Dion Yulianto's Blog
November 11, 2012
Gembira Ria dan Kalap di Jogja Book Fair Nov 2012

Pesta Buku kembali menyambangi kota Jogja untuk yang kesekian kalinya. Terlepas dari banyaknya pameran buku (baca: obralan parah) yang sudah sering menggoda dompet para penimbun, Jogja Book Fair 2012 ini unik dan juga sangat berbeda dari obralan-obralan buku sejenis yang sering kita liat di toko-toko itu. Dengan tema “Buku Menciptakan Masa Depan”, ajang ini bukan sekadar sarana penerbit menghabiskan stok gudang dengan diskon yang benar-benar “rusak”, Jogja Book fair juga menjadi ajang bertemunya seluruh pelaku, penikmat, pembuat, penulis, pecinta, dan tentu saja penimbun buku eaaaa.
Untuk moment JBF kali ini menurut saya kurang seramai JBF Februari 2012 lalu yang begitu “Jogja”. Jika di pamrean sebelumnya kita bisa melihat meniatur tugu dan juga gunungan buku, maka di event kali ini hanya ada gerbang buku dan pameran lukisan. Tapi, ada satu pemandangan menarik yang menyambut di pintu keluar, yakni becak buku. Becak berisi buku ini ibaratnya perpustakaan keliling tapi dengan dikayuh. Hebat bener ya pak pengayuhnya. Sekitar dua minggu lalu, becak ini berkeliling kota Joga dan berhenti di titik-titik tertentu agar masyarakat luas bisa ikut membaca buku-buku yang ada di becak buku ini.
Ini foto becak buku tersebut:

Dan ini foto saya yang ganteng bersama si becak buku *dilempar ban bekas

Kebetulan, saya dan Desty berjanji untuk mengunjungi pameran pada hari ketiga, yakni Jumat (9/11/2012) malam, bertepatan dengan bedah buku agak Uhuk Uhuk alias Sweet Sins terbitan kantor sendiri. Sekali masuk, dua atau tiga timbunan pun di dapat, itulah motto saya waktu itu. Di samping bisa kalap, sekaligus bisa menghadiri acara peluncuran buku kantor. Jadilah saya ketemuan sama mbak Desty di panggung utama. Perlu saya jelaskan bahwa sebelumnya saya kejar tayang ke InteeshirT demi mengerjakan kaos BBI. Jadinya, janji awal ketemuan jam 6 jadi molor hingga jam 6.45.
Ini si penulis The Sweet Sins yg dipadukan sama Herlinatiens, penulis Garis Tepi
[image error]
Baru bertemu mbak Desty, saya sudah disodorin boxset titipan mbak Peni dan mbak AS. Dewi. Dan, beliau juga menunjukkan hasil kalapnya sore itu (yang asli bikin mengiler) dari stan Yayasan Obor Indonesia. Setelah puas menyaksikan bedah buku itu, kami memulai ritual kebangaan BBI, apalagi kalo bukan muter-muter demi mencari buku bacaan (dan menambah timbunan). Ternyata, walau stan ngak sebanyak di IBF, tapi godaan yang ditawarkan sama saja besarnya sehingga mbak Desty kalap juga hihihi.
Berikut ini pemandangan-pemandangan bagus yang pasti akan membuat para pecinta buku kumat penyakitnya hihihi.
Hah ada ya buku serebuan?

Yang ini tiga rebuan hmmmm

Nah ini hasil kalap saya



Eh nemu buku ini juga

yang ternyata adalah buku:

Rata2 buku di atas seharga 5k -20k, paling mahal adalah Sampar yang 33k.
Seneng, dapat pengalaman baru, plus bisa mendapat buku bagus dengan harga rusak, itulah keindahan mengunjungi book fair.
horeeee \(^0^)/
Published on November 11, 2012 18:58
November 1, 2012
The Enchantress (The Secret of Nicholas Flammel #6)
#AWAS SPOILER BERTEBARAN#
Judul : The Enchantress (The Secret of Nicholas Flammel #6)
Pengarang : Michael Scot
ASIN : B005KB0VLW
Terbitan : May 22nd 2012
Penerbit : Delacorte Books for Young Readers
Edisi : Kindle Edition, 416 pages

Susah untuk mereview seri terakhir dari novel Nicholas Flammel ini karena dipastikan #spoiler alert bertebaran di mana-mana. Apalagi, terjemahannya belum terbit dalam bahasa Indonesia, sehingga dengan bekal kamus dan mata yang prima, saya pun memelototi layar monitor demi membaca versi ebooknya. *Untungnya, dengar2 seri terakhir ini akan diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh Mahda Books*
Ceritanya msh nyambung sama The Warlock *ya iya donk* ketika si kembar bersama Dee dan V. Dare terlempar ke masa 10.000 tahun yg lalu, ke Danu Talis beberapa hari sebelum pulau pusat peradaban itu hancur dan tenggelam. Mereka bertemu dengan Isis and Osiris--dewa Mesir yang disebut2 sebg Tetua Gelap yang diikuti oleh Dee, maka terjawab sudah siapa majikan Dee. Dan Osiris dan Isis ini ternyata jg ortu dari si kembar? Tapi Osiris marah dan mengambil keabadian Dee sehingga ia jd orang tua yang sangat uzur. Tapi, ada twist menarik di bagian ini, yakni ketika Dee dan Virginia Dare menemukan apa sebenarnya takdir mereka--yakni sebagai pahlawan Oops *digebukin pembaca karena spoiler

Sementara, di San Fransico juga terjadi pertarungan. Niten dan siapa itu yang dewa api Yunani (skligus sodaranya Penyihir Endor) berupaya menghadang monster2 kiriman Bastet dan Xoxoacotcal *aduh susah* yg hendak menyeberang Jembatan Golden Gate dan menyerbu kota. Sementara di Alcantraz, pasangan Flammel bersama Odin, Mars, Het, Machiaveli, dan Billy the Kid bahu membahu melawan monster2 ganas yg terlanjur dikurung si Dee. Agak sedih juga sih melihat beberapa dari mereka terpaksa gugur, tapi mereka gugur dgn terhormat *wadoh spoiler lagi* ditinju

Lalu si kembar? ternyata di akhir kisah ini terjawab sudah ramalan dari "satu akan menyelamatkan dunia, satu akan menghancurkan dunia". yang dimaksud dunia di sini adalah *********, jd memang harus dihancurkan agar dunia bisa ditempati oleh generasi setelah para tetua: Kaum Humani.
Salah satu alasan mengapa serial dengan cerita yang sebenarnya kurang "garang" dan narasi yang terlalu lebai ini bisa sukses di pasaran adalah kepiawaian si penulis. Michael Scot jago banget dalam meramu dan mengkait-kaitkan berbagai peristiwa besar dalam sejarah sebagai hasil dari pertempuran antara Tetua Gelap dengan para tetua, next generasion, dan manusia abadi yg memihak manusia. Misalnya saja, peristiwa meletusnya Gunung Etna di Eropa dikait-kaitkan dengan aura besar yang keluar saat Perenelle dan Machiavelli saling bertempur. Di instalment terkahir ini, Danu Talis (a.k.a Atlantis) hancur dan tenggelam ke dasar samudra karena efek dari banyaknya aura para Tetua yang saling bertarung di atasnya, juga terutama aura Emas si Josh yang luar biasa.
Masih dengan gaya bahasa yg sama, di buku keenam ini M. Scott agak berlebai lebai dalam menarasikan tokoh-tokohnya
... Dia yang dipuja di berbagai kebudayaan sebagai dewa ini dan dewa itu, Mahkluk yang pernah berjalan di muka bumi ribuan tahun lalu, monster2 yang hanya muncul di mimpi buruk, pejuang yang tak terkalahkan ... bla bla bla
Tapi, adegan perangnya sangat kurang dan tidak menggambarkan kehebatan dari narasi-narasi tersebut. Masih ingat kan di buku ketiga, The Sorceress, ketika Archon agung yg pernah ditakuti para Tetua di masa kuno bisa takluk dengan mudahnya oleh Josh yg masih "belajar" sihir .
Tapi, yg paling dan masih menarik dr seri ini adalah betapa uniknya si penulis dalam memadukan tokoh dan peristiwa nyata dalam sejarah dengan cerita fantasi tentang sihir dan dewa-dewi. Tentang Atlantis, ttg dewa dewi dunia kuno, tentang para tokoh besar namun misterius dalam sejarah, semuanya seolah hendak dikaitkan oleh M. Scott dalam benang merah yang sama. Juga, tentang mitos dan legenda, budaya dan peninggalan kuno, serta purwarupa UFO di zaman India Kuno; semua itu adalah misteri yang hangat dan selalu dicari dalam ranah konspirasi dunia kuno, dan penulis berhasil menggunakannya sebagai bahan untuk novelnya. Inilah yg membuat seri ini--walaupun jelas ngak sedahsyat Harpot--cukup menyedot banyak perhatian pembaca dunia. Ditambah dengan cover sampulnya, yg mungkin terinspirasi oleh Codex Abraham the Mage, adalah revolusi baru dalam dunia persampulan novel dunia :p
Lima bintang karena saya suka ide dan kreativitas dan kekayaan pengerahuan sejarah sang penulis, walaupun seri pamungkas ini tidak sedahsyat yang diharapkan.
Semoga, terjemahannya segera diterbitkan agar rak buku kami bisa dihiasi dengan sampulnya yg indah #eh(less)
Kutipan-kutipan yang saya suka dalam buku ini:
"Words can be false, images and sounds can be manipulated. But this …” He tapped Josh’s chest. “This is always true.” (Dr. John Dee)
"Because we all have our roles to play in saving the world."

Published on November 01, 2012 18:53
October 31, 2012
ParaNorman
Judul : ParaNormanPengarang : Elizabeth Cody KimmelIlustrator : Ross StewartPenerjemah : Reni IndardiniPenyunting : Rina WulandariCetakan : Agustus 2012,Penerbit : Mizan Fantasy

“Tidak ada salahnya merasa takut, Norman, asalkan kau tidak membiarkan rasa takut mengubah dirimu.” (hlm 97)
“Terkadang ketika orang-orang sedang takut sekali, mereka mengatakan dan melakukan hal yang buruk. Kita semua berbuat begitu kadang-kadang.” (hlm 229)
Apa yang kira-kira akan kamu lakukan ketika tidak ada seorangpun yang mau mempercayaimu, bahkan termasuk orang tua dan saudaramu sendiri, padahal kamu benar-benar tidak sedang berbohong? Abai, cuek, dan tetap menjalani hidup dengan apa adanya, seperti itulah yang dilakukan oleh Norman Babcock. Bocah SD ini memang special karena kelahirannya juga spesial. Konon, seluruh lampu di bangsal bersalin mendadak konslet dan anjing-anjing di sepenjuru kota serempak melolong dan muncul pelangi berbentuk tanda tanya di langit, semua itu terjadi tepat dengan waktu kelahiran Norman ke dunia. Dan, sebagai buktinya, Norman memang dapat melihat hantu dan bahkan berkomunikasi dengan mereka.
Sayangnya, bakat ini dianggap aib oleh keluarga dan teman-temannya. Jika dipikir-pikir, siapa sih yang tidak pingsan di tempat kalau ada orang yang bisa memberi tahu kita bahwa di perempatan yang itu ada hantu korban kecelakaan yang mengemudikan mobil hantu, atau di cabang pohon yang besar di sana itu ada arwah penasaran yang mengulang-ulang ritual yang sama setiap hari. Elizabeth Cody Kimmel, yang juga penulis seri buku Suddenly Supernatural rupanya masih membawa konsep yang sama dalam ParaNorman ini, yakni tentang seorang medium atau individu yang memiliki bakat untuk melihat dan berkomunikasi dengan arwah, yang kemudian bertugas untuk membantu para arwah penasaran itu menyelesaikan urusan yang belum selesai di dunia. Mungkin tema dan jalan ceritanya terdengar mengerikan. Tapi, yakinlah bahwa penulis yang satu ini sangat piawai menjadikan dunia supernatural yang kelam menjadi sesegar dunia remaja yang konyol dan membuat orang menepuk jidatnya sendiri.
Kembali kepada Norman. Suatu hari, Norman mendapat peringatan dari seorang hantu mantan penjaga kuburan bahwa tepat pada malam perayaan pengadilan penyihir yang ke-300, akan ada serangan zombie ke kota tercintanya. Kota Blithe Hollow memang memiliki sejarah kelam dengan pengadilan penyihir sebagaimana yang terjadi di kota Salem tahun 1700 -1800-an. Salah seorang terduga penyihir konon mengutuk tujuh juri yang mendakwanya sebagai penyihir, menjadikan mereka tewas secara mengenaskan untuk kemudian dibangkitkan lagi pada perayaan ke -300 kota Blitte Hollow.
Sayangnya, tidak ada yang percaya dengan peringatan Norman bahwa zombie-zombie akan menyerbu kota malam itu. Maka, ia pun memutuskan untuk mengatasi masalah berbau supranatural ini sendirian. Dan, ketika para zombie itu benar-benar menyerang kota, sudah terlambat bagi Norman untuk memperingatkan seluruh warga. Dengan dibantu teman, mantan musuh, tetangga, dan juga kakaknya (yang super judes dan bawel), kelompok anak-anak ini harus bahu membahu menyelamatkan kota dari serangan para zombie. Dan, pada akhirnya, Norman pun dihadapkan pada satu tugas yang hanya dia sendiri yang mampu melakukannya. Sebuah tugas berbau supernatural yang akan menyingkap sejarah kelam dari pengadilan penyihir kota Blitte Hollow 300 tahun sebelumnya.
ParaNorman ditulis oleh Elizabeth Cody Kimmel, sang pengarang seri Suddenly Supernatural, berdasarkan naskah film versi animasinya yang ditulis oleh Chris Butler. Novel ini diluncurkan berbarengan dengan rilis film 3 dimensinya di AS bulan Agustus 2012 lalu. Walau kesannya mengerikan, yang mengingatkan pada seramnya film-film zombie tahun 1980-1990-an (semisal Night of the Living Dead—yang kebetulan juga disukai Norman), buku ini benar-benar jauh dari kesan horor. Malahan, kesan horor yang mungkin timbul langsung segera ditepis oleh si pengarang lewat celetukan-celetukan Norman yang konyol. Belum lagi kehadiran Courtney—kakak perempuan Norman—yang alaynya minta ampun. Kehadiran-kehadiran para remaja alay inilah yang membuat ParaNorman begitu menyenangkan—alih-alih menyeramkan—untuk dibaca dan ditonton.
Penulisannya juga sangat segar, khas film-film slapstick model Amerika dengan tingkah para remaja yang “ngak penting banget”. Ada adegan di mana sesosok vampire mengapai-gapaikan tangannya yang hanya tulang ke rambut Courtney. Bukannya takut atau menjerit ngeri, si Courtney ini malah marah-marah dan memukul balik si zombieyang dianggapnya merusak rambut indahnya yang susah-susah ia rawat di salon. Padahal, saat itu ia sedang satu mobil bersama calon pacar idealnya (tidak perlu disebutkan bahwa mobil itu dibuntuti oleh tujuh zombie yang bergerak mengerikan ke arah kota dan salah satunya tengah nangkring di atap.
Pada akhirnya, buku horor namun konyol ini memang diperuntukkan bagi remaja. Tentang kepercayaan pada kemampuan diri sendiri, tentang menjadi dirimu sendiri, dan tentang pengeahuan bahwa selalu ada teman yang bersedia membantumu di luar sana. Inilah nilai-nilai yang seharusnya dipelajari dan dipegang teguh oleh para remaja.
“Semua orang kadang butuh bantuan. Jangan pernah takut meminta pertolongan. Untuk itulah kau mempunyai keluarga dan teman. Itulah yang terpenting.” (hlm 97) “Selalu ada seseorang di luar sana yang bersedia mendampingimu. Di suatu tempat. Kau semata-mata harus memperkenankan mereka membantumu.” (halaman 231)
Published on October 31, 2012 20:39
October 30, 2012
Seratus Tahun Kesunyian
Judul : Seratus Tahun KesunyianPengarang : Gabriel Garcia MarquesPenerjemah : Nin Bakdi SoemantoPenyunting : WendratamaCetakan : Pertama, Mei 2007Halaman : 547Penerbit : Klub Sastra Bentang

Luar biasa! Begitulah kesan saya (dan juga kesan rata-rata pembaca lainnya) yang berhasil menamatkan pembacaan novel 100 Tahun Kesunyian karya pemenang Nobel sastra Gabriel Garcia Marques ini. Bukan karena tebalnya yang lebih dari 500 halaman dengan font padat dan rapat serta paragraf yang bisa satu halaman panjangnya. Bukan pula karena pohon keluarga Jose Arcadio Buendia dan Ursula Iguaran yang begitu panjang dengan penggunaan nama-nama yang berulang. Ada sesuatu yang sangat spesial dari novel ini, yang memusingkan dan ruwet. Tapi, membacanya seperti menemukan pesona luar biasa dari kepiawaian sang penulis dalam meramu cerita.
Pada garis besarnya, buku ini adalah tentang Jose Arcadio Buendia dan Ursula Iguaran beserta ketujuh generasi anak-keturunan mereka. Kisah dimulai ketika Jose Arcadio Buendia membuka kota Macondo di kawasan rawa-rawa tak terjamah—dan perkembangan kota Macondo sendiri seperti mengikuti alur dari kisah keluarga Buendia. Kegilaan Jose Arcadio Buendia terhadap mitos-mitos lama, seperti batu alkemi dan magnet, akhirnya menurun pada dua anak laki-lakinya: Jose Arcadio dan Aureliano Buendia (Mereka juga punya anak perempuan bernama Amaranta). Sementara ayahnya menjadi gila dan dikekang di bawah pohon, kedua putranya ini juga sibuk dengan kegilaan masing-masing. Baik Aureliano dan Jose Arcadio kemudian jatuh cinta pada perang dan pemberontakan. Mereka bergabung dengan gerilyawan melawan Pemerintah, dan berkali-kali mengalami ketidakberuntungan dengan obsesi mereka akan perang.
Hanya Aureliano Buendia yang bisa dibilang berhasil dalam hal ini. Ia telah menjadi semacam pahlawan kaum pemberontak dan namanya dipuja-puji puluhan tahun setelah tidak aktif lagi. Orang ini juga lebih beruntung karena berumur lebih panjang daripada Jose Arcadio dan juga berhasil “membuahi” belasan wanita sehingga ia memiliki sekitar 17 anak laki-laki beda ibu yang semuanya dengan bangga menyandang nama Aureliano. Pada akhirnya, ke-17 pemuda ini juga mengalami ketidakberuntungan, rata-rata mati muda.
Kemudian, saudaranya si Jose Arcadio memiliki istri, yakni Rebecca. Tapi, ia malah membuat keturunan bersama wanita nakal Pilar Ternera. Putranya diberi nama Arcadio. Nah Arcadio ini kemudian beristrikan Santa Sofia de la Piedad dan menghasilkan 3 anak, yakni Remedios, Aureliano Segundo, dan Jose Aureliano Segundo. Remedios ini diceritakan sebagai gadis yang sangat cantik, yang bahkan keberadaannya saja sudah cukup membuat para pria muda sakit jantung. Begitu cantiknya sampai alam pun jatuh hati dan mengambilnya. Suatu siang, ia dibawa terbang oleh angin saat tengah membawa selendang jemuran (????). Aureliano Segundo rupanya menuruti jejak ayahnya. Ia juga terlibat dalam perang dan kemudian (sebagaimana lainnya) gugur. Tapi, ia sempat beristrikan Fernada yang kemudian memberinya tiga anak. Sementara, anak ketiga dari pasangan Arcadio + Santa Sofia de la Piedad, yakni Jose Aureliano Segundo entah nasibnya bagaimana saya lupa dan tidak mampu melacaknya.

Lanjut ya, Aureliano Segundo dan Fernanda punya tiga putra, walaupun pada kenyataannya Fernada sendiri yang membesarkan ketiganya karena suaminya yang terobsesi perang akhirnya ditembak atau kalau ngak dieksekusi. Tiga putra ini adalah Jose Arcadio (yang kemudian disekolahkan ke Roma agar bisa menjadi Paus tapi sialnya ia malah jd gelandangan dan kembali ke Macondo hanya untuk ditenggelamkan oleh remaja-remaja berandalan yang hendak merampok harta karun temuannya), Renata Remedios (yang disekolahkan ke sekolah Katolik tapi akhirnya hamil di luar nikah dan akhirnya diasingkan oleh Fernanda ke biara yang jauh), dan Amaranta Ursula (mungkin satu-satunya anak wanita keluarga Buendia yang benar-benar berhasil menikah dan menjadi wanita terhormat). Renata Remedios meninggalkan anak dari hubungan di luar nikahnya dengan seorang pekerja kayu muda (yng juga mati muda). Anak itu dinamai Aureliano dan dirawat oleh Fernanda dan sampai besarnya ia menjadi seorang kutu buku yang suka mengurung diri di kamar rahasia milik kakek buyutnya, Jose Arcadio Buendia. Sementara, Amaranta Ursula yg berhasil menikah dengan orang Eropa akhirnya juga memiliki bayi laki-laki yang dinamai dengan …errr… Aureliano.
Pada akhirnya, trah keluarga Buendia pun menghilang seiring dengan kegilaan-kegilaan serta ketidakberuntungan mereka. Aureliano (anak dari Meme/Renata Remedios) adalah satu-satunya keturunan yang menyaksikan sisa-sisa terakhir dari keluarga Buendia menghilang sebagaimana kata ramalan. Ketika Amaranta Ursula meninggal saat melahirkan Aureliano (bayi), maka Aureliano yang kutu buku (halah bingung!) kalut dan pergi menyusuri kota Macondo yang juga kian kumuh dan lesu seiring dengan habisnya generasi ketujuh keluarga Buendia. Ketika ia kembali, Aureliano dewasa menyaksikan sendiri Aureliano bayi digondol kawanan semut sebagaimana kata ramalan. Ia sebagai keturunan terakhir, menjadi saksi habisnya kota Macondo yang setelah itu tersapu bersih oleh angin puyuh dan kemudian hilang dalam ingat orang-orang. “Karena ras-ras manusia yang dikutuk selama seratus tahun kesunyian tak punya kesempatan kedua di muka bumi ini.” (hlm 547)
Anda pusing? Jangan khawatir karena saya sendiri kadang pusing mengingat nama-nama keluarga Buendia yang hampir mirip. Kelakuan mereka—terutama kaum prianya—juga mirip sehingga ujung-ujungnya mereka habis dalam cara yang cukup tragis. Satu-satunya pria yang agak waras mungkin Aureliano yang putranya Meme. Sementara, topang utama dari keluarga itu sesungguhnya adalah Ursula, yang sejak masa ketika suaminya Jose Arcadio Buendia menjadi gila, menjadi sati-satunya orang waras di rumah itu. Dengan segala kegilaan dan absurbitas dalam cerita ini, tidak heran jika 100 Tahun Kesunyian memang masuk sebagai buku yang sulit dipahami. Jangankan saya, Wikipedia saja memberikan definisi yang njilmet untuk novel ini:
“Cerita ini jelas mengandung kenyataan yang magis, namun lebih dari itu, karena juga merupakan sebuah refleksi filsafati tentang hakikat waktu dan keterasingan. Sejumlah kritikus mengatakan bahwa buku ini kurang mengandung sifat cerita rakyat, yang merupakan prasyarat dari realisme magis, karena itu tidak dapat dikategorikan demikian…. Nilai novel ini terletak bukan hanya dalam penggunaan realisme magis yang inovatif, tetapi juga penggunaan bahasa Spanyolnya yang indah. Buku ini adalah sebuah tulisan epos yang merentang selama beberapa dekade dalam kehidupan sebuah keluarga yang besar dan kompleks.”

Sepenangkapan saya, penulis menggunakan novel ini untuk mengkritik munculnya kerajaan-kerajaan atau negara-negara baru di kawasan Amerika Selatan dan Tengah selepas perang dunia pertama. Di mana, banyak dari negara-negara itu dipimpin oleh tiran yang gemar berperang dan mabuk kekuasaan. Sebagaimana nasib keluarga Buendia dan kota Macondo yang akhirnya habis, mereka yang terobsesi pada perang, kekuasaan, dan kesenangan duniawi (dalam novel ini dilambangkan oleh seks dan wanita) pada akhirnya akan hancur.
Ditambah dengan segala absurbditasnya, novel ini memang luar biasa jika dibaca oleh orang yang tepat, yang akan mampu lebih memahami berbagai perumpamaan dan maksud dari sang penulis. Sayangnya, saya hanya baru bisa sampai para tahap menikmati, belum bisa menemukan permata-permata kebijaksanaan itu. Pembaca yang lebih cerdas pasti akan menemukan banyak harta dan kebijaksanaan dari novel ini. Sebagaimana kata penjual buku dari Catalan yang menjadi langganan dan teman dari Aureliano.
“Dunia ini tentu sudah bobrok. Ketika orang bepergian dengan kereta kelas satu, tetapi kesusastraan diperlakukan seperti barang.” (hlm 525)
Ada banyak sekali kejadian tidak masuk akal dalam keseharian keluarga ini, yang seolah merupakan sesuatu yang bias. Benar-benar absurb kalau kita mempertanyakan ini dan itu saat membaca novel berat ini. Dinikmati saja, biarkan cerita mengalir dengan sendirinya, itulah kunci untuk bisa merampungkan pembacaan novel luar biasa ini. Saya mampu bertahan menyelesaikan novel berat ini salah satunya karena terhemahan Nin Bakdi Soemanto yang luar biasa menawan, luwes, dan indah. Bahkan dengan mengabaikan ceritanya yang absurb, saya masih bisa menikmati keindahan detail dan kelancaran bercerita dari penulis aslinya. Salut untuk penerjemahnya.
Tentang Pengarang

Gabriel José García Márquez (lahir 6 Maret 1928) adalah seorang novelis, jurnalis, penerbit, dan aktivis politik Kolombia. Ia dilahirkan di kota Aracataca di departemen Magdalena, namun hidupnya kebanyakan dijalaninya di Meksiko dan Eropa. Saat ini ia banyak menghabiskan hidupnya di Mexico City. García Márquez secara umum dipandang sebagai tokoh utama dari gaya sastra yang dikenal sebagai realisme magis. Novelnya yang paling terkenal, Seratus Tahun Kesunyian, ditulis pada tahun 1976 dan telah terjual lebih dari 10 juta eksemplar. Ia juga dianugerahi Penghargaan Nobel Sastra pada 1982 berdasarkan cerita-cerita pendek dan novelnya.
Published on October 30, 2012 19:00
October 29, 2012
Semua Karena BBI

Saya ingat betul, waktu itu pertama kali dikomporin gabung ke BBI sama Ally dan Ine, kalau nggak salah bulan April (eh Mei kali ya) tahun 2011. Pokoknya cowoknya dulu cuma Rahib @htanzil dan saya doank hehehe. Awalnya sih agak berat karena kudu beli dan baca buku yang bukan genre saya, tapi karena banyak temen2 BBI yang menyemangati dan mereka juga semangat, maka saya pun ikutan semangat. Waktu itu, buku pertama saya yang jadi proyek baca bareng BBI adalah The Count of Monte Cristo by Alexander Dumas. Seingat saya, waktu itu saya belum suka novel klasik (digebuki mbak Fanda), tapi setelah menyelesaikan novel yg tebal dan kelam itu, saya mulai merasakan benih-benih keterklasikan halah …
Maka, segeralah saya berlari menyongsong dunia novel klasik yang ternyata sangat memorable dan timeless itu

Kini, sudah lebih dari setahun BBI berdiri, dan semoga ke depannya BBI makin eksis, makin dikenal, dan makin banyak tawaran buntelan. Yg jelas, ada banyak sekali keuntungan yang saya dapatkan setelah menjadi member BBI:Bisa berkenalan dengan orang-orang hebat dalam dunia perbukuan, seperti mbak Truly, Rahib, mbak Dina Begum, mas Scriptozoid, mbak Fanda yng jagonya klasik, dan banyak lagiPunya teman sejati dalam dunia baca yang dulu selalu saya anggap sepi. Dulu,sehabis menyelesaikan buku bagus, saya hanya bisa memendamnya sendiri. Tapi kini semuanya berubah setelah negara api menyerang eh waduh … tapi kini segalanya berubah setelah saya gabung ke BBI. Ada banyak teman, saudara, dan karib yang menyenangkan di sana, yang sama-sama mencintai dunia buku

3. Ketemu teman yang beraneka rupa tapi selalu menyenangkan:
Ren sama Hobby Buku yang rajin parah, Sulis si Ratu Romance, Mbak Truly yg ratu buntelan, Luckty yang pustakawin (eh), mbak Astrid yng begitu baiknya sampe kirim dua kado SS, Balon Biru seteru dalam ordo buntelan, Oky dan Desty yg kini jd teman2 baru saya di Jogja, mas Tezar dan Jamal juga Gea dan mas Helvry sebagai sodara2 baru saya.
Alvina, sahabat sehati saya dalam menimbun buku, Melisa yang udah janji mo ngajarin saya naik mobil, mbak Busyra dan Dani yang selalu siap dititipin obralan, suhu Tanzil yang amazing tapi sering ngajak rusuh (eh maaf lo suhu), Ine dan Bea dan Esy juga Adrian—sodara2 seperbukuan saya yang berbaik hati menampung saya saat di Jakarta (see you at IBF). Sekar yang kecil2 tapi sangat dewasa, mbak erdeka, lyla cylcis, serta mbak Mute nun jauh di sana ; salam buku!
Juga Annisa dan mbak Peni yang warga Bandung dengan koleksi buku yg bikin saya ngiler, mbak Sinta dan Mbak Anna Moo
Semoga, BBI semakin berjaya ke depannya. Saya bermimpi, kelak semua member BBI bisa dipertemukan dalam satu ajang di mana kita akhirnya bisa saling berjabat tangan, berpelukan, dan memadu

Published on October 29, 2012 19:49
October 28, 2012
Menunggu Pulang, Sebuah Kumpulan Cerita Pendek
Judul : Menunggu Pulang, Sebuah Kumpulan Cerita PendekPenulis : Suryawan WP/@yuyaoneSampul : Amalia AchmadCetakan : 2012Penerbit : nulisbuku.com

“Hidup sejatinya adalah menunggu pulang. Sementara pulang adalah sebuah perjalanan menuju tempat yang dirindukan, rumah. Namun, pulang tak akan terjadi tanpa pergi yang mendahului. Akan ada saatnya untuk kita pulang. Akan ada banyak kisah untuk diceritakan, sampai waktunya pulang tiba.”
Kutipan yang begitu mengena di sampul belakang kumcer inilah yang seolah menjadi penyulut awal dari tumpahan aneka kisah keseharian manusia yang kemudian berhasil ditangkap dan dirajut kembali oleh @yuyaone dalam cerpen-cerpen yang sederhana namun bermakna. Menunggu Pulang adalah 18 cerita pendek, masing-masing dengan cerminnya sendiri, cermin yang mampu mengolok-olok kisah keseharian kita yang sebenarnya luar biasa, tapi kadang oleh tertutupi oleh coreng-moreng kita sebagai manusia pada umumnya. Tapi, sekali lagi, suatu saat nanti, kita semua pasti akan pulang. Pulang ke rumah, pulang ke hati yang tepat, pulang ke akhirat. Sebelum waktu pulang itu tiba, luangkan waktu untuk menikmati cerita-cerita berikut. Jangan khawatir, Menunggu Pulang adalah sederhana. Tidak perlu mengerutkan kening untuk mencernanya. Sekali baca, Anda bisa merampungkannya, tidak perlu menyita terlalu banyak waktu ada. Tapi, percayalah bahwa yang sebentar bersama Menunggu Pulang itu tidaklah tidak bermakna. Anda akan semakin hangat dan kaya setelah membacanya.
Atas Nama Kusta Aku Cemburu adalah kisah pertama. Mengisahkan sudut pandang dari dunia yang mungkin selama ini belum pernah kita selami. Bagaimana merasakan bersyukur dari berbagai pandangan, dan tentang jangan pantang menyerah, itulah cerpen perdana ini. Abimanyu, si anak dari Arjuna. Kisah tentang pencarian jati diri seorang anak yang mencari kebenaran tentang ayahnya. Tentang pengorbanan dari sang pangeran Pandawa. Bambu Runcing adalah kisah ketiga, saya sangat menyukainya karena entah bagaimana penulis telah berhasil membawa ingatan saya pada serial Keluarga Cemara, sederhana tapi berjiwa kaya-raya.
Berdua di Suatu Senja, kisah ini mungkin ada hubungan atau terinspirasi dari cerpen Seno Gumira Ajidarma nan fenomenal itu, Sepotong Senja untuk Pacarku. Bisakah senja itu dipotong dan dikirimkan? Ternyata bisa, yakni lewat e-mail. Bagaimana caranya, biar kisah keempat yang akan menjawabnya. Sedingin Es sekali lagi, adalah tentang pengorbanan. Sebuah kisah pendek tentang penari seluncur es dengan ending yang bikin trenyuh tapi sekaligus menghangatkan. Kisah ketujuh, Aku Anak Bintang, sama dengan cerita kedua, adalah tentang pencarian jati diri seorang anak terhadap ayahnya. Adadua petunjuk di sini, “Ares” dan “Satu Bintang Kemerahan yang hari ini terlihat sangat dekat”. Mungkinkah ini berkenaan dengan peristiwa konjungasi Planet Mars yang sempat terlihat paling jelas beberapa waktu yang lalu? Entahlah, yang jelas Ares dan Mars adalah dua nama untuk satu dewa yang sama.
Mari lanjutkan ke kisah ketujuh, Asmaradana, salah satu dari beberapa jenis lagu macapat di mana penulis seperti mengajak pembaca ke masa lalunya bersama sang kakek. Telusuri beragam petuah agung yang tertulis dalam syair-syair indah sarat mana: “Ngelmu iku kelakone kanthi laku” (“Ilmu itu tak akan ada artinya jika tidak dipraktikan”). Terminal Kedatangan akan membawa pembaca ke sudut bandara di mana, sekali lagi, penulis menyoroti tema pencarian terhadap ayah kandung seorang manusia muda, tapi dalam kisah kedelapan ini punya kejutan menyenangkan untuk si ayah.
Kisah kesembilan, Imlek, Aku Pulang, semakin meneguhkan penguasaan si penulis akan berbagai tema. Tema tentang etnis Tionghoa, yang jika digarap tanpa riset pasti akan menjadi cerita kosong tanpa makna. Tapi, kisah Koh Wen dan Sarah di sini nyatanya begitu kental dan padat, sarat emosi dan kenangan di dalamnya. Indah dan melegakan saat dibaca. Sementara, Curhat Saat Kau Lelap, adakah cerita ini semacam curcol indah sang penulis? Memenangkan Medali, cerita kesebelas ini bertema nasionalisme, tentang badminton, tentang Indonesiayang telah bertahun-tahun kehilangan Piala Uber. Kejelian penulis dalam meramu linimasa badminton dalam cerpen ini menginsyaratkan ketertarikannya yang mendalam pada olahraga yang (pernah) menjadi kebanggaan rakyat Indonesia ini.
Kadang, ada alasan mengapa seseorang menghindari fitrahnya untuk pulang. Sekuat tenaga ia menghindari kehangatan rumah demi alasan yang sepele dan tidak luar biasa. Jika Anda tidak ingin menyesal di masa depan karena mengabaikan panggilan pulang, maka bacalah kisah kedua belas, Pesan Terakhir. Sementara, para perokok seharusnya mampu menangkap pelajaran kesehatan tentang betapa besar kesia-siaan kehidupan akibat merokok dari kisah Pada Sebuah Koridor Panjang. Cerita keempat belas, Fatima, agak miris dan berbau etnis. Tapi tidak jika kita menelusuri alasan dibalik penulisan kisah ini. Bagaimana menilai dari sudut pandang seorang TKW yang disiksa majikan di negeri sana. Gendhis, si manis gula, adalah kisah indah tentang cinta, tentang kenangan, tentang harapan di masa depan. Kisah ini begitu indah, sarat dengan luapan cinta khas anak muda yang tengah terbuai kasih sayang menjelang pernikahan. Tapi, hati-hati dengan endingnya.
Cerita keenam belas adalah yang paling saya sukai. “ Kalau akhirnya Tuhan saja bisa kamu khianati, apalagi aku. Aku tidak ingin di antara kita ada yang menipu Tuhannya masing-masing.” Cukuplah kutipan indah tersebut mewakili apa yang ada dalam Kita yang Tak Sama.Anda akan menyukainya sebagaimana saya pun seolah tercenung mendalam lewat kisah ini. Kisah selajutnya, Agustus, adalah tentang nasionalisme. Mungkin penulis membuatnya saat-saat menjelang euphoria hari kemerdekaan. Adasedikit pelajaran sejarah nasional di cerita ini. Terakhir, sebagai penutup, adalah kisah Aku Takut Pulang. Mungkin, kisah ini adalah cerminan dari kita semua, kebanyakan manusia yang sering kali lupa akan asal-usul dan tujuannya hidup di dunia. Begitu terpikatnya kita dengan kemilau dunia, tanpa sadar akhirnya kita takut atau bahkan menolak pulang. Padahal, sebagaimana kutipan di atas, pulang adalah sebuah perjalanan menuju tempat yang dirindukan.
Suryawan WP, pertama kali menuliskan Menunggu Pulang dalam blognya yang segera mendapat kritik sekaligus apresiasi dari berbagai pengunjung dan komunitas dunia maya. Kepiawaiannya dalam mengamati tingkah polah manusia, berhasil ia tuangkan dalam bentuk cerita, di mana kita kemudian bisa mengambil makna dari isinya. Semangat untuk membagikan “cerita kehidupan” inilah yang lalu mendorongnya menerbitkan Menunggu Pulang lewat media penerbitan mandiri @nulisbuku. Sesungguhnya, sang penulis telah memiliki bakat dan sentuhan itu, menjadi novelis. Dengan ketekunan, pengamatan yang tajam akan keseharian, dan kepiawaiannya dalam meramu kata-kata, modal ini sudah lebih dari cukup untuk memulai menuliskan kisah yang lebih panjang dan lebih satu, lebih utuh. Semoga, penantian kita terhadap peluncuran novel perdananya tidak akan berlangsung terlalu lama.
Ada kesederhanaan yang begitu mencolok dari Menuju Pulang. Tapi, jika direnungkan kembali, lewat kesederhanaan-kesederhanaan itulah kita sering kali menemukan berbagai pelajaran berharga dalam kehidupan.
Published on October 28, 2012 18:46
October 26, 2012
The Little Prince (Pangeran Kecil)
Judul : The Little Prince (Pangeran Kecil)Pengarang :Antoine de Saint-ExuperyAlih bahasa : Listiana SrisantiCetakan : Keempat, Juni 2009, 112 halamanPenerbit : PT Gramedia Pustaka Utama

Tumbuh berkembang dan menjadi dewasa itu bagus. Tetapi, kadang-kadang kita jadi terlalu berlebihan dalam menjadi dewasa dan akhirnya lupa merasakan bagaimana indahnya memandang dunia dari sudut pandang anak-anak. Hidup menjadi terlalu serius, terlalu monoton, dan hanya dikuasai angka-angka. Hidup manusia dewasa-modern yang membosankan dan terlampau serius inilah yang sepertinya hendak disindir oleh si penulis The Little Prince ini. “Mereka sangat terburu-buru”, kata pangeran kecil. “Apa yang mereka cari?” (hlm 86).
The Little Prince adalah sebuah fabel klasik tentang diri manusia, manusia dewasa tepatnya. Buku kecil namun tipis dengan makna sangat mendalam ini berkisah tentang seorang penerbang yang pesawatnya jatuh di tengah Gurun Sahara. Dalam ancaman keterisolasian dan minimnya air minum, ia harus berjuang memperbaiki pesawatnya kalau ingin kembali ke peradaban dan tidak menghilang di tengah padang gurun tak dikenal. Anehnya, saat ia sedang serius memikirkan jalan keluar, tiba-tiba muncullah seorang pangeran kecil dengan rambut keemasan yang memintanya menggambarkan biri-biri untuknya. Sungguh sebuah hal yang sangat absurb. Bayangkan, saat diri Anda tengah terancam oleh panasnya padang gurun dan ada anak kecil yang minta Anda menggambarkan seekor biri-biri untuknya, bukannya meminta air atau perlindungan.
Awalnya, si penerbang—sebagaimana kebanyakan orang dewasa lainnya—hanya tertawa dan menganggap si anak sedang demam karena kepanasan. Tapi, si Pangeran Kecil tetap memaksa dan terpaksalah si penerbang menggambarkan biri-biri untuknya. Tanpa sadar, teringatlah si Penerbang akan masa kecilnya, masa kecil ketika dulu tidak ada seorang dewasa pun yang mengerti maunya. Tanpa sadar, sang Pangeran Kecil telah mengingatkannya kembali tentang fakta bahwa orang dewasa itu sering kali begitu absurb dan melupakan esensi dari menikmati kehidupan itu sendiri.
“Orang-orang dewasa menyukai angka. Ketika kau mendeskripsikan seorang teman baru kepada mereka, mereka tak pernah menanyakan padamu hal-hal yang penting. Mereka tak pernah bertanya, ‘Seperti apa suaranya? Apa permainan favoritnya? Apakah da mengoleksi kupu-kupu?’ Bukannya bertanya begitu mereka malah menuntut ‘Berapa umurnya? Berapa banyak kakak dan adiknya?, Berapa beratnya?, berapa penghasilan ayahnya?”

Bagi orang dewasa, yang terpenting adalah angka, angka, dan angka. Tidakkah Anda juga demikian? Kesibukan dunia kerja dan beragam tuntutan rumah tangga tanpa sadar telah mendorong kita untuk terlalu mengejar angka-angka yang sifatnya duniawi. Kita menjadi hanya memandang indah semua hal yang berkaitan dengan uang, jabatan, kekayaan, dan prestasi. Kita sudah lupa dengan keagungan di balik keindahan mawar yang tumbuh di pinggir jalan, tentang padang pasir maha luas yang membuktikan ke-Maha Luasan kekuasaan Sang Penciptanya.
“Jika kau berkata kepada orang-orang dewasa, “Aku melihat rumah indah terbuat dari bata merah jambu, dengan bunga geranium di jendela-jendelanya, dan merpati di atapnya, mereka tak bisa membayangkan rumah semacam itu. Kau harus berkata, ‘Aku melihat rumah yang harganya seratus ribu franc;’ Maka mereka akan berseru, ‘Oh pasti indah sekali!” (halaman 24).
Bersama si Pangeran Kecil, si Penjelajah mulai kembali meenungkan tujuan keberadaan dirinya di tengah alam semesta yang maha luas ini. Simaklah perjalanan si pangeran menuju enam asteroid (yang dinamai dengan angka-angka, karena orang dewasa itu menyukai angka) di mana ia mendapati enam jenis orang yang terlalu mendominasi dua miliar penduduk Bumi (novel ini ditulis tahun 1943, dan sekitar angka itulah perkiraan jumlah manusia di Bumi pada saat itu). Mereka adalah raja yang hanya gemar memerintah, si orang angkuh yang beranggapan bahwa semua orang adalah pengagumnya, peminum yang hanya mau melupakan, pengusaha yang terlalu sibuk bahkan untuk sekadar berbincang, seorang penjaga lampu yang menganggap dirinya begitu penting hingga ia mengorbankan kesenangan-kesenangan dirinya (dan ia terus menerus menyesalinya), dan seorang ahli geografi yang terlalu sibuk di menara gading dan lupa untuk menjelajahi dunia. Mereka inilah (atau kita inilah) yang sering kali menganggap diri sebagai pusat dari semesta, bahwa hanya dirinya sendiri yang penting dan lainnya tidak.
Dengan bahasa yang lugas namun mendalam, si Pangeran Kecil telah menyadarkan kembali si Penerbang merenungkan kembali keberadaannya di dunia sebagai orang dewasa. Pada akhirnya, ia memahami bahwa apa-apa yang terpenting dalam kehidupan ini tidaklah selalu sesuatu yang dapat dilihat oleh mata, tapi yang selalu dapat dilihat oleh hati.
Sungguh, buku The Little Prince ini mengandung pelajaran yang amat berharga dibalik cover dan ilustrasi-ilustrasi kekananakan yang menghiasi halamannya. Hal-hal sederhana di sekitar kita, barangkali anggota keluarga terdekat, atau rumah tua yang selama ini menaungi kita, atau sekadar bunga mawar yang kita rawat begitu hati-hatinya, seseungguhnya mereka inilah sahabat dan harta kita. Segala sesuatu yang memiliki keterikatan dengan diri kita, yang menjadikan diri kita unik dan menjadikan mereka unik di antara seribu lainnya, itulah harta kita yang sesungguhnya.
Sayangnya, lagi-lagi sebagai seorang dewasa kita sering mengabaikan hal ini. Kita begitu sibuk mengejar materi dan mengabaikan “harta-harta” sejati yang selama ini telah menemani dan menjaga kita. Juga, tentang bagaimana indah dan sederhananya memandang dunia dari kaca mata anak kecil. Dan, memang, hidup itu sejatinya sederhana tapi kita sendiri yang membuatnya rumit dengan terlalu berfokus pada mendapatkan dan bukannya memberi, pada uang dan angka ketimbang pada keindahan sejati yang ada di dalam diri. Semoga, anak-anak tetap bersabar dengan para orang dewasa ini.
Published on October 26, 2012 18:36
October 11, 2012
Sweet Sins
Judul : Sweet SinsPengarang : Rangga Wirianto PutraEditor : Ratna MariastutiPenerbit : DIVA PressCetakan : Oktober 2012
“Cinta itu adalah untuk diperjuangkan. Benar atau pun salah. Benar adalah bagi mereka yang jatuh cinta. Salah? Itu cuma berlaku bagi mereka yang berpikiran heteronormatif. Love is about YOU and ME, not about THEM.” (hlm 183)

“Karena setiap orang mempunyai alasan sendiri untuk jatuh cinta.” (hlm 240)
Rei yang kehilangan sosok ayahnya merasa menemukan perlindungan emosional dari sosok Ardo, sementara Ardo dengan orientasi seksualnya yang agak berbeda juga menemukan keindahan dalam diri Rei. Begitu rupa tautan terlarang yang mempersatukan keduanya sehingga cinta sejenis itu bukannya penuh lubang tapi malah saling melengkapi dan menguatkan. Tanpa sadar, hubungan terlarang itulah yang menghebatkan keduanya. Berkat Ardo, Rei mulai meninggalkan dunia gelapnya sebagai gigolo yang setiap malam clubbing dan berakhir di ranjang tante-tante girang. Keduanya sama-sama bertumbuh dewasa dalam cinta itu. Sebagaimana sebuah ungkapan dalam buku ini, cinta itu mendewasakan, cinta itu menghebatkan. Dari Ardo, Rei belajar banyak hal tentang pelajaran kehidupan, tentang pekerjaan, tentang bersyukur, dan tentang cinta itu sendiri. Yang ada di antara Rei dan Ardo bukan semata cinta fisik, tapi keduanya adalah manifestasi cinta murni dalam bentuk yang agak “di luar kebiasaan”.
“Love is about chemistry but sex is about physics. Love is nude but sex is naked. Love is erotic but sex is pornography.” (hlm 187)
“Cinta itu diperjuangkan. Yang datang sendiri itu bukan cinta tapi nafsu.” (216)
Terlepas dari hubungan tidak biasa di antara kedua pria ini, Sweet Sins tidak terlalu menimbulkan rasa mual di perut sebagaimana pembacaan Lelaki Terindah. Ada begitu banyak pelajaran yang bisa kita dapatkan selain gambaran tentang hubungan fisik dan kasih sayang sesama pria. Sweets Sins mengajak kita untuk memandang orang-orang yang berbeda dengan sudut pandang berbeda. Untuk memandang dari banyak sisi, dan untuk belajar mensyukuri cinta, bagaimanapun cara cinta itu termanifestasi.
Berterimakasihlah sesering mungkin. Bersyukur atas segala kelebihan, menerima kekurangan, mencari persamaan, dan menghormati perbedaan.” (hlm 156)
“Jangan pernah mengingkari cinta karena cinta adalah salah satu dari rahmat Tuhan yang paling besar yang Dia turunkan ke dunia. Karena cintalah manusia ada sejak dahulu, sekarang, dan untuk masa yang akan datang. (hlm 180)
Keindahan macam apa yang dipandang Ardo dari sosok Rei, saya tidak bisa mengambarkannya. Saya malah terus merasa kalau Rei ini cewek dalm novel Mira W. Tapi. Sebagai mana kata Ardo, tidak semua keindahan itu tampak sama di mata orang. Jika pembaca bertanya keindahan macam apa yang membuat Ardo berani mengandeng tangan Rei di Telaga Sarangan, maka jawabannya mungkin:
Kadang, keindahan adalah bukan untuk dideskripsikan. Hanya untuk dinikmati.” (hlm 231)
Dan, ketika cinta terlarang di antara keduanya makin kuat, datanglah masa-masa ujian cinta. Setelah mendapatkan, kita harus mempertahankan cinta itu. Masalahnya, cinta Rei dan Ardo sangatlah rumit. Cinta mereka sudah berbeda sejak awal, dan keduanya sama-sama menyadari bahwa cinta mereka tidaklah abadi, walaupun perasaan kasih di antara keduanya tak terhapuskan. Ardo diminta untuk menikah oleh orang tuanya. Sebuah permintaan terakhir seorang ayah yang ingin melihat anaknya bahagia menjelang ajal, sebuah permintaan yang tak kuasa ditolak oleh Ardo. Kegalauan pun melanda. Rei tahu bahwa hubungan nya dengan Ardo tidak akan pernah mulus sejak awal. Terlalu banyak pandangan yang berbeda, norma yang melarang, serta batasan-batasan sosial serta alamiah yang menghalangi keduanya untuk bisa menjadi kekasih abadi. Rei pun sadar, ia harus rela melepaskan untuk mencintai.
Mengambil tema yang agak mirip dengan Lelaki Terindah, novel Sweet Sins adalah sebuah kisah tentang pertemuan, perjuangan cinta, dan kemudian kerelaan untuk melepaskan. Namun, saya kurang menyukai ending Lelaki Terindah yang masih galau. Sweet Sins diakhiri dengan manis, dengan penutup yang indah layaknya opera aria yang dilantunkan dengan mempesona oleh sang diva. Dalam bab terakhir, berderet-deret makna dan petuah kehidupan yang dipaparkan dengan begitu lembutnya. Tentang kerelaan berkorban dan tentang melepaskan sebagai bentuk tertinggi dari mencintai. Memang, beberapa bagian dalam novel ini cukup erotis, cukup vulgar dalam menggambarkan adegan seksual antar sesama pria. Tapi, kevulgarannya merupakan cerminan dari kejujuran buku ini. Bahwa Sweet Sins bukan sekadar cerita yang terlihat pura-pura, jelas sekali tidak muncul kemunafikan dalam ceritanya. Rei dan Ardo memang saling mencintai dan mereka melakukan hubungan yang terlarang, tetapi pada akhirnya, keduanya akan menemui ujung kehidupan cinta yang paling indah dengan sangat manisnya.
Siang dan malam, panas dan dingin, tambah dan kurang, hitam dan putih, materi dan non materi, fisik dan jiwa, yin dan yang, begitulah alam semesta ini bekerja. Semuanya saling berpasangan, saling melengkapi, saling menguatkan. Cinta itu, sekali lagi, memang menghebatkan.
Published on October 11, 2012 19:02
October 7, 2012
Hiking Girls
Judul : Hiking GirlsPengarang : Kim Hye JungPenerjemah : Dwita RizkiPenyunting : Dian PPenerbit : AtriaCetakan : Agustus 2012, 276 halaman

Belajar Dewasa dari Jalur Sutra Pernahkah membayangkan untuk memadukan antara perjalanan fisik (traveling) sekaligus sebagai perjalanan jiwa (journey)? Adalah sebuah lembaga di Prancis yang pertama kali mencetuskan ide untuk “merehabilitasi” anak-anak salah jalan di Prancis. Bukan dengan memasukkan mereka ke LP anak, tapi dengan mengharuskan para remaja itu untuk ikut serta dalam sebuah perjalanan jauh yang harus ditempuh dengan berjalan kaki. Gagasan inilah yang kemudian mendorong Kim Hye Jung menulis Hiking Girls. Novel ini mengisahkan tentang perjalanan dua gadis remaja bermasalah bernama Eun Sung (yang hobi memukul) dan Bora (yang gemar mencuri) bersama pembimbingnya, Kak Mi Joo. Ketiganya diharuskan mengikuti perjalanan sejauh 1200 km melewati padang tandus di pedalaman China dengan berjalan kaki sebagai ganti dari penjara anak. Yang membuat cerita ini begitu luar biasa adalah jalur yang mereka tempuh. Mereka akan melalui Jalur Sutera yang sangat legendaris.
“Barat dan Timur bisa memiliki hubungan persahabatan karena pedagang-pedagang yang rela berjalan kaki. Silk Road bukan hanya jalan yang dilalui untuk mendistribusikan sutra dan rempah-rempah. Seni pengobatan, tarian, musik, dan hal-hal lain yang tidak terlihat juga sudah pernah melewati jalanan ini.” (hlm 51)
Jalur Sutra merentang sejauh ribuan kilometer dari Timur ke Barat, mulai dari Semenanjung Korea, melewati China pedalaman, dan perbatasan dengan Siberia, berliku-liku menelusuri eksotisme Asia Tengah sebelum tembus ke Timur Tengah, dan masih berlanjut lagi ke Syria dan Asia Barat hingga Turki, sebelum akhirnya berujung tepat di pusat kekuasaan Eropa, kota Roma kuno. Selama ribuan tahun sebelum pelayaran samudra marak, Jalur Sutra memiliki peran yang sangat strategis sebagai penghubung antara dua peradaban. Marco Polo, sang penjelajah dari Italia juga dikabarkan pernah melawati jalur ini, begitu pentingnya jalur legendaris ini sehingga hingga masa modern pun banyak wisatawan yang ingin melakukan napak tilas di jalurnya.
“Aku kira kota yang sangat tertinggal ini tidak mungkin lebih hebat dari negara-negara Barat, ternyata sangat di luar dugaan, banyak peradaban Barat yang dimulai dari tempat ini.” (hlm 112).
Dalam Hiking Girls, penulis akan mengajak pembaca menelusuri salah satu etapedalam Jalur Sutra, yakni jalur antara kota Urumqi hingga Dunhuang (dua-duanya masuk wilayah RRC). Bagian inilah yang menjadikan novel asal Korea ini semakin menarik. Dengan lugas, penulis mampu menggambarkan eksostisme Asia Tengah yang bergurun pasir. Pun, ceritanya dilengkapi dengan celotehan anak-anak remaja yang bawel dan agak nakal. Eun Sung awalnya menganggap perjalanan ini sia-sia belaka. Ngapain juga berjalan kaki di tengah padang pasir kering dengan rumah-rumah bobrok yang berpasir. Begitu pula Bora, yang sama-sama tidak tahu tujuan dari perjalanan aneh ini. Hanya Kak Mi Joo lah yang dengan begitu sabar (yang diartikan sebagai “nenek sihir bawel” oleh Eun Sung) sehingga perjalanan ini bisa berlangsung.
Perlahan demi perlahan, panas gurun yang mendera serta kaki yang terkelupas semakin mewarnai hari-hari dua gadis usil ini. Setiap hari, mereka harus berjalan kaki minimal 20 km agar perjalanan mereka tepat 70 hari ketika sampai di Dunhuang. Tapi, sejak awal memang perjalanan itu tidak mudah. Cuaca yang ekstra panas, kaki yang terluka, kurangnya air minum, makanan yang aneh, hingga ditipu penduduk sekitar yang culas; semua itu hampir-hampir membuat Eun Sung dan Bora menyerah. Namun, dari perjalanan itu pula merka bisa belajar banyak tentang manusia, tentang suku-suku bangsa lain di luar Korea, menginap di tenda-tenda kaum nomaden, dan bermalam di padang rumput luas di kaki langit. Intinya, mereka belajar tentang orang lain—salah satu keterampilan terbesar dalam kehidupan.
“Di Korea, ada orang baik dan orang jahat, begitu pula dengan di China. Semua orang di dunia berbeda tetapi sama.” (hlm 103)
Tetapi, bukan rintangan fisiklah yang berhasil membuat mereka menyerah. Melainkan, rintangan psikologis dan beban mental dari dalam diri masing-masing. Hampir genap perjalanan itu terselesaikan, Bora tiba-tiba bersikap aneh dan memutuskan kabur. Eun Sung yang tidak tega pun mengikutinya kabur, meninggalkan Kak Mi Joo yang sedang sakit terkena demam. Sekilas, pembaca akan geregetan melihat sikap Bora yang tidak tahu diuntung ini. Tapi, ingatlah bahwa ia dan Eun Sung sama-sama maish remaja dan mereka juga “bermasalah”. Tapi, siapa sangka perjalanan mereka yang seperti fatamorgana itu malah mengarahkan mereka pada oasis kehidupan yang baru. Dikuak pula alasan mengapa Bora bisa bersikap begitu menyebalkan seperti itu, yang sejatinya memang wajar mengingat latar belakang dirinya. Bahwa setiap orang itu berbeda, unik, dan kepribadiannya terbangun oleh masa lalu mereka, itulah yang rupanya hendak disampaikan buku ini. Tanpa sadar, perjalanan fisik itu telah membuat keduanya sama-sama tumbuh dewasa.
“Kita tidak akan bisa berbuat masalah dengan sesuka hati karena kita harus bertanggung jawab atas apa yang kita lakukan saat kita sudah dewasa. “ (hlm 140)
Dengan begitu unik, Hiking Girls akan mengajak pembaca untuk menikmati perjalanan menembus eksotisme Jalur Sutra, lengkap dengan jenis pakaian, makanan, dan kebudayaan orang-orang muslim yang bermukim di sana. Di saat yang sama, pembaca akan disuguhi dengan perubahan dan gejolak pertumbuhan jiwa yang dewasa dalam diri Bora dan Eun Sung. Bahkan, si Eun Sung yang sepintas lalu terlihat sangat bermasalah pun ternyata jauh lebih dewasa ketimbang Bora yang dari luar tampak kalem. Memang, sebaiknya tidak memandang orang dari tampilan luarnya saja. Hiking Girls benar-benar sebuah buku unyu yang berjiwa dewasa.
Published on October 07, 2012 18:55
October 4, 2012
The Final Note
Judul : The Final Note
Pengarang : Kevin Allan Milne
Penerjemah :Riana Irawati
Editor : Prisca Primasari
Penerbit : Qanita
cetakan : 2012
Sebenarnya, saya jarang membaca novel tipe roman seperti ini. kalau saja tidak menang kuis dan mendapat buntelan novel ini, saya hampir bisa dipastikan akan melewatkan kisah yang luar biasa dengan bumbu-bumbu musikal ini. Ethan Bright menemukan kekasih sekaligus sahabat sejatinya di kota tua Wina. Wanita itu adalah Annaliese, sang pujaan yang ternyata juga berasal dari Amerika Serikat. Berdua, keduanya saling jatuh cinta dan mengikrarkan diri di altar pelaminan, saling berjanji untuk selalu mencintai dan menyayangi sampai maut memisahkan. Sampai di sini, ceritanya mungkin bakalan klise kalau saja si penulis tidak memasukkan not-not musik dan pesona nada dalam ceritanya.
Ditulis dengan pola-pola bab yang menyerupai sebuah komposisi musikal, The Final Note mengisahkan tentang kisah cinta orang-orang muda yang begitu membara di awal, tapi memadam seiring dengan berlalunya waktu dan banyaknya kesibukan untuk mencari penghasilan. Ethan pernah berjanji bernyanyi untuk Anna setidaknya sekali sehari, dan menggubah sebuah lagu khusus untuknya. Awalnya, Ethan menepati janjinya. Tapi, tuntutan keluarga dan pekerjaan membuatnya abai. Gaji yang besar dan pekerjaan yang berjibun telah mengalihkan Ethan dari janjinya untuk bernyanyi. Ia yang dulu begitu menyukai dunia musik, yang bercita-cita ingin mengubah lagu, kini telah berubah menjadi pekerja kantoran yang sibuk. Dengan berlindung pada alasan untuk mencari nafkah, ia mengabaikan Anna, mengabaikan gitar kesukaannya, bahkan mengabaikan Hope—putri tercinta mereka.
Ethan kini tidak ubahnya sebagai robot zaman modern yang berangkat pagi pulang malam dan pergi lagi selama 5 hari berikutnya ke luar kota. Secara finansial, ia mampu mencukupi kebutuhan Anna dan Hope. Tapi, hidup bukannya melulu tentang uang. Hidup juga adalah tentang bersama-sama dengan orang-orang yang kau cintai dan mencintaimu, tentang perayaan-perayaan kecil namun sangat berarti, tentang penerungan terhadap makna kehidupan itu sendiri, dan tentang menikmati musik jiwa dan musik alam semesta.
Saat menikahimu, aku menikah dgn dirimu, bukan dengan uangmu (page 221)
"Oh Dad, itu hanya uang. Ada hal hal yang tidak bisa dibeli dengan uang. (page 251)
Kini, Ethan sudah lupa dengan musik dan gitarnya. Begitu sibuknya ia dengan pekerjaannya sehingga ia mengabaikan janjinya pada Anna untuk menyanyikan setidaknya satu lagu setiap harinya. Ia bahkan mengabaikan Hope—yang menjadi tujuan utamanya dalam membanting tulang seharian. Ketika pada hari ulang tahun Hope yang ke-8, ketika Anna memintanya untuk memberikan hadiah berupa sebuah gitar untuk Hope, Ethan tetap saja sibuk bekerja. Anna—yang sudah berulang kali protes mengenai betapa sedikitnya waktu yang mereka miliki sebagai keluarga—akhirnya mengalah dan ia sendiri yang pergi membeli gitar untuk Hope. Kemudian, peristiwa tragis itu pun terjadi. Dan, hidup Ethan tidak akan sama lagi setelahnya.
Anna mengalami kecelakaan. Mobilnya ditabrak oleh seorang guru remaja yang sedang mengemudi sambil mengirimkan SMS untuk kekasihnya. Anna dinyatakan koma, ia mengalami luka yang sangat parah, harapan hidupnya sangat tipis. Saat itulah Ethan baru menyadari kesalahannya selama ini. Baru setelah segala sesuatunya terlambat, Ethan mau meluangkan waktu bersama keluarganya. Ditolaknya semua pekerjaan demi menemani Anna di rumah sakit. Tapi, ia masih tetap tidak mau bermain musik. Ia beranggapan, karena gitar (musik)lah sehingga Anna celaka. Ia lupa akan janjinya pada Anna. Ethan membenci musik, yang ini malah semakin membuatnya depresi. Bahkan, kisah menyedihkan yg ditututkan oleh kakeknya tidak mampu meluluhkan hati Ethan. Ia belum mau memaafkan. Ia jatuh dalam jurang penyesalan selama tiga minggu, sebelum akhirnya ia disadarkan bahwa ia masih punya Hope, ia masih punya harapan.
Demi anaknya, Ethan pun bangkit. Berbagai kilas-pandang tentang masa lalu ayahnya telah menyadarkan betapa hebat dan kuatnya memaafkan. Betapa benar ungkapan bahwa “kita memaafkan agar kita bahagia”. Setelah membaca pesan terakhir Anna, yg diselipkan pada gitar kesayangannya tepat sebelum Anna mengalami kecelakaan dan koma, Ethan tahu betapa Anna betul2 mencintainya dan bahwa ia sangat menyayanginya. Anna telah memaafkan Ethan, bahkan sebelum kecelakaan itu terjadi. Akhirnya, Ethan pun menyadari kesalahannya. Ia kembali berteman dengan musik. Sekali lagi, ia kembali meyakini kekuatan dari musik karena musik, jika dipadukan dengan kata-kata yang baik dan tepat, akan menyembuhkan jiwa.
Meskipun dokter dapat menghentikan pendarahan, hanya musik yang indahlah yang dapat mengobati hati yang terluka.
The Final Note bukan sekadar novel roman picisan ttg dua pasang remaja yg saling jatuh cinta. Bukan pula roman rumah tangga yang sarat kecemburuan atau mengumbar harta. Ini adalah kisah tentang keseharian cinta, yang sering mendera banyak pasangan muda. Bahwa cinta yg dulu sempat membara di awal masa, kemudian memadam demi pencarian harta. Novel ini sseperti hendak menyadarkan kembali apa nilai sebenarnya dari sebuah keluarga, hebatnya kekuatan memaafkan, dan bukti bahwa musik memang memiliki mukjizat nan luar biasa.

Inilah bait terakhir yang digubah khusus oleh Ethan untuk Anna:
Take my life if you'd like,
Because I found what I came to find
Or leave me here for a while,
Cuz I found heaven....in her smile
Indah!
Pengarang : Kevin Allan Milne
Penerjemah :Riana Irawati
Editor : Prisca Primasari
Penerbit : Qanita
cetakan : 2012

Sebenarnya, saya jarang membaca novel tipe roman seperti ini. kalau saja tidak menang kuis dan mendapat buntelan novel ini, saya hampir bisa dipastikan akan melewatkan kisah yang luar biasa dengan bumbu-bumbu musikal ini. Ethan Bright menemukan kekasih sekaligus sahabat sejatinya di kota tua Wina. Wanita itu adalah Annaliese, sang pujaan yang ternyata juga berasal dari Amerika Serikat. Berdua, keduanya saling jatuh cinta dan mengikrarkan diri di altar pelaminan, saling berjanji untuk selalu mencintai dan menyayangi sampai maut memisahkan. Sampai di sini, ceritanya mungkin bakalan klise kalau saja si penulis tidak memasukkan not-not musik dan pesona nada dalam ceritanya.
Ditulis dengan pola-pola bab yang menyerupai sebuah komposisi musikal, The Final Note mengisahkan tentang kisah cinta orang-orang muda yang begitu membara di awal, tapi memadam seiring dengan berlalunya waktu dan banyaknya kesibukan untuk mencari penghasilan. Ethan pernah berjanji bernyanyi untuk Anna setidaknya sekali sehari, dan menggubah sebuah lagu khusus untuknya. Awalnya, Ethan menepati janjinya. Tapi, tuntutan keluarga dan pekerjaan membuatnya abai. Gaji yang besar dan pekerjaan yang berjibun telah mengalihkan Ethan dari janjinya untuk bernyanyi. Ia yang dulu begitu menyukai dunia musik, yang bercita-cita ingin mengubah lagu, kini telah berubah menjadi pekerja kantoran yang sibuk. Dengan berlindung pada alasan untuk mencari nafkah, ia mengabaikan Anna, mengabaikan gitar kesukaannya, bahkan mengabaikan Hope—putri tercinta mereka.
Ethan kini tidak ubahnya sebagai robot zaman modern yang berangkat pagi pulang malam dan pergi lagi selama 5 hari berikutnya ke luar kota. Secara finansial, ia mampu mencukupi kebutuhan Anna dan Hope. Tapi, hidup bukannya melulu tentang uang. Hidup juga adalah tentang bersama-sama dengan orang-orang yang kau cintai dan mencintaimu, tentang perayaan-perayaan kecil namun sangat berarti, tentang penerungan terhadap makna kehidupan itu sendiri, dan tentang menikmati musik jiwa dan musik alam semesta.
Saat menikahimu, aku menikah dgn dirimu, bukan dengan uangmu (page 221)
"Oh Dad, itu hanya uang. Ada hal hal yang tidak bisa dibeli dengan uang. (page 251)
Kini, Ethan sudah lupa dengan musik dan gitarnya. Begitu sibuknya ia dengan pekerjaannya sehingga ia mengabaikan janjinya pada Anna untuk menyanyikan setidaknya satu lagu setiap harinya. Ia bahkan mengabaikan Hope—yang menjadi tujuan utamanya dalam membanting tulang seharian. Ketika pada hari ulang tahun Hope yang ke-8, ketika Anna memintanya untuk memberikan hadiah berupa sebuah gitar untuk Hope, Ethan tetap saja sibuk bekerja. Anna—yang sudah berulang kali protes mengenai betapa sedikitnya waktu yang mereka miliki sebagai keluarga—akhirnya mengalah dan ia sendiri yang pergi membeli gitar untuk Hope. Kemudian, peristiwa tragis itu pun terjadi. Dan, hidup Ethan tidak akan sama lagi setelahnya.
Anna mengalami kecelakaan. Mobilnya ditabrak oleh seorang guru remaja yang sedang mengemudi sambil mengirimkan SMS untuk kekasihnya. Anna dinyatakan koma, ia mengalami luka yang sangat parah, harapan hidupnya sangat tipis. Saat itulah Ethan baru menyadari kesalahannya selama ini. Baru setelah segala sesuatunya terlambat, Ethan mau meluangkan waktu bersama keluarganya. Ditolaknya semua pekerjaan demi menemani Anna di rumah sakit. Tapi, ia masih tetap tidak mau bermain musik. Ia beranggapan, karena gitar (musik)lah sehingga Anna celaka. Ia lupa akan janjinya pada Anna. Ethan membenci musik, yang ini malah semakin membuatnya depresi. Bahkan, kisah menyedihkan yg ditututkan oleh kakeknya tidak mampu meluluhkan hati Ethan. Ia belum mau memaafkan. Ia jatuh dalam jurang penyesalan selama tiga minggu, sebelum akhirnya ia disadarkan bahwa ia masih punya Hope, ia masih punya harapan.
Demi anaknya, Ethan pun bangkit. Berbagai kilas-pandang tentang masa lalu ayahnya telah menyadarkan betapa hebat dan kuatnya memaafkan. Betapa benar ungkapan bahwa “kita memaafkan agar kita bahagia”. Setelah membaca pesan terakhir Anna, yg diselipkan pada gitar kesayangannya tepat sebelum Anna mengalami kecelakaan dan koma, Ethan tahu betapa Anna betul2 mencintainya dan bahwa ia sangat menyayanginya. Anna telah memaafkan Ethan, bahkan sebelum kecelakaan itu terjadi. Akhirnya, Ethan pun menyadari kesalahannya. Ia kembali berteman dengan musik. Sekali lagi, ia kembali meyakini kekuatan dari musik karena musik, jika dipadukan dengan kata-kata yang baik dan tepat, akan menyembuhkan jiwa.
Meskipun dokter dapat menghentikan pendarahan, hanya musik yang indahlah yang dapat mengobati hati yang terluka.
The Final Note bukan sekadar novel roman picisan ttg dua pasang remaja yg saling jatuh cinta. Bukan pula roman rumah tangga yang sarat kecemburuan atau mengumbar harta. Ini adalah kisah tentang keseharian cinta, yang sering mendera banyak pasangan muda. Bahwa cinta yg dulu sempat membara di awal masa, kemudian memadam demi pencarian harta. Novel ini sseperti hendak menyadarkan kembali apa nilai sebenarnya dari sebuah keluarga, hebatnya kekuatan memaafkan, dan bukti bahwa musik memang memiliki mukjizat nan luar biasa.

Inilah bait terakhir yang digubah khusus oleh Ethan untuk Anna:
Take my life if you'd like,
Because I found what I came to find
Or leave me here for a while,
Cuz I found heaven....in her smile
Indah!
Published on October 04, 2012 20:16