Nabila Budayana's Blog, page 3
September 20, 2017
Pour L'amour de La Musique : Sajian Piano, Cello, dan Flute
Empat pemuda-pemudi menggemakan musik di aula Wisma Musik Melodia Surabaya 29 Agustus 2017 lalu. Melalui konser bertajuk Pour L'amour de La Musique, Felix Justin (piano), Jonathan Inkiriwang (piano), Jessica Jordanius (cello), dan Satryo Budi Gunawan (flute) hadir menyajikan musik mereka.
Konser dibuka dengan melodi yang menyenangkan dari Haydn Trio in D Major dibawakan oleh Jonathan, Satryo, dan Jessica. Terdiri dari tiga movement, Allegro, Andantino Piuttosto Allegretto, dan Vivace Assai, ketiga musisi cukup kompak melewati tantangan lagu. Running yang repetitif tak membuat kedodoran pada piano. Namun flute terdengar agak longgar di awal. Audiens dibawa ke tempo yang lebih lambat dan tenang kemudian. Di bagian akhir, stamina dan konsistensi pemain diuji dengan not yang semakin rapat dan cepat. Satryo terlihat memimpin dengan tetap sabar mengurai frase. Secara keseluruhan, Jonathan terasa agak tegang dalam menyampaikan pesan lagu, namun Jessica dan Satryo mampu mengimbangi dengan dewasa.
Audiens dibawa ke Ballade milik Ch. Lefebvre. Alunan yang tenang ini dibuka dengan banyak bagian solo dari flute. Komposisi yang tak terlalu panjang ini menarik pada bagian solo cello. Jessica mengisi ruangnya dengan sangat baik. Meski pada bagian akhir flute terdengar agak longgar, namun trio ini cukup berhasil menghadirkan nuansa ballad pada audiens.
Sebelum Felix Justin hadir, Satryo beramah-tamah dengan audiens dengan bagaimana lokasi di mana mereka bermain memiliki kenangan tersendiri, bagaimana sekolah musik itu banyak berarti bagi karier bermusik mereka saat ini. Beberapa dari penampil malam itu memulai perjalanan dunia musiknya dengan belajar pada pengajar senior di Melodia.
Foto : Dokumentasi Satryo Budi Gunawan
Felix Justin tampil dengan Prelude op.23 no.4 milik Rachmaninoff. Dengan berbagai pujian pada Felix tentang prestasi bermusiknya, tentu ekspektasi audiens dijunjung tinggi. Felix bermain dengan rapi dan tenang sejak not pertama. Dinamika yang terasa dan transisi yang halus menunjukkan kontrol yang prima. Felix berhasil menggambarkan cantiknya struktur komposisi ini dengan harmoni dan melodi yang disampaikan baik. Penjiwaan yang mumpuni juga berhasil membuat komposisi ini terasa menyentuh dengan emosi yang tepat.
Berlanjut Scherzo op.39 no.3 milik Chopin, Felix menghadirkan mood yang berbeda jauh dengan komposisi sebelumnya. Ketenangan Rachmaninoff langsung digantikan dengan melodi yang gelap namun grande dari Chopin. Komposisi ini menggambarkan kondisi emosi gelap ketika Chopin menyusunnya di dalam penjara. Terdengar rumit dan dinamika yang kerap cepat berubah, transisi terasa sangat mulus di tangan Felix. Tekstur yang rapi, forte yang menggetarkan, dan nuansa grande yang tersampaikan membuat rumitnya Chopin terasa menjadi pesan yang mudah dicerna dan dirasakan. Amarah dan kepedihan juga sampai pada audiens. Felix tampil dengan luar biasa baik.
Ditutup dengan Adagio Variation et Rondo milik Johann Nepomuk Hummel, Felix, Satryo, dan Jessica mengantarkan audiens pada sebuah ketenangan. Setelah disuguhkan tampilan solo yang cantik dari Felix, di komposisi ini Felix tampak "mundur" dengan memposisikan dirinya sama rata pada trio. Kekompakan antar penampil tampak cukup baik, dan perpindahan mood tersajikan dengan mulus. Hanya saja flute terasa longgar di beberapa bagian.
Secara keseluruhan, tampilan ini menghibur dengan pemilihan daftar komposisi yang dimainkan, beserta penyajian yang menarik dari para penampil.
Konser dibuka dengan melodi yang menyenangkan dari Haydn Trio in D Major dibawakan oleh Jonathan, Satryo, dan Jessica. Terdiri dari tiga movement, Allegro, Andantino Piuttosto Allegretto, dan Vivace Assai, ketiga musisi cukup kompak melewati tantangan lagu. Running yang repetitif tak membuat kedodoran pada piano. Namun flute terdengar agak longgar di awal. Audiens dibawa ke tempo yang lebih lambat dan tenang kemudian. Di bagian akhir, stamina dan konsistensi pemain diuji dengan not yang semakin rapat dan cepat. Satryo terlihat memimpin dengan tetap sabar mengurai frase. Secara keseluruhan, Jonathan terasa agak tegang dalam menyampaikan pesan lagu, namun Jessica dan Satryo mampu mengimbangi dengan dewasa.
Audiens dibawa ke Ballade milik Ch. Lefebvre. Alunan yang tenang ini dibuka dengan banyak bagian solo dari flute. Komposisi yang tak terlalu panjang ini menarik pada bagian solo cello. Jessica mengisi ruangnya dengan sangat baik. Meski pada bagian akhir flute terdengar agak longgar, namun trio ini cukup berhasil menghadirkan nuansa ballad pada audiens.
Sebelum Felix Justin hadir, Satryo beramah-tamah dengan audiens dengan bagaimana lokasi di mana mereka bermain memiliki kenangan tersendiri, bagaimana sekolah musik itu banyak berarti bagi karier bermusik mereka saat ini. Beberapa dari penampil malam itu memulai perjalanan dunia musiknya dengan belajar pada pengajar senior di Melodia.

Felix Justin tampil dengan Prelude op.23 no.4 milik Rachmaninoff. Dengan berbagai pujian pada Felix tentang prestasi bermusiknya, tentu ekspektasi audiens dijunjung tinggi. Felix bermain dengan rapi dan tenang sejak not pertama. Dinamika yang terasa dan transisi yang halus menunjukkan kontrol yang prima. Felix berhasil menggambarkan cantiknya struktur komposisi ini dengan harmoni dan melodi yang disampaikan baik. Penjiwaan yang mumpuni juga berhasil membuat komposisi ini terasa menyentuh dengan emosi yang tepat.
Berlanjut Scherzo op.39 no.3 milik Chopin, Felix menghadirkan mood yang berbeda jauh dengan komposisi sebelumnya. Ketenangan Rachmaninoff langsung digantikan dengan melodi yang gelap namun grande dari Chopin. Komposisi ini menggambarkan kondisi emosi gelap ketika Chopin menyusunnya di dalam penjara. Terdengar rumit dan dinamika yang kerap cepat berubah, transisi terasa sangat mulus di tangan Felix. Tekstur yang rapi, forte yang menggetarkan, dan nuansa grande yang tersampaikan membuat rumitnya Chopin terasa menjadi pesan yang mudah dicerna dan dirasakan. Amarah dan kepedihan juga sampai pada audiens. Felix tampil dengan luar biasa baik.
Ditutup dengan Adagio Variation et Rondo milik Johann Nepomuk Hummel, Felix, Satryo, dan Jessica mengantarkan audiens pada sebuah ketenangan. Setelah disuguhkan tampilan solo yang cantik dari Felix, di komposisi ini Felix tampak "mundur" dengan memposisikan dirinya sama rata pada trio. Kekompakan antar penampil tampak cukup baik, dan perpindahan mood tersajikan dengan mulus. Hanya saja flute terasa longgar di beberapa bagian.
Secara keseluruhan, tampilan ini menghibur dengan pemilihan daftar komposisi yang dimainkan, beserta penyajian yang menarik dari para penampil.
Published on September 20, 2017 02:39
September 14, 2017
Lantun dan Denting : Resital Klarinet dan Piano
Kembali mengenali dan tampil di tanah sendiri menjadi tantangan bagi pianis muda, Danang Dirhamsyah. Mahasiswa musik di Jerman yang sedang menyelesaikan pendidikan master-nya ini kembali tampil di negeri sendiri setelah lima tahun. Membawa rekannya asal Lithuania, Ugne Varanauskaite (Klarinet), bersama Pertemuan Musik mereka menyapa publik Surabaya melalui Resital Klarinet dan Piano di 28 Agustus 2017 lalu. Selain mengadakan pertunjukan, mereka juga memberikan masterclass untuk piano dan klarinet di kampus UNESA tanggal 29 Agustus 2017.
Tampil dengan kostum senada, Dagna dan Ugne membuka pertunjukan dengan Camille Saint-Saens -Sonata Clarinet op. 167. Menghadirkan empat movement, Danang dan Ugne berkolaborasi. Pada Allegretto, movement pertama, dihadirkan nuansa legato yang tenang. Masih ada keseruan dinamika yang bisa dikerjakan dengan lebih baik oleh Danang dan Ugne. Di movement kedua, Allegro animato komposisi mulai menuntut dengan kerapatan not yang rancak. Kemampuan Ugne diuji dalam hal kerapian frase. Lento di movement ketiga membawa audiens dalam nuansa kelam dan minor. Di Molto Allegro, dinamika pun dinaikkan di bagian menjelang akhir dengan banyak running notes yang menuntut kekompakan antar pemain. Repertoar ini ditutup dengan kembali ke ketenangan serupa di awal. Danang dan Ugne bisa memberikan chemistry dan pesan yang lebih baik di awal pertunjukan, agar komposisi ini tersampaikan secara dramatis.
Audiens diajak mundur seratus tahun dari komposisi sebelumnya di kesempatan kedua. Danang menghadirkan Piano Sonata A flat major op. 110 milik Beethoven. Komposisi ini merupakan rangkaian tiga sonata piano karya Beethoven yang terinspirasi kisah tragedi Yunani kuno. Menurut Danang yang memberikan pengantar sebelum komposisi ini dimainkan, karya ini memiliki keunikan dengan penitikberatan komposisi di bagian akhir. Dibuka dengan ketenangan dengan kerapatan not, thrill yang dihasilkan Danang rapi. Dinamika yang dibawakannya pun cukup tersampaikan. Komposisi panjang ini memberikan beban pada pemain untuk melawan kemonotonan. Danang melewatinya dengan cukup baik.
Foto : Dokumentasi Pertemuan Musik
Setelah jeda, Ugne mengambil alih panggung dengan memainkan Three Pieces untuk Klarinet tunggal milik Stravinsky. Karya ini menunjukkan posibilitas bunyi yang dapat dihasilkan dari klarinet, dengan menunjukkan nuansa hangat maupun dingin dari lantunan sebuah klarinet. Movement pertama dibuka dengan kelembutan yang bercerita. Tak panjang, movement kedua sangat berbeda. Not yang rapat sering hadir dengan lincah, menceritakan tentang kucing dan burung yang bermain bersama. Di bagian akhir, Ugne mengganti klarinetnya untuk mencapai not-not tinggi. Bagian akhir yang bertempo cepat dan terkesan rumit ini menjadi klimaks dari komposisi. Ugne ditantang untuk menjaga konsistensi staminanya agar karya ini terdengar lebih rapi.
Tetap membawa semangat Indonesia di antara karyanya, Danang dan Ugne juga menyajikan Derau Hening karya Gema Swaratyagita. Karya kontemporer ini diciptakan Gema karena terinspirasi oleh sebuah kota kecil di Jerman, Lubeck. Karya yang diciptakan khusus untuk duet piano dan klarinet, Danang dan Ugne ini mencoba menggambarkan keheningan dengan riuh perkotaan yang menyelip. Pada komposisi ini, Danang dan Ugne seakan membawa mood penonton kembali. Banyak yang berbeda dari karya ini. Dinamika yang naik turun dengan nuansa kelam yang ganjil, klarinet yang dimainkan tanpa melodi, sehingga seakan menggambarkan desau angin yang berembus. Ugne juga kerap memukul pelan tubuh klarinet sebagai bentuk suara baru. Komposisi ini menghadirkan kisah melalui bunyi yang ditampilkan. Meski terinspirasi dari kota di Eropa, namun terasa ada nuansa Indonesia dari pemilihan melodi serupa pelog yang dibawakan Danang. Sepi yang melelahkan bukan hanya tergambar dari bunyi yang dihasilkan alat musik, namun juga hela napas dari para pemain yang menutup komposisi ini.
Pada Ballade op.10 milik Brahms, Danang tampil dengan lebih lepas pada komposisi ini. Karya ini terinspirasi oleh sebuah puisi Jerman yang membawa kisah sebuah perbincangan antara ibu dan anaknya. Sang ibu menanyakan mengapa pisau milik sang anak berlumuran cairan merah. Konflik memuncak ketika sang ibu tahu bahwa itu bukanlah darah hasil buruan, namun darah dari sang ayah sendiri. Karakter masing-masing fase adegan dipindahkan Brahms pada tiga buah tema di No.1 D Minor. Tentang sang ibu, anak, dan nuansa dramatis dari dialog mereka. Sedangkan pada No.2 D Mayor ditampilkan dengan lebih tenang. Hentakan pertama seakan sudah berkisah tentang ketegasan. Perlahan dinamika dibawa naik, dengan nuansa gelap yang menegangkan. Danang membawa audiens pada sebuah bisikan dan rahasia. Frase-frase Danang terdengar rapi, sehingga nuansa dan pesan tersampaikan.
Dance prelude untuk klarinet dan piano Lutoslawski. Komposisi yang menjadi karya berbau musik tradisional Polandia terakhir dari sang komposer ini menarik. Begitu dimulai, audiens langsung disambut dengan pilihan-pilihan melodi khas Polandia yang bertempo cepat. Tak lama, movement kedua menyajikan nuansa kontemporer yang kelam dan misterius. Beralih ke movement ketiga Allegro giocoso, audiens dibawa pada tempo yang cepat. Kekompakan dan kemampuan teknis personal dari masing-masing instrumen sangat dibutuhkan. Andante menjadi movement berikutnya. Seakan mengendap dengan not yang jarang dan tenang, sang penari memperlambat geraknya. Allegro Molto menjadi penutup yang rapat dan cepat. Komposisi ini mengharapkan artikulasi yang jelas untuk menyampaikan kalimat-kalimatnya dengan jernih.
Duet muda ini membawa kesegaran pada publik Surabaya karena tak banyak hadir duet piano dan klarinet dalam panggung-panggung pertunjukan. Danang dan Ugne memberi sebuah tampilan yang jujur dan menunjukkan semangat berkembang yang tinggi.
Tampil dengan kostum senada, Dagna dan Ugne membuka pertunjukan dengan Camille Saint-Saens -Sonata Clarinet op. 167. Menghadirkan empat movement, Danang dan Ugne berkolaborasi. Pada Allegretto, movement pertama, dihadirkan nuansa legato yang tenang. Masih ada keseruan dinamika yang bisa dikerjakan dengan lebih baik oleh Danang dan Ugne. Di movement kedua, Allegro animato komposisi mulai menuntut dengan kerapatan not yang rancak. Kemampuan Ugne diuji dalam hal kerapian frase. Lento di movement ketiga membawa audiens dalam nuansa kelam dan minor. Di Molto Allegro, dinamika pun dinaikkan di bagian menjelang akhir dengan banyak running notes yang menuntut kekompakan antar pemain. Repertoar ini ditutup dengan kembali ke ketenangan serupa di awal. Danang dan Ugne bisa memberikan chemistry dan pesan yang lebih baik di awal pertunjukan, agar komposisi ini tersampaikan secara dramatis.
Audiens diajak mundur seratus tahun dari komposisi sebelumnya di kesempatan kedua. Danang menghadirkan Piano Sonata A flat major op. 110 milik Beethoven. Komposisi ini merupakan rangkaian tiga sonata piano karya Beethoven yang terinspirasi kisah tragedi Yunani kuno. Menurut Danang yang memberikan pengantar sebelum komposisi ini dimainkan, karya ini memiliki keunikan dengan penitikberatan komposisi di bagian akhir. Dibuka dengan ketenangan dengan kerapatan not, thrill yang dihasilkan Danang rapi. Dinamika yang dibawakannya pun cukup tersampaikan. Komposisi panjang ini memberikan beban pada pemain untuk melawan kemonotonan. Danang melewatinya dengan cukup baik.

Setelah jeda, Ugne mengambil alih panggung dengan memainkan Three Pieces untuk Klarinet tunggal milik Stravinsky. Karya ini menunjukkan posibilitas bunyi yang dapat dihasilkan dari klarinet, dengan menunjukkan nuansa hangat maupun dingin dari lantunan sebuah klarinet. Movement pertama dibuka dengan kelembutan yang bercerita. Tak panjang, movement kedua sangat berbeda. Not yang rapat sering hadir dengan lincah, menceritakan tentang kucing dan burung yang bermain bersama. Di bagian akhir, Ugne mengganti klarinetnya untuk mencapai not-not tinggi. Bagian akhir yang bertempo cepat dan terkesan rumit ini menjadi klimaks dari komposisi. Ugne ditantang untuk menjaga konsistensi staminanya agar karya ini terdengar lebih rapi.
Tetap membawa semangat Indonesia di antara karyanya, Danang dan Ugne juga menyajikan Derau Hening karya Gema Swaratyagita. Karya kontemporer ini diciptakan Gema karena terinspirasi oleh sebuah kota kecil di Jerman, Lubeck. Karya yang diciptakan khusus untuk duet piano dan klarinet, Danang dan Ugne ini mencoba menggambarkan keheningan dengan riuh perkotaan yang menyelip. Pada komposisi ini, Danang dan Ugne seakan membawa mood penonton kembali. Banyak yang berbeda dari karya ini. Dinamika yang naik turun dengan nuansa kelam yang ganjil, klarinet yang dimainkan tanpa melodi, sehingga seakan menggambarkan desau angin yang berembus. Ugne juga kerap memukul pelan tubuh klarinet sebagai bentuk suara baru. Komposisi ini menghadirkan kisah melalui bunyi yang ditampilkan. Meski terinspirasi dari kota di Eropa, namun terasa ada nuansa Indonesia dari pemilihan melodi serupa pelog yang dibawakan Danang. Sepi yang melelahkan bukan hanya tergambar dari bunyi yang dihasilkan alat musik, namun juga hela napas dari para pemain yang menutup komposisi ini.
Pada Ballade op.10 milik Brahms, Danang tampil dengan lebih lepas pada komposisi ini. Karya ini terinspirasi oleh sebuah puisi Jerman yang membawa kisah sebuah perbincangan antara ibu dan anaknya. Sang ibu menanyakan mengapa pisau milik sang anak berlumuran cairan merah. Konflik memuncak ketika sang ibu tahu bahwa itu bukanlah darah hasil buruan, namun darah dari sang ayah sendiri. Karakter masing-masing fase adegan dipindahkan Brahms pada tiga buah tema di No.1 D Minor. Tentang sang ibu, anak, dan nuansa dramatis dari dialog mereka. Sedangkan pada No.2 D Mayor ditampilkan dengan lebih tenang. Hentakan pertama seakan sudah berkisah tentang ketegasan. Perlahan dinamika dibawa naik, dengan nuansa gelap yang menegangkan. Danang membawa audiens pada sebuah bisikan dan rahasia. Frase-frase Danang terdengar rapi, sehingga nuansa dan pesan tersampaikan.
Dance prelude untuk klarinet dan piano Lutoslawski. Komposisi yang menjadi karya berbau musik tradisional Polandia terakhir dari sang komposer ini menarik. Begitu dimulai, audiens langsung disambut dengan pilihan-pilihan melodi khas Polandia yang bertempo cepat. Tak lama, movement kedua menyajikan nuansa kontemporer yang kelam dan misterius. Beralih ke movement ketiga Allegro giocoso, audiens dibawa pada tempo yang cepat. Kekompakan dan kemampuan teknis personal dari masing-masing instrumen sangat dibutuhkan. Andante menjadi movement berikutnya. Seakan mengendap dengan not yang jarang dan tenang, sang penari memperlambat geraknya. Allegro Molto menjadi penutup yang rapat dan cepat. Komposisi ini mengharapkan artikulasi yang jelas untuk menyampaikan kalimat-kalimatnya dengan jernih.
Duet muda ini membawa kesegaran pada publik Surabaya karena tak banyak hadir duet piano dan klarinet dalam panggung-panggung pertunjukan. Danang dan Ugne memberi sebuah tampilan yang jujur dan menunjukkan semangat berkembang yang tinggi.
Published on September 14, 2017 02:05
September 3, 2017
Lantunan Cinta dari Belanda : Uit Utrecht met Liefde
Mendalami musik dari tiga konservatori yang berbeda, Felix Justin (piano), Satriya Krisna (Tenor), dan Marlina Deasy Hartanto (Soprano) bertemu dan menemukan keinginan yang sama untuk menggelar pertunjukan bersama ketika berada di Utrecht. Membawa musik dan cinta dari negeri Belanda, ketiganya mengunjungi Surabaya di 15 Agustus 2017 lalu untuk pertunjukan bertajuk "Uit Utrecht met Liefde" (From Utrecht with Love).
Malam itu Gedung pertunjukan Cak Durasim cukup penuh. Melihat bagaimana di saat bersamaan, publik Surabaya juga disuguhkan konser kolaborasi Worldship Orchestra, Amadeus Orchestra, dan Airlangga Orchestra di tempat berbeda, animo penonton dalam menanggapi cinta trio anak bangsa Felix, Deasy, dan Satriya terhitung sangat bagus.
Meski dimulai cukup larut daripada biasanya, namun konser tak begitu saja dimulai. Di bagian awal, para penampil dipandu Patrisna May Widuri menyapa hangat audiens dan memberikan sedikit pengantar terkait karier yang sedang mereka jalani, juga tentang beberapa karya yang akan mereka tampilkan.
Foto : Dokumentasi Amadeus
Tiga anak muda ini membawa banyak prestasi dari kemampuan bermusik mereka. Satriya, misalnya. Ia baru saja lolos sebagai peserta pertama yang mewakili Indonesia di sebuah kompetisi vokal bergengsi di Swiss. Ia sibuk mengunjungi berbagai negara untuk mengikuti bermacam ajang. Felix yang baru saja lulus dengan nilai sempurna untuk pendidikan master-nya membentuk trio musik kamar, dan aktif di Samsakta Duo dengan Satriya Krisna. Felix pun tak lelah mengikuti berbagai kompetisi. Sedangkan Deasy sedang mengupayakan pendidikan musik untuk balita yang ia kembangkan di Jakarta.
Di Uit Utrecht met Liefde, mereka bertiga sepakat untuk membawakan komposisi-komposisi yang jarang diperdengarkan di ruang-ruang konser di Indonesia. Jika membaca sekilas daftarnya, komposisi yang mereka mainkan sangat banyak dan padat. Termasuk salah satunya "Pictures at an Exhibition" milik Modest Mussorgsky yang sangat jarang dimainkan secara utuh karena panjang komposisinya.
Konser ini terasa ramah pada audiens karena hampir setiap kali komposisi akan dimainkan, penampil memberikan panduan tentang isi karya. Dibagi menjadi empat bagian, bagian pertama diisi dengan komposisi-komposisi pendek. Bermula dari Als Luise die Briefe milik Mozart, Deasy yang manis ketika berbicara langsung berubah menjadi penuh amarah dengan suara soprannya. Sesaat, Deasy menjadi seorang kekasih yang dikhianati kekasihnya. Sementara Felix rapi dan tenang dalam menyajikan komposisi mengiringi Deasy. Disusul dengan Du Meines Herzens Kronelein dan Das Rosenband baik Felix maupun Deasy menunjukkan stamina yang bagus. Akhir babak pertama ditutup dengan Romance milik Debussy.
Foto : Dokumentasi Amadeus
Babak kedua menjadi ruang bagi Felix untuk mengajak audiens menjelajah galeri lukisan. Karya ini didekasikan Mussorgsky untuk sahabatnya, Viktor Hartmann yang merupakan seorang seniman, arsitek, dan desainer. Melalui sepuluh sub-karya pendek ditambah dengan pengulangan dan variasi pola Promenade, pengalaman indera penglihatan ketika memandang berbagai jenis lukisan dipindahkan pada gema di ruang konser oleh Felix. Bermacam tema diperdengarkan. Derap-derap zaman romantik Rusia milik Mussorgky pun terasa melalui tema awal Promenade. Kesenangan berjalan mengitari galeri, hingga kesedihan seseorang dalam mengingat sahabatnya. Dalam Gnomus, digambarkan gnome yang mengendap hingga berlari cepat dengan kaki bengkoknya. Audiens dikembalikan sesaat ke variasi promenade sebelum ke kemisteriusan panjang dari kastil tua melalui Il Vecchio Castello. Dinamika dinaikkan kemudian dengan hentakan dari versi forte Promenade. Audiens kemudian disuguhkan langkah kecil dari kaki anak-anak melalui staccato dari Tuileries.
Bydlo langsung hadir mengejutkan dengan fortissimo hingga berujung pianissimo sebagai penggambaran deru kereta kuda. Suguhan kembali pada promenade yang kali ini bernuansa gelap. Sesaat kemudian audiens langsung dibawa ke Balet Nevylupivshikhsya Ptentsov yang lincah, dan menggambarkan kekacauan khas anak-anak. Secara tiba-tiba, audiens diboyong ke persahabatan dua orang yahudi miskin dan kaya, Samuel Goldenberg and Schmuyle, nuansa ketegangan yang dihadirkan bagai berkisah tentang jurang sosial yang memisahkan dua sahabat ini.
Dikembalikan ke variasi Promenade yang ceria dan grande, keributan di pasar Limoges le Marche menyusul. Melodi yang padat sesuai dengan riuhnya warna pada lukisan yang menggambarkannya. Catacombs menghadirkan suasana bawah tanah Paris yang kelam dan kadang menyimpan kepedihan. Nuansa perkabungan diperdengarkan melalui Promenade : Con Mortuis in Lingua Morta. Dinamika ditarik naik dengan not-not rapat dari Izahbuska Na Kur'ikh Nozhkakh yang berkisah tentang kejam dan gelapnya penyihir Baba Yaga yang menelan anak-anak. Ketegangan ketika memburu korban tergambarkan.
Komposisi panjang ini ditutup dengan Bogatyrskie Vorota yang mengingatkan pada dering lonceng, dan ketegapan prajurit. Ditutup dengan hentakan, Felix mendapat apresiasi positif untuk stamina dan keberaniannya menawarkan komposisi panjang ini pada audiens. Felix terdengar sangat rapi dan detail, namun audiens bisa mendapatkan kesan yang lebih dramatis dari tampilan ini.
Foto : Dokumentasi Amadeus
Babak ketiga menjadi milik Samsakta Duo, tenor dan piano oleh Satriya dan Felix. Membawakan Der Kuss karya Beethoven, nuansa lincah dihadirkan. Komposisi pendek ini berkisah tentang kisah seorang lelaki yang ingin mencium kekasihnya. Satriya tampil dengan lepas dan gerak tubuh yang ekspresif. Dinamika dari cerita pun tersampaikan. Tampilan ini berhasil menghadirkan senyum di antara audiens.
Bertolak belakang dengan komposisi sebelumnya, membawakan karya Nachtstuck D.672 milik Schubert tentang kematian yang indah, dikisahkan, sang tokoh, seorang kakek tua memainkan harpa dan menyanyi hingga kemudian kematian menjemputnya. Dibuka dengan perlahan, sederhana dan tenang, nuansa minor pun seketika menyergap. Harmoni yang disajikan Satriya dan Felix pun terasa kelam, bijaksana, dan sangat menyentuh.
Ketegasan dan amarah hadir kemudian melalui Le Manoir de Rosemonde milik Henri Duparc. Yang kemudian dilanjutkan dengan ketenangan dan kelembutan dari Sanglots from Banalites karya Poulenc yang terasa indah sekaligus muram. Felix dan Satriya kemudian menyajikan I Heard You Singing karya Eric Coates dengan sangat cantik. Mereka berhasil menyampaikan nuansa romantis dan elegan yang menyentuh. Spring Waters Rachmaninov yang menggambarkan tentang antusiasme menyambut datangnya musim semi menjadi penutup untuk babak ketiga. Felix dan Satriya terasa matang dan padu dalam berduet.
Foto : Dokumentasi Amadeus
Seakan mengantarkan audiens sebelum usai, di bagian terakhir, Felix, Satriya, dan Deasy bergantian menyajikan trio dan duo. Pada In der Nacht milik Schumann, ketiga penampil hadir. Enggan membiarkan berlalu dengan biasa, Deasy dan Satriya bermain-main dengan ekspresi dan gerak tubuh serupa opera sebagai pemanja visual.
Deasy dan Felix kemudian membawakan Che Fieromomento dari opera OrfeoedEuridice karya Christoph W. Gluck menghadirkan emosi yang berbeda. Deh Vieni dari opera Le nozze di Figaro menjadi suguhan berikutnya. Deasy tampak mulai bermain dengan gerak tubuhnya. Menggantikan Deasy, Satriya dan Felix hadir dengan komposisi Kuda, kuda vi udalilis dari opera Eugene Onegin karya Tchaikovsky. Satriya seakan hadir dengan menantang audiens dengan pertanyaan. Deasy dan Felix kembali dengan Ah non credea dari opera La Sonambula milik Bellini. Komposisi ini menjadi ajang Deasy untuk menunjukkan teknik vokalnya melalui dinamisnya alur lagu. Ditutup dengan Amor ti vieta dari opera Fedora milik Giordano, Satriya dan Felix memberikan sebuah akhir yang mengesankan. Meski bersahutan, keduanya kompak dari segi timing dan harmoni sehingga komposisi tersampaikan dengan sangat mengalir dan melahirkan tepuk tangan meriah.
Foto : Dokumentasi Amadeus
Ikatan musikal yang lebih kuat antara Satriya dan Felix membuat bagian duo menjadi lebih solid daripada trio. Penampilan yang nyaman dan lepas selalu bekerja untuk menyampaikan pesan, membangun suasana, dan estetika musikal.
Satriya, Felix, dan Deasy sepakat membawa musik kali ini bukan hanya sebagai pertunjukan yang melahirkan tepuk tangan, namun juga untuk memberi inspirasi baru pada audiens untuk membawa kecintaan dan kemampuan bermusiknya pada dunia, serta memperdengarkan wawasan musik baru pada publik pencinta musik Indonesia.
Foto : Dokumentasi Amadeus
Malam itu Gedung pertunjukan Cak Durasim cukup penuh. Melihat bagaimana di saat bersamaan, publik Surabaya juga disuguhkan konser kolaborasi Worldship Orchestra, Amadeus Orchestra, dan Airlangga Orchestra di tempat berbeda, animo penonton dalam menanggapi cinta trio anak bangsa Felix, Deasy, dan Satriya terhitung sangat bagus.
Meski dimulai cukup larut daripada biasanya, namun konser tak begitu saja dimulai. Di bagian awal, para penampil dipandu Patrisna May Widuri menyapa hangat audiens dan memberikan sedikit pengantar terkait karier yang sedang mereka jalani, juga tentang beberapa karya yang akan mereka tampilkan.

Tiga anak muda ini membawa banyak prestasi dari kemampuan bermusik mereka. Satriya, misalnya. Ia baru saja lolos sebagai peserta pertama yang mewakili Indonesia di sebuah kompetisi vokal bergengsi di Swiss. Ia sibuk mengunjungi berbagai negara untuk mengikuti bermacam ajang. Felix yang baru saja lulus dengan nilai sempurna untuk pendidikan master-nya membentuk trio musik kamar, dan aktif di Samsakta Duo dengan Satriya Krisna. Felix pun tak lelah mengikuti berbagai kompetisi. Sedangkan Deasy sedang mengupayakan pendidikan musik untuk balita yang ia kembangkan di Jakarta.
Di Uit Utrecht met Liefde, mereka bertiga sepakat untuk membawakan komposisi-komposisi yang jarang diperdengarkan di ruang-ruang konser di Indonesia. Jika membaca sekilas daftarnya, komposisi yang mereka mainkan sangat banyak dan padat. Termasuk salah satunya "Pictures at an Exhibition" milik Modest Mussorgsky yang sangat jarang dimainkan secara utuh karena panjang komposisinya.
Konser ini terasa ramah pada audiens karena hampir setiap kali komposisi akan dimainkan, penampil memberikan panduan tentang isi karya. Dibagi menjadi empat bagian, bagian pertama diisi dengan komposisi-komposisi pendek. Bermula dari Als Luise die Briefe milik Mozart, Deasy yang manis ketika berbicara langsung berubah menjadi penuh amarah dengan suara soprannya. Sesaat, Deasy menjadi seorang kekasih yang dikhianati kekasihnya. Sementara Felix rapi dan tenang dalam menyajikan komposisi mengiringi Deasy. Disusul dengan Du Meines Herzens Kronelein dan Das Rosenband baik Felix maupun Deasy menunjukkan stamina yang bagus. Akhir babak pertama ditutup dengan Romance milik Debussy.

Babak kedua menjadi ruang bagi Felix untuk mengajak audiens menjelajah galeri lukisan. Karya ini didekasikan Mussorgsky untuk sahabatnya, Viktor Hartmann yang merupakan seorang seniman, arsitek, dan desainer. Melalui sepuluh sub-karya pendek ditambah dengan pengulangan dan variasi pola Promenade, pengalaman indera penglihatan ketika memandang berbagai jenis lukisan dipindahkan pada gema di ruang konser oleh Felix. Bermacam tema diperdengarkan. Derap-derap zaman romantik Rusia milik Mussorgky pun terasa melalui tema awal Promenade. Kesenangan berjalan mengitari galeri, hingga kesedihan seseorang dalam mengingat sahabatnya. Dalam Gnomus, digambarkan gnome yang mengendap hingga berlari cepat dengan kaki bengkoknya. Audiens dikembalikan sesaat ke variasi promenade sebelum ke kemisteriusan panjang dari kastil tua melalui Il Vecchio Castello. Dinamika dinaikkan kemudian dengan hentakan dari versi forte Promenade. Audiens kemudian disuguhkan langkah kecil dari kaki anak-anak melalui staccato dari Tuileries.
Bydlo langsung hadir mengejutkan dengan fortissimo hingga berujung pianissimo sebagai penggambaran deru kereta kuda. Suguhan kembali pada promenade yang kali ini bernuansa gelap. Sesaat kemudian audiens langsung dibawa ke Balet Nevylupivshikhsya Ptentsov yang lincah, dan menggambarkan kekacauan khas anak-anak. Secara tiba-tiba, audiens diboyong ke persahabatan dua orang yahudi miskin dan kaya, Samuel Goldenberg and Schmuyle, nuansa ketegangan yang dihadirkan bagai berkisah tentang jurang sosial yang memisahkan dua sahabat ini.
Dikembalikan ke variasi Promenade yang ceria dan grande, keributan di pasar Limoges le Marche menyusul. Melodi yang padat sesuai dengan riuhnya warna pada lukisan yang menggambarkannya. Catacombs menghadirkan suasana bawah tanah Paris yang kelam dan kadang menyimpan kepedihan. Nuansa perkabungan diperdengarkan melalui Promenade : Con Mortuis in Lingua Morta. Dinamika ditarik naik dengan not-not rapat dari Izahbuska Na Kur'ikh Nozhkakh yang berkisah tentang kejam dan gelapnya penyihir Baba Yaga yang menelan anak-anak. Ketegangan ketika memburu korban tergambarkan.
Komposisi panjang ini ditutup dengan Bogatyrskie Vorota yang mengingatkan pada dering lonceng, dan ketegapan prajurit. Ditutup dengan hentakan, Felix mendapat apresiasi positif untuk stamina dan keberaniannya menawarkan komposisi panjang ini pada audiens. Felix terdengar sangat rapi dan detail, namun audiens bisa mendapatkan kesan yang lebih dramatis dari tampilan ini.

Babak ketiga menjadi milik Samsakta Duo, tenor dan piano oleh Satriya dan Felix. Membawakan Der Kuss karya Beethoven, nuansa lincah dihadirkan. Komposisi pendek ini berkisah tentang kisah seorang lelaki yang ingin mencium kekasihnya. Satriya tampil dengan lepas dan gerak tubuh yang ekspresif. Dinamika dari cerita pun tersampaikan. Tampilan ini berhasil menghadirkan senyum di antara audiens.
Bertolak belakang dengan komposisi sebelumnya, membawakan karya Nachtstuck D.672 milik Schubert tentang kematian yang indah, dikisahkan, sang tokoh, seorang kakek tua memainkan harpa dan menyanyi hingga kemudian kematian menjemputnya. Dibuka dengan perlahan, sederhana dan tenang, nuansa minor pun seketika menyergap. Harmoni yang disajikan Satriya dan Felix pun terasa kelam, bijaksana, dan sangat menyentuh.
Ketegasan dan amarah hadir kemudian melalui Le Manoir de Rosemonde milik Henri Duparc. Yang kemudian dilanjutkan dengan ketenangan dan kelembutan dari Sanglots from Banalites karya Poulenc yang terasa indah sekaligus muram. Felix dan Satriya kemudian menyajikan I Heard You Singing karya Eric Coates dengan sangat cantik. Mereka berhasil menyampaikan nuansa romantis dan elegan yang menyentuh. Spring Waters Rachmaninov yang menggambarkan tentang antusiasme menyambut datangnya musim semi menjadi penutup untuk babak ketiga. Felix dan Satriya terasa matang dan padu dalam berduet.

Seakan mengantarkan audiens sebelum usai, di bagian terakhir, Felix, Satriya, dan Deasy bergantian menyajikan trio dan duo. Pada In der Nacht milik Schumann, ketiga penampil hadir. Enggan membiarkan berlalu dengan biasa, Deasy dan Satriya bermain-main dengan ekspresi dan gerak tubuh serupa opera sebagai pemanja visual.
Deasy dan Felix kemudian membawakan Che Fieromomento dari opera OrfeoedEuridice karya Christoph W. Gluck menghadirkan emosi yang berbeda. Deh Vieni dari opera Le nozze di Figaro menjadi suguhan berikutnya. Deasy tampak mulai bermain dengan gerak tubuhnya. Menggantikan Deasy, Satriya dan Felix hadir dengan komposisi Kuda, kuda vi udalilis dari opera Eugene Onegin karya Tchaikovsky. Satriya seakan hadir dengan menantang audiens dengan pertanyaan. Deasy dan Felix kembali dengan Ah non credea dari opera La Sonambula milik Bellini. Komposisi ini menjadi ajang Deasy untuk menunjukkan teknik vokalnya melalui dinamisnya alur lagu. Ditutup dengan Amor ti vieta dari opera Fedora milik Giordano, Satriya dan Felix memberikan sebuah akhir yang mengesankan. Meski bersahutan, keduanya kompak dari segi timing dan harmoni sehingga komposisi tersampaikan dengan sangat mengalir dan melahirkan tepuk tangan meriah.

Ikatan musikal yang lebih kuat antara Satriya dan Felix membuat bagian duo menjadi lebih solid daripada trio. Penampilan yang nyaman dan lepas selalu bekerja untuk menyampaikan pesan, membangun suasana, dan estetika musikal.
Satriya, Felix, dan Deasy sepakat membawa musik kali ini bukan hanya sebagai pertunjukan yang melahirkan tepuk tangan, namun juga untuk memberi inspirasi baru pada audiens untuk membawa kecintaan dan kemampuan bermusiknya pada dunia, serta memperdengarkan wawasan musik baru pada publik pencinta musik Indonesia.

Published on September 03, 2017 05:49
April 1, 2017
Terus Hidup : Slamet dalam Karya, Laku, dan Ilmu
Slamet Abdul Sjukur, komponis musik kontemporer Indonesia, masih pekat dalam kenangan. Mengenang dua tahun kepergiannya, delapan kota di Indonesia mengadakan pertemuan di waktu yang berdekatan. Jogjakarta, Surabaya, Papua, Jakarta, Bogor, Pontianak, Padang Panjang, dan Bandung.
"Slamet dalam Karya, Laku, dan Ilmu" terwujud 27 Maret 2017 lalu. Di sekitar panggung kecil di Warung Mbah Cokro Surabaya, berkumpul murid-murid, sahabat, bahkan yang belum sempat mengenal beliau. Acara dibuka dengan dibacakannya catatan Gema Swaratyagita, murid Slamet, tentang perayaan Sluman Slumun Slamet,79 tahun usia Slamet Abdul Sjukur 2014 lalu yang sempat digelar di tiga kota. Gema bercerita tentang beberapa hal kecil yang menarik. Salah satunya pengalaman menelusuri teka-teki berapa usia Slamet sesungguhnya demi perhelatan tersebut. Juga cerita tentang beliau yang mencuri usia demi untuk mendaftar beasiswa ke Prancis, hingga bagaimana inspirasi yang datang dari seorang Slamet bisa membekas di benak banyak orang hingga kini. Gema juga mengungkap kesannya tentang hari-hari menjelang Slamet berpulang. Beliau selalu berkata "Besok (saya) mati." setiap kali murid dan rekannya merencanakan suatu hal untuk beliau.
Pemilik warung Mbah Cokro, Zurqoni mengajak hadirin mengenang sejenak dan mengucap doa untuk Slamet. Dalam hening, baru terasa betapa banyak orang yang masih membutuhkan Slamet hingga saat ini. Menggugah ingatan kembali, diputarkan juga video tentang ucapan selamat ulang tahun dari sahabat-sahabat Slamet di peringatan Sluman Slumun Slamet. Tentang betapa Slamet meninggalkan beragam kesan pada orang-orang terdekatnya.
Foto oleh : Adrea Kristatiani
Yang menarik, tampaknya seorang Slamet Abdul Sjukur juga mempunyai kedalaman dan sisi yang tak banyak diketahui orang lain. Banyak pengakuan yang terlontar dari murid dan rekannya, bahwa mereka merasa tak begitu mengenal Slamet, dan menduga orang lain mengenal beliau lebih baik. Menandakan bahwa Slamet begitu rendah hati dan tak ingin memamerkan dirinya pada orang lain.
Beranjak pada ilmu SAS, sebuah video membawa ingatan kembali pada ilmu-ilmu yang dibagikan Slamet, salah satunya program Kukiko, sebuah workshop mencipta komposisi musik yang dibimbing langsung oleh Slamet. Dalam video, sosok Slamet tampak menciptakan suasana cair dan santai, namun tetap berkualitas. Pada puluhan anak muda, beliau menyampaikan tentang pentingnya memaksimalkan ingatan, kepekaan, dan kebebasan berekspresi dalam mencipta komposisi. Slamet juga seorang yang eksperimental. Dalam membuat komposisi, beliau menekankan jika komponis mesti menyisihkaan sesuatu yang sifatnya rutin. Terlihat SAS bukan hanya mengajarkan hal-hal teknis, namun juga mengajarkan karakter dan kepekaan sebagai manusia melalui musik.
Foto oleh : Adrea Kristatiani
Memvisualkan ingatan kembali tentang karya Slamet, malam itu juga diputarkan video dua karya yang dimainkan langsung oleh SAS di panggung Sluman Slumun Slamet di Surabaya. Gelandangan yang diciptakan di tahun 1998, dan Kabut yang dicipitakan menjelang keberangkatan SAS ke Prancis di tahun 1960. Kedunya dibawakan oleh sang empunya komposisi sendiri bersama Ika Sri Wahyuningsih dan Gema Swaratyagita.
Dalam sesi berbincang, Joko Porong sebagai murid SAS merasakan berbagai pengalaman yang tak terlupakan tentang beliau. Salah satunya ucapan "Kalau bernafas jangan membuat berisik orang lain." yang disampaikan oleh SAS di pertemuan pertama perkuliahan. Kesan nyentrik Slamet begitu membekas pada ingatan Joko. Meski begitu, dengan karakter beliau yang sederhana, Joko Porong juga menduga seorang SAS mungkin tak suka dirayakan kematiannya. Namun spirit SAS untuk mengubah teks kehidupan menjadi elemen musikal tetap tak tergantikan dan meninggalkan kekaguman tersendiri. Lini Natalini, Oke Kawooan, dan Pak Wie turut memberikan cerita tentang bagaimana mereka bersinggungan dengan sang komponis.
Foto oleh : Adrea Kristatiani
Mengantar audiens beranjak, Gema Swaratyagita, Joko Porong, Evie Destiana, dan Kidung Kelana menampilkan Kabut ciptaan SAS, ditemani deklamasi dari Totenk Masduki dan Syarif Wajabae. Di balik betapa heningnya musik yang diciptakan Slamet, deklamasi itu menggelegar, seakan bersama menghadirkan kembali SAS sejenak.
30 Juni 1935 hingga 24 Maret 2015 masih terasa terlalu singkat untuk rentang hidup seorang dengan jiwa besar berdedikasi. Namun beliau tak pernah mati. Slamet Abdul Sjukur sejatinya terus hidup. Hidup dalam hati, kepala, dan jiwa setiap yang tergerak, terinspirasi diri dan karyanya.
Foto : dokumentasi Adrea Kristatiani

"Slamet dalam Karya, Laku, dan Ilmu" terwujud 27 Maret 2017 lalu. Di sekitar panggung kecil di Warung Mbah Cokro Surabaya, berkumpul murid-murid, sahabat, bahkan yang belum sempat mengenal beliau. Acara dibuka dengan dibacakannya catatan Gema Swaratyagita, murid Slamet, tentang perayaan Sluman Slumun Slamet,79 tahun usia Slamet Abdul Sjukur 2014 lalu yang sempat digelar di tiga kota. Gema bercerita tentang beberapa hal kecil yang menarik. Salah satunya pengalaman menelusuri teka-teki berapa usia Slamet sesungguhnya demi perhelatan tersebut. Juga cerita tentang beliau yang mencuri usia demi untuk mendaftar beasiswa ke Prancis, hingga bagaimana inspirasi yang datang dari seorang Slamet bisa membekas di benak banyak orang hingga kini. Gema juga mengungkap kesannya tentang hari-hari menjelang Slamet berpulang. Beliau selalu berkata "Besok (saya) mati." setiap kali murid dan rekannya merencanakan suatu hal untuk beliau.
Pemilik warung Mbah Cokro, Zurqoni mengajak hadirin mengenang sejenak dan mengucap doa untuk Slamet. Dalam hening, baru terasa betapa banyak orang yang masih membutuhkan Slamet hingga saat ini. Menggugah ingatan kembali, diputarkan juga video tentang ucapan selamat ulang tahun dari sahabat-sahabat Slamet di peringatan Sluman Slumun Slamet. Tentang betapa Slamet meninggalkan beragam kesan pada orang-orang terdekatnya.

Yang menarik, tampaknya seorang Slamet Abdul Sjukur juga mempunyai kedalaman dan sisi yang tak banyak diketahui orang lain. Banyak pengakuan yang terlontar dari murid dan rekannya, bahwa mereka merasa tak begitu mengenal Slamet, dan menduga orang lain mengenal beliau lebih baik. Menandakan bahwa Slamet begitu rendah hati dan tak ingin memamerkan dirinya pada orang lain.
Beranjak pada ilmu SAS, sebuah video membawa ingatan kembali pada ilmu-ilmu yang dibagikan Slamet, salah satunya program Kukiko, sebuah workshop mencipta komposisi musik yang dibimbing langsung oleh Slamet. Dalam video, sosok Slamet tampak menciptakan suasana cair dan santai, namun tetap berkualitas. Pada puluhan anak muda, beliau menyampaikan tentang pentingnya memaksimalkan ingatan, kepekaan, dan kebebasan berekspresi dalam mencipta komposisi. Slamet juga seorang yang eksperimental. Dalam membuat komposisi, beliau menekankan jika komponis mesti menyisihkaan sesuatu yang sifatnya rutin. Terlihat SAS bukan hanya mengajarkan hal-hal teknis, namun juga mengajarkan karakter dan kepekaan sebagai manusia melalui musik.

Memvisualkan ingatan kembali tentang karya Slamet, malam itu juga diputarkan video dua karya yang dimainkan langsung oleh SAS di panggung Sluman Slumun Slamet di Surabaya. Gelandangan yang diciptakan di tahun 1998, dan Kabut yang dicipitakan menjelang keberangkatan SAS ke Prancis di tahun 1960. Kedunya dibawakan oleh sang empunya komposisi sendiri bersama Ika Sri Wahyuningsih dan Gema Swaratyagita.
Dalam sesi berbincang, Joko Porong sebagai murid SAS merasakan berbagai pengalaman yang tak terlupakan tentang beliau. Salah satunya ucapan "Kalau bernafas jangan membuat berisik orang lain." yang disampaikan oleh SAS di pertemuan pertama perkuliahan. Kesan nyentrik Slamet begitu membekas pada ingatan Joko. Meski begitu, dengan karakter beliau yang sederhana, Joko Porong juga menduga seorang SAS mungkin tak suka dirayakan kematiannya. Namun spirit SAS untuk mengubah teks kehidupan menjadi elemen musikal tetap tak tergantikan dan meninggalkan kekaguman tersendiri. Lini Natalini, Oke Kawooan, dan Pak Wie turut memberikan cerita tentang bagaimana mereka bersinggungan dengan sang komponis.

Mengantar audiens beranjak, Gema Swaratyagita, Joko Porong, Evie Destiana, dan Kidung Kelana menampilkan Kabut ciptaan SAS, ditemani deklamasi dari Totenk Masduki dan Syarif Wajabae. Di balik betapa heningnya musik yang diciptakan Slamet, deklamasi itu menggelegar, seakan bersama menghadirkan kembali SAS sejenak.
30 Juni 1935 hingga 24 Maret 2015 masih terasa terlalu singkat untuk rentang hidup seorang dengan jiwa besar berdedikasi. Namun beliau tak pernah mati. Slamet Abdul Sjukur sejatinya terus hidup. Hidup dalam hati, kepala, dan jiwa setiap yang tergerak, terinspirasi diri dan karyanya.

Published on April 01, 2017 22:42
March 30, 2017
Kemegahan Indonesia : Bunga Rampai Art Festival 2017
Berjalan sendiri tentu sangat melelahkan. Sebaliknya, bersama-sama akan terasa menyenangkan. Tampaknya itu juga menjadi salah satu semangat dari Amadeus Enterprise sebagai penyelenggara berbagai kegiatan seni di Surabaya untuk mempertemukan pencinta musik dari berbagai latar belakang peran, usia, hingga genre, yang terwujud dalam Bunga Rampai Art Festival 2017 Gala Concert. Dihelat di gedung kesenian Cak Durasim Surabaya 26 Maret 2017 lalu, puluhan musisi hadir merayakan musik yang beragam dalam satu panggung.
Di awal acara, menarik untuk menyimak refleksi yang disampaikan Bapak Musaifr Isfanhari, Ketua Asosiasi Pengajar Musik Jawa Timur mengungkapkan optimismenya tentang geliat musik di Surabaya dengan antusiasme audiens yang hadir di festival Bunga Rampai. Beliau begitu mengapresiasi gelaran seni Bunga Rampai yang menurutnya menunjukkan semangat berkesenian, meski hal itu belum berarti bisa sejalan dengan pendapatan finansial penyelenggara, mengingat kegiatan seni di sisi lain masih belum begitu menjanjikan untuk menyokong pendapatan acara. Bukan hanya terjadi di Indonesia, bahkan di Amerika dengan tingkat apreasiasi musik tinggi pun, hal yang sama masih terjadi. Sebagai gambaran, 60 orkes simfoni yang ada di Amerika, hanya 5 orkes yang mampu menghidupi dirinya sendiri. Sementara sisanya disokong bantuan dana dari pemerintah dan masyarakat. Beliau bahkan berandai tentang crowd funding, jika seribu orang saja pencinta musik di Surabaya menyisihkan Rp.25.000 setiap bulan, acara-acara seni sejenis tentu akan bisa lebih sering diselenggarakan.
Nuansa teduh dan sangat Indonesia mengantar audiens pada pertunjukan malam itu. Tim Musik Angklung Nafiri Sion dari GKI Manyar menyuguhkan beberapa komposisi yang menyenangkan. Sekitar 45 personel dari berbagai rentang usia, dari anak-anak hingga lansia membahu menghadirkan bunyi yang menarik. "Surabaya" dibawakan sebagai lagu perdana. Jangan bayangkan ansamble Angklung yang monoton dan membosankan. Aransemen yang mereka tampilkan tampak diperhitungkan untuk memaksimalkan bunyi angklung.
Meletakkan permainan angklung dari Nafiri Sion di awal acara bisa dibilang sangat tepat, seakan mengingatkan bahwa musik asli Indonesia akan bertabur di sepanjang jalannya acara. Audiens langsung disambut dengan nuansa yang sangat Indonesia dan bunyi angklung yang tenang. Harmoni angklung sangat padu, meski hanya sebagian kecil masih samar dalam tempo. Setelah "Surabaya", "Tanah Airku" dan "Indonesia Pusaka" dibawakan syahdu dan menggetarkan. Sebelum mengantar audiens ke penampil berikutnya, Nafirision menyisakan "I Will Follow Him" dengan beat rancak yang menaikkan kembali mood audiens. Sekali lagi, Nafiri Sion membuktikan kekuatan aransemen dan dinamika mereka.
Gala Concert Bunga Rampai juga memberi kesempatan di setengah babak pertama pada penampil-penampil junior yang terpilih dari seleksi sebelumnya. Dimulai dari tingkat beginner, rata-rata penampil masih di usia yang sangat muda. Memainkan duo piano, trio cello-piano-violin, mereka hadir dengan komposis-komposisi pendek yang sederhana dari barat maupun lagu tradisional dan lagu anak Indonesia. Mereka tampil cukup baik dan percaya diri. Beberapa kesalahan kecil terjadi, namun tak mengurangi optimisme akan bakat mereka yang masih akan terus berkembang. Menariknya, beberapa dari mereka bahkan menghibur dengan keluguan dan atraksi lucu dengan gesture tubuh yang sesuai beat, atau bahkan mengenakan kostum lucu sesuai lagu yang mereka bawakan. Gregorius dan Teresa, misalnya. Berbagi piano berdua, mereka kompak mamainkan soundtrack animasi The Flinstones, lengkap dengan pakaian ala Fred dan Wilma, tokoh utama dalam kisah tersebut.
Di tingkat intermediate, genre musik yang disajikan lebih beragam. Mulai duo piano-cello, duo harpa, hingga trio cello. Namun dinamika acara ditarik ke atas dengan kejutan dari trio keyboard-bass-drum dari Adi Nugroho, Fanny Surya, dan Prananda. Mereka terlihat begitu berbeda dari penampil-penampil sebelumnya dengan menyajikan hentakan-hentakan khas band semi rock. Meski berbeda, namun mereka terlihat salah satu yang paling siap dengan menampilkan kekompakkan yang sangat baik, bahkan ketika dinamika lagu terus berubah drastis. Berbagai jenis rhythm mampu dilalui dengan tepat. Yang terpenting, mereka terlihat nyaman untuk menjadi berbeda dari yang lain.
Beranjak ke tingkat advance, penampil tak berjumlah terlalu banyak di kategori ini. Audiens dimanjakan dengan duo vokal dari Yarret Didish dan Matata Vidya di awal. Menyuarakan "Gambang Suling", mereka tampil jauh dari kesan monoton. Meski hanya berdua, mereka tak canggung menguasai panggung, namun tetap menyajikan harmoni dan aransemen yang dinamis. Mengakhiri sesi pertama, Aris Pujo tampil menggaungkan seriosa dengan "Aku Ingin Menjadi Malam". Diiringi piano FX Kartika Ratri yang mengambil porsi pengiring dengan tepat.
Setelah jeda, Shine Harmony Voice, grup vokal yang telah membawa karya mereka di tingkat internasional tampil dan memikat audiens dengan aransemen baru dari lagu anak lawas "Impianku" milik Natasha Chairani. Nuansa grande pun hadir dengan sentuhan Amadeus Orchestra yang tampil full team. Seakan menghilangkan dahaga di audiens, Shine Harmony Voice secara berturut-turut membawakan dua komposisi kembali, dengan jenis rhythm yang berbeda dengan lagu awal. Total menghibur, Shine Harmony Voice bahkan juga menyuguhkan "Serba Salah" dari Raisa yang sangat santai dan popular. Kematangan mereka terlihat dari harmoni, stage act dengan koreografi menarik, hingga kepercayaan diri dan interaksi dengan audiens yang baik. Meski kadang paduan vokal tertutup iringan orchestra, namun hal itu tak mengurangi apreasiasi positif dari audiens.
Jubing Kristianto yang telah ditunggu-tunggu hadir di atas panggung kemudian. Dengan penuh senyum, Jubing menyapa ramah audiens di awal. Bungong Jeumpa dibawakan sebagai lagu pertama. Sebagai solois kenamaan Indonesia, Jubing menampilkan kualitasnya dengan memainkan komposisi dengan seimbang. Melodi dan rhythm tak saling berebutan, namun tetap berhasil menyergap perhatian audiens hingga akhir. Meski seorang diri, Jubing juga tetap berhasil memunculkan ruh dari musik yang dimainkannya dan menyampaikannya pada audiens. Rek Ayo Rek dibawakan kemudian. Aransemen Jubing tetap mempesona tanpa menghilangkan karakter dari lagu. Bahkan Jubing seperti seorang pencerita. Ia selalu memberikan dinamika yang tak terduga, juga sesekali atraksi dari kemampuan tekniknya yang mumpuni. Becak Fantasi andalannya menutup penampilan solonya tanpa audiens merasa jenuh atau monoton.
Foto oleh : Gandhi Wasono
Amadeus Orchestra hadir kembali dan bermain bersama Jubing Kristianto. Audiens diterbangkan ke nuansa pop klasik Indonesia melalui "Kala Sang Surya Tenggelam" milik Chrisye. Dengan conductor Nico Alan, orchestra bermain dengan proporsional. Belum cukup dimanjakan secara audio, di tengah tampilan, Chendra Yunita Koestomo dan Paulus Dwi Raharja hadir dan mewarnai visual panggung dengan tarian kontemporer.
Foto oleh : Gandhi Wasono
Ochestra Amadeus kembali dengan "Pink Panther" yang familiar kemudian. Dibawakan sebagai sebuah keutuhan, komposisi tersebut juga terdengar bulat dan memiliki greget. Sebagai puncak dan suguhan terakhir, audiens yang sudah mulai merasa lelah dengan pertunjukan yang panjang dinaikkan mood-nya kembali dengan komposisi yang diaransemen dan ditampilkan secara khusus oleh Nico Alan, Amadeus Orchestra, Shine Harmony Voice, dan Jubing Kristianto. Patrisna May Widuri pun tampil apik sebagai pianis. Berbagai lagu tradisional dari berbagai daerah dipadukan dalam satu komposisi antara lain Kampuang Nan Jauh di Mato, Manuk Dadali, hingga Yamko Rambe Yamko. Tim Angklung Nafiri Sion kembali hadir dan melengkapi nuansa Indonesia dalam tampilan lengkap itu.
Foto oleh : Shine Harmony Voice
Tampilan penampil tampak cocok dengan konsep dengan semangat keberagaman dengan pakaian-pakaian khas Indonesia, juga melodi-melodi Indonesia yang memanjakan audiens hingga akhir. Rasa Indonesia yang dibingkai megah mengingatkan kembali tentang kekayaan tanah air yang luar biasa. Hasil kerja keras Amadeus dan seluruh penampil patut diapresiasi tinggi. Pada akhirnya Bunga Rampai Art Festival 2017 membawa banyak hal positif pada setiap yang terlibat di dalamnya. Mulai penampil hingga audiens bersama-sama dalam satu lingkaran kebersamaan dan kebahagiaan : seni.

Di awal acara, menarik untuk menyimak refleksi yang disampaikan Bapak Musaifr Isfanhari, Ketua Asosiasi Pengajar Musik Jawa Timur mengungkapkan optimismenya tentang geliat musik di Surabaya dengan antusiasme audiens yang hadir di festival Bunga Rampai. Beliau begitu mengapresiasi gelaran seni Bunga Rampai yang menurutnya menunjukkan semangat berkesenian, meski hal itu belum berarti bisa sejalan dengan pendapatan finansial penyelenggara, mengingat kegiatan seni di sisi lain masih belum begitu menjanjikan untuk menyokong pendapatan acara. Bukan hanya terjadi di Indonesia, bahkan di Amerika dengan tingkat apreasiasi musik tinggi pun, hal yang sama masih terjadi. Sebagai gambaran, 60 orkes simfoni yang ada di Amerika, hanya 5 orkes yang mampu menghidupi dirinya sendiri. Sementara sisanya disokong bantuan dana dari pemerintah dan masyarakat. Beliau bahkan berandai tentang crowd funding, jika seribu orang saja pencinta musik di Surabaya menyisihkan Rp.25.000 setiap bulan, acara-acara seni sejenis tentu akan bisa lebih sering diselenggarakan.
Nuansa teduh dan sangat Indonesia mengantar audiens pada pertunjukan malam itu. Tim Musik Angklung Nafiri Sion dari GKI Manyar menyuguhkan beberapa komposisi yang menyenangkan. Sekitar 45 personel dari berbagai rentang usia, dari anak-anak hingga lansia membahu menghadirkan bunyi yang menarik. "Surabaya" dibawakan sebagai lagu perdana. Jangan bayangkan ansamble Angklung yang monoton dan membosankan. Aransemen yang mereka tampilkan tampak diperhitungkan untuk memaksimalkan bunyi angklung.
Meletakkan permainan angklung dari Nafiri Sion di awal acara bisa dibilang sangat tepat, seakan mengingatkan bahwa musik asli Indonesia akan bertabur di sepanjang jalannya acara. Audiens langsung disambut dengan nuansa yang sangat Indonesia dan bunyi angklung yang tenang. Harmoni angklung sangat padu, meski hanya sebagian kecil masih samar dalam tempo. Setelah "Surabaya", "Tanah Airku" dan "Indonesia Pusaka" dibawakan syahdu dan menggetarkan. Sebelum mengantar audiens ke penampil berikutnya, Nafirision menyisakan "I Will Follow Him" dengan beat rancak yang menaikkan kembali mood audiens. Sekali lagi, Nafiri Sion membuktikan kekuatan aransemen dan dinamika mereka.
Gala Concert Bunga Rampai juga memberi kesempatan di setengah babak pertama pada penampil-penampil junior yang terpilih dari seleksi sebelumnya. Dimulai dari tingkat beginner, rata-rata penampil masih di usia yang sangat muda. Memainkan duo piano, trio cello-piano-violin, mereka hadir dengan komposis-komposisi pendek yang sederhana dari barat maupun lagu tradisional dan lagu anak Indonesia. Mereka tampil cukup baik dan percaya diri. Beberapa kesalahan kecil terjadi, namun tak mengurangi optimisme akan bakat mereka yang masih akan terus berkembang. Menariknya, beberapa dari mereka bahkan menghibur dengan keluguan dan atraksi lucu dengan gesture tubuh yang sesuai beat, atau bahkan mengenakan kostum lucu sesuai lagu yang mereka bawakan. Gregorius dan Teresa, misalnya. Berbagi piano berdua, mereka kompak mamainkan soundtrack animasi The Flinstones, lengkap dengan pakaian ala Fred dan Wilma, tokoh utama dalam kisah tersebut.
Di tingkat intermediate, genre musik yang disajikan lebih beragam. Mulai duo piano-cello, duo harpa, hingga trio cello. Namun dinamika acara ditarik ke atas dengan kejutan dari trio keyboard-bass-drum dari Adi Nugroho, Fanny Surya, dan Prananda. Mereka terlihat begitu berbeda dari penampil-penampil sebelumnya dengan menyajikan hentakan-hentakan khas band semi rock. Meski berbeda, namun mereka terlihat salah satu yang paling siap dengan menampilkan kekompakkan yang sangat baik, bahkan ketika dinamika lagu terus berubah drastis. Berbagai jenis rhythm mampu dilalui dengan tepat. Yang terpenting, mereka terlihat nyaman untuk menjadi berbeda dari yang lain.
Beranjak ke tingkat advance, penampil tak berjumlah terlalu banyak di kategori ini. Audiens dimanjakan dengan duo vokal dari Yarret Didish dan Matata Vidya di awal. Menyuarakan "Gambang Suling", mereka tampil jauh dari kesan monoton. Meski hanya berdua, mereka tak canggung menguasai panggung, namun tetap menyajikan harmoni dan aransemen yang dinamis. Mengakhiri sesi pertama, Aris Pujo tampil menggaungkan seriosa dengan "Aku Ingin Menjadi Malam". Diiringi piano FX Kartika Ratri yang mengambil porsi pengiring dengan tepat.
Setelah jeda, Shine Harmony Voice, grup vokal yang telah membawa karya mereka di tingkat internasional tampil dan memikat audiens dengan aransemen baru dari lagu anak lawas "Impianku" milik Natasha Chairani. Nuansa grande pun hadir dengan sentuhan Amadeus Orchestra yang tampil full team. Seakan menghilangkan dahaga di audiens, Shine Harmony Voice secara berturut-turut membawakan dua komposisi kembali, dengan jenis rhythm yang berbeda dengan lagu awal. Total menghibur, Shine Harmony Voice bahkan juga menyuguhkan "Serba Salah" dari Raisa yang sangat santai dan popular. Kematangan mereka terlihat dari harmoni, stage act dengan koreografi menarik, hingga kepercayaan diri dan interaksi dengan audiens yang baik. Meski kadang paduan vokal tertutup iringan orchestra, namun hal itu tak mengurangi apreasiasi positif dari audiens.
Jubing Kristianto yang telah ditunggu-tunggu hadir di atas panggung kemudian. Dengan penuh senyum, Jubing menyapa ramah audiens di awal. Bungong Jeumpa dibawakan sebagai lagu pertama. Sebagai solois kenamaan Indonesia, Jubing menampilkan kualitasnya dengan memainkan komposisi dengan seimbang. Melodi dan rhythm tak saling berebutan, namun tetap berhasil menyergap perhatian audiens hingga akhir. Meski seorang diri, Jubing juga tetap berhasil memunculkan ruh dari musik yang dimainkannya dan menyampaikannya pada audiens. Rek Ayo Rek dibawakan kemudian. Aransemen Jubing tetap mempesona tanpa menghilangkan karakter dari lagu. Bahkan Jubing seperti seorang pencerita. Ia selalu memberikan dinamika yang tak terduga, juga sesekali atraksi dari kemampuan tekniknya yang mumpuni. Becak Fantasi andalannya menutup penampilan solonya tanpa audiens merasa jenuh atau monoton.

Amadeus Orchestra hadir kembali dan bermain bersama Jubing Kristianto. Audiens diterbangkan ke nuansa pop klasik Indonesia melalui "Kala Sang Surya Tenggelam" milik Chrisye. Dengan conductor Nico Alan, orchestra bermain dengan proporsional. Belum cukup dimanjakan secara audio, di tengah tampilan, Chendra Yunita Koestomo dan Paulus Dwi Raharja hadir dan mewarnai visual panggung dengan tarian kontemporer.

Ochestra Amadeus kembali dengan "Pink Panther" yang familiar kemudian. Dibawakan sebagai sebuah keutuhan, komposisi tersebut juga terdengar bulat dan memiliki greget. Sebagai puncak dan suguhan terakhir, audiens yang sudah mulai merasa lelah dengan pertunjukan yang panjang dinaikkan mood-nya kembali dengan komposisi yang diaransemen dan ditampilkan secara khusus oleh Nico Alan, Amadeus Orchestra, Shine Harmony Voice, dan Jubing Kristianto. Patrisna May Widuri pun tampil apik sebagai pianis. Berbagai lagu tradisional dari berbagai daerah dipadukan dalam satu komposisi antara lain Kampuang Nan Jauh di Mato, Manuk Dadali, hingga Yamko Rambe Yamko. Tim Angklung Nafiri Sion kembali hadir dan melengkapi nuansa Indonesia dalam tampilan lengkap itu.

Tampilan penampil tampak cocok dengan konsep dengan semangat keberagaman dengan pakaian-pakaian khas Indonesia, juga melodi-melodi Indonesia yang memanjakan audiens hingga akhir. Rasa Indonesia yang dibingkai megah mengingatkan kembali tentang kekayaan tanah air yang luar biasa. Hasil kerja keras Amadeus dan seluruh penampil patut diapresiasi tinggi. Pada akhirnya Bunga Rampai Art Festival 2017 membawa banyak hal positif pada setiap yang terlibat di dalamnya. Mulai penampil hingga audiens bersama-sama dalam satu lingkaran kebersamaan dan kebahagiaan : seni.
Published on March 30, 2017 02:51
March 25, 2017
Edukasi Musik Ala Worldship Orchestra : A Musical Journey 3
"Music has to be a right for every citizen." - Gustavo Dudamel.
El Sistema, sebuah program edukasi tentang bagaimana anak-anak Venezuela meraih optimisme hidup melalui musik, telah menginspirasi hingga ke setengah lingkaran bumi, negeri Jepang.
Worldship Orchestra, sebuah orkestra yang terdiri dari anak-anak muda Jepang, berlayar berkeliling dunia untuk membawa spirit dan keyakinan yang serupa : mengenalkan musik secara lebih luas. Akihide Noguchi, kapten dari WSO lah yang memiliki inisiatif untuk program mereka. Puluhan anak muda tersebut berkeliling ke banyak negara, seperti Kamboja dan Filipina dengan membawa misi edukasi musik pada anak-anak di daerah yang dikunjungi.
Beberapa kali berkeliling Asia sejak 2015, Worldship Orchestra datang membawa semangat yang sama di Surabaya baru-baru ini. Selain atrium mall yang menjadi lokasi mereka bermain, gedung kesenian Cak Durasim pun mendapat giliran di hari Kamis, 23 Maret 2017 lalu. Sejalan dengan tujuan edukasi yang mereka angkat, tiket acara pun dapat ditebus dengan donasi berupa buku bacaan atau mainan anak.
WSO tampil tak biasa. Begitu masuk dan mengedarkan pandangan pada panggung, sudah terlihat perbedaan yang mencolok dibanding konser-konser biasanya. Berbagai karton warna-warni bertuliskan jenis-jenis instrumen pada orkestra tertempel di bagian depan masing-masing music stand.
Jangan harapkan nuansa formal pada A Musical Journey 3 WSO kali ini. Mereka tampil sangat santai dan kasual. Mulai dari kostum yang hanya kaus dan jeans, pilihan komposisi yang disajikan, hingga bagaimana acara dibawakan. Tampaknya cara itu sengaja dipilih sebagai upaya pendekatan antara audiens dan musik yang dibawakan.
Sebagai prolog, WSO menyuguhkan melodi-melodi khas dari soundtrack film-film kenamaan, seperti Harry Potter, E.T, dan Superman. Tak serta merta dilanjutkan dengan komposisi berikutnya, kapten dari WSO pun muncul menyapa audiens. Rupanya itu menjadi pola sepanjang acara. Sebelum setiap komposisi dimulai, kapten selalu memberikan gambaran tentang lagu yang akan dibawakan. Sesuai dengan misinya untuk memberikan edukasi musik, WSO memperkenalkan secara bertahap jenis instrumen apa saja yang ada dalam orkestra. Dimulai dari woodwind, masing-masing personel menjelaskan dan mendemokan bagaimana bunyi dari instrumen yang mereka mainkan. Secara santai dan interaktif pula, audiens diajak untuk memahami. Komposisi yang dipilih juga menunjukkan bunyi woodwind yang menonjol, ialah Clarinet Concerto Immer Kleiner (Always Smaller). Dengan solois Klarinet Sae Yamashita, sepanjang komposisi didemokan secara menyenangkan bagaimana bunyi masing-masing bagian Klarinet ketika dilepaskan. Edukasi yang humoris dan menghibur, pelepasan masing-masing bagian Klarinet pun dilakukan dengan semi teatrikal. Yamashita terlihat agak kurang rapi dalam memfrasekan kalimat terutama di bagian running, namun masih bisa dinikmati audiens
Beralih ke bagian berikutnya, strings section yang mendapat giliran lampu sorot. Dance Macabre (Tarian Kematian) dihadirkan. Ini cukup menjadi tantangan bagi WSO untuk menyelipkan kemuraman di antara konsep fun. Concert Master pun berpindah posisi menjadi solois, tampil dengan jubah bertudung dan gerakan-gerakan atraktif. Kemudian giliran konduktor yang mendapat perhatian, Setelah sebelumya audiens diajak untuk mencoba gerakan mengayun baton bersama, dipilih tiga audiens untuk naik ke panggung dan menjajal langsung rasanya menjadi konduktor dan mengendalikan dinamika lagu.
Sebelum jeda, dibawakan komposisi yang sangat familiar, Carmen. Untuk komposisi yang bisa dibilang sederhana, kekompakan orkestra cukup baik. Namun ada hubungan secara emosional yang terputus antara audiens dan harmoni yang tersampaikan. Sekadar menduga, bisa jadi karena komposisi yang terlalu sering dimainkan, sehingga para pemain pun kurang maksimal dalam menyampaikan pesan lagu.
Di bagian kedua, WSO tak sendiri. Mereka berkolaborasi dengan Pusat Oleh Seni Surabaya Orchestra (POSS) dan Tumapel Youth Orchestra Malang. Komposisi yang dipilih soundtrack dari animasi Frozen yang sangat familiar. Total ingin menghibur audiens junior di bangku penonton, salah seorang personel berkostum Elsa dan berkeliling di antara audiens, mengajak audiens bernyanyi bersama.
Foto : instagram @annara24
Seakan mencoba menampilkan nuansa yang berbeda, soundtrack Godzilla menjadi sajian berikutnya. Sebagai penutup, Rek Ayo Rek sebagai lagu tradisional Surabaya dibawakan dengan gaya yang lebih tenang. Namun, sayang, justru pilihan aransemennya menghilangkan karakter kuat beat dari Rek Ayo Rek yang kental dengan staccato-staccato yang tegas. Untuk kolaborasi dengan puluhan, bahkan ratusan pemain dalam waktu singkat, penampil bisa dibilang cukup berhasil.
WSO menunjukkan kualitas yang cukup baik secara keseluruhan. Memilih menampilkan komposisi-komposisi yang sederhana juga bisa menjadi tantangan tersendiri. Di satu sisi untuk pertimbangan kepentingan edukasi dan pendekatan selera audiens, namun di sisi lain orkestra tetap harus bermain maksimal karena audiens mengenal betul apa yang mereka dengar. Sepanjang acara WSO terdengar longgar di beberapa bagian komposisi, serta kepercayaan diri dan greget yang kurang tersampaikan. Meski begitu, konsep pendidikan yang digarap WSO sangat kreatif. Berani keluar kotak, dan menampilkan berbagai atraksi yang bersifat menghibur tampaknya menjadi andalan WSO untuk memercik apresiasi audiens terhadap musik, terutama orkestra. Untuk konsep pertunjukan, WSO telah selangkah di depan. Namun di atas itu semua, WSO berani memilih "turun gunung" dan mengambil substansi musik yang sering terlupakan : ada untuk dinikmati semua orang.
El Sistema, sebuah program edukasi tentang bagaimana anak-anak Venezuela meraih optimisme hidup melalui musik, telah menginspirasi hingga ke setengah lingkaran bumi, negeri Jepang.
Worldship Orchestra, sebuah orkestra yang terdiri dari anak-anak muda Jepang, berlayar berkeliling dunia untuk membawa spirit dan keyakinan yang serupa : mengenalkan musik secara lebih luas. Akihide Noguchi, kapten dari WSO lah yang memiliki inisiatif untuk program mereka. Puluhan anak muda tersebut berkeliling ke banyak negara, seperti Kamboja dan Filipina dengan membawa misi edukasi musik pada anak-anak di daerah yang dikunjungi.
Beberapa kali berkeliling Asia sejak 2015, Worldship Orchestra datang membawa semangat yang sama di Surabaya baru-baru ini. Selain atrium mall yang menjadi lokasi mereka bermain, gedung kesenian Cak Durasim pun mendapat giliran di hari Kamis, 23 Maret 2017 lalu. Sejalan dengan tujuan edukasi yang mereka angkat, tiket acara pun dapat ditebus dengan donasi berupa buku bacaan atau mainan anak.

WSO tampil tak biasa. Begitu masuk dan mengedarkan pandangan pada panggung, sudah terlihat perbedaan yang mencolok dibanding konser-konser biasanya. Berbagai karton warna-warni bertuliskan jenis-jenis instrumen pada orkestra tertempel di bagian depan masing-masing music stand.
Jangan harapkan nuansa formal pada A Musical Journey 3 WSO kali ini. Mereka tampil sangat santai dan kasual. Mulai dari kostum yang hanya kaus dan jeans, pilihan komposisi yang disajikan, hingga bagaimana acara dibawakan. Tampaknya cara itu sengaja dipilih sebagai upaya pendekatan antara audiens dan musik yang dibawakan.
Sebagai prolog, WSO menyuguhkan melodi-melodi khas dari soundtrack film-film kenamaan, seperti Harry Potter, E.T, dan Superman. Tak serta merta dilanjutkan dengan komposisi berikutnya, kapten dari WSO pun muncul menyapa audiens. Rupanya itu menjadi pola sepanjang acara. Sebelum setiap komposisi dimulai, kapten selalu memberikan gambaran tentang lagu yang akan dibawakan. Sesuai dengan misinya untuk memberikan edukasi musik, WSO memperkenalkan secara bertahap jenis instrumen apa saja yang ada dalam orkestra. Dimulai dari woodwind, masing-masing personel menjelaskan dan mendemokan bagaimana bunyi dari instrumen yang mereka mainkan. Secara santai dan interaktif pula, audiens diajak untuk memahami. Komposisi yang dipilih juga menunjukkan bunyi woodwind yang menonjol, ialah Clarinet Concerto Immer Kleiner (Always Smaller). Dengan solois Klarinet Sae Yamashita, sepanjang komposisi didemokan secara menyenangkan bagaimana bunyi masing-masing bagian Klarinet ketika dilepaskan. Edukasi yang humoris dan menghibur, pelepasan masing-masing bagian Klarinet pun dilakukan dengan semi teatrikal. Yamashita terlihat agak kurang rapi dalam memfrasekan kalimat terutama di bagian running, namun masih bisa dinikmati audiens
Beralih ke bagian berikutnya, strings section yang mendapat giliran lampu sorot. Dance Macabre (Tarian Kematian) dihadirkan. Ini cukup menjadi tantangan bagi WSO untuk menyelipkan kemuraman di antara konsep fun. Concert Master pun berpindah posisi menjadi solois, tampil dengan jubah bertudung dan gerakan-gerakan atraktif. Kemudian giliran konduktor yang mendapat perhatian, Setelah sebelumya audiens diajak untuk mencoba gerakan mengayun baton bersama, dipilih tiga audiens untuk naik ke panggung dan menjajal langsung rasanya menjadi konduktor dan mengendalikan dinamika lagu.
Sebelum jeda, dibawakan komposisi yang sangat familiar, Carmen. Untuk komposisi yang bisa dibilang sederhana, kekompakan orkestra cukup baik. Namun ada hubungan secara emosional yang terputus antara audiens dan harmoni yang tersampaikan. Sekadar menduga, bisa jadi karena komposisi yang terlalu sering dimainkan, sehingga para pemain pun kurang maksimal dalam menyampaikan pesan lagu.
Di bagian kedua, WSO tak sendiri. Mereka berkolaborasi dengan Pusat Oleh Seni Surabaya Orchestra (POSS) dan Tumapel Youth Orchestra Malang. Komposisi yang dipilih soundtrack dari animasi Frozen yang sangat familiar. Total ingin menghibur audiens junior di bangku penonton, salah seorang personel berkostum Elsa dan berkeliling di antara audiens, mengajak audiens bernyanyi bersama.

Seakan mencoba menampilkan nuansa yang berbeda, soundtrack Godzilla menjadi sajian berikutnya. Sebagai penutup, Rek Ayo Rek sebagai lagu tradisional Surabaya dibawakan dengan gaya yang lebih tenang. Namun, sayang, justru pilihan aransemennya menghilangkan karakter kuat beat dari Rek Ayo Rek yang kental dengan staccato-staccato yang tegas. Untuk kolaborasi dengan puluhan, bahkan ratusan pemain dalam waktu singkat, penampil bisa dibilang cukup berhasil.
WSO menunjukkan kualitas yang cukup baik secara keseluruhan. Memilih menampilkan komposisi-komposisi yang sederhana juga bisa menjadi tantangan tersendiri. Di satu sisi untuk pertimbangan kepentingan edukasi dan pendekatan selera audiens, namun di sisi lain orkestra tetap harus bermain maksimal karena audiens mengenal betul apa yang mereka dengar. Sepanjang acara WSO terdengar longgar di beberapa bagian komposisi, serta kepercayaan diri dan greget yang kurang tersampaikan. Meski begitu, konsep pendidikan yang digarap WSO sangat kreatif. Berani keluar kotak, dan menampilkan berbagai atraksi yang bersifat menghibur tampaknya menjadi andalan WSO untuk memercik apresiasi audiens terhadap musik, terutama orkestra. Untuk konsep pertunjukan, WSO telah selangkah di depan. Namun di atas itu semua, WSO berani memilih "turun gunung" dan mengambil substansi musik yang sering terlupakan : ada untuk dinikmati semua orang.
Published on March 25, 2017 01:51
February 6, 2017
Kotak Penuh Terisi : Buah Tangan Kunjungan Pegiat Budaya 2016
Lima puluh pegiat budaya menyorot kembali dan memberi refleksi tentang geliat seni di Indonesia sekembalinya dari Selandia Baru akhir tahun lalu. Benarkah Selandia Baru jauh lebih di depan?
***
Akhir tahun 2016 lalu, lima puluh pegiat budaya dari berbagai bidang dan daerah asal di Indonesia melakukan residensi selama tiga minggu (15 November 2016 - 3 Desember 2016) di Selandia Baru. Mereka terpilih dari ribuan aplikasi yang telah diajukan pada Dinas Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Rabu, 1 Februari 2017 lalu, berlokasi di auditorium IFI Surabaya, beberapa dari para pegiat budaya terpilih asal Surabaya; Gema Swaratyagita, Parriska Indra, Dwiki Nugroho, dan Fauzan Abdillah, berinisiatif membagikan kisahnya pada publik tentang kegiatan dan analisa mereka terhadap geliat kebudayaan di Selandia Baru dengan tajuk acara "Marmoyo" Mari Ngomong Budoyo.
Ialah Gema Swaratyagita, seorang musisi dan komposer asal Surabaya yang mengawali panelnya, dan berbagi inspirasi dengan audiens. Secara umum para pegiat budaya melaksanakan tahap pembekalan sebelum keberangkatan, pengenalan tentang negara tujuan, melakukan berbagai kunjungan dan pembelajaran ke beragam titik kebudayaan di Selandia Baru, hingga memperkenalkan ragam budaya Indonesia dengan berbagai tampilan kolaborasi. Gema membawa kesan tersendiri tentang giat budaya di Negeri Kiwi. Sebagai seorang musisi, Gema mendapatkan Auckland University of Technology sebagai salah satu destinasi kunjungan. Tidak hanya belajar tentang musik, namun lebih jauh dari itu, ia juga mencari informasi tentang kebijakan-kebijakan pemerintah Selandia Baru terkait kegiatan budaya. Di Selandia Baru, pemerintah mewadahi diskusi antar seniman, serta mendukung geliat seni melalui Art Council dan beberapa Foundation. Meski begitu, dari sisi keragaman budaya, Indonesia berada jauh di depan Selandia Baru. Maori, sebagai satu-satunya suku dengan kebudayaan yang masih dipertahankan hingga saat ini menjadi andalan Selandia Baru dalam menampilkan wajah kebudayaannya. Gema bahkan berkesempatan untuk mendapat arahan langsung dari musisi Maori. Menjadi suatu keistimewaan tersendiri, mengingat tradisi dan budaya Maori baru beberapa tahun belakangan boleh dimainkan oleh masyarakat umum selain suku Maori. Musik Maori turut berkembang bersama zaman, hingga lahir kolaborasi antara musik Maori dengan musik modern, seperti Rap dan DJ. Yang berbeda, musik Maori berkisar di antara alat musik tiup dan pukul sejatinya tidak dimainkan untuk sesuatu yang "hingar-bingar", justru penuh kedalaman yang syahdu; kepentingan ritual atau doa.
Gema juga melawat ke sebuah pusat budaya di mana anak-anak muda diberikan ruang untuk mempelajari song writing dan audio recording. Dari kunjungannya, Gema mencari informasi tentang pembiayaan operasional tempat yang didukung oleh program amal masyarakat dan pemerintah. Hal itu membuka kesempatan besar pada seniman maupun pemula yang ingin berkarya secara sungguh-sungguh. Gema juga menemukan rasa Indonesia di New Zealand School of Music dalam kelompok Gamelan Padhang Mochar yang dimainkan penuh oleh warga negara Selandia Baru. Kesungguhan mereka mempelajari Gamelan terbukti dengan kebanyakan personil yang telah menyambangi Indonesia untuk mempelajari Gamelan. Bicara tentang pengarsipan, Auckland National Museum bisa menjadi contoh bagi Indonesia dalam mendokumentasikan dan merawat aset budaya. Dari perjalanannya, Gema berharap negara kita bisa belajar dari pengarsipan dokumen budaya, serta lebih sinerginya berbagai pihak di Indonesia demi mendukung budaya bangsa.
Sejalan denga Gema, bersama sembilan orang penari lain, Parriska yang bergerak di bidang seni tari juga membawa "oleh-oleh" berharga. Jauh mendalami makna, Parriska mengungkapkan bahwa setiap kali memulai tarian, penari Selandia Baru selalu menselaraskan dirinya dengan alam. Dari kunjungannya ke berbagai lokasi, Parriska mempelajari beberapa jenis tarian suku Maori. Di antaranya Haka, tarian perang yang banyak bermain di kekuatan kaki dan ekspresi. Parriska juga mampir ke New Zealend Dance Company yang berfokus pada Ballet dan tarian kontemporer. menurut pengamatannya, penari-penari di sana gemar bereksplorasi dengan berbagai jenis objek sebagai variasi pada tarian. Meski begitu, keragaman jenis tarian Indonesia yang sempat ditampilkan pada publik Selandia Baru membuat kekaguman tersendiri. Parriska ingin seniman Indonesia bisa lebih dihargai oleh negeri sendiri, dengan lebih dimilikinya ruang-ruang untuk tampil di hadapan publik.
Fauzan dan Dwiki yang berangkat dari bidang film dan seni rupa juga memiliki buah tangan yang patut disimak. Sedikit berbeda, Fauzan menganggap dunia film Selandia Baru nyaris serupa dengan Indonesia. Hanya saja, apresiasi penonton di sana lebih baik, akses untuk mendapatkan dana produksi lebih mudah, dan disokong oleh piranti yang lebih canggih. Sedangkan Dwiki yang merupakan seorang kurator seni angkat bicara bahwa pola kerja seni di Selandia Baru berbeda dengan di Indonesia. Masalah tersebut cukup mendasar, karena di Indonesia karya seni diciptakan berdasarkan masalah yang terjadi di masyarakat, sedangkan sebaliknya, di Selandia Baru seni digunakan sebagai solusi dari masalah sosial yang ada. Apresiasi yang didapatkan untuk karya seni yang diletakkan di ruang terbuka pun bukan sebagai objek yang dekoratif, namun benar-benar dianggap sebagai karya seni yang diperlakukan sebagai perhatian utama. Meski begitu, Dwiki justru mengungkap ironi yang baginya menyenangkan. Ia merasa lebih nyaman berkesenian di Indonesia. Karena baginya, dengan minimnya dana dari pemerintah, justru seniman mampu lebih bebas berkarya tanpa terikat dengan pemberi dana.
credit picture : instagram gemaswaratyagita
Dipandu moderator Vika Wisnu, para pegiat budaya terpilih juga mengadakan sesi obrolan ringan bersama terkait sudut pandang mereka tentang geliat budaya Negeri Kiwi demi kepentingan perkembangan seni budaya di Indonesia. Menanggapi tentang hubungan antara seniman dan pemerintah di Indonesia, Gema menilai dari sudut pandang yang berbeda bahwa kebanyakan seniman juga resisten ketika bekerjasama dengan pemerintah, sehingga menjadi kendala tersendiri dalam perkembangan budaya. Fauzan sebagai seniman muda mengungkap bahwa seniman bisa mulai pro aktif mendekatkan diri dengan pemerintah dengan mengajukan berbagai aplikasi untuk program kebudayaan. Baginya, sinergi itu krusial terjalin karena industri dibentuk dari manajerial seni dan pelaku. Menyambung hal tersebut, Dwiki berpendapat, bahwa kendala lain dalam industri seni adalah kehomogenan pelakunya. Semua berebut ingin tampil, sehingga Indonesia kekurangan pelaku manajerial yang berperan penting. Tak heran, seniman mendapat tugas yang terlalu banyak untuk dipikul sendiri. Hal tersebut jadi salah satu hal yang menghambat berkembangnya industri seni di Indonesia. Pada akhirnya, langkah kaki para pegiat budaya menjejak negeri seberang bertujuan sama. Kembali dengan kotak yang penuh terisi : keinginan besar agar kekayaan budaya Indonesia dapat ditampilkan oleh anak bangsa menuju kekaguman dunia.
Why you go away? So that you can come back. So that you can see the place you came from with new eyes and extra colors. - Terry Pratchett.
***
Akhir tahun 2016 lalu, lima puluh pegiat budaya dari berbagai bidang dan daerah asal di Indonesia melakukan residensi selama tiga minggu (15 November 2016 - 3 Desember 2016) di Selandia Baru. Mereka terpilih dari ribuan aplikasi yang telah diajukan pada Dinas Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Rabu, 1 Februari 2017 lalu, berlokasi di auditorium IFI Surabaya, beberapa dari para pegiat budaya terpilih asal Surabaya; Gema Swaratyagita, Parriska Indra, Dwiki Nugroho, dan Fauzan Abdillah, berinisiatif membagikan kisahnya pada publik tentang kegiatan dan analisa mereka terhadap geliat kebudayaan di Selandia Baru dengan tajuk acara "Marmoyo" Mari Ngomong Budoyo.

Ialah Gema Swaratyagita, seorang musisi dan komposer asal Surabaya yang mengawali panelnya, dan berbagi inspirasi dengan audiens. Secara umum para pegiat budaya melaksanakan tahap pembekalan sebelum keberangkatan, pengenalan tentang negara tujuan, melakukan berbagai kunjungan dan pembelajaran ke beragam titik kebudayaan di Selandia Baru, hingga memperkenalkan ragam budaya Indonesia dengan berbagai tampilan kolaborasi. Gema membawa kesan tersendiri tentang giat budaya di Negeri Kiwi. Sebagai seorang musisi, Gema mendapatkan Auckland University of Technology sebagai salah satu destinasi kunjungan. Tidak hanya belajar tentang musik, namun lebih jauh dari itu, ia juga mencari informasi tentang kebijakan-kebijakan pemerintah Selandia Baru terkait kegiatan budaya. Di Selandia Baru, pemerintah mewadahi diskusi antar seniman, serta mendukung geliat seni melalui Art Council dan beberapa Foundation. Meski begitu, dari sisi keragaman budaya, Indonesia berada jauh di depan Selandia Baru. Maori, sebagai satu-satunya suku dengan kebudayaan yang masih dipertahankan hingga saat ini menjadi andalan Selandia Baru dalam menampilkan wajah kebudayaannya. Gema bahkan berkesempatan untuk mendapat arahan langsung dari musisi Maori. Menjadi suatu keistimewaan tersendiri, mengingat tradisi dan budaya Maori baru beberapa tahun belakangan boleh dimainkan oleh masyarakat umum selain suku Maori. Musik Maori turut berkembang bersama zaman, hingga lahir kolaborasi antara musik Maori dengan musik modern, seperti Rap dan DJ. Yang berbeda, musik Maori berkisar di antara alat musik tiup dan pukul sejatinya tidak dimainkan untuk sesuatu yang "hingar-bingar", justru penuh kedalaman yang syahdu; kepentingan ritual atau doa.
Gema juga melawat ke sebuah pusat budaya di mana anak-anak muda diberikan ruang untuk mempelajari song writing dan audio recording. Dari kunjungannya, Gema mencari informasi tentang pembiayaan operasional tempat yang didukung oleh program amal masyarakat dan pemerintah. Hal itu membuka kesempatan besar pada seniman maupun pemula yang ingin berkarya secara sungguh-sungguh. Gema juga menemukan rasa Indonesia di New Zealand School of Music dalam kelompok Gamelan Padhang Mochar yang dimainkan penuh oleh warga negara Selandia Baru. Kesungguhan mereka mempelajari Gamelan terbukti dengan kebanyakan personil yang telah menyambangi Indonesia untuk mempelajari Gamelan. Bicara tentang pengarsipan, Auckland National Museum bisa menjadi contoh bagi Indonesia dalam mendokumentasikan dan merawat aset budaya. Dari perjalanannya, Gema berharap negara kita bisa belajar dari pengarsipan dokumen budaya, serta lebih sinerginya berbagai pihak di Indonesia demi mendukung budaya bangsa.
Sejalan denga Gema, bersama sembilan orang penari lain, Parriska yang bergerak di bidang seni tari juga membawa "oleh-oleh" berharga. Jauh mendalami makna, Parriska mengungkapkan bahwa setiap kali memulai tarian, penari Selandia Baru selalu menselaraskan dirinya dengan alam. Dari kunjungannya ke berbagai lokasi, Parriska mempelajari beberapa jenis tarian suku Maori. Di antaranya Haka, tarian perang yang banyak bermain di kekuatan kaki dan ekspresi. Parriska juga mampir ke New Zealend Dance Company yang berfokus pada Ballet dan tarian kontemporer. menurut pengamatannya, penari-penari di sana gemar bereksplorasi dengan berbagai jenis objek sebagai variasi pada tarian. Meski begitu, keragaman jenis tarian Indonesia yang sempat ditampilkan pada publik Selandia Baru membuat kekaguman tersendiri. Parriska ingin seniman Indonesia bisa lebih dihargai oleh negeri sendiri, dengan lebih dimilikinya ruang-ruang untuk tampil di hadapan publik.
Fauzan dan Dwiki yang berangkat dari bidang film dan seni rupa juga memiliki buah tangan yang patut disimak. Sedikit berbeda, Fauzan menganggap dunia film Selandia Baru nyaris serupa dengan Indonesia. Hanya saja, apresiasi penonton di sana lebih baik, akses untuk mendapatkan dana produksi lebih mudah, dan disokong oleh piranti yang lebih canggih. Sedangkan Dwiki yang merupakan seorang kurator seni angkat bicara bahwa pola kerja seni di Selandia Baru berbeda dengan di Indonesia. Masalah tersebut cukup mendasar, karena di Indonesia karya seni diciptakan berdasarkan masalah yang terjadi di masyarakat, sedangkan sebaliknya, di Selandia Baru seni digunakan sebagai solusi dari masalah sosial yang ada. Apresiasi yang didapatkan untuk karya seni yang diletakkan di ruang terbuka pun bukan sebagai objek yang dekoratif, namun benar-benar dianggap sebagai karya seni yang diperlakukan sebagai perhatian utama. Meski begitu, Dwiki justru mengungkap ironi yang baginya menyenangkan. Ia merasa lebih nyaman berkesenian di Indonesia. Karena baginya, dengan minimnya dana dari pemerintah, justru seniman mampu lebih bebas berkarya tanpa terikat dengan pemberi dana.

Dipandu moderator Vika Wisnu, para pegiat budaya terpilih juga mengadakan sesi obrolan ringan bersama terkait sudut pandang mereka tentang geliat budaya Negeri Kiwi demi kepentingan perkembangan seni budaya di Indonesia. Menanggapi tentang hubungan antara seniman dan pemerintah di Indonesia, Gema menilai dari sudut pandang yang berbeda bahwa kebanyakan seniman juga resisten ketika bekerjasama dengan pemerintah, sehingga menjadi kendala tersendiri dalam perkembangan budaya. Fauzan sebagai seniman muda mengungkap bahwa seniman bisa mulai pro aktif mendekatkan diri dengan pemerintah dengan mengajukan berbagai aplikasi untuk program kebudayaan. Baginya, sinergi itu krusial terjalin karena industri dibentuk dari manajerial seni dan pelaku. Menyambung hal tersebut, Dwiki berpendapat, bahwa kendala lain dalam industri seni adalah kehomogenan pelakunya. Semua berebut ingin tampil, sehingga Indonesia kekurangan pelaku manajerial yang berperan penting. Tak heran, seniman mendapat tugas yang terlalu banyak untuk dipikul sendiri. Hal tersebut jadi salah satu hal yang menghambat berkembangnya industri seni di Indonesia. Pada akhirnya, langkah kaki para pegiat budaya menjejak negeri seberang bertujuan sama. Kembali dengan kotak yang penuh terisi : keinginan besar agar kekayaan budaya Indonesia dapat ditampilkan oleh anak bangsa menuju kekaguman dunia.
Why you go away? So that you can come back. So that you can see the place you came from with new eyes and extra colors. - Terry Pratchett.
Published on February 06, 2017 18:43
December 16, 2016
Jurnal Pesiar Lembar Ketiga
Save the best for last.
Kalimat itu juga berlaku di atas kapal. Sembari berlayar kembali ke Singapura, kami sehari penuh di atas kapal, kesempatan terakhir untuk menikmati fasilitasnya. Di hari kelima, kami sekilas mampr di beberapa lokasi di Singapura sebelum kembali terbang ke kota masing-masing.
***
Pagi hari, kami tidak langsung beranjak sarapan. Saya menemani Bu Ade menjajal jogging track yang mengelilingi deck 12 Tapi saya tak jogging, justru ambil gambar sana-sini. Dugaan saya bahwa di pagi hari angin di deck yang terbuka akan kencang, ternyata tak terbukti. Langit keabuan yang agak mendung masih malu-malu menampilkan matahari. Lantai deck masih agak basah sisa hujan kemarin. Namun itu tak menyurutkan semangat karena sudah ramai orang berolahraga, rupanya. Pemandangan dari atas ke lautan memang menenangkan. Ketika Bu Ade sibuk berlari, saya tanpa sengaja bertemu Mak Gondut, Mbak Dame, dan Mbak Atid yang tampaknya sudah memilih jalan kaki di putaran kesekian. Karena langit sedang bagus, saya ambil beberapa gambar mereka.
Saya sekadar sok ikutan lapar, meski tak ikut berolahraga. Jadi kami putuskan untuk sama-sama menuju ruang makan. Karena ingin berganti suasana dari Windjammer, kami memilih Rhapsody in Blue Dining Room di deck 3. Berbeda dengan Windjammer yang bisa langsung masuk ke dalam, kali ini kami mesti mengantre sejenak. Ditanya berapa orang, dan dicarikan meja, kami akhirnya dapat meja sendiri di salah satu sudut. Karena terbiasa makan di deck 4, kami belum melihat bagaimana interior di deck 3. Ternyata, di sini lah pojok grande-nya. Di tengah ruangan, kami bisa melihat dua tangga besar, di mana kapten memberikan sambutan. Menu makan pagi di sini spesial. Berkonsep ala carte, saya memesan fillet salmon yang dipotong tipis dan rasanya jagoan!
ruang makan
Di hari terakhir, kami mencoba mini golf di sports area. Meski tak bisa golf, saya iseng coba saja. Berhasil memasukkan bola sekali, sisanya lebih banyak lelah karena sibuk kejar bola. Selain mini golf juga ada lapangan basket juga fasilitas rock climbing. Fasilitas itu tak dibuka setiap saat. Ada jam tertentu yang diberlakukan, juga bergantung kondisi cuaca. Jika dinding panjat basah karena hujan, kegiatan ini tak bisa dilaksanakan. Meski begitu, antrean tetap mengular. Peminatnya berbagai usia.
sebagian sports area
Big A, Little A, dan Bu Ade memanfaatkan diskon setengah harga token Arcade, dan menukarkan hadiah. Masih ada senggang waktu sebelum makan siang, saya memilih kembali ke perpustakaan. Kali ini perpus sepi sekali. Saya coba sudut baru untuk baca. Di ujung ruang dengan pandangan langsung ke Royal Promenade. Siapa saja yang berkunjung ke perpustakaan? Di perpustakaan biasanya saya melihat dua orang lansia, atau satu-dua orang paruh baya yang memilih membaca buku. Kapal tampaknya menyajikan sebanyak mungkin fasilitas untuk mencegah penumpang "mati gaya". Sudoku dan soal trivia tentang kapal pesiar disediakan setiap pukul sembilan pagi. Beberapa orang datang mengambil dan mengerjakan soal.
Saya kembali ke Windjammer untuk makan siang. Sengaja datang di awal waktu ternyata keputusan tepat. Saya dapat meja dekat jendela. Oh ya, selama perjalanan kami saya tak pernah melihat kapal menerjang ombak yang cukup membuat guncangan, bahkan di malam hari sekalipun. Kapal tetap tenang membelah selat. Di tengah mengudap makanan, ternyata Mbak Dame datang dan bergabung. Kami mengobrol cukup banyak. Kami masih setengah menghabiskan cookies dan cake ketika Mbak Atid dan Mak Gondut bergabung. Wah, obrolan semakin mengalir, dan nuansa Batak itu yang saya kangeni. Sebagai satu-satunya bukan Batak di antara mereka, saya jadi banyak tahu hal baru, dan bagaimana keluarga Batak mengenal satu sama lain. Kami mengobrol tentang apa saja. Dunia film di balik layar dengan Mbak Atid, karier dosen Teolog dan aktivitas akting Mak Gondut, pekerjaan Mbak Dame, dan lain sebagainya.
Ada show jazz kecil di Royal Promenade, kami berempat pun pindah lokasi menuju Cafe Promenade. Mak Gondut belum puas untuk ngemil cookies, rupanya. Kebetulan kami mendapat kursi yang menjorok ke jalan, sehingga bisa melihat hilir mudik aktivitas di Royal Promenade. Serombongan bapak-bapak India yang asik mengobrol di meja sebelah, seorang bapak sepuh yang duduk sendirian, pelayan toko yang sibuk memasarkan parfum, ibu yang sibuk berfoto dengan pohon natal, anak-anak yang asik mengudap pizza. Area ini memang selalu ramai.
keramaian Royal Promenade
Masih ada waktu sampai makan malam, saya meluangkan waktu sejenak ke perpustakaan, melanjutkan membaca. Karena 25 November ini bertepatan dengan perayaan Thanks Giving, beberapa crew kapal juga mengadakan kegiatan story telling dalam dua bahasa, Mandarin dan Inggris. Di perpustakaan juga disediakan community board. Siapapun bisa membuat acara kumpul-kumpul dan mengajak penumpang lainnya. Tinggal menuliskan tema, lokasi, dan waktu acara. Siapa pun yang membaca dan tertarik, bisa hadir. Karena ini hari terakhir kami di atas kapal, ada beberapa hal yang mesti diselesaikan. Misalnya, pembayaran seluruh transaksi di atas kapal untuk pengguna pembayaran tunai, mengambil paspor sesuai jadwal, dan mampir ke photo kiosk. Yang terakhir tak wajib, sebenarnya. Tapi di hari terakhir, foto-foto kami yang selama ini diabadikan oleh fotografer kapal dipajang dan dijual di sana.
Di makan malam terakhir, makan malam agak berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Kami kembali ke Top Hat and Tails. Xiaolong dan Pak Gede melayani kami dengan sama baiknya. Bahkan, Xiaolong membuatkan beberapa hiasan kepala dari sapu tangan untuk beberapa perempuan di grup indo. Waiter mengingatkan bahwa akan ada parade spesial sebagai tanda perpisahan dari tim dapur dan restoran. Ternyata nyaris seluruh waiter memberhentikan kegiatan mereka sejenak, dan masuk ke dalam dapur. Ketika keluar, puluhan waiters dari berbagai negara berbaris dan melambai-lambaikan sapu tangan dan berkeliling di ruang makan. Tampaknya itu juga terjadi di dua decks lainnya. Kemudian di tangga tengah deck 3, waiters dan chefs mempertunjukan beberapa kebolehan, seperti menyanyi dan menari. Sekejap, orang-orang beranjak dari mejanya dan merangsek ke bagian tengah restoran untuk menyaksikan aksi itu. Dilayani selama empat malam berturut-turut membuat kebanyakan penumpang merasa memiliki keterikatan dengan para waiters. Banyak dari mereka yang mengajak berfoto dan memberikan tip.
Malam terakhir di kapal, kami sudah harus mengemas barang, karena paling lambat pukul sepuluh malam koper sudah harus diletakkan di depan pintu kamar. Betul saja, begitu kembali, di atas tempat tidur sudah ada tag bagasi dan berbagai selebaran pemberitahuan. Berberes sebentar, masih ada waktu sebelum larut. Geng Batak kebetulan bertemu dan nonton farewell broadway performance di Savoy Theatre. Karena pertunjukan terakhir, temanya pun lebih ceria. Komposisi-komposisi lawas semacam karya David Foster banyak diperdengarkan. Karena ingin karaoke, geng Batak justru ngumpul di kamar Mak Gondut dan membahas candaan Batak.
Esok paginya, Windjammer buka lebih awal karena ini pagi terakhir kami di kapal. Jika saya biasanya menikmati matahari terbit di balkon kamar, kali ini akhirnya menyaksikan matahari perlahan tampak dari jendela ruang makan bersama geng Batak. Kebetulan kapal belum tiba di Marina Bay Cruise Centre, jadi kami masih bisa melihat permukaan air yang perlahan mengombak dibelah kapal, matahari yang setahap demi setahap muncul, sambil ngobrol dan sarapan pagi. Mendekati pelabuhan, hilir mudik kapal juga jadi pemandangan menarik.
Masih ada setengah hari menuju waktu kembali terbang ke kota masing-masing, kami menjelajah sebagian kecil Singapura. Icip-icip berbagai rasa cookies di Cookies Museum, belajar menyajikan teh ala China di Tea Chapter, mampir ke Tin Tin Shop, dan makan siang berpernik pahlawan super di Super Heroes Cafe.
Jika kata Mary Roach, nothing much new happens di atas kapal pesiar, cruise trip bagi saya justru memberikan pengalaman serba baru yang menyenangkan, juga menenangkan.
Baca juga Jurnal Pesiar Lembar Pertama dan Jurnal Pesiar Lembar Kedua.
Kalimat itu juga berlaku di atas kapal. Sembari berlayar kembali ke Singapura, kami sehari penuh di atas kapal, kesempatan terakhir untuk menikmati fasilitasnya. Di hari kelima, kami sekilas mampr di beberapa lokasi di Singapura sebelum kembali terbang ke kota masing-masing.
***
Pagi hari, kami tidak langsung beranjak sarapan. Saya menemani Bu Ade menjajal jogging track yang mengelilingi deck 12 Tapi saya tak jogging, justru ambil gambar sana-sini. Dugaan saya bahwa di pagi hari angin di deck yang terbuka akan kencang, ternyata tak terbukti. Langit keabuan yang agak mendung masih malu-malu menampilkan matahari. Lantai deck masih agak basah sisa hujan kemarin. Namun itu tak menyurutkan semangat karena sudah ramai orang berolahraga, rupanya. Pemandangan dari atas ke lautan memang menenangkan. Ketika Bu Ade sibuk berlari, saya tanpa sengaja bertemu Mak Gondut, Mbak Dame, dan Mbak Atid yang tampaknya sudah memilih jalan kaki di putaran kesekian. Karena langit sedang bagus, saya ambil beberapa gambar mereka.
Saya sekadar sok ikutan lapar, meski tak ikut berolahraga. Jadi kami putuskan untuk sama-sama menuju ruang makan. Karena ingin berganti suasana dari Windjammer, kami memilih Rhapsody in Blue Dining Room di deck 3. Berbeda dengan Windjammer yang bisa langsung masuk ke dalam, kali ini kami mesti mengantre sejenak. Ditanya berapa orang, dan dicarikan meja, kami akhirnya dapat meja sendiri di salah satu sudut. Karena terbiasa makan di deck 4, kami belum melihat bagaimana interior di deck 3. Ternyata, di sini lah pojok grande-nya. Di tengah ruangan, kami bisa melihat dua tangga besar, di mana kapten memberikan sambutan. Menu makan pagi di sini spesial. Berkonsep ala carte, saya memesan fillet salmon yang dipotong tipis dan rasanya jagoan!

Di hari terakhir, kami mencoba mini golf di sports area. Meski tak bisa golf, saya iseng coba saja. Berhasil memasukkan bola sekali, sisanya lebih banyak lelah karena sibuk kejar bola. Selain mini golf juga ada lapangan basket juga fasilitas rock climbing. Fasilitas itu tak dibuka setiap saat. Ada jam tertentu yang diberlakukan, juga bergantung kondisi cuaca. Jika dinding panjat basah karena hujan, kegiatan ini tak bisa dilaksanakan. Meski begitu, antrean tetap mengular. Peminatnya berbagai usia.

Big A, Little A, dan Bu Ade memanfaatkan diskon setengah harga token Arcade, dan menukarkan hadiah. Masih ada senggang waktu sebelum makan siang, saya memilih kembali ke perpustakaan. Kali ini perpus sepi sekali. Saya coba sudut baru untuk baca. Di ujung ruang dengan pandangan langsung ke Royal Promenade. Siapa saja yang berkunjung ke perpustakaan? Di perpustakaan biasanya saya melihat dua orang lansia, atau satu-dua orang paruh baya yang memilih membaca buku. Kapal tampaknya menyajikan sebanyak mungkin fasilitas untuk mencegah penumpang "mati gaya". Sudoku dan soal trivia tentang kapal pesiar disediakan setiap pukul sembilan pagi. Beberapa orang datang mengambil dan mengerjakan soal.

Saya kembali ke Windjammer untuk makan siang. Sengaja datang di awal waktu ternyata keputusan tepat. Saya dapat meja dekat jendela. Oh ya, selama perjalanan kami saya tak pernah melihat kapal menerjang ombak yang cukup membuat guncangan, bahkan di malam hari sekalipun. Kapal tetap tenang membelah selat. Di tengah mengudap makanan, ternyata Mbak Dame datang dan bergabung. Kami mengobrol cukup banyak. Kami masih setengah menghabiskan cookies dan cake ketika Mbak Atid dan Mak Gondut bergabung. Wah, obrolan semakin mengalir, dan nuansa Batak itu yang saya kangeni. Sebagai satu-satunya bukan Batak di antara mereka, saya jadi banyak tahu hal baru, dan bagaimana keluarga Batak mengenal satu sama lain. Kami mengobrol tentang apa saja. Dunia film di balik layar dengan Mbak Atid, karier dosen Teolog dan aktivitas akting Mak Gondut, pekerjaan Mbak Dame, dan lain sebagainya.
Ada show jazz kecil di Royal Promenade, kami berempat pun pindah lokasi menuju Cafe Promenade. Mak Gondut belum puas untuk ngemil cookies, rupanya. Kebetulan kami mendapat kursi yang menjorok ke jalan, sehingga bisa melihat hilir mudik aktivitas di Royal Promenade. Serombongan bapak-bapak India yang asik mengobrol di meja sebelah, seorang bapak sepuh yang duduk sendirian, pelayan toko yang sibuk memasarkan parfum, ibu yang sibuk berfoto dengan pohon natal, anak-anak yang asik mengudap pizza. Area ini memang selalu ramai.

Masih ada waktu sampai makan malam, saya meluangkan waktu sejenak ke perpustakaan, melanjutkan membaca. Karena 25 November ini bertepatan dengan perayaan Thanks Giving, beberapa crew kapal juga mengadakan kegiatan story telling dalam dua bahasa, Mandarin dan Inggris. Di perpustakaan juga disediakan community board. Siapapun bisa membuat acara kumpul-kumpul dan mengajak penumpang lainnya. Tinggal menuliskan tema, lokasi, dan waktu acara. Siapa pun yang membaca dan tertarik, bisa hadir. Karena ini hari terakhir kami di atas kapal, ada beberapa hal yang mesti diselesaikan. Misalnya, pembayaran seluruh transaksi di atas kapal untuk pengguna pembayaran tunai, mengambil paspor sesuai jadwal, dan mampir ke photo kiosk. Yang terakhir tak wajib, sebenarnya. Tapi di hari terakhir, foto-foto kami yang selama ini diabadikan oleh fotografer kapal dipajang dan dijual di sana.
Di makan malam terakhir, makan malam agak berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Kami kembali ke Top Hat and Tails. Xiaolong dan Pak Gede melayani kami dengan sama baiknya. Bahkan, Xiaolong membuatkan beberapa hiasan kepala dari sapu tangan untuk beberapa perempuan di grup indo. Waiter mengingatkan bahwa akan ada parade spesial sebagai tanda perpisahan dari tim dapur dan restoran. Ternyata nyaris seluruh waiter memberhentikan kegiatan mereka sejenak, dan masuk ke dalam dapur. Ketika keluar, puluhan waiters dari berbagai negara berbaris dan melambai-lambaikan sapu tangan dan berkeliling di ruang makan. Tampaknya itu juga terjadi di dua decks lainnya. Kemudian di tangga tengah deck 3, waiters dan chefs mempertunjukan beberapa kebolehan, seperti menyanyi dan menari. Sekejap, orang-orang beranjak dari mejanya dan merangsek ke bagian tengah restoran untuk menyaksikan aksi itu. Dilayani selama empat malam berturut-turut membuat kebanyakan penumpang merasa memiliki keterikatan dengan para waiters. Banyak dari mereka yang mengajak berfoto dan memberikan tip.

Malam terakhir di kapal, kami sudah harus mengemas barang, karena paling lambat pukul sepuluh malam koper sudah harus diletakkan di depan pintu kamar. Betul saja, begitu kembali, di atas tempat tidur sudah ada tag bagasi dan berbagai selebaran pemberitahuan. Berberes sebentar, masih ada waktu sebelum larut. Geng Batak kebetulan bertemu dan nonton farewell broadway performance di Savoy Theatre. Karena pertunjukan terakhir, temanya pun lebih ceria. Komposisi-komposisi lawas semacam karya David Foster banyak diperdengarkan. Karena ingin karaoke, geng Batak justru ngumpul di kamar Mak Gondut dan membahas candaan Batak.
Esok paginya, Windjammer buka lebih awal karena ini pagi terakhir kami di kapal. Jika saya biasanya menikmati matahari terbit di balkon kamar, kali ini akhirnya menyaksikan matahari perlahan tampak dari jendela ruang makan bersama geng Batak. Kebetulan kapal belum tiba di Marina Bay Cruise Centre, jadi kami masih bisa melihat permukaan air yang perlahan mengombak dibelah kapal, matahari yang setahap demi setahap muncul, sambil ngobrol dan sarapan pagi. Mendekati pelabuhan, hilir mudik kapal juga jadi pemandangan menarik.

Masih ada setengah hari menuju waktu kembali terbang ke kota masing-masing, kami menjelajah sebagian kecil Singapura. Icip-icip berbagai rasa cookies di Cookies Museum, belajar menyajikan teh ala China di Tea Chapter, mampir ke Tin Tin Shop, dan makan siang berpernik pahlawan super di Super Heroes Cafe.




Jika kata Mary Roach, nothing much new happens di atas kapal pesiar, cruise trip bagi saya justru memberikan pengalaman serba baru yang menyenangkan, juga menenangkan.

Baca juga Jurnal Pesiar Lembar Pertama dan Jurnal Pesiar Lembar Kedua.
Published on December 16, 2016 03:33
December 10, 2016
Jurnal Pesiar Lembar Kedua
pe-si-ar v berkeliling kota dsb dng kendaraan; berjalan-jalan; bertamasya; pelesir;
Sesuai kata KBBI, agenda pesiar hari ke-dua dan ke-tiga kami tak hanya sebatas berlayar, menikmati pemandangan laut. Tapi juga turun untuk wisata darat, shore excursion.
***
Setelah pulang makan malam di hari pertama, ada monyet putih bergelantungan di kamar. Saya dan Big A cukup terkejut. Ternyata kreasi handuk dari Pak Rudolf, room attendant kami adalah monyet. Setiap kamar mendapat "hewannya" masing-masing. Setelah kroscek ke "kamar para tetangga", ternyata ada babi atau anjing yang sudah duduk manis di atas tempat tidur mereka. Karena lucu dan unik, si monyet tetap kami biarkan di atas, bergelantungan hingga keesokan hari.
si gajah dan si monyet
Meski sepele, tapi kejutan kecil selain kamar yang sudah rapi setiap kali kembali dari makan malam memang menyenangkan. Soal handuk, awalnya saya kira akan berhenti di hari pertama. Karena menurut cruise compass, event demo kreasi handuk oleh awak kapal hanya ada di hari kedua. Selain itu, di kamar lain, kejutan handuk juga hanya sampai hari pertama. Namun nyatanya, hingga malam terakhir di kapal, saya dapat "hewan-hewan" yang berbeda setiap harinya. Karena merasa sayang, saya tak pernah mengubah bentuknya kecuali hanya memindahkan posisinya ke sofa.
si anjing
Bicara soal kamar, meski di dalam kapal, kamar yang kami tempati tak terlalu kecil. Begitu masuk,di bagian kanan sudah kamar mandi dengan wastafel, bilik shower, dan toilet. Meski mungil, namun efektif dan fungsional. Di sebelah kiri lemari kayu. Bedanya dengan kamar hotel di darat, di rak terbawah lemari tersedia dua life jackets untuk keadaan darurat. Berlanjut, sudah langsung disambut area santai dengan sofa panjang dan televisi yang terpasang di meja rias. Diikuti tempat tidur, dan balkon yang dibatasi oleh pintu kaca. Di awal masuk, langsung tertulis pemberitahuan terkait dengan pintu balkon. Ketika tamu membiarkan pintu pembatas antara balkon dan kamar terbuka atau tak rapat, maka pendingin ruangan akan secara otomatis akan mati.
view sunrise dari balkon kamar
stateroom
Karena saya kerap bangun terlalu pagi dan masih ada sela waktu sebelum waktu breakfast, saya iseng saja keluar kamar karena ingin tahu kondisi kapal di pagi hari. Selain itu juga memang ingin mampir ke perpustakaan (buka 24 jam!). Ternyata memang acara yang berakhir larut semalam membuat mayoritas penumpang masih lelap. Saya hanya sesekali berpapasan dengan crew yang bertugas. Dan benar, saya kemudian leluasa memelototi satu per satu punggung buku yang ada di rak. Karena mengambil secara acak, saya memilih The Supreme Macaroni Company milik Adriana Trigiani, dan beberapa kali membuka-buka Webster Dictionary of American Writers. Kadang ada kegembiraan yang tidak bisa didapatkan dengan melakukan aktivitas fisik. Kebutuhan untuk tenang dan berdialog dengan diri sendiri. Karena itulah perpustakaan yang nyaman jadi favorit saya di antara fasilitas yang lain.
Di deck atas perpustakaan persis, area komputer juga disediakan. Untuk koneksi internet, kapal menyediakan penjualan data dengan tarif tertentu. Informasinya bisa diakses di customer service deck 5.
Berpindah dari area yang sepi menuju ramai, pool area deck 11 menjadi salah satu area yang tak pernah sepi. Di sini tersedia beberapa kolam renang yang diperuntukkan untuk dewasa maupun anak-anak. Sementara jacuzzi dan sauna tersedia di area tersendiri yang diperuntukkan khusus untuk dewasa. Di area ini disediakan stall ice cream dan hot dog gratis.
Di area kolam renang ada layar raksasa yang memutarkan film yang berbeda setiap harinya. Nonton film di bawah bintang-bintang dan bersanding dengan lautan, bukan mustahil.
Area yang nyaris tak pernah sepi lainnya adalah Royal Promenade. Area "down town" ini bisa ditemukan cafe, gerai barang bermerk, dan lainnya. Cafe tepi jalan, Cafe Promenade buka 24 jam. Penumpang bisa mengudap makanan kecil mulai cake hingga pudding, pizza hingga sandwich. Di area ini juga sering diadakan acara parade, dance party di malam terakhir, hingga tampilan musik jazz. Mendekati Natal di akhir tahun, pohon natal raksasa juga dipajang.
Royal Promenade
geng batak yang ngemil cookies di cafe promenade
Anak-anak bisa jadi makhluk paling gembira di atas kapal. Kapal bahkan menyediakan Arcade, tempat bermain. Tinggal menggesek sea pass card, anak-anak bisa menikmati berbagai jenis permainan sesuka hati. Mulai balap mobil, hingga permainan ketangkasan. Poin yang didapatkan bisa ditukarkan dengan sejumlah pilihan hadiah. Di akhir perjalanan cruise, beberapa token permainan didiskon setengah harga. Anak-anak : kalap!
Lokasi favorit Little A dan Big A!
Makan siang kami di hari kedua bukan di Windjammer. Kami diajak untuk mencoba sajian resto burger Johnny Rockets. Berkonsep ala western 50-an, interiornya pun menyesuaikan. Kursi bar tinggi, warna serba merah-hitam-putih, dan musik oldies. Sangat casual.
Sajiannya mulai burger, french fries, soda,bahkan ramen untuk memenuhi selera Asia.
Meski sudah waktunya turun kapal untuk menuju Kuala Lumpur, namun ternyata rombongan kami tidak turun. Kami justru menuju area depan kapal yang sekaligus terdapat helipad. Lokasinya memang sepi, karena tak banyak penumpang yang menyambanginya. Helipad diperlukan jika sewaktu-waktu terjadi keadaan darurat, seperti mengangkut penumpang yang sakitnya tak mampu ditangani petugas medis di atas kapal.
bagian depan ujung kapal
Puas mengambil gambar di sini, kami ingin menyaksikan badan kapal dari kejauhan. Maka kami turun menuju Port Klang, Malaysia meski tak turut serta ke KL. Di pelabuhan disediakan supermarket mini, toko souvenir, dan jika bisa mengambil sudut yang tepat, bisa berfoto dengan badan kapal yang besar tampak kejauhan.
Nah, salah satu yang diminta secara khusus di tiap pesiar adalah aturan formal dinner yang diberlakukan satu kali dalam perjalanan cruise pendek, atau beberapa kali dalam perjalanan beberapa belas hari cruise. Selain itu juga ada aturan sederhana, seperti tidak diperbolehkan bercelana pendek dan memakai sandal setiap makan malam. Hal itu untuk menghidupkan kesan makan malam formal di antara penumpang, karena memang setiap makan malam sifatnya semi formal. Di makan malam kedua, kami diminta untuk mengenakan pakaian formal. Di malam ini pula, kapten kapal memberikan sambutan selamat datang pada seluruh penumpang. Penumpang yang biasanya berkaus, tiba-tiba berubah mejadi kemeja resmi. Wanita memakai gaun malam. Menu makan malam berubah setiap harinya, baik appetizer, main course, maupun dessert. Waiter biasanya memberikan rekomendasi apa yang spesial dari menunya, dan menyesuaikan dengan keinginan kita. Suatu kali, saya pernah ragu dalam memillih makanan penutup. Sekadar coba-coba, saya memesan semacam mango rice. Dan saya tanyakan pada Xiolong, waiter kami apakah itu enak. Ia katakan, jika nanti hidangan itu tak cocok dengan lidah saya, bisa ia tukar dengan dessert yang lain. Penumpang sangat dimanjakan hingga hal terkecil.
view setiap makan malam dari kursi saya
Kenyang makan malam, acara malam berikutnya adalah menonton pertunjukan broadway di Savoy Theatre deck 3. Peserta cruise disuguhkan berbagai plot cerita pendek yang dipentaskan dalam bentuk teatrikal dan diiringi band secara langsung. Di saat yang bersamaan dengan broadway, di Royal Promenade diselenggarakan bazaar serba $10 oleh beberapa merk. Penggila belanja juga terfasilitasi.
Tak semua penumpang memutuskan untuk turun dan turut serta dalam shore excursion, karena fasilitas di atas kapal pun seakan tak habis untuk dicoba dan dijelajahi. Di hari ketiga, kapal merapat pada pelabuhan di Langkawi, Malaysia. Kami turut serta secara penuh kali ini. Setelah sarapan, kami berkumpul untuk bersama-sama dengan penumpang lain menjajal wisata darat. Penumpang tak bisa begitu saja turun, namun mesti diatur dalam grup-grup yang dikoordinir oleh salah satu crew kapal. Masing-masing peserta diberikan stiker angka sesuai nomor grup untuk ditempelkan di tubuh. Sebelumnya kami sudah mendapat tiket untuk wisata darat yang diletakkan room attendant di atas tempat tidur. Begitu turun, sudah ada beberapa bus yang menunggu. Setiap grup berada di dalam satu bus yang sama.
Mengingatkan pada adegan-adegan di film Anna and The King, Langkawi memang tersohor dengan pantainya. Pihak travel membawa kami berkeliling ke beberapa destinasi, seperti toko cokelat, rice museum, dan akuarium besar. Menariknya, karena lokasinya yang tenang, Langkawi jamak dijadikan tempat berharitua oleh beberapa turis asing. Mereka hanya mesti membayar sekian Ringgit untuk mendapat izinnya.
underwater world Langkawi
salah satu sudut rice museum
view dari pelabuhan Langkawi
Beberapa dari kami mengganggap wisata di atas kapal lebih menarik, jadi hanya beberapa jam kemudian, kami sudah kembali ke atas kapal. Crew kapal sudah memberikan pemberitahuan tentang jam keberangkatan kembali kapal. Maka jika ada penumpang yang memutuskan untuk melakukan shore excursion sendiri pun tak apa, asal bisa kembali ke pelabuhan tepat waktu. Karena kapal sedang merapat, sebelum naik, kebanyakan penumpang (termasuk saya) mengambil gambar, karena terlihat badan kapal yang raksasa.
hanya terlihat setengah panjang kapal
Karena cukup lelah setelah wisata darat dan masih ada waktu sebelum makan malam, saya memilih untuk istirahat di kamar. Tak tidur, justru duduk di balkon sambil baca buku. Little A, Big A, dan Bu Ade memilih untuk berenang mumpung cuaca sedang tidak terlalu terik. Makan malam kali ini agak berbeda. Kami mencoba Giovanni's Table, resto Italia di deck 11. Dibanding Grand Dining Room, Giovanni tampak lebih lengang. Karena memang penumpang mesti membayar biaya tambahan untuk makan di sini. Namun meja-meja tetap penuh terisi, karena konon resto ini selalu jadi pilihan favorit. Dari meja makan, tamu bisa melihat para chef yang sedang memasak, waiter yang hilir-mudik, dan kepala resto yang mensupervisi setiap pesanan. Kami disambut oleh waiter perempuan asal Filipina yang sangat ramah. Pelayanan di Giovanni's lebih spesial lagi. Detail sangat diperhatikan. Anak-anak? diutamakan! Little A dapat buku menu khusus, makanan yang datang lebih cepat, spaghetti yang dipotongkan, dan bermacam lainnya. Beberapa keluarga juga memilih makan malam di Giovanni's. Obrolan-obrolan mengalir. Tapi nyatanya yang paling tahan lama duduk di tempat dan ngobrol hanya grup indo. Ketika "tetangga-tetangga" kami sudah pergi dan mejanya diisi oleh pelanggan berikutnya, kami masih asik berlama-lama mengobrol.
salah satu main course di Giovanni's
appetizerShore excursion memang pengalaman yang berbeda. Namun mencoba berbagai fasilitas di atas kapal tampaknya masih lebih banyak menjadi pilihan penumpang. Keesokan harinya : kami sehari penuh di atas kapal!
Baca juga Jurnal Pesiar Lembar Pertama.
Sesuai kata KBBI, agenda pesiar hari ke-dua dan ke-tiga kami tak hanya sebatas berlayar, menikmati pemandangan laut. Tapi juga turun untuk wisata darat, shore excursion.
***
Setelah pulang makan malam di hari pertama, ada monyet putih bergelantungan di kamar. Saya dan Big A cukup terkejut. Ternyata kreasi handuk dari Pak Rudolf, room attendant kami adalah monyet. Setiap kamar mendapat "hewannya" masing-masing. Setelah kroscek ke "kamar para tetangga", ternyata ada babi atau anjing yang sudah duduk manis di atas tempat tidur mereka. Karena lucu dan unik, si monyet tetap kami biarkan di atas, bergelantungan hingga keesokan hari.


Meski sepele, tapi kejutan kecil selain kamar yang sudah rapi setiap kali kembali dari makan malam memang menyenangkan. Soal handuk, awalnya saya kira akan berhenti di hari pertama. Karena menurut cruise compass, event demo kreasi handuk oleh awak kapal hanya ada di hari kedua. Selain itu, di kamar lain, kejutan handuk juga hanya sampai hari pertama. Namun nyatanya, hingga malam terakhir di kapal, saya dapat "hewan-hewan" yang berbeda setiap harinya. Karena merasa sayang, saya tak pernah mengubah bentuknya kecuali hanya memindahkan posisinya ke sofa.

Bicara soal kamar, meski di dalam kapal, kamar yang kami tempati tak terlalu kecil. Begitu masuk,di bagian kanan sudah kamar mandi dengan wastafel, bilik shower, dan toilet. Meski mungil, namun efektif dan fungsional. Di sebelah kiri lemari kayu. Bedanya dengan kamar hotel di darat, di rak terbawah lemari tersedia dua life jackets untuk keadaan darurat. Berlanjut, sudah langsung disambut area santai dengan sofa panjang dan televisi yang terpasang di meja rias. Diikuti tempat tidur, dan balkon yang dibatasi oleh pintu kaca. Di awal masuk, langsung tertulis pemberitahuan terkait dengan pintu balkon. Ketika tamu membiarkan pintu pembatas antara balkon dan kamar terbuka atau tak rapat, maka pendingin ruangan akan secara otomatis akan mati.


Karena saya kerap bangun terlalu pagi dan masih ada sela waktu sebelum waktu breakfast, saya iseng saja keluar kamar karena ingin tahu kondisi kapal di pagi hari. Selain itu juga memang ingin mampir ke perpustakaan (buka 24 jam!). Ternyata memang acara yang berakhir larut semalam membuat mayoritas penumpang masih lelap. Saya hanya sesekali berpapasan dengan crew yang bertugas. Dan benar, saya kemudian leluasa memelototi satu per satu punggung buku yang ada di rak. Karena mengambil secara acak, saya memilih The Supreme Macaroni Company milik Adriana Trigiani, dan beberapa kali membuka-buka Webster Dictionary of American Writers. Kadang ada kegembiraan yang tidak bisa didapatkan dengan melakukan aktivitas fisik. Kebutuhan untuk tenang dan berdialog dengan diri sendiri. Karena itulah perpustakaan yang nyaman jadi favorit saya di antara fasilitas yang lain.


Di deck atas perpustakaan persis, area komputer juga disediakan. Untuk koneksi internet, kapal menyediakan penjualan data dengan tarif tertentu. Informasinya bisa diakses di customer service deck 5.
Berpindah dari area yang sepi menuju ramai, pool area deck 11 menjadi salah satu area yang tak pernah sepi. Di sini tersedia beberapa kolam renang yang diperuntukkan untuk dewasa maupun anak-anak. Sementara jacuzzi dan sauna tersedia di area tersendiri yang diperuntukkan khusus untuk dewasa. Di area ini disediakan stall ice cream dan hot dog gratis.


Di area kolam renang ada layar raksasa yang memutarkan film yang berbeda setiap harinya. Nonton film di bawah bintang-bintang dan bersanding dengan lautan, bukan mustahil.
Area yang nyaris tak pernah sepi lainnya adalah Royal Promenade. Area "down town" ini bisa ditemukan cafe, gerai barang bermerk, dan lainnya. Cafe tepi jalan, Cafe Promenade buka 24 jam. Penumpang bisa mengudap makanan kecil mulai cake hingga pudding, pizza hingga sandwich. Di area ini juga sering diadakan acara parade, dance party di malam terakhir, hingga tampilan musik jazz. Mendekati Natal di akhir tahun, pohon natal raksasa juga dipajang.


Anak-anak bisa jadi makhluk paling gembira di atas kapal. Kapal bahkan menyediakan Arcade, tempat bermain. Tinggal menggesek sea pass card, anak-anak bisa menikmati berbagai jenis permainan sesuka hati. Mulai balap mobil, hingga permainan ketangkasan. Poin yang didapatkan bisa ditukarkan dengan sejumlah pilihan hadiah. Di akhir perjalanan cruise, beberapa token permainan didiskon setengah harga. Anak-anak : kalap!


Makan siang kami di hari kedua bukan di Windjammer. Kami diajak untuk mencoba sajian resto burger Johnny Rockets. Berkonsep ala western 50-an, interiornya pun menyesuaikan. Kursi bar tinggi, warna serba merah-hitam-putih, dan musik oldies. Sangat casual.



Sajiannya mulai burger, french fries, soda,bahkan ramen untuk memenuhi selera Asia.


Meski sudah waktunya turun kapal untuk menuju Kuala Lumpur, namun ternyata rombongan kami tidak turun. Kami justru menuju area depan kapal yang sekaligus terdapat helipad. Lokasinya memang sepi, karena tak banyak penumpang yang menyambanginya. Helipad diperlukan jika sewaktu-waktu terjadi keadaan darurat, seperti mengangkut penumpang yang sakitnya tak mampu ditangani petugas medis di atas kapal.


Puas mengambil gambar di sini, kami ingin menyaksikan badan kapal dari kejauhan. Maka kami turun menuju Port Klang, Malaysia meski tak turut serta ke KL. Di pelabuhan disediakan supermarket mini, toko souvenir, dan jika bisa mengambil sudut yang tepat, bisa berfoto dengan badan kapal yang besar tampak kejauhan.
Nah, salah satu yang diminta secara khusus di tiap pesiar adalah aturan formal dinner yang diberlakukan satu kali dalam perjalanan cruise pendek, atau beberapa kali dalam perjalanan beberapa belas hari cruise. Selain itu juga ada aturan sederhana, seperti tidak diperbolehkan bercelana pendek dan memakai sandal setiap makan malam. Hal itu untuk menghidupkan kesan makan malam formal di antara penumpang, karena memang setiap makan malam sifatnya semi formal. Di makan malam kedua, kami diminta untuk mengenakan pakaian formal. Di malam ini pula, kapten kapal memberikan sambutan selamat datang pada seluruh penumpang. Penumpang yang biasanya berkaus, tiba-tiba berubah mejadi kemeja resmi. Wanita memakai gaun malam. Menu makan malam berubah setiap harinya, baik appetizer, main course, maupun dessert. Waiter biasanya memberikan rekomendasi apa yang spesial dari menunya, dan menyesuaikan dengan keinginan kita. Suatu kali, saya pernah ragu dalam memillih makanan penutup. Sekadar coba-coba, saya memesan semacam mango rice. Dan saya tanyakan pada Xiolong, waiter kami apakah itu enak. Ia katakan, jika nanti hidangan itu tak cocok dengan lidah saya, bisa ia tukar dengan dessert yang lain. Penumpang sangat dimanjakan hingga hal terkecil.

Kenyang makan malam, acara malam berikutnya adalah menonton pertunjukan broadway di Savoy Theatre deck 3. Peserta cruise disuguhkan berbagai plot cerita pendek yang dipentaskan dalam bentuk teatrikal dan diiringi band secara langsung. Di saat yang bersamaan dengan broadway, di Royal Promenade diselenggarakan bazaar serba $10 oleh beberapa merk. Penggila belanja juga terfasilitasi.



Tak semua penumpang memutuskan untuk turun dan turut serta dalam shore excursion, karena fasilitas di atas kapal pun seakan tak habis untuk dicoba dan dijelajahi. Di hari ketiga, kapal merapat pada pelabuhan di Langkawi, Malaysia. Kami turut serta secara penuh kali ini. Setelah sarapan, kami berkumpul untuk bersama-sama dengan penumpang lain menjajal wisata darat. Penumpang tak bisa begitu saja turun, namun mesti diatur dalam grup-grup yang dikoordinir oleh salah satu crew kapal. Masing-masing peserta diberikan stiker angka sesuai nomor grup untuk ditempelkan di tubuh. Sebelumnya kami sudah mendapat tiket untuk wisata darat yang diletakkan room attendant di atas tempat tidur. Begitu turun, sudah ada beberapa bus yang menunggu. Setiap grup berada di dalam satu bus yang sama.

Mengingatkan pada adegan-adegan di film Anna and The King, Langkawi memang tersohor dengan pantainya. Pihak travel membawa kami berkeliling ke beberapa destinasi, seperti toko cokelat, rice museum, dan akuarium besar. Menariknya, karena lokasinya yang tenang, Langkawi jamak dijadikan tempat berharitua oleh beberapa turis asing. Mereka hanya mesti membayar sekian Ringgit untuk mendapat izinnya.



Beberapa dari kami mengganggap wisata di atas kapal lebih menarik, jadi hanya beberapa jam kemudian, kami sudah kembali ke atas kapal. Crew kapal sudah memberikan pemberitahuan tentang jam keberangkatan kembali kapal. Maka jika ada penumpang yang memutuskan untuk melakukan shore excursion sendiri pun tak apa, asal bisa kembali ke pelabuhan tepat waktu. Karena kapal sedang merapat, sebelum naik, kebanyakan penumpang (termasuk saya) mengambil gambar, karena terlihat badan kapal yang raksasa.

Karena cukup lelah setelah wisata darat dan masih ada waktu sebelum makan malam, saya memilih untuk istirahat di kamar. Tak tidur, justru duduk di balkon sambil baca buku. Little A, Big A, dan Bu Ade memilih untuk berenang mumpung cuaca sedang tidak terlalu terik. Makan malam kali ini agak berbeda. Kami mencoba Giovanni's Table, resto Italia di deck 11. Dibanding Grand Dining Room, Giovanni tampak lebih lengang. Karena memang penumpang mesti membayar biaya tambahan untuk makan di sini. Namun meja-meja tetap penuh terisi, karena konon resto ini selalu jadi pilihan favorit. Dari meja makan, tamu bisa melihat para chef yang sedang memasak, waiter yang hilir-mudik, dan kepala resto yang mensupervisi setiap pesanan. Kami disambut oleh waiter perempuan asal Filipina yang sangat ramah. Pelayanan di Giovanni's lebih spesial lagi. Detail sangat diperhatikan. Anak-anak? diutamakan! Little A dapat buku menu khusus, makanan yang datang lebih cepat, spaghetti yang dipotongkan, dan bermacam lainnya. Beberapa keluarga juga memilih makan malam di Giovanni's. Obrolan-obrolan mengalir. Tapi nyatanya yang paling tahan lama duduk di tempat dan ngobrol hanya grup indo. Ketika "tetangga-tetangga" kami sudah pergi dan mejanya diisi oleh pelanggan berikutnya, kami masih asik berlama-lama mengobrol.


Baca juga Jurnal Pesiar Lembar Pertama.
Published on December 10, 2016 05:40
December 3, 2016
Jurnal Pesiar Lembar Pertama
"Tahu nggak, orang Indonesia yang sudah pernah cruise berapa persen?" Kami menggeleng sekaligus ingin tahu. "Nol koma nol nol sekian persen."
Tampaknya memang belum banyak yang menjadikan cruise sebagai pilihan cara berlibur. Mahal? Relatif. ***
Menjelang akhir bulan November ini, Bu Ade bersama Big A, dan Little A mengajak saya serta dalam perjalanan mereka ke Singapura. Bahkan sudah terbit tulisan lengkapnya di web Traveling Precils. Tapi kali ini mereka tak menjelajah daratan seperti biasanya, justru terapung-apung di lautan. Pesiar!
Nah, karena saya turut bersama mereka kali ini, sebelum berangkat, Bu Ade membagi info mulai itinerary hingga rujukan akun media sosial beberapa pesohor yang juga melakukan perjalanan dengan kapal yang sama. Itu berguna sekali, karena belum pernah melakukan cruise sebelumnya, saya belum bisa membayangkan bagaimana dan apa saja yang akan dilakukan di atas kapal. Begitu baca dokumen itinerary-nya, saya agak tercengang. Selain kegiatan di darat, lebih banyak kolom yang menyebutkan untuk menikmati fasilitas di dalam kapal. Saya jadi bertanya-tanya, memangnya seberapa banyak fasilitas di atas kapal? Pertanyaan disimpan, kaki dilangkahkan.
Kami menumpang kapal Mariner of The Seas milik Royal Caribbean. Karena ia bertolak tanggal 21 November 2016 sore dari Marina Bay Cruise Centre (MBCC), kami mesti menuju Singapura terlebih dulu. Tak ada kendala berarti dalam perjalanan menuju Singapura. Garuda mengantar kami dengan mulus. Begitu tiba di Changi Airport, kami semua pasang mata, mencari papan nama bertuliskan nama Bu Ade. Karena ada kesalahan penulisan nama dari pihak travel, jadi sempat ada adegan saling tunggu dan tebak-tebakan. Begitu menemukan orang yang menjemput, kami dibawa bertemu dengan rombongan asal Indonesia lain yang juga telah berdatangan. Mereka rata-rata berprofesi sebagai blogger atau vlogger asal Jakarta dan Medan. Mas Febrian, Mas Jovian, Mas Indra, Mbak Tysca, dan Mbak Dame. Hampir bersepuluh, kami langsung dibawa menuju MBCC, karena kapal akan segera bertolak. Begitu mendekati area MBCC, dari jendela mobil, dilatarbelakangi langit abu yang mendung, Mariner of The Seas merapat dengan gagah. Kami sibuk mengagumi betapa besarnya ukuran kapal yang akan kami tumpangi!
sebagian kapal dari samping ketika merapat di MBCC
Makin semangat, kami pun menjejak gedung MBCC. Dari luarnya saja sudah terlihat betapa sibuk tempat ini. Di beberapa sisi terlihat koper-koper bertumpuk warna-warni yang sudah akan dibawa masuk ke dalam kapal, hilir-mudik penumpang, petugas, dan riuh percakapan berbagai bahasa. Kami mendapat briefing singkat tentang kapal, tag bagasi, hingga nomor kamar dari Pak Andi (staf Royal Caribbean Jakarta). Di sini kami juga mesti menandatangani dan mengisi beberapa formulir. Seperti formulir tentang kesehatan, hingga sistem pembayaran di atas kapal yang akan digunakan. Tak lama, kami sudah harus memasang tag pada barang bawaan, dan menyerahkan pada pos bagasi, di mana barang-barang bawaan penumpang dikumpulkan. Ketika itu pula, kami baru menemui dua anggota grup Indonesia yang lain, Mak Gondut dan Mbak Atid asal Bandung yang datang secara terpisah.
Meski terlihat riuh, sejak parkir mobil, bagasi, check-in, hingga imigrasi, para petugas tampak tangkas dan sigap melayani calon peserta cruise. Nyaris serupa dengan proses check-in dan boarding pesawat, kami juga harus melewati scan keamanan, karena kapal sudah menetapkan daftar barang apa saja yang tak boleh dibawa masuk ke dalam kapal. Kemudian kami mesti mengantre untuk check-in. Meski antrean panjang, namun petugas di balik meja check-in berjajar puluhan orang. Kami mengantre sepaket dengan teman sekamar. Dari balik meja, petugas memastikan nama, mengambil foto diri kami, dan memproses beberapa dokumen. Saat itu juga, dalam hitungan menit, kami sudah bisa mendapatkan sea pass card kami masing-masing. Sea pass card ini yang jadi "kartu serba bisa" kami di atas kapal. Kelar check-in, kami harus melewati counter imigrasi, karena begitu kapal berlayar, kami akan berlayar meninggalkan Singapura. Meski harus mengantre berkali-kali, namun ketertiban, sistem, dan pelayanan yang baik membuat antre tak terasa terlalu lama.
sea pass card
Akhirnya kami berada di sisi terdekat dengan kapal ketika melewati lorong menuju kapal. Dari samping, kapal ini terlihat semakin raksasa. Sebelum boarding, sea pass card kami di scan satu persatu. Petugas tampaknya benar-benar menjaga keamanan kapal. Bahkan sebelum kami melewati proses scan sea pass card pun, kami diminta menunjukkan beberapa kali di antrean proses. Begitu masuk ke dalam, interior mewah menyambut. Mengingatkan dengan satu-satunya referensi pesiar sepanjang masa : Titanic.
Royal Promenade, area "down town" kapal
lorong lift
Melihat sekilas penumpang, memang cukup jarang orang Indonesia terlihat. terhitung hanya beberapa kali saya mendengar percakapan dalam Bahasa Indonesia di dalam kapal. Sepertinya Singapura, Korea, dan wajah-wajah India banyak mendominasi. Bicara tentang keberagaman, saya punya pengalaman menarik. Karena sangat jarang perempuan berhijab di dalam kapal, jadi ketika bertemu dengan sesama pengguna hijab, kami beberapa kali berkontak mata, bahkan menyapa. Ketika di dalam lift, misalnya. Saya sudah di dalam lift yang penuh ketika ada serombongan keluarga muslim yang masuk ke dalam lift. Beberapa perempuan dan laki-laki paruh baya dengan seorang nenek berkursi roda. Begitu beranjak masuk, mereka mengucapkan good morning pada orang-orang di lift, dan menambahkan Assalamualaikum karena melihat saya terselip di antara mereka. Kami pun mengobrol singkat. Mereka bertanya asal saya, dan heran bagaimana setelah beberapa hari di atas kapal yang sama mereka jarang melihat saya. Lain lagi, ketika bertemu sebuah keluarga di lift dan saya mesti merangsek karena turun lebih dulu, seorang ibu berjilbab menepi memberi jalan dan memegang lengan saya hangat sambil memanggil "Adik". Namun justru keberagaman ras dalam satu kapal itu yang menarik. Saling menyapa tanpa mengenal sebelumnya, atau mengobrol ketika bertemu di shore excursion. Saya sempat mendengar curhatan seorang bapak asal Singapura yang berkisah tentang pengalaman dinner kemarin malam ketika kami mesti mengenakan pakaian formal, atau seorang ibu dengan dua anak yang baik hati berbagi meja breakfast-nya dengan kami, sekaligus menawarkan mengambilkan gambar kami dengan kamera. Meski berbagai macam latar belakang kultur, namun saya sangat jarang melihat ketidaktertiban maupun perilaku buruk. Semua orang tertib mengikuti aturan demi kenyamanan bersama.
Kami dipersilakan untuk makan siang terlebih dahulu begitu tiba menjejak kapal. Lokasinya di Windjammer deck 11. Resto dengan sistem buffet yang sifatnya casual. Di sinilah pada akhirnya tempat makan yang paling sering kami kunjungi, baik untuk sarapan maupun makan siang. Jenis makanannya bermacam-macam. Mulai salad hingga sea food, mulai buah-buahan hingga yogurt. Di Windjammer juga semua orang berdatangan. Sesekali kami berpapasan dengan kru kapal yang juga mengambil makanan. Jika kursi sudah penuh, biasanya akan diumumkan himbauan untuk bergantian meja dengan tamu yang lain. Pelayanan ruang makan ini juga memuaskan. Piring kotor cepat diambil, meja segera dibersihkan, waiter berkeliling membagikan minuman dan mengatur agar semua orang mendapat tempat, makanan cepat kembali terisi, lantai cepat dibersihkan, layanan hand sanitizer di pintu masuk, dan lain sebagainya. Setelah beberapa kali ke mari, kami bisa membaca satu pola. Karena selalu ramai, dan akan cukup susah mencari kursi kosong, mesti datang di awal waktu makan. Jika beruntung, bisa dapat posisi dekat jendela yang bisa langsung dapat view laut luas. Di hari terakhir malah Mbak Dame, Mbak Atid, Mak Gondut, dan saya bisa menikmati sunrise dari meja makan kami. Siapa yang bisa menolak pemandangan laut, matahari terbit, makanan enak, dan obrolan hangat? :)
sebagian area Windjammer
Pak Andi mengajak kami berkeliling untuk mengenalkan fasilitas-fasilitas di dalam kapal. 14 deck (lantai) dengan begitu banyak tempat dan fasilitas awalnya membuat kami cukup bingung. Mulai berbagai macam restoran, pusat kebugaran, sports area, theatre, bioskop mini, area ice skating, area pertokoan dan cafe, bahkan kapel untuk kepentingan pernikahan, hingga helipad. Penumpang sangat dimanjakan fasilitas. Tapi benar kata Pak Andi, dalam beberapa hari kami sudah bisa cukup hapal lokasi-lokasi tersebut. Sarapan di deck 11, makan malam di deck 4, kolam renang di deck 11, cafe 24 jam di deck 5, perpustakaan di deck 7, dan lain sebagainya. Tapi sangat wajar lupa atau tersesat. Untuk mengatasinya, Mariner of The Seas menyediakan sebuah layar sentuh besar di hampir tiap deck di area lift. Di situ siapa pun bisa mengakses informasi event harian, jalan menuju kamar dan rest room, lokasi-lokasi fasilitas yang dituju, dan bermacam lainnya. Misalnya, dari stateroom deck 6, saya ingin menuju kolam renang. Tinggal sentuh beberapa tombol pilihan, di peta kapal, akan terlihat posisi kita dan garis titik-titik merah yang menunjukkan rute mana yang harus kita ambil untuk menuju lokasi tujuan. Sangat membantu. Untuk orang tua dan pengguna kursi roda pun kapal ini sangat ramah. Di sepanjang lorong kamar disediakan handle sepertinya halnya di rumah sakit, dan jalur-jalur khusus yang selalu ada untuk pengguna kursi roda.
Layar sentuh yang mudah ditemukan
Layar sentuh menunjukkan posisi dan rute menuju tujuan
perpustakaan
Masih ada waktu sebelum drill, kami dipersilakan untuk memasukkan barang ke dalam kamar terlebih dahulu. Begitu tiba di lorong panjang kamar, koper-koper bawaan kami sudah tersedia di depan setiap pintu kamar. Scan kartu, begitu masuk ke dalam kamar, kami langsung sibuk fokus dengan balkon. Begitu membuka pintu geser antara kamar dengan balkon, langsung terlihat view laut lepas! Tanpa kami sadari ternyata kapal sudah berjalan menuju Port Klang untuk shore excursion Kuala Lumpur keesokan hari. Guncangan nyaris tidak terasa, karena kapal tak melaju terburu. Sepertinya kapal memang disengaja melaju perlahan untuk menjaga kenyamanan penumpang menikmati fasilitas di dalam kapal. Membaca beberapa artikel, kebanyakan kapal pesiar memang sudah menggunakan stabilisizer dan badan kapal yang besar meminimalkan guncangan. Namun, tidak menutup kemungkinan memang kita mengalami motion sickness. Tapi apa yang perlu dikhawatirkan jika ada obat dan fasilitas kapal yang bisa dinikmati. Bahkan sebagian besar penumpang adalah lansia dan anak-anak yang bisa beraktifitas lancar tanpa gangguan.
Di setiap kamar dibagikan setiap hari Cruise Compass (semacam buletin harian) yang menginfokan semua fasilitas kapal hari itu. Jam makan pagi-siang-malam untuk tiap restoran, event-event khusus yang diadakan hari itu, penawaran-penawaran tertentu, selipan agenda umum esok hari, bahkan hingga info waktu sunrise, sunset, hingga weather forecast. Cruise Compass jadi panduan untuk dibawa ke mana-mana. Biasanya sepulang dari makan malam, room attendant sudah merapikan kamar dan meletakkan cruise compass dan edaran lainnya di atas tempat tidur untuk memastikan penumpang melihatnya.
Baru rehat sejenak, pengeras suara yang dipasang di penjuru kapal mengumumkan bahwa sudah saatnya drill (simulasi evakuasi di saat darurat). Di proses ini, seluruh penumpang diwajibkan ikut serta tanpa kecuali. Bahkan awak kapal mengumumkan bahwa proses ini diatur secara hukum. Awak kapal bersungguh-sungguh dalam proses simulasi. Room attendant mengetuk dan mengecek satu per satu kamar penumpang untuk memastikan bahwa semua orang sudah berkumpul ke titik kumpul evakuasi. Kamar yang sudah kosong, diberikan tanda kartu merah dengan keterangan "evacuated" pada lubang kartu. Kami semua bergegas menuju titik evakuasi yang telah ditentukan. Di ujung tangga tiap deck ada beberapa petugas yang membantu memeriksa sea pass card kami, kemudian menunjukkan di deck mana kami mesti berkumpul. Kesungguhan awak kapal belum berakhir. Masih ada petugas yang melakukan scan kartu untuk mendata para penumpang yang telah mengikuti drill. Kami berbaris. Anak-anak berbaris di bagian depan dan diberikan gelang berwarna merah untuk usia-usia tertentu. Gelang plastik itu wajib dikenakan terus menerus hingga cruise usai. Titik evakuasi memang diatur pada deck di mana life jacket dan sekoci tersedia. Setelah semua berbaris, beberapa petugas memeragakan cara penggunaan life jacket. Setelah itu drill usai, penumpang bisa kembali beraktifitas di kapal.
Makan malam ternyata menjadi agenda paling menyenangkan untuk saya selama di kapal. Kenapa? karena semua orang berkumpul dan mengobrol hangat. Di tiap sea pass card, sudah tertulis di mana kami bisa makan malam. Grand dining room dibagi menjadi tiga deck untuk menampung seluruh penumpang. Grup indo kebagian di Top Hat and Tails deck 4. Kami terbagi menjadi dua meja. Saya semeja dengan Bu Ade, Big A, Little A, Mak Gondut dan Mbak Atid. Perempuan-perempuan dari berbagai rentang usia. Anak-anak hingga lansia. Apa saja obrolannya? Macam-macam. Mulai mengomentari makanan, atau sekadar candaan. Waiter meja kami, Xiaolong asal China dan asistennya, Pak Igede asal Bali. Di hari pertama, saya melewatkan parade karakter dreamworks dan terhalang banyak orang yang ingin menonton lebih dekat. Akhirnya saya putuskan untuk pergi ke ruang makan lebih dulu. Ternyata saya orang pertama yang hadir. Xiaolong dan Pak Gede menyambut saya. Menarikkan kursi dan melebarkan sapu tangan. Untuk dinner, memang semua bersistem ala carte. Karena yang lain belum datang, saya diajak mengobrol oleh Pak Gede disela dirinya yang menawarkan roti hangat. Pak Gede rupanya baru sebulan bekerja di Mariner of The Seas, sejak menurutnya sudah tak ada lapangan kerja yang cocok lagi di Bali. Sementara anak-anaknya membutuhkan biaya untuk sekolah. Sosok dan cerita Pak Gede menarik. Dan hingga hari terakhir, saya masih suka mengobrol dengan Pak Gede di sela dinner.
Setelah makan malam, kami menonton pertunjukkan ice skating Under The Big Top. Lokasinya di Studio B decks 3 dan 4. Saya cukup penasaran dengan pertunjukan di atas kapal. Apakah akan sebagus di darat? Ternyata Under The Big Top cukup menarik. Penampil prima dan terlihat pertunjukan terkonsep dengan baik. Dalam sekali pertunjukan, mereka memainkan beberapa tema cerita. Tujuannya, agar sebanyak mungkin audiens merasa terhubung dengan tema-tema tersebut. Mulai tema berbagai bangsa, badut untuk anak-anak, hingga romansa. Atraksi-atraksi yang disajikan pun tak melulu satu arah. Penonton diajak interaktif dengan bertepuk tangan, menjadi bagian pertunjukan, hingga penampil yang memercikkan air dan berinteraksi dengan audiens di tengah pertunjukan.
Hebatnya, saya rasa awak kapal, baik di ruang makan hingga penampil membawa spirit yang serupa. Semua berusaha "merangkul" dan membantu penumpang untuk menikmati waktu cruise mereka.
Tampaknya memang belum banyak yang menjadikan cruise sebagai pilihan cara berlibur. Mahal? Relatif. ***
Menjelang akhir bulan November ini, Bu Ade bersama Big A, dan Little A mengajak saya serta dalam perjalanan mereka ke Singapura. Bahkan sudah terbit tulisan lengkapnya di web Traveling Precils. Tapi kali ini mereka tak menjelajah daratan seperti biasanya, justru terapung-apung di lautan. Pesiar!
Nah, karena saya turut bersama mereka kali ini, sebelum berangkat, Bu Ade membagi info mulai itinerary hingga rujukan akun media sosial beberapa pesohor yang juga melakukan perjalanan dengan kapal yang sama. Itu berguna sekali, karena belum pernah melakukan cruise sebelumnya, saya belum bisa membayangkan bagaimana dan apa saja yang akan dilakukan di atas kapal. Begitu baca dokumen itinerary-nya, saya agak tercengang. Selain kegiatan di darat, lebih banyak kolom yang menyebutkan untuk menikmati fasilitas di dalam kapal. Saya jadi bertanya-tanya, memangnya seberapa banyak fasilitas di atas kapal? Pertanyaan disimpan, kaki dilangkahkan.
Kami menumpang kapal Mariner of The Seas milik Royal Caribbean. Karena ia bertolak tanggal 21 November 2016 sore dari Marina Bay Cruise Centre (MBCC), kami mesti menuju Singapura terlebih dulu. Tak ada kendala berarti dalam perjalanan menuju Singapura. Garuda mengantar kami dengan mulus. Begitu tiba di Changi Airport, kami semua pasang mata, mencari papan nama bertuliskan nama Bu Ade. Karena ada kesalahan penulisan nama dari pihak travel, jadi sempat ada adegan saling tunggu dan tebak-tebakan. Begitu menemukan orang yang menjemput, kami dibawa bertemu dengan rombongan asal Indonesia lain yang juga telah berdatangan. Mereka rata-rata berprofesi sebagai blogger atau vlogger asal Jakarta dan Medan. Mas Febrian, Mas Jovian, Mas Indra, Mbak Tysca, dan Mbak Dame. Hampir bersepuluh, kami langsung dibawa menuju MBCC, karena kapal akan segera bertolak. Begitu mendekati area MBCC, dari jendela mobil, dilatarbelakangi langit abu yang mendung, Mariner of The Seas merapat dengan gagah. Kami sibuk mengagumi betapa besarnya ukuran kapal yang akan kami tumpangi!

Makin semangat, kami pun menjejak gedung MBCC. Dari luarnya saja sudah terlihat betapa sibuk tempat ini. Di beberapa sisi terlihat koper-koper bertumpuk warna-warni yang sudah akan dibawa masuk ke dalam kapal, hilir-mudik penumpang, petugas, dan riuh percakapan berbagai bahasa. Kami mendapat briefing singkat tentang kapal, tag bagasi, hingga nomor kamar dari Pak Andi (staf Royal Caribbean Jakarta). Di sini kami juga mesti menandatangani dan mengisi beberapa formulir. Seperti formulir tentang kesehatan, hingga sistem pembayaran di atas kapal yang akan digunakan. Tak lama, kami sudah harus memasang tag pada barang bawaan, dan menyerahkan pada pos bagasi, di mana barang-barang bawaan penumpang dikumpulkan. Ketika itu pula, kami baru menemui dua anggota grup Indonesia yang lain, Mak Gondut dan Mbak Atid asal Bandung yang datang secara terpisah.
Meski terlihat riuh, sejak parkir mobil, bagasi, check-in, hingga imigrasi, para petugas tampak tangkas dan sigap melayani calon peserta cruise. Nyaris serupa dengan proses check-in dan boarding pesawat, kami juga harus melewati scan keamanan, karena kapal sudah menetapkan daftar barang apa saja yang tak boleh dibawa masuk ke dalam kapal. Kemudian kami mesti mengantre untuk check-in. Meski antrean panjang, namun petugas di balik meja check-in berjajar puluhan orang. Kami mengantre sepaket dengan teman sekamar. Dari balik meja, petugas memastikan nama, mengambil foto diri kami, dan memproses beberapa dokumen. Saat itu juga, dalam hitungan menit, kami sudah bisa mendapatkan sea pass card kami masing-masing. Sea pass card ini yang jadi "kartu serba bisa" kami di atas kapal. Kelar check-in, kami harus melewati counter imigrasi, karena begitu kapal berlayar, kami akan berlayar meninggalkan Singapura. Meski harus mengantre berkali-kali, namun ketertiban, sistem, dan pelayanan yang baik membuat antre tak terasa terlalu lama.

Akhirnya kami berada di sisi terdekat dengan kapal ketika melewati lorong menuju kapal. Dari samping, kapal ini terlihat semakin raksasa. Sebelum boarding, sea pass card kami di scan satu persatu. Petugas tampaknya benar-benar menjaga keamanan kapal. Bahkan sebelum kami melewati proses scan sea pass card pun, kami diminta menunjukkan beberapa kali di antrean proses. Begitu masuk ke dalam, interior mewah menyambut. Mengingatkan dengan satu-satunya referensi pesiar sepanjang masa : Titanic.


Melihat sekilas penumpang, memang cukup jarang orang Indonesia terlihat. terhitung hanya beberapa kali saya mendengar percakapan dalam Bahasa Indonesia di dalam kapal. Sepertinya Singapura, Korea, dan wajah-wajah India banyak mendominasi. Bicara tentang keberagaman, saya punya pengalaman menarik. Karena sangat jarang perempuan berhijab di dalam kapal, jadi ketika bertemu dengan sesama pengguna hijab, kami beberapa kali berkontak mata, bahkan menyapa. Ketika di dalam lift, misalnya. Saya sudah di dalam lift yang penuh ketika ada serombongan keluarga muslim yang masuk ke dalam lift. Beberapa perempuan dan laki-laki paruh baya dengan seorang nenek berkursi roda. Begitu beranjak masuk, mereka mengucapkan good morning pada orang-orang di lift, dan menambahkan Assalamualaikum karena melihat saya terselip di antara mereka. Kami pun mengobrol singkat. Mereka bertanya asal saya, dan heran bagaimana setelah beberapa hari di atas kapal yang sama mereka jarang melihat saya. Lain lagi, ketika bertemu sebuah keluarga di lift dan saya mesti merangsek karena turun lebih dulu, seorang ibu berjilbab menepi memberi jalan dan memegang lengan saya hangat sambil memanggil "Adik". Namun justru keberagaman ras dalam satu kapal itu yang menarik. Saling menyapa tanpa mengenal sebelumnya, atau mengobrol ketika bertemu di shore excursion. Saya sempat mendengar curhatan seorang bapak asal Singapura yang berkisah tentang pengalaman dinner kemarin malam ketika kami mesti mengenakan pakaian formal, atau seorang ibu dengan dua anak yang baik hati berbagi meja breakfast-nya dengan kami, sekaligus menawarkan mengambilkan gambar kami dengan kamera. Meski berbagai macam latar belakang kultur, namun saya sangat jarang melihat ketidaktertiban maupun perilaku buruk. Semua orang tertib mengikuti aturan demi kenyamanan bersama.
Kami dipersilakan untuk makan siang terlebih dahulu begitu tiba menjejak kapal. Lokasinya di Windjammer deck 11. Resto dengan sistem buffet yang sifatnya casual. Di sinilah pada akhirnya tempat makan yang paling sering kami kunjungi, baik untuk sarapan maupun makan siang. Jenis makanannya bermacam-macam. Mulai salad hingga sea food, mulai buah-buahan hingga yogurt. Di Windjammer juga semua orang berdatangan. Sesekali kami berpapasan dengan kru kapal yang juga mengambil makanan. Jika kursi sudah penuh, biasanya akan diumumkan himbauan untuk bergantian meja dengan tamu yang lain. Pelayanan ruang makan ini juga memuaskan. Piring kotor cepat diambil, meja segera dibersihkan, waiter berkeliling membagikan minuman dan mengatur agar semua orang mendapat tempat, makanan cepat kembali terisi, lantai cepat dibersihkan, layanan hand sanitizer di pintu masuk, dan lain sebagainya. Setelah beberapa kali ke mari, kami bisa membaca satu pola. Karena selalu ramai, dan akan cukup susah mencari kursi kosong, mesti datang di awal waktu makan. Jika beruntung, bisa dapat posisi dekat jendela yang bisa langsung dapat view laut luas. Di hari terakhir malah Mbak Dame, Mbak Atid, Mak Gondut, dan saya bisa menikmati sunrise dari meja makan kami. Siapa yang bisa menolak pemandangan laut, matahari terbit, makanan enak, dan obrolan hangat? :)

Pak Andi mengajak kami berkeliling untuk mengenalkan fasilitas-fasilitas di dalam kapal. 14 deck (lantai) dengan begitu banyak tempat dan fasilitas awalnya membuat kami cukup bingung. Mulai berbagai macam restoran, pusat kebugaran, sports area, theatre, bioskop mini, area ice skating, area pertokoan dan cafe, bahkan kapel untuk kepentingan pernikahan, hingga helipad. Penumpang sangat dimanjakan fasilitas. Tapi benar kata Pak Andi, dalam beberapa hari kami sudah bisa cukup hapal lokasi-lokasi tersebut. Sarapan di deck 11, makan malam di deck 4, kolam renang di deck 11, cafe 24 jam di deck 5, perpustakaan di deck 7, dan lain sebagainya. Tapi sangat wajar lupa atau tersesat. Untuk mengatasinya, Mariner of The Seas menyediakan sebuah layar sentuh besar di hampir tiap deck di area lift. Di situ siapa pun bisa mengakses informasi event harian, jalan menuju kamar dan rest room, lokasi-lokasi fasilitas yang dituju, dan bermacam lainnya. Misalnya, dari stateroom deck 6, saya ingin menuju kolam renang. Tinggal sentuh beberapa tombol pilihan, di peta kapal, akan terlihat posisi kita dan garis titik-titik merah yang menunjukkan rute mana yang harus kita ambil untuk menuju lokasi tujuan. Sangat membantu. Untuk orang tua dan pengguna kursi roda pun kapal ini sangat ramah. Di sepanjang lorong kamar disediakan handle sepertinya halnya di rumah sakit, dan jalur-jalur khusus yang selalu ada untuk pengguna kursi roda.




Masih ada waktu sebelum drill, kami dipersilakan untuk memasukkan barang ke dalam kamar terlebih dahulu. Begitu tiba di lorong panjang kamar, koper-koper bawaan kami sudah tersedia di depan setiap pintu kamar. Scan kartu, begitu masuk ke dalam kamar, kami langsung sibuk fokus dengan balkon. Begitu membuka pintu geser antara kamar dengan balkon, langsung terlihat view laut lepas! Tanpa kami sadari ternyata kapal sudah berjalan menuju Port Klang untuk shore excursion Kuala Lumpur keesokan hari. Guncangan nyaris tidak terasa, karena kapal tak melaju terburu. Sepertinya kapal memang disengaja melaju perlahan untuk menjaga kenyamanan penumpang menikmati fasilitas di dalam kapal. Membaca beberapa artikel, kebanyakan kapal pesiar memang sudah menggunakan stabilisizer dan badan kapal yang besar meminimalkan guncangan. Namun, tidak menutup kemungkinan memang kita mengalami motion sickness. Tapi apa yang perlu dikhawatirkan jika ada obat dan fasilitas kapal yang bisa dinikmati. Bahkan sebagian besar penumpang adalah lansia dan anak-anak yang bisa beraktifitas lancar tanpa gangguan.
Di setiap kamar dibagikan setiap hari Cruise Compass (semacam buletin harian) yang menginfokan semua fasilitas kapal hari itu. Jam makan pagi-siang-malam untuk tiap restoran, event-event khusus yang diadakan hari itu, penawaran-penawaran tertentu, selipan agenda umum esok hari, bahkan hingga info waktu sunrise, sunset, hingga weather forecast. Cruise Compass jadi panduan untuk dibawa ke mana-mana. Biasanya sepulang dari makan malam, room attendant sudah merapikan kamar dan meletakkan cruise compass dan edaran lainnya di atas tempat tidur untuk memastikan penumpang melihatnya.

Baru rehat sejenak, pengeras suara yang dipasang di penjuru kapal mengumumkan bahwa sudah saatnya drill (simulasi evakuasi di saat darurat). Di proses ini, seluruh penumpang diwajibkan ikut serta tanpa kecuali. Bahkan awak kapal mengumumkan bahwa proses ini diatur secara hukum. Awak kapal bersungguh-sungguh dalam proses simulasi. Room attendant mengetuk dan mengecek satu per satu kamar penumpang untuk memastikan bahwa semua orang sudah berkumpul ke titik kumpul evakuasi. Kamar yang sudah kosong, diberikan tanda kartu merah dengan keterangan "evacuated" pada lubang kartu. Kami semua bergegas menuju titik evakuasi yang telah ditentukan. Di ujung tangga tiap deck ada beberapa petugas yang membantu memeriksa sea pass card kami, kemudian menunjukkan di deck mana kami mesti berkumpul. Kesungguhan awak kapal belum berakhir. Masih ada petugas yang melakukan scan kartu untuk mendata para penumpang yang telah mengikuti drill. Kami berbaris. Anak-anak berbaris di bagian depan dan diberikan gelang berwarna merah untuk usia-usia tertentu. Gelang plastik itu wajib dikenakan terus menerus hingga cruise usai. Titik evakuasi memang diatur pada deck di mana life jacket dan sekoci tersedia. Setelah semua berbaris, beberapa petugas memeragakan cara penggunaan life jacket. Setelah itu drill usai, penumpang bisa kembali beraktifitas di kapal.
Makan malam ternyata menjadi agenda paling menyenangkan untuk saya selama di kapal. Kenapa? karena semua orang berkumpul dan mengobrol hangat. Di tiap sea pass card, sudah tertulis di mana kami bisa makan malam. Grand dining room dibagi menjadi tiga deck untuk menampung seluruh penumpang. Grup indo kebagian di Top Hat and Tails deck 4. Kami terbagi menjadi dua meja. Saya semeja dengan Bu Ade, Big A, Little A, Mak Gondut dan Mbak Atid. Perempuan-perempuan dari berbagai rentang usia. Anak-anak hingga lansia. Apa saja obrolannya? Macam-macam. Mulai mengomentari makanan, atau sekadar candaan. Waiter meja kami, Xiaolong asal China dan asistennya, Pak Igede asal Bali. Di hari pertama, saya melewatkan parade karakter dreamworks dan terhalang banyak orang yang ingin menonton lebih dekat. Akhirnya saya putuskan untuk pergi ke ruang makan lebih dulu. Ternyata saya orang pertama yang hadir. Xiaolong dan Pak Gede menyambut saya. Menarikkan kursi dan melebarkan sapu tangan. Untuk dinner, memang semua bersistem ala carte. Karena yang lain belum datang, saya diajak mengobrol oleh Pak Gede disela dirinya yang menawarkan roti hangat. Pak Gede rupanya baru sebulan bekerja di Mariner of The Seas, sejak menurutnya sudah tak ada lapangan kerja yang cocok lagi di Bali. Sementara anak-anaknya membutuhkan biaya untuk sekolah. Sosok dan cerita Pak Gede menarik. Dan hingga hari terakhir, saya masih suka mengobrol dengan Pak Gede di sela dinner.
Setelah makan malam, kami menonton pertunjukkan ice skating Under The Big Top. Lokasinya di Studio B decks 3 dan 4. Saya cukup penasaran dengan pertunjukan di atas kapal. Apakah akan sebagus di darat? Ternyata Under The Big Top cukup menarik. Penampil prima dan terlihat pertunjukan terkonsep dengan baik. Dalam sekali pertunjukan, mereka memainkan beberapa tema cerita. Tujuannya, agar sebanyak mungkin audiens merasa terhubung dengan tema-tema tersebut. Mulai tema berbagai bangsa, badut untuk anak-anak, hingga romansa. Atraksi-atraksi yang disajikan pun tak melulu satu arah. Penonton diajak interaktif dengan bertepuk tangan, menjadi bagian pertunjukan, hingga penampil yang memercikkan air dan berinteraksi dengan audiens di tengah pertunjukan.

Hebatnya, saya rasa awak kapal, baik di ruang makan hingga penampil membawa spirit yang serupa. Semua berusaha "merangkul" dan membantu penumpang untuk menikmati waktu cruise mereka.
Published on December 03, 2016 23:01