Reffi Dhinar's Blog, page 18
January 14, 2020
Pentingnya Manajemen Energi Bagi Penulis

Menjadi pekerja kantoran sekaligus penulis bukanlah hal yang bisa dianggap ringan. Dulu ketika saya menganggap menulis hanya sebagai hobi, maka konsistensi menulis tiap hari tidak menjadi hal penting. Namun semenjak tahun terakhir kuliah di periode 2012-2013 lalu, saya menahbiskan diri untuk serius di kegiatan menulis. Sebagai content writer dengan deadline ketat, ternyata menghabiskan energi cukup besar jika tidak diatur dengan baik.
Kini saya sadar. Setelah menerbitkan beberapa buku solo, antologi, menjadi editor, dan content writing, saya makin percaya jika tak hanya waktu yang harus saya pedulikan. Energi di dalam tubuh dan pikiran ini juga butuh disayang. Selama ada deadline, seorang penulis biasanya akan mampu mengatur jadwal kesehariannya agar target terpenuhi. Namun apakah kita sudah tahu kapasitas energi yang akan terpakai? (Baca Juga: Menulis Adalah Menangkap Hantu Gagasan di Udara)
Jangan sampai karena demi mengejar deadline, lalu pikiran penat dan tubuh ambruk. Kehabisan energi dan kelelahan hebat adalah hal yang harus kita hindari. Saya pernah mengalami ini di masa kuliah, saat sedang sibuk mengurus kegiatan hingga lupa makan siang hingga malam, tubuh saya limbung.
Inilah beberapa hal yang perlu diperhatikan penulis agar manajemen energinya bisa terjaga dengan baik.
· Cukup Makan BergiziAda kawan saya yang harus menulis dengan makan camilan dan kopi agar kuat melek. Makan camilan ini bagus jika bukan makanan berpengawet, terlalu banyak gula, dan tidak banyak mengandung minyak. Saya ‘beruntung’ memiliki penyakit asam lambung yang mudah kambuh jika salah makan. Saya lebih suka camilan ringan yang tidak banyak MSG, agar-agar, atau kacang-kacangan.

Toh pada dasarnya saya jarang suka ngemil karena saat ini sangat menjaga asupan kalori yang masuk di dalam tubuh. Lalu soal kopi juga tak seharusnya Anda minum bercangkir-cangkir. Kopi hitam tanpa gula mungkin tidak berisiko diabetes, namun begadang dengan minum kopi hampir tiap hari apakah baik buat kerja jantung?
Tiap kali mempersiapkan proyek menulis panjang, saya akan mengatur jam makan. Misal menulis di jam 4 pagi sebelum sarapan, lalu olahraga, kemudian sarapan. Menulis di jam istirahat kantor sekitar 15 menit setelah jam makan siang. Menulis setelah jam makan malam sekitar pukul 7 sampai 9 malam misalnya. Pilih buah yang Anda suka sebagai camilan juga lebih sehat untuk tubuh.
· Olahraga RinganSejak 2018 lalu, saya berkomitmen untuk rutin melakukan olahraga ringan. Karena di tahun 2016, tangan kiri saya sempat cedera hampir dua bulan, aktivitas menulis pun terganggu. Penyebabnya, otot kelelahan dan skoliosis ringan di pinggang kiri yang kaku. Dokter menyarankan agar saya rutin berolahraga agar semua otot rileks.
Ajaib, setelah rutin berolahraga, keluhan sakit otot itu berkurang. Jangan ditanya betapa nyerinya tangan kiri yang tidak bisa diangkat sampai harus dibebat perban.

Dokter menganjurkan untuk rutin berenang, masalahnya saya tidak bisa dan tidak suka. Makanya saya pilih aerobik dengan musik menyenangkan sebagai pilihan olahraga. Minim, 2 hari sekali saya berolahraga 10 menit. Di akhir pekan jika tidak sedang travelingke luar kota, saya akan berolahraga dalam waktu 30 menit sampai satu jam.
Penulis wajib berolahraga karena posisi menulis yang diam selama berjam-jam, kurang gerak, ditambah kurang minum akan mengancam kesehatan. Percayalah, saya sudah membuktikannya. Energi saat menulis pun bisa jadi lebih optimal. · Cukup IstirahatBagi penulis yang bekerja dalam shift atau sibuk sebagai ibu rumah tangga, waktu istirahat kadang bisa kacau. Misalnya saja seorang ibu hanya bisa menulis di malam hari setelah anak-anaknya tidur. Saya sendiri mewajibkan cukup tidur malam sekitar 6 jam. Bagi IRT bisa mengakali dengan menulis ketika anak tidur siang contohnya, dicicil lagi saat pagi hari jam 4, lalu malam maksimal jam 11 sudah harus tidur.

· Tidak Serakah Pada Job MenulisDi poin paling akhir ini saya tidak menekankan jalan-jalan atau piknik sebagai cara mengatur energi. Tidak semua orang punya waktu dan kesempatan untuk jalan-jalan. Apalagi bagi penulis yang sudah berkeluarga, acara jalan-jalan bersama kelaurga terkadang malah menghabiskan energi lebih besar dibanding menulis.
Yang paling saya tekankan di bagian akhir sekaligus utama ini adalah jangan serakah menerima segala job menulis yang datang. Kita sudah mengatur waktu makan, istirahat dan olahraga, tetapi menerima lima job dalam waktu berdekatan contohnya, tentu akan menghabiskan energi kita lebih cepat.

Saya sempat mengalami fase serakah ini. Job yang menggiurkan saya terima semua. Sampai akhirnya saya hampir burn out lalu muak tiap kali melihat laptop. Hasrat menulis hilang meski ide terus berdatangan. Saya benci menulis. Ternyata ini disebabkan kelelahan otak saya. Meski berolahraga dan cukup istirahat, saya mengalami kebosanan akut karena menulis untuk pesanan klien bukannya untuk proyek pribadi.
Akhirnya saya putuskan untuk mulai menyeleksi job menulis yang masuk. Jika fee cocok dan deadline tidak terlalu mepet, maka akan saya terima. Di saat mengerjakan job tersebut lalu ada job lain masuk, saya akan tolak agar tidak mengacaukan ritme job pertama. Beda halnya jika Anda tidak bekerja kantoran seperti saya. Silakan saja menerima job apa saja. Dan yang paling penting ketahui batas maksimal kita dalam mengerjakan apa saja. Uang banyak tetapi stres juga percuma.
Inilah hal-hal penting yang perlu dipedulikan oleh penulis terkait manajemen energi. Menulislah dan tetap hidup sehat agar tubuh serta pikiran tetap baik kesehatannya.
Published on January 14, 2020 22:13
January 2, 2020
9 Buku Terbaik 2019 Versi Blog Kata Reffi

Wah sudah berganti tahun nih! Tidak terasa akhirnya kita menginjak ke tahun 2020, sebuah dekade baru yang semoga saja semakin penuh berkah dan petualangan baru. Nah, salah satu resolusi yang sukses saya lampaui sebagai bentuk pencapaian pribadi—meski tidak muluk-muluk—adalah konsisten membaca dan memenuhi target Reading Challenge di Goodreads. Dan hasilnya sangat memuaskan sebab saya bisa membaca 67 buku dari target 65 buku yang saya patok.
Dari 67 buku tersebut tentu saja ada yang menghibur, menyentuh, dan menjengkelkan. Tipe menjengkelkan ini untungnya tidak banyak sehingga saya bisa tega memberi rating rendah (dan kebanyakan para reviewer juga berpikiran sama). Seperti tahun lalu, kali ini saya membagikan 9 buku terbaik versi saya yang berhasil menambah rasa syukur, menumbuhkan empati serta memperluas wawasan tentunya. (Baca Juga: 9 Buku Terbaik Versi Saya Tahun 2018)
Yuk simak buku keren apa saja yang sudah saya baca, barangkali ada buku favorit kalian di daftar ini? Saya tidak mengurutkan buku dari yang terbaik hingga terbawah ya. Daftar ini secara acak saja saya pilih. Buku yang saya baca juga tidak semuanya buku baru.
1. Escape karya Carolyn Jessop

FLDS mengizinkan laki-laki untuk memiliki istri sebanyak mungkin. Perempuan dan anak-anak harus patuh pada ayah dan suami mereka meski dipukul, tidak dihargai, hingga dikekang hak kebebasannya. Banyak perempuan di bawah umur yang dinikahkan dengan laki-laki seusia ayah atau kakek mereka.
Perempuan dianggap sebagai obyek yang bisa menjadi sarana persatuan bisnis atau alat melahirkan keturunan. Carolyn pun mengalami hal yang sama hingga di suatu hari ia tidak tahan lagi tinggal di rumah suaminya. Istri-istri suaminya saling berebut perhatian sampai kadang tega melakukan fitnah keji. Lewat perjuangan panjang setelah kabur dengan tujuh ankanya dari suami yang seusia ayahnya itu, Carolyn menceritakan blak-blakan bagaimana kerasnya ketidakadilan para pria kepada perempuan. Kekerasan rumah tangga dianggap sebagai cara mendidik yang baik. Anak-anak pun dilarang belajar di sekolah umum. Doktrin mengerikan membuat mereka tumbuh dalam kengerian dan rasa takut.
2. The 4 Tendencies karya Gretchen Rubin

Tujuan utamanya bukanlah untuk menunjukkan tendensi mana yang paling baik karena semuanya memiliki kelebihan dan kekurangan. Tendensi itu disebut Upholder, Obliger, Questioner, dan Rebel. Saya termasuk Questioner dan bisa menganalisis beberapa kawan setelah membaca buku ini. Sebuah buku bagus untuk diri sendiri, pendidik, profesional di dunia karir, dan orang tua agar bisa berkomunikasi dengan baik antar individu yang berbeda.
3. Educated karya Tara Westover

Tara lahir dari orang tua yang mempersiapkan kehidupan menuju Hari Akhir. Ayahnya tak percaya polisi, dokter, guru. Ketika sakit, ia meminta obat herbal dari istrinya. Ibu Tara adalah seorang ahli herbal yang juga menjadi semacam bidan tak resmi untuk warga sekitarnya. Kalau di Jawa disebut dukun beranak mungkin ya. Tara dan saudara-saudaranya dididik di rumah, tidak punya akta kelahiran, dan tidak pernah pergi ke dokter. Yang paling mengerikan, keluarganya sempat mengalami kecelakaan lalu lintas, namun ibunya menolak pergi ke dokter. Ayah Tara percaya hanya Tuhan saja yang bisa menyembuhkan segala penyakit serta kesusahan.
Tara yang memiliki rasa ingin tahu mengalami peristiwa traumatik dengan salah satu kakak laki-lakinya. Ia pun berjuang untuk sekolah hingga universitas. Perjuangan itu sangat sulit karena Tara tidak pernah mengenal pelajaran umum dan baru mengenal dunia luar. Ternyata setelah ia banyak membaca serta belajar, kelak ia tahu jika ayahnya sebenarnya memiliki gangguan mental sehingga membuat keluarganya menjadi parnaoid dengan dunia luar.
4. You’re Badass At Making Money karya Jen Sincero

Banyak orang ingin uang namun juga menilai hasrat untuk kaya adalah kesalahan. Ingin menambah uang dianggap materalistis serta kotor. Lewat buku inilah Jen juga berbagi pengalamannya bagaimana mengubah mindset salah hingga kini ia menghasilkan uang dengan pikiran positif.
5. Kim Ji Yeong Lahir 1982 karya Cho Nam Joo

Secara blak-blakan, penulis membongkar buruknya budaya patriarki di Korea yang membuat posisi perempuan seperti babu bahkan di dalam keluarganya sendiri. Ada keterangan data riset serta sumber referensi yang terkait dengan setting di dalam buku sehingga kita pun bisa bertambah wawasan sosialnya.
6. The Alpha Girl’s Guide karya Henry Manampiring

Buku ini menarik karena penulis adalah seorang pria yang menulis tentang bagaimana seharusnya seorang Alpha Girl bersikap. Jadi sudut pandangnya jelas berbeda jika buku ini ditulis perempuan. Seorang Alpha Girl di sekolah, kerja, dan lingkungan harus bersikap baik, bertanggung jawab dengan tindakannya, rajin belajar, cepat bangkit dari keterpurukan, namun tetap menghargai orang lain. Seorang Alpha Girl juga boleh bersikap feminin yang secara fisik tidak sama dengan pria. Jangan menjadi Alpha Girl kuat dan cerdas yang mudah meremehkan orang lain dan tidak mau dibantu orang lain.
7. Reasons to Stay Alive karya Matt Haig

8. The Feminist Minds karya Magdalene

9. P.S I Still Love You karya Jenny Han

Inilah 9 buku terbaik yang saya baca tahun lalu. Apa ada buku yang pernah kalian baca atau sedang ingin dibaca? Let’s have a nice reading time!
Published on January 02, 2020 01:49
December 29, 2019
Review Lip Matte Cream Madezein No. 06

Lipstik merupakan salah satu perangkat kosmetik yang membuat saya gemas. Selain bedak, lipstik adalah piranti make up yang tidak boleh terlupa dibawa. Di antara sekian banyak jenis lipstik, saya paling suka yang tipe matte. Karena bibir saya termasuk tebal, tipe lipstik matte akan memberi warna yang penuh tanpa kilap berlebihan, selain efek warnanya yang tahan lama. Ada beberapa warna lipstik matte yang saya koleksi lalu saya menemukan Lip Matte Cream No. 06 dari Madezain yang warnanya natural nan cantik.
Jujur saja, ini pertama kalinya saya memakai lip cream, karena saya terbiasa memulas bibir dengan lipstik matte biasa. Saya pilih Lip Matte Cream No.06 karena memang belum punya yang warnanya Caramel. Selama ini saya suka warna yang lebih bold seperti merah anggur dan fuscia. Ternyata setelah memakai Lip Matte Cream ini, bibir saya tidak terlihat pucat lho.
Kemasan Elegan dan PraktisLip Matte dari Madezein ini baru diluncurkan pada November 2019 dan langsung memberikan banyak varian warna yang cantik-cantik. Walaupun termasuk brand baru, produknya sudah mengantongi izin BPOM. Pertama kali melihat bungkusnya, saya langsung kagum. Kardus luarnya berwarna hitam dengan font tulisan yang elegan. Lalu wadah lip matte terbuat dari kaca ringan tembus pandang. Praktis untuk disimpan di dalam dompet atau pouch khusus make up.

Selain itu, Lip Matte Cream ini tutupnya mudah dibuka. Karena bentuknya cream, tentu saya tidak perlu takut ada kejadian menjengkelkan semacam lipstik patah karena kurang tepat menutupnya sampai terpencet tutup atau jatuh di lantai.
Long Lasting Color dan Lembut di BibirSaya suka bereskperimen dengan lipstik. Saya sempat takut terlihat pucat ketika memakai lip matte ini karena terbiasa memakai warna merah atau pink yang lebih bold. Ternyata warna cokelatnya kalem di bibir namun tidak membuat warna bibir terlihat pucat. Cocok dipakai buat kalian yang kurang suka warna lip matte terang dan tidak ingin terlihat polos tanpa warna.

Cukup sekali pulas untuk tiap bibir, lalu oles pelan-pelan sampai merata. Sewaktu dipakai minum juga tidak meninggalkan bekas di gelas. Saya pakai makan juga tidak cepat lenyap warnanya. Memakai Lip Matte Madezain tidak butuh tambahan lip balm, bibir saya juga tidak kering. Kandungan Vitamin E, moisturizer, dan Emollient di dalam produknya bisa melembabkan bibir dan memberi nutrisi. Oya, sesuai info di akun Instagramnya, lip matte ini bisa dipakai wudu juga.

Nah supaya lebih jelas bagaimana hasilnya di bibir saya, coba cek foto bibir saya dalam jarak dekat ini.

Jika membaca kandungan zat di bagian bungkus luarnya, ada Methicone, Jojoba Esters, Copernicia Cerifera Wax, Isopropyl Titanium Triisostearate, dan Acacia Decurens Wax yang disebut sebagai Emollient. Emollient ini penting agar bibir lebih lembap dan kenyal karena bisa mengisi celah kerak di sel kulit bibir.
Lip Matte Cream Madezain No.06 ini cocok dipakai untuk kerja, kuliah atau hang out santai bersama kawan. Cek varian produknya di Instagram official @madezein.official dan bisa lakukan pemesanan sesuai petunjuk. Be simple and beautiful!
Published on December 29, 2019 05:46
December 23, 2019
Hari Ibu, Bukan Mother's Day

22 Desember baru saja berlalu. Dan hingar-bingar kawan-kawan di media sosial mengucapkan selamat untuk ibu mereka masing-masing, menghiasi beranda saya. Saya pun tahun lalu mengucapkan Selamat Hari Ibu kepada Mama, namun tahun ini tidak. Kenapa? Karena esensinya, Mama berhak mendapat ucapan terima kasih tiap hari, dan 22 Desember itu hakekatnya hari untuk perjuangan perempuan Indonesia, tak hanya tertutup untuk para ibu yang sudah melahirkan buah hatinya.
Salah kaprah ini menjadikan Hari Ibu dipersempit maknanya. Untuk memperingati Hari Ibu, banyak sekolah yang menyelenggarakan acara berkesenian dan berpakaian tradisional. Lalu di sisi lain, mendorong perempuan hanya memaknai dari segi tugas tradisionalnya saja. Apakah perempuan yang belum menikah tidak berhak mendapat ucapan Selamat Hari Ibu? Apakah seorang istri yang tidak memiliki keturunan (baik yang belum diberi rezeki maupun memutuskan childfree) juga tidak layak mendapat semangat di Hari Ibu?
Marilah menilik sejarah dan meluruskan kembali niat berkembang serta berdaya di Hari Ibu.
Sejarah Kongres PerempuanPresiden Soekarno meresmikan 22 Desember sebagai Hari Ibu di bawah Keppres RI No. 316 tahun 1959, di peringatan ulang tahun ke-25 Kongres Perempuan Indonesia 1928. Kongres Perempuan dilaksanakan sebagai bentuk semangat perempuan Indonesia untuk meningkatkan kesadaran berbangsa serta bernegara (dilansir di Wikipedia).

Kongres dihadiri tiga puluh organisasi wanita dari 12 kota baik Jawa dan Sumatra. Sebenarnya sejak tahun 1912 organisasi wanita sudah berdiri dan semangat mereka terinspirasi dari para pahlawan perempuan abad 19, sebut saja RA Kartini, Martha Christina Tiahahu, Cut Nyk Meutia, Dewi Sartika, dll. Jika menilik sejarah yang melatarbelakangi semangat didirikannya organisasi dan terakumulasi diselenggarakannya Kongres Perempuan ini menunjukkan jika Hari Ibu bukanlah sekadar seremonial untuk para ibu kandung kita, melainkan untuk keberdayaan dan kesadaran perempuan akan hak dan kewajibannya.
21 April yang ditentukan Presiden Soekarno sebagai Hari Kartini untuk mengenang masa perjuangan emansipasi wanita mendapat protes dari beberapa kalangan. Mereka yang kontra dengan Hari Kartini berpendapat jika Kartini hanya berjuang di lingkup daerahnya saja yakni Rembang dan terlalu dekat dengan tokoh Belanda yang notabene menjadi penjajah. Tokoh perempuan lain seperti Cut Nyak Dien juga berhak mendapat apresiasi. Maka untuk mengakomodasi penghargaan pada pahlawan-pahwalan perempuan lain, presiden mengemukakan bahwa Hari Ibu Nasional pada 22 Desember (sumber di Wikipedia).
Jangan Hanya Meyakini Tanpa Perenungan DiriSetelah tahu sejarah dan latar belakang Hari Ibu milik kita, sudah selayaknya kita juga memberi selamat untuk diri sendiri. Sebagai perempuan apakah kita sudah berkontribusi sebaik mungkin sesuai peran, profesi dan kesempatan yang kita punya?

Ibu rumah tangga berperan mendidik generasi penerus bangsa sebaik mungkin, Ibu Guru mendidik muridnya, seorang pegawai perempuan juga bekerja sebaik mungkin unuk memenuhi nafkah dirinya serta keluarga, Ibu Ustadzah memberikan pendidikan agama di lingkungannya, serta para perempuan yang tak hanya dipandang dari fungsi seksualitasnya melainkan penghargaan sebagai manusia, bukannya makhluk kelas dua.
Perempuan rawan saling mencibiri sesamanya soal kecantikan, kekayaan, bahkan semacam seorang perempuan belum menikah atau belum punya anak pun tak luput dari cibiran. Perempuan seharusnya saling mendukung sesamanya. Sinergi perempuan inilah yang diajarkan oleh para pendahulu kita di Kongres Perempuan.
Jadi mulai sekarang jangan hanya mengucapkan Selamat Hari Ibu untuk ibu yang melahirkan dan membesarkan kita. Hari Ibu adalah hari kita bersama, dari perempuan dan untuk perempuan Indonesia.
Published on December 23, 2019 19:39
December 17, 2019
Podcast: Resolusi Haruslah Terukur Bukan di Awang-awang

Menjelang akhir tahun biasanya banyak bertebaran status dan juga foto yang menggambarkan perjalanan selama satu tahun. Rangkaian daftar impian atau resolusi yang tercapai atau belum tercentang lalu diucapkan kembali di bulan Desember sebagai evaluasi.
Banyak yang lalu membuat resolusi untuk tahun 2020, malah ada gurauan jika resolusi tahun depan adalah melanjutkan resolusi tahun ini yang masih tertunda. Kalau saya sebelumnya juga sering mengalami hal yang sama, sampai akhirnya mengenal cara membuat Goal Setting dan tahu apa yang bisa diukur dan hal mana yang berada di luar kuasa kita. Dan 2 tahun ini, banyak kejutan karena sebagian besar resolusi bisa tercapai. Resolusi juga butuh strategi.
Ingin tahu cerita saya? Dengarkan di Wordholic Podcast akun 'Reffi_D' yang bisa diakses di Anchor, Apple Podcast, Spotify atau klik link ini untuk mendengarkan.
Published on December 17, 2019 17:58
December 15, 2019
Hari terakhir Penuh Keceriaan (Last Day Trip KL Day 3)

Akhirnya sampai juga di hari terakhir jalan-jalan di Kuala Lumpur. Di hari ketiga ini saya bersyukur karena bisa bangun pagi dengan segar setelah kaki rasanya capek dan mau lepas karena kebanyakan dipakai berjalan. Saya dan Lita berdiskusi dulu mau jalan-jalan ke mana paginya sebelum kita check out lalu ke bandara karena jam terbang kembali ke Surabaya adalah pukul 16.30.
Karena kami memang tidak memesan kamar dengan layanan breakfast, tentu saja setelah mandi pagi saya dan Lita jalan ke area belakang hotel untuk mencari sarapan. Di sinilah kami tahu jika hanya perlu lima menit jalan kaki untuk sampai Fahrenheit Mall. (Baca Juga: Trip KL Day 2 )
Setelah beberapa menit berjalan, kami sampai di sebuah warung yang baru buka. Warung itu menjual nasi goreng dan ada label halalnya. Ternyata nasi gorengnya belum buka, jadi kami putuskan untuk sarapan roti canai khas India. Yang menjual adalah orang India yang Bahasa Inggrisnya lumayan agak sulit dipahami karena masih tercampur aksen khasnya. Untung saya bisa berkomunikasi setelah beberapa kali menanyakan apa maksud si bapak penjual.

Meskipun di jam ponsel yang sudah disetting sesuai dengan waktu di Kuala Lumpur menunjukkan pukul 6, langit masih gelap karena selisihnya satu jam sama Waktu Indonesia Bagian Barat. Di jam segini sudah banyak orang-orang berjalan kaki menuju tempat kerjanya masing-masing. Selama di sini, fenomena orang-orang berjalan kaki ini membuat saya kagum. Di Sidoarjo dan Surabaya kebanyakan orang menggunakan sepeda motor dan mobil jika ingin berangkat kerja. Pagi-pagi wajar sekali jika terdengar suara klakson di mana-mana.
Angkutan umum di Kuala Lumpur termasuk cukup rapi. Pengguna sepeda motor tidak sebanyak di kota saya. Orang-orang berpakaian rapi turun dari bus kota lalu jalan agak jauh dari jalan raya bukan menjadi pemandangan aneh di Kuala Lumpur. Selesai sarapan saya berjalan lagi ke arah jalan utama Bukit Bintang dan mengambil beberapa foto dengan latar pagi hari. Setelah agak siang, kami pun memesan taksi Grab untuk menuju destinasi berikutnya yang baru diputuskan saat kami sarapan.
Jalan Alor Street Art
Harusnya sih saya tulis ini di hari kedua tetapi karena lupa jadi saya sisipkan di sini. Street Art di Jalan Alor ini adalah gang yang isinya bangunan dan dinding yang dicat warna-warni. Banyak mural unik yang menjadi tempat asyik untuk difoto. Tetapi areanya tidak terlalu luas jadi saya hanya memotret bangunan-bangunan bagusnya.





Berkunjung Ke Royal MuseumNah awalnya saya sempat ingin pergi ke pagoda begitu, tetapi melihat jaraknya yang lumayan sementara saya dan Lita masih mau membeli oleh-oleh, maka saya mencari lokasi lain yang menarik untuk dikunjungi di Kuala Lumpur. Saya menemukan tempat bagus yang sepertinya masih jarang dieksplor kawan-kawan lain yang pernah ke Kuala Lumpur, bahkan Lita saja yang setahun lalu datang kemari juga baru tahu adanya museum ini.

Royal Museum atau nama lainnya Muzium Diraja adalah istana lama Yang Dipertuan Agung, sultan utama di Malaysia. Terletak di Jalan Syed Putra dan memiliki luas 50,000 meter persegi. Sesampainya di sana masih pukul 8 pagi, jadi saya dan Lita menunggu di depan gerbang selama sejam sampai pukul 9 waktunya buka. Mata saya langsung terbelalak kagum karena bagian halaman depannya bisa dipakai main bola atau main golf. Gulung-gulung pakai dress buat rekaman video klip juga bagus (hahaha, oke imajinasi saya kadang terlalu liar).
Menurut Wikipedia, istana ini mulanya dibangun oleh seorang miliarder keturunan Cina bernama Chan Wing pada 1928. Lalu pada masa pendudukan Jepang di tahun 1942-1945, istana megah ini dijadikan tempat tinggal gubernur Jepang untuk Kuala Lumpur. Akhirnya pada tahun 1957, bangunan direnovasi lalu dijadikan tempat tinggal Yang Dipertuan Agung bersama keluarganya. Jadi baru di sini saya tahu jika Malaysia terbagi menjadi beberapa negara bagian yang dipimpin Sultan. Nantinya tiap 5 tahun sekali akan dipilih secara bergantian siapa yang selanjutnya menjadi Yang Dipertuan Agung untuk memimpin seluruh wilayah Malaysia.
Selain halaman yang cantik dan luas, saya suka dengan desain bangunannya yang mirip bangunan ala Turki dan sentuhan Eropa. Ada bagian-bagian atap berbentuk kubah dan taman bunga yang dirawat cantik. Pengunjung dewasa hanya perlu membayar 10 ringgit. Sandal dan sepatu dilarang dipakai di dalam istana yang kini menjadi museum ini. Dan kami dilarang mengambil foto di bagian dalam. Ada banyak CCTV terpasang di dalam bagian museum. Jadi saya hanya bisa mengambil foto di luar bangunan.
Untuk pertama kalinya saya memasuki bekas tempat tinggal seorang sultan. Bangunan yang terbagi dari ruang tamu, kamar kerabat, dapur, perpustakaan, kamar pribadi permaisuri dan Yang Dipertuan Agung, pun bisa dilihat. Suhu udara sejuk karena di dalam gedung terpasang AC di mana-mana. Banyak foto-foto lama dari Yang Dipertuan Agung yang pertama serta kunjungan diplomatik seperti foto Putri Diana digantung di dinding istana. Sentuhan warna emas dominan memberi kesan mewah. Desain interior juga sangat elegan. Beberapa bagian terkesan feminin dengan sentuhan warna merah muda dan ungu karena permaisuri yang mendesain.
Aslinya tangan gatal ingin diam-diam memotret buat kenang-kenangan tanpa diposting di medsos, tetapi daripada nanti kena masalah jadi saya urung melakukannya.
Oleh-Oleh di Petaling StreetNah jalan-jalan terakhir kami ke Petaling Street. Di sini saya membeli gantungan kunci 12 buah untuk keluarga dan kawan kantor. Lalu saya diajak Lita mampir ke sebuah supermarket untuk membeli cokelat. Saya kalap belanja beberapa cokelat buatan Malaysia untuk diri sendiri dan keluarga. Di Petaling Street juga banyak dijual souvenir, tetapi saya hanya memilih gantungan kunci karena bahan kaosnya panas. Di Indonesia juga banyak kalau mau.
Berakhir sudah liburan tiga hari saya bersama Lita di Kuala Lumpur. Saya bahagia dan bersyukur sebab bisa juga ke luar negeri pada akhirnya, hehehe. Di sini saya sempat berbincang dengan salah satu TKW asal Probolinggo yang baru setahun bekerja. Katanya tiap malam dia main kucing-kucingan dengan polisi setempat agar tidak ditangkap. Izin kerja legalnya sudah habis dan masih ada kontrak 5 tahun lagi.
Perjalanan ke tempat baru selalu menambah wawasan dan membuat hati hangat ketika berinteraksi dengan masyarakat setempat. Semoga tahun depan saya bisa menjelajah ke tempat lain lagi. Eh, saya sudah pesan tiket berangkat sih di bulan April. Semoga rencana saya dan Lita bisa lancar tahun depan. Happy traveling!
Oya, saya juga sudah membuat video sederhana perjalanan awal saya sampai selesai di Youtube. Jangan lupa klik like dan subscribe ya. Mohon maaf jika videonya amatiran banget :D Klik di sini untuk melihat videonya.
Published on December 15, 2019 02:20
December 7, 2019
4 Cara Berkembang Bersama Komunitas yang Disuka

Pernah mendengar idiom,”Jika ingin berbau harum, maka bergaullah dengan penjual minyak wangi?” Idiom atau pepatah tersebut memiliki arti bagaimana kita seharusnya bergaul. Memang tidak dipungkiri, jika kualitas pribadi seseorang seringkali dinilai dari lingkungan pergaulannya. Misalnya, kita berteman dengan anak-anak muda yang hobi keluyuran malam hari pulang pagi, meskipun kita tidak ikut-ikutan, orang lain akan menilai diri kita berkelakuan sama dengan kawan-kawan kita.
Bergaul adalah salah satu kebutuhan dasar manusia sebagai makhluk sosial. Setelah usia beranjak dewasa, teman dan lingkungan pergaulan akan memberi banyak pengaruh lebih kuat dibanding keluarga. Saya tidak akan berbicara mengenai bagaimana seharusnya orang tua mengarahkan anak-anaknya, di sini saya hanya ingin berbagi tentang bagaimana menjadi anak muda yang berkualitas positif dengan lingkungan dan komunitas yang tepat.

(Source: Pexels by Brett Sayles)
Selain menuntut ilmu dan mencari uang untuk membiayai kehidupan, generasi muda sudah seharusnya memiliki passion dalam bidang kegemarannya. Kita tidak harus memiliki keahlian spesial agar dikenal banyak orang. Kenali diri dan kesukaan kita dan carilah komunitas yang bisa mendukungnya.
Tidak masalah jika Anda pecinta travelling, skateboard, membaca buku atau bus misalnya. Justru dengan bergabung di sebuah komunitas yang sepaham dengan bakat minat, akan menumbuhkan kepercayaan diri kita. Berikut ini beberapa tips sederhana agar kita memilih komunitas yang tepat.
Gali Hobi dan Potensi

(Source: Pexels by Pixabay)Hobi atau passion adalah hal positif yang bisa kita tekuni tanpa peduli biaya yang dihabiskan dan mampu menjadi pembunuh kebosanan kita di saat senggang. Temukan satu atau dua, lalu cari komunitas yang sesuai. Jangan gegabah mengikuti banyak komunitas agar kita fokus.
Jangan hanya sebuah tren, lalu kita ikut-ikutan masuk demi konten Instagram atau medsos lainnya. Sah-sah saja belajar banyak hal baru, namun apakah kita benar-benar butuh hal itu sekarang? Apalagi jika Anda termasuk orang yang sibuk di pekerjaan dan keluarga.
Temukan Komunitas di Media Sosial

(Source: Pexels by Kaboompic)Setelah mengetahui minat dan bakat, coba buka internet dan search nama komunitas yang sesuai dengan diri kita. Media jejaring sosial seperti Facebookdan Twitter juga menjadi basis komunitas yang potensial.
Seperti saya yang sangat menyukai buku dan menulis, maka saya mengikuti dua komunitas menulis yang dekat dengan tempat tinggal. Jarak juga menjadi faktor yang penting serta akses kita untuk bisa mengikuti pertemuan rutinnya juga perlu dipertimbangkan.
Komunitas Daring Juga Sama Kerennya

(Source: Pexels by Pixabay)Jika Anda hanya mempunyai waktu sangat terbatas karena kondisi tidak memungkinkan, contohnya ibu rumah tangga dengan anak bayi, bisa saja temukan komunitas positif yang basis gerakannya secara daring atau online.
Sekarang sudah banyak bermunculan komunitas yang bisa menjadi wadah berbagi ilmu sambil menjadi sarana mendukung peserta satu sama lain. Misalnya komunitas membaca buku yang mendorong anggotanya untuk membaca buku seminggu satu kali lalu tiap minggu diminta posting di Instagram. Ada daftar keanggotaan, bedah buku daring bersama penulis keren hingga sesekali tantangan membaca buku tertentu. Otak terisi sekaligus menambah kawaan yang punya minat serupa sangatlah asyik, bukan?
Menjadi Pembawa Pengaruh Bagi Teman Lainnya

(Source: Adobe Stock by designer491)
Mengajak kawan-kawan lain dengan minat serupa untuk bergabung dalam komunitasjuga penting. Perlu diingat, meski kita sudah tergabung dalam komunitas yang menyenangkan, kita harus tetap menjadi diri sendiri.
Bergabung dalam komunitas tujuan utamanya untuk saling tukar informasi, melakukan kegiatan positif bersama kawan-kawan komunitas, refreshing dan lain-lain. Jangan menjadi follower yang mengganggu kenyamanan orang lain. Hargailah peraturan tak tertulis di sebuah komunitas. Jika memang merasa tidak nyaman, segera keluar dengan cara baik-baik dan tetaplah menjalin komunikasi yang baik dengan kawan-kawan komunitas.
Siapa tahu dengan mengenali bakat dan minat serta bergabung di komunitas yang tepat, maka kemampuan kita akan semakin mengkilap. Menggalang dana untuk bencana alam, mengikuti lomba keterampilan, atau sekadar bertukar informasi penting tentang hobi adalah nilai plus dalam sebuah komunitas.
Published on December 07, 2019 07:27
November 26, 2019
Demi Buku Kami Nyasar Lagi (Trip KL Day 2)

Hari kedua perjalanan di Kuala Lumpur berlanjut dengan lebih happy. Setelah puas makan jajanan di Jalan Alor sampai pulang ke hotel jam 1 pagi, saya dan Lita bangun dan mencari sarapan pada jam 6 pagi. Cuaca sudah sangat cerah namun kendaraan masih belum terlalu padat. Sewaktu kami ke sana, saya rasa cuacanya tidak sepanas di Surabaya. Apa lagi di ponsel menunjukkan jika suhu udara saat pukul 9 pagi berada di kisaran 27 derajat. Oh my God, pantas saja kepala saya seperti terpanggang tiap kali ada kegiatan di Surabaya. 36 derajat celcius itu bukan panas kaleng-kaleng.
Lita sempat mengajak saya jalan kaki menuju KLCC Park, tempat pertama yang akan kami datangi pagi ini. Di sana ada beberapa makanan yang bisa dicoba. Masalahnya, perut saya ini sudah memiliki jadwal sendiri. Makan itu lebih penting dibandingkan belanja, itu prinsip saya selama ini, hahaha. Jadi kami putuskan untuk mencari sarapan di kawasan Jalan Imbi yang berjarak sekitar enam menit jalan kaki dari hotel. Eh banyak burung gagak beterbangan di Jalan Imbi lho.
(Baca Juga: KL Trip Day 1)
Sarapan kali ini kami putuskan makan di restoran bernama Sun Fong Bak Kut Teh. Tempatnya bersih dan reviewnya cukup bagus di Google. Untuk menghemat uang ringgit, saya yang akan membayar sarapan dengan kartu debit. Karena masih baru buka, menunya pun terbatas. Karena ingin makan yang hangat-hangat, saya dan Lita memilih sepanci sup jamur sehat dan juga sepiring tofu. Makanan lainnya mengandung daging, ya saya paling tidak bisa makan daging berkuah kecuali bakso.


Rasa masakannya enak dan membuat hangat di perut. Sebagai penyuka masakan cina (betewe, kayanya saya bisa makan apa saja kecuali daging-dagingan, hehehe), sup jamurnya memiliki tekstur asli yang kenyal juga ada semacam rasa rempah-rempah di mulut. Tidak pedas tetapi pas.
Setelah kenyang, saya siap-siap membayar. Kebodohan pertama terjadi. Dompet saya ketinggalan di hotel. Jelas panik dong, masa makan di negara orang lupa bayar? Untungnya Lita membawa kartu debitnya dan menyelamatkan muka kami.
“Makanya dari sebelum kita berangkat, aku ingetin kamu bolak-balik buat bawa paspor, dompet, de el el,” omel Lita yang meskipun sudah berteman dengan saya belasan tahun sejak SMU masih heran dengan kepikunan saya. “Kamu itu pintar, bisa inget isi buku sama pelajaran, kok bisanya lupa hal-hal sepele?”
LOL, ya mungkin otak saya ini kepenuhan jadi sistem daya ingat jangka pendeknya terbatas. Perjalanan pun dilanjutkan ke KLCC Park. Kami naik taksi Grab karena perut kekenyangan. Setelah duduk di dalam taksi, ternyata jarak ke KLCC Park sekitar 20 menit. Untung kami tidak jadi jalan kaki sebelum sarapan, bisa-bisa di tengah perjalanan saya berubah emosi seperti Hulk karena kelaparan.
KLCC Park, Spot Wajib Berfoto dengan PetronasMenjejakkan kaki di KLCC Park langsung memancing kekaguman saya. Selain tamannya yang luas dan bersih, orang-orang bebas lari pagi bersama kawan-kawannya atau lari sendirian. Tidak ada pedagang kaki lima di dekat taman. Memang saya dan Lita datang di hari Minggu pagi, jadi lumayan deh sambil sekalian cuci mata melihat bule-bule ganteng sedang berolahraga.

Selain penataan yang rapi, dari sisi informasi untuk pengunjung pun KLCC Park memberikan informasi yang lengkap. Ada papan berisikan peta lokasi dan nama-nama spot yang ada di taman. Untuk mendapat spot foto terbaik bersama Menara Petronas yang menjadi ikon Kuala lumpur, maka di KLCC Park inilah yang paling oke. Masuk ke tamannya gratis plus bisa menghirup udara bersih. Saya juga sempat merekam podcast dengan Lita, mengisi konten itu wajib meski sedang berlibur.
Asyiknya Menjelajah Bangunan Bersejarah di Dataran MerdekaTujuan berikutnya tentu saja Dataran Merdeka dong. Sejak sebelum berangkat ke Kuala lumpur, saya kesengsem sama tempat ini. Di tiap perjalanan, tentu saja saya harus mampir ke sebuah situs bersejarah entah itu candi, museum atau ke bangunan historis seperti yang ada di Dataran Merdeka. Dan piranti wajib yang harus kita bawa saat ke sana adalah topi atau payung, kacamata hitam, serta jangan lupa sunscreenpada tubuh yang terpapar panas matahari. Dataran Merdeka sangatlah panas. (Baca Juga: Candi Cetho, Cagar Budaya Indonesia Penuh Pesona)
Di kawasan ini berdiri beberapa bangunan bergaya Eropa karena di abad ke-19 digunakan sebagai pusat pemerintahan Inggris pada masanya. Yang menjadi ikon tentu saja bangunan yang paling besar yaitu Istana Abdul Samad. Dulunya istana ini dikenal dengan sebutan New Government Offices. Bangunan didirikan untuk menjadi kantor peerintahan Britania di Selangor setelah sebelumnya dipusatkan di Klang.

Pembangunan Istana Abdul Samad dimulai pada tahu 1893, namun pada tahun 1974 pusat pemerintahan Selangor dipindahkan di Shah Alam. Gedung ini pun berubah nama menjadi Gedung Sultan Abdul Samad, sesuai nama Sultan Selangor yang menjabat di masa bangunan ini didirikan. Karena komplek pemerintahan, maka bangunannya tidak hanya satu. Kita bisa berkeliling menikmati cantiknya bangunan-bangunan lain yang berdiri di sampingnya.


Jalan-jalan di sini rasanya saya seperti sedang di zaman Eropa abad pertengahan. Apalagi tak lama kemudian lewatlah petugas setempat yang keliling menaiki kuda. Di sini kita juga bisa masuk ke KL City Gallery. Lalu ketika saya terus berjalan memutari Dataran Merdeka, saya menemukan Perpustakaan Kuala Lumpur. Spontan deh saya ingin masuk ke sana dan berfoto bersama buku saya yang paling baru, Red Thread.


Dari luar bangunan perpustakaan juga didesain dengan desain ala Eropa, tetapi saat masuk ke dalam desain interiornya cenderung minimalis modern. Dari lobi saja hawanya langsung sejuk karena AC, wuih bersyukur deh karena kepala saya mulai pusing karena terkena panas matahari.

Terdiri dari beberapa lantai, Perpustakaan Kuala Lumpur ini tak hanya menyediakan koleksi buku lokal dan impor, ada juga lokasi khusus untuk buku anak-anak dan juga ruangan untuk bersantai. Dari sinilah akhirnya saya ingin berburu buku impor meskipun di awal keberangkatan sempat ingin tidak menambah buku, hehehe
Kelayapan Sampai Nyasar Demi BukuBerbekal Google, saya menemukan lokasi toko buku baru dan bekas yang hits di Kuala Lumpur. Saya mencari yang dekat daerah Bukit Bintang. Akhirnya saya menemukan sebuah toko buku di pertokoan bernama Pasaraya. Saat saya menanyakan kepada driver Grab, mereka tidak banyak tahu soal toko buku. Wajar sih karena namanya wisatawan kok malah mencari toko buku.
Saya dan Lita berjalan ke Pasaraya tetapi mulai ragu. Akhirnya saya bertanya kepada securitynya. “Toko buku yang dimaksud sudah tutup. Jalan kaki saja ke seberang sana, dekat Starbuck lalu ke bawah ada toko buku,” kata Bapak Security dalam bahasa melayu.
Menahan perut yang mulai lapar dan cuaca makin panas, saya berkeliling dengan Lita. Apes, tidak ada toko buku di manapun. Kami pun berniat mencari makan siang, sampai akhirnya terdampar di restoran cepat saji lagi karena kehabisan tenaga untuk jalan kaki. Mata saya lalu menangkap bangunan tiga lantai yang bagian atasnya bertuliskan Pusat Buku Manjusri. Dengan semangat saya mengajak Lita ke sana sesuai makan.
Sesampainya di sana, malah bingung lagi. Tidak ada pintu masuk untuk sampai ke lantai atas. Di bagian bawah hanyalah toko yang berjual pernak-pernik. Seorang bapak tua lalu menanyakan saya hendak kemana, saya pun menunjuk atas. Ia mengajak saya dan Lita naik lift yang juga terlihat tua, posisinya nyempil di antara deretan toko di bawah.

Pusat Buku Manjusri nyempil di sisi kanan foto
Nah, kekonyolan ini baru dimulai. Sebelum kami ke atas, masuklah seorang biksu muda yang menyapa si bapak dan juga cewek manis yang ikut kami. Mereka bertiga bicara dalam bahasa mandarin yang tentu tidak saya pahami. Keluar dari lift, bau dupa pekat menyambut hidung. Waduh, apa saya salah masuk toko?
“Buset, ini toko khusus jual buku buat pemeluk Buddha, Ref. Banyak patung dewanya, hihihi,” bisik Lita geli apalagi dia mengenakan hijab. Jadi pasti aneh kalau ikut masuk ke toko ini.
Karena tidak mau terlihat salah masuk, saya berkeliling sebentar. Kebanyakan buku yang dijual pun dalam kanji mandarin, mana bisa saya baca? Kalau dalam bahasa Jepang sih masih bisa. Setelah terkikik-kikik geli, kami putuskan turun. Saya melihat ada yang janggal di urutan lantai lift.
“Biasanya kalau dalam kepercayaan Jepang, angka 4 yang dibaca shiitu sama dengan angka sial karena ejaannya juga bermakna kematian. Di sini malah dipakai,” kata saya. Pusat Buku Manjusri awalnya berada di lantai 3, namun kata si bapak tua, lift sering macet makanya sekarang berada di lantai 4.
Mungkin karena keisengan mulut saya, lift mendadak berhenti dan terbuka sebelum mencapai lantai paling dasar. Horor deh, apalagi setelah terbuka saya jadi ingat lorong kos-kosannya drakor Stangers From The Hell, di mana Lee Dong Wook menjadi dokter gigi psikopat. Saya menekan pintu lift. Keluar dari sana, saya dan Lita merasakan kepala yang berat dan agak berputar. Apakah karena pengaruh dupa atau tempat sempit, tidak jelas juga.

Kami kembali ke hotel dulu untuk istirahat sebentar. Kami berencana makan malam di daerah Pavilion. Toko buku itu kami temukan di mal Fahrenheit setelah berputar setengah jam karena driver Grab sama-sama tidak tahu. Sempat celingukan juga ternyata toko buku berada di dalam, bukannya di luar. Asyik dapat dua buku impor dengan harga sangat miring. Makan malam kami pun sangat hangat karena di sebuah restoran masakan Arab yang kami kunjungi, saya dan Lita mendapat setangkai mawar merah dari adik kecil yang tampan dan imut.
Lucunya, ketika keesokan paginya kami mencari sarapan pagi ternyata kami baru tahu jika mal Fahrenheit bisa ditempuh hanya dalam waktu 10 menit dari hotel dengan jalan kaki. Saya dan Lita tidak berkeliling di belakang hotel makanya bisa bego seharian demi toko buku. Petualangan hari kedua memang melelahkan, tetapi saya jadi mendapatkan banyak kenangan berkesan lagi. Perjalanan kami di hari ketiga juga tidak kalah asyik nantinya.
Published on November 26, 2019 15:30
November 19, 2019
Candi Cetho, Cagar Budaya Indonesia Penuh Pesona

Jalan-jalan atau traveling adalah kegiatan yang saya sukai. Hal ini menjadi aktivitas favorit selain menulis, membaca, dan menonton film. Kedua orang tua saya juga gemar menyisihkan waktu untuk berwisata keluarga. Dan mengunjungi cagar budaya Indonesia adalah salah satu tempat yang sering masuk di dalam daftar tujuan kami.
Ketika saya beranjak dewasa, rasa cinta pada tempat-tempat bernilai sejarah itu makin mengakar kuat. Bahkan sampai teman yang sering traveling bersama pun sampai hapal.
“Kalau ngajak kamu, selain mencari tempat yang alamnya bagus atau ada ketinggian, kamu suka tempat yang unik dan ada nilai sejarahnya,” kata mereka. Itu tepat sekali.
Lalu saya bertanya pada teman-teman mengapa mereka tidak terlalu tertarik untuk datang ke museum atau candi. Sebagian menjawab karena penampakannya sama saja, hanya berupa tumpukan batu. Inilah kesedihan kedua yang saya rasakan selain tangan-tangan usil yang merusak cagar budaya secara perlahan. Saya takut cagar budaya Indonesia mulai memudar di ingatan.

Ada tindakan yang bisa dilakukan oleh masyarakat—termasuk kita—agar cagar budaya ini tetap lestari. Semua itu tidak butuh tindakan muluk-muluk, hanya butuh konsistensi. Dan semua itu bermula dari keluarga serta diri sendiri.
1. Topik Obrolan tentang Cagar Budaya di KeluargaSaya setuju jika rasa cinta pada cagar budaya itu harus dipupuk sejak dini. Beruntungnya saya tumbuh di tengah keluarga yang tak hanya suka jalan-jalan tetapi juga senang mengajak dialog bergizi, seperti obrolan tentang sejarah dan peninggalannya. Papa adalah penggemar pelajaran Sejarah sejak masih sekolah. Beliau juga hobi membaca dan fans berat cerita wayang. Otomatis sejak kecil saya dan adik tidak asing dengan musik gamelan, menonton ludruk di DVD, dan mendengar dongeng tentang legenda di dalam negeri.

Ketika sedang membicarakan soal mitos dan legenda itu, Papa juga menunjukkan peninggalan bersejarah di dalam buku atau foto. Contohnya saja saat saya bertanya tentang Kerajaan Majapahit sewaktu masih SD, Papa menceritakan kegagahan Gajah Mada dan Raja Hayam Wuruk sambil menunjukkan di mana tempat sisa kejayaan Majapahit. Rasa cinta beliau dituturkan dalam cerita sehari-hari lalu sesekali kami diajak ke tempat bersejarah untuk merasakan atmosfernya.

Perjalanan terakhir kami di tahun 2019 adalah pada libur lebaran lalu. Saya belum pernah berkunjung ke Candi Cetho dan mendapat informasi dari rekan kerja jika daerahnya sejuk serta indah. Papa pun langsung mencari tahu soal candi itu. Jenis gaya candinya yang berbeda style dengan candi hindu lain, malah seperti peninggalan bangsa Sumeria, membuat kami tertarik. Candi ini berlokasi di Desa Gumeng, Karanganyar, Jawa Tengah.
Candi ini diperkirakan dibangun di abad ke-15 dan baru ditemukan oleh seorang sejarahwan Belanda bernama Van de Vlies pada 1842. Penggalian dan pemugaran pun dilakukan. Suhu udara dingin serta diselingi kabut menambah pesona eksotis Candi Cetho. Dari sini kita juga bisa mampir ke Kebun Teh Kemuning.

Saat sampai di tempat menginap, Papa menunjukkan pada saya wayang mainan Dasamuka atau Rahwana yang dipajang di sana. “Saat kita mau masuk Candi Cetho, kita diminta memakai sarung hitam putih. Ini sarung yang dipakai Anoman. Di bawah daerah Candi Cetho ada Candi Kethek kan? Bisa jadi tempat ini punya legenda Anoman yang melawan Dasamuka dan petilasannya termasuk di sini.” Memang Candi Kethek adalah kawasan candi yang dipenuhi monyet.

Karena ketertarikan orang tua itulah acara liburan tidak hanya menjadi ajang foto-foto lalu dipajang di media sosial. Belajar dari Papa, saya berniat nanti juga akan menumbuhkan bibit kecintaan cagar budaya pada anak lewat cerita dan juga obrolan singkat kami. Sejarah bukan lagi menjadi topik yang berat atau membosankan jika dilakukan tiap hari.
2. Mengambil Peran untuk Menyebarkan Cinta Cagar Budaya Lewat SeniSebagai individu, kita bisa memilih untuk menyebarkan kecintaan lewat seni. Saya suka sekali mencatat jurnal perjalanan di dalam blog. Jadi setelah mengunjungi sebuah tempat atau situs cagar budaya, pengalaman itu saya tulis semenarik mungkin dengan foto yang mewakili.
Bagi Anda yang suka fotografi pun harus menyempatkan untuk mengambil angle terbaik dari cagar budayanya. Atau memindahkan keindahan tempatnya di dalam kanvas juga termasuk dalam hal yang mengesankan. Kecintaan yang dibungkus dalam seni bernilai, mempermudah orang lain untuk mengetahui lokasi serta kecantikan cagar budayanya.

Nah, yang saya lakukan tentu menyebarkan pengalaman menjelajah Candi Cetho melalui tulisan. Saya mengirimkan catatan perjalanan selama liburan ke media daring lain selain blog pribadi. Tak hanya mendapat fee, karena dimuat di media daring yang banyak pembacanya, maka lebih banyak lagi orang yang akan tahu.

terlihat kakinya menyerupai kubus mirip candi Buddha dan Sumeria
Kerabat saya tak banyak yang tahu soal Candi Cetho, popularitasnya masih kalah dengan Borobudur dan Prambanan. Padahal tempatnya yang dingin dan sejuk karena berada di lereng Gunung Lawu, sangat eksotis jika dijelajahi. Candi ini peninggalan Raja Brawijaya, raja terakhir Majapahit. Di berbagai sumber dinyatakan jika daerah ini tempat Raja Brawijaya bertapa. Didesain untuk pemeluk agama Hindu namun uniknya bentuk candi seperti Buddha dan campuran gaya suku Maya atau Inca di Amerika Selatan.
3. Pembatasan Perlakuan pada Cagar BudayaSaat sampai di Candi Cetho ada satu hal yang membuat saya agak risih. Pengunjung di waktu liburan panjang sangat membludak hingga memenuhi area. Area bagian dalam candi tidaklah luas, jadinya momen menikmatinya pun jadi agak terganggu. Candi Cetho masih aktif digunakan sebagai tempat peribadatan pemeluk Hindu dan Kejawen, maka kesakralan itu harusnya bisa dijaga oleh pengunjungnya.

karena masih digunakan untuk beribadah pemeluk Hindu dan Kejawen
Di sini peran pemerintah setempat dan warganya harus bersinergi secara kompak dan suportif. Akan lebih baik jika pengunjung dibagi jam masuknya dan satu rombongan kecil didampingi guide dari warga setempat. Seperti yang saya alami di Museum Ullen Sentalu. Satu rombongan terdiri dari 10 sampai 15 orang bersama seorang guide lokal. Sambil berkeliling, kami diberitahu fakta sejarah barang yang dipajang di dalam museum.
Akan sangat baik sekali jika Candi Cetho memberlakukan hal yang sama. Banyak sekali hal unik yang tidak bisa didapat hanya dengan berkeliling sendiri. Saya mendengar salah satu pengunjung yang bertanya-tanya, “Ini kenapa arcanya nggak kaya candi yang lain ya? Kaya Suku Inca gitu?” Saya pun banyak tahu fakta historisnya dari Google.

terlalu ramai akhirnya area candi tidak terjaga
Dengan pembatasan jumlah pengunjung dan masuk ke dalam area candi hanya bersama guide, maka hal-hal buruk seperti vandalisme bisa lebih mudah dicegah. Pengunjung dapat wawasan baru, pengelola pun lebih mudah mengawasi. Tak masalah jika harus menunggu 15 menit sekali sampai satu rombongan berikutnya boleh masuk. Hal itu lebih baik daripada kesakralan candi terganggu karena ketidaktahuan pengunjung.
Inilah tiga hal yang bisa kita lakukan agar Candi Cetho makin dikenal publik sekaligus tetap terhindar dari perilaku tidak bertanggungjawab pengunjungnya. Semoga cagar budaya Indonesia makin lestari secara fisik maupun terpatri di dalam hati serta ingatan. Salah satu cara yang bisa kita lakukan adalah berpartisipasi pada Kompetisi "Blog Cagar Budaya Indonesia: Rawat atau Musnah!"

Published on November 19, 2019 18:12
November 16, 2019
Petualangan Diwarnai Nyasar (KL Trip Day 1)

bus menuju KL Sentral
Di awal tahun 2019 ini saya membuat rancangan resolusi termasuk mau traveling ke mana lagi. Setelah Februari 2019 bisa kembali lagi ke Semarang untuk pameran karya antologi bersama HIIB Single Fighter, saya dan Lita (sahabat sejak SMU), berpikiran untuk jalan-jalan ke luar negeri. Saya belum punya paspor, maka di bulan April paspor saya urus sendiri. Syukurlah, tanpa calo sekarang mengurus paspor sudah sangat mudah.
Tentu saja karena ini perjalanan pertama ke luar negeri, saya sangat excited. Pertama, saya akan menjelajah ke tempat yang budayanya berbeda dengan Indonesia. Kedua, saya akan bepergian lagi berdua saja dengan sahabat. Ketiga, tidak sabar untuk melakukan perjalanan yang tidak terduga. Selama ini saya berkeliling di sekitar Jawa Timur, Bali, Jakarta dan Jawa Tengah, selalu saja ada cerita berkesan untuk dijadikan tulisan. Apalagi kalau ke luar negeri kan?
(Baca Juga: Jelajah Candi Cetho, Telaga Sarangan, dan Waduk Bening Widas)
Karena masih amatiran, saya pilih Kuala Lumpur sebagai negara jujukan pertama. Kebetulan Lita sudah cukup sering ke beberapa negara Asia Tenggara, jadi saya tidak terlalu khawatir. Selain itu, warga Malaysia bahasanya cukup mirip dengan Indonesia dan saya juga lumayan pede dengan kemampuan Bahasa Inggris. Setelah berkutat hampir tiap malam, perburuan tiket murah pun bisa saya peroleh. Hore, dengan tiket 700 ribuan saya dan Lita bisa ke Kuala Lumpur PP.

Uang ringgit sudah dipesan, hotel kelas backpackerpun telah siap didatangi. Dengan penuh rasa percaya diri, kami berangkat tanggal 9 November lalu. Eh ternyata naik Citilink ke KL itu dapat makan juga. Bahagia deh buat saya yang tidak bisa telat makan ini. Senangnya lagi, radang sinusitis pun tidak ada kendala. Saya siap berpetualang selama 3 hari 2 malam di KL.
Kenyataannya Tak Semua Pakai Bahasa InggrisPesawat kami mendarat di KLIA2. Turun dari sana saya dan Lita berfoto-foto, maklum saya kan baru kali ini liburan ke luar negeri jadi masih norak, hahaha. Ternyata bagian penerimaan bagasi itu ada di KLIA1. Kami diarahkan untuk naik Autotrain. Pusing pastinya karena Lita sebelumnya langsung turun di KLIA1. Untuk mencari arah yang benar, saya bertanya pada bagian informasi di dekat pintu arrival. Oalah, ternyata walaupun memakai Bahasa Inggris, ucapan saya tidak dipahami. Setelah berbahasa Indnesia baru mereka paham. (Baca Juga: Spread Your Journey With Travelblogid)
“Kebelet pipis nih, toilet mana?” tanya saya pada Lita. Kami mencari toilet yang tertulis dalam bahasa melayu dengan nama Tandas. Ketawa ngakak sih, karena kata tandas dalam Bahasa Indonesia kan berarti habis. Mungkin maksudnya kita menghabiskan urusan buang hajat di tempat khusus, makanya disamakan dengan toilet.

Setelah berputar-putar, kami menemukan Autotrain. Kereta ini sejenis MRT yang menghubungkan KLIA1 dengan KLIA2. Setelah kami mengambil koper di bagasi, Lita mengantre untuk membeli tiket bus yang akan mengantarkan kami dari KLIA1 ke KL Sentral. Semua berjalan relatif lancar sampai apes menunggu di KL Sentral.
Di KL Sentral manusianya berjalan cepat dan tahu arah tujuan mereka. Saya dan Lita berputar-putar dengan menggeret koper untuk menemukan arah MRT yang akan membawa kami sampai ke Bukit Bintang. Setelah berputar-putar, kami menemukan mesin penjual tiket otomatis. Uang ringgit dimasukkan di dalam mesin namun tidak ada koin tiket MRT yang keluar. Kami pun mencoba lagi sampai bisa.
Tantangan pertama terlewati. Lalu kami mencari arah MRT. Lagi-lagi bertanya pada customer service pun malah nyasar. Saya dan Lita gantian bertanya pada orang yang lewat sampai kami jalan naik turun hingga menemukan MRT yang akan dituju. Lega juga akhirnya sekitar jam 6 sore pantat saya yang mulai kaku karena kebanyakan berjalan bisa duduk tenang di dalam MRT.

Perjalanan pun terasa menyenangkan diselingi canda dengan Lita. Namun perasaan saya mulai tidak enak. Jalur kereta semakin menjauhi Bukit Bintang. Saya pikir mungkin jalur ini akan memutar karena memang arahnya. Sampai akhirnya pengeras suara di dalam MRT berbunyi.
“Ini adalah tujuan terakhir.” Jadi MRT ini tidak akan berputar ke Bukit Bintang lagi, malah balik ke kandangnya. Lita yang sempat berpikir jika MRT akan jalan memutar lagi pun shock. Kami menghabiskan waktu hampir satu jam menaiki kereta yang salah. Maka dengan berat hati, sambil bibir saya mengumpat diselingi tawa dan lapar, kami ganti kereta cepat lain lalu menuju Bukit Bintang.
Kemeriahan Menghapus KesalCita-citanya saat menginjakkan kaki di Kuala Lumpur adalah makan malam di Jalan Alor. Kenyataannya asam lambung saya mulai memberontak, mulut malas ngomong, senggol bacok mode on pokoknya. Bibir manyun saya bisa terbuka lebar ketika disambut kemeriahan di area utama Bukit Bintang yang dipenuhi jajaran mal. Ada pertunjukan perkusi yang dipenuhi pengunjung.

Saya juga tersenyum melihat masyarakat multi etnis yang jalan berdampingan dengan damai. Perempuan bergamis lebar bisa santai bercanda dengan kawannya yang dari etnis tionghoa. Masing-masing kelompok menggunakan banyak bahasa asing. Anak kecil, tua muda, dan orang-orang berpakaian sesuai keinginan tanpa terlihat risih satu sama lain. Dan saya bersyukur banyak orang baik yang mau memberi jalan agar kami menemukan arah yang benar.
Setelah makan di salah satu restoran cepat saji, kami memesan taksi Grab menuju hotel. Sun Beam Hotel berada di belakang mal Fahrenheit, tetapi ada kejadian lucu yang akan saya ceritakan di hari kedua nantinya. Puas membersihkan diri dan ganti baju, kami meluncur ke Jalan Alor untuk mencoba jajanan lokal di sana.


Hari pertama ini memang luar biasa melelahkan, tetapi esoknya masih banyak kejadian yang membuat tawa kami berkembang. Malam berlanjut panjang. Saya memejamkan mata jam 2 pagi di hotel. Wow, it’s a great start!

Published on November 16, 2019 08:46