Eko Nurhuda's Blog, page 24
September 7, 2016
Pangkalpinang, Pesona dari Timur Pulau Bangka
      "MAMPIRLAH sekalian ke Pangkalpinang, Ko. Kito jalan-jalan di sini," undang Ryan begitu tahu saya akan ke Palembang, pertengahan Mei lalu. Undangan yang menarik sebenarnya. Sayang sekali saya harus mengikuti agenda yang telah ditentukan pihak pengundang, sehingga tak bisa menyempatkan waktu mampir ke sana-sini. "Sori nian, Yan. Kagek lain kalilah aku mampir," balas saya.
Ryan yang nama lengkapnya Novrian Saputra adalah teman SMA saya di Muara Bulian, Jambi. Ia sebenarnya adik kelas, namun kami satu grup di band sekolah. Dia vokalis, saya gitaris. Kontrakan saya dekat sekali dengan rumahnya, jadi kami sangat akrab karena setiap hari bermain bersama. Saya juga kenal dengan saudara-saudaranya, dan beberapa kali bertemu dengan bapak-ibunya.
Selepas SMA saya tak lagi mendengar kabar Ryan. Kami hilang kontak selama belasan tahun, sampai kemudian Facebook mempertemukan kami. Rupanya ia balik kampung ke Pulau Bangka, dan kini menjadi wakil ketua KPID setempat. Hubungan kami semakin intens semenjak Dodi Rozano yang ternyata adiknya menjadi kontestan The Voice Indonesia.
Awalnya saya tidak hirau sama sekali dengan acara The Voice Indonesia ini. Sampai suatu ketika status Ryan di Facebook membuat sikap saya berubah. Ryan rajin sekali menggalang dukungan untuk Dodi, membuat saya ikut-ikutan memberi support via media sosial.
Aih, Dodi yang itukah? Batin saya sembari mengingat-ingat masa lalu di Muara Bulian.
Semasa kami di Muara Bulian, Dodi masih sangat kecil. Kalau tak salah usianya kisaran 4-5 tahun. Yang jelas dia belum sekolah waktu itu. Dodi kecil sering saya lihat tengah bermain-main bersama teman-temannya di halaman rumah.
(Baca kisah lengkapnya di posting Sekelumit Kenangan bersama Dodi Rozano ).

Berawal dari Timah
Dari Ryan-lah saya pertama kali mengenal Pulau Bangka, utamanya Kota Pangkalpinang. Ia sering bercerita tentang timah yang sempat jadi komoditas andalan daerah ini. Komoditas yang menjadi akar sejarah terbentuknya Kota Pangkalpinang.
Timah di Pulau Bangka sudah dieksplorasi sejak abad ke-16. Jauh sebelum bangsa Eropa mendarat di Nusantara, kongsi-kongsi asal Tiongkok sudah melakukan penambangan timah dengan seijin Sultan Palembang. Konon, timah Bangka memiliki kualitas sangat baik sehingga diminati dunia. Inilah yang mendorong Belanda menguasai Bangka.
Eksplorasi awal oleh bangsa Belanda dilakukan pada tahun 1710, dengan Muntok menjadi pusat kendali aktivitas pertambangan dan pengolahan timah.
Ketika Inggris berkuasa di Bangka, tahun 1813 East India Company menjadikan Pangkalpinang sebagai salah satu dari tujuh distrik eksplorasi timah. Enam distrik lainnya adalah Merawang, Toboali, Jebus, Klabat, Sungailiat, dan Belinyu. Sejak itulah Pangkalpinang dijuluki Kota Timah dan berkembang menjadi pusat perdagangan.
Lalu Belanda kembali berkuasa di Nusantara. Pangkalpinang dijadikan basis militer untuk menumpas perlawanan rakyat Bangka. Tahun 1913, pemerintahan kolonial Belanda memindahkan ibukota Karesidenan Bangka dari Muntok ke Pangkalpinang. Perpindahan tersebut disebabkan oleh temuan deposit timah nan melimpah di kawasan timur Bangka.
Di masa kemerdekaan, status Pangkalpinang terus berubah dari kota kecil pada tahun 1956, menjadi kotapraja dua tahun berselang, lalu berubah lagi menjadi kotamadya (1965), kotamadya daerah tingkat II (1974), sampai akhirnya ditetapkan sebagai Daerah Otonom Kota Pangkalpinang di tahun 1999.
Keberadaan Museum Timah di Pangkalpinang semakin menegaskan bahwa terbentuknya kota ini berawal dari timah. Di tempat inilah tersimpan sejarah panjang pertambangan timah sejak jaman kolonial Belanda. Benda-benda koleksi terkait aktivitas pertambangan juga ditampilkan. Mulai dari peralatan tambang jaman dulu, sampai produk-produk kerajinan berbahan timah.
Ada pula manuskrip awal penulisan sejarah Bangka. Museum juga dilengkapi dengan diorama dan lukisan-lukisan yang menggambarkan aktivitas pertambangan di jaman Belanda hingga masa modern.

Hobi selfie? Tenang, ada banyak spot menarik untuk narsis di Museum Timah. Terdapat beberapa diorama berukuran besar yang cocok dijadikan latar belakang foto. Atau bisa juga berfoto di depan lukisan besar yang menggambarkan suasana pertambangan jaman kolonial. Di bagian luar, ada lokomotif hitam di halaman depan museum yang tak kalah menarik.
Oya, Museum Timah ini merupakan satu-satunya museum tentang timah di Asia. Beberapa sumber bahkan menyebut satu-satunya di dunia. Yang pasti, bangunan buatan Belanda ini saksi kunci sejarah berdirinya Republik Indonesia. Di gedung inilah delegasi RI berunding dengan delegasi Kerajaan Belanda berkat mediasi Komisi Tiga Negara (KTN). Hasilnya adalah Perjanjian Roem-Roijen yang diteken di Jakarta pada 7 Mei 1949.
Museum Timah tak cuma didatangi oleh wisatawan lokal lho. Banyak turis asal Belanda yang berkunjung ke tempat ini karena alasan asal-usul. Ada yang nenek moyangnya pernah bekerja di perusahaan timah di Bangka, beberapa lainnya malah lahir di Bangka sebelum dibawa pulang ke Belanda.
Selain Museum Timah, turis-turis Belanda tersebut biasanya mendatangi kerkhof atau pemakaman Belanda yang terletak sekitar 2 km di selatan museum. Di sini terdapat sekitar 102 makam, sebagian besar dalam kondisi rusak. Menurut pemetaan yang dilakukan oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jambi dan Balai Arkeologi Palembang, makam tertua berangka tahun 1800 dan yang termuda berangka tahun 1954.
Meski disebut makam Belanda, atau Pendem Belanda oleh penduduk setempat, tak semua yang dimakamkan di kerkhof ini orang Belanda. Data BP3 Jambi menyebutkan, dari sekian nisan yang bisa terbaca 25 buah diantaranya berbahasa Belanda, 10 berbahasa Jepang, dan 3 berbahasa Indonesia.
Sama halnya Museum Timah, keberadaan kerkhof di Jalan Hormen Maddati ini menjadi bukti peran strategis Pangkalpinang di masa lalu.

Bangka Botanical Garden
Masifnya aktivitas tambang timah di Bangka membuat beberapa bagian lahan di wilayah ini mengalami kerusakan parah. Kalau kita naik pesawat dan mendekati Bandara Depati Amir, terlihat bentangan alam berupa padang gersang dengan beberapa lubang besar. Tanaman sulit tumbuh akibat parahnya kerusakan tanah yang terjadi.
Sebagai bentuk kepedulian, sebuah perusahaan pertambangan timah bernama PT Dona Kembara Jaya melakukan gerakan pemulihan lahan tambang di kawasan Ketapang, Kota Pangkalpinang. Kegiatan ini diawali sejak tahun 2006, di atas lahan seluas 200 hektar.
Awalnya lokasi ini hanya untuk menanam bibit-bibit pohon yang akan dipakai mereklamasi lahan bekas tambang. Belakangan, pengelola kawasan kemudian mengembangkan lahan sebagai kompleks agrowisata terpadu. Di sini juga terdapat peternakan dan perikanan.
Lalu diperkenalkanlah Bangka Botanical Garden (BBG) sebagai destinasi wisata baru di Kota Pangkalpinang. Lahan yang dulunya rusak parah penuh lubang telah berubah menjadi kebun luas yang menyejukkan. Tempat ini segera saja menjadi favorit bagi pengunjung yang ingin merasakan ketenangan di tengah-tengah kehijauan pepohonan nan asri.
Begitu masuk ke area BBG, pengunjung disambut oleh deretan pohon cemara roro yang berjajar di kiri-kanan jalan tanah. Lebih ke dalam lagi terdapat rumah-rumah panggung berbahan kayu. Di sekitar rumah terdapat beberapa kolam berisi ikan nila, ikan mas, mujair, patin, dan kepiting.
Di bagian lain terdapat kebun buah naga. Di sini pengunjung dapat memetik buah naga yang matang langsung dari pohonnya. Mau dimakan di tempat juga boleh lho. Ada pula pohon kurma yang tumbuh subur dengan dahan-dahan menghijau. Jika sedang panen bayam, pengunjung juga boleh membeli sayur-sayuran segar tersebut untuk dibawa pulang.
Rekreasi di Bangka Botanical Garden kian lengkap dengan keberadaan kuda. Pengunjung dipersilakan menaiki kuda-kuda ini untuk mengelilingi area kebun. Pengelola menyiapkan pemandu yang siap membantu pengunjung mengendarai kuda.

Hewan lain yang dipelihara di di sini adalah sapi. Sapi jenis Friesland Holstein asli Belanda jadi populasi terbanyak. Sapi-sapi ini dibudi-dayakan sebab dikenal dapat menghasilkan susu terbaik. Pengunjung dapat menyaksikan proses pemerahan susu. Dan pada momen-momen tertentu susu-susu ini dibagikan secara gratis.
Berita baiknya, pengelola Bangka Botanical Garden tak mengutip bayaran sepeser pun pada pengunjung. Artinya, kita bisa menikmati seluruh kawasan agrowisata ini tanpa biaya. Wow!
Pantai-Pantai nan Indah
Pangkalpinang tak cuma soal timah. Penyuka keindahan alam bakal sangat dimanjakan dengan begitu banyaknya wisata pantai di kota ini. Kalau kalian pernah dibuat terpukau oleh Pantai Tanjung Tinggi dengan batu-batu granitnya dalam film Laskar Pelangi, pantai serupa itu dapat ditemui di Pangkalpinang.
Bersebelahan dengan Bangka Botanical Garden terdapat Pantai Pasir Padi. Di sini kita dapat melihat batu-batu granit nan eksotis di pantai. Ya, mirip seperti di Pantai Tanjung Tinggi yang jadi lokasi syuting Laskar Pelangi itu. Hanya ukuran batu-batunya lebih kecil.
Keunikan Pasir Pantai Padi terletak pada bentuk pasirnya. Tentu bukan tanpa alasan pantai ini dinamai Pasir Padi. Bentuk pasirnya memang seperti bulir-bulir padi yang panjang. Ini disebabkan kandungan pasir timah yang terdapat di pantai. Karenanya pasir di pantai ini lebih padat dari pantai-pantai biasanya sehingga nyaman untuk berjalan kaki, juga bisa dilalui kendaraan.
Selain menikmati pasirnya yang unik, pantainya yang landai, serta birunya air laut, pengunjung Pantai Pasir Padi dapat menyeberang ke sebuah pulau kecil nan indah bernama Pulau Punai. Pulau ini terbentuk dari bebatuan dan karang, berjarak sejauh kurang-lebih 200 meter dari bibir pantai. Jika air laut surut, kita dapat menyeberang ke Pulau Punai dengan berjalan kaki.
Yang menarik, Pemerintah Kota Pangkalpinang tengah merancang megaproyek bernama Pangkalpinang Waterfront City di Pantai Pasir Padi. Kelak, di seberang pantai bakal terdapat sebuah kota di atas daratan buatan seluas 1.700 hektar. Proyek bernilai Rp 2 triliun ini digagas sejak 2006, dan hingga kini terus digodog realisasinya.
Pasir Padi terletak sangat dekat dari Kota Pangkalpinang. Kira-kira berjarak 8 km dari pusat kota. Jadi, tidak sah mengunjungi Pangkalpinang kalau tidak main air laut di pantai ini.


Agak jauh dari kota, ada Pantai Sampur atau Pantai Samfur. Ciri khas pantai satu ini adalah keberadaan kelenteng Dewi Kwan Im, lengkap dengan patung besar sang dewi di salah satu bagian kelenteng. Kelenteng ini milik seorang tabib keturunan Tionghoa. Terdapat satu ruangan khusus pengobatan di mana sang tabib menjalankan praktik.
Satu lagi pantai di Pangkalpinang dengan ciri khas menarik adalah Pantai Tapak Antu atau Pantai Tapak Hantu. Disebut demikian karena pada bebatuan di pantai terdapat lubang-lubang berbentuk jejak kaki. Seperti jejak kaki manusia, namun berukuran lebih panjang. Penduduk setempat mempercayai bahwa lubang-lubang tersebut merupakan jejak kaki hantu. Karenanya dinamai Pantai Tapak Antu.
Tapi ada pula warga yang menamai pantai ini sebagai Pantai Tapak Dewa atau Pantai Telapak Kaki Dewa. Sebenarnya, secara administratif pantai ini berada di Desa Batu Berlubang, Kecamatan Pangkalan Baru, Kabupaten Bangka Tengah. Namun jaraknya sangat dekat dengan Kota Pangkalpinang. Jika ditarik garis lurus, Pantai Tapak Antu hanya berjarak 6 km dari Bandara Depati Amir.
Cheng Beng dan Jl. Tony Wen
Tidak lengkap rasanya membahas Pangkalpinang tanpa menyinggung komunitas Tionghoa. Kota ini sudah lekat sekali dengan etnis Tionghoa. Kita akan dengan mudah menemukan kelenteng saat berjalan-jalan menyusuri kota. Salah satunya Kelenteng Kwan Tie Miaw, kelenteng tertua di Pangkalpinang dan Pulau Bangka.
Lalu ada Pemakaman Sentosa atau Tjung Hoa Kung Mu Yen, sebuah pekuburan seluas 19.945 meter persegi. Menjadikan kompleks pemakaman ini sebagai pemakaman Tionghoa terbesar se-Asia Tenggara. Di sinilah setiap tahun diadakan tradisi Qingming, atau Cheng Beng dalam dialek etnis Hokkian yang banyak terdapat di Pangkalpinang.
Tradisi Cheng Beng menjadi highlight budaya Tionghoa di Pangkalpinang, dan Pulau Bangka pada umumnya. Dalam perayaan tahunan ini warga etnis Tionghoa asal Bangka yang merantau ke luar daerah ramai-ramai mudik. Tujuan mereka hanya satu: ziarah kubur. Cheng Beng sendiri bermakna "bersih-bersih kubur" sehingga dalam tradisi ini Pemakaman Sentosa jadi ramai luar biasa.
Konon, orang Tionghoa sudah masuk ke Pulau Bangka sejak ekspedisi Laksmana Cheng Ho di tahun 1405. Pembukaan tambang timah pada abad itu mendorong laju imigrasi tenaga-tenaga tambang asal Tiongkok. Sultan Palembang disebutkan sengaja mengimpor tenaga kerja asal suku Kejian karena keahlian mereka dalam pertambangan.
Ketika Belanda menguasai Bangka, tenaga kerja Tiongkok tetap jadi pilihan utama. Populasi etnis Tionghoa di Pulau Bangka semakin meningkat dari waktu ke waktu, sehingga mengimbangi jumlah penduduk asli Melayu. Kemudian terjadi percampuran ketika pekerja asal Tiongkok menikahi wanita-wanita pribumi.

Pengaruh Tionghoa dalam pertambangan timah di Bangka dapat dilihat dari istilah-istilah tambang yang masih umum dipakai. Ambil contoh kata ciam atau jiam dalam dialek Mandarin yang berarti pengebor. Untuk menyebut pengayak pasir timah masih digunakan kata sakan, dan lubang tambang besar disebut kolong.
Di pusat kota Pangkalpinang terdapat sebuah rumah kayu antik berusia 150 tahun, peninggalan seorang Kapitein Tionghoa bernama Lay Nam Chen. Rumah tersebut kini dihuni oleh Hongky Lay Listiyadhi, ketua Badan Warisan Bangka (Bangka Heritage Society) yang merupakan keturunan keempat sang kapiten.
Rumah-rumah antik khas Tionghoa seperti itu masih banyak ditemui di berbagai sudut Pangkalpinang. Pakemnya selalu sama, yakni sebuah rumah induk dilengkapi halaman tengah dan bagian belakang yang luas.
Jika kita berjalan-jalan di pusat Kota Pangkalpinang, maka kita akan menemui seruas jalan bernama Jl. Tony Wen. Dulu jalan tersebut dikenal sebagai Jl. Melintas. Berbarengan dengan pemberian nama tokoh perjuangan lokal Depati Amir pada bandara, nama Tony Wen pun disematkan pada Jl. Melintas.
Siapa sih Tony Wen? Nama aslinya Boen Kim To. Ia adalah putera seorang pegawai tinggi di Bangka Biliton Tin Maatschapij, perusahaan tambang timah milik Belanda. Hidup dalam keluarga berada, Tony Wen memilih ikut berjuang dalam revolusi kemerdekaan RI. Di masa itu ia berjasa menyelundupkan senjata dari Singapura untuk laskar prorepublik di Indonesia.
Sewaktu Bung Karno diasingkan ke Bangka, keluarga Tony Wen-lah yang mencukupi kebutuhan sang presiden. Di era kemerdekaan, ia sempat ditunjuk sebagai anggota Komite Olimpiade Indonesia dan pengurus PSSI. Tony Wen juga pernah menjadi anggota DPR sebagai wakil Partai Nasional Indonesia (PNI).
Tradisi Cheng Beng, rumah antik khas Tionghoa di pusat kota, serta Jl. Tony Wen hanyalah sedikit bukti dari begitu lekatnya budaya dan pengaruh Tionghoa pada Kota Pangkalpinang.
*****
Sebenarnya mudah saja bagi saya untuk memenuhi undangan Ryan medio Mei lalu. Saya sudah berada di Palembang. Dari kota tersebut ada penerbangan langsung ke Pangkalpinang setiap hari. Ada pula kapal cepat dari Pelabuhan Boom Baru menuju ke Pelabuhan Muntok. Sayang disayang, waktu itu saya sudah terlanjur dibelikan tiket Palembang-Jakarta.
Keinginan mengunjungi Pangkalpinang kembali muncul saat Dodi Rozano masih bertahan di The Voice Indonesia. Saya ingin menyaksikan kasinya di atas panggung secara langsung, bukan di layar televisi atau melalui YouTube. Lagi-lagi keinginan ini gagal terwujud karena satu dan lain hal.
Hmmm, mudah-mudahan saja ada jalan lain yang mengantar saya ke Pangkalpinang. Reuni dengan Ryan bakal jadi agenda utama saya. Kami sudah tak bertemu sejak tahun 2000, alias 16 tahun lamanya! Lalu menyaksikan performa Dodi Rozano bersama Pesirah Band harus masuk daftar.
Dan tak ketinggalan tentu saja mengunjungi pantai-pantai indah yang ada di kota ini, masuk ke Museum Timah, mencicipi martabak manis khas Bangka, syukur-syukur bisa menyaksikan kemeriahan Cheng Beng.
Allahumma amin...
Tulisan ini diikut-sertakan dalam Lomba Menulis #PesonaPangkalpinang.
Referensi:
https://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Pa...
http://jelajahsitus.blogspot.co.id/20...
http://www.tribunnews.com/travel/2015...
http://travel.detik.com/read/2013/12/...
http://bangkabotanicalgarden.com/
https://id.wikipedia.org/wiki/Pantai_...
http://bangka.tribunnews.com/2012/06/...
http://www.radarbangka.co.id/berita/d...
http://www.thearoengbinangproject.com...
http://bangka.tribunnews.com/2016/01/...
https://id.wikipedia.org/wiki/Festiva...
http://jelajahsitus.blogspot.co.id/20...
https://id.wikipedia.org/wiki/Tony_Wen
http://www.sejarawan.com/292-tony-wen...
 
  
    
    
    Ryan yang nama lengkapnya Novrian Saputra adalah teman SMA saya di Muara Bulian, Jambi. Ia sebenarnya adik kelas, namun kami satu grup di band sekolah. Dia vokalis, saya gitaris. Kontrakan saya dekat sekali dengan rumahnya, jadi kami sangat akrab karena setiap hari bermain bersama. Saya juga kenal dengan saudara-saudaranya, dan beberapa kali bertemu dengan bapak-ibunya.
Selepas SMA saya tak lagi mendengar kabar Ryan. Kami hilang kontak selama belasan tahun, sampai kemudian Facebook mempertemukan kami. Rupanya ia balik kampung ke Pulau Bangka, dan kini menjadi wakil ketua KPID setempat. Hubungan kami semakin intens semenjak Dodi Rozano yang ternyata adiknya menjadi kontestan The Voice Indonesia.
Awalnya saya tidak hirau sama sekali dengan acara The Voice Indonesia ini. Sampai suatu ketika status Ryan di Facebook membuat sikap saya berubah. Ryan rajin sekali menggalang dukungan untuk Dodi, membuat saya ikut-ikutan memberi support via media sosial.
Aih, Dodi yang itukah? Batin saya sembari mengingat-ingat masa lalu di Muara Bulian.
Semasa kami di Muara Bulian, Dodi masih sangat kecil. Kalau tak salah usianya kisaran 4-5 tahun. Yang jelas dia belum sekolah waktu itu. Dodi kecil sering saya lihat tengah bermain-main bersama teman-temannya di halaman rumah.
(Baca kisah lengkapnya di posting Sekelumit Kenangan bersama Dodi Rozano ).

Berawal dari Timah
Dari Ryan-lah saya pertama kali mengenal Pulau Bangka, utamanya Kota Pangkalpinang. Ia sering bercerita tentang timah yang sempat jadi komoditas andalan daerah ini. Komoditas yang menjadi akar sejarah terbentuknya Kota Pangkalpinang.
Timah di Pulau Bangka sudah dieksplorasi sejak abad ke-16. Jauh sebelum bangsa Eropa mendarat di Nusantara, kongsi-kongsi asal Tiongkok sudah melakukan penambangan timah dengan seijin Sultan Palembang. Konon, timah Bangka memiliki kualitas sangat baik sehingga diminati dunia. Inilah yang mendorong Belanda menguasai Bangka.
Eksplorasi awal oleh bangsa Belanda dilakukan pada tahun 1710, dengan Muntok menjadi pusat kendali aktivitas pertambangan dan pengolahan timah.
Ketika Inggris berkuasa di Bangka, tahun 1813 East India Company menjadikan Pangkalpinang sebagai salah satu dari tujuh distrik eksplorasi timah. Enam distrik lainnya adalah Merawang, Toboali, Jebus, Klabat, Sungailiat, dan Belinyu. Sejak itulah Pangkalpinang dijuluki Kota Timah dan berkembang menjadi pusat perdagangan.
Lalu Belanda kembali berkuasa di Nusantara. Pangkalpinang dijadikan basis militer untuk menumpas perlawanan rakyat Bangka. Tahun 1913, pemerintahan kolonial Belanda memindahkan ibukota Karesidenan Bangka dari Muntok ke Pangkalpinang. Perpindahan tersebut disebabkan oleh temuan deposit timah nan melimpah di kawasan timur Bangka.
Di masa kemerdekaan, status Pangkalpinang terus berubah dari kota kecil pada tahun 1956, menjadi kotapraja dua tahun berselang, lalu berubah lagi menjadi kotamadya (1965), kotamadya daerah tingkat II (1974), sampai akhirnya ditetapkan sebagai Daerah Otonom Kota Pangkalpinang di tahun 1999.
Keberadaan Museum Timah di Pangkalpinang semakin menegaskan bahwa terbentuknya kota ini berawal dari timah. Di tempat inilah tersimpan sejarah panjang pertambangan timah sejak jaman kolonial Belanda. Benda-benda koleksi terkait aktivitas pertambangan juga ditampilkan. Mulai dari peralatan tambang jaman dulu, sampai produk-produk kerajinan berbahan timah.
Ada pula manuskrip awal penulisan sejarah Bangka. Museum juga dilengkapi dengan diorama dan lukisan-lukisan yang menggambarkan aktivitas pertambangan di jaman Belanda hingga masa modern.

Hobi selfie? Tenang, ada banyak spot menarik untuk narsis di Museum Timah. Terdapat beberapa diorama berukuran besar yang cocok dijadikan latar belakang foto. Atau bisa juga berfoto di depan lukisan besar yang menggambarkan suasana pertambangan jaman kolonial. Di bagian luar, ada lokomotif hitam di halaman depan museum yang tak kalah menarik.
Oya, Museum Timah ini merupakan satu-satunya museum tentang timah di Asia. Beberapa sumber bahkan menyebut satu-satunya di dunia. Yang pasti, bangunan buatan Belanda ini saksi kunci sejarah berdirinya Republik Indonesia. Di gedung inilah delegasi RI berunding dengan delegasi Kerajaan Belanda berkat mediasi Komisi Tiga Negara (KTN). Hasilnya adalah Perjanjian Roem-Roijen yang diteken di Jakarta pada 7 Mei 1949.
Museum Timah tak cuma didatangi oleh wisatawan lokal lho. Banyak turis asal Belanda yang berkunjung ke tempat ini karena alasan asal-usul. Ada yang nenek moyangnya pernah bekerja di perusahaan timah di Bangka, beberapa lainnya malah lahir di Bangka sebelum dibawa pulang ke Belanda.
Selain Museum Timah, turis-turis Belanda tersebut biasanya mendatangi kerkhof atau pemakaman Belanda yang terletak sekitar 2 km di selatan museum. Di sini terdapat sekitar 102 makam, sebagian besar dalam kondisi rusak. Menurut pemetaan yang dilakukan oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jambi dan Balai Arkeologi Palembang, makam tertua berangka tahun 1800 dan yang termuda berangka tahun 1954.
Meski disebut makam Belanda, atau Pendem Belanda oleh penduduk setempat, tak semua yang dimakamkan di kerkhof ini orang Belanda. Data BP3 Jambi menyebutkan, dari sekian nisan yang bisa terbaca 25 buah diantaranya berbahasa Belanda, 10 berbahasa Jepang, dan 3 berbahasa Indonesia.
Sama halnya Museum Timah, keberadaan kerkhof di Jalan Hormen Maddati ini menjadi bukti peran strategis Pangkalpinang di masa lalu.

Bangka Botanical Garden
Masifnya aktivitas tambang timah di Bangka membuat beberapa bagian lahan di wilayah ini mengalami kerusakan parah. Kalau kita naik pesawat dan mendekati Bandara Depati Amir, terlihat bentangan alam berupa padang gersang dengan beberapa lubang besar. Tanaman sulit tumbuh akibat parahnya kerusakan tanah yang terjadi.
Sebagai bentuk kepedulian, sebuah perusahaan pertambangan timah bernama PT Dona Kembara Jaya melakukan gerakan pemulihan lahan tambang di kawasan Ketapang, Kota Pangkalpinang. Kegiatan ini diawali sejak tahun 2006, di atas lahan seluas 200 hektar.
Awalnya lokasi ini hanya untuk menanam bibit-bibit pohon yang akan dipakai mereklamasi lahan bekas tambang. Belakangan, pengelola kawasan kemudian mengembangkan lahan sebagai kompleks agrowisata terpadu. Di sini juga terdapat peternakan dan perikanan.
Lalu diperkenalkanlah Bangka Botanical Garden (BBG) sebagai destinasi wisata baru di Kota Pangkalpinang. Lahan yang dulunya rusak parah penuh lubang telah berubah menjadi kebun luas yang menyejukkan. Tempat ini segera saja menjadi favorit bagi pengunjung yang ingin merasakan ketenangan di tengah-tengah kehijauan pepohonan nan asri.
Begitu masuk ke area BBG, pengunjung disambut oleh deretan pohon cemara roro yang berjajar di kiri-kanan jalan tanah. Lebih ke dalam lagi terdapat rumah-rumah panggung berbahan kayu. Di sekitar rumah terdapat beberapa kolam berisi ikan nila, ikan mas, mujair, patin, dan kepiting.
Di bagian lain terdapat kebun buah naga. Di sini pengunjung dapat memetik buah naga yang matang langsung dari pohonnya. Mau dimakan di tempat juga boleh lho. Ada pula pohon kurma yang tumbuh subur dengan dahan-dahan menghijau. Jika sedang panen bayam, pengunjung juga boleh membeli sayur-sayuran segar tersebut untuk dibawa pulang.
Rekreasi di Bangka Botanical Garden kian lengkap dengan keberadaan kuda. Pengunjung dipersilakan menaiki kuda-kuda ini untuk mengelilingi area kebun. Pengelola menyiapkan pemandu yang siap membantu pengunjung mengendarai kuda.

Hewan lain yang dipelihara di di sini adalah sapi. Sapi jenis Friesland Holstein asli Belanda jadi populasi terbanyak. Sapi-sapi ini dibudi-dayakan sebab dikenal dapat menghasilkan susu terbaik. Pengunjung dapat menyaksikan proses pemerahan susu. Dan pada momen-momen tertentu susu-susu ini dibagikan secara gratis.
Berita baiknya, pengelola Bangka Botanical Garden tak mengutip bayaran sepeser pun pada pengunjung. Artinya, kita bisa menikmati seluruh kawasan agrowisata ini tanpa biaya. Wow!
Pantai-Pantai nan Indah
Pangkalpinang tak cuma soal timah. Penyuka keindahan alam bakal sangat dimanjakan dengan begitu banyaknya wisata pantai di kota ini. Kalau kalian pernah dibuat terpukau oleh Pantai Tanjung Tinggi dengan batu-batu granitnya dalam film Laskar Pelangi, pantai serupa itu dapat ditemui di Pangkalpinang.
Bersebelahan dengan Bangka Botanical Garden terdapat Pantai Pasir Padi. Di sini kita dapat melihat batu-batu granit nan eksotis di pantai. Ya, mirip seperti di Pantai Tanjung Tinggi yang jadi lokasi syuting Laskar Pelangi itu. Hanya ukuran batu-batunya lebih kecil.
Keunikan Pasir Pantai Padi terletak pada bentuk pasirnya. Tentu bukan tanpa alasan pantai ini dinamai Pasir Padi. Bentuk pasirnya memang seperti bulir-bulir padi yang panjang. Ini disebabkan kandungan pasir timah yang terdapat di pantai. Karenanya pasir di pantai ini lebih padat dari pantai-pantai biasanya sehingga nyaman untuk berjalan kaki, juga bisa dilalui kendaraan.
Selain menikmati pasirnya yang unik, pantainya yang landai, serta birunya air laut, pengunjung Pantai Pasir Padi dapat menyeberang ke sebuah pulau kecil nan indah bernama Pulau Punai. Pulau ini terbentuk dari bebatuan dan karang, berjarak sejauh kurang-lebih 200 meter dari bibir pantai. Jika air laut surut, kita dapat menyeberang ke Pulau Punai dengan berjalan kaki.
Yang menarik, Pemerintah Kota Pangkalpinang tengah merancang megaproyek bernama Pangkalpinang Waterfront City di Pantai Pasir Padi. Kelak, di seberang pantai bakal terdapat sebuah kota di atas daratan buatan seluas 1.700 hektar. Proyek bernilai Rp 2 triliun ini digagas sejak 2006, dan hingga kini terus digodog realisasinya.
Pasir Padi terletak sangat dekat dari Kota Pangkalpinang. Kira-kira berjarak 8 km dari pusat kota. Jadi, tidak sah mengunjungi Pangkalpinang kalau tidak main air laut di pantai ini.


Agak jauh dari kota, ada Pantai Sampur atau Pantai Samfur. Ciri khas pantai satu ini adalah keberadaan kelenteng Dewi Kwan Im, lengkap dengan patung besar sang dewi di salah satu bagian kelenteng. Kelenteng ini milik seorang tabib keturunan Tionghoa. Terdapat satu ruangan khusus pengobatan di mana sang tabib menjalankan praktik.
Satu lagi pantai di Pangkalpinang dengan ciri khas menarik adalah Pantai Tapak Antu atau Pantai Tapak Hantu. Disebut demikian karena pada bebatuan di pantai terdapat lubang-lubang berbentuk jejak kaki. Seperti jejak kaki manusia, namun berukuran lebih panjang. Penduduk setempat mempercayai bahwa lubang-lubang tersebut merupakan jejak kaki hantu. Karenanya dinamai Pantai Tapak Antu.
Tapi ada pula warga yang menamai pantai ini sebagai Pantai Tapak Dewa atau Pantai Telapak Kaki Dewa. Sebenarnya, secara administratif pantai ini berada di Desa Batu Berlubang, Kecamatan Pangkalan Baru, Kabupaten Bangka Tengah. Namun jaraknya sangat dekat dengan Kota Pangkalpinang. Jika ditarik garis lurus, Pantai Tapak Antu hanya berjarak 6 km dari Bandara Depati Amir.
Cheng Beng dan Jl. Tony Wen
Tidak lengkap rasanya membahas Pangkalpinang tanpa menyinggung komunitas Tionghoa. Kota ini sudah lekat sekali dengan etnis Tionghoa. Kita akan dengan mudah menemukan kelenteng saat berjalan-jalan menyusuri kota. Salah satunya Kelenteng Kwan Tie Miaw, kelenteng tertua di Pangkalpinang dan Pulau Bangka.
Lalu ada Pemakaman Sentosa atau Tjung Hoa Kung Mu Yen, sebuah pekuburan seluas 19.945 meter persegi. Menjadikan kompleks pemakaman ini sebagai pemakaman Tionghoa terbesar se-Asia Tenggara. Di sinilah setiap tahun diadakan tradisi Qingming, atau Cheng Beng dalam dialek etnis Hokkian yang banyak terdapat di Pangkalpinang.
Tradisi Cheng Beng menjadi highlight budaya Tionghoa di Pangkalpinang, dan Pulau Bangka pada umumnya. Dalam perayaan tahunan ini warga etnis Tionghoa asal Bangka yang merantau ke luar daerah ramai-ramai mudik. Tujuan mereka hanya satu: ziarah kubur. Cheng Beng sendiri bermakna "bersih-bersih kubur" sehingga dalam tradisi ini Pemakaman Sentosa jadi ramai luar biasa.
Konon, orang Tionghoa sudah masuk ke Pulau Bangka sejak ekspedisi Laksmana Cheng Ho di tahun 1405. Pembukaan tambang timah pada abad itu mendorong laju imigrasi tenaga-tenaga tambang asal Tiongkok. Sultan Palembang disebutkan sengaja mengimpor tenaga kerja asal suku Kejian karena keahlian mereka dalam pertambangan.
Ketika Belanda menguasai Bangka, tenaga kerja Tiongkok tetap jadi pilihan utama. Populasi etnis Tionghoa di Pulau Bangka semakin meningkat dari waktu ke waktu, sehingga mengimbangi jumlah penduduk asli Melayu. Kemudian terjadi percampuran ketika pekerja asal Tiongkok menikahi wanita-wanita pribumi.

Pengaruh Tionghoa dalam pertambangan timah di Bangka dapat dilihat dari istilah-istilah tambang yang masih umum dipakai. Ambil contoh kata ciam atau jiam dalam dialek Mandarin yang berarti pengebor. Untuk menyebut pengayak pasir timah masih digunakan kata sakan, dan lubang tambang besar disebut kolong.
Di pusat kota Pangkalpinang terdapat sebuah rumah kayu antik berusia 150 tahun, peninggalan seorang Kapitein Tionghoa bernama Lay Nam Chen. Rumah tersebut kini dihuni oleh Hongky Lay Listiyadhi, ketua Badan Warisan Bangka (Bangka Heritage Society) yang merupakan keturunan keempat sang kapiten.
Rumah-rumah antik khas Tionghoa seperti itu masih banyak ditemui di berbagai sudut Pangkalpinang. Pakemnya selalu sama, yakni sebuah rumah induk dilengkapi halaman tengah dan bagian belakang yang luas.
Jika kita berjalan-jalan di pusat Kota Pangkalpinang, maka kita akan menemui seruas jalan bernama Jl. Tony Wen. Dulu jalan tersebut dikenal sebagai Jl. Melintas. Berbarengan dengan pemberian nama tokoh perjuangan lokal Depati Amir pada bandara, nama Tony Wen pun disematkan pada Jl. Melintas.
Siapa sih Tony Wen? Nama aslinya Boen Kim To. Ia adalah putera seorang pegawai tinggi di Bangka Biliton Tin Maatschapij, perusahaan tambang timah milik Belanda. Hidup dalam keluarga berada, Tony Wen memilih ikut berjuang dalam revolusi kemerdekaan RI. Di masa itu ia berjasa menyelundupkan senjata dari Singapura untuk laskar prorepublik di Indonesia.
Sewaktu Bung Karno diasingkan ke Bangka, keluarga Tony Wen-lah yang mencukupi kebutuhan sang presiden. Di era kemerdekaan, ia sempat ditunjuk sebagai anggota Komite Olimpiade Indonesia dan pengurus PSSI. Tony Wen juga pernah menjadi anggota DPR sebagai wakil Partai Nasional Indonesia (PNI).
Tradisi Cheng Beng, rumah antik khas Tionghoa di pusat kota, serta Jl. Tony Wen hanyalah sedikit bukti dari begitu lekatnya budaya dan pengaruh Tionghoa pada Kota Pangkalpinang.
*****
Sebenarnya mudah saja bagi saya untuk memenuhi undangan Ryan medio Mei lalu. Saya sudah berada di Palembang. Dari kota tersebut ada penerbangan langsung ke Pangkalpinang setiap hari. Ada pula kapal cepat dari Pelabuhan Boom Baru menuju ke Pelabuhan Muntok. Sayang disayang, waktu itu saya sudah terlanjur dibelikan tiket Palembang-Jakarta.
Keinginan mengunjungi Pangkalpinang kembali muncul saat Dodi Rozano masih bertahan di The Voice Indonesia. Saya ingin menyaksikan kasinya di atas panggung secara langsung, bukan di layar televisi atau melalui YouTube. Lagi-lagi keinginan ini gagal terwujud karena satu dan lain hal.
Hmmm, mudah-mudahan saja ada jalan lain yang mengantar saya ke Pangkalpinang. Reuni dengan Ryan bakal jadi agenda utama saya. Kami sudah tak bertemu sejak tahun 2000, alias 16 tahun lamanya! Lalu menyaksikan performa Dodi Rozano bersama Pesirah Band harus masuk daftar.
Dan tak ketinggalan tentu saja mengunjungi pantai-pantai indah yang ada di kota ini, masuk ke Museum Timah, mencicipi martabak manis khas Bangka, syukur-syukur bisa menyaksikan kemeriahan Cheng Beng.
Allahumma amin...
Tulisan ini diikut-sertakan dalam Lomba Menulis #PesonaPangkalpinang.
Referensi:
https://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Pa...
http://jelajahsitus.blogspot.co.id/20...
http://www.tribunnews.com/travel/2015...
http://travel.detik.com/read/2013/12/...
http://bangkabotanicalgarden.com/
https://id.wikipedia.org/wiki/Pantai_...
http://bangka.tribunnews.com/2012/06/...
http://www.radarbangka.co.id/berita/d...
http://www.thearoengbinangproject.com...
http://bangka.tribunnews.com/2016/01/...
https://id.wikipedia.org/wiki/Festiva...
http://jelajahsitus.blogspot.co.id/20...
https://id.wikipedia.org/wiki/Tony_Wen
http://www.sejarawan.com/292-tony-wen...
 
  
        Published on September 07, 2016 09:55
    
September 6, 2016
Ketika Cari Mobil Semudah Menghitung 1, 2, 3

SEKARANG apa sih yang nggak dijual di internet? Pertanyaan ini mengingatkan saya pada Anne Ahira, seorang internet marketer kondang di jamannya. Suatu waktu di mana internet masih jadi barang mewah di Indonesia, ia pernah mengatakan kalau kelak apa saja bakal dijual secara online.
Untuk mendukung ucapannya itu Anne menceritakan pengalamannya menjual kuda. Ya, jual seekor kuda hidup lewat internet. Menariknya lagi, kuda itu bukan miliknya. Ia hanya menghubungkan penjual dengan pembeli, atau istilah populernya jadi makelar alias calo.
Terbukti, sekarang banyak sekali toko online yang menjual berbagai macam barang di dunia maya. Mulai dari sepatu sampai topi, dari lauk makan sampai peralatan masak, dan belakangan kendaraan seperti sepeda motor dan bahkan mobil pun bisa dibeli secara online. Ya, sekarang mencari mobil semudah menggerak-gerakkan mouse.
Saya jadi teringat sewaktu adik ipar membeli mobil pertamanya beberapa tahun lalu. Dengan dana terbatas, ia mencari mobil second yang harganya terjangkau. Tapi juga tidak terlalu kecil agar bisa membawa seluruh anggota keluarganya yang berjumlah empat orang. Untuk itu ia meminta bantuan suami adik istrinya di Semarang.
Kenapa Semarang? Karena kota sebesar Semarang menawarkan pilihan lebih banyak ketimbang Pemalang. Juga, karena yang bisa dipercaya mencarikan mobil tinggalnya di Semarang.
Jadi, adik ipar saya menceritakan mobil yang ia butuhkan dan budget yang dipunyai. Lalu suami adik istrinya itu mencarikan mobil sesuai kriteria dari berbagai dealer mobil bekas. Begitu dapat info mobil yang kira-kira sesuai, mereka kontak-kontakan via handphone. Begitu terus sampai akhirnya didapatlah sebuah mobil yang sreg di hati sekaligus di kantong.
Proses ini lumayan lama. Sebabnya, suami-adik-istri adik-ipar-saya (bingung nggak sih? :D) itu mencari-cari mobil dari satu dealer ke dealer lain di seantero Semarang, juga menampung info dari teman-temannya. Kurang-lebih dua pekan. Belum termasuk menunggu mobil yang sudah dibeli itu dikirim.
Portal Otomotif No. 1
Saya jadi berandai-andai, kalau saja adik ipar saya cari mobil via online tentu bisa lebih praktis dan hemat biaya. Tak perlu menunggu lama untuk mencari-cari mobil dari satu penjual ke penjual lain. Tak perlu menghabiskan banyak pulsa untuk telepon. Yang terpenting ia bisa memilih sendiri tipe mobil yang diinginkan sesuai budget-nya, tidak menyerahkan pilihan pada orang lain.
Ya, sekarang mencari mobil semudah menghitung 1, 2, 3. Dengan bantuan internet, kita dapat melihat-lihat berbagai macam pilihan mobil dari sekian banyak penjual. Tak cuma itu, proses pembelian pun bisa dilakukan secara online. Semuanya cukup dilakukan di depan monitor komputer atau smartphone, serta tanpa perlu meninggalkan rumah.
"Tapi kan beli mobil di internet rawan penipuan? Ini urusannya duit banyak lho..." Kalau alasannya itu, maka carilah situs jual-beli mobil yang terpercaya.

Salah satu rujukan mencari mobil di dunia maya adalah Mobil123.com. Web ini mempunyai tagline "Portal Otomotif No. 1." Bukan sekedar slogan kosong karena Mobil123.com merupakan portal terbesar dan terpecaya yang menghubungkan penjual dan pembeli mobil.
Di portal ini kita dapat mencari berbagai mobil sesuai kebutuhan. Mau cari mobil berdasarkan tipe dan kelasnya atau merek tertentu, semua bisa dilakukan di Mobil123.com semudah memindah kursor. Bagi pembeli dengan budget tinggi terdapat pilihan mobil-mobil baru dari berbagai dealer ternama. Yang mencari mobil bekas tak perlu minder, sebab opsinya tak kalah banyak.
Oya, Mobil123 merupakan portal di bawah grup media otomotif terbesar dan terkuat di Asia Tenggara, yakni iCar Asia. Selain Mobil123, iCar Asia juga mempunyai portal otomotif lain di Indonesia, Otospirit.com. Web terakhir diposisikan sebagai portal otomotif dan gaya hidup modern, dan sejauh ini memiliki perkembangan luar biasa.
Tak hanya di Indonesia, iCar Asia juga beroperasi di Malaysia dengan web Carlist.my. Di Thailand sendiri grup ini mengelola tiga portal sekaligus: Thaicar.com, Autospinn.com, dan One2Car.
Berkantor pusat di Kuala Lumpur, iCar Asia adalah pemimpin pasar di dunia pasar iklan online otomotif yang berkembang pesat di kawasan ASEAN. Saat ini, seluruh portal yang dikelola grup tersebut mencapai lebih dari 4,8 juta pembeli mobil dan penggemar setiap bulan di wilayah Asia Tenggara.
Kucuran Investasi Baru
Meski tengah menjadi pemimpin pasar di Asia Tenggara, iCar Asia bertekad terus melakukan inovasi guna memberikan kenyamanan pada para konsumen dan mitranya. Ini disampaikan oleh Chief Executive iCar Asia Hamish Stone (foto bawah) dalam pernyataan resmi perusahaan.
"Kami sadar bahwa kami harus meningkatkan investasi di Teknologi, Marketing dan Peningkatkan SDM (Sumberdaya Manusia), untuk menggali potensi yang dimiliki oleh iCar Asia dalam beberapa tahun mendatang,” kata Stone.

Tekad tersebut didukung dengan masuknya kucuran investasi baru senilai 22,5 juta dolar Australia belum lama ini. Dengan nilai tukar sebesar Rp10.043 per AUS$ 1, angka tersebut hanya kurang sedikit dari Rp 226 milyar. Tepatnya Rp225.967.482.000.
Jumlah tersebut diperoleh dari penerbitan 54.687.500 lembar saham bernilai AUS$ 17,5 juta (sekitar Rp 230 miliar), di mana Bell Poter Securites bertindak selaku Lead Manager sekaligus Penjamin Emisi. Tambahan dana didapat dari Catcha Group selaku pemegang saham terbesar iCar Asia Limited (28,55%) yang berkomitmen menambah investasi sampai AUS$ 5 juta. Lalu non-executive director Syed Khalil Syed Ibrahim mengusulkan untuk membeli saham senilai AUS$ 500.000.
Kucuran dana segar inilah yang akan dipergunakan oleh iCar Asia untuk melakukan berbagai terobosan. Di Indonesia sendiri beberapa pengembangan Teknologi yang sudah diluncurkan dan dapat dinikmati oleh pengguna web Mobil123.com adalah SI JARI. Ini adalah satu platform khusus bagi para dealer mitra untuk mengatur inventori dagangannya.
Layanan kedua adalah fitur Live Chat yang menghubungkan pengunjung Mobil123 dengan tim Customer Support secara real time. Pelayanan Live Chat tersedia setiap hari, dari Senin sampai Ahad, mulai jam 08.30 WIB sampai dengan 18.00 WIB.
Dari sisi Marketing, langkah yang terus diljalankan adalah memberi edukasi kepada dealer-dealer yang tergabung dalam marketplace Mobil123. Para dealer diberikan pengetahuan seputar pemanfaatan sistem internet terutama dalam memaksimalkan fitur-fitur yang ada di Mobill123.com guna melancarkan bisnis mereka, sekaligus meningkatkan pelayanan pada pembeli.
Terakhir, pengembangan di sektor SDM dilakukan dengan cara merekrut karyawan-karyawan berkualitas dengan integritas tinggi, serta mengedukasi mitra-mitra dealer dan penjual mobil. Dengan tambahan tenaga profesional mumpuni, perusahaan yang terdaftar di indeks Australian Securities Exchange ini dapat fokus dalam pengembangan portal-portal otomotif terdepan di Indonesia, Malaysia, dan Thailand.
Oya, dalam waktu dekat iCar Asia akan merilis dua produk baru lho. Kedua produk ini dimaksudkan agar dapat memberi nilai tambah serta kemudahan bagi para penggunanya. Apa itu? Kita tunggu saja.
Kredit foto:
1. Daihatsu Xenia di salah satu bazaar mobil bekas.
2. Empat SPG dengan banner Mobil123, foto dari Mobil123.com.
3. Hamish Stone, foto dari press release Mobil123.com.
 
  
        Published on September 06, 2016 21:27
    
September 5, 2016
Berguru Jurus Traveling dari Dua Mom Traveler

SEMARANG terang-terang tanah saat kereta Tawang Jaya yang saya naiki dari Jakarta masuk ke Stasiun Semarangponcol, Ahad (28/8/2016) lalu. Kabut masih mengambang di udara, menyisipkan rasa dingin. Toh, stasiun sudah ramai pagi itu. Bangku-bangku di ruang tunggu penuh oleh calon penumpang.
Karena masih pagi, saya sempatkan diri mampir ke toilet lalu masuk musala stasiun. Seorang bapak berjenggot rapi mengajak saya salat Subuh berjamaah. Selesai menunaikan dua rakaat saya bergegas ke ruang boarding, mencari colokan listrik. Baterai hape hampir habis. Padahal saya bakal mengandalkan hape tersebut untuk memesan ojek online dan melihat peta.
Kira-kira jam delapan kurang sedikit saya keluar dari stasiun. Saya ke Semarang untuk mengikuti seminar bertema traveling yang diadakan oleh SunLife Financial. Berhubung acaranya dimulai siang, saya berniat menghabiskan pagi di Lawang Sewu, lalu mencari sarapan di sekitaran Jl. Pandanaran. Jadi, saya pun naik ojek ke arah simpang Tugu Muda.
Setelah menelusuri lorong demi lorong, ruangan demi ruangan, selama 2,5 jam di Lawang Sewu, perjalanan saya lanjutkan ke Gramedia. Anak-anak titip buku. Kebetulan pula saya membawa voucher Gramedia hadiah sebuah lomba live tweet. Eh, pas pula momennya Gramedia Pandanaran sedang mengadakan bazaar buku. Klop deh.
Tapi saya tak bisa lama-lama di Gramedia. Saya belum tahu lokasi Hotel Horison yang jadi venue seminar. Juga, sebelum mendatangi lokasi seminar saya berniat mampir di Masjid Baiturrahman terlebih dahulu. Jadi saya harus spare banyak waktu agar tiba sebelum seminar SunLife dimulai.
Benar saja. Dari Masjid Baiturrahman saya sempat lama sekali berputar-putar sembari kebingungan di Mal Ciputra. Entah berapa orang satpam dan pengunjung mal yang saya mintai petunjuk. Sampai akhirnya berkat bantuan seorang petugas Information Center yang sedang makan siang, saya berhasil juga menemukan Hotel Horison.
Aih, rupanya Hotel Horison berada persis di sebelah Matahari Mall yang ada di seberang Mal Ciputra. Dasar ndeso!

Jurus-Jurus Traveling
Untunglah, sampai di Lantai 14 acara belum dimulai. Teman-teman blogger tengah asyik makan siang di restoran. Mbak Muna Sungkar yang sedang makan semeja dengan suami dan anaknya mempersilakan saya untuk langsung bergabung di restoran. Kebetulan sekali. Perut ini memang sudah keroncongan dari tadi. Hahaha...
Tepat jam satu siang acara dimulai. Saya sendiri terlambat masuk ruangan karena mampir dulu ke rest room untuk sekedar membasuh badan dan ganti baju.
Sesi pertama menghadirkan Mbak Donna Imelda. Tahu dong siapa pembicara satu ini. Seorang traveler beken yang sudah berpetualang ke banyak negara di dunia. Pengalaman jalan-jalan Mbak Donna bisa dibaca di blog pribadinya yang beralamat di DonnaImelda.com, sebagian lagi di web AyoPelesiran.com.
Mbak Donna membuka materinya dengan pernyataan yang sangat menggelitik bagi saya. "Traveling itu tidak mungkin tanpa biaya, tapi biaya traveling bisa dibuat serendah mungkin." Kurang-lebih begitu yang disampaikan Mbak Donna. Ini semacam sentilan bagi orang-orang yang masih merasa traveling itu butuh banyak duit, seperti saya contohnya.
Tak sekedar asal ngomong, Mbak Donna memberikan tips-tips agar kita dapat berwisata dengan biaya sehemat mungkin. Dijabarkan olehnya kalau biaya paling banyak dalam berwisata adalah pos transportasi. Karenanya pertama-tama amankan tiket pesawat jauh-jauh hari agar mendapat harga terbaik.
Sekarang banyak sekali maskapai penerbangan yang menggelar promo tiket. Harganya bisa jadi 50% dari tarif normal, bahkan ada yang sampai Rp0. Ya walaupun harus banyak pajak bandara sendiri, tetap saja angkanya jauh lebih kecil ketimbang membeli dengan harga normal. Mbak Donna menganjurkan untuk rajin-rajin memantau promo-promo seperti ini.
Pos kedua yang tak kalah banyak memakan biaya adalah penginapan. Strateginya hampir sama dengan membeli tiket pesawat, yakni pesan jauh-jauh hari. Selain dapat berhemat beberapa persen, ini juga demi memastikan kita kebagian kamar pada tanggal yang diinginkan. Jangan sampai tiket pesawat sudah di tangan kita malah tak dapat tempat menginap.

Yang terpenting, sesuaikan tipe penginapan dengan kebutuhan. Kalau hanya untuk menumpang tidur setelah seharian eksplor objek-objek wisata di negara tujuan, tak perlulah hotel mahal-mahal. Cari saja budget hotel yang biaya sewanya lebih murah. Tapi juga jangan asal murah lantas mengabaikan kenyamanan. Wisata harus fun, karenanya tempat tidurnya pun harus bikin kita tidur nyenyak.
Satu lagi kalimat penting yang disampaikan Mbak Donna dan saya sangat setuju 100% adalah, jangan traveling dengan uang hutang atau kartu kredit! Mbak Donna berprinsip "pay first, play later." Jadi, upayakan seluruh biaya traveling dibayar lunas di awal dengan dana yang memang disiapkan untuk itu.
Kartu kredit tentu harus diakui sangat memudahkan para traveler. Terutama untuk pemesanan tiket pesawat dan penginapan. Tapi jangan bergantung sepenuhnya pada uang plastik tersebut. Sekalipun bayarnya pakai kartu kredit, kita harus punya dana tunai sehingga begitu tagihan keluar bisa langsung dilunasi. Tidak ada hutang.
"Jangan sampai pulang traveling kepala pusing melihat tagihan," kata Mbak Donna. Sepakat!
Asyiknya Traveling bersama Keluarga
Hal senada disampaikan Mbak Muna yang tampil di kesempatan kedua. Dengan perutnya yang semakin membuncit karena tengah hamil, Mbak Muna memfokuskan bahasannya pada tema traveling keluarga. Hmmm, saya yang punya anak-anak kecil jadi tambah serius menyimak.
Dari blognya saya tahu Mbak Muna seringkali mengajak suami dan anaknya traveling. Bahkan sampai kemping di gunung lho. Bagi sebagian orang traveling membawa anak kecil itu merepotkan. Tapi Mbak Muna membalik anggapan tersebut dan mengatakan traveling bersama anak-anak justru terasa lebih menyenangkan, lebih berwarna.
"Nanti saat anak-anak sudah besar, susah sekali kita mendapat kesempatan untuk bersama-sama. Karenanya mumpung masih kecil-kecil adalah saat terbaik untuk mengajak mereka traveling," kira-kira begitu alasan Mbak Muna. Dan, saya tidak bisa tidak setuju dengan pernyataan tersebut.
Bagi anak-anak sendiri pengalaman berwisata bersama orang tua akan menjadi kenangan manis yang mereka kenang seumur hidup. Mengajak traveling juga dapat mempererat hubungan emosional antara anak dan orang tua, sekaligus semakin membuat kompak kerja sama suami-istri. Tambahannya, anak-anak menjadi lebih luas wawasan serta terlatih mentalnya.

Tapi memang family traveling membutuhkan biaya tidak sedikit. Kalau anggota keluarga ada tiga orang, maka tiket pesawat atau kereta api harus dikalikan tiga. Kalau anggota keluarga ada empat ya tinggal dikalikan empat. Misalkan dapat tiket seharga Rp400.000, maka untuk transportasi pergi-pulang saja dibutuhkan biaya Rp2,4 juta (tiga orang) atau Rp3,2 juta (empat orang).
Selalu ada cara untuk menekan biaya. Untuk tiket pesawat bisa diakali dengan rajin-rajin memantau promo yang diadakan maskapai penerbangan. Ada pula maskapai yang memberi diskon khusus bagi penumpang anak-anak. Pilihan terakhir cocok untuk keluarga yang anak-anaknya sudah bersekolah sehingga harus menyesuaikan dengan liburan sekolah.
Kalau travelingnya tidak terlalu jauh, Mbak Muna menyarankan untuk membawa kendaraan sendiri saja. Ini akan sangat menghemat pos transportasi. Terlebih jika mau repot-repot menyetir sendiri selama perjalanan.
Karena biayanya besar, Mbak Muna menekankan pentingnya perencanaan sebelum melakukan family traveling. Hitung dengan cermat masing-masing pos pengeluaran, kalau perlu buat anggarannya per hari. Dibuat rincian berapa uang yang dibutuhkan di hari pertama, kedua, dan seterusnya. Dan yang terpenting harus disiplin mematuhi anggaran yang sudah disusun.
Senada dengan Mbak Donna, Mbak Muna mewanti-wanti untuk tidak melakukan family traveling dengan uang hutang atau kartu kredit. Lebih baik sabar menabung dengan menyisihkan dana sebesar tertentu setiap bulan. Dengan demikian traveling tidak malah membuat kepala tambah pusing karena dikejar-kejar cicilan.
Wujudkan Liburan Impian
Selain sepakat soal jangan berhutang, Mbak Donna dan Mbak Muna juga kompak mengenai pentingnya perlindungan diri selama traveling. Mereka menyarankan agar sebisa mungkin lakukan proteksi diri sebelum melakukan perjalanan sebagai tindakan berjaga-jaga.
Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi saat traveling. Yang terjadi dan dialami selama di negara tujuan tidak selalu sesuai dengan rencana. Karenanya tindakan berjaga-jaga berupa proteksi menjadi mutlak dilakukan. Untuk itu Mbak Donna dan Mbak Muna menyarankan para traveler untuk mengambil asuransi sebelum melakukan perjalanan.

Mbak Donna mencontohkan, andaikan kita jatuh sakit di negara orang dan butuh biaya banyak untuk berobat, biaya ekstra yang dikeluarkan tersebut dapat diklaim pada perusahaan asuransi sekembali di tanah air.
Tak kalah penting dari proteksi diri, lindungi juga biaya tiket pesawat atau pesanan hotel dengan cara sama. Dengan demikian jika terjadi hal-hal tak diinginkan seperti pembatalan sepihak atau lainnya, kita tidak kehilangan uang karena akan diganti oleh asuransi.
Oya, asuransi tak hanya untuk keperluan proteksi diri lho. Seperti dijelaskan perwakilan SunLife Indonesia, Bapak Ahmad Emir Farabi, kita bisa memanfaatkan produk-produk asuransi untuk merencanakan liburan impian. Untuk itu SunLife Financial menyediakan layanan Bright Advisor yang dapat diakses melalui www.brightadvisor.co.id.
Bright Advisor adalah web yang dikhususkan sebagai tempat bertanya seputar asuransi jiwa, kesehatan, pendidikan, investasi, dan perencanaan keuangan. Di web ini kita dapat menanyakan berbagai hal terkait asuransi, utamanya produk-produk SunLife Financial. Setiap pertanyaan akan dijawab oleh staf SunLife Indonesia dalam waktu maksimal 2x24 jam.
Sebelum mengajukan pertanyaan, kita juga bisa mengakses pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pengguna sebelumnya. Di sana terdapat pula jawaban dari staf SunLife Indonesia, sehingga dapat dijadikan referensi atau justru menjawab pertanyaan yang tadinya hendak kita ajukan. Kalau penjelasan tersebut masih belum jelas, ya tinggal bertanya saja.
Berita baiknya, portal Bright Advisor terbuka untuk umum. Kita dapat memanfaatkan semua fitur yang disediakan tanpa harus menjadi nasabah SunLife Financial terlebih dahulu. Layanannya juga gratis tis, tanpa sepeser pun biaya.
Sebagai salah satu perusahaan asuransi terbesar dunia, SunLife Financial menawarkan banyak program untuk proteksi diri, perlindungan kesehatan, dana pendidikan, serta dana pensiun. Bapak Farabi sendiri menganjurkan produk Single Pay bagi yang ingin mewujudkan liburan impian. Dengan produk ini kita bisa membayar asuransi perjalanan dalam periode tertentu dan besarnya menyesuaikan kebutuhan masing-masing.
So, ketimbang terjerat utang dan dikejar cicilan, lebih baik bersabar diri menabung beberapa saat agar biaya traveling dapat dibayar lunas sehingga lebih menyenangkan.
Ayo wujudkan liburan terbaikmu!
 
  
        Published on September 05, 2016 08:30
    
September 4, 2016
Tenggelam di Sungai Serayu

MATAHARI tepat berada di atas ubun-ubun saat saya meloncat turun dari bus jurusan Purbalingga-Wonosobo. Alun-alun Banjarnegara sangat ramai. Orang-orang berseragam PNS, anak-anak sekolah, juga masyarakat umum berseliweran di seputaran alun-alun.
Saya lihat jam di handphone. Jam 12 kurang seperempat. Sudah masuk waktu Dzuhur. Suara iqamah sayup-sayup terdengar dari masjid yang menaranya terlihat dari jalan tempat saya turun. Saya pun melangkahkan kaki ke masjid, yang belakangan saya ketahui bernama Masjid An-Nuur atau oleh penduduk setempat disebut sebagai Masjid Kauman.
Jalan di seputaran alun-alun padat oleh sepeda motor yang diparkir. Saya musti mencari celah di antara kendaraan-kendaraan roda dua tersebut. Sampai di halaman masjid, lautan sepeda motor kembali saya temui. Penuh sekali! Saya tak bisa membayangkan bagaimana caranya pemilik sepeda motor yang kendaraannya diparkir paling depan keluar dari halaman masjid.
Saya sendiri langsung menghampiri tukang parkir yang tengah memindah sepeda motor. "Toilet di mana, Pak?" tanya saja. "Masuk saja, belok kiri," jawabnya singkat sembari membawa sepeda motor ke bagian lain halaman masjid.
Masuk ke dalam, serambi masjid juga penuh oleh orang. Sebagian duduk-duduk sembari menatap layar hape, beberapa yang lain rebahan di lantai marmer, ada pula yang merapikan pakaian. Di bagian lain terlihat ibu-ibu muda melipat mukena. Anak-anak paling ramai, berceloteh satu sama lain membuat suasana masjid riuh-rendah.
Mata saya mencari-cari tulisan penunjuk ke kamar kecil. Benar kata Pak Parkir tadi, di sebelah kiri serambi masjid terdapat pintu kecil. Di sana terdapat jejeran kran tempat wudhu. Saya masih harus berjalan menuruni tangga untuk menuju ke kamar kecil. Lalu antri beberapa saat sebelum mendapatkan giliran melepas hajat buang air kecil. Hehehehe...
Selepas menunaikan salat Dzuhur di bagian dalam masjid, saya coba menggali informasi dari seorang pria berpakaian PNS. Keterangan yang saya dapat, acara kirab budaya peringatan Hari Jadi Kabupaten Banjarnegara sudah usai. Itulah sebabnya orang-orang mulai bergerak meninggalkan alun-alun. Hiburan rakyat berupa kuda lumping dan wayang kulit baru akan digelar sore hari.

Oya, Senin (22/8/2016) itu saya ke Banjarnegara untuk memenuhi undangan mendadak dari penyelenggara lomba blog Mayuh Plesir Maring Banjarnegara. Disebut mendadak karena undangan diumumkan di web Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banjarnegara pada 19 Agustus, dan kami diminta datang tanggal 21 Agustus. Tak ada pemberitahuan via email maupun telepon, hanya undangan terbuka di web.
Saya sendiri baru tahu mengenai undangan ini pada 21 Agustus sore. Itupun setelah dikabari oleh blogger lain, Mas Amir Mahmud , melalui Facebook. Rupanya kami sama-sama masuk 10 besar dalam lomba tersebut. Panitia sebenarnya mengundang 20 besar, tapi yang datang hanya tujuh blogger yang masuk 10 besar. Salah satunya saya.
Pinggir Kali Serayu
Karena acara kirab budaya sudah usai, besar kemungkinan rombongan blogger yang tiba lebih dahulu juga sudah meninggalkan lokasi acara. Saya merogoh handphone di saku dan menghubungi nomor contact person yang tertera di web Disbudpar Banjarnegara. Untunglah, ternyata mobil yang membawa rombongan blogger masih ada di sekitaran alun-alun.
"Tunggu saja di masjid, Mas. Nanti kami jemput," kata suara di seberang telepon.
Saya menurut. Agar mudah ditemukan, saya bergeser ke bawah menara masjid. Area ini jauh lebih lengang dari tempat lain di Masjid An-Nuur. Setelah menunggu sejenak sembari merekam suasana alun-alun, dua orang datang menghampiri saya. Yang seorang kemudian kami panggil Pak Bonar, satunya lagi Mas Nur.
Fix, saya benar-benar melewatkan acara inti dari peringatan Hari Jadi Kabupaten Banjarnegara ke-185. Tapi setelah mendengar cerita kawan-kawan blogger yang diminta ikut arak-arakan berjalan kaki sejauh beberapa kilometer, diam-diam saya merasa bersyukur. Hihihi...
Dalam perjalanan menuju penginapan saya berkenalan dengan blogger-blogger lain. Saya duduk tepat berselahan dengan Mas Amir yang nekat datang naik sepeda motor dari Kebumen meski tak punya SIM C. Mobil penuh sesak. Ada sembilan penumpang plus satu sopir dari seharusnya hanya berkapasitas 6-7 orang.
Kurang-lebih 10 menit perjalanan tibalah kami di The Pikas Resort. Di penginapan berkonsep bungalow alami inilah kami akan beristirahat malam itu. Lokasinya persis berada di sebelah Sungai Serayu. Nama "Pikas" sendiri menurut cerita Pak Bonar merupakan singkatan dari "pinggir Kali Serayu."
Acara berikutnya adalah rafting, arung jeram menyusuri Sungai Serayu. Sebelum itu kami diajak makan siang. Restorannya masih di dalam area The Pikas Resort, jadi kami hanya perlu jalan kaki beberapa menit dari penginapan. Menunya sengaja dipilih yang tidak terlalu mengenyangkan, sebab seusai rafting akan langsung makan lagi. Jadilah kami disuguhi mi goreng.

Dari restoran ke tempat pemberangkatan menuju lokasi start arung jeram juga tak jauh. Lokasi kedua tempat malah saling berhadap-hadapan. Inilah istimewanya The Pikas Resort. Bukan sekedar tempat penginapan dan makan, tapi juga cocok untuk menguji adrenalin bagi penyuka wisata petualangan. Selain rafting, di tempat ini juga tersedia area khusus paint ball.
Sebelum berangkat kami diminta memakai pelampung dan helm. Masing-masing peserta juga dibekali dengan sebuah dayung, plus sebotol sedang air mineral. Saya sempat heran, mau main air di sungai kok dibawain air minum ya? Keheranan ini terjawab saat sudah berada di atas perahu karet.
Sebuah mobil Suzuki Carry yang sudah dimodifikasi sedemikian rupa membawa kami ke Desa Bojanegara di Kecamatan Sigaluh. Jaraknya kira-kira 15 km dari alun-alun Banjarnagera, atau sekitar 13-14 km dari The Pikas Resort. Dari sinilah petualangan kami menyusuri Sungai Serayu dimulai.
Sesampai di starting point, salah seorang pemandu bernama Mas Manto memberi briefing. Mulai dari cara mengenakan helm yang benar, cara memegang dayung, sampai tindakan-tindakan dalam kondisi darurat semisal tercebur ke sungai, dan lain-lain. Dari sekian panjang uraian Mas Manto, satu hal yang paling saya ingat adalah: jangan panik.
Well, ini merupakan pengalaman pertama saya melakukan arung jeram. Meski bisa berenang, tapi saya belum pernah berenang di sungai berarus deras seperti Serayu. Sebagai gambaran, sungai ini biasa digunakan menggelar lomba arung jeram tingkat nasional dan internasional. Artinya, level kesulitan berarung jeram di Sungai Serayu tergolong tinggi. Sedangkan saya seorang pemula!
Tenggelam dan Ditenggelamkan
Untungnya Sungai Serayu tengah surut siang itu. Airnya tidak terlalu dalam, sehingga arusnya tidak sederas saat debit air sedang tinggi. Seorang blogger yang seperahu dengan saya sempat bertanya berapa kedalaman sungai. Cuma saya tidak ingat jawaban Mas Manto.
Rombongan tujuh blogger ditambah Mas Nur dibagi ke dalam dua perahu. Saya di perahu biru bersama Mas Nur, Hendi Setiyanto , Faizhal Arif Santosa , dan Mas Manto sebagai pemandu. Di perahu kuning ada Mas Arif Saefudin , Mas Amir, Mas Muh. Zia Ulkhaq , dan Muhammad Razin Mufadhol yang masih duduk di bangku SMA. Saya kok lupa siapa nama pemandu perahu kuning. Padahal sudah disebutkan namanya oleh Mas Manto saat briefing.



Petualangan kami berawal dengan baik. Beberapa jeram di awal-awal perjalanan sukses dilalui tanpa kesulitan. Mas Manto menerangkan nama-nama tiap jeram dan asal-usul nama tersebut jika ada. Dari sekian nama jeram yang kami lalui, saya cuma ingat Jeram Panjang karena memang paling panjang.
Entah di jeram mana, perahu karet terbanting dan menghantam batu karang di tepi sungai. Tubuh saya terguncang keras, kaki lepas dari sela-sela bantalan perahu dan terangkat ke atas, sehingga saya terbalik masuk ke sungai. Byur!
Saya tidak ingat detil kejadiannya. Yang saya tahu sekujur tubuh saya basah, arus sungai menyeret saya entah kemana. Saya kontan panik. Lupa sama sekali kalau saya memakai pelampung. Saya menggerak-gerakkan kaki dan tangan berusaha tetap mengapung. Setelah menoleh ke sekeliling, terlihat posisi perahu karet yang sudah meninggalkan saya.
Saya beruntung seperahu dengan Hendi, blogger asli Banjarnegara yang sudah berkali-kali mengarungi jeram Sungai Serayu. Sigap Hendi menyodorkan pangkal dayungnya pada saya. Percobaan pertama gagal, saya tak bisa meraih dayung. Baru pada percobaan kedua saya sukses menangkap pangkal dayung. Hendi menarik saya mendekati perahu karet.
"Jangan panik, jangan panik!" serunya begitu tubuh saya merapat di perahu karet. Berdua dengan Mas Nur ia memegangi pelampung saya, coba mengangkat saya ke atas perahu. Lagi-lagi percobaan pertama gagal. Saya yang masih setengah panik lupa pada briefing Mas Manto sebelum kami memulai petualangan. Seharusnya pada situasi seperti itu kedua tangan saya memegangi pelampung agar tak tertarik ke atas dan lepas.
Barulah setelah Hendi mengingatkan, saya memegangi pelampung. Tapi tetap saja usahanya menarik saya dari air gagal. Bisa jadi karena badan saya terlalu berat untuknya. Hahaha. Mas Manto turun tangan. Dengan teknik teh celup ia sukses mengangkat saya ke atas perahu. Leganya...
Perjalanan dilanjutkan. Selama beberapa detik saya masih agak shock. Beberapa jeram lagi berhasil kami lewati dengan baik, hanya saja tubuh kami jadi basah kuyup. Mas Nur entah berapa kali meminum air sungai yang menciprat masuk ke dalam perahu karet kami.
Di sebuah bagian sungai yang tenang, Mas Manto berulah. Dengan dalih mempraktikkan briefing-nya ia meminta kami semua bergeser ke sisi kiri perahu dan melakukan dayung mundur. Awalnya tak terjadi apa-apa. Dayung mundur membuat perahu berbalik arah. Sampai kemudian saya sadar beban yang terpusat hanya di satu sisi bisa membuat perahu terbalik.
Benar saja. Setelah beberapa kali mendayung mundur, perahu terbalik sehingga kami semua tercebur ke dalam sungai. Karena kami tadi ada di sisi kiri perahu dan arah tenggelamnya ke kiri, kami semua tenggelam di bawah perahu karet. Beruntung di bagian tersebut arus lebih tenang, sehingga kami tak terseret.




Perhatikan foto paling atas. Di sana terlihat bagaimana Mas Manto menarik bagian kanan perahu. Karena semua beban tertumpu di sebelah kiri, perahu dengan mudah terbalik dan kami semua tercebur ke sungai. Lihat juga bagaimana Mas Manto tersenyum sembari melihat ke kamera di atas jembatan sesaat sebelum perahu terbalik. Dasar!
Selesai? Belum. Di satu jeram berbatu-batu besar Mas Manto kembali memainkan triknya. Alih-alih menghindari batu besar di depan, ia malah mengajak kami menabrakkan perahu karet ke batu tersebut. Dibantu arus sungai, perahu sukses tersangkut di atas batu. Mandeg, tidak bisa bergerak kecuali ke samping. Lalu dorongan arus dari belakang membuat perahu terbalik. Kami semua tumpah ke dalam sungai.
Berbeda dengan saat ditenggelamkan sebelumnya, kali ini tubuh kami disambut arus deras dan batu-batu besar. Kami terseret beberapa meter ke depan. Kaki saya beberapa kali terantuk batu. Tim pemandu baru bisa menaikkan kami ke atas perahu setelah berada di bagian sungai yang arusnya lebih tenang.
Kali ini saya yang lebih dulu diselamatkan tim pemandu ke atas perahu. Karena sudah dua kali tercebur, pada kali ketiga tersebut saya sudah lebih tenang. Begitu jatuh ke air saya segera berusaha naik lagi ke permukaan, mencari lokasi perahu. Hal pertama yang saya tanyakan kepada Mas Manto adalah, "Yang lain di mana?"
Mas Nur saya lihat berada di perahu kuning. Kedua perahu lalu didekatkan agar Mas Nur bisa pindah ke perahu biru. Hendi berada jauh dari perahu, sehingga Mas Manto melempar tali untuk menariknya. Yang paling terakhir diangkat Mas Faizhal. Ia ditemukan oleh dua pemandu lain yang memakai kano, dan ditahan di pinggiran sungai sampai perahu karet mendekat.
Malam Penuh Anugerah
Setelah mengarungi Sungai Serayu selama sekitar 2,5 jam sampailah kami di garis finish. Begitu melewati jembatan di dekat The Pikas Resort, perahu merapat ke tepian sungai. Kami turun satu-satu, mengakhiri petualangan seru siang itu.
Begitu menjejak tanah barulah terasa lelahnya luar biasa. Juga haus dan sedikit lapar. Botol air minum kami hanyut saat tenggelam di jeram tadi. Karenanya sebutir kelapa muda yang disediakan operator langsung habis saya lahap. Begitu juga mendoan yang disajikan setelahnya. Lumayan untuk mengganjal perut sebelum tiba jam makan malam nanti.
Setelah bergantian mandi, kami kembali dibawa ke restoran untuk makan malam sembari bercengkrama. Rasa lapar membuat kami makan begitu lahap. Saya sendiri habis banyak sekali, Mas Arif malah sampai nambah lagi.
Acara selanjutnya adalah menghadiri resepsi Hari Jadi Kabupaten Banjarnegara ke-185 di Pendopo Dipayudha Adigraha. Ini acara resmi yang dihadiri Bupati Sutedjo Slamet Utomo, Wakil Bupati Hadi Supeno, serta seluruh pejabat tinggi kabupaten. Karenanya kami diminta memakai kemeja dan sepatu. Sayangnya, saya tidak terbiasa pakai sepatu.
Selepas salat Isya, jemputan yang akan membawa kami ke Pendopo Kabupaten datang. Jalanan sepi, dan sopir memacu mobil dengan kencang, sehingga tak sampai 10 menit kemudian kami sudah sampai tujuan. Lagu Cinta Mulia milik Koes Plus menyambut kami begitu turun dari mobil.
Oya, satu kejutan tak terduga saya dapat saat dalam perjalanan menuju pendopo. Dari Mas Arif dan Mas Zia, saya diberi tahu kalau menjadi Juara III dalam lomba blog Mayuh Plesir Maring Banjarnegara. Benar-benar kejutan karena saya tak mengira bakal masuk daftar pemenang. Ya meskipun harus diakui sempat berharap begitu sih.
Mas Arif sendiri terpilih sebagai Juara I, dan Mas Amir Juara II. Ada juga penghargaan Desain Blog Terbaik yang didapat Muhammad Razin, dan Penulis Blog Terbaik untuk Faizhal. Sayangnya Lucky Caesar Direstiyani yang meraih gelar Juara Favorit tidak bisa datang malam itu. (Baca juga: Pengumuman Pemenang Lomba Menulis Blog "Mayuh Plesir Maring Banjarnegara")
Informasi tersebut menjawab keheranan saya kenapa Pak Bonar sampai berniat meminjamkan sepatu pada sore harinya. Rupanya sebagai salah satu pemenang saya akan dipanggil ke depan untuk menerima hadiah dari bupati. Tapi karena bukan cuma saya yang tidak pakai sepatu, akhirnya Pak Bonar tak jadi meminjamkan sepatunya.
Segera saja saya mengabarkan berita baik itu pada istri lewat SMS. Dalam balasannya istri saya memberi ucapan selamat seraya mengatakan, "Selamat menikmati malam penuh anugerah ya, Bi." Senangnya...
Begitulah. Malam itu ditutup dengan penuh kebahagiaan untuk saya. Nama saya disebut di pendopo kabupaten, di hadapan pejabat-pejabat tinggi Banjarnegara, lalu hadiah saya terima langsung dari Bupati Sutedjo Slamet Utomo. Dari sekian lomba yang diadakan dalam rangka peringatan Hari Jadi Kabupaten Banjarnegara ke-185, hanya lomba blog yang hadiahnya diserahkan oleh Bupati.
Benar-benar pengalaman tak terlupakan.
 
  
        Published on September 04, 2016 07:01
    
August 23, 2016
Pengalaman Serba Pertama di Lampung
      RABU pagi ini saya berangkat ke Lampung. Berkat memenangkan lomba blog Sunpride, saya bersama beberapa blogger lain dibawa berkunjung ke kebun buah Nusantara Tropical Farm di kawasan Way Kambas, Lampung Timur. Perjalanan ini akan jadi kali pertama saya mendatangi propinsi paling selatan Pulau Sumatera tersebut.
"Jadi, ceritanya Bung Eko belum pernah ke Lampung nih?"
Ini pertanyaan susah-susah gampang dijawab. Entah berapa kali saya melintasi Lampung sejak tahun 2000, tahun ketika saya pergi merantau ke Jogja untuk menuntut ilmu. Tapi benar-benar hanya melintas saja.
Dari Jambi atau Palembang, saya biasa menumpang bus Ramayana atau Putra Remaja menuju ke Jogja. Jaman itu Kabupaten Ogan Komering Ulu di Sumatera Selatan masih berbatasan langsung dengan Kabupaten Tulang Bawang di Lampung. Biasanya bus memasuki Tulang Bawang rembang petang. Lalu pagi-pagi buta sampai di Bakauheuni, sebelum menyeberang ke Pulau Jawa.
Pernah sih saya menginap semalam di Lampung. Tapi statusnya tetap saja melintas, numpang lewat. Itu terjadi di tahun 2007, sewaktu saya nebeng seorang paman yang hendak menjenguk anaknya di Lampung. Saya dan paman bertemu di rumah Simbah di Palembang, lalu saya diajak ke rumah paman di Pendopo, Kab. PALI.
Ketika paman dan bibi ke Lampung untuk menjenguk anaknya yang sekolah di sana, saya ikut. Lumayan nebeng sampai Lampung, hemat ongkos. Hehehe. Sampai di Lampung jelang magrib, menginap semalam, lalu keesokan harinya saya sudah berada di dalam bus AKAP menuju Jogja. Lagi-lagi, hanya numpang lewat.
 FOTO: Panoramio.com
FOTO: Panoramio.com
Rajabasa dan Bakauheni
Karena bolak-balik cuma numpang lewat, referensi saya soal Lampung hanya dari cerita orang dan baca sana-sini. Semasa tinggal di Batumarta VI, saya menemukan bertumpuk-tumpuk koran Lampung Post di rumah dinas bibi yang seorang bidan desa. Dokter yang pernah menempati rumah dinas tersebut rupanya pelanggan Lampung Post.
Itulah perkenalan pertama saya dengan Lampung. Berhari-hari saya habiskan untuk membaca eksemplar demi eksemplar Lampung Post tersebut sebelum berpindah tangan ke tukang loak. Tapi saking banyaknya koran yang dibaca, saya tak ingat apapun isi koran itu kecuali berita kaburnya Eddy Tansil dari penjara dan serial silat karangan Asmaraman S. Kho Ping Hoo.
Saya lebih mengenal Lampung semenjak kuliah di Jogja. Ya, gara-gara melintas saat berangkat dari atau pulang ke Jambi. Saya jadi tahu di Lampung ada satu terminal bus besar dan terkenal bernama Terminal Rajabasa. Salah satu terminal terbesar dan tersibuk di Sumatera. Mau cari bus jurusan mana saja ke Sumatera dan Pulau Jawa sampai Bali, semua ada di terminal ini.
 FOTO: jejakrodakecil.comRupanya nama terminal ini diambil dari nama Gunung Rajabasa, sebuah gunung berapi aktif dengan ketinggian 1.282 mdpl di wilayah Lampung Selatan. Danau besar di puncak gunung menandakan Gunung Rajabasa pernah erupsi dahsyat. Hanya saja tidak diketahui pasti kapan peristiwa tersebut terjadi.
FOTO: jejakrodakecil.comRupanya nama terminal ini diambil dari nama Gunung Rajabasa, sebuah gunung berapi aktif dengan ketinggian 1.282 mdpl di wilayah Lampung Selatan. Danau besar di puncak gunung menandakan Gunung Rajabasa pernah erupsi dahsyat. Hanya saja tidak diketahui pasti kapan peristiwa tersebut terjadi.
Selain Terminal Rajabasa, Lampung juga punya Pelabuhan Bakauheni yang merupakan gerbang utama Pulau Sumatera dari Jawa. Pelabuhan ini tak akan pernah terlupakan karena di sinilah saya pertama kali naik kapal laut. Juga pertama kali saya melihat lautan luas!
Saya masih ingat betul hari itu, suatu Subuh di bulan Juni 2000. Bus Ramayana yang saya tumpangi masuk pelabuhan saat langit masih gelap. Adzan Subuh belum lama berkumandang. Mata saya tak berkedip sedikit pun ketika bus masuk ke dalam lambung kapal. Kesibukan petugas mengatur bus dan truk, suara bising mesin kendaraan, berikut aroma khas lambung kapal, semuanya masih terekam jelas dalam memori.
Ketika feri mulai bergerak meninggalkan Pulau Sumatera saya tak henti-hentinya memandang lautan dengan takjub. Sepanjang dua jam saya terus berdiri di sisi kapal, melihat pulau-pulau kecil di sekitar pelabuhan sembari berpegangan pagar besi. Udara pagi nan sejuk bercampur uap garam saya hirup pelan-pelan dengan perasaan bahagia.
Sejak 2005, bertepatan dengan berdirinya Monumen Siger, saya lebih suka mudik ke Jambi lewat jalur udara karena alasan menghemat waktu. Jalur mudik berubah. Naik kereta atau travel ke Jakarta, lalu dilanjutkan pesawat ke Jambi. Terlebih semenjak mempunyai anak, saya tak pernah lagi menjenguk orang tua naik bus.
Rupanya ada rasa rindu setelah bertahun-tahun tak melewati Bakauheni dan naik kapal feri. Karenanya momentum pernikahan adik di Jambi pada November 2015 saya manfaatkan untuk mengulang kembali kenangan masa kuliah. Berangkat naik pesawat, pulangnya saya ajak anak-istri naik bus supaya bisa naik kapal dan menikmati suasana Selat Sunda nan syahdu.
Berikut rekaman video kami naik kapal feri dari Bakauheni yang saya unggah di channel YouTube anak-anak.
Way Kambas dan Pantai Marina
Selain Rajabasa dan Bakauheni, ada dua tempat lagi yang akrab di telinga saya: Way Kambas dan Pantai Marina. Maklum, dua tempat tersebut masa-masa itu merupakan obyek wisata andalan Lampung. Saya sendiri belum pernah ke Way Kambas maupun Pantai Marina. Lagi-lagi, saya hanya dengar cerita dari mereka-mereka yang pernah pelesiran ke sana.
Kalau saya tak salah ingat, nama Way Kambas tercantum dalam buku pelajaran sekolah. Cuma saya lupa persisnya pelajaran apa dan di kelas berapa. Yang masih saya ingat, di Way Kambas ada Pusat Latihan Gajah yang lebih dikenal sebagai sebutan sekolah gajah. Waktu itu merupakan satu-satunya di Indonesia.
Way Kambas sendiri sebenarnya taman nasional atau hutan lindung. Luas kawasan Taman Nasional Way Kambas sekitar 126.000 hektar. Inilah taman nasional tertua di Indonesia. Dibuat untuk melindungi berbagai satwa liar Sumatera yang terancam punah. Selain gajah, di sini juga ada harimau dan badak Sumatera.
Di sekolah gajah Way Kambas, gajah-gajah liar dilatih menjadi gajah jinak sehingga dapat diberdayakan untuk berbagai keperluan. Misalnya gajah tunggang, gajah sirkus, sampai bermain sepakbola sebagai hiburan.
Saya masih penasaran sama sepakbola gajah ini. Sejak dulu ingin sekali menyaksikan langsung pertandingannya. Saya ingin tahu sebesar apa bola yang dipakai bermain sepakbola oleh gajah-gajah cerdas ini.
Beruntungnya saya. Dalam agenda kunjungan ke Lampung ini ada rencana ke Way Kambas. Kebun buah Nusantara Tropical Farm yang akan kami kunjungi letaknya tak jauh dari taman nasional tersebut. Mudah-mudahan saja ada pertunjukan sepakbola gajah saat kami di sana. Amin.
 FOTO: ANTARA FOTO/Ampelsa
FOTO: ANTARA FOTO/Ampelsa
Oya, kalau sempat saya mau usul ke pembina sepakbola gajah di Way Kambas untuk menantang tim gajah Thailand. Hehehe...
Terkait Pantai Marina, saya dapat cerita dari adik yang pernah ikut keluarga pakde berwisata ke sana. Adik saya dengan bangga menceritakan pengalamannya bermain-main dengan ombak dan pasir pantai. Waktu itu saya masih SMA dan adik saya SMP. Kejadiannya antara tahun 1999 atau 2000, saya tak ingat persisnya.
Selain Ibu yang lahir dan dibesarkan di pesisir utara Jawa Timur, tak seorang pun dari keluarga kami pernah melihat laut dan pantai. Jadilah adik saya orang pertama di keluarga kami yang berwisata ke pantai. Dan Pantai Marina jadi pantai pertama yang masuk dalam memori saya.
Jadi, sampai dengan tahun 2000 saat berangkat ke Jogja untuk kuliah, Lampung telah memberikan begitu banyak kenangan pertama bagi saya. Berikut beberapa yang paling berkesan:
- Pertama kali meninggalkan Pulau Sumatera, melalui Lampung.
- Pertama kali melihat dan naik kapal laut di Pelabuhan Bakauheni.
- Pertama kali melihat dan menyeberangi lautan, yaitu Selat Sunda, dari Pelabuhan Bakauheni.
- Pertama kali diceritai tentang serunya bermain di pantai, dengan Pantai Marina sebagai obyeknya.
Dan, kunjungan ke kebun buah Nusantara Tropical Farm bersama Sunpride ini adalah kali pertama saya dengan sengaja berkunjung ke Lampung. Bukan sekedar numpang lewat seperti masa-masa kuliah dulu.
Tunggu cerita perjalanan saya selama di tanah Sang Bumi Ruwa Jurai ya...
 
  
    
    
    "Jadi, ceritanya Bung Eko belum pernah ke Lampung nih?"
Ini pertanyaan susah-susah gampang dijawab. Entah berapa kali saya melintasi Lampung sejak tahun 2000, tahun ketika saya pergi merantau ke Jogja untuk menuntut ilmu. Tapi benar-benar hanya melintas saja.
Dari Jambi atau Palembang, saya biasa menumpang bus Ramayana atau Putra Remaja menuju ke Jogja. Jaman itu Kabupaten Ogan Komering Ulu di Sumatera Selatan masih berbatasan langsung dengan Kabupaten Tulang Bawang di Lampung. Biasanya bus memasuki Tulang Bawang rembang petang. Lalu pagi-pagi buta sampai di Bakauheuni, sebelum menyeberang ke Pulau Jawa.
Pernah sih saya menginap semalam di Lampung. Tapi statusnya tetap saja melintas, numpang lewat. Itu terjadi di tahun 2007, sewaktu saya nebeng seorang paman yang hendak menjenguk anaknya di Lampung. Saya dan paman bertemu di rumah Simbah di Palembang, lalu saya diajak ke rumah paman di Pendopo, Kab. PALI.
Ketika paman dan bibi ke Lampung untuk menjenguk anaknya yang sekolah di sana, saya ikut. Lumayan nebeng sampai Lampung, hemat ongkos. Hehehe. Sampai di Lampung jelang magrib, menginap semalam, lalu keesokan harinya saya sudah berada di dalam bus AKAP menuju Jogja. Lagi-lagi, hanya numpang lewat.
 FOTO: Panoramio.com
FOTO: Panoramio.comRajabasa dan Bakauheni
Karena bolak-balik cuma numpang lewat, referensi saya soal Lampung hanya dari cerita orang dan baca sana-sini. Semasa tinggal di Batumarta VI, saya menemukan bertumpuk-tumpuk koran Lampung Post di rumah dinas bibi yang seorang bidan desa. Dokter yang pernah menempati rumah dinas tersebut rupanya pelanggan Lampung Post.
Itulah perkenalan pertama saya dengan Lampung. Berhari-hari saya habiskan untuk membaca eksemplar demi eksemplar Lampung Post tersebut sebelum berpindah tangan ke tukang loak. Tapi saking banyaknya koran yang dibaca, saya tak ingat apapun isi koran itu kecuali berita kaburnya Eddy Tansil dari penjara dan serial silat karangan Asmaraman S. Kho Ping Hoo.
Saya lebih mengenal Lampung semenjak kuliah di Jogja. Ya, gara-gara melintas saat berangkat dari atau pulang ke Jambi. Saya jadi tahu di Lampung ada satu terminal bus besar dan terkenal bernama Terminal Rajabasa. Salah satu terminal terbesar dan tersibuk di Sumatera. Mau cari bus jurusan mana saja ke Sumatera dan Pulau Jawa sampai Bali, semua ada di terminal ini.
 FOTO: jejakrodakecil.comRupanya nama terminal ini diambil dari nama Gunung Rajabasa, sebuah gunung berapi aktif dengan ketinggian 1.282 mdpl di wilayah Lampung Selatan. Danau besar di puncak gunung menandakan Gunung Rajabasa pernah erupsi dahsyat. Hanya saja tidak diketahui pasti kapan peristiwa tersebut terjadi.
FOTO: jejakrodakecil.comRupanya nama terminal ini diambil dari nama Gunung Rajabasa, sebuah gunung berapi aktif dengan ketinggian 1.282 mdpl di wilayah Lampung Selatan. Danau besar di puncak gunung menandakan Gunung Rajabasa pernah erupsi dahsyat. Hanya saja tidak diketahui pasti kapan peristiwa tersebut terjadi.Selain Terminal Rajabasa, Lampung juga punya Pelabuhan Bakauheni yang merupakan gerbang utama Pulau Sumatera dari Jawa. Pelabuhan ini tak akan pernah terlupakan karena di sinilah saya pertama kali naik kapal laut. Juga pertama kali saya melihat lautan luas!
Saya masih ingat betul hari itu, suatu Subuh di bulan Juni 2000. Bus Ramayana yang saya tumpangi masuk pelabuhan saat langit masih gelap. Adzan Subuh belum lama berkumandang. Mata saya tak berkedip sedikit pun ketika bus masuk ke dalam lambung kapal. Kesibukan petugas mengatur bus dan truk, suara bising mesin kendaraan, berikut aroma khas lambung kapal, semuanya masih terekam jelas dalam memori.
Ketika feri mulai bergerak meninggalkan Pulau Sumatera saya tak henti-hentinya memandang lautan dengan takjub. Sepanjang dua jam saya terus berdiri di sisi kapal, melihat pulau-pulau kecil di sekitar pelabuhan sembari berpegangan pagar besi. Udara pagi nan sejuk bercampur uap garam saya hirup pelan-pelan dengan perasaan bahagia.
Sejak 2005, bertepatan dengan berdirinya Monumen Siger, saya lebih suka mudik ke Jambi lewat jalur udara karena alasan menghemat waktu. Jalur mudik berubah. Naik kereta atau travel ke Jakarta, lalu dilanjutkan pesawat ke Jambi. Terlebih semenjak mempunyai anak, saya tak pernah lagi menjenguk orang tua naik bus.
Rupanya ada rasa rindu setelah bertahun-tahun tak melewati Bakauheni dan naik kapal feri. Karenanya momentum pernikahan adik di Jambi pada November 2015 saya manfaatkan untuk mengulang kembali kenangan masa kuliah. Berangkat naik pesawat, pulangnya saya ajak anak-istri naik bus supaya bisa naik kapal dan menikmati suasana Selat Sunda nan syahdu.
Berikut rekaman video kami naik kapal feri dari Bakauheni yang saya unggah di channel YouTube anak-anak.
Way Kambas dan Pantai Marina
Selain Rajabasa dan Bakauheni, ada dua tempat lagi yang akrab di telinga saya: Way Kambas dan Pantai Marina. Maklum, dua tempat tersebut masa-masa itu merupakan obyek wisata andalan Lampung. Saya sendiri belum pernah ke Way Kambas maupun Pantai Marina. Lagi-lagi, saya hanya dengar cerita dari mereka-mereka yang pernah pelesiran ke sana.
Kalau saya tak salah ingat, nama Way Kambas tercantum dalam buku pelajaran sekolah. Cuma saya lupa persisnya pelajaran apa dan di kelas berapa. Yang masih saya ingat, di Way Kambas ada Pusat Latihan Gajah yang lebih dikenal sebagai sebutan sekolah gajah. Waktu itu merupakan satu-satunya di Indonesia.
Way Kambas sendiri sebenarnya taman nasional atau hutan lindung. Luas kawasan Taman Nasional Way Kambas sekitar 126.000 hektar. Inilah taman nasional tertua di Indonesia. Dibuat untuk melindungi berbagai satwa liar Sumatera yang terancam punah. Selain gajah, di sini juga ada harimau dan badak Sumatera.
Di sekolah gajah Way Kambas, gajah-gajah liar dilatih menjadi gajah jinak sehingga dapat diberdayakan untuk berbagai keperluan. Misalnya gajah tunggang, gajah sirkus, sampai bermain sepakbola sebagai hiburan.
Saya masih penasaran sama sepakbola gajah ini. Sejak dulu ingin sekali menyaksikan langsung pertandingannya. Saya ingin tahu sebesar apa bola yang dipakai bermain sepakbola oleh gajah-gajah cerdas ini.
Beruntungnya saya. Dalam agenda kunjungan ke Lampung ini ada rencana ke Way Kambas. Kebun buah Nusantara Tropical Farm yang akan kami kunjungi letaknya tak jauh dari taman nasional tersebut. Mudah-mudahan saja ada pertunjukan sepakbola gajah saat kami di sana. Amin.
 FOTO: ANTARA FOTO/Ampelsa
FOTO: ANTARA FOTO/AmpelsaOya, kalau sempat saya mau usul ke pembina sepakbola gajah di Way Kambas untuk menantang tim gajah Thailand. Hehehe...
Terkait Pantai Marina, saya dapat cerita dari adik yang pernah ikut keluarga pakde berwisata ke sana. Adik saya dengan bangga menceritakan pengalamannya bermain-main dengan ombak dan pasir pantai. Waktu itu saya masih SMA dan adik saya SMP. Kejadiannya antara tahun 1999 atau 2000, saya tak ingat persisnya.
Selain Ibu yang lahir dan dibesarkan di pesisir utara Jawa Timur, tak seorang pun dari keluarga kami pernah melihat laut dan pantai. Jadilah adik saya orang pertama di keluarga kami yang berwisata ke pantai. Dan Pantai Marina jadi pantai pertama yang masuk dalam memori saya.
Jadi, sampai dengan tahun 2000 saat berangkat ke Jogja untuk kuliah, Lampung telah memberikan begitu banyak kenangan pertama bagi saya. Berikut beberapa yang paling berkesan:
- Pertama kali meninggalkan Pulau Sumatera, melalui Lampung.
- Pertama kali melihat dan naik kapal laut di Pelabuhan Bakauheni.
- Pertama kali melihat dan menyeberangi lautan, yaitu Selat Sunda, dari Pelabuhan Bakauheni.
- Pertama kali diceritai tentang serunya bermain di pantai, dengan Pantai Marina sebagai obyeknya.
Dan, kunjungan ke kebun buah Nusantara Tropical Farm bersama Sunpride ini adalah kali pertama saya dengan sengaja berkunjung ke Lampung. Bukan sekedar numpang lewat seperti masa-masa kuliah dulu.
Tunggu cerita perjalanan saya selama di tanah Sang Bumi Ruwa Jurai ya...
 
  
        Published on August 23, 2016 14:30
    
August 21, 2016
Menelusuri Potensi Wisata Terpendam Lampung - The Treasure of Sumatera

KALAU ada propinsi yang bolak-balik saya lewati tapi tak pernah dikunjungi, maka itu adalah Lampung. Sejak tahun 2000, berkali-kali saya melintasi propinsi paling selatan di Pulau Sumatera ini. Tapi, ya itu tadi, tidak sekalipun saya pernah dengan sengaja berkunjung ke Lampung.
Semasa kuliah dan bekerja di Jogja, saya pasti melewati Lampung kalau mudik ke Jambi. Menggunakan bus Ramayana atau Putra Remaja, jalur lintas Sumatera manapun yang diambil ujung-ujungnya bakal tembus ke Pelabuhan Bakauheni di Lampung Selatan.
Karena hanya numpang lewat itulah saya cuma tahu dua tempat di Lampung. Dua-duanya berkaitan dengan perjalanan Jambi-Jogja. Selain Bakauheni, tempat kedua adalah Terminal Rajabasa di Bandar Lampung. Sebatas itulah pengetahuan saya tentang Lampung, propinsi yang awalnya sebuah karesidenan dalam propinsi Sumatera Selatan.
Meski demikian, Lampung meninggalkan banyak kenangan bagi saya. Sejumlah pengalaman serba pertama dalam kehidupan saya terjadi di sini. Berikut beberapa di antaranya:
- Pertama kali melihat pelabuhan, yakni Pelabuhan Penyeberangan Bakauheni.
- Pertama kali melihat lautan, yakni Selat Sunda dari sisi Sumatera.
- Pertama kali naik kapal laut, yakni feri penyeberangan Bakauheni-Merak.
- Pertama kali bepergian lintas pulau, yakni Sumatera-Jawa.
Tentu saya pernah berangan-angan mengunjungi Lampung. Masa iya hanya lewat-lewat saja. Kenapa tidak sekali-kali menjadikan Lampung sebagai tujuan? Tapi untuk apa? Apa yang menarik dari propinsi ini sehingga saya harus meluangkan waktu dan dana mengunjunginya?
Itu dulu yang membuat saya tak pernah melirik Lampung sebagai destinasi wisata pilihan. Dan kalau ada yang berpikiran seperti saya, kita sama-sama salah besar.
Menembus Tiga Besar
Pariwisata Lampung tengah bergeliat. Gubernur M. Ridho Ficardho baru saja mencanangkan daerahnya sebagai destinasi wisata internasional baru di Indonesia. Sosok yang saat dilantik berstatus sebagai gubernur termuda di Indonesia itu bertekad memasukkan Lampung dalam tiga besar pariwisata nasional.
Sebelum ini Lampung memang tampak tak terlalu serius menggarap sektor pariwisata. Tak banyak pemasukan daerah yang berasal dari pos ini. Namun belakangan situasi berbalik. Pariwisata terus digalakkan oleh pemerintah Lampung. Fasilitas dan prasarana diperbaiki serta ditingkatkan, diiringi dengan promosi tanpa henti demi mendatangkan pengunjung.
Hasilnya terlihat. Pada 2010 Lampung hanya dikunjungi 400.000 wisatawan. Dari jumlah tersebut, 10.000 di antaranya merupakan turis asing. Kebanyakan berasal dari Australia dan Selandia Baru.
 Pelabuhan Penyeberangan Bakauheni, pintu gerbang Lampung dan juga Pulau Sumatera.
Pelabuhan Penyeberangan Bakauheni, pintu gerbang Lampung dan juga Pulau Sumatera.Bandingkan dengan data terbaru yang dikeluarkan oleh Biro Pusat Statistik (BPS) Lampung. Sepanjang 2015 ada 5.370.803 orang mengunjungi propinsi ini, dengan 114.907 orang di antaranya turis asing. Hanya dalam tempo lima tahun terjadi peningkatan sangat signifikan dalam hal jumlah wisatawan. Lebih dari 10 kali lipat!
Perkembangan ini diikuti dengan meningkatnya pertumbuhan hotel. Mengutip sumber sama, jumlah hotel di Lampung pada 2015 meningkat sebesar 20% dari tahun sebelumnya. Angka-angka tersebut masih berpotensi naik, mengingat gebrakan yang terus dilakukan petinggi-petinggi daerah dalam menggenjot jumlah wisatawan.
Demi mencapai target tiga besar nasional, Gubernur Ridho Ficardho berguru langsung pada daerah tujuan wisata nomor satu di Indonesia: Bali. Mengambil tempat di Harris Hotel & Residence Bali, April 2016, Ridho "menjual" Lampung kepada stakeholder pariwisata level nasional dalam acara bertajuk "Lampung Tourism Business Meeting & Pameran Pariwisata Lampung 2016."
Tak berhenti sampai di situ. Dalam acara gala dinner bersama Gubernur Bali dan perwakilan biro-biro wisata, Ridho Ficardho tak segan-segan meminta tolong pada I Made Mangku Pastika agar mengajari supaya Lampung jadi daerah tujuan wisata internasional seperti Bali.
Sebuah kesungguhan yang patut diacungi jempol. Sebuah visi yang layak diapresiasi. Sebab Ridho Ficardho tak hanya memasang target sebagai destinasi wisata nasional, tapi internasional.
Potensi Wisata Terpendam
Langkah yang ditempuh Ridho Ficardho sangat tepat. Lampung punya potensi besar untuk berkembang sebagai destinasi wisata unggulan Indonesia di tingkat dunia. Kalaupun belum bisa bersaing dengan Bali dan Jogja, setidak-tidaknya propinsi satu ini bisa menjadi pesaing serius Lombok.
Ada banyak obyek wisata potensial yang bisa digarap di Lampung. Kalau dulu saya hanya tahu Taman Nasional Way Kambas dan Panti Marina, kini ada puluhan tempat wisata menarik yang siap dinikmati wisatawan. Travel blogger senior Yopie Franz Pangkey bahkan bisa menyusun daftar 40 Tempat Wisata Menarik di Lampung dalam blog pribadinya.
Ya, sebanyak itu. Bahkan bisa jadi jauh lebih banyak.
 Lumba-lumba di perairan Teluk Kiluan, Lampung. FOTO: LenteraTimur.com
Lumba-lumba di perairan Teluk Kiluan, Lampung. FOTO: LenteraTimur.com1. Pantai-Pantai Indah
Boleh dibilang Lampung mendapat bonus geografi. Berada di ujung selatan Pulau Sumatera, praktis hanya bagian utara Lampung yang tidak memiliki pantai. Selebihnya, propinsi ini dikelilingi laut sehingga memiliki garis pantai lumayan panjang.
Kalau dulu orang hanya tahu Pantai Marina atau Pantai Pasir Putih, kini Lampung punya banyak sekali pantai-pantai indah untuk memanjakan pengunjung. Berikut di antaranya:
- Merak Belantung alias Pantai Embe
- Pantai Mutun
- Pantai Wartawan
- Pantai Sari Ringgung
- Pantai Klapa Rapat (Klara)
- Pantai Tanjung Setia
- Pantai Mandiri
- Pantai Labuhan Jukung
- Pantai Tebakak
- Teluk Kiluan
Menariknya, masing-masing pantai mempunyai ciri khas masing-masing. Ambil contoh Pantai Tanjung Setia dan Pantai Mandiri yang banyak diminati peselancar dari dalam dan luar negeri karena ombaknya nan menantang. Kalau ingin melihat batu-batu besar di pantai, datangi Pantai Tebakak di kawasan Pesisir Barat.
Bagi yang sekedar ingin menikmati pasir putih dan suasana pantai nan syahdu, Pantai Pasir Putih, Pantai Sari Ringgung, atau Pantai Embe bisa jadi pilihan. Di Pantai Wartawan ada sumber mata air panas sebagai pesona tambahan. Ingin mencoba keseruan naik banana boat? Datang saja ke Pantai Mutun yang ada di Kabupaten Pesawaran, sekitar 16 km dari Bandar Lampung.
Wisata minat khusus juga mulai berkembang di Lampung. Mengikuti selancar air di Pantai Tanjung Setia dan Pantai Mandiri, kini wisatawan dapat melakukan snorkeling atau diving menikmati keindahan bawah laut.
Setidaknya ada dua titik snorkeling dan diving yang terkenal di Lampung. Pertama di dekat Pulau Kelagian dan Pulau Pahawang, lalu berikutnya di bawah laut Pulau Balak, Pulau Lok, dan Pulau Lunik. Tempat-tempat ini awalnya tak banyak dikenal, hingga kemudian ramai dikunjungi wisatawan dari daerah lain sejak 2015. Keberadaan media sosial sangat berperan di sini.
 Pulau Mengkudu dilihat dari atas bukit. FOTO: Tribun Lampung/Teguh Prasetyo
Pulau Mengkudu dilihat dari atas bukit. FOTO: Tribun Lampung/Teguh Prasetyo2. Pulau-Pulau Kecil nan Menawan
Masih berkaitan dengan laut, di Lampung ada banyak sekali pulau-pulau kecil nan indah sebagai obyek wisata. Suasana yang sepi dan masih alami, dengan pohon-pohon menghijau, pasir putih membentang, deburan ombak, serta keheningan adalah satu paket relaksasi yang ditawarkan pada pengunjung.
Lupakan hiruk-pikuk kota dengan segala kesibukannya. Manjakan sejenak pikiran di pulau-pulau mungil yang bertebaran di perairan Lampung. Yang asyik, tak butuh waktu lama untuk mencapai pulau-pulau ini dari daratan Sumatera.
Kita mulai dari pulau yang agak besar dan berpenghuni, yakni Pulau Pisang di pesisir barat. Pulau ini dihuni oleh pengrajin kain tapis dan sulam mas khas Lampung. Jadi, sembari menikmati pasir putih di pantai kita bisa melihat proses pembuatan kain tapis dan sulam mas. Atau bisa juga mengelilingi pulau dengan menyewa sepeda motor.
Agak ke selatan, kita akan menemukan Pulau Tegal yang terletak tak jauh dari Pantai Mutun dan Pantai Sari Ringgung. Pulau ini tak cuma menyajikan pemandangan pantai yang indah, pesona bawah airnya pun dijamin memanjakan mata dan batin. Banyak ditemui makhluk-makhluk laut "tidak umum" di sini, selain karang-karang menakjubkan.
Di dekat Pantai Pasir Putih, terdapat Pulau Condong dengan pesona alamnya yang memukau. Untuk mencapai pulau ini cukup membutuhkan waktu 20 menit mengendari perahu dari pantai. Sangat dekat.
Mau merasakan sensasi berlibur di Maladewa? Pindahlah ke Kecamatan Rajabasa di Lampung Selatan. Di daerah ini ada satu pulau kecil nan unik, di mana pasirnya bersambung dengan pasir di pantai Pulau Sumatera. Penduduk setempat menyebutnya sebagai Pulau Mengkudu. Mungkin karena bentuk pulau ini mirip mengkudu? Entahlah.
Karena pasirnya menyatu membentuk semacam jalan, kita tak butuh menyeberangi laut untuk menuju Pulau Mengkudu. Cukup parkir kendaraan di kawasan pantai, lalu lanjutkan dengan berjalan kaki sembari menikmati panorama laut di sekeliling.
3. Air Terjun
Lampung tak cuma punya pantai-pantai indah, pesona bawah laut nan menggoda, serta pulau-pulau kecil menawan. Bagi yang tak suka "main di laut" masih banyak pilihan obtek wisata lain. Bagaimana dengan air terjun?
Di Desa Harapan Jaya, Padang Cermin, terdapat sebuah air terjun cantik bernama Sinar Tiga. Dikelilingi pepohonan menghijau dan lubuk yang tak terlalu besar, air terjun ini menyuguhkan keindahan pemandangan alam bersama sejuknya udara segar.
Pesona tak kalah indah dengan jalur tempuh lebih mudah bisa didapatkan di air terjun Way Lalaan. Terletak tak jauh dari jalan lintas Bandar Lampung - Kota Agung, air terjun ini cocok sebagai pelepas penat bagi pengendara yang tengah menempuh perjalanan jauh.
Jika air terjun Sinar Tiga dan Way Lalaan dirasa kurang tinggi, coba pindah tempat ke Curug Tujuh Linggapura. Disematkannya kata "tujuh" dalam nama air terjun ini bukan tanpa alasan. Air terjun ini memiliki tujuh tingkat, dengan total ketinggian dari tingkat pertama ke tingkat ketujuh 75 meter.
Satu hal yang agak disayangkan, akses menuju Curug Tujuh Linggapura masih terhitung sulit. Selain itu lokasinya jauh dari pusat kota. Dari Bandara Radin Inten II, kita harus berkendara sejauh 135 km menuju Desa Linggapura di Kecamatan Padang Ratu, Lampung Tengah. Itupun masih dilanjut ojek untuk sampai di air terjun.
Selain Curug Tujuh, air tejun Putri Malu di Way Kanan juga memiliki jalur tempuh menantang. Pengunjung baru bisa mencapai lokasi air terjun setelah menumpang ojek motor trail dari Dusun Juku Batu. Lama perjalanannya pun tak tanggung-tanggung, 40 menit! Tapi semua itu bakal terbayar lunas oleh keindahan air terjun Putri Malu.
Tak jauh dari air terjun Putri Malu terdapat air terjun Batu Duduk. Hmm, sekali naik ojek trail dua air terjun terlampaui.
Bergeser ke Desa Sukamaju, Kecamatan Ulu Belu, Kabupaten Tanggamus, terdapat air terjun yang tengah naik daun berkat promosi media sosial. Namanya air terjun Lembah Pelangi, yang menurut penduduk setempat awalnya bernama air terjun Pondok Rejo. Sesuai namanya, cahaya matahari yang menembus butir-butir air terjun ini kerap membentuk pelangi.
Di antara semua itu, barangkali Curug Gangsa yang paling unik. Bukan rute ataupun pemandangan sekitarnya yang unik, melainkan penyebab terbentuknya air terjun ini. Curug Gangsa aslinya merupakan ujung saluran irigasi persawahan di Way Kanan. Karena ujungnya berada di tebing yang tinggi, air yang mengalir pun menjelma sebagai air terjun.

Lampung Krakatau Festival
Habis? Belum. Masih banyak lagi obyek-obyek wisata Lampung yang merupakan potensi terpendam daerah ini. Di atas hanya menguraikan tiga jenis obyek wisata. Sedangkan Lampung juga mempunyai Desa Wisata Gedung Batin, situs purbakala Pugung Raharjo di Lampung Timur, Teluk Kiluan di mana kita bisa melihat ikan lumba-lumba, dan masih banyak lagi.
Jangan lupakan pula Taman Nasional Way Kambas yang merupakan taman nasional tertua, sekaligus sekolah gajah pertama di Indonesia. Taman Nasional Bukit Barisan Selatan yang bakal mengundang decak kagum dengan kekayaan alam hayatinya. Satu lagi yang sangat melegenda adalah Taman Nasional Anak Krakatau.
Gunung Krakatau merupakan legenda dunia. Letusannya nan dahsyat di tahun 1883 masih menjadi cerita menarik di Tanah Eropa hingga sekarang. Kejadian meletusnya Gunung Krakatau diabadikan dalam banyak film, baik film dokumenter maupun film layar lebar, serta sejumlah buku.
Kini, meski Gunung Krakatau sudah hilang akibat letusannya sendiri, keagungannya tetap terjaga berkat kemunculan gunung baru di tempat Krakatau dulu berada. Orang pun dengan mudahnya menyebut gunung baru tersebut sebagai Gunung Anak Krakatau.
Dari Lampung, Taman Nasional Anak Krakatau dapat didatangi lewat dermaga Canti. Singgah sebentar di Pulau Sebesi, barulah perahu berlabuh di Krakatau. Terdapat tiga pulau besar di kawasan ini, yakni Pulau Sertung, Pulau Rakata, dan Pulau Panjang. Gunung Anak Krakatau sendiri berada di tengah-tengah ketiga pulau tersebut.
Ketiga pulau yang mengelilingi Anak Krakatau dulunya merupakan badan Gunung Krakatau. Bayangkan betapa besarnya gunung ini. Letusan hebat pada 1883 telah menghancur-leburkan gunung tersebut, menjadi tiga pulau di Selat Sunda. Gunung Anak Krakatau sendiri baru mulai muncul pada tahun 1927, kurang-lebih 45 tahun setelah Krakatau meletus.
Untuk memperingati letusan mahahebat Krakatau, pemerintah provinsi Lampung menggelar event tahunan bertajuk Lampung Krakatau Festival, Pariwisata Indonesia . Diadakan sejak 1991, festival ini bertujuan mempromosikan atraksi, daya tarik wisata unggulan, dan seni budaya Lampung. Khusus tahun ini, festival diadakan pada 24-28 Agustus 2016 dengan mengusung "Lampung The Treasure of Sumatera" sebagai tagline.
Beragam kegiatan diadakan sepanjang Festival Krakatau 2016. Beberapa di antaranya Jelajah Pasar Seni, Jelajah Layang-Layang, Jelajah Rasa alias Festival Kuliner, Jelajah Krakatau, Jelajah Semarak Budaya (Lampung Culture & Tapis Carnival), serta Investor Summit (Gala Dinner) yang khusus digelar bagi stakeholer pariwisata nasional.
Saya sendiri terkesan dengan tagline Lampung. The Treasure of Sumatera, harta karunnya Sumatera. Sebuah tagline yang menggambarkan betapa banyak keindahan terpendam di Lampung. Betapa banyak potensi pariwisata yang ada di provinsi ini.
Jika digarap dengan serius, diimbangi dengan promosi gencar, dan tentu saja tersedianya fasilitas serta prasarana memadai, pariwisata Lampung dijamin bakal berkembang pesat. Dengan kerja sama semua pihak, impian Gubernur Ridho Ficardho menjadikan Lampung sebagai destinasi wisata internasional bakal terwujud.
Semoga saja. Dan semoga ada yang mengajak saya menikmati keindahan Lampung. Amin... :)
Referensi:
http://lampung.bps.go.id
https://id.wikipedia.org/wiki/Muhamma...
http://lifestyle.okezone.com/read/201...
http://indopos.co.id/festival-krakata...
http://citraindonesia.com/digelar-lam...
http://waspada.co.id/index.php?option...
Disclaimer: Tulisan ini diikut-sertakan dalam Lomba Blog "The Treasure of Sumatera" yang diadakan Dinas Pariwisata Lampung sebagai rangkaian Lampung Krakatau Fest 2016.
 
  
        Published on August 21, 2016 12:56
    
August 17, 2016
Kejadian-Kejadian Menarik dari Upacara 17 Agustus 2016

DIRGAHAYU Republik Indonesia! Seperti sudah berlangsung bertahun-tahun setiap 17 Agustus sejak 71 tahun silam, upacara bendera memperingati proklamasi kemerdekaan RI digelar di seluruh Indonesia. Ada banyak cerita dan kejadian menarik seputar upacara bendera tahun ini. Tentu saja menarik menurut saya ya. Yuk, simak!
Satu yang paling menyita perhatian publik adalah kisah Gloria Natapradja Hamel "dipecat" dari Paskibraka Nasional. Gadis keturunan campuran ini didepak karena kedapatan berpaspor Prancis, negara asal ayahnya. Padahal Gloria sudah melewati serangkaian tes, juga telah menjalani karantina dan latihan intensif selama sebulan penuh.
Bayangkan, hanya tinggal hitungan hari saja ia beraksi bersama rekan-rekannya sepasukan di Istana Negara, eh, lha kok namanya dicoret dari Paskibraka. Adalah Kemenpora yang mengeluarkan keputusan pencoretan tersebut di detik-detik terakhir. Alasannya, warga negara asing tidak boleh menjadi anggota Paskibraka.
Secara logis alasan itu bisa diterima sih. Masa iya anggota pasukan pengibar bendera pusaka dalam upacara di Istana Negara kok warga asing? Masalahnya, Gloria lahir dan menghabiskan seluruh hidupnya di Indonesia. Ia fasih berbahasa Indonesia. Ia bahkan belum pernah sekalipun keluar negeri.
Tapi saya melihat ada yang janggal. Ibu Gloria, Ira Natapradja, menjelaskan pembuatan paspor Prancis dilakukan karena Gloria belum genap 18 tahun sehingga tidak bisa membuat KTP. Pertanyaan saya, kenapa yang dibuat paspor Prancis? Kan lebih deket buat paspor RI, Bu? Tapi, ya, sudahlah. Toh, ending-nya Gloria diijinkan oleh Presiden Jokowi untuk bertugas dalam upacara penurunan bendera pada sore harinya.
Yang membuat saya terharu, Gloria sempat menulis surat kepada Presiden Jokowi untuk menegaskan kecintaannya pada Republik Indonesia. Surat bermaterai Rp6.000. Apakah isi surat ini begitu menyentuh sampai-sampai Presiden membolehkannya bertugas bersama Tim Bima saat Parade Senja? Hanya Jokowi yang tahu.
Paskibraka Menangis di Pematang Siantar
Kisah tak kalah mengharukan terjadi di Pematang Siantar. Memang dramanya tak seheboh kisah Gloria sih, tapi kadarnya beda-beda tipislah. Di mana anggota Paskibraka Pematang Siantar menangis gara-gara gagal mengibarkan bendera Merah Putih. Di situ kadang saya sedih.
Dalam video yang beredar di media sosial, terlihat tiga anggota Paskibraka yang bertugas mengibarkan bendera hanya diam ketika lagu Indonesia Raya dinyanyikan. Lagu selesai, bendera masih belum bergerak. Malah dilipat kembali. Suasana upacara jadi tegang-tegang gimanaaa gitu.
Usut punya usut, katanya sih cantolan bendera pada tali ada yang lepas. Jadi seandainya bendera dipaksakan diikat dan dikerek naik bakal melorot turun. Nah, anggota pengibar yang tak mau hal itu terjadi berinisiatif diam. Barulah setelah cantolan diperbaiki bendera berkibar di halaman Kantor Bupati Pematang Siantar.
Sekalipun kejadian ini terhitung force majeur, tetap saja anggota-anggota Paskibraka menangis. Sambil berbaris mereka menangis. Mereka kecewa, merasa gagal, sudah berlatih lama tapi bendera tak bisa mereka kibarkan dengan baik saat upacara. Beberapa anggota cewek ada yang sampai histeris.
Kalau ingat menjadi Paskibraka boleh dikatakan kesempatan sekali seumur hidup, kesedihan adik-adik Paskibraka ini dapat dimaklumi. Yang penting tetap semangat ya. Masa depan kalian masih panjang kok. *sokbijak*

Sepatu Diinjak Teman, Lepas
Ini sebenarnya tidak terlalu menarik sih. Hal biasa. Tapi karena terjadi di momen upacara bendera nan sakral, jadi lucu-lucu gimana gitu. Yang lebih menarik, kok ya ada media nasional yang mengangkat berita ini. Human interest, okelah, tapi mbokyao yang lain yang diangkat.
Kejadiannya di Bima, Nusa Tenggara Barat. Dalam upacara level kotamadya ini, sepatu salah seorang anggota Paskibraka lepas karena diinjak teman di belakangnya. Tapi karena sudah diajarkan untuk tak menghiraukan semua gangguan selama bertugas, anggota tersebut cuek saja hanya memakai satu sepatu.
Untungnya, kalau boleh dibilang untung, sepatu tersebut lepas setelah bendera dikibarkan. Sehingga momen naiknya Sang Saka Merah Putih ke puncak tiang berlangsung khidmat. Kalau saja lepasnya sebelum bendera naik, bisa jadi peserta upacara jadi sibuk berkasak-kusuk membahas sepatu.
Selepas upacara, pembina Paskibraka Kota Bima langsung meluruskan sepatu anak didiknya lepas karena terinjak, bukan karena ukurannya longgar.
Iya deh, Pak, saya percaya.

Nyi Ratu Kidul Bawa Bendera
Kalau kejadian satu ini memang tidak berlangsung saat upacara. Tapi masih satu rangkaian dalam upacara bendera. Yang unik, ini adalah pemandangan baru di mana rangkaian upacara kenegaraan di level kabupaten menghadirkan sosok legendaris yang dianggap mitos. Tapi bukan Dedi Mulyadi namanya kalau tidak lain dari yang lain.
Bupati Purwakarta tersebut mengubah protokoler penyerahan bendera pusaka yang akan dikibarkan saat upacara. Mulai tahun ini, setidaknya selama Dedi menjabat, bendera pusaka diserah-terimakan dari sosok Nyi Ratu Kidul kepada sang bupati. Barulah oleh bupati bendera diberikan pada Paskibraka.
Nyi Ratu Kidul adalah sosok antara ada dan tiada. Ia merupakan legenda bagi masyarakat di kawasan pantai selatan Jawa. Tak cuma di Purwakarta, masyarakat di Pangandaran hingga Yogyakarta mempercayai keberadaannya di Laut Selatan. Bahkan, konon, raja-raja Mataram menjalin "hubungan spesial" dengan Nyi Ratu Kidul.
Sosok yang dipercaya merupakan penguasa Laut Selatan ini identik dengan pakaian berwarna hijau. Karenanya masyarakat Pantai Parangtritis menghindari pakaian-pakaian berwarna hijau kalau pergi ke pantai. Mereka percaya, Nyi Ratu Kidul marah jika ada yang berpakaian menyerupai dirinya. Orang berpakaian hijau itu dipercaya bakal dibawa ke Laut Selatan, alias hanyut.
Benar atau tidaknya ya saya kembalikan pada kepercayaan masing-masing.
Oya, yang memerankan Nyi Ratu Kidul dalam pengukuhan Paskibraka di Purwakarta adalah Cinta Rizkia. Coba search namanya di Google. Gadis cantik ini rupanya sudah cukup lama memerankan sosok Nyi Ratu Kidul dalam tarian. Berdasarkan penelusuran online yang saya lakukan, Cinta adalah lulusan Seni Tari Universitas Pendidikan Indonesia.
*****
Itu dia tiga-empat kejadian menarik dari upacara bendera 17 Agustus 2016 versi saya. Saya yakin ada banyak kejadian tak kalah menarik di daerah lain. Jangan ragu-ragu untuk share di kolom komentar ya...
Sumber-Sumber:
http://regional.kompas.com/read/2016/...
 
  
        Published on August 17, 2016 11:53
    
August 14, 2016
Sekuntum Mawar Merah untuk Pakde Abdul Cholik

DANGDUT is the music of my country, begitu yang dinyanyikan Project Pop belasan tahun lalu. Sebuah ungkapan yang memang benar adanya, karena dangdut boleh dibilang musik favorit di Indonesia. Dan agaknya inilah yang mendorong Pakde Abdul Cholik untuk menggelar giveaway nyanyi dangdut dalam rangka memperingati hari ulang tahunnya.
Saya sendiri sangat suka berdendang. Tapi bernyanyi di muka umum tak pernah saya lakukan. Katakanlah tampil di atas panggung, bernyanyi ditonton puluhan apalagi ratusan orang. Karenanya Giveaway Dangdut Cerdas on the Blog yang digagas Pakde Cholik ini lumayan bikin serba salah. Ingin sekali partisipasi, tapi kok...
Meski sudah tahu info giveaway ini jauh-jauh hari, karena memang Pakde Cholik woro-woro sejak pekan terakhir Juli, saya tak langsung mantap ikut. Masalahnya bukan soal bernyanyi dangdut. Tapi direkam, lantas diunggah ke YouTube yang berarti berpeluang disaksikan orang banyak? Saya tak bisa bayangkan itu.
Sekali lagi, saya suka berdendang. Saya juga senang sekali berdangdut ria sembari berjoget. Tapi bernyanyi untuk disaksikan banyak orang adalah hal berbeda. Saya tidak cukup pede karena sadar diri saya tak pernah bisa bernyanyi secara baik dan benar. Hehehehe.
Malu tampil di muka umum? Tidak juga. Saya termasuk perintis ekskul band sekolah semasa di SMA Negeri 1 Muara Bulian. Strike Band, band tempat saya dan tujuh teman lain tergabung, adalah band sekolah pertama di SMA tersebut. Bahkan boleh dibilang pertama se-Muara Bulian. Saya malah sudah manggung di acara perpisahan sekolah sebelum membentuk band tersebut.
Bersama Strike Band yang punya tiga vokalis dan mengusung musik suka-suka, alias membawakan lagu apa saja yang enak dinyanyikan, entah berapa kali saya naik panggung. Termasuk ikut festival Slank bertajuk Blue Generation Party di Kota Jambi tahun 2000. Saya juga pernah disoraki penonton sewaktu "sok-sokan" menggantikan drummer kami yang ogah tampil karena satu alasan pada satu event di Pasar Muara Bulian tahun yang sama.
Singkat kata, ini bukan soal demam panggung. Sekali lagi, saya suka berdendang. Mulai lagu Koes Plus sampai The Beatles, dari lagu-lagunya Cold Play dan Keane sampai Dara Puspita. Dangdut juga suka, sama sukanya seperti aliran ska. Tapi bernyanyi di depan kamera untuk disaksikan orang banyak? Butuh waktu lebih dari 10 hari bagi saya untuk mengambil keputusan.
Ketika akhirnya mantap ikut serta, saya dibuat bingung memilih lagu yang sesuai. Sesuai dengan kemampuan suara maksudnya. Karena jarang bernyanyi secara baik dan benar, katakanlah karaoke atau bergitar sendiri, saya selalu kesulitan mengatur napas demi menyesuaikan irama dalam lagu. Begitu nada awalnya pas, nanti napasnya yang tidak kuat. Akibatnya di nada-nada tinggi keteteran.
Begitulah. Awalnya saya ingin sekali menyanyikan Terajana-nya Rhoma Irama. Lagu ini pernah saya nyanyikan dengan susah payah bersama teman-teman blogger saat menyaksikan Musi Triboatton 2016 di Palembang, Mei lalu. Tapi setelah 1-2 hari latihan saya menyerah. Suara saya tidak kuat. Saya juga tak punya alat untuk merendahkan nada dalam musik karaoke yang diunduh dari YouTube.
Cari punya cari, saya mencoba lagu kedua: Anggur Merah yang dulu dinyanyikan Meggy Z. Ini lagu kesukaan saya sewaktu SMP di Sungai Bahar, Jambi. Tapi lagi-lagi setelah beberapa kali mencoba suara saya tetap tak kuat menanjak. "Sungguh teganya dirimu, teganya, teganya, teganyaaa..." dan tenggorokan saya tercekik. Alamak!
Lalu berselancarlah saya di YouTube. Mencari dan mendengarkan lagu-lagu dangdut yang saya hapal. Sampai akhirnya muncul video klip Sekuntum Mawar Merah yang dinyanyikan oleh Elvie Sukaesih dalam daftar video rekomendasi. Sepertinya lagu ini tidak membutuhkan nada-nada tinggi. Warna lagunya juga ceria, pas untuk momen ulang tahun.
Ternyata benar. Saya tak dibuat ngos-ngosan menyanyikannya. Bungkus!
Oya, demi menjaga kualitas audio dalam video supaya jernih saya bernyanyi menggunakan boom mic Kenwood. Video karaoke yang saya dapat dari channel Alwiyan Syafir diputar di laptop. Bersama anak-anak yang ikut berjoget sembari terheran-heran melihat aksi saya, rekaman pun dilakukan di dalam kamar.
Saya bernyanyi karaoke di depan handycam. Hanya saja pada saat mengedit video saya tidak memakai audio punya handycam, melainkan audio suara saya yang direkam mic Kenwood dipadukan dengan audio dari video karaoke yang saya unduh tadi. Jadilah audio yang jernih, sekalipun suara penyanyinya sengau-sengau gimanaaa gitu.
Akhir kata, selamat ulang tahun yang ke-66 untuk Pakde Abdul Cholik. Banyak belajar dari produktivitas dan semangat menulis Pakde. Semoga ada kesempatan saya dipertemukan dengan beliau. Amin.
Artikel ini diikutsertakan pada Giveaway 66: Dangdut Cerdas On the Blog.

 
  
        Published on August 14, 2016 01:08
    
August 12, 2016
Pulau Flores, dari Ujung ke Ujung Bertabur Pesona
      KALAU ada satu tempat di Indonesia yang membuat saya sangat ingin mengunjunginya saat ini, maka itu adalah Pulau Flores. Penyebabnya obrolan singkat dengan Mas Sutiknyo, traveler melankolis namun humoris yang lebih dikenal sebagai Tekno Bolang. Cerita Mas Bolang membuat saya begitu terpesona pada Flores, pulau yang disebutnya bakal membuat kita tak ingin mengembara ke tempat lain lagi.
Saya bertemu Mas Bolang di Palembang, dalam rangkaian acara International Musi Triboatton 2016 pada 14-16 Mei lalu. Di hari terakhir pertemuan kami, sembari sarapan di hotel saya berkesempatan mendengar Mas Bolang menceritakan pengembaraannya ke berbagai tempat di Indonesia. Satu destinasi yang membuatnya paling terkesan adalah Flores, tempat yang ia sebut sebagai rumah.
Mas Bolang bercerita, Flores adalah tempat di mana kita bisa sepuasnya menikmati keindahan alam. Dari ujung ke ujungnya bertabur pesona keindahan yang memanjakan mata dan sanubari setiap pengunjung. Demi memuaskan hasrat menikmati setiap sudut Flores, petualang kelahiran Pati ini membawa sepeda motor matic dari kediamannya di Tangerang.
Tentu saja perjalanan tersebut ia abadikan dalam bentuk entah berapa ratus foto dan puluhan video. Saya tanya apakah ia punya channel di YouTube - saya sangat penasaran sekali dengan keindahan Flores yang ia ceritakan. "Cari saja Tekno Bolang," jawabnya saat itu.
Sepulang dari Palembang saya langsung membuka channel tersebut di YouTube (catatan: nama channel-nya sudah diubah jadi Lostpacker, seusai dengan nama blog dan akun media sosialnya). Tentu saja yang saya cari video-video petualangannya di Flores. Dan saya dibuat terpesona bukan main oleh keindahan alam, juga kearifan budaya lokal yang masih terjaga.
"Saya harus datang ke Flores!" tekat saya dalam hati usai menyaksikan video-video Mas Bolang. Ya, sekalipun hanya sekali seumur hidup saya harus menginjakkan kaki ke Flores.
Tanjung Bunga
Nama Flores sudah saya kenal sejak Sekolah Dasar. Tepatnya setelah mengenal peta, di mana saya begitu lahap mencari informasi mengenai tempat-tempat yang saya lihat dalam atlas. Ketertarikan pada Flores pertama kali timbul ketika Bank Indonesia menerbitkan uang pecahan Rp5.000 bergambar Danau Kelimutu pada tahun 1992.
Saya terpukau oleh cerita Ibu mengenai Danau Kelimutu, danau yang terbentuk dari kawah Gunung Kelimutu. Danau yang menurut cerita Ibu dapat berubah-ubah warna. Terdiri dari tiga kawah yang masing-masingnya menyajikan warna berbeda, karenanya danau ini juga sering disebut sebagai Danau Tiga Warna atau Danau Triwarna.
Sebelum itu saya sudah dibuat tertarik oleh komodo yang terdapat pada koin Rp50. Kadal raksasa yang kata guru saya cuma ada di Indonesia, tepatnya di Pulau Komodo yang terletak di sebelah barat Pulau Flores. Hewan purba yang konon sudah mendiami Planet Bumi sejak 4 juta tahun lalu.
Tentu bukan tanpa alasan Portugis yang mendarat di nusa ini pada 1512 memberi nama Cabo de Flores, Tanjung Bunga. Nama yang kemudian menggantikan nama asli pemberian penduduk lokal, Nusa Nipa atau Pulau Naga. Pemerintahan kolonial Hindia Belanda tetap memakai nama Flores ketika mendapatkan wilayah ini dari Portugis 100 tahun kemudian.
Demikian pula dengan Republik Indonesia yang diproklamirkan Soekarno-Hatta, tetap menyebut pulau ini Flores dan memasukkannya dalam Provinsi Sunda Kecil. Sempat berpisah dari RI karena jadi bagian Negara Indonesia Timur, lalu kembali bergabung dengan RI menyusul ambruknya Republik Indonesia Serikat, nama Flores tetap melekat pada pulau satu ini.
Sesuai namanya, Flores adalah sebuah pulau yang menyimpan begitu banyak keindahan dan pesona. Danau Kelimutu di Kabupaten Ende hanyalah salah satunya. Dari video-video yang saya tonton di YouTube, Flores memiliki begitu banyak pantai menawan. Pasirnya putih, dengan ombak tinggi bergulung-gulung dari perairan Laut Sawu dan Laut Flores yang mengelilingi pulau.
Buat pecinta pantai berpasir putih dengan air laut biru kehijauan, kalian wajib datang ke Flores. Selain Pulau Flores, pulau-pulau kecil di sekitarnya juga menyimpan pesona pantai tak kalah mempesona. Tak jauh dari Labuan Bajo ada Pulau Bidadari dengan pantainya yang asri. Atau cobalah ke Pulau Adonara di sebelah timur Flores, di sana ada Pantai Mekko yang sangat memukau.
Bila punya waktu sangat longgar, Taman Wisata Alam 17 Pulau Riung jadi destinasi yang sangat layak disambangi. Angka 17 tersebut benar-benar mewakili 17 pulau yang ada di sekitaran Teluk Riung. Tempat ini dapat ditempuh dengan perjalanan darat selama nyaris lima jam dari Labuan Bajo. Namun lelah yang melanda bakal terbayar lunas menyaksikan keindahan pemandangan laut dan pantai berpasir putih bersih yang tersaji di ke-17 pulau.
 Pasir merah jambu di Pantai Merah atau Pink Beach yang ada di Pulau Komodo, Nusa Tenggara Timur. (Sumber foto)
Pasir merah jambu di Pantai Merah atau Pink Beach yang ada di Pulau Komodo, Nusa Tenggara Timur. (Sumber foto)
Ah, saya lupa. Pasir pantai tak selalu berwarna putih. Di Pulau Komodo, kita bisa berjalan-jalan menyusuri sebuah pantai yang pasirnya berwarna merah jambu. Turis mancanegara menyebutnya sebagai Pink Beach, sedangkan penduduk lokal menamainya Pantai Merah. Ya, pasir pantai ini berwarna kemerahan. Hanya ada tujuh pantai di dunia yang pasirnya berwarna merah muda begini.
Sudah sampai di Pulau Komodo, sempatkan waktu untuk mengamati kehidupan hewan langka bernama sama dengan pulau di mana mereka tinggal. Komodo sudah lama jadi perhatian dunia karena keunikannya. Tahun 2011, Pulau Komodo masuk daftar New 7 Wonders of Nature versi New7Wonders Foundation. Lalu tercantum dalam pemenang sementara yang dirilis 11 November 2011.
Meski event garapan New7Wonder Foundation tersebut berbau kontroversi - termasuk penyelenggaranya diragukan, tapi setidaknya menunjukkan bahwa komodo dan Pulau Komodo mendapat perhatian luas di mancanegara. Pesonanya sudah lama memikat wisatawan dari berbagai negara.
Baca ulasan saya mengenai New7Wonder of Nature:
- Yuk, Kita Dukung Pulau Komodo!
- Komodo dalam Dilema
- 7 Keajaiban Dunia dan Komodo
Bung Karno dan Secangkir Kopi
Tapi Flores bukan cuma soal pantai indah, laut mempesona, atau komodo yang gagah. Di sini juga tersimpan sejarah bangsa dan negara. Proklamator negeri ini, Bung Karno, pernah tinggal di Flores selama empat tahun sembilan bulan. Pemerintah kolonial Hindia Belanda membuangnya ke Ende untuk meredam aktivitas politik Sang Proklamator di Batavia.
Ada 10 situs penting terkait pengasingan Bung Karno di Bumi Flores. Di antaranya rumah pengasingan yang terletak di Jl. Perwira. Di rumah inilah Bung Karno menghabiskan kesehariannya dalam masa pembuangan bersama Ibu Inggit Garnasih, anak angkatnya Ratna Djuami, serta ibu mertuanya.
Rumah pengasingan Bung Karno di Ende terawat dengan sangat baik. Kondisinya masih sama persis seperti saat Bung Karno menempatinya dalam rentang waktu 14 Januari 1934 hingga 18 Oktober 1938. Berkunjung ke rumah ini kita diajak turut merasakan hari-hari Bung Karno selama menjalani masa pengasingan.
 Rumah pengasingan Bung Karno di Ende, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. FOTO: KOMPAS.COM/I MADE ASDHIANA
Rumah pengasingan Bung Karno di Ende, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. FOTO: KOMPAS.COM/I MADE ASDHIANA
Semasa di Ende inilah Bung Karno melahirkan rumusan Pancasila yang kelak jadi dasar Republik Indonesia. Menurut pengakuannya sendiri saat mengunjungi Ende sebagai Presiden RI pada tahun 1955, Bung Karno menyebut gagasan Pancasila lahir saat ia tengah merenung di bawah sebuah pohon sukun di pusat kota. Tempat dimaksud kini menjadi taman kota bernama Taman Renungan Soekarno, dengan Jl. Soekarno berada di sisinya.
Bung Karno penyuka kopi. Favoritnya kopi tubruk yang biasa ia seruput pagi-pagi di Istana sebelum menjalankan tugas negara. Demikian diceritakan Mangil Martowidjojo, eks Komandan Detasemen Kawal Pribadi Cakrabirawa yang mendampingi Bung Karno, dalam bukunya berjudul Kesaksian Tentang Bung Karno 1945-1967 (Grasindo, 1999).
Sayang, tak ada yang mengungkapkan apakah Bung Karno pernah mencicipi kopi Bajawa atau kopi Wae Rebo semasa tinggal di Flores. Sebab bagi penyuka kopi tak lengkap rasanya mendatangi Flores tanpa mencicipi kopi-kopinya yang khas. (Sumber foto)
(Sumber foto)
Wae Rebo sebuah kampung tradisional yang terletak di barat daya Ruteng, ibukota Kabupaten Manggarai, NTT. Kampung ini hanya berisi tujuh rumah adat berbentuk kerucut dengan kerangka bambu dan atap dari daun lontar. Orang lokal menyebut rumah ini mbaru niang. Berada di ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut, Waerebo dikelilingi oleh perkebunan kopi nan luas.
Kopi dan Wae Rebo memang tak bisa dipisahkan. Warga Waerebo sangat akrab dengan kopi. Mereka bisa mereguk hingga 8-10 gelas kopi sehari. Tak heran jika banyak penyuka kopi yang sengaja datang ke sini hanya untuk mencicipi kopinya yang khas. Tumbuh di dataran tinggi serta tak tersentuh unsur kimia buatan sedikitpun, cita rasa kopi Wae Rebo banyak disukai oleh pecinta minuman berwarna hitam ini.
Bergeser ke timur, ada Kabupaten Ngada sebagai penghasil kopi terbesar di Flores. Kopi Bajawa hasil panen petani Ngada malah sudah diekspor ke mancanegara. Tahun 2011, seorang pengusaha Amerika Serikat memesan 1.000 ton kopi arabika organik (sumber).
Tak cuma AS, peminat juga datang dari Belanda, Jerman, Inggris, Filipina, dan yang terdekat dari Australia. Masing-masing pesanan berkisar antara 1.000-2.000 ton. Membuktikan betapa kualitas kopi Bajawa telah diakui dunia. So, rugi rasanya kalau ke Flores tak mencicipi kopi Bajawa.
Kearifan Lokal yang Terus Dijaga
Tak jauh dari Bajawa, ada sebuah kampung adat yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai dan budaya lokal. Kampung Bena namanya. Masuk ke dalam kampung ini kita serasa mundur ke jaman ratusan tahun lalu. Benar-benar sebuah kampung tradisional.
Terletak di puncak sebuah bukit menghadap Gunung Inerie, Kampung Bena terdiri dari 40 rumah tradisional. Dari kejauhan, Kampung Bena memanjang dari utara ke selatan terlihat seperti bentuk perahu. Pintu masuk berada di sisi utara, satu-satunya akses menuju ke kampung ini. Pada bagian ujung selatan merupakan puncak kampung dengan pemandangan alam mempesona.
Meski memeluk agama Katolik, warga Kampung Bena masih melestarikan tradisi leluhur. Di tengah-tengah Kampung Bena terdapat beberapa bangunan megalitikum. Salah satunya berbentuk perahu, tempat di mana upacara adat dilaksanakan.
Perahu dalam kepercayaan masyarakat Kampung Bena merupakan wahana untuk menuju ke alam roh setelah kematian. Bentuk perahu juga menggambarkan perjalanan nenek moyang penduduk Kampung Bena yang berperahu mengarungi ganasnya lautan dari Pelabuhan Juwana di Pati, Jawa Tengah, sebelum tiba di kampung tersebut.
 Kampung Adat Bena di Kabupaten Ngada, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. (Sumber foto)
Kampung Adat Bena di Kabupaten Ngada, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. (Sumber foto)
Pemandangan serupa juga bisa kita saksikan di Ware Rebo. Sebuah perkampungan adat yang masih mengaplikasikan ajaran leluhur dalam kehidupan keseharian. Ciri khas Wae Rebo adalah mbaru niang, rumah adat yang didirikan tanpa paku. Hanya menggunakan bambu, kayu, atau rotan, dengan atap terbuat dari daun lontar, ijuk, atau ilalang.
Di Wae Rebo biasa digelar perayaan Penti, salah satu perayaan besar di Manggarai. Penti digelar setiap tahun sebagai ungkapan rasa syukur atas hasil panen yang diperoleh selama setahun, sekaligus doa dan harapan agar hasil tahun mendatang tak kalah bagus. Tahun ini, Penti direncanakan berlangsung pada 16 November 2016.
Jika Kampung Bena mudah dicapai menggunakan kendaraan bermotor, tidak demikian dengan Wae Rebo. Pengunjung harus menempuh rute mendaki nan terjal dan sedikit licin berjarak sekitar 5 kilometer. Melintasi Hutan Lindung Todo Repok nan asri, sampai ke ketinggian 1.200 mdpl. Terbayang kan bagaimana sejuknya tempat ini.
*****
Ah, masih sangat banyak pesona Flores yang tidak bisa dilewatkan. Tak cukup waktu 2-3 hari untuk menjelajahinya, karena dari Labuan Bajo di ujung barat hingga Larantuka di ujung timur tersaji keindahan alam yang menawan diselingi kearifan lokal nan menenteramkan sanubari.
Dari Pemalang tempat saya sekarang tinggal, perjalanan ke Flores bisa diawali dengan naik bus selama 5-6 jam ke Yogyakarta terlebih dahulu. Dari Kota Gudedg ada penerbangan menuju Labuan Bajo via Denpasar. Sejauh ini penerbangan langsung ke Labuan Bajo dari kawasan barat Indonesia hanya ada di Denpasar.
Coba cek tiket pesawat di Airpaz.com, penerbangan Yogyakarta-Labuan Bajo via Denpasar harganya bikin ngiler. Ambil contoh yang ditawarkan NAM Air untuk keberangkatan 23 September 2016, nomor penerbangan IN9274. Lihat pada screen capture di bawah ini. Ya, hanya Rp897.876 yang merupakan tarif termurah pada tanggal tersebut.

Tapi kan transitnya 7,5 jam sendiri di Bandara Internasional Ngurah Rai, Denpasar?
Tidak masalah. Potong tiga jam untuk perjalanan dan proses check in, ada sisa waktu 4,5 jam untuk keliling-keliling Bali. Jadi, wisata ke Flores bonusnya keliling Bali. Asyik, bukan? Kalau saya sih nggak mungkin menolak. Hehehe...
Oya, NAM Air adalah satu-satunya maskapai penerbangan Indonesia yang memperbolehkan pramugarinya berjilbab lho. Saya pernah berjumpa pramugari berhijab ini saat naik penerbangan Palembang-Jakarta pada pertengahan Mei lalu. Tanpa malu-malu saya pun mengajak pramugari bernama Tria tersebut foto bersama.
Baca juga:
Kembali ke perjalanan Pemalang menuju Flores melalui Yogyakarta dan Denpasar. Sekilas terlihat ini bukan perjalanan mudah, dengan biaya yang di atas kertas juga tidak murah. Tapi mengingat keindahan yang menanti, rasanya semua itu bakal terganti tuntas begitu menjejakkan kaki di sana. Keindahan yang membuat saya semakin mencintai Indonesia.
Artikel ini diikut-sertakan dalam Lomba Blog Cinta Indonesia yang diadakan oleh Airpaz.com. Baca disclaimer blog ini selengkapnya pada laman berikut.
[image error] 
  
    
    
    Saya bertemu Mas Bolang di Palembang, dalam rangkaian acara International Musi Triboatton 2016 pada 14-16 Mei lalu. Di hari terakhir pertemuan kami, sembari sarapan di hotel saya berkesempatan mendengar Mas Bolang menceritakan pengembaraannya ke berbagai tempat di Indonesia. Satu destinasi yang membuatnya paling terkesan adalah Flores, tempat yang ia sebut sebagai rumah.
Mas Bolang bercerita, Flores adalah tempat di mana kita bisa sepuasnya menikmati keindahan alam. Dari ujung ke ujungnya bertabur pesona keindahan yang memanjakan mata dan sanubari setiap pengunjung. Demi memuaskan hasrat menikmati setiap sudut Flores, petualang kelahiran Pati ini membawa sepeda motor matic dari kediamannya di Tangerang.
Tentu saja perjalanan tersebut ia abadikan dalam bentuk entah berapa ratus foto dan puluhan video. Saya tanya apakah ia punya channel di YouTube - saya sangat penasaran sekali dengan keindahan Flores yang ia ceritakan. "Cari saja Tekno Bolang," jawabnya saat itu.
Sepulang dari Palembang saya langsung membuka channel tersebut di YouTube (catatan: nama channel-nya sudah diubah jadi Lostpacker, seusai dengan nama blog dan akun media sosialnya). Tentu saja yang saya cari video-video petualangannya di Flores. Dan saya dibuat terpesona bukan main oleh keindahan alam, juga kearifan budaya lokal yang masih terjaga.
"Saya harus datang ke Flores!" tekat saya dalam hati usai menyaksikan video-video Mas Bolang. Ya, sekalipun hanya sekali seumur hidup saya harus menginjakkan kaki ke Flores.
Tanjung Bunga
Nama Flores sudah saya kenal sejak Sekolah Dasar. Tepatnya setelah mengenal peta, di mana saya begitu lahap mencari informasi mengenai tempat-tempat yang saya lihat dalam atlas. Ketertarikan pada Flores pertama kali timbul ketika Bank Indonesia menerbitkan uang pecahan Rp5.000 bergambar Danau Kelimutu pada tahun 1992.
Saya terpukau oleh cerita Ibu mengenai Danau Kelimutu, danau yang terbentuk dari kawah Gunung Kelimutu. Danau yang menurut cerita Ibu dapat berubah-ubah warna. Terdiri dari tiga kawah yang masing-masingnya menyajikan warna berbeda, karenanya danau ini juga sering disebut sebagai Danau Tiga Warna atau Danau Triwarna.
Sebelum itu saya sudah dibuat tertarik oleh komodo yang terdapat pada koin Rp50. Kadal raksasa yang kata guru saya cuma ada di Indonesia, tepatnya di Pulau Komodo yang terletak di sebelah barat Pulau Flores. Hewan purba yang konon sudah mendiami Planet Bumi sejak 4 juta tahun lalu.

Tentu bukan tanpa alasan Portugis yang mendarat di nusa ini pada 1512 memberi nama Cabo de Flores, Tanjung Bunga. Nama yang kemudian menggantikan nama asli pemberian penduduk lokal, Nusa Nipa atau Pulau Naga. Pemerintahan kolonial Hindia Belanda tetap memakai nama Flores ketika mendapatkan wilayah ini dari Portugis 100 tahun kemudian.
Demikian pula dengan Republik Indonesia yang diproklamirkan Soekarno-Hatta, tetap menyebut pulau ini Flores dan memasukkannya dalam Provinsi Sunda Kecil. Sempat berpisah dari RI karena jadi bagian Negara Indonesia Timur, lalu kembali bergabung dengan RI menyusul ambruknya Republik Indonesia Serikat, nama Flores tetap melekat pada pulau satu ini.
Sesuai namanya, Flores adalah sebuah pulau yang menyimpan begitu banyak keindahan dan pesona. Danau Kelimutu di Kabupaten Ende hanyalah salah satunya. Dari video-video yang saya tonton di YouTube, Flores memiliki begitu banyak pantai menawan. Pasirnya putih, dengan ombak tinggi bergulung-gulung dari perairan Laut Sawu dan Laut Flores yang mengelilingi pulau.
Buat pecinta pantai berpasir putih dengan air laut biru kehijauan, kalian wajib datang ke Flores. Selain Pulau Flores, pulau-pulau kecil di sekitarnya juga menyimpan pesona pantai tak kalah mempesona. Tak jauh dari Labuan Bajo ada Pulau Bidadari dengan pantainya yang asri. Atau cobalah ke Pulau Adonara di sebelah timur Flores, di sana ada Pantai Mekko yang sangat memukau.
Bila punya waktu sangat longgar, Taman Wisata Alam 17 Pulau Riung jadi destinasi yang sangat layak disambangi. Angka 17 tersebut benar-benar mewakili 17 pulau yang ada di sekitaran Teluk Riung. Tempat ini dapat ditempuh dengan perjalanan darat selama nyaris lima jam dari Labuan Bajo. Namun lelah yang melanda bakal terbayar lunas menyaksikan keindahan pemandangan laut dan pantai berpasir putih bersih yang tersaji di ke-17 pulau.
 Pasir merah jambu di Pantai Merah atau Pink Beach yang ada di Pulau Komodo, Nusa Tenggara Timur. (Sumber foto)
Pasir merah jambu di Pantai Merah atau Pink Beach yang ada di Pulau Komodo, Nusa Tenggara Timur. (Sumber foto)Ah, saya lupa. Pasir pantai tak selalu berwarna putih. Di Pulau Komodo, kita bisa berjalan-jalan menyusuri sebuah pantai yang pasirnya berwarna merah jambu. Turis mancanegara menyebutnya sebagai Pink Beach, sedangkan penduduk lokal menamainya Pantai Merah. Ya, pasir pantai ini berwarna kemerahan. Hanya ada tujuh pantai di dunia yang pasirnya berwarna merah muda begini.
Sudah sampai di Pulau Komodo, sempatkan waktu untuk mengamati kehidupan hewan langka bernama sama dengan pulau di mana mereka tinggal. Komodo sudah lama jadi perhatian dunia karena keunikannya. Tahun 2011, Pulau Komodo masuk daftar New 7 Wonders of Nature versi New7Wonders Foundation. Lalu tercantum dalam pemenang sementara yang dirilis 11 November 2011.
Meski event garapan New7Wonder Foundation tersebut berbau kontroversi - termasuk penyelenggaranya diragukan, tapi setidaknya menunjukkan bahwa komodo dan Pulau Komodo mendapat perhatian luas di mancanegara. Pesonanya sudah lama memikat wisatawan dari berbagai negara.
Baca ulasan saya mengenai New7Wonder of Nature:
- Yuk, Kita Dukung Pulau Komodo!
- Komodo dalam Dilema
- 7 Keajaiban Dunia dan Komodo
Bung Karno dan Secangkir Kopi
Tapi Flores bukan cuma soal pantai indah, laut mempesona, atau komodo yang gagah. Di sini juga tersimpan sejarah bangsa dan negara. Proklamator negeri ini, Bung Karno, pernah tinggal di Flores selama empat tahun sembilan bulan. Pemerintah kolonial Hindia Belanda membuangnya ke Ende untuk meredam aktivitas politik Sang Proklamator di Batavia.
Ada 10 situs penting terkait pengasingan Bung Karno di Bumi Flores. Di antaranya rumah pengasingan yang terletak di Jl. Perwira. Di rumah inilah Bung Karno menghabiskan kesehariannya dalam masa pembuangan bersama Ibu Inggit Garnasih, anak angkatnya Ratna Djuami, serta ibu mertuanya.
Rumah pengasingan Bung Karno di Ende terawat dengan sangat baik. Kondisinya masih sama persis seperti saat Bung Karno menempatinya dalam rentang waktu 14 Januari 1934 hingga 18 Oktober 1938. Berkunjung ke rumah ini kita diajak turut merasakan hari-hari Bung Karno selama menjalani masa pengasingan.
 Rumah pengasingan Bung Karno di Ende, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. FOTO: KOMPAS.COM/I MADE ASDHIANA
Rumah pengasingan Bung Karno di Ende, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. FOTO: KOMPAS.COM/I MADE ASDHIANASemasa di Ende inilah Bung Karno melahirkan rumusan Pancasila yang kelak jadi dasar Republik Indonesia. Menurut pengakuannya sendiri saat mengunjungi Ende sebagai Presiden RI pada tahun 1955, Bung Karno menyebut gagasan Pancasila lahir saat ia tengah merenung di bawah sebuah pohon sukun di pusat kota. Tempat dimaksud kini menjadi taman kota bernama Taman Renungan Soekarno, dengan Jl. Soekarno berada di sisinya.
Bung Karno penyuka kopi. Favoritnya kopi tubruk yang biasa ia seruput pagi-pagi di Istana sebelum menjalankan tugas negara. Demikian diceritakan Mangil Martowidjojo, eks Komandan Detasemen Kawal Pribadi Cakrabirawa yang mendampingi Bung Karno, dalam bukunya berjudul Kesaksian Tentang Bung Karno 1945-1967 (Grasindo, 1999).
Sayang, tak ada yang mengungkapkan apakah Bung Karno pernah mencicipi kopi Bajawa atau kopi Wae Rebo semasa tinggal di Flores. Sebab bagi penyuka kopi tak lengkap rasanya mendatangi Flores tanpa mencicipi kopi-kopinya yang khas.
 (Sumber foto)
(Sumber foto)Wae Rebo sebuah kampung tradisional yang terletak di barat daya Ruteng, ibukota Kabupaten Manggarai, NTT. Kampung ini hanya berisi tujuh rumah adat berbentuk kerucut dengan kerangka bambu dan atap dari daun lontar. Orang lokal menyebut rumah ini mbaru niang. Berada di ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut, Waerebo dikelilingi oleh perkebunan kopi nan luas.
Kopi dan Wae Rebo memang tak bisa dipisahkan. Warga Waerebo sangat akrab dengan kopi. Mereka bisa mereguk hingga 8-10 gelas kopi sehari. Tak heran jika banyak penyuka kopi yang sengaja datang ke sini hanya untuk mencicipi kopinya yang khas. Tumbuh di dataran tinggi serta tak tersentuh unsur kimia buatan sedikitpun, cita rasa kopi Wae Rebo banyak disukai oleh pecinta minuman berwarna hitam ini.
Bergeser ke timur, ada Kabupaten Ngada sebagai penghasil kopi terbesar di Flores. Kopi Bajawa hasil panen petani Ngada malah sudah diekspor ke mancanegara. Tahun 2011, seorang pengusaha Amerika Serikat memesan 1.000 ton kopi arabika organik (sumber).
Tak cuma AS, peminat juga datang dari Belanda, Jerman, Inggris, Filipina, dan yang terdekat dari Australia. Masing-masing pesanan berkisar antara 1.000-2.000 ton. Membuktikan betapa kualitas kopi Bajawa telah diakui dunia. So, rugi rasanya kalau ke Flores tak mencicipi kopi Bajawa.
Kearifan Lokal yang Terus Dijaga
Tak jauh dari Bajawa, ada sebuah kampung adat yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai dan budaya lokal. Kampung Bena namanya. Masuk ke dalam kampung ini kita serasa mundur ke jaman ratusan tahun lalu. Benar-benar sebuah kampung tradisional.
Terletak di puncak sebuah bukit menghadap Gunung Inerie, Kampung Bena terdiri dari 40 rumah tradisional. Dari kejauhan, Kampung Bena memanjang dari utara ke selatan terlihat seperti bentuk perahu. Pintu masuk berada di sisi utara, satu-satunya akses menuju ke kampung ini. Pada bagian ujung selatan merupakan puncak kampung dengan pemandangan alam mempesona.
Meski memeluk agama Katolik, warga Kampung Bena masih melestarikan tradisi leluhur. Di tengah-tengah Kampung Bena terdapat beberapa bangunan megalitikum. Salah satunya berbentuk perahu, tempat di mana upacara adat dilaksanakan.
Perahu dalam kepercayaan masyarakat Kampung Bena merupakan wahana untuk menuju ke alam roh setelah kematian. Bentuk perahu juga menggambarkan perjalanan nenek moyang penduduk Kampung Bena yang berperahu mengarungi ganasnya lautan dari Pelabuhan Juwana di Pati, Jawa Tengah, sebelum tiba di kampung tersebut.
 Kampung Adat Bena di Kabupaten Ngada, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. (Sumber foto)
Kampung Adat Bena di Kabupaten Ngada, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. (Sumber foto)Pemandangan serupa juga bisa kita saksikan di Ware Rebo. Sebuah perkampungan adat yang masih mengaplikasikan ajaran leluhur dalam kehidupan keseharian. Ciri khas Wae Rebo adalah mbaru niang, rumah adat yang didirikan tanpa paku. Hanya menggunakan bambu, kayu, atau rotan, dengan atap terbuat dari daun lontar, ijuk, atau ilalang.
Di Wae Rebo biasa digelar perayaan Penti, salah satu perayaan besar di Manggarai. Penti digelar setiap tahun sebagai ungkapan rasa syukur atas hasil panen yang diperoleh selama setahun, sekaligus doa dan harapan agar hasil tahun mendatang tak kalah bagus. Tahun ini, Penti direncanakan berlangsung pada 16 November 2016.
Jika Kampung Bena mudah dicapai menggunakan kendaraan bermotor, tidak demikian dengan Wae Rebo. Pengunjung harus menempuh rute mendaki nan terjal dan sedikit licin berjarak sekitar 5 kilometer. Melintasi Hutan Lindung Todo Repok nan asri, sampai ke ketinggian 1.200 mdpl. Terbayang kan bagaimana sejuknya tempat ini.
*****
Ah, masih sangat banyak pesona Flores yang tidak bisa dilewatkan. Tak cukup waktu 2-3 hari untuk menjelajahinya, karena dari Labuan Bajo di ujung barat hingga Larantuka di ujung timur tersaji keindahan alam yang menawan diselingi kearifan lokal nan menenteramkan sanubari.
Dari Pemalang tempat saya sekarang tinggal, perjalanan ke Flores bisa diawali dengan naik bus selama 5-6 jam ke Yogyakarta terlebih dahulu. Dari Kota Gudedg ada penerbangan menuju Labuan Bajo via Denpasar. Sejauh ini penerbangan langsung ke Labuan Bajo dari kawasan barat Indonesia hanya ada di Denpasar.
Coba cek tiket pesawat di Airpaz.com, penerbangan Yogyakarta-Labuan Bajo via Denpasar harganya bikin ngiler. Ambil contoh yang ditawarkan NAM Air untuk keberangkatan 23 September 2016, nomor penerbangan IN9274. Lihat pada screen capture di bawah ini. Ya, hanya Rp897.876 yang merupakan tarif termurah pada tanggal tersebut.

Tapi kan transitnya 7,5 jam sendiri di Bandara Internasional Ngurah Rai, Denpasar?
Tidak masalah. Potong tiga jam untuk perjalanan dan proses check in, ada sisa waktu 4,5 jam untuk keliling-keliling Bali. Jadi, wisata ke Flores bonusnya keliling Bali. Asyik, bukan? Kalau saya sih nggak mungkin menolak. Hehehe...
Oya, NAM Air adalah satu-satunya maskapai penerbangan Indonesia yang memperbolehkan pramugarinya berjilbab lho. Saya pernah berjumpa pramugari berhijab ini saat naik penerbangan Palembang-Jakarta pada pertengahan Mei lalu. Tanpa malu-malu saya pun mengajak pramugari bernama Tria tersebut foto bersama.
Baca juga:
Kembali ke perjalanan Pemalang menuju Flores melalui Yogyakarta dan Denpasar. Sekilas terlihat ini bukan perjalanan mudah, dengan biaya yang di atas kertas juga tidak murah. Tapi mengingat keindahan yang menanti, rasanya semua itu bakal terganti tuntas begitu menjejakkan kaki di sana. Keindahan yang membuat saya semakin mencintai Indonesia.
Artikel ini diikut-sertakan dalam Lomba Blog Cinta Indonesia yang diadakan oleh Airpaz.com. Baca disclaimer blog ini selengkapnya pada laman berikut.
[image error]
 
  
        Published on August 12, 2016 09:26
    
August 11, 2016
Indra Destriawan, Inspirasi dari Pelosok Batang

JANGAN sekali-kali meremehkan orang. Sekalipun kita lagi "di atas" alias lebih segala-galanya dari orang tersebut, menganggap remeh bukanlah sikap bijak. Ya, kita tidak pernah tahu bagaimana perkembangan orang itu kelak. Bisa jadi dua-tiga tahun lagi ia malah lebih oke dari kita. Kisah hidup Indra Destriawan ini contohnya.
Lulus SMA Indra tidak mungkin melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi karena alasan biaya. Jangankan berpikir kuliah, untuk kebutuhan sehari-hari saja ibu Indra harus berhutang dari satu rentenir ke rentenir lain. Pasalnya sang ibu sakit-sakitan, sehingga harus keluar-masuk rumah sakit dengan biaya yang tentu saja tidak sedikit.
Di saat teman-temannya sibuk memikirkan kuliah di mana, ambil jurusan apa, Indra hanya bisa menunggui ibunya yang sakit sembari mencari cara agar bisa mendapatkan penghasilan. Melihat tetangga kanan-kirinya banyak pengerajin batik, ia coba berjualan batik secara online dengan bermodal smartphone. Ia juga mengirim proposal penawaran seragam batik ke berbagai instansi.
Sembari merintis usaha, Indra menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan sosial. Ia bergabung dengan komunitas-komunitas relawan yang ada di Batang dan sekitarnya. Mulai dari Pagi Berbagi, Pekalongan Peduli, sampai kemudian informasi mengenai Sedekah Rombongan yang baru berdiri terdengar di telinganya.
Sedekah Rombongan (SR) adalah sebuah gerakan sosial yang digagas oleh pengusaha muda Yogyakarta, Saptuari Sugiharto. Gerakan ini fokus pada penanganan duafa sakit. Jadi kalau ada tetangga yang sakit parah tapi tak bisa berobat karena kondisi finansial yang tidak memungkinkan, silakan kontak Sedekah Rombongan. Kalau dinilai layak dibantu, seluruh biaya pengobatan sampai sembuh akan ditanggung.
Melihat fokus gerakan SR, Indra mantap mengajukan diri sebagai kurir. Boleh dibilang ia merupakan perintis SR di kawasan Pantura. Kurir pertama. Sebagai kurir tugasnya menyurvei kondisi calon pasien dampingan SR. Begitu ada informasi duafa sakit di area Pantura masuk ke email atau media sosial SR, Indra ditugaskan mendatangi alamat si sakit.
Ya, setiap calon pasien dampingan SR akan disurvei terlebih dahulu untuk menentukan layak-tidaknya dibantu. Indra-lah yang melihat kondisi tempat tinggal si sakit, mencari tahu kehidupan kesehariannya, menggali lebih banyak tentang penyakit yang diderita, mengambil foto-foto yang diperlukan, lalu melaporkannya ke koordinator kurir SR di Jogja.
 Indra Destriawan bersama kurir-kurir Sedekah Rombongan wilayah Pantura. Dua yang saya kenal Abud Furqan (nomor dua dari kanan) dan Muhammad Jumhan (paling kanan).
Indra Destriawan bersama kurir-kurir Sedekah Rombongan wilayah Pantura. Dua yang saya kenal Abud Furqan (nomor dua dari kanan) dan Muhammad Jumhan (paling kanan).Berdasarkan laporan dan foto-foto dari kurir seperti Indra inilah SR menentukan pilihan, dibantu atau tidak. Bantuan dari SR sendiri ada dua macam, berupa santunan atau ditanggung penuh biaya pengobatannya di rumah sakit hingga sembuh total. Semua tergantung jenis dan sudah seberapa parah penyakit tersebut.
Jika calon pasien yang disurvei dinilai layak dibantu, maka Indra pula yang menjadi kepanjangan tangan SR. Untuk bantuan berupa santunan, sejumlah uang akan ditransfer ke rekening Indra untuk disampaikan pada si sakit atas nama Sedekah Rombongan. Kalau bantuannya berupa biaya pengobatan, Indra harus membawa si sakit ke rumah sakit yang ditunjuk.
Tak cuma membawa ke rumah sakit, Indra bahkan nyaris seperti mengurusi pasien dampingan bersama-sama keluarganya. Tanggung jawab kurir adalah terus mendampingi sampai pasien dinyatakan sembuh oleh dokter. Karenanya Indra kerapkali menghabiskan malam di RS, atau tidur di dalam ambulans SR. Berhari-hari tak pulang ke rumah.
Mukjizat Pertama
Oya, kurir SR sama sekali tak memperoleh bayaran. Baik dari SR, lebih-lebih dari pasien dampingan. Biaya survei ke rumah calon pasien yang tak jarang terletak di kabupaten berbeda ya ditanggung sendiri oleh si kurir. Beli bensin, makan di jalan, dan semua pengeluaran lain keluar dari kantong kurir. Namanya juga relawan.
Seperti yang berulang kali ditekankan Saptuari, kurir SR tidak berharap gaji dan tidak akan pernah digaji. Kurir SR hanya mencari muka di hadapan Allah SWT. Maka nanti yang akan memberi bayaran, memberi gaji, adalah Allah. Langsung, kontan! Bukankah doa duafa serta doa orang sakit merupakan doa-doa yang makbul?
Indra sendiri dengan senang hati mejalani peran sebagai kurir SR. Untuk biaya operasional ia dapatkan dari berjualan batik, lalu mencoba berbisnis clothing dengan memproduksi kaos-kaos bertema anak muda. Tak sepeser pun ia mendapat uang dari SR. Tapi balasan lebih besar ia terima, ibunya tak pernah sakit lagi semenjak ia menjadi kurir SR.
Atas persetujuan Saptuari, Indra kemudian merekrut beberapa kurir lagi. Direncanakan tiap-tiap kabupaten ada setidaknya satu kurir. Lalu bergabunglah Abud Furqan dari Kesesi (Kab. Pekalongan), Ardiansyah Nasokha Afwan alias Ardi yang asli Temanggung tapi saat itu menetap di Pemalang, lalu masuklah saya di akhir 2012.
Baca juga: Suka-Duka Jadi Kurir Sedekah Rombongan

Saat saya masuk dalam jajaran kurir SR Pantura, Indra dipercaya sebagai koordinator. Jadi kami bertiga berada dalam koordinasi Indra, tidak lagi berhubungan langsung dengan SR Pusat. Mulai dari instruksi survei pasien, pemberian santunan, dll. semuanya turun dari Indra. Pada perkembangannya, penentuan pasien dibantu dengan santunan atau dibawa ke rumah sakit menjadi wewenang Indra. Ini menunjukkan betapa besarnya kepercayaan Saptuari pada bujangan asal Subah, Batang, tersebut.
Tak lama semenjak diangkat sebagai koordinator, Indra ditarik Saptuari ke Jogja. Amanahnya ditambah dengan mengurus media sosial SR. Kesibukannya bertambah. Meski demikian ia tetap dapat membantu keuangan keluarga dengan berjualan kaos distro secara online.
Rejeki lain diterima Indra begitu tinggal di Jogja. Koordinator Pusat Sedekah Rombongan yang juga merupakan bos besar Sidji Batik, Mas Karman, mengangkatnya sebagai karyawan. Ia bahkan pernah diajak ke Singapura saat Sidji Batik mengikuti pameran di Negeri Singa tersebut.
Begitu banyaknya amanah yang ia pegang semasa di Jogja membuatnya sangat jarang pulang ke Batang. Dalam satu kesempatan saat bertemu di Jogja saya dan Mas Furqan pernah mendengar sendiri "curhat" Indra mengenai keinginan ibunya agar ia kembali ke Batang dan menetap di sana. Sebuah permintaan yang membuatnya bimbang.
Merintis Alona Batik
Kira-kira dua tahun di Jogja, atas desakan sang ibu Indra akhirnya meminta ijin kembali ke Batang. Saptuari membolehkan. Indra tetap berstatus koordinator wilayah Pantura yang mengoordinir kurir di Batang, Pekalongan, Pemalang, Tegal, dan Brebes. Ia juga masih dipercaya sebagai admin medsos Sedekah Rombongan. Sesekali ia ikut survei calon pasien, atau mengantar-jemput ke rumah sakit.
Usaha berjualan kaos distro dihentikan. Sebagai gantinya ia fokus memasarkan batik. Awalnya ia menjajakan produksi orang lain, dengan berkeliling dari satu sekolah ke sekolah lain, dari satu instansi ke instansi lain, menyodorkan proposal pembuatan seragam batik. Sembari berkeliling, impian untuk mempunyai brand sendiri terus membayangi benaknya.
Setelah mempertimbangkan banyak hal, Indra mulai memberanikan diri memproduksi batik di bawah merek sendiri. Desember 2015, Indra memperkenalkan Alona Batik. Tapi jangan bayangkan usahanya dimulai dengan modal besar. Modalnya cuma keberanian dan optimisme. Usahanya dimulai dari rumah orang tuanya, tanpa karyawan satupun.
Untuk urusan produksi Indra memaksimalkan potensi tetangga kanan-kiri yang kebanyakan berprofesi buruh pembatik. Begitu pesanan masuk, Indra sendiri yang menyiapkan order dan mengirimkannya ke kantor ekspedisi. Dari Subah ke pusat kota Batang, kira-kira setengah jam perjalanan yang harus ia tempuh dengan sepeda motor. Ia merangkap sebagai pemilik, customer service, dan kurir sekaligus.
 Kesibukan di kantor Alona Batik, Batang. Tampak para karyawan tengah menyiapkan order.
Kesibukan di kantor Alona Batik, Batang. Tampak para karyawan tengah menyiapkan order.Dalam waktu singkat, sangat singkat bahkan, Alona Batik berkembang sebagai bayi ajaib dengan reseller sebanyak 200 orang di berbagai daerah. Jumlah tersebut meningkat lagi, lagi, hingga kini menjadi nyaris 500 reseller. Omsetnya jangan ditanya. Yang jelas kemajuannya bisa terlihat dari sembilan orang karyawan, serta sebuah kantor representatif di tengah kota Batang.
Masih penasaran berapa omsetnya? Sebagai gambaran berapa banyak paket batik yang dikirim Indra per harinya, pihak ekspedisi sampai rela mengirim satu armadanya untuk menjemput (pick up) ke kantor Alona Batik. Satu mobil khusus hanya untuk mengambil paket-paket Alona. Bayangkan.
Oya, perlu saya tambahkan Indra membangun Alona Batik tanpa pinjaman bank. Ia tergabung dalam komunitas anti riba yang digagas Saptuari. Alona benar-benar ia rintis dari kecil, dari nol. Dari mengerjakan semuanya sendirian di rumah orang tua, sampai bisa menggaji sembilan karyawan dan menyewa sebuah ruko di pusat kota Batang.
Bagi saya, perjalanan hidup Indra ini sangat inspiratif. Bukan melulu soal kesuksesannya membangun Alona Batik yang dalam tempo setengah tahun saja sudah beromset ratusan juta. Tapi lebih mengenai kerelaannya menyedekahkan sebagian besar hidupnya untuk membantu duafa sakit bersama Sedekah Rombongan. Kini, sekalipun sudah berstatus bos dan pengusaha muda, ia tetap mau menyetiri ambulans SR untuk menjemput pasien di pelosok-pelosok desa terpencil, serta tak jarang ikut memanggul tandu.
Inilah yang mendorong saya menuliskan kisahnya saat mengetahui lomba penulisan yang diadakan Bank OCBC NISP. Alhamdulillah, kisah yang saya tulis berhasil memikat juri sehingga masuk 10 besar. Agak disayangkan kisah inspiratif Indra tidak lolos ke lima besar karena kekurangan vote. Tapi bagi saya banyak atau sedikit vote yang didapat kisah ini tetaplah memberi inspirasi.
Baca juga: Juragan Batik Muda yang Sedekahkan Dirinya untuk Kaum Papa
Masih muda belia, ke mana-mana naik mobil dengan bisnis yang tengah naik daun, berbakti pada orang tua, murah hati, serta ringan tangan membantu derita duafa sakit. Hmmm, orang tua mana yang tak mengimpikan punya menantu seperti Indra Destriawan. Iya nggak, Bu? :)
 
  
        Published on August 11, 2016 21:26
    



