Reffi Dhinar's Blog, page 19
November 26, 2019
Demi Buku Kami Nyasar Lagi (Trip KL Day 2)
Hari kedua perjalanan di Kuala Lumpur berlanjut dengan lebih happy. Setelah puas makan jajanan di Jalan Alor sampai pulang ke hotel jam 1 pagi, saya dan Lita bangun dan mencari sarapan pada jam 6 pagi. Cuaca sudah sangat cerah namun kendaraan masih belum terlalu padat. Sewaktu kami ke sana, saya rasa cuacanya tidak sepanas di Surabaya. Apa lagi di ponsel menunjukkan jika suhu udara saat pukul 9 pagi berada di kisaran 27 derajat. Oh my God, pantas saja kepala saya seperti terpanggang tiap kali ada kegiatan di Surabaya. 36 derajat celcius itu bukan panas kaleng-kaleng.
Lita sempat mengajak saya jalan kaki menuju KLCC Park, tempat pertama yang akan kami datangi pagi ini. Di sana ada beberapa makanan yang bisa dicoba. Masalahnya, perut saya ini sudah memiliki jadwal sendiri. Makan itu lebih penting dibandingkan belanja, itu prinsip saya selama ini, hahaha. Jadi kami putuskan untuk mencari sarapan di kawasan Jalan Imbi yang berjarak sekitar enam menit jalan kaki dari hotel. Eh banyak burung gagak beterbangan di Jalan Imbi lho.
(Baca Juga: KL Trip Day 1)
Sarapan kali ini kami putuskan makan di restoran bernama Sun Fong Bak Kut Teh. Tempatnya bersih dan reviewnya cukup bagus di Google. Untuk menghemat uang ringgit, saya yang akan membayar sarapan dengan kartu debit. Karena masih baru buka, menunya pun terbatas. Karena ingin makan yang hangat-hangat, saya dan Lita memilih sepanci sup jamur sehat dan juga sepiring tofu. Makanan lainnya mengandung daging, ya saya paling tidak bisa makan daging berkuah kecuali bakso.
SarapanRasa masakannya enak dan membuat hangat di perut. Sebagai penyuka masakan cina (betewe, kayanya saya bisa makan apa saja kecuali daging-dagingan, hehehe), sup jamurnya memiliki tekstur asli yang kenyal juga ada semacam rasa rempah-rempah di mulut. Tidak pedas tetapi pas.
Setelah kenyang, saya siap-siap membayar. Kebodohan pertama terjadi. Dompet saya ketinggalan di hotel. Jelas panik dong, masa makan di negara orang lupa bayar? Untungnya Lita membawa kartu debitnya dan menyelamatkan muka kami.
“Makanya dari sebelum kita berangkat, aku ingetin kamu bolak-balik buat bawa paspor, dompet, de el el,” omel Lita yang meskipun sudah berteman dengan saya belasan tahun sejak SMU masih heran dengan kepikunan saya. “Kamu itu pintar, bisa inget isi buku sama pelajaran, kok bisanya lupa hal-hal sepele?”
LOL, ya mungkin otak saya ini kepenuhan jadi sistem daya ingat jangka pendeknya terbatas. Perjalanan pun dilanjutkan ke KLCC Park. Kami naik taksi Grab karena perut kekenyangan. Setelah duduk di dalam taksi, ternyata jarak ke KLCC Park sekitar 20 menit. Untung kami tidak jadi jalan kaki sebelum sarapan, bisa-bisa di tengah perjalanan saya berubah emosi seperti Hulk karena kelaparan.
KLCC Park, Spot Wajib Berfoto dengan PetronasMenjejakkan kaki di KLCC Park langsung memancing kekaguman saya. Selain tamannya yang luas dan bersih, orang-orang bebas lari pagi bersama kawan-kawannya atau lari sendirian. Tidak ada pedagang kaki lima di dekat taman. Memang saya dan Lita datang di hari Minggu pagi, jadi lumayan deh sambil sekalian cuci mata melihat bule-bule ganteng sedang berolahraga.
Selain penataan yang rapi, dari sisi informasi untuk pengunjung pun KLCC Park memberikan informasi yang lengkap. Ada papan berisikan peta lokasi dan nama-nama spot yang ada di taman. Untuk mendapat spot foto terbaik bersama Menara Petronas yang menjadi ikon Kuala lumpur, maka di KLCC Park inilah yang paling oke. Masuk ke tamannya gratis plus bisa menghirup udara bersih. Saya juga sempat merekam podcast dengan Lita, mengisi konten itu wajib meski sedang berlibur.
Asyiknya Menjelajah Bangunan Bersejarah di Dataran MerdekaTujuan berikutnya tentu saja Dataran Merdeka dong. Sejak sebelum berangkat ke Kuala lumpur, saya kesengsem sama tempat ini. Di tiap perjalanan, tentu saja saya harus mampir ke sebuah situs bersejarah entah itu candi, museum atau ke bangunan historis seperti yang ada di Dataran Merdeka. Dan piranti wajib yang harus kita bawa saat ke sana adalah topi atau payung, kacamata hitam, serta jangan lupa sunscreenpada tubuh yang terpapar panas matahari. Dataran Merdeka sangatlah panas. (Baca Juga: Candi Cetho, Cagar Budaya Indonesia Penuh Pesona)
Di kawasan ini berdiri beberapa bangunan bergaya Eropa karena di abad ke-19 digunakan sebagai pusat pemerintahan Inggris pada masanya. Yang menjadi ikon tentu saja bangunan yang paling besar yaitu Istana Abdul Samad. Dulunya istana ini dikenal dengan sebutan New Government Offices. Bangunan didirikan untuk menjadi kantor peerintahan Britania di Selangor setelah sebelumnya dipusatkan di Klang.
Gedung Istana Abdul SamadPembangunan Istana Abdul Samad dimulai pada tahu 1893, namun pada tahun 1974 pusat pemerintahan Selangor dipindahkan di Shah Alam. Gedung ini pun berubah nama menjadi Gedung Sultan Abdul Samad, sesuai nama Sultan Selangor yang menjabat di masa bangunan ini didirikan. Karena komplek pemerintahan, maka bangunannya tidak hanya satu. Kita bisa berkeliling menikmati cantiknya bangunan-bangunan lain yang berdiri di sampingnya.
Jalan-jalan di sini rasanya saya seperti sedang di zaman Eropa abad pertengahan. Apalagi tak lama kemudian lewatlah petugas setempat yang keliling menaiki kuda. Di sini kita juga bisa masuk ke KL City Gallery. Lalu ketika saya terus berjalan memutari Dataran Merdeka, saya menemukan Perpustakaan Kuala Lumpur. Spontan deh saya ingin masuk ke sana dan berfoto bersama buku saya yang paling baru, Red Thread.
Halaman depan perpustakaanDari luar bangunan perpustakaan juga didesain dengan desain ala Eropa, tetapi saat masuk ke dalam desain interiornya cenderung minimalis modern. Dari lobi saja hawanya langsung sejuk karena AC, wuih bersyukur deh karena kepala saya mulai pusing karena terkena panas matahari.
Surga bukuTerdiri dari beberapa lantai, Perpustakaan Kuala Lumpur ini tak hanya menyediakan koleksi buku lokal dan impor, ada juga lokasi khusus untuk buku anak-anak dan juga ruangan untuk bersantai. Dari sinilah akhirnya saya ingin berburu buku impor meskipun di awal keberangkatan sempat ingin tidak menambah buku, hehehe
Kelayapan Sampai Nyasar Demi BukuBerbekal Google, saya menemukan lokasi toko buku baru dan bekas yang hits di Kuala Lumpur. Saya mencari yang dekat daerah Bukit Bintang. Akhirnya saya menemukan sebuah toko buku di pertokoan bernama Pasaraya. Saat saya menanyakan kepada driver Grab, mereka tidak banyak tahu soal toko buku. Wajar sih karena namanya wisatawan kok malah mencari toko buku.
Saya dan Lita berjalan ke Pasaraya tetapi mulai ragu. Akhirnya saya bertanya kepada securitynya. “Toko buku yang dimaksud sudah tutup. Jalan kaki saja ke seberang sana, dekat Starbuck lalu ke bawah ada toko buku,” kata Bapak Security dalam bahasa melayu.
Menahan perut yang mulai lapar dan cuaca makin panas, saya berkeliling dengan Lita. Apes, tidak ada toko buku di manapun. Kami pun berniat mencari makan siang, sampai akhirnya terdampar di restoran cepat saji lagi karena kehabisan tenaga untuk jalan kaki. Mata saya lalu menangkap bangunan tiga lantai yang bagian atasnya bertuliskan Pusat Buku Manjusri. Dengan semangat saya mengajak Lita ke sana sesuai makan.
Sesampainya di sana, malah bingung lagi. Tidak ada pintu masuk untuk sampai ke lantai atas. Di bagian bawah hanyalah toko yang berjual pernak-pernik. Seorang bapak tua lalu menanyakan saya hendak kemana, saya pun menunjuk atas. Ia mengajak saya dan Lita naik lift yang juga terlihat tua, posisinya nyempil di antara deretan toko di bawah.
Karena lupa motret, saya ambil dari Jejak Piknik hehe. Pusat Buku Manjusri nyempil di sisi kanan foto
Nah, kekonyolan ini baru dimulai. Sebelum kami ke atas, masuklah seorang biksu muda yang menyapa si bapak dan juga cewek manis yang ikut kami. Mereka bertiga bicara dalam bahasa mandarin yang tentu tidak saya pahami. Keluar dari lift, bau dupa pekat menyambut hidung. Waduh, apa saya salah masuk toko?
“Buset, ini toko khusus jual buku buat pemeluk Buddha, Ref. Banyak patung dewanya, hihihi,” bisik Lita geli apalagi dia mengenakan hijab. Jadi pasti aneh kalau ikut masuk ke toko ini.
Karena tidak mau terlihat salah masuk, saya berkeliling sebentar. Kebanyakan buku yang dijual pun dalam kanji mandarin, mana bisa saya baca? Kalau dalam bahasa Jepang sih masih bisa. Setelah terkikik-kikik geli, kami putuskan turun. Saya melihat ada yang janggal di urutan lantai lift.
“Biasanya kalau dalam kepercayaan Jepang, angka 4 yang dibaca shiitu sama dengan angka sial karena ejaannya juga bermakna kematian. Di sini malah dipakai,” kata saya. Pusat Buku Manjusri awalnya berada di lantai 3, namun kata si bapak tua, lift sering macet makanya sekarang berada di lantai 4.
Mungkin karena keisengan mulut saya, lift mendadak berhenti dan terbuka sebelum mencapai lantai paling dasar. Horor deh, apalagi setelah terbuka saya jadi ingat lorong kos-kosannya drakor Stangers From The Hell, di mana Lee Dong Wook menjadi dokter gigi psikopat. Saya menekan pintu lift. Keluar dari sana, saya dan Lita merasakan kepala yang berat dan agak berputar. Apakah karena pengaruh dupa atau tempat sempit, tidak jelas juga.
Makan malam lagi di Bukit BintangKami kembali ke hotel dulu untuk istirahat sebentar. Kami berencana makan malam di daerah Pavilion. Toko buku itu kami temukan di mal Fahrenheit setelah berputar setengah jam karena driver Grab sama-sama tidak tahu. Sempat celingukan juga ternyata toko buku berada di dalam, bukannya di luar. Asyik dapat dua buku impor dengan harga sangat miring. Makan malam kami pun sangat hangat karena di sebuah restoran masakan Arab yang kami kunjungi, saya dan Lita mendapat setangkai mawar merah dari adik kecil yang tampan dan imut.
Lucunya, ketika keesokan paginya kami mencari sarapan pagi ternyata kami baru tahu jika mal Fahrenheit bisa ditempuh hanya dalam waktu 10 menit dari hotel dengan jalan kaki. Saya dan Lita tidak berkeliling di belakang hotel makanya bisa bego seharian demi toko buku. Petualangan hari kedua memang melelahkan, tetapi saya jadi mendapatkan banyak kenangan berkesan lagi. Perjalanan kami di hari ketiga juga tidak kalah asyik nantinya.
Published on November 26, 2019 15:30
November 19, 2019
Candi Cetho, Cagar Budaya Indonesia Penuh Pesona
Jalan-jalan atau traveling adalah kegiatan yang saya sukai. Hal ini menjadi aktivitas favorit selain menulis, membaca, dan menonton film. Kedua orang tua saya juga gemar menyisihkan waktu untuk berwisata keluarga. Dan mengunjungi cagar budaya Indonesia adalah salah satu tempat yang sering masuk di dalam daftar tujuan kami.
Ketika saya beranjak dewasa, rasa cinta pada tempat-tempat bernilai sejarah itu makin mengakar kuat. Bahkan sampai teman yang sering traveling bersama pun sampai hapal.
“Kalau ngajak kamu, selain mencari tempat yang alamnya bagus atau ada ketinggian, kamu suka tempat yang unik dan ada nilai sejarahnya,” kata mereka. Itu tepat sekali.
Lalu saya bertanya pada teman-teman mengapa mereka tidak terlalu tertarik untuk datang ke museum atau candi. Sebagian menjawab karena penampakannya sama saja, hanya berupa tumpukan batu. Inilah kesedihan kedua yang saya rasakan selain tangan-tangan usil yang merusak cagar budaya secara perlahan. Saya takut cagar budaya Indonesia mulai memudar di ingatan.
Ada tindakan yang bisa dilakukan oleh masyarakat—termasuk kita—agar cagar budaya ini tetap lestari. Semua itu tidak butuh tindakan muluk-muluk, hanya butuh konsistensi. Dan semua itu bermula dari keluarga serta diri sendiri.
1. Topik Obrolan tentang Cagar Budaya di KeluargaSaya setuju jika rasa cinta pada cagar budaya itu harus dipupuk sejak dini. Beruntungnya saya tumbuh di tengah keluarga yang tak hanya suka jalan-jalan tetapi juga senang mengajak dialog bergizi, seperti obrolan tentang sejarah dan peninggalannya. Papa adalah penggemar pelajaran Sejarah sejak masih sekolah. Beliau juga hobi membaca dan fans berat cerita wayang. Otomatis sejak kecil saya dan adik tidak asing dengan musik gamelan, menonton ludruk di DVD, dan mendengar dongeng tentang legenda di dalam negeri.
Gerbang Candi CethoKetika sedang membicarakan soal mitos dan legenda itu, Papa juga menunjukkan peninggalan bersejarah di dalam buku atau foto. Contohnya saja saat saya bertanya tentang Kerajaan Majapahit sewaktu masih SD, Papa menceritakan kegagahan Gajah Mada dan Raja Hayam Wuruk sambil menunjukkan di mana tempat sisa kejayaan Majapahit. Rasa cinta beliau dituturkan dalam cerita sehari-hari lalu sesekali kami diajak ke tempat bersejarah untuk merasakan atmosfernya.
Adik dan Papa berpose sebelum masuk candi :DPerjalanan terakhir kami di tahun 2019 adalah pada libur lebaran lalu. Saya belum pernah berkunjung ke Candi Cetho dan mendapat informasi dari rekan kerja jika daerahnya sejuk serta indah. Papa pun langsung mencari tahu soal candi itu. Jenis gaya candinya yang berbeda style dengan candi hindu lain, malah seperti peninggalan bangsa Sumeria, membuat kami tertarik. Candi ini berlokasi di Desa Gumeng, Karanganyar, Jawa Tengah.
Candi ini diperkirakan dibangun di abad ke-15 dan baru ditemukan oleh seorang sejarahwan Belanda bernama Van de Vlies pada 1842. Penggalian dan pemugaran pun dilakukan. Suhu udara dingin serta diselingi kabut menambah pesona eksotis Candi Cetho. Dari sini kita juga bisa mampir ke Kebun Teh Kemuning.
Jalan menuju candi utama, pendopo untuk tempat diskusi dan peribadatanSaat sampai di tempat menginap, Papa menunjukkan pada saya wayang mainan Dasamuka atau Rahwana yang dipajang di sana. “Saat kita mau masuk Candi Cetho, kita diminta memakai sarung hitam putih. Ini sarung yang dipakai Anoman. Di bawah daerah Candi Cetho ada Candi Kethek kan? Bisa jadi tempat ini punya legenda Anoman yang melawan Dasamuka dan petilasannya termasuk di sini.” Memang Candi Kethek adalah kawasan candi yang dipenuhi monyet.
Arca yang ditata membentuk kura-kura, seperti peninggalan Bangsa SumeriaKarena ketertarikan orang tua itulah acara liburan tidak hanya menjadi ajang foto-foto lalu dipajang di media sosial. Belajar dari Papa, saya berniat nanti juga akan menumbuhkan bibit kecintaan cagar budaya pada anak lewat cerita dan juga obrolan singkat kami. Sejarah bukan lagi menjadi topik yang berat atau membosankan jika dilakukan tiap hari.
2. Mengambil Peran untuk Menyebarkan Cinta Cagar Budaya Lewat SeniSebagai individu, kita bisa memilih untuk menyebarkan kecintaan lewat seni. Saya suka sekali mencatat jurnal perjalanan di dalam blog. Jadi setelah mengunjungi sebuah tempat atau situs cagar budaya, pengalaman itu saya tulis semenarik mungkin dengan foto yang mewakili.
Bagi Anda yang suka fotografi pun harus menyempatkan untuk mengambil angle terbaik dari cagar budayanya. Atau memindahkan keindahan tempatnya di dalam kanvas juga termasuk dalam hal yang mengesankan. Kecintaan yang dibungkus dalam seni bernilai, mempermudah orang lain untuk mengetahui lokasi serta kecantikan cagar budayanya.
Sebagai blogger, saya tulis pengalaman kemariNah, yang saya lakukan tentu menyebarkan pengalaman menjelajah Candi Cetho melalui tulisan. Saya mengirimkan catatan perjalanan selama liburan ke media daring lain selain blog pribadi. Tak hanya mendapat fee, karena dimuat di media daring yang banyak pembacanya, maka lebih banyak lagi orang yang akan tahu.
Bagian candi utama, foto utuhnya terhapus,terlihat kakinya menyerupai kubus mirip candi Buddha dan Sumeria
Kerabat saya tak banyak yang tahu soal Candi Cetho, popularitasnya masih kalah dengan Borobudur dan Prambanan. Padahal tempatnya yang dingin dan sejuk karena berada di lereng Gunung Lawu, sangat eksotis jika dijelajahi. Candi ini peninggalan Raja Brawijaya, raja terakhir Majapahit. Di berbagai sumber dinyatakan jika daerah ini tempat Raja Brawijaya bertapa. Didesain untuk pemeluk agama Hindu namun uniknya bentuk candi seperti Buddha dan campuran gaya suku Maya atau Inca di Amerika Selatan.
3. Pembatasan Perlakuan pada Cagar BudayaSaat sampai di Candi Cetho ada satu hal yang membuat saya agak risih. Pengunjung di waktu liburan panjang sangat membludak hingga memenuhi area. Area bagian dalam candi tidaklah luas, jadinya momen menikmatinya pun jadi agak terganggu. Candi Cetho masih aktif digunakan sebagai tempat peribadatan pemeluk Hindu dan Kejawen, maka kesakralan itu harusnya bisa dijaga oleh pengunjungnya.
Di banyak bagian candi, masih tercium aroma dupakarena masih digunakan untuk beribadah pemeluk Hindu dan Kejawen
Di sini peran pemerintah setempat dan warganya harus bersinergi secara kompak dan suportif. Akan lebih baik jika pengunjung dibagi jam masuknya dan satu rombongan kecil didampingi guide dari warga setempat. Seperti yang saya alami di Museum Ullen Sentalu. Satu rombongan terdiri dari 10 sampai 15 orang bersama seorang guide lokal. Sambil berkeliling, kami diberitahu fakta sejarah barang yang dipajang di dalam museum.
Akan sangat baik sekali jika Candi Cetho memberlakukan hal yang sama. Banyak sekali hal unik yang tidak bisa didapat hanya dengan berkeliling sendiri. Saya mendengar salah satu pengunjung yang bertanya-tanya, “Ini kenapa arcanya nggak kaya candi yang lain ya? Kaya Suku Inca gitu?” Saya pun banyak tahu fakta historisnya dari Google.
Di dalam halaman pertama candi, takutnyaterlalu ramai akhirnya area candi tidak terjaga
Dengan pembatasan jumlah pengunjung dan masuk ke dalam area candi hanya bersama guide, maka hal-hal buruk seperti vandalisme bisa lebih mudah dicegah. Pengunjung dapat wawasan baru, pengelola pun lebih mudah mengawasi. Tak masalah jika harus menunggu 15 menit sekali sampai satu rombongan berikutnya boleh masuk. Hal itu lebih baik daripada kesakralan candi terganggu karena ketidaktahuan pengunjung.
Inilah tiga hal yang bisa kita lakukan agar Candi Cetho makin dikenal publik sekaligus tetap terhindar dari perilaku tidak bertanggungjawab pengunjungnya. Semoga cagar budaya Indonesia makin lestari secara fisik maupun terpatri di dalam hati serta ingatan. Salah satu cara yang bisa kita lakukan adalah berpartisipasi pada Kompetisi "Blog Cagar Budaya Indonesia: Rawat atau Musnah!"
Published on November 19, 2019 18:12
November 16, 2019
Petualangan Diwarnai Nyasar (KL Trip Day 1)
Kawasan Little India yang dipotret daribus menuju KL Sentral
Di awal tahun 2019 ini saya membuat rancangan resolusi termasuk mau traveling ke mana lagi. Setelah Februari 2019 bisa kembali lagi ke Semarang untuk pameran karya antologi bersama HIIB Single Fighter, saya dan Lita (sahabat sejak SMU), berpikiran untuk jalan-jalan ke luar negeri. Saya belum punya paspor, maka di bulan April paspor saya urus sendiri. Syukurlah, tanpa calo sekarang mengurus paspor sudah sangat mudah.
Tentu saja karena ini perjalanan pertama ke luar negeri, saya sangat excited. Pertama, saya akan menjelajah ke tempat yang budayanya berbeda dengan Indonesia. Kedua, saya akan bepergian lagi berdua saja dengan sahabat. Ketiga, tidak sabar untuk melakukan perjalanan yang tidak terduga. Selama ini saya berkeliling di sekitar Jawa Timur, Bali, Jakarta dan Jawa Tengah, selalu saja ada cerita berkesan untuk dijadikan tulisan. Apalagi kalau ke luar negeri kan?
(Baca Juga: Jelajah Candi Cetho, Telaga Sarangan, dan Waduk Bening Widas)
Karena masih amatiran, saya pilih Kuala Lumpur sebagai negara jujukan pertama. Kebetulan Lita sudah cukup sering ke beberapa negara Asia Tenggara, jadi saya tidak terlalu khawatir. Selain itu, warga Malaysia bahasanya cukup mirip dengan Indonesia dan saya juga lumayan pede dengan kemampuan Bahasa Inggris. Setelah berkutat hampir tiap malam, perburuan tiket murah pun bisa saya peroleh. Hore, dengan tiket 700 ribuan saya dan Lita bisa ke Kuala Lumpur PP.
Hello!!Uang ringgit sudah dipesan, hotel kelas backpackerpun telah siap didatangi. Dengan penuh rasa percaya diri, kami berangkat tanggal 9 November lalu. Eh ternyata naik Citilink ke KL itu dapat makan juga. Bahagia deh buat saya yang tidak bisa telat makan ini. Senangnya lagi, radang sinusitis pun tidak ada kendala. Saya siap berpetualang selama 3 hari 2 malam di KL.
Kenyataannya Tak Semua Pakai Bahasa InggrisPesawat kami mendarat di KLIA2. Turun dari sana saya dan Lita berfoto-foto, maklum saya kan baru kali ini liburan ke luar negeri jadi masih norak, hahaha. Ternyata bagian penerimaan bagasi itu ada di KLIA1. Kami diarahkan untuk naik Autotrain. Pusing pastinya karena Lita sebelumnya langsung turun di KLIA1. Untuk mencari arah yang benar, saya bertanya pada bagian informasi di dekat pintu arrival. Oalah, ternyata walaupun memakai Bahasa Inggris, ucapan saya tidak dipahami. Setelah berbahasa Indnesia baru mereka paham. (Baca Juga: Spread Your Journey With Travelblogid)
“Kebelet pipis nih, toilet mana?” tanya saya pada Lita. Kami mencari toilet yang tertulis dalam bahasa melayu dengan nama Tandas. Ketawa ngakak sih, karena kata tandas dalam Bahasa Indonesia kan berarti habis. Mungkin maksudnya kita menghabiskan urusan buang hajat di tempat khusus, makanya disamakan dengan toilet.
Sebelum LelahSetelah berputar-putar, kami menemukan Autotrain. Kereta ini sejenis MRT yang menghubungkan KLIA1 dengan KLIA2. Setelah kami mengambil koper di bagasi, Lita mengantre untuk membeli tiket bus yang akan mengantarkan kami dari KLIA1 ke KL Sentral. Semua berjalan relatif lancar sampai apes menunggu di KL Sentral.
Di KL Sentral manusianya berjalan cepat dan tahu arah tujuan mereka. Saya dan Lita berputar-putar dengan menggeret koper untuk menemukan arah MRT yang akan membawa kami sampai ke Bukit Bintang. Setelah berputar-putar, kami menemukan mesin penjual tiket otomatis. Uang ringgit dimasukkan di dalam mesin namun tidak ada koin tiket MRT yang keluar. Kami pun mencoba lagi sampai bisa.
Tantangan pertama terlewati. Lalu kami mencari arah MRT. Lagi-lagi bertanya pada customer service pun malah nyasar. Saya dan Lita gantian bertanya pada orang yang lewat sampai kami jalan naik turun hingga menemukan MRT yang akan dituju. Lega juga akhirnya sekitar jam 6 sore pantat saya yang mulai kaku karena kebanyakan berjalan bisa duduk tenang di dalam MRT.
Wajah belum sadar kalau mau salah naik MRT LOLPerjalanan pun terasa menyenangkan diselingi canda dengan Lita. Namun perasaan saya mulai tidak enak. Jalur kereta semakin menjauhi Bukit Bintang. Saya pikir mungkin jalur ini akan memutar karena memang arahnya. Sampai akhirnya pengeras suara di dalam MRT berbunyi.
“Ini adalah tujuan terakhir.” Jadi MRT ini tidak akan berputar ke Bukit Bintang lagi, malah balik ke kandangnya. Lita yang sempat berpikir jika MRT akan jalan memutar lagi pun shock. Kami menghabiskan waktu hampir satu jam menaiki kereta yang salah. Maka dengan berat hati, sambil bibir saya mengumpat diselingi tawa dan lapar, kami ganti kereta cepat lain lalu menuju Bukit Bintang.
Kemeriahan Menghapus KesalCita-citanya saat menginjakkan kaki di Kuala Lumpur adalah makan malam di Jalan Alor. Kenyataannya asam lambung saya mulai memberontak, mulut malas ngomong, senggol bacok mode on pokoknya. Bibir manyun saya bisa terbuka lebar ketika disambut kemeriahan di area utama Bukit Bintang yang dipenuhi jajaran mal. Ada pertunjukan perkusi yang dipenuhi pengunjung.
Kaki udah linu karena kelelahan tapi tetap poseSaya juga tersenyum melihat masyarakat multi etnis yang jalan berdampingan dengan damai. Perempuan bergamis lebar bisa santai bercanda dengan kawannya yang dari etnis tionghoa. Masing-masing kelompok menggunakan banyak bahasa asing. Anak kecil, tua muda, dan orang-orang berpakaian sesuai keinginan tanpa terlihat risih satu sama lain. Dan saya bersyukur banyak orang baik yang mau memberi jalan agar kami menemukan arah yang benar.
Setelah makan di salah satu restoran cepat saji, kami memesan taksi Grab menuju hotel. Sun Beam Hotel berada di belakang mal Fahrenheit, tetapi ada kejadian lucu yang akan saya ceritakan di hari kedua nantinya. Puas membersihkan diri dan ganti baju, kami meluncur ke Jalan Alor untuk mencoba jajanan lokal di sana.
Meriahnya Jalan Bukit Bintang
Berburu jajanan di Jalan AlorHari pertama ini memang luar biasa melelahkan, tetapi esoknya masih banyak kejadian yang membuat tawa kami berkembang. Malam berlanjut panjang. Saya memejamkan mata jam 2 pagi di hotel. Wow, it’s a great start!
Yihaaa
Published on November 16, 2019 08:46
November 12, 2019
Jelajah Candi Cetho, Telaga Sarangan dan Waduk Bening Widas
Lebaran tahun ini saya dan keluarga berkunjung ke tiga kota. Awalnya saya ingin menjelajah Karanganyar, Solo, namun karena jadwal libur papa yang masih tak pasti, maka rencana untuk berkeliling daerah Karanganyar pun harus benar-benar menunggu kepastian.
Kami baru dapat tempat menginap sekitar dua minggu menjelang lebaran, hanya ada satu resort saja yang tersisa. Rencana awalnya, kami mau menginap di daerah Candi Cetho dua hari dari tanggal 7 sampai 8 Juni, nyatanya kami hanya mendapat jatah tanggal 7 Juni. Tanpa itinerary rinci, kami hanya memastikan tanggal kepergian dari 7 sampai 8 Juni, namun lokasi yang pasti akan dikunjungi Candi Cetho saja. Jadi semuanya serba spontan.
Dari Sidoarjo kami berangkat pukul setengah lima pagi karena jalannya juga tidak seberapa tahu, lalu meluncur melewati jalur tol yang sambung-menyambung hingga Jawa Tengah. Semuanya berjalan lancar sampai kami mencapai Karanganyar. Papa tidak punya pengalaman berkunjung ke Candi Cetho, beliau hanya tahu ke jalur Astana Giri Bangun dan Tawangmangu yang pernah kami datangi sekitar tahun 2012. Maka setelah beberapa kali bertanya ke orang, kami mengandalkan Google Maps. Saya bertugas menjadi navigator di belakang papa.
Rekan sekantor saya mengatakan jika jalur ke Candi Cetho memang cukup berliku, tetapi dia perempuan dan bisa mencapai area Cetho dengan naik motor matik, makanya saya pikir Papa pasti bisa mengatasi. Papa selain mantan pendaki gunung aktif, beliau juga terbiasa membawa mobil ke jalur pegunungan. Ternyata, di luar dugaan kabutnya sangat tebal. Sinyal internet mulai hidup mati, Papa mengomeli saya karena menilai kinerja sebagai navigator kurang bagus, hahaha. Setelah drama perdebatan satu mobil, sampailah kami di Villa De Cetho, tempat menginap yang dekat dengan Candi Cetho. Mobil pun mesinnya sudah berbau sangit.
Menjelajah Candi Peninggalan Dinasti Terakhir MajapahitDari Villa De Cetho, kami tinggal berjalan kaki sekitar 100 meter dengan jalan menanjak. Tiket masuk 7000 rupiah per orang dan pengunjung wajib mengenakan sarung kotak-kotak hitam putih saat masuk ke dalam wilayah candi.
Tumpukan batu seperti di peninggalan suku Maya atau IncaKeunikan dari candi ini adalah bentuk patungnya yang tidak seperti patung atau arca candi Hindu di Jawa lainnya. Kebanyakan seperti patung suku Inca atau Maya dan desain arsitektur khas bangsa Sumeria. Aroma dupa tercium kuat di beberapa area Candi Cetho. Candi ini masih sering digunakan sebagai tempat beribadah pemeluk agama Hindu dan Kejawen. Saya juga bertemu seorang gadis setempat berpakaian adat Hindu dengan riasan bunga di gelungan rambutnya.
Di area halaman kedua candi, terdapat susunan batu aneh yang bentuknya seperti pemujaan Bangsa Sumeria. Ternyata susunan batu itu membentuk semacam hewan kura-kura. Candi Cetho diperkirakan dibangun di masa raja terakhir Majapahit, Raja Brawijaya. Namun melihat desain arca dan ornamen bangunannya, hal ini menjadi perdebatan. Ada ahli yang mengatakan, Candi Cetho telah mendapat pengaruh budaya bangsa Sumeria kalau dilihat dari relief dan arcanya. Di bagian lebih dalam lagi, terdapat beberapa pendopo sebelum memasuki area candi utama. Di beberapa sudut terdapat arca kecil yang diberi dupa. Pendopo ini katanya masih digunakan sebagai tempat beribadah, makanya bau harum dupa masih dominan. Area candi utamanya pun tak kalah unik. Bagian bawahnya berbentuk semacam kubus dengan puncak meruncing. Biasanya desain candi bercorak Hindu itu langsing. Candi Cetho ini tidak menyerupai candi di daerah Jawa Tengah atau Jawa Timur. Minum Teh Nikmat di Kebun Teh KemuningKebun Teh Kemuning menjadi destinasi kedua di sekitar Cetho. Saya dan keluarga memutuskan untuk turun menuju Telaga Sarangan. Hotel pun kami dapat sehari sebelumnya saat di Candi Cetho. Untuk masuk ke kebun teh hanya perlu 5000 rupiah saja.
Properti foto tersedia di kebuh teh :DKita bisa menikmati teh original dari kebun dengan rasa manis dan pahit yang pas sambil menikmati pemandangan menakjubkan. Suhu udara di area Cetho dan sekitarnya termasuk dingin, jadi sangat menyegarkan tubuh dan pikiran.
Selanjutnya tentu saja menikmati jajanan enak seperti sate kelinci dan wedang ronde di tepi Telaga Sarangan juga sama-sama merilekskan otak. Saya dan keluarga naik speed boat untuk berkelilin telaga ditemani pemandangan langit seperti lukisan magis.
Cantiknya Telaga SaranganMenjelajah Waduk Bening Widas
Waduk Bening Widas di Madiun ini mendadak kami datangi karena kebetulan sekeluarga ingin makan seafood dan mampir di lokasi yang belum pernah saya kunjungi. Nenek saya adalah penduduk asli kota Madiun tetapi saya malah asing dengan waduk ini. Sehari-hari waduk termasuk sepi pengunjung. Kebetulan karena musim liburan, pengunjungnya lumayan banyak apalagi ada pentas dangdut.
Waduk Bening WidasSetelah makan menu ikan bakar super sedap, kami berkeliling waduk dengan perahu motor. Siksaannya, karena dua hari menginap di daerah sejuk nan dingin, maka di hari ketiga ini kulit muka saya gosong terkena paparan panas matahari di atas waduk. Untung ada angin semilir yang menyejukkan sedikit-sedikit.Inilah perjalanan saya ke tiga kota bersama keluarga pada lebaran lalu. Artikel telah mengalami perombakan setelah diterbitkan di media Kurung Buka.
Published on November 12, 2019 10:00
November 11, 2019
Podcast: Dalam Menulis Penting Mana Antara Kualitas dengan Kuantitas?
Beberapa pertanyaan dari rekan penulis tentang mana yang lebih penting antara kualitas atau kuantitas menulis. Sudah bukan rahasia lagi jika profesi sebagai penulis kini pamornya tak lagi dipandang sebelah mata. Seorang penulis buku bisa mendapat rezeki dari royalti dan undangan bedah buku di berbagai kota. Kini penulis konten dan penulis skenario juga bisa menjadi sandaran hidup.
Saya sempat membaca jika kegiatan menulis itu bisa disamakan dengan aktivitas lari. Menulis artikel konten sama dengan lari sprint, sedangkan menulis buku serupa dengan maraton. Setuju sekali untuk anggapan tersebut. Menulis konten dalam frekuensi yang lebih sering, juga bisa menghasilkan uang yang lumayan. Saya bisa menabung untuk traveling dan investasi dari menulis konten.
Nah untuk mencapai tahapan hasil tulisan kita dihargai dengan baik itu lebih baik fokus pada kualitas saja atau kuantitas?
Ada hal-hal yang perlu diperhatikan, saya bahas di cuap-cuap yang bisa didengarkan di Anchor atau Spotify akun 'Reffi_D'. Klik link di sini.
Published on November 11, 2019 19:55
November 5, 2019
Suka Duka Selama Menjadi Penulis
Beberapa pesan masuk melalui medsos ataupun chat pribadi. Teman-teman ini rata-rata menyampaikan keinginan untuk menjadi penulis dan bertanya tips apa saja yang harusnya dilakukan agar bisa konsisten menulis.
Saya tanyakan kurang lebih begini, “Sudah siap belajar banyak? Siap capek kalau dikejar deadline sama klien? Mau banyak dan rutin membaca tiap hari?”
Tidak Semua Paham RisikonyaBeberapa di antaranya bingung soal manajemen waktu dan menceritakan kesibukan yang mereka lakukan tiap hari hingga agak sulit jika menjawab pertanyaan saya. Nah, dari sini saya katakan jika menjadi penulis tidak semudah yang diucapkan para writing motivator (dan apa kata saya juga, hehe).
(Adobe Stock: Stocwerk-Fotodesign)Menulis sebagai hobi tentu akan sangat menyenangkan, dulu saya juga tidak tiap hari menulis. Namun ketika menulis sudah dijadikan sebagai salah satu mata pencaharian, maka seperti halnya profesi lain ada kalanya sumpek, kesal, dan muak melihat laptop atau kertas karena terlalu capek. Semuanya tak seindah yang dilihat.
(Baca Juga: Menulis adalah Menangkap Hantu Gagasan di Udara)
Bahkan untuk menulis fiksi seperti novel pun memang penuh dengan ide dari saya pribadi, tetapi ketika memasuki proses editing banyak sekali yang harus saya perbaiki agar tulisan lebih enak dibaca. Apalagi jika menulis untuk klien seperti blog atau copywriting, siap-siaplah untuk mengurangi jam jalan-jalan atau bersantai demi deadline Roro Jonggrang (kebut sehari semalam).Sampai saya menemukan pertanyaan di Quora tentang apa suka duka selama menjadi penulis. Akhirnya jawaban itu ingin saya tuang kembali di blog.
Hal-hal Menyenangkan Selama MenulisInilah hal-hal yang saya sukai selama menulis
(Pixabay)Meluapkan ide. Saya adalah orang yang punya curiosity tinggi dan suka sekali mengomentari apa saja yang memicu kekepoan saya. Saya sadar jika terus bertanya pada orang lain pasti akan memicu sebal hehe, jadi dengan menulis setidaknya saya bisa meluapkan apa yang saya pikirkan.Mengasah keterampilan yang belum saya ketahui. Awal menulis, saya hanya tahu fiksi dan nonfiksi. Saya menulis cerpen, novel dan puisi. Lalu ketika mulai serius ngeblog dan menjadi content writer, saya sadar banyak sekali hal yang tidak saya dapat di sekolah. Saya belajar copywriting, belajar mendesain ebook dengan Canva, belajar menulis skenario, dll.
Lebih populer dan menambah uang. Ketika karya saya mulai banyak dan dibaca orang, jelas popularitas meningkat (meski tidak sampai sebanyak para selebgram), dan tabungan traveling bertambah dari menulis. Tapi saya belum bergantung dari menulis sepenuhnya karena saya suka bahasa asing, jadi masih kerja kantoran. Entah saat menikah nanti, bisa saja saya full time menulis sambil menjadi penerjemah atau freelance interpreter.
Bertemu dengan teman penulis yang keren-keren, diundang di banyak event dan acara seru, menjadi writing trainer karena dikenal sebagai penulis atau blogger.
Apa Saja yang Menjadi Duka Selama MenulisKurang lebih daftar hal yang membuat saya capek itu seperti ini.
(Adobe Stock: Baranq)Capek. Saya punya sakit gastritis, sinusitis, skoliosis ringan. Jadi kalau terlalu banyak menulis dan kurang olahraga sampai jadwal istirahat kacau, ketiga penyakit itu akan menyiksa saya sampai sulit beraktivitas.
Kalau ada yang tidak suka dengan tulisan, bisa dibully, dicaci hingga difitnah.
Menghadapi klien yang aneh-aneh. Sebagai content writer, kadang saya harus bersabar ketika mendapat klien yang memberi deadline mepet atau banyak banget aturan tulisannya. Jadi saya harus berusaha profesional. (Baca Juga: Proses Kreatif Sebelum Menulis)Dianggap tahu segalanya. Hei, saya penulis memang tapi tidak semua topik saya suka dan saya paham. Penulis bukanlah buku berjalan meski dituntut suka baca hahaha
Itulah suka duka saya selama menulis. Mungkin Anda juga punya cerita yang sama? Mari berbagi di sini ya.
Published on November 05, 2019 23:33
October 29, 2019
Bibir Cantik dengan Lipstik Viva Queen Perfect Matte
Lipstik adalah benda mini yang menjadi favorit sebagian besar kaum hawa. Dengan warna lipstik berbeda, maka aura wajah bisa berubah. Pilihan warna lipstik juga bisa disesuaikan dengan kondisi tempat atau situasi yang akan kita datangi. Saat ini lipstik matte menjadi salah satu jenis pewarna bibir kesukaan perempuan, termasuk saya. Setelah mencoba merk lain akhirnya hati saya terpaut pada lipstik Viva Queen Perfect Matte.
Saya memiliki kontur bibir yang tebal sehingga kurang suka menggunakan lipstik glossy. Karena tertarik dengan sebuah merk lipstik yang digunakan teman, saya pun mulai memakai jenis lipstik matte. Sayangnya bibir jadi pecah-pecah dan makin kering. Karena produk skin care kebanyakan Viva, maka saya coba saja membeli lipstik Viva Queen Perfect Matte tipe Barely Nude. Efeknya cocok banget warnanya dan tidak membuat bibir kering.
Sederhana Namun EleganBiasanya kesan pertama dari kemasan lipstik produk Viva itu sederhana tetapi jadul banget. Nah sekarang ada perkembangan bagus untuk produk-produk terbarunya, termasuk lipstik matte ini. Setelah lipstik Barely Nude habis, saya langsung membeli tiga warna lain yaitu Peach Nectar, Red Wine dan Raspberry.
Kardusnya warna kuning cerah sedangkan wadah lipstiknya elegan sekali dengan warna hitam dan ukiran tulisan berwarna keemasan. Saat dibuka lipstiknya tidak menguarkan aroma yang aneh. Kalau secara fungsi, dari kemasan kardusnya lipstik ini diklaim memiliki UV Protection, moisturizing, mudah dibaurkan (easy blend), warna yang solid (intense color), dan tahan lama (long lasting).
3 Lipstik yang direviewSaya baca memang ada kandungan Squalane di komposisinya yang berarti memiliki manfaat UV Protection sekaligus melembabkan. Tetapi masih ada kandungan parfumnya, jadi untuk ibu hamil dan menyusui yang alergi parfum dalam lipstik bisa tanya-tanya nih sama doktenya.
Warna Menarik dan MelembabkanPilihan warna lipstik matte ini ada macam-macam, tetapi saya penasaran dengan tiga warna yang sudah saya sebut sebelumnya. Kalau mau yang sewarna bibir, coba saja tipe Barely Nude. Ketiga warna ini masuk di kulit cokelat.
Setelah diaplikasikan di bibir juga tidak membuat kering atau kehitaman. Tanpa harus pakai lip balm, bibir saya aman-aman saja. Hanya saja jika sudah dipakai makan atau minum, lipstiknya memudar. Tetapi tenang saja, meski memudar pun tidak langsung hilang, jadi kesannya fadingsedikit. Waktu minum juga menyisakan sedikit warna di bibir gelas. Kecuali waktu puasa, maka bibir akan cetar seharian sampai waktu buka.
Bibir masih polosanLipstiknya juga saya pakai di kesempatan beda-beda. Untuk hang out saya sering pakai lipstik tipe Raspberrydan Peach Nectar. (Baca Juga: Review Amni Sunscreen)
Peach Nectar warnanya tidak terlalu kentara
Raspberry di bibir saya lebih pink tapi tidak terlalu ngejrengBerhubung tipe wajah saya ini tegas dan galak, LOL, saya jatuh cinta dengan tipe Red Wine. Seperti namanya, Red Wine ini warnanya merah tua dan sering saya pakai di kantor. Karena warnanya sangat bold, saya oles tidak sampai memenuhi bibir lalu saya ratakan dengan kelingking, lebih baiknya sih pakai kuas lipstik ya, hehehe.
Red Wine is my FAV
Published on October 29, 2019 00:38
October 27, 2019
Sosialisasi Sertifikasi Florist Level 2 Sebagai Oase Pecinta Bunga
Bunga selalu menarik minat. Untuk pemberian spesial pada seseorang, kita juga mencari bunga yang sesuai dengan tujuan hadiah. Bahkan ada yang mengatakan jika lewat bunga kita tahu bagaimana karakter seseorang. Itulah sebabnya bisnis florist masih langgeng hingga kini. Melihat prospek bisnis florist yang tetap berdenyut di tengah era globalisasi, Citta Florist bekerjasama dengan IPBI (Ikatan Perangkai Bunga Indonesia) cabang Surabaya menggelar event sosialisasi dan simulasi sertifikasi florist level 2.
Acara tersebut berlangsung selama dua hari dengan tujuan berbeda. Di tanggal 22 Oktober 2019, sosialiasi sertifikasi florist level 2 disampaikan oleh florist profesional, Bapak Andy Djati Utomo, S.sn, AIFD, CFD. Bagi siapapun yang ingin mengikuti ujian resmi tersbeut harus mengetahui bagaimana ketentuan ujian, mekanisme penilaian, strategi agar lulus ujian dan lain-lain. Sedangkan di hari berikutnya pada 23 Oktober, simulasi ujian praktek sebagai aplikasi teori yang sudah diperoleh juga dilakukan. Kedua acara dilakukan di Hotel Quest Surabaya.
Citta Florist telah resmi memegang izin sebagai tempat penyelenggara ujian (TUK) dengan nama TUK Cumbacitta. Bapak Andy Djati Utomo selaku narasumber resmi yang ditunjuk oleh LSK (Lembaga Sertifikasi Kompetensi), membagikan semua ilmu dan mereview hasil praktek peserta agar sesuai dengan ketentuan penilaian ujian. Menariknya, peserta yang hadir tidak semua merupakan pebisnis bunga atau florist profesional. Para penyuka bunga yang masih amatir dalam merangkai pun banyak yang bergabung.
Keseruan AcaraAda hal-hal menarik yang bisa diamati selama acara berlangsung, bahkan ketika saya hadir di hari kedua pun beraneka ragam wawasan baru membuat saya terkesima. Jadi tidak semua orang tahu jika untuk menjadi florist profesional pun kita butuh sertifikasi. Dan ujian tersebut juga resmi di bawah payung pemerintah. Di hari pertama, Kabid Pauddikmas dari Diknas Surabaya, Ibu Thussy Apriliyandari, yang membawahi lembaga kursus juga menyatakan kekagumannya pada acara sosialisasi serta simulasi. Tidak semua tahu jika dari sebuah hobi dan kecintaan pada bunga, maka bisa menjadi profesi yang menjanjikan di masa depan. Bukan sekadar berbisnis, tetapi juga diakui di dunia keprofesian.
Tentunya dalam berbisnis, kreativitas merangkai bunga menjadi hal penting, tetapi dalam koridor sertifikasi ada hal-hal yang perlu dipelajari. Sertifikasi keahlian tersebut menjadi oase bagi para perangkai bunga untuk bisa lebih berdaya dalam karir floristnya.
TUK Cumbacitta telah memegang SK dari LSK sehingga bisa menggelar uji kompetensi seni merangkai bunga dan desain floral. Lembaga kursus yang menerima SK resmi barulah LKP Cumbacitta (Lembaga Kursus & Pelatihan). Dengan demikian Citta Florist yang sebelumnya dikenal sebagai produsen rangkaian bunga untuk berbagai kesempatan, kini telah berkembang juga menjadi lembaga kursus keterampilan sekaligus tempat diselenggarakaannya tes kompetensi yang juga menjadi program pemerintah.
Uji kompetensi sertifikasi level 1 telah dilaksanakan dua kali pada September 2018 dan Juni 2019. Tentunya dengan semangat untuk meningkatkan kemampuan para pebisnis dan yang berminat untuk menjadi florist profesional, perlu untuk melewati tahapan-tahapannya.
Peserta yang ingin mengikuti uji sertifikasi level 2, diwajibkan mengikuti sosialiasi 22 Oktober, tetapi tidak diwajibkan untuk mengikuti simulasi keesokan harinya. Namun menurut pandangan saya. Justru di kegiatan simulasi inilah maka pemahaman peserta bisa benar-benar diuji dan bisa mengetahui kekurangan apa saja yang perlu diperbaiki. Peserta simulasi mendapat fasilitas bunga segar beberapa jenis, vas, air untuk bunga sambil membawa perlengkapan merangkai bunganya sendiri.
Seru sekali melihat peserta yang sebagian besar ibu-ibu ini memeras otak untuk menghasilkan beberapa bentuk rangkaian bunga. Salah satu peserta yang duduk di depan saya sempat panik karena waktu 3 jam terasa sempit dan bertanya pada saya apakah rangkaian bunganya sudah bagus. Setelah selesai, peserta diminta untuk mengisi nama bunga apa saja yang sudah digunakan dengan nama latin dan perkiraan harganya. Mereka diarahkan untuk mengasah wawasan, meningkatkan keterampilan teknis serta mempertajam insting berbisnis.
Nantinya bobot ujian kompetensi akan dibagi menjadi dua proses. Uji teori berlangsung selama satu jam,sedangkan uji praktek akan berlangsung selama 3 jam. Hal paling krusial tentu saja pada uji praktek karena percuma jika wawasan teorinya sangat bagus namun dalam prakteknya masih kurang. Di acara simulasi inilah peserta bisa mengetahui kelebihan dan kekurangannya.
Harapan Untuk Generasi MudaHarapan dari diselenggarakannya acara sosialisasi dan simulasi yang masih baru diselenggarakan di Surabaya adalah meningkatnya atensi generasi muda terutama dari kaum milenial untuk mau melirik wilayah keterampilan ini. Selama ini kita mungkin tahu beberapa jenis profesi seperti MUA (Make Up Artist), Youtuber, Blogger dan pekerjaan lainnya. Florist adalah salah satu jenis profesi yang tak kalah menjanjikan dan mengasah berbagai elemen keterampilan.
Di saat merangkai bunga, kita harus paham komposisi warna agar penyusunannya tetap seimbang dan menarik, bagaimana cara meletakkan tangkai dan memotong bagian bunga, paham tak hanya nama namun juga di sisi mana bunga seharusnya diposisikan. Yang punya passion di bidang seni dan suka dengan keindahan visual, perlu untuk melirik seni merangkai bunga.
Dengan adanya LKP Cumbacitta yang sudah resmi memiliki SK, maka masyarakat umum di Surabaya dan sekitarnya bisa datang untuk belajar. Legalitas kursus sangat penting karena hal ini bersinergi dengan hasil yang akan kita dapatkan. Selain terampil merangkai bunga, kita juga berkesempatan mengikuti uji sertifikasi.
Semoga acara sosialisasi dan simulasi ini tidak hanya berjalan satu kali. Anak muda dan masyarakat awam perlu tahu soal seni merangkai bunga ini. Siapa tahu ke depannya akan lahir florist-floris andalan dari Jawa Timur.
Published on October 27, 2019 01:29
October 25, 2019
Spread Your Journey With Travelblogid
Traveling is one of the important activity in our life. We work from Monday until Friday (some people should work until Saturday), sinking in the rush hour and getting exhausted with the same pattern every day just for earning money. You may save your money for the emergency fund or investment, but to spare your money in travel is a great expense too. Experience is a chance to grow your survival life skill.
However, people who are seldom to travel, sometimes confuse where to go. What is the best destination to wander? Therefore Travelblogid is created to help you. In this website, you can read many traveling reviews from avid travelers.
The review is not only about the tourism place but also about culinary, art & culture, also tips & info. Although it is created basically in Indonesia, foreign people also can read the English reviews. Travelers who want to visit Indonesia can access Travelblogid in English to search for everything about the nation’s tourism place.
Why TravelblogidSharing your traveling experience on this website through article and videos will give you some benefits. Travelblogid provides rewards point feature for the published article or video. You can write in Indonesia or English. The website features are user-friendly. It is not difficult to write and post here.
Start your post!After you post, you need for a while until it is published. The article or video will be sorted in the pending section. Don’t forget to redeem your rewards point in the store feature and get many interesting products there.
Redeem your point with various gifts!If you don’t have any experience in traveling and willing to start a new journey, you don’t need to search randomly in Google. Just visit this website and enjoying many honest journals from people worldwide. Especially if you want to visit the local place in Indonesia, Travelblogid will give you many pieces of knowledge from different category. You can choose what category that attracting you like art, culture, vacation, culinary, tips & info, and so on.Gathering Uniq Point Of ViewThis website shares many good impacts for us. We can divide it into three topicsFirst, you can train your travel writing skill and create your personal branding. You don’t need to make a blog, just sign up here then start your post.
Second, a different writer will have different point of view even they come to the same place. Travelblogid gather them in one place and the reader can absorb uniq moment based on the true event.
Third, when you start to share your article or video here, it means you support the tourism industry. Internet is the fastest solution to promote everything, so you have taken a part to spread a positive thing.
There are many ways to build your own personal brand in travel writing. Besides that, on this website, you can know many friendly travelers who sincerely share their journey. You don’t need to be an expert writer or video maker to join, just start from scratch.
Personally, I like to join because I can learn from many people and enjoy their stories. For example, I can read three articles from the different person about Mount Bromo. It is very fun. Isn’t it?So what are you waiting now? Let’s start your trip and plan your content right now.
Follow Travelblogid social media from Facebook, Instagram and Twitter to get more informations.
Published on October 25, 2019 02:33
October 23, 2019
Review Diary Introvert, Bercengkerama Akrab dengan Penulisnya
Judul : Diary Introvert, catatan dari balik dunia yang heningPenulis : Hardy ZhuTebal : 157 halamanTahun Terbit : Cetakan Pertama, 2019Penerbit : Trans Media
Saya adalah seorang ekstrovert. Uniknya, beberapa sahabat karib termasuk introvert. Betapa susah menyelaraskan cara berkomunikasi kami yang bertolak belakang. Seorang ekstrovert mengisi energi emosionalnya dengan berinteraksi lewat kegiatan fisik atau interaksi dengan orang lain, sedangkan introvert lebih banyak memilih berdiam diri di ruang ternyamannya. Lalu ketika membaca buku Diary Introvert ini saya makin senang karena akhirnya bisa memahami lebih dalam karakter sahabat-sahabat saya.
Buku ditulis dalam sudut pandang orang pertama yang saya asumsikan jika Hardy Zhu sebagai penulis memang menceritakan pengalaman pribadinya dengan karakter introvert. Butuh perenungan panjang dan juga ketelatenan untuk merinci kembali kenangan yang mungkin sudah lewat beberapa tahun. Sekali lagi inilah keistimewaan sosok introvert. Mereka lebih banyak diam namun serius mendengar serta mengamati, sehingga menjadi orang yang paling paham.
Diary Introvert dibagi dalam 8 bab yang rata-rata menceritakan hambatan apa saja yang sering dialami serta stereotip seperti apa yang disematkan pada seorang introvert. Bab pertama dibuka dari cerita penulis saat sedang mengunjungi kebun binatang dengan rekan sekampusnya. Ia tidak bisa menikmati hiruk-pikuk dan kawan-kawannya yang bisa sangat ceria berfoto bersama atau bersenda gurau. Akhirnya penulis mencari tempat menyendiri sembari mendengarkan musik.
[image error]
Introvert bukanlah keanehan. Memang seorang ekstrovert lebih mudah mengutarakan pendapat atau membuka topik obrolan, tetapi introvert pun juga bisa melakukan hal serupa meski butuh usaha lebih. Buku ini tak hanya menyajikan fakta apa saja yang sering dialami seorang introvert, namun juga solusi yang bisa diambil agar bisa berdaya dan berkarya lebih.
Sifat-sifat yang sering dialami seorang introvert itu contohnya dicap sombong oleh tetangga karena jarang bergaul dan sering berdiam diri di rumah, gugup ketika harus bicara di depan orang banyak, serta merasa sesak ketika terlalu lama berada di tempat yang ramai. Penulis menuturkan betapa beruntungnya memiliki seorang sahabat yang mau mengajaknya sesekali mendobrak batasan diri.
“June menunjukkan satu sisi yang berbeda dari kebanyakan orang. Ia berhasil membuatku ingin percaya bahwa aku memiliki sesuatu yang tidak dimiliki orang lain.” (Halaman 49)
Menurut teori kepribadian yang dikemukakan oleh Carl Jung, introvert termasuk jenis kepribadian yang cenderung lebih nyaman untuk menyendiri lalu melakukan aktivitas kreatif semacam menulis dan membaca buku. Sejalan dengan yang dilakukan oleh penulis. Ia lebih suka beraktvitas di balik layar. Menyumbang ide untuk kegiatan di desa akhirnya membuatnya dekat dengan Pak RT. Selain kemampuan menulisnya, penulis juga memiliki kemampuan sebagai penyumbang ide dan penyusun rencana kegiatan. Produktif sekali, bukan?
Keunggulan dari buku ini adalah adanya lembar jurnal untuk diisi pembaca. Selain membaca, kita juga seolah sedang curhat langsung dengan penulis. Apa saja hambatan yang dirasa hingga upaya yang ingin dicapai bisa dicatat di dalam buku ini sembari meresapi pengalaman penulis. Trik yang disampaikan pun tidak terkesan menggurui.
Enjoying Time Alone(Unsplash: @mvp)
Salah satu strategi penulis agar kemampuan komunikasinya semakin baik adalah mendaftarkan diri sebagai tentor atau pengajar di sebuah lembaga bimbingan belajar (bimbel). Di awal mula, kegugupan menyergap sehingga sempat ia ditertawakan muridnya. Dengan menyiapkan materi sampai ingat dan paham di kepala dengan sebaik mungkin, kini penulis bahkan bisa menjadi pembicara di acara bedah bukunya. Sisi introvertnya tetaplah ada, tetapi hambatan bisa diatasi dengan banyak berlatih.
“Kemampuan manusia memang tidak semuanya sama. Ada yang mampu melawan kelemahannya sendiri, ada pula yang berulang kali berusaha tapi tetap belum mampu mengalahkan kelemahannya. Tapi, menyerah bukanlah jawaban. Selalu berusaha, bila tidak mampu, bukan berarti selamanya tidak bisa melakukan. Hanya belum. Mungkin hanya perlu mencoba cara lain.” (Halaman 102)
Jadi bagi kalian yang memang sedang merasa malu dan terkucilkan karena sadar jika punya karakter introvert, maka bacalah buku ini. Pikiran kalian akan lebih terbuka dan siapa tahu ada hal kreatif yang bisa menjadi kebanggaan kalian nantinya. Don’t be shame to be the really you!
Published on October 23, 2019 20:03


