Reffi Dhinar's Blog, page 21

July 25, 2019

Toxic Masculinity, Masalah Besar Selain Soal Patriarki

Toxic Masculinity, Masalah Besar Selain Soal Patriarki

Suatu sore ketika saya sedang menunggu teman sekantor untuk nebeng ke depan gerbang kawasan industri untuk pulang, salah satu rekan kerja saya (sudah bapak-bapak), mendadak berkomentar. “Bosmu itu aneh ya, kaya perempuan. Mungkin efek dari tindakannya di rumahnya. Masa laki-laki kok yang bagian masak sama belanja di pasar?”

Langsung mulut saya yang pedas dan tidak suka kalau ada orang lain nyinyir dengan pilihan hidup orang yang tidak terlalu dikenal, ingin menyambar. Saya ingin berteriak, “Emang situ sebagai laki udah bener?” Untungnya, bisa saya cegah.


Toxic Masculinity yang MenyebalkanAtasan saya adalah sosok pria yang bekerja keras dan selalu mengedepankan anak serta istrinya di dalam pengambilan keputusan apapun. Saya bisa bicara seperti itu karena beliau selain membicarakan pekerjaan, juga selalu menceritakan perkembangan anak-anaknya. Justru saya kagum dengan atasan saya itu, seperti halnya saya mengagumi Papa.

“Justru kalau saya memiliki suami seperti si Bos, saya bahagia dan bersyukur, Pak. Istrinya tidak bekerja, di rumah sudah mengasuh ketiga anaknya, menjaga anaknya 24 jam. Bos saya bilang, apa salahnya kalau suami membantu memasak dan belanja? Itu hanya sedikit bantuan untuk istri. Mengasuh anak itu sangat melelahkan. Toh dalam rumah tangga, suami istri itu sifatnya harus bekerjasama dengan peran yang sudah ada. Bos saya yang bekerja keras demi memenuhi seluruh kebutuhan keluarga, itu sudah kewajibannya. Kenapa hanya dengan memasak, lalu kelaki-lakiannya diragukan?” Itu yang saya katakan pada si tukang nyinyir. Mukanya jelas masam karena saya tidak setuju dengan pemikirannya yang toxicsebagai laki-laki.


Toxic Masculinity yang Menyebalkan Source:  Sundry Photography/Shutterstock
Pemikiran-pemikiran sempit inilah yang saya sebut toxic masculinity. Masyarakat kita selalu bilang, “Masa anak laki-laki nangis hanya karena sedih? Jadi laki nggak boleh nangis.” Atau kalimat lain seperti ini. “Laki itu nggak seharusnya masak, itu kan tugasnya istri. Nggak perlu bangun malam untuk menidurkan bayi yang rewel, itu kan tugas ibunya buat menggendong.”
(Baca Juga: Keegoisan Seorang Pria dan Harga Diri Wanita)

Hah? Lucu sekali pemikiran dangkal seperti itu. Memang sudah ada kodrat yang juga saya setujui antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki bertugas mencari nafkah, perempuan menjadi guru pertama untuk anak-anaknya dan menjadi pendukung suami. Hanya dalam beberapa kasus misalnya suami sakit dan mendapat musibah, lalu istri membantu mencari nafkah. Ataupun jikalau suami dan istri sama-sama mencari uang juga bukan hal yang bisa disalahkan, karena sudah sesuai kesepakatan bersama.

Hanya saja yang konyol jika masih saja ada yang membagi tugas keseharian karena gender. Laki-laki pun juga manusia, kenapa dia tidak boleh menangis jika sedang kehilangan? 

Memasak bukanlah hal yang tabu, malah sekarang koki pria itu banyak sekali jumlahnya. Lihat saja bagaimana gagahnya Chef Juna dan Chef Arnold di acara Master Chef. Apa mereka kurang jantan sosoknya? Apa salahnya dengan perempuan yang bisa memperbaiki genteng bocor dan mengganti bola lampu sendiri?

Pelabelan pada pekerjaan sehari-hari adalah produk salah yang dihasilkan dari pemikiran toxic masculinity. Nah, saya pikir dari pikiran inilah makanya budaya patriarki pun menguat. Sosok laki-laki diwajibkan lebih superior dibanding perempuan. Perempuan yang tangguh dan mandiri, menjadi momok menakutkan bagi para pemuja patriarki.


        Peran Keluarga dan Lingkungan Paling Penting dalam Hal KesetaraanKedua orang tua saya adalah wujud rumah tangga yang ingin saya miliki. Papa bekerja untuk mencari nafkah, Mama memang tidak diizinkan bekerja di luar karena kondisi fisik tidak memungkinkan (saat hamil harus bed rest total karena berisiko), namun Mama diizinkan untuk mengikuti kegiatan organisasi di luar rumah.  Mama selalu meminta izin pada Papa jika akan bepergian. Kalau izin didapat barulah Mama pergi.

Karena Papa pulang sampai larut malam dan Mama lebih banyak di rumah, tentu saja memasak dan mengurus kebutuhan rumah itu menjadi tugas Mama. Papa selalu memberikan gajinya sepenuhnya untuk diatur Mama. Jikahendak membeli sesuatu, juga masih meminta pertimbangan dari Mama. Keduanya bekerjasama secara harmonis dengan tugas masing-masing tanpa perlu berkata, “Aku suami, makanya kamu harus begini. Aku istri, kamu harusnya begitu.” Konflik dan perselisihan pendapat dibicarakan secara terbuka agar tidak menjadi masalah berlarut-larut.


Source: @timmosholder (Unsplash)

Hal unik adalah saat ada genteng bocor atau masalah listrik di rumah, Mama selalu mencari orang lain atau tukang untuk membetulkan. Waktu kecil saya bertanya, “Kenapa bukan Papa yang benerin genteng? Ayahnya teman-temanku bisa benerin genteng sendiri, bisa menggergaji kayu sendiri.”

“Papamu tidak bisa pekerjaan menukang, ya kita panggil saja orang yang bsia bantu,” kata Mama. Dan tidak saya lihat tuntutan dari Mama agar Papa mau belajar menukang.

Di saat Mama saya kelelahan dan tidak memasak, Papa akan bilang,”Mama capek, badannya agak nggak enak. Ayo beli lauk di luar aja.”

Tidak ada tuntutan agar Mama wajib memasak kalau memang tubuhnya sedang tidak fit. Tak perlu ada acara mengomel dan menyindir Mama karena memasak adalah tugasnya. Kedua orang tua saya mendorong saya untuk berkarya, bermimpi dan meraih pendidikan terbaik tanpa melihat gender. Dan tentunya saya tetap diajari tata krama sebagai manusia dan calon ibu nantinya. Kesetaraan tanpa menyalahi kodrat. Setara tanpa menghina orang lain. Suami istri harusnya bekerjasama, bukannya melebihkan diri lalu memandang rendah posisi pasangannya.

Jadi jika sebagai perempuan kita sering berteriak soal seksisme, omongan misoginis dan patriarki laki-laki, tak ada salahnya menilik soal toxic masculinity. Perempuan dan laki-laki memang memiliki fungsi dan proporsi berbeda di dalam keluarga, namun untuk soal jenis pekerjaan atau perasaan, tidak seharusnya menjadi batasan kaku yang membatasi ruang gerak masing-masing.
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on July 25, 2019 22:10

July 19, 2019

Waspadalah! Memiliki Ciri-ciri Ini Berarti Anda Mengidap Gejala OCD!

OCD

Pernah mendengar istilah Obsesive Compulsive Disorder (OCD)? Ini bukan nama diet ala Deddy Corbuzier, OCD di sini adalah salah istilah gangguan kejiwaan yang biasanya terjadi tanpa disadari penderitanya. Barangkali Anda juga memilikinya namun masih dalam tahapan yang wajar. Jika berlebihan hingga parah gangguannya, pasti akan mengganggu  hidup si penderita.
Deteksi OCD bisa dilihat dari kebiasaan-kebiasaan yang kita lakukan sehari-hari. Penderita OCD cenderung memiliki ketakutan tertentu atau mengulang-ulang kegiatan tertentu untuk mengusir ketegangan di hati dan pikirannya. Berikut ini ciri-ciri yang biasa terjadi pada penderita OCD.
1.       Fobia kumanPada tingkatan ringan biasanya seseorang yang cinta kebersihan akan rajin membersihkan barang yang telah dipakai dan kalau menjadi semakin parah, maka perilaku mencuci tangan di kamar mandi atau wastafel akan  lebih sering dilakukan. Orang yang menderita OCD akan sangat takut dengan kuman. 
Di kepalanya, ketakutan itu berkembang begitu besar seolah sedikit kuman masuk akan menimbulkan kematian. Jika Anda atau orang yang Anda kenal hobi mencuci tangan berlebihan, terlalu takut dengan kuman bahkan membersihkan semua barang yang dipegang orang lain, bisa jadi sudah mengidap OCD.
menata barang harus rapi dan lurus
@sadswim (Unsplash)
2.       Penyuka kerapian dan sudut simetrisBerbeda dengan sifat perfeksionis, penderita OCD akan memiliki kesukaan berlebihan pada hal-hal yang berbau kerapian. Jika ada barang berantakan lalu dirapikan itu masih wajar. Berbeda halnya jika aktivitas tersebut diakukan berulangkali hanya karena sedikit pergeseran atau perubahan. 
Berkali-kali menata buku, membongkarnya lagi lalu menata ulang lagi adalah salah satu ciri OCD yang sering ditemukan. Selain itu, penderita OCD akan berusaha meluruskan barang yang ia tata, tidak boleh meleset sedikit pun. Sepatu yang ditata di rak harus sejajar dan tidak boleh miring contohnya.
3.       Sulit mengontrol pikiran negatifPernah tidak waktu naik pesawat Anda berpikir yang tidak-tidak tentang pesawat jatuh atau mungkin malah sesak napas karena membayangkan pesawat meledak di tengah perjalanan? Pada penderita OCD, pikiran negatif akan sulit diusir dan akan menguasai otak sampai mungkin impuls yang dikirim sangat berlebihan, seolah kita akan tewas. 
Atau hanya karena anak Anda tidak mencuci tangan sebelum makan, bisa jadi Anda berpikir jika Anak  akan meninggal. Pikiran tentang kejadian buruk seperti kecelakaan, meninggal, takut kehilangan seseorang adalah beberapa hal negatif yang bisa mengganggu produktivitas Anda.

Suka menimbun barang tak penting
@poncho_nj (Unsplash)
4.       Hobi menimbun barang bekas atau tuaPunya hobi mengoleksi barang seperti buku atau sepatu? Hobi mengoleksi bukan termasuk ciri-ciri penderita OCD, beda lagi ceritanya jika Anda suka menyimpan barang-barang tua dan bekas yang sudah rusak dan tidak dipakai lagi. Rasanya sangat sayang jika mau membuang. Hati-hati, jika Anda punya kecenderungan seperti ini, bisa jadi itu gejala OCD.


OCD harus segera diobati karena jelas sekali bisa menurunkan kualitas hidup kita. Jangan malu untuk berkunjung pada ahlinya supaya Anda bisa mendapat terapi yang tepat dan pikiran jadi lebih tenang tanpa siksaan pikiran dan kekhawatiran yang berlebihan.

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on July 19, 2019 02:57

July 16, 2019

4 Cara Menulis Cerita Romance Agar Tidak Monoton

4 Cara Menulis Cerita Romance Tidak Monoton
Romance adalah genre yang paling banyak diminati oleh penerbit dan pembaca. Bahkan di beberapa seleksi naskah yang saya amati akhir-akhir ini, meminta romance menjadi salah satu unsurnya. Memilih untuk menulis  genre romance memang menjadi tema yang sering dipakai oleh penulis pemula ataupun penulis senior. Siapa sih yang tidak pernah mengalami jatuh cinta dan patah hati? Romance adalah sebuah genre yang dialami banyak orang.
Masalahnya, seringkali pembaca genre romance akhirnya bosan dengan cerita cinta yang monoton dan bisa dengan mudah ditebak alurnya. Akhirnya, belum membaca isinya, hanya dilihat dari sinopsis, terkadang calon pembaca berpikiran skeptis terhadap sebuah buku romance.
Padahal jika tahu ramuannya, romance pun bsia diubah menjadi menarik dan tidak mudah ditebak. Contohnya salah satu pembaca novel terbaru saya Red Thread yang mulanya sama sekali tidak pernah membaca genre romancekarena jenuh. Setelah membaca novel saya, dia seolah berada di dunia baru dengan sesak, kegelapan, jatuh cinta yang menggelora sekaligus membuat penasaran. (Baca Juga: Proses Kreatif Novel Red Thread)
 Maka bagi Anda yang ingin membuat naskah romance tidak monoton dan menarik minat pembaca agar mau membuka halaman hingga akhir, cobalah beberapa tips di bawah ini.
Buatlah Karakter UnikAlur boleh mirip dengan naskah romance yang sering Anda baca, misalnya tentang cinta segitiga atau kasih tak sampai. Yang perlu diperhatikan adalah karakter di dalam ceritanya. Jangan membuat karakter terlalu sempurna seperi khayalan Anda atau layaknya aktor di dalam drama korea yang tidak ada cela. Jadikan orang-orang di sekitar Anda sebagai laboratorium tokoh.


Your Character Is Your Own Laboratory

Pilih sikap dan watak yang akan ditonjolkan utama lalu pilih juga sisi lemah yang bisa menjadi ciri uniknya atau bisa memengaruhi jalannya cerita. Misalnya saat saya memilih tokoh Bella di dalam novel Red Thread. Sosok Bella memiliki kecantikan sempurna dan tubuh langsing bak model serta mempunyai kekasih tampan hingga bisnis menjanjikan.

Kelemahan sosok Bella ternyata ada keculasan tersendiri yang digunakan untuk memenuhi keinginan pribadinya, dan pembaca baru bisa menebak di bagian tengah cerita. Buatlah karakter unik dan serealis mungkin yang tentunya sesuai dengan alur yang Anda buat.

      Campuran Genre yang Menjadi Bumbu Penyedap RomancePernah membaca novel Twilight? Jika Anda menggemari film dan novelnya, pasti tahu bagaimana kisah cinta Edwad Cullen dan Bella Swan itu sangat menarik untuk disimak. Sebenarnya formula kisah cinta itu klise, ada kisah cinta segitiga, kisah cinta berbeda dunia (vampir dan manusia), dan konflik batin antara tokoh utamanya.


Yang membuat Twilight menarik, adanya bumbu dunia vampir yang sangat kompleks dan dunia shapeshifter yang diwakili Jacob dengan keluarga serigalanya. Istilah-istilah dunia fantasi turut menambah khayalan pembaca makin berkembang. Edward digambarkan sebagai seorang vampir yang terbiasa makan darah hewan sehingga mudah bergaul dengan manusia biasa tanpa membunuh, ini sudah menjadi ciri unik dari cerita vampir sebelumnya.


Novel Red Thread

Anda bisa menyampurkan romance dengan genre fantasi, thriller, atau komedi. Contoh romance-comedyyang membuat jantung berdebar sekaligus sakit perut karena tertawa di tiap bab adalah novel best-seller Resign. Novel Red Thread yang saya tulis tidak diramu dengan unsur fantasi atau komedi, melainkan unsur suspense (ketegangan) , melodrama, dan twist (kejutan) di tiap bab. Dan dengan ketiga unsur tersebut, saya menyebutnya sebagai dark romance.

       Menonjolkan Profesi TokohJika Anda membaca novel-novel metropop seperti karya Ika Natassa, maka pasti kita akan mengenal sekelumit kehidupan seorang bankir. Latar belakang Ika Natassa sebagai banker itulah yang dijadikan profesi utama tokoh di dalam novel-novelnya. Pembaca pun tak hanya disuguhi kisah cinta, tetapi juga mendapat wawasan baru.


Menonjolkan Profesi Tokoh Tell Your Character's Job

Anda bisa mencari profesi apa yang akan menjadi pekerjaan tokoh. Kalau dia pengangguran misalnya, bakat tersembunyi apa yang dipunyai. Jikalau Anda tidak memiliki profesi khusus, lakukan riset bisa dari mewawancarai sahabat atau mencari referensi dari internet dan buku. Masukkan aktivitas sehari-hari di dunia kerja sebagai salah satu latar pendukung cerita. Pembaca pun akan mendapat insightbaru.

Ending yang Tidak KliseEnding yang tidak klise ini maksudnya tidak sesuai ekspektasi pembaca. Misalnya si tokoh A dan B jatuh hati sejak lama dan mereka digambarkan sebagai pasangan sempurna, namun di akhir cerita mereka malah terpisah bukan karena ada orang ketiga tetapi cinta itu mendadak hilang begitu saja. Ketidaksukaan-ketidaksukaan kecil menumpuk hingga mengikis rasa cinta mereka misalnya. Tugas Anda dari awal hingga akhir adalah menuliskan konflik-konflik kecil itu secara cerdas agar pembaca tidak bosan. Bisa sesekali dibumbui intrik.


novel Red Thread Reffi Dhinar

Nah itulah 4 cara agar cerita romance tidak monoton. Anda juga bisa membaca novel Red Thread sebagai salah satu referensinya. Dan seminggu ke depan saya membuka open PO lagi berbonus kelas menulis gratis tema Dark Romance  di WA group. Anda yang memesan dan membeli di masa PO sampai tanggal 25 Juli berarti berhak mengikuti kelasnya. Buku bisa dipesan melalui

Email: reffi.new2@gmail.comDM IG: @reffi_dhinar

Jangan lupa menuliskan nama, alamat, dan nomor telepon yang memiliki WA. Jangan sampai melewatkan kesempatan ini ya! 
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on July 16, 2019 21:30

July 10, 2019

Podcast: Menjadi Penulis Harus Siap Gagal dan Siap Berhasil


Satu kalimat ini yang pernah saya dengar dari Dee Lestari, selalu terpatri di kepala saya. Selama ini ketika kita hendak menekuni sebuah passion contohnya menulis, maka semangat untuk menerima keberhasilan terpatri kuat. Tetapi tidak semua orang menyiapkan mental jika di tengah jalan mengalami kegagalan.
Akan lebih mudah memang kalau dari awal kegagalan demi kegagalan itu diterima karena pola pikir masih terkonsep jika setelah kegagalan adalah keberhasilan. Namun bagaimana dengan keberhasilan yang sudah digenggam lama lalu mendadak kegagalan datang? Benarkah diri kita bisa menerima?
Dalam dunia menulis, dinamika dan perkembangan bisa terjadi kapanpun. Untuk lebih jelasnya, yuk mampir di cuap-cuap singkat kali ini. Podcast bisa didengarkan di Spotify akun 'Reffi_D'. Tanpa aplikasi kamu bisa juga mendengarkan, klik di sini dan siapkan headsetmu.
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on July 10, 2019 20:08

July 8, 2019

Menjadi Penulis Buku (Rangkuman Materi Sharing Literaksi)




Tulisan ini adalah rangkuman dari materi yang saya berikan di kelas Literaksi. Dimulai dari proses awal menulis buku, hingga saya bisa menjadi content writer. Perjalanan panjang yang tidak akan berhenti.


Proses Awal Menulis
Jika merunut ke belakang, saya sadar passion menulis ini bisa berkembang salah satunya karena dukungan ortu. Saya akan bercerita sekilas awal mula saya menulis buku.

Sejak kecil, ortu sudah mengembangkan kebiasaan membaca. Papa pembaca akut surat kabar, dalam sehari bisa beberapa jenis surat kabar dibeli sekaligus dibaca. Mama berlangganan majalah perempuan, dan saya selalu dibelikan majalah anak-anak, sehingga di usia 4 tahun berkat bimbingan Mama, saya bisa membaca tanpa mengeja.

Mama sangat disiplin dalam menerapkan aktivitas sehari-hari saya mulai dari kapan harus sekolah, belajar, mengaji dan tidur siang. Waktu bermain di luar tidak banyak (tidur siang itu wajib), dulu sebagai anak kecil saya merasa keberatan. Mau mengomel juga tidak tahu ke mana, makanya akhirnya saya tuliskan keluhan itu di buku catatan mulai kelas 2 SD.
Lucunya, saya ganti nama saya agar Mama tidak tahu kalau yang mengeluh itu saya. Tetap saja Mama tahu, tetapi beliau tidak marah dan menasehati saya kalau peraturan itu dibuat agar saya tidak mudah sakit. Bermain boleh saja tapi ada waktunya, karena saya harus istirahat cukup. Sekarang saya paham hehe.

Dari situlah, perkembangan menulis saya diperhatikan orang tua. Saya mulai menulis cerita fiksi seperti dongeng di belakang buku catatan. Diam-diam, Papa mengumpulkan catatan itu lalu diketik di kantor.  Kawan Papa bilang kalau saya punya bakat besar di dalam menulis. Saya lalu rutin menulis catatan opini singkat di diary.



Saya adalah anak yang sangat kritis, tiap kejadian di sekitar saya selalu memicu pertanyaan, seperti kenapa seorang anak bisa menyukai teman sekelasnya, kenapa teman saya menghina teman lain yang kurang berpunya, dan terus menulis cerita fiksi singkat. Hingga di kelas 4 SD, saya menjual cerita ke teman sekelas. Teman-teman tahu saya jago membuat cerita, jadi saya buatkan daftar judul yang bisa dipilih, lalu akan saya tulis. Buku itu dari buku tulis yang saya ambil beberapa lembar, lalu kovernya pakai kertas warna-warni dari bufalo yang saya jepret menjadi buku saku. Per buku saya jual 500 rupiah, sangat laris sampai saya bisa menabung kas terbanyak di kelas.

Namun saya belum berani mengirimkan cerita ke media meski Papa sangat mendukung. Saya tumbuh menjadi kutu buku dan perpustakaan menjadi rumah kedua. Baru masuk SMP, saya sudah membaca beberapa buku biografi tokoh dan filsafat Freud yang waktu itu sulit saya pahami, karena waktu itu bahan bacaan di perpus belum selengkap sekarang. Saya terus menulis puisi, cerpen, dan opini di diary. Barulah saya sadar jika saya punya bakat menulis ketika kelas 2 SMP. Sekolah mengirim tim OSIS untuk mengikuti bedah film ‘Bend It Like Beckham’ yang diselenggarakan Jawa Pos dan Kabupaten Sidoarjo.

Peserta diminta menulis resensi lalu dihubungkan dengan dunia nyata. Saya pun mengkritisi kenapa perempuan India tidak boleh bermain bola, bukan karena dia tidak mampu tetapi karena gendernya. Saya hubungkan dengan kehidupan sehari-hari yang masih meremehkan kecerdasan dan kemampuan perempuan. Tulisan model begitu sering saya buat di diary jadi rasanya tidak sulit. Tidak disangka ternyata resensi itu dilombakan, dan saya menjadi juara 2 umum, sedangkan juara 1 adalah siswa SMU. Saya mendapat piala dan tabanas.

Saya yang masih dalam proses belajar ini mengenai menulis buku. Saat ini saya sudah menulis 9 buku solo dan belasan antologi bersama, salah satu buku saya diterbitkan di Bentang Pustaka di lini ebook digital.

Proses Menulis Buku
Setelah bertahun-tahun hanya berani menulis di diary, baru di tahun 2012 memasuki masa skripsi, saya mulai menulis lebih serius. Awalnya karena saya bertekad untuk membiayai semua biaya bimbingan skripsi, print, hingga kebutuhan wisuda  dengan jerih payah sendiri. Untuk biaya kuliah sudah dibantu beasiswa dan sokongan ortu. Ketika ada lowongan ghost writer untu sebuah web, saya coba melamar, setelah lolos seleksi saya diterima. Syaratnya sangat ketat. Selama sebulan penulis diberi keyword yang harus dikembangkan menjadi artikel 2000 kata. Sehari harus setor minimal 1 artikel. Biayanya 25000/artikel. Terlambat satu hari, maka semua tulisan tidak akan dibayar, tidak peduli sudah menulis 15 artikel sekalipun.

Alhamdulillah saya bisa melaluinya dan mulai punya tabungan. Saya juga menerjemahkan secara lisan dan tertulis Bahasa Jepang-Indonesia. Lalu pada pertengahan 2013, AG Pressindo mengadakan Sayembara Nasional Novel. Saya tidak pernah menulis novel, tetapi sangat suka membacanya juga, dan karena terbiasa menulis tiap hari maka waktu 30 hari menulis novel 100 halaman tidak terlalu sulit. Yang susah justru dari manajemen waktu karena saya harus kuliah, menjadi penerjemah freelance, ghost writer artikel, dan mengerjakan skripsi juga. Waktu tidur hanya 4 jam sehari.



Akhirnya novel perdana saya selesai, Alhamdulillah lolos sepuluh besar karya terbaik. Karena tidak menjadi juara pertama, naskah tidak diterbitkan mayor, naskah saya diterbitkan indie secara gratis. Novel ‘Triangle’s Destiny’ menjadi debut saya sebagai penulis novel. Di tahun itu saya juga mulai membuat blog. Blog Kata Reffi saya jadikan tempat menulis opini dll menggantikan kebiasaan menulis di diary.  Antologi bersama pun satu per satu mulai terbit.

Setelah lulus dan bekerja, hasrat untuk terus menerbitkan buku pun tidak terbendung. Saya sering mengikuti banyak lomba menulis dari flash fiction, novelet, puisi, dan novel. Sering saya kalah dan beberapa kali juga saya menjadi juara hingga buku saya diterbitkan gratis. Mulai dari uang tunai, piala dan sertifikat sudah saya terima. Saya tidak mau cepat puas, jadi sambil menulis pun saya mengikuti pelatihan menulis baik online atau offline, membaca buku teknik menulis, dan mau menyisihkan uang untuk pelatihan berbayar.

Setelah memenangkan kompetisi menulis di Indscript Creative, blog saya makin berkembang. Karir menulis buku juga berkembang seiring dengan content writing. Blog saya pernah bekerjasama dengan brand-brand terkemuka seperti Traveloka, Matahari Mall.com, Indosat Ooredoo, Hijup, dan yang terbaru adalah Gojek. Beberapa dari agency dan lainnya langsung mengontak email saya karena tertarik dengan konten saya di blog. Kini saya juga merambah di dunia editor buku setelah dilamar oleh Indscript.

Latihan Untuk Konsisten Menulis Buku
Keluhan yang sering muncul dari kawan penulis pemula adalah sulit menjaga konsistensi menulis. Ini saya bagikan agar kita bisa konsisten menulis buku hingga selesai.



1. Banyak membaca buku yang terkait dengan buku yang akan kita tulis. Misalnya ingin membuat novel teenlit, maka carilah novel yang reviewnya bagus atau kita suka, baca 2 atau 3 buku supaya paham bagaimana mengembangkan alur, konflik dll. Namun jangan plagiat.

2. Tentukan deadline dengan jumlah halaman. Ukur kemampuan diri, misalnya jika ikut lomba dan deadline sebulan dengan minimal halaman 100, maka bagi 100 halaman menjadi 25 hari. Tuliskan draft sebebas mungkin, lupakan dulu mengedit. Waktu lima hari sisanya baru dipakai mengedit dan membaca ulang.

3. Pilih waktu dan lokasi nyaman untuk menulis.

4. Istirahat dan selingi olahraga ringan karena duduk terlalu lama serta menulis tanpa makan akan membuat tubuh lemah.

5. Jika ada ide baru, catat saja tanpa perlu dikembangkan, fokus pada satu naskah saja sampai selesai, karena penulis yang baik adalah penulis yang menyelesaikan naskah.

6. Banyak memfollow akun penulis yang sudah lebih populer atau profesional, membaca PUEBI dan berteman dengan editor pun baik. Ikuti juga akun-akun penerbit baik indie atau mayor untuk membaca tips menulis dari mereka.

7. Jangan memikirkan soal bagus atau jelek, buat saja sekehendak kita. Jangan lupa sebelum menulis buatlah outline/kerangka penulisan dari awal-konflik-akhir. Buatlah premis utama cerita untuk menentukan ceritamu tentang apa dalam satu kalimat pendek.

8. Jika menulis nonfiksi tentukan tujuan besar bukunya, lalu buat kerangka per bab. Seperti saat saya menuliskan buku kumpulan blog, saya tidak asal memasukkan semua artikel saja. Saya buat tujuan besarnya dari sebagian artikel blog yang banyak mengundang minat pembaca. Dan artikel itu berkaitan dengan tema perempuan, motivasi kehidupan, kreativitas kepenulisan. Makanya saya pilih artikel yang bisa mewakili untuk 100 halaman saja dalam buku ‘Kata Reffi: Woman, Life Creative’.


Tabel TokohTokoh dalam novel itu penting dan sebagai duta cerita. Sebelum menulis novel biasanya saya membuat deskripsi detail tokohnya, misal siapa tokoh utamanya, nama, ciri-ciri fisik, hobi, gaya berpakaian dan hal lainnya sedetail mungkin.

Demikian rangkuman materi yang berisi tips singkat ketika saya menulis buku. Jangan pernah berhenti menulis ya. Happy writing ❤
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on July 08, 2019 23:08

July 3, 2019

Proses Kreatif yang Saya Siapkan Sebelum Menulis



Menulis bukanlah pekerjaan yang sulit. Hanya butuh pena, kertas atau cukup gawai canggih. Kalau kita sudah tahu bagaimana asyiknya menulis, maka media tidak menjadi masalah. Saya biasa menulis di laptop, namun jika ada ide datang mendadak yang menuntut saya untuk segera ditulis, maka buku catatan akan siap menampung atau cukup saya ketik di gawai.

Menulis tidak butuh kemampuan khusus, namun jika ingin menjadi penulis produktif, tentunya ada banyak hal yang harus dipersiapkan selain alat-alatnya. Banyak pesan masuk ke dalam media sosial saya untuk bertanya bagaimana saya bisa menghasilkan artikel blog, menulis untuk kompetisi dan juga menulis untuk klien di tengah kesibukan sebagai pekerja kantoran? Proses kreatif apa yang saya lakukan agar ide menulis tidak berhenti?

Bagi saya, menulis itu sama seperti kegiatan seorang peneliti. Ada seni, riset, dan juga kedisiplinan agar ritme menulis tetap terjaga. Inilah proses kreatif yang saya siapkan sebelum menulis baik buku atau artikel blog.

Membaca Kesannya memang sederhana dan sering digaungkan. Padahal ini memang penting. Membaca adalah bagian dari proses kreatif saya untuk mengumpulkan ide dan mencari tambahan sumber tulisan. Sebaiknya jangan asal membaca karena tren. Ada dua hal yang saya tekankan di saat membeli buku atau membaca buku yaitu, memilih genre yang saya suka dan membaca yang bisa memenuhi hasrat ingin tahu saya.

Maka saya terbiasa membaca dua buku berbeda. Untuk mengisi blog yang saya fokuskan untuk nonfiksi, otomatis saya akan membaca sesuai dengan hal yang sedang menarik perhatian saya saat ini. Ketika sedang menulis buku, saya akan mencari bacaan yang mendukung semangat saya untuk menulis. Khususnya jika sedang ingin tahu tentang suatu hal misalnya soal tema perempuan, saya bisa membaca lebih dari sepuluh buku yang terkait dengan isu perempuan entah dari novel atau biografi. Bacalah untuk memenuhi kebutuhan, bukan gaya-gayaan.


Siap Menjadi Reporter di Manapun Ketika sedang memiliki proyek penulisan, saya berusaha untuk menjadi reporter. Buku catatan atau gawai akan selalu siap mencatat kalimat orang lain yang  bagus, momen lingkungan yang bisa menjadi deksripsi cerita, iklan billboard di jalan raya yang bisa menjadi pelengkap setting, apa saja di sekitar saya akan saya tangkap sebagai bahan.

Bahan-bahan random itu kesannya tidak berhubungan, namun ketika otak saya sedang dikondisikan sedang menulis buku romansa misalnya, maka saya akan fokus untuk siap menangkap momen apa saja yang mungkin cocok di dalam cerita. Curhatan teman terutama bisa menjadi tambahan elemen tokoh.


Bertindak Sebagai Peneliti Selain bertindak bak seorang reporter, saya biasanya akan menganggap proyek penulisan sebagai obyek penelitian. Saya berkata pada diri jika sedang dalam proses membuat inovasi baru. Saya ramu tulisan awal dengan bebas, menyelesaikan sesuai deadline pribadi atau disesuaikan dengan deadline lomba contohnya, dan menyiapkan waktu untuk mengedit. Naskah yang baik adalah naskah yang selesai.


Itulah proses kreatif saya dalam menulis. Saya tidak berbicara tentang outline dan aktivitas teknis karena proses kreatif ini membuat otak kanan dan kiri saya bekerja. Semua indera aktif menangkap bahan di lingkungan. Nah, apa Anda punya proses kreatif lain? Let's write.





 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on July 03, 2019 03:36

June 25, 2019

Podcast: 2 Hal Penting Agar Tulisan Saya Bisa Selesai


Podcast: 2 Hal Penting Agar Tulisan Saya Bisa Selesai

Kali ini saya memutuskan untuk mengunggah podcast saya di blog juga. Tema podcast hari ini adalah tentang dua hal yang saya anggap sebagai proses kreatif penting agar tulisan saya bisa selesai. 
Banyak sekali pesan masuk via WhatsApp dan juga DM Instagram yang bertanya bagaimana saya bisa stick pada sebuah proyek menulis. Klik link untuk mendengarkan via PC, bisa juga didengarkan di aplikasi Anchor dan Spotify ya. Akun podcast saya di Spotify adalah Reffi_D
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on June 25, 2019 20:34

Red Thread: Novel Yang berbicara Tentang Topeng-Topeng Manusia








Apa yang Anda pikirkan ketika sedang jatuh cinta? Tentu saja sosok si dia nampak serba sempurna. Begitu pula dengan Syl yang jatuh cinta pada Rengga. Meskipun Rengga memeluk perempuan lain di depan matanya, Syl tetap menerima kekasihnya lagi meski hati berdarah-darah. Padahal ada sosok Billy yang menyayangi Syl dengan tulus.
Keruwetan bertambah saat suatu hari Syl menghilang bersama Rengga. Billy yang mulai berusaha merebut hati Syl pun kelimpungan. Ada satu orang yang menjadi sosok kunci untuk mencari Syl, yaitu Bella, perempuan yang juga dicintai Rengga.
Perjalanan Billy dan Bella mengungkap rahasia-rahasia masa lalu yang cukup menyedihkan. Kebohongan demi kebohongan terungkap, membongkar topeng masing-masing tokoh. Sampai mereka menemukan kenyataan yang membuat hidup empat orang hidup itu berubah selamanya.
Jika ingin membaca proses kreatif buku kesembilan saya, silakan klik di sini ya Proses Kreatif Red Thread
Tertarik? Silakan pesan di penerbitnya, klik di sini
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on June 25, 2019 19:36

June 20, 2019

Kecanduan Ngeblog? Ini Alasannya Kenapa Kita Sulit Berhenti

                                      
 Kecanduan Ngeblog? Ini Alasannya Kenapa Kita Sulit Berhenti
Saya suka menulis tetapi dahulu sama sekali tidak berpikir untuk menjadi blogger. Di kepala saya, cara mendapatkan perhatian pembaca baik dari segi popularitas atau materi hanya ada dua cara yaitu menerbitkan karya di surat kabar dan juga buku. Lucunya, saya malah rajin mencatat opini atau artikel berupa pendapat tentang lingkungan sekitar di buku harian, bukannya cerpen atau novel. Puisi saya buat pun mengikuti mood, berbeda dengan artikel yang bisa saya buat dengan mudah. Kecanduan ngeblog itu tidak masuk dalam benak.

Akhirnya pada tahun 2013 untuk memindahkan catatan dari buku harian, saya mulai membuat blog. Newreffi.blogspot.com menjadi nama domain pertama dari blog Kata Reffi. Saya tidak lagi menulis di buku harian, semua catatan opini, cerpen dan juga puisi saya unggah di blog. Nyatanya keisengan itu malah membuat saya kecanduan ngeblog.

Nah dalam tulisan kali ini, akan saya jelaskan mengapa saya dan bisa jadi Anda kenapa bisa sampai kecanduan ngeblog.
Menunjukkan OtentitasSiapa yang tidak ingin dinilai sebagai orang yang otentik. Manusia memiliki kecenderungan ingin menjadi pemenang, meski dalam kadar 1% sekalipun. Nah lewat blog, kita bisa menjadikan diri otentik dan bangga. Semakin lama ngeblog dan makin banyak pembaca yang mampir di tulisan saya sampai memberikan komentar yang mendukung tulisan, saya merasa berhasil menginspirasi. Kritik yang masuk pun bisa menjadi bahan masukan dan senangnya ini berarti berhasil menyentil pembaca yang mengrkitik.

Menunjukkan Otentitas source: www.ivankatrump.com
Ketika ada teman yang bertemu saya dan menyebut saya sebagai blogger sampai hapal nama blog seolah sudah menjadi identitas, hati saya senang. Tulisan itu bukan hasil plagiat yang berarti otentik milik saya. Inilah cara saya sebagai seorang blogger menunjukkan otentitas dan orsinalitas karya.
Kenyamanan dalam Mengeksplorasi IdeSaya adalah tipe orang yang hobi berpikir dan mengkritisi banyak hal. Karena tidak mungkin saya mengajak orang lain untuk terus membicarakan ide saya, maka cara nyaman adalah menulis di blog. Saya suka jika ide dan pendapat itu dibaca orang lain. Saya tidak perlu bicara berbusa-busa di depan banyak orang. Kenyamanan lainnya adalah saya bisa menyentuh banyak pembaca tanpa takut batasan wilayah.
Kenyamanan dalam Mengeksplorasi IdeSource: @youxventures (Unsplash)Ketidakpastian yang MenyenangkanAneh ya, namanya tidak pasti seringkali membuat cemas dan tidak senang. Apa hubungannya ketidakpastian dengan kecanduan ngeblog? Dalam satu tulisan kadang ada yang mendapat respons dengan banyak komentar dan tidak jarang juga yang tidak mendapat komentar sama sekali. Di sisi lain adalah blog bisa mendapat apresiasi tidak terduga. Saya tidak menggunakan Adsense, pernah mendaftar tetapi gagal. Makanya, saya putuskan untuk lebih fokus pada konten. Saya berusaha sebaik mungkin untuk menulis apa yang saya minati.

Ketidakpastian yang MenyenangkanHappy Meski Nggak Pasti :D
          Source: Mikayla Mallek (Unsplash)
Tidak terduga banyak sekali brand yang mengirimkan email untuk menawarkan job. Saya menulis di blog sendiri dan dibayar, bukankah ini menyenangkan? Memang tidak setiap bulan saya mendapat job, tetapi pada dasarnya blog tidak saya jadikan sebagai sarana mata pencaharian utama. Saya suka ketidakpastian menarik ini. Siapa sangka, dari blog saya juga bisa menjadi seorang writing trainer lalu kumpulan artikel akhirnya bisa terbit menjadi buku yang menginspirasi pembaca. Saya memang belum menjadi blogger sesukses Raditya Dika, tetapi saya mendapatkan banyak hal asyik dari blog.
Koneksi dengan PembacaSempat saya singgung di atas jika adanya komentar dari pembaca juga menambah semangat untuk terus ngeblog. Koneksi ini ternyata tidak hanya dibangun antara saya dan pembaca yang komentar langsung di kolom artikel, namun bagi mereka yang sudah mengirim email untuk bertanya secara pribadi pun juga sebuah hal menarik. Pengalaman saya lulus ujian bahasa Jepang contohnya, ternyata membantu beberapa pembaca untuk bersemangat kembali belajar meski sempat gagal lulus. Bahkan dari mereka yang bersifat silent reader juga menambah kontribusi pageview di blog, hehehe. Ada salah satu pembaca yang mendiskusikan salah satu artikel dengan seorang teman yang kenal dekat dengan saya. Ajaib ya?
Koneksi dengan PembacaKoneksi hanya setipis layar
           Source: @samuelzeller (Unsplash)PertumbuhanBersama blog Kata Reffi saya mengalami pertumbuhan emosi dan pengalaman menulis tentunya. Dari blog yang isinya fiksi dan opini random, kini fokus pada nonfiksi saja. Saya juga geli ketika membaca betapa kacau dan sedihnya ketika putus cinta  saat membaca tulisan lama. I’m growing and learning a lot through year by year.


Itulah alasan apa saja yang membuat saya kecanduan ngeblog. Apakah Anda punya pengalaman serupa atau mungkin ada hal seru lainnya? Let’s write and don’t stop blogging!


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on June 20, 2019 01:17

June 15, 2019

Hak Sebagai Perempuan (Sebuah Opini Pribadi)

Hak Sebagai Perempuan (Sebuah Opini Pribadi)

Hidup di Indonesia, terutama sebagai perempuan bukanlah hal mudah. Saya merasakanya sendiri. Meskipun isu kesetaraan telah digaungkan sejak era Kartini, budaya patriarki ini masih mendarah daging di tengah masyarakat. Saya merasakannya sebagai duri tak nampak yang masih dielu-elukan oleh sebagian orang.
Saya adalah perempuan yang kini berada di atas 25 tahun. Namun walau usia saya masih terbilang muda, saya malah merasa tua. Banyak kawan yang menyindir apa yang akan saya tunggu jika tidak menikah sekarang? Kata mereka jangan sampai menikah di atas usia 30 tahun karena takutnya nanti usia saya dengan anak terlampau jauh. Jika jarak antara orang tua dan anak terlalu jauh, dikhawatirkan saya tidak kuat untuk mengasuh dan membiayai anak hingga pendidikan tertinggi.
Karena sering mendengar input negatif seperti itu, mau tak mau saya mulai menyalahkan diri sendiri. Orang tua yang memang mengharapkan saya menikah tetapi tidak pernah memberi tekanan, kalah dengan suara negatif yang  sering saya dengar. Tiap kali ada kawan sekantor atau kenalan seusia saya yang menikah, saya merasa seperti tertinggal kereta. Kadang-kadang saya menyalahkan diri sendiri, apakah standar yang saya pasang untuk calon suami ini terlalu tinggi? Padahal jika ditilik lagi, saya malah tidak mensyaratkan ketampanan sebagai kriteria.
Selain soal pernikahan, ada banyak hal yang terjadi di sekitar saya sehingga membuat saya pernah berpikir jika lebih enak terlahir sebagai laki-laki ketimbang perempuan. Kami adalah makhluk kelas dua.
Perempuan Dilarang Pintar
Hal pertama yang sering membuat perempuan itu dicibir adalah tentang mengenyam pendidikan tertinggi. Sering saya membaca contoh kasus perempuan yang belum menikah hingga usia di atas 30 dan memiliki gelar akademik prestisius, dituding sebagai perempuan pemilih. Padahal di mata saya, perempuan yang bisa meraih gelar master hingga doktoral di usia relatif muda itu sangat keren. Mereka adalah calon ibu cerdas yang bisa dimiliki anak-anaknya nanti. Nyatanya hal itu berbeda di mata orang banyak.


(Unsplash: @jasminecoro)

“Buat apa sekolah tinggi-tinggi kalau akhirnya kamu jadi sok pintar di depan suamimu? Laki-laki tidak suka perempuan yang lebih pintar darinya.”
Dulu di saat saya memiliki hubungan serius dengan seorang laki-laki dan menyampaikan niat untuk mengejar beasiswa S2, orang tua yang malah menggandoli. S2 bisa saya ambil sesudah menikah, atau menunggu saya menikah dulu baru berpikir soal pendidikan selanjutnya. Maka saya kesampingkan niat mengejar S2 lalu merencanakan pernikahan dengan kekasih yang kini telah menjadi mantan. Di awal dulu, mantan kekasih bilang jika dia sangat senang karena akan mempunyai calon ibu cerdas untuk anak-anaknya. Lucunya, dia malah berselingkuh dengan perempuan yang bagi teman-teman waktu itu, tidak setara kecerdasannya dengan saya.
(Baca Juga: Perempuan Tak Boleh Dilarang Pintar)
Serta-merta saya pun mengkaji ulang. Apakah kecerdasan dan passion saya untuk terus belajar ini membuat saya semakin tidak menarik? Dulu katanya saya menarik karena memiliki passion sebagai penulis dan juga cerdas, tetapi kenapa kekasih malah mendua dengan perempuan yang lebih memedulikan penampilan ketimbang tingkah lakunya? Saya bisa bilang begitu, sebab si perempuan kedua jelas-jelas menambahkan saya sebagai teman di Facebook, seolah saya ingin dibuat cemburu.
Memutuskan untuk tidak melanjutkan pernikahan di usia 24 tahun, ternyata adalah keputusan terbaik bagi saya. Lucunya lagi, banyak yang menyalahkan keputusan saya. Katanya saya diminta untuk tidak terlihat terlalu pintar agar laki-laki tidak takut mendekat.
“Jadi apa aku harus menampilkan diri sebagai cewek bodoh yang gampang dibohongi?” tanya saya pada diri sendiri, dan jawabannya tentu saja saya tidak mau.

Kegagalan hubungan saya toh bukan karena mantan kekasih takut dengan isi otak saya. Dia mendukung rencana pendidikan master saya, namun mudah tergoda dengan perempuan yang terlihat lebih menggoda dan molek penampilannya. Selama ini saya juga tidak pernah meremehkan kemampuan atau cara berpikirnya, bagaimana bisa saya dibilang sok?
(Baca Juga: Ketika Perempuan Patah Hati)

Lalu saya memiliki teman yang kebetulan dulu satu sekolah, setelah menikah dan memiliki buah hati dia mendapat kesempatan untuk mendapat beasiswa master. Nyatanya, kini selain menjadi ibu yang baik bagi keluarganya, dia bisa berprestasi sebagai ibu rumah tangga sekaligus mengejar impiannya untuk berkuliah di luar negeri dengan beasiswa.  Lalu aktris idola saya Dian Sastro pun meraih gelar S2 setelah memiliki dua anak. Para ibu hebat ini didukung oleh anak dan juga suami. Saya pun mulai percaya diri jika tidak ada yang salah untuk menjadi perempuan cerdas dan berpendidikan tinggi walaupun cibiran masih banyak yang menghampiri.
Penampilan Perempuan Dianggap Sumber MasalahDi tengah budaya yang misoginis seperti saat ini, jika terjadi pemerkosaan atau pelecehan, biasanya perempuan juga akan menjadi pihak yang disalahkan.

“Kamu sih nggak pakai hijab, makanya digodain,” Itulah salah satu kalimat yang terlontar jika ada seorang perempuan tak berhijab yang keberatan jika menerima catcalling. Bagi perempuan muslim, berhijab memang kewajiban, namun perkara dilecehkan itu adalah masalah otak pria yang mesum. Banyak sekali kasus pelecehan seksual dan pemerkosaan yang terjadi pada perempuan berhijab, yang pakaiannya sama sekali tidak menunjukkan lekuk tubuh.

 Pemerkosaan dan pelecehan itu murni salah laki-laki. 

Laki-laki yang tidak menghargai perempuan, mengumbar nafsu dan merasa dirinya sebagai makhluk superior sehingga meliarkan hawa nafsunya pada sembarang perempuan.

Jujur saja, saya pernah merasa trauma untuk melalui tempat-tempat tertentu karena takut. Dulu di masa masih SMP, saya rutin melewati suatu gang untuk berangkat dan pergi sekolah. Logikanya ketika melewati wilayah perkampungan sendiri, tentu lebih aman. Saya juga rutin melewati gang ini sejak SD, hanya saja suatu hari pipi saya dicolek seorang pemuda yang tidak saya kenal. Hal itu terjadi ketika sepeda yang saya naiki berhenti sebentar untuk menghindari anak-anak kecil yang sedang berlarian. Kejadian itu sore hari, tetapi tubuh saya rasanya gemetar. Saya takut, hingga saya menahan tangis ketika mengayuh sepeda.


(dok. Pixabay.com/Putu Elmira)

Untuk seorang anak SMP, wajah disentuh dengan kalimat melecehkan dan tatapan yang membuat diri takut, pasti bukanlah pengalaman menyenangkan. Pakaian saya biasa saja, tidak mini sama sekali dan tidak terbuka, tetapi  perlakuan tidak pantas itu saya terima. Apalagi bagi kawan perempuan lain yang mengalami pelecehan lebih parah? Pantat diremas, payudara dicolek, dipeluk dari belakang adalah contoh pelecehan yang bisa membuat seorang perempuan trauma.

Efeknya, perempuan pun harus patuh agar tidak keluar malam jika tidak ada kepentingan. Seorang perempuan akan dibatasi ruang geraknya agar keamanannya terjamin. Lucu sekali. yang membuat tidak aman itu karena masih banyak laki-laki di lingkungan kami yang tidak bisa menghormati perempuan. Maka jangan salahkan soal penampilan kami, laki-laki yang harus mulai menggunakan otaknya lebih baik.


Saat ini di Indonesia mulai banyak muncul gerakan kesetaraan dan perlawanan terhadap kekerasan perempuan. Kami pun mulai sadar untuk berani berteriak dan bicara jika ada ketidakadilan yang kami alami. Semoga saja perempuan Indonesia tidak malu untuk memperjuangkan haknya. Siapapun berhak mengenyam pendidikan dan mendapat rasa aman, termasuk kami para perempuan.
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on June 15, 2019 00:50