Dion Yulianto's Blog, page 8

December 18, 2011

The Kane Chronicles, The Red Pyramid

Judul                : The Kane Chronicles, The Red PyramidPengarang        : Rick RiordanPenerjemah      : Aditya Hadi PratamaPenyunting        : Tendy Yulianes Susanto (SIlvero Shan)Penyelaras  ak.: Ananta ADesain isi          : elCreativeCetakan           : 1, September 2011Tebal                : 518 halamanPenerbit            : Mizan Publika


        
           Rick Riordan dan dewa-dewinya kembali beraksi. Kali ini, penulis yang jago meramu adegan pertempuran seru ini menggunakan dewa-dewi dari negeri piramida ini untuk meracik sebuah saga pertempuran yang panjang, tebal, dan sangat "Mesir". Sangat jarang lho seorang penulis terkenal dari Barat menggunakan mitologi dari dunia selain  dari ranah Eropa dan Amerika, dan Riordan adalah salah satunya.  Dan, Riordan terbukti tetap piawai dalam  menuliskan saga ini dengan hebat dan asli. Tidak jauh berbeda dengan seri Percy Jackson yang hebohh itu, The Red Pyramid menawarkan perjalanan serta petualangan fantastis bersenjatakan jimat, mantera, dan kilauan huruf hieroglyph; begitu sarat dengan ledakan dan lemparan kekuatan. Adegan pertempuran magis yang disajikan dalamRed Pyramid benar-benar panjang, banyak, dan sangat memuaskan pembaca pecinta fantasi.
            Red Pyramid berkisah tentang Carter dan Saddie, anak-anak dari seorang ahli perbakala Mesir yang sangat terkenal. (Pembaca mungkin ingat, nama Carter berasal dari Howart Carter, orang pertama yang membuka sarkofagus  Raja Tuthakhamun yang terkenal itu). Dan Carter yang ini diceritakan mewarisi kulit ayahnya yang "tidak berkulit putih" , dia lebih mirip orang Mesir sementara adiknya, Saddie, secara fisik ikut ibunya yang ras kulit putih. Ketika suatu malam keduanya diajak mengunjungi British Museum, sebuah kecelakaan arkeologis terjadi. Entah bagaimana, ayah mereka telah meledakkan Batu Rosetta nan legendaris  (batu yang memungkinkan orang modern bisa membaca huruf hieroglyph) yang sekaligus turut membebaskan 5 dewa utama Mesir kuno: Set (Dewa Kejahatan), Osiris (Raja para dewa), Isis (Istri Osiris), Horus (Dewa Ilmu Pengetahuan), dan Nephthys (Istri Set).
[image error]Masak Carter begini hehehe

            Dari sini, cerita mulai berjalan seru. Set bangkit dan berencana meneror dunia, membawa kekacauan ke Bumi di masa modern. Osiris masuk ke dalam tubuh ayah Carter, dan langsung dikurung dalam sarkofagus emas oleh Set. Lebih genting dari itu, Horus dan Isis masing-masing masuk ke tubuh Carter dan Saddie sebagai tubuh perantaranya. Ini benar-benar pertempuran antar-Dewa Mesir kuno. Setelah itu, semua peristiwa tak masuk akal mulai datang susul-menyusul, mulai dari kedua kakak beradik yang diajak menaiki kapal yang mampu menyeberang Samudra Atlantik dalam satu jam, bertemu seekor babun cerdas benama Khufu, buaya raksasa di kolam renang, hingga bertarung berdampingan dengan dewi kucing, Bast yang jago berkelahi sekaligus lucu.
              Keunggulan Riordan dalam meramu mitologi dengan unsur-unsur dunia modern kembali dibuktikan lewat The Red Pyramid. Artefak-artefak Mesir kuno yang dibangun ulang di dunia modern secara cerdas diaplikasikan sebagai gerbang untuk berpindah tempat. Mulai dari piramida kaca di Museum Louvre, Paris, Cleopatra's Needle di London, hingga Monumen Washington yang menyerupai obelisk; bangunan-bangunan tersebut mewarnai petualangan Carter dan Saddie. Mereka berdua juga harus menghadapi pasukan laba-laba, buaya raksasa yang lain, serta bertemu aneka dewa-dewi nyentrik Mesir kuno yang selama ini ternyata masih bertahan dan tersembunyi di balik gegap gempita kehidupan modern. Semua petualangan seolah saling berbaris, susul-menyusul menyergap kedua kakak beradik ini. Selain untuk menyelamatkan ayahnya, mereka juga mengemban tanggung jawab untuk menyelamatkan dunia dari kegilaan seorang dewa (eh?) bernama Set.
[image error]Saddie keren yak
          Ending The Red Pyramid  tidak mungkin digarap lebih bagus dan lebih memuaskan lagi. Pertarungan yang terjadi, aksi sihir yang saling dilontarkan, serta aneka keseruan perang antar-dewa kuno bisa ditemukan dalam novel ini. Pokoknya para penggemar Rick Riordan tidak akan menyesal membaca buku ini. Rasa Mesirnya sangat komplet, perpaduannya dengan dunia modern sungguh menawan, dan aksi pertempurannya juga luar biasa seru untuk terus diikuti. Model penceritaan yang mengambil sudut pandang orang pertama juga membuat kita mampu melihat apa yang dipikirkan Saddie dan Carter (dan juga menyaksikan perseteruan mereka dengan dewa-dewi kuno yang terperangkap dalam tubuhnya). Celotehan Saddie yang ceplas-ceplos serta Carter yang cenderung formal dan kaku, menjadikan pembacaan bab-bab The Red Pyramid terasa begitu menyenangkan. Mirip seperti membaca diari dua orang kakak beradik yang sedang puber tetapi sudah mengamban tugas untuk melawan dewa-dewi Mesir kuno.
               Lalu, bagaimana nasib ayah mereka? Apa rencana Set yang hendak membawa kekacauan kembali ke Bumi modern? Apa pula maksud dari Piramida Merah yang menjadi judul seri ini? Siapa pula Dewan Kehidupan yang konon dulu benar-benar pernah ada di Mesir kuno? Sedikit demi sedikit, petualangan kedua kakak beradik ini akan mengungkap berbagai fakta baru tentang masa lalu ayah dan ibu mereka. Siapa mereka sebenarnya, mengapa mereka cocok menjadi wadah wujud bagi para dewa-dewi Mesir kuno, serta bagaimana Saddie yang bocor habis itu bisa jatuh cinta kepada dewa Mesir kuno Anubis? Semuanya akan dijawab sendiri oleh Riordan melalui The Red Pyramid. Jika Anda penasaran bagaimana dunia dewa-dewi Mesir yang begitu kuno itu dapat dibangkitkan kembali oleh Riordan, cobalah membaca buku tebal namun cepat rampung dibaca ini. Sungguh, novel ini adalah sebuah karya fantasi legendaris yang sangat rugi jika tidak dibaca.  




[image error]Dewa-Dewi yang lain, ngakak liat Bes
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on December 18, 2011 17:50

Love Bites

           
          Tahukah Anda (atau jangan-jangan hanya saya saja yang belum tahu!) kalau karakter Bella di dasarkan pada kisahItik Buruk Rupa  atau The Ugly Ducking? Itulah sebabnya mengapa  Bella bernama lengkap Bella Swan. Tahukah Anda kalau naskah Twilight sudah ditolak 8 kali oleh penerbit? Tahukah Anda bahwa Stephenie Meyer hanya mengharapkan naskah ini terjual seharga US $ 10.000  agar dia bisa melunasi cicilan minivannya (yang ternyata naskah Twilight dibeli seharga US $ 750.000 karena bantuan agennya). Banyak hal yang melatarbelakangi karya hebat ini yang dapat Anda temukan dalam Love Bites. Awas digigit cinta!  

          Siapapun yang mengaku mencintai Twilight Saga dan juga filmnya, sebaiknya memiliki buku kecil ini untuk melengkapi pembacaannya. Ditulis oleh Liv Spencer yang juga menulis buku tentang sejumlah tokoh publik terkenal lain seperti Taylor Swift, buku ini cukup mumpuni untuk boleh mengaku sebagai panduan  "tak resmi" bagi penggemar film Twilight, New Moon, Eclipse, dan Breaking Down.  Love Bites menyuguhkan sebuah rasa majalah mengenai serial vampire yang pernah dan masih mempesona jutaan pembaca karya Stepenie Meyer di seluruh dunia.
            Eclipse (dan tiga novel Twilight lainnya) merayakan "cinta yang sukar dipahami yang melampaui batasan kekuasaan, keduniawian, dan bahkan kematian." (Hlm. 287).
            Dilengkapi dengan aneka foto (layaknya sebuah majalah film), Love Bites menawarkan segala sesuatu yang menarik yang bisa ditawarkan oleh sebuah buku dan film yang sama-sama laris. Buku ini merangkum seluruh wawancara dan pengamatan Liv Spencer terhadap penulis Twilight, para pemain utama dan pendukung, hingga orang-orang di balik layar serta tempat-tempat yang digunakan untuk syuting film ini. Bagian yang paling menarik, yang sayangnya mendapat porsi yang sangat sedikit, adalah bagian di mana Spencer menuliskan kembali bagaimana pandangan Stephenie Meyer terhadap karyanya itu.  Betapa Meyer sempat tidak PD ketika menuliskan dan mengirimkan Twilight, betapa rajin dia menulis sehingga saga setebal itu rampung hanya dalam waktu 6 bulan, hingga novel-novel klasik apa yang mempengaruhi Meyer untuk menulis saga ini.
Co cuit

            Sebagaimana karya-karya besar yang juga terinspirasi oleh karya-karya besar lain, Meyer mengakui kalau Twilight terinspirasi oleh novel Pride and Prejudice (1813) karya Jane Austen, New Moon adalah inspirasi dari Romeo and Juliet Eclipse dari adaptasi Wuthering Heights , sementaraBreaking Dawn sangat memancarkan pengaruh karya-karya Shakespeare, yakni Mid Summer Night Dreams dan The Merchant of Venice. Dari sini, pembaca bisa maklum mengapa Meyer memutuskan untuk membuat akhir yang bahagia dari rangkaian saga ini.
            Porsi yang diceritakan dalam jumlah yang lebih besar adalah semacam biografi sangat singkat dari para pemeran film Twilight. Walaupun agak boros, namun dari bagian ini kita bisa belajar banyak tentang betapa beratnya proses untuk bisa menjadi dan selama menjadi bintang film yang sukses. Dalam Love Bites, Spencer menceritakan bagaimana Robert Pattison dan Kristen Stewart (yang kedua-duanya sama-sama ngotot bahwa peran Edward Cullen dan Bella Swan seperti sudah ditakdirkan menjadi miliki mereka) berupaya sangat keras agar mendapatkan peran itu. Para kru film sendiri sampai merasa keduanya terlalu "menghayati" perannya. Begitu pula perjuangan Taylor Lautner yang  setelah lolos audisi pun harus rela makan protein setiap dua jam dan berlatih 2 – 5 jam di pusat kebugaran demi membentuk tubuh manusia serigalanya itu. Dan, semua upaya pasti ada imbalannya. Pattison, Stewart, dan Lautner mampu membuktikan bahwa mereka adalah idola baru yang dielu-elukan pengemarnya.

            Love Bites juga mengangkat sisi-sisi lain yang mungkin selama ini tersamarkan oleh kisah segitiga antara Bella, Edward, dan Jacob; yakni para pemeran pendukung lain yang juga memiliki atas kepopuleran kisah ini. Siapa saja yang menjadi pemeran kawanan serigala, keluarga Edward, kaum Volturi, hingga penduduk Forks, juga alasan mengapa vampirnya Meyer ini—alih-alih terbakar—malah hanya berkilauan ketika terkena sinar matahari.
            Walaupun lebih terpaku ke film ketimbang novelnya, Love Bites akan mengajak para penggemar saga Twilight untuk merayakan saga cinta antara vampire dan manusia ini, di samping menunjukkan beberapa hal dibalik layar yang selama ini mungkin belum tersentuh. Sebagai bonus, ada foto berwarna dari Edward, Bella, serta Jacob yang mengintip di halaman belakang buku ini. Cocok untuk dikoleksi hahaha.
Satu hal yang jelas, saya bukan penggemar saga Twilight dan belum pernah membaca satu pun buku karya Meyer. Namun, sejak menemukan Love Bites terhidang indah oleh penerbit Atria, saya memutuskan untuk mulai mencoba Twilight yang sudah 2 minggu menumpuk di tumpukan. Saya rasa, saya akan menyukai Twilight sebagaimana novel-novel fantasi lainnya. 

Judul                : Love Bites, The Twilight Saga's CompanionPenulis              : Liv SpencerPenerjemah      : Nengah KrisnariniPenyunting        : Dian PranasariPemeriksa aks  : Adi TohaTebal                : 359 halamanCetakan           : 1, November 2011Penerbit            : Atria
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on December 18, 2011 17:48

December 14, 2011

Last Tango in Paris

Judul                      : Last Tango in ParisPenulis                  : Robert AlleyPenerjemah         : Rama Romindo UtomoPenyunting            : M.Sidik Nugraha dan Anton KurniaCetakan                 : 1, Januari 2011Penerbit                 : Serambi Ilmu Semesta


         Sungguh, saya juga bingung apa hikmah atau makna yang hendak disampaikan penulis melalui novel kontroversial ini. Sebagaimana pendapat para resensor sebelumnya yang juga rata-rata kebingungan mencari tahu maksud dibalik dituliskannya novel yang alurnya lebih mirip alur drama ini. Satu hal yang disepakati oleh banyak pembaca, buku ini mengandung—atau mungkin mengumbar—aneka adegan ranjang antara pria dan wanita yang tidak terikat oleh ikatan pernikahan. Disetting dengan latar belakang kota Paris tahun 1960-an atau 1970-an, The Last Tango in Paris seperti hendak menunjukkan bagaimana kehidupan dan prinsip kebebasan hidup yang terlalu over di benua Eropa dan Amerika Serikat pada kurun masa itu. Sebagaimana kita ketahui, masa-masa 60-an dan 70-an adalah masanya para hippies yang berorientasi untuk mencari dan menikmati kebebasan, yakni kebebasan yang sebebas-bebasnya, termasuk dalam urusan seks.
        Paul, seorang lelaki paruh baya dari Amerika Serikat secara tidak sengaja berjumpa dengan Jeanne, seorang gadis Perancis yang masih muda dan (sok) polos. Keduanya tidak saling mengenal identitas masing-masing—dan masih tidak saling mengetahui identitas dan alamat masing-masing hingga di bagian akhir buku ini. Justru ketiadaan identitas inilah yang ternyata mampu menyulut api gairah di antara keduanya. Tanpa nama, tanpa identitas, tanpa latar belakang keluarga atau status; ketiadaan itu malah memunculkan sebuah ranah bebas di mana keduanya bisa saling menyalurkan hasrat badani mereka secara leluasa, secara bebas. Mungkin, ketiadaan identitas itu juga yang membuat keduanya bisa melepaskan diri dari pakaian mereka. Untuk telanjang dari segala pernak-pernik status sosial dan ekonomi, telanjang dari gosip dan bisik-bisik dunia, telanjang yang benar-benar telanjang--termasuk telanjang secara fisik dibuka semuah...hiyahhhh.
        Paul yang tertekan, karena istrinya yang nekat bunuh diri tanpa alasan yang jelas, bertemu dengan Jeanne yang masih muda dan haus akan petualangan serta sensasi baru. Sebagai seorang pria yang kesepian, Paul menemukan surga lelaki pada tubuh Jeanne nan sintal.  Sebagai seorang gadis yang pacarnya kurang romantis, Jeanne menemukan sosok lelaki maskulin yang bisa memuaskan hasrat badaninya pada diri Paul. Dan, dalam sebuah apartemen sewaan rahasia, keduanya bergelut penuh nafsu dan saling memuaskan hasrat seksual mereka dengan mengabaikan segala bentuk institusi di luar sana. Dari sini, tampak bahwa penulis sepertinya ingin sekali menunjukkan pendobrakan atas nilai-nilai pernikahan dan sosial kemasyarakatan yang dirasa mengekang kebebasan manusia. Jika dipandang dengan kaca mata Timur, hal ini mungkin terkesan terlalu vulgar dan kebablasan. Namun, jika ditenggok latar belakang novel ini yang ditulis pada era tahun 1970-an, pembaca mungkin bisa sedikit memaklumi karena masa-masa tersebut tema kebebasan tengah dijunjung tinggi di generasi muda Eropa.
         Walaupun tidak sevulgar penggambaran adegan ranjang seperti yang digunakan dalam novel-novel romance seri HR yang banyak bermunculan dewasa ini, ketiadaan hubungan yang jelas antara kedua tokoh utama inilah yang cukup membuat novel ini beitu kontroversi. Tidak ada ikatan kekasih, apalagi suami istri, hanya sekadar pelampiasan suka sama suka di atas ranjang. Dalam beberapa halaman novel ini, digambarkan pula beberapa contoh hubungan seksual yang agak kebablasan, termasuk—maaf—lewat jalur belakang. Masih dengan unsur bingung namun penasaran, pembaca akan digiring untuk lebih mendalami karakterisasi dari Paul dan Jeanne: apa yang membuat mereka berperilaku demikian, bagaimana identitas masing-masing, dan bagaimana keadaan psikologis keduanya. Menurut saya, seks yang agak bertebaran dalam novel ini hanyalah penguat, hal yang hendak ditonjolkan mungkin sisi kedalaman psikologis dari kedua tokoh tersebut, terutama dengan latar kota Paris dan euphoria kebebasan tanpa batas yang tengah digambar-gemborkan kala itu.
                Ditulis dengan gaya memikat khas novel klasik yang kaya akan deskripsi tempat serta pemgembangan unsur psikologis yang mendalam, Last tango in Paris menawarkan sebuah episode singkat dari suatu era melalui kehidupan Paul dan Jeanne. Kita bisa mengetahui apa dan bagaimana paham kebebasan yang dianut masyarakat Eropa kala itu. Dari bagian akhir cerita, paling tidak penulis bisa menyisipkan sedikit kebijaksanaan atau imbauan tentang nilai-nilai yang seharusnya tetap dijaga dan tidak diacak-acak. Mungkin, versi film dari buku ini akan lebih mampu memukau imaji karena novel ini benar-benar membutuhkan tambahan visualisasi nyata untuk lebih mempertegas deskripsinya (hahaha). Karena versi film dari novel ini masuk dalam jajaran 100 film terpopuler sepanjang masa, mungkin pembaca bisa melengkapi pembacaan novel kontroversial ini dengan menonton filmnya. 
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on December 14, 2011 18:15

December 11, 2011

Dunsa, Petualangan di Prutopian


 Judul                : DunsaPengarang        : Vinca CalistaPenyunting        : Jia EffendiePenyelaras        : Ida Wajdi dan Fenty NadiaPewajah Isi       : Aniza PujiatiCetakan           : 1, November 2011Tebal                : 453 halamanPenerbit            : Atria

            Perkenalkan, 4 negeri besar Prutopian: Naraniscala, Fatacetta, Cuacindaga, dan Delmorania. Inilah dunia baru dalam ranah fiksi-fantasi Indonesia yang akhirnya menambah kaya lagi daftar prosa fantasi di negeri ini. Dilengkapi dengan peta, penamaan yang konsisten dan tidak asal comot, serta alur sejarah historis (yang dibuktikan dengan adanya silsilah kerajaan Naraniscala) membuktikan bahwa Dunsa tidaklah "jadi dalam semalam". Dibutuhkan ketekunan dan kesabaran ekstra yang luar biasa untuk bisa menyusun sebuah cerita epik nan panjang dan cukup lengkap seperti ini.
            Dunsa adalah Megorgo dan Merphilia Dunsa, ibu-anak yang takdirnya digariskan untuk mewarnai sejarah peradaban dunia Prutopian. Dikisahkan bahwa Megorgo yang hanyalah wanita biasa mencintai putra mahkota dari negeri Naraniscala, Pangeran Claresta. Akibat perbedaan kasta, keduanya dipisahkan dan dipaksa untuk mengambil jalan yang berbeda. Megorgo lalu berubah menjadi pendendam, ia memutuskan untuk belajar sihir dari kaum Zauberei dan mendirikan sebuah keratuan hitam di Kepulauan Borealis yang terpencil. Saking bencinya ia kepada Naraniscala, Megorgo yang telah berubah menjadi jahat dan berganti nama menjadi Ratu Veruna atau Ratu Merah kemudian menebar teror ke seluruh penjuru Prutopian. Tidak terhitung besarnya korban dan kerusakan yang ditumbulkan, seblum akhirnya Ratu Veruna ini dikalahkan oleh Ratu Alanisador yang kemudian menjadi penguasa Naraniscala.
            Kisah itu terjadi belasan tahun yang lampau. Masa ketika Ratu Merah dikalahkan telah belasan tahun berlalu ketika Merphilia Dunsa beranjak dewawa. Ia yang tadinya hanya gadis desa yang gemar bertarung, tiba-tiba dikejutkan oleh kunjungan para Zauberei. Mereka mengatakan bahwa Ratu Merah telah dibangkitkan kembali dan sekali lagi mengancam kedamaian Prutopian. Bersama Bibinya Bruzila, keduanya diboyong ke istana hanya untuk menemui fakta baru, Merphilia adalah putri dari Ratu Veruna, Putri Cleorida. Para zauberei juga menyatakan bahwa Merphilia adalah sang gadis petarung yang diramalkan sebagai satu-satunya yang bisa membunuh Ratu Veruna yang telah bangkit kembali.
            Dengan bantuan balatentara kerajaan Sena Naraniscala, Merphilia berangkat menuju kerajaan Delmorania yang paling terancam oleh kebangkitan Ratu Veruna. Peta yang ada di depan terbukti sangat memudahkan pembaca untuk mengetahui di mana letak-letak negeri dan kota yang disebutkan dalam buku ini. Dari sinilah petualangan Merphilia sang gadis petarung berlanjut. Aneka petualangan siap menanti, bermacam makhluk legendaris yang selama ini hanya ada dalam buku tiba-tiba mewujud nyata dan benar-benar harus dihadapi Merphilia. Kisah ini diselipi juga dengan bumbu-bumbu romantisme antara Merphilia dengan pangeran Skandar sehingga porsinya pas antara sebuah novel petualangan, fantasi, sekaligus novel remaja. Dengan gaya seperti ini, Dunsa cocok dibaca oleh siapa saja.
Dalam lembar-lembar Dunsa, petualangan datang susul menyusul. Mulai dari upaya mereka melawan binatang ganas di lautan, berkunjung ke reruntuhan kota dan kuil kuno yang masih menyimpan monster dari masa lampau, serta perang besar yang akan menjadi klimaks dari cerita ini; semuanya memberikan jalinan petualangan paling seru yang bisa ditawarkan oleh tulisan dan kertas. Bagian awal memang harus agak bersabar, namun semakin ke tengah, jalan ceritanya akan mulai terbentuk sebelum akhirnya pembaca kesulitan untuk lepas dari cengkeraman petualangan Merphilia Dunsa. Pun begitu, bab-bab awal ditulis juga ditulis dengan kecemerlangan ide dan kesederhanaan cerita, sehingga tetap enak untuk diikuti.
            Hal lain yang menarik dari Dunsa adalah aroma Nusantaranya yang lebih terasa ketimbang buku-buku fikfan lain karya anak bangsa—yang rata-rata masih terlalu mengorbit pada fantasi barat. Penulis mampu menyisipkan rasa lokal dalam penamaan ruang-ruang di istana Naraniscala (Aula Pustaka), nama-nama geografis (Tirai Banir, Gua Gersang, Hutan Rintik, dan Laut bayang Air), bahkan masih menggunakan lema Danyang (roh halus penghuni sungai/danau yang juga dikenal dalam mitologi Jawa). Walaupun masih ditemukan penamaan tokoh-tokoh yang terlalu banyak berbau konsonan "v", "f", dan "z" seperti cerita2 fantasi dari Barat, namun nama-nama tokoh dan tempat dalam Dunsa sudah jauh lebih ramah dan relatif mudah diingat untuk sebuah naskah karya penulis lokal. Salut untuk menulis. Semoga, ada lebih banyak lagi fiksi fantasi hasil karya anak bangsa yang tidak ragu lagi menggunakan penamaan ala Indonesia alih-alih terlalu membiduk ke ranah fantasi Barat.
            Lalu, serukah petualangan dalam Dunsa? Kalau Anda pecinta cerita fantasi yang model pertempuran antara baik dan jahat, maka buku ini cocok untuk Anda. Bila kamu adalah pembaca remaja yang ingin membaca kisah petualangan sekaligus kisah cinta masa remaja, Dunsa juga cocok untuk kamu. Sementara, bagi pembaca umum yang haus akan fiksi fantasi bermutu karya anak negeri, maka Dunsa wajib dikoleksi. Tidak rugi mengoleksi buku ini, mengingat penulis mampu menulis dan menyusun Dunsa dan dunia Prutopian dengan lengkap dan tidak nanggung. Terlepas dari beberapa pertanyaan yang agak menganjal di sela-sela cerita (seperti modus penyerangan oleh Ratu Veruna yang sepertinya terlalu gegabah serta kisah cinta antara Merphilia dan Skandar yang porsi penceritaannya kadang terlalu over  di beberapa bagian), saya memberikan 4 bintang untuk Dunsa.
Atas jerih payah sang penulis dalam mengisahkan dunia Prutopian secara lengkap (dengan riwayat dan peta geografisnya) dan bahwa belum banyak penulis lokal yang menerbitkan buku fiksi seperti ini, dua jempol patut diacungkan pada sang penulis. Dunsa telah menambah satu lagi jajaran fikfan karya anak negeri. Membacanya, Anda akan terbawa kembali pada romantisme membaca Lord of the Ring, The Chronicles of Narnia, dan Harry Potter; agaknya Dunsa ini memang terinspirasi dari tiga master fantasi dunia ini. Namun demikian, Dunsa masih mempertahankan unsur penulisnya yang khas. Mantra-mantra kuno yang ia temukan, aneka makhluk gaib legendaris yang ia jabarkan, serta salam-salam khas penyihir yang ia susun (pastinya dengan kerja keras dan kesungguhan) adalah salah satu yang menjadikan Dunsa layak untuk dibaca dan dikoleksi. Sungguh senang saya diberi kesempatan untuk membaca karya unik ini.
            Jelajahi dunia Prutopian, karena ada banyak makhluk magis dan petualangan seru menantimu di sana! 

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on December 11, 2011 17:38

Lelaki Terindah

Judul     : Lelaki TerindahPenulis   : Andrei Laksana  
Aku mencintaimu karena aku mencintaimu.

Kalimat itulah yang mungkin menjadi inti sekaligus pendorong dari keseluruhan novel yang mengambil tema yang agak menyimpang ini. Dari judul dan cover lamanya saja, pembaca bisa langsung menebak novel ini tentang apa. Cover edisi lama memang agak provokatif, terlalu gamblang menjelaskan apa isi dari novel ini, yang mungkin malah mengurangi atau membatasi stratum pembeli dari novel yang seharusnya cukup bagus ini.  Untuk menilai atau meresensi novel dengan tema yang agak kontroversial ini memang gampang-gampang susah. Gampang karena bila dipandang dari segi sastra dan kedalaman kata, Lelaki Terindah jauh lebih indah ketimbang karya-karya Andrei Aksasa yang lain seperti Janda-Janda Kosmopolitan yang banyak dibilang orang terlalu stereotopikal itu. Susah karena tema yang diangkat pun, yakni tentang percintaan sesama kaum gay, adalah tema yang cukup menyimpang untuk diangkat dalam sebuah novel di Indonesia—yang notabene belum mampu menerima adanya cinta terlarang ini.
      Agaknya, melalui novel ini penulis ingin menekankan luasnya makna cinta yang selayaknya bisa dinikmati oleh setiap orang. Begitu luasnya cinta sehingga bahkan cinta pun bisa timbul dan memercik di antara dua orang yang memiliki jenis kelamin yang sama. Dari sini saja, mungkin banyak pembaca yang langsung antipati terhadap novel ini. Covernya yang terlalu mencolok rupanya semakin menambah rasa risih pada pembaca pria yang mungkin menemukannya di rak-rak toko buku. Entah jika bukan bertindak sebagai seorang pengamat sastra ataukah memang dia begitu rupa menyukai karya-karya Andrei laksana; pastilah hanya para pembaca wanita saja yang dengan PD berani membaca novel ini ke kasir di toko buku.
      Mari kita sejenak memandang novel Lelaki Terindah bukan sebagai sebuah novel yang kontroversial, namun sebagai sebuah karya sastra yang ditujukan untuk memuja cinta. Hanya saja, pemujaan terhadap cinta di sini diwujudkan dalam bentuk cinta terlarang. Sekali lagi, ini bukan untuk menunjukkan sempitnya cinta, tapi lebih untuk menunjukkan luasnya cinta sehingga seorang Rafki bisa mencintai Valent hanya karena mereka saling mencintai, bukan karena apa-apa.  Adegan dibuka dengan pertemuan tanpa sengaja yang diikuti oleh berulang kali pertemuan lanjutan lain yang juga tanpa disengaja. Seperti kisah-kisah cinta yang lain, karena biasa akhirnya muncul benih-benih suka. Rafki yang ternyata berpapasan dan entah kenapa terus berpapasan dengan Valent dalam perjalanan wisata mereka ke Thailand seolah memang dari awal dipertautkan melalui cinta nan terlarang itu.
     Rafki digambarkan sebagai sosok yang luar biasa maskulinnya, penggambarannya begitu rupa mendekati seorang pria yang ideal sehingga hampir-hampir tiada yang bercela dari fisiknya. Sementara, Valent digambarkan sebagai perpaduan antara ketampanan seorang pria dan kecantikan seorang wanita. Ia adalah tampan yang cantik, entah bagaimana maksudnya tetapi yang jelas Valent menemukan sosok seorang pelindung dalam diri Rafki sementara Rafki memperoleh sosok seorang pemuja dalam diri Valent. Keduanya sama-sama membutuhkan dan saling melengkapi satu sama lain. Kisah bergulir, cinta terlarang timbul dan segera bisa ditebak apa yang terjadi selanjutnya.  Hubungan terlarang itupun mulai mendapatkan hantaman dan cobaan yang bertubi-tubi. Dunia seperti langsung merespons balik dengan menanamkan tembok dinding tebal yang menghimpit cinta keduanya.
     Cinta Rafki dan Valent, seerat dan sekuat apapun itu, tetap tidak mampu mengatasi tekanan dan aneka norma dari masyarakat serta hukum alam yang dengan terang-terangan menghujat cinta di antara mereka. Sekuat tenaga keduanya berjuang dan berupaya, cinta mereka selalu menemukan jurang ataupun dinding tebal. Atas nama cinta yang dalam berbagai cerita biasanya mampu meluluhkan dunia, rupanya tidak berhasil untuk kasus cinta terlarang ini. Akhirnya, ujung dari Lelaki Terindah dengan sangat terpaksa diakhiri sebagaimana kisah abadi Romeo dan Juliet, di mana akhirnya cinta terlarang seperti itu tidak boleh dipersatukan—dan memang seharusnya (serta sebaiknya) dihindarkan. Risiko yang ditanggung terlampau berat, hukuman yang menanti terlampau pekat, dan jalan yang membentang di depannya terlalu gelap.
      Salah satu hambatan dalam membaca karya sastra ini adalah penggambaran detail fisik pria yang entah bagaimana terlampau berlebihan sehingga kadang pembaca merasa agak jengah dan risih, apalagi para pembaca pria. Keindahan novel ini menurut saya lebih terletak pada metode penyisipan bait-bait puisi yang disisipkan secara apik oleh penulis dalam masing-masing paragraf. Entah bagaimana, kalimat dan kata-kata yang digunakan begitu pilihan sehingga kadang malah melengkapi paragraf-paragraf narasinya sendiri.                 Bagi Anda yang ingin membaca Lelaki Terindah namun masih risih dengan kovernya, kini penerbit Gramedia sudah mengeluarkan kover baru yang "lebih sopan" dan lebih bisa diterima. Sekali lagi, untuk membaca novel ini secara netral memang agak susah, mengingat tuduhan menyimpang pasti telah mengendap dalam benak pembaca begitu mengetahui bahwa buku ini menceritakan tentang cinta yang terlarang. Namun, dengan membaca dan menganggapnya sebagai sebuah karya sastra, pembaca akan menemukan pandangan baru tentang makna cinta, tentang arti kejujuran, dan bahwa yang kita sukai belum tentu baik untuk kita.
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on December 11, 2011 17:29

December 8, 2011

Jakarta, Perjalanan Buku

                Dua event besar yang berkenaan dengan buku yang berlangsung di kota besar ini, tak kuasa memuncakkan kerinduan saya yang sudah hampir dari tiga tahun tidak bertandang ke sana. Dan, ketika berbagai undangan serta ajakan teman-teman hangat di sana terus mengalir dan mengajak saya untuk kembali menyambangi kota seribu kemacetan ini, maka semakin mantaplah saya untuk menyusun rencana dan target untuk datang ke Jakarta pada awal Desember 2011. Indonesia Book Fair, sebuah pameran buku yang konon paling besar di Indonesia, serta Festival Pembaca Indonesia, adalah dua event yang terus terang paling menggerakkan kaki ini untuk berkunjung ke Jakarta. Namun, lebih dari itu, kerinduan untuk bertemu langsung dan menyapa secara live teman-teman yang selama ini hanya bisa saling menyapa dan mencela di FB dan Twitter (hahaha) adalah tujuan utama dari perjalanan ini—tentunya dengan motif-motif silaturahmi yang tidak jauh dari buku juga :p.
[image error] penampakan meja bookswap yg bikin heboh 

Menuju Sabtu, 3 Desember 2011 Indonesia Book Fair, Istora Senayan            Jum'at sore saya berangkat dari Jogja dari Stasiun Lempuyangan. Bersama Kuro Myswalk, kereta ekonomi yang murah kami ambil demi upaya menghemat uang yang sedianya bisa digunakan untuk memborong buku-buku di sana. Kereta tiba di Stasiun Senen tepat  jam setengah tiga dini hari, waktu di mana orang-orang Jakarta masih bergumul dengan selimut. Tanpa angkot dan tempat yang jelas untuk dituju, Aku dan Kuro pun ngesot menginap alias numpang tidur di ruang tunggu penumpang yang kursinya keras itu. Menunggu fajar. Dan, setelah fajar menyapa dan setelah lapar perut terpuaskan oleh semangkuk bubur ayam, kami kembali ke loket stasiun untuk mengantri tiket kereta untuk pulang ke Jogja. Dengan muka kusut dan rambut kucel awut-awutan karena kurang tidur (Kuro tuh awut-awutannya asli random gara-gara ga bisa tidur di kereta wakakak), kami kembali berdesakan di stasiun. Belum ada bala bantuan menyapa. Kami terancam menggelandang di ibukota.
            Untung pertolongan pertama  pada kebingungan datang. Seorang teman kuliah yang tinggal di Jakarta menelepon dan menawarkan sedikit tumpangan. Beberapa detik kemudian, Ian (Adrian) juga menelepon menawarkan diri untuk menjemput. Bantuan dan pertolongan dari teman-teman Jakarta saat itu ibarat oase di tengah padang padat Jakarta (halah) bagi dua orang pelancong yang disesatkan oleh kurangnya persiapan wkwkwk. Setelah menumpang mandi dan dijamu oleh teman di daerah Kwitang (makasih ya teman), aku dan Kuro dijemput oleh salah satu anggota Ordo Buntelan yang ngakunya paling mirip ian, yakni Adrian. Ianlah yang dengan setia dan penuh kesabaran rela naik turun trans Jakarta demi menjemput tamu-tamu kucel dari Jogja ini. Makasih ya Ian, walaupun kayaknya kok naik transnya waktu itu muter-muter lama ya, entahlah. Lalu, tiga cowok manis ini akhirnya tiba di shelter Istora, sambil menunggu kedatangan sang ratu baca Indonesia yang asli baiiiikkk banget, Truli Rudiono. Berjumpa dengan beliau yang terhormat untuk kali kedua, tetap tidak bisa menghilangkan rasa kekaguman saya pada sosok yang teguh menautkan diri kepada kemajuan dunia perbukuan Indonesia  ini. Bersama rahib Tanzil Hernadi, keduanya mungkin merupakan dua sosok dewa-dewi dalam mayapada pembaca Indonesia. Auranya yang begitu akrab dan menghangatkan, persis seperti aroma buku yang baru dicetak, seolah menghilangkan kusut masai kita di perjalanan. (Sudah puas kan mbak Truli atas pujiannya? NB. Pujian ini dibuat karena brem Solo pesenan beliau ketinggalan di tempat temen saya di Kwitang itu bwahahahaha).
            Akhirnya, setelah 8.5 jam kaki ketekuk di kereta ekonomi, aku sama Kuro bisa masuk juga ke Indonesia Book Fair nan kesohor mohor itu. Stan pertama yang dikunjungi, tidak lain tidak bukan, adalah Periplus yang diskonnya amit-amit deh itu diskon apa buang-buang buku? Masak udah didiskon 50% masih didiskon lagi 20%. Jadinya, buku seri Nicholas Flammel yang seharga 95rb jd Cuma 65% trus diskon lagi jadi sekitar 30-an ribu gitu deh. Pokoknya lucu banget lihat Mbak Truli dan Adrian (yang tumpukan bukunya sudah hampir roboh saking beratnya itu) kalap dalam mengambil buku ini buku itu. Kuro juga, dengan alasan sebagai bahan skripsi, dia ikutan kalap. Ck ck ck (lucu banget liat Kuro sama Ian mikir laamaaa banget buat beli buku ini nggak yaaaa—rupanya mereka masih ingat dosa tumpukan di rumah hahaha). Pantas kalap, masak Vampire Academy HC cm sekitar 30rb dan seri Narnia dan Ga Hoole Cuma 15rb (yuukk ngiler massal mare). Hanya saya yang tidak tergoda oleh setan diskon di Periplus.  Sebagai cowok yang masih waras (dan masih ingat kalo punya utang) cuma bisa geleng-geleng liat kelakuan tiga oknum tersebut.
            Tapi, sumpah godaannya nggak tertahankan. Kalo nggak liat antrean kasir yang mengular bak panjangnya bakmi kocok Bandung, pasti saya ikut-ikutan menggila dan rusuh. Untung sebuah wajah hangat dan ramah menyapa. Wajah khas Jawa Tengah yang ramah senyum dan adil-makmur, wajah mas Yudhi Herwibowo yang terkenal itu menyapa saya di depan IBF. Inilah kali kedua saya bertemu dengan penulis yang suka bagi-bagi buku itu. Dan, semenjak itu, entah mengapa jalan kami berdua seolah dipertautkan oleh jalur Pramex jurusan Jogja-Solo untuk jadwal keberangkatan pukul 15.15 dari Stasiun Balapan (eh mulai keluar jalur nih) hehee …Intinya, akhirnya saya mendapat teman seberdirian untuk mengamati tiga oknum yang tengah kalap dan menumpuk dosa di Periplus. Wakakakak … Lepas dari Periplus, ketiga oknum tribuku itu ke kantin untuk makan siang (harga makanannya jangan ditanya ya bo, mahal cyiiiinnnn *untung dpt subsidi dari manajer). Aku sama mas Yudhi giliran kalap di stan Gramedia yang memaksa menyewa satu ruang khusus. Ubek sana-ubek sini, cari pesenan Nophie Nos gak ketemu jg *map ya Nop Nop*. Karena perut ikutan lapar—dan karena buku walaupun sebegitu nikmatnya dibaca tapi tetap ga bisa dimakan—kami ikut nimbrung ke kantin. Eh iya lupa, sebelum ke kantin, saya jg sempat bertemu dengan Ahmad Bulguri (calon ordo buntelan yg baru) dan manajer kita Silvero Shan *untung Cessy yang segede macan kumbang itu nggak diajak ck ck ck* hehehe Seneng dan haru akhirnya bisa ketemu sang editor Red Pyramid yang kesohor itu.
            Setelah makan, acara kalap lanjut di stan Ufuk ck ck ck. Di sini harga makin menggila. Udah diskon 40%, buku2 lama dibanting sampe 15-20rb. Nah khusus untuk stan ini, giliran saya dan mas Yudhi yang kalap. Kalo nggak dicegah ma mas Sil dan Ian, mungkin habis tuh semua judul masuk ransel saya ck ck ck (Eh iya, dr Ufuk juga sambil beliin titipan Kota Para Pencuri buwat Nop-nop, akhirnya dapet, jd nggak ngerasa bersalah benget sih). Lanjut ke Dastan yang nggak beza-beza jauh murahnya, lalu ke stan-stan lain yang menyediakan buku2 berbahasa Inggris. Susah bener emang kalo ngikutin gaya belanja anak-anak Jakarta, mereka bacanya versi Inggris nek, keren phan? Pyuhh tak terasa ransel yang dibawa semakin berat, dan entah bagaimana nasib wayang Rama-Shinta titipan mbak Truly yang kegencet abis ma buku-buku. Agak sebel ketika bertandang ke stan DIVA Press karena saya nggak disapa ma yang jaga. Helowwwww…editor nih editorrr. Entah karena yg jaga anak dari cabang Jakarta atau muka saya yang terlalu pasaran, beliau berdua tidak mengenali saya *mewek bentar di bawah banner*
            Hehehe …lanjut ya. Rata-rata stan di IBF rame dan penuh sesak. Namun, stan yg paling rame adalah stan2 yang memberikan diskon pameran—artinya lebih dari 20-30%. Kalo kasih diskon cm 20% mah sama aja beli di toko buku diskon yg skalian bonus disampul. Tips buat para penerbit ni yee, kalo pameran itu hajar saja, jangan tanggung2 kasih diskon. Coba dipasang diskon 50% plus 20% trus plus lagi 35% pasti langsung habis tuh duit wkwkwk. Intinya, pembaca mengunjungi pameran buku adalah u/ mencari buku dgn harga yang lebih murah. Atau, kalau nggak, ya nyari buku yang susah didapetin di pasaran. Lah kalo diskon Cuma 15 -20% kan nanggung, udah sewa stan mahal-mahal eh pembeli dikit, mending diobral aja deh 60% gitu hitung2 amal dan bersihin gudang serta memindahkan tumpukan dosa ke oknum-oknum yang bersangkutan. Lah ini malah bahas marketing buku bwahahaha….

[image error]Mojok kecapekan di tribun penonton
            Capek mendera, peluh menyapa, maka tempat duduk di tribun pun seolah terlihat sebagai sofa nan mengundang pantat yang sedang kelelahan. Akhirnya, kami mendeprok massal di tribun, sambil saling liat buku-buku apa yang jadi korban kalap dan berpeluang menjadi the next sins wkwkwk. Saat rehat itulah akhirnya saya bisa menyapa sis Daniella Jaladara (yang hobinya jalan-jalan dan cerpen fantasinya di FF 2010 adalah yg pertma kali saya baca—ya iyalah hahaha) dan mas  Adi Toha (yang langsung syaa todong dengan lanjutan Valharadnya wkwkwk). Lalu datang pula sis Noviane Asmara bersama Silvero yang ternyata juga ikut kalap di Periplus. Eh si Ian mana? Kabur kemana tuh guide guwe…jiah ternyata dia mo kondangan sodara-sodara (kapan dikondangin bro? wkwkwk). Nah karena semua oknum udah kumpul, kumatlah penyakit lama a.k.a poto-poto narcis dah. "Jepret jepret gantian donk! Eh kamu geser! Eh poto lagi donk! Ih kurang narcis…ulangin ya! Jeprett Upload ahhh" dan berbagai pernyataan khas lainpun mengisi sela-sela kosong di ruang istora Senayan Jakarta. Puas dan senang sekali bisa narcis sama kalian guys. Foto dari kamera mas Yudhi mana nih …
Minggu, 4 Desember 2011 … Menuju Festival Pembaca IndonesiaGOR Soemantri Brojonegoro, Kuningan            Hari kedua, setelah saya, Kuro, dan Bulguri mendapatkan penginapan dari salah seorang sobat terbaik saya di Serpong (aih temen akyu emang baik-baik semua yah *kecup satu-satu), kami langsung menuju ke Pasar Festival. Kali ini, naik kereta dan taksi juga dibayarin. Ampon dah kurang baik apa itu temenku si Dwi? (Udah boleh numpang nginep, eh transport dibayarin lagi ck ck ck smoga kamu segera diangkat jadi ketua BPK ya Dwi …amin!). Nah tiba di lokasi sekitar jam 11.00. Situasi udara panas, sekitar 30 derajat Celsius kalo ngukurnya pake penggaris mistar. Di arena itu, dipasang tenda putih guedeee yang telah disekat-sekat sesuai stannya. Ada stan BBI, kastil Fantasi, Banned Book, toko kelontong sihir, penerbit Mizan, child corner, pro-resensi,dan terutama Pulau Seribu Buku yang paling rame tentu saja. Belum apa-apa, saya sudah ditodong mbak Truli buwat bantuan nyampyul. Yeee …belum juga keliling2 eh udah disuruh nyampul. Si Kuro udah kabur aja tuh ke kastil fantasi sementara Bulguri sibuk muter2. Saya dipaksa duduk di belakang Pulau Seribu Buku buwat nyampul. Miris ga? Tapi ya demi profesionalisme dan keadilan yang adil bagi seluruh rakyat, saya pun ikhlas bantuan nyampul … yang cuma bertahan  dengan menyampul dua buku wakakak.
            Dengan alasan teknik menyampul saya kurang yahud, saya minta ijin untuk kabur *tepatnya sengaja kabur* buwat muter2 menyambangi meja Book Swap. Udeh deh tukerin buku-buku modal wahahaha. Setelah puas muter bentar—yang menghasilkan dua buku gratis dari Mbak Dina (horeee akhirnya bisa ktm ma Mbak Dina yang cantiikkkk dan baikkk) dan mas Andry Chang (Thank you adminal, silakan dilanjut ke tulisan selanjutnya, ganti hehehe)—saya balik lagi ke stan BBI. Itupun karena kasian liat Ine, Bea, Helvry, ma Esi yang kelimpungan diserbu pengunjung yg ingin menyimpulkan bukunya. Ya itung2 setor muka lah walo Cuma bantu-bantuin motong kertas sampul sama nempelin selotip. Baru nyampul satu buku, si Ian nongol dan ngajak makan. Gila ni anak, muncul tanpa permisi dan tiba-tiba ngajak makan. Lah, buku gw masih dikit nih wkwkwk. Tapi demi melihat mukanya yang melas kayak 5 hari belum makan umbi talas, dan memang karena dari pagi saya juga belum sarapan, ya udah kita cari makan di pasar festival. Untung Mbak Dina ma Bulguri ikut, kalo nggak bisa diputer-puter lagi nih ma Ian keliling Jakarta wkwkwk. Untuk acara makan nggak usah diceritain, secara ini adalah wisata buku bukan wisata kuliner xixixi.
            Balik lagi ke IRF, anak2 BBI udah pada kusust masai. Entah jarinya keriting karena nyampul apa ngebet nyerbu book war, mereka menimpakan stan buat dijaga ma aku dan Bea. Ampon dah! Ya udah kita menyampul semampunya. Kalo nggak salah sih aku cuma nyampul berapa gitu, entah buku siapa aku juga nggak tauJ. Nah sekarang gantian cerita tentang bookwar. Seluruh peserta diminta membawa satu atau dua buku untuk ditukar dengan salah satu atau salah dua buku yang digelar di meja book war. Syaratnya, nuker bukunya harus dalam waktu bersamaan dan…rebutan. Inilah yang bikin seru karena buku yang dipersilakan buat diperebutkan sebenarnya banyak, tapi yang jadi inceran jumlahnya cuma 5-6 buku, sementara buku-buku lainnya hampir tidak dilirik. Seru sekali saat liat para peserta yg ganas-ganas berusaha rebutan buku Diary of Wimpy Kid, Pollyana, Da Vinci HC, dan masih banyak lagi. Siapa yang tangannya panjang dan jarinya gede bakal menang tuh. Aku aja tarik2kan diary wimpi kid sama sekitar 5-6 peserta wakakaka …aku ngalah deh (pdhal kalah cepet). Lucunya, aku sempet tarik2kan Pollyana ma Ana BukuMoo dan satu cewek lagi entah siapa. Dan sesudah dapat, malah bingung ini dibaca or nggak. Pas liat buku itu dipajang Cuma napsu liat covernya yang bagus sih wahahah…(hayooo sapa mau swap hihihi).  Puas juga liat buku2 dari DIVA laris manis diperebutkan. Ngak sia-sia deh nodongnya hehehe.
[image error]Hebohnya perang buku, rebut sana sikut sini ancor dah awut2an ..btw aku yg pk kaos item di pojok kiri bawah hahaha
            Pokoknya acara bookwar kali ini sangat seru—dan menurut panitia juga paling ganas. Mbak2 yang jd MC ampe serak tereak2 sama para peserta yang susah diatur. Wong disuruh maju satu langkah eh cuma maju 5 cm. suruh geser kiri 3 langkah, eh malah cuma pandangannya yg geser hahaha. Lha mo geser gimana, orang peserta yang di sampingnya ga mao geser. Repot dah tp seru. Dan aba-aba dimulai…satu dua tiga empat (lama bener sih ngitungnya)…lima duarrrr dan tangan-tangan panjang pun beraksi, buku terlempar ke sana-ke sini, badan terhimpit dan terdorong maju-mundur kiri kanan. Rasanya puas kalo bisa dapat buku yg diincar, tapi kalo nggak dapat buku inceran pun juga sudah cukup puas karena bisa berdesakan dengan peserta yang campur baur cewek dan cowok jiahhh kesempatan dalam keributan hahaha (saya akhirnya cm memungut buku2 bagus yang terabaikan wkwkwk lumayan dapat 9 Matahari, Twillight sama PJP yang nggak disentuh dan dilirik …kasian, sini sama om!).
            Eh iya, selain pamer stan yang isinya buku-buku dan hal-hal yang nggak jauh dari buku, ada juga panggung di sebelah (aduh itu utara apa selatan aku binun), pokoknya di belakang IFR lah. Kamren sih pada seru bahas fiksi fantasi yang diramein sama para penulis fantasi indo dan juga editor buku-buku fantasi. Ngak tau deh ada heboh apaan, salah kasih pertanyaan atau memang peserta yang terlampau bersemangat. Namanya juga fantasi hehehe. Di panggung yang sama, ada juga talkshow bersama mbak Windy Ariestanti dan mas penulis Kedai 1001 Mimpi itu sapa (aduh lupa maaf). Dan setelah itu baru deh diumumin pemenang penghargaan pembaca Indonesia yang kayaknya jatuh kepada novel Ranah Tiga Warna dari Gramedia apa ya? Saya lupa soalnya sibuk ngangkutin buku :p.
            Di IRF, saya juga akhirnya bisa ketemu langsung tokoh-tokoh penting di dunia perbukuan Indonesia. Ada mas Nasirun yang bahagia banget bisa dapat buku dua tas, ada si Momo yang banyak diperbincangkan di TL itu, ada mas Lutfi Jayadi (horee akhirnya bisa ketemuan mas, dapat salam dari Kholik), ada mbak Endah Sulwesi (maaf mbak maaf bukannya saya alpa menyapa, hanya saya kan orangnya memang pemalu), ada mas Bonmedo Tambunan yang senyumnya terang benderang (*lirik oknum yang lagi sibuk menata buku), ada mas Andry Chang (makasih Fire Heartnya Admiral *hormat grak), mas Jimmy S (hehehe kapan2 saya ditelepon ya diajak siaran), mas Harun Harahap (wah kalo rumah saya deket pasti sering ikut mas acara bedah buku or resensinya), si Fauzi Pahrezi (Fablehavennya mana?), Esi (ih rame ya nek kamu ternyata), Beatrice (Bea emang yg paling baik dan paling seru, kapan ke Jogja hahah), Helvry (waduh belm sempet foto bareng), Ana (ni Polyana nua mo nggak?) sama Fred juga (hai Fred!) wkwkwk dan teman-teman lain. Sapa lagi ya, duh moga nggak ada yang lupa saya sebutkan. Eh iya, belum bisa ketemu sama mbak Jenny Indarto huaaaaaaaaaaaaa (mewek di wadah buku obralan Periplus)
            Intinya, sumpah acara ke Jakarta kemarin rame banget serame-ramenya. Kalo bisa sih taon depan ikut lagi. Terima kasih para teman dan sahabat di Jakarta yang telah mau menampung tamu dari Jogja yang norak dan katrok ini. Makasih. Tanpa bantuan kalian semua, aku pasti lost in translation halah lost in Trans-jakarta. Makasih special buwat Esa dan Dwi, yang telah menampung kami, kalian sahabatku selamanya. Makasih buwat Ian yang dah jadi guide dan rela turun naik trans-Jakarta serta kasih titipan Trudi dan ungu-ungu dari mbak Jenni (luv yu mbak Jenni :p) . Makasih juga buwat mas Silvero karena mengijinkan saya untuk menjarah perpusnya. Terima kasih kepada mbak Truli Rudiono, sekali lagi and forever, its you who have introduced me into the best community in da' world, Ordo Buntelan. Tanpa Anda, saya selamanya mungkin tidak akan pernah mengenal indahnya dunia buntelan. Sekian.
karung 1, karung 2, dan karung 3


[image error][image error]
Courtesy foto dari Daniella Jaladara, Ana Buku Moo, Yudhi Herwibowo, Rizki Indonesia, dan Truly Rudiono
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on December 08, 2011 18:04

November 14, 2011

Harun dan Samudra Dongeng

  Dongeng yang metaforik mungkin adalah ungkapan yang cukup tepat untuk menggambarkan novel ini. Dipenuhi dengan aneka  kisah di negeri antah berantah, dan juga dimulai dengan statemen khas, "Pada suatu ketika, di negeri Alifbay, terdapat sebuah kota yang sedih … (hlm 11), sudah mengindikasikan bahwa buku ini adalah tentang sebuah dongeng. Pertanyaannya, akan jadi seperti bagaimana sebuah dongeng jika diceritakan atau dituliskan oleh seorang penulis sekaliber Salman Rushdie yang pernah mengegerkan dunia ini. Jawabannya adalah sebuah dongeng yang sangat kaya, kaya makna maupun kaya akan keajaiban imajinasi.
            Dikisahkan di negeri ALifbay hidup seorang tukang cerita bernama Rasyid Sang Samudra Khayal dan putranya Harun. Rashyid hidup sebagai seorang pencerita sementara Harun sangat bangga dengan ayahnya itu. Walau orang sering mengejek ayahnya sebagai tukang berkhayal dan suka omong kosong, namun Harun bangga karena ayahnya mampu membahagiakan orang dengan ceritanya. Hingga akhirnya suatu peristiwa memilukan terjadi, istri Rasyhid lari bersama pria lain karena ia tidak tahan hidup dengan seorang pengkhayal. Rashyid begitu terpukul hingga ia tidak mampu mendongeng lagi. Harun juga mengalami pukulan telak sehingga ia tidak mampu mengingat sesuatu lebih dari 11 menit.
            Harun hanya menganggap dongeng hanyalah dongeng hingga pada suatu malam ia memergoki seorang jin air bernama Jikka, yang selama ini memasok dongeng dari Samudra Arus Dongeng kepada Rasyhid. Harun pun mengikuti Jikka ke negeri sumber dongeng, yakni bulan Kahani—bulan kedua Bumi yang selama itu tidak pernah terlihat oleh mata orang awam akibat orbitnya yang berubah-ubah. Di bulan inilah terdapat Samudra Dongeng yang menjadi sumber segala dongeng di dunia.
            "…ini adalah Arus Dongeng, di mana setiap larik warna mewakili dan berisi sebuah cerita. Bagian-bagian yang berbeda dari Samudra itu berisi jenis cerita ang berbeda pula dab semua dongeng yang pernah diceritakan ataupun yang belum selesai dibuat bisa ditemukan di sini. Samudra Arus Dongeng adalah perpustakaan terbesar di seluruh jagat raya. (hlm 74)
Dan, samudra itu tengah sekarat. Raja Chupwala—negeri bayangan—yakni Khattam-Shud hendak meracuni samudra itu dengan racun sehingga mengancam dongeng-dongeng di dalamnya (dan juga di dunia).
            Dari sinilah dimulai petualangan Harun dalam menyelamatkan samudra itu. Bersama teman-teman barunya, Jikka, Tappi (burung bulbul mesin), Tukang Kebun Terapung, dan Cerewet; Harun menjadi saksi pertempuran besar antara negara Guppee dan Chup. Dia juga harus menghadapi sendiri snag raja bayangan Khattam-Sud serta menghentikan upaya peracunan samudra. Dan sekali lagi, bayangan (atau halangan) sekuat apapun pasti akan dapat dikalahkan oleh kreativitas dan imajinasi.
            Melalui Harun dan Samudra Dongeng yang sangat sederhana, ada banyak sekali pesan yang hendak diajukan oleh sang pengarang. Di balik kisah Harun yang berlayar ke negeri dongeng, Salman Rushdie mengungkapkan banyak hal besar, terutama adalah tentang pentingnya imajinasi. Samudra Dongeng yang diracun oleh mesin pembuat racun mungkin mengindikasikan sindiran sang pengarang tentang kalahnya kegiatan mendongeng terhadap televisi dan internet. Jika dulu orang tua sering mendongengkan cerita kepada anak-anaknya menjelang tidur, kini kegiatan itu telah tergantikan oleh film di TV atau membuka internet. Tanpa sadar, teknologi inilah yang meracuni dan dikhawatirkan dapat mengancam keberlangsungan dongeng itu sendiri. Melalui peperangan yang sebenarnya tidak diperlukan di bulan Kahani, pengarang mungkin juga hendak mengkritik dunia yang terlalu sibuk berperang sehingga melupakan betapa beragam dan indahnya Bumi yang mereka miliki.
            "Jika orang-orang Guppee dan Chupwala tak saling membenci", pikirnya, "mereka mungkin akan bisa saling menemukan hal menarik. Perbedaan itu justru rahmat, seperti kata pepatah." (hlm 129).
            Dongeng yang indah, dikisahkan dengan indah, dan juga diterjemahkan dengan luar biasa indah. Salut kepada para penerjemah dan editor yang mampu mempertahankan agar dongeng ini tetap sederhana dalam bahasa Indonesia. Permainan metafora akan menjadi lebih mengena dan tersampaikan ketika dibawakan secara sederhana, karena dalam kesederhanaan buku inilah tersimpan lapis-lapis makna yang luar biasa mendalam, sedalam Samudra Arus Dongeng itu sendiri.   


Judul               : Harun dan Samudra DongengPengarang       : Salman RushdiePenerjemah      : Anton Kurnia dan Atta VerrinEditor              : Adi TohaPewajah isi      : Eri AmbardiCetakan           : 1, September 2011Tebal               : 224Penerbit           : Serambi Ilmu Semesta
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on November 14, 2011 20:25

November 10, 2011

What Left of Us

Judul                : What Left of Us. Sebuah MemoarPenulis              : Richard FarrellPenerjemah      : Mahir PradanaEditor               : Ninus D.AProofreader      : Resita WF, Christian S.Cetakan           : Pertama, 2011Tebal                : 341 halamanPenerbit            : Gagasmedia


            Memang, tidak ada gunanya menyesali masa lalu. Namun, terkadang, sedikit menengok ke masa lalu dapat membantu kita untuk menutup lubang yang selama ini mengerogoti jiwa dan masa depan kita. Seburuk apapun masa lalu, semua garisan takdir memiliki ujung-ujungnya sendiri, yang sering kali menyembunyikan kejutan-kejutan dalam kehidupan. Lebih dari itu semua, menengok kembali ke masa lalu dapat membantu kita untuk lebih jujur, baik kepada diri sendiri dan juga kepada orang lain. Kejujuran untuk mengakui masa lalu inilah yang sering kali menjadi langkah pertama untuk memaafkan diri sendiri dan kemudian melangkah maju menatap masa depan yang lebih baik. Sebagaimana penuturan seorang mantan pecandu narkoba bernama Richard Ferrell berikut.

            Hampir tidak ada yang tersisa dari kehidupan seorang Richard Farrell. Dalam usia 20-an tahun, ia jatuh dalam cengkeraman heroin dan valium. Istrinya memutuskan untuk menjauhinya, tidak lagi menginginkan kedua anak mereka menyaksikan ayah tercinta mereka teler karena narkoba. Sahabat-sahabatnya juga menjauhinya, bahkan ia kini punya sahabat baru, para polisi dan penegak hukum yang berusaha menangkapnya. Hari demi hari, malam demi malam, dihabiskan oleh Richie untuk menyuntikan madat laknat ke dalam pembuluh darahnya. Tidak terhitung sudah berapa banyaknya luka bekas suntikan yang menghiasi lengan dan tubuhnya. Bersama orang-orang yang juga senasib-sependeritaan, Richie semakin terjerumus dalam dunia hitam. Kriminalitas, pencurian, aksi anarkhis, perkelahian, seks bebas, dan menggelandang tak tentu arah menjadi kegiatan sehari-hari. Akhirnya, satu kejadian dramatis menyadarkan Richie, dua teman pecandunya—yang sangat akrab dengannya—tewas akibat overdosis. Sejak saat itu, Richie merasa seolah telah disentuh oleh Yang Kudus sehingga ia bertekad untuk menghentikan kebiasaan madatnya. Ia memutuskan untuk masuk ke sebuah panti rehabilitasi, Lowell Detox.
            Sayangnya, panti rehabilitasi pecandu narkoba itu juga menawarkan dunia yang kurang lebih serupa. Berkenalan dengan beberapa penghuninya, mengetahui masa lalu mereka dan apa-apa yang mereka kerjakan, malah semakin membuat Richie depresi. Bebas dari heroin, ia jatuh dalam pengaruh obat-obatan penenang seperti valium. Di panti rehab ini juga Richie mengalami berbagai pelajaran dan pengalaman berharga melalui ketidaksempurnaan dan kemalangan kehidupan teman-temannya sesama mantan pecandu. Mulai dari Mike yang sempurna-tapi-tertimpa-kemalangan-hingga-gila dan juga Marry yang mantan pekerja seks komersial. Rata-rata mereka juga sama-sama menderita depresi sehingga makin kelamlah jalur hidup Richie di panti itu. Melalui memoarnya, penulis dengan detail mengambarkan betapa suram dan gilanya keadaan di panti itu, pembaca tidak mungkin lagi mendapat untaian kalimat yang lebih tepat untuk menggambarkan kegilaan di panti rehabilitasi itu:
            "Kami semua sinting. Tidak pernah ada kedamaian di tempat ini. Selalu saja ada kegilaan-kegilaan yang terjadi, satu demi satu. Jika diibaratkan, semua orang di tempat ini adalah barang rusak. Bahkan petugasnya pun demikian." (hlm 281)

            Pembaca memang harus bersabar membaca memoar ini, mengingat isinya lebih banyak megulas tentang kemalangan demi kemalangan yang menimpa Richie sejak ia jatuh dalam jurang narkoba. Hal ini seharusnya semakin menegaskan kepada awam tentang betapa mengerikannya dampak dari barang haram ini. Kehidupan Richie yang kacau-balau, yang penuh denganflashback memilukan, hingga ia menjadi pecandu narkoba ternyata berujung pada masa kecil dan remajanya nan kelam. Ayahnya, yang seorang mantan tentara, mendidik Richie dengan begitu keras. Atas nama kekuatan dan kejantanan, Richie dipaksa (lebih mirip disiksa) agar bisa menjadi seorang pria sejati, menjadi pemain sepak bola Amerika. Richie juga sangat muak dengan kebiasaan ayahnya yang suka memukul ibunya. Ketika memoar semakin ke tengah, semakin yakin pembaca bahwa ayah Richie ini memiliki andil utama dalam kehidupan Richie yang berantakan.
            Buku ini jujur tentang ketidaksempurnaannya. Jujur dalam arti tidak banyak hal-hal bahagia atau "pura-pura bahagia padahal tidak" di dalamnya. Ini adalah sebuah memoar yang sangat kelam tapi luar biasa jujur. Dengan gamblang, Richie menceritakan bagaimana cara mengisap madat, cara mencapai keadaan fly atau sakaw, hingga bagaimana rasanya ketika ada serat kapas yang masuk dalam peredaran darahnya. Masa lalu Richie yang kelam juga digambarkan melalui vulgarisme penceritaan hal-hal yang berkenaan dengan seksualitas—yang dalam memoar ini digambarkan dengan begitu jujur, terbuka, apa adanya karena memang demikian lah yang terjadi. Sekali lagi, ini bukan buku sastra. Buku ini adalah cermin buram dari sebuah kehidupan yang sebenarnya. Bahwa dunia itu kadang bisa menjadi tempat yang lebih keras di luar sana. Membacanya, Anda akan mampu merasakan betapa menderitanya kehidupan para pecandu itu.
            Lalu, bagaimanakah ujung dari kehidupan Richie? Mengingat keahliannya dalam menuliskan buku ini, sudah bisa ditebak bahwa Richie kini telah mampu mengatasi kecanduannya. Ketika akhirnya ia berani jujur dan mengakui apa yang sebenarnya terjadi di masa lalunya, beban dan segala depresi itu seperti terangkat dari dadanya. Ia mau mengakui bahwa hidupnya memang tidak sempurna, dan memang tidak harus selalu sempurna. Pertemuannya dengan Dokter Levine telah membuka mata Richie, bahwa masa depan itu masih ada ketika kita benar-benar mau berubah.
            "Dengarlah aku, RichardJangan lupa kata-kataku ini. Yang paling penting adalah perbuatan kita pada saat ini. (hlm 323).
            Sebuah buku yang jujur tentang ketidaksempurnaan hidup. Yang justru dari ketidaksempurnaan itulah pembaca bisa menghargai hal-hal sempurna yang selama ini ada di sekitar mereka—yang mereka anggap sebagai ketidaksempurnaan. 



 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on November 10, 2011 23:42

November 6, 2011

Masyitoh

Judul               : Masyitoh, Drama Tiga BabakPengarang       : Ajip RosidiTahun terbit     : 1962, Cetakan 2 tahun 2006Gambar jilid    : Oesman EffendiTebal               : 144 halamanPenerbit           : Pustaka Jaya

            Nama Masyitoh mungkin sudah tidak asing lagi di telinga kita, terutama umat muslim. Nabi Muhammad mengabadikan kesucian dan keteguhannya dalam sebuah hadits (yang walaupun tergolong hadits yang lemah atau dha'if) sehingga kisah hidupnya memang begitu menginspirasi dan luar biasa tak terlupakan dalam khazanah kisah religius Islam. Masyitoh sendiri adalah seorang wanita dari kalangan Bani Israil  yang hidup pada zaman Fir'aun di Mesir, kira-kira beberapa puluh atau ratus tahun setelah pemerintahan Nabi Yusuf dan beberapa selang waktu sebelum diturunkannya Nabi Musa. Kisah ini adalah tentang pengorbanan seorang hamba Tuhan yang begitu teguh memegang prinsipnya untuk hanya mengesakan Tuhan Semesta Alam dan mengabaikan ancaman Fir'aun yang mengaku sebagai Tuhan.
            Kisah ini bermula dari ketidaksengajaan Masyitoh, yang saat itu bekerja sebagai seorang dayang dari putri Fir'aun bernama putri Taia. Ketika tengah menyisir rambut junjungannya, tanpa sadar sisir Masyitoh jatuh dan ia sontak berucap "demi Allah, celakalah, celakalah Fir'aun …!" (halaman 22). Putri Taia pun marah dan mengadukan hal ini kepada pendeta tinggi Mesir yang bernama Phator. Keduanya lalu memaksa dan mengancam Masyitoh agar ia meminta maaf dan berpaling dari Tuhannya Bani Israel untuk kemudian menyembah Fir'aun yang dikatakan sebagai titisan Dewa Ra. Tanpa gentar, Masyitoh tetap memegang prinsipnya untuk hanya menyembah Tuhan Allah yang satu.
            Sepulangnya dari istana, Masyitoh mengadukan hal ini kepada suaminya, Obed juga kepada sesepuh Bani Israel, Bapa Simeon. Waktu itu, bangsa Israel di Mesir memang tengah ditindas. Mereka diperlakukan semena-mena hanya karena dianggap menumpang di negeri orang dan tidak mau menyembah Fir'aun. Baik Obed maupun Bapa Simeon tetap mendorong Masyitoh agar jangan takut, karena Tuhan senantiasa melindungi hamba-hambaNya yang percaya. Pun demikian, ketika barisan pengawal Fir'aun menjemput Masyitoh sekeluarga untuk diadili di ruang peradilan, keluarga itu tetap memegang teguh keimanan mereka. Fir'aun bahkan mengancam akan menghukum seluruh keluarga Masyitoh, termasuk bayinya yang belum genap satu tahun.
Hukuman cambuk terbukti tidak berhasil. Baik Masyitoh, Obed dan kedua anaknya tidak takut untuk tetap mempertahankan prinsip mereka. Fir'aun pun marah besar. Diputuskanlah untuk mencemplungkan keluarga itu ke dalam belanga berisi timah yang mendidih. Dan, ancaman maut terbuti tidak menggoyahkan keimanan Masyitoh:

"Daripada harus meninggalkan kepercayaan  hamba kepada Allah yang bersifat Rahman serta Rahim, yang telah menjadi sesembahan leluhur hamba, Ibrahim, hamba lebih baik memilih cairan timah mendidih…" (halaman 101)
Dan, inilah bentuk pengorbanan yang tiada taranya, luar biasa tak tertandingi di mana seorang hamba telah merelakan jiwa, raga, dan hartanya hanya kepada Tuhannya. Ini bukanlah sebuah kekonyolan, tapi bukti keteguhan hati seorang Masyitoh yang lebih memilih mempertahankan akidah ketimbang harus hidup menanggung malu dan pengkhianatan. Bukti keteguhan hati Masyitoh dan keluarganya itu muncul dalam bentuk yang sedemikian dahsyat, yang bahkan mampu membungkam mulut Fir'aun dan segenap antek-anteknya. Ketika Masyitoh hendak dicemplungkan ke dalam timah mendidih, bayi dalam gendongannya tiba-tiba berhenti menangis dan berkata:
"Ibu, Ayah, janganlah bimbang janganlah ragu", kata bayi itu. "Sebab cairan timah tidaklah panas  kendatipun mendidih. Yang panas hanya dalam sangkaan, takkan terasa oleh orang yang sudah tunggal rasa, erat berpaut tauhid dengan Allah yang Mahaagung." (halaman 102).
Luar biasa kecintaan Masyitoh kepada Tuhannya. Luar biasa pula seoang Ajip Rosidi yang mampu menceritakan ulang kisah tentang pengorbanan ini dengan begitu apik sekaligus klasik. Penggunaan kata-kata yang dulu pernah populer di tahun 1960-an, bukannya mempersulit, malah semakin membuat saya betah membaca buku kecil ini. Rasa klasiknya benar-benar terasa dengan penggunaan diksi dan struktur kalimat yang mungkin hanya bisa kita baca dalam roman-roman angkatan 45 ke bawah.
Penggambaran cerita juga begitu hidup, lengkap dengan aneka nasihat yang mungkin sengaja ditambahkan oleh pengarang sebagai "bonus" kebijakan yang hendak ia bagi dengan pembaca. Hal ini tampak dalam bagian ketiga, ketika Bapa Simeon tengah membahas tentang Bani Israel agar berani bertindak melawan penindasan yang mereka terima dari bangsa Mesir. Bahwa pertolongan Tuhan (diutusnya Nabi Musa) hanya akan datang ketika bangsa Israel mau berjuang dan berupaya untuk mengubah nasibnya terlebih dahulu. Sebuah buku yang luar biasa dan wajib dikoleksi sebagai bagian dari khazanah kekayaan sastra-religius bangsa ini.
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on November 06, 2011 17:42

The Boy Sherlock Holmes, Eye of the Crow

Judul               : The Boy Sherlock Holmes, Eye of the CrowPengarang       : Shane PeacockPenerjemah      : Maria LubisPeny. Aksara   : AnantaIlustrasi isi       : Sweta KartikaCetakan           : I, Oktober 2011Tebal               : 351 halamanPenerbit           : Qanita


            Kita mungkin sudah mengenal siapa dan bagaimana sosok Sherlock Holmes, seorang tokoh fiksi ciptaan Sir Artur Conan Doyle yang telah begitu rupa menginspirasi munculnya genre novel detektif  dalam sejarah. Tingkah polah Holmes bersama sahabatnya, Dokter Watson, begitu mempesona jutaan pembaca melalui detail penceritaan yang luar biasa akurat, teknik pemecahan kasus yang begitu dahsyat, serta kejutan-kejutan yang sungguh memikat. Jika Anda sempat membaca novel Sherlock Holmes dalam edisi bahasa Inggris yang asli, Anda pasti akan mampu merasakan bagaimana kalimat-kalimat yang dituliskan oleh Conan Doyle melalui pengamatan Dr. Watson begitu klasik dan mengagumkan. Tapi, tidak ada orang yang sempurna. Terlepas dari kehebatan analisanya, Sherlock Holmes juga memiliki kebiasaan-kebiasaan yang mungkin bisa dibilang aneh atau nyentrik. Ia seka sekali mengisap madat, terutama kalau tengah mengalami kebuntuan dalam berpikir atau menemui masalah. Detektif ini juga sering menghilang tiba-tiba, menyuruh kliennya melakukan sesuatu yang aneh dan tak terbayangkan, bahkan kadang juga terlalu egois serta penyendiri.
            Masa kecil Sherlock Holmes lah yang oleh Shane Peacock kemudian coba ditelusuri. Sifat dan kepribadian Sherlock Holmes yang nyentik pastinya dibangun oleh masa kecil dan masa remajanya yang kemungkinan juga "tidak biasa". Pembaca tidak pernah tahu, kecuali sedikit, dari masa lalu detektif ulung ini sehingga bagian inilah yang menawarkan eksplorasi menarik untuk dijelajahi, untuk coba diraba-raba. Novel seri The Boy Sherlock Holmes ini adalah salah satu yang terbaik dalam upaya menghidupkan kembali masa muda detektif fiksi legendaris ini.
            London pada abad kesembilan belas adalah kota yang luar biasa padat dan berkabut. Entah kabut akibat asap cerobong pabrik produk Revolusi Industri ataupun memang karena cuaca London yang identik dengan hujan dan kabut, serta lampu gas, kota ini menawarkan setting yang tepat untuk membangun sebuah kisah misteri dan detektif. Di kota inilah seorang bocah kecil tengah digodok dengan kasus pertamanya, sebuah persiapan untuk membentuknya menjadi seorang pengamat sejati. Sejak kecil, Sherlock muda telah dianugerahi dengan mata yang awas serta pikiran yang luar biasa tajam. Ia mampu mengamati orang-orang dan dengan tepat menyimpulkan apa pekerjaannya, di mana tempat tinggal dan asalnya, apakah ia sudah menikah atau belum; hanya dengan melihat sepatunya. Kemampuan analisa ini rupanya diwarisi dan diajarkan oleh ayahnya.
            "Pengamatan", Wilber selalu berkata. "bukan hanya suatu keahlian primer seorang ilmuwan, tapi bakat mendasar makhluk hidup. Gunakan matamu sepanjang waktu Anakku. Matamu tidak akan berbohong kepadamu jika kamu benar-benar berfokus. Gunakan seluruh indramu; pendengaran, penciuman. Perasa, dan peraba. … Melihat segala hal dengan saksama adalah kekuatan yang sangat besar. Itu akan memberimu kekuatan, bahkan meskipun nasib terasa melemahkanmu. (hlm 99)
            Kasus pembunuhan di  sebuah lorong gelap di sudut kota London adalah kasus pertama yang ia tangani. Suatu kasus yang luar biasa, yang bahkan sampai menjebloskan ia ke penjara dan terpaksa bermain-main dengan sang pembunuh yang kejam. Sudah bisa kita tebak, Sherlock berhasil memecahkan kasus ini dengan brilian. Ia berhasil menyelamatkan nyawa seorang tukang daging yang tidak bersalah, namun untuk itu, Sherlock juga harus menanggung kehilangan yang sangat besar di akhir cerita. Sebuah pengalaman traumatis yang mungkin kelak akan turut membentuk sosok Sherlock Holmes yang nyentrik, suka madat, dan cenderung  penyendiri.
            Melalui kemampuan pengamantannya, Shelock berhasil melarikan diri dari penjara. Caranya pun sangat unik dan tak terbayangkan. Lalu, pembaca akan diajak untuk menyusuri lorong-lorong gelap kota London, di mana kabut menyembunyikan bangsawan yang mabuk, wanita kelas atas yang senang berkeliaran, pengemis dan orang-orang asing, serta pembunuh itu sendiri. Ketika polisi kemudian menangkap orang yang keliru, Sherlock muda menemukan bukti tak terbantahkan lewat mata kawanan burung gagak. Yah, burung-burung itu menyaksikan pembunuhan itu. Sherlock juga mendapat bantuan dari anak-anak jalanan, yang hingga ia menjadi detektif hebat kelak, akan tetap menjadi sumber informasi dari "jalur belakang"nya yang sangat terpercaya. Sherlock kemudian juga menyamar untuk menghindari polisi sekaligus menyelidiki, yang hal ini menjelaskan kehebatan Sherlock Holmes dewasa yang sangat piawai dalam menyamar. Jika bakat pengamatan diwarisi dari ayahnya, maka penyamaran adalah bakat yang diturunkan oleh ibunya.
            Berani menjamin, pembaca akan terbawa kembali ke masa ketika Conan Doyle mengetikkan naskah Sherlock Holmes yang asli di abad ke-19 ketika membaca kutian berikut,
            "…Jika  kau memikirkan solusinya dulu sebelum berurusan dengan suatu masalah ilmiah, kau mengerjakannya secara terbalik. Kita membutuhkan fakta-fakta, Irene. Setelah memiliki sekumpulan petunjuk, sebuah jejak yang bisa kita ikuti, kita bisa menemukan solusinya." (hlm. 166).
            Sungguh hebat, The Boy Sherlock Holmes menawarkan pilihan masa muda dari sang detektif legendaris ini dengan begitu hidup. London dengan kabut, lampu gas, dan kereta kudanya, semuanya diterapkan sebegitu canggih oleh Shane Peacock sebagai properti fiksi yang tidak boleh tidak terpakai dalam karya-karya berbau Holmesian. Saya menyarankan novel ini sebagai bacaan pengiring bagi Anda yang telah membaca habis seluruh seri petualangan Sherlock Holmes dan menginginkan versi lebih detail dan lebih utuh dari kehidupan salah satu master detektif terhebat dalam sejarah fiksi dunia ini.
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on November 06, 2011 17:41