Nabila Budayana's Blog, page 4
October 28, 2016
Wajah Baru Cascade Trio dalam Bohemia
Di antara perkembangan positif yang terus menerus diusahakan oleh Cascade Trio, beberapa waktu lalu Danny Ceri (violin) meninggalkan formasi trio ini untuk melanjutkan pendidikan musik di Amerika. Namun Cascade hadir dengan wajah baru. Lidya Evania Lukito ditunjuk sebagai pengganti Danny, menemani Airin Efferin (piano) dan Ade Sinata (cello). Cascade versi baru mengunjungi Surabaya untuk pertamakalinya Sabtu lalu. 22 Oktober 2016 bertempat di Seraphim Music Studio. Mengangkat tema Bohemia, Cascade menampilkan tiga komposisi.
Pertunjukan dibuka dengan penampilan dari Eliezer Selwin Horman yang menggaungkan Fragmen milik Jaya Suprana. Meski beberapa bagian masih lepas dan kurang hidup, namun Eliezer mampu merampungkannya dengan utuh.
Kemudian, Cascade Trio muncul untuk membawakan Piano Trio No.4 in E Minor Op. 90, B. 166 (Dumky Trio) milik Antonin Dvorak. Kekompakan mereka, kejutannya, terlihat menyenangkan. Lidya sebagai personil baru dengan cepat menyesuaikan dan mengisi ruang yang ditinggalkan Danny. Ade memberikan pengantar sebelum komposisi dimainkan. Bahwa Dumky bermakna sebuah gagasan atau perenungan. Komposisi yang dibagi menjadi enam bagian akan kental dengan melodi yang kontras. Cascade memilih membawakan bagian 1,2 3, dan 6 (Lento Maestoso E minor and Major, Poco Adagio, Andante, dan Lento Maestoso C Minor and Major). Dibuka dengan forte yang menggugah, di bagian awal, cello dan violin mendominasi. setelah melodi-melodi gelap yang menyayat, audiens dibawa ke nuansa ceria dalam sekejap, ditunjukkan dengan volume dan rhytm yang berubah drastis. Meski begitu, Cascade tak begitu saja mengabaikan notasi-notasi lembut, mereka tetap tajam dan detail. Menggambarkan karakter komposisi yang penuh perenungan, namun tetap sesekali ceria. Ade berhasil menghidupkan komposisi dengan impresif.
Dua bagian dari Andante Con Moto milik Franz Schubert dibawakan oleh Cascade kemudian. Diawali dengan ketenangan yang sederhana. Audiens dibawa pada pergantian mood yang ekstrim di sepanjang komposisi kemudian.
Photo credit : instagram @pertemuanmusik
Setelah intermission, Seraphim Wind Quintet yang diisi oleh Edith Claudia Atmadja (flute), Ivan Namara (Oboe), Albert Nathanael (Clarinet 1), Kevin Georgius Atmadja (Clarinet 2), Cosmas Sebastian Atmadja (Bassoon) membawakan Three Short Pieces milik Jacques Ibert. Komposisi yang menyenangkan itu mengharuskan masing-masing instrumen sahut menyahut satu sama lain. Di bagian awal, quintet ini bisa lebih baik dalam hal keselarasan. Di bagian kedua, komposisi terdengar lebih tenang, sederhana, dan quintet lebih padu. Jika komposisi diakhiri dengan lebih percaya diri, akan mampu lebih meninggalkan impresi pada audiens.
Cascade kembali untuk komposisi terakhir : Trio in G Minor (1855) milik Bedrich Smetana. Komposisi dari "Father of Czech Music" ini diciptakan karena kesedihan Smetana ketika putri pertamanya meninggal dunia. Airin Efferin memberikan pengantar bahwa komposisi ini merupakan perpaduan antara kemuraman dan harapan. Terdiri dari tiga bagian. Lidya membuka bagian pertama dengan berani membawa nuansa grande ke permukaan. Di bagian awal, kemuraman yang terasa terasa menghentak dengan kekecewaan. Di pertengahan kemudian disajikan ruang tenang seorang ayah yang mengingat memori tentang anak gadisnya. Ritmis tak bertahan seterusnya, karena disusul oleh kesan lelah dengan melodi yang jarang. Setelah didominasi melodi rapat secara kontinyu, dinamika pun terus berada "di atas". Kemampuan Lidya ditunjukkan dengan memanfaatkan ruang pertunjukannya dengan baik. Bagian kedua masih sama, hingga audiens diantar pada bagian akhir. Bagaimana Airin mengisyaratkan klu pada kedua partner-nya terlihat menyenangkan. Komposisi yang cukup panjang berpotensi membuat audiens lelah, namun cukup banyak atraksi membuatnya menjadi menarik. Di bagian penghujung, emosi audiens dibawa naik terus hingga meninggalkan akhir yang membekas.
Selepas menjalani lawatan ke beberapa negara untuk mengasah kemampuan trio, Cascade semakin kian menjanjikan untuk musik klasik Indonesia.
Pertunjukan dibuka dengan penampilan dari Eliezer Selwin Horman yang menggaungkan Fragmen milik Jaya Suprana. Meski beberapa bagian masih lepas dan kurang hidup, namun Eliezer mampu merampungkannya dengan utuh.
Kemudian, Cascade Trio muncul untuk membawakan Piano Trio No.4 in E Minor Op. 90, B. 166 (Dumky Trio) milik Antonin Dvorak. Kekompakan mereka, kejutannya, terlihat menyenangkan. Lidya sebagai personil baru dengan cepat menyesuaikan dan mengisi ruang yang ditinggalkan Danny. Ade memberikan pengantar sebelum komposisi dimainkan. Bahwa Dumky bermakna sebuah gagasan atau perenungan. Komposisi yang dibagi menjadi enam bagian akan kental dengan melodi yang kontras. Cascade memilih membawakan bagian 1,2 3, dan 6 (Lento Maestoso E minor and Major, Poco Adagio, Andante, dan Lento Maestoso C Minor and Major). Dibuka dengan forte yang menggugah, di bagian awal, cello dan violin mendominasi. setelah melodi-melodi gelap yang menyayat, audiens dibawa ke nuansa ceria dalam sekejap, ditunjukkan dengan volume dan rhytm yang berubah drastis. Meski begitu, Cascade tak begitu saja mengabaikan notasi-notasi lembut, mereka tetap tajam dan detail. Menggambarkan karakter komposisi yang penuh perenungan, namun tetap sesekali ceria. Ade berhasil menghidupkan komposisi dengan impresif.
Dua bagian dari Andante Con Moto milik Franz Schubert dibawakan oleh Cascade kemudian. Diawali dengan ketenangan yang sederhana. Audiens dibawa pada pergantian mood yang ekstrim di sepanjang komposisi kemudian.

Setelah intermission, Seraphim Wind Quintet yang diisi oleh Edith Claudia Atmadja (flute), Ivan Namara (Oboe), Albert Nathanael (Clarinet 1), Kevin Georgius Atmadja (Clarinet 2), Cosmas Sebastian Atmadja (Bassoon) membawakan Three Short Pieces milik Jacques Ibert. Komposisi yang menyenangkan itu mengharuskan masing-masing instrumen sahut menyahut satu sama lain. Di bagian awal, quintet ini bisa lebih baik dalam hal keselarasan. Di bagian kedua, komposisi terdengar lebih tenang, sederhana, dan quintet lebih padu. Jika komposisi diakhiri dengan lebih percaya diri, akan mampu lebih meninggalkan impresi pada audiens.
Cascade kembali untuk komposisi terakhir : Trio in G Minor (1855) milik Bedrich Smetana. Komposisi dari "Father of Czech Music" ini diciptakan karena kesedihan Smetana ketika putri pertamanya meninggal dunia. Airin Efferin memberikan pengantar bahwa komposisi ini merupakan perpaduan antara kemuraman dan harapan. Terdiri dari tiga bagian. Lidya membuka bagian pertama dengan berani membawa nuansa grande ke permukaan. Di bagian awal, kemuraman yang terasa terasa menghentak dengan kekecewaan. Di pertengahan kemudian disajikan ruang tenang seorang ayah yang mengingat memori tentang anak gadisnya. Ritmis tak bertahan seterusnya, karena disusul oleh kesan lelah dengan melodi yang jarang. Setelah didominasi melodi rapat secara kontinyu, dinamika pun terus berada "di atas". Kemampuan Lidya ditunjukkan dengan memanfaatkan ruang pertunjukannya dengan baik. Bagian kedua masih sama, hingga audiens diantar pada bagian akhir. Bagaimana Airin mengisyaratkan klu pada kedua partner-nya terlihat menyenangkan. Komposisi yang cukup panjang berpotensi membuat audiens lelah, namun cukup banyak atraksi membuatnya menjadi menarik. Di bagian penghujung, emosi audiens dibawa naik terus hingga meninggalkan akhir yang membekas.
Selepas menjalani lawatan ke beberapa negara untuk mengasah kemampuan trio, Cascade semakin kian menjanjikan untuk musik klasik Indonesia.
Published on October 28, 2016 22:25
October 3, 2016
Menapak Musik dengan Usia : 59 Tahun Pertemuan Musik Surabaya
Usia yang panjang tidak membuat Pertemuan Musik Surabaya (PMS) berhenti mengenali diri. Di genap usia ke-59, PMS membagi kegembiraan dengan khalayak dengan mengadakan forum diskusi terkait refleksi di peringatan hari lahirnya. Diadakan di Surabaya dan Jakarta, Surabaya sebagai kota kelahirannya mendapat giliran pertama di tanggal 26 September 2016. Bertema "59 Tahun Pertemuan Musik : Mengulik Kepingan Sejarah Musik Indonesia", PMS ingin membawa semangat mengenal lebih dalam sejarah musik Indonesia pada generasi muda. Diikuti oleh sekitar dua puluh anak muda, diksusi berjalan santai, namun berbobot.
Erie Setiawan (Musikolog), Gema Swaratyagita (Musisi, Komposer), dan Musafir Isfanhari (Pengajar Musik, Musisi, Aktivis Musik) sebagai narasumber membagikan berbagai sudut pandang yang berbeda dengan Pertemuan Musik Surabaya sebagai benang merahnya.
Sebagai aktivis di Pertemuan Musik Surabaya dan Pertemuan Musik Jakarta, Gema Swaratyagita mendapat tongkat estafet Slamet Abdul Sjukur untuk melanjutkan keberlangsungan perkumpulan ini. Gema memberi materi singkat tentang sejarah berdirinya PMS di tahun 1957 hingga masa istirahatnya di tahun 1980an. Ditinggalkan selama 23 tahun, PMS masih mengibarkan slogannya "Kudjadikan Rakjatku Tjinta Musik" hingga saat ini. PMS terbentuk dengan diawali oleh Slamet Abdul Sjukur dan The Lan Ing sebagai sesama pianis yang baru saja lulus dari sekolah musik di Jogjakarta. Pertemuan itu menghasilkan inisiasi berupa ruang diskusi kecil yang dilakukan dari rumah ke rumah. Roeba'i yang bekerja di Surabaya Post turut berperan dalam menggaungkan kegiatan PMS. Di sela penjelasannya tentang sejarah PMS, Gema juga menunjukkan beberapa gambar dokumen lawas hitam-putih di mana berbagai aktivitas PMS di awal masa berdirinya dilakukan. Yang menarik, gambar-gambar itu diambil dari satu-satunya dokumen cetak yang diwariskan Slamet terkait PMS. Di dalamnya tercantum sedikit-banyak tentang bagaimana PMS berdiri, bahkan juga akhirnya terbentuklah LMI (Lembaga Musik Indonesia) sebagai lembaga pecahan PMS yang bergerak di bidang pendidikan musik.
Musafir Isfanhari, yang akrab dipanggil Pak Is, selaku aktivis musik senior di Surabaya menjelaskan tentang kondisi permusikan di Surabaya era tahun 50an, masa ketika PMS sedang memulai aktivitas awalnya. Beliau menyebutkan bahwa saat itu, bahkan mungkin hingga saat ini, musik klasik menjadi suatu hal yang eksklusif. Pak Is banyak menyorot tentang kondisi permusikan Surabaya di tahun 1950an, di mana musik Keroncong, dan Dangdut mendominasi di masyarakat. Sempat menjadi pengisi acara PMS di tahun 70an, Pak Is juga mengingat tentang LMI yang saat itu diakuinya sebagai tonggak sejarah pendidikan musik di Surabaya. Bahkan kurikulum susunan pengurus LMI masih digunakan hingga saat ini oleh Dinas Pendidikan Surabaya.
Sudut pandang yang dipilih Erie Setiawan berbeda. Ia mengupas identitas PMS sebagai sebuah organisasi. Bahwa PMS merupakan salah satu perkumpulan musik yang berdiri di masa pasca kolonial, yang berhasil meningkatkan derajat musik ke ranah ilmu pengetahuan dan spiritualitas individu dalam pemaknaan tentang musik, melalui acara-acara yang PMS adakan. Di akhir, Erie bahkan memberikan beberapa pertanyaan reflektif tentang seberapa krusial organisasi ini berdiri, dan kemanfaatannya bagi masyarakat hingga saat ini.
Seiring dengan usianya yang menjelang 60 tahun, PMS berencana mengadakan pembaruan kembali terhadap kelembagaan dan struktur kepengurusan secara hukum, dan menata kembali program kerja. Kiranya PMS bukan hanya sekadar warisan perkumpulan, namun juga merupakan semangat belajar dan berkarya dengan musik yang tak henti diwariskan lintas generasi.

Erie Setiawan (Musikolog), Gema Swaratyagita (Musisi, Komposer), dan Musafir Isfanhari (Pengajar Musik, Musisi, Aktivis Musik) sebagai narasumber membagikan berbagai sudut pandang yang berbeda dengan Pertemuan Musik Surabaya sebagai benang merahnya.
Sebagai aktivis di Pertemuan Musik Surabaya dan Pertemuan Musik Jakarta, Gema Swaratyagita mendapat tongkat estafet Slamet Abdul Sjukur untuk melanjutkan keberlangsungan perkumpulan ini. Gema memberi materi singkat tentang sejarah berdirinya PMS di tahun 1957 hingga masa istirahatnya di tahun 1980an. Ditinggalkan selama 23 tahun, PMS masih mengibarkan slogannya "Kudjadikan Rakjatku Tjinta Musik" hingga saat ini. PMS terbentuk dengan diawali oleh Slamet Abdul Sjukur dan The Lan Ing sebagai sesama pianis yang baru saja lulus dari sekolah musik di Jogjakarta. Pertemuan itu menghasilkan inisiasi berupa ruang diskusi kecil yang dilakukan dari rumah ke rumah. Roeba'i yang bekerja di Surabaya Post turut berperan dalam menggaungkan kegiatan PMS. Di sela penjelasannya tentang sejarah PMS, Gema juga menunjukkan beberapa gambar dokumen lawas hitam-putih di mana berbagai aktivitas PMS di awal masa berdirinya dilakukan. Yang menarik, gambar-gambar itu diambil dari satu-satunya dokumen cetak yang diwariskan Slamet terkait PMS. Di dalamnya tercantum sedikit-banyak tentang bagaimana PMS berdiri, bahkan juga akhirnya terbentuklah LMI (Lembaga Musik Indonesia) sebagai lembaga pecahan PMS yang bergerak di bidang pendidikan musik.
Musafir Isfanhari, yang akrab dipanggil Pak Is, selaku aktivis musik senior di Surabaya menjelaskan tentang kondisi permusikan di Surabaya era tahun 50an, masa ketika PMS sedang memulai aktivitas awalnya. Beliau menyebutkan bahwa saat itu, bahkan mungkin hingga saat ini, musik klasik menjadi suatu hal yang eksklusif. Pak Is banyak menyorot tentang kondisi permusikan Surabaya di tahun 1950an, di mana musik Keroncong, dan Dangdut mendominasi di masyarakat. Sempat menjadi pengisi acara PMS di tahun 70an, Pak Is juga mengingat tentang LMI yang saat itu diakuinya sebagai tonggak sejarah pendidikan musik di Surabaya. Bahkan kurikulum susunan pengurus LMI masih digunakan hingga saat ini oleh Dinas Pendidikan Surabaya.
Sudut pandang yang dipilih Erie Setiawan berbeda. Ia mengupas identitas PMS sebagai sebuah organisasi. Bahwa PMS merupakan salah satu perkumpulan musik yang berdiri di masa pasca kolonial, yang berhasil meningkatkan derajat musik ke ranah ilmu pengetahuan dan spiritualitas individu dalam pemaknaan tentang musik, melalui acara-acara yang PMS adakan. Di akhir, Erie bahkan memberikan beberapa pertanyaan reflektif tentang seberapa krusial organisasi ini berdiri, dan kemanfaatannya bagi masyarakat hingga saat ini.
Seiring dengan usianya yang menjelang 60 tahun, PMS berencana mengadakan pembaruan kembali terhadap kelembagaan dan struktur kepengurusan secara hukum, dan menata kembali program kerja. Kiranya PMS bukan hanya sekadar warisan perkumpulan, namun juga merupakan semangat belajar dan berkarya dengan musik yang tak henti diwariskan lintas generasi.
Published on October 03, 2016 00:56
July 24, 2016
Digital Literacy, Perlukah? : Ngobrol Bareng Hestia
Saya selalu menikmati waktu-waktu mengobrol dengan Hestia Istiviani. Pustakawan cemerlang lulusan jurusan Ilmu Informasi dan Perpustakaan UNAIR ini selalu punya bahan menarik untuk didiskusikan di sela tema obrolan ringan. Beberapa waktu lalu, Hesti mesti berhijrah ke Bekasi karena terpilih untuk mendapat kesempatan magang di Rumah Perubahan Rhenald Kasali. Karena kesempatan mengobrol panjang lebar kami semakin jarang, kami berbincang melalui ruang obrolan digital. Suatu kali, terselip istilah "Digital Literacy" . Tertarik mengetahui lebih dalam tentang Digital Literacy, saya mengirimi Hesti beberapa pertanyaan, dan ia menjawab dengan sederhana dan gamblang. Saya sengaja mencantumkan "sesi ngobrol" ini di halaman blog. Anggap saja ini perbincangan kami di sebuah sore, sembari mempersilakan Anda untuk bergabung mendengar, jika tertarik. Selamat menyimak!
Nabila (N) : Sejauh mana Digital Literacy dapat diartikan?
Hestia (H) : Digital Literacy sebenarnya kalau dihubungkan dengan apa yang menjadi konsumsi masyarakat saat ini, yakni informasi, merupakan suatu kemampuan yang sudah harus dimiliki. Baik itu untuk para orangtua, pendidik, hingga bisa jadi mereka yang ada di kursi pengambil kebijakan. Mengapa? Karena yang seperti mereka itulah yang disebut sebagai digital immigrant, mereka yang masih perlu belajar cara menggunakan alat-alat berbasis teknologi informasi untuk mengakses informasi dan berkomunikasi. Berbeda dengan generasi Digital Native atau yang kini akrab disebut sebagai Millennials. Mereka adalah generasi yang sudah terbiasa dengan peralatan elektronik untuk mendapatkan akses informasi dan melakukan kegiatan berkomunikasi.
Secara mudahnya, Digital Literacy bisa saja diartikan sebagai kemampuan untuk membaca informasi yang berada dalam media digital seperti apa yang ada di situs web, televisi, pokoknya media selain kertas. Kalau sebelumnya “literasi” diartikan secara sempit sebagai kemampuan seseorang untuk membaca dan menulis aksara. Lebih luasnya bisa dimaknai sebagai kemampuan untuk tidak sekedar membaca dan menulis, tetapi mampu memilah mana informasi yang memang layak dikonsumsi/diyakini serta mengungkapkan pendapat/opini/informasi yang memang berdasarkan fakta.
Bagaimana kalau dihubungkan dengan kata “digital” sehingga menjadi kata “Digital Literacy”? Ya berarti kemampuan yang sudah disebutkan di atas tadi digunakan untuk memahami informasi yang berada pada media digital. Paling mudah ya mengerti mana informasi di Facebook atau media sosial lainnya yang bisa dikonsumsi dan apabila ingin membagikan ulang (share), informasi tersebut sudah terbukti benar berdasarkan fakta/penelitian alias bukan lagi hoax.
Kemampuan tersebut yang masih kurang dimiliki oleh sebagian besar orang Indonesia, terutama yang berada di perkotaan, yang sudah terbiasa menggunakan ponsel untuk apapun.
N : Seberapa penting Digital Literacy di saat ini dan masa depan? Apa dampak positif dan negatifnya?
H : Penting sekali. Bayangkan saja, semua informasi sekarang sudah daoat beredar dalam hitungan detik. Namun, apabila seseorang bisa mudah percaya dengan apa yang cepat itu, tanpa memiliki kemampuan literasi yang baik, tentu akan mempengaruhi pribadinya. Bisa-bisa ia menjadi mudah termakan isu, mudah dihasut, dan kemungkinan buruk lainnya (tindak kriminal).
Apalagi di masa depan ketika semuanya sudah serba digital, serba cepat, dan serba canggih. Kalau tidak bisa mengimbangi dengan kemampuan literasi digital, manusia pun akan semakin tertinggal, akan menjadi korban dari kemajuan teknologi tersebut. Bukanya malah memanfaatkan kecepatan akses informasi untuk mendapatkan informasi yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan. Bagi mereka yang sudah tahu dan mengerti tentang kemampuan literasi digital, nantinya orang tersebut tidak akan tersesat di hutan informasi atau derasnya arus informasi. Ia juga tidak akan mudah dipancing emosinya untuk melakukan hal-hal tertentu yang tidak sesuai dengan nilai dan moral kemanusiaan.
N : Tahap apa saja yang perlu dilakukan untuk memasyarakatkan Digital Literacy?
H : Secara teori akan menjadi suatu tindakan yang tidak sulit. Namun, kalau secara praktik, seseorang yang memasyarakatkan kemampuan literasi digital pasti akan menemukan halangan. Yang paling mudah dicontohkan adalah adanya perlawanan dari masyarakat.
Berbicara soal masyarakat, kita juga harus ingat kalau mereka yang berada pada ekonomi bawah pun juga bisa mengakses informasi dari ponsel. Tidak hanya mereka yang berada di kelas menengah. Bagaimana dengan mereka yang ada di kelas atas? Kelas atas mari kita asumsikan kalau mereka punya dana yang cukup untuk bersekolah hingga jenjang paling atas di institusi pendidikan terbaik sekalipun sehingga kemampuan literasi digitalnya sudah terbentuk (meksipun belum terbukti secara benar, tapi mari kita anggap seperti itu dulu).
Maka, jadilah masyarakat yang perlu disasar adalah mereka yang ekonomi bawah dengan mereka yang ekonomi menengah.
Tantangan untuk mensosialisasikan kepada masyarakat ekonomi bawah adalah masalah pembahasaan. Sebagaimana seperti yang kita semua ketahui, tidak peduli apa latar belakang pendidikan kita, berbicara kepada mereka supaya mereka memahami apa yang kita ajarkan dibutuhkan penyederhanaan kata-kata. Alias menggunakan kata-kata yang mereka sering dengar. Mengapa? Supaya mereka merasa bahwa materi tentang kemampuan literasi digital tersebut ternyata harus mereka miliki. Kedua, supaya hubungan kita sebagai pemateri atau yang memberikan sosialisasi kepada mereka tumbuh tidak hanya karena kebutuhan dan kepentingan sosialisasi saja, melainkan akan menjadi hubungan yang organik dan horizontal sehingga nantinya ketika mereka menemukan kesulitan untuk memilah informasi mana yang hendak mereka konsumsi, mereka tetap bisa berkonsultasi tanpa rasa dipaksa kepada kita.
Sedangkan untuk mensosialisasikan kepada mereka yang berada pada ekonomi menengah adalah masih banyak sekali yang merasa kalau kemampuan tersebut tidak perlu mereka miliki. Penyebabnya bisa karena mereka menganggap bahwa bekal pendidikan yang mereka miliki sudah dapat mengakomodir hal itu. Tapi juga bisa karena mereka merasa sudah tahu apa yang seharusnya dilakukan padahal tindakannya di dunia maya atau di media sosial malah mencerminkan sebaliknya (seperti menyebarluaskan hate speech). Wajar saja, mereka adalah kaum yang bisa membeli media digital seperti ponsel dan tablet dan merasa mereka tahu semuanya.
Memberikan materi kepada kelas menengah memiliki tantangan untuk ditolak karena materi tentang kemampuan literasi digital dianggap tidak penting dan hanya membuang-buang waktunya saja. Pada fenomena Orang Kaya Baru misalkan, seseorang bisa menganggap dirinya sudah di atas dan tidak perlu nasehat orang lain. Tipe-tipe yang seperti itu yang menjadi hambatan. Sedih, karena para orangtua yang belum tahu tentang pentingnya kemampuan literasi digital malah memberikan gadget kepada anak-anaknya sebagai “dot” supaya mereka tenang dan tidak mengganggu waktu bekerja/tidur/istirahat mereka.
N : Siapa saja yang perlu berperan? Apa peran masing-masing secara garis besar?
H : Pendidikan mengenai kemampuan literasi digital hendaknya sudah dikenalkan sejak kecil oleh para orangtua. Minimal, dengan tidak memberikan akses kepada internet dan gadget secara sembarangan tanpa aturan kepada anak. Lebih baik, anak dikenalkan dengan bacaan-bacaan berupa buku atau koran. Memang, mereka belum bisa membaca, tetapi menumbuhkan kecintaan terhadap media cetak dimunculkan dari situ, dari mereka bisa meraba, menyentuh media tersebut akan mendorong mereka untuk belajar membaca secara sendirinya.
Guru, tentu saja, karena pada masa anak-anak, mereka menghabiskan waktu di rumah dan di sekolah. Boleh saja jika guru mengajarkan bagaimana cara mencari informasi menggunakan akses internet, tetapi tidak ditinggalkan begitu saja untuk mencari sendiri. Guru, dibantu dengan pustakawan, bisa bekerja sama untuk memberikan advokasi bagaimana caranya mendeteksi mana sumber informasi yang valid, yang bisa mereka gunakan, dan mana yang tidak. Namun, tetap saja harus diimbangi dengan media cetak lain seperti buku ensiklopedia. Memberikan pemahaman kalau internet lebih cepat ketimbang buku bukan menjadi masalah, tetapi ingat, terus diberi pengertian.
Kalau penguatan kemampuan literasi digital sudah terbentuk di keluarga dan di sekolah, individu pun tidak akan mudah dihasut dan termakan oleh informasi yang dia baca tanpa adanya pengecekan ulang atau pencarian mengenai informasi tersebut secara mendalam.
N : Korelasi critical thinking dan digital literacy?
H : Mereka yang sudah punya fondasi kemampuan literasi digital, seperti yang sudah disebutkan, tidak akan mudah percaya dengan informasi yang mereka terima saat itu juga. Boleh sekali arus informasi mengalir dengan derasnya, tetapi mereka akan mencari lagi lebih dalam. Apa benar informasi yang mereka terima begitu adanya. Ataukah jangan-jangan informasi tersebut dibuat oleh kelompok tertentu untuk menyulut pertikaian.
Ketika ternyata informasi tersebut tidak layak dikonsumsi, apalagi disebarluaskan, pasti mereka akan mengabaikanya.
Ketika informasi tersebut bisa dikonsumsi, mereka juga tidak akan secara spontan menyebarluaskan. Mereka akan mengendapkan dulu, membekali dirinya dengan cukup informasi sebagai persiapan kalau-kalau ada yang mengajukan pertanyaan kepada mereka terkait informasi tersebut. Mereka juga tidak akan menyebarluaskan dan memberikan pendapat jika diri mereka merasa cakupan pengetahuan yang ada hubungannya dengan informasi tersebut masih belum cukup.
Mereka yang memiliki kemampuan literasi digital yang baik tidak akan sembarangan mengkonsumsi, menyebarluaskan, dan berpendapat tentang informasi tersebut. Malah sebaliknya, mereka akan terus mencari hingga menemukan sumber informasi yang memang bisa dipertanggungjawabkan.
N : Seberapa penting pendidikan mengambil tempat dalam pembentukan pondasi Digital Literacy?
H : Penting. Sudah disebutkan pula bahwa generasi Millennials sekarang perlu sekali diberi pendidikan literasi. Maka dari itu, dibutuhkan pula peran guru plus pustawakan untuk mensosialisasikan kepada mereka.
Apakah orangtua juga perlu diberikan materi tersebut? Perlu, melalui mendidik si anak tersebut. Ada pepatah yang mengatakan kalau system pendidikan yang baik bukannya mendidik anak, melainkan akan mendidik anak sekaligus orangtua.
Sekolah pun perlu membina hubungan yang intensif dengan para orangtua, sesederhana mengkomunikasikan apa yang sudah sekolah lakukan agar di lingkungan keluarga, ajaran atau tata nilai tersebut tidak luntur.
N : Pendekatan apa yang mestinya dilakukan semua pihak untuk mendukung efektifnya Digital Literacy?
H : Pendekatan secara horizontal. Saya pribadi banyak belajar dari PAUD-TK Kutilang yang berlokasi di Pondok Jatimurni, Bekasi. Guru-guru yang ada di sana tidak menggunakan kata sebutan “anak-anak” kepada para siswa. Melainkan menggunakan “teman-teman” untuk menciptakan hubungan yang horizontal antara siswa dengan guru sehingga mereka merasa kalau mereka tetap diapresiasi sebagai manusia. Pihak sekolah pun juga melakukan pendekatan secara horizontal kepada para orangtua. Baik orangtua maupun pihak sekolah berusaha untuk saling memahami, untuk saling membantu dan menyelesaikan masalah. Jadilah, orangtua tidak menyepelekan sekolah dan sekolah juga tidak menyepelekan orangtua.
Andai saja semua system pendidikan di Indonesia bisa seperti itu, pendekatan untuk melakukan sosialisasi terhadap literasi digital tentu bisa berlangsung massif.
Bagaimana Literasi Digital telah dilaksanakan di negara lain? Apa yang bisa kita pelajari dari mereka?
Saya paling banyak membaca portal berita mengenai dunia perpustakaan yang ada di Amerika Serikat. Seringkali saya menemukan kalau pustakawan di sana memang benar merupakan seorang pustakawan. Bukan mereka yang dibuang oleh instansinya, juga bukan mereka yang merasa terpaksa menjadi pustakawan. Melainkan mereka yang berangkat dari hati untuk melayani dan membimbing manusia supaya tidak hilang dimakan arus informasi.
Pustakawan di Amerika Serikat dari sejauh yang saya baca, sangat membantu para penggunanya untuk mencari sumber informasi yang benar-benar valid, entah itu untuk konsumsi pribadinya atau untuk tugas sekolah. Pustakawannya sangat berdedikasi. Tidak sekedar mengatakan buku ini ada di rak sebelah mana. Melainkan juga membangun komunikasi dan interaksi yang membuat pengguna perpustakaannya merasa nyaman sekaligus tidak merasa digurui. Para pustakawan tersebut membangun hubungan rekan diskusi dengan para penggunanya.
Aktivasi pustakawan secara total seperti yang ada di Amerika Serikat bisa kita contoh. Pustakawan tidak hanya sebagai penjaga buku. Pustakawan bukan sebagai pilihan pekerjaan paling akhir.
N : Apa sesungguhnya dampak yang diharapkan dari kemampuan Digital Literacy yang baik?
H : Tentu saja, masyarakat yang tidak mudah diadu domba oleh kelompok tertentu yang ingin negara ini terpecah belah. Kriminalitas bisa ditekan, dan hal-hal negatif lainnya dapat turun drastic.
Masyarakat dengan kemampuan literasi digital yang baik malah akan cepat berkembang dan maju pesat karena mereka merasa harus melakukan sesuatu, seperti riset atau membuat temuan. Mereka tidak akan mudah goyah hanya dengan pemberitaan remah-remah.
N : Sebagai seorang pustakawan muda, peran apa yang bisa dilakukan pustakawan dalam memasyarakatkan Digital literacy?
H : Jadilah pustakawan yang terbuka dengan beragam pendapat pengguna, jadi teman diskusi pengguna, jadi orang yang tidak malu untuk terus belajar. Dengan menjadi dekat dengan pengguna, pustakawan bisa memberikan banyak saran dan sosialisasi mengenai kemampuan literasi digital secara lebih mudah. Minimal, pengguna mau menerimanya. Butuh waktu memang, tetapi kalau bisa membayangkan apa yang terjadi jika sebagian besar masyarakat Indonesia melek akan informasi di media digital, bukankah kita juga yang akan senang?
Nabila (N) : Sejauh mana Digital Literacy dapat diartikan?
Hestia (H) : Digital Literacy sebenarnya kalau dihubungkan dengan apa yang menjadi konsumsi masyarakat saat ini, yakni informasi, merupakan suatu kemampuan yang sudah harus dimiliki. Baik itu untuk para orangtua, pendidik, hingga bisa jadi mereka yang ada di kursi pengambil kebijakan. Mengapa? Karena yang seperti mereka itulah yang disebut sebagai digital immigrant, mereka yang masih perlu belajar cara menggunakan alat-alat berbasis teknologi informasi untuk mengakses informasi dan berkomunikasi. Berbeda dengan generasi Digital Native atau yang kini akrab disebut sebagai Millennials. Mereka adalah generasi yang sudah terbiasa dengan peralatan elektronik untuk mendapatkan akses informasi dan melakukan kegiatan berkomunikasi.
Secara mudahnya, Digital Literacy bisa saja diartikan sebagai kemampuan untuk membaca informasi yang berada dalam media digital seperti apa yang ada di situs web, televisi, pokoknya media selain kertas. Kalau sebelumnya “literasi” diartikan secara sempit sebagai kemampuan seseorang untuk membaca dan menulis aksara. Lebih luasnya bisa dimaknai sebagai kemampuan untuk tidak sekedar membaca dan menulis, tetapi mampu memilah mana informasi yang memang layak dikonsumsi/diyakini serta mengungkapkan pendapat/opini/informasi yang memang berdasarkan fakta.
Bagaimana kalau dihubungkan dengan kata “digital” sehingga menjadi kata “Digital Literacy”? Ya berarti kemampuan yang sudah disebutkan di atas tadi digunakan untuk memahami informasi yang berada pada media digital. Paling mudah ya mengerti mana informasi di Facebook atau media sosial lainnya yang bisa dikonsumsi dan apabila ingin membagikan ulang (share), informasi tersebut sudah terbukti benar berdasarkan fakta/penelitian alias bukan lagi hoax.
Kemampuan tersebut yang masih kurang dimiliki oleh sebagian besar orang Indonesia, terutama yang berada di perkotaan, yang sudah terbiasa menggunakan ponsel untuk apapun.
N : Seberapa penting Digital Literacy di saat ini dan masa depan? Apa dampak positif dan negatifnya?
H : Penting sekali. Bayangkan saja, semua informasi sekarang sudah daoat beredar dalam hitungan detik. Namun, apabila seseorang bisa mudah percaya dengan apa yang cepat itu, tanpa memiliki kemampuan literasi yang baik, tentu akan mempengaruhi pribadinya. Bisa-bisa ia menjadi mudah termakan isu, mudah dihasut, dan kemungkinan buruk lainnya (tindak kriminal).
Apalagi di masa depan ketika semuanya sudah serba digital, serba cepat, dan serba canggih. Kalau tidak bisa mengimbangi dengan kemampuan literasi digital, manusia pun akan semakin tertinggal, akan menjadi korban dari kemajuan teknologi tersebut. Bukanya malah memanfaatkan kecepatan akses informasi untuk mendapatkan informasi yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan. Bagi mereka yang sudah tahu dan mengerti tentang kemampuan literasi digital, nantinya orang tersebut tidak akan tersesat di hutan informasi atau derasnya arus informasi. Ia juga tidak akan mudah dipancing emosinya untuk melakukan hal-hal tertentu yang tidak sesuai dengan nilai dan moral kemanusiaan.
N : Tahap apa saja yang perlu dilakukan untuk memasyarakatkan Digital Literacy?
H : Secara teori akan menjadi suatu tindakan yang tidak sulit. Namun, kalau secara praktik, seseorang yang memasyarakatkan kemampuan literasi digital pasti akan menemukan halangan. Yang paling mudah dicontohkan adalah adanya perlawanan dari masyarakat.
Berbicara soal masyarakat, kita juga harus ingat kalau mereka yang berada pada ekonomi bawah pun juga bisa mengakses informasi dari ponsel. Tidak hanya mereka yang berada di kelas menengah. Bagaimana dengan mereka yang ada di kelas atas? Kelas atas mari kita asumsikan kalau mereka punya dana yang cukup untuk bersekolah hingga jenjang paling atas di institusi pendidikan terbaik sekalipun sehingga kemampuan literasi digitalnya sudah terbentuk (meksipun belum terbukti secara benar, tapi mari kita anggap seperti itu dulu).
Maka, jadilah masyarakat yang perlu disasar adalah mereka yang ekonomi bawah dengan mereka yang ekonomi menengah.
Tantangan untuk mensosialisasikan kepada masyarakat ekonomi bawah adalah masalah pembahasaan. Sebagaimana seperti yang kita semua ketahui, tidak peduli apa latar belakang pendidikan kita, berbicara kepada mereka supaya mereka memahami apa yang kita ajarkan dibutuhkan penyederhanaan kata-kata. Alias menggunakan kata-kata yang mereka sering dengar. Mengapa? Supaya mereka merasa bahwa materi tentang kemampuan literasi digital tersebut ternyata harus mereka miliki. Kedua, supaya hubungan kita sebagai pemateri atau yang memberikan sosialisasi kepada mereka tumbuh tidak hanya karena kebutuhan dan kepentingan sosialisasi saja, melainkan akan menjadi hubungan yang organik dan horizontal sehingga nantinya ketika mereka menemukan kesulitan untuk memilah informasi mana yang hendak mereka konsumsi, mereka tetap bisa berkonsultasi tanpa rasa dipaksa kepada kita.
Sedangkan untuk mensosialisasikan kepada mereka yang berada pada ekonomi menengah adalah masih banyak sekali yang merasa kalau kemampuan tersebut tidak perlu mereka miliki. Penyebabnya bisa karena mereka menganggap bahwa bekal pendidikan yang mereka miliki sudah dapat mengakomodir hal itu. Tapi juga bisa karena mereka merasa sudah tahu apa yang seharusnya dilakukan padahal tindakannya di dunia maya atau di media sosial malah mencerminkan sebaliknya (seperti menyebarluaskan hate speech). Wajar saja, mereka adalah kaum yang bisa membeli media digital seperti ponsel dan tablet dan merasa mereka tahu semuanya.
Memberikan materi kepada kelas menengah memiliki tantangan untuk ditolak karena materi tentang kemampuan literasi digital dianggap tidak penting dan hanya membuang-buang waktunya saja. Pada fenomena Orang Kaya Baru misalkan, seseorang bisa menganggap dirinya sudah di atas dan tidak perlu nasehat orang lain. Tipe-tipe yang seperti itu yang menjadi hambatan. Sedih, karena para orangtua yang belum tahu tentang pentingnya kemampuan literasi digital malah memberikan gadget kepada anak-anaknya sebagai “dot” supaya mereka tenang dan tidak mengganggu waktu bekerja/tidur/istirahat mereka.
N : Siapa saja yang perlu berperan? Apa peran masing-masing secara garis besar?
H : Pendidikan mengenai kemampuan literasi digital hendaknya sudah dikenalkan sejak kecil oleh para orangtua. Minimal, dengan tidak memberikan akses kepada internet dan gadget secara sembarangan tanpa aturan kepada anak. Lebih baik, anak dikenalkan dengan bacaan-bacaan berupa buku atau koran. Memang, mereka belum bisa membaca, tetapi menumbuhkan kecintaan terhadap media cetak dimunculkan dari situ, dari mereka bisa meraba, menyentuh media tersebut akan mendorong mereka untuk belajar membaca secara sendirinya.
Guru, tentu saja, karena pada masa anak-anak, mereka menghabiskan waktu di rumah dan di sekolah. Boleh saja jika guru mengajarkan bagaimana cara mencari informasi menggunakan akses internet, tetapi tidak ditinggalkan begitu saja untuk mencari sendiri. Guru, dibantu dengan pustakawan, bisa bekerja sama untuk memberikan advokasi bagaimana caranya mendeteksi mana sumber informasi yang valid, yang bisa mereka gunakan, dan mana yang tidak. Namun, tetap saja harus diimbangi dengan media cetak lain seperti buku ensiklopedia. Memberikan pemahaman kalau internet lebih cepat ketimbang buku bukan menjadi masalah, tetapi ingat, terus diberi pengertian.
Kalau penguatan kemampuan literasi digital sudah terbentuk di keluarga dan di sekolah, individu pun tidak akan mudah dihasut dan termakan oleh informasi yang dia baca tanpa adanya pengecekan ulang atau pencarian mengenai informasi tersebut secara mendalam.
N : Korelasi critical thinking dan digital literacy?
H : Mereka yang sudah punya fondasi kemampuan literasi digital, seperti yang sudah disebutkan, tidak akan mudah percaya dengan informasi yang mereka terima saat itu juga. Boleh sekali arus informasi mengalir dengan derasnya, tetapi mereka akan mencari lagi lebih dalam. Apa benar informasi yang mereka terima begitu adanya. Ataukah jangan-jangan informasi tersebut dibuat oleh kelompok tertentu untuk menyulut pertikaian.
Ketika ternyata informasi tersebut tidak layak dikonsumsi, apalagi disebarluaskan, pasti mereka akan mengabaikanya.
Ketika informasi tersebut bisa dikonsumsi, mereka juga tidak akan secara spontan menyebarluaskan. Mereka akan mengendapkan dulu, membekali dirinya dengan cukup informasi sebagai persiapan kalau-kalau ada yang mengajukan pertanyaan kepada mereka terkait informasi tersebut. Mereka juga tidak akan menyebarluaskan dan memberikan pendapat jika diri mereka merasa cakupan pengetahuan yang ada hubungannya dengan informasi tersebut masih belum cukup.
Mereka yang memiliki kemampuan literasi digital yang baik tidak akan sembarangan mengkonsumsi, menyebarluaskan, dan berpendapat tentang informasi tersebut. Malah sebaliknya, mereka akan terus mencari hingga menemukan sumber informasi yang memang bisa dipertanggungjawabkan.
N : Seberapa penting pendidikan mengambil tempat dalam pembentukan pondasi Digital Literacy?
H : Penting. Sudah disebutkan pula bahwa generasi Millennials sekarang perlu sekali diberi pendidikan literasi. Maka dari itu, dibutuhkan pula peran guru plus pustawakan untuk mensosialisasikan kepada mereka.
Apakah orangtua juga perlu diberikan materi tersebut? Perlu, melalui mendidik si anak tersebut. Ada pepatah yang mengatakan kalau system pendidikan yang baik bukannya mendidik anak, melainkan akan mendidik anak sekaligus orangtua.
Sekolah pun perlu membina hubungan yang intensif dengan para orangtua, sesederhana mengkomunikasikan apa yang sudah sekolah lakukan agar di lingkungan keluarga, ajaran atau tata nilai tersebut tidak luntur.
N : Pendekatan apa yang mestinya dilakukan semua pihak untuk mendukung efektifnya Digital Literacy?
H : Pendekatan secara horizontal. Saya pribadi banyak belajar dari PAUD-TK Kutilang yang berlokasi di Pondok Jatimurni, Bekasi. Guru-guru yang ada di sana tidak menggunakan kata sebutan “anak-anak” kepada para siswa. Melainkan menggunakan “teman-teman” untuk menciptakan hubungan yang horizontal antara siswa dengan guru sehingga mereka merasa kalau mereka tetap diapresiasi sebagai manusia. Pihak sekolah pun juga melakukan pendekatan secara horizontal kepada para orangtua. Baik orangtua maupun pihak sekolah berusaha untuk saling memahami, untuk saling membantu dan menyelesaikan masalah. Jadilah, orangtua tidak menyepelekan sekolah dan sekolah juga tidak menyepelekan orangtua.
Andai saja semua system pendidikan di Indonesia bisa seperti itu, pendekatan untuk melakukan sosialisasi terhadap literasi digital tentu bisa berlangsung massif.
Bagaimana Literasi Digital telah dilaksanakan di negara lain? Apa yang bisa kita pelajari dari mereka?
Saya paling banyak membaca portal berita mengenai dunia perpustakaan yang ada di Amerika Serikat. Seringkali saya menemukan kalau pustakawan di sana memang benar merupakan seorang pustakawan. Bukan mereka yang dibuang oleh instansinya, juga bukan mereka yang merasa terpaksa menjadi pustakawan. Melainkan mereka yang berangkat dari hati untuk melayani dan membimbing manusia supaya tidak hilang dimakan arus informasi.
Pustakawan di Amerika Serikat dari sejauh yang saya baca, sangat membantu para penggunanya untuk mencari sumber informasi yang benar-benar valid, entah itu untuk konsumsi pribadinya atau untuk tugas sekolah. Pustakawannya sangat berdedikasi. Tidak sekedar mengatakan buku ini ada di rak sebelah mana. Melainkan juga membangun komunikasi dan interaksi yang membuat pengguna perpustakaannya merasa nyaman sekaligus tidak merasa digurui. Para pustakawan tersebut membangun hubungan rekan diskusi dengan para penggunanya.
Aktivasi pustakawan secara total seperti yang ada di Amerika Serikat bisa kita contoh. Pustakawan tidak hanya sebagai penjaga buku. Pustakawan bukan sebagai pilihan pekerjaan paling akhir.
N : Apa sesungguhnya dampak yang diharapkan dari kemampuan Digital Literacy yang baik?
H : Tentu saja, masyarakat yang tidak mudah diadu domba oleh kelompok tertentu yang ingin negara ini terpecah belah. Kriminalitas bisa ditekan, dan hal-hal negatif lainnya dapat turun drastic.
Masyarakat dengan kemampuan literasi digital yang baik malah akan cepat berkembang dan maju pesat karena mereka merasa harus melakukan sesuatu, seperti riset atau membuat temuan. Mereka tidak akan mudah goyah hanya dengan pemberitaan remah-remah.
N : Sebagai seorang pustakawan muda, peran apa yang bisa dilakukan pustakawan dalam memasyarakatkan Digital literacy?
H : Jadilah pustakawan yang terbuka dengan beragam pendapat pengguna, jadi teman diskusi pengguna, jadi orang yang tidak malu untuk terus belajar. Dengan menjadi dekat dengan pengguna, pustakawan bisa memberikan banyak saran dan sosialisasi mengenai kemampuan literasi digital secara lebih mudah. Minimal, pengguna mau menerimanya. Butuh waktu memang, tetapi kalau bisa membayangkan apa yang terjadi jika sebagian besar masyarakat Indonesia melek akan informasi di media digital, bukankah kita juga yang akan senang?
Published on July 24, 2016 05:27
June 29, 2016
The Sweet Taste of Flute Recital : Flute dalam Lampu Sorot
Flute belum mendapat ruang sebesar Piano atau strings di dalam pertunjukan. Untuk itu lah, Satryo Budi Gunawan (Flute) dan Patrisna May Widuri (Piano) berkolaborasi dalam The Sweet Taste of Flute Recital di Melodia Hall Surabaya, 18 Juni 2016 lalu. Sebuah perayaan, dengan memberi ruang sebesar-besarnya pada Flute untuk berada di bawah lampu sorot utama. Satryo Budi dan Patrisna berada dalam satu naungan yang sama, Amadeus Orchestra. Satryo merupakan woodwind principal dan Patrisna mengepalai bagian Piano.
Dibuka dengan Siciliano dari Bach sebagai komposisi pertama, alunan Flute yang lembut dan nuansa Pastoral langsung menyergap audiens. Dinamika yang dibawakan Satryo pun terasa. Sedangkan Patrisna tampil dewasa dengan kontrol yang pas. Menjadikan Siciliano sebagai pembuka adalah keputusan yang tepat. Yang menarik, pertunjukan ini terkesan dekat dan tak terlalu formal karena Satryo banyak bermonolog, dengan memberikan sambutan, maupun pengantar setiap kali komposisi akan dimainkan.
Beethoven dihadirkan sebagai komposisi kedua dengan Allegro Vivace e Disinvolto. Komposisi yang sejatinya diciptakan untuk strings dan Piano ini diaransemen ulang untuk Piano dan Flute tanpa mengurangi orisinalitasnya. Not-not yang rapat membuatnya tak semulus komposisi pertama. Phrasing pun agak longgar di bagian yang ber-staccato. Ialah Scherzo milik Eugene Walckiers, yang dipilih sebagai karya ketiga di pertunjukan ini. Walckiers, karya dari komposer dan flutist Prancis ini terkesan layaknya tarian dengan banyaknya not-not trio yang dimainkan.
Seakan semakin lama semakin rumit, audiens dibawa pada Nocturne karya Lili Boulanger kemudian. Komposisi kali ini memang terkesan "gelap". Sicilienne - Faure sebagai komposisi keempat seakan mengulang nuansa serupa dengan Siciliano di awal. Satryo apik ketika mencapai puncak dinamika.
Aria milik Albert Roussel menjadi komposisi keenam yang dimainkan. Menuntut kekompakan duo Piano dan Flute, koneksi Satryo dan Patrisna mampu kembali diasah, terutama di bagian timing. Canzone miliki Samuel Barber menjadi komposisi pilihan berikutnya.
Setelah break singkat, pertunjukan dimulai kembali dengan lebih cair dan menghibur. Telemann dibawakan oleh Jivanetra, sebuah komunitas pemain Flute pertama di Surabaya yang juga digawangi oleh Satryo. Tiga orang flutist bermain di atas panggung bersama Patrisna yang masih mengiringi dengan piano. Secara kekompakan, mereka cukup baik dan bermain bersih. Komposisi indah Berceuse milik Faure juga turut dibawakan sebagai komposisi berikutnya. Meski sejatinya diciptakan untuk Piano dan Harpa, Satryo dan Patrisna sangat baik membawakannya. Not-not sederhana yang ada tak membuat mereka terburu-buru menghabiskan lagu.
Berbagi tentang serba-serbi instrumen flute, Satryo mengatakan bahwa flute merupakan instrumen woodwind secara subjektif yang paling susah dimainkan di antara yang lain. Instrumen ini tak memiliki reed, sehingga produksi bunyi benar-benar bergantung pada mulut pemain yang berperan untuk menggantikan reed. Sedikit mengulik sejarah, Satryo juga membagi informasi bahwa pada zaman Barok dan Klasik, instrumen Flute hanya memiliki satu kunci. Di masa musik Prancis yang menuntut not-not "absurd" barulah instrumen mengalami modifikasi perkembangan menjadi kromatik.
Promenade "Le Tombeau de Poulenc" milik John McLeod yang tegas dan rapat. Part Piano Patrisna sangat baik, bersih dan penuh kontrol, sekaligus tak membuat bunyi Flute tenggelam. Komposisi kesepuluh kembali dihadirkan Faure dengan Fantasie Op 79. Sedangkan komposisi kesebelas Flute Concerto, datang dari komposer perempuan yang juga seorang flutist, Chaminade. Khas komposisi modern yang tak terikat tema, kedua komposisi berat ini juga menjadi tantangan tersendiri bagi Satryo. Meski sempat lepas di beberapa bagian, terutama di bagian solo, namun keberanian dan keyakinan kuat Satryo untuk memilih komposisi tersebut mesti diapresiasi hangat.
Setelah melampaui klimaks di komposisi sepuluh dan sebelas, Smoke Gets in your Eyes sebagai komposisi keduabelas lebih dingin. Karya modern ini juga dibawakan dengan ringan dan romantis. Menjelang akhir, sesuai dengan semangat yang dibawa Satryo untuk lebih mempopulerkan Flute, Halleluya dibawakan secara bersama-sama oleh sebelas flutist, yang sebagian besar perempuan. Pertunjukan ditutup dengan Cinta Sejati, OST Ainun Habibie yang juga dibawakan oleh quartet Amadeus di pertunjukan sebelumnya. Meski tak full team, kesempatan ini menjadi ajang pertunjukan bagi Amadeus Orchestra dalam satu panggung.
Dua belas komposisi jelas menuntut stamina dari pemain. Begitu singkatnya waktu persiapan menjadi tantangan tersendiri bagi Satryo Budi Gunawan dan Patrisna May, namun pertunjukan mampu dieksekusi dengan cukup baik. Semangat belajar, keterbukaan, penghargaan Satryo dan Patrisna terhadap proses, juga misinya untuk mengembangkan Flute di Surabaya patut diapresiasi sebagai ragam bentuk dedikasi terhadap dunia musik klasik.
Dibuka dengan Siciliano dari Bach sebagai komposisi pertama, alunan Flute yang lembut dan nuansa Pastoral langsung menyergap audiens. Dinamika yang dibawakan Satryo pun terasa. Sedangkan Patrisna tampil dewasa dengan kontrol yang pas. Menjadikan Siciliano sebagai pembuka adalah keputusan yang tepat. Yang menarik, pertunjukan ini terkesan dekat dan tak terlalu formal karena Satryo banyak bermonolog, dengan memberikan sambutan, maupun pengantar setiap kali komposisi akan dimainkan.
Beethoven dihadirkan sebagai komposisi kedua dengan Allegro Vivace e Disinvolto. Komposisi yang sejatinya diciptakan untuk strings dan Piano ini diaransemen ulang untuk Piano dan Flute tanpa mengurangi orisinalitasnya. Not-not yang rapat membuatnya tak semulus komposisi pertama. Phrasing pun agak longgar di bagian yang ber-staccato. Ialah Scherzo milik Eugene Walckiers, yang dipilih sebagai karya ketiga di pertunjukan ini. Walckiers, karya dari komposer dan flutist Prancis ini terkesan layaknya tarian dengan banyaknya not-not trio yang dimainkan.
Seakan semakin lama semakin rumit, audiens dibawa pada Nocturne karya Lili Boulanger kemudian. Komposisi kali ini memang terkesan "gelap". Sicilienne - Faure sebagai komposisi keempat seakan mengulang nuansa serupa dengan Siciliano di awal. Satryo apik ketika mencapai puncak dinamika.
Aria milik Albert Roussel menjadi komposisi keenam yang dimainkan. Menuntut kekompakan duo Piano dan Flute, koneksi Satryo dan Patrisna mampu kembali diasah, terutama di bagian timing. Canzone miliki Samuel Barber menjadi komposisi pilihan berikutnya.
Setelah break singkat, pertunjukan dimulai kembali dengan lebih cair dan menghibur. Telemann dibawakan oleh Jivanetra, sebuah komunitas pemain Flute pertama di Surabaya yang juga digawangi oleh Satryo. Tiga orang flutist bermain di atas panggung bersama Patrisna yang masih mengiringi dengan piano. Secara kekompakan, mereka cukup baik dan bermain bersih. Komposisi indah Berceuse milik Faure juga turut dibawakan sebagai komposisi berikutnya. Meski sejatinya diciptakan untuk Piano dan Harpa, Satryo dan Patrisna sangat baik membawakannya. Not-not sederhana yang ada tak membuat mereka terburu-buru menghabiskan lagu.
Berbagi tentang serba-serbi instrumen flute, Satryo mengatakan bahwa flute merupakan instrumen woodwind secara subjektif yang paling susah dimainkan di antara yang lain. Instrumen ini tak memiliki reed, sehingga produksi bunyi benar-benar bergantung pada mulut pemain yang berperan untuk menggantikan reed. Sedikit mengulik sejarah, Satryo juga membagi informasi bahwa pada zaman Barok dan Klasik, instrumen Flute hanya memiliki satu kunci. Di masa musik Prancis yang menuntut not-not "absurd" barulah instrumen mengalami modifikasi perkembangan menjadi kromatik.
Promenade "Le Tombeau de Poulenc" milik John McLeod yang tegas dan rapat. Part Piano Patrisna sangat baik, bersih dan penuh kontrol, sekaligus tak membuat bunyi Flute tenggelam. Komposisi kesepuluh kembali dihadirkan Faure dengan Fantasie Op 79. Sedangkan komposisi kesebelas Flute Concerto, datang dari komposer perempuan yang juga seorang flutist, Chaminade. Khas komposisi modern yang tak terikat tema, kedua komposisi berat ini juga menjadi tantangan tersendiri bagi Satryo. Meski sempat lepas di beberapa bagian, terutama di bagian solo, namun keberanian dan keyakinan kuat Satryo untuk memilih komposisi tersebut mesti diapresiasi hangat.
Setelah melampaui klimaks di komposisi sepuluh dan sebelas, Smoke Gets in your Eyes sebagai komposisi keduabelas lebih dingin. Karya modern ini juga dibawakan dengan ringan dan romantis. Menjelang akhir, sesuai dengan semangat yang dibawa Satryo untuk lebih mempopulerkan Flute, Halleluya dibawakan secara bersama-sama oleh sebelas flutist, yang sebagian besar perempuan. Pertunjukan ditutup dengan Cinta Sejati, OST Ainun Habibie yang juga dibawakan oleh quartet Amadeus di pertunjukan sebelumnya. Meski tak full team, kesempatan ini menjadi ajang pertunjukan bagi Amadeus Orchestra dalam satu panggung.
Dua belas komposisi jelas menuntut stamina dari pemain. Begitu singkatnya waktu persiapan menjadi tantangan tersendiri bagi Satryo Budi Gunawan dan Patrisna May, namun pertunjukan mampu dieksekusi dengan cukup baik. Semangat belajar, keterbukaan, penghargaan Satryo dan Patrisna terhadap proses, juga misinya untuk mengembangkan Flute di Surabaya patut diapresiasi sebagai ragam bentuk dedikasi terhadap dunia musik klasik.
Published on June 29, 2016 18:20
June 20, 2016
Catatan dari Berbuka : Taman Baca Kampung Pemulung
Jika hal terberat dari suatu pekerjaan adalah memulai, kiranya benar adanya.
Buka bersama tahun kedua kami bersama adik-adik di Taman Baca Kampung Pemulung Kalisari Damen Surabaya, syukurlah tidak seberat buka bersama tahun sebelumnya. Kendala utama di tahun 2015 adalah minimnya dana dan waktu persiapan yang sempit. Kali ini, kami mesti bersyukur dengan kas yang cukup dan beberapa donatur yang berinisiatif memberi donasi.
Buka bersama ini telah kami rencanakan dua minggu sebelumnya. Karena mengumpulkan volunteer di saat bersamaan cukup susah, kami lebih banyak berdiskusi melalui grup chat. Hingga akhirnya menentukan 19 Juni 2016 menjadi tanggal acara juga mesti melalui voting kecil-kecilan mengingat jadwal kegiatan volunteer yang tak sama. Kakak-kakak volunteer sebagian besar sedang berkutat dengan Tugas Akhir mereka yang telah mendekati masa deadline. Sedang yang lain sedang dihimpit nuansa UAS dan beban pekerjaan di kantor. Namun, saya mesti angkat topi untuk dedikasi mereka, masih menyempatkan untuk membeli perlengkapan buka puasa dan hadir menemani adik-adik.
Kemudian menu ditentukan. Masing-masing anak mendapat makanan dan minuman tajil, makanan dan minuman buka, snack untuk dibawa pulang, serta souvenir. Kali ini souvenir diusulkan oleh salah satu volunteer, Dian, berupa botol minuman, agar adik-adik mampu mengurangi frekuensi mereka membeli minuman di luar atau menggunakan botol air mineral berulang kali. Karena keteguhan hatinya, Dian memutuskan bertanggungjawab untuk sesi souvenir. Kami tentu tak bisa menghalanginya, sekaligus senang karena merasa terbantu.:) Dian juga selalu bertugas untuk mendokumentasikan kegiatan kami.
Sementara kakak volunteer berdedikasi lainnya, Ghozi, di antara tekanan deadline Tugas Akhir yang menurutnya belum kelar juga, ia masih menawarkan diri untuk memilih dan membeli makanan tajil. Ghozi paling tak bisa melihat ketidakrapian, bukannya seperti sebagian besar kami yang menyerah karena isi lemari yang selalu cepat berantakan, Ghozi memilih untuk merapikan buku-buku di lemari hingga tertata kembali seperti semula.
Sisa keperluan lainnya, masih sanggup saya tangani dengan bantuan dana donatur. Begitu tiba di depan musholla pun saya sudah disambut beberapa anak yang berteriak-teriak memanggil. Bahkan membukakan pintu mobil karena saya agak lama di dalam. Mereka berebut membawakan keperluan berbuka puasa di saat berikutnya. Saya terbantu sekali dengan apa yang mereka lakukan. Kejutan yang saya dapatkan datang dari Ryan, seorang adik di taman baca yang selalu kami kenal karena kenakalannya, berhasil menghafal nyaris 50 kosa kata Bahasa Inggris baru sembari menunggu waktu berbuka dengan bantuan kartu edukasi. Saya bahkan masih terpana dengan kecepatan anak kelas 2 SD itu dalam belajar.
Ryan, si pemberi kejutan.
Meski masa persiapan berbuka cukup lancar, kali ini nyatanya kendala ada pada lokasi. Di bulan suci, beberapa adik-adik taman baca tekun membaca Qur'an secara bergantian dengan menggunakan bantuan sound system di dalam musholla. Di tengah kegiatan itu, perangkat suara yang mereka gunakan tiba-tiba berasap dan menguarkan aroma gosong. Sontak, adik-adik meninggalkan bacaannya dan lari menjauh. Maklum, ada sedikit trauma pada mereka. Di kampung itu sempat gempar karena seorang kakek tewas tersengat listrik dari perangkat elektronik. Beberapa saat kemudian, seorang pemuda dari rumah sekitar datang membantu mematikan perangkat. Namun adik-adik sudah enggan melanjutkan bertadarus, sehingga mereka lebih memilih bermain dan membaca buku.
Kegiatan sebelum berbuka
Beberapa saat kemudian, volunteer berdatangan. Sama seperti anak kecil yang lain, mereka selalu punya kakak favoritnya masing-masing, menyambut dan duduk belajar atau bermain dengan mereka. Kali ini, favorit sebagian besar dari mereka adalah Windhy, volunteer baru yang sudah memanen cukup banyak perhatian adik-adik yang berebut untuk bermain atau sekadar meminta duduk di pangkuannya. Perangkat pengeras suara yang sempat berasap ternyata berdampak pada aliran listrik di dalam musholla. Lampu terus-terusan gagal dinyalakan. Kami terancam berbuka dalam gelap. Untung, Windhy "menyulap" sekring, dan kami berbuka seperti seharusnya. :)
Sembari menunggu berbuka, kami melakukan dialog beberapa menit dengan adik-adik. Sekadar menyampaikan evaluasi kegiatan adik-adik selama ini, serta ungkapan pesan dari kakak-kakak volunteer untuk kebaikan adik-adik ke depan. Harapan mereka pun beragam. Mulai Devi yang berencana akan menikah di tahun ini, ingin adik-adik lebih tenang, Winda dan Icha yang menyampaikan harapan serupa. Sementara Mbak Tiwi ingin adik-adik lebih banyak belajar dan membaca buku. Di antara riuh rendah kegiatan berbuka, kami cukup merindukan beberapa volunteer yang tahun lalu turut serta dalam buka bersama. Tahun ini mereka terpaksa tak dapat hadir karena terbentur kesibukan, waktu dan jarak.
Volunteer yang hadir
Kegiatan berbuka bersama kali ini cukup lancar dan selalu berhasil meninggalkan kesan di hati kami. Bahkan tak terlintas di benak kami tahun lalu, bahwa tahun ini pun kami masih berkesempatan untuk menemani adik-adik secara konsisten setiap minggu, apalagi berbuka puasa bersama. Kiranya ini bukan hal besar secara kuantitas dengan nyaris empat puluh anak, namun selalu menjadi hal besar untuk kami. Dengan mendapat kesempatan untuk menjadi bagian dari sepenggal masa kecil mereka, dan terus percaya bahwa kebermanfaatan bagi sesama tak pernah habis untuk diusahakan, bagaimana pun bentuknya.
Saatnya berbuka! :)
Kakak-kakak volunteer membagikan makanan berbuka
Kami membagikan kelebihan makanan berbuka untuk warga sekitar musholla
Melalui catatan yang begitu personal ini, saya berterimakasih sebesar-besarnya untuk kakak-kakak volunteer dan para donatur untuk sebentuk kemurahan hati, dan kesediaan untuk selalu menjadi kawan seperjalanan saya dalam meyakini bahwa kebahagiaan hakiki adalah ketika kita bisa terus berbagi.
Salam hangat,
Nabila Budayana
*dokumentasi acara secara lengkap dapat diakses di sini atau Fanpage taman baca kami di sini
Buka bersama tahun kedua kami bersama adik-adik di Taman Baca Kampung Pemulung Kalisari Damen Surabaya, syukurlah tidak seberat buka bersama tahun sebelumnya. Kendala utama di tahun 2015 adalah minimnya dana dan waktu persiapan yang sempit. Kali ini, kami mesti bersyukur dengan kas yang cukup dan beberapa donatur yang berinisiatif memberi donasi.
Buka bersama ini telah kami rencanakan dua minggu sebelumnya. Karena mengumpulkan volunteer di saat bersamaan cukup susah, kami lebih banyak berdiskusi melalui grup chat. Hingga akhirnya menentukan 19 Juni 2016 menjadi tanggal acara juga mesti melalui voting kecil-kecilan mengingat jadwal kegiatan volunteer yang tak sama. Kakak-kakak volunteer sebagian besar sedang berkutat dengan Tugas Akhir mereka yang telah mendekati masa deadline. Sedang yang lain sedang dihimpit nuansa UAS dan beban pekerjaan di kantor. Namun, saya mesti angkat topi untuk dedikasi mereka, masih menyempatkan untuk membeli perlengkapan buka puasa dan hadir menemani adik-adik.

Kemudian menu ditentukan. Masing-masing anak mendapat makanan dan minuman tajil, makanan dan minuman buka, snack untuk dibawa pulang, serta souvenir. Kali ini souvenir diusulkan oleh salah satu volunteer, Dian, berupa botol minuman, agar adik-adik mampu mengurangi frekuensi mereka membeli minuman di luar atau menggunakan botol air mineral berulang kali. Karena keteguhan hatinya, Dian memutuskan bertanggungjawab untuk sesi souvenir. Kami tentu tak bisa menghalanginya, sekaligus senang karena merasa terbantu.:) Dian juga selalu bertugas untuk mendokumentasikan kegiatan kami.
Sementara kakak volunteer berdedikasi lainnya, Ghozi, di antara tekanan deadline Tugas Akhir yang menurutnya belum kelar juga, ia masih menawarkan diri untuk memilih dan membeli makanan tajil. Ghozi paling tak bisa melihat ketidakrapian, bukannya seperti sebagian besar kami yang menyerah karena isi lemari yang selalu cepat berantakan, Ghozi memilih untuk merapikan buku-buku di lemari hingga tertata kembali seperti semula.
Sisa keperluan lainnya, masih sanggup saya tangani dengan bantuan dana donatur. Begitu tiba di depan musholla pun saya sudah disambut beberapa anak yang berteriak-teriak memanggil. Bahkan membukakan pintu mobil karena saya agak lama di dalam. Mereka berebut membawakan keperluan berbuka puasa di saat berikutnya. Saya terbantu sekali dengan apa yang mereka lakukan. Kejutan yang saya dapatkan datang dari Ryan, seorang adik di taman baca yang selalu kami kenal karena kenakalannya, berhasil menghafal nyaris 50 kosa kata Bahasa Inggris baru sembari menunggu waktu berbuka dengan bantuan kartu edukasi. Saya bahkan masih terpana dengan kecepatan anak kelas 2 SD itu dalam belajar.

Meski masa persiapan berbuka cukup lancar, kali ini nyatanya kendala ada pada lokasi. Di bulan suci, beberapa adik-adik taman baca tekun membaca Qur'an secara bergantian dengan menggunakan bantuan sound system di dalam musholla. Di tengah kegiatan itu, perangkat suara yang mereka gunakan tiba-tiba berasap dan menguarkan aroma gosong. Sontak, adik-adik meninggalkan bacaannya dan lari menjauh. Maklum, ada sedikit trauma pada mereka. Di kampung itu sempat gempar karena seorang kakek tewas tersengat listrik dari perangkat elektronik. Beberapa saat kemudian, seorang pemuda dari rumah sekitar datang membantu mematikan perangkat. Namun adik-adik sudah enggan melanjutkan bertadarus, sehingga mereka lebih memilih bermain dan membaca buku.

Beberapa saat kemudian, volunteer berdatangan. Sama seperti anak kecil yang lain, mereka selalu punya kakak favoritnya masing-masing, menyambut dan duduk belajar atau bermain dengan mereka. Kali ini, favorit sebagian besar dari mereka adalah Windhy, volunteer baru yang sudah memanen cukup banyak perhatian adik-adik yang berebut untuk bermain atau sekadar meminta duduk di pangkuannya. Perangkat pengeras suara yang sempat berasap ternyata berdampak pada aliran listrik di dalam musholla. Lampu terus-terusan gagal dinyalakan. Kami terancam berbuka dalam gelap. Untung, Windhy "menyulap" sekring, dan kami berbuka seperti seharusnya. :)
Sembari menunggu berbuka, kami melakukan dialog beberapa menit dengan adik-adik. Sekadar menyampaikan evaluasi kegiatan adik-adik selama ini, serta ungkapan pesan dari kakak-kakak volunteer untuk kebaikan adik-adik ke depan. Harapan mereka pun beragam. Mulai Devi yang berencana akan menikah di tahun ini, ingin adik-adik lebih tenang, Winda dan Icha yang menyampaikan harapan serupa. Sementara Mbak Tiwi ingin adik-adik lebih banyak belajar dan membaca buku. Di antara riuh rendah kegiatan berbuka, kami cukup merindukan beberapa volunteer yang tahun lalu turut serta dalam buka bersama. Tahun ini mereka terpaksa tak dapat hadir karena terbentur kesibukan, waktu dan jarak.

Kegiatan berbuka bersama kali ini cukup lancar dan selalu berhasil meninggalkan kesan di hati kami. Bahkan tak terlintas di benak kami tahun lalu, bahwa tahun ini pun kami masih berkesempatan untuk menemani adik-adik secara konsisten setiap minggu, apalagi berbuka puasa bersama. Kiranya ini bukan hal besar secara kuantitas dengan nyaris empat puluh anak, namun selalu menjadi hal besar untuk kami. Dengan mendapat kesempatan untuk menjadi bagian dari sepenggal masa kecil mereka, dan terus percaya bahwa kebermanfaatan bagi sesama tak pernah habis untuk diusahakan, bagaimana pun bentuknya.



Melalui catatan yang begitu personal ini, saya berterimakasih sebesar-besarnya untuk kakak-kakak volunteer dan para donatur untuk sebentuk kemurahan hati, dan kesediaan untuk selalu menjadi kawan seperjalanan saya dalam meyakini bahwa kebahagiaan hakiki adalah ketika kita bisa terus berbagi.
Salam hangat,
Nabila Budayana
*dokumentasi acara secara lengkap dapat diakses di sini atau Fanpage taman baca kami di sini
Published on June 20, 2016 06:53
June 11, 2016
Ensemble Trielen dan String Orchestra of Surabaya : Perayaan Musim Semi Bersama
Festival musim semi (Printemps Francais) kali ini, Institut Francais Indonesia kembali mendatangkan reed trio, Ensemble Trielen ke hadapan publik berbagai kota. Jakarta, Surabaya, Yogyakarta. Ballroom Sheraton Surabaya menjadi lokasi pilihan pertunjukan 2 Juni 2016 lalu.
Audiens diajak kembali mendengar paduan bunyi Clarinet, Oboe, Bassoon yang matang. Musisi-musisi asal Prancis itu tak hadir sendiri, String Orchestra of Surabaya (SOOS) menjadi pembuka dan berkolaborasi dengan mereka.
Pertunjukan dibagi dalam tiga bagian. SOOS mengisi penuh di bagian pertama, bergantian Ensemble Trielen di bagian kedua, dan kolaborasi keduanya di bagian akhir. SOOS membuka dengan Divermetimento in D KV 136 milik Mozart. Untuk pembuka yang langsung menuntut tampilan not-not rapat dan tempo cepat di movement pertama dan ketiga, SOOS tampil cukup baik dengan dinamika yang terjaga, namun frase dan artikulasi bisa digarap dengan lebih bersih di beberapa bagian sebagai kesatuan dari sebuah sajian kelompok strings. Di sisi lain, SOOS berhasil menyuguhkan dinamika yang cukup mengesankan sebuah sajian Sinfonia nuansa opera.
Le Cygne from Le Carneval des animeaux dari Camille Saint-Saens dipilih sebagai komposisi kedua. Dani Kurnia Ramadhan sebagai soloist Cello ditampilkan menonjol, sedangkan Shienny Kurniawati berpindah mengisi posisi Harpa. Di komposisi yang tak terlalu panjang ini, Dani tak menyia-nyiakan ruangnya dengan pandai memainkan frase dan dinamika yang ekspresif. Sehingga menghanyutkan, berhasil merepresentasikan gesekan Angsa dengan permukaan air danau yang tenang.
Carmen Suite from the Opera, komposisi ringan dan menghibur ini kerap dibawakan ini dipilih sebagai komposisi terakhir di bagian pertama. Les Dargaons d'Alcala, Habanera, Seguidilla, Les Toreadors menjadi sajian ringan sebelum intermessions. Membawakan Les Toreadors yang begitu familiar di telinga audiens sangat membantu dalam penyampaian. Namun juga sekaligus menjadi tantangan bagaimana ketiga bagian lainnya juga menjadi sama hidupnya.
Ensemble Trielen menyapa ramah audiens di bagian kedua. Mereka menjelaskan singkat tentang komposisi yang akan mereka bawakan, Variations on "La ci darem la mano" from "Don Giovanni" from Mozart milik Beethoven. Di komposisi pertama ini mereka langsung memberi kesan hidup dan menyenangkan dengan sajian nada yang bulat dan selaras, baik secara teknis maupun emosi. Trielen meninggalkan kesan sebuah komposisi yang megah, serta dinamika yang terasa.
Berbeda dengan komposisi sebelumnya, Suite Breve en Trio milik Eugene Bozza dipilih oleh Trielen sebagai unjuk kebolehan lainnya dengan menuntut instrumen untuk "berjalan masing-masing" meski harus tetap berada di kesatuan tujuan menyampaikan pesan yang sama. Meski tak "semudah" mendengarkan komposisi pertama dari Trielen, namun mereka tetap berhasil menyajikan kesegaran dan pesan yang tersampaikan dengan kematangan dan kedewasaan berbagi ruang.
Sebagai penutup dan puncak acara, Ensemble Trielen dan SOOS membahu memainkan Alexander Feast, Concerto en Do Majeur de Haendel HWV 318. Meski terbagi dalam part-part pendek, namun Trielen dan SOOS menunjukkan kerjasama yang cukup menyenangkan dalam komposisi ini. Dalam part yang terbagi jelas dan jarang memberikan ruang unjuk kebolehan pada pemain, Trielen dan SOOS menjauhkan audiens dari kemonotonan dengan menampilkan keselarasan yang cukup. Sebagai encore, Rasa Sayange dan Manuk Dadali dari aransemen Sounds of Indonesia Addie MS dibawakan secara berurutan.
Pada akhirnya, musim semi Prancis tak harus selalu dipenuhi dengan nuansa komposer-komposer negeri Eiffel. Sebuah perayaan lebih memerlukan keceriaan bersama-sama. Ensemble Trielen dan SOOS membawanya ke panggung penutupan Printemps Francais 2016 di Surabaya dan mengajak audiens merasakan hal yang sama.
Audiens diajak kembali mendengar paduan bunyi Clarinet, Oboe, Bassoon yang matang. Musisi-musisi asal Prancis itu tak hadir sendiri, String Orchestra of Surabaya (SOOS) menjadi pembuka dan berkolaborasi dengan mereka.
Pertunjukan dibagi dalam tiga bagian. SOOS mengisi penuh di bagian pertama, bergantian Ensemble Trielen di bagian kedua, dan kolaborasi keduanya di bagian akhir. SOOS membuka dengan Divermetimento in D KV 136 milik Mozart. Untuk pembuka yang langsung menuntut tampilan not-not rapat dan tempo cepat di movement pertama dan ketiga, SOOS tampil cukup baik dengan dinamika yang terjaga, namun frase dan artikulasi bisa digarap dengan lebih bersih di beberapa bagian sebagai kesatuan dari sebuah sajian kelompok strings. Di sisi lain, SOOS berhasil menyuguhkan dinamika yang cukup mengesankan sebuah sajian Sinfonia nuansa opera.
Le Cygne from Le Carneval des animeaux dari Camille Saint-Saens dipilih sebagai komposisi kedua. Dani Kurnia Ramadhan sebagai soloist Cello ditampilkan menonjol, sedangkan Shienny Kurniawati berpindah mengisi posisi Harpa. Di komposisi yang tak terlalu panjang ini, Dani tak menyia-nyiakan ruangnya dengan pandai memainkan frase dan dinamika yang ekspresif. Sehingga menghanyutkan, berhasil merepresentasikan gesekan Angsa dengan permukaan air danau yang tenang.
Carmen Suite from the Opera, komposisi ringan dan menghibur ini kerap dibawakan ini dipilih sebagai komposisi terakhir di bagian pertama. Les Dargaons d'Alcala, Habanera, Seguidilla, Les Toreadors menjadi sajian ringan sebelum intermessions. Membawakan Les Toreadors yang begitu familiar di telinga audiens sangat membantu dalam penyampaian. Namun juga sekaligus menjadi tantangan bagaimana ketiga bagian lainnya juga menjadi sama hidupnya.
Ensemble Trielen menyapa ramah audiens di bagian kedua. Mereka menjelaskan singkat tentang komposisi yang akan mereka bawakan, Variations on "La ci darem la mano" from "Don Giovanni" from Mozart milik Beethoven. Di komposisi pertama ini mereka langsung memberi kesan hidup dan menyenangkan dengan sajian nada yang bulat dan selaras, baik secara teknis maupun emosi. Trielen meninggalkan kesan sebuah komposisi yang megah, serta dinamika yang terasa.
Berbeda dengan komposisi sebelumnya, Suite Breve en Trio milik Eugene Bozza dipilih oleh Trielen sebagai unjuk kebolehan lainnya dengan menuntut instrumen untuk "berjalan masing-masing" meski harus tetap berada di kesatuan tujuan menyampaikan pesan yang sama. Meski tak "semudah" mendengarkan komposisi pertama dari Trielen, namun mereka tetap berhasil menyajikan kesegaran dan pesan yang tersampaikan dengan kematangan dan kedewasaan berbagi ruang.
Sebagai penutup dan puncak acara, Ensemble Trielen dan SOOS membahu memainkan Alexander Feast, Concerto en Do Majeur de Haendel HWV 318. Meski terbagi dalam part-part pendek, namun Trielen dan SOOS menunjukkan kerjasama yang cukup menyenangkan dalam komposisi ini. Dalam part yang terbagi jelas dan jarang memberikan ruang unjuk kebolehan pada pemain, Trielen dan SOOS menjauhkan audiens dari kemonotonan dengan menampilkan keselarasan yang cukup. Sebagai encore, Rasa Sayange dan Manuk Dadali dari aransemen Sounds of Indonesia Addie MS dibawakan secara berurutan.
Pada akhirnya, musim semi Prancis tak harus selalu dipenuhi dengan nuansa komposer-komposer negeri Eiffel. Sebuah perayaan lebih memerlukan keceriaan bersama-sama. Ensemble Trielen dan SOOS membawanya ke panggung penutupan Printemps Francais 2016 di Surabaya dan mengajak audiens merasakan hal yang sama.
Published on June 11, 2016 03:28
June 6, 2016
Silampukau : Mencipta Berdasar Peristiwa
Pertemuan Musik Surabaya berinisiatif untuk menyajikan sesuatu yang berbeda di pertengahan tahun 2016 ini. Bukan lagi membahas musik klasik, kontemporer, maupun tradisional, namun PMS juga ingin menjangkau musisi-musisi folk indie dengan semangat berbagi dan mengenal musik yang sama.
Surabaya belakangan banyak disuarakan melalui musik indie yang ditampilkan band Silampukau. Album mereka yang bertajuk Dosa, Kota dan Kenangan masuk dalam daftar 20 album Indonesia terbaik Rolling Stone 2015 dan 10 album terbaik versi Majalah Tempo.
Kharis Junandharu dan Eki Tresnowening, dua personel Silampukau, tampil mendendangkan karya-karya mereka di depan umum sudah jamak terjadi. Namun bagaimana dengan kisah menarik di balik terciptanya karya-karya mereka? Silampukau membagikannya pada pendengar-pendengar setianya, 30 Mei 2016 lalu.
Silampukau tak menjejak tangga pencapaian karier musiknya secara instan. Mereka menapak jalur mandiri dalam menyampaikan pesan musikal selama beberapa tahun. Berangkat tanpa mengekspektasikan apa-apa dari apa yang mereka kerjakan, kini Silampukau dikenal secara nasional. Lirik-lirik yang jujur bercerita dan melodi yang sederhana menjadi ciri khas yang mereka tampilkan.
Kharis Junandharu mengungkap bahwa inspirasi Silampukau dalam mencipta karya bermula dari hal sehari-hari yang mengusik pikiran. Gaya mereka yang lepas dari batas-batas melahirkan keunikan dan keragaman yang berbeda dalam karya-karya yang mereka ciptakan. Puan Kelana, salah satu lagu yang mereka anggap satire dan "memenuhi semua syarat untuk tak diterima pendengar" justru digemari oleh banyak orang. Sebagian besar karya mereka dimulai dari melodi-melodi mentah yang kemudian mereka kembangkan hingga menemukan tema dan lirik yang sesuai. Kuat dalam lirik, Silampukau berujar bahwa mereka konsisten menjaga cerita dalam lagu. Bagi mereka, lebih mudah mengolah melodi dengan kata-kata, dibanding hanya menawarkan nada. Lirik pun tak begitu saja mengalir terciptakan, mereka mempertimbangkan rima, pilihan kata, juga kuantitas suku kata. Rima dan kata bagi mereka membantu untuk membentuk suasana, sedangkan kuantitas suku kata juga dipertimbangkan untuk memenuhi efektifitas lirik dalam lagu. Inti utama dari proses penciptaan lagu mereka adalah keinginan kuat untuk bercerita.
Ditanya tentang beberapa lirik karya Silampukau yang keras menyindir sesuatu, bukan berarti tidak ada kekhawatiran dari "jalur bebas" yang diambil. Mereka mengungkap bahwa sebelum lagu tersebut dirilis ke publik, mereka mencoba mendengarkannya pada beberapa teman sebagai percobaan. Ketika respons positif yang didapat, mereka percaya bahwa sesungguhnya pendengar secara luas memiliki sisi humor yang bisa disentuh. Silampukau pun mengemasnya menarik, selaras dengan pilihan melodi yang mereka rencanakan.
Mengapa menjadikan Kota Surabaya menjadi sorotan dalam karya-karya mereka, Silampukau menjelaskan bahwa inspirasi mereka dipicu oleh Didi Kempot yang juga menciptakan lagu-lagu iconic tentang suatu kota, seperti Stasiun Balapan. Tak banyak lagu bertema Surabaya yang diciptakan oleh musisi kota pahlawan sendiri. Silampukau berangkat dengan semangat serupa.
Ditanya mengapa memilik jalur folk, meski berangkat dengan banyak referensi musik keroncong dan country, Silampukau merasa folk paling fleksibel. Mereka kemudian mencari tahu apa yang bisa ditawarkan genre folk dan memutuskan untuk menekuninya.
Silampukau menawarkan keunikan tersendiri. Kejujuran dan kebebasan berekspresi yang mereka sajikan menjadi magnet bagi penikmat musik yang sedang dikungkung kejenuhan dalam pusaran yang "itu-itu saja", serta mengajak mereka melampaui batasan tentang bagaimana mengapresiasi suatu karya. Kiranya Silampukau akan terus menjejak kehidupan sekaligus terbang meraih jumlah pendengar yang lebih besar, seperti kata-kata mereka dalam mendeskripsikan karya yang tercipta.
"Lagu-lagu sederhana tentang orang-orang sederhana."
Untuk Pertemuan Musik Surabaya,
Nabila Budayana
Surabaya belakangan banyak disuarakan melalui musik indie yang ditampilkan band Silampukau. Album mereka yang bertajuk Dosa, Kota dan Kenangan masuk dalam daftar 20 album Indonesia terbaik Rolling Stone 2015 dan 10 album terbaik versi Majalah Tempo.
Kharis Junandharu dan Eki Tresnowening, dua personel Silampukau, tampil mendendangkan karya-karya mereka di depan umum sudah jamak terjadi. Namun bagaimana dengan kisah menarik di balik terciptanya karya-karya mereka? Silampukau membagikannya pada pendengar-pendengar setianya, 30 Mei 2016 lalu.

Silampukau tak menjejak tangga pencapaian karier musiknya secara instan. Mereka menapak jalur mandiri dalam menyampaikan pesan musikal selama beberapa tahun. Berangkat tanpa mengekspektasikan apa-apa dari apa yang mereka kerjakan, kini Silampukau dikenal secara nasional. Lirik-lirik yang jujur bercerita dan melodi yang sederhana menjadi ciri khas yang mereka tampilkan.
Kharis Junandharu mengungkap bahwa inspirasi Silampukau dalam mencipta karya bermula dari hal sehari-hari yang mengusik pikiran. Gaya mereka yang lepas dari batas-batas melahirkan keunikan dan keragaman yang berbeda dalam karya-karya yang mereka ciptakan. Puan Kelana, salah satu lagu yang mereka anggap satire dan "memenuhi semua syarat untuk tak diterima pendengar" justru digemari oleh banyak orang. Sebagian besar karya mereka dimulai dari melodi-melodi mentah yang kemudian mereka kembangkan hingga menemukan tema dan lirik yang sesuai. Kuat dalam lirik, Silampukau berujar bahwa mereka konsisten menjaga cerita dalam lagu. Bagi mereka, lebih mudah mengolah melodi dengan kata-kata, dibanding hanya menawarkan nada. Lirik pun tak begitu saja mengalir terciptakan, mereka mempertimbangkan rima, pilihan kata, juga kuantitas suku kata. Rima dan kata bagi mereka membantu untuk membentuk suasana, sedangkan kuantitas suku kata juga dipertimbangkan untuk memenuhi efektifitas lirik dalam lagu. Inti utama dari proses penciptaan lagu mereka adalah keinginan kuat untuk bercerita.
Ditanya tentang beberapa lirik karya Silampukau yang keras menyindir sesuatu, bukan berarti tidak ada kekhawatiran dari "jalur bebas" yang diambil. Mereka mengungkap bahwa sebelum lagu tersebut dirilis ke publik, mereka mencoba mendengarkannya pada beberapa teman sebagai percobaan. Ketika respons positif yang didapat, mereka percaya bahwa sesungguhnya pendengar secara luas memiliki sisi humor yang bisa disentuh. Silampukau pun mengemasnya menarik, selaras dengan pilihan melodi yang mereka rencanakan.
Mengapa menjadikan Kota Surabaya menjadi sorotan dalam karya-karya mereka, Silampukau menjelaskan bahwa inspirasi mereka dipicu oleh Didi Kempot yang juga menciptakan lagu-lagu iconic tentang suatu kota, seperti Stasiun Balapan. Tak banyak lagu bertema Surabaya yang diciptakan oleh musisi kota pahlawan sendiri. Silampukau berangkat dengan semangat serupa.
Ditanya mengapa memilik jalur folk, meski berangkat dengan banyak referensi musik keroncong dan country, Silampukau merasa folk paling fleksibel. Mereka kemudian mencari tahu apa yang bisa ditawarkan genre folk dan memutuskan untuk menekuninya.
Silampukau menawarkan keunikan tersendiri. Kejujuran dan kebebasan berekspresi yang mereka sajikan menjadi magnet bagi penikmat musik yang sedang dikungkung kejenuhan dalam pusaran yang "itu-itu saja", serta mengajak mereka melampaui batasan tentang bagaimana mengapresiasi suatu karya. Kiranya Silampukau akan terus menjejak kehidupan sekaligus terbang meraih jumlah pendengar yang lebih besar, seperti kata-kata mereka dalam mendeskripsikan karya yang tercipta.
"Lagu-lagu sederhana tentang orang-orang sederhana."
Untuk Pertemuan Musik Surabaya,
Nabila Budayana
Published on June 06, 2016 22:52
June 3, 2016
Musical Journey 3 : Semangat Berkembang String Orchestra of Surabaya
Mengakhiri sebuah perjalanan bukan menjadi hal mudah. Ekspektasi pada sebuah penutupan yang apik menciptakan tantangan tersendiri untuk para penampil. String Orchestra of Surabaya (SOOS) memungkaskan rangkaian konser orkestra Musical Journey-nya di Ciputra Hall, Rabu, 25 Mei 2016 lalu. Konser ini menyimpan begitu banyak semangat musikal dan pendidikan, dengan nyaris seluruh personel adalah anak didik dari Shienny Kurniawati dan Finna Kurniawati.
Musical Journey 3 : A Classical Night ini menjadi suatu perjalanan yang menarik dengan memilih untuk menghadirkan komposisi-komposisi dari Bach, Mozart, Albinoni, hingga beberapa komposisi dari album Sounds of Indonesia milik sang conductor tamu, Addie MS. Finna dan Shienny memberikan ruang selebar-lebarnya pada bakat-bakat baru Surabaya. Penampilan dibuka oleh ensemble muda SOOS yang membawakan simfoni-simfoni pendek. Old English Dance (1886) yang bernuansa lincah dipilih sebagai pembuka. Melodi-melodi sederhana khas suasana ayunan tarian menuntut kerjasama dan kekompakan baik dari pemain biola dan harpa. Setelah lincah menari, audiens dibawa pada ketenangan dari Melody milik A Corelli. Piano dan Harpa diberikan ruang tampil yang lebih besar di La Golondrina karya Narciso Serradesi.
Menggantikan children ensemble, SOOS menghadirkan Concerto for Violin and Oboe in D minor, BWV 1060R. Membawa Oboe ke garis depan dengan Arjuna Bagaskara sebagai solist, dan Addie MS sebagai conductor, SOOS tampak ingin menampilkan sesuatu yang berbeda. Meski kerapatan not tak terlalu penuh, namun oboe dan strings yang saling menyahut menjadi hal utama yang mesti ditonjolkan, yang membutuhkan keselerasan baik timing, padunya melodi, dan karakter, agar menjadi sebuah keutuhan komposisi Barok yang menyenangkan. Finna Kurniawati dan Arjuna Bagaskara bekerja baik untuk mengimbangi orkestra. Komunikasi dengan conductor pun terjalin cukup baik. Setelah first movement yang repetitif dan lincah, audiens dibawa pada movement kedua yang tenang dan mengalir. Adrenalin dipacu kembali melalui Allegro, movement ketiga yang cepat dan rapat. Baik Oboe maupun strings dituntut menampilkan running melodi yang panjang dan prima.
Audiens kemudian dibawa ke era klasik melalui Violin Concerto No.4 in D Major, K.218 milik Mozart. Movement pertama Allegro membawa keriaan yang berbeda. Movement ini bertumpu pada staccato-staccato pada melodi sekaligus menjadikan sebuah artikulasi yang jelas. Dinamika pun mengambil tempat penting. Movement kedua Andante Cantabile mengalir dengan legato yang syahdu. Komposisi yang disusun Mozart sepanjang Juni hingga Desember 1775 ini menjadi menyenangkan dengan ditutup oleh movement ketiga, Andante Grazioso Rondeau yang tegas.
Setelah intermission, Addie MS sempat membagikan sepenggal cerita tentang bagaimana ia bertemu Finna dan Shienny pertamakalinya di Beijing, dan betapa ia mengapresiasi kerja keras mereka untuk berjuang membentuk SOOS dan menjaga eksistensinya. Perjalanan membentuk SOOS yang terkendala berbagai halangan tak membuat Shienny dan Finna menyerah. Sempat bermain di Twilite Orchestra, mereka banyak berbagi kisah dalam perjalanannya dengan Addie MS. Proses dan semangat mengembangkan musik klasik di dalam negeri begitu diapresiasi oleh sang guest conductor.
Komposisi dari Tomasso Albinoni, Concerti a Cinque, Op.5 dipilih untuk mengembalikan mood audiens ke dalam pertunjukkan. Diramaikan dengan berbagai running-running notes yang megah. Nuansa opera khas Albinoni menguar dari movement-movement yang ditampilkan. Mozart kembali hadir dengan Exsultate, Jubilate, KV 165. Soprano Joyce Deborah Thungriallu lincah dan bertenaga dalam menyampaikan lirik. Joyce berhasil menggaungkan kesan liturgi, tanpa perlu tenggelam di antara iringan strings dari SOOS.
Bagian akhir yang hidup dan menyenangkan disampaikan melalui beberapa komposisi lagu daerah dari Sounds of Indonesia milik Addie MS. Manuk Dadali, Bengawan Solo, Ayam Den Lapeh. Ketiga komposisi yang sejatinya dibawakan oleh Prague Philharmonic Orchestra, juga dibawakan baik dan hidup oleh SOOS. Audiens diajak berkeliling Nusantara dengan ketiga komposisi terakhir, sebelum akhirnya beranjak dari gedung pertunjukan.
Sejalan dengan Addie MS, semangat Finna Kurniawati dan Shienny Kurniawati yang mengabdi untuk musik klasik Indonesia patut diberikan apresiasi, juga untuk sebuah ruang dan kesempatan besar yang mereka berikan untuk bakat-bakat baru demi perkembangan musik simfoni Indonesia di masa mendatang.
Musical Journey 3 : A Classical Night ini menjadi suatu perjalanan yang menarik dengan memilih untuk menghadirkan komposisi-komposisi dari Bach, Mozart, Albinoni, hingga beberapa komposisi dari album Sounds of Indonesia milik sang conductor tamu, Addie MS. Finna dan Shienny memberikan ruang selebar-lebarnya pada bakat-bakat baru Surabaya. Penampilan dibuka oleh ensemble muda SOOS yang membawakan simfoni-simfoni pendek. Old English Dance (1886) yang bernuansa lincah dipilih sebagai pembuka. Melodi-melodi sederhana khas suasana ayunan tarian menuntut kerjasama dan kekompakan baik dari pemain biola dan harpa. Setelah lincah menari, audiens dibawa pada ketenangan dari Melody milik A Corelli. Piano dan Harpa diberikan ruang tampil yang lebih besar di La Golondrina karya Narciso Serradesi.

Menggantikan children ensemble, SOOS menghadirkan Concerto for Violin and Oboe in D minor, BWV 1060R. Membawa Oboe ke garis depan dengan Arjuna Bagaskara sebagai solist, dan Addie MS sebagai conductor, SOOS tampak ingin menampilkan sesuatu yang berbeda. Meski kerapatan not tak terlalu penuh, namun oboe dan strings yang saling menyahut menjadi hal utama yang mesti ditonjolkan, yang membutuhkan keselerasan baik timing, padunya melodi, dan karakter, agar menjadi sebuah keutuhan komposisi Barok yang menyenangkan. Finna Kurniawati dan Arjuna Bagaskara bekerja baik untuk mengimbangi orkestra. Komunikasi dengan conductor pun terjalin cukup baik. Setelah first movement yang repetitif dan lincah, audiens dibawa pada movement kedua yang tenang dan mengalir. Adrenalin dipacu kembali melalui Allegro, movement ketiga yang cepat dan rapat. Baik Oboe maupun strings dituntut menampilkan running melodi yang panjang dan prima.
Audiens kemudian dibawa ke era klasik melalui Violin Concerto No.4 in D Major, K.218 milik Mozart. Movement pertama Allegro membawa keriaan yang berbeda. Movement ini bertumpu pada staccato-staccato pada melodi sekaligus menjadikan sebuah artikulasi yang jelas. Dinamika pun mengambil tempat penting. Movement kedua Andante Cantabile mengalir dengan legato yang syahdu. Komposisi yang disusun Mozart sepanjang Juni hingga Desember 1775 ini menjadi menyenangkan dengan ditutup oleh movement ketiga, Andante Grazioso Rondeau yang tegas.
Setelah intermission, Addie MS sempat membagikan sepenggal cerita tentang bagaimana ia bertemu Finna dan Shienny pertamakalinya di Beijing, dan betapa ia mengapresiasi kerja keras mereka untuk berjuang membentuk SOOS dan menjaga eksistensinya. Perjalanan membentuk SOOS yang terkendala berbagai halangan tak membuat Shienny dan Finna menyerah. Sempat bermain di Twilite Orchestra, mereka banyak berbagi kisah dalam perjalanannya dengan Addie MS. Proses dan semangat mengembangkan musik klasik di dalam negeri begitu diapresiasi oleh sang guest conductor.
Komposisi dari Tomasso Albinoni, Concerti a Cinque, Op.5 dipilih untuk mengembalikan mood audiens ke dalam pertunjukkan. Diramaikan dengan berbagai running-running notes yang megah. Nuansa opera khas Albinoni menguar dari movement-movement yang ditampilkan. Mozart kembali hadir dengan Exsultate, Jubilate, KV 165. Soprano Joyce Deborah Thungriallu lincah dan bertenaga dalam menyampaikan lirik. Joyce berhasil menggaungkan kesan liturgi, tanpa perlu tenggelam di antara iringan strings dari SOOS.
Bagian akhir yang hidup dan menyenangkan disampaikan melalui beberapa komposisi lagu daerah dari Sounds of Indonesia milik Addie MS. Manuk Dadali, Bengawan Solo, Ayam Den Lapeh. Ketiga komposisi yang sejatinya dibawakan oleh Prague Philharmonic Orchestra, juga dibawakan baik dan hidup oleh SOOS. Audiens diajak berkeliling Nusantara dengan ketiga komposisi terakhir, sebelum akhirnya beranjak dari gedung pertunjukan.
Sejalan dengan Addie MS, semangat Finna Kurniawati dan Shienny Kurniawati yang mengabdi untuk musik klasik Indonesia patut diberikan apresiasi, juga untuk sebuah ruang dan kesempatan besar yang mereka berikan untuk bakat-bakat baru demi perkembangan musik simfoni Indonesia di masa mendatang.
Published on June 03, 2016 07:27
April 7, 2016
Svara of India
Asrie Tresnady (Sitar) dan Log Sanskrit : Rahul Sharma (Tabla) dan Yussan Ahmad Fauzi (Tanpura) membawa musik klasik India ke publik Surabaya 31 Maret 2016 lalu. Pertemuan Musik Surabaya menggandeng Institut Francais Indonesia Surabaya menyajikan Sruti : Svara of India ini dengan apik.
Berlokasi di auditorium IFI Surabaya, Asrie dan Log Sanskrit ditemani Chandra Nur Utama dan R.M. Irvan Dwi Cahyono sebagai musisi tambahan, sepakat membawa kata Sruti, sebuah kata yang mampu dimaknai secara luas pada pertunjukkannya. Sruti diambil dari kitab India, di mana di masanya, digunakan oleh masyarakat India untuk mencari posisi nada dari suatu bunyi. Asrie mengungkapkan bahwa Sruti adalah partikel suara. Ia yang telah lama tinggal di India mengatakan bahwa kata Sruti di negara asalnya pun masih begitu asing dan jarang disinggung dalam keseharian.
Yang menarik dari seorang Asrie, meski ia telah menyajikan musik klasik India di berbagai daerah di Indonesia dan India, ia berjalan tanpa latar belakang pendidikan formal musik. Alih-alih, ia adalah mahasiswa S3 bidang studi sejarah di India. Mengaku mendapatkan ilmu bermain Sitar dari pemilik tempat tinggal ketika di India, Asrie berangkat dengan mengembangkan kemampuannya bermain gitar, dan menerapkan pendekatannya pada Sitar. Sama seperti alat musik lainnya, mendalami Sitar membutuhkan waktu yang panjang.
Ditanya tentang musik yang akan dimainkannya, Asrie dan Log Sanskrit mengatakan bahwa musik yang mereka sajikan begitu bertumpu pada improvisasi. Meski begitu, secara konsep ada landasan fundamental yang serupa dengan musik klasik barat. Secara garis besar terdapat ekspresi, namun tetap ada batasnya. Pakem batasan tersebut terletak pada ritmik. Kapan memulai, dan kapan berhenti, seluruhnya bertumpu pada ketukan. Jenis ketukannya pun beragam. Hal itu memegang peranan penting pada tampilan yang ingin ditunjukkan, karena menjadi perjanjian antar pemain instrumen. Karenanya mewujudkan pertunjukan musik jenis ini tak begitu susah untuk diwujudkan. Pemain instrumen hanya perlu menemukan pemain lain dan mengatakan ingin bermain pada ketukan jenis tertentu. Selebihnya, pemain Sitar tinggal mengisi improvisasi di tengah iringan Tabla dan Tanpura. Bentuk improvisasi tersebut lah yang menjadi karakter dan membedekan pemusik satu dengan lainnya. Sitar yang awal perkembangannya dimulai sekitar abad 13 hingga 16 Masehi, di negara asalnya, sayangnya begitu jarang diperdengarkan saat ini. Hanya sesekali digunakan untuk ritual berdoa maupun relaksasi. Sedangkan Tabla, yang sekilas bentuknya menyerupai Kendang ini, meminta perlakuan tersediri terkait dengan permukaan kulitnya. Tabla dimainkan secara fonetik dan diterjemahkan ke membran. Untuk melakukan tunning, Rahul, pria berkebangsaan India yang memainkan Tabla mesti membiarkan Tablanya menyesuaikan suhu ruang selama satu jam. Sedangkan Tanpura yang mirip dengan Sitar berfungsi memberikan pola dasar atau iringan untuk melodi yang dimainkan Sitar. Pemain Tanpura memegang peranan penting dalam menentukan rhtym.
Foto oleh Adrea Kristatiani
Asrie dan Log Sanskrit berharap audiens mendapat pengalaman baru dan menangkap kebaikan dalam mendengarkan musik. Berbekal Tabla, Sitar dan Tanpura, musik klasik India yang dihadirkan Asrie dan Log Sanskrit mewujud dengan begitu meneduhkan. Di awal penampilan, Yussan Ahmad Fauzi (Tanpura) tampil seorang diri dengan menggemakan pola ritmis yang berulang. Beberapa saat kemudian Asrie masuk ke panggung, dan langsung memainkan Sitarnya. Dalam memainkan emosi penonton, Asrie memilih memainkan dinamika dengan melodi yang jarang dan rapat. Rahul mendapat giliran melengkapi tampilan dengan memainkan Tabla. Dinamika semakin naik dengan tabuhan, kadang Rahul menyelipkan sedikit vokal di antaranya.
Tak melulu mendengar satu arah, di tengah babak, audiens diberikan kesempatan untuk berdialog interaktif dengan Asrie Tresnady dan Log Sanskrit. Asrie menuturkan bahwa komposisi yang mereka bawakan berjudul Raga Yaman. Di antara tembang klasik India, mereka memilih komposisi tersebut karena Raga Yaman biasa dimainkan di malam hari. Musik yang mereka mainkan sengaja hanya mengeksplorasi sedikit jenis instrumen. Bagi mereka, hal menarik dari musik Hindustani adalah kompleksitasnya yang sesungguhnya dapat diterjemahkan secara sederhana. Mengandalkan begitu banyak improvisasi, pemain Sitar dituntut untuk menyamakan rasa dan mood dari musik yang mereka mainkan.
Sitar banyak mengimitasi vocal form dalam produksi suara. Mengimbangi vocal form yang terus berkembang seiring berjalan waktu, Sitar juga turut berevolusi. Sitar menjadi tumpuan penting dari pertunjukan, mengingat ia memegang improvisasi dari keseluruhan bunyi. ruang improvisasi itu berada di antara ketukan pertama hingga ketukan akhir sebelum kembali berulang. Sedangkan Tabla yang tediri dari Dayan (Tabla berukuran kecil) dan Bayan (Tabla berukuran besar) memiliki bentuk artikulasinya sendiri. Eksplorasi tempo dalam Tabla kerap dilakukan. Biasanya ketukan diawali dengan sederhana, kemudian semakin meningkat dalam dinamikanya. Tanpura yang berwujud nyaris serupa dengan Sitar, mampu menghasilkan suara humming yang merupakan hasil produksi suara dari benang.
Membawa rasa keingintahuan audiens tentang musik klasik India, Asrie mengatakan bahwa musik klasik India semuanya diangkat berdasarkan karya sastra. Sifatnya yang tidak pedagogik, namun begitu menuntut mental dan disiplin yang keras, terutama dalam menampilkan 'rasa' dari karya yang mereka sajikan. Meski bebas, Asrie terlihat menjaga improvisasinya, terkait dengan pemilihan melodi yang salah akan berakibat berubahnya mood dari musik yang dimainkan. Penekanan pada artikulasi yang jelas dan hitungan yang tepat menjadi begitu penting. Di India, audiens begitu kritis dalam mendengarkan. Pemilihan improvisasi yang salah atau campuran Raga akan dianggap sesuatu yang keliru. Secara keseluruhan, Sruti tampil sebagai perpaduan dua teknik, produksi melodi dan rhytm. Harapan musisi penampil Sruti : Svara of India agar musik ini dapat menjadi wahana baru untuk menaikkan level sensitifitas pendengar dalam menikmati musik, kiranya terwujud. Kebebasan mengekspresikan Svara yang dilakukan Asrie dan Log Sanskrit tersampaikan secara santai, dalam, menenangkan, namun interaktif.
Berlokasi di auditorium IFI Surabaya, Asrie dan Log Sanskrit ditemani Chandra Nur Utama dan R.M. Irvan Dwi Cahyono sebagai musisi tambahan, sepakat membawa kata Sruti, sebuah kata yang mampu dimaknai secara luas pada pertunjukkannya. Sruti diambil dari kitab India, di mana di masanya, digunakan oleh masyarakat India untuk mencari posisi nada dari suatu bunyi. Asrie mengungkapkan bahwa Sruti adalah partikel suara. Ia yang telah lama tinggal di India mengatakan bahwa kata Sruti di negara asalnya pun masih begitu asing dan jarang disinggung dalam keseharian.
Yang menarik dari seorang Asrie, meski ia telah menyajikan musik klasik India di berbagai daerah di Indonesia dan India, ia berjalan tanpa latar belakang pendidikan formal musik. Alih-alih, ia adalah mahasiswa S3 bidang studi sejarah di India. Mengaku mendapatkan ilmu bermain Sitar dari pemilik tempat tinggal ketika di India, Asrie berangkat dengan mengembangkan kemampuannya bermain gitar, dan menerapkan pendekatannya pada Sitar. Sama seperti alat musik lainnya, mendalami Sitar membutuhkan waktu yang panjang.
Ditanya tentang musik yang akan dimainkannya, Asrie dan Log Sanskrit mengatakan bahwa musik yang mereka sajikan begitu bertumpu pada improvisasi. Meski begitu, secara konsep ada landasan fundamental yang serupa dengan musik klasik barat. Secara garis besar terdapat ekspresi, namun tetap ada batasnya. Pakem batasan tersebut terletak pada ritmik. Kapan memulai, dan kapan berhenti, seluruhnya bertumpu pada ketukan. Jenis ketukannya pun beragam. Hal itu memegang peranan penting pada tampilan yang ingin ditunjukkan, karena menjadi perjanjian antar pemain instrumen. Karenanya mewujudkan pertunjukan musik jenis ini tak begitu susah untuk diwujudkan. Pemain instrumen hanya perlu menemukan pemain lain dan mengatakan ingin bermain pada ketukan jenis tertentu. Selebihnya, pemain Sitar tinggal mengisi improvisasi di tengah iringan Tabla dan Tanpura. Bentuk improvisasi tersebut lah yang menjadi karakter dan membedekan pemusik satu dengan lainnya. Sitar yang awal perkembangannya dimulai sekitar abad 13 hingga 16 Masehi, di negara asalnya, sayangnya begitu jarang diperdengarkan saat ini. Hanya sesekali digunakan untuk ritual berdoa maupun relaksasi. Sedangkan Tabla, yang sekilas bentuknya menyerupai Kendang ini, meminta perlakuan tersediri terkait dengan permukaan kulitnya. Tabla dimainkan secara fonetik dan diterjemahkan ke membran. Untuk melakukan tunning, Rahul, pria berkebangsaan India yang memainkan Tabla mesti membiarkan Tablanya menyesuaikan suhu ruang selama satu jam. Sedangkan Tanpura yang mirip dengan Sitar berfungsi memberikan pola dasar atau iringan untuk melodi yang dimainkan Sitar. Pemain Tanpura memegang peranan penting dalam menentukan rhtym.

Asrie dan Log Sanskrit berharap audiens mendapat pengalaman baru dan menangkap kebaikan dalam mendengarkan musik. Berbekal Tabla, Sitar dan Tanpura, musik klasik India yang dihadirkan Asrie dan Log Sanskrit mewujud dengan begitu meneduhkan. Di awal penampilan, Yussan Ahmad Fauzi (Tanpura) tampil seorang diri dengan menggemakan pola ritmis yang berulang. Beberapa saat kemudian Asrie masuk ke panggung, dan langsung memainkan Sitarnya. Dalam memainkan emosi penonton, Asrie memilih memainkan dinamika dengan melodi yang jarang dan rapat. Rahul mendapat giliran melengkapi tampilan dengan memainkan Tabla. Dinamika semakin naik dengan tabuhan, kadang Rahul menyelipkan sedikit vokal di antaranya.
Tak melulu mendengar satu arah, di tengah babak, audiens diberikan kesempatan untuk berdialog interaktif dengan Asrie Tresnady dan Log Sanskrit. Asrie menuturkan bahwa komposisi yang mereka bawakan berjudul Raga Yaman. Di antara tembang klasik India, mereka memilih komposisi tersebut karena Raga Yaman biasa dimainkan di malam hari. Musik yang mereka mainkan sengaja hanya mengeksplorasi sedikit jenis instrumen. Bagi mereka, hal menarik dari musik Hindustani adalah kompleksitasnya yang sesungguhnya dapat diterjemahkan secara sederhana. Mengandalkan begitu banyak improvisasi, pemain Sitar dituntut untuk menyamakan rasa dan mood dari musik yang mereka mainkan.
Sitar banyak mengimitasi vocal form dalam produksi suara. Mengimbangi vocal form yang terus berkembang seiring berjalan waktu, Sitar juga turut berevolusi. Sitar menjadi tumpuan penting dari pertunjukan, mengingat ia memegang improvisasi dari keseluruhan bunyi. ruang improvisasi itu berada di antara ketukan pertama hingga ketukan akhir sebelum kembali berulang. Sedangkan Tabla yang tediri dari Dayan (Tabla berukuran kecil) dan Bayan (Tabla berukuran besar) memiliki bentuk artikulasinya sendiri. Eksplorasi tempo dalam Tabla kerap dilakukan. Biasanya ketukan diawali dengan sederhana, kemudian semakin meningkat dalam dinamikanya. Tanpura yang berwujud nyaris serupa dengan Sitar, mampu menghasilkan suara humming yang merupakan hasil produksi suara dari benang.
Membawa rasa keingintahuan audiens tentang musik klasik India, Asrie mengatakan bahwa musik klasik India semuanya diangkat berdasarkan karya sastra. Sifatnya yang tidak pedagogik, namun begitu menuntut mental dan disiplin yang keras, terutama dalam menampilkan 'rasa' dari karya yang mereka sajikan. Meski bebas, Asrie terlihat menjaga improvisasinya, terkait dengan pemilihan melodi yang salah akan berakibat berubahnya mood dari musik yang dimainkan. Penekanan pada artikulasi yang jelas dan hitungan yang tepat menjadi begitu penting. Di India, audiens begitu kritis dalam mendengarkan. Pemilihan improvisasi yang salah atau campuran Raga akan dianggap sesuatu yang keliru. Secara keseluruhan, Sruti tampil sebagai perpaduan dua teknik, produksi melodi dan rhytm. Harapan musisi penampil Sruti : Svara of India agar musik ini dapat menjadi wahana baru untuk menaikkan level sensitifitas pendengar dalam menikmati musik, kiranya terwujud. Kebebasan mengekspresikan Svara yang dilakukan Asrie dan Log Sanskrit tersampaikan secara santai, dalam, menenangkan, namun interaktif.
Published on April 07, 2016 05:18
February 18, 2016
Tak Pernah Ada Babi di Rumah Ini
"Ada babi di rumah ini."
***
Sejak itu, mereka semua mencari. Di balik lemari, lipatan celana, hingga di dalam teko lawas. Di mana saja. Ini bukan sekadar perintah. Sejak dulu, Eyang paling takut dengan babi. Di masa tuanya, semua anak-cucu-cicit berlomba memberikan segalanya. Entah sungguh-sungguh atau hanya pura-pura. Jadwal kunjungan seluruh anak-cucu-cicit yang seminggu sekali berganti dari santap malam bersama, berbincang dan nonton TV, menjadi mencari babi. Rumah tua Eyang dengan halaman luas memang menjadi PR besar. Mereka gembira. Orang tua dan anak-anak kerjasama menyepakati pembagian area tugas dan dengan tekun mencari. Laki-laki kebanyakan mendapat area luar rumah, karena dinilai lebih awas menghadapi terjangan nyamuk atau lebah. Perempuan hanya sesekali mencari di ruang kerja atau kamar sembari menyiapkan makan malam di dapur. Ini terasa menyenangkan karena pembahasan tentang harta warisan terlupakan sejenak dan punggung yang saling bermusuhan menjadi saling bersentuhan. Eyang? Duduk tenang dalam diam dengan deritan kursi goyang tuanya.
***
Satu-dua kali, agenda mencari babi masih semenyenangkan permainan paintball. Barisan kepala apatis memilih menertawai pernyataan Eyang dan berhenti mencari di beberapa jam pertama. Katanya, buat apa memercayai ingatan dan imajinasi tua yang belum tentu benarnya. Personel pasukan pencari babi mulai diancam keruntuhan. Tapi beruntunglah masih ada kepala-kepala naif yang terus bekerja. Kata mereka, durhaka adalah salah satu hal paling menakutkan di dunia. Meski seandainya Eyang berbohong, tidak boleh terlontar kata berhenti. Mereka terus membohongi diri, melawan pertanyaan-pertanyaan yang berpotensi menimbulkan keraguan, meski sesungguhnya dalam hati terbisik demikian. Tersisa deretan realistis. Setelah mencari beberapa kali dan merasa tak menemukan tanda apa-apa, mereka melakukan negosiasi dengan Eyang. Mencoba bertanya, di mana ia melihat babi itu sebelumnya. Karena Eyang hanya tersenyum tanpa memberi jawaban, pemimpin tertua di antara tim realistis memberi kebijakan batas waktu. Beberapa sudut dan tipe pencarian, jika tak berhasil, rundingan dilakukan ulang dan berhenti. Dengan aturan, misi bisa dilanjutkan kembali sewaktu-waktu jika ada titik terang baru. Eyang hanya sesekali beranjak dari kursi rodanya dan melihat bagaimana keturunannya bertingkah.
***Eyang semakin banyak mengeluh belakangan. Ia bilang tak ada gunanya memiliki banyak anak-cucu. Membantunya menemukan seekor babi saja mereka tak sanggup. Makan malam bersama yang sejatinya menjadi ruang hangat untuk berbagi kisah, kini tak berbekas apa-apa. Berganti menjadi rapat pencarian babi. Masing-masing kepala berebut mengeluarkan pendapat. Mulai anak-anak hingga paruh baya. Sudah lama ini menjadi tradisi. Kebebasan berpendapat dikedepankan. Namun harus siap ditertawakan, dihujat, didebat, bahkan beberapa dewasa nyaris saling pukul karena beda pendapat. Merasa paling benar, dan menganggap yang lain nista. Namun diam-diam ada jiwa-jiwa yang goyah. Kepala realistis pun mulai ragu dengan dirinya, beberapa berpindah menjadi apatis. Beberapa dari tim naif, mulai bertanya-tanya dan memilih menjadi realistis. Apatis tertarik menjajal posisi naif demi mencari muka. Semua berlindung pada satu alasan yang sama : ingin menemukan babi dan membahagiakan Eyang.
***
Eyang terus menerus minta babi diketemukan. Jika tak ada yang sanggup, ia bahkan mengancam akan meminta bantuan polisi saja. Konyol, tapi Eyang tak pernah bercanda. Tim pencari babi semakin kalut. Beragam usul mulai bermunculan. Mulai memindahkan Eyang dari rumah, hingga memanggil bantuan orang lain. Makin banyak pertemuan, makin lebar jurang perpecahan. Pencarian pada akhirnya hanya sebatas perdebatan di ruang tengah yang tak pernah menghasilkan titik tengah apa-apa.
***
Tanah itu belum kering benar setelah disiram hujan. Seorang laki-laki tua dibantu pria muda, anaknya sendiri, tampak berpeluh menyelesaikan pekerjaan. Mereka menggali dan menimbun tanah.
"Carikan batu, Nak," sang ayah berucap dengan napas satu-dua, lelah yang belum hilang.Sang anak kembali beberapa jam kemudian dengan sebuah batu besar di tangannya, "Uang kita cuma cukup untuk yang ini, Pak."
"Ya sudah, mari dipasang."
Mereka lanjut bekerja, mengabaikan hari yang semakin disongsong gelap. Beberapa menit kemudian, mereka duduk menghadap hasil kerja sepanjang sore ini dari beranda.
Pemakaman Eyang di halaman rumah tak dihadiri seorang pun dari keturunannya.
"Cuma ini bakti terakhir Bapak untuk juragan," sang Ayah menghela napas kesedihan.
***
Tak pernah ada babi di rumah ini. Itu pesan terakhir Eyang pada pesuruh rumah. Baginya, betapa konyol perempuan tua ini. Di akhir hidupnya, ia membuat dirinya sendiri dalam kesepian dan kesia-siaan.
***
Kisah fiksi, ditulis untuk #NulisBarengAlumni @Kampusfiksi
***
Sejak itu, mereka semua mencari. Di balik lemari, lipatan celana, hingga di dalam teko lawas. Di mana saja. Ini bukan sekadar perintah. Sejak dulu, Eyang paling takut dengan babi. Di masa tuanya, semua anak-cucu-cicit berlomba memberikan segalanya. Entah sungguh-sungguh atau hanya pura-pura. Jadwal kunjungan seluruh anak-cucu-cicit yang seminggu sekali berganti dari santap malam bersama, berbincang dan nonton TV, menjadi mencari babi. Rumah tua Eyang dengan halaman luas memang menjadi PR besar. Mereka gembira. Orang tua dan anak-anak kerjasama menyepakati pembagian area tugas dan dengan tekun mencari. Laki-laki kebanyakan mendapat area luar rumah, karena dinilai lebih awas menghadapi terjangan nyamuk atau lebah. Perempuan hanya sesekali mencari di ruang kerja atau kamar sembari menyiapkan makan malam di dapur. Ini terasa menyenangkan karena pembahasan tentang harta warisan terlupakan sejenak dan punggung yang saling bermusuhan menjadi saling bersentuhan. Eyang? Duduk tenang dalam diam dengan deritan kursi goyang tuanya.
***
Satu-dua kali, agenda mencari babi masih semenyenangkan permainan paintball. Barisan kepala apatis memilih menertawai pernyataan Eyang dan berhenti mencari di beberapa jam pertama. Katanya, buat apa memercayai ingatan dan imajinasi tua yang belum tentu benarnya. Personel pasukan pencari babi mulai diancam keruntuhan. Tapi beruntunglah masih ada kepala-kepala naif yang terus bekerja. Kata mereka, durhaka adalah salah satu hal paling menakutkan di dunia. Meski seandainya Eyang berbohong, tidak boleh terlontar kata berhenti. Mereka terus membohongi diri, melawan pertanyaan-pertanyaan yang berpotensi menimbulkan keraguan, meski sesungguhnya dalam hati terbisik demikian. Tersisa deretan realistis. Setelah mencari beberapa kali dan merasa tak menemukan tanda apa-apa, mereka melakukan negosiasi dengan Eyang. Mencoba bertanya, di mana ia melihat babi itu sebelumnya. Karena Eyang hanya tersenyum tanpa memberi jawaban, pemimpin tertua di antara tim realistis memberi kebijakan batas waktu. Beberapa sudut dan tipe pencarian, jika tak berhasil, rundingan dilakukan ulang dan berhenti. Dengan aturan, misi bisa dilanjutkan kembali sewaktu-waktu jika ada titik terang baru. Eyang hanya sesekali beranjak dari kursi rodanya dan melihat bagaimana keturunannya bertingkah.
***Eyang semakin banyak mengeluh belakangan. Ia bilang tak ada gunanya memiliki banyak anak-cucu. Membantunya menemukan seekor babi saja mereka tak sanggup. Makan malam bersama yang sejatinya menjadi ruang hangat untuk berbagi kisah, kini tak berbekas apa-apa. Berganti menjadi rapat pencarian babi. Masing-masing kepala berebut mengeluarkan pendapat. Mulai anak-anak hingga paruh baya. Sudah lama ini menjadi tradisi. Kebebasan berpendapat dikedepankan. Namun harus siap ditertawakan, dihujat, didebat, bahkan beberapa dewasa nyaris saling pukul karena beda pendapat. Merasa paling benar, dan menganggap yang lain nista. Namun diam-diam ada jiwa-jiwa yang goyah. Kepala realistis pun mulai ragu dengan dirinya, beberapa berpindah menjadi apatis. Beberapa dari tim naif, mulai bertanya-tanya dan memilih menjadi realistis. Apatis tertarik menjajal posisi naif demi mencari muka. Semua berlindung pada satu alasan yang sama : ingin menemukan babi dan membahagiakan Eyang.
***
Eyang terus menerus minta babi diketemukan. Jika tak ada yang sanggup, ia bahkan mengancam akan meminta bantuan polisi saja. Konyol, tapi Eyang tak pernah bercanda. Tim pencari babi semakin kalut. Beragam usul mulai bermunculan. Mulai memindahkan Eyang dari rumah, hingga memanggil bantuan orang lain. Makin banyak pertemuan, makin lebar jurang perpecahan. Pencarian pada akhirnya hanya sebatas perdebatan di ruang tengah yang tak pernah menghasilkan titik tengah apa-apa.
***
Tanah itu belum kering benar setelah disiram hujan. Seorang laki-laki tua dibantu pria muda, anaknya sendiri, tampak berpeluh menyelesaikan pekerjaan. Mereka menggali dan menimbun tanah.
"Carikan batu, Nak," sang ayah berucap dengan napas satu-dua, lelah yang belum hilang.Sang anak kembali beberapa jam kemudian dengan sebuah batu besar di tangannya, "Uang kita cuma cukup untuk yang ini, Pak."
"Ya sudah, mari dipasang."
Mereka lanjut bekerja, mengabaikan hari yang semakin disongsong gelap. Beberapa menit kemudian, mereka duduk menghadap hasil kerja sepanjang sore ini dari beranda.
Pemakaman Eyang di halaman rumah tak dihadiri seorang pun dari keturunannya.
"Cuma ini bakti terakhir Bapak untuk juragan," sang Ayah menghela napas kesedihan.
***
Tak pernah ada babi di rumah ini. Itu pesan terakhir Eyang pada pesuruh rumah. Baginya, betapa konyol perempuan tua ini. Di akhir hidupnya, ia membuat dirinya sendiri dalam kesepian dan kesia-siaan.
***
Kisah fiksi, ditulis untuk #NulisBarengAlumni @Kampusfiksi
Published on February 18, 2016 07:55