Tia Setiawati's Blog, page 780
January 30, 2013
"Dia pernah berkata, cintanya pantang untuk mundur, sebelum ia benar-benar hancur."
-
Ah, namun cinta jenis apa yang mampu menghancurkan? Bukankah cinta yang benar adalah yang menguatkan?
- Tia Setiawati Priatna
"Aku akan berbahagia saat mengetahui kau berbahagia, walau itu bukan denganku. Namun harus kuakui,..."
- Tia Setiawati Priatna
"Atas nama cinta, aku memaafkanmu. Atas nama cinta, kau melepaskanku. Cara mencintai kita sangat..."
- Tia Setiawati Priatna
"Semoga ketika cinta masih benar-benar ada, kita akan selalu baik-baik saja; atas apapun yang sempat..."
- Tia Setiawati Priatna
"Aku ingin sekali menghindari kalimat ‘untuk yang terakhir kalinya’, karena aku tak..."
-
Namun terkadang harapan, tidak selalu dikabulkan Tuhan.
- Tia Setiawati Priatna
"Sedihmu jangan terlalu memakan seluruh waktu. Karena senyummu masih penting, bagi mereka yang tulus..."
-
Karena kepedulian adalah wujud paling tampak dari sebuah rasa sayang.
- Tia Setiawati Priatna
"Kalian memang bukan peramal, hai para pria. Namun beberapa kali peristiwa, apakah kalian tak mampu..."
-
Karena percayalah, kami; wanita, bukanlah makhluk yang susah; susah untuk kalian mengerti, atau kalian dengarkan dengan lebih teliti.
- Tia Setiawati Priatna
Bukan Lagi Elegi
Masih ingat dua postingan saya yang lalu? Ini dan ini. Tentang inspirasi menulis puisi yang bisa datang dari mana saja, salah satunya dari lagu-lagu yang biasa atau tidak sengaja saya dengarkan.
Puisi setahun lalu di bawah ini, adalah salah satunya. Enjoy! :)
Ijinkanlah kukecup keningmu
bukan hanya ada di dalam angan
Esok pagi, kau buka jendela
‘kan kau dapati seikat kembang merah
Engkau tahu, aku mulai bosan
bercumbu dengan bayang-bayang
Bantulah aku temukan diri,
menyambut pagi, membuang sepi
…
Barangkali di tengah telaga
ada tersisa butiran cinta
Dan semoga kerinduan ini
bukan jadi mimpi di atas mimpi
Elegi Esok Pagi - Ebiet G. Ade
![]()
Izinkanlah aku mencium telapak tanganmu,
sebelum kau pergi keluar pintu,
sebelum kau balik mengecup keningku
Dan tinggalkan saja segelas teh hangat itu,
aku tahu,
kau meneguknya dengan rindu yang tak pernah kemana-mana,
di atas meja kita,
meja penuh cinta,
Lalu, tahukah kamu?
telah kutaruh kembang merah itu tepat di hadapanmu,
sambil tersenyum malu-malu,
kukatakan :
‘aku mencinta harumnya, seperti aku mencinta harummu
aku mencinta warnanya, seperti aku mencinta ronamu
aku mencinta bentuknya, seperti aku mencinta lekuk tubuh saat memelukmu’
Tenanglah, Sayang
kau tak akan mencumbu apapun selain hadirku,
bayangku sudah pergi jauh,
jauh sampai tak mungkin kita rengkuh,
dan tentu saja,
setelah semua itu,
kita bukanlah lagi elegi,
: seperti puisi-puisi.
Tangerang, 29 Maret 2012
- Tia Setiawati Priatna
Tidak Lagi, Tuan!
Dahulu kau berkata, kau akan menyelesaikan...
Tidak Lagi, Tuan!
Dahulu kau berkata,
kau akan menyelesaikan semuanya.
Selesai dengannya,
sampai tak ada lagi yang tersisa.
Namun kemudian kau meragukan dirimu sendiri.
Lalu kau menariknya kembali,
membiarkan dirimu kembali ke kisah dulu lagi.
Kisah yang selalu kau keluhkan padaku, berulang kali.
Sekarang tolong dengarkan aku, Tuan.
Jika hari ini kau memutuskan untuk bersamanya,
sungguh tak akan ada rasa sesal yang tersisa dalam diriku.
Tidak lagi.
Namun kumohon berhentilah mendatangi hatiku,
dan memohon untuk diberikan tempat istimewa di situ.
Karena kau pasti tahu,
tempatmu sudah istimewa sedari dulu.
Dan jika itu terjadi hari ini,
tidak, tidak akan ada tempat istimewa itu lagi.
Jika kau memang sudah menetapkan langkahmu,
tolong jangan mengatakan padaku
bahwa kau membutuhkan lebih banyak waktu.
Karena siapapun pasti tahu,
cinta mampu menggerakkan sanubarimu,
lebih cepat dari waktu yang kau perlu.
Tidak lagi, Tuan.
Tolong jangan menangis mengemis rasa iba.
Karena jika kau pilih aku,
tak akan pernah ada puisi terakhir seperti ini untukmu.
Tidak lagi, Tuan.
Tolong pergi saja.
Karena mungkin aku hanyalah seorang wanita.
yang begitu dekat untuk tidak kau pilih,
namun begitu jauh untuk kau cintai.
Jakarta, 29 Januari 2013
- Tia Setiawati Priatna
Tak Mengapa
Aku sudah menulis ratusan sajak cinta.Tentu,...
Tak Mengapa
Aku sudah menulis ratusan sajak cinta.
Tentu, semuanya bukan untuk dia yang tak ada.
Besar kemungkinan, dia enggan membacanya.
Ah, tak mengapa.
Aku sudah terlampau sering, menulis apapun untuk diriku saja.
Aku terbiasa menyebut namanya dalam setiap doa-doa.
Sujudku pun selalu tak pernah alpa, meminta pada Tuhan agar dia selalu bahagia.
Aku tahu, dia tak akan tahu.
Tak mengapa.
Karena ketulusan tak pernah berhenti berusaha.
Aku tak pernah bisa,
tidak memperhatikan kegiatan sehari-harinya.
Walau setelah itu, aku menyadari sesuatu.
Tak pernah secuilpun ada aku, dalam ingatan kecilmu.
Dan tentang hal ini,
aku merasa baik-baik saja.
Tak mengapa.
Terkadang cinta yang terlampau besar,
mampu membuatmu berlaku tidak wajar.
Maka kupikir, aku hanya perlu memaafkannya
: dia, yang telah membuatku merasakan cinta yang demikian besarnya.
Tangerang, 27 Januari 2013
- Tia Setiawati Priatna


