Eko Nurhuda's Blog, page 29
April 7, 2016
Karena Kesehatan adalah Mahkota

AHAD (3/4/2016) lalu Damar anak sulung saya sakit. Selepas mandi sore badannya terasa agak hangat, lalu suaranya bindeng. "Bakal flu nih," pikir saya. Malam harinya ia panas tinggi diselingi mengigau dan beberapa kali terbangun dari tidur.
Pagi keesokan harinya saya bawa Damar berobat ke Puskesmas. Beruntung sekali kami tinggal tak jauh dari pusat layanan kesehatan. Desa Banjardawa tempat kami tinggal merupakan pusat pemerintahan Kec. Taman, Pemalang. Sehingga seluruh pusat layanan publik berada di desa ini.
Letak Puskesmas dari rumah sangat dekat. Cukup berjalan kaki sekitar 5-6 menit, atau kalau tak mau berpanas-panasan kami naik sepeda motor dan beberapa menit kemudian sudah sampai. Terkadang berangkat jalan kaki pulang naik becak, ongkosnya hanya Rp5.000 sampai depan rumah.
Berobat di Puskesmas sangat terjangkau. Pasien hanya dimintai uang sebesar Rp5.000 sebagai biaya pendaftaran sekaligus ongkos periksa dan obat. Pemegang kartu BPJS malah bisa berobat gratis dengan menunjukkan kartu mereka pada saat mendaftar.
Saya jadi ingat semasa kecil di Batumarta VIII, sebuah daerah transmigrasi yang kini masuk wilayah administratif Kabupaten OKU Timur, Sumatera Selatan. Pemukiman di pelosok yang usia keberadaannya belum genap 15 tahun ketika itu, sehingga masih sangat minim fasilitas layanan umum. Tiga tahun tinggal di sana, saya tak pernah ke Puskesmas padahal sempat sakit beberapa kali.
Masa itu jika saya sakit Ibu tak bisa membawa saya kemana-mana. Puskesmas desa letaknya entah di mana, sedangkan Ibu tak punya kendaraan. Bisa saja pinjam sepeda motor tetangga, tapi jalan penghubung yang masih berupa tanah berbatu kondisinya rusak parah. Belum lagi sepanjang jalan harus melewati hutan dengan beragam hewan yang masih berkeliaran bebas.
Angkutan umum? Satu-satunya kendaraan umum hanya lewat dua kali sehari, pagi berangkat ke kota dan sore hari membawa penumpang kembali dari kota. Selain dua waktu itu jalanan bakal sepi sekali, nyaris seperti kota mati. Hanya sesekali saja terlihat sepeda motor atau truk pengangkut getah karet lewat.
Jalan poros antardesa baru ramai di hari Kamis. Itu merupakan hari pasaran Batumarta VI, desa tetangga yang lebih ramai. Di hari itu angkutan umum bisa lewat berkali-kali sehari, membawa petani yang hendak menjual hasil tanamannya bersama ibu-ibu yang ingin berbelanja di pasar tersebut.
Jangan bayangkan angkutan umumnya seperti angkot di kota-kota yang warna-warni dengan musik berdentum. Angkutan umum di sana saat itu adalah mobil pick up yang bagian bak belakangnya diberi terpal sebagai atap, lalu tempat duduknya berupa bangku panjang terbuat dari rangkaian besi.

Mobil angkutan umum di Batumarta, OKU Timur, Sumatera Selatan. FOTO: https://radintemen.wordpress.com
Sebenarnya ada seorang bulik saya yang jadi bidan desa, tapi beliau tugas di Desa Batumarta VI. Jaman itu belum ada handphone, jadi satu-satunya cara untuk meminta bantuan Bulik adalah dengan datang langsung ke rumahnya. Dan itu tak mungkin kami lakukan karena kendala transportasi.
Saat lebaran atau hari-hari tertentu, Ibu beberapa kali mengajak saya dan adik-adik berjalan kaki dari rumah di Batumarta VIII ke tempat Bulik, di mana Pakde-Pakde saya dari pihak Ibu juga berkumpul. Waktu tempuhnya kurang-lebih 30 menit, melewati jalan aspal rata tapi sangat sepi sekali karena di kiri-kanannya adalah hutan liar.
Tidak mungkin rasanya Ibu mengajak saya yang sedang sakit berjalan kaki sejauh itu. Jadi kalau saya sakit Ibu melakukan perawatan sendiri sebisanya di rumah. Saya mengidap gejala tipus yang kambuh tiap kali terlambat makan atau terlalu capai. Ibu biasanya mengompres kening saya dengan kain basah untuk menurunkan panas, lalu membuatkan bubur dan sayur bening, seraya meminta saya istirahat total sampai sembuh. Tak ada parasetamol, tak ada obat-obatan lain.
Perjuangan Bidan Desa
Masuk SMP, saya pindah ke Batumarta VI karena sekolah terletak di desa ini. Saya dititipkan di rumah Bulik yang tinggal di sebuah rumah dinas kosong bersama suaminya yang seorang (ketika itu) tamtama Angkatan Darat, anaknya yang masih bayi, dan nenek saya. Saat itulah saya menjadi saksi perjuangan sekaligus keprihatinan seorang bidan desa di pemukiman terpencil.
Bulik saya resminya bertugas di Batumarta VI, menjadi partner seorang mantri di Puskesmas Pembantu yang terletak di Pusat Desa. Namun wilayah kerja Bulik ternyata jauh melebar sampai ke desa-desa tetangga. Ia kerapkali menerima panggilan dari pasien yang tinggal belasan hingga puluhan kilometer dari rumahnya, terutama ibu-ibu melahirkan.
Pernah tengah malam saya terbangun dari tidur karena suara gaduh dari ruang tamu. Anak Bulik rewel minta disusui, menangis sejadi-jadinya tak mau berhenti. Susah payah nenek saya mendiamkannya, tapi tak kunjung berhasil. Bulik ternyata belum pulang dari rumah pasien. Padahal seingat saya ia berangkat sejak hari masih terang.
Pernah juga Bulik dibangunkan tengah malam buta. Seorang laki-laki berdiri di depan pintu dengan wajah cemas, meminta tolong Bulik ikut dengannya karena istrinya hendak melahirkan. Biasanya Bulik akan langsung cuci muka, mempersiapkan keperluan persalinan dan obat-obatan, lalu mengikuti laki-laki tersebut dari belakang dengan sepeda motornya sendri.
Siapa bisa menjamin laki-laki itu orang jujur? Bulik saya masih sangat muda, langsing, penampilannya menarik. Kalau laki-laki itu bukan tipe penjahat kelamin, motor yang dikendarai Bulik masih cukup menggiurkan bagi kriminal. Sedangkan Batumarta saat itu masih sangat jarang penduduknya. Tiap-tiap desa dipisahkan oleh hutan dan perkebunan karet nan luas. Jangan kata tengah malam, sore hari pun jalanan sepi sekali.
Sah-sah saja kalau terbersit pikiran buruk menghadapi momen seperti itu. Namun dedikasinya terhadap profesi membuat Bulik membuang jauh-jauh pikiran negatif tersebut. Ia juga rela meninggalkan anaknya yang masih bayi demi menjalankan tugas, menolong masyarakat yang membutuhkan tenaganya. Kini beliau jadi salah satu bidan senior di OKU Timur, kabupaten baru pecahan Ogan Komering Ulu (OKU).
Naik kelas II SMP, saya diboyong Ibu pindah ke desa transmigrasi lain di Sungai Bahar, Jambi. Pemukiman ini lebih muda beberapa tahun dari Batumarta, jadi sekali lagi saya mengalami tinggal di daerah pelosok dengan layanan kesehatan terbatas.

Jalan di kebanyakan desa di Sungai Bahar masih berupa tanah. Kalau kemarau berdebu tebal, kalau hujan becek berlumpur.
Kami tinggal di Sungai Bahar Unit VI, desa yang sepertinya telah dirancang sebagai calon pusat pemerintahan andai daerah ini berkembang. Karenanya di desa ini terdapat SD, SMP, juga Puskesmas Pembantu yang ditangani seorang bidan desa. Meski ada Puskesmas, namun fasilitas dan stok obat di sini jauh dari kata memadai. Karenanya warga lebih senang berobat ke Muara Bulian, ibu kota kabupaten yang hanya berjarak tempuh 30 menit.
Jika sakitnya parah, pasien langsung dibawa ke Kota Jambi yang sebenarnya hanya berjarak sekitar 65 km. Namun karena jalanan lebih banyak rusak, jarak sejauh itu harus ditempuh dalam waktu paling cepat dua jam naik mobil. Ini pun bukan perkara mudah karena angkutan umum ke Jambi hanya berangkat sekali di pagi hari. Menyewa mobil berarti pengeluaran hingga 10 kali lebih banyak.
Beruntung kami sekeluarga tak pernah menderita sakit parah. Kalau sekedar sakit kepala atau demam ringan sering, tapi cukup diobati dengan obat beli di warung sebelah dan istirahat.
Kini Sungai Bahar sudah jauh berkembang, terutama semenjak lepas dari Kecamatan Mestong dan dipecah menjadi tiga kecamatan: Sungai Bahar, Bahar Selatan dan Bahar Utara. Sebuah rumah sakit umum daerah juga sudah didirikan di wilayah ini, sehingga warga Sungai Bahar tidak perlu lagi jauh-jauh ke kota untuk mendapatkan layanan kesehatan memadai.
Nusantara Sehat
Tumbuh besar di pelosok, saya menjadi saksi betapa minimnya layanan kesehatan di daerah-daerah terpencil yang jauh dari pusat kota. Saya juga melihat sendiri perjuangan bidan-bidan desa tangguh seperti Bulik saya yang rela ditugaskan di pelosok, dengan segala pengorbanan dan risiko yang harus mereka tanggung.
Melihat apa yang Bulik hadapi saat itu, saya bisa memaklumi jika banyak lulusan akademi kebidanan dan dokter yang terkesan menghindari daerah pelosok. Terutama mereka-mereka yang sejak kecil hidup enak di kota. Bayangkan saja, mereka harus bertugas sendirian di tempat asing nan terpencil, juga menangani semua hal terkait pengobatan dan kesehatan masyarakat.
Karenanya saya sangat mengapresiasi Program Nusantara Sehat yang digagas oleh Kementerian Kesehatan RI. Sebuah program yang bertujuan meningkatkan layanan kesehatan dasar di daerah-daerah terpencil. Program yang diawali dengan mengirim empat tim kesehatan ke empat Puskesmas di Sumatera Utara, kalimantan Barat, Maluku dan Papua pada tahun 2014.
Kemenkes agaknya menyadari bahwa menempatkan seorang bidan desa atau mantri kesehatan tak cukup memadai. Karenanya Nusantara Sehat merupakan program berbasis tim berisi 8-9 orang. Satu Tim Nusantara Sehat terdiri dari masing-masing seorang dokter, dokter gigi, perawat, bidan, tenaga kesehatan masyarakat, tenaga kesehatan lingkungan, tenaga ahli teknologi laboratorium medik, tenaga gizi, dan tenaga kefarmasian.
Tim Nusantara Sehat diseleksi dengan ketat, sangat ketat. Hanya pemuda-pemudi terbaik bangsa yang dapat menjalankan tugas ini. Wajar, mereka akan ditempatkan di daerah pelosok dengan akses minim. Butuh kekuatan fisik dan lebih-lebih mental agar dapat menunaikan tanggung jawab dengan baik. Karenanya Kemenkes menjalin kerja sama dengan Tentara Nasional Indonesia untuk menggembleng tim sebelum dikirim ke daerah.

Menteri Kesehatan meninjau pembekalan Tim Nusantara Sehat Gelombang II pada Oktober 2015. FOTO: Liputan6.com

Sebagian anggota Tim Nusantara Sehat yang siap dikirim ke berbagai pelosok negeri. FOTO: Flickr.com
Masing-masing tim ditempatkan di Puskesmas yang menjadi gugus tugasnya selama dua tahun. Mereka bertanggung jawab memberikan pelayanan kesehatan dan melakukan upaya preventif melalui pendidikan kesehatan, penyuluhan, serta screening (penapisan).
Kalau ada yang bertanya kenapa dinasnya sampai dua tahun, bidan-bidan senior seperti Bulik saya rasanya bakal bertanya sebaliknya. "Kenapa cuma dua tahun?" Dua tahun adalah waktu minimal untuk mengadaptasi kebiasaan baik, untuk melihat perkembangan atau kemunduran dalam perilaku masyarakat di bidang kesehatan. Apakah mereka menjadi masyakarat yang lebih sadar kesehatan atau sebaliknya.
Berikut empat tugas pokok Tim Nusantara Sehat:
1. Menurunkan angka kematian ibu dan bayi
2. Memperbaiki asupan gizi masyarakat
3. Mencegah meluasnya penyakit menular
4. Mengendalikan penyakit tidak menular seperti hipertensi, diabetes melitus, obesitas, dan kanker
Tahun lalu, Kemenkes kembali mengirim Tim Nusantara Sehat ke sejumlah daerah terbelakang. Kali ini jauh lebih banyak, terdiri dari dua angkatan yang tersebar di total 120 Puskesmas. Angkatan pertama berkekuatan 142 tenaga kesehatan yang dikirim ke 20 Puskesmas, lalu angkatan kedua terdiri atas 552 tenaga kesehatan untuk 100 Puskesmas.
Salah satu tujuan Tim Nusantara Sehat angkatan kedua tersebut adalah Puskesmas Kecamatan Belakang Padang, Kota Batam. Sebuah kecamatan yang berbatasan langsung dengan Singapura, merupakan gabungan dari 108 pulau di mana hanya 43 pulau yang berpenghuni sedangkan 65 pulau lainnya kosong tanpa penduduk.
Belakang Padang menjadi pilihan Kemenkes karena daerah ini merupakan perbatasan negara. Sesuai cita-cita pembangunan yang tertuang dalam Nawacita, pemerintahan Presiden Jokowi menekankan pentingnya perhatian pada penduduk di wilayah perbatasan. Nah, salah satu bentuk perhatian tersebut diwujudkan dengan menyediakan layanan kesehatan lebih baik melalui Tim Nusantara Sehat.

Kesehatan adalah Mahkota
Ah, saya berandai-andai bisa turut menyaksikan perjuangan rekan-rekan Tim Nusantara Sehat di daerah. Ikut mengarungi sulitnya medan menuju ke lokasi, menghadapi kesulitan-kesulitan yang timbul selama menjalankan tugas, melihat langsung interaksi tim dengan warga yang dilayani, serta mengetahui tanggapan masyarakat atas program ini.
Setelah dulu menjadi saksi minimnya layanan kesehatan di pelosok, lalu melihat sendiri perjuangan Bulik saya sebagai bidan desa di wilayah terpencil, mengikuti perjalanan mulia Tim Nusantara Sehat akan melengkapi pengalaman saya. Akan saya sebarkan kabar baik ini lewat blog, melalui Twitter dan Facebook, bahwa pemerintah kini lebih peduli pada pelayanan kesehatan di daerah terpencil dan kawasan perbatasan.
Peningkatan layanan kesehatan merupakan langkah vital dalam memajukan bangsa. Bangsa yang kuat adalah bangsa yang sehat. Bukankah ada pepatah mengatakan, "Di dalam raga yang sehat terdapat jiwa yang sehat." Semoga dengan sehatnya raga membuat jiwa-jiwa bangsa Indonesia sehat, sehingga siap menyongsong kemajuan demi kemakmuran bersama.
Prioritas pada aspek kesehatan juga sejalan dengan tuntunan Rasulullah SAW. Dalam sebuah hadis, Abu Hurairah RA mengatakan bahwa Rasulullah bersabda, "Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada Mukmin yang lemah."
Indonesia merupakan negara dengan penduduk mayoritas Muslim, maka sudah semestinya mengikuti petunjuk Baginda Rasul untuk lebih menjaga dan menghargai kesehatan agar menjadi bangsa yang kuat. Sudah lama negara dengan potensi hebat ini terpuruk. Kini saatnya bangkit dan berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Dan ini hanya bisa dilakukan jika kebutuhan dasar seperti kesehatan sudah tuntas.
Sekali lagi, salut pada Kementerian Kesehatan RI di bawah kepemimpinan Ibu Prof. Dr. dr. Nila Djuwita F. Moeloek Sp.M. yang telah menggulirkan program Nusantara Sehat. Adalah sebuah kehormatan jika saya, seorang blogger dari kabupaten kecil bernama Pemalang, dapat ikut terlibat dalam program mulia ini sekalipun hanya sebagai saksi mata.
"Kesehatan adalah mahkota yang bersemayam di atas kepala orang-orang yang sehat, yang hanya bisa dilihat oleh orang-orang yang sakit." -- Dr. 'Aidh Al-Qarni dalam buku La Tahzan.
Published on April 07, 2016 08:00
April 6, 2016
Jadi Pemred Berkat Majalah Dinding

AIH, sebenarnya agak malu pakai istilah "pemred" di judul. Tapi mau bagaimana lagi, memang begitulah dulu sebutannya. Sekalipun media yang dipimpin cuma setingkat majalah sekolah, tetap saja nama posisinya Pemimpin Redaksi yang disingkat Pemred. Sayang, ini sebenarnya kisah gagal saya ketimbang sebuah kebanggaan.
Saya menulis sejak Sekolah Dasar, kurang-lebih sekitar kelas V. Kalau teman-teman pernah membaca posting "ini" dan "ini" sebelumnya, di sana saya ceritakan bagaimana awal mula saya tertarik menjadi penulis. Ya, novel Wiro Sableng yang bagi sebagian orang merupakan karya picisan itulah penyulutnya.
Tinggal di desa transmigrasi dan jauh dari akses ke buku maupun bacaan apapun, hanya Wiro Sableng-lah referensi menulis saya. Novel ini yang bisa saya jumpai di pasar desa saat itu. Jadilah saya penulis cerita silat seperti Bastian Tito, pencipta sosok Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212.
Oh ya, saya lupa menyebut komik Petruk karya Tatang S. Ini juga sangat berpengaruh besar mengembangkan imajinasi saya saat kecil. Sehingga menurut editor di sebuah penerbit tempat buku saya diterbitkan dulu, gaya bahasa saya naratif, mengalir, sehingga enak dibaca. Sedangkan menurut seorang pembaca buku saya yang juga blogger dan arsitek di Cilacap, cara menulis saya mengingatkannya pada Ismail Marahimin. Entahlah, saya sendiri sampai saat ini belum menemukan karya penulis satu ini.
Sampai kelas I SMP, saya hanya menulis di buku tulis. Entah itu cerita silat, entah itu cerita pendek remaja, semuanya saya tuliskan di buku tulis. Tak ada yang tahu saya menulis selain saya dan buku tulis itu, juga Allah SWT. Boleh dikatakan saya seorang otodidak karena hanya mempelajari cara bercerita lewat membaca buku cerita: Wiro Sableng dan komik Petruk.
Waktu itu saya bersekolah di SLTP Negeri yang terletak di Batumarta VI. Hanya setahun saya di sana karena begitu naik ke kelas II saya dibawa pindah ke Jambi. Di SMP inilah saya berkenalan dengan majalah dinding. Saya masih ingat betul momen ketika Bapak Kepala Sekolah (semoga beliau dilimpahi kesehatan jika masih hidup) mengumumkan soal mading tersebut di upacara bendera hari Senin.
Saya langsung menghampiri mading itu saat istirahat pertama. Melihat-lihat kartun lucu yang dipajang, lalu membaca tulisan-tulisan lainnya. Ada puisi, ada cerita lucu, juga ada semacam feature. Meski saya sendiri sedang getol-getolnya menulis, entah kenapa saat itu tak tergerak untuk ikut mengisi. Apalagi ternyata gerakan mading tersebut hangat-hangat tahi ayam, hanya bertahan beberapa edisi saja lalu menghilang.
Cerita Silat di Mading
Saya mulai terlibat aktif dalam mading saat duduk di kelas III SMP di Sungai Bahar, Jambi. Madingnya sendiri sudah ada sejak pertama kali saya pindah, tapi saya lagi-lagi tak tergerak mengisi. Barulah saat naik ke kelas III saya ikut mengisi karena dilibatkan oleh pengurusnya. Tahu karya pertama saya yang ditayangkan di mading tersebut? Cerita silat! Hahaha...
Ya, karya pertama saya yang dimuat di mading adalah sebuah cerita silat bersambung. Rupanya guru Bahasa Indonesia yang bernama, kalau tak salah ingat, Nirmawati Pohan selalu mengikuti cerita-cerita saya. Dari beliaulah saya kemudian tahu prospek sebagai penulis profesional. Beliau juga yang mendorong saya untuk terus menulis dan mencoba mengirim ke media.
Sejak pindah ke Jambi bacaan saya semakin berwarna. Adik saya tumbuh menjadi seorang gadis remaja, beberapa tahun di bawah saya. Jika saya ke pasar untuk membeli novel Wiro Sableng, adik saya membeli majalah remaja kadaluarsa seperti Anita Cemerlang atau Aneka Yess. Dari situlah saya mengenal cerita pendek remaja dengan topik-topik percintaan.
Namanya penulis ababil alias masih mencari-cari jati diri, saya coba-coba menulis cerpen remaja seperti itu. Cerita silat saya tinggalkan, terutama setelah masuk SMA. Bacaan saya berganti dari Wiro Sableng menjadi Ceria Remaja, majalah yang isinya cerpen-cerpen dan puisi remaja. Saya juga mengikuti cerpen-cerpen di surat kabar lokal seperti Independent (kini jadi Jambi Independent) dan Jambi Ekspres.
Saya semakin gandrung menulis cerpen remaja setelah berkenalan dengan Dian Nurdiansyah, teman sekolah sesama perantauan asal Sungai Bahar. Lalu Surya Kaur Saputra, ketua OSIS yang suka menulis puisi, turut bergabung dalam lingkaran pertemanan kami. Jadilah kami trio sastrawan sekolah. #ngakungaku
Meski kemudian aktif di band sekolah dan Pramuka, saya terus menulis dan tetap rakus membaca. Bahan bacaan saya kian bertambah berkat koleksi perpustakaan sekolah. Tiap istirahat, saat teman-teman lain ke kantin, saya berbelok ke perpustakaan. Membaca-baca majalah Horison, novel NH Dini, atau cerpen-cerpen karya Nugroho Notosusanto dan AA Navis.
Saya juga mulai merambah media cetak. Mula-mula hanya mengirim beberapa surat pembaca di Independent, lalu memberanikan diri mengirim cerpen ke Jambi Ekspres. Tak disangka-sangka ternyata cerpen saya dimuat! Sayangnya saya tak kehilangan kipling cerpen tersebut saat lulus SMA.
Puspa Mega
Majalah dinding SMA saya terhitung aktif meski juga tak bisa dibilang hidup. Pembina OSIS membuat kebijakan tanggung jawab penerbitan majalah dinding digilir tiap lokal, berganti-ganti setiap Senin. Karena jumlah lokal di sekolah saya waktu itu hanya ada sembilan (masing-masing 3 lokal untuk kelas 1, 2 dan 3), jadi mading hanya terbit sembilan kali dalam satu tahun ajaran. Selebihnya papan mading hanya berisi pengumuman dari pihak sekolah.
Saya lalu usul ke Surya agar sekolah mencetak majalah sekolah. Usulan tersebut disampaikan ke Pembina OSIS, Bapak Nuriwan Bhakti. Setelah ditimbang-timbang, usulan itu diwujudkan dan majalah sekolah kami itu diberi nama Windi. Kabar baik itu disampaikan Surya pada saya. Lalu pengumpulan naskah dimulai. Saya, Dian dan seorang kawan sekelas bernama Diana Aprilia ikut mengirimkan karya masing-masing untuk memperebutkan satu-satunya slot cerpen yang tersedia.
Alhamdulillah, entah atas pertimbangan apa cerpen saya yang terpilih untuk dimuat. Coba kita tanya pada rumput yang bergoyang. Hehehe...
Tapi majalah sekolah itu kemudian mandeg. Dari harusnya terbit tiap caturwulan (empat bulan) sekali, hingga catur wulan ketiga edisi kedua tak kunjung jelas nasibnya. Sedangkan "arisan" mading juga sudah lama berhenti.
Melihat kondisi ini Dian mengajak saya membuat majalah dinding sendiri. Pengurusnya hanya kami berdua, dengan seluruh biaya pembuatan juga kami tanggung. Kami matangkan rencana ini lalu menghadap Pak Iwan, panggilan Pembina OSIS kami, untuk meminjam tempat memajang mading kami. Sesuai harapan kami, Pak Iwan mengijinkan meski kami diberi jatah di sisi yang menghadap ke matahari. Agak kurang menguntungkan karena pembacanya bakal berpanas-panasan.
Proyek mading kami itu membutuhkan biaya sebesar Rp10.000 sekali terbit. Itu biaya untuk membeli karton, foto kopi, beli kertas HVS putih, kertas warna, juga lem kertas. Kami patungan masing-masing Rp5.000. Sebagai gambaran, biaya hidup kami sebagai anak kos waktu itu sebesar Rp100.000 sebulan. Jadi untuk biaya pembuatan mading mandiri tersebut saya dan Dian harus menyisihkan 5% dari jatah bulanan.
Kami menggarap mading tersebut dengan sungguh-sungguh. Jika biasanya mading hanya ditulis tangan, kami menggunakan mesin tik. Tentu saja pinjam. Kami juga bermain-main dengan penataan gambar, kolom, dan warna sehingga tampilan mading lebih menarik. Dan kami akan merasa sangat senang sekali melihat dua-tiga siswa berdiri membaca hasil karya kami.
Saya lupa berapa kali persisnya kami menerbitkan mading swadaya ini. Tapi rupanya Pak Iwan memperhatikan keseriusan kami. Pada satu kesempatan saya dan Dian dipanggil mengikuti rapat OSIS. Mendadak sekali. Di sana rupanya mereka tengah membahas nasib majalah sekolah yang menggantung. Begitu kami duduk, Pak Iwan memberi tawaran pada salah satu dari kami untuk menjadi Pemimpin Redaksi Windi sekaligus bertanggung jawab atas penerbitan edisi kedua.
Dian dapat kesempatan menjawab pertama, dan ia tegas mengatakan menolak tawaran tersebut. Ia ingin fokus di majalah dinding yang sedang kami kelola. Lalu Pak Iwan meminta jawaban saya. Berbeda dengan Dian, saya merasa ini tawaran yang tak boleh dilewatkan. Maka saya pun menerima tawaran tersebut. Seluruh pengurus OSIS yang menghadiri rapat itu bertepuk tangan.
Tepatkah keputusan saya? Tepat tidak tepat. Rupanya sebagai Pemred saya tak cuma mengurusi naskah mana saja yang layak dan tak layak muat. Lebih repot dari itu, saya yang harus meminta-minta naskah dari teman-teman satu sekolah, mendatangi rumah mereka satu per satu, bahkan pernah mencegatnya di jalan untuk menagih naskah, juga mengetiknya di komputer teman kalau naskah itu masih berupa tulisan tangan, dan kerepotan-kerepotan lain yang di luar bayangan saya.
Singkat cerita, saya gagal sebagai Pemimpin Redaksi majalah sekolah. Sesuatu yang masih saya sesali hingga sekarang. Windi gagal terbit hingga kami naik ke kelas III. Pak Iwan terus menekan saya, tapi saya ternyata bukan tipe organisatoris handal sehingga tak bisa me-manage teman-teman redaksi dengan baik. Deadline demi deadline terlampaui dan majalah tersebut tak kunjung terbit, sampai akhirnya saya mengajukan pengunduran diri.
Ah, andai saja dulu saya ikut langkah Dian, menolak tawaran tersebut dan fokus pada majalah dinding kami. Andaikan...
Pada akhirnya kami lagi-lagi membuat proyek majalah dinding. Pemrakarsanya tetap Dian. Dia beralasan, sebagai anak Jurusan Bahasa kami harus punya media tempat unjuk karya. Dian mengajak saya berdiskusi karena saya ketua kelas, selain juga karena dia tahu saya selalu sependapat dengannya dalam hal-hal seperti ini.
Begitulah, saya dan Dian lantas mengajak dua teman lain (seingat saya Kusmardianti dan Rudi Widodo) untuk menggarap majalah dinding yang kami namai Puspa Mega.
Kredit Foto: https://sisihidupku.wordpress.com
Published on April 06, 2016 09:22
April 5, 2016
Kado Ulang Tahun Idaman

ULANG tahun saya sudah lewat, yang berikutnya juga masih lama sekali datangnya. Tapi kalau diminta menyebut mau kado ulang tahun apa, masa iya harus nunggu ulang tahun? Hehehe... Kalau ini sih jawabnya gampang. Apalagi saya memang sedang menginginkan sesuatu. Yang satu ini malah bisa masuk kategori kebutuhan.
Kilas balik sedikit ya.
Sewaktu belum menikah, lebih tepatnya sampai tahun 2009, cuma sekali saya dapat kado ulang tahun. Hadiahnya juga rada gimanaaa gitu. Bagus sih kadonya, tapi untuk ukuran orang seusia segitu kado itu serius banget. Super duper serius. Siapa yang ngasih sepertinya lebih baik saya simpan sebagai rahasia pribadi.
Nah, cerita jadi berbeda setelah saya kenal bakal calon istri. Kami kenalan lewat jalur pertemanan. Maksudnya, kami sama-sama temannya teman kami yang saling berteman. Setelah observasi dengan bertanya-tanya ke teman-teman dekatnya, juga melihat-lihat kesehariannya di kontrakan, saya mantap mengajukan tawaran menikah padanya akhir tahun 2005.
Dia mengiyakan. Saya langsung memboyong keluarga dari Jambi ke Jogja, untuk kemudian bergerak ke Pemalang. Lamaran. Sebelum pertemuan antarkeluarga saya sudah terlebih dahulu datang sih, jadi lamaran versi keluarga besar itu boleh dibilang formalitas belaka. Dasar rejeki, karena satu dan lain hal pernikahan kami baru terlaksana medio 2009. Tiga tahun status kami mentok di pertunangan.
Kembali ke soal kado ulang tahun, sejak punya tunangan inilah saya selalu dapat kiriman hadiah setiap tanggal 10 Desember. Ya, kadonya dikirim karena tunangan sudah kembali ke Pemalang dan saya masih di Jogja. Kado pertama berupa sepasang sandal keren warna coklat. Kenapa sandal? Soalnya dia tahu persis kalau saya kemana-mana sukanya pakai sandal jepit.
Entah kenapa saya nyaman sekali pakai sandal jepit kemana-mana. Biasanya outfit saya kalau keluar dari kos adalah kaos, kadang berkerah kadang oblong, dipadu celana jins dan sandal jepit. Saya pernah membuat Bapak geleng-geleng kepala karena mudik ke Jambi dengan setelan seperti itu. "Mbok ya dandan yang rapi dikit kalau mau pergi jauh," kata Bapak waktu itu.
Kesan saya tentang kado pertama dari tunangan? Tentu saja senang sekali, sebab saya merasa ada yang memperhatikan. Dengan kado sandal keren itu berarti kan tunangan berniat menuntun saya untuk berpenampilan lebih sopan. Bukan berarti sandal jepit tidak sopan lho ya. Tapi sandal begini tidak jamak dipakai di tempat-tempat umum, apalagi ke pertemuan sekalipun itu acara nonformal. Katakanlah kopdar blogger.
Tips Memberi Kado
Ada kata bijak Jawa yang berbunyi, "ajining raga saka busana." Maksud kata bijak ini, penghormatan orang lain pada kita tergantung dari penampilan kita, dari cara berpakaian kita. Tidak perlu dijelaskan to?
Jadi, kado ulang tahun dari tunangan waktu itu benar-benar sesuatu yang bermanfaat bagi kebaikan saya. Kado yang membuat saya berubah menjadi lebih baik, berpenampilan lebih baik.
Sekedar berbagi nih ya, perhatikan hal-hal berikut jika berniat memberi kado pada seseorang. Terlebih jika itu orang yang spesial bagimu. Tapi harap digaris-bawahi, ini tips versi kaum adam ya. Meski saya yakin tips ini sebenarnya sama bergunanya bagi cowok maupun cewek.
1. Berikan Sesuatu yang Membuatnya Tampil Lebih Keren
Ya, ini persis seperti pengalaman saya mendapat kado pertama dari tunangan. Tahu saya kemana-mana hanya pakai sandal jepit, tunangan saya membelikan sandal kulit yang keren. Tentu saja jauh lebih keren dari sandal jepit putih bertali hijau milik saya saat itu.
Meski hanya sandal, tapi efeknya ke penampilan saya secara keseluruhan besar sekali. Karena punya sandal keren, saya harus mengimbangi pemilihan celana dan atasannya. Rasanya agak gimana gitu kalau kakinya pakai sandal keren tapi celana jins yang dipakai belel parah dan nggak jelas apa warna aslinya. Dekil and the kumal.
Naik lebih ke atas, sandal dan celana keren membuat saya jadi lebih hati-hati memilih atasan. Walaupun andalannya ya tetap kaos, setidak-tidaknya saya memilih yang terbaik. Atau lebih rapi. Kalau biasanya langsung comot dari tali jemuran, setelah punya sandal keren kaosnya disetrika dulu biar rapi.
Bukankah kita juga yang senang kalau dia berpenampilan keren?

FOTO: 123rf.com
2. Belikan Barang yang Dia Butuhkan
Karena saling dekat, tahu dong apa yang sedang dibutuhkan si dia. Pasti kalian sering curhat-curhatan, atau paling nggak dia keceplosan ngomong lagi butuh banget sama satu hal. Kalau apa yang dia butuhkan itu belum terwujud, itulah kesempatan kamu untuk memberi kado yang berkesan. Sekaligus menunjukkan kalau dirimu perhatian sama dia.
Misalnya dia sedang menggarap skripsi dan butuh satu buku yang wajib jadi referensi, tapi setelah berkelana dari satu toko buku ke toko buku lain dia tidak juga menemukan buku itu. Kalau kamu bisa dapat itu buku, berikan itu sebagai kado ulang tahun dan jangan kaget kalau dia bakal menyambutnya begini: berdiri menahan napas dengan mata terbelalak dan mulut ternganga, lalu kedua belah tangannya memegangi bagian pipi dekat dagu.
Okelah, biar terkesan romantis tambahkan sebatang coklat dan sekuntum bunga mawar merah.
Kalau dia lagi butuh uang gimana? Mmmm, kalau ini beda jurusan. Coba arahkan ke marketing bank seperti Mas Dani Rachmat . Hehehe...
3. Hadiahkan Apa yang Paling Dia Sukai
Setiap orang tentu punya barang favorit, atau hobi yang berkaitan dengan barang-barang tertentu. Memberi hadiah dalam kategori ini tak cuma menunjukkan kalau kamu perhatian sama dia, tapi juga kamu mendukung apa yang dia lakukan.
Dia hobi koleksi uang lama, misalnya, kamu bisa carikan koleksi yang belum dia punya. Tak perlu mahal-mahal, tidak perlu yang berjuta-juta harganya, asalkan dia belum punya pasti bakal diterima dengan senang hati. Ada banyak uang lama yang bisa diperoleh dengan harga di bawah ratusan ribu. Biar terkesan lebih eksklusif, carikan koleksi set alias seri uang lama tertentu berdasarkan tahun penerbitan.
Atau dia senang sekali mendaki gunung? Hadiah jaket waterproof atau sleeping bag, juga sepatu, bisa jadi pilihan bagus. Perhatikan apakah jaketnya sudah mulai pudar warnanya, atau bolong-bolong mungkin. Lihat apakah sol sepatunya sudah aus dan menipis karena terlalu sering dibawa naik ke pegunungan, atau sleeping bag-nya selama ini sewa di komunitas.
Kalau dia senang membaca, buku adalah kado paling pas. Tinggal sesuaikan saja buku seperti apa yang jadi seleranya. Misalkan dia penggemar penulis tertentu, belikan karya terbaru penulis tersebut. Dijamin, dia pasti senang. Gampang kan?
4. Surprise!!!
Pernah mendapatkan sesuatu yang tidak disangka-sangka saat ulang tahun? Saya pernah.
Tahun 2012, tepat di hari ulang tahun saya, sebuah telepon dari nomor telepon rumah berawalan kode area 0284 masuk ke hape. "Mas Eko ya?" terdengar suara seorang pria di seberang sana. Saya mengiyakan. "Ini ada kiriman untuk Mas Eko, silakan ambil di toko Mahkota hari ini ya," kata pria itu lagi.
Saya bingung. Mahkota itu toko kue, masa iya ada paket untuk saya yang harus diambil ke sana? Kalau memang itu paket, harusnya kan saya ambil di kantor agen jasa pengiriman. Itupun biasanya kurir mengantar sampai alamat rumah. Penasaran, sepulang mengantar beberapa pesanan pembeli saya mampir di toko tersebut.
Namanya toko kue, tentu saja kue-mue yang saya temui di sana. Seorang pria berbadan tinggi besar memakai kaca mata menyambut saya. Begitu saya menyebut nama, pria yang ternyata pemilik toko tersebut langsung membawa saya ke hadapan sebuah kue tar berlapis cokelat berukuran besar. Di salah satu sisi kue tersebut ada tulisan "Happy Birthday Kakakku Tersayang."
Wow! Ternyata adik perempuan saya di Jakarta memesankan kue ulang tahun untuk saya ke toko tersebut. Pesanan dilakukan melalui telepon setelah browsing di Google, lalu pembayaran lewat transfer bank. Saya speechless. Saya tidak pernah merayakan ulang tahun, dan hanya sekali membeli kue tar untuk keperluan tiup lilin. Itupun karena dibelikan istri secara diam-diam.
Hari itu, kejutan besar saya terima dari adik di Jakarta. Kejutan berupa kado berwujud kue ulang tahun. Rasanya tak bisa dilukiskan dengan kata-kata.
Setiap orang suka kejutan, kejutan kecil sekalipun. Saat si dia ulang tahun, berikan kejutan padanya dan lihat bagaimana reaksinya. Kejutannya apa? Ya namanya kejutan jangan sampai orang lain tahu dong. Apalagi diajari. Kalau saya beri tahu namanya bukan kejutan, tapi bocoran. Cari tahu sendiri sana!
Kado Idaman
Cukup empat itu saja tipsnya. Semuanya berdasarkan pengalaman pribadi, di mana saya merasa sangat senang sekali sewaktu mendapat hadiah yang sedang saya butuhkan, hadiah yang saya sukai, yang membuat saya tampil lebih baik, juga surprise dari adik di luar kota.
Khusus nomor tiga, istri saya pernah lho memberi hadiah murah meriah tapi benar-benar membuat saya gembira berhari-hari setelahnya. Ini kado ulang tahun kemarin. Bangun tidur ada dua buah bungkusan kado di sebelah bantal. Saya pegang-pegang kok lembut tapi isinya kecil-kecil keras. Apa ini? Pas saya buka ternyata isinya... sebungkus kacang garing kesukaan saya! Horeeeee!!!
Harga sebungkus kacang garing bermerek sama dengan nama salah satu minimarket itu hanya Rp15.000, dua bungkus berarti Rp30.000. Tapi kacang adalah camilan favorit saya, lebih-lebih kacang garing. Jadi meski hanya bernilai Rp30.000, kado itu membuat saya senang bukan kepalang karena sudah lama ingin makan kacang garing.
Nah, sekarang ini saya sedang butuh sesuatu. Sesuatu yang cukup lama saya idam-idamkan. Sesuatu yang kalau saya miliki bakal sangat menunjang aktivitas saya sebagai pemilik toko online kecil-kecilan. Sesuatu yang bisa membuat saya lebih mudah menggarap job sebagai blogger. Tapi karena berbagai kebutuhan lain yang lebih mendesak keinginan memiliki sesuatu itu harus saya pendam dalam-dalam.
Kok ya kebetulan si sesuatu itu jadi hadiah kontesnya Mas Dani Rachmat . Kebetulan pula saya membaca status blogger lain di grup Fun Blogging tentang kontes yang dia adakan. Kebetulan lagi masih ada waktu, hari terakhir. Saya akan sangat senang sekali kalau ada kebetulan lain yang terjadi setelah ini, meskipun ulang tahun saya tanggal 10 Desember, bukan 10 April.
Tabik.
Posting ini diikut-sertakan pada Giveaway Kado Ulang Tahun Dani Rachmat .
Baca disclaimer blog ini selengkapnya di laman berikut.
Published on April 05, 2016 08:11
April 4, 2016
Resep Sambal Goreng Tempe Kesukaan Saya

INI sebenarnya bukan resep andalan keluarga seperti disyaratkan oleh Teh Ani Berta sih. Tapi keluarga saya memang tak punya resep andalan, soalnya semua masakan Ibu saya handal. Hehehe. Nah, sambal goreng tempe ini merupakan lauk favorit saya. Ibu hapal betul ini. Karenanya setiap kali saya mudik ke Jambi pasti dibuatkan sambal tempe.
Sambal tempe buatan Ibu sangat istimewa. Saya selalu dibuat ketagihan olehnya. Rasa sambalnya yang pedas tapi bercampur manis sedikit, lalu tempe kecil-kecilnya yang digoreng renyah. Sambalnya garing, tapi tidak kering (bingung nggak sih?) alias masih terasa lumer menempel di tempe. Saya paling suka mengambil sambalnya banyak-banyak, lalu tempenya biasa dijambal belakangan.
Setiap kali mengingat Ibu, bayangan sambal tempe ini otomatis melintas di kepala saya. Kalau saya di rumah dan Ibu masak tempe, beliau pasti akan bilang ke adik-adik saya, "Ini sambal tempe kesukaan kakakmu." Lalu saat saya mudik lebaran tahun 2014 lalu Ibu juga bilang ke anak-anak saya, "Ini sambal tempe kesukaan Abi."
Menikmati sambal tempe buatan Ibu cukup dengan nasi putih hangat, sudah ueenaaak luar biasa. Tapi Ibu lebih sering menyajikannya bersama lalapan berupa kacang panjang dipotong-potong pendek, kol atau daun kemangi. Kadang-kadang juga ada terong atau labu rebus. Semuanya sama enak bagi saya.
Sewaktu masih kos di Jogja dulu saya kerap coba memasak sambal tempe ala Ibu. Maklumlah, tempe adalah lauk favorit anak kos. Jaman itu tempe plastik merek Pedro harganya Rp700 sebungkus. Kalau mau lebih murah lagi beli tempe yang dibungkus kecil-kecil dengan daun jati, harganya saat itu masih Rp100.
Tapi sambal tempe buatan saya beda sekali dengan masakan Ibu. Hasil masakan saya biasanya sambalnya terlalu kering, atau malah kurang matang. Lebih sering lagi terlalu banyak minyak, jadi kesan basahnya bukan karena sambal tapi minyak. Mungkin karena saya memasaknya hanya berdasarkan ingatan sewaktu membantu-bantu Ibu memasak jaman masih tinggal serumah. Mungkin...
Jadi, demi memenuhi challenge One Day One Post hari ke-8, saya pun mengontak Ibu di Jambi dan meminta beliau mengirimi resep sambal goreng tempe buatannya. Ini dia resepnya:
Bahan-Bahan:
- Tempe, potong kecil-kecil
- Kacang tanah yang sudah dikupas kulitnya
- Teri, belah dua
Bumbu-Bumbu:
- 5 siung bawang merah
- 3 siung bawah putih
- asam jawa secukupnya, rendam dengan air
- garam secukupnya
- gula pasir secukupnya
- gula merah secukupnya
Cara Memasak:
1. Goreng kering semua bahan.
2. Peras air rendaman asam jawa, lalu canpurkan dengan semua bumbu, blender halus.
3. Tumis bumbu di atas api sedang sampai benar-benar matang agar tidak cepat basi.
4. Setelah sambal matang, matiksan saja apinya.
5. Campurkan tempe, kacang tanah dan teri yang sudah digoreng tadi dengan sambal. Aduk rata.
6. Selesai.
Mohon maaf kalau resepnya tidak terlalu rinci menyebut takaran. Kata "secukupnya" di bagian bahan berarti sesuaikan dengan selera. Kata Ibu saya, gula merah tidak perlu dipakai kalau tidak suka manis. Satu lagi, fotonya saya comot dari laman qudapan.blogspot.com yang ternyata diambil dari Flickr.com.
Selamat mencoba resep sambal goreng tempe ala Ibu saya!
Published on April 04, 2016 20:42
Ini yang Saya Lakukan Kala Jenuh Ngeblog

AWAL ngeblog serius pada akhir 2007 lalu, saya rajin sekali membuat posting baru. Nyaris setiap hari saya online dan mempublikasikan artikel baru di blog. Hanya tulisan-tulisan ringan mengenai hal-hal baru yang saya alami, dan saya tak pernah peduli berapa orang yang membaca tulisan tersebut. Pokoknya tulis dan tulis, setiap hari.
Ada alasan kenapa saya sangat bersemangat ketika itu. Seperti saya ceritakan di posting sebelumnya, motivasi saya adalah mencari dolar. Maklum, saya berstatus mahasiswa nggantung sekaligus semi pengangguran saat itu. Urusan kebutuhan sehari-hari tidak perlu khawatir, masih ada subsidi dari rumah. Tapi saya merasa tak enak sendiri karena seusia itu masih belum juga bisa menghasilkan uang sendiri.
Sebenarnya pernah sih saya hidup mandiri, malah saat masih berstatus mahasiswa. Memanfaatkan libur kuliah pertengahan tahun 2001, saya magang di Candi Prambanan untuk memperlancar bahasa Inggris. Siapa sangka jika saya tak cuma dapat kesempatan melatih cas-cis-cus dengan bule setiap hari, tapi juga memperoleh tip. Paling kecil US$ 1.00, tapi pernah ada bule baik hati memberi tip US$5.00 lho. :)
Lalu kesempatan praktik kerja lapangan di awal 2002 saya pergunakan untuk magang sebagai bellboy di Novotel Solo selama lima bulan. Bukan cuma menambah pengalaman di dunia hospitality, saya juga bisa mengantongi tip antara Rp25.000-Rp50.000 sehari dari tetamu. Sebagai perbandingan, harga nasi sayur lauk ikan di Solo saat itu masih Rp1.500 seporsi.
Nah, cerita berganti sendu ketika saya memutuskan pindah jalur. Dunia pariwisata yang saya pelajari selama dua tahun di Pendidikan Profesi Pariwisata YP UNY saya tinggal. Lalu saya mengambil pendidikan jurnalistik di Akademi Komunikasi Yogyakarta (AKY) untuk menuntaskan dahaga saya pada dunia tulis-menulis.
Singkat cerita, kuliah saya berantakan. Masuk tahun 2003, saya seharusnya lulus pada tahun 2006. Tapi tahun itu saya malah baru mulai aktif lagi masuk kampus setelah absen tiga semester. Status jadi mengambang, setengah mahasiswa setengah pengangguran. Di tengah kondisi simpang-siur itulah saya mempelajari blog. Jadi, harap maklum kalau motivasi saya uang. Dolar.
Beruntung sekali saya langsung menemukan apa yang saya cari. Dua bulan ngeblog serius, saya sudah dapat job review meski bermodal blog gratisan. Dolar demi dolar berdatangan. Semangat ngeblog pun membara.
Demi meningkatkan penghasilan, blog gratisan dengan subdomain blogspot.com saya ubah jadi ekonurhuda.com. Di sana saya membahas seluk-beluk mendapatkan uang dengan blog. Pembacanya banyak. Tak heran ketika saya meluncurkan ebook banyak yang mengunduh. Entah siapa yang memulai, saya dipanggil master. Padahal semasa magang di Prambanan saya sudah dipanggil mister. Hahaha.
Lalu datanglah masa surut. Krisis ekonomi yang menghantam Amerika Serikat, ditambah perubahan kebijakan Google mengenai link artifisial membuat bisnis sponsored post tak seseksi dulu. Advertiser hati-hati sekali memilih blogger, dan rupanya blog saya tak masuk kriteria. Job review sepi, rekening kian lama kian menyusut, demikian pula semangat ngeblog.
Jenuh pun melanda. Tapi saya tak mau lama-lama mandeg berkarya. Dan ini yang saya lakukan saat rasa jenuh ngeblog melanda saat itu.
Tarik Napas
Ngeblog itu bukan pekerjaan mudah. Memikirkan ide tulisan, melakukan riset dan mengumpulkan referensi, lalu menuangkannya dalam sebentuk posting sepanjang 1.000-1.500 kata butuh energi luar biasa. Adalah wajar kalau kemudian lelah melanda, dan menghadirkan kejenuhan. Saya rasa setiap blogger akan mengalami masa-masa begini.
Bagi saya kejenuhan adalah alarm alami bahwa kita sebagai manusia butuh jeda. Butuh refreshing. Maka penuhilah kebutuhan tersebut. Jeda sejenak dari rutinitas ngeblog tak akan membuat kita mati kok, hehehe. Absen update sehari juga tidak ada yang protes. Jadi ya tinggalkan saja dulu laptop dan segala tetek bengeknya.
Berkunjung ke rumah teman atau saudara bisa jadi pilihan bagus. Atau kalau tinggal jauh dari orang tua, sekalian saja jenguk orang tua di kampung. Bertemu dan bercakap-cakap dengan orang-orang yang kita cintai adalah salah satu cara ampuh untuk membangkitkan energi, untuk membuang kejenuhan.
Berwisata singkat ke tempat-tempat rekreasi yang tak terlalu jauh dari tempat tinggal kita juga boleh. Seharian penuh bersenang-senang dan menikmati hari itu, lalu pulang-pulang tinggal istirahat. Insya Allah, besok pagi-pagi bangun tidur semangat sudah menyala lagi.
Saya sendiri ketika itu mengajak seorang kawan kos berjalan-jalan keliling Jogja. Benar-benar keliling karena kami menjajal Transjogja yang waktu itu baru saja dirilis. Dari halte di Jl. Kusumanegara kami menuju Janti, lalu berputar di ringroad utara sampai Terminal Condongcatur. Ganti jalur ke arah Jl. Gejayan, menyusuri Jl. Jend. Sudirman dan akhirnya berhenti di halte Malioboro.
Di sini kami mengeksplorasi seputaran alun-alun Kraton. Diawali dari Masjid Kauman, Museum Kareta, lalu ke Pasar Ngasem dan finis di Taman Sari. Pulang-pulangnya gelap sudah menyapa.
Ganti Suasana
Ini langkah terakhir yang saya ambil kalau kejenuhan itu tak ada penawarnya. Tak cukup refreshing, tak cukup jalan-jalan untuk mengatasinya. Biasanya ada alasan yang lebih personal dan mendasar sehingga ngeblog jadi tidak lagi menggairahkan. Masalah passion.
Ini saya alami saat ngeblog dengan ekonurhuda.com. Saya jenuh dengan topik-topik make money making, online earning, dan istilah-istilah sejenis lainnya. Hari-hari yang dibahas dolar. Si Anu earning-nya sekian ratus dolar, sekarang Si Itu sudah empat digit, si Fulan bisa beli mobil dari Google AdSense, Si Fulanah beli rumah, dll.
Tak ada yang salah sih dengan itu semua. Masalahnya, saya melihat saat itu blogger hanya dinilai dan dihargai dari seberapa banyak dolar yang dihasilkannya. Maka lahirlah istilah blogger newbie dan blogger master. Kategori master kalau penghasilannya sudah ratusan atau bahkan ribuan dolar sebulan. Saya sendiri ada di kategori newbie karena paling banyak hanya pernah mendapat US$300.00 sebulan.
Basic saya penulis. Saya ngeblog untuk mengasah skill menulis saya. Iya, saya kemudian tergiur dengan dolar, jadi bagian dari blogger yang begitu membangga-banggakan dolar. Tapi nyatanya hanya dua tahun kemudian saya sudah merasa jenuh dan ingin keluar dari situasi tersebut. Semakin sepinya job review saya jadikan momentum untuk ganti suasana.
Lalu lahirlah bungeko.com pada 14 Desember 2009. Ini blog yang benar-benar baru baik dari semangat maupun pemilihan tema. Saya tak lagi membahas seputar mencari uang di internet di sini. Hanya hal-hal ringan seputar keseharian nan sepele. Meski tak ada uangnya, saya merasa nyaman dengan blog baru ini.
Toh, rejeki takkan kemana. Blog baru tak ada penghasilan, tapi saya dapat tawaran menulis buku. Lumayan, empat judul buku saya diterbitkan dua penerbit berbeda. Lalu saya buat toko online sederhana, berjualan uang mahar dan pernak-pernik pernikahan. Artikel-artikel sepak bola yang saya tulis juga berganti-ganti dimuat berbagai media cetak dan online. Alhamdulillah...
Jadi, menurut saya jenuh itu wajar. Kalau rasa itu timbul, istirahat saja sejenak dari rutinitas ngeblog. Kalau kejenuhan itu timbul karena ketidak-nyamanan seperti yang saya alami, ya singkirkan hal-hal yang membuat tidak nyaman itu. Ngeblog itu harus enjoy, karena rejeki hanya mau datang pada orang-orang yang bekerja dengan enjoy. :)
Semoga bermanfaat.
Published on April 04, 2016 09:19
Kisah Dolar Pertamaku dari Internet

SAYA tak akan malu-malu mengakui kalau dulu membuat blog dengan tujuan materi. Ya, saya mulai mempelajari dan kemudian membuat blog pertama karena motivasi dolar. Hanya butuh waktu dua bulan, saya sudah berhasil mendapatkan dolar pertama dari internet menggunakan sebuah blog gratis.
Saya sempat menuntut ilmu di Akademi Komunikasi Yogyakarta (AKY), meski tak sampai lulus. Ini kampus unik karena hanya menyediakan satu jurusan: jurnalistik. Kondisi kampusnya pun jauh dari kata membanggakan. Hanya sebuah gedung kecil dua lantai di pinggiran sawah di daerah Caturtunggal, Kec. Depok, Kabupaten Sleman. Jadi jangan heran kalau mahasiswanya paling banyak belasan orang setiap angkatan.
Dari seorang teman di kampus inilah saya pertama kali mengenal istilah make money online atau ada juga yang menyebutnya sebagai online earning. Waktu itu teman saya ini menunjukkan sebuah majalah yang di dalamnya ada liputan khusus tentang orang-orang yang menghasilkan uang dari internet. Tertarik, saya lantas mengopi liputan tersebut.
Itu terjadi sekitar awal 2004. Teman-teman sekampus memang mengenal saya sebagai maniak internet karena dalam sepekan bisa 3-4 kali ke warnet. Dan sekali ke warnet bisa sampai berjam-jam lamanya. Kalau tak salah ingat jaman itu tarif warnet Rp2.000 sejam.
Berbekal fotokopi liputan tersebut saya lantas menjelajahi internet. Program-program periklanan yang disebutkan di sana saya cobai satu-satu. Saya lupa nama program-program tersebut. Satu yang masih saya ingat adalah InboxDollar, sebuah program periklanan yang cara kerjanya paling banyak dipakai saat itu. Dengan mendaftar di InboxDollar, kita mendapat komisi hanya untuk membukai email promosi yang dikirimkan ke alamat email kita.
Ini program periklanan recehan. Komisi yang kita dapat dari membuka tiap email promosi berkisar beberapa dim saja. Dim adalah pecahan di bawah sen. Kalau sen bernilai 1/100 dolar, maka dim 1/1000 dolar. Ditulis dengan angka, komisi yang diberikan InboxDollar paling besar $0.001 setiap kali kita membuka email promosi yang masuk ke dalam inbox. Jadi, untuk mengumpulkan $1.00 kita harus membuka 1.000 email promosi.
Capek? Tidak juga. Saat saya mendaftarkan diri program periklanan model begitu sudah mulai ditinggalkan. Praktis inbox saya paling banyak hanya menerima 10 email promosi sebulan. Artinya, sebulan saya mendapatkan 1 sen saja. Ikut banyak program sejenis InboxDollar untuk menggenjot penghasilan tak banyak membantu. Saya tak pernah mendapatkan hasil dari program-program ini.
(Catatan: Kini InboxDollar berubah menjadi situs survei online)
Belajar Ngeblog
Lalu saya berkenalan dengan blog sekitar tahun 2005. Awalnya dari membaca sebuah liputan di majalah Kabar Indonesia. Di sana diceritakan bagaimana blog sedang tren di Amerika Serikat, dan di Indonesia sendiri seorang anak SMA bernama Raditya Dika menerbitkan sebuah buku laris yang diadaptasi dari posting-posting blognya. Kambing Jantan judulnya.
Saya mulai tergugah. Sekilas yang saya ketahui, dengan blog saya bisa menulis apa saja dan langsung menayangkannya sehingga dapat dibaca oleh orang lain. Media penerbitan mandiri, itu yang saya simpulkan dari blog masa itu. Dan ini yang sedang saya cari. Sebuah wadah untuk melatih sekaligus menunjukkan skill menulis saya.
Sejak pertama kali menginjakkan kaki di Jogja pada pertengahan 2000, saya rajin mengirim artikel dan cerpen ke berbagai koran. Mulai dari Kedaulatan Rakyat dan Minggu Pagi di Jogja, sampai ke Kompas di Jakarta. Saya memaksa diri untuk menghasilkan setidaknya satu cerpen setiap pekan agar nama saya selalu hadir menyapa redaktur koran-koran tersebut. Hasilnya? NOL.

Blog pertama saya yang pakai nama domain .com, www.ekonurhuda.com, di mana saya mendapatkan dolar pertama dari internet. Ini screenshot tampilan bulan Juni 2008, diambil berkat bantuan Web Archive.
Tak satupun artikel maupun cerpen saya dimuat. Saking banyaknya surat penolakan dari Kompas, saya sempat punya satu map tebal khusus berisi surat-surat yang seluruhnya beralasan sama: "Maaf, kami tidak mempunyai ruang untuk cerpen Anda." Satu-satunya yang dimuat malah artikel pertama dan ternyata juga jadi artikel terakhir yang saya kirim ke majalah Sahabat Pena di Bandung.
Karena mengirim artikel dan cerpen lewat pos butuh biaya banyak, saya akhirnya putar kemudi. Ketimbang untuk mengirim artikel dan cerpen, mending uangnya dibelikan buku saja. Saya jadi jarang menulis. Kecuali berkirim opini pembaca ke Tabloid BOLA yang kemudian jadi surat pilihan redaksi dan mendapat hadiah kaos atau jaket olahraga.
Tapi perkenalan saya dengan blog mengubah itu semua. Saya langsung membayangkan tak perlu menunggu berbulan-bulan untuk melihat karya saya terbit. Begitu saya mengetikkan titik terakhir dalam tulisan, saat itulah tulisan saya siap dipublikasikan. WOW! Saya sangat excited sekali. Saya segera membuat blog. Saya banyak terbantu oleh buku panduan membuat blog di Blogger.com berjudul Serba-Serbi Blogger karya Teguh Wahyono.
Selang beberapa waktu kemudian saya membaca sebuah iklan baris menggoda di koran Kedaulatan Rakyat. Inti iklan tersebut menawarkan peluang mendapat uang dari internet, lalu disertai satu alamat URl. Saya pun meluncur mengunjungi situs tersebut. Sebuah minisite berisi penawaran kursus program online earning, lengkap dengan foto-foto siswa si pemilik situs plus gambar cek bukti penghasilan dari internet. Melongok ke halaman "About" ternyata si pemilik situs orang Jogja.
Oya, saya tengah berstatus mahasiswa menggantung dan semi pengangguran saat itu. Setelah mengatur janji, saya meluncur ke alamat yang tertera di situs tadi. Di dompet terselip uang Rp100.000, satu-satunya lembar yang saya miliki. Lalu kami bertemu, berbincang sebentar dan ternyata orang itu berjualan ebook. Alamak!
Saya agak ragu ketika ia mengatakan, "Silakan pelajari ebook saya, harganya Rp100.000." Tapi karena saya butuh informasinya, saya pilih merelakan Rp100.000 tersebut berpindah dari dompet saya ke tangannya. Lalu si penjual ebook memberi secarik kertas berisi alamat URl di mana berkas ebook ia simpan, disertai password untuk membuka file PDF-nya.
Sampai di kos, saya mencari-cari uang receh tersisa di lemari lalu ke warnet sebelah kos-kosan. Tujuannya cuma satu, mengunduh ebook tersebut lalu mempelajarinya di komputer. Sialan! Saya mengutuk dalam hati sewaktu ebook sudah diunduh. Isi ebook tersebut hanya cara mendaftar di Google AdSense, jumlah halamannya tak sampai 10 dengan tata letak berantakan.
Dolar Pertama
Semangkel-mangkelnya saya pada si penjual ebook tadi, tetap saja informasinya saya pakai. Setidaknya saya jadi tahu apa saja yang harus dilakukan sebelum mendaftar di Google AdSense. Karena blog berbahasa Indonesia belum bisa memasang iklan AdSense, saya harus mempunyai blog berbahasa Inggris. Dan itulah yang saya lakukan.
Berbekal bahasa Inggris belepotan, saya membuat sebuah blog seputar sepakbola. Lalu disusul blog kedua tentang wisata. Dan blog ketiga agak serius, karena saya spesifik mengangkat wisata Jogja. Semuanya masih memakai subdomain Blogspot.com. Setahun berjalan penghasilan saya dari internet NOL BESAR. Selain jarang update, saya juga tak meng-upgrade diri dengan teknik-teknik terbaru. Boro-boro upgrade, belajar pada siapa atau ke mana juga saya tak tahu.
Setahun pertama mempunyai blog yang saya lakukan setiap kali ke warnet adalah mengintip sudah berapa banyak dolar terkumpul. Ketika tahu angkanya tak beranjak, dan biasanya hanya nol koma nol sekian dolar, saya gelisah. Maklum, tarif warnet sudah naik jadi Rp3.000 waktu itu. Kalau sewa dua jam dapat bonus, cukup bayar Rp5.000. Saya biasanya mengambil paket murah yang ditawarkan warnet langganan saya, di mana saya cukup bayar R5.000 untuk tiga jam termasuk segelas kopi panas.
Hanya saja paket ini berlaku tengah malam, sejak pukul 00.00 WIB hingga Subuh. Jadilah saya lebih sering begadang. Biasanya sehabis Maghrib saya tidur, bangun-bangun pas tengah malam. Awalnya hanya mengembara tak karuan di luasnya belantara bernama internet. Belajar mengubah-ubah warna tampilan blog, mencari-cari bahan posting, blogwalking ke blog milik blogger-blogger top jaman itu, sampai akhirnya mengetahui satu program periklanan yang lebih cocok saya jalankan: posting berbayar.
Setelah membaca referensi sana-sini, saya mendaftar di SponsoredReviews.com. Konon situs ini paling gampang ditembus dan blog lebih mudah di-approve meskipun masih pakai nama domain Blogspot. Begitulah, bermodal situs gratisan saya pun mendaftarkan diri ke SponsoredReviews.com dan ternyata diterima. Langsung dapat job pula. Tentu saja saya senang bukan kepalang, hehehe...

Berkat SponsoredReviews inilah saya memperoleh dolar pertama dari internet. Tanggal 2 Januari 2008, setelah menggarap beberapa posting berbayar di blog eko-sudjarwo.blogspot.com (alamat tersebut kini digunakan orang lain), saya mendapat bayaran pertama dari internet sebesar $6.50 (foto di atas). Langsung masuk ke dalam akun PayPal saya! Pengalaman menggembirakan tersebut saya ceritakan di posting ini.
Senang? Tentu saja. Rasanya pengorbanan *halah* setiap malam begadang sampai Subuh terbayar lunas. Ya, hanya $6.50 yang kalau dirupiahkan sekitar Rp50.000 lebih sedikit, tapi itulah hasil keringat pertama saya dari internet. Istilah kerennya, $6.50 itulah nukthotul intilaq atau titik permulaan dari penghasilan-penghasilan online berikutnya.
Job demi job lalu berdatangan. Dari awalnya hanya job review senilai $3.00 atau $5.00 per posting, nilainya naik jadi $10.00 dan bahkan pernah menembus $15.00 per posting. Berkat job-job bernilai besar ini saya pernah mengumpulkan uang sebanyak $12.68 hanya dalam tempo sejam menggarap review.
Berselang dua pekan setelah itu, gajian kedua dari SponsoredReviews datang. Jumlahnya jauh lebih besar: $69.55! Lalu gajian ketiga masuk, jumlahnya lagi-lagi lebih besar dari sebelumnya, $87.10. Total penghasilan saya pada Januari 2008, bulan pertama saya mendapat penghasilan dari internet, sebesar $165.5. Dolar setara Rp9.000 saat itu, jadi uang tersebut bernilai Rp1.489.500. Lebih besar dari standar UMP Jogja yang tidak sampai Rp 1 juta.
Memiliki penghasilan sendiri membuat harga diri saya terangkat. Kalau pas adik telat mendapat kiriman dari rumah, saya siap membantu. Malah adik saya tak segan-segan meminta uang pada saya kalau mendadak butuh uang dalam jumlah banyak. Meminta lho ya, bukan meminjam. Alhamdulillah, kini adik saya sudah mengabdi sebagai dokter hewan di Puskeswan Sungai Bahar.
Pengalaman saya dengan program SponsoredReviews kemudian saya tuangkan dalam ebook berjudul Panduan SponsoredReviews untuk Pemula. Berisi panduan lengkap mendaftar dan mendapatkan job dari SponsoredReviews, ebook gratis setebal 60 halaman tersebut laris manis diunduh sesama blogger. Iseng-iseng saya mengecek, jumlah pengunduhnya lebih dari 1.000 hanya dalam tempo tiga bulan sejak saya bagikan.
Alhamdulillah, ebook karya saya bermanfaat bagi orang lain. :)
Sepanjang tahun 2008, berikut pencapaian saya selama ngeblog, materi maupun imateri:
Bisa merakit komputer sendiri untuk keperluan ngenet dan ngetik, senilai Rp3.500.000.Bisa membeli modem untuk akses internet, senilai Rp1.050.000 (kisahnya di bawah).Bisa membantu uang bulanan dan biaya kuliah adik, nilai tak perlu disebutkan.Menulis dua buah ebook panduan yang laris manis diunduh sesama blogger.Dipanggil master, sebuah panggilan yang sejujurnya tidak saya sukai.Banyak teman dari berbagai daerah, semuanya dikenal lewat blog.
Bukan bermaksud pamer ya. Ini sekaligus sebagai pemicu motivasi bagi saya sendiri yang sudah lebih dari empat tahun absen ngeblog, juga nyaris lima tahun tak lagi menghasilkan uang dari blog. Semoga perkenalan dengan Fun Blogging menjadi pembuka jalan rejeki saya. Amin.
Layanan Internet Makin Keren
Dulu, saya harus ke warnet kalau mau update blog dan mengambil job review. Sewa minimal dua jam, paling tidak saya harus keluar uang Rp6.000 sekali ngenet. Jaman itu harga pecel lele masih Rp3.000. Tapi, alhamdulillah, penghasilan yang diperoleh lebih banyak dari biaya sewa warnet.
Seperti saya ceritakan di atas, saya kemudian menemukan sebuah warnet yang memberi paket hemat: Rp5.000 untuk 3 jam plus kopi panas. Cuma saya harus begadang karena paketnya berlaku dari pukul 00.00 WIB hingga Subuh. Karena itu saya menyebutnya sebagai Paket Kelelawar.
Warnet jadi pilihan favorit karena harga modem masih mahal-mahal. Ketika akhirnya membeli modem pada penghujung 2008, saldo tabungan saya berkurang sebesar Rp1.050.000. Ya, itu harga sebuah modem buatan Tiongkok yang hingga kini saya pakai. Teman sekos yang mengantar saya ke pameran membeli modem itu sampai geleng-geleng kepala. Maklum saja, uang sebanyak itu sama dengan uang kos 10 bulan.

Modem yang saya pakai untuk ngenet di tahun 2008. Modem made in China ini dulu saya beli seharga Rp1.050.000, kini di pasaran harganya "cuma" Rp200.000.
Saya cuma bilang ke dia, "Makanya belajar ngeblog. Ini duitnya dapat dari ngeblog." Teman saya nyengir kuda. Sekarang teman saya itu buka toko komputer di kampung halamannya di Lahat, Sumatera Selatan.
Berbekal modem tersebut saya bisa mengakses internet dari kamar kos. Setelah mencobai berbagai kartu, saya akhirnya mantap dengan paket internet Indosat menggunakan kartu Mentari. Mentari jadi pilihan karena paket internetnya paling murah dibanding operator lain, juga kecepatannya lebih kencang dan stabil.
Kalau tak salah ingat harga perdana Mentari waktu itu Rp10.000, sudah terisi pulsa Rp6.000 yang bisa saya pakai ngenet dua hari. Tapi tidak ada nomor tetap yang saya pakai. Hitungannya lebih murah membeli perdana dan menghabiskan jatah bonus internet ketimbang isi ulang pulsa. Jadilah saya punya koleksi starter pack Mentari banyak sekali waktu itu.
Sekitar enam bulan gonta-ganti kartu Mentari, saya mencoba layanan Indosat M2. Saya lupa berapa persisnya beli kartu perdana IM2 saat itu, antara Rp250.000 atau Rp300.000 sudah termasuk biaya langganan sebulan. Biaya bulanannya sendiri Rp200.000 dan bisa bayar lewat ATM atau internet banking.
Saya merasa nyaman memakai Indosat M2. Sebab saya bisa menikmati layanan internet unlimited dengan kecepatan di atas rata-rata. Tergolong murah ketimbang harus ke warnet, juga lebih praktis ketimbang bolak-balik membeli kartu perdana. Saya menjadi pelanggan Indosat M2 sampai kemudian pindah ke Pemalang pada Mei 2010. Maklum, di Pemalang sinyalnya tidak sampai ke tempat tinggal saya.
Sekarang layanan internet semakin baik. Indosat yang sudah berubah nama jadi Indosat Ooredoo belum lama ini meluncurkan Freedom Combo, sebuah paket yang menggabungkan layanan komunikasi standar (SMS dan telepon) dengan paket layanan data. Pengguna paket Freedom Combo cukup membayar mulai dari Rp59.000 sebulan untuk menikmati layanan data 1 GB pada kecepatan 3G dan 1 GB lagi pada jaringan 4G Plus. Sebagai tambahan, pengguna mendapat SMS dan telepon gratis ke sesama pengguna Indosat Ooredoo.
Paket Freedom Combo telah mendukung layanan 4G Plus dengan kecepatan gila-gilaan. Sebagai perbandingan, jika mengunggah foto menggunakan layanan 3G butuh waktu 25 detik, maka dengan 4G Plus hanya memerlukan waktu sedetik. Kira-kira sekedipan mata, setara kecepatan orang alim yang dimintai tolong Nabi Sulaiman memindahkan singgasana Ratu Balqis dari Ethiopia ke Yerusalem ribuan tahun lalu.
Saat ikut event Fun Blogging 9 di Semarang pada 19 Maret 2016 lalu, masing-masing peserta mendapat starter pack kartu Indosat Ooredoo yang sudah di-upgrade ke layanan 4G Plus. Juga tak lupa sebuah pena cantik. Kartu di starter pack tersebut sudah diaktifkan oleh panitia, sehingga bisa langsung digunakan menikmati layanan Freedom Combo.
Sayangnya saya belum punya smartphone yang support layanan 4G, sehingga keinginan untuk menjajal kecepatan internet yang ditawarkan Indosat Ooredoo harus dipendam dulu. Padahal, setelah mengecek di web Indosat Ooredoo, ternyata Pemalang sudah di-cover jaringan 4G Plus.
Mudah-mudahan saja lebaran nanti ada yang ngasih THR, cukup untuk beli smartphone 4G supaya saya bisa mencoba layanan 4G Plus-nya Indosat Ooredoo. Bantu aminkan ya. Hehehe...
Sebagai gantinya, silakan simak pengalaman Mbak Innayah yang merupakan salah satu pemakai Indosat Ooredoo dalam video di atas. Dalam sesi tanya-jawab dengan bagian promosi Indosat Ooredoo Jateng-DIY di sela-sela acara Fun Blogging 9, blogger wanita asal Kab. Pekalongan tersebut menceritakan kesan-kesannya selama menggunakan layanan data Indosat Ooredoo.
Oya, kembali ke mencari dolar melalui blog, rasanya rugi sekali jika kita tidak memanfaatkan layanan internet yang semakin kencang dan murah seperti sekarang untuk hal-hal yang lebih positif. Ya, untuk menghasilkan pendapatan dari internet, baik dengan ngeblog maupun mengelola toko online. Jangan hanya beli paket internet untuk selfie, tapi maksimalkan untuk mengumpulkan piti alias uang.
Bayangkan, tahun 2008 saya harus membalik ritme sekaligus mengurangi jadwal tidur, dari normalnya jam 22.00-05.00 WIB menjadi 19.00-24.00 WIB, demi mendapat layanan internet murah di warnet. Blogger sekarang tak perlu seperti itu, karena layanan internet murah dan kencang bahkan ada dalam genggaman. Manfaatkan! Maksimalkan!
Semoga bermanfaat.
Posting ini diikut-sertakan pada Lomba Blog Fun Blogging 9 .
Baca disclaimer blog ini selengkapnya di laman berikut.
Published on April 04, 2016 01:08
April 3, 2016
3 Tempat Wisata Keluarga Murah Meriah di Pemalang

WISATA keluarga sudah jadi salah satu kebutuhan tambahan prioritas bagi saya. Mengajak anak dan istri berlibur melepaskan diri sejenak dari kesibukan harian sangat membantu kami untuk lebih menikmati hidup. Bagi anak-anak, mereka senang sekali dibawa ke tempat-tempat baru. Kalaupun tempatnya tidak baru, suasananya yang baru.
Meski senang berlibur, saya jarang mengajak keluarga berlibur terlalu jauh dari Pemalang. Kami lebih sering berlibur di sekitaran Pemalang. Pertimbangan pertama tentu saja biaya, dan alasan kedua keleluasaan waktu.
Butuh biaya tidak sedikit untuk bepergian empat kepala, sekalipun yang dua kepala masih bocah. Liburan sekeluarga pertama kali kami lakukan pada pertengahan 2013. Tiga malam di Jogja, kami menghabiskan uang yang tidak bisa dibilang sedikit untuk ukuran kami. Dan ternyata anak-anak kami terlalu kecil untuk bisa menikmati wisata luar kota seperti itu.
Saya dan istri lalu berpikir. Daripada wisata ke kota yang jauh tapi hanya sekali setahun dan bikin capek, lebih baik kami berlibur ke sekitaran Pemalang. Poin plusnya, kami bisa lebih sering berlibur karena tak butuh biaya banyak dan juga tak harus meluangkan waktu terlalu panjang.
Bagi kami yang terpenting adalah kepergian hari itu menyenangkan. Benar-benar refreshing sehingga sepulang dari berlibur secara psikologis kami merasa bersemangat kembali. Lalu anak-anak dapat menghilangkan kejenuhan sehingga kembali ceria dan riang gembira.
Di Pemalang ada banyak sekali tempat wisata menarik yang belum seluruhnya kami kunjungi. Tapi dua tempat wisata andalan kami adalah Pantai Widuri dan Alun-alun Pemalang. Lalu terkadang kami menghabiskan waktu liburan dengan berenang di sebuah waterboom. Di lain kesempatan hanya makan di tempat makan kesukaan anak-anak.
Pantai Widuri
Pantai Widuri jadi tempat wisata yang paling sering kami kunjungi. Saya pertama kali mengajak anak-anak ke pantai saat si sulung Damar berusia 3 tahun dan adiknya Diandra 2 tahun. Saya masih ingat betul, Dian belum terlalu pintar berjalan ketika ia pertama kali menginjakkan kaki di pasir pantai.
Berangkat pukul 06.00 WIB dari rumah, tak sampai 30 menit kemudian kami sudah sampai tujuan. Pantai masih belum terlalu ramai di jam-jam itu. Dulu sewaktu Damar belum sekolah, saya sengaja betul pergi ke pantai di hari kerja agar tak banyak pengunjung. Serasa pantai pribadi, karena hanya kami yang berenang dan bermain-main di sana. Hehehehe...
Untuk berlibur ke Pantai Widuri tak butuh biaya banyak. Asal kendaraan ada bensin, cukup siapkan uang Rp12.000 untuk bayar kamar mandi saat membilas badan usai berenang di laut. Istri saya biasanya menyiapkan sarapan dari rumah. Kalaupun tak sempat menyiapkan sarapan, beli saja tempe goreng dan lontong di warung-warung yang ada di sepanjang pantai. Rp5.000 juga sudah kenyang kok kalau hanya untuk mengganjal perut.
Anak-anak saya belum bisa berenang, tapi mereka suka sekali bermain di laut. Kalau air sedang surut, kami akan ke tengah dan duduk di dalam air. Tinggi permukaan air hanya sedada atau seleher orang dewasa duduk. Anak-anak saya pangku atau berdiri. Mereka begitu menikmati saat-saat ombak datang menghantam badan mereka.
Bosan berendam, kami membuat istana pasir. Istri saya paling pandai membentuk pasir menjadi berbagai macam "bangunan", lalu Damar dan Dian jadi perusaknya. Hehehe.
Usai berenang di laut, pulangnya kami mampir ke warung bakso langganan di dekat Pasar Pemalang atau di sebelah barat BRI Taman. Nah, justru di sini pengeluaran lebih banyak keluar. Maklum, meski masih kecil kami selalu memesankan porsi penuh untuk anak-anak. Terkadang bakso porsi dewasa itu mereka habiskan, tapi sering juga kami yang harus menghabiskan.
Berapa anggaran untuk wisata ke Pantai Widuri? Kami biasanya hanya membawa uang sebesar Rp100.000, dan tidak pernah habis sebanyak itu. Untuk bayar portal pantai Rp3.000, bayar kamar mandi Rp12.000, dan kalau mampir ke warung bakso habis kisaran Rp50.000-Rp55.000. Masih ada kembalian paling tidak Rp25.000. Murah, bukan?

Alun-alun Pemalang
Ini tempat wisata favorit kami. Atau lebih tepatnya favorit anak-anak. Di alun-alun banyak kendaraan wisata yang disebut odong-odong. Mulai dari mobil kayuh berbentuk aneka figur kartun, aneka hewan, lalu mobil kayuh berbentuk mobil mini, juga andong yang ditarik kuda.
Waktu paling pas untuk ke alun-alun adalah sore hari. Tidak disarankan ke alun-alun Pemalang di atas pukul 16.30 WIB karena biasanya odong-odong belum datang. Tapi kalau mau sekalian mencoba berbagai jajanan yang dijajakan warung-warung di seputaran alun-alun, ya lebih baik datang lebih siang.
Jarak alun-alun dari rumah hanya sekitar 15 menit naik kendaraan dengan kecepatan sedang. Kami biasanya memarkir kendaraan di halaman Gedung Kridanggo, lalu langsung menuju ke tengah-tengah alun-alun. Istri membawa nasi dan lauk, lalu anak-anak dibiarkan berkeliaran di tengah-tengah alun-alun sembari disuap.
Selesai makan, barulah sesi yang paling disukai anak-anak tiba: naik odong-odong. Tak cukup sekali, anak saya paling tidak meminta naik odong-odong dua kali. Sekali naik dua putaran, tarifnya seragam Rp4.000 per kepala dan sekarang naik jadi Rp5.000.
Kendaraan favorit Damar adalah andong. Ia senang sekali duduk di samping kusir, tepat di belakang ekor kuda. Sedangkan Diandra lebih suka naik odong-odong berbentuk figur kartun atau hewan. Lalu sejak ada mobil kayuh, mereka jadi lebih suka naik mobil-mobilan yang menurut cerita salah satu pemiliknya dipesan dari Jogja ini.
Berapa biaya untuk menghabiskan sore di alun-alun Pemalang? Naik odong-odong Rp5.000 per kepala (anak-anak maupun dewasa), parkir sepeda motor Rp1.000 dan parkir mobil Rp2.000. Kami jarang makan di alun-alun, tapi pernah beberapa kali membeli es buah seharga Rp7.000/porsi. Kami lebih suka mampir ke warung bakso langganan ketimbang makan di alun-alun.

Zatobay Waterboom
Waterboom ini terhitung baru, tapi segera jadi idola karena nyaris tak ada wisata air di Pemalang kota. Kami tak terlalu sering ke sini karena biasanya ramai pengunjung. Anak-anak tak terlalu suka keramaian, demikian pula saya dan istri. Dulu sebelum Damar sekolah kami biasa datang saat hari kerja dan jam kerja, jadi kolam renangnya sepi semua. Tapi sekarang tak bisa lagi.
Di sini kegiatannya hanya berenang dan bermain air. Tersedia berbagai kolam mulai dari balita, anak-anak, hingga dewasa. Kolam khusus bagi yang sudah mahir berenang dipisah dari kolam anak-anak dan remaja.
Air di kolam renang balita terlalu dangkal, sehingga Damar dan Dian lebih suka nyemplung di kolam anak-anak. Dalamnya sekitar 1,5 meter, jadi sebenarnya anak-anak saya tenggelam. Tapi mereka biasanya hanya duduk-duduk di tangga atau kalaupun nyemplung tangannya berpegangan pada besi penyangga. Lebih sering sih saya menggendong atau memapah anak-anak ke tengah.
Bosan di kolam tengah, kami berpindah ke kolam arus yang mengitari kolam balita dan anak-anak. Dalamnya sekitar 1 meter sehingga anak-anak saya tetap harus digendong atau dipegangi. Kami berputar mengelilingi kolam ini bisa sampai berkali-kali. Anak saya paling suka momen ketika melewati jembatan buatan yang memancarkan air.
Untuk jajanan, terdapat beberapa warung di sekitar kolam. Mau yang hangat-hangat ada Pop Mie atau teh dan kopi. Kalau suka makanan alami ada lontong dan tempe goreng. Ada juga warung yang menyediakan nasi sayur. Pengunjung bisa menikmati santapan mereka di tenda-tenda kecil yang tersebar di seluruh area pemandian.
Tiket masuk Zatobay sebesar Rp15.000 di hari kerja dan Rp17.000 di hari libur. Sedangkan untuk harga makanan, Pop Mie besar Rp7.000 dan Pop Mie kecil Rp5.000, lontong Rp1.000/buah, gorengan Rp5.00/buah. Kami tidak pernah memesan minuman karena biasanya membawa air putih dari rumah. :)
Itulah tiga destinasi favorit saya untuk berlibur murah meriah bersama keluarga di Pemalang. Selain hemat biaya, juga hemat waktu karena cukup meluangkan waktu beberapa jam atau setengah hari untuk menikmatinya.
Published on April 03, 2016 07:44
March 31, 2016
Menembus Sisi Lain Bumi dengan Antipodes Map

PERNAHKAH kamu membayangkan negara atau kota apa yang ada tepat di bawah kakimu? Ya, kalau kita gali tanah tempat kita berpijak, teruuus menggali sampai menembus inti bumi dan seterusnya, ujung-ujungnya kita akan keluar di sisi lain bumi. Sisi bumi yang tepat satu garis lurus dengan tempatmu berdiri. Nah, di manakah itu?
Konon, novel Journey To the Center of the Earth terinspirasi dari pemikiran seperti ini. Imajinasi Jules Verne membayangkan apa jadinya kalau manusia menembus tanah terus hingga ke pusat bumi. Bertemu dengan kehidupan lainkah? Atau hanya melihat bebatuan, pasir dan lava panas? Yang tersaji di dalam novel tersebut, dan kemudian film berjudul sama, adalah apa yang ada dalam khayalan Jules Verne.
Saya sendiri semasa kecil pernah berpikir soal menembus sisi lain bumi ini. Pikiran anak-anak. Melihat tetangga menggali sumur yang dalamnya tidak terkira semasa di Palembang, saya membayangkan kemana si penggali sumur itu sampai kalau ia terus menggali ke bawah. Ke Eropa atau Amerika?
Rupanya banyak juga yang mempunyai khayalan serupa itu. Konon, selama ini orang Amerika percaya kalau mereka menggali tanah terus ke bawah sampai menembus sisi lain bumi, maka mereka akan sampai di Tiongkok. Nyatanya, kalau si orang Amerika tersebut menggali tegak lurus tidak berbelok-belok satu incipun, mereka bakal menembus Samudera Hindia di barat daya Australia. Lihat saja peta antipodes di atas.
Kalau orang Indonesia yang menggali tanah sedalam-dalamnya sampai menembus bumi, kira-kira nongolnya di mana ya?
Tak perlu repot-repot menyiapkan linggis dan cangkul, apalagi mesin bor. Cukup buka situs AntipodesMap.com dan kamu akan tahu jawabannya. Di situs ini tersedia dua buah peta berjejer. Peta sebelah kiri adalah posisi kita berada, sedangkan peta sebelah kanan adalah posisi antipodes-nya atau sisi lain bumi yang segaris lurus dengan tempat kita berada.
Peta dalam situs ini sudah otomatis menyesuaikan dengan letak geografis kita. Jadi ketika saya membukanya di browser, peta sebelah kiri akan langsung menunjukkan lokasi Desa Banjardawa, Kec. Taman, Pemalang. Lalu berdasarkan posisi geografis, peta sebelah kanan menunjukkan di kota dalam negara mana antipodes kita.
Wow, ternyata kalau saya menggali tanah terus sampai menembus bumi, maka saya akan sampai di Kolombia. Tepatnya di Arauca, wilayah Kolombia dekat perbatasan Venezuela.

Setelah Pemalang, iseng-iseng saya memasukkan nama Sungai Bahar yang merupakan tempat tinggal orang tua saya sekarang. Jreng! Tembusnya masih sama-sama di Kolombia, tapi di bagian selatan negara tersebut. Lokasi tepatnya di kota San Agustin, Provinsi Huila.
Rupanya sebagian besar wilayah Indonesia merupakan antipodes Amerika Selatan, tepatnya sisi sebelah utara benua yang juga dikenal sebagai Amerika Latin itu. Hanya Aceh dan sebagian Sumatera Utara yang tidak ber-antipodes sama. Jika warga Aceh dan sebagian Sumatera Utara menembus bumi, mereka bakal tenggelam di Samudera Pasifik.
Mengutip info dari AntipodesMap.com, ada dua kota di Indonesia yang terletak satu garis lurus dengan kota lain di Amerika Selatan. Keduanya adalah Palembang (kota kelahiran saya, hore!) yang ber-antipodes dengan kota Neiva di Kolombia -- ibukota Provinsi Huila yang merupakan antipodes Sungai Bahar, dan Padang yang antipodes-nya kota Esmeraldas di Ekuador.
Penasaran dengan antipodes kota atau desamu? Buka saja AntipodesMap.com dan bersenang-senanglah!
Published on March 31, 2016 20:56
Mobil Ketek Tinggal Kenangan

SAYA lahir di Palembang. Sampai kelas IV Sekolah Dasar saya tinggal di ibukota provinsi Sumatera Selatan ini. Jadi, kenangan masa kecil saya berserakan di sini. Setiap kali melintasi Palembang, bahkan sekedar melihat tulisan atau mendengar namanya, memori saya langsung memutar bayangan-bayangan dari masa kecil di kota berslogan BARI ini.
Ada banyak sekali kenangan saya di Palembang. Salah satu yang masih berkesan adalah naik mobil ketek, yakni kendaraan umum khas Palembang berbodi kayu yang waktu itu banyak berseliweran di dekat rumah kami.
Bapak membuat rumah di sebuah lorong kecil di salah satu sudut Desa Sukajaya, Kecamatan Sukarami. Ini kecamatan yang terletak di pinggiran Kotamadya Palembang. Kami lebih sering menyebut daerah ini sebagai Lebong atau Lebongsiareng. Satu penanda Lebongsiareng yang saya ingat betul adalah persimpangan jalan yang dikenal sebagai Simpang Lima atau Simpang Limo menurut lidah penduduk setempat.
Dulu Simpang Limo ini jadi tempat mangkal mobil ketek. Ongkos dari Simpang Limo ke Pasar Paal V naik mobil ketek ini kalau tak salah ingat antara Rp25 atau Rp50. Itu lho, koin dari alumunium bergambar burung terbitan tahun 1971. Dari Paal V, atau kadang juga disebut Jalan Sosial sesuai nama jalan tersebut, kami bisa menuju ke pusat kota dengan menumpang angkutan umum lain seperti bis kota.
Mobil ketek adalah andalan warga Simpang Limo dan sekitarnya untuk mengakses kota. Rute angkutan umum yang aslinya merupakan jeep kendaraan perang ini adalah Paal V sampai perumahan militer yang waktu itu kami sebut sebagai Perumdam. Saya tidak tahu persis apakah penumpang yang lebih jauh dari Perumdam bakal diantar, sebab dulu saya paling jauh naik ketek cuma sampai Jl. Mayor Zurbi Bustan atau lewat sedikit dari Simpang Limo.
Pertigaan Jl. Sosial yang berdekatan dengan Pasar Paal V dan juga (waktu itu) Terminal Paal V jadi pangkalan utama mobil ketek jurusan Lebongsiareng dan Perumdam. Setiap hari belasan mobil ketek berjajar memanjang menunggu penumpang di sini. Antriannya terkoordinir rapi, di mana penumpang baru harus naik mobil paling depan. Begitu penuh, mobil terdepan jalan dan tempatnya digantikan oleh mobil di belakangnya. Begitu seterusnya.
Saya biasanya naik mobil ketek kalau diajak Ibu ke rumah seorang bude di kawasan Plaju. Dari rumah kami jalan kaki sebentar ke Simpang Limo. Kalau ada ketek mangkal kami langsung naik dan menunggu penumpang penuh, atau sesuai kehendak sopirnya. Tak jarang penumpang baru separuh sopir sudah menjalankan mobilnya. Turun di pertigaan Paal V, kami melanjutkan perjalanan dengan naik bis kota jurusan Indralaya.
Oya, penasaran kenapa dinamakan mobil ketek? Itu karena suara mobil ini berisik mirip seperti perahu ketek, yakni perahu mesin yang biasa lalu-lalang di Sungai Musi. Juga karena mobil ini tidak bisa melaju kencang. Maklum, Jip Willys keluaran tahun 1950-an ini adalah veteren perang peninggalan Belanda. Tenaganya sudah banyak diporsir saat perang, jadi sudah bisa jalan saja sudah sangat bersyukur. Hehehehe...

Pernah suatu ketika mobil ketek yang kami tumpangi mesinnya tidak mau hidup. Sopir berulang kali mencoba menghidupkan mesin dengan starter, tapi selalu gagal. Sopir lalu turun, mengambil sebuah besi berbentuk seperti pedal lalu memasukkannya ke dalam satu bagian mesin. Saya tak bisa melihat di bagian mana besi itu dimasukkan sebab duduk di kursi penumpang. Besi itu kemudian diputar-putar, dan tiba-tiba saja mesin mobil hidup.
Pada kesempatan lain saya akhirnya tahu kalau besi tersebut dimasukkan ke dalam sebuah lubang sedikit di atas bumper. Lubang itu memungkinkan besi mencapai mesin yang terletak di bawah kap. Jadi sebenarnya sopir menghidupkan mesin mobil dengan cara manual, yakni diputar tangan alias diengkol.
Selain cara di atas, cara lain untuk mengatasi mobil ketek yang mesinnya susah hidup adalah dengan didorong ramai-ramai. Penumpang diminta turun terlebih dahulu, lalu sopir-sopir mendorong mobil yang mogok. Setelah mesin mobil hidup penumpang dipersilakan naik kembali.
Karena usianya yang sudah tua, banyak mobil ketek dengan kondisi sangat tidak layak. Atap mengelupas sudah jadi hal yang lumrah terlihat. Saya sendiri pernah naik mobil ketek tanpa pintu. Terkadang hanya pintu sopir, tapi pernah pula yang tanpa pintu depan sama sekali. Tapi tak semuanya berkondisi jelek sih. Ada beberapa mobil ketek yang kondisi lebih bagus.
Satu lagi keunikan mobil ketek adalah posisi setirnya yang berada di sebelah kiri. Menurut sejarah kendaraan ini merupakan produksi Eropa sehingga posisi setir sesuai standar Eropa yang kebanyakan di sebelah kiri. Saat agresi militer pascaproklamasi Belanda membawa banyak sekali Jeep jenis ini sebagai kendaraan tempur ke Indonesia, termasuk Palembang. Ketika kalah dan dipulangkan, mobil-mobil ini ditinggalkan begitu saja oleh Belanda.
Sayang, kini mobil ketek sudah tak ada lagi. Sejak tahun 2004, Pemerintah Kota Palembang melarang kendaraan jenis ini beroperasi. Faktor keamanan dan kenyamanan penumpang jadi alasan di balik keputusan tersebut. Penguasa jalanan Palembang sejak tahun 60'-an itupun harus rela tergusur dan menjadi barang rongsokan.
Published on March 31, 2016 09:23
3 Hal yang Paling Ingin Saya Lakukan Sebelum Mati

BEBERAPA hari lalu anak tetangga meninggal dunia. Usia si anak belum genap dua tahun, sedang lucu-lucunya. Anak tersebut juga tidak mengidap penyakit berat. Tapi turut cerita yang kami dengar, almarhumah kecil susah makan beberapa hari jelang kematiannya. Dua hari sebelum meninggal, kami selalu mendengar suara tangisannya di tengah malam buta.
Kematian memang tidak bisa ditebak kedatangannya. Andai saja masing-masing manusia tahu hari kematiannya, alangkah enaknya. Ibarat agenda wisata ke luar negeri yang sudah ditentukan waktu keberangkatannya, kita dapat dengan mudah mempersiapkan bekal. Mau bawa apa? Seberapa banyak? Semua dapat dikira-kira dan disiapkan sebaik mungkin karena tanggalnya sudah pasti.
Tapi tak ada yang tahu hari kematiannya sendiri. Seperti anak tetangga tadi. Kami masih melihatnya bermain di halaman warung sebelah kemarin sore. Ternyata keesokan paginya ia dibawa ke rumah sakit oleh ibunya. Lalu siang hari speaker musala dekat rumah mengumumkan si anak sudah tiada.
Usia juga tidak jadi ukuran dekat-tidaknya seseorang pada kematian. Tidak lantas orang yang sudah tua renta dekat dengan ajal. Kakeknya anak-anak sudah berusia 75 tahun dan, alhamdulillah, masih segar-bugar baik fisik maupun psikisnya. Beliau masih mampu menunaikan salat dengan sempurna, bahkan terkadang memanjat atap untuk mengganti genting bocor.
Menariknya, ayah mertua saya tersebut sempat divonis tak akan berusia panjang oleh seorang dokter lebih dari 10 tahun lalu. Ketika itu ayah mertua sakit dan mendatangi dokter. Entah atas alasan apa dokter itu mengatakan paling lama ayah hanya bisa bertahan hidup 4-5 tahun lagi. Tentu saja sekeluarga sangat kaget mendengarnya. Siapa sih yang ingin kehilangan anggota keluarga tercinta?
Ternyata ucapan si dokter meleset. Meleset jauuuh sekali. Ayah mertua terus melanjutkan kehidupannya. Beliau ikut menyaksikan anak pertama saya lahir, lalu anak kedua. Beliau juga kemudian menjadi saksi lahirnya cucu-cucu selanjutnya, mengikuti pertumbuhan mereka dengan gembira.
Passive Pahala
Begitulah. Kematian itu misteri. Alih-alih memusingkan waktu kematian yang entah kapan datangnya, bagi saya lebih baik isi kesempatan hidup yang masih diberikan Allah SWT dengan hal-hal bermanfaat. Tak cuma bermanfaat bagi diri sendiri, tapi juga bagi lingkungan sekitar. Syukur-syukur saya bisa meninggalkan sesuatu yang bersifat abadi dan terus dipergunakan orang lain bahkan setelah saya mati.
Bukankah hanya mempersiapkan diri yang bisa kita lakukan? Jadi, kenapa terlalu khawatir dengan persoalan lain yang semuanya di luar kuasa kita? Terus berbuat baik, jadilah manusia yang bermanfaat bagi orang lain, insya Allah kita sudah siap saat malaikat Izrail datang menjemput.
Kalau di dunia bisnis ada istilah passive income alias penghasilan pasif, maka saya menginginkan passive pahala sebagai bekal kematian. Saya ingin menyumbangkan apa saja yang bisa saya lakukan bagi kemaslahatan umat, dan mudah-mudahan kelak amal jariyah saya tersebut terus mengalirkan pahala meskipun saya sudah mati. Jadi efeknya dobel: bermanfaat bagi orang lain yang masih hidup, sekaligus menjadi sumber amal bagi saya yang sudah mati.
Mengutip sebuah hadits, ada tiga hal yang tidak akan putus pahalanya sekalipun seseorang sudah mati. Ketiganya adalah anak saleh/salehah, sedekah jariyah dan ilmu yang bermanfaat. Bersandar pada hadits ini, saya sangat ingin melakukan tiga hal berikut dalam delapan hari jelang kematian. Cukup tiga hal ini dan saya bisa meninggalkan dunia dengan tenang.
Ya, ini seandainya saya tahu kapan saya akan mati.

1. Menyedekahkan Seluruh Buku Koleksi Saya
Secara ekonomi saya masuk golongan menengah ke bawah. Saya tak punya simpanan dalam bentuk materi. Yang ada hanya selemari penuh buku, beberapa tumpuk majalah dan sejumlah kliping. Semua ini saya kumpulkan sedikit demi sedikit sejak masih kuliah di Jogja, lalu beberapa lagi setelah menikah dan tinggal di Pemalang.
Karena tak punya harta untuk disedekahkan, jadi saya akan menyumbangkan seluruh buku dan bacaan koleksi saya tersebut. Ada seorang teman di Sumenep, Madura, yang berangan-angan membangun sebuah taman bacaan. Saya rasa sumbangan satu lemari buku akan sangat membantu baginya. Lebih-lebih bagi calon pembaca di daerah tersebut.
Kami pernah mendiskusikan hal ini lewat Facebook Messenger, SMS, dan juga telepon sekitar 1,5 tahun lalu. Saya malah sudah menyumbangkan satu dus buku. Tapi taman bacaan itu belum bisa diwujudkan karena ia belum menemukan lokasi yang pas (dari segi uang sewa) dan koleksi bukunya masih sangat sedikit. Mudah-mudahan sumbangan dari saya nantinya mempercepat terwujudnya taman bacaan ini.
2. Menulis Setidaknya Satu Buku Lagi
Sudah lama sekali saya tak menulis buku. Terakhir kali buku saya terbit sudah berlalu empat tahun lalu. Dan tak satupun dari buku-buku saya yang telah diterbitkan itu dicetak ulang, apalagi best seller. Dari empat judul, hanya satu yang dicetak lebih dari 3.000 eksemplar karena terpilih dalam proyek pengadakan buku. Jelas tak bisa disebut best seller.
Saya rasa penulis manapun menginginkan bukunya menjadi best seller. Demikian pula saya. Bagi saya, best seller bukan cuma persoalan popularitas dan materi. Buku menjadi best seller karena disukai pembaca. Itu artinya pembaca merasa buku tersebut memberikan manfaat bagi mereka. Dengan kata lain, sebagai penulis saya telah menghadirkan manfaat bagi orang lain melalui buku saya.
Kembali ke hadits di atas, ilmu yang bermanfaat adalah sumber pahala pasif. Dan rasanya buku best seller bakal memberikan pahala lebih besar karena bermanfaat bagi lebih banyak orang.
Tapi tak usahlah bermimpi menjadi buku best seller, saya hanya ingin setidaknya satu lagi buku saya terbit sebelum saya mati. Karena itu saya akan memanfaatkan delapan hari menjelang kematian semaksimal mungkin untuk merampungkan satu buku. Buku yang bisa menjadi solusi bagi pembacanya, buku yang bermanfaat.
"Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dalam sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian." -- Pramoedya Ananta Toer
3. Mengajari Istri Saya Menulis
Ini hal penting bagi saya, bagi istri, terlebih bagi anak-anak. Istri saya berhenti mengajar di SD lima tahun lalu, tepatnya setelah anak kedua kami lahir. Belum berstatus pegawai negeri sipil sih, tapi banyak yang menyayangkan keputusan tersebut dengan pemikiran mana tahu nanti diangkat jadi PNS.
Kini, istri lebih banyak di rumah. Memasak, mencuci dan urusan rumah tangga lain. Terkadang ia ikut membantu mencari penghasilan dengan menggarap pesanan mahar atau hantaran. Hasilnya lumayan, tapi saya tetap ingin mengajarinya menulis. Saya ingin istri saya bisa menulis dan menghasilkan sesuatu dari karyanya. Saya juga akan mengajarinya membuat blog dan berinteraksi dengan sesama blogger. Dengan demikian mudah-mudahan ia bisa mencari-cari peluang penghasilan menggunakan blognya tersebut.
Persoalan materi jadi concern utama saya pada poin ini. Jika suami meninggal, otomatis tanggung jawab rumah tangga pindah ke pundak istri. Saya tak ingin istri kebingungan mencari uang untuk menafkahi kedua anak kami sepeninggal saya. Jadi, istri saya harus bisa menulis dan ngeblog.
Menulis adalah pekerjaan yang sangat pas dijalankan oleh seorang ibu rumah tangga seperti istri saya. Ia bisa memanfaatkan waktu kosong saat anak-anak di sekolah untuk menghasilkan artikel, cerpen atau setidak-tidaknya posting blog. Lalu malam hari saat anak-anak sudah tidur ia blogwalking untuk menjalin relasi.
Menulis merupakan pekerjaan abadi selama manusia ada di muka bumi. Teknologi boleh berubah dari cetak ke digital, tapi tulisan dan penulis tetap dibutuhkan. Pada kenyataannya, mencari penghasilan dengan menulis jadi jauh lebih mudah di era digital ini.
Coba kita sedikit hitung-hitungan. Jika satu artikel, cerpen atau posting berbayar yang ditulis menghasilkan honor Rp500.000, maka istri saya hanya perlu menulis enam judul setiap bulan untuk bisa hidup di atas standar hidup layak Pemalang. Ia masih punya waktu luang sangat banyak untuk melakukan hal-hal lain di luar mengurus anak-anak dan rumah.
Ini sebenarnya rencana lama. Saya ingin mengajari istri menulis sejak pertama kami menikah, tapi berbagai alasan membuat rencana ini terus tertunda. Termasuk alasan istri kalau ia tidak berbakat menulis. Well, saya orang yang paling keras menentang soal bakat ini.
Saya percaya setiap orang pada dasarnya bisa dan berbakat menulis. Hanya latihan, ketekunan, serta keseriusan yang kemudian membedakan kemampuan menulis satu orang dengan yang lain. Soal ide tulisan, kalau kita bisa terus mendapat bahan pembicaraan saat berkumpul dengan teman atau saudara, bagaimana bisa kehabisan ide tulisan? Bukankah berbicara dan menulis pada hakikatnya sama-sama mengungkapkan isi kepala?
Itu dia tiga hal yang paling ingin saya lakukan delapan hari sebelum mati. Jika waktu itu sudah sampai, semoga saya diberi khusnul khatimah dan amal ibadah saya semasa hidup diterima di sisi Allah SWT.
"Orang yang paling banyak mengingat kematian dan paling siap menghadapinya, Mereka itulah orang-orang cerdas. Mereka pergi dengan membawa kemuliaan dunia dan kemuliaan akhirat." (HR. Ibnu Majah)
“ Tulisan ini diikutkan dalam dnamora Giveaway ”
Baca disclaimer blog ini selengkapnya di laman ini.
Published on March 31, 2016 08:19


