Eko Nurhuda's Blog, page 22

November 10, 2016

Seni Berburu Tiket Pesawat Murah Walau Tak Ada Promo


YANG sering naik pesawat terbang di tahun-tahun 2004 hingga 2013 pasti pernah merasakan, atau setidaknya tahu, promo gila-gilaan dengan harga tiket super duper murah. Jaman di mana tiket pesawat bahkan bisa lebih murah dari tiket bus eksekutif antarkota antarprovinsi.

Tapi masa-masa itu sudah berlalu. Sejak ditetapkannya pagu harga terendah tiket pesawat oleh Menteri Perhubungan (masa itu) Ignasius Jonan, jarang kita lihat maskapai menawarkan harga-harga miring. Ditambah lagi kini maskapai-maskapai semakin jarang mengadakan promo. Alhasil, mendapat tiket pesawat murah terasa lebih sulit.

Eit, tunggu dulu. Sulit bukan berarti tidak bisa ya. Walaupun jarang ada promo seperti dulu, kita tetap bisa kok mendapat tiket murah. Yang diperlukan adalah seni untuk mengetahui kapan harga tiket pesawat lebih murah dari biasanya.

Berikut beberapa hal yang musti diperhatikan kalau kamu ingin mendapat harga tiket pesawat terjangkau kantong walau sedang tidak ada promo. Sebagian dari tips di bawah ini merupakan pengalaman saya pribadi, diperkaya dengan hasil mengulik beberapa referensi.

1. Kota Tujuan
Perhatikan kota tujuan kamu. Kota-kota dengan trafik penerbangan tinggi cenderung mahal tiketnya. Masih ingat kan salah satu poin dalam pelajaran ekonomi di mana kalau permintaan tinggi, maka harga akan turut naik. Dalam dunia penerbangan, kota-kota destinasi favorit harga tiket pesawatnya sangat fluktuatif alias naik-turun dengan cepat.

Katakanlah Denpasar, Yogyakarta, Semarang, atau Surabaya untuk penerbangan domestik. Kalau penerbangan ke luar negeri contohnya sebut saja Singapura, Kuala Lumpur, atau Bangkok. Ciri kota tersebut merupakan destinasi favorit bisa dilihat dari keberadaan maskapai penerbangan budget rendah alias low-cost carrier yang melayani rute tersebut.

Kalau kota-kota demikian yang jadi tujuan kamu, dituntut kejelian lebih dalam membaca harga. Kalau kamu rasa harga hari ini merupakan penawaran terbaik, segera booking dan lunasi karena bisa jadi besok harganya naik. Walaupun naiknya mungkin cuma bilangan puluhan ribu, tetap saja namanya penghematan kan?

Hal berbeda untuk kota-kota yang trafik penerbangannya rendah, katakanlah rute sepi. Jadwal penerbangannya hanya ada sehari sekali dan dilayani satu maskapai saja - misalnya Pontianak-Kuching, atau malah sepekan cuma dua-tiga kali seperti Semarang-Kuala Lumpur. Kalau kota-kota demikian yang jadi tujuan, memesan tiket kapanpun biasanya tidak akan berbeda jauh selisih harganya.


2. Maskapai Penerbangan
Setelah kota tujuan, perhatikan juga maskapai penerbangannya. Bandingkan satu maskapai dengan maskapai yang lain. Apa saja layanan yang diberikan selama penerbangan, berapa kilogram jatah bagasi gratis yang diberikan dan apakah disediakan makan-minum di atas pesawat?

Karena fokus kita di harga, maka yang perlu dicatat adalah perusahaan-perusahaan low-cost carrier biasanya menerapkan sistem harga berbeda dengan maskapai bonafid yang menerapkan layanan penuh. Kita selama ini berpikiran pesawat-pesawat low-cost carrier memberikan harga lebih murah, tapi itu tergantung kapan tiketnya dipesan.

Tiket pesawat LCC bisa lebih murah kalau kita pesan jauh-jauh hari. Biasanya semakin jauh dari tanggal penerbangan bakal semakin murah. Malah maskapai seperti Air Asia kerap menggelar promo tiket murah untuk penerbangan tahun depan. Sebaliknya, pesawat-pesawat full-service menerapkan harga yang cenderung sama sepanjang tahun (year-round fare). Jadi mau pesan kapan saja selisihnya cuma sedikit.

Jadi, kalau jadwal keberangkatan masih lama maskapai LCC bisa jadi pilihan untuk menghemat budget. Tapi andai mendadak harus terbang dalam waktu dekat, tak jarang harga tiket pesawat full-service lebih murah ketimbang maskapai LCC lho. Telitilah sebelum membeli!

3. Jam, Hari, dan Tanggal Keberangkatan
Perhatikan juga hari keberangkatan, sebab harga tiket pesawat bisa berbeda-beda untuk tiap-tiap hari. Biasanya pada akhir pekan harganya akan lebih tinggi dari hari-hari biasa (Senin-Jumat). Maklum, biasanya kalau akhir pekan yang kerja kantoran pergi berlibur. Atau ada juga yang pulang kampung menjenguk keluarga.

Karenanya kalau mudik ke Jambi saya suka mengambil penerbangan di hari-hari kerja ketimbang weekend. Hari favorit saya adalah Selasa sampai Kamis. Beberapa kali saya dapat penerbangan yang pesawatnya kosong. Pesan empat kursi bisa bebas menikmati enam kursi sekaligus karena sederet hanya ada saya dan anak-istri.

Selain hari, waktu dan jam keberangkatan juga menentukan harga lho. Penerbangan Senin pagi harganya berbeda dengan Senin siang dan sore. Demikian pula penerbangan Jumat sore dengan Jumat pagi atau siang. Saya sendiri kalau terpaksa berangkat Senin, saya ambil penerbangan siang atau sore. Andai musti terbang hari Jumat, saya pilih penerbangan pagi. Saya menghindari penerbangan Jumat sore, Sabtu dan Minggu jam berapapun, serta Senin pagi.


Setelah hari dan jam keberangkatan, tanggal pun turut menentukan harga. Perhatikan baik-baik, harga tiket pesawat di tanggal 20-an cenderung lebih rendah dibanding tanggal muda alias awal bulan. Faktor gajian? Bisa jadi. Karena menganggap keuangan calon penumpangnya sudah menipis di akhir bulan, maskapai-maskapai pun memberi harga murah.

Pengalaman seorang teman saya bisa jadi contoh. Teman saya ini, sebut saja namanya Ali, mencari penerbangan Surabaya-Penang di awal Oktober. Harga paling murah untuk penerbangan direct kisaran Rp 1,2 sampai 1,4 juta dengan maskapai LCC. Karena satu dan lain hal rencananya berubah, dan dia baru bisa berangkat akhir bulan. Eh, ternyata dia malah dapat harga sejuta untuk penerbangan langsung.

Lumayan, hemat beberapa ratus ribu rupiah.

4. Harga Dasar Maskapai
Sepertinya repot ya kalau harus menghapal harga dasar setiap pesawat untuk masing-masing tujuan. Tapi setidaknya kita harus tahu harga tiket standar di luar promo ke kota yang hendak dituju. Ini akan sangat berguna untuk mengetahui apakah harga yang kita lihat pada saat melakukan pencarian sudah murah, atau bisa lebih murah lagi.

Kalau kita biasa menggunakan pesawat tersebut dan sering bepergian ke kota tertentu, kita akan tahu berapa tarif termurahnya. Kalau tidak, coba tanya teman yang kita tahu biasa bepergian dengan maskapai yang kita ingin tumpangi.

5. Harga Khusus
Walaupun tidak sedang menggelar promo, tak jarang sejumlah maskapai memberi harga khusus untuk penumpang tertentu. Cari tahu ini dan kita bisa menghemat budget yang jumlahnya lumayan untuk tiket pesawat.

Sebagai contoh Citilink. Maskapai low-cost carrier milik Garuda Indonesia ini memberi potongan harga 25% untuk penumpang anak-anak. Potongan berlaku sepanjang waktu tanpa peduli high season maupun low season, weekend atau weekdays. Asalkan calon penumpang berusia kurang dari 12 tahun, harga tiketnya direduksi 25%.

Bagi saya yang punya dua anak potongan semacam ini sangat membantu sekali. Harga tiket Jakarta-Jambi dan sebaliknya yang dipatok Citilink terbilang lebih tinggi dari maskapai LCC lain, katakanlah Lion Air. Tapi karena tiket anak-anak mendapat diskon 25%, total harga tiket untuk kami berempat (dua dewasa, dua anak-anak) dengan Citilink jadi lebih murah ketimbang menggunakan Lion Air.


6. Agen Penjual
Rasanya sekarang sudah sangat jarang sekali penumpang pesawat terbang yang membeli tiket langsung ke maskapai bersangkutan. Kebanyakan lebih suka membeli melalui agen-agen penjualan yang jumlahnya sangat banyak sekali. Salah satu alasannya, harga di agen seperti ini biasanya malah lebih murah dari harga resmi di website maskapai.

Saya sendiri termasuk penumpang pesawat yang begitu. Demi menghemat, saya biasanya membeli via agen ketimbang lewat situs resmi maskapai. Salah satu agen yang tengah jadi pembicaraan karena setiap hari bagi-bagi tiket gratis ke kota manapun yang kita inginkan adalah Tiket2.com. Coba deh mampir ke sana untuk mendapatkan tiket pesawat murah .

Selain faktor harga, kemudahan dalam pemesanan jadi pertimbangan lain. Tidak semua maskapai mempunyai aplikasi mobile, pun situs yang mobile-friendly, jadi pemesanan harus lewat website yang diakses menggunakan dekstop atau laptop. Ini tentu tidak praktis, terlebih bagi yang tidak memiliki jaringan internet kabel di rumah.

Yang paling penting bagi saya adalah kemudahan dalam pembayaran. Beberapa situs resmi maskapai hanya menerima pembayaran menggunakan kartu kredit. Ada yang menerima pembayaran via transfer ATM, tapi dengan waktu terbatas. Tidak cocok untuk saya yang jauh dari ATM. Pernah lho saya sampai di ATM pembayaran gagal karena batas waktunya sudah lewat. Sebel kan?

Nah, situs-situs penjual tiket pesawat seperti Tiket2.com menawarkan metode pembayaran lebih variatif. Selain kartu kredit dan ATM, kita juga bisa membayar lewat e-banking maupun e-payment. Jadi tidak ada ceritanya sudah jauh-jauh ke ATM, antri lama, begitu tiba giliran kita masa tenggang pembayaran sudah kadaluarsa.

*****
Itu dia enam poin yang perlu diperhatikan kalau ingin mendapat tiket pesawat murah tanpa menunggu promo. Semoga bermanfaat!


Foto-Foto:
1. http://lifehacker.com/the-best-time-a...
2. apa ya? :)
3. http://www.businessinsider.com/13-us-...
4.
Screenshot website
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on November 10, 2016 08:30

November 8, 2016

Memilih Video Player, Blu-ray vs DVD


PERNAH menghitung ada berapa film yang dirilis sepanjang tahun 2016 ini? Menurut laman
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on November 08, 2016 08:30

November 7, 2016

Tur Cokelat Bali Hari 4: Mengejar Lumba-Lumba di Lovina

AH, tak terasa Tur Cokelat Bali bersama Frisian Flag Indonesia sudah berlalu tepat sebulan lalu. Dan saya belum selesai juga menuliskan pengalaman berkesan ini! Oke, jadi inilah perjalanan kami di hari keempat. Mulai dari mengejar lumba-lumba di Lovina, kehujanan di Pura Ulun Danu Bratan, sampai belajar membuat cokelat di Pod Chocolate Cafe and Factory. Yuk, ah!

Oya, sebelum lanjut cerita, just info pada malam keempat kami diinapkan di Hotel The Lovina Bali. Nanti saya buatkan review-nya di blog ini, juga video room tour di channel YouTube saya. Untuk sementara, kalau penasaran dengan hotel ini sila cek www.thelovinabali.com.

BACA JUGA:
- Asyiknya Tur Cokelat Bali bersama Frisian Flag
- Tur Cokelat Bali Hari 1: Mengejar Sunset di Jimbaran, dan... Tertutup Awan!
- Tur Cokelat Bali Hari 2: Hujan-Hujanan di Taman Ujung Soekasada
- Tur Cokelat Bali Hari 3: Massage Cokelat di Sedona Spa Ubud

Agenda pertama di hari keempat, 9 Oktober 2016, adalah melihat lumba-lumba. Yeay! Malam hari sebelum masuk kamar masing-masing kami sudah diberitahu kalau bakal ada morning call jam 05.45 WITA. Ternyata jauh sebelum telepon morning call berbunyi istri sudah membangunkan saya. Toilet mengeluarkan suara berisik yang ternyata dikarenakan tombol penyiram nyangkut, tidak mau naik lagi setelah dipencet.

Meski demikian, anak-anak baru kami bangunkan begitu dapat morning call dari resepsionis. Kami diminta berkumpul di pantai, makan snack dan teh atau kopi hangat, lalu naik ke kapal untuk ke tengah laut. Sayangnya, anak-anak susah sekali dibangunkan. Jadilah Pak Rahmat sampai harus mendatangi kamar kami karena yang lain sudah berlayar.

Akhirnya, setelah berkali-kali membangunkan Damar dan Diandra mau bangun juga. Bukannya siap-siap ke laut, mereka malah sibuk mau berenang. Maklum, kami diinapkan di kamar model villa dengan private pool. Setelah diingatkan kalau kami mau melihat lumba-lumba, barulah mereka mau beranjak dari samping kolam renang.

Benar saja. Kami keluarga pemenang satu-satunya yang belum berangkat. Di pantai hanya ada Pak Rahmat, Mbak Ade, serta 2-3 orang orang lagi dari pihak penyelenggara tur. Bergegas kami ke kapal yang sudah diisiapkan, ditemani Mas Adit untuk mendokumentasikan pengalaman kami pagi itu untuk keperluan promosi Frisian Flag.


Satu-satu anak dan istri saya naik, disusul saya, dan terakhir Mas Adit. Mesin perahu dihidupkan, kemudian perahu bergerak menjauhi pantai. Tiba-tiba saya sadar kami belum mengenakan jaket pelampung. Berbarengan dengan itu Mbak Ade berlari-lari ke arah kami, berteriak, "Pelampungnya dipake! Kalau nggak pakai pelampung tar nggak boleh masuk video!"

Spontan saya menoleh ke buritan, ke arah bapak pengemudi kapal. "Pelampungnya di mana, Pak?" Si Bapak menjawab pelampung ada di depan, di bagian yang ada tepat di hadapan Mas Adit. Pelampung pun dibagikan satu-satu secara estafet kepada semua penumpang. Saya memakai pelampung jatah saya dulu baru memakaikan milik anak-anak.

Lucunya, Diandra malah menangis waktu disuruh pakai pelampung. "Nggak mau, nanti kalau pakai pelampung berarti perahunya mau tenggelam," katanya sambil memeluk ibunya. Hihihi, dasar anak-anak.

Kira-kira 10-15 menit berlayar, sampailah kami di spot tempat banyak perahu lain sudah menunggu kemunculan lumba-lumba. Kami juga melihat keluarga Mas Jimmy, salah satu pemenang lain, yang menaiki perahu bernama Goujou bersama Mas Marlen sebagai tim dokumentasi.

Tak sampai lama menunggu, lumba-lumba pertama terlihat di sisi kiri perahu kami. Sendirian. Damar berteriak memberi tahu saya yang sedang asyik merekam perahu-perahu lain di depan. Lalu diikuti lumba-lumba berikutnya yang juga muncul sendiri-sendiri di permukaan tak jauh dari perahu yang kami naiki.

Kalau Damar senang dan berteriak-teriak antusias melihat lumba-lumba yang muncul dan meloncat, Diandra malah tambah ketakutan. Susah payah ibunya membujuk dengan mengatakan kalau lumba-lumba itu tidak mungkin naik ke atas perahu dan menggigitnya. Ya, waktu saya tanyai sekembali ke kamar hotel, Diandra bilang takut digigit lumba-lumba. Ada-ada saja...

Setelah lumba-lumba yang muncul sendirian, berikutnya kami melihat rombongan lumba-lumba. Mulai dari rombongan berisi 4-5 ekor, sampai yang jumlahnya banyak sekali. Salah satu dari rombongan tersebut berenang kira-kira 1-2 meter di samping kanan perahu kami. Saya kira jumlahnya lebih dari 10 ekor. Kami pun dibuat mengucap kata "Wow! Wow!" berulang kali.

Sepotong keseruan melihat lumba-lumba di Lovina hari itu saya abadikan dalam video singkat di bawah ini. Video versi lebih panjang jadwal editing-nya masih menunggu antrian. Harap maklum ya. Hehehe...



Sarapan Bareng Indro Warkop
Matahari beranjak lebih tinggi. Bapak pengemudi perahu mengatakan kalau mau terus melihat lumba-lumba kita musti berlayar lebih jauh ke tengah, seperti dilakukan beberapa kapal lain. Saya, istri, dan Mas Adit sepakat untuk kembali ke hotel saja. Kami harus sudah berangkat ke destinasi selanjutnya pada jam 09.00 WITA. Sedangkan kami belum mandi dan sarapan.

Sampai di pantai, dengan pertimbangan biar tidak bolak-balik ke kamar saya ajak anak-anak dan istri untuk sarapan dulu saja. Dari pantai ke kamar melewati area yang sudah dekat sekali dari restoran, jadi mending sarapan dulu baru mandi.

Tamu The Lovina Bali sedang ramai tampaknya. Lantai dasar restoran sudah penuh oleh tamu yang tengah sarapan, jadi kami naik ke lantai atas. Di sini juga hanya tersisa beberapa kursi kosong. Kami meletakkan tas dan sepatu di meja dekat tangga, lalu mengambil makanan dari deretan menu di sisi lain ruangan.

Sama seperti sarapan di Candidasa kemarin, hari itu Damar dibuat sumringah karena menu favoritnya tersedia: ayam kecap. Diandra juga dibuat senang sekali karena buah-buahannya beraneka rupa. Selain semangka dan pepaya yang sudah diiris-iris di piring, buah-buahan lain tersusun rapi di keranjang. Jeruk, salak, pisang, entah apalagi saya tidak ingat.

Belum lama kami duduk dan menyantap sarapan pilihan masing-masing, istri berbisik ke saya sembari melirik ke arah tangga. "Ada Om Indro," katanya. Saya awalnya nggak ngeh Om Indro siapa yang dimaksud. Begitu saya mengangkat kepala mencari-cari, sosok yang amat familiar sejak saya kecil tersebut menarik kursi di meja tepat di sebelah kami. Posisi Om Indro duduk persis di belakang istri.

Saya langsung kepikiran minta foto bareng. Tapi, tunggu dulu. Om Indro mau sarapan. Ia bahkan belum mengambil makanannya. Jadi saya tahan keinginan untuk mendekat dan mengajak foto bareng. Akhirnya saya hanya merekamnya secara candid dari tempat saya duduk, juga memfoto istri dengan latar belakang Om Indro. Dan begini hasilnya.


Lumayan, satu frame berarti foto bareng kan? Hehehe...

Selesai sarapan, dan Om Indro saya lihat juga sudah menghabiskan makanannya, barulah saya mendekat. Tapi tidak jadi berfoto bareng. Alih-alih, saya mendekat dan menjabat tangannya sembari mengucapkan selamat. "Selamat ya, Om, film Warkop DKI Reborn mencetak rekor baru," kata saya. Om Indro tersenyum lebar dan membalas dengan ucapan terima kasih.

Begitu masuk kamar, saya langsung membuka kaos dan menceburkan diri ke kolam renang. Waktu itu sudah jam setengah sembilan, dan sebelum kami ke kamar Pak Rahmat berpesan sudah harus ada di lobi jam 09.00 WITA. "Paling telat 09.15-lah," imbuh tour leader kami itu. Jadi saya punya waktu 45 menit untuk berenang, berkemas, dan berjalan menuju lobi.

Sebenarnya itu waktu yang sempit sekali untuk berenang, apalagi buat anak-anak yang sangat suka bermain air. Tapi masa iya kami diinapkan di villa dengan kolam renang privat dan tidak berenang di dalamnya? Rugi dong. Jadi walaupun setiap beberapa menit berteriak menanyakan jam pada istri, saya dan anak-anak berenang. Ini juga memberi kesempatan bagi istri saya untuk mandi dan membereskan bawaan kami.

Setengah jam kemudian istri mengingatkan kami, "Sudah jam sembilan." Oke, waktunya mentas dari kolam. Anak-anak terlihat malas-malasan dan harus diajak berulang kali sampai akhirnya mau beranjak dari dalam kolam renang. Saya juga sebenarnya masih mau berenang, tapi mau bagaimana lagi? Mudah-mudahan lain kali ada rejeki dan kesempatan ke Hotel The Lovina Bali lagi.

Kehujanan di Pura Ulun Danu
Well, seolah ingin menegaskan kalau Bali itu masih Indonesia dan anggota rombongan Tur Cokelat Bali adalah orang Indonesia tulen, pendek kata: molor! Bus seharusnya meninggalkan hotel paling telat jam 09.30 WITA, tapi sampai setengah jam kemudian kami masih harus menunggu anggota rombongan yang entah tengah berada di mana.

Eh, ndilalah, di satu tempat yang entah saya tidak tahu di mana terjadi kemacetan panjang. Bus terhenti selama sekitar setengah jam. Untunglah dua kejadian tersebut tak membuat urut-urutan perjalanan jadi kacau. Hanya saja jatah kami mengelilingi Pura Ulun Danu dipotong sebagai kompensasi. Dari seharusnya dua jam, menjadi hanya satu jam saja.

Sampai di Pura Ulun Danu Bratan, anak-anak tak bisa menahan diri untuk tidak berlari-larian. Dari pintu masuk kawasan pura sampai ke gerbang pura mereka berlari-lari. Begitu juga begitu sampai di komplek pura. Mereka baru mau berhenti sewaktu saya mengeluarkan uang Rp50.000 dan menunjukkan kalau pura yang gambarnya ada di uang tersebut adalah pura yang saat itu ada di hadapan mereka.



Seperti biasa, kami pun berfoto-foto. Untuk kali pertama selama di Bali, Damar meminta difoto. Biasanya dia malah lari atau beraksi aneh-aneh kalau saya mengarahkan kamera kepadanya. Tapi hari itu dia malah bilang, "Mau difoto di sana." Sembari menunjuk patung dua ular memakai mahkota tak jauh dari tempat kami duduk.

Puas berfoto-foto, kami diminta berkumpul ke lapangan rumput di dekat dermaga danau. Hari itu akan diadakan pengambilan gambar Joget Cokelat untuk keperluan iklan Frisian Flag. Pertama-tama kami direkam bersama-sama, seluruh pemenang bersama host dan anggota rombongan Tur Cokelat Bali. Setelah itu keluarga pemenang direkam satu-satu.

Tepat begitu pengambilan gambar selesai dan tim dokumentasi memberesi perlengkapan mereka, hujan turun. Mbak Ade membagi-bagikan jas hujan plastik pada kami. Tapi anak-anak tidak enjoy memakainya karena terlalu besar, bukan ukuran anak-anak. Melihat hujan hanya rintik-rintik mereka minta jas hujan dilepas.

Keputusan salah. Hujan memang hanya rintik-rintik, tapi itu tak berlangsung lama. Ketika saya dan Damar sedang asyik melihat-lihat rusa, hujan deras seperti ditumpahkan dari langit. Kalang kabut saya mengajaknya berlari sekencang mungkin ke gedung terdekat. Istri saya entah di mana, kami memisahkan diri karena Diandra minta naik ayunan di tempat lain.

Masalahnya, jas hujan dibawa istri semua! Jadilah saya dan Damar basah-basahan. Kami beruntung bisa mencapai gedung loket sebelum benar-benar basah. Tapi kami tak bisa ke bus. Untunglah kemudian saya melihat istri tengah berjalan menggendong Diandra di kejauhan, memakai jas hujan dan membawa payung.

Saya ajak Damar mendekati istri. Agar tak terkena air hujan kami berjalan menempelkan badan di tembok gedung. Tapi di satu tempat kami tak bisa melanjutkan langkah. Ada pagar yang memisahkan, sehingga kami hanya bisa berdiri diam menempel tembok. Apa akal?

Ah, ada ibu-ibu sendirian bawa payung di sebelah. Saya memanggil si ibu. Maksud saya mau menitipkan Damar agar dibawanya menyeberang ke gedung sebelah. Si ibu tidak menoleh. Saya kuatkan suara saya, sekali-dua kali lagi memanggil, tetap saja tidak menoleh. Pada percobaan berikutnya saya panggil sembari mendekat. Eh, si ibu hanya melirik ke arah saya lalu bergegas pergi ke gedung sebelah.



Oke, mau tak mau kami harus menerjang hujan kalau mau mendekat ke istri saya yang saya lihat ada di toilet. Saya beri tahu Damar kalau kami harus menyeberang dan agar tidak basah saya memintanya berlari sekencang mungkin. Saya ingatkan juga begitu sampai di gedung sebelah ia musti hentikan larinya karena ubinnya yang halus terlihat basah. Ia bisa terpeleset karena licin.

Alhamdulillah, kami sukses mencapai gedung sebelah. Lalu lagi-lagi dengan berjalan mepet tembok kami sampai di toilet di mana istri saya tengah bersiap ke bus. Rupanya anggota rombongan tur yang lain ada di sana. Mas Dicky Fredixon dari Leo Burnett, agency perwakilan Frisian Flag Indonesia yang mengurusi event Tantangan Joget Cokelat, menawarkan tumpangan payung. Saya minta ia membawa Damar saja, saya cukup memakai jas hujan.

Belajar Membuat Cokelat
Singkat cerita, kami masuk ke bus dalam kondisi basah meski tak sampai kuyup. Untungnya anak-anak membawa baju ganti. Hujan baru berhenti total setelah kami makan siang di De Danau Resto tak jauh dari pura. Perjalanan kami lanjutkan ke Pod Chocolate Cafe and Factory di daerah Petang, Kabupaten Badung. Kira-kira dua jam perjalanan dari Pura Ulun Danu Bratan.

Perjalanan berlangsung lancar. Kami sampai di Pod Chocolate disambut oleh teriakan beruang madu dan suara terompet gajah. Ya, tempat ini awalnya semacam penangkaran hewan-hewan buas, terutama gajah, untuk tujuan rekreasi. Pemilik Pod Chocolate Cafe and Factory sendiri merupakan putra pengelola Bali Elephant Camp atau Bali Elephant Ride.

Kafe dan pabrik cokelat di tempat ini terletak bersebelahan dengan kandang gajah milik Bali Elephant Camp. Gajah-gajah di kandang tersebut dapat disewa dengan tarif mulai dari USD 70 untuk dewasa dan USD 51 untuk anak-anak. Penyewa akan diajak berkeliling areal perkebunan dan Sungai Ayung.

Mau tahu apa saja yang kami lakukan di Pod Chocolate? Yuk, tonton video di channel YouTube anak saya berikut ini. Hehehe...



Setelah belajar membuat cokelat dan mencicipi es cokelat yang disediakan, kami kemudian dijelaskan mengenai proses pembuatan cokelat. Mulai dari budidaya pohon kakao, bagaimana ciri-ciri buah kakao yang siap dipanen, cara mengolah biji kakao sampai menjadi cokelat bubuk, dan kemudian dikreasikan menjadi berbagai macam dan bentuk cokelat batang.

Kegiatan lain yang dilakukan di sini adalah pengambilan gambar untuk iklan Frisian Flag. Keluarga saya dapat giliran direkam. Saya dan istri diminta menceritakan pengalaman selama mengikuti Tur Cokelat Bali. Sayangnya, saya kok grogi ya. Blank betul entah apa yang diceritakan. Take sampai harus diulang karena Mas Adit terlihat belum puas dengan hasil shooting pertama.

Wah, jadi bintang iklan dong? Hahahaha, saya dan keluarga hanya nongol beberapa detik saja dalam video kedua Tur Cokelat Bali yang dirilis Frisian Flag. Tapi tak apa. Kalau mau melihat wajah saya sepuasnya silakan mampir saja ke channel YouTube saya ini. Hehehe.

Oke, singkat kata singkat cerita aku dan dia jatuh cinta. Eh, maksudnya selesai dari Pod Chocolate kami bergerak menuju Kuta. Kami akan kembali menginap di Hotel Grand Ixora Kuta Resort yang kami tempati di malam pertama. Perjalanan sejauh 40 km tersebut kami tempuh selama sekitar dua jam. Maklum, jalanan macet.

Sebelum ke hotel kami mampir ke sebuah restoran yang saya lupa namanya Jasmine atau apa. Anak-anak sudah mengantuk berat, jadi acara makan diisi dengan kerewelan mereka. Mau tak mau saya dan istri makan cepat-cepat sembari sebisa mungkin menyuapi keduanya. Tak sampai 15 menit di meja makan kami sudah keluar lagi untuk menenangkan anak-anak.

Di bagian depan restoran ada akuarium berbagai bentuk berisi berbagai jenis ikan dan hewan laut lain. Anak-anak senang sekali di sana. Kami melihat-lihat akuarium tersebut sampai anggota rombongan lain menyelesaikan makan malam mereka. Lepas itu kami beranjak ke hotel.

BERSAMBUNG...
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on November 07, 2016 01:06

November 1, 2016

Sedapnya Jadi Food Enthusiast


ICIP-ICIP makanan enak di restoran, seringnya ditraktir, sudah itu dibayar pula. Siapa yang tidak mau pekerjaan macam begini? Saya sih mau pake banget. Itu sebabnya saya bela-belain datang jauh-jauh dari Pemalang untuk mengikuti event Ngobrol Bareng Blogger Semarang yang diadakan Bank BCA, akhir Agustus lalu.

Bertempat di Nestcology, sebuah restoran berkonsep open kitchen di kawasan Candi Baru, Rabu (31/8/2016) malam, puluhan blogger dari Kota Semarang dan sekitarnya berkumpul untuk menyimak paparan Mas Nuno Orange .

"Orange" pada nama belakangnya ini saya yakin bukan nama asli. Entah siapa nama belakang sebenarnya, saya kok lupa bertanya saat kemarin ketemu. Yang jelas, Mas Nuno yang juga penyiar radio Gajah Mada FM ini merupakan seorang food enthusiast.

Maaf, food apa tadi?

Kalau ada yang bertanya begitu sembari mengernyitkan kening, food enthusiast adalah seseorang yang tertarik pada makanan. Bahasa gampangnya suka mencicipi makanan. Urban Dictionary mendefinisikan food enthusiast dengan kalimat "Someone who loves trying newly discovered foods." Seseorang yang suka mencobai makanan-makanan atau menu baru.

Mas Nuno sendiri dalam penjelasannya mengatakan, food enthusiast adalah sebutan bagi orang yang suka mencoba makanan-makanan baru, mendatangi tempat makan seru, dan senang mengunggah hasil "buruannya" ke media sosial atau lewat posting blog. Sudah mulai tergambar kan bagaimana sih seorang food enthusiast itu.

Berawal dari hobi, yaitu hobi makan tentu saja, Mas Nuno senang sekali mencicipi makanan-makanan baru atau yang sedang tren di kalangan anak muda. Tiap kali ada makanan baru di seputaran Kota Semarang, ia selalu sempatkan diri untuk merasainya. Begitu pula kalau ada restoran atau tempat hang out yang baru buka, Mas Nuno tak mau ketinggalan meramaikan.

Kehadiran media sosial membuat Mas Nuno rajin mengunggah makanan-makanan yang pernah ia cicipi, juga restoran-restoran yang pernah ia datangi. Kebanyakan ia bagikan di Instagram berupa foto-foto, lalu uraian lebih lengkap dipublikasikan di blog.


Seiring dengan semakin meningkatnya jumlah follower dan pembaca blog, sharing iseng-iseng yang dilakukan Mas Nuno jadi semacam promosi bagi restoran yang ia datangi. Dari sinilah peluang hadir. Ia kerap diundang restoran untuk mencicipi menu-menu baru. Tentu saja makan gratis, dan tak jarang malah mendapat fee. Sedapnya...

Kerja sama ini menguntungkan kedua belah pihak. Mas Nuno dapat mencicipi makanan baru sebagai bahan update akun media sosial dan blognya, restoran pengundang mendapatkan promosi gratis plus engagement dari calon konsumen. Simbiosis mutualisme. Belakangan, sejumlah food enthusiast bahkan bisa hidup mapan mengandalkan fee sebagai corong promosi restoran-restoran.

Modal Food Enthusiast
No pain no gain, demikian bunyi satu kata bijak. Sebelum bisa "menghasilkan" dan hidup cukup, seorang food enthusiast harus berkorban dulu di awal-awal merintis karier. Mas Nuno menerangkan, undangan dari restoran tidak ujug-ujug datang begitu saja. Kita harus terlebih dahulu menunjukkan siapa kita sebelum dilirik untuk kerja sama.

Di fase-fase "memperkenalkan diri" inilah si food enthusiast butuh modal tidak sedikit. Untuk apa? Untuk membeli makanan-makanan yang akan ia cicipi dan foto-fotonya dibagikan di media sosial. Biaya yang harus dikeluarkan bukan cuma harga makanan saja, tapi juga ongkos menuju ke restorannya.

Apalagi demi menjaga konsistensi update, kita harus rutin mencicipi makanan-makanan baru dan mendatangi tempat-tempat baru. Artinya, dibutuhkan anggaran rutin setiap bulan. Sementara pemasukan maupun undangan makan gratis dari restoran belum kunjung datang. Di sinilah ujian terberatnya.

Tapi sebenarnya modal tersebut juga tak bisa dibilang banyak sih. Tinggal pandai-pandai menyiasatinya saja. Strategi termudah sekaligus murah meriah adalah mencicipi jajanan jalanan (street food). Jenis makanan begini mudah didapatkan di pinggir-pinggir jalan, tak perlu masuk ke restoran atau kafe, dan yang terpenting harganya terjangkau kantong.

Di Semarang, ada banyak sekali street food yang menarik diangkat. Sekedar contoh, sebut saja Nasi Ayam Ibu Sami di kawasan Simpang Lima, Es Puter Cong Lik di Jl. Krese, tahu gimbal di sekitaran Taman KB, atau Lekker Paimo di Jl. Karang Anyar depan SMA Kolose Loyola. Kue lekker di tempat ini harganya malah dimulai dari seribuan saja lho.

Atau kalau memang harus ke restoran, satu yang disarankan Mas Nuno adalah pergi bersama teman. Semakin banyak semakin bagus. Selain dapat menghemat ongkos, dengan makan bersama banyak orang kita bisa mencicipi banyak makanan sekaligus tanpa harus membayar semuanya. Sekali dayung dua-tiga pulau terlampaui, begitu kata pepatah.


Misalnya saya pergi ke Restoran Enak Tenan bersama Amir, Bambang, Cindy, dan Diana. Katakanlah sampai di sana saya memesan sate belut, Amir memesan nasi goreng kambing, Bambang memesan sambal goreng mercon, Cindy memesan mie goreng udang, dan Diana memesan bubur jumbo. Lihat, sudah ada lima jenis makanan di meja yang siap difoto-foto.

Khusus untuk saran ini, pastikan teman-teman kita tidak keberatan makanan pesanannya difoto-foto dulu sebelum disantap. Akan lebih baik lagi kalau si teman bersedia memberi barang satu-dua suap untuk kita cicipi. Sekedar tahu rasanya supaya ulasan yang ditulis lebih akurat.

Split Bill
Cara lain yang juga bisa dipraktikkan adalah dengan memanfaatkan layanan berbagi pembayaran atau split bill. Jadi, dari total pesanan berapa rupiah lantas dibagi jumlah rombongan dengan nominal yang telah disepakati. Apakah langsung dibagi lima sama rata, atau berbeda-beda nilainya untuk masing-masing teman.

Sekarang ada banyak sekali layanan pembayaran yang menyediakan fitur split bill. Satu yang masih hangat adalah Sakuku, sebuah dompet elektronik milik BCA yang pertama kali diluncurkan pada 28 September 2015, kemudian di-relaunch pada 29 Februari 2016.

Sakuku dapat digunakan untuk pembayaran belanja - termasuk tagihan makanan di restoran, isi pulsa, dan transaksi perbankan lainnya. Berita baiknya, Sakuku dapat digunakan secara gratis 100%. Tidak ada biaya apapun yang dikenakan pada pengguna.

Untuk dapat menggunakan Sakuku kita cukup menginstal aplikasinya yang dapat diunduh secara gratis di Apps Store (bagi pengguna iPhone) atau Google PlayStore (bagi pengguna Android). Oya, pastikan smartphone yang digunakan sudah memakai sistem operasi Android 4.0 atau iOS 7.1 ke atas. Setelah aplikasi Sakuku terpasang di hape, selanjutnya tinggal daftarkan diri menggunakan nomor hape, lakukan verifikasi, dan Sakuku siap digunakan.

Karena berupa dompet elektronik, kita harus mengisi saldo Sakuku terlebih dahulu sebelum dapat digunakan. Top up saldo dapat dilakukan melalui transfer di ATM, lewat klikBCA, maupun layanan mobile banking m-BCA. Saldo maksimum untuk setiap akun Sakuku adalah Rp1.000.000.


Kurang banyak? Tingkatkan akun menjadi Sakuku Plus! Dengan upgrade layanan ke Sakuku Plus, saldo maksimal bertambah menjadi Rp5.000.000. Lebih penting lagi, fitur split bill yang tadi kita bahas hanya bisa digunakan oleh pemilik akun Sakuku Plus.

Keuntungan lainnya, dengan Sakuku Plus kita dapat melakukan transfer dana ke sesama pengguna Sakuku. Atau sebaliknya, kita bisa minta dikirimi uang dari pengguna lain.

Satu fitur Sakuku Plus yang paling membuat saya tertarik adalah tarik tunai di mesin ATM tanpa kartu. Jadi, kita bisa menarik uang dalam saldo Sakuku Plus melalui mesin ATM. Caranya juga simpel, hanya dengan memasukkan kode penarikan yang diberikan oleh aplikasi sesaat setelah kita mengajukan permohonan tarik tunai via ATM.

Bagi saya fitur tarik tunai di ATM ini merupakan highlight Sakuku Plus. Fungsinya sebagai dompet benar-benar terasa, karena saat membutuhkan dana tunai kita bisa mengambilnya kapan saja di mana saja. Mau dompet ketinggalan juga tidak perlu bingung asalkan hape di mana aplikasi Sakuku Plus terinstal ada di kantong.

Nah, buat kamu yang tertarik menggeluti profesi food enthusiast, Sakuku tengah mengadakan Food and Beverage Festival yang sudah berlangsung sejak 29 Juli lalu. Sepanjang periode festival ini kita bakal mendapat diskon 50% atau tawaran buy one get one free bila memakai Sakuku sebagai metode pembayaran di 13 merchant yang berpartisipasi.

Kok cuma 13 merchant? Tenang, yang 13 itu hanya jumlah merchant yang ikut dalam Food and Beverage Festival. Daftar merchant Sakuku sendiri ada banyak sekali. Dan kebanyakan merupakan restoran atau cafe. Lebih lengkapnya dapat dilihat di halaman ini (klik saja).

Well, tertarik jadi food enthusiast seperti Mas Nuno? Jangan lupa unduh dan pakai aplikasi Sakuku agar hang out berburu makanan jadi lebih all out.

Semoga bermanfaat!

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on November 01, 2016 07:50

October 31, 2016

Asyiknya Naik KRL ke Kota Tua Jakarta


DARI sekian tempat menarik di Jakarta, saya paling penasaran dengan Kota Tua. Alasan pertama adalah cerita yang membungkus kawasan tersebut. Sebagai eks siswa yang dapat nilai 10 dalam pelajaran Sejarah, saya sangat menyukai cerita-cerita masa lalu. Makanya bangunan-bangunan tua di Kota Tua seperti memiliki magnet bagi saya.

Sayangnya, entah berapa kali saya ke Jakarta cuma singgah. Seringnya sih menginap semalam, baik dalam perjalanan mudik dari Pemalang ke Jambi atau pas ada jadwal ke kota-kota lain di Sumatera. Tapi sebuah rencana yang berantakan di akhir Agustus memberi berkah bagi saya.

Cerita sedikit ya. Pertengahan Agustus lalu saya diajak mengunjungi kebun buah di Lampung. Beberapa hari sebelum berangkat, datang tawaran untuk menghadiri sebuah acara blogger di Jogja. Ada fee-nya tentu saja, kalau tidak saya bakal berhitung ikut acara blogger sampai ke sana. Hehehe...

Saya menyanggupi datang walaupun waktunya terhitung mepet dengan jadwal saya ke Lampung. Tanggal 24-25 Agustus di Lampung, acara di Jogja tanggal 26 Agustus. Saya pun menyusun rencana. Pulang dari Lampung, saya akan langsung terbang ke Jogja. Menginap semalam, baru besoknya ikut acara yang diadakan oleh sebuah bank beken tersebut.

Maka saya siapkan semua yang terkait dengan rencana tersebut, termasuklah tiket pesawat Jakarta-Jogja. Saya sengaja tidak memesan hotel karena ada beberapa saudara yang bisa ditumpangi. Ngirit, kalau nggak nanti fee-nya cuma habis buat tiket pesawat dan hotel. Istri saya nggak kebagian jatah dong?

Oke, clear. Perjalanan pun saya mulai dari Stasiun Pemalang, dengan tujuan Jakarta. Naik kereta api Tawang Jaya, estimasi saya bakal sampai di Stasiun Pasarsenen sekitar jam setengah sembilan malam. Perjalanan lancar. Saya sudah merancang-rancang, begitu sampai Senen langsung ambil KRL ke Tanah Abang dan lanjut ke Palmerah.

Eh, sampai Stasiun Jatinegara saya dapat SMS, "Mas, acara yang di Jogja diundur entah sampai kapan. Mas Eko ikut yang di Semarang aja ya tanggal 28. Brief-nya dikirim lewat email." Saya tertawa geli dan cuma bisa jawab, "Oke, Mbak. No problem."


Family Time
Apa boleh buat, rencana pun berubah. Malam itu juga saya cancel tiket Jakarta-Jogja. Pulang dari Lampung, saya tidak langsung balik ke Pemalang. Salah satu faktornya tidak ada lagi tiket tersisa untuk tanggal 25 Agustus malam. Tanggal 26-nya ada, tapi tanggung sekali rasanya kalau saya sampai Pemalang tanggal 27 pagi, terus tanggal 28 sudah pergi lagi ke Semarang.

Setelah diskusi singkat dengan istri via SMS, saya memutuskan tetap di Jakarta sampai tanggal 27. Kontrakan adik saya di Palmerah jadi base camp, dengan adik saya satunya lagi yang kuliah di Bogor jadi teman. Ini family time yang tidak direncanakan sebelumnya, jadi kami merasa senang sekali. Terakhir kali kami berkumpul seperti ini sewaktu mudik lebaran tahun 2014 di Jambi.

Kamipun merancang rencana mau pergi kemana. "Mumpung di Jakarta, mana tempat yang Kakak mau kunjungi?" begitu kata adik perempuan saya yang jadi tuan rumah. Just info, saya dipanggil "kakak" oleh adik-adik karena kami lahir dan menghabiskan seluruh masa kecil di Palembang. Di Kota Pempek, itu panggilan untuk saudara laki-laki yang lebih tua.

Tanpa pikir panjang saya menyebut Kota Tua. "Oh, masih penasaran sama kerak telor to?" Tanya adik perempuan saya lagi. Rupanya dia ingat saya pernah menulis tentang makanan satu ini lima tahun lalu.

Oke, Sabtu pagi nan cerah di penghujung Agustus itupun kami berangkat ke Kota Tua. Kami sengaja memilih naik angkutan umum agar lebih santai di jalan. Jadi benar-benar mau menikmati perjalanan. Kalau bicara hemat sih, terutama hemat waktu, lebih mending naik sepeda motor sendiri.

Dari kontrakan kami naik angkot Tanah Abang-Slipi, turun di Pasar Palmerah. Lalu menyeberang jalan dan menuju ke Stasiun Palmerah. Stasiun lengang pagi itu. Maklum, sudah jam kerja. Kalau saja kami berangkat lebih pagi tentu bakal melihat keramaian stasiun yang dipenuhi pegawai kantoran.

Karena sepi, kami bisa langsung memesan tiket di vending machine tanpa harus antri. Ongkos KRL alias commuterline dari Palmerah ke Jakarta Kota cuma Rp2.000, murah sekali! Tapi saat membeli tiket harus menyerahkan jaminan untuk kartu sebesar Rp10.000. Jaminan ini bisa diambil setelah mengembalikan kartu di stasiun tujuan.

Sempat salah platform, kami tak perlu menunggu lama karena kereta tiba tak sampai 10 menit berselang. Dari Palmerah ke Jakarta Kota kami harus transit dua kali. Transit pertama di Tanah Abang, lalu di Manggarai. Entah apa yang terjadi kami menunggu lebih dari setengah jam di Stasiun Tanah Abang. Stasiun pun jadi penuh sesak karena penumpang menumpuk.

Stasiun Tanah Abang siang ini. Nunggu 30 menit dan belum ada satupun kereta listrik yang lewat. Sudah biasa, kata Iwan Fals. #Jakarta #TanahAbang #StasiunTanahAbang #KeretaApi #krlcommuterline

A photo posted by Eko Nurhuda (@bungeko_) on Aug 26, 2016 at 9:01pm PDT



Saya manfaatkan waktu menunggu itu untuk berfoto-foto dan mengambil video dengan handphone ASUS Zenfone C saya. Yap, tentu saja langsung upload ke media sosial. Contohnya foto di Instagram di atas. Untuk apa lagi memangnya? Hehehehe.

Di Stasiun Manggarai kembali kami harus menunggu lama, tapi tak sampai setengah jam. Kata adik saya yang biasa naik KRL Bogor-Jakarta, di stasiun-stasiun transit seperti Manggarai kereta memang lebih lama datang. Saya tidak tanya apa penyebabnya.

Foto-Foto di Museum Bank Indonesia
Sampai di Stasiun Jakarta Kota sudah menjelang tengah hari. Perut mulai lapar. Tadi pagi kami cuma minum teh dan makan roti. Okelah, kita makan siang dulu. Di dekat air mancur dalam terowongan penyeberangan orang itu terdapat gerai Soto Lamongan Kota. Ke sanalah kami menuju. Warungnya ramai. Kami beruntung sekali bisa dapat meja kosong.

Habis makan siang adik ipar pisah jalan karena ada janji dengan seseorang di tempat lain. Okelah, perjalanan ke Kota Tua kami lanjutkan bertiga.

Naik ke atas - terowongannya di bawah tanah, saya sudah dibuat terkagum-kagum oleh satu bangunan bergaya kolonial tepat di pintu keluar terowongan. Ya, Museum Bank Mandiri. Saya langsung noni-noni Belanda berpakaian panjang putih memakai payung berseliweran di sana. Pulang belanja dari Pasar Asemka mungkin? Di tahun-tahun 1900-an kawasan ini pasti penuh dengan orang berkulit putih.

Bersebelahan dengan Museum Bank Mandiri ada bangunan peninggalan kolonial lainnya, Museum Bank Indonesia. Kalau Museum Bank Mandiri cuma kami lewati, di Museum Bank Indonesia kami berbelok dan masuk ke halamannya. Tepat sekali! Untuk apalagi kalau bukan... selfie dan wefie dengan background gedung tersebut.

Hari itu perlengkapan foto-foto saya terhitung komplit. Saya bawa satu kamera digital dan satu action cam, ditambah hape ASUS Zenfone C. Untuk keperluan update di sosial media, saya pilih mengambil foto pakai hape karena lebih praktis. Kalau foto-foto di kamera kan musti dipindah dulu ke hape. Butuh waktu lebih lama.

Nggak sah ke Kota Tua kalo nggak foto-foto dengan latar belakang gedung Gouverneurskantoor. #Jakarta #JakartaKota #KotaTua #MuseumFatahillah

A photo posted by Eko Nurhuda (@bungeko_) on Aug 26, 2016 at 11:50pm PDT



Memang sih kamera digital saya sudah ada wifi-nya, jadi pindah file foto tidak perlu bongkar memory card. Tapi tetap saja lebih repot dan makan lebih banyak waktu. Lagipula ASUS Zenfone C saya sangat bisa diandalkan kok untuk foto-foto di siang hari bolong. Sejauh ini saya belum pernah dikecewakan oleh hape tersebut untuk urusan ambil foto.

Saya sudah memakai smartphone ini sejak menghadiri Musi Triboatton 2016 di Palembang, Mei lalu. Waktu itu saya malah belum punya kamera digital dan action cam. Jadi, seluruh foto dokumentasi saya selama di Kota Pempek diambil menggunakan ASUS Zenfone C. Termasuk foto bareng pramugrari berhijab di dalam pesawat Nam Air. ^_^

Puas berfoto di pelataran Museum Bank Indonesia, kami lanjutkan perjalanan ke Kota Tua. Adik perempuan saya sempat menawarkan masuk ke dalam museum, lihat-lihat koleksi uang. Sebagai eks numismatis dan pedagang uang lama sebenarnya itu tempat menarik dikunjungi, tapi saya mau fokus hanya ke Kota Tua. Lain kali saja saya bakal seharian mengubek-ubek Museum BI.

Panas-panasan di Kota Tua
Sampai di pojokan Jl. Bank, kami menyeberang di sela-sela berbagai macam kendaraan yang memadati jalan. Di seberang jalan tanda-tanda kawasan kuno semakin terlihat. Jalan yang saya tapaki terbuat dari batu-batu berbentuk kotak besar. Lalu di kiri kanan terdapat bangunan-bangunan eksotis bergaya Eropa abad pertengahan.

Ah, saya benar-benar serasa kembali ke jaman Hindia Belanda. Kembali bayangan noni-noni Belanda berpakaian putih dengan topi lebar bercadar dan membawa payung melintas di kepala. Eh, ternyata bayangan noni Belanda itu ada yang mewujudkan, berjejer dengan seorang laki-laki berdandan ala pejuang.

Saya sebenarnya mau foto bareng, tapi yang mengerubuti si Noni banyak sekali. Ya udah, melipir deh. Kami lanjutkan langkah. Saya berhenti sejenak di depan gedung bertulisan Djakarte, kembali dibuat terpana oleh bangunan tua tersebut. Saya bayangkan noni dan sinyo Belanda duduk-duduk bercengkerama di bawah payung-payung besar yang berjejer di halaman.

Akhirnya, sampailah kami di pelataran Kota Tua. Yeay! Saya senang sekali bisa sampai di sana. Apalagi yang saya dan adik-adik lakukan kalau bukan berfoto-foto dengan latar belakang gedung eks Gouverneurs Kantoor? Tanpa malu-malu saya juga membuat donut selfie. Ya, peduli amat orang Amat juga nggak peduli. Hehehe...





Satu hal yang agak disayangkan, sepertinya kami salah waktu. Kami sampai di Kota Tua setelah makan siang, sekitar jam setengah satu. Panasnya jangan ditanya. Mana saya tidak bawa topi, demikian juga adik-adik. Mana bekal minum yang kami beli di Stasiun Jakarta Kota sudah habis pula.

Karena kepanasan, kami tidak sampai menyewa sepeda dan berkeliling halaman Gouvernuers Kantoor. Selesai foto-foto dan mengambil video, kami jalan lebih ke tengah dan foto-foto lagi. Panas semakin terasa, keringat bercucuran. Secara naluriah kami menuju ke salah satu sudut yang ada pohon-pohon kecil untuk berteduh.

Saya jadi ingat event Jakarta Night Journey yang diadakan Indonesia Corners belum lama ini. Sesuai namanya, di event ini peserta diajak berjalan-jalan menyusuri Jakarta di malam hari. Salah satu destinasinya kawasan Kota Tua ini, selain Monas dan Balaikota. Wah, pasti asyik ya mengunjungi Kota Tua di malam hari. Yang jelas tidak kepanasan.

Sayang sekali saya tidak bisa mengikuti event tersebut. Tapi kalau tahun depan diadakan lagi, saya bakal menyempatkan diri ikut serta. Saya ingin tahu suasana Kota Tua dan juga Jakarta di malam hari. Pasti nuansanya berbeda dengan mengunjungi di siang hari. Lebih eksotis, lebih syahdu.

Balik lagi ke saya dan adik-adik yang kepanasan. Akhirnya kami memesan taksi online untuk pulang ke Palmerah. Kenapa nggak naik KRL lagi? Menghemat waktu, karena lepas Isya saya harus ke Stasiun Pasarsenen untuk menuju Semarang. Sembari menunggu mobil pesanan datang kami masuk ke minimarket di dekat Cafe Batavia. Beli minuman. Haus!

Tak lama berselang taksi online pesanan kami datang. Kami langsung naik ke mobil dan meninggalkan Kota Tua. Belum puas sebenarnya. Lain kali saya mau datang lagi ke sini, mengeksplorasi lebih banyak, juga berfoto selfie dan merekam video lebih banyak. Belajar dari pengalaman, sebaiknya saya datang menjelang sore ya saja biar tidak kepanasan.

“Tulisan ini diikutsertakan dalam Jakarta Night Journey Blog Competition oleh Indonesia Corners yang di Sponsori oleh Asus Indonesia”
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on October 31, 2016 09:40

October 30, 2016

Tertolong BCA Klikpay di Pelosok Desa Transmigrasi

Tara! Ini dia wajah-wajah kucel kami setiba di Bandara Sultan Thaha, Jambi, pada 3 Juli 2014.
APA yang akan kamu lakukan kalau mau pesan tiket pesawat secara online, tapi posisimu di tengah perkebunan sawit maha luas di daerah transmigrasi nan terpelosok, di mana ATM terdekat berjarak 2 sampai 2,5 jam perjalanan?

Ini cerita 2,5 tahun lalu. Sudah termasuk lama memang, tapi kisah ini akan selalu relevan sebagai contoh bagaimana lengkap dan canggihnya layanan sebuah bank dapat memudahkan nasabah. Sekalipun si nasabah tengah berada di daerah terpencil, seperti yang saya alami Agustus 2014 lalu.

Ceritanya begini. Kita mundur ke tanggal 3 Juli 2014 sewaktu saya mudik ke rumah orang tua di Sungai Bahar VI, Jambi. Kalau tak salah ingat, yang berarti ingatan saya benar kan ya, saya berangkat di hari ketiga atau keempat Ramadhan tahun itu. Bagi orang lain, itu belum waktunya mudik. Lebaran masih lama kok sudah mudik. Biarin deh.

Saya memang sengaja pulang awal Ramadhan agar dapat berpuasa sepuas-puasnya bersama Bapak dan Ibu di rumah. Sejak meninggalkan rumah selulus SMA di tahun 2000, puasa bersama Bapak-Ibu di rumah jadi momen langka bagi saya. Biasanya cuma beberapa hari karena saya mudik mepet lebaran. Lebih seringnya lagi malah nggak mudik.

Berhubung anak-anak masih belum masuk sekolah, saya bisa mengatur jadwal mudik sesuka hati. Tiket pesawat pun langsung saya pesan pulang-pergi biar mudiknya tenang. Berangkat tanggal 3 Juli 2014, untuk pulang saya pesan tiket tanggal 14 Agustus 2014. Ya, saya mudik 1,5 bulan. Hehehe.

Dari Pemalang, saya bersama istri dan dua anak naik travel dan minta diantar sampai Bandara Soekarno-Hatta. Dari sini perjalanan dilanjutkan dengan pesawat Jakarta-Jambi. Alhamdulillah, perjalanan lancar dan anak-anak senang bukan main. Itu kali kedua mereka ke tempat eyangnya di Jambi. Kali pertama saya ajak ke sana mereka masih bayi-bayi.

Singkat cerita, sampai di Bandara Sultan Thaha (foto atas) sudah ada mobil yang menjemput kami. Mobil tetangga di Sungai Bahar sih. Kami bayar Rp350.000 untuk menjemput di bandara. Kira-kira tiga jam perjalanan termasuk makan malam di satu rumah makan Padang di pinggiran Kota Jambi, sampailah kami di rumah orang tua.

Ini kali kedua saya membawa istri dan anak-anak berlebaran di Jambi.
Desa Transmigrasi
Seperti sudah saya singgung di awal, Sungai Bahar itu sebuah kawasan transmigrasi di Kabupaten Muaro Jambi. Nama propinsinya nggak usah disebut lagilah ya? Kalau kalian lihat peta, lokasinya dekat dengan perbatasan Sumatera Selatan. Mudahnya, Sungai Bahar terletak di sebelah utaranya Sumatera Selatan.

Wilayah transmigrasi ini dibuka sekitar tahun 1990. Saya tak tahu tahun persisnya. Yang saya ingat, Bapak merantau ke Sungai Bahar sejak tahun 1992. Waktu itu kami masih tinggal di Palembang. Silakan baca posting saya yang berjudul "Kabar Duka dari Palembang" dan "Mobil Ketek Tinggal Kenangan" untuk mengetahui secuil masa kecil saya di Kota Pempek.

Tahun 1995, Ibu mengajak saya dan adik-adik menyusul Bapak ke Jambi. Sejak itulah orang tua saya menetap di sana, menjadikan Sungai Bahar nan terpencil sebagai kampung halaman. Dari awalnya tinggal di rumah jatah transmigran yang terbuat dari papan dengan atap seng, sampai kemudian diberi rejeki lebih sehingga dapat membangun rumah beton yang cukup menampung anak-anaknya saat lebaran.

Oya, Sungai Bahar itu nama kawasan transmigrasi yang terdiri dari beberapa unit pemukiman (Unit Pemukiman Transmigrasi, UPT). Satu unit terdiri dari sekitar 500 kepala keluarga, dengan seorang Kepala UPT bertindak sebagai semacam kepala desa. Perlahan-lahan, unit-unit tersebut berubah bentuk menjadi desa-desa dengan dipimpin oleh kepala desa.

Nah, orang tua saya tinggal di Unit VI. Sehingga daerah tersebut sampai sekarang masih dikenal sebagai Sungai Bahar VI atau Sei Bahar VI. Awalnya Sungai Bahar VI menjadi Desa Talang Bukit, tapi sejak beberapa tahun lalu dipecah dua. Rumah tempat tinggal orang tua saya ikut desa baru yang diberi nama Talang Datar.

Lihat denah yang saya buat dengan mencoret-coret screenshot Google Map berikut ini. Wilayah dalam kotak kuning dan oranye adalah eks Unit VI yang kini jadi dua desa. Desa Talang Datar yang kotak kuning. Kotak-kotak lain adalah desa-desa terdekat. Sebagai pembanding, di bawahnya ada screenshot Google Map yang asli tanpa coretan saya.

Catatan: Kotak putih yang menutupi Sungai Bahar entah apa, Google Map selalu menampilkan Sungai Bahar dengan kotak putih begitu. Awan?


Namanya saja desa transmigrasi, fasilitasnya sangat terbatas sekali. Orang tua saya termasuk penghuni awal Sungai Bahar VI. Saat itu jalanan masih tanah semua, tak ada listrik, apalagi tower telekomunikasi. Saya mengalami masa-masa di mana harus men-charge aki (accu) ke desa tetangga agar bisa menonton tivi.

Untuk penerangan rumah kami pakai lampu minyak tanah, di mana saya berperan sebagai Menteri Penerangan Rumah. Tugas saya membersihkan semprong lampu, memotong sumbu yang sudah gosong, serta mengisi minyak tanah ke dalam tabung lampu. Begitu gelap menjelang, saya juga yang menghidupkan lampu-lampu itu. Ketika saya masuk SMA dan merantau ke Muara Bulian, adik kedua saya yang meneruskan jabatan penting tersebut.

Pernah ada kejadian lucu di tahun 2002. Saya sudah kuliah ceritanya. Mudik dari Jogja saya membawa barang mewah bernama handphone. Mereknya masih saya ingat betul, Siemens M35 yang saya beli sendiri dari mengumpulkan uang tip tamu hotel selama magang di Hotel Novotel Solo. Maksud saya membawa pulang hape itu setengahnya mau pamer sih, hihihi. Tapi pamer positif lho, dalam artian menunjukkan ke orang tua kalau saya sudah bisa menghasilkan uang sendiri.

Eh, sampai di Sungai Bahar, tidak ada sinyal sama sekali yang bisa ditangkap hape tersebut. Ya iyalah, tower-nya saja nggak ada. Begitu baterainya nge-drop, saya tidak bisa men-charge karena tidak ada listrik. Mau dicas pakai lampu minyak?

Tahun 2008, jalan poros Trans Bahar diaspal - sekarang sudah hancur lagi sih. Lalu berselang beberapa tahun masuklah tiang-tiang listrik, disusul tower milik operator GSM. Sungai Bahar mulai terlihat ada kemajuan. Tapi, tetap saja dengan segala keterbatasannya. Listrik di sana byar-pet. Malah sering lho padam sampai berhari-hari.

Mungkin karena milik swasta, yang paling oke justru layanan telekomunikasi. Operator seluler pemasang tower siap sedia dengan generator (gen-set) sebagai pembangkit daya cadangan. Jadi, biarpun listrik mati total, sinyal hape selalu on. Saya pun bisa online terus tanpa hambatan.

Begini kondisi jalan di Sungai Bahar. Yang diaspal baru jalan protokol antardesa, ruas jalan lainnya masih berupa tanah seperti ini.
Eyang Mau Antar Cucu
Tak terasa 1,5 bulan berlalu. Kebersamaan dengan orang tua di Jambi harus berakhir. Waktunya saya membawa anak-istri kembali ke Pemalang. Sama seperti saat berangkat, kami pulang lewat Jakarta. Tapi sampai mendekati hari keberangkatan saya belum menentukan dari Jakarta ke Pemalang naik apa.

Adik saya yang di Jakarta menyodorkan tawaran menarik. Dia mau kami menginap barang dua malam di Ibukota, mau diajak jalan-jalan ke Monas atau Ragunan. Pertimbangan adik saya, selama di Jambi kami sama sekali tidak kemana-mana. Jadi bibinya anak-anak ingin memberi memori manis dengan jalan-jalan dulu di Jakarta.

Tentu saja saya tidak menolak. Istri juga setuju. Efek positif lainnya, saya jadi bisa memutuskan moda transportasi apa yang musti diambil untuk perjalanan Jakarta-Pemalang. Yang paling nyaman dan enak rasanya kereta api. Apalagi anak-anak belum pernah naik kendaraan satu ini.

Jadi, dari Jambi ke Jakarta kami naik pesawat. Menginap dua malam di Jakarta, lalu tanggal 17 Agustus naik kereta ke Pemalang. Perfect!

Eh, tapi ada satu hal yang kurang. Ibu sepertinya masih kurang puas bermain-main dengan cucu. Dan, saya yakin beliau ingin mengantar cucunya. Tak cuma dadah-dadah di depan pintu, tapi ikut mengantar sejauh mungkin. Ketika saya tanya, Ibu malah bilang tadinya beliau mau mengantar sampai Pemalang, tapi repot. Maksudnya repot di dompet. Maklum, habis lebaran.

Okelah, sebagai anak yang berbakti (setidaknya saya berusaha begitu) saya pun mengajak Ibu. Namanya mengajak ya tentu tiket pesawat Jambi-Jakarta saya yang membelikan. Adik saya lagi-lagi kasih tawaran menarik, tiket Jakarta-Jambi untuk Ibu dia yang belikan. Cocok!

Masalahnya, hari itu sudah tanggal 14 Agustus. Besok pagi-pagi saya dan anak-istri berangkat. Mepet sekali! Yang paling saya khawatirkan tidak ada tiket untuk penerbangan besok. Kekuatiran kedua - yang sebenarnya kekuatiran pertama juga sih, kalaupun tiketnya ada harganya melebihi uang di saldo rekening Tahapan BCA saya.

Foto atas: Anak-anak "membantu" Eyang Jambi membuat kue lebaran di dapur. Foto bawah: Hujan-hujanan di kebun sawit.
Saya langsung buka laptop, sambungkan modem, lalu browse satu situs booking online. Alhamdulillah, masih ada beberapa tiket Jambi-Jakarta untuk tanggal 15 Agustus 2014. Saya cari maskapai yang jadwal penerbangannya tidak selisih jauh dari pesawat yang tiketnya sudah saya kantongi. Dapat! Lega rasanya.

Cepat-cepat saya order tiket tersebut atas nama Ibu. Nama lahir beliau Sumiati. Namun entah kenapa petugas KUA yang mencatat pernikahan Ibu dengan Bapak salah menulis nama di buku nikah, jadi Sumarti. Ibu memilih mengubah namanya ketimbang mengoreksi kesalahan nama di buku nikah.

Eh, info ini penting nggak sih? Abaikan saja kalau tidak penting :)

Tertolong BCA Klikpay
Lanjut lagi ke cerita order tiket pesawat tadi. Setelah klik sana-sini, tibalah di halaman pembayaran. Tetot! Saya baru ingat kalau pesan online begini kita hanya diberi waktu sedikit untuk menyelesaikan pembayaran. Di situs booking online yang saya gunakan hari itu, waktu yang diberikan dua jam.

Kalau ordernya di Pemalang tidak ada masalah. Saya biasa memilih metode pembayaran ATM atau melalui Indomaret. Cukup keluar barang 5-10 menit naik sepeda motor, selesai. Nah, saat itu pemesanan dilakukan di Sungai Bahar. ATM BCA terdekat (waktu itu) adanya di Kota Jambi yang berjarak kira-kira 60 km. Naik sepeda motor paling cepat 1,5 jam. Tapi saya tidak mau ambil opsi tersebut. Terlalu jauh, Kakak. Lagipula jalanannya banyak rusak.

Indomaret? Hehehe, masa itu belum ada Indomaret di Sungai Bahar VI. Bahkan di Sungai Bahar I yang lebih ramai pun belum. Kalau mau sih ada Indomaret di Penerokan, dari rumah ke sana naik motor sekitar setengah jam dengan kecepatan setan. Kalau saya yang naik motor ya bisa 45 menit sampai sejam. So, itu juga bukan opsi bagus.


Sebelum ada yang menyebut kartu kredit, saya kasih tahu kalau saya tidak punya kartu tersebut. Maaf, saya cuma punya kartu debit.

Untungnya ada opsi pembayaran menggunakan BCA Klikpay. Untungnya lagi, saya sudah punya akun BCA Klikpay. Nikmat Tuhan-mu yang manakah yang kamu dustakan? Hehehe.

Saya klik deh pilihan itu pada laman pembayaran, lalu diminta login ke akun BCA Klikpay saya.

Eh, kamu belum punya akun BCA Klikpay? Sok atuh bikin. Cara daftarnya mudah sekali lho. Coba saja lihat bagan berikut ini.


Cara Mendaftar BCA Klikpay:
1. Buka web www.klikbca.com/klikpay
2. Centang untuk menyetujui syarat dan ketentuan BCA Klikpay, lalu klik tombol "Setuju"
3. Isikan data yang diminta, lalu pilih apakah ingin mengaitkan akun Klikpay dengan KlikBCA atau kartu kredit BCA
4. Konfirmasi data yang tadi diisikan, klik tombol "Kirim" jika sudah benar semua
5. Pendaftaran selesai.

Selamat! Sekarang kamu sudah punya akun BCA Klikpay. Tapi sebelum dapat digunakan akun tersebut harus diaktifkan terlebih dahulu. Caranya tidak kalah mudah. Perhatikan saja bagan di bawah ini.


Cara Aktivasi BCA Klikpay:
1. Login ke www.klikbca.com
2. Pilih menu "Administrasi"
3. Pilih menu "Aktivasi BCA Klikpay" yang berada paling bawah
4. Setelah itu kita diminta memasukkan kode OTP (one time password, dikirim ke email dan nomor hape yang didaftarkan).
5. Begitu kedua kode OTP dimasukkan, akun BCA KlikPay pun siap dipakai.

Balik lagi ke order tiket pesawat untuk Ibu, saya pun login dengan selamat sentosa ke akun BCA Klikpay. Setelah itu saya diminta memasukkan kode OTP yang dikirimkan ke nomor hape dan email untuk mengotorisasi pembayaran tiket. Menit berikutnya saya sudah dapat konfirmasi dari situs booking online kalau pembayaran sukses dilakukan.

Yeay! Tiket pesawat untuk Ibu sudah didapat, saatnya kita jalan-jalan ke Jakarta. Saya tidak bisa membayangkan betapa senangnya Ibu bisa mengantar sekaligus mengajak jalan-jalan dua cucunya di Ibukota. Menyenangkan hati Ibu termasuk bentuk bakti terhadap orang tua kan ya?

Oya, ini screenshot pemesanan tiket pesawat yang saya pesankan untuk Ibu 2,5 tahun lalu. Tertera di sana jenis pembayarannya BCA Klikpay dan sudah dibayar lunas. Ya iyalah, kalau nggak lunas ya Ibu saya nggak bakal bisa ikut jalan-jalan ke Jakarta dong.


Saya bersama anak-anak, istri, dan Ibu dalam perjalanan pulang meninggalkan kawasan Monas. Adik saya pegang kamera.
Skip, skip, skip, sampailah kami di Jakarta. Penerbangan Ibu ternyata delay, jadi kami menunggu sekitar satu jam di Bandara Soekarno-Hatta. Selama itu anak-anak asyik main troli barang, dinaiki seperti mobil-mobilan. Mereka bahkan sukses memaksa saya mendorong troli - dengan mereka naik di atasnya! - dari Terminal 1C ke Terminal 1B, lalu balik lagi ke Terminal 1C. Dasar anak-anak.

Saya sudah ubek-ubek file di laptop tapi foto-foto kami di Bandara Soetta hari itu kok tidak ketemu. Apa mungkin masih disimpan adik saya, dan belum saya salin? Entahlah. Nanti kalau ketemu langsung saya upload di sini. Yang jelas begitu Ibu mendarat kami naik taksi ke Palmerah, tempat kontrakan adik saya.

Besoknya, 16 Agustus 2014, kami pergi ke Monas naik Trans Jakarta. Dari Halte Grogol transit dulu di entah di halte mana saya lupa namanya, lalu turun di Halte Gambir. Baru jalan sebentar kok lihat plang bus wisata tingkat, ada tulisan gratis pula. Siapalah yang nggak mau keliling-keliling jalan protokol Jakarta gratis?

Jadi, naiklah kami ke bus wisata milik Pemprov DKI Jakarta, duduk di bagian atas. Busa masih kosong. Anak-anak senang sekali bisa duduk paling depan.



Setelah naik bus wisata satu putaran, kami turun di depan Museum Gajah lalu masuk kawasan Monas. Seharian kami di sana. Anak-anak berlari-larian ke sana-sini, sedangkan Ibu memandangi tingkah mereka sembari tersenyum. Senyum yang saya ingin selalu terkembang di wajah Ibu.

Sudah, begitu saja ya ceritanya. Kalau mau lebih panjang nanti saya tuliskan dalam bentuk novel saja.

Oya, terima kasih sekali kepada BCA yang dengan layanan Klikpay-nya sudah membantu saya 2,5 tahun lalu. Bukan cuma membantu memesankan tiket untuk Ibu, di tengah desa transmigrasi yang masih terbilang terbelakang itu. Tapi juga membantu menghadirkan senyum bahagia di wajah Ibu saat melihat dua cucunya berlari-larian di Monas dengan riang gembira.

Semoga bermanfaat.

berpartisipasi dalam "My BCA Experience" Blog Competition
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on October 30, 2016 12:26

October 29, 2016

Sekarang Jalan-Jalan Santai di Malioboro Tambah Asyik Lho...


PERNAH ke Jogja? Pasti pernah ke Malioboro dong? Banyak yang bilang belum sah ke eks ibukota Republik Indonesia ini kalau belum menginjakkan kaki ke Malioboro. Nah, sekarang jalan-jalan di sepanjang Jl. Malioboro jadi tambah asyik lho. Ada suasana baru yang bikin kita semakin betah berlama-lama di jalan sepanjang 500 meter tersebut.

Flashback sebentar boleh kan ya?

Nama Malioboro sudah saya dengar sejak belasan tahun lalu. Waktu memilih-milih kota tujuan untuk melanjutkan pendidikan selepas SMA, Jogja masuk dalam daftar saya. Saat itulah saya mengenal Malioboro dari teman-teman yang pernah ke Jogja, atau punya saudara yang tengah kuliah di sana.

Turut cerita mereka, Malioboro itu pusatnya wisata Jogja. Mau cari beragam souvenir khas Kota Pelajar banyak penjualnya di sana. Mulai dari aneka gantungan kunci, kalung dan gelang etnik, miniatur kendaraan dari kayu, juga kaos Dagadu bajakan.

Mau makan-makan juga dijamin bakal puas. Siang hari ada berderet-deret angkringan dan gerobak makanan yang siap didatangi. Kalau malam tempat tersebut berubah jadi pusat kuliner dengan gudeg sebagai menu andalan warung-warung lesehan.

Teman yang lain menambahkan, di sekitaran Malioboro banyak penginapan buat turis. Jadi jangan heran kalau pas jalan-jalan di Malioboro ketemu bule berambut pirang lagi menawar merchandise atau makan di angkringan. Wah, saya yang belum pernah melihat langsung rupa orang asing jadi excited sekali.

Semrawut!
Ketika kemudian datang sendiri ke Jogja, Malioboro jadi tempat yang ingin saya kunjungi pertama kali. Sayang seribu kali sayang, Malioboro tak seindah bayangan saya. Suasananya yang selalu ramai menjurus padat membenarkan cerita teman-teman SMA saya. Ini pusatnya Jogja. Tapi semrawutnya itu lho bikin keki.

Kalau kalian pernah ke Malioboro di tahun-tahun awal 2000-an, kalian pasti tahu maksud saya. Jaman itu jalan-jalan di Malioboro butuh perjuangan. Kita sudah harus berpikir keras sejak memilih mau jalan di sebelah mana? Sebelah timur jalan atau sebelah barat? Putuskan baik-baik sebab untuk menyeberang jalan butuh perjuangan tak kalah besar.

Biasanya sih wisatawan pemburu oleh-oleh bakal menyusuri sisi barat jalan. Di sisi ini penjual souvenir-nya lebih banyak, juga lebih lengkap. Karenanya juga lebih padat oleh manusia.

Begini penampakan Jalan Malioboro sebelum larangan parkir sepeda motor diterapkan. Semrawut!
Bagi yang mau ke Pasar Beringharjo atau masuk ke mal - masa itu di Malioboro hanya ada Malioboro Mal dan Matahari, atau mampir ke gerai Tourism Information Center (TIC), pilihannya adalah sisi timur jalan. Deretan penjual merchandise juga ada di sini, tapi tak sebanyak di sisi barat jalan.

Setelah memutuskan sisi mana yang dipilih, pertanyaan selanjutnya adalah mau lewat di bagian mana? Pilihannya ada dua: melewati teras toko yang jadi semacam lorong karena di seberangnya berderet pedagang souvenir; atau melewati trotoar yang dipenuhi sepeda motor, andong, becak, plus bau pesing kencing kuda.

Dua-duanya bukan pilihan nyaman, bukan?

Pendek kata, meskipun kondang sebagai tempat untuk jalan-jalan menikmati suasana Jogja, Malioboro bukanlah tempat yang menyenangkan untuk berjalan kaki. Itu sebabnya kemudian saya hanya melewati Malioboro kalau memang benar-benar harus lewat sana. Kalau cuma iseng atau berniat refreshing, banyak jalan lain yang lebih nyaman dilalui.

Ditata Ulang
Saya agak sumringah sewaktu Kawasan Nol Kilometer ditata ulang. Bagian depan Istana Presiden dan Monumen Serangan Umum 11 Maret dibersihkan dari segala jenis pedagang. Pot-pot besar untuk tanaman hias dan tempat duduk melingkar dari beton dibangun. Dilengkapi bangku-bangku kayu panjang. Jadilah kawasan itu tempat nongkrong baru yang asyik.

Sejak ada bangku-bangku itu, saya sering menghabiskan waktu duduk-duduk mengobrol bersama teman sekos di sana. Ya, sekedar ngobrol ringan sampai berbincang serius sembari mencamil makanan ringan yang dibeli dari pedagang yang mencuri-curi berjualan di depan Benteng Vredeburg. Tak jarang sampai pagi buta di sana, begitu terdengar adzan Subuh kucluk-kucluk pulang jalan kaki ke kos-kosan.

Rupanya butuh waktu lama sampai penataan dan perubahan di kiri-kanan Jl. Ahmad Yani itu bisa menular ke Jl. Malioboro. Wacana untuk menjadikan jalan legendaris tersebut sebagai kawasan pedestrian sudah didengungkan sejak entah kapan. Namun ada banyak kepentingan di sana sehingga Pemerintah Kota tidak bisa menyelesaikannya dalam waktu singkat.

Saya masih ingat dulu sempat ada wacana membangun tempat parkir underground di bawah alun-alun untuk membersihkan Jl. Malioboro. Ide lainnya adalah memaksimalkan Taman Parkir Abu Bakar Ali. Keterbatasan lahan diakali dengan membangun gedung parkir bertingkat, seperti banyak bertebaran di Jakarta.

Rupanya kemudian ide kedua yang dieksekusi. Tapi itupun butuh proses panjang sampai akhirnya pada 4 April 2016 kawasan Malioboro benar-benar bersih dari segala jenis parkir. Sebagai penikmat jalan kaki sekaligus eks warga Jogja, tentu saja saya senang dong mendengar kabar ini.

Yeay, akhirnya bisa juga jalan kaki santai nan nyaman di jalan tenar ini!

Ke Malioboro bawa sepeda motor? Parkir dulu di Taman Parkir Abu Bakar Ali, terus lanjut jalan kaki deh.
Akhir September lalu, perubahan di Malioboro tersebut saya lihat dengan mata kepala sendiri. Dalam perjalanan naik Trans Jogja dari Terminal Jombor ke Ngabean, saya lihat sisi timur Jl. Malioboro bersih dari sepeda motor. Trotoar yang biasanya padat oleh ribuan kendaraan terlihat lega. Pasti asyik sekali jalan-jalan santai di sana.

Kalangan difabel rasanya lebih senang lagi. Di sepanjang trotoar Jl. Malioboro itu sebenarnya sejak lama ada penanda (guiding block) untuk membantu tunanetra berjalan. Tapi penanda itu jadi percuma karena tertutup sepeda motor yang diparkir. Kini, pemandu jalan itu jadi berguna lagi sebagaimana mestinya.

Nah, kalau kamu ada rencana ke Jogja dan jalan kaki menikmati Malioboro masuk dalam agendamu, coba cek artikel "Punya Rencana Traveling ke Jogja dalam Waktu Dekat? Perhatikan Skema Baru Tempat Parkir di Malioboro Berikut!" ini biar nggak bingung mengenai skema baru tempat parkir di Malioboro.

Intinya, ya itu tadi, kalau kita datang ke Malioboro membawa kendaraan sendiri, maka kendaraan harus diparkir di Taman Parkir Abu Bakar Ali yang berada di sebelah utara. Setelah itu kita masuk kawasan Jl. Malioboro berjalan kaki. Kan memang niatnya mau jalan-jalan santai to?

Kalau ogah capek, atau kamu mau ke Pasar Beringharjo yang berada di ujung selatan jalan, ada bus shuttle gratis yang disediakan Pemkot Yogyakarta. Tapi katanya sih nunggunya lama karena jumlah busnya terbatas. Opsi lain, naik saja bus Trans Jogja dari shelter Malioboro 1 di dekat Hotel Inna Garuda. Pas saya naik bulan kemarin tiketnya Rp3.500 sekali jalan. Mudah-mudahan sekarang masih sama.

Ah, jadi pengen ke Jogja lagi nih. Apalagi Pemalang-Jogja bisa naik kereta via Purwokerto. Liburan akhir tahun ke sana sepertinya asyik deh. Amin, ya Allah...



Sumber Foto:
Foto 1: https://sedanghangat.com/hal-hal-mena...
Foto 2: http://www.radarjogja.co.id/mendesak-...
Foto 3: http://regional.liputan6.com/read/247...
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on October 29, 2016 09:30

October 27, 2016

Tur Cokelat Bali Hari 3: Massage Cokelat di Sedona Spa Ubud


TUR Cokelat Bali hari ketiga diisi dengan perjalanan panjang Candidasa-Lovina. Candidasa terletak di Kabupaten Karangasem, bagian timur Bali. Sedangkan Lovina ada di Kabupaten Buleleng, bagian utara Bali. Sebenarnya tiga-empat jam saja sudah bisa sampai sih. Tapi nyaris seharian kami berada di bus.

Hari itu diawali dengan sarapan menyenangkan di restoran Hotel Bali Shangrila Beach Club. Restorannya terletak persis di sebelah kolam renang, sedangkan kolam renangnya di pinggir pantai. Jadi, sembari makan kami bisa memandangi pantai dan lautan lepas. Beserta tiga-empat pulau kecil di kejauhan.

Baca juga:
- Asyiknya Tur Cokelat Bali bersama Frisian Flag
- Tur Cokelat Bali Hari 1: Mengejar Sunset di Jimbaran, dan... Tertutup Awan!
- Tur Cokelat Bali Hari 2: Hujan-Hujanan di Taman Ujung Soekasada

Berbeda dengan hari sebelumnya, menu sarapan yang disediakan hotel terhitung minimalis. Hanya ada nasi goreng, mi goreng, beserta potongan tomat segar dan ada juga yang matang. Sepertinya dikukus. Pilihan lain adalah roti tawar dengan aneka selai. That's it. Buah-buahannya pun hanya pepaya dan semangka. Tapi tamu bisa memesan telur pada pelayan.

Bagi anak-anak, menu tersebut sudah lebih dari cukup. Damar tentu saja mengambil nasi goreng dan mi goreng, dua masakan itu kesukaannya semua. Sedangkan Diandra mula-mula mengambil buah, namun kemudian juga tertarik dengan roti tangkup. Minumnya kami berempat kompak ambil jus jeruk.

Selepas makan Damar mengajak ke pantai. Kami melihat-lihat perahu yang berjajar di tepian. Sepertinya deretan perahu itu untuk disewakan pada wisatawan, tapi kemana ya tujuannya? Apa ke pulau-pulau kecil di tengah lautan sana? Sayangnya tidak ada petugas hotel yang bisa saya tanyai di sekitar situ. Tapi kalaupun iya, tak ada waktu untuk naik perahu dan menyeberang.

Benar saja. Belum lama kami berdiri di salah satu dermaga memandangi lautan, terdengar suara Pak Rahmat memanggil-manggil dari sebelah pool. Untungnya saya sudah sempat merekam aksi anak-anak di sana, plus selfie ala kadarnya dengan mereka di atas pasir. Lalu kami menuju ke mobil shuttle hotel untuk diantar ke bus.



Dipijat sampai Ketiduran
Rupanya rombongan kami menginap terpisah. Yang saya tahu tiga rombongan pemenang diinapkan di Bali Shangrila Beach Club, bersama rombongan blogger dan buzzer. Entah siapa saja yang menginap di Bali Palms Resort. Yang jelas bus tengah parkir di sana saat itu. Jadi, ke sanalah mobil shuttle membawa kami.

Just info, Bali Shangrila Beach Club dan Bali Palms Resort itu dua hotel satu kepemilikan. Kalau kita buka web resmi Bali Shangrila Beach Club, di sana juga terdapat logo Bali Palms Resort. Demikian pula sebaliknya.

Begitu seluruh anggota rombongan naik ke bus, jalanlah kami ke Ubud. Destinasi pertama hari itu adalah massage menggunakan scrub cokelat. Hmm, ini bakal jadi pengalaman pertama saya. Lalu sepanjang jalan saya membayangkan siapa yang bakal memijat saya nanti. Laki-laki apa perempuan? Apakah saya harus melepas semua pakaian saat dipijat, atau boleh tetap memakai setidaknya celana pendek?

Saya cek di Google Map, saat menulis posting ini, jarak Candidasa ke Ubud sekitar 50 km. Harusnya jarak sebegitu dapat ditempuh dalam waktu paling lama sejam dengan kecepatan rata-rata 60 km/jam. Tapi rupanya kami butuh lebih lama dari itu. Pertama, ada kemacetan di beberapa titik. Kedua, hari itu tengah banyak upacara di pura-pura. Bus sering diberhentikan pecalang untuk memberi jalan bagi ummat Hindu yang mau menyeberang jalan.

Kira-kira dua jam kemudian sampailah kami di Ubud. Rombongan kembali terpecah dua karena tak ada tempat massage yang bisa menampung kami semua sekaligus. Rombongan pemenang dibawa ke Sedona Spa, sisanya di The Ponds. Kedua tempat terpisah jarak 3,3 km menurut Google Map. Tapi untuk menempuhnya saya rasa kok sampai 10-15 menit akibat padatnya jalanan Ubud.

Oke, masuk ke tempat spa kebingungan pun dimulai. Sewaktu kami digiring ke sebuah lorong menuju ke kamar-kamar tempat massage, seorang mbak-mbak bertanya pada kami. "Mau double?" Aduh, apa pula maksudnya ini. Saya cuma bisa tersenyum serba salah.

Masuk agak jauh ada mbak-mbak yang bertanya dengan bahasa lebih mudah. "Bapak mau dipijat berdua sama anaknya?" Saya segera saja mengiyakan. Kami langsung dibawa masuk ke sebuah ruangan terbuka. Ada dua buah tempat tidur, dua buah shower, dan satu bath tube besar di dalamnya. Saya langsung paham. Ooo, rupanya yang dimaksud double di sini satu ruangan dua orang.



Foto bareng Ibu Ria yang memijat istri dan Mbak Yanti yang memijat Diandra. Saya tidak sempat berfoto dengan mbak-mbak yang memijat saya dan Damar karena sudah ditunggu rombongan.
Tapi kebingungan belum berakhir. Begitu kami masuk mbak-mbak pemijat cuma bilang, "Silakan ganti bajunya dulu. Nanti saya masuk lagi." Lalu dia keluar dan menutup pintu. Lho, ganti bajunya pakai apa? Di atas pembaringan cuma ada handuk dan kain. Saya yakin keduanya bukan untuk ganti.

Eh, ada satu benda lagi di atas pembaringan. Warnanya hitam, digulung kecil dalam sebuah bungkus plastik. Saya benar-benar tak paham benda apa itu dan untuk apa. Ya sudah, saya cuma lepas celana panjang. Masih dengan memakai kaos dan celana pendek saya memanggil si mbak masuk.

Si mbak yang entah siapa namanya saya lupa tanya masuk dan heran melihat saya masih berpakaian lengkap. Dia keluar lagi. Kemudian masuk seorang perempuan lagi, dari logatnya saya tahu betul ia orang Bali. Dari dialah saya tahu kalau benda hitam di dalam plastik tadi adalah panty. Jadi, biasanya tamu melepas seluruh pakaiannya - ya, SELURUH - lalu memakai panty tadi selama di-massage.

"Silakan dibuka bajunya, terus pakai panty ini biar pakaiannya nggak kotor. Nanti kan mau di-massage pakai scrub cokelat," kata si mbak dengan huruf "T" tebal khas Bali. Setelah itu dia keluar.

Saya bengong. Saya buka bungkusan panty tadi. Alamak, menerawang!

Singkat cerita, kamipun di-massage. Pijatannya enak sekali, hanya pijatan Bapak dan Bude di Palembang yang bisa mengalahkan. Membuat saya merasa rileks sekali. Damar sampai ketiduran lho, padahal baru dipijat sekitar 10-15 menit. Jadilah mbak pemijatnya harus sabar membangunkan selama kira-kira 10 menit atau lebih.



Kabut di Kintamani
Beres dipijat kami dibawa ke The Pond. Selain menjemput anggota rombongan lain, kami juga makan siang di restoran tersebut. Menunya luar biasa: bebek goreng - bebeknya utuh, lima tusuk sate besar-besar, satu cawan sup, aneka sayur mentah, aneka sambal, dilengkapi beberapa potong buah. dari pertama melihat saja saya tahu anak-anak nggak bakal sanggup menghabiskan menu tersebut.

Benar saja. Damar cuma suka bebek gorengnya, itupun hanya beberapa potong. Dia tidak suka daging yang terlalu kenyal, jadi saya pilihkan bagian-bagian yang empuk. Satenya sama sekali dia tidak mau. Siapa lagi yang menghabiskan sisanya kalau bukan saya? Karena itu saya tidak menyentuh nasinya sama sekali. Makan 1,5 ekor bebek sudah sangat mengenyangkan.

Lepas makan kami jalan lagi, tujuannya ke Kintamani untuk melihat Gunung Batur dan Danau Batur. Jarak dari Ubud ke Kintamani hanya 40 km-an, tapi mungkin karena habis makan Damar tertidur di perjalanan. Sampai di Kintamani ia masih terlelap. Padahal bus berhenti selama 30-an menit dan semua penumpang lain turun untuk berfoto-foto dengan latar belakang Gunung Batur.

Damar masih terlelap ketika bus kembali jalan. Tujuan berikutnya Lovina. Kami diagendakan makan malam sambil menyaksikan tarian Bali di Aditya Beach Resort, sebelum masuk ke Hotel The Lovina Bali. Gunung Batur benar-benar tertutup kabut saat kami meninggalkan Kintamani. Sekitar jam 8 malam kami sampai di tujuan.

Kali ini bukan makan malam yang menyenangkan bagi kami. Diandra sudah tertidur sejak bus memasuki Singaraja. Istri sebenarnya tidak mau ikut turun ke restoran. Tapi tidak mungkin juga ditinggal di bus, karena Pak Nyoman juga harus makan. Jadi bus pasti bakal dikunci. Mau tidak mau istri ikut turun, dengan menggendong Diandra yang pulas.

Mana bisa ibunya makan sambil gendong anak begitu? Meskipun kemudian terbangun, Diandra tidak bernafsu makan. Ia maunya kembali tidur. Apa boleh buat, saya ajak Damar menyelesaikan makan cepat-cepat. Itupun saya tidak ambil makanan sendiri, hanya menghabiskan sisa makanan Damar. Tarian Bali yang seharusnya sedap dipandang jadi membosankan. Maafkan kami...

Karena Diandra hanya mau digendong, kami memilih keluar. Di dekat tempat parkir ada semacam taman, dengan lampu-lampu dan tanaman hias. Damar senang sekali di sana. Ia pinjam kamera dan mulai foto sana-sini. Diandra? Tambah ngantuk.



Mungkin melihat kami terus-terusan berdiri di taman kecil itu, Pak Nyoman keluar dari restoran. "Yuk, ke bus saja, Pak," ajaknya. Kami menurut. Sambil naik ke tangga bus saya yang merasa agak tak enak hati bertanya ke Pak Nyoman, "Bapak makannya sudah selesai?" Beliau hanya tersenyum.

Agak lama kami menunggu di bus. Diandra langsung tertidur lagi. Saya dan Damar bermain Google Maps. Kami melihat-lihat Pulau Bali dan mencari tahu di sebelah mana kami berada saat itu. Iseng saya mencari lokasi Hotel The Lovina Bali Resort, yang ternyata hanya berjarak 2,2 km dari restoran tersebut.

Entah berapa lama kami menunggu di bus, sampai akhirnya semua anggota rombongan naik dan perjalanan dilanjutkan. Sampai di hotel sudah mendekati jam sembilan malam. Karena gelap, dan suasana hotel remang-remang, saya tidak tahu bagaimana rupa hotel tersebut. Yang kami tahu kamar kami serupa villa. Ya iyalah, namanya saja resort.

Kami ditempatkan di kamar D01, atau di papan petunjuk di pintu masuk tertulis D1. Itu sih menurut saya bukan kamar, tapi rumah di dalam hotel. Ada taman luas, lengkap dengan kolam renang ukuran sedang. Lalu ada gazebo berisi dua kursi malas. Kamarnya ada dua, dipisahkan sebuah ruangan lebar yang berfungsi sebagai semacam family room, dapur, sekaligus ruang makan.

Nah, yang bikin kurang nyaman kamar mandinya berkonsep terbuka. Jadi sambil mandi bisa lihat pepohonan yang tumbuh di sekitar kamar. Juga bintang-bintang di langit, plus suara desir angin. Meski berada persis di sebelah kamar tidur, tapi kesannya berada di luar karena dibatasi pintu.

Hotel yang nyaman. Anak-anak langsung tertidur, demikian pula saya dan istri.

BERSAMBUNG...
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on October 27, 2016 23:14

Say No to Low-Batt dengan Moto E3 Power

WAKTU liburan ke Bali bersama keluarga belum lama ini, saya benar-benar dibuat mati gaya. Bukan karena tak bisa mengabadikan perjalanan 5 hari 4 malam tersebut. Tapi karena hape saya lebih sering off di jalan sehingga saya tak bisa update ke media-media sosial. Ngeselin banget nggak sih?

Jaman sekarang kebutuhan akan narsis bin eksis itu nyaris selevel dengan kebutuhan akan makan-minum. Buktinya, masuk ke restoran terus pesan makanan, yang biasa dilakukan apa dulu? Foto-foto makanan di atas meja, terus unggah deh ke Instagram. Tak lupa pula nulis status di Facebook atau sekedar mencuit di Twitter.

Ketemu teman lama di kafe yang dilakukan dulu apa coba? Wefie first, talk later. Yup! Foto-foto bareng dulu dong, terus pilih-pilih foto terbaik, dan woro-woro di medsos biar semua orang tahu.

"Wuih, senangnya ketemuan sama si Anu di Cafe Ini. Teman lama waktu di TK nih, sudah 20 tahun nggak ketemu. Ngobrolin jaman masih imut, waktu kami latihan drum band sama lomba mewarnai." Padahal ngobrolnya baru nanya, "Apa kabar, Bro?"

Nah, saya nggak bisa begitu waktu jalan-jalan di Bali sama anak-istri. Biasanya cuma pas sarapan saya bisa foto-foto, terus update di semua medsos. "Sarapan enak nih di Hotel Oke Banget di Kuta. Habis ini kami mau jalan ke Nusa Dua, lihat Waterblow."

Habis itu notifikasi masuk bertubi-tubi. Like atau komentar di Instagram dan Facebook, juga mention dan kutipan di Twitter. Sambil jalan ke Nusa Dua jari-jemari sibuk membalas semua respon itu satu-satu. Begitu sampai di Nusa Dua baterainya low bat terus habis! Mana nggak punya powerbank lagi.

Jadilah selama di Bali saya baru bisa update medsos lagi pas sudah balik ke hotel. Itu artinya sudah malam. Masa iya ke Waterblow-nya jam 9 pagi terus update ke medsos jam 9 malam? Itu namanya bukan update.


Hape Anti Low-Batt
Ya, saya tahu sudah hal lumrah yang namanya smartphone itu boros baterai. Sehari-semalam harus dicas paling nggak 2-3 kali. Kecuali di smartphone itu nggak ada aplikasi macam-macam dan cuma buat SMS-an, sekali-kali telepon, awetlah baterainya seharian. Tapi kalau dipakai secara intens, dengan segala sosial media aktif, kita tidak bisa jauh-jauh dari sumber listrik.

Jadi, kalau lagi jauh sama colokan listrik kita musti sedia powerbank. Kalau sampai lupa bawa powerbank ya wassalam. Kejadiannya bakal kaya saya waktu jalan-jalan di Bali kemarin deh. Ngakunya blogger tapi kok jalan-jalan nggak pernah update? Tengsin dong.

Wajar kalau saya pernah berandai-andai punya hape yang bisa hidup seharian. Dan, rasanya bukan cuma saya sendiri yang berpikiran begitu. Iya nggak sih? Eh, rupanya sudah ada lho smartphone seperti itu.

Akhir September lalu laman CNET.com merilis daftar hape dengan baterai paling awet sedunia. Sebenarnya tulisan tersebut pertama kali tayang 31 Oktober 2011 sih. Tapi terakhir diperbarui 30 September 2016. Tentunya yang masuk daftar itu hape-hape terbaru.

Ada enam smartphone dalam daftar tersebut, dan jagoannya adalah Moto Z Play keluaran Motorola Mobility. Menurut hasil tes CNET, hape satu ini sanggup bertahan hidup dalam kondisi aktif (bukan cuma standby) selama 23 jam 3 menit. Itu artinya nyaris sehari-semalam! Siapa yang pakai hape selama 23 jam nonstop?

Moto Z Play tergolong smartphone paling murah dibanding produk lain dengan spesifikasi nyaris sama. Tapi kalau untuk orang yang terikat budget ketat, contohnya saya, harga Moto Z Play masih di luar jangkauan dompet. Laptop yang saya pakai untuk mengetik posting ini saja harganya cuma setengah dari banderol Moto Z Play.

Berita baiknya, Motorola Mobility - yang sudah diakuisisi Lenovo pada Oktober 2014 - baru saja merilis lini produk terbaru dengan life-time baterai tak kalah dari Moto Z Play. Ya, sama-sama tahan seharian penuh tanpa harus dicas bolak-balik, tanpa dicolok powerbank, tapi dengan harga yang sangat bersahabat. Boleh jadi malah harga bersaudara, hehehe.

Ladies and gentleman, please welcome Moto E3 Power.



Baterai Besar, Charging Cepat
Seperti halnya Moto Z Play, sebenarnya Moto E3 Power sudah sama-sama diperkenalkan di ajang IFA (Internationale Funkausstellung) Berlin pada awal September lalu. Namun seri yang dipamerkan di ajang tersebut adalah Moto E3, tanpa embel-embel Power.

Selain kapasitas baterai, RAM, serta penyimpanan internal, spesifikasi Moto E3 yang dipamerkan di IFA Berlin 2016 persis sama dengan Moto E3 Power.

Di Indonesia sendiri Moto E3 Power resmi dirilis pada 26 Oktober kemarin. Dalam acara bertajuk Moto Is Back di Jakarta, perwakilan Lenovo menyebut momen ini sebagai kembalinya hape Motorola di Tanah Air. Memang sudah lama hape bermerek Motorola absen di Indonesia, dan Moto E3 Power membuka jalan untuk kembalinya merek legendaris ini.

Penambahan kata "Power" pada Moto E3 Power tentu bukan tanpa alasan. Jika Moto E3 hanya dibekali baterai berkapasitas 2800 mAh, Moto E3 Power punya baterai 3500 mAh. Tidak terlalu besar memang, tapi Lenovo menjamin baterai pada smartphone ini bisa tahan sehari-semalam!

Wow, pernah kebayang punya hape yang bisa on sehari-semalam tanpa bantuan powerbank? Ini bakal memuaskan hasrat narsis bin eksis kita selama mungkin. Jalan-jalan nggak bawa powerbank bukan lagi masalah besar. On terus pokoknya. Update media sosial bisa jalan terus.


Tanpa keraguan lagi Moto E3 Power cocok sekali dibawa bepergian jauh. Bagi yang nggak mau tasnya terlalu banyak isi, hape satu ini layak dipertimbangkan. Cukup bawa perangkat dan charger, beres deh. Itupun charger-nya sekedar buat berjaga-jaga aja. Kalau cuma pergi seharian sih rasanya tidak perlu bawa charger.

Tapi ngecasnya lama nggak? Biasanya kan hape dengan baterai besar butuh waktu charging lama?

Kalau ada yang bertanya begitu, Moto E3 Power memberikan jawaban: nggak pake lama! Hape satu ini sudah mengusung teknologi fast-charging. Atau malah bisa dibilang super fast-charging. Hanya dengan mengecas selama 15 menit, baterai bisa bertahan hidup hingga 5 jam. Sesuatu banget nggak sih?

Moto E3 Power tak cuma menawarkan baterai tangguh. Melihat ke jeroannya, smartphone satu ini memang dirancang untuk kerja berat. Sangat cocok untuk blogger atau buzzer yang harus selalu update di media sosial dan terkoneksi dengan dunia luar lewat berbagai macam aplikasi.

Prosesornya quad-core 1.0 GHz, menjamin kinerja yang cepat yang dibutuhkan pengguna aktif. Didukung RAM 2GB membuat kita bisa menjalankan berbagai aplikasi untuk multitasking dalam waktu bersamaan tanpa hambatan. Juga untuk terhubung dengan semua akun medsos tanpa membuat hape melambat.

Soal tampilan, Moto E3 Power mempunyai monitor IPS LCD selebar 5" dengan warna 16M. Resolusinya 720 x 1280 piksel dengan pixel density ~294 ppi. Tidak terlalu lebar maupun terlalu wah, tapi sudah sangat nyaman untuk menonton video-video di YouTube atau melihat-lihat foto di Instagram.


Bagi yang suka selfie, ponsel pintar ini dibekali dua kamera. Kamera belakangnya 8MP dengan fitur autofocus dan dilengkapi LED flash. Ambil foto di tempat gelap tak jadi masalah, tinggal hidupkan saja flash-nya. Fitur lainnya ada geo-tagging, panorama, dan HDR.

Sedangkan kamera depannya 5MP, sudah sangat baik sekali untuk foto selfie. Buat yang suka nge-vlog, kamera Moto E3 Power bisa diajak membuat video dengan resolusi 720p dan kecepatan 30 frame per second (fps). Kemampuan yang sangat lumayan untuk ukuran smartphone kelas menengah ke bawah.

Untuk membuat kita tetap terhubung dengan dunia luar, Moto E3 Power mendukung nyaris semua jaringan komunikasi. Mulai dari 2G, 3G, sampai 4G semuanya oke. Mau GPRS maupun EDGE juga bisa. Yang terpenting adalah speed-nya, di mana E3 Power support HSPA, LTE Cat4 dengan kecepatan 150/50 Mbps. Was-wis-wus deh.

Oya, kalau tiba-tiba paket data habis dan belum sempat isi lagi, kita tidak perlu mati gaya. Moto E3 Power dilengkapi dengan built-in radio FM. Cukup colok headset ke perangkat, terus cari stasiun radio tempat penyiar favorit siaran, hari kita pun nggak bakal berjalan membosankan.

Satu lagi yang bakal bikin melongo, Moto E3 Power anti-air. Tidak perlu takut lagi mengambil foto atau merekam video sambil hujan-hujanan. Juga tidak perlu panik kalau tanpa sengaja hape terkena tumpahan minuman di meja.

Dalam laman resminya Lenovo menyebut Moto E3 Power hanya tahan terhadap percikan air. Namun seorang reviewer di India melakukan tes lebih ekstrem. Perangkat ini ia rendam di dalam air selama 15 detik, dan tetap berfungsi dengan baik. Lihat saja videonya di bawah ini.



Buatan Indonesia
Satu kabar menggembirakan bagi pecinta produk-produk buatan Indonesia, Moto E3 Power adalah hasil rakitan anak bangsa. Produk ini merupakan ponsel pintar pertama yang diproduksi di Indonesia. Pun menjadi lini Moto pertama yang diproduksi dengan mematuhi aturan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) ponsel 4G.

TKDN adalah sebuah skema yang ditentukan Kementerian Perindustrian lewat Permenperin No. 65 tahun 2016, dengan maksud lebih memaksimalkan kandungan lokal dalam produk-produk elektronik yang dipasarkan di Indonesia. Dari tiga skema yang ditawarkan, Lenovo memilih skema pertama di bidang manufaktur.

E3 Power diproduksi di Serang, Banten. Lenovo bekerja sama dengan PT TDK sebagai mitra lokalnya di Indonesia untuk menghasilkan Moto E3 Power dan seri-seri Moto lainnya. Sebelumnya, PT TDK sudah memproduksi smartphone merek Lenovo untuk pasar lokal sejak 2015. Dalam sebulan PT TDK menghasilkan 90.000 unit hape mid-end dan high-end, serta 75.000 hingga 150.000 unit low-end.

Langkah yang ditempuh Lenovo dalam memenuhi aspek TKDN ini mendapat apresiasi dari Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara. Dari pihak Lenovo, pembukaan pabrik seri Moto di Serang merupakan penegasan bahwa Indonesia menjadi prioritas pasar. Ini tentunya bakal memudahkan dan memanjakan para pengguna.

Nah, mungkin karena diproduksi di Indonesia itulah Moto E3 Power bisa dibanderol murah. Harga resmi smartphone ini Rp1.899.000, terbilang murah untuk sebuah ponsel pintar dengan RAM 2GB, ROM 16GB, kamera 5MP dan 8MP, jaringan super cepat, serta tahan air.


Mau lebih hemat? E3 Power sedang ditawarkan secara eksklusif oleh Lazada Indonesia dalam flash sale yang dimulai 27 Oktober 2016 ini. Dengan membeli di Lazada, kita akan mendapat cashback sebesar Rp100.000. Jati jatuhnya harganya cuma Rp1.799.000.

Masih kurang? Dengan membeli di flash sale Lazada kita juga akan mendapat bonus paket data XL 12GB sepanjang tahun dan gratis 120 menit telepon ke semua operator. Kurang apa coba? Jangan tunggu lama-lama, sebab flash sale Moto E3 Power di Lazada hanya berlangsung sampai 11 November 2016. Setelah itu, semua cashback dan bonus tidak berlaku lagi.

Klik di sini untuk membeli Moto E3 Power secara eksklusif di flash sale Lazada.

Disclaimer: Tautan Lazada di atas merupakan tautan afiliasi. Jika Anda mengeklik tautan tersebut dan kemudian membeli Moto E3 Power di Lazada, saya akan mendapat komisi. Baca disclaimer blog ini selengkapnya di halaman ini.
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on October 27, 2016 01:54

October 23, 2016

Tips Cuci Piring Lebih Bersih, Lebih Cepat à la Ibu Saya


BIARPUN laki-laki, saya sudah biasa dengan yang namanya mencuci piring. Adalah ibu saya mengajarkan sejak saya kecil mula, bahwa mengurus rumah itu bukan cuma pekerjaan perempuan. Kalau ada waktu senggang, daripada duduk-duduk bengong atau ngerumpi lebih baik membantu istri mengerjakan apa saja yang bisa dikerjakan.

Ditambah lagi saya anak pertama. Sudah jadi semacam kultur kita mungkin ya kalau anak pertama itu harus jadi contoh bagi anak-anak berikutnya. Jadilah saya diajari macam-macam oleh ibu dan bapak, agar kelak bisa ganti mengajari adik-adik saya. Termasuklah soal mencuci piring tadi.

Saya sudah diberi tanggung jawab mencuci piring sejak kelas V Sekolah Dasar. Dulu Bapak merantau ke luar daerah, Ibu pagi-pagi buta sudah ke kebun untuk mengambil getah di kebun karet. Kalau ada piring kotor di dapur, adalah tugas saya untuk membersihkannya sebelum berangkat sekolah.

Karena sudah terbiasa sejak kecil, saya tidak canggung lagi mencuci piring dan juga masak sendiri saat ngekos di Muara Bulian semasa SMA. Lalu ketika kuliah di Jogja, saya juga lebih memilih masak sendiri dan tentu saja mencuci piring sendiri ketimbang makan di warung. Penghematan ceritanya.

Kini setelah beristri dan punya anak pun saya tidak segan-segan mencuci piring kalau pas tidak ada pekerjaan. Istri sudah repot memasak, mencuci baju, juga bermain dengan anak-anak. Masa iya cuma membantu mencuci piring saja saya tidak mau? Jadi jangan heran kalau kebetulan mampir ke rumah melihat saya sedang menggosok-gosok wajan dan panci. Hehehe...

Sabut Kelapa dan Abu Gosok
Ibu biasa memakai sabut kelapa untuk mencuci piring. Alasannya karena ini peranti gratis yang sangat mudah ditemukan. Bisa didapat dari kelapa yang jatuh dari pohon, atau minta sama tetangga. Selain itu sabut kelapa juga sangat ampuh untuk membersihkan noda membandel, terutama pada peralatan memasak.

Dulu kami memasak dengan tungku, bahan bakarnya kayu. Jadi setiap habis dipakai memasak panci dan wajan jadi hitam. Nah, sabut sangat ampuh untuk membersihkan gosong-gosong ini sehingga peralatan masak kembali cling. Kalau gosongnya bandel tak mau pergi, tinggal tambahkan saja abu gosok. Tak punya abu gosok? Gunakan tanah atau pasir halus sebagai gantinya.


Selain sabut kelapa, Ibu juga pernah memakai sabut blustru (labu air, Luffa cylindrica). Orang Jawa mustinya paham dengan tanaman merambat satu ini. Bentuknya semacam gambas (oyong), tapi lebih besar. Blustru yang terlalu tua seratnya menyerupai spons. Semakin tua semakin mirip spons. Biasanya blustru sengaja dibiarkan tua dan kering untuk diambil bijinya sebagai bibit.

Tak cuma blustru, sabut dari gambas tua pun bisa dipakai sebagai spons pencuci piring. Sama seperti blustru, gambas dibiarkan tua dan kering karena bijinya akan diambil sebagai bibit. Tinggal buang deh kulitnya, maka didapatlah sebuah spons alami berbentuk lonjong berwarna coklat muda.

Saya kira cuma di Indonesia, khususnya Jawa, yang memakai spons alami seperti itu untuk mencuci piring. Rupanya di kawasan pedesaan Malaysia pun sama saja. Di sana sabut blustru atau gambas dijual bervariasi menurut ukuran. Termurah dibanderol RM 2 (setara Rp6.250), ada pula yang dihargai hingga RM 7 (sekitar Rp22.000) per buah.

Karena tinggal di perkotaan, semasa ngekos di Jogja saya pakai spons buatan pabrik yang banyak tersedia di minimarket. Masa iya mahasiswa kok cuci piring pakai sabut kelapa atau sabut blustru. Hihihi. Lagipula tidak gampang cari sabut kelapa di Jogja, sebab biasanya sabut-sabut kelapa sudah dipisahkan untuk dijual ke pengepul yang memasok bahan baku pembuat sapu.

Spons yang biasa saya pakai masa itu warnanya hijau. Ada bagian kasar berwarna hijau tua, lalu bagian lebih lembut sekaligus lebih tebal berwarna lebih muda. Entah mereknya apa. Seringkali beli yang tanpa merek sih. Maklumlah, kantong mahasiswa.

Saya tidak pernah tahu, dan tidak pernah ada yang memberi tahu, untuk apa spons pencuci piring dibuat dua lapis berbeda seperti itu. Secara instingtif saya pakai bagian spons yang lembut untuk mencuci piring, gelas, dan sendok-garpu. Juga aneka perabot berbahan plastik dan melamin. Lalu bagian kasar untuk mencuci peralatan memasak.


Beda Warna Beda Fungsi
Apa yang saya lakukan itu rupanya salah kaprah. Begini yang benar. Bagian spons yang kasar berfungsi untuk mencuci, sedangkan bagian yang lembut dan tebal sebagai penyimpan air. Jadi, jangan pernah gunakan bagian spons yang lembut untuk menggosok permukaan piring, gelas, panci, kuali, dan lain-lain. Gunakan bagian kasarnya.

Yang tidak kalah penting, menurut penjelasan yang saya baca di web BriteQueen.com, sangat disarankan memakai spons berbeda untuk membersihkan perlengkapan makan dan peralatan masak. Demikian pula dengan benda-benda berbahan plastik atau melamin.

Kenapa harus demikian? Ini untuk menghindari perpindahan kuman dan bakteri dari peralatan masak ke perlengkapan makan. Apalagi piring yang terbuat dari beling berbeda sifatnya dengan panci yang terbuat dari stainless steel. Jadi, yang digunakan untuk membersihkannya pun harus berbeda.

Masuk akal juga ya? Kalau kamu selama ini masih pakai satu spons untuk membersihkan segalanya, mulai sekarang ganti deh. Siapkan satu spons khusus untuk mencuci piring dan gelas beling serta sendok-garpu, spons lain untuk membersihkan perlengkapan makan berbahan plastik/melamin, lalu satu lagi menggosok peralatan masak.

Well, berarti ini alasannya kenapa di supermarket dan minimarket saya lihat ada berbagai spons warna-warni. Mereknya Scotch-Brite yang baru belakangan saya tahu merupakan ahli dalam hal bersih-bersih rumah. Selain spons pencuci piring, Scotch-Brite juga punya sapu berbahan nylon, alat pel, sikat washtafel, sikat toilet, dan berbagai macam lap yang tentu saja untuk peruntukan berbeda.

Kembali ke soal spons. Scotch-Brite memiliki spons berbagai warna dengan fungsi berbeda-beda, yakni:
Sabut Spons Hijau Scotch-Brite untuk mencuci alat masak.Sabut Spons Anti-Gores Scotch-Brite untuk mencuci alat makan dan alat masak teflon/anti-lengket, warnanya pink.Sabut spons khusus tempat minum anak, warnanya juga pink tapi bentuknya lebih panjang.Sabut Spons Putih Scotch-Brite untuk mencuci peralatan makan anak-anak.Sabut Spons Biru Scotch-Brite untuk mencuci peralatan memasak anti-lengket.
Didorong rasa penasaran kenapa sampai harus repot-repot membuat begitu banyak spons hanya untuk cuci piring, saya pun mendarat ke fanpage Scotch-Brite Indonesia. Naga-naganya, merek satu ini benar-benar serius soal bersih-bersih. Produk buatan Scotch-Brite dijamin berkualitas bagus.

Contohnya sabut spons tadi. Sabut dibuat dengan teknologi yang ampuh membersihkan kotoran. Jadi acara cuci piring bisa lebih cepat dan hasil cucian lebih bersih. Lebih kerennya lagi, sabut mengandung serat dan mineral berkualitas. Hmmm, terbayang kan bagaimana bersihnya hasil cucian menggunakan sabut spons Scotch-Brite.


Tentu saja saya bagikan informasi ini kepada istri. Sama seperti saya, istri mengira spons bisa untuk mencuci apapun. Juga tahunya bagian lembut spons untuk perlengkapan makan, bagian kasar untuk peralatan masak. Mulai saat ini tidak begitu lagi. Kami gunakan sabut spons Scotch-Brite berbeda untuk masing-masing cucian.

Untuk kami yang peralatan masaknya tidak terlalu macam-macam, pakai dua spons saja sudah cukup. Sabut Spons Hijau Scotch-Brite untuk mencuci alat-alat masak, dan Sabut Spons Anti-Gores untuk membersihkan perlengkapan makan dan alat masak anti-lengket. Eh, tapi kami juga butuh sabut spons khusus tempat minum anak ding. Jadinya pakai tiga spons deh.

Ngomong-ngomong soal tiga, dengan memakai sabut spons Scotch-Brite kami bisa mencuci lebih bersih sekaligus berhemat. Biarpun harganya di atas sabut spons pada umumnya, tapi Scotch-Brite lebih tahan lama. Harga murah tapi mudah rusak ya sama saja jatuhnya dengan beli mahal tapi awet. Jadi, bukan sekedar slogan kosong kalau Scotch-Brite memakai tagline 3X Cepat Bersih, 3X Tahan Lama.

Tips Cuci Piring
Lha, terus, mana nih tips cuci piringnya? Oke, oke, sepanjang yang saya ingat dari apa yang pernah diajarkan Ibu, berikut beberapa hal yang bisa saya bagikan.

Just for your information, saya sendiri masih mempraktikkan apa yang Ibu ajarkan ini saat mencuci piring. Malah kalau anak-anak saya nimbrung ikut mencuci piring, saya selipkan ajaran Ibu tersebut ke anak-anak. Entah mereka merekamnya dengan baik atau tidak, kalau terus-terusan diulang pasti bakal diingat.

Here we go...

Tips Mencuci Piring Lebih Bersih:
Buang semua sisa makanan yang masih ada di perlengkapan makan atau alat masak.Siram cucian dengan air hingga basah. Ini untuk melunturkan kotoran, atau melunakkan sisa-sisa makanan yang masih menempel.Pisahkan cucian. Awali dengan mencuci gelas, lalu sendok-garpu, disusul piring dan mangkok. Paling terakhir adalah peralatan masak seperti kuali dan panci. Terutama kalau bagian luar peralatan masak hitam-hitam karena gosong.Sangat disarankan untuk mencuci memakai bak/ember besar ketimbang di bawah kran mengalir. Siapkan dua bak/ember besar, bilas cucian sampai dirasa benar-benar bersih.Saat membilas, siram terlebih dahulu cucian dengan air sebelum dicelupkan dalam bak/ember.Urutan membilasnya sama seperti urutan mencuci: gelas terlebih dahulu, disusul sendok-garpu, mangkok, piring, baru peralatan masak.


Tips Mencuci Piring Lebih Cepat:
Kalau cucian sangat banyak sampai berlusin-lusin, katakanlah saat ada hajatan atau pengajian, cara satu ini bisa dipakai. Tak cuma ibu saya, banyak restoran dan hotel menerapkan cara mencuci begini lho. Dan terbukti lebih efektif dan efisien, alias lebih cepat.

Khusus untuk piring dan mangkok, setelah dibersihkan dari sisa makanan, disiram air, dan disabuni, tumpuk sebanyak selusin-selusin atau 10-10. Siapkan dua-tiga bak besar berisi air. Kemudian siram tumpukan piring dan mangkok yang sudah disabuni. Terakhir, angkat setumpuk-setumpuk dan celupkan ke bak pertama berulang-ulang, lanjut ke bak kedua dan ketiga sampai benar-benar bersih.

Teknik ini bisa diaplikasin juga pada sendok-garpu. Masukkan sendok-garpu sebanyak mungkin ke dalam wadah bolong-bolong, lalu celup-celupkan ke dalam bak pembilas. Cara ini bisa membuat kita mencuci satu ember sendok-garpu sekaligus.

Kalau gelas bagaimana? Tak jauh berbeda sih. Cuma karena gelas tak mungkin ditumpuk, mencelupkannya ke bak bilasan tetap harus satu-satu. Untuk mempercepat, siram gelas yang sudah disabuni dengan air sebelum dicelupkan dalam bak. Jadi sewaktu dicelupkan sudah dalam kondisi bebas sabun.

Nah, itu dia tips mencuci piring lebih bersih lebih cepat yang diajarkan ibu saya. Selamat mencoba!
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on October 23, 2016 09:09