Ayuwidya's Blog, page 4
September 30, 2013
Fashion Surgery and Make Over
Step by step make over by Kenshie
Talk show abut my make over and fashion surgery
Fashion show, wadrobe by Saint Fashion
Photoooo :)
Talitha Andini (Winner Wajah Femina 2012), Adri (Saint Fashion) Kenshie (Fashion Stylist and Make Up Artist), and Me
La Codefin Kemang, September 2013
Talk show abut my make over and fashion surgery
Fashion show, wadrobe by Saint Fashion
Photoooo :)
Talitha Andini (Winner Wajah Femina 2012), Adri (Saint Fashion) Kenshie (Fashion Stylist and Make Up Artist), and Me
La Codefin Kemang, September 2013
Published on September 30, 2013 19:21
September 13, 2013
You are the one who know what makes you happy, so you decide how to get there. Don't let anyone who don't know anything direct you.
read somewhere
Published on September 13, 2013 20:09
August 26, 2013
a part of your life
“Only once in your life, I truly believe, you find someone who can completely turn your world around. You tell them things that you’ve never shared with another soul and they absorb everything you say and actually want to hear more. You share hopes for the future, dreams that will never come true, goals that were never achieved and the many disappointments life has thrown at you. When something wonderful happens, you can’t wait to tell them about it, knowing they will share in your excitement. They are not embarrassed to cry with you when you are hurting or laugh with you when you make a fool of yourself. Never do they hurt your feelings or make you feel like you are not good enough, but rather they build you up and show you the things about yourself that make you special and even beautiful. There is never any pressure, jealousy or competition but only a quiet calmness when they are around. You can be yourself and not worry about what they will think of you because they love you for who you are. The things that seem insignificant to most people such as a note, song or walk become invaluable treasures kept safe in your heart to cherish forever. Memories of your childhood come back and are so clear and vivid it’s like being young again. Colours seem brighter and more brilliant. Laughter seems part of daily life where before it was infrequent or didn’t exist at all. A phone call or two during the day helps to get you through a long day’s work and always brings a smile to your face. In their presence, there’s no need for continuous conversation, but you find you’re quite content in just having them nearby. Things that never interested you before become fascinating because you know they are important to this person who is so special to you. You think of this person on every occasion and in everything you do. Simple things bring them to mind like a pale blue sky, gentle wind or even a storm cloud on the horizon. You open your heart knowing that there’s a chance it may be broken one day and in opening your heart, you experience a love and joy that you never dreamed possible. You find that being vulnerable is the only way to allow your heart to feel true pleasure that’s so real it scares you. You find strength in knowing you have a true friend and possibly a soul mate who will remain loyal to the end. Life seems completely different, exciting and worthwhile. Your only hope and security is in knowing that they are a part of your life.”
― Bob Marley
― Bob Marley
Published on August 26, 2013 19:35
August 23, 2013
Cincin untukku
Biasanya kita begitu bahagia kalau sudah sampai sini, meski perut sudah begitu kelaparan. Ini restoran favorit kita. Biasanya aku duduk di samping kamu. Begitu biasanya, tapi hari ini bukan hari biasa. Aku sengaja memilih duduk di depanmu, kita dipisahkan sebuah meja. Kamu tahu ini janggal, terlihat di matamu.
Lalu, kamu bercerita tentang ini -itu sambil tersenyum, sesekali tertawa kecil untuk mencairkan kebekuan ini. Tentang ikan yang sering kamu ajak bicara hingga tentang dosen galak kita yang ingin kamu bunuh. Tapi ceritamu terasa hambar, padahal kamu pencerita ulung. Semua terasa hambar, bahkan makanan favorit kita hanya mampu kutelan dua sendok.
Aku tahu, kamu hanya mengulur waktu, menghabiskan waktu dengan ceritamu agar aku tak sempat bicara. Aku tahu, kamu sudah tahu apa yang ingin kubicarakan. Hingga akhirnya kamu kehabisan kata. Bukan hanya kamu... Aku yang belum bicara pun telah kehabisan kata. Habis tak tersisa ditelan kecanggungan. Aku tidak biasa, bahkan tidak pernah mengucapkan kata perpisahan padamu, karena memang tidak pernah ingin.
Jika aku bicara satu kata saja, maka air mataku yang dari tadi kutahan pasti akan jatuh. Jadi, kutarik lepas cincin perak dari jari manis tanganku. Cincin yang tidak pernah lepas sejak kamu menyematkannya di suatu hari valentine. Bukan hanya jariku yang terasa kosong, hatiku terasa dicongkel sesuatu, lalu meninggalkan luka yang perih. Sakit... kurasa aku tak mampu menahannya.
Air mataku yang akhirnya menitik tak mampu meredakan sesak yang kurasakan di dada. Aku menunduk, menyembunyikan wajahku dari orang-orang yang lalu-lalang di restoran ini. Padahal aku begitu ingin meraung, menjerit dan bertanya 'mengapa' pada Tuhan. Jarimu menyentuh pipiku. Menghapus air mata yang menitik di sana. Percuma, sentuhan jarimu justru membuat air mataku mengalir deras. "Jangan dipaksa," katamu, "mungkin belum waktunya kita berpisah."
Aku menggeleng, "Tidak pernah ada waktu yang tepat untuk berpisah. Sejak awal, harusnya kita tidak bertemu. Aku ingin berpisah sekarang, semakin lama bersamamu, aku akan semakin sulit melepasmu." Lalu, aku meletakkan cincinku ke depan tangannya yang bertaut di meja.
Kamu mengambil cincin itu dan meletakkannya ke dalam genggamanku. "Buang saja," katamu. Aku tahu kamu kecewa. "Toh, aku tidak bisa memakainya, itu kan cincin perempuan," meski begitu kamu tetap mencoba melucu. "Kamu mungkin tidak akan pernah lagi memakai cincin itu, tapi kamu tidak mungkin mencampakkan kenangan kita semudah kamu melepas cincin itu." Ia berada pada campuran emosi sedih dan marah.
"Ya, bahkan mungkin, saat orang lain memakaikan cincin lain di jariku, kenangan kita masih melekat di ingatanku," kataku. "Itu kemungkinan terburuk, tapi aku tidak takut. Aku meninggalkanmu karena Ia memanggilku kembali. Aku percaya, Ia akan memelukku dengan kasih-Nya ketika kemungkinan buruk itu terjadi," kataku.
Lalu, kamu bercerita tentang ini -itu sambil tersenyum, sesekali tertawa kecil untuk mencairkan kebekuan ini. Tentang ikan yang sering kamu ajak bicara hingga tentang dosen galak kita yang ingin kamu bunuh. Tapi ceritamu terasa hambar, padahal kamu pencerita ulung. Semua terasa hambar, bahkan makanan favorit kita hanya mampu kutelan dua sendok.
Aku tahu, kamu hanya mengulur waktu, menghabiskan waktu dengan ceritamu agar aku tak sempat bicara. Aku tahu, kamu sudah tahu apa yang ingin kubicarakan. Hingga akhirnya kamu kehabisan kata. Bukan hanya kamu... Aku yang belum bicara pun telah kehabisan kata. Habis tak tersisa ditelan kecanggungan. Aku tidak biasa, bahkan tidak pernah mengucapkan kata perpisahan padamu, karena memang tidak pernah ingin.
Jika aku bicara satu kata saja, maka air mataku yang dari tadi kutahan pasti akan jatuh. Jadi, kutarik lepas cincin perak dari jari manis tanganku. Cincin yang tidak pernah lepas sejak kamu menyematkannya di suatu hari valentine. Bukan hanya jariku yang terasa kosong, hatiku terasa dicongkel sesuatu, lalu meninggalkan luka yang perih. Sakit... kurasa aku tak mampu menahannya.
Air mataku yang akhirnya menitik tak mampu meredakan sesak yang kurasakan di dada. Aku menunduk, menyembunyikan wajahku dari orang-orang yang lalu-lalang di restoran ini. Padahal aku begitu ingin meraung, menjerit dan bertanya 'mengapa' pada Tuhan. Jarimu menyentuh pipiku. Menghapus air mata yang menitik di sana. Percuma, sentuhan jarimu justru membuat air mataku mengalir deras. "Jangan dipaksa," katamu, "mungkin belum waktunya kita berpisah."
Aku menggeleng, "Tidak pernah ada waktu yang tepat untuk berpisah. Sejak awal, harusnya kita tidak bertemu. Aku ingin berpisah sekarang, semakin lama bersamamu, aku akan semakin sulit melepasmu." Lalu, aku meletakkan cincinku ke depan tangannya yang bertaut di meja.
Kamu mengambil cincin itu dan meletakkannya ke dalam genggamanku. "Buang saja," katamu. Aku tahu kamu kecewa. "Toh, aku tidak bisa memakainya, itu kan cincin perempuan," meski begitu kamu tetap mencoba melucu. "Kamu mungkin tidak akan pernah lagi memakai cincin itu, tapi kamu tidak mungkin mencampakkan kenangan kita semudah kamu melepas cincin itu." Ia berada pada campuran emosi sedih dan marah.
"Ya, bahkan mungkin, saat orang lain memakaikan cincin lain di jariku, kenangan kita masih melekat di ingatanku," kataku. "Itu kemungkinan terburuk, tapi aku tidak takut. Aku meninggalkanmu karena Ia memanggilku kembali. Aku percaya, Ia akan memelukku dengan kasih-Nya ketika kemungkinan buruk itu terjadi," kataku.
Published on August 23, 2013 21:39
July 29, 2013
Tanya Jawab Penulisan
Beberapa waktu lalu, Haqi nanya pendapatku tentang dua hal di bawah ini. Pertanyaan bagus, semoga berguna buat yang lain juga.
Pertanyaan 1:
Meskipun fiksi, logika itu perlu. Ada pendapat yang menyatakan sebaiknya hindari kata-kata semacam 'Entah mengapa' atau 'Tiba-tiba'.
Jawaban:
Menurutku tidak. Lihat konteksnya dalam keseluruhan kalimat dulu.
Kata 'tiba-tiba' di atas tidak mengaburkan logika, jadi penggunaannya tidak masalah. Yang menjadi masalah adalah ketika kata-kata tsb digunakan untuk berkelit dari logika.
Nah, inilah yang dimaksud 'hindari kata 'entah mengapa''. Kata 'entah mengapa' ini digunakan untuk berkelit dari penjelasan dari benci jadi suka. Harusnya, ada logika yang menjelaskan perubahan benci jadi suka ini.
Terlihat bedanya, kan? jadi tergantung konteksnya.
Pertanyaan 2:
Tokoh utama bisanya muncul pada bab 1 apakah tokoh utama boleh muncul di bab 2?
Jawaban:
Boleh. Ada novel sejarah yang begitu, demi kepentingan urutan plot atau silsilah tokoh. Tetapi biasanya di bab 1 diberi clue siapa yang nanti jadi tokoh utamanya. Kalau nggak gitu, biasanya 'GPS' pembaca otomatis mendeteksi si tokoh yang disebut-sebut di bab 1 sebagai tokoh utama yang harus diikutin kisahnya, padahal bukan dia. Juga harus ada alasan kuat kenapa penulis menunda perkenalan tokoh utama dengan pembaca. Manfaatkan halaman yang ada untuk mengikat tokoh utama dengan pembaca. Jangan sampai pembaca jadi merasa tidak terikat dengan tokoh utama sehingga dia nggak mau tahu bagaimana kisahnya.
Menurutku begitu. Silakan yang mau nambahin. Semoga bermanfaat ^^
Pertanyaan 1:
Meskipun fiksi, logika itu perlu. Ada pendapat yang menyatakan sebaiknya hindari kata-kata semacam 'Entah mengapa' atau 'Tiba-tiba'.
Jawaban:
Menurutku tidak. Lihat konteksnya dalam keseluruhan kalimat dulu.
Contoh:
Dengan langkah berderap ia masuk ke dalam rumah. Rambut iklanya bergoyang-goyang karenanya. Bibirnya cemberut, keningnya berkerut. "Kamu kenapa?" tanyaku.
"Jangan ganggu, aku mau sendiri!" Tanpa kata lagi, ia menuju kamarnya dan membanting pintunya hingga tertutup rapat. Aku memandangi pintu yang tertutup itu, mencari jawaban di sana. Tiba-tiba, pintu itu terbuka, "Minggir! gue mau makan dulu sebelum mengurung diri."
Kata 'tiba-tiba' di atas tidak mengaburkan logika, jadi penggunaannya tidak masalah. Yang menjadi masalah adalah ketika kata-kata tsb digunakan untuk berkelit dari logika.
Contoh:
Aku begitu membencinya. Tidak ada yang salah pada dirinya. Ia baik, cantik, ramah, temannya pun banyak. Mungkin karena tidak ada yang salah pada dirinya itu, aku jadi membencinya. Tadi pagi, seperti biasa ia lewat depan rumahku, dan tersenyum padaku. Entah mengapa aku jadi menyukainya. Senyumnya begitu indah.
Nah, inilah yang dimaksud 'hindari kata 'entah mengapa''. Kata 'entah mengapa' ini digunakan untuk berkelit dari penjelasan dari benci jadi suka. Harusnya, ada logika yang menjelaskan perubahan benci jadi suka ini.
Terlihat bedanya, kan? jadi tergantung konteksnya.
Pertanyaan 2:
Tokoh utama bisanya muncul pada bab 1 apakah tokoh utama boleh muncul di bab 2?
Jawaban:
Boleh. Ada novel sejarah yang begitu, demi kepentingan urutan plot atau silsilah tokoh. Tetapi biasanya di bab 1 diberi clue siapa yang nanti jadi tokoh utamanya. Kalau nggak gitu, biasanya 'GPS' pembaca otomatis mendeteksi si tokoh yang disebut-sebut di bab 1 sebagai tokoh utama yang harus diikutin kisahnya, padahal bukan dia. Juga harus ada alasan kuat kenapa penulis menunda perkenalan tokoh utama dengan pembaca. Manfaatkan halaman yang ada untuk mengikat tokoh utama dengan pembaca. Jangan sampai pembaca jadi merasa tidak terikat dengan tokoh utama sehingga dia nggak mau tahu bagaimana kisahnya.
Menurutku begitu. Silakan yang mau nambahin. Semoga bermanfaat ^^
Published on July 29, 2013 19:53
July 26, 2013
Tetap di sini sebelum kamu datang
“Lain kali, kalo udah waktunya berangkat, dan gue nggak ada di tempat, lu pergi aja duluan.” Katanya serius, tatapannya kesal. Ya aku tahu, dia pasti malu gara-gara ulahku tadi. Kami jadi tontonan orang-orang sebandara dan harus minta maaf sama semua orang di pesawat. Seumur hidupnya, tuan muda ini pasti belum pernah melakukan hal itu.“Makanya lu jangan sampe nggak ada, karena gue nggak akan pergi kemana-mana sampai lu dateng!” kataku. Aku telah menunggunya, lama. Lalu, kenapa sekarang aku harus meninggalkannya? Aku telah menantinya sejak berbulan-bulan sejak pertama kali aku mengenalnya, berharap hatinya yang beku mencair. Seperti mint ice cream yang lupa kumasukkan dalam lemari pendingin. Pasti mencair dan meninggalkan sensasi dingin. Karakternya yang kuat itu tak mungkin hilang. Aku hanya ingin mencairkan hatinya, bukan untuk kumiliki sendiri. Aku ingin ia bisa merasakan cinta yang hangat dari orang-orang di sekelilingnya. Meskipun sekarang tak seperti itu, bukan masalah untukku karena aku tahu selalu ada jarak antara harapan dan kenyataan. “Hah! Kita liat, sekuat apa lu nunggu gue.” Kata Leon. “Kalo gue jadi lu, gue pasti udah pergi duluan.” Kedinginan kata-katanya membuatku membeku. Seperti ada bongkah es tajam yang merasuk ke dalam aliran darahku dan menyakitiku. Aku mengalihkan pandanganku ke luar jendela. Ku alihkan sesakku ke awan-awan putih yang bergulung-gulung di luar sana.“Lula,” terdengar suara Leon melembut. Aku menoleh. “Makasih,” katanya singkat. Oh... ya ampun, apakah aku tidak salah lihat? Ia memang tidak tersenyum, tapi ekspresi wajahnya melembut dan dia bilang terimakasih! Satu kata itu saja bikin hatiku bercorak kembang-kembang. Kalau saja aku tidak memasang sabuk pengaman, aku pasti sudah melonjak dan memeluknya lagi. “Nggak masalah, kok Leon! Yang penting, sekarang kita berdua sama-sama,” kataku sambil memberikan senyum termanis untukknya. “Eh… Leon, gimana kalau udah landing, kita foto di depan pesawat. Foto berdua, ya! Ini pesawat kenangan kita!” Semangatku langsung berapi-api ketika ide gemilang itu melintas di kepalaku. Leon melengos, menautkan kedua alisnya, seolah aku mengusulkan untuk nyebur selokan bareng-bareng.
(Cuplikan novel The Mint Heart)
Published on July 26, 2013 20:02
July 23, 2013
Dari awal, kita memang cuma punya satu pilihan setelah semua ini selesai, berpisah*

Dalam kebersamaan kita yang semu, kita menyadari bahwa perpisahaan itu pasti terjadi. Kita tahu bagaimana sakitnya nanti, tapi kita tak mampu melepas genggaman tangan yang sudah terlanjur erat. Tak mampu atau tak mau... Kita tak sempat memikirkan itu. Kau bilang, selama tangan kita masih bergenggaman, tak ada hal lain yang bisa merisaukanmu. Bukan tak ada, hanya kau yang tidak mau melihatnya ada, sang waktu.
Kau genggam tanganku dan kauajakku berlari. Berlari menghindari sang waktu. Namun, bagaimanapun, waktu adalah pelari paling tangguh. Ia menangkap kita di suatu pagi yang cerah. Begitu jelas kulihat kau terluka ketika waktu menyeretku pergi. Kau masih menggenggamku erat, tetapi tak cukup kuat untuk bisa menghentikannya.
Aku resah, lelah, lalu aku menyerah.
Kurenggangkan genggaman tanganku perlahan, kau menatapku tak percaya dengan penuh luka. Kusadari bahwa perpisahan bukanlah apa-apa. Melihatmu terluka, itu adalah luka yang sesungguhnya. Ketika genggaman tangan kita benar-benar terlepas, aku tak bisa melihatmu lagi, sebab air mataku mengaburkan dirimu.
* Titien Watimena, script movie Hello Goodbye & Ayuwidya, novelisasi Hello Goodbye image taken from http://t3.gstatic.com/images?q=tbn:AN...
Published on July 23, 2013 19:33
July 5, 2013
Itik Buruk Rupa
Mengapa kamu hanya percaya pada matamu saja? Yang terlihat tidak elok dimatamu kau perlakukan buruk. Tidak kau acuhkan, karena matamu hanya mau melihat yang indah saja. Tidakkah kau ingat ketika dulu matamu yang bening masih memandang semua manusia sama. Waktu itu, Ibumu menceritakan kisah itik buruk rupa yang berubah menjadi angsa yang cantik. Kau lupa siapakah yang menciptakan itik itu. Sesempurna apakah dirimu hingga kau merasa layak untuk mencemooh ciptaan-Nya.Aku tidak mengerti mengapa kamu hanya percaya pada matamu saja. Kalau aku tidak, karena Poni si kucing yang suka mengeong bisa diam lalu mati. Langit yang cerah bisa menghitam. Rambut Mamaku yang hitam bisa jadi putih. Ia yang biasanya tertawa tadi menangis. Semua yang bisa kulihat, berarti bisa berubah. Yang kekal justru tak terlihat.
Inti baru bisa kau temukan ketika kau telah sampai pada kedalaman. Tak bisa kau temukan hanya dengan melihatnya sambil lalu. Kau harus berusaha mengupasnya, seperti kacang. Bukankah kau memakan bagian dalamnya, bukan kulitnya? Kacang saja kau buang kulitnya. Kenapa manusia justru kau abaikan?
Apakah memang hanya matamu saja yang bisa dipercaya? Bukankah kau punya indera lainnya? Tak percayakah kau pada telingamu? Ia mendengar si itik buruk rupa itu bisa menyanyi hingga mengubah hatimu yang sedih jadi ceria lagi. Tak percayakah kau pada kulitmu? Ia merasakan genggaman tangan si itik buruk rupa mampu menarikmu berdiri ketika kau terjatuh. Tak percayakah kau pada lidahmu? Ia bersuka cita menyambut masakkan si itik buruk rupa yang khusus dibuatnya untukmu. Tak percayakah kau pada semua itu? Tak inginkah kau menilai juga dengan hatimu?
Jika memang begitu, aku cuma ingin tahu, apa yang akan kau katakan nanti pada si itik buruk rupa ketika ia telah berubah menjadi angsa yang cantik.
image taken from http://1.bp.blogspot.com/-5VUIQ7nZMU4...
Published on July 05, 2013 00:43
June 19, 2013
Maaf
Setiap langkah yang kujejak tak pernah mengarah ke sana, jadi maaf jika aku tidak pernah sampai ke sana. Udara dalam tarikan nafasku tak pernah dari sana, jadi maaf aku tak berani ke sana, aku pasti mati di sana.Demi tiap butir nasi penuh harapan yang kau suapkan padaku, maaf aku tak bisa ke sana, seperti yang kau harapkan.
Published on June 19, 2013 01:00
June 17, 2013
5 Kisah Seram Dibalik Dongeng Terkenal Dunia
Published on June 17, 2013 22:25


