudarta, karena memang telah disebutkan sebelumnya, juga dengan adanya dua harpa yang terpajang di panggung. Namun, yang cukup mengejutkan saya, pada saat Jessica Sudarta menampilkan komposisi (mungkin sejenis sonatina/sonata) “Concerto” dengan tiga movement : Allegro, Andante, Vivace, Rama Widi tak mendampinginya berduet harpa, justru memegang Baton dan bertindak sebagai conductor! Wow, kejutan yang menarik. Cara Rama meng-conduct sangat ekspresif dan eksplisit. Ternyata hal itu didasari oleh Rama yang juga sempat mengambil minor Conducting Orchestra saat berkuliah Music Education.
Setelah rehat selama lima belas menit, konser dilanjutkan kembali. Kali ini dengan komposisi-komposisi yang lebih ringan dan menyenangkan. Lagu-lagu Disney seperti "Hakuna Matata" dan "A Whole New World" dibawakan. Saya paling terkesan dengan “A Whole New World”, selain karena salah satu lagu favorit saya, lagu itu dibawakan dengan megah plus adegan saat Aladdin dan Jasmine melaju dengan karpet terbangnya. Sangat pas dan impresif. “New York New York” pun turut dihadirkan, membuat beberapa hadirin terhanyut dengan irama khas broadway. Nah, saya selalu senang jika ada komposisi nusantara di list sebuah konser/recital. Konser Jessica Sudarta menghadirkan “Bengawan Solo” dan “Yamko Rambe Yamko”. Lagu terakhir sangat mengesankan dengan duet harpa yang menarik. Jessica Sudarta sangat beruntung didampingi oleh gurunya, Rama Widi di konser ini. Keberadaan Rama Widi bukan menjadi pembanding, namun justru sebagai pendukung Jessica. Dan penonton yang hadir akan terpatri bahwa Jessica adalah harpist yang patut diperhitungkan, bahkan dengan harpist sekelas Rama Widi. Melalui "The Premiere, An Enchanting Harp Sound" Jessica Sudarta menunjukkan ia adalah hasil penjumlahan passion, doa, kerja keras, kesempatan serta kualitas yang tepat.
- Nabila Budayana -
Published on January 19, 2013 19:18