Eko Nurhuda's Blog, page 27
June 5, 2016
Foto Bareng Pramugari Berhijab berkat Kamera Ponsel ASUS Zenfone C
 
PENUMPANG pesawat Nam Air penerbangan Palembang-Jakarta pada 17 Mei 2016 siang itu sudah turun semua. Saya masih berpura-pura sibuk dengan tas di kursi yang kanan-kirinya telah kosong ditinggalkan. Mata saya melirik ke depan, kosong. Lalu lirikan beralih ke arah belakang pesawat. Ah, di sana dia rupanya!
Saya tersenyum simpul, lalu menggendong tas dan melangkah menuju pintu keluar bagian belakang. Dua pramugari berdiri di ambang pintu keluar, seorang di antaranya berhijab. Pramugari ini yang saya "incar" untuk difoto sejak pertama kali melihatnya saat masuk pesawat di bandara Palembang.
Sebenarnya agak ragu sih, khawatir ditolak atau dibilang genit atau apalah. Tapi sudah diniati dari tadi ya sudah, jalankan saja. Mbak pramugari berhijab itu seingat saya nama depannya Tria. Begitu dekat saya tersenyum sembari meminta ijin untuk mengambil fotonya.
"Mbak Tria, boleh saya foto?" kata saya sembari mengeluarkan ponsel dari tas kantong celana.
Mbak Tria balas tersenyum. "Boleh," jawabnya singkat. Lalu melanjutkan dengan ucapan yang tidak terpikir oleh saya sebelumnya, "Fotonya sama bapaknya sekalian aja."
Tolong abaikan kata 'bapak' itu ya... :D
Oke. Saya mengiyakan saja. Suer, niat saya sejak awal hanya mengambil foto Mbak Tria, bukan foto bersama. Tapi ya sudahlah, tawaran itu tentu saja tidak saya sia-siakan. Sehabis mengambil foto Mbak Tria dengan pose berdiri di lorong pesawat, saya serahkan smartphone pada pramugari satu lagi. Minta difotokan dengan Mbak Tria.
Jreng, jreng! Jadilah dua foto berikut yang segera saya unggah ke berbagai akun sosial media begitu memasuki terminal kedatangan Bandara Internasional Soekarno Hatta. Dan begini penampakannya di Facebook. #Eaaa
No Photo, Hoax!
Berkali-kali naik pesawat, baru sekali ini saya melihat pramugari berhijab di penerbangan domestik. Hijab yang sebenar-benarnya, bukan sekedar asesoris seperti seragam pramugari beberapa maskapai Timur Tengah. Karena itulah saya tertarik mengabadikan Mbak Tria, pramugari berhijab dalam penerbangan Nam Air tersebut.
Alasan lain juga ada. Saat pertama kali melihat Mbak Tria, sontak saya teringat pada anak perempuan yang setiap ditanya cita-cita selalu menjawab, "Jadi pramugari!" Waktu itu saya tak bisa membayangkan anak gadis saya memakai seragam pramugari yang (maaf) sebagian besar tak menutup aurat. Tapi begitu melihat Mbak Tria saya jadi membatin, "Baiklah, Nak, kamu boleh jadi pramugari karena sekarang pramugari juga bisa berhijab."
Di luar faktor hijab Mbak Tria, satu lagi yang membuat saya berani meminta foto adalah smartphone yang ada di kantong: ASUS Zenfone C. Ponsel yang saya beli tepat di hari keberangkatan menuju Palembang untuk menyaksikan event International Musi Triboatton 2016.
(Baca juga: Jadi Turis di Kota Kelahiran Sendiri (Wisata Palembang bagian I))
Saya sempat panik bukan main sewaktu hendak berangkat ke Palembang. Pasalnya saya tak punya ponsel dengan kamera memadai untuk mengabadikan perjalanan ini. Tidak terbayang saya rajin update status selama di Kota Pempek tapi tanpa foto. Bisa-bisa dibilang hoax.
Punya sih smartphone berkamera, tapi kualitas foto yang dihasilkan perangkat ini tak pernah maksimal. Apa yang bisa diharapkan dari kamera 2 MP dengan resolusi 320 x 240 piksel? Saya tak ingin menyesal dengan tetap mengandalkan kamera ponsel ini untuk mendokumentasikan perjalanan wisata di Palembang.
Bukan bermaksud menjelek-jelekkan produk orang ya. Saya sudah memakai smartphone ini sejak 2012. Selama ini hasil foto dan videonya selalu bagus sih, dengan catatan kalau kita mengambil fotonya di luar ruangan dan cuaca cerah ceria. Harus benar-benar terang. Ambillah foto di pagi hari saat matahari belum tinggi benar, atau pada sore hari ketika pergantian siang ke malam, atau di dalam ruangan dalam kondisi minim cahaya, maka hasil fotonya jadi tak karuan.
Pernah saya dibuat kecewa oleh kamera ponsel dimaksud. Ceritanya saya menghadiri seminar Saptuari Sugiharto di Pekalongan di tahun 2013. Saya datang sebagai undangan karena waktu itu masih berstatus kurir Sedekah Rombongan wilayah Pemalang. (Baca juga: Suka-Duka Jadi Kurir Sedekah Rombongan) Tapi sekalipun tidak diundang saya bakal tetap mau datang dan membayar HTM. Seminarnya Saptuari gitu lho!
Habis seminar, panitia menjamu Mas Saptu dan undangan di sebuah rumah makan di bilangan Jl. Imam Bonjol. Selesai makan dilanjut acara foto-foto dengan Mas Saptu jadi "piala bergilir" alias harus berganti-ganti melayani ajakan foto bersama. Saya tak mau ketinggalan. Dengan bantuan seorang kenalan, saya sukses berfoto bersama Mas Saptu. Yes!
Sampai di rumah, saya pindahkan foto tersebut ke laptop untuk dicetak. Niatnya mau dilaminating dan ditempelkan di tembok. Begitu kertas foto keluar dari printer, saya melongo. Gambarnya pecah-pecah alias blur parah. Oh, tidak!

Kamera Hebat, Harga Bersahabat
Tentu saja saya tak mau kejadian mengecewakan seperti itu terulang di Palembang. Saya butuh kamera ponsel yang lebih keren dari yang sekarang sudah dipunyai. Namanya saja wisata, siapa yang tahu kondisi seperti apa yang bakal kita hadapi di perjalanan nanti. Iya kalau cuaca terus-terusan cerah merona. Lha, kalau gelap gundah gulana? Padahal pihak pengundang sudah memberi tahu bakal ada satu acara yang harus kami ikuti, dan acara itu digelar malam hari. Wew!
Jumat, 13 Mei 2016, adalah hari keberangkatan saya menuju Jakarta, sebelum terbang ke Palembang keesokan paginya. Kereta api Tawang Jaya yang akan saya tumpangi berangkat jam 15.56 WIB, tapi sampai jam 10.30 WIB saya masih belum memegang ponsel dengan kamera memadai. Artinya, karena harus salat Jumat saya hanya punya waktu satu jam untuk mencari smartphone ideal.
Sempat berpikir pakai ponsel istri yang kameranya sedikit lebih baik dari smartphone yang saya ceritakan tadi. Tapi untuk mengeset ulang hape tersebut dan mengganti semua akun media sosial istri dengan punya saya, terbayang ribetnya tak cukup satu jam. Solusi lain terlintas: beli ponsel baru saja. Tinggal pilih deh yang kameranya bagus.
Sepertinya ini memang solusi paling masuk akal. Memilih ponsel dengan kamera bagus tidaklah sulit. Tinggal lihat saja saja berapa MP kameranya, lalu fitur-fitur apa yang terdapat di dalamnya untuk mendukung kemampuan pengambilan gambar. Betul, bukan?
Baiklah, kita beli smartphone baru saja. Istri saya yang baik hati meminjamkan Rp1.000.000. Uang itulah yang saya bawa berputar-putar kota Pemalang mencari ponsel dengan kamera aduhai. Hmmm, uang segitu bisa dapat apa? Mungkin ada yang berkata begitu. Percayalah, rejeki saya sedang baik hari itu.
Di satu konter yang lumayan ternama saya berhenti, langsung bertanya sama pegawainya, "Hape ekonomis tapi kameranya bagus yang mana?" Awalnya ditunjukkan satu tipe dengan merek yang sedang digandrungi banyak pengguna Android. Cuma harganya satu koma sekian juta, di atas budget.
"Yang lain ada?" tanya saya lagi. Berusaha tidak menunjukkan ekspresi kaget mendengar harga lebih banyak dari yang ada di kantong.
Pegawai konter itu memberi tahu kalau ponsel ASUS sedang turun harga, dan saya dikasih lihat ASUS Zenfone C. Dual camera, dengan kamera belakang 5 MP dan kamera depan kualitas VGA. Saya bukan tipe blogger suka selfie. Tak masalah kamera depan mau bagaimana, rasanya saya bakal jarang sekali memakainya. Jadi fokus saya hanya pada kamera belakang. Kamera 5 MP rasanya sudah lebih dari cukup.
Oya, layarnya 4,5" lho. Tergolong lebar, sekaligus tidak terlalu besar sehingga pas digenggam tangan. Desainnya yang minimalis tapi fungsional juga sukses memikat hati saya. Saya memang tipe minimalis dan simpel.
"Berapa ini?" lagi-lagi saya bertanya pada pegawai konter sembari memegangi boks ASUS Zenfone C. Dijawab dengan menyebut sejumlah nominal di bawah sejuta. Ah, cocok ini! Pikir saya. Kamera 5 MP itu sudah sangat mewah sekali untuk ukuran smartphone berharga di bawah Rp 1 juta. Tapi saya harus memastikan kamera ponsel ini sesuai harapan.
"Hasil fotonya gimana?" kata saya lagi, bawel. Kebetulan pegawai lain di konter itu pemakai ASUS, tipe sama tapi yang versi RAM 2 GB. Jadilah saya dipinjami ponselnya untuk melihat-lihat langsung sekaligus mencoba kameranya. Dengan seijin si empunya ponsel, saya lihat-lihat juga galeri foto dalam perangkat tersebut.
Puas melihat-melihat dan mencobai kameranya, saya mantap membeli ASUS Zenfone C itu. "Bungkus!" kata saya pada pegawai konter. Tepat sebelum adzan salat Jumat berkumandang, saya sudah kembali ke rumah membawa ponsel baru.
Mengabadikan Palembang dengan ASUS Zenfone C
Saya tak sempat mencobai ponsel baru tersebut. Hanya mengecas baterainya, lalu bersiap ke masjid bersama anak sulung. Pulang jumatan jam 12.45 WIB. Dipotong makan siang dan menyuap anak sebentar, kemudian sudah dilanjut berkemas karena paling telat jam 15.30 WIB harus ada di stasiun. Itu artinya jam 15.00 WIB berangkat dari rumah.
Kamera ponsel ASUS Zenfone C baru bisa saya coba di Stasiun Pemalang. Sembari menunggu kereta datang, saya coba memotret istri dan anak-anak yang mengantar sore itu. Untuk apalagi kalau bukan update status di Facebook dan Twitter, hehehe...
Wajah-wajah sendu para pengantar sore ini. See you ya... :) pic.twitter.com/yUXWIbMISs
— Eko Nurhuda (@bungeko_) 13 Mei 2016
Ups, kok fotonya tidak terang ya? Batin saya setelah melihat hasil jepretan. Jangan-jangan salah pilih nih? Kecewa? Nanti dulu. Rupanya saya yang belum paham cara kerja kamera ponsel ASUS Zenfone C ini. Kameranya sudah memakai teknologi PixelMasters yang menjamin foto selalu jernih, bahkan di saat pencahayaan minim sekalipun. Ini karena PixelMasters membuat foto lebih terang 400% alias empat kali lipat.
Saat pertama membuka kamera biasanya tampilan memang terlihat gelap. Tapi coba arahkan kamera pada objek dan diamkan selama beberapa detik, maka secara otomatis kamera akan mengatur pencahayaan untuk membuat foto terlihat lebih terang dari aslinya. Terus jepret deh.
Kalau masih kurang terang, gunakan mode cahaya redup. Saat kita mengambil foto dalam suasana redup, akan muncul gambar kepala burung hantu di monitor. Sentuh saja dan lihat bagaimana tampilan foto jadi semakin jernih. Untuk mengatasi kontras yang berlebihan, ASUS Zenfone C menyediakan mode HDR (High Dynamic Range) sehingga foto terlihat lebih keren.
Dan semua itu baru saya tahu saat tiba di Palembang. Jadi harap maklumi saja kalau foto-foto pertama selama berwisata di Kota Pempek masih terlihat agak-agak gelap. Masalahnya begitu kamera on dan bidikan dirasa pas, langsung deh pencet tombol jepret. Saya tidak menunggu kamera menyesuaikan pencahayaan agar lebih terang dulu.
Maklumlah, namanya juga inreyen. Masih kagok ceritanya. Hehehe...
Destinasi pertama kami di tanggal 14 Mei adalah mengikuti kelas Akber Palembang dengan narasumber travel blogger top, Muhammad Arif Rahman. Setelah itu dilanjut makan siang di atas rumah makan terapung yang ada di tepian Sungai Musi, di bawah Jembatan Ampera. Mumpung di Palembang, kita makan pindang dulu...



Warung makan terapung di tepian Sungai Musi, suasana dapur di warung tempat kami makan siang, dan pindang patin dengan es jeruk yang saya pesan. Semua foto diambil menggunakan ASUS Zenfone C.
Hari kedua saya sudah semakin mahir memaksimalkan kamera ASUS Zenfone C. Ditambah lagi cuaca Palembang pada tanggal 15 Mei itu cerah ceria. Menjurus panas sebenarnya. Langit biru terang dengan awan putih bak kapas bergumpal-gumpal bergerak perlahan ditiup angin.
Kalaupun harus mengambil foto dalam kondisi kurang cahaya, saya tahu apa yang harus dilakukan. Tinggal tunggu sebentar sampai kamera menyesuaikan pencahayaan secara otomatis, kalau kurang terang aktifkan mode cahaya redup. Masih gelap? Pakai saja mode HDR. Beres!
Pagi hari begitu membuka jendela Hotel Amaris saya sempatkan mengambil foto langit Palembang yang biru bersih. Kamar saya berada di lantai 8, jadi pemandangannya sangat bagus untuk diabadikan. Cari-cari view terbaik, tunggu sebentar agar kamera "menyesuaikan diri", dan cekrek!
Jadilah foto langit Palembang yang biru dengan saputan awan putih, di bawahnya terlihat atap-atap bangunan berjejer. Hasilnya langsung saya unggah di Instagram.
Selamat pagi dari lantai 8 Hotel Amaris Palembang. Langitnya cerah banget pagi ini.
A photo posted by Eko Nurhuda (@bungeko_) on May 14, 2016 at 5:07pm PDT
Selepas mencicipi Mie Celor HM Syafei, kami diajak menyeberangi Sungai Musi menuju ke Pulau Kemaro. Wah, ini saat yang paling saya tunggu-tunggu! Baterai smartphone dan kamera digital sengaja saya awet-awet demi mengabadikan perjalanan air ini. Perjalanan yang sontak mengingatkan saya pada lagu Sebiduk di Sungai Musi milik Alfian.
Di atas perahu ketek, sembari menemani Mamang Perahu di belakang kemudi saya mengambil banyak foto menggunakan ASUS Zenfone C. Sebagian saya unggah di Instagram, beberapa lainnya di Twitter, sisanya di Facebook. Tak lupa pula saya abadikan buritan perahu dengan latar belakang air sungai, dan Jembatan Ampera terlihat sangat kecil di kejauhan.
Saya juga mulai bermain-main dengan angle. Ya, supaya hasil fotonya tak cuma kapal atau rumah-rumah panggung di tepian Sungai Musi saja. Obyek lain yang saya bidik adalah Mamang Perahu, yang terlihat tenang-tenang saja sewaktu saya mengambil fotonya saat tengah mengemudikan perahu ketek. Juga polah teman-teman seperjalanan.


Mamang Perahu mendorong perahu dari dermaga di tepian sungai, teman-teman blogger terlihat menikmati perjalanan menyusuri Sungai Musi menuju ke Pulau Kemaro. Semua foto diambil menggunakan ASUS Zenfone C.
Langit cerah di atas Sungai Musi, Jembatan Ampera di kejauhan.
A photo posted by Eko Nurhuda (@bungeko_) on May 19, 2016 at 5:53pm PDT
Singkat cerita, sampailah kami di Pulau Kemaro. Begitu menginjakkan kaki di atas pulau yang terletak di tengah-tengah Sungai Musi tersebut, teman-teman lain langsung sibuk mengeluarkan kamera masing-masing. Travelmate saya saat itu serombongan travel blogger top. Bekal mereka kamera DSLR, minimal ya kamera mirrorless. Hanya saya yang cekrak-cekrek pakai kamera ponsel. :D
Tapi saya tak mau kalah. Pede saja saya arahkan kamera ASUS Zenfone C ke berbagai sudut untuk mengabadikan Pulau Kemaro nan legendaris berbalut mistis. Hasil fotonya membuat saya tersenyum puas.
Kembali ke Kota Palembang, sejumlah agenda lain menanti kami. Salah satunya jamuan makan siang bersama Ibu Irene Camelyn Sinaga, Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Sumatera Selatan. Kami diajak makan di RM Pempek Pak Raden yang terkenal itu. Ah, akhirnya makan pempek juga! Seru kami bertiga, senang.
Pempek Pak Raden masuk dalam daftar rekomendasi tempat makan pempek di Palembang. Karenanya kami senang bukan main sewaktu tahu diajak ke sana. Tentu saja pempek-pempek yang terhidang di meja jadi obyek foto terlebih dahulu sebelum masuk ke mulut. Maklumlah, kami ini blogger rempong. Hehehe...
Saya sendiri memanfaatkan momen ini untuk menjajal kemampuan ASUS Zenfone C mengambil foto di dalam ruangan. Meski saat itu siang bolong, ruangan VIP RM Pempek Pak Raden tertutup rapat. Dari tiga sisi tembok, hanya satu tembok yang berjendela dan menghadap sumber cahaya. Itupun jendelanya tertutup kain gordin merah, lalu di bagian luar terdapat halaman parkir beratap yang penuh dengan deretan mobil.
Pendek kata, pencahayaan di dalam ruangan tersebut tak memadai untuk kamera ponsel. Tapi coba lihat hasil jepretan saya yang diunggah ke Instagram berikut ini.
Pempek Pak Raden, Palembang. With @travelerien @relindapuspita
A photo posted by Eko Nurhuda (@bungeko_) on May 15, 2016 at 12:54am PDT
Di akhir perjalanan, saya bersyukur sekali telah memilih ASUS Zenfone C jelang keberangkatan ke Palembang. Tanpa bermaksud menyanjung, saya merasa sangat puas dengan hasil-hasil foto kamera smartphone satu ini. Begitu jernih dan tajam untuk ukuran kamera ponsel. Kunjungan ke Kota Pempek terasa lebih berkesan karena saya bisa mengabadikannya dalam bentuk foto.
Saya juga tak risau soal media penyimpanan. ASUS Zenfone C dibekali internal storage sebesar 8 GB. Dikurangi 4 GB yang dialokasikan bagi kinerja sistem dan aplikasi-aplikasi pendukungnya, masih ada ruang sebesar 4 GB yang sangat besar digunakan menampung foto.
Setelah menghabiskan tiga hari di Palembang dan mengambil begitu banyak foto, ruang penyimpanan ponsel saya masih sangat lega saat kembali ke Jawa. Karenanya begitu melihat pramugari berhijab di pesawat, saya tak membuang-buang kesempatan untuk mengabadikan sosoknya.
"Terima kasih ya, Mbak," kata saya pada Mbak Tria dan rekannya sembari menuju tangga pesawat, turun ke landasan. Keduanya membalas dengan ucapan sama, diiringi senyum manis dan dua telapak tangan tertangkup di depan dada.
Ah, sayangnya saya tak menanyakan akun media sosial Mbak Tria. Ada yang tahu?
Ada yang tahu akun medsos Mb Tria? Niatnya cuma minta foto dia, tapi Mb Tria malah bilang, "Foto sama bapaknya aja." pic.twitter.com/Jcmyq2Zmvz
— Eko Nurhuda (@bungeko_) 17 Mei 2016
Giveaway Aku dan Kamera Ponsel by uniekkaswarganti.com
 
  May 31, 2016
Pulau Flores, Dari Ujung ke Ujung Bertabur Pesona
Saya bertemu Mas Bolang di Palembang, dalam rangkaian acara International Musi Triboatton 2016 pada 14-16 Mei lalu. Di hari terakhir pertemuan kami, sembari sarapan di hotel saya berkesempatan mendengar cerita pengalaman Mas Bolang mengembara ke berbagai tempat di Indonesia. Satu destinasi yang membuatnya paling terkesan adalah Flores, tempat yang ia sebut sebagai rumah.
Mas Bolang bercerita, Flores adalah tempat di mana kita bisa sepuasnya menikmati keindahan alam. Dari ujung ke ujungnya bertabur pesona keindahan yang memanjakan mata dan sanubari setiap pengunjung. Demi memuaskan hasrat menikmati setiap sudut Flores, petualang kelahiran Pati ini membawa sepeda motor dari kediamannya di Tangerang.
Sepulang dari Palembang saya langsung membuka channel Tekno Bolang di YouTube. Tentu saja yang saya cari video-video petualangannya di Flores. Dan saya dibuat terpesona bukan main oleh keindahan alam, juga kearifan budaya lokal yang masih terjaga.
"Saya harus datang ke Flores!" tekat saya dalam hati. Ya, sekalipun hanya sekali seumur hidup.
Tanjung Bunga
Nama Flores sudah saya kenal sejak Sekolah Dasar. Tepatnya setelah mengenal peta, di mana saya begitu lahap mencari informasi mengenai tempat-tempat yang saya lihat dalam atlas. Ketertarikan pada Flores pertama kali timbul ketika Bank Indonesia menerbitkan uang pecahan Rp5.000 bergambar Danau Kelimutu pada tahun 1992.
Saya terpukau oleh cerita Ibu mengenai Danau Kelimutu, danau yang terbentuk dari kawah Gunung Kelimutu. Danau yang menurut cerita Ibu dapat berubah-ubah warna. Terdiri dari tiga kawah yang masing-masingnya menyajikan warna berbeda, karenanya danau ini juga sering disebut sebagai Danau Tiga Warna atau Danau Triwarna.
Sebelum itu saya sudah dibuat tertarik oleh komodo yang terdapat pada koin Rp50. Kadal raksasa yang kata guru saya cuma ada di Indonesia, tepatnya di Pulau Komodo yang terletak di sebelah barat Pulau Flores. Hewan purba yang konon sudah mendiami Planet Bumi sejak 4 juta tahun lalu.

Tentu bukan tanpa alasan Portugis yang mendarat di nusa ini pada 1512 memberi nama Cabo de Flores, Tanjung Bunga. Nama yang kemudian menggantikan nama asli pemberian penduduk lokal, Nusa Nipa atau Pulau Naga. Pemerintahan kolonial Hindia Belanda tetap memakai nama Flores ketika mendapatkan wilayah ini dari Portugis 100 tahun kemudian.
Demikian pula dengan Republik Indonesia yang diproklamirkan Soekarno-Hatta, tetap menyebut pulau ini Flores dan memasukkannya dalam Provinsi Sunda Kecil. Sempat berpisah dari RI karena jadi bagian Negara Indonesia Timur, lalu kembali bergabung dengan RI menyusul ambruknya Republik Indonesia Serikat, nama Flores tetap melekat pada pulau satu ini.
Sesuai namanya, Flores adalah sebuah pulau yang menyimpan begitu banyak keindahan dan pesona. Danau Kelimutu di Kabupaten Ende hanyalah salah satunya. Dari video-video yang saya tonton di YouTube, Flores memiliki begitu banyak pantai menawan. Pasirnya putih, dengan ombak tinggi bergulung-gulung dari perairan Laut Sawu dan Laut Flores yang mengelilingi pulau.
Buat pecinta pantai berpasir putih dengan air laut biru kehijauan, kalian wajib datang ke Flores. Selain Pulau Flores, pulau-pulau kecil di sekitarnya juga menyimpan pesona pantai tak kalah mempesona. Tak jauh dari Labuan Bajo ada Pulau Bidadari dengan pantainya yang asri. Atau cobalah ke Pulau Adonara di sebelah timur Flores, di sana ada Pantai Mekko yang sangat memukau.
Bila punya waktu sangat longgar, Taman Wisata Alam 17 Pulau Riung jadi destinasi yang sangat layak disambangi. Angka 17 tersebut benar-benar mewakili 17 pulau yang ada di sekitaran Teluk Riung. Tempat ini dapat ditempuh dengan perjalanan darat selama nyaris lima jam dari Labuan Bajo. Namun lelah yang melanda bakal terbayar lunas menyaksikan keindahan pemandangan laut dan pantai berpasir putih bersih yang tersaji di ke-17 pulau.
 Pasir merah jambu di Pantai Merah atau Pink Beach yang ada di Pulau Komodo, Nusa Tenggara Timur. (Sumber foto)
Pasir merah jambu di Pantai Merah atau Pink Beach yang ada di Pulau Komodo, Nusa Tenggara Timur. (Sumber foto)Ah, saya lupa. Pasir pantai tak selalu berwarna putih. Di Pulau Komodo, kita bisa berjalan-jalan menyusuri sebuah pantai yang pasirnya berwarna merah jambu. Turis mancanegara menyebutnya sebagai Pink Beach, sedangkan penduduk lokal menamainya Pantai Merah. Ya, pasir pantai ini berwarna kemerahan. Hanya ada tujuh pantai di dunia yang pasirnya berwarna merah muda begini.
Sudah sampai di Pulau Komodo, sempatkan waktu untuk mengamati kehidupan hewan langka bernama sama dengan pulau di mana mereka tinggal. Komodo sudah lama jadi perhatian dunia karena keunikannya. Tahun 2011, Pulau Komodo masuk daftar New 7 Wonders of Nature versi New7Wonders Foundation. Meski daftar ini berbau kontroversi, tapi setidaknya menunjukkan bahwa komodo dan Pulau Komodo mendapat perhatian luas di mancanegara.
Bung Karno dan Secangkir Kopi
Tapi Flores bukan cuma soal pantai indah, laut mempesona, atau komodo yang gagah. Di sini juga tersimpan sejarah bangsa dan negara. Proklamator negeri ini, Bung Karno, pernah tinggal di Flores selama empat tahun sembilan bulan. Pemerintah kolonial Hindia Belanda membuangnya ke Ende untuk meredam aktivitas politik Sang Proklamator di Batavia.
Ada 10 situs penting terkait pengasingan Bung Karno di Bumi Flores. Di antaranya rumah pengasingan yang terletak di Jl. Perwira. Di rumah inilah Bung Karno menghabiskan kesehariannya dalam masa pembuangan bersama Ibu Inggit Garnasih, anak angkatnya Ratna Djuami, serta ibu mertuanya.
Rumah pengasingan Bung Karno di Ende terawat dengan sangat baik. Kondisinya masih sama persis seperti saat Bung Karno menempatinya dalam rentang waktu 14 Januari 1934 hingga 18 Oktober 1938. Berkunjung ke rumah ini kita diajak turut merasakan hari-hari Bung Karno selama menjalani masa pengasingan.
 Rumah pengasingan Bung Karno di Ende, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. FOTO: KOMPAS.COM/I MADE ASDHIANA
Rumah pengasingan Bung Karno di Ende, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. FOTO: KOMPAS.COM/I MADE ASDHIANASemasa di Ende inilah Bung Karno melahirkan rumusan Pancasila yang kelak jadi dasar Republik Indonesia. Menurut pengakuannya sendiri saat mengunjungi Ende sebagai Presiden RI pada tahun 1955, Bung Karno menyebut gagasan Pancasila lahir saat ia tengah merenung di bawah sebuah pohon sukun di pusat kota. Tempat dimaksud kini menjadi taman kota bernama Taman Renungan Soekarno, dengan Jl. Soekarno berada di sisinya.
Bung Karno penyuka kopi. Favoritnya kopi tubruk yang biasa ia seruput pagi-pagi di Istana sebelum menjalankan tugas negara. Demikian diceritakan Mangil Martowidjojo, eks Komandan Detasemen Kawal Pribadi Cakrabirawa yang mendampingi Bung Karno, dalam bukunya berjudul Kesaksian Tentang Bung Karno 1945-1967 (Grasindo, 1999).
Sayang, tak ada yang mengungkapkan apakah Bung Karno pernah mencicipi kopi Bajawa atau kopi Wae Rebo semasa tinggal di Flores. Sebab bagi penyuka kopi tak lengkap rasanya mendatangi Flores tanpa mencicipi kopi-kopinya yang khas.
 (Sumber foto)
(Sumber foto)Wae Rebo sebuah kampung tradisional yang terletak di barat daya Ruteng, ibukota Kabupaten Manggarai, NTT. Kampung ini hanya berisi tujuh rumah adat berbentuk kerucut dengan kerangka bambu dan atap dari daun lontar. Orang lokal menyebut rumah ini mbaru niang. Berada di ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut, Waerebo dikelilingi oleh perkebunan kopi nan luas.
Kopi dan Wae Rebo memang tak bisa dipisahkan. Warga Waerebo sangat akrab dengan kopi. Mereka bisa mereguk hingga 8-10 gelas kopi sehari. Tak heran jika banyak penyuka kopi yang sengaja datang ke sini hanya untuk mencicipi kopinya yang khas. Tumbuh di dataran tinggi serta tak tersentuh unsur kimia buatan sedikitpun, cita rasa kopi Wae Rebo banyak disukai oleh pecinta minuman berwarna hitam ini.
Bergeser ke timur, ada Kabupaten Ngada sebagai penghasil kopi terbesar di Flores. Kopi Bajawa hasil panen petani Ngada malah sudah diekspor ke mancanegara. Tahun 2011, seorang pengusaha Amerika Serikat memesan 1.000 ton kopi arabika organik (sumber).
Tak cuma AS, peminat juga datang dari Belanda, Jerman, Inggris, Filipina, dan yang terdekat dari Australia. Masing-masing pesanan berkisar antara 1.000-2.000 ton. Membuktikan betapa kualitas kopi Bajawa telah diakui dunia. So, rugi rasanya kalau ke Flores tak mencicipi kopi Bajawa.
Kearifan Lokal yang Terus Dijaga
Tak jauh dari Bajawa, ada sebuah kampung adat yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai dan budaya lokal. Kampung Bena namanya. Masuk ke dalam kampung ini kita serasa mundur ke jaman ratusan tahun lalu. Benar-benar sebuah kampung tradisional.
Terletak di puncak sebuah bukit menghadap Gunung Inerie, Kampung Bena terdiri dari 40 rumah tradisional. Dari kejauhan, Kampung Bena memanjang dari utara ke selatan terlihat seperti bentuk perahu. Pintu masuk berada di sisi utara, satu-satunya akses menuju ke kampung ini. Pada bagian ujung selatan merupakan puncak kampung dengan pemandangan alam mempesona.
Meski memeluk agama Katolik, warga Kampung Bena masih melestarikan tradisi leluhur. Di tengah-tengah Kampung Bena terdapat beberapa bangunan megalitikum. Salah satunya berbentuk perahu, tempat di mana upacara adat dilaksanakan.
Perahu dalam kepercayaan masyarakat Kampung Bena merupakan wahana untuk menuju ke alam roh setelah kematian. Bentuk perahu juga menggambarkan perjalanan nenek moyang penduduk Kampung Bena yang berperahu mengarungi ganasnya lautan dari Pelabuhan Juwana di Pati, Jawa Tengah, sebelum tiba di kampung tersebut.
 Kampung Adat Bena di Kabupaten Ngada, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. (Sumber foto)
Kampung Adat Bena di Kabupaten Ngada, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. (Sumber foto)Pemandangan serupa juga bisa kita saksikan di Ware Rebo. Sebuah perkampungan adat yang masih mengaplikasikan ajaran leluhur dalam kehidupan keseharian. Ciri khas Wae Rebo adalah mbaru niang, rumah adat yang didirikan tanpa paku. Hanya menggunakan bambu, kayu, atau rotan, dengan atap terbuat dari daun lontar, ijuk, atau ilalang.
Di Wae Rebo biasa digelar perayaan Penti, salah satu perayaan besar di Manggarai. Penti digelar setiap tahun sebagai ungkapan rasa syukur atas hasil panen yang diperoleh selama setahun, sekaligus doa dan harapan agar hasil tahun mendatang tak kalah bagus. Tahun ini, Penti direncanakan berlangsung pada 16 November 2016.
Jika Kampung Bena mudah dicapai menggunakan kendaraan bermotor, tidak demikian dengan Wae Rebo. Pengunjung harus menempuh rute mendaki nan terjal dan sedikit licin berjarak sekitar 5 kilometer. Melintasi Hutan Lindung Todo Repok nan asri, sampai ke ketinggian 1.200 mdpl. Terbayang kan bagaimana sejuknya tempat ini.
*****
Ah, masih sangat banyak pesona Flores yang tidak bisa dilewatkan. Tak cukup waktu 2-3 hari untuk menjelajahinya, karena dari Labuan Bajo di ujung barat hingga Larantuka di ujung timur tersaji keindahan alam yang menawan diselingi kearifan lokal nan menenteramkan sanubari.
Dari Pemalang tempat saya sekarang tinggal, perjalanan ke Flores bisa diawali dengan berkereta api ke Yogyakarta. Lalu dilanjutkan dengan pesawat terbang ke Denpasar, dan disambung lagi dengan penerbangan Denpasar-Labuan Bajo. Sejauh ini penerbangan langsung ke Labuan Bajo dari kawasan Indonesia Barat hanya ada di Denpasar.
Sekilas terlihat ini bukan perjalanan mudah, dengan biaya yang di atas kertas juga tidak murah. Tapi mengingat keindahan yang menanti, rasanya semua itu bakal terganti tuntas begitu menjejakkan kaki di sana. Keindahan yang membuat Mas Bolang terus merindukan Flores sekalipun telah berulang kali datang.
 
  May 29, 2016
Kenangan-Kenangan Terindah dalam 15 Tahun Bersama BNI

ORANG bilang cinta pertama tidak bakal pernah terlupakan hingga akhir hayat. Sayangnya, tak semua orang dapat mempertahankan cinta pertamanya. Saya termasuk beruntung, sebab cinta pertama saya masih terus menemani hingga kebersamaan kami memasuki tahun ke-15. Inilah kisah cinta saya dengan BNI, Bank Negara Indonesia.
Saya berkenalan dengan BNI medio 2000. Lulus dari SMU Negeri 1 Muara Bulian, Jambi, saya memutuskan merantau ke Jogja. Pilihan jatuh pada satu program pendidikan pariwisata setara DII di bawah naungan Universitas Negeri Yogyakarta. Tanpa gelar, tapi peluang kerja sangat besar karena tenaga-tenaga terampil di bidang pariwisata masih terus dibutuhkan.
Program pendidikan yang oleh alumnusnya disebut Profeta ini menerima pendaftaran jarak jauh. Saya dan beberapa teman yang berminat cukup mengirim berkas pendaftaran ke alamat yang tertera di brosur. Begitu diterima, kami diminta membayar biaya pendidikan melalui transfer bank. Nomor rekening yang diberikan adalah rekening BNI.
Momen saat mentransfer biaya pendidikan Profeta inilah kali pertama saya mengenal BNI. Di Muara Bulian belum ada kantor cabang BNI saat itu, jadi saya harus ke Kota Jambi. Setelah naik angkutan Muara Bulian-Kota Jambi, saya ke Bank BNI Jambi dengan angkot. Sopir angkot yang saya tumpangi rupanya tahu betul tentang bank ini.
"BNI 46 ya?" tanya si sopir angkot setelah saya menyebutkan tujuan.
Saya bingung. "Memangnya ada berapa bank bernama BNI?" pikir saya.
Bapak sopir angkot rupanya tahu kebingungan saya. "BNI dulu dikenalnya BNI 46 karena didirikan tahun 1946," cerita bapak yang entah siapa namanya itu.
Jaman itu internet masih barang mewah, jadi saya tidak bisa googling untuk cross check mencari tahu benar-tidaknya cerita tersebut. Baru bertahun-tahun kemudian saya tahu kalau bapak sopir itu berkata benar. Jangan-jangan dia nasabah BNI? Entahlah.

Sebagai peminat sejarah, saya sangat terkesan pada fakta bahwa BNI sudah ada sejak 1946. Tepatnya 5 Juli 1946. Artinya, BNI dibentuk kurang dari setahun sejak Republik Indonesia diproklamasikan. Sesuai namanya yang memakai kata 'negara', inilah bank pertama yang didirikan oleh pemerintah. Bank pertama milik pemerintah Indonesia.
Ketika kemudian berkecimpung dalam dunia numismatik, saya dibuat tercengang karena BNI juga sempat menjadi bank sentral RI. Mata uang resmi pertama keluaran pemerintah, Oeang Repoeblik Indonesia (ORI), dicetak dan diedarkan oleh BNI. Bagaimana BNI mendistribusikan ORI ke seluruh wilayah Indonesia yang baru saja merdeka adalah cerita lain yang tak kalah menarik disimak.
Bank Pilihan Mahasiswa
Pertemuan kedua saya dengan Bank BNI terjadi awal 2001. Ceritanya saya diminta Ibu di Jambi untuk membuka rekening. Selama ini Ibu mengirim uang menggunakan wesel pos. Dan Ibu dibuat kuatir setengah mati setelah oknum pegawai kantor desa di kampung ketahuan mencairkan wesel pos milik seorang warga.
Diminta membuka rekening bank saya malah bingung. Bank apa? Saya lantas mendatangi kantor cabang sebuah bank BUMN dekat kos. Tidak dekat-dekat amat sih, jalan kaki kira-kira 7-10 menit. Setelah bertanya-tanya pada petugas, tanpa pikir panjang saya mengisi formulir buka rekening. Tapi bank satu ini langsung membuat saya kapok. Pasalnya, uang transferan dari Ibu baru sampai ke rekening tiga-empat hari kemudian!
Ibu yang tahu hal itu minta saya ganti bank. Barulah saya meminta pendapat teman. Saya tanyai satu-satu teman kos, bank apa yang mereka pakai. Tentu saja jawaban mereka beragam. Tapi seorang kawan bernama Darman asal Sumatera Utara memberi penjelasan yang membuat saya tertarik membuka rekening di BNI.
Darman menjelaskan di BNI setoran awalnya rendah. Ini penting bagi mahasiswa seperti kami karena membuka rekening berarti merelakan sebagian biaya hidup bulan tersebut ditahan bank. Kami baru bisa mengambil uang yang jadi setoran pertama setelah kartu ATM jadi. Untuk itu kami harus menunggu hingga lima hari kerja.
Kelebihan lain BNI seperti dijelaskan Darman adalah biaya administrasi bulanannya lebih rendah dari bank-bank populer lain. Lalu kantor cabang BNI merata di seluruh (waktu itu) 24 provinsi di Indonesia. Demikian pula ATM-nya. Masa itu hanya dua bank komersial yang punya prestasi demikian. BNI terbilang lebih unggul dari bank satunya karena juga punya banyak cabang di luar negeri.
Teman saya yang lain, Edi asal Bondowoso, memberi informasi dari sudut pandang berbeda yang paling menarik bagi saya. "Di sini (Jogja) cuma BNI yang masih menyediakan ATM Rp10.000," kata Edi.
Memang benar. Saya sendiri merasa sangat terbantu dengan keberadaan ATM nominal Rp10.000 ini. Maklumlah, rekening mahasiwa saldonya cuma keluar-masuk. Waktu itu ada dua lokasi ATM pecahan Rp10.000 yang saya tahu. Satu di KCU Jogja, satu lagi di Jl. KH Ahmad Dahlan.
Begitulah, saya pun mantap memilih BNI. Darman ikut mengantar saya ke Bank BNI KCU Yogyakarta di perempatan titik nol. Dari kos kami jalan kaki sebentar ke Jl. DI Panjaitan, lalu naik bus kota jalur 15 dan turun persis di lampu merah sebelah pintu masuk basement gedung BNI.
Saya lupa siapa customer service yang melayani pembukaan rekening. Tapi saya dibuat terkesan oleh pelayanan Mbak CS tersebut. Dengan ramah ia menjelaskan setiap pertanyaan saya yang masih bingung dengan ketentuan ini-itu. Maklumlah, ini kali kedua saya membuka rekening dan pengalaman pertama saya dengan bank boleh dibilang tidak mengenakkan. Karenanya saya memuaskan diri bertanya-tanya sebelum rekening dibuat.
Singkat cerita, atas bantuan Mbak CS rekening BNI saya pun selesai dibuka. Sebuah buku tabungan bergambar perahu layar diberikan pada saya. Kartu ATM baru tersedia dalam lima hari kerja, jadi saya diminta datang sepekan ke depan pada pekan tersebut karena ada Sabtu dan Minggu. Tak apalah, saya sudah sangat senang sekali akhirnya mempunyai rekening bank yang membuat uang transferan dari Ibu bisa sampai di hari yang sama.

Tapenas untuk Modal Kawin
Sejak itu saya menjadikan BNI sebagai nomor rekening utama. Segala urusan keuangan pribadi saya percayakan pada BNI. Transferan dari Ibu selama saya kuliah selalu tertuju ke BNI. Saya terus mengandalkan bank ini sampai gambar perahu layar dihilangkan dari logo, juga ketika nomor rekening yang belasan angka diringkas menjadi 10 digit.
Harus diakui saya kerapkali "selingkuh" dengan membuka rekening di bank lain. Alasannya macam-macam. Ada yang karena tuntutan pekerjaan, di mana perusahaan mengharuskan seluruh karyawan mempunyai rekening bank tertentu untuk keperluan transfer gaji. Perusahaan A transfer gaji dengan bank biru, kemudian ketika pindah ke perusahaan B ganti ke bank hijau.
Meski demikian tetap saja semua keperluan personal saya percayakan ke BNI. Segala transfer honor artikel di media, misalnya, saya arahkan ke rekening BNI. Hingga saat ini salah satu penerbit terkemuka nasional masih mengirim royalti buku pada saya melalui BNI.
BNI juga turut berjasa dalam pembiayaan pernikahan saya lho. Jadi ceritanya saya membuka rekening Tapenas sebagai tabungan biaya pernikahan. Tapenas ini aslinya tabungan pendidikan berjangka. Tapi saya pikir tak ada salahnya memanfaatkan model tabungan begini untuk perencanaan kebutuhan lain.
Yang saya suka dari Tapenas, uang tabungan kita utuh tanpa potongan apapun. Tak ada biaya administrasi bulanan, yang ada hanya pembagian keuntungan berdasarkan perkembangan dana kita yang terkumpul. Dengan demikian uang yang akan diterima penabung pada akhir masa tabungan lebih besar dari jumlah total setoran.
Satu lagi, tabungan bisa diambil kapan saja tanpa harus menunggu jatuh tempo. Seluruh keuntungan yang menjadi hak kita juga bisa dinikmati ketika melakukan pencairan sekalipun masa tabungan belum berakhir. Hanya saja BNI mengenakan semacam denda untuk pencairan sebelum masa waktu berakhir seperti ini. Itupun jumlahnya tergolong ringan kok.
Waktu itu saya membuka Tapenas dengan jangka waktu lima tahun dan setoran bulanan Rp300.000. Tak sampai dua tahun, tabungan sudah saya tutup karena tanggal pernikahan kian dekat. Dengan uang Tapenas itulah saya membelikan mas kawin berupa emas 10 gram untuk calon istri, plus segala pelengkapnya sebagai hantaran seperti seperangkat alat salat, pakaian lengkap dari kepala hingga ke kaki, juga satu set kosmetika.
Sebenarnya sayang sih sampai menutup Tapenas. Mbak CS di KCU BNI Jogja yang membantu saya berkali-kali berusaha "menggagalkan" niat tersebut. "Nggak sayang nih? Serius mau ditutup?" katanya sembari mengulang-ulang berbagai keuntungan Tapenas dibanding tabungan biasa. "Ya, saya paham sih, Mbak. Tapi saya butuh uang untuk menikah," jawab saya dalam hati.
Berbagai kelebihan Tapenas membuat saya kembali membuka rekening ini di BNI Pemalang pada 2013. Kali ini benar-benar untuk tabungan pendidikan kedua anak saya. Sayang, toko online saya lambat laun surut dan sepi pembeli. Dengan sangat terpaksa lagi-lagi saya harus menutup rekening Tapenas medio tahun lalu. Kelak saat kondisi finansial kembali membaik, saya berniat membuka rekening Tapenas lagi untuk persiapan biaya sekolah anak-anak.

Ganti Kartu ATM di Padangsidimpuan
Satu pengalaman bersama BNI yang paling berkesan bagi saya adalah saat ganti kartu ATM di Padangsidimpuan. Bayangkan, saya membuat rekening di BNI Yogyakarta, lalu sejak 2010 KTP saya berganti alamat jadi Pemalang, dan saya mengganti kartu ATM yang kadaluwarsa di BNI Padangsidimpuan!
Asal tahu saja, saya membuka rekening dengan KTP Jambi. Jadi alamat saya dalam data BNI masih alamat Jambi. Awalnya saya ragu-ragu, tapi karena terdesak mau tidak mau saya beranikan diri masuk ke BNI Padangsidimpuan untuk mengajukan pergantian kartu ATM yang tinggal beberapa hari lagi kadaluwarsa. Alhamdulillah, Kakak CS yang melayani saya memberi solusi dengan sangat baik.
Saya merantau di Padangsidimpuan selama kurang-lebih 1,5 bulan. Mendekati masa berakhirnya pekerjaan, saya baru tahu kalau kartu ATM akan kadaluwarsa dalam hitungan hari! Untung saja saya tahu di hari kerja. Jadi usai bekerja saya langsung naik angkot ke pusat kota Padangsidimpuan, dilanjut jalan kaki ke kantor BNI.
Untungnya lagi antrian CS tidak panjang hari itu. Saya hanya perlu menunggu beberapa belas menit. Sayang, saya lupa siapa nama Kakak CS yang melayani saat itu. Tapi ia sosok yang menawan, dengan rambut pendek di atas bahu dan senyum menawan. Hehehe...
Lalu berceritalah saya soal kartu ATM yang akan kadaluwarsa dalam hitungan hari. Prosedur standarnya saya harus menunjukkan KTP asli dan buku tabungan. Sayangnya buku tabungan saya ada di Pemalang. Keadaan bertambah rumit karena alamat saya dalam data BNI tidak sesuai dengan alamat KTP yang saya tunjukkan.
Saya sudah pasrah sekiranya Kakak CS tersebut menolak membantu, atau mempersulit saya. Tapi ternyata tidak begitu. Kakak CS nan baik hati itu hanya meminta saya menjawab beberapa pertanyaan, mungkin sebagai cross check kalau saya benar-benar pemilik kartu ATM yang hendak diganti.
Pertama menanyakan nomor rekening, lalu nama gadis ibu kandung, alamat Jambi yang saya pakai saat buka rekening, alamat di Jogja yang pernah saya laporkan ke BNI KCU setempat, ditanyakan juga transaksi terakhir apa, kapan dan di mana. Semuanya saya jawab dengan benar. Tentu saja, lha wong itu rekening saya kok.
Urusan ganti kartu ATM pun jadi lancar. Empat hari berselang saya kembali untuk mengambil kartu ATM. Ah, senangnya! Tanpa menunggu lama saya aktifkan kartu tersebut di mesin ATM yang terletak dekat pintu masuk gedung.
*****
Tahun ini genap 15 tahun saya menjadi nasabah BNI. Bukan waktu yang sebentar. Sebuah kesetiaan yang tidak perlu diragukan lagi. BNI bahkan lebih lama menemani saya dari siapapun yang saya cintai saat ini. Istri saya saja baru mendampingi selama tujuh tahun, atau 10 tahun kalau tanggal pertunangan yang dipakai.
Terdengar agak sentimentil, tapi rekening BNI ini bukan sekedar deretan angka bagi saya. Banyak kenangan yang tersimpan bersama rekening ini dalam 15 tahun kebersamaan kami. Yang saya ceritakan di atas hanyalah sekelumit kecil, kenangan-kenangan paling berkesan dan paling indah sepanjang ingatan saya saat menulis posting ini.
Ah, namanya juga sudah cinta, sudah terlanjur sayang, tak terbayang rasanya kalau kebersamaan selama 15 tahun nan penuh kenangan ini berakhir. Tidak, saya tidak pernah berpikir demikian. Sekalipun saldo dalam rekening saya lebih sering tak bisa ditarik lewat ATM, saya tak sedikitpun berniat menutup rekening BNI. Saya sudah bertekad untuk mempertahankan rekening ini selama mungkin. Kalau perlu hingga saya tutup usia.
Selamat ulang tahun, BNI.
 
  May 26, 2016
Mari Hanya Sebarkan Kabar Baik demi Indonesia Lebih Baik

BELUM lama di timeline Facebook saya muncul status menarik dari Sutirman Eka Ardhana, seorang penyair sekaligus penulis dan eks jurnalis senior Jogja. Status panjang tersebut beliau beri judul "Jurnalisme Mabuk", membahas tentang dunia pemberitaan saat ini yang menurut beliau sudah semakin memprihatinkan.
Saya mengenal Pak Eka semasa magang di sebuah koran lokal mingguan Jogja yang beliau pimpin akhir 2008 hingga awal 2009. Tahu saya mudiknya ke Jambi, Pak Eka yang asli Riau langsung merasa punya kedekatan. Ya, sama-sama Melayu. Saya memang berdarah jawa tulen, tapi lahir dan tumbuh besar di Tanah Andalas sehingga lebih kenal cara hidup orang Sumatra ketimbang Jawa.
Kembali ke Jurnalisme Mabuk dalam status Pak Eka. Yang beliau maksud dengan ungkapan demikian adalah pemberitaan di media tanpa mengindahkan etika. Berita yang menghujat, berita menjelek-jelekkan, serta berita-berita yang hanya berisi keburukan. Pak Eka mengambil contoh pers di awal Era Reformasi, tapi bukankah berita-berita semacam itu masih sering kita lihat dan baca sampai hari ini?
Saya kutip satu paragraf dari status Facebook beliau. Lebih lengkapnya silakan meluncur ke laman ini.
"Jurnalisme mabuk adalah jurnalisme yang mengabaikan etika, tatakrama arau(sic!) sopan santun pers. Jurnalisme mabuk adalah jurnalisme yang menghujat, penuh amarah, dendam, dengki, iri hati dan mengabaikan nurani."
Jurnalisme Pasar
Sontak saja ingatan saya melayang pada seorang kawan lama di Padangsidimpuan. Kawan sekelas di SMA yang meminta saya memembantunya merintis sebuah media lokal pada medio 2010. Sebuah tawaran yang sebetulnya salah sasaran karena saya bukan orang yang tepat untuk itu. Namun ia ngotot karena hanya saya dalam lingkup pertemanannya yang paham dunia jurnalistik. Saya koreksi, sedikit paham dunia jurnalistik.
(Baca juga: Merantau ke Padangsidempuan)
Niatnya membentuk media lokal tergolong nekat. Kawan saya ini tidak tahu apa-apa soal dunia penerbitan media. Ia juga bukan dari kalangan berduit. Ia malah baru saja diangkat jadi Pegawai Negeri Sipil dan berdinas di sebuah kantor kecamatan di pelosok Kabupaten Padang Lawas Utara. Padahal yang ia angan-angankan media cetak. Saran saya untuk membuat situs berita ia tolak mentah-mentah.
Meski tak begitu yakin dengan keseriusan si kawan, saya tetap mengiyakan tawarannya. Ia meminta saya tinggal di Padangsidimpuan selama tiga bulan dan mengajar sebuah kelas berisi 10-15 siswa. Setibanya saya di Padangsidimpuan, kami berdiskusi panjang-lebar soal media dan dunia jurnalistik. Tentu saja menurut pandangan kami sebagai masyarakat awam.
Dari diskusi tersebut, saya tahu bahwa teman saya ini punya kegundahan sama seperti Pak Eka. Ia risau dengan koran dan televisi yang setiap hari hanya berisi, menurut istilah dia, "berita-berita pasaran". Berita-berita tentang kejelekan atau aib orang, kriminalitas, tawuran, dan hal-hal negatif lain.
Istilah "pasaran" ia sematkan karena menurutnya media merasa berita-berita seperti itulah yang disukai pembaca. Media tentu tak mau ditinggalkan pembaca. Jadi cara terbaik untuk terus dibaca adalah dengan menurunkan berita yang sesuai keinginan pembaca, sesuai selera pasar.
Inilah yang kemudian membuatnya ingin punya media sendiri, sekecil apapun itu. Ia ingin memberitakan hal-hal baik, hanya berita-berita positif, sebab menurutnya apa yang kita lihat dan baca akan sangat mempengaruhi pikiran dan perilaku kita. Menurutnya, Indonesia jadi kacau seperti ini karena terlalu massifnya pemberitaan negatif di media.
Kawan saya juga tak percaya media harus mengikuti selera pasar. Sebaliknya, ia berkata media seharusnya berperan dalam mengedukasi pembaca dengan cara menghadirkan berita-berita lebih baik. Hadirkan berita-berita motivatif dan inspiratif, maka pembaca akan menjadi orang-orang yang penuh motivasi dan inspirasi. Demikian uraian teman saya.
Saya tidak bisa tidak menyetujui pendapatnya tersebut. Lebih jauh, pemberitaan buruk di suatu daerah bakal memberikan imej buruk bagi daerah tersebut secara keseluruhan. Ambil contoh kasus pemerkosaan dan pembunuhan Yuyun di Rejang Lebong, Bengkulu, belum lama ini. Kita yang membaca berita tersebut jadi membayangkan betapa berbahayanya dan tidak amannya Rejang Lebong dan Bengkulu secara keseluruhan.
Kita yang di luar Bengkulu dan tak begitu paham dengan daerah tersebut lantas gampang saja menempelkan imej negatif pada seluruh remaja Rejang Lebong dan Bengkulu, seolah-olah remaja-remaja tanggung pelaku kejahatan terhadap Yuyun adalah representasi mereka. Padahal bisa jadi yang tersaji di lapangan tidak seperti itu.
Good News Is A Good News
Saya percaya bukan hanya Pak Eka dan teman saya saja yang gerah dengan maraknya pemberitaan negatif akhir-akhir ini. Saya sendiri sudah tidak lagi menonton televisi kecuali untuk menyaksikan siaran langsung sepakbola, serta sesekali mengikuti program talkshow favorit. Selebihnya, saya cari tontonan di media online seperti YouTube, di mana saya bisa memilih tayangan seperti apa yang ingin saya saksikan hari itu.
Untuk siaran berita pun demikian. Saya tak lagi mengandalkan televisi, melainkan lebih suka berselancar di timeline akun Twitter media online tertentu untuk memilah berita mana yang ingin saya baca. Saya merasa tak mendapat apa-apa dari tayangan berita di televisi dewasa ini, lebih-lebih saat agenda politik tengah banyak.
Memang, masih ada media yang tampil santun dan menjunjung tinggi etika, menampilkan hal-hal positif nan inspiratif. Tapi media seperti itu bisa dihitung dengan jari. Jauh lebih banyak media yang, meminjam pendapat teman saya tadi, lebih suka mengikuti selera pasar dengan menurunkan berita-berita pasaran. Berita-berita negatif nan bombastis, sensasional.
Karenanya saya senang sekali saat mendapat informasi tentang Koalisi Online Pesona Indonesia (KOPI). Komunitas yang terdiri dari blogger dan jurnalis online ini bertekad hanya mengangkat berita-berita baik (good news) di media dan blog anggota-anggotanya. Tujuannya adalah untuk membuat citra Indonesia lebih baik di mata dunia.
 KOPI percaya bahwa berita baik adalah berita baik. Kalau di dunia jurnalistik ada ungkapan "bad news is a good news" dan sebaliknya "good news is a bad news", KOPI membalik anggapan ini 180 derajat. Berita terbaik adalah berisi hal-hal baik. Karena itu seharusnyalah kita lebih sering, dan kalau perlu hanya, menyebarkan berita-berita baik nan positif.
KOPI percaya bahwa berita baik adalah berita baik. Kalau di dunia jurnalistik ada ungkapan "bad news is a good news" dan sebaliknya "good news is a bad news", KOPI membalik anggapan ini 180 derajat. Berita terbaik adalah berisi hal-hal baik. Karena itu seharusnyalah kita lebih sering, dan kalau perlu hanya, menyebarkan berita-berita baik nan positif.KOPI berkomitmen untuk berperan aktif memberikan informasi positif tentang Indonesia, utamanya dunia pariwisata, perfilman, budaya, musik, fashion dan kuliner. Karenanya deklarasi KOPI pada November 2015 lalu mendapat dukungan dari Kementerian Pariwisata, Asosiasi Pariwisata Indonesia (Asita), dan Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI).
"Dengan terbentuknya koalisi ini diharapkan pesona dan keindahan Indonesia, mulai dari kuliner sampai keindahan alamnya, semakin sering ditulis dan diekspose," demikian kata penggagas KOPI, Arul Arista, saat acara deklarasi di Jakarta.
Hmmm, tentu saja saya sepakat dengan ini. Saya jadi saksi hidup betapa sepinya pariwisata Jogja tak lama setelah Amrozi cs. membom Bali pada Oktober 2002. Kejadian tersebut di sebuah ruas jalan di Denpasar, namun efeknya seluruh Bali dan Indonesia mendapat cap tidak aman. Turis membatalkan rencana kunjungannya ke Bali, Indonesia masuk daftar travel warning.
Kejadian seperti ini bisa diredam dengan cara memberi counter berupa berita-berita positif tentang Indonesia. Orang di luar sana tidak banyak yang tahu kalau Bali hanyalah salah satu dari puluhan ribu pulau yang ada di Indonesia. Juga tak banyak yang paham kalau destinasi wisata di Indonesia itu tidak hanya Bali, tapi juga Jogja, Solo, Lombok, dan lain-lain dari Sabang sampai Merauke.
Di sinilah KOPI mengambil peran, dengan berkomitmen memberitakan hal-hal baik tentang Indonesia sehingga orang luar lebih tahu negeri indah ini. Berikut isi deklarasi KOPI yang hanya terdiri dari tiga poin:

Kami,jurnalis dan blogger dibawah naungan AJOIN (Aliansi Jurnalis Online Indonesia) dan Kabarindo Utama tanpa syarat dan ikatan apapun berkoalisi untuk:
1. Peduli merah putih dengan turut serta berperan aktif menginformasikan dunia pariwisata, perfilman, budaya, musik, fashion dan kuliner Indonesia yang berbasis good news.
2. Mengedepankan informasi positif mengenai pesona Indonesia untuk dunia.
3. Berupaya jadi saksi pertama kreativitas anak negeri dan akan mengapresiasi dalam bentuk tulisan persembahan untuk bangsa dan dunia.
Sebelum menulis ini saya sudah membaca tulisan kawan-kawan blogger lain yang telah bergabung dengan KOPI. Aih, cerita mereka membuat saya iri setengah mati. Ingin rasanya menjadi bagian dari komunitas ini dan memberi sumbangsih bagi negeri, berupa tulisan-tulisan positif tentang keindahan Indonesia tercinta dalam blog saya.
November nanti KOPI bakal genap berusia setahun. Sebuah acara gathering plus workshop di Jakarta sudah dirancang dan diagendakan pada 25-27 November 2016. Daftar pembicara yang direncanakan hadir bikin ngiler. Diantaranya adalah Menteri Pariwisata Arief Yahya, serta duo penulis kondang Asma Nadia dan Dewi Lestari, serta masih banyak lagi.
Sekilas, acara bertajuk "Pesta KOPI Sapa Dunia" ini sepertinya bakal berjalan seru, dan yang terpenting bermanfaat sekali bagi blogger daerah seperti saya. Jadi, boleh dong kalau saya berharap bisa ikut acara ini? Bantu bilang "amin" ya... :)
 
  May 24, 2016
Jadi Turis di Kota Kelahiran Sendiri (Wisata Palembang bagian I)

"GIMANA ya rasanya jadi wisatawan di kota kelahiran sendiri?" Pertanyaan itu spontan timbul dalam benak saya tak lama setelah mendapat telepon dari Mbak Ira Hairida, mewakili panitia Lomba Blog Jelajah Musi Triboatton 2016, awal bulan ini. Ya, sebagai salah satu dari tiga pemenang, saya diundang ke Palembang selama dua hari dua malam.
Agenda utama kunjungan ke Palembang tersebut menyaksikan etape terakhir dan closing ceremony International Musi Triboatton 2016 di Benteng Kuto Besak, 15 Mei 2016. Tentu kami juga diajak berkeliling ke berbagai destinasi menarik di Kota Pempek. Plesir, plesir... Lengkap dengan wisata kuliner khas. Wuih, kenyang pokokmen!
Palembang bukan kota asing bagi saya. Lahir pada 1982 dan tinggal di sini hingga 1992, kira-kira 10 tahun saya menghabiskan fase awal kehidupan sebagai seorang manusia di kota ini. Setelah pindah ke Batumarta di Ogan Komering Ulu (kini masuk wilayah OKU Timur), dan kemudian Jambi, saya tetap mengunjungi kota ini setidaknya sekali dalam 1-2 tahun.
Namun tetap saja saya tak mengenali Palembang secara utuh. Yang saya tahu persis hanya kawasan Lebong Siareng tempat saya lahir dan menghabiskan masa kecil, serta jalan masuk menuju ke sana. Dari Paal V cari saja Jl. Sosial, lalu ikuti jalan tersebut hingga ke simpang lima yang menjadi penanda Lebong Siareng.
Dulu banyak mobil ketek ngetem di Pasar Paal V, melayani rute Paal V ke Lebong Siareng sampai Perumdam di Jl. Mayor Zurbi Bustan dan sebaliknya. Entah sejak kapan angkutan umum bekas kendaraan militer Perang Dunia II ini lenyap dari Palembang. Kalau tak salah ingat, saya terakhir kali naik mobil ini pada tahun 2002. (Baca juga: Mobil Ketek Tinggal Kenangan)
Terpilih menjadi salah satu pemenang Lomba Blog Jelajah Musi Triboatton 2016 langsung membangkitkan kenangan masa kecil. Sungai Musi yang jadi lokasi lomba seringkali saya lewati dulu saat diajak Ibu mengunjungi seorang bude di Plaju. Jembatan Ampera nan megah, bundaran air mancur yang indah, serta Masjid Agung nan elok. Semuanya masih terekam jelas dalam ingatan.
Kereta Molor 2,5 Jam
Saya berangkat dari Pemalang pada 13 Mei sore hari, menumpang kereta Tawang Jaya. Menurut jadwal di tiket, kereta tiba di Stasiun Pasar Senen pada pukul 20.38 WIB. Masih sangat sore. Saya bisa melanjutkan perjalanan dengan KRL ke Palmerah, lalu menginap nyenyak di tempat adik. Sayang, kereta rupanya molor hingga 2,5 jam. Kereta baru masuk Senen hampir pukul setengah 12 malam!
Dari Senen ke Palmerah kita harus transit dan pindah kereta di Stasiun Tanah Abang. Khawatir KRL tujuan Bogor di Tanah Abang sudah berangkat, saya memilih menelepon seorang kawan sesama orang Pemalang yang jadi driver Gojek. Tapi ini bukan solusi bijak, karena kawan saya ini rupanya tidak hapal daerah Palmerah. OMG! Jadilah kami berhenti di SPBU Gelora dan menunggu adik saya menjemput.
Sampai kontrakan adik jam sudah menunjukkan nyaris pukul satu dini hari. Ah, nggak jadi deh tidur nyenyak semalaman. Tepat adzan Subuh saya terbangun, lalu mandi lanjut sarapan, dan jam enam sudah ke Slipi untuk mencari taksi ke bandara. Syukurlah perjalanan ke bandara berjalan lancar. Tak sampai setengah jam taksi sudah menurunkan saya di Terminal 1C Bandara Soekarno-Hatta.
Saya sepesawat dengan satu pemenang lain, yakni Mbak Katerina S. si empunya blog Travelerien. Tapi tunggu punya tunggu, Mbak Katerina rupanya baru masuk ruang tunggu pas penumpang penerbangan Batik Air ID 6872 Jakarta-Palembang dipersilakan masuk ke dalam pesawat. Jadilah saya baru bisa berkenalan dengannya di tangga pesawat.
Penerbangan berjalan lancar. Pesawat mendarat di Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II tepat saat hape saya menunjukkan 09.40 WIB. Di lobi sudah menunggu Mas Jonny dari tim digital marketing Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Sumatera Selatan. Ternyata bukan cuma kami yang dijemput, ada Mas Bram dan Mas Dani yang punya janji temu dengan Ibu Irene Camelyn Siregar, Kepala Disparbud Sumsel. Lalu Mbak Relinda Puspita, pemenang satunya lagi, juga ikut menjemput kami.
Kemacetan langsung menyambut mobil yang kami tumpangi begitu keluar dari kawasan bandara. Palembang tengah ada proyek besar, membangun jaringan light rail transit (LRT) untuk menyukseskan gelaran Asian Games 2018. Jadilah jalanan protokol dari Talang Betutu hingga ke tengah kota menyempit karena di bagian tengah-tengahnya ada proyek pembuatan tiang-tiang pancang LRT.
 FOTO: http://sumsel.tribunnews.com
FOTO: http://sumsel.tribunnews.comPindang Patin di Bawah Jembatan Ampera
Perjalanan kami di Palembang diawali dengan mengikuti kelas Akademi Berbagi. Hadir sebagai pembicara Mas Muhammad Arif Rahman, travel blogger top yang terpilih sebagai Indonesia's Best Travel Blog of the Year 2014 versi Skyscanner Indonesia dan Indonesia's Best Travel Blog of the Year 2015 versi Blogger Camp. Turut hadir pula Mas Sutiknyo alias Tekno Bolang (@Lostpacker) dan Mas Wira Nurmansyah, dua travel blogger yang tak kalah ngetop dari Mas Arif.
Usai acara, lanjut deh foto-foto bersama. Kemudian rombongan kami dipecah jadi dua mobil, mau diajak makan siang di warung makan terapung Sungai Musi di sebelah Pasar 16 Ilir. Mobil pertama berisi saya, Mbak Rien, Mbak Linda, Mas Jonny dan pengemudi. Sedangkan mobil kedua terlihat lebih sesak sengsara karena Mas Bolang, Mas Wira dan Mas Bram yang kesemuanya berbadan jumbo ada di sana. Ditambah Mas Dani, Mas Arif, Mbak Gladies, serta Mbak Ira sebagai tour guide sekaligus juru antar.
Mobil diparkir di halaman Ampera Center Point yang berseberangan persis dengan Museum Sultan Mahmud Badaruddin II. Jembatan Ampera sudah mengintip di sela-sela atap banggunan, ditingkahi suara perahu ketek yang lalu lalang di Sungai Musi. Kami berjalan kaki menuju dermaga di bawah jembatan, disambut teriakan pemilik perahu ketek yang berteriak-teriak "Kemaro! Kemaro!" dan ibu-ibu pemilik lapak makanan berseru "Pindang! Pindang!"
Sembari menunggu rombongan mobil Mbak Ira, kami melihat-lihat suasana. Mbak Rien mengarahkan kamera DSLR-nya ke beberapa obyek, sedangkan Mbak Linda berjalan-jalan ke arah perahu-perahu ketek ditambatkan. Saya sendiri memilih duduk-duduk di bangku beton yang ada di dekat pagar pembatas dari besi, memandangi Jembatan Ampera nan gagah.
Sontak saya teringat beberapa kenangan menegangkan tapi lucu di sekitaran bawah Jembatan Ampera. Dulu di bawah jembatan ini ada terminal. Saya beberapa kali ke terminal tersebut, diajak Ibu mencari bus ke Baturaja. Calo di Terminal Ampera sangat agresif. Kalau cuma tas dipegangi sampai direbut supaya calon penumpang ikut ke busnya si calo sih sudah pemandangan biasa waktu itu.
Bapak saya pernah saling tendang dengan seorang calo gara-gara adu ngotot soal bus. Saya jadi saksi mata peristiwa tersebut. Lalu bulek saya malah pernah menangkap basah copet yang kedapatan merogoh kantongnya saat tengah menunggu bus. Dompet Bulek sudah tidak ada di tangan si copet, tapi karena dipiting sama Bulek akhirnya dia mengaku. Dompet pun dikembalikan dengan dongkol oleh partner in crime copet tersebut. Ini true story lho, bisa di-cross check ke Bulek saya yang tinggal dekat Pasar Batumarta VI, OKU Timur.
Setelah sekitar 10 menit menunggu, akhirnya rombongan Mbak Ira datang. Kami pun masuk ke Warung Makan Mbok War, sebuah warung makan terapung dengan perahu bercat merah. Menu pindang jadi favorit rombongan kami. Makan siang diiringi suara perahu ketek dan deburan air Sungai Musi, alangkah nikmatnya.

FOTO: Katerina S.

FOTO: Katerina S.

Warung makan terapungnya begini, tapi bukan di sini tempat kami makan siang :)


Makan siang kita. #MusiTriboatton2016 #PesonaSriwijaya @pesonasriwijaya pic.twitter.com/O8lMbeHSkF
— Eko Nurhuda (@bungeko_) 14 Mei 2016
Ada beberapa jenis pindang yang disajikan di Warung Makan Mbok War. Saya sendiri memilih pindang patin, minumnya es jeruk. Tak seperti es jeruk kebanyakan yang berwarna kuning atau oranye, es jeruk Mbok War warnanya bening seperti air putih biasa. Namun rasanya segar bukan kepalang.
Pindangnya bagaimana?
Di mana-mana ya pindang itu rasanya asam pedas. Tapi sensasi makan di atas warung yang sebenarnya adalah sebuah perahu menjadi pengalaman berkesan bagi saya. Bayangkan kita makan sembari restorannya naik-turun bergoyang-goyang mengikuti gelombang air Sungai Musi. Oya, in my opinion es jeruknya juara. :)
International Musi Triboatton 2016
Lepas makan siang, kami dibawa Mbak Ira ke Ampera Center Point. Ini adalah tempat nongkrong favorit anak muda Palembang. Berupa bangunan dua lantai yang bagian bawahnya terdiri dari J.CO, KFC, Soto Kwali, Bebek Garang, dan sebuah rumah makan Padang. Di lantai dua ada convention hall yang dikenal dengan nama Ampera Convention Center. Acara pernikahan dan konser musik seringkali diadakan di sini.
Duduk-duduk di Ampera Center Point sangat asyik sekali, karena pada bagian belakangnya tepian Sungai Musi dengan Jembatan Ampera terlihat di kejauhan. Cocok untuk foto-foto atau sekedar ngobrol santai. Saya yang kurang tidur memesan espresso biar tidak mengantuk. Mbak Ira memesankan aneka donut sebagai teman minum.
Mendekati jam tiga, kami bergerak ke pelataran Benteng Kuto Besak untuk menyaksikan etape terakhir Internasional Musi Triboatton 2016. Sebuah tenda besar didirikan untuk menampung tetamu undangan dari berbagai kalangan. Lomba baru saja dimulai saat kami tiba di venue. Terlihat beberapa tim tengah melakukan pemanasan, sebagian lagi tampak mendayung perahu menuju lokasi start.
Baru beberapa tim berlomba, hujan deras disertai angin kencang menerjang. Penonton kocar-kacir, berlarian menuju ke tenda-tenda putih yang bertebaran di plaza Benteng Kuto Besak. Atlet dan jurnalis, juga kami para blogger undangan, berhamburan ke dalam tenda utama. Lomba tetap berlangsung.
Internasional Musi Triboatton adalah lomba balap perahu di atas Sungai Musi yang mempertandingkan tiga jenis perahu. Masing-masing tim diadu ketangkasannya dalam mengemudikan perahu kayak (canoe), perahu karet (rafting), dan perahu naga. Pada gelaran tahun ini sebanyak 16 tim dari tujuh negara ikut berpartisipasi. Selain tim-tim Indonesia, ada pula peserta dari Tiongkok, Makau, Philipina, Brunei Darussalam, Singapura dan Malaysia.

Foto bareng tim dayung Malaysia. "Saye nak ambik gambar dengan awak boleh ke?" :D
Saya sempat berbincang-bincang sejenak dengan ofisial tim Malaysia di tenda utama. Tim yang saat itu bertanding adalah tim dayung Polis Diraja Malaysia (PDRM), seluruhnya beranggotakan polisi. Menurut ofisial yang lupa saya tanya namanya tersebut, tim PDRM sudah berulang kali ikut serta dalam Musi Triboatton.
Untunglah hujan reda tak lama kemudian. Penonton kembali menyemut di tepian Sungai Musi untuk menyaksikan balap perahu ini. Sayang mendung tebal yang menggantung di atas langit membuat foto-foto hasil jepretan saya tak maksimal. Maklum, saya hanya berbekal ASUS Zenfone dan sebuah kamera digital. Dibikin minder sama blogger-blogger lain yang bawa kamera moncong panjang.
Begitu lomba selesai kami diajak ke hotel. Tapi di tengah jalan Mbak Ira mengajak mampir ke Kedai Harum, sebuah kedai etnik dengan sajian khas Palembang. Ada aneka pempek, burgo, laksan, tekwan, model, ragit, dan makanan khas lain. Saya yang sudah lama sekali tak makan model memesan makanan berkuah ini.
"Mumpung di Palembang," pikir saya teringat ucapan Mbak Ety di Facebook.

Photo courtesy Katerina S., taken by Relinda Puspita.
Sore-sore makan model + es sugu di Kedai Harum. Nyam! Mau? #MusiTriboatton2016 #PesonaSriwijaya @pesonasriwijaya pic.twitter.com/FaiZBNqI39
— Eko Nurhuda (@bungeko_) 14 Mei 2016
Mbak Rien rupanya penasaran berat dengan Pempek Tabok, jadilah ia pesan satu. Sedangkan Mbak Linda tertarik dengan ragit, makanan dari tepung pati dengan kuah santan kental. Minumannya kami sepakat ke satu pilihan, es sugu alias es yang berbahan susu campur gula merah.
Tepat adzan Magrib kami keluar dari Kedai Harum. Tujuan berikutnya Hotel Amaris tempat kami menginap di malam pertama.
Martabak HAR Palembang
Usai mandi dan istirahat sejenak, Mbak Ira kembali mengajak kami keluar. Tujuan pertama menikmati Martabak HAR. Ini martabak khas Palembang yang, konon, cita rasanya tidak ada yang menyamai di manapun. Menurut cerita sih resep Martabak HAR adalah kreasi Haji Abdul Rozak, inovator jajanan ini sekaligus pendiri Martabak HAR. HAR sendiri merupakan akronim Haji Abdul Rozak.
Martabak HAR sudah eksis sejak 7 Juli 1947. Haji Abdul Rozak adalah seorang perantauan keturunan India yang menikah dengan gadis Palembang. Kedai pertamanya berdiri di Jl. Jend. Sudirman, dekat bundaran air mancur depan Masjid Agung, yang masih tegak hingga saat ini. Ke sanalah kami diajak Mbak Ira.
Martabak HAR Palembang. Sumpah lemak nian rasonyo! :)
A photo posted by Eko Nurhuda (@bungeko_) on May 14, 2016 at 9:41am PDT
Haji Abdul Rozak mempunyai delapan anak dan semuanya menjual Martabak HAR. Selain mereka, ada pula beberapa pihak yang membuka toko bernama Martabak HAR. Namun Martabak HAR asli bisa dilihat dari adanya foto Haji Abdul Rozak dalam banner, juga di dalam toko. Anak-anak muda yang suka suasana lebih modern dan gaul biasanya nongkrong di Martabak & Resto HAR milik cucu Haji Abdul Rozak di Jl. Jendral Sudirman No. 2269.
Begitu martabak di piring kami tandas, perjalanan pun dilanjutkan. Lagi-lagi kami ke plaza Benteng Kuto Besak, kali ini untuk menyaksikan keindahan Jembatan Ampera di waktu malam. Jembatan berusia lebih dari 50 tahun tersebut tampak indah oleh lampu warna-warni yang dipasang di seluruh badan jembatan.
Sesi wisata malam kami isi dengan foto-foto. Mas Wira, Mbak Katerina, Mas Dani, dan Mas Arif sibuk foto dari berbagai angle. Mas Arif sampai bawa tripod segala. Lainnya asyik selfie dan wefie berlatar belakang Ampera. Saya tak suka selfie, jadi hanya sekali saja menjepret jembatan untuk status media sosial, selebihnya duduk-duduk menyaksikan tingkah polah kawan-kawan lainnya.
Etapi lama-lama saya kepengen juga difoto berlatar belakang Jembatan Ampera. Karena baterai kamera Mbak Katerina habis, saya minta tolong Mas Wira untuk mengambil foto. Lumayanlah buat kenang-kenangan untuk anak-cucu nanti, hehehe...
Bersambung...
 
  May 20, 2016
Koin Receh Penyelamat di Tanggal Tua
Ini adalah sebuah acara Kompetisi Blogger ShopCoupons X MatahariMall. Yang diselenggarakan oleh ShopCoupons. voucher mataharimall dan hadiah disponsori oleh MatahariMall.
JANGAN sekali-kali meremehkan uang receh. Uang pecahan-pecahan kecil dalam bentuk koin tersebut bisa sangat membantu dalam kondisi tanggap darurat. Setidaknya, beginilah pengalaman pribadi saya yang berulang kali terbantu oleh uang receh di saat-saat paling kritis dalam hidup.
"Maaf ya, Pak, kembaliannya uang receh," ujar kasir minimarket di Jl. Lingkar Selatan Pemalang tempat saya berbelanja pada suatu waktu.
Saat itu saya membelikan beberapa potong es krim untuk anak-anak, totalnya hanya kurang beberapa ribu rupiah dari Rp30.000. Saya pun menyodorkan dua lembar uang, masing-masing bergambar Sultan Mahmud Badaruddin II dan Oto Iskandar Di Nata, pada kasir yang kemudian memberi kembalian berupa koin-koin serupa perak mengilap.
Setibanya di rumah uang receh itu saya kumpulkan di satu tempat khusus. Saya dan istri sudah sepakat mau diapakan koin-koin itu. Disesuaikan dengan pecahannya, biasanya seperti ini cara kami mengalokasikan koin receh kembalian dari warung atau minimarket:

Pecahan Rp100 dan Rp200, Jatah Pengamen
Meski nilainya sangat kecil, tapi jika dikumpul-kumpulkan koin nominal Rp100 dan Rp200 masih sangat berharga. Ingat pepatah mengatakan sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit, bukan? Hitung-hitungan sebentar, jika kita punya 50 keping Rp100 maka total uangnya berjumlah Rp5.000. Di Pemalang, uang sebesar ini masih bisa dipakai membeli nasi sayur dengan lauk telur goreng lho.
Jangan lupakan pula masih banyak orang lain yang memandang uang koin Rp100 dan Rp200 sebagai harta berharga. Ambil contoh pengemis, atau pengamen yang di sini kerap kali mendatangi rumah demi rumah untuk mengumpulkan recehan sebagai penyambung hidup.
Nah, kami mengumpulkan uang-uang pecahan ini di satu wadah khusus sebagai 'dana cadangan' untuk memberi pengamen dan pengemis tersebut. Tentu saja memberinya tidak sekeping dua. Paling tidak sebesar Rp500 yang terdiri dari dua keping Rp200 ditambah sekeping Rp100, atau bisa juga tiga keping Rp100 plus sekeping Rp200. Tak jarang sampai Rp1.000, berupa lima keping Rp200-an.
Pecahan Rp500, Uang Parkir
Khusus koin Rp500 kami tempatkan di wadah lain yang lebih tertutup. Kadang di dalam toples kosong bekas wadah sosis, kadang pula hanya digeletakkan di salah satu sudut kosong dalam lemari buku. Kalau koinnya semakin banyak, istri akan memindahkannya ke sebuah dompet butut dan disimpan di lemari pakaian.
Ada dua kegunaan Rp500 ini. Pertama dan terutama, untuk membayar parkir. Jika bepergian ke kota, saya atau istri akan membuka lemari atau dompet butut tadi dan mengambil beberapa keping koin Rp500. Biaya parkir sepeda motor Rp1.000, sedangkan mobil Rp2.000. Dengan demikian kami tak perlu bingung mencari uang kecil di tempat parkir. Kedua, uang Rp500 akan dikeluarkan untuk pengemis atau pengamen kalau stok Rp100 dan Rp200 sudah habis.
Pecahan Rp1.000, Ditabung
Jika koin Rp100, Rp200, dan Rp500 dikhususkan untuk keperluan "remeh-temeh" alias uang khusus dibagi-bagi, maka koin bergambar angklung selalu kami simpan sebagai tabungan. Benar-benar tabungan dalam arti sebenar-benarnya, sehingga begitu masuk ke dalam celengan tidak kami keluarkan lagi kecuali dalam kondisi sangat mendesak.
Kami punya satu celengan khusus untuk menampung koin-koin Rp1.000 ini. Berapapun koin Rp1.000 yang kami dapatkan hari itu, semuanya langsung masuk ke dalam celengan. Saya bahkan tak jarang sengaja menukar beberapa ribu rupiah uang kertas dengan koin Rp1.000 pada tukang parkir kantor pos kenalan saya sebagai tabungan. Kadang cuma beberapa ribu, tapi pernah juga sampai puluhan ribu.
Oya, jangan bayangkan celengan khusus itu berupa celengan ayam dari tanah atau plastik itu ya. Kami hanya memakai botol minuman kemasan kosong, pernah pula ditaruh di dalam kaleng bekas biskuit lebaran. Baru setelah celengan ayam anak-anak dibongkar, kami pindahkan koin-koin tersebut ke bekas celengan anak-anak.
Ngirit ceritanya, hehehe...

Diselamatkan Koin Receh
Dari sekeping-dua keping, lama-kelamaan koin-koin Rp1.000 tersebut bertambah banyak. Kami tak pernah menghitung berapa perolehan koin Rp1.000 pada hari itu. Yang kami tahu dan selalu lakukan adalah, begitu mendapat kembalian koin Rp1.000, langsung deh uang itu masuk ke dalam celengan khusus. Kami lakukan itu sedisiplin mungkin.
Saya bukan pegawai yang punya gaji tetap, baik tetap waktu cairnya maupun tetap besar uangnya. Penghasilan saya setiap bulan selalu dalam tanda tanya: kapan dapatnya dan berapa banyaknya? Kondisi duit ngepas lebih akrab kami alami, sehingga strategi memperpanjang napas di tanggal tua sangat fasih kami jalani. Salah satunya menabung koin receh.
Kebiasaan ini sudah saya lakukan sejak jaman kuliah di Jogja dulu. Saya mulai mengumpulkan koin receh setelah membaca buku Kunci Emas karya LY Wiranaga yang diterbitkan oleh Gramedia pada tahun 2003. Salah satu bagian buku tersebut membahas tentang sesosok ibu yang di masa tuanya bisa berwisata keliling dunia tanpa mendapat sokongan sepeser pun dari anak-anaknya. Rahasianya? Selama berpuluh-puluh tahun ibu tersebut berpantang membelanjakan uang koin!
Saya tak muluk-muluk ingin berwisata keliling dunia seperti si ibu ketika kemudian ikut-ikutan menyimpan seluruh kembalian berupa koin yang saya terima. Saya hanya merasa, menyimpan koin adalah cara menabung paling tidak memberatkan yang bisa dilakukan oleh anak kos. Itu saja.
Pada suatu ketika, saya harus berterima kasih pada kisah inspiratif ibu dalam buku tersebut. Saat mesin ATM tak bisa lagi mengeluarkan uang karena saldo rekening limit, saya membuka tabungan receh. Saya pilah-pilah menurut pecahan, lalu dihitung dan dikumpulkan dalam plastik terpisah. Dengan menahan malu saya tukarkan koin-koin tersebut di tetangga yang punya usaha wartel dan warnet. Hasil penukaran tabungan koin itu bisa untuk bertahan hidup selama sebulan. Alhamdulillah...
Kisah tanggal tua saya semasa kuliah kurang-lebih sama seperti pengalaman Budi dalam video berikut ini. Makan seadanya, mengandalkan gratisan, sabun dan sampo diawet-awet, sampai memakai sepeda pinjaman ke kampus. Ngenes. Hehehe.
Itu kisah semasa masih kuliah. Setelah berkeluarga, pernah pula kami diselamatkan oleh simpanan koin receh. Ceritanya saldo kami habis, sedangkan artikel belum ada yang dimuat, naskah buku berkali-kali ditolak, sedangkan stok susu anak semakin menipis. Jadilah saya membongkar tabungan koin receh kami, lalu dengan muka merah membeli sekotak susu formula di sebuah minimarket dengan koin pecahan Rp500 dan Rp1.000.
Kejadian tersebut sudah berlalu lima tahun, tapi saya masih mengingatnya dengan jelas. Jelas sekali! Hahahaha...
Atur Kemudi agar Selamat Sampai Tujuan
Berangkat dari situ kami kemudian menyusun perencanaan keuangan agar tak sampai membongkar-bongkar tabungan koin receh lagi dalam kondisi tanggal tua. Langkah-langkah kami susun bersama, untuk dijalankan secara disiplin. Maklum, anak-anak sudah mulai sekolah sehingga perencanaan finansial keluarga harus lebih rapi.
Belajar dari pengalaman, ditambah hasil membaca sejumlah referensi dan mengamati lingkungan sekitar, kami punya keyakinan bahwa setiap manusia sejatinya sudah diberi rejeki yang cukup untuk kebutuhan hidup masing-masing. Yang membuat tidak cukup, manusia seringkali lebih mementingkan gaya hidup ketimbang kebutuhan hidup.
Berikut cara kami mengatur keuangan agar tak mengalami krisis tanggal tua akut. Semoga langkah-langkah berikut bermanfaat bagi kita semua.
1. Menentukan skala prioritas
Orang hidup banyak kebutuhan, saya setuju itu. Tapi kita bisa memilah-milah semuanya menjadi tiga tingkatan: utama, penting dan tidak penting. Istilah kerennya kebutuhan primer, sekunder dan tersier. Fokuslah mula-mula pada kebutuhan primer seperti pangan. Ini prioritas. Kecukupan pangan menjamin kita tenang sehingga bisa memikirkan kebutuhan lain-lain.
Tak perlu mewah-mewah, terpenting ada nasi dulu. Soal sayur dan lauk bisa disesuaikan kok. Kami sendiri mendidik anak-anak untuk menyukai segala jenis makanan dari dapur sendiri, baik hanya tempe goreng ataupun ayam bakar. Lalu setelah urusan pangan ada lagi kebutuhan sekolah anak yang tak bisa ditawar.
Bagi saya sendiri yang penting iuran Speedy terbayar tepat waktu setiap bulan. Bisa gawat kalau sampai telat, karena terlambat sehari berarti denda Rp5.000 dan terlalu sering menunggak bisa membuat jaringan internet diputus. Saya tak bisa berjualan dan bekerja tanpa internet.
2. Atur rencana belanja bulanan, dan patuhi dengan disiplin
Istri saya sangat rajin sekali menyusun daftar kebutuhan bulanan. Berdasarkan kebutuhan dan pengeluaran bulan lalu, ia bisa memperkirakan berapa kebutuhan kami pada bulan berikutnya, apa-apa saja barang yang harus dibeli, dan seberapa banyak jumlahnya.
Di nomor-nomor awal tertera kebutuhan-kebutuhan pokok yang harus dipenuhi seperti belanja dapur, kebutuhan mandi dan cuci, uang sekolah anak, tagihan ini-itu. Barulah disusul kebutuhan lain yang perlu, namun tidak terlalu mendesak. Dan di nomor-nomor buncit ada pos-pos yang masuk kebutuhan tidak penting namun perlu juga, misalnya makan di luar atau berwisata.
Dengan begitu kami jadi tahu berapa banyak uang yang kami butuhkan dalam sebulan tersebut. Kalau hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok berapa, kalau kebutuhan-kebutuhan sekunder dipenuhi jadi berapa, dan jika seluruh yang ada dalam daftar dipenuhi berapa. Tahan nafsu sedikit saja, maka uang yang seharusnya dibelanjakan untuk kebutuhan tersier bisa berubah jadi tabungan, atau setidaknya dana cadangan darurat.
3. Hanya berbelanja sesuai kebutuhan, bukan keinginan
Kalau hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup, rejeki yang diberikan Allah pada manusia tak akan kurang. Hanya saja kita kerap lebih suka memperturutkan hawa nafsu, sehingga mementingkan gaya hidup alih-alih kebutuhan hidup. Akhirnya ya harus tambal sulam karena sampai kapanpun hawa nafsu itu tidak akan pernah terpuaskan, sementara penghasilan kita ada batasnya.
Kami sadari kalau ingin selamat kami hanya perlu mengeluarkan uang untuk apa yang kami butuhkan. Hindari membeli sesuatu hanya berdasarkan keinginan. Pergi ke toko niatnya membeli beras dan gula, tapi karena tergiur promosi beli dua gratis satu akhirnya serenteng kopi sachet ikut dibawa pulang. Padahal di rumah sudah ada kopi bubuk. Tentu saja ini pemborosan.
Ada sales panci datang ke rumah, menawarkan cicilan ringan dengan tempo setahun, eh, tertarik beli. Jadilah terikat hutang selama setahun untuk panci baru, padahal panci lama masih bisa dipergunakan dengan baik. Ini pengeluaran mubazir yang semestinya bisa dihindari.
"Tapi kan pancinya bisa disimpan, tidak akan rusak." Betul. Tapi kenapa mau terikat hutang selama setahun untuk barang yang tidak kita diperlukan benar?
Langkah paling mudah untuk meredam godaan keinginan saat berbelanja adalah dengan membuat daftar belanja. Catat apa-apa saja yang dibutuhkan saat itu, dan patuhilah daftar tersebut. Akan lebih baik lagi kalau sudah tahu kisaran harga sehingga dapat membawa uang pas.

4. Pentingkan fungsi, bukan gengsi
Poin-poin di atas lantas membuat kami lebih mempertimbangkan fungsi ketimbang gengsi setiap kali hendak membeli sebuah barang. Saat membeli sepeda motor, contohnya, saya tak tertarik tawaran promo kredit varian terbaru dari saudara yang bekerja di perusahaan pembiayaan. Alih-alih, saya lebih suka membeli sepeda motor lama milik kakak ipar yang sudah tidak dipakai lagi sejak ia mengambil kredit sepeda motor baru.
Begitu pula ketika saya membeli handphone pada tahun 2010. Karena hanya butuh perangkat untuk menelepon dan berkirim SMS, saya cukup mengambil sebuah hape Samsung seharga Rp150.000 ketimbang Blackberry yang tengah jadi primadona. Barulah ketika kebutuhan toko online yang kami kelola menuntut tambahan fasilitas layanan konsumen menggunakan Blackberry Messenger (BBM), kami membeli Blackberry pertama. Kemudian disusul yang kedua tak sampai setahun berselang.
Kini, ketika layanan aplikasi chatting lain juga dibutuhkan, kami membeli smartphone Android yang masing-masing dipegang saya dan istri. Ini semua dibeli berdasarkan apa yang kami butuhkan saat itu, dan semuanya bertujuan mendukung toko online kami yang mana merupakan sumber penghasilan keluarga. Jadi, boleh dibilang ini pengeluaran produktif.
5. Cari toko yang menawarkan harga terbaik
Bagi istri saya, selisih harga Rp1.000 sangat berarti. Ketika tengah berbelanja di sebuah minimarket dan saya ingatkan deterjen mau habis, ia bilang, "Mending beli di pasar aja." Rupanya harga deterjen di toko langganannya yang ada di pasar lebih murah sekian rupiah. Begitu pula dengan kebutuhan-kebutuhan lain. Istri saya rela berpindah-pindah toko demi menghemat uang belanja.
Untuk keperluan lain di luar urusan dapur dan mandi-cuci, utamanya pakaian atau gadget, saya lebih suka berbelanja online. Pemalang kota kecil, kita harus menunggu lama untuk mendapatkan pakaian model terbaru atau gadget terkini. Cara cepat nan mudah untuk mendapatkan produk kekinian adalah berbelanja secara online. Tinggal tunggu 2-3 hari, barang sudah sampai ke rumah.
Tentu saja saya pilih toko online atau marketplace yang memberi harga terbaik, menawarkan diskon menarik, dengan seabrek fasilitas menguntungkan. Salah satunya adalah MatahariMall.com. Mau beli apa saja tersedia di sini. Hape, laptop, pakaian anak, sampai diapers atau susu bayi semuanya ada. Tinggal pilih.

Saya punya akun di Matahari Mall, sehingga selalu mendapat pemberitahuan program promosi apa saja yang tengah berlangsung di marketplace ini. Misalnya saja program TTS alias Tanggal Tua Surprise yang menawarkan diskon gila-gilaan untuk produk-produk tertentu. Lebih senangnya lagi, Matahari Mall memberikan ongkos kirim gratis ke seluruh Indonesia. Tambah hemat lagi, bukan?
Satu lagi yang bagi saya tak kalah penting, belanja kita di Matahari Mall bisa dibayar melalui Kantor Pos atau Indomaret. Tak perlu lagi jauh-jauh datang ke mesin ATM atau antri panjang di teller bank. Sedangkan bagi yang di kotanya ada gerai Matahari Department Store, barang pesanan dapat diambil langsung ke store Matahari terdekat. Sejauh ini MatahariMall.com menjadi satu-satunya eCommerce yang menerapkan sistem Online-to-Offline (O2O) begini.
Cukupi Sesamamu, Maka Dirimu Akan Dicukupi
Selain kelima langkah teknis tersebut, ada satu strategi lagi yang kami lakukan sebagai pelengkap ikhtiar: sedekah. Tak peduli tengah lapang atau sempit, selalu kami sisihkan rejeki untuk bersedekah. Ini merupakan bentuk rasa syukur kami atas rezeki yang diberikan Allah, sekaligus kepedulian terhadap sesama yang lebih membutuhkan.
Kami percaya pada janji Allah, bahwa orang-orang yang membantu sesama akan dibantu oleh-Nya. Cukupi kekurangan saudaramu, makau kekuranganmu akan dicukupi. Demikian ajaran yang saya percaya betul kebenarannya. Bukan percaya asal percaya, karena beberapa kali saya pernah mengalaminya sendiri. Di antara semuanya, dua kejadian ini yang masih saya ingat betul.
1. Sedekah langsung dibalas, malah lebih banyak!
Saya mengikuti akun Twitter gerakan sosial Sedekah Rombongan (SR) yang digagas oleh Saptuari Sugiharto. Di akun tersebut kerap di-share foto-foto pasien dampingan SR yang dana pengobatannya 100% dari berasal dari hasil sumbangan donatur di seluruh Indonesia. Baik yang menyumbang puluhan atau ratusan ribu, sampai yang memberi jutaan rupiah.
Lama-kelamaan saya tergerak ikut membantu. Lalu sembari sarapan saya mengirimkan seluruh hasil penjualan pada hari sebelumnya ke rekening SR. Tak banyak sih, tapi ya lumayan juga untuk ukuran pedagang online kecil seperti saya. Omset satu hari penuh lho, dan kebetulan kemarin lebih banyak dari biasanya.
Usai sarapan, seorang bapak datang bertamu. Rupanya bapak tersebut teman sekantor pembeli saya yang datang tempo hari. "Boleh lihat-lihat koleksinya, Mas? Saya punya beberapa koleksi, pengen saya lengkapi," ujar si Bapak.
Saya pun mengeluarkan dagangan yang tersusun rapi dalam album-album uang kertas. Ada pula yang diletakkan dalam wadah-wadah plastik bekas tempat jajanan anak-anak. Si Bapak melihat-lihat, memilih beberapa dan disisihkan di sebelah tangannya, lalu meminta saya menghitung. Saya menyebutkan nominal, kemudian si Bapak mengeluarkan dompetnya untuk membayar. Lunas, tanpa menawar.
Transaksi itu berlangsung sangat cepat. Hanya sekitar seperempat jam kemudian si Bapak sudah pamit karena harus kembali ke kantor. Begitu si Bapak menghilang dari pandangan, saya membereskan dagangan yang berceceran di atas meja tamu, lalu menghitung uang hasil transaksi pagi itu. Ada beberapa lembar Rp100.000 dan Rp50.000, bercampur dengan lembaran-lembaran berwarna hijau dan ungu.
Alamak! Hitung punya hitung, hasil transaksi tersebut besarnya dua kali lipat dari nominal uang yang saya transfer ke rekening SR tepat sebelum kedatangan si Bapak. Allahu akbar!
2. Uang dipinjam teman, dikembalikan oleh Allah dalam bentuk pekerjaan
Suatu ketika seorang teman mengirim SMS hendak meminjam uang pada saya. Ia sedang butuh uang segera karena adiknya harus membayar uang sekolah hari itu juga. Ia sudah berusaha meminjam ke tetangga kanan-kiri, tapi hingga saat itu belum ada yang memberi pinjaman. Terpaksa ia meminjam pada saya yang berjarak ratusan kilometer dari tempat tinggalnya.
Tak banyak sih yang dipinjam, ia hanya menyebut angka Rp800.000. Masalahnya, saldo di rekening saya hanya tersisa Rp500.000. Itu bekal kami yang tersisa hingga ada pemasukan lagi yang entah kapan datangnya. Saya lantas berunding dengan istri, lalu kami bilang pada teman tersebut bahwa kami hanya bisa meminjamkan Rp450.000. Sisanya silakan usahakan lagi.
Teman saya tak punya rekening bank, jadi uang dikirim lewat wesel pos. Dengan uang pinjaman dari kami itulah biaya sekolah adik teman saya tersebut terbayarkan. Sedangkan untuk kekurangannya, teman saya berhasil melobi pihak sekolah agar memberikan tenggat waktu hingga beberapa bulan ke depan. Dicicil dua kali ceritanya. Kami ikut senang mendengarnya.
Beberapa hari setelah itu, sebuah telepon masuk ke hape saya. Rupanya teman saya di Solo sedang butuh tenaga content writer. "Kamu nulis untuk blog ini ya. Sehari 4-5 judul saja nggak apa-apa, nanti aku buatkan username dan password biar kamu bisa langsung masuk ke dashboard," katanya tanpa basa-basi.
Untuk pekerjaan tersebut, saya diberi fee Rp 2 juta sebulan. Alhamdulillah...
*****
Saya selalu percaya bahwa Allah menjamin rezeki tiap-tiap makhluk hidup ciptaannya. Karenanya saya tak terlalu risau ketika tanggal tua dan tak ada uang sepeser pun di kantong maupun saldo rekening. Saya percaya, Allah pasti akan memberikan rezekinya di saat saya benar-benar membutuhkkan. Beberapa kali terjadi, saat kami butuh uang saat itulah ada saja yang memberi uang dalam berbagai bentuk.
Saya juga percaya, dalam rezeki saya ada sebagian hak orang lain yang dititipkan Allah. Karenanya saya dan istri selalu berusaha membantu siapapun yang datang meminta bantuan, baik kami sedang lapang maupun dalam kondisi sama-sama tanggal tua. Uang yang kami dapat adalah pemberian Allah, maka bagaimanapun cara dan kapanpun Ia memintanya kembali harus kami berikan dengan tulus ikhlas.
Semoga bermanfaat!
 
  May 10, 2016
Bandara Talang Betutu Riwayatmu Kini...

BELUM lama ini adik saya mengunggah foto-fotonya di Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II, Palembang, jelang kembali ke Jakarta. Sebuah bandara yang terlihat bagus sekali. Saya jadi teringat Bandara Talang Betutu, bandara yang semasa saya kecil adalah pintu gerbang menuju Kota Pempek melalui jalur udara. Apa kabar, Talang Betutu?
Talang Betutu sebenarnya nama sebuah kelurahan di Kecamatan Sukarame, Kotamadya Palembang. Penamaan bandara sesuai nama tempat bandara tersebut berlokasi adalah hal lumrah pada masa lalu. Jika Palembang pernah punya Bandara Talang Betutu di Kelurahan Talang Betutu, maka di Jakarta dulu ada Bandara Kemayoran yang terletak di Kecamatan Kemayoran, Jakarta Pusat.
Pada jaman pemerintahan Hindia Belanda, Kelurahan Talang Betutu berada di luar wilayah administratif Kotapraja Palembang. Kawasan ini baru dimasukkan dalam area kota pada jaman pendudukan Jepang.
Pembangunan Bandara Talang Betutu dimulai pada tahun 1920, berupa sebuah bandara perintis untuk mendaratkan pesawat Fokker dari Eropa. Oya, ejaan lamanya Bandara Talang Betoetoe. Papan nama bandara dengan ejaan lama ini masih bisa saya lihat di masa kecil, kira-kira tahun 80'-an.
Lalu pada masa pendudukan Jepang kawasan bandara diperluas sehingga pesawat-pesawat lebih besar dapat mendarat. Apalagi tujuannya kalau bukan untuk mendaratkan pesawat-pesawat tempur?
Pada Perang Dunia II, bandara ini dimanfaatkan betul oleh Jepang dan kemudian Sekutu untuk memasok tentara dan persenjataan ke Palembang. Sekutu juga membawa banyak sekali kendaraan tempur ke Palembang, yang usai kemerdekaan berseliweran di jalanan kota sebagai angkutan umum. Termasuk mobil ketek yang pernah saya ceritakan di posting Mobil Ketek Tinggal Kenangan.
Sebagai objek vital, Bandara Talang Betutu jadi sasaran utama pengeboman di masa perang. Entah berapa puluh atau mungkin ratus bom dijatuhkan di kawasan ini. Belum lagi ranjau yang tertanam di dalam tanah. Cerita penemuan bom atau ranjau di kawasan ini sudah biasa terdengar. Ketika Bandara Internasional Sultan Mahmud Badaruddin II dibangun, berita ditemukannya bom dan ranjau oleh pekerja proyek kerap menghiasi halaman surat kabar.
Hingga tahun 1980-an, Bandara Talang Betutu menjadi bandara transit bagi pesawat-pesawat jarak jauh. Pesawat rute Jakarta-Medan biasa transit dulu di Palembang, demikian pula pesawat rute Jakarta-Singapura.

Terbengkalai
Setelah ada bandara baru, seluruh aktivitas penerbangan komersial dipindah ke Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II yang lebih keren dan canggih. Bandara Talang Betutu pun ditinggalkan, terbengkalai. Landasannya masih digunakan oleh TNI AU, namun gedung-gedung bekas terminal tak terurus. Sebagian ada yang ambruk atapnya, lalu yang lainnya dipenuhi semak dan perdu.
Sempat ada wacana menjadikan eks Bandara Talang Betutu sebagai terminal khusus haji pada tahun 2010, namun saya tak paham bagaimana realisasinya. Tiga tahun berselang, muncul berita TNI AU berniat menghancurkan sejumlah bangunan bandara yang sudah rusak. Mengutip Sriwijaya Post, Danlanud Palembang (waktu itu) Letkol Pnb. Ramot CP Sinaga mengatakan tower dan anjungan yang sudah rusak bakal diratakan dengan tanah.
Pendapat berbeda diberikan Danlanud Palembang yang baru, Kolonel Pnb. Ronald Lucas Siregar. Kepada media pada Februari lalu, Ronald mengatakan eks Bandara Talang Betutu sangat potensial untuk dimanfaatkan mendukung event Asian Games 2018. Palembang sudah ditunjuk sebagai salah satu kota tuan rumah Asian Games 2018 bersama Jakarta.
Menurut Ronald, jika direvitalisasi Bandara Talang Betutu setidaknya bisa dipergunakan sebagai lapangan parkir pesawat kontingen negara peserta. Namun untuk itu seluruh kawasan eks bandara perlu dibenahi agar sedap dipandang.
"Kalau kondisi Bandara Talang Betutu begini dilihat orang asing apa kata mereka, kok bekas bandara tidak dirawat. Lihat ada pohon tumbuh dalam bangunan Bandara Talang Betutu, kok seperti ini," katanya seperti dikutip dari laman Berita Pagi.
Saya pribadi tak punya banyak kenangan bersama Bandara Talang Betutu. Kami tak pernah keluar Sumatera Selatan waktu itu. Seingat saya, kepergian kami paling jauh hanya ke Batumarta dan Pendopo. Tempat pertama adalah tempat keluarga dari pihak Ibu berkumpul, sedangkan yang kedua tempat kelahiran Bapak dan seluruh saudara kandungnya. Tentu saja kami tak perlu naik pesawat untuk menuju kedua tempat tersebut.
Tapi, menurut Ibu, saat masih kecil saya pernah diajak naik pesawat terbang dari bandara ini ke Bangka. Yang mengajak pacar paman saya yang hingga kini masih harmonis membina rumah tangga bersama paman. Saya sama sekali tak ingat kejadian itu. Satu-satunya kenangan tentang Bandara Talang Betutu yang masih saya ingat betul adalah saat ikut Ibu dan beberapa saudara menjemput entah siapa. Kalau tak salah sih menjemput besan Simbah yang baru pulang haji.
Saya tak ikut masuk ke terminal, hanya duduk-duduk di parkiran mobil bersama seorang sepupu. Dengan takjub saya mendengarkan suara gemuruh pesawat terbang naik-turun di landasan, juga lalu-lalu mobil keluar-masuk area parkir. Meski hanya duduk-duduk di separator parkir, saya merasa senang sekali. Itulah kali pertama saya menyaksikan pesawat terbang dari jarak sangat dekat. :)
Kesenangan saya bertambah karena Ibu membelikan Chiki, jajanan yang jarang-jarang bisa saya nikmati di masa kecil. Berdua dengan seorang sepupu, anak bude, saya duduk tenang di separator memperhatikan aktivitas bandara sembari melahap Chiki tersebut. Lihat saja di foto berikut ini. Saya yang memakai kemeja putih.

Kembali ke soal Bandara Talang Betutu yang terbengkalai. Sebagai orang kelahiran Palembang dan menghabiskan 10 tahun pertama dalam kehidupan saya di kota ini, saya berharap Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan mengeluarkan kebijakan positif mengenai Bandara Talang Betutu. Sinergi dengan TNI AU sebagai pemilik lahan sangat diperlukan agar tempat bersejarah ini tetap lestari.
Bagaimanapun, bandara ini merupakan bagian sejarah Kota Palembang. Inilah bandara pertama di Kota BARI, yang menjadi saksi jaman penjajahan Belanda, pendudukan Jepang, perang kemerdekaan, Perang Dunia II, sampai agresi militer Belanda. Bukankah bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya?
Banyak cerita bisa disuguhkan dari sejarah panjang Bandara Talang Betutu bagi generasi sekarang. Contohnya kecelakaan tragis yang menimpa pesawat milik maskapai Belanda KLM pada 6 Oktober 1937. Pesawat tipe Douglas DC-3 PH-ALS `Specht' rute Batavia-Singapura, transit di Palembang, terhempas dan rusak parah tak lama setelah take off. Kapten F.M. Stork, teknisi J.J. Ruben, operator radio J.J. Stodieck, dan seorang penumpang bernama Mr. G.A. Steenbergen tewas. Sedangkan kopilot dan enam penumpang lain mengalami luka ringan.
Di jaman lebih modern, ada Peristiwa Woyla yang melibatkan Bandara Talang Betutu dalam jalan ceritanya. Pesawat Garuda Indonesia nomor penerbangan 206 yang dibajak lima teroris Komando Jihad, transit di bandara ini sebelum melanjutkan perjalanan dari Jakarta menuju Medan. Peristiwa ini tak hanya menggegerkan Indonesia, tapi juga Thailand sebagai negara tempat kejadian peristiwa serta dunia.
Rasanya masih banyak kisah-kisah menarik lain dari Bandara Talang Betutu. Jika dikemas dengan apik, ditambah potensi lain yang ada di sekitarnya, kawasan eks bandara ini dapat berkembang menjadi lebih menjanjikan. Semoga saja dalam 5-10 tahun ke depan kondisi Bandara Talang Betutu tak merana lagi.
Sumber referensi: Wikipedia, Yahoo! Groups, Berita Pagi, Sriwijaya Post
 
  May 3, 2016
Musi Triboatton, Balap Perahu Menyusuri Venesia dari Timur

PALEMBANG disebut-sebut sebagai Venesia dari Timur karena begitu banyaknya sungai mengaliri kota ini. Satu di antaranya adalah Sungai Musi, sungai yang membelah Palembang menjadi Ulu (hulu) dan Ilir (hilir). Sungai yang menjadi sandaran hidup banyak warga di sepanjang tepiannya. Sungai yang di bulan Mei ini bakal menggelar ajang bertaraf internasional, Musi Triboatton 2016.
Bagi wisatawan, Sungai Musi dikenal dengan Jembatan Ampera yang menjadi landmark Kota Palembang. Jembatan yang merupakan jembatan terpanjang di Sumatera, dengan bentangan lebih dari satu kilometer dari sisi satu ke sisi lainnya. Satu paket dengan Sungai Musi dan Jembatan Ampera adalah Benteng Kuto Besak, benteng kuno yang merupakan tembok istana Kesultanan Palembang Darussalam.
Belakangan, berfoto selfie di pelataran Benteng Kuto Besak dengan latar belakang Jembatan Ampera menjadi tren di kalangan wisatawan. Tak lengkap rasanya berkunjung ke Kota Palembang kalau tak selfie di sini. Ini pula yang dilakukan adik-adik dan sepupu saya saat mengunjungi Palembang dalam rangka memperingati tujuh hari kematian Simbah, belum lama ini. (Baca juga: Kabar Duka dari Palembang)
Bagi saya yang lahir dan tumbuh besar di Palembang, Sungai Musi dan Jembatan Ampera adalah kenangan tak terlupakan. Riak-riak airnya, suara perahu ketek yang melintas di atasnya, rumah-rumah papan di sepanjang tepiannya, cerobong asap PT Pusri di kejauhan, juga dua menara jembatan dengan tulisan "AMPERA", semuanya sangat lekat dalam memori saya.
Saya seringkali diajak Ibu melintasi jembatan ini dengan menumpang bus kota. Masa itu kami punya saudara yang tinggal di Plaju. Beliau sepupu Bapak. Nama aslinya Juarni, namun kami lebih akrab memanggil beliau Bude Plaju. Kelak ketika Bude pindah ke Kenten, panggilan kami ke beliau pun berganti jadi Bude Kenten. Bude menikah dengan Saari Sagiman, panggilan akrabnya Pakde Ari. Kalau ada yang bertanya apa hubungan Pakde Ari dengan Sainan Sagiman, gubernur Sumatera Selatan periode 1978-1988, silakan cari sendiri di Google.
Bude dan Pakde Ari adalah sosok-sosok yang sangat berjasa besar bagi keluarga kami. Bapak ikut bekerja pada perusahaan kontraktor milik Pakde. Sedangkan Ibu sempat tinggal bersama Bude di Plaju saat Bapak merantau karena mendapat proyek di daerah lain. Ketika dalam masalah, kepada Bude-lah Ibu biasa mengadu. Karena itu hubungan emosional kami sangat dekat.
Selama tinggal di Palembang, secara berkala Ibu mengunjungi Bude Plaju. Mulai dari sekedar silaturahim melepas rindu, sampai menumpang mencuci baju kalau sumur di rumah kami di Lebong Siareng, Sukarami, tak ada airnya. Dalam perjalanan menuju ke dan pulang dari Plaju inilah saya akan melintasi Sungai Musi. Begitu bus kota sampai di bundaran air mancur dekat Masjid Agung, saya dan adik-adik pun berdiri di jok bus, bersiap menyambut Jembatan Ampera dan Sungai Musi di hadapan.
Menurut cerita Bapak yang sejak awal 70'-an tinggal di Palembang, dulu bagian tengah Jembatan Ampera bisa dinaik-turunkan. Jadi dua menara jembatan berfungsi sebagai pengerek. Bagian tengah jembatan diangkat ke atas saat ada kapal besar melintasi sungai, kemudian diturunkan lagi begitu tak ada kapal lewat.
 FOTO: TribunNews.com
FOTO: TribunNews.comMusi Triboatton 2016
Saya juga pernah diajak menyaksikan Lomba Bidar, lomba balap perahu di Sungai Musi. Event ini diadakan setiap perayaan HUT Kota Palembang pada 17 Juni, juga saat HUT Kemerdekaan RI di bulan Agustus. Selain bidar biasanya juga dilombakan perahu hias. Jika pemenang bidar ditentukan oleh kecepatan perahu mencapai garis finish, maka pemenang perahu hias dinilai dari bagus-tidaknya hiasan pada perahu tersebut.
Bukan perkara mudah bagi Ibu untuk membawa saya dan dua adik yang masih kecil-kecil menyaksikan bidar. Jembatan Ampera penuh sesak oleh manusia yang ingin menonton bidar. Harus datang awal jika ingin dapat spot bagus, itupun dengan risiko menunggu lebih lama dan susah mencari jalan pulang karena tertutup oleh keramaian. Saya pernah terpencar dari Ibu dan dua adik, tapi beruntung bisa kembali ke rumah dengan selamat setelah ditemukan tetangga. Alhamdulillah...
Kini, event di Sungai Musi bertambah dengan diadakannya Musi Triboatton. Ajang lomba perahu tahunan ini mulai diselenggarakan sejak 2012, dengan peserta tak cuma dari Indonesia. Karenanya ajang ini juga disebut sebagai International Musi Triboatton. Untuk gelaran tahun ini, ratusan peserta berasal dari 12 negara termasuk Indonesia.
Musi Triboatton 2016 sudah di-launching oleh Menteri Pariwisata Arief Yahya dalam sebuah acara di Balairung Soesilo Soedarman Gedung Sapta Pesona Kementerian Pariwisata, Jakarta, pada 7 April lalu. Gubernur Sumatera Selatan Ir. H. Alex Noerdin, SH juga turut hadir bersama sejumlah bupati yang wilayahnya turut menjadi tuan rumah event ini.
Berbeda dengan bidar yang hanya menempuh jarak pendek di sekitaran Jembatan Ampera, rute Musi Triboatton 2016 membentang sepanjang 500 km. Dibagi menjadi lima etape, peserta akan melintasi empat kabupaten sebelum mengakhiri perlombaan di Kota Palembang. Tentu saja lomba tak berlangsung dalam sehari, melainkan lima hari selama 11-15 Mei 2016.
Uniknya, peserta akan memakai tiga jenis perahu selama mengarungi Sungai Musi: kayak, dragon boat (perahu naga), dan rafting. Itulah sebabnya event ini dinamai Musi Triboatton. Saya coba menebak, istilah "triboatton" ini merupakan singkatan three-boats marathon alias lomba perahu jarak jauh menggunakan tiga jenis perahu. Mungkin begitu, hehehe.
Berikut urut-urutan rute lomba.
 Peta rute Jelajah Musi 2010 yang diadakan oleh Kompas, sedikit-banyak mirip dengan rute kelima etape Musi Triboatton 2016. FOTO: Kompas.com
Peta rute Jelajah Musi 2010 yang diadakan oleh Kompas, sedikit-banyak mirip dengan rute kelima etape Musi Triboatton 2016. FOTO: Kompas.comEtape I (11 Mei 2016)
Lomba diawali dengan etape pertama yang berjarak 35 kilometer, start dari Desa Tanjung Raya, Kecamatan Pendopo Barat, Kabupaten Empat Lawang. Lalu di Desa Ulak Mengkudu, tepatnya di Lapangan SD Negeri 14 Empat Lawang, sebagai lokasi estafet sebelum lomba dilanjutkan sampai finish di Jembatan Kuning, Tebing Tinggi.
Etape II (12 Mei 2016)
Etape kedua berjarak empat kali lebih panjang dari etape pertama. Ya, jaraknya sejauh 140 km. Start dari Tebing Tinggi, peserta harus mengarungi Sungai Musi hingga ke Muara Kelingi di Kabupaten Musi Rawas.
Etape III (13 Mei 2016)
Etape ketiga dengan jarak 165 km dari Muara Kelingi hingga Sekayu yang merupakan ibukota Kabupaten Musi Banyuasin (Muba) menjadi suguhan bagi peserta. Kabupaten Muba adalah tuan rumah Musi Triboatton 2016. Acara pembukaan lomba akan dilakukan di kabupaten ini.
Etape IV (14 Mei 2016)
Etape keempat dimulai dari Sekayu dan berakhir di Dermaga Pengumbuh, Kabupaten Banyuasin. Nama terakhir merupakan kabupaten hasil pemekaran Musi Banyuasin. Jaraknya 108 km.
Etape V (15 Mei 2016)
Terakhir, etape kelima pada 15 Mei, mengambil start dari Dermaga Pengumbuh dan finish di Kota Palembang, tepatnya di Kecamatan 10 Ulu. Jarak yang ditempuh peserta sejauh 75 kilometer. Etape ini sekaligus menjadi penutup event Musi Triboatton 2016.
Wisata Sungai Musi
Penyelenggaran Musi Triboatton pada bulan Mei pada edisi tahun ini merupakan hal baru. Sebelum-sebelumnya, selama empat tahun berturut-turut Musi Triboatton selalu diadakan pada akhir tahun. Mungkin supaya Palembang terus semarak karena Juni nanti ada Festival Bidar dalam rangkaian HUT Kota Palembang? Bisa jadi.
Yang jelas, event ini memang tak hanya bermuatan olahraga. Pemprov Sumatera Selatan menjadikan Musi Triboatton sebagai salah satu ajang untuk mempromosikan Sungai Musi dan juga objek-objek wisata menarik di sekitarnya. Apa saja sih?
 FOTO: Wikipedia
FOTO: Wikipedia1. Jembatan Ampera
Menyebut Sungai Musi tanpa menyinggung Jembatan Ampera seperti memasak sayur tak diberi garam. Ampera adalah singkatan dari Amanat Penderitaan Rakyat. Mulai dibangun pada April 1962 sebagai langkah untuk menyatukan bagian Seberang Ulu dan Seberang Ilir Kota Palembang.
Ide pembuatan jembatan di atas Sungai Musi sudah muncul sejak 1906. Tahun 1924, saat Le Cocq de Ville menjabat Walikota Palembang, rencana pembangunan jembatan kembali dicuatkan tapi tak pernah terwujud. Rencana ini juga menjadi perhatian para pemimpin Kota Palembang setelah kemerdekaan.
Pada 1957, dibentuklah panitia khusus yang menangani rencana pembangunan jembatan. Saat itu calon jembatan ini masih disebut sebagai Jembatan Musi. Butuh waktu lima tahun bagi panitia ini untuk meluluhkan Bung Karno, hingga pemerintah pusat memberi restu sekaligus membantu pembiayaan.
Karena kaki-kaki jembatan berada di tengah kota, Bung Karno yang dikenal sebagai peminat seni dan keindahan memberi syarat. Sebuah syarat yang malah membuat Kota Palembang menjadi indah, yakni pembuatan boulevard dan taman di kedua ujung jembatan. Karena itulah ada bundaran air mancur di 16 Ilir, tak jauh dari Masjid Agung Palembang.
Oya, mungkin tak banyak yang tahu kalau jembatan ini awalnya dinamai Jembatan Bung Karno. Pada saat diresmikan pada tahun 1965, jembatan ini merupakan yang terpanjang di Asia Tenggara. Sentimen anti-Soekarno usai G 30 S pada 1966 membuat namanya diubah jadi Jembatan Ampera. Sempat ada upaya untuk mengembalikan nama jembatan ke nama asal, tapi ditolak.
 FOTO: WisataSatu.com
FOTO: WisataSatu.com2. Benteng Kuto Besak
Benteng Kuto Besak adalah bekas benteng istana Kesultanan Palembang Darussalam. Disebut bekas karena kini bangunan tersebut dipakai sebagai markas Komando Daerah Militer (Kodam) II Sriwijaya. Di bagian pelataran Benteng Kuto Besak inilah wisatawan kerap berfoto selfie dengan latar belakang Jembatan Ampera.
Benteng Kuto Besak dibangun di masa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin II. Sewaktu saya kecil, Bapak bercerita pembangunan istana ini tidak memakai semen, tapi putih telur sebagai perekat. Tentu saja saya dibuat terheran-heran oleh cerita tersebut. Tak terbayang oleh saya butuh berapa ratus, ribu, atau bahkan ratusan ribu butir telur untuk membangun istana ini. Lalu, kuning telurnya untuk apa? :)
Sebelum Benteng Kuto Besak dibangun, Sultan Palembang tinggal di istana lama yang disebut sebagai Kuto Lamo atau Kuto Kecik yang kini jadi Museum Sultan Mahmud Badaruddin II. Sesuai namanya, Kuto Kecik berukuran lebih kecil dari Kuto Besak. Dalam bahasa Palembang, "kecik" berarti "kecil", sedangkan "besak" berarti "besar".
Oya, bulik saya dulu pernah bersekolah di Sekolah Pendidikan Kesehatan (SPK) di dekat Benteng Kuto Besak lho. Sekarang beliau jadi bidan senior di Martapura, OKU Timur. Eh, penting nggak sih? Hahaha. Tapi saya penasaran SPK itu masih ada tidak ya?
3. Monumen Penderitaan Rakyat (Monpera)
 Rasanya tak banyak wisatawan yang familiar dengan spot satu ini. Monumen Penderitaan Rakyat (Monpera) terletak tak jauh dari Jembatan Ampera. Tepat di seberang Masjid Agung. Berbentuk khas dengan patung Burung Garuda di salah satu sisinya, bangunan ini didirikan sebagai pengingat perjuangan heroik warga Palembang melawan penjajah.
Rasanya tak banyak wisatawan yang familiar dengan spot satu ini. Monumen Penderitaan Rakyat (Monpera) terletak tak jauh dari Jembatan Ampera. Tepat di seberang Masjid Agung. Berbentuk khas dengan patung Burung Garuda di salah satu sisinya, bangunan ini didirikan sebagai pengingat perjuangan heroik warga Palembang melawan penjajah.Monpera belum lama ini direnovasi. Tak banyak yang berubah sih, tapi ditambahkan dua meriam gunung dan satu buah tank tempur di halaman monumen. Lalu bagian dalam yang merupakan museum dipasangi kamera CCTV. Rencananya juga dibangun air mancur menari, tapi entah kenapa tidak jadi.
Saya punya kenangan lucu dengan monumen satu ini. Ketika berusia sekitar 2,5 tahun saya diajak Bapak ke Monpera. Dulu banyak sekali juru foto stand by di pelataran halaman. Setelah berjalan-jalan menyaksikan Jembatan Ampera dari kejauhan, Bapak mengajak saya berfoto. Bapak duduk di bangku kayu yang disiapkan juru foto, lalu memangku saya, siap difoto dengan latar belakang Monpera.
Tapi ketika juru foto mengarahkan kamera dengan lensa panjangnya ke arah kami, saya malah menjerit ketakutan. "Idak mau ditembak, idak mau ditembak!!!" jerit saya sembari berusaha lepas dari pangkuan Bapak. Lihat sendiri bagaimana jadinya foto tersebut di atas. Pada foto asli tertera "MAR 85" menandakan foto diambil pada Maret 1985.
Saya tidak ingat kenapa sampai begitu ketakutan dan menjerit-jerit. Tapi kata Ibu, saya mengira lensa panjang juru foto tersebut sebagai senapan atau tembakan. Hehehe...
 FOTO: Palembang.go.id
FOTO: Palembang.go.id4. Museum Sultan Mahmud Badaruddin II
Pelancong mungkin hanya tahu Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II, yang dulu di kalangan penduduk lokal lebih dikenal sebagai Bandara Talang Betutu. Jika Bandara SMB II adalah pintu masuk ke Kota Palembang lewat jalur udara, maka Museum Sultan Mahmud Badaruddin II adalah pintu masuk untuk mengenal lebih dalam sejarah Kota BARI ini.
Museum SMB II terletak dekat Monpera. Berjejer di jalan yang sama. Di sinilah tersimpan kekayaan sejarah Kota Palembang dan, tentu saja, Kerajaan Sriwijaya dan Kesultanan Palembang Darussalam. Ada mata uang era Kesultanan di sini, juga artefak-artefak dari jaman Sriwijaya seperti patung-patung Buddha kuno.
Seperti disinggung sebelumnya, bangunan Museum SMB II dulunya adalah istana pertama Kesultanan Palembang Darussalam. Pembuatannya berbarengan dengan Masjid Agung Palembang. Lalu Sultan Mahmud Badaruddin I mencetuskan pembangunan istana baru yang lebih lebar di tempat yang lebih luas. Maka dibuatlah Kuto Besak yang hanya berjarak 400 meter ke sebelah barat.
Di masa penjajahan, Kuto Kecik sempat direbut tentara Belanda dan dijadikan rumah dinas Komisaris Jenderal Hindia Belanda. Pada saat Jepang menduduki Indonesia, tentara Dai Nippon menggunakan bangunan ini sebagai markas militer. Lalu ketika Republik Indonesia lahir, Kuto Kecik dijadikan markas TNI sebelum akhirnya difungsikan sebagai museum.

FOTO: SouthSumatraTourism.com
5. Masjid Agung Palembang
Sebagai muslim, bagi saya tak lengkap rasanya mengunjungi sebuah kota tanpa menyempatkan diri salat di masjid agung kota tersebut. Dan Masjid Agung Palembang adalah tempat yang sangat layak dikunjungi karena keindahan arsitektur dan sejarah yang tersimpan di dalamnya. Masjid ini merupakan yang terbesar di Sumatera Selatan, dan terbesar ketiga di Pulau Sumatera.
Masjid Agung Palembang dibangun oleh Sultan Mahmud Badaruddin I pada 1738 M. Pembuatan masjid ini dimaksudkan sebagai pengganti Masjid Kraton Kuto Gawang buatan Sultan Ki Gede Ing Suro yang dihancurkan tentara VOC pada 1659 M. Perang dengan Belanda membuat proses pembangunannya berlangsung hingga 10 tahun.
Masjid ini memiliki sentuhan arsitektur Jawa klasik dengan atap bersusun, lalu ada pula campuran budaya Tionghoa yang terlihat pada lengkungan-lengkungan di ujung-ujung atap. Jawa dan Tionghoa memang tak bisa dipisahkan dari sejarah Palembang. Bahkan, konon, nama Palembang sendiri berasal dari Pai Li Bang, nama murid Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) yang juga seorang menteri dari Tiongkok. Sedangkan pengaruh Jawa sangat kental dalam pendirian Kerajaan Sriwijaya dan Kesultanan Palembang Darussalam.
Belanda berulang kali berusaha menghancurkan Masjid Agung selama perang. Berulang kali pula Sultan Palembang merenovasi bangunan masjid. Kini, Masjid Agung Palembang tak hanya menjadi pusat keagamaan di Kota Pempek, tapi juga salah satu tempat tujuan wisata. Apalagi tepat di hadapan masjid terdapat Bundaran Air Mancur nan indah itu.

FOTO: @ZIdan_JuniorMCI
6. Menyusuri Sungai Musi
Menyaksikan keindahan Sungai Musi dari Jembatan Ampera, Benteng Kuto Besak, atau Pasar 16 Ilir adalah hal biasa. Ingin yang lebih seru? Rasakan pengalaman berbeda dengan menyusuri Sungai Musi naik perahu ketek.
Sebenarnya kita juga bisa naik speed boat selain perahu ketek. Tapi rasanya lebih afdol naik perahu ketek karena akan lebih terasa nuansa eksotisnya berada di atas sungai lebar ini. Laju perahu ketek yang tak secepat speed boat, juga penampakan perahu yang masih tradisional (alias biasa-biasa saja), memberi kesan berbeda.
Suasana bakal semakin melenakan kalau kita putar lagunya Alfian yang berjudul Sebiduk di Sungai Musi.
Tujuannya kemana? Kita bisa sekedar berputar-putar saja melintasi bagian bawah Jembatan Ampera. Naik dari Pasar 16 Ilir, perahu akan membawa kita ke arah barat, melihat-lihat bagian bawah jembatan, menyaksikan Plaza Benteng Kuto Besak dari kejauhan, lalu balik lagi ke dermaga. Kalau mau lebih jauh, arahkan sekalian perahu ke Pulau Kemaro yang berjarak sekitar 10 km dari Pasar 16 Ilir.
Kalau tak berani naik perahu, makan-makan di restoran terapung tak jauh dari pelataran Benteng Kuto Besak bisa jadi pilihan. Menu restoran ini sangat beragam, semuanya masakan khas Palembang. Lebih asyik lagi kalau datang ke sana saat malam, di mana Jembatan Ampera berpendar oleh cahaya lampu-lampu hias.
 FOTO: Kompas/Irene Sarwindaningrum
FOTO: Kompas/Irene Sarwindaningrum7. Pulau Kemaro
Ini juga destinasi wisata menarik di Sungai Musi. Sayang, karena letaknya yang terbilang jauh dari pusat kota, serta hanya bisa dijangkau dengan perahu ketek, Pulau Kemaro kurang diminati. Padahal tempat ini sangat menarik dieksplorasi. Terutama karena Pulau Kemaro adalah sebuah pulau kecil di tengah-tengah Sungai Musi.
Ada berapa banyak pulau di tengah sungai seperti Pulau Kemaro ini di Indonesia, juga dunia? Bisa dihitung dengan jari.
Di Indonesia, "kembaran" Pulau Kemaro hanyalah Pulau Kumala (Sungai Mahakam), Pulau Kembang (Sungai Barito), dan Pulau Tayan (Sungai Kapuas). Ketiganya berada di Pulau Kalimantan. Tapi yang punya cerita dan sejarah, lengkap dengan bangunan kuno sebagai pelengkap legenda, ya hanya Pulau Kemaro. Di Jambi juga ada sih pulau di tengah Sungai Batanghari, tapi pulau tersebut hilang kalau air sungai pasang. :)
Pulau Kemaro lekat dengan legenda cinta Tan Bun Ann dengan Siti Fatimah, seorang putri Palembang. Karenanya pulau ini juga dikenal sebagai Pulau Cinta. Di sini ada Pohon Cinta yang, konon, bila satu pasangan menorehkan namanya di pohon ini maka cinta di antara keduanya bakal abadi sampai mati. Entah benar entah tidak, namanya juga mitos.
Di pulau ini terdapat pagoda berlantai sembilan dalam komplesk Klenteng Hok Cing Bio, plus patung-patung dewa Tionghoa. Karenanya pulau ini selalu dipadati umat Buddha dari kalangan keturunan Tionghoa saat peringatan-peringatan tertentu.
 Bapak berfoto dengan latar belakang Masjid Agung Palembang, April 1985. Tampak juga beberapa angkot merah tengah melintas. Ini angkot lama yang merupakan eks kendaraan perang dan bodinya masih terbuat dari kayu.
Bapak berfoto dengan latar belakang Masjid Agung Palembang, April 1985. Tampak juga beberapa angkot merah tengah melintas. Ini angkot lama yang merupakan eks kendaraan perang dan bodinya masih terbuat dari kayu.Nah, banyak juga kan destinasi wisata di sekitar Sungai Musi? Catat, itu hanya di sekitaran Sungai Musi ya. Belum termasuk Kantor Walikota Palembang yang letaknya tak jauh dari Benteng Kuto Besak. Bangunan jaman Belanda ini belakangan juga jadi objek wisata, terutama bagi peminat sejarah dan arsitektur.
Saya juga tidak menyebut Pasar 16 Ilir, pasar terbesar di Kota Palembang yang kerap disebut sebagai Tanah Abang-nya Palembang. Mau mencicipi aneka jajanan khas Palembang sembari menikmati panorama Sungai Musi, atau berbelanja oleh-oleh untuk dibawa pulang? Datangi saja pasar ini.
Jadi ingin mengunjungi Palembang kan? Sama. Saya terakhir kali menyambangi kota ini tahun 2007, tujuannya tentu saja mengunjungi Simbah di Lebong Siareng dan paman di Jl. Mayor Zurbi Bustan. November tahun lalu, saya hanya melintas di kota ini dalam perjalanan dari Jambi ke Pemalang naik bus bersama anak dan istri.
Tentu saja ada kerinduan membuncah pada kota kelahiran ini. Kota di mana seluruh masa kecil saya tersimpan. Kota yang sekaligus menimbulkan rasa marah karena apa yang kini terlihat tak lagi sama dengan yang ada dalam memori saya. Sampai kapanpun saya akan tetap mengenang Palembang, seperti halnya nama kota ini akan terus tertera di KTP saya seumur hidup.
Sebenarnya saya ingin sekali ke Palembang begitu mendengar kabar Simbah meninggal akhir April lalu. Namun begitu banyak pertimbangan membuat saya harus memendam dalam-dalam keinginan tersebut. Sepekan berselang adik saya yang di Jakarta berulang kali menelepon, mengajak saya ke Palembang untuk menghadiri peringatan nujuh hari Simbah. Lagi-lagi saya tak bisa ikut.
Eh, kok kebetulan sekali ada Lomba Blog Jelajah Musi Triboatton. Hadiahnya bikin saya mupeng karena tiga pemenang bakal diundang ke Palembang untuk menyaksikan etape pamungkas sekaligus acara penutupan Musi Triboatton 2016. Namanya diundang, pihak pengundang yang membayari tiket perjalanan dan akomodasi selama di Kota Pempek ini. Wah, madu donk...
Kalaupun ternyata tidak terpilih sebagai pemenang ya tidak apa-apa. Hitung-hitung saya ikut mempromosikan event akbar di kota kelahiran, sembari mengais-ais kenangan indah selama 10 tahun di sana.
Catatan: Foto paling atas diambil dari SumselPostOnline.com
 
 
  May 2, 2016
Kabar Duka dari Palembang

SEBUAH kabar duka datang dari Palembang, kota kelahiran saya, tepat sepekan lalu. Simbah dari pihak Bapak meninggal dunia. Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun. Ingin sekali saya langsung terbang ke Palembang, tapi terlalu banyak yang harus dipertimbangkan sehingga hanya menulis ucapan duka lewat Facebook yang bisa saya lakukan.
Tampaknya saya satu-satunya cucu Simbah yang tidak hadir ke Palembang. Belum lama adik perempuan saya yang tinggal di Jakarta mengunggah foto dirinya bersama adik bungsu kami, plus sepupu-sepupu dan seorang paman, di pelataran Benteng Kuto Besak. Tentu saja dengan latar belakang Jembatan Ampera nan legendaris itu.
Ngiri? Tentu saja. Lahir dan tumbuh besar di Palembang, belum pernah sekalipun saya berfoto di Benteng Kuto Besak. Apalagi di spot yang kini jadi favorit selfie wisatawan. Yang ada hanya foto berlatar belakang Monumen Penderitaan Rakyat (Monpera) yang berada tak jauh dari Jembatan Ampera, tapi jembatannya tidak kelihatan. Kata Ibu usia saya masih kisaran 3-4 tahun saat itu.
Sebenarnya adik perempuan saya sudah bolak-balik menelepon, mengajak saya ke Palembang untuk mengikuti kenduri nujuh hari Simbah. "Anda berangkat dengan Ibu, Bapak jugo berangkat motoran dari Jambi. Adik Fajar ikut dengan Win dari Jakarta," dia membeberkan.
Anda adalah panggilan untuk adik kedua saya, seorang dokter hewan yang berdinas di Sungai Bahar, Jambi. Anda lahir tepat setelah Win, adik perempuan saya yang menelepon ini. Sedangkan Fajar merupakan adik bungsu yang tengah menempuh kuliah di Institut Pertanian Bogor. Ceritanya, Anda bersama Ibu bermotor dari Sungai Bahar ke Jambi, lalu sepeda motornya dititipkan di rumah seorang teman dan perjalanan disambung naik bus ke Palembang. Sedangkan Bapak sepertinya akan kembali bermotor seperti saat hari Simbah meninggal.
Meski sangat ingin ikut, saya harus memendam dalam-dalam keinginan 'mudik' ke Palembang. Selain mengikuti kenduri nujuh hari Simbah di Lebong Siareng, Sukarami, saya juga kangen dengan kota kelahiran ini. Saya terakhir kali ke Palembang pada tahun 2007. Simbah masih sangat sehat waktu itu, masih kuat berjualan di sebuah kios kecil dekat mulut Lorong Mufakat III yang menghadap ke Jl. Pipa Reja. Disebut Jl. Pipa Reja karena di sepanjang pinggiran jalan ini terdapat jaringan pipa gas.
Ketika itu ceritanya saya hendak berangkat ke Jogja setelah menghabiskan Ramadhan dan berlebaran di Jambi. Mampir sejenak di Palembang sudah jadi tradisi setiap kali mudik, paling sedikit dua hari. Selain Simbah, masih ada seorang paman yang tinggal di Jl. Mayor Zurbi Bustan, tak jauh dari rumah Simbah. Juga ada seorang bude yang rumahnya berpindah-pindah sehingga sulit sekali ditemui.
Kalau sedang berada di Palembang seperti itu saya akan bagi-bagi waktu kunjungan. Semalam menginap bersama Simbah, lalu malam lainnya menginap di rumah paman. Sungguh tak disangka, rupanya suatu malam di tahun 2007 itu menjadi malam terakhir saya mengunjungi Simbah di rumahnya. Entah ini dinamakan firasat atau bukan, beberapa hari sebelum Simbah meninggal saya sempat chat dengan adik sepupu di Pendopo dan bilang, "Kangen sama Simbah."
Pandai Memasak
Harus diakui saya tak terlalu dekat secara emosional dengan Simbah. Pun dengan simbah-simbah yang lain. Tapi Simbah inilah yang mengikuti pertumbuhan saya dan adik-adik semasa kami tinggal di Palembang. Rumah kami waktu itu berjejer dengan rumah Simbah. Sumurnya malah jadi satu, sedangkan kamar mandi hanya dibatasi tembok dengan bak mandi yang bersambung.
Boleh dikatakan setelah Ibu peran Simbah sangat mendominasi selama 10 tahun awal kehidupan saya di dunia ini. Bapak jarang sekali di rumah masa-masa itu. Pekerjaan sebagai buruh bangunan mengharuskannya berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain di Sumatera Selatan, mengikuti proyek yang sedang digarap perusahaan kontraktor milik bos yang juga saudara sepupunya.
Tapi jangan bayangkan saya diasuh Simbah, digendong-gendong ke sana-sini sementara Ibu saya membereskan pekerjaan rumah. Tidak. Simbah terlalu sibuk berjualan. Sebelum Subuh beliau sudah berangkat ke Pasar Paal Limo yang ada di mulut Jl. Sosial untuk kulakan sayur-mayur. Lalu pulangnya menata dagangan di warung mungilnya yang berdiri di atas sebidang tanah kosong entah milik siapa. Seharian penuh Simbah berada di sana. Bahkan masak pun di warung itu.
Biasanya saya yang iseng mengunjungi warung Simbah. Kalau ada jajanan pasar tersisa, itu akan jadi jatah saya. Hehehe... Tapi sering kali tak ada apa-apa untuk saya, kecuali es lilin titipan tetangga. Sebagai gantinya Simbah memberi sekeping dua uang Rp50 atau Rp100 untuk jajan. Jaman itu snack bungkusan kecil yang sekarang (di Pemalang) dijual Rp500 masih seharga Rp25. Malah ada satu mi instan bermerek Doremi yang harganya hanya Rp150 sebungkus.
Satu hal yang paling saya ingat dari Simbah, beliau sangat pandai memasak. Konon, dari beliaulah Ibu belajar memasak dan sampai kini dikenal sebagai juru masak paling enak di kalangan keluarga besar. Selain masakan besar, Simbah pun mahir membuat aneka jajanan khas Palembang. Sebut saja pempek, tekwan, laksan, model, sampai makanan kreasi yang tak pernah lagi saya nikmati setelah meninggalkan Palembang: rujak mi. Pun demikian masakan Jawa karena beliau berasal dari Trenggalek.
Setelah dibawa ke Batumarta pada tahun 1992, saya baru kembali bertemu Simbah pada pertengahan 1995. Waktu itu Ibu memboyong saya dan adik-adik pindah dari Batumarta ke Jambi mengikuti Bapak yang merantau ke propinsi tetangga tersebut sejak 1990. Kunjungan ke Palembang berikutnya baru terjadi di tahun 2000, selepas lulus SMA.
Lalu saya kuliah di Jogja dan menetap di kota tersebut sampai 2010. Saya selalu menyempatkan diri ke Palembang setiap kali mudik ke Jambi. Biasanya dalam perjalanan kembali ke Jogja. Dari Jambi naik bus Banyu Asin atau IMI ke Palembang, lalu setelah menginap barang dua malam saya naik bus Ramayana atau Putra Remaja untuk ke Jogja. Tapi sejak keenakan mudik naik pesawat, saya tak pernah lagi mampir ke Palembang.
Saya terakhir kali mampir ke Palembang pada 2007, menginap di rumah Simbah dan menghabiskan satu malam untuk bercerita tentang sosok Simbah Lanang yang tak pernah saya kenal. Kemudian saya mengunjungi rumah paman di Pendopo dan menghabiskan nyaris sepekan di sana. Pendopo adalah tempat tinggal Simbah saat pertama kali datang ke Sumatra dan bekerja di sebuah perusahaan minyak Belanda, tempat kelahiran Bapak dan seluruh saudaranya. Di sini pula makam Simbah Lanang berada.
Dua tahun berselang Simbah datang ke Jambi bersama keluarga besar dari Palembang untuk menghadiri pernikahan adik saya. Tak disangka, rupanya itulah pertemuan terakhir saya dengan Simbah. Tujuh tahun saya tak pernah lagi bertemu dengan beliau, hingga kabar duka itu disampaikan pada saya.
Selamat jalan, Mbah...
 
  April 23, 2016
Benerin Mood di AWE Chocolate and Milk Tegal

SUATU sore seorang teman asal Kesesi, daerah asalnya Mbak Noorma, berkirim pesan via WhatsApp pada saya. "Njuh, maring Tegal," tulisnya singkat. Tanpa pikir panjang saya langsung menjawab lebih singkat, "Njuh!" Lalu dalam kepala saya terbayang-bayang sebuah gambar kami tengah duduk menyeruput coklat panas di sebuah kedai kekinian, AWE Chocolate and Milk.
Tidak ada alasan bagi saya untuk tidak mengiyakan ajakan itu. Saya punya beberapa teman di Tegal, satu di antaranya Mas Angga yang merupakan owner AWE Chocolate and Milk. Ini kafe yang tengah jadi lokasi favorit muda-mudi Tegal untuk nongkrong. Menu andalannya aneka varian minuman coklat, lalu kemudian menyusul disediakan pula bermacam-macam kreasi susu.
Saya kenal Mas Angga berkat Sedekah Rombongan. Waktu itu kami sama-sama kurir di gerakan sosial yang digagas oleh Saptuari Sugiharto ini. Saya kurir area Pemalang, Mas Angga wilayah Tegal bersama Mas Indrawan (owner GalGil), lalu teman saya yang asal Kesesi kurir Pekalongan. Tapi kini saya sudah tidak aktif lagi di Sedekah Rombongan. (Baca juga: Suka-Duka Jadi Kurir Sedekah Rombongan)
Kami pertama kali bertemu di tahun 2013 saat koordinator SR Pantura mengumpulkan kami di RM Pande Rasa, Pekalongan. Sembari menunggu Mas Koordinator yang datang sangat telat dari jadwal yang ia tentukan sendiri, kami pun saling bertukar cerita. Dari situlah saya tahu Mas Angga mempunyai usaha kuliner. Waktu itu namanya masih Kedai Awe alias Kedai AW.
Sejak itu saya selalu menyempatkan diri mampir ke Kedai Awe setiap kali ke Tegal. Seringkali sih tidak ketemu Mas Angga karena kedainya ditunggui dua karyawan. Masa itu kedai ini masih berlokasi di Jl. AR Hakim, dekat kantor Pegadaian. Wujudnya pun "hanya" gerobak angkringan, lalu pembeli duduk lesehan menikmati pesanan masing-masing di emperan toko sebelah kantor Pegadaian beralas tikar.
Meski masih level lesehan, Mas Angga sudah sangat sadar akan pentingnya branding. Karenanya ia aktif di media sosial, utamanya Facebook, Twitter dan Instagram. Kedai Awe ia buatkan akun dan aktif menyapa pelanggan. Masa itu menu andalannya coklat, jadi ia setiap hari mengunggah foto-foto minuman coklat di akun-akun tersebut. (Belakangan, Mas Angga hanya aktif di Instragram. Entah mengapa.)
Oya, sekalipun (saat itu) hanya bermodal gerobak angkringan, Mas Angga bercerita omsetnya bisa menyentuh angka rata-rata Rp 1 juta semalam. Bahkan di malam weekend setidaknya bisa terkumpul lebih dari itu. Artinya, dalam sebulan usahanya menghasilkan sekitar Rp 30 juta. Dikurang gaji karyawan, modal, serta pengeluaran lain untuk operasional harian, keuntungan bersih yang dikantongi Mas Angga masih lebih banyak dari gaji manajer rendahan.
Pindah ke Jl. Srigunting
Tahun berganti, Kedai Awe semakin laris manis. Konsumen utamanya adalah kalangan muda yang menghabiskan malam sembari berbincang-bincang dengan teman sebaya. Dari lesehan di emperan ruko, Mas Angga kemudian mampu menyewa ruko tepat di sebelah Pegadaian. Dulunya ruko itu berjualan ayam goreng, tapi entah kenapa kemudian kontraknya tak diperpanjang.
Sejak itu pembeli punya dua pilihan untuk menikmati minuman khas Kedai Awe. Yang biasa duduk lesehan bisa menuju ke emperan toko seperti sebelumnya, sedangkan yang ingin duduk di kursi dipersilakan masuk ke dalam ruko yang disulap jadi sebuah kafe sederhana.
Tak ada lagi gerobak angkringan. Dapur pengolahan dipindah ke dalam ruko, yang sekaligus berfungsi sebagai kasir. Karyawannya juga bertambah, tampak seorang perempuan muda di belakang meja kasir. Pembayaran pun sekarang dilengkapi nota. Sebelumnya, pesanan dibuat di gerobak angkringan, lalu pembayaran dilakukan sembari berdiri di samping atau depan gerobak, tanpa nota.

Pembeli semakin membludak. Kafe mungil dan tikar-tikar di emperan toko tak mampu lagi menampung pembeli, terutama di malam-malam weekend. Selain itu, Mas Angga juga ingin menjadikan kafenya tempat nongkrong yang lebih berkelas. Tetap menyasar kaum muda dari kalangan menengah, tapi tempatnya dibuat lebih nyaman. Ia ingin say goodbye pada lesehan di emperan toko.
Lalu disewalah sebuah lokasi di Jl. Srigunting. Tempatnya besar. Mas Angga menyulapnya menjadi sebuah kafe yang semarak. Sebagian ruangan ia tinggikan, dikungkungi oleh pagar artifisial, hanya ada meja tanpa kursi. Ini tempat khusus bagi yang suka lesehan tentu saja. Lalu sebagian rungan lagi diisi seperangkat meja kursi.
Seisi ruangan dihiasi dengan berbagai hiasan menarik. Ada mural artistik di bagian rolling door, yang jika pintunya dibuka mural tersebut berada tepat di sisi-sisi ruangan. Ada pula foto-foto berbingkai di bagian lain. Tak lupa, dipajang pula foto-foto Kedai Awe di masa lalu, sejak mulai berjualan dengan gerobak angkringan di Jl. AR Hakim.
Yang menarik perhatian saya adalah foto Presiden Soeharto yang memegang segelas coklat sembari tersenyum di sebelah kasir. Lalu ada pula foto bintang sepakbola terkenal yang juga memegang segelas coklat Awe. Tentu saja foto-foto tokoh ini hasil olahan komputer. Tapi ide kreatif tersebut setidaknya mampu membuat pengunjung menyunggingkan senyum.
Keseluruhan interior Kedai Awe sangat menarik dipandang. Banyak pengunjung yang dengan bangga berfoto selfie di kafe ini, lalu mengunggahnya di media sosial. Karenanya sebuah media online lokal memasukkan Kedai Awe sebagai salah satu kafe yang instagramable.
Jarang Bayar
Kembali ke ajakan Mas Furqan hari itu, menjelang Ashar kami pun meluncur ke Tegal. Setelah menyelesaikan urusannya di suatu tempat, kami mengarahkan kemudi ke Jl. Srigunting. Ini kali pertama saya mengunjungi Kedai Awe sejak pindah dari Jl. AR Hakim.
Sesampainya di sana saya langsung berdecak. Terbayang dalam ingatan saya bagaimana dulu, kira-kira 3-4 tahun lalu, kafe ini "hanyalah" sebuah kedai lesehan dengan gerobak angkringan di emperan toko. Saya masih ingat betul saat tengah nongkrong di Kedai Awe hujan turun, kami harus duduk menempel rolling door toko agar tak terkena percikan air hujan.
Sore itu juga saya baru tahu kalau branding Awe sudah berubah. Logo yang dulu berupa biji coklat (atau biji kopi?) berwarna coklat, berganti jadi kepala sapi. Tak ada lagi Kedai Awe Coffe and Chocolate, namanya berganti jadi Awe Chocolate and Milk seiring tekad Mas Angga untuk memasyarakatkan minum susu.
Sore itu saya memesan segelas coklat panas, mi telur dan sepiring mendoan. Sedangkan Mas Furqan memilih es susu segar sebagai minuman, makanannya sama. Kami pun menunggu Magrib sembari menyantap mi telur dan mendoan, diselingi menyeruput minuman masing-masing.
Kami sengaja tidak mengabari Mas Angga. Pengalaman yang sudah-sudah, Mas Angga tidak membolehkan kami membayar kalau dia tahu kami berkunjung ke kafenya. Sewaktu masih di Jl. AR Hakim pernah saya ngotot pada karyawannya agar mau menerima uang pembayaran, tapi karyawan tersebut tak kalah ngotot menolak karena sudah dibisiki Mas Angga. Ya sudah, cuma tukang parkir yang mau menerima uang kami. Hahaha.
Sebenarnya sih mau juga bertemu Mas Angga, sekedar ngobrol karena sudah lama tidak bertemu. Tapi sore itu kami benar-benar tak mau kedatangan kami ke Awe Chocolate and Milk diketahui pemilik nama lengkap Anggoro Wibowo tersebut. Selepas menghabiskan pesanan, kami mampir sebentar ke masjid untuk salat Magrib, lalu kembali ke Pemalang.
Ini dia video saya bersama Mas Furqan menikmati coklat dan susu segar di Awe Chocolate and Milk.
 
  
 
  

