Dion Yulianto's Blog, page 2
October 2, 2012
Jokowi, Si Tukang Kayu
Judul : Jokowi, Si Tukang KayuPenulis : Gatot Kaca SurosoPenyunting : RayinaKorektor : Siti AenahSampul : Apung Donggala—Ufukreatif DesainCetakan : 1, September 2012Penerbit : Ufuk Fiction

Buku ini semacam novel inspiratif sederhana tentang seorang sosok bersahaja yang akhir-akhir ini sering menjadi sorotan publik terkait dengan PILKADA Daerah Khusus Ibukota Jakarta 2012. Dialah Jokowi, mantan orang ndeso yang dengan gilang-gemilang berhasil menaklukkan rimba ibukota. Orang Solo yang hampir secara aklamatif akan memimpin Jakarta selama lima tahun ke depan. Joko Widodo, atau yang lebih populer dipanggil Jokowi, adalah sosok bersahaja yang apa adanya tapi juga ada apa-apanya. Begitu banyak kualitas kepemimpinan dalam dirinya: kreativitas, mengayomi, mampu mempersatukan banyak pendapat, dan tidak segan-segan melakukan tindakan yang agak “tidak umum” namun ternyata memang berhasil. Semua kualitas inilah yang menjadikan sosoknya begitu berbeda dan begitu menyedot perhatian publik semenjak beliau menjabat sebagai Walikota Solo hingga kini menjadi Gubernur DKI Jakarta.
Ada banyak hal yang turut membentuk Jokowi yang sekarang. Dalam novel Jokowi Si Tukang Kayu ini, pembaca akan diajak bernostalgia ke Solo pada awal tahun 1970-an. Tentang masa kecil dan remaja Jokowi, begitulah novel ini dimaksudkan. Semua bermula dari pengalaman masa kecilnya yang dididik sebagai anak dari keluarga sederhana, bahkan keluarganya pernah tinggal di bantaran Kali Anyar, Surakarta, bersama para penghuni liar lainnya. Jokowi kecil hidup dengan begitu sederhana: mandi di sungai, bermain layangan si sawah, sesekali bermain di terminal, atau membantu bapaknya mencari kayu ke hutan. Semuanya biasa-biasa saja, tiada yang istimewa. Yang Istimewa adalah bahwa Jokowi kecil mampu menghasilkan jiwa dan sikap yang istimewa dari masa kecilnya yang sangat biasa itu. Lingkungan yang kumuh tidak menjadikan jiwa, hati, dan pikirannya turut kumuh. Dengan didikan Bapaknya yang tukang kayu serta Ibundanya yang begitu sederhana serta bijak dalam mengarungi hidup, Jokowi pun tumbuh sebagai anak yang terbiasa bekerja keras, bertanggung jawab, dan juga cerdas. Ia begitu beruntung karena tumbuh dengan dikelilingi oleh orang-orang yang bersahaja namun memiliki pandangan hidup yang luar biasa.
“Bapak, Ibu, maupun Mbah Harjo sama-sama pernah memberiku nasihat soal nrima ing pandum, yang intinya rida, ikhlas dengan yang diberikan Gusti Allah. Tapi nerima bukan sekadar nerima. Melainkan dibarengi dengan ikhtiar semampunya. Adapun hasilnya, itu terserah kepada Yang Maha Kuasa” (halaman 125)
Sedari kecil, ia memang sudah menunjukkan sifat-sifat yang sampai hari ini masih diperlihatkan hingga sekarang, yakni aktif bertindak ketimbang sibuk berwacana. Ia membuktikan prinsipnya ini dalam mencari SMA maupun kuliah. Walau gagal masuk di SMA impiannya, SMA I Surakarta, Jokowi remaja tidak putus asa apalagi ngresulo (mengeluh). Ia berhasil membuktikan bahwa di SMA yang bukan favorit pun ia bisa tetap juara dan mempertahankan prestasi bagusnya.
Setidaknya, dengan nekat, aku sudah berusaha mencapai keinginanku, tidak merasa takut sebelum mencoba.” (halaman 100).
Dengan prinsip yang sama, Jokowi berhasil diterima kuliah di universitas yang benar-benar menjadi favoritnya. Ia masuk sebagai mahasiswa Jurusan Kehutanan, Universitas Gajah Mada. Ia tahu, keluarganya tidak begitu berada, tapi orang tua Jokowi tetap mengedepankan prinsip pentingnya pendidikan sehingga mereka bekerja keras demi membiayai Jokowi.
“Tapi, kamu harus tanggung jawab ya. Kalau sudah memulai sesuatu, jangn kamu tinnggal di tengah perjalanan, nanti Bapak bantu sebisanya kalau kamu butuh apa-apa, seperti modal, karena jer basuki mawa bea (untuk bisa berhasil harus ada modal/biayanya).”
Jokowi pun demikian adanya. Pembaca seharusnya kagum dengan semangat pemuda Jokowi, yang ngekos dengan duit sangat pas-pasan, di mana ia juga harus bolak-balik Jogja-Solo setiap akhir pekan demi membantu usaha orang tuanya. Jokowi tahu benar bahwa keluarganya telah berkorban banyak demi kuliahnya, dan ia tidak akan menyia-nyiakan hal itu. Ia pun tumbuh menjadi mahasiswa yang cerdas, aktif berorganisasi, dan memiliki pandangan maju. Kualitas prima ini ia tunjukkan dalam program KKN yang ia ajukan bersama kelompoknya. Bukan sekadar KKN biasa, program yang diluncurkan Jokowi ini berhasil membangun masyarakat desa dengan berbasis kemandirian. Saat berpamitan, mereka meninggalkan desa itu dengan perasaan bangga bahwa semua anak muda di desa itu telah memiliki keterampilan dalam mengolah kayu menjadi mebel. Ia benar-benar anak tukang kayu yang berpandangan ke depan.
Masih ada banyak lagi hal-hal hebat yang bisa diambil dari masa kecil dan masa remaja Jokowi. Semuanya begitu sederhana dan apa adanya, tapi sang penulis berhasil menyarikan nilai-nilai kehidupan mellaui sudut pandang Jokowi yang apa adanya. Novel ini juga sedikit menjawab tanya dan penasaran dari para pembaca, tentang bagaimana masa-masa pacaran Jokowi muda, tentang bagaimana ia sangat suka dengan lagu rock, dan tentu saja, bagaimana ia bisa mendapatkan nama Jokowi—yang ternyata berasal dari seorang pengusaha asal Rusia.
Pun demikian, novel sederhana ini belum mengekplorasi masa-masa dewasa Jokowi, yakni Jokowi sebagai pengusaha mebel hingga akhirnya ia maju sebagai calon Walikota Solo. Seharusnya, bagian inilah yang mendapat porsi lebih, namun sayangnya hanya dibahas sekelumit kecil di penghujung novel. Tampaknya, penulisan novel ini lebih bertujuan untuk mengekplorasi masa kecil dan masa remaja Jokowi. Walaupun begitu, ada begitu banyak hal yang bisa kita jadikan sebagai teladan dan hikmah dari perjalanan seorang Jokowi dalam buku sederhana ini. Paling tidak, buku ini mampu menjawab sebagian tanya tentang sosok Joko Widodo yang akhir-akhir ini begitu rupa mewarnai layar kaca para pemirsa.
Published on October 02, 2012 23:33
September 29, 2012
Septimus Heap: Magyk
Judul : Magyk Pengarang : Angie Sage Penerjemah : Editor : Penerbit : Penerbit Matahati, 2008


Mungkin, bisa dibilang terlalu berlebihan untuk mengatakan Magyk sebagai pesaing Harry Potter yang baru. Keduanya hampir-hampir tidak bisa dibandingkan (dan memang tidak adil untuk memperbandingkan antara keduanya) karena dua kisah berseri tentang seorang penyihir muda ini memang berbeda jauh. Sebagaimana Harpot, seri Septimus Heap bercerita tentang perjalanan seorang penyihir muda bernama Septimus Heap. Dunia sihir dalam Magyk sangat terbatas bila dibandingkan dengan dunia mugglenya Harpot, bahkan setting lokasinya adalah di tempat antah berantah yang terdiri atas kompleks Kastil, Hutan, Rawa, Pelabuhan dan Laut. Pun, mantra-mantra dan jampi-jampi sihir yang digunakan begitu simpel. Tanpa ada mantra2 keren seperti Reducto atau Avada Kedavra. Tapi, dunia Magyk menyerupai Hogwarts dalam penggunaan humor-humornya, semisal judul kitab-kitab sihirnya yang lucu atau tingkah laku para pelaku di dalamnya yang kadang dituliskan kocak. Dengan kata lain, Magyk bisa dikatakan sebagai versi yang jauh lebih lembut dan lebih sederhana dari dunia sihir Harpot yang sudah telanjur melegenda itu.
Magyk mengisahkan tentang sebuah Kastil tempat berkumpulnya para bangsawan, Penyihir Luar Biasa, Penyihir biasa (seperti keluarga Heap) dan rakyat jelata. Pada malam kelahiran Septimus, ayahnya yakni Silas Heap menemukan bayi perempuan di tengah hujan salju, yng kemudian ia bawa ke rumah. Sesampainya di rumah, si bungsu ternyata tiba-tiba telah berada dalam keadaan “tidak terselamatkan.” Bayi kecil yg lemah itupun dibawa oleh Ibu Bidan yang menggendongnya ke kegelapan malam. Silas yg terbengong2 oleh kejadian itu hanya bisa menyerahkan bayi perempuan itu kepada Sarah, istrinya, yg tengah berduka atas kematian Septimus. 10 tahun kemudian, si putri kecil telah dewasa dan menjadi putri ketujuh dari keluarga Heap. Saat itulah, Kastil dan Menara Penyihir yang telah dikuasai oleh Kuasa Jahat mulai mengincar keluarga Heap. Ternyata, Jenny adalah putri dari Sang Ratu, yang 10 tahun lalu dibunuh oleh Pembunuh Bayaran suruhan Penyihir Hitam.
Perburuan pun berlangsung seru, keluarga Heap yang terpencar akhirnya melahirkan diri dari Kastil. Mereka pergi ke Hutan dan ke rumah Nenek Zelda, sang Penyihir Putih di Rawa-Rawa. Dalam pelarian itu, mereka dibantu oleh Penyihir Luar Biasa, Marcia Overstrand, yg juga terancam oleh Dom Daniel, sang Penyihir Hitam. Kastil telah jatuh, begitu pula Menara Penyihir yang kini dikuasai oleh Magyk Hitam. Mereka juga membawa serta Bocah 412 yang banyak menimbulkan kesulitan bagi keluarga Heap. Di Rawa-Rawa itulah, Jenna bersama kakaknya Nicko serta Bocah 412 membantu Bibi Helda. Mereka bersembunyi sambil belajar Magyk. Kejutan terutama adalah karena si Bocah 412 ternyata memiliki magyk yang luar biasa. Setelah itu, dimulailah perang antar penyihir dengan mantra-mantra yang kurang keren menurut saya. Pengucapan mantera sihir di dalam Magyk hanyalah dengan mengucapkan kata kerjanya, di mana mantra ditandai dengan cetakan tebal seperti membeku, lempar, dorong, lupakan, dan lain sebagainya.
Ada twist seru di penghujung cerita, terutama berkenaan dengan Bocah 412. Anak itu ternyata memiliki peran yng lebih penting ketimbang seorang penjaga istana biasa. Tapi, bagi para pembaca yang berotak agak prima, pasti langsung bisa menebak siapa Bocah nomor 412 ini. Tiga bintang saja karena ceritanya memang kurang nendang walaupun sampulnya memang sangat bagus.

Published on September 29, 2012 00:41
September 26, 2012
Fablehaven 5, Keys to the Demon Prison
Judul : Fablehaven 5, Keys to the Demon Prison
Penulis : Brandon Mull
Penerbit : Shadow Mountain, Salt Lake City, Utah
Tebal : 416 pages, 2010
Seri yang benar-benar memuaskan, begitulah pendapat saya ttg 5 seri fablehaven ini. Plotnya begitu meliuk-liuk, penuh dengan aksi dan mahkluk2 fantastis, susah sekali menebak plotnya. Bahkan, dengan mengutip sinopsisnya sendiri akan menghasilkan spoiler kejam yang pasti akan dikritik habis-habisan oleh para penggemar yg belum membacanya. Seri terakhir ini belum diterjemahkan ke B indo (saat saya menulis review ini) sehingga jika diceritakan alur ceritanya, pasti pada mencak-mencak. Karena twist dan belokan mendadak pun sudah muncul di awal-awal cerita. Musuh jadi teman dan teman jadi musuh, yang dikira sudah mati ternyata masih hidup, dan yang dikira musuh tersulit ternyata adalah kawan paling karib.
Dari segi cerita, tampaknya seri kelima ini akan menjadi yg paling tebal mengingat ceritanya yang begitu padat. Dari halaman ke halaman, penuh dengan aksi dan pertarungan, perebutan kelima artefak antara Ksatria Bintang Fajar dan Perhimpunan Bintang Malam. Pembaca juga akan dipuaskan dengan penggunaan kelima artefak yang benar-benar diobral habis-habisan dari seri ini.
Sedikit plotnya saja, Seth, Kendra, Mara, tanu, Trask, dan Vincent pergi ke suaka rahasia di Australia, di mana pusaka keempat disimpan. Mereja menjelajahi batu obsidian raksasa yg byk dipuja suku aborigin. Ternyata, suaka itu juga telah jatuh ke tangan musuh karena mereka langsung disambut serangan dari Mirav dan Torina. Pertempuran berlangsung sangat seru, dan ini baru yang pertama. masih akan ada banyak lagi pertempuran di halaman2 berikutnya.
di seri kelima ini, artefak terakhir juga ketemu, yakni ****** yg ternyata sudah dikuasai oleh Sphinx ... dia rupanya bersembunyi di suaka rahasia kelima. Aduh, mau bikin reviewnya susah ...banyak spoiler pasti hahaha
Membaca Fablehaven mungkin akan menimbulkan banyak pertanyaan bagi para pembaca yang kritis, mengapa penyihir bisa menciptakan Chronometer yang dpt memanipulasi waktu, mengapa Translocator yang bisa memindahkan max 3 orang itu hanya bisa memindahkan orang ke tempat yang ia kunjungi, mengapa mantra perlindungan itu bisa tetap bertahan walaopun ribuan tahun berlalu ...bla bla bla banyak sekali pokoknya. Tapi, mending jgn jd pembaca yang cerewet saat membaca seri ini. Just enjoy, relaks dan nikmati keseruan yang ditawarkan.
Buku ini menawarkan perjuangan yang berat, tapi dengan imbalan yang memuaskan. Awalnya, mungkin agak suram dan Ksatria Fajar seolah hampir runtuh, tp percayalah ... dalam perang epik di bab-bab terakhir, seluruh tokoh akan menampilkan perjuangan yang luar biasa, bahkan Doren dan Newwel pun ikut berperang.
Mengakhiri membaca seri fablehaven seperti memberikan kepuasan tersendiri bagi benak, terutama kepuasan karena telah membaca satu cerita yang utuh sekaligus menghibur.
Bacalah, you will like it, hopely.
Testimoni para pembaca luar:
Fablehaven is exquisitely plotted. Mull left no questions unanswered.
This is the best novel of the series
Ayo Penerbit Mizan segera terbitkan versi bahasa Indonesianya (less)
Penulis : Brandon Mull
Penerbit : Shadow Mountain, Salt Lake City, Utah
Tebal : 416 pages, 2010

Seri yang benar-benar memuaskan, begitulah pendapat saya ttg 5 seri fablehaven ini. Plotnya begitu meliuk-liuk, penuh dengan aksi dan mahkluk2 fantastis, susah sekali menebak plotnya. Bahkan, dengan mengutip sinopsisnya sendiri akan menghasilkan spoiler kejam yang pasti akan dikritik habis-habisan oleh para penggemar yg belum membacanya. Seri terakhir ini belum diterjemahkan ke B indo (saat saya menulis review ini) sehingga jika diceritakan alur ceritanya, pasti pada mencak-mencak. Karena twist dan belokan mendadak pun sudah muncul di awal-awal cerita. Musuh jadi teman dan teman jadi musuh, yang dikira sudah mati ternyata masih hidup, dan yang dikira musuh tersulit ternyata adalah kawan paling karib.
Dari segi cerita, tampaknya seri kelima ini akan menjadi yg paling tebal mengingat ceritanya yang begitu padat. Dari halaman ke halaman, penuh dengan aksi dan pertarungan, perebutan kelima artefak antara Ksatria Bintang Fajar dan Perhimpunan Bintang Malam. Pembaca juga akan dipuaskan dengan penggunaan kelima artefak yang benar-benar diobral habis-habisan dari seri ini.
Sedikit plotnya saja, Seth, Kendra, Mara, tanu, Trask, dan Vincent pergi ke suaka rahasia di Australia, di mana pusaka keempat disimpan. Mereja menjelajahi batu obsidian raksasa yg byk dipuja suku aborigin. Ternyata, suaka itu juga telah jatuh ke tangan musuh karena mereka langsung disambut serangan dari Mirav dan Torina. Pertempuran berlangsung sangat seru, dan ini baru yang pertama. masih akan ada banyak lagi pertempuran di halaman2 berikutnya.
di seri kelima ini, artefak terakhir juga ketemu, yakni ****** yg ternyata sudah dikuasai oleh Sphinx ... dia rupanya bersembunyi di suaka rahasia kelima. Aduh, mau bikin reviewnya susah ...banyak spoiler pasti hahaha
Membaca Fablehaven mungkin akan menimbulkan banyak pertanyaan bagi para pembaca yang kritis, mengapa penyihir bisa menciptakan Chronometer yang dpt memanipulasi waktu, mengapa Translocator yang bisa memindahkan max 3 orang itu hanya bisa memindahkan orang ke tempat yang ia kunjungi, mengapa mantra perlindungan itu bisa tetap bertahan walaopun ribuan tahun berlalu ...bla bla bla banyak sekali pokoknya. Tapi, mending jgn jd pembaca yang cerewet saat membaca seri ini. Just enjoy, relaks dan nikmati keseruan yang ditawarkan.
Buku ini menawarkan perjuangan yang berat, tapi dengan imbalan yang memuaskan. Awalnya, mungkin agak suram dan Ksatria Fajar seolah hampir runtuh, tp percayalah ... dalam perang epik di bab-bab terakhir, seluruh tokoh akan menampilkan perjuangan yang luar biasa, bahkan Doren dan Newwel pun ikut berperang.
Mengakhiri membaca seri fablehaven seperti memberikan kepuasan tersendiri bagi benak, terutama kepuasan karena telah membaca satu cerita yang utuh sekaligus menghibur.
Bacalah, you will like it, hopely.
Testimoni para pembaca luar:
Fablehaven is exquisitely plotted. Mull left no questions unanswered.
This is the best novel of the series
Ayo Penerbit Mizan segera terbitkan versi bahasa Indonesianya (less)
Published on September 26, 2012 21:01
(Un)affair
Judul : (Un)affair
Pengarang : Yudhi Herwibowo
Editor : Anton WP
Cetakan : Pertama, 2012, 172 halaman
Penerbit : BukuKatta

Apakah itu sebuah affair ketika dalam cerita indah itu kedua insan sama-sama mengetahui posisinya masing-masing? Layakkah cinta yang begitu lembut antar dua insan yang berbeda—yang tidak menuntut apa-apa selain sebuah sofa dan rumah kontrakan nan teduh sebagai tempat berteduh dan meluapkan cerita—boleh didakwa sebagai perselingkuhan? Jikalau memang itu harus dianggap demikian, maka alangkah benar jika
cerita dari kota Sendu itu diberi judul “perselingkuhan yang tidak adil” unfair affair --> (Un)affair
Unaffair adalah kisah tentang Bajja dan Arra, dan Wara, dan Vae, dan akhirnya, Canta. Kelima tokoh dari Kota Sendu yang banyak turun hujan inilah yang mewarnai satu lagi kisah tentang cinta tak kesampaian yang berawal dari sebuah sofa. Adalah Bajja, seorang karyawan penyuka hujan yang tiba-tiba kedatangan sosok wanita asing bernama Arra. Ketika itu, Arra hendak mencetak buku untuk kekasihnya di kantor Bajja. Keunikan dan kemisteriusannya membuat hati Bajja yang dulunya sekeras baja semenjak perginya Canta menjadi luluh, perlahan demi perlahan. Sebuah sofa usang di rumah kontrakan Bajja menjadi saksi tumbuhnya jalinan bukan-cinta-tapi-lebih-dari-sekadar-sahabat antara keduanya. Di mana hubungan unik antara keduanya itu digambarkan dengan indahnya melalui syair-syair narasi dalam novel kecil ini.
kita bagai kupu-kupu …
aku kupu-kupu dengan sepasang sayap yang rapuh
berharap engkau terus mengiringiku terbang
menjaga sewaktu-waktu aku jatuh (hlm 85)
Lalu, keputusan itu pun datanglah. Si wanita pecinta sofa itu akhirnya pergi, sebagaimana Canta pergi meninggalkan Bajja. Dan kegalauan pun mulai melanda, yang untungnya tak lama. Sebuah kembang dari masa lalu Bajja kembali mekar menghampiri. Adalah Canta, yang memutuskan untuk tinggal di kota Sendu, demi menikmati ketenangan dan hujannya--yang senantiasa turun. Dan, Bajja pun mendapatkan semangat dan pola hidupnya kembali, hanya untuk kembali digoyahkan oleh kedatangan kembali Arra ke Kota Sendu. Demikianlah cerita itu terus bergulir. Lalu, apakah Bajja akan kembali kepada Arra, ataukah tetap mempertahankan Canta? Biarkan Unaffair yang akan menjawabnya.
Membaca Unaffair seperti mengingatkan saya dengan pembacaan cerpen. Entahlah, tapi bagi saya aroma sebuah cerpen terasa begitu kuat dari novel yang nyatanya ada beberapa bab ini. Mungkin, saya terlalu membandingkannya dengan karya-karya Mas Yudhi yang terdahulu, terutama yang kumpulan cerpen. Sungguh, rasa sastra itu begitu kental menguar dari lembar-lembar Unaffair, menjadikannya semacam affair yang indah, yang tidak tabu, yang sangat nyaman.
Unaffair menggunakan bahasa baku yang cenderung formal. Tidak banyak kata gaul apalagi alay yang bersliweran dalam novel kecil ini, bahkan pada candaan si Wara yang agak gokil itu. Namun, keteraturan dan kebakuan itu bukannya membuat kaku tapi justru memperindah novel ini, seolah-olah “mengklasikkannya”. Pembaca akan tetap mampu menikmati ceritanya terlepas ari penggunaan kata-kata lengkap seperti “engkau” dan “mengudak-udaknya”.
Hal lain adalah banyaknya bertebaran kalimat-kalimat reflektif yang membuktikan bahwa si penulis memang seorang pengamat kehidupan yang piawai. Di sela-sela romansa dunia Bajja, terselip pandangan penulis tentang ironisnya promo penjual nisan (“beli satu bonus satu”), atau tentang universalitas musik,
“musik mungkin universal, tapi kisah di balik lagu itulah yang membuatnya semakin diterima. Itu artinya sebuah kejaidan seperti dalam lagu itu ternyata terjadi pula di tempat-tempat lain. Jadi seseorang tidak perlu terlalu sedih akan sesuatu, karena di tempat lain pun, ada orang yang bersedih karena hal yang sama.” (halaman 107)
atau tentang pengaruh antara seseorang terhadap lingkungannya
“Aku bisa memaklumi. Kadang sesuatuyang ada di sekitar kita, akan kita bentuk seperti diri kita” (halaman 144) *membacanya sambil melirik timbunan di pojokan #eh
Ciri lain dari Mas Yudhi yang banyak bertebaran di buku ini adalah penggunaan kalimat-kalimat yang pendek dan seolah terpotong, seperti melambangkan jeda atau ada sesuatu efek yang hendak ditekankan. Dan, Mas Yudhi mampu menerapkan kata-kata berefek ini dengan begitu bagus sehingga bahkan seorang editor seperti saya (hasyah) abaii—yang sebenarnya sudah lazim dalam fiksi.
Mari kita akhiri pembacaan resensi ini dengan satu kutipan galau tapi indah dari salah satu halaman novel ini.
aku bagai mawar merah yang luka
namun tetap merah menyala
karena warna itu sudah kupilih
untukmu, seberapa pun aku luka (hlm 38)
Published on September 26, 2012 19:34
September 9, 2012
I Love Monday
Judul : I Love MondayPenulis : Arvan PradiansyahPenyunting : Budhyastuti R.HSampul : ILM CreativeCetakan : 1, Maret 2012 (299 hlm)Penerbit : Kaifa (Mizan Pustaka)

“Bekerja adalah alasan Tuhan menurunkan kita ke dunia ini” (halaman xxviii)
Setiap buku hebat memiliki caranya sendiri dalam mempengaruhi mindset atau pola pikir pembacanya. Beberapa di antaranya menawarkan pandangan/pendapat baru, yang lainnya mengusung model yang sama dengan pendekatan berbeda, sementara yang terakhir—dan ini yang paling jarang—dengan menjungkirbalikkan konsep yang selama ini kita yakini. Dalam hal ini, I Love Monday bisa dibilang mendekati jenis buku yang ketiga, yakni buku yang menjungkirbalikkan secara anggun konsep atau pandangan kita tentang pekerjaan (yang kemudian dilambangkan dengan hari Senin).
Sudah sejak lama, hari Senin dianggap sebagai hari yang panjang, melelahkan, dan tidak menyenangkan. Senin identik dengan berangkat pagi, dengan tugas yang menumpuk di pekan sebelumnya, dan dengan aneka problema serta tantangan baru di kantor/tempat kerja. Pola pikir seperti ini terbentuk selama bertahun-tahun sejak kita sekolah, di mana Sabtu adalah malam liburan, Minggu adalah hari berlibur, dan Senin “terpaksa” harus bersekolah/bekerja lagi setelah sebelumnya kita dimanjakan dengan liburan. Konsep keliru tentang hari Senin (pekerjaan) inilah yang rupanya hendak ditawarkan oleh sang penulis.
Penulis buku ini, yang juga penulis buku hebat 7 Laws of Happiness, menawarkan sebuah perubahan paradigma tentang cara kita memandang pekerjaan kita selama ini. Jika selama ini kita memandang bekerja sebagai suatu “kewajiban” (yang mana kewajiban ini biasanya dikaitkan dengan sesuatu yang terpaksa, yang kurang disukai, yang melelahkan), maka selamanya kita akan memandang negatif pekerjaan kita (dan akhirnya membenci atau cepat bosan dalam bekerja).
Padahal, bekerja itu jika disikapi dengan benar adalah ibadah. Bukankah Tuhan mencintai hamba-hamba-Nya yang bertebaran di muka Bumi untuk mencari nafkah? Bukankah mencari penghidupan untuk diri sendiri dan keluarga itu ibadah? jadi, dengan bekerja sama saja kita telah beribadah (dan mendapatkan pahala). Namun demikian, masih ada saja orang yang mengeluhkan pekerjaan mereka, meskipun mereka sudah tahu bahwa bekerja itu penting dan memang harus dilakukan.
“Tidak adanya semangat kerja sesungguhnya adalah masalah paradigma, bukan masalah perilaku.” (hlm 5)
Mereka yang masih merasa malas bekerja di hari Senin, biasanya adalah orang-orang yang bekerja untuk sekadar mencari uang, yang melihat pekerjaan hanya sebagai sebuah job. Pokoknya, pagi datang, tengah hari makan siang, sore/petang absen pulang, dan awal/akhir bulan gajian. Setiap hari rutinitasnya sama, begitu-begitu saja, berbulan-bulan dan bertahun-tahun. Padahal, semangat yang tercipta karena uang tidak akan bertahan lama(hlm 36). Pantas saja jika orang-orang seperti ini lekas merasa bosan di kantor dan selalu mengeluh dengan kehidupannya.
Beda halnya dengan mereka yang melihat pekerjaannya sebagai sebuah karier, atau bahkan sebuah panggilan (yang merupakan tingkat paling tinggi dalam bekerja). Mereka inilah yang akan terus bekerja sepanjang kehidupannya, tidak peduli beratnya tantangan yang menghadang karena mereka telah menemukan posisi/tempat di mana mereka berada. Mereka meyakini bahwa pekerjaan itu memang telah ditakdirkan untuknya, yang terbaik di mana ia bisa mengoptimalisasikan segenap bakat dan kelebihannya.
“Kita jauh lebih bersemangat karena kita sadar bahwa kita bekerja untuk sesuatu yang lebih besar daripada diri kita sendiri.” (hlm 50).
Setelah itu, seseorang bisa naik ke tingkat yang lebih tinggi lagi, yakni menganggap pekerjaannya sebagai bentuk pelayanan terhadap orang lain. Dengan ungkapan-ungkapan bernas dan kata-kata penyemangat nan memikat, Bapak Arvan menunjukkan bahwa bekerja sejatinya adalah melayani dalam arti luas, Bukankah kita diciptakan untuk saling bantu membantu dengan yang lainnya? Bahwa mereka yang bekerja untuk “melayani” akan jauh lebih sukses dari mereka yang hanya bekerja untuk “mencari uang”. Ada unsur spiritual dan kehangatan jiwa dalam “melayani” sehingga paradigma ini akan menjadikan orang lebih bersemangat untuk berkerja.
“Orang-orang berdedikasi padaku karena aku juga mendedikasikan diri kepada mereka”—Toyotomi Hideyoshi. (halaman 110).

Masih ada banyak lagi saran dan pandangan berharga yang patut untuk kita renungkan setelah membaca buku ini. Misalnya saja, penulis menyarankan agar kita mencari pekerjaan dan bukan mencari uang karena kepuasan yang ditimbulkan oleh uang sifatnya hanya sementara. Juga, tentang spiritualitas di tempat kerja, yang dipaparkan dengan begitu lugas dan jauh dari kesan “mengkhotbahi” atau mengurui. Tata letak (lay out)nya juga sangat khas Penerbit Kaifa, yakni nyaman untuk dibaca, dengan font yang pas dan kutipan-kutipan kalimat penting yang dicetak dengan huruf yang lebih besar sebagai penekanan. Begitu enaknya buku ini dibaca hingga tahu-tahu saya sudah sampai ke halaman terakhir, padahal diri ini masih ingin belajar lagi tentang esensi positif dari bekerja.
Dan, ketika akhirnya kita merasakan bahwa kita telah berada di pekerjaan yang tepat, yang merupakan panggilan jiwa kita, maka hari Senin tidak akan menjadi momok menakutkan lagi. Setiap Minggu malam, pikiran akan dipenuhi dengan semangat setelah seharian disegarkan melalui liburan, Kita akan siap menyongsong hari Senin yang penuh tantangan (juga peluang dan kesempatan emas) dengan pikiran positif.
“Keuntungan terbesar dari bekerja justru dari munculnya perasaan berharga, bermakna, dan berguna bagi orang lain.” (hlm 260).
Published on September 09, 2012 18:32
August 31, 2012
Harta Vaeran

Judul : Harta Vaeran
Penulis : Pratama Wirya
Sampul : Ecky Oesjady
Hikayat : Amy Raditya
Cetakan : 1, 2011 (525 halaman)
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Yang Pertama dari Vandaria
Sebagai novel Vandaria yang pertama kali diterbitkan (kalau tidak salah), tentu saja ada banyak sekali ekspektasi terhadap karya ini. Petualangan yang disajikan benar-benar seru, ada bahaya serta maut serta jebakan mematikan. Musuh-musuh yang disodorkan juga tidak tanggung-tanggung. Pun, sebagaimana proyek perdana lainnya, Harta Vaeran juga tidak sepi oleh kritik. Mengenai pemilihan tokoh yang sangat menyerupai game, narasi yang di beberapa tempat seperti “dituliskan” dengan terlalu cepat (sehingga kesannya seperti synopsis), hingga penggunaan sudut pandang ala Yang Maha Tahu yang cukup membingungkan pembaca. Namun, terlepas dari semua itu, entah mengapa saya malah sangat menyukai Harta Vaeran, terutama karena ceritanya yang benar-benar full petualangan. Jika banyak yang bilang bahwa karya ini adalah yang paling kurang di antara novel-novel Vandaria lainnya, saya malah berpendapat sebaliknya. Saya menempatkan Harta Vaeran di posisi kedua setelah Ratu Seribu Tahun sebagai novel Vandaria yang paling saya sukai. Untuk sementara, Hailstorm terpaksa bergeser sejenak ke posisi ketiga.
Kisah Pencarian Harta yang Seru
Harta Vaeran berkisah tentang upaya pencarian harta karun peninggalan seorang penyihir alam hebat bernama Vaeran Iervaanah, yang hidup ribuan tahun sebelum cerita ini bergulir. Adalah Karnthe Jahlnow, seorang anak muda yang mewarisi darah Pemburu Harta Karun dari ayahnya, Frank Jahlnow, yang tertarik untuk berpetualang ke dunia bebas demi memburu harta karun. Tidak ada hal lain yang lebih mengasyikan baginya selain berkelana di padang gurun, menembus hutan lebat, memasuki gua gelap, dan menyelam ke air dalam untuk menemukan harta berharga. Hingga akhirnya, ia mendapatkan sebuah lempengan batu berukir berisikan teka-teki mengenai keberadaan harta Vaeran yang sangat legendaris. Insting Pemburu Hartanya tak bisa dibohongi, ia harus segera bergerak untuk mencarinya. Maka berangkatlah ia dengan restu ayahnya.
Karnthe pun memulai perjalanan ke kota Thier Blackend, di mana ia bertemu dengan sekutu pertamanya yang seorang frameless penyihir tempur. Perlu diketahui bahwa Harta Vaeran mengambil setting tahun 214 IV, yakni ketika Tanah Utama Vandaria dipimpin oleh Sang Raja Tunggal, seorang frameless abadi yang lebih ramah kepada manusia. Pada masa ini, kaum frameless dan manusia bisa hidup dengan saling berdampingan. Lalu, Karnthe juga pertemu dengan seorang Pengumpul Pengetahuan bernama Fukhoy-ri, yang adalah separuh frameless. Maka dimulailah petualangan mereka bertiga ke rumah tua berhantu untuk mencari lempeng yang kedua. Seiring perjalanan, rekan mereka bertambah lagi dengan hadirnya Certeus—seorang Pengelabu Mata yang bakatnya ternyata sangat berguna dalam menyusup dan mengelabuhi, berempat, mereka mendobrak sebuah museum dan menemukan lempeng ketiga di ruang rahasianya. Akhirnya, Karin, seorang Pedagang Pejuang pun ikut serta dalam kelompok ini ketika mereka akhirnya membutuhkan bantuannya untuk menembus Pegunungan Tenang, tempat di mana makam Vaeran berada.
Setelah itu, petualangan seru dan penjelajahan maut seolah tak datang terus-menerus menerpa Karnthe dan timnya. Di makam Vaeran, mereka membuktikan sendiri betapa bangunan kuno iu dilindungi oleh berlapis-lapis perlindungan yang sangat mematikan. Mulai dari monster-monster dari era kuno, labirin yang menyesatkan, hingga kengerian-kengerian lain yang hanya bisa dijalani oleh kelompok yang tangguh sekaligus tabah. Petualangan pemuncaknya bahkan lebih seru lagi (atau bisa dibilang lebih menakutkan). Kelompok ini tersesat dan ditawan oleh sekelompok frameless yang tinggal di alam lain, sebuah alam yang hanya bisa ditembus lewat gerbang putih. Tak disangka, di alam ini mereka akan menemukan harta tercinta Vaeran yang sebenarnya, yakni Genggaman dan Jiwa Vaeran Iervaanah. Di sinilah loyalitas tim dan kesetiakawanan mereka dibutuhkan.
Di tempat inilah kekuatan dan ketangguhan mereka diuji. Untuk mendapatkan kembali Genggaman Vaeran yang telah diambil oleh Jiwa Vaeran, Karnthe dan timnya harus melawan naga yang menyemburkan emas, monster-monster dari kedalaman Bumi yang seolah tak bisa dibunuh, lorong-lorong berliku penuh jebakan, hingga ketakutan-ketakutan purba yang bercokol di sudut-sudut paling gelap. Semua itu harus dihadapi sebelum mereka menemukan harta Vaeran yang sebenar-benarnya. Dalam perjalanan itu, terbukti bahwa kekuatan dan keunggulan masing-masing (Karnthe dengan insting hartanya, Saeliya dengan sihirnya, Fukhoy-ri dengan pengetahuannya, Certeus dengan kemampuan menyusup dan mengatasi jebakan, serta Karin dengan ilmu beladirinya). Menyenangkan sekali melihat adegan pertempuran diobral habis-habisan, menjadikan beberapa bab di dalamnya mengalir begiru cepat dan tak membiarkan pembaca meletakkan buku ini, terutama di bab-bab akhir.
Tidak ada Editor?
Kekurangan utama buku adalah penggunaan sudut pandang berembel-embel “Yang Maha Tahu” yang penempatannya kurang jelas. Pembaca diajak memasuki Harta Vaeran dengan sudut pandang orang ketiga yang “maha tahu”, namun di beberapa tempat muncul kalimat “Yang Maha Tahu (yakni Vanadis atau dewa-dewi di Vandaria) memberi tahu kita”, seolah-olah si penutur cerita adalah utusan Vanadis (atau seorang mahkluk yang kedudukannya tidak jelas sebagai apa). Juga, karya ini masih tidak diedit, sehingga banyak narasi-narasi yang sebenarnya terlalu panjang dan bisa dipotong tanpa mengurangi cerita, misalnya adegan ketika tim Karnthe ditahan oleh para frameless. Aduh, bagian ini terasa sangat panjang dan membosankan dan seharusnya bisa diperlembut lagi oleh sentuhan editor.
Kebangkitan Fiksi Fantasi Karya Anak Negeri
Kelebihan utama buku ini ada pada ceritanya. Sebagai sebuah buku tentang pencarian harta karun, Harta Vaeran benar-benar menyuguhkan cerita yang memuaskan dan tidak nanggung. Ada pertempuran maut di dalamnya, ada persahabatan erat yang menghiasi ceritanya, ada berbagai alam serta keajaiban dunia Vandaria yang disuguhkannya. Kita juga bisa tahu apa itu kaum setengah frameless, siapa bangsa Isfaris, bagaimana kerjaan Edenion yang sangat legendaris itu, serta banyak hal-hal lain tentang dunia Vandaria yang mungkin belum diketahui oleh mereka yang baru mengenalnya. Ilustrasi-ilustrasi di dalamnya juga sangat keren, membuat proses membacanya tidak membosankan. Halamannya yang tebal juga menjadikan seolah-olah buku ini punya dua cerita namun tetap masuk sebagai satu cerita yang saling melengkapi.
Saat selesai membacanya, saya seperti habis menonton film petualangan kartun yang sangat menyenangkan, film yang tidak nanggung, mungkin semacam Ragnarok dan sejenisnya. Buku ini patut untuk dikoleksi para pecinta cerita fantasi, terutama karena kaedudukannya sebagai novel Vandaria pertama yang diterbitkan, sebagai sebuah penanda baru dalam kebangkitan fiksi fantasi Indonesia.
Published on August 31, 2012 21:34
August 30, 2012
Treasure Island
Judul : Treasure IslandPengarang : Robert Louis StevensonPenerjemah : Mutia DharmaPenyunting : Ida Wajdi dan Pujia PernamiIsi : H. MahfudinCetakan : 1, April 2011 , 353 halamanPenerbit : Atria

“Limabelas orang dalam peti mati—Yo-ho-ho dan sebotol rum”
Bicara tentang Pulau Harta Karun, tentunya tidak bisa dilepaskan dari bajak laut dan kapal layar bertiang tiga. Dan, kisah tentang para bajak laut yang menguasai lautan dan menyembunyikan harta hasil jarahan atau rampasannya di sebuah pulau terpencil mungkin adalah salah satu kisah petualangan yang paling disukai. Dalam hal ini, novel Treasure Island karya R.L. Stevenson ini adalah epiknya, sang inisiator pertama, karya yang muncul pertama kali dan menginspirasi kisah-kisah lainnya tentang bajak laut.
Jauh sebelum bajak laut muncul dalam Peter Pan atau dalam film Pirates of the Caribbean (yang dimainkan dengan sangat bagus sekali oleh Johnny Depp), R.L. Stevenson telah merangkai sebuah cerita hebat tentang bajak laut, yang kemudian disebut-sebut sebagai novel pertama tentang bajak laut. Begitu fenomenalnya novel ini, hampir-hampir tidak ada cerita sejenis lain yang dituliskan sebelumnya, sehingga menjadikan Treasure Island ini begitu dikenang dan masuk dalam 1001 Books to Read before Die.
Treasure Island bercerita tentang petualangan seorang anak muda berusia 17 tahun bernama Jim Hawkins. Awalnya, Jim hanyalah seorang anak muda biasa yang berupaya membantu keluarganya mengelola penginapan bernama Admiral Benbow. Namun, jalan hidupnya berubah drastis ketika penginapan mereka mendapatkan kunjungan dari seorang bajak laut tua yang pemarah dan sangat menyeramkan bernama Billy Bones dengan bekas luka sayatan di wajahnya. Pria itu membawa serta sebuah peti misterius. Singkat cerita, Adminal Benbow kembali kedatangan tamu asing, bajak laut juga sehingga terjadi semacam pertumpahan darah yang menewaskan Billy. Dengan ketakutan karena penginapan mereka kini menjadi sasaran para bajak laut, Jim dan ibunya membuka peti milik Billy dan menemukan sebuah peta menuju harta karun. Peta inilah yang akan mengubah jalan hidup Jim untuk selamanya.
Dengan membawa serta Dokter Livesey, Hakim Trelawney, dan Kapten Smollett, berangkatlah Jim untuk mencari harta karun itu dengan sebuah kapal layar bertiang tiga bernama HISPANIOLA. Dalam pelayaran itu, mereka membawa serta seorang tukang masak berkaki pincang, yang ternyata adalah Long John Silver, pimpinan bajak laut paling ganas di dunia. Suatu malam, tanpa sengaja, Jim mendengarkan pembicaraan rahasia antara Silver dan para awak kapal yang dibawanya, ternyata mereka semua adalah anggota bajak laut yang tengah menyamar dan hendak merencanakan makar untuk mengambil alih kapal. Jim tidak tinggal diam. Ia segera melapor pada Kapten Smollett dan kawan-kawan. Sehingga ketika akhirnya HISPANIOLA tiba di pulau harta, yakni Pulau Tengkorak, seluruh awak HISPANIOLA telah terbagi menjadi dua, yakni kelompok orang-orang jujur (dengan Jim di dalamnya) dan kelompok perompak mematikan yang dipimpin oleh Long John Silver. Dan kedua kubu pun saling bertarung. Pistol menyalak, mesiu meledak, sabetan pedang menyayat, dan pukulan terlontar.
Untungnya, peta masih berada di tangan Hakim Trewlaney sehingga untuk sementara mereka ada di atas angin. Namun, Jim berbuat kesalahan dengan keluar dari kelompok dan kemudian berupaya mengambil alih HISPANIOLA. Dengan keberuntungan, ternyata ia berhasil mengalahkan salah seorang bajak laut dan kemudian mengemudikan HISPANIOLA ke ceruk tersembunyi. Namun, sial, ia tertangkap oleh komplotan Silver saat ia hendak mencari teman-temannya di pulau. Maka, dimulailah upaya besar-besaran untuk menjelajahi pulau demi menemukan harta karun legendaris itu. Apakah Jim berhasil selamat dari cengkraman Long John Silver? Apakah harta karun itu benar-benar ada? Siapakah orang asing yang telah tinggal di Pulau Tengkorak dan mengamati Jim? Silakan dibaca sendiri.
Treasure Island memiliki cerita yang simpel, namun sangat khas dan berkarakter. Membaca buku ini, kita akan dibawa ke era penjelajahan samudra, saat dunia masih begitu luas dan tak terpetakan, saat mengarungi lautan adalah hal yang cukup berbahaya, dan masa-masa ketika bajak laut merajai lautan. Penggambaran karakter yang khas Inggris, lengkap dengan detail yang mampu menggambarkan masa-masa petualangan zaman lama, benar-benar dapat dijumpai dalam buku ini. Membacanya, kita seolah ikut merasakan hembusan angin samudra, gempuran ombak nan ganas, layar kapal yang terkembang, dan pemandangan Pulau Tengkorak yang muncul di ufuk. Pun, adegan perkelahian dengan pistol dan pedang, serta intrik-intrik yang diselingi dengan humor para gentleman khas Inggris, semuanya diramu apik dalam novel petualangan ini. Ilustrasi menawan di dalamnya juga cukup memberi kesegaran dalam lembar-lembar halamannya. Sungguh, buku luar biasa ini memang harus dibaca (paling tidak sekali) dan menjadi bagian dari perpustakaan pribadi maupun umum, agar semua orang bisa turut terlarut dalam petualangan besar di dalamnya.
Resensi ini dibuat dalam rangka posting bareng BBI dengan tema 1001 Books to Read before Die. Mari isi hidup dengan membaca!
Published on August 30, 2012 18:50
August 23, 2012
Altar Suci
Judul : Altar SuciPengarang : Miftahul Asror MalikPenyunting : @rinalubis_stoneIsi : BambangSampul : @ferdikaCetakan : 1, Agustus 2012 (385 halaman)Penerbit : Bening (DIVA Press)
[image error]
Setiap zaman, setiap peradaban, memiliki sebuah “pegangan” yang berpengaruh pada kebesaran maupun kejatuhannya, kemajuan ataupun kemundurannya. Zaman berganti dan puluhan bahkan beratus peradaban hilang dan timbul, silih berganti sebagaimana malam yang berseling dengan siang hari. Adalah Gerbang Tuhan, sebuah pusaka yang menjadi pegangan dari masing-masing peradaban. Ia mengandung kekuatan luar biasa untuk menopang dan membesarkan sebuah peradaban, tetapi di lain pihak pusaka ini juga merupakan sumber segala malapetaka bila digunakan secara keliru. Peradaban lembah Sungai Indus, Mesopotamia, Mesir, Aztec, Romawi, Yunani, dan China; peradaban-peradaban tua tersebut dikatakan pernah memiliki pusaka Gerbang Tuhan ini, yang menjadikan mereka makmur dan mencapai puncak peradaban. Begitu juga Atlantis, sebuah imperium di zaman kuno yang menurut Plato dan Solon pernah menguasai dunia dengan pusaka ini.
Adalah Aliran Tarekat Suci (yang kemudian disebut Altar Suci) yang bermaksud untuk menemukan dan melacak pusaka ini. Dipimpin oleh Profesor Awalludin, Altar Suci dibentuk dari sekumpulan orang dengan latar belakang etnis dan agama yang berbeda: Mr Robert (pengusaha), Visnu Brahma, Bapa Theodore, Dr Sri Wedari, dan kombes Budi Sasongko. Para petinggi Latar Suci ini kemudian merekrut tiga orang terpilih untuk meneruskan pencarian mereka akan Gerbang Tuhan, yang konon bisa membuat pemakainya berpindah tempat dari satu alam menuju ke alam yang lain serta memungkinkan pemakainya untuk melihat kilasan di masa lalu dan di masa depan.
Tiga orang pilihan, Noah Samudra (mahasiswa), Linduaji (inspektur kepolisian), dan Ayudia (dosen muda) ditunjuk untuk menjalankan tugas ini. Dengan tekun, mereka ditatar oleh para petinggi Altar Suci. Berbagai fakta sejarah yang selama ini ada tentang peradaban-peradaban kuno dunia pun didedahkan. Mengapa orang Mesir membangun Piramida Giza? Adakah alasan dibalik kemiripan bangunan piramida di Mesir, di Amerika Tengah dan di Jawa (punden berundak)? Apakah Atlantis benar-benar ada? Adakah kaitan antara tenggelamnya Atlantis dengan peristiwa Banjir Besar Nabi Nuh? Dan, apakah Gerbang Tuhan itu benar-benar ada?
Namun, ketiga pahlawan muda kita harus bergerak cepat. Sebuah perkumpulan tak bernama yang menggunakan simbol bintang segi lima dalam lingkaran turut bergerak mengincar Gerbang Tuhan. Satu demi satu, mereka bergerak dan menghabisi para petinggi Altar Suci. Noah, Ayudia, dan Linduaji harus bergerak cepat mendahului mereka. Belum lagi kemunculan sosok wanita misterius yang datang tiba-tiba dan tampaknya memiliki pengetahuan lengkap tentang Altar Suci yang serba rahasia. Siapakah dalang dibalik pembunuhan para petinggi Altar Suci? Benarkan ada pengkhianat di dalamnya? Lalu, benarkah pusaka Gerbang Tuhan itu kini benar-benar ada di Indonesia? Lalu di mana? Adakah di nusantara ini pernah tumbuh sebuah kerajaan yang mendunia?
Dengan asyik, pembaca akan diajak oleh ketiga orang tersebut dalam upaya penelusuran keberadaan Gerbang Suci, yang konon terus diwariskan antara peradaban yang satu ke peradaban yang lain. Kita akan larut dalam diskusi intelektual mereka, membuka lembaran sejarah dan bab demi bab yang begitu padat akan pengetahuan purbakala, menyingkap masa lampau dan menenggok kembali anggapan-anggapan lama yang mungkin keliru tentang Atlantis dan ras manusia pertama. Buku ini juga dipenuhi dengan banyak catatan kak mengagumkan, yang menunjukkan betapa penulis memang menggarapnya berdasarkan riset dan referensi bacaan yang kuat (terlepas dari shahih atau tidaknya data yang diajukan).
Kekurangan dari novel ini mungkin, salah satunya, adalah ketiadaan gambar atau foto. Jika penulis memasukkan foto dari situs-situs sejarah yang menjadi latar dalam buku ini, ceritanya mungkin akan semakin seru. Demikian juga jika simbol-simbol itu turut digambarkan, imaji pembaca pasti akan langsung dibuai dalam aroma petualangan nan mempesona. Namun, demikian, acungan jempol perlu diberikan kepada penulis yang benar-benar melakukan riset sehingga mampu menghasilkan paragraf-paragraf berbobot dalam buku ini, yang menjadikannya bak The Da Vinci Code dari nusantara, atau paling tidak, menjadi penerus Rahasia Meede karya E.S. Ito nan mempesona itu. Catatan kakinya juga agak kurang jelas cetakannya, padahal inilah salah satu bagian paling menarik dari buku ini. Untuk penulisnya, saya ucapkan: "Good job!"
Suka · · Berhenti Mengikuti Kiriman · Bagikan · Hapus
Published on August 23, 2012 01:54
Neo Werewolf
Judul :Neo WerewolfPengarang : Ali RezaCetakan : Pertama, Juli 2012Penerbit : Laksana (DIVA Presss)
[image error]
Manusia serigala di Indonesia? Premis ceritanya sendiri sudah cukup menarik dan mengundang rasa penasaran. Bisakah makhluk-makhluk yang berjuluk “para putra rembulan” itu beraksi di negeri tropis seperti di Indonesia? Bagaimana cara menyatukan mitologi asli dari Eropa dan Amerika itu ke dalam setting nusantara yang notabene memiliki latar belakang budaya yang sangat berbeda? Lalu, bagaimana ceritanya manusia serigala yang buas itu bisa sampai di Indonesia? mari kita simak alurnya. Dikisahkan, Junaedi adalah seorang anak SMA yang mendapatkan kesempatan untuk mengikuti semacam “beasiswa studi” untuk belajar selama 6 bulan di kota kecil Vowelsville, di Amerika Serikat. Di kota ini, ia tinggal bersama keluarga Smith yang sangat baik kepadanya, yang merawat dan menjaganya seperti anak mereka sendiri.
Sementara, di kota itu sendiri tengah santer beredar rumor tentang kembalinya si manusia serigala, yang berkeliaran membunuhi mangsa di malam hari. Ternyata, masa lalu kota Vowelsville sendiri memang kelam. Nama Vowelsville berasal dari anagram kata wolves ville atau desa serigala. Dulu, pernah terjadi peristiwa mengerikan sehubungan dengan pembunuhan yang dilakukan oleh seorang eh seekor manusia serigala terhadap seorang dokter muda yang brilian. Ternyata, dokter itu tengah berupaya menemukan serum untuk mengobati temannya yang terkena gigitan werewolf. Malang, serum itu gagal bekerja dan sang dokter pun tewas dicabik-cabik oleh temannya yang keburu berubah menjadi manusia sergala. Begitu mengerikannya kejadian itu sehingga penduduk kota Vowlesville tak akan pernah melupakannya.
Lima belas tahun berlalu. Malam itu, Jun sedang mengayuh sepedanya menuju ke toko Mr. Chua karena dimintai tolong oleh Mrs Smith untuk membelikan bahlam lampu dapur yang putus. Tepat jam 12 malam ketika Jun menyadari bahwa malam itu adalah malam bulan purnama, malam ketika manusia serigala berubah wujud. Dikayuhnya sepeda dengan bergegas ketika di tengah jalan ia menyadari ada sesuatu yang aneh. Alam tampak sepi tak seperti biasanya, dan ada bayangan berkelebat di balik pepohonan pinggir jalan. Dan sedetik kemudian, bayangan hitam itu menyambar dadanya, membuatnya terjatuh tak sadarkan diri ke aspal dengan tubuh berlumuran darah. Ia telah dicakar dan digigit oleh seorang werewolf. Beruntung ada seorang polisi yang tengah berpatroli. Ia menembaki serigala jadi-jadian itu sebelum sempat memangsa Jun.
Segera, Jun dibawa ke rumah sakit. Lukanya sangat parah dan malam harinya Jun mengalami mimpi buruk yang berkaitan dengan darah dan bulan pernama. Paginya, ia dinyatakan sebuh karena luka-luka di tubuhnya telah sembuh dan hilang sepenuhnya. Dokter menyebutnya keajaiban medis, tapi Mr Smith dan sejumlah tetua di kota Vowelsville tahu yang sebenarnya, Jun kini adalah seorang penjelma. Ia telah menjadi manusia serigala dan Jun tidak mengetahuinya. Beberapa minggu setelah kejadian itu, Jun menyelesaikan masa belajar di Vowelsville. Ia harus kembali ke Indonesia. Dengan terharu-biru, ia berpamitan dengan keluarga Smith dan warga kota yang telah sangat baik kepadanya. Setting kemudian berpindah ke Jakarta, tepatnya ke Bekasi di mana Emaknya sudah menanti. Jun pun kembali ke hari-hari biasanya sebagai anak SMA kebanyakan. Pulang-pergi naik angkot, meminjam buku ke perpus, sesekali main ke mal, dan berjalan-jalan dengan temannya. Tapi, Jun yang sekarang berbeda dengan Jun yang dulu. Di samping lebih cerdas, lebih berpikiran terbuka, dan juga lebih tajir (ia dibekali uang saku dalam jumlah yang sepertinya terlalu banyak oleh Mr. Smith), Jun yang sekarang jauh lebih kuat dan lebih buas. Ia sama sekali tidak menyadari bahwa dalam dirinya kini bersemayam mahkluk buas yang siap menguasai dirinya saat purnama tiba.
Jun menganggap semua perubahan yang sebenarnya luar biasa itu sebagai hal yang biasa. Ia memang menjadi lebih kuat, lebih gesit, dan juga lebih pandai berkelahi. Namun, ia juga menyadari bahwa dirinya menjadi lebih gampang marah, cepat emosi, dan menimbulkan aura ketakutan pada sekitarnya. Semuanya mungkin akan tetap demikian hingga Mr. Smith dan beberapa temannya datang ke Jakarta. Peristiwa ini juga didahului oleh pembunuhan seorang profesor terkenal dari AS yg juga baru berkunjung ke Jakarta. Dia dibunuh dengan peluru perak. Sekarang, serigala yg dulu melukai Jun di Vowelsville datang ke Jakarta. Ia hendak menantang Jun—yang saat itu belum sempurna tahapan perubahannya. Mampukah Jun melawan balik? Bagaimana dengan emak dan teman-temannya, apakah mereka juga akan menjadi korban dari manusia serigala jadi-jadian dari AS itu? Lalu, seandainya pun Jun selamat, bagaimana jika kelak ia berubah jadi werewolf dan melukai orang-orang dekatnya? Baca sendiri ya wkwkwk.
Novel kecil ini mirip dengan serial Teen wolf (yang kok ya nggak diputer di Indonesia ya?), tentang remaja yang jadi manusia serigala namun dia tidak jahat-jahat amat (ya iya donk kan tokoh protagonist). Novel ini alurnya sudah dapat, untuk karya sastra lokal novel ini terbilang cukup berani karena mengangkat mitos manusia serigala yang notabene asing di Indonesia. untungnya, si penulis cukup pandai berlogika dengan mengubah settingnya ke sebuah kota kecil di Amerika Serikat, jadifeel werewolf ala Baratnya dapat lah. Kekurangannya mungkin pada alur logika di belakang yang agak dipaksakan cepet rampung (walaupun bisa dinikmati lah) serta sejumlah bagian-bagian dalam cerita yang tidak berkaitan dan seharusnya bisa dihilangkan. Tapi, secara overall, novel ini layak dikoleksi bagi para penggemar fiksi-dark-fantasi karya lokal.
Published on August 23, 2012 01:52
Dead Girl Dancing
Judul : Dead Girl DancingPengarang : Linda Joy SingletonPenerjemah : Maria SusantoPenyunting : Diksi DikKorektor : Adi TohaCetakan : 1, Juli 2012 (347 halaman)Penerbit : Atria
Konon, jika ada orang yang sedang koma karena suatu sebab, jiwanya akan melayang sejenak untuk beristirahat sebagai “jeda” untuk memperbaiki jalan nasibnya. Saat jiwa si pemilik tubuh ini beristirahat, maka tubuh kosongnya akan diisi oleh seorang Penghuni Sementara yang akan menjaga agar tubuh itu tetap “bernyawa” dan tetap beraktivitas seperti biasa. Sang Penghuni Sementara adalah orang-orang baik yang telah terpilih, yang memiliki kapasitas dan kualitas diri yang baik untuk beradaptasi dengan benak/tubuh orang lain yang ia huni (dan kalau bisa ikut mengubah jalan hidup si pemilik tubuh ini tersebut). Nah, Amber adalah contoh Penghuni Sementara ini.
Semua dimulai dari buku pertama Dead Girl Walking (percayalah walaupun judulnya lumayan menyeramkan namun buku ini jauh dari kesan horor ala zombie, ini lebih mirip novel tentang remaja SMA). Amber tanpa sengajata tertabrak truk pos dan ia mengalami koma. Jiwanya dipindahkan selama sementara ke dalam tubuh Leah, salah seorang teman sekelasnya yang juga koma karena OD. Ternyata, Amber ditugaskan untuk menjadi “Leah” selama beberapa hari, menjalani hidup sebagai Leah untuk memberi kesempatan pada Leah yang asli untuk beristirahat sejenak dari hidupnya (Hah? Err frasa ini agak aneh sih ya?). Setelah beberapa hari menjadi Leah, jiwa Amber berpindah ke tubuh Sharayah—kakak dari pacar Amber sendiri, Eli.
Maka, dimulailah petualangan Amber yang masih anak SMA itu untuk menjalani hari-hari sebagai mahasiswi urakan dan liar. Rupanya, Amber ditugaskan untuk mencari tahu mengapa Sharayah yang dulu pintar dan mahasiswi baik-baik tiba-tiba berubah menjadi wanita penggoda yang jarang memberi kabar ke rumah. Sesampainya di tubuh Sharayah, Amber menyadari bahwa gadis ini menyimpan sebuah rahasia kelam dalam hidupnya, tentang pacar rahasianya dan juga tentang seorang penguntit yang diam-diam terus menguntit dan mengiriminya sms dan pesan ancaman.
Dengan waswas karena ancaman misterius tersebut dan juga ancaman dari Penghuni Kegelapan (semacam versi jahat dari Penghuni Sementara), Amber yang SMA harus mendewasakan diri untuk menjadi Sharayah selama beberapa hari. Bersama teman-teman Sharayah yang urakan habis, Saddie dan Mauve, ketiganya berangkat bersenang-senang ke pantai Venice untuk “bersenang-senang” layaknya mahasiswa. Biasalah, musim panas di pantai berarti berjemur, menggoda cowok-cowok pantai, dan berpesta pora. Selama menjadi Sharayah ini, Amber sedikit demi sedikit mulai memahami mengapa kakaknya Eli yang dulu keren itu bisa berubah menjadi urakan dan tidak bertanggung jawab. Melalui Sharayah, ia juga mengamati bahwa setiap manusia—betapapun tampak tidak acuh dan cueknya mereka dari luar—masing-masing adalah jiwa yang sesekali rapuh, pernah terluka, dan memiliki banyak kekurangan. Ada sebab di setiap sesuatu.
Sampai akhirnya, Amber menyadari bahwa Sharayah membutuhkan semacam katalis untuk memulihkan diri. Ternyata, suara Sharayah sangat bagus sehingga ia berencana mendaftarkan tubuh pinjaman ini ke kontes semacam American Idol. Dan, apakah Amber akan berhasil menyadarkan kembali Sharayah akan potensi dirinya? Bagaimana dengan si penguntit misterius? Siapakah sebenarnya orang ini? Lalu, masih ada pula si Penghuni Kegelapan yang diam-diam mengincar cahaya kehidupan milik Amber? (seorang Penghuni Kegelapan bisa menyedot habis cahaya kehidupan milik seorang Penghuni Sementara). Bisakah Amber tetap menjalankan misinya sementara ancaman terbesar itu tengah berada di dekatnya? Bersiap menerkam dan menjebaknya saat ia terlena?
Membaca seri Dead Girl ini memang memberikan makna baru tentang kata “dead”. Alih-alih novel horor ala zombie, seri ini lebih mirip seri motivasi diri untuk remaja. Penulis ibaratnya seperti hendak mengajak pembaca mencoba memandang sesuatu dari sisi orang lain, bukan dari sisi kita semata. Bahwa setiap orang punya masalah, itu pasti. Bahwa setiap manusia memiliki masa lalu, mengalami hal-hal tertentu yang menjadikan mereka seperti mereka yang saat ini. Dengan menyadari bahwa ada alasan dibalik setiap kejadian, ada masa lalu yang membentuk setiap karakter, maka kita akan menyadari bahwa setiap orang memang berbeda dan kita tidak bisa memaksa mereka untuk sama dengan kita.
Amber yang bisa menghuni tapi tidak selalu bisa 100% mengubah hidup tubuh yang dihuninya juga mengajarkan kepada kita untuk tidak “memaksakan diri” dalam mengubah seseorang. Kita memang wajib menasihati atau mengarahkan seseorang ke jalan yang lebih baik, namun kita tidak bisa memaksakan bahwa mereka harus berubah 100%. Keputusan terakhir selalu ada pada diri orang yang bersangkutan. Masing-masing kita memiliki pilihan untuk menentukan jalan mana yang akan kita ambil, beserta konsekuensi yang menyertainya. Begitulah caranya kehidupan (atau dalam buku ini, kematian sementara) memberi pengajaran.
Untuk novelnya sendiri, buku ini ditulis dengan lincah khas anak muda. Sarat dengan nasihat-nasihat inspiratif namun disampaikan dengan tidak memaksa, luwes, dan “anak muda sekali”. Sampai-sampai, kita bisa mengetahui karakter Amber yang memang tidak sempurna tetapi ia tetap memiliki kualitasnya sendiri. Benar-benar mencerminkan sosok remaja SMA yang umum di AS. Gaya bercerita penulis juga asik, ada bumbu-bumbu cinta yang disampaikan dari sudut pandang orang pertama, pokoknya penuh dengan pandangan mata yang melelehkan dan aksi heroic seorang pacar yang memabukkan (hasyah). Ada satu kutipan kalimat motivasi menarik yang diambil Amber dari salah satu buku yang pernah dibacanya, bahwa “Tidak ada yang lebih seksi daripada rasa percaya diri”. (halaman 18).
[image error]Suka · · Berhenti Mengiku
Published on August 23, 2012 01:51