Ayuwidya's Blog, page 3
March 24, 2015
Pertanyaan kembali untukmu
images taken from hereKamu bertanya kenapa aku diam. Jawabanku adalah pertanyaan kembali untukmu.
Bisakah kamu marah pada orang yang menghancurkan impian yang paling kau inginkan dalam hidup, jika kamu sendiri yang mempersilakannya masuk ke dalam hidupmu?
Bisakan kamu bilang kecewa pada orang yang tidak pernah mengingat hari ulang tahunmu, buku kesukaanmu, dan ukuran sepatumu, jika sejak awal dia memang tidak pernah perhatian padamu?
Bisakah kamu marah pada orang yang tidak pernah mengelus hatimu dengan kata-kata yang lembut, jika dia memang bukan jenis orang yang begitu?
Pertanyaan dan juga jawaban ini mungkin tidak akan pernah kamu dengar. Aku lelah, tidak ada daya, bahkan hanya untuk mengatakannya padamu. Aku terlalu lelah untuk memaklumi segalanya.
Percuma. Ini salahku yang (pernah) mencintaimu, dan bukan salahmu mencintai dia.
Published on March 24, 2015 00:34
March 23, 2015
Jika aku berani mengatakannya
Seukir senyum hanya untukku setelah satu semester aku menyukaimu dan sepuluh menit menatap hujan. "Pakai saja," katamu sambil mengulurkan payung kotak-kotak biru. "Ibuku maksa aku bawa payung, padahal aku laki-laki." Kamu tersenyum lagi dan aku terpaku beberapa detik sebelum menerima payungmu. Senyummu terlalu tiba-tiba, seperti hujan ini. Meski aku telah lama menyukaimu, dan banyak mimpi bertajuk "andai kamu menyapaku, ini yang akan kukatakan untuk membuatmu terkesan", tapi nyatanya tidak satu kata pun yang kuingat sekarang. "Makasih." dari ribuan kalimat cerdas yang seharusnya aku katakan, aku malah hanya bisa mengatakan itu. Sebuah kata yang memang sudah seharusnya, sebuah kata yang ribuan orang akan katakan, sebuah kata yang malah mungkin akan menyelesaikan percakapan. Wajar tapi bodoh. "Sama-sama, gue jadi punya alasan buat ujan-ujanan," kamu tersenyum lagi, "duluan ya," katamu sebelum berlari kecil menembus hujan.Beberapa menit setelah kamu pergi, otakku baru bekerja dan menemukan sebuah kalimat yang seharusnya tadi aku ucapkan, "Kita pakai berdua, ya?" Mungkin akhirnya akan berbeda, itu pun jika aku berani mengatakannya.
Sent from my Sony Xperia™ smartphone
Published on March 23, 2015 02:26
March 19, 2015
Mermaid Melody

Mermaid Melody, novel romance, qanita mizan, 2014
Sejak Ayah mengabaikan panggilanku dan pergi, cinta tak ada lagi maknanya untukku. Namun, laki-laki -yang tiba-tiba datang lalu menempel padaku seperti lintah- ini sangat percaya pada cinta. Ia bahkan rela menyebrangi lautan hanya untuk mencari seorang perempuan yang sudah dijanjikan akan dinikahinya saat mereka masih kecil.
Ia memaksaku untuk membantunya menemukan perempuan itu. Bagaimana mungkin aku terlibat dalam misi percintaan padahal aku sendiri apatis pada cinta?
Published on March 19, 2015 02:13
January 26, 2015
#Crazylove: LDR
2013, Bentang PustakaKumpulan Novela bersama Christina Juzwar, Elsa Puspita, Anjani Fitriana, Riawani Elyta, Amira Budi Mutiara
Bagaimanapun ditiadakan, jarak akan tetap ada.
Apa yang terjadi bila kesetiaan dan pengkhianatan berjalaan tak seimbang dalam satu hubungan?
Bisakah menjaha hati hanya dengan saling percaya dan bisa dipercaya?
Published on January 26, 2015 21:24
#Crazylove: Mantan
2014, Bentang PustakaKumpulan Novela bersama Dy Lunaly, Christina Juzwar, Aiu Ahra
WOW! Semua yang dijual di situ ternyata barang pemberian mantan! Dan, nggak cuma sedikit, tapi banyak banget. Dari yang mainstream kayak cincin tunangan sampai mantel bulu yang aneh banget. Berarti banyak banget, ya, orang-orang yang jualin barang-barang mantannya. Biar bisa move on? Mungkin sudah saatnya aku juga melakukan ini sekarang.
Published on January 26, 2015 21:23
Saranghae, I Love You
2014, MizanNovelisasi
Ayu, gadis Bali sederhana bertemu Young Min, artis Korea yang angkuh. Kesalahpahaman membuat keduanya saling membenci. Lalu, apa yang harus dilakukan Ayu ketika Young Min tiba-tiba muncul di rumahnya di Bali dan memohon agar diizinkan tinggal untuk bisa menyelidiki misteri kematian sang ibu? Rahasia-rahasia terpendam tentang diri Ayu dan Young Min pun terungkap. Betapa pertemuan mereka telah digariskan oleh nasib, bahkan sebelum mereka terlahir.
Saranghae, I Love You, kisah cinta dua negara. Pernah ditayangkan di layar kaca dengan bintang Revalina S. Temat dan Tim Hwang. Manis dan menyentuh
Published on January 26, 2015 21:21
March 21, 2014
Kenangan Hujan
Rasanya sudah lama sekali sejak saat itu, hingga aku sedemikian merindukannya. Saat kita berdua berlindung di bawah payung di tengah hujan. Aku justru berharap hujan deras agar aku punya alasan untuk mendekat padamu.
Kini, setiap kali hujan mulai turun, kenangan itu kembali tumbuh. Kenangan yang itu-itu saja, tapi aku tidak pernah bosan. Sayangnya, aku hanya bisa menatap titik-titik hujan itu sambil mendengar dentingan jatuhnya. Sayangnya, kamu telah pergi, dan sayangnya, aku hanya bisa menyebutnya sebagai kenangan.
Kini, setiap kali hujan mulai turun, kenangan itu kembali tumbuh. Kenangan yang itu-itu saja, tapi aku tidak pernah bosan. Sayangnya, aku hanya bisa menatap titik-titik hujan itu sambil mendengar dentingan jatuhnya. Sayangnya, kamu telah pergi, dan sayangnya, aku hanya bisa menyebutnya sebagai kenangan.
Published on March 21, 2014 23:02
November 19, 2013
Lomba Review Novel Love Flavour? Series
Published on November 19, 2013 01:38
November 1, 2013
janji (1)
Binar bulan akan segera menggantikan kilau senja. Kita masih saja duduk bersisian di sini. Pada sebuah bangku taman yang sudah kita duduki sejak tiga jam yang lalu. Saat itu, suara kita bersaing dengan teriakan anak-anak kecil yang bercanda dan deru kendaraan yang melintas di sekitar taman. Saat itu, aku harus bicara agak keras agar kamu mendengarnya. Namun kini, aku bicara pelan. Sebab, segala bising itu tak lagi ada dan suaraku menjadi sesuatu yang rapuh. Keras sedikit maka pecahlah tangis.
“Apa kamu yakin?” tanyamu juga pelan. Tanganmu masih menggenggam tanganku. Entah untuk yang keberapa kalinya kamu bertanya sebelum kamu melanjutkan dengan bujukan padaku untuk terus menepati janji setia kita. Janji setia untuk selalu bersama, janji yang berujung pada pernikahan kita. Janji yang begitu indah, sebenarnya.
Untunglah angin bertiup dan membawa beberapa helai rambut menutupi wajahku. Aku tak berani menatapmu. Kamu mengguncang tanganku, “Lihat aku, dan katakan sekali lagi... ayo, katakan sekali lagi, maka aku tidak akan bertanya lagi. Itu akan jadi yang terakhir,” pintamu lirih.
Dengan menguatkan seluruh perasaanku yang mulai retak di sana-sini, aku menengadah. Kutahan semampuku air mata yang mulai mendesak, mengaburkan pandanganku. Aku tidak ingin kamu melihat air mataku. Sebab, kamu tak boleh tahu kalau aku terpaksa. Kamu tunduk padaku, tapi tidak pernah menurut pada keterpaksaan. Aku ingin kamu menyangka ini adalah kehendakku. Kuangkat daguku, sesuatu yang biasanya dengan mudah kulakukan, kini menjadi begitu sulit dan teasa berat.
Aku menatap matamu karena harus. Hanya ini yang membuatmu percaya. Di sana kulihat cinta, harapan, impian yang begitu indah. Ingin aku memeluk semuanya, seperti dulu. Tapi aku tak boleh, demi impianku sendiri. “Aku ingin putus,” kataku pelan, hampir tak terdengar olehku sendiri. Tak bisa kutanggung sakitku yang kini benar-benar pecah karena janji setia yang telah terucap, kuruntuhkan hanya dengan sekali ucap. Kulihat matamu redup, dan aku merasa menjadi perempuan paling jalang di dunia.
(bersambung)
Published on November 01, 2013 01:47
October 30, 2013
lumba-lumba
Pagi itu, masih terlalu pagi untuk bangun. Namun, kamu sudah memencet-mencet bel pintu kamarku sehingga tidak ada pilihan lain untukku selain bangun. Senyummu yang polos membuatku tak ada pilihan lain selain meredam kesalku. Kamu juga tidak memberiku pilihan lain waktu menarik tanganku, menggiringku ke gerbang belakang hotel.
Pagi masih menyaru dengan malam. Matahari belum muncul dan bulan hanya meninggalkan berkasnya. Udara dingin menyapa pori-pori kulitku, tapi tak cukup dingin untuk membuatku menggigil. Di dekat pintu gerbang, seorang tukang perahu sudah menunggu. Beberapa meter di depan sana, laut Lovina yang gelap memantulkan kemilau cahaya bulan. "Sudah jauh-jauh liburan ke Bali masak mau tidur saja."
"Kita mau melaut sepagi ini?" Suaraku mungkin tenggelam oleh debur ombak karena kamu tak menjawab. Hanya tersenyum sembari memakaikan pelampung.
Kita melaut cukup jauh, langit sudah mulai mengguratkan berkas-berkas oranye, hingga tukang perahu bilang, "Nah benar kan, sudah saya bilang sama Mas, musim lumba-lumba sudah lewat. Beberapa hari yang lalu, saya juga bawa turis yang mau lihat lumba-lumba. Sayangnya nggak ketemu," kata tukang perahu. Oh... jadi kamu membawaku kemari untuk melihat lumba-lumba. Sepertinya, sudah lama sejak aku bilang aku ingin melihat lumba-lumba. Waktu itu, waktu kita menonton pertunjukan lumba-lumba yang melompat di lingkaran api. Ketika yang lain bertepuk tangan, kamu tidak. Kamu bilang, "Kasihan... kasihan kalau dia meleset. Dia tidak dilahirkan untuk mempertaruhkan nyawanya demi tepukan tangan penonton."
"Kalau begitu, kita jangan menonton. Lain kali, kita lihat lumba-lumba di laut lepas. Aku belum pernah lihat," kataku
"Ya, ide bagus. Aku juga belum pernah melihatnya. Kapan-kapan kita lihat, ya."
Sayang, kali ini, kita salah waktu sehingga tidak bisa melihat lumba-lumba itu, musim migrasi mereka sudah lewat. Kamu pasti kecewa. Tiba-tiba si tukang perahu berterika, "Lumba-lumba! lihat! itu rombongan lumba-lumbanya!" Mataku mencari-cari yang ditunjuk si tukang perahu yang kini melajukan perahunya semakin cepat. "Lumba-lumba!" Rombongan lumba-lumba berenang melompat-lompat lincah dengan riangnya. Cahaya matahari yang masih malu-malu berkilau di kulit mereka yang hitam. Pekik mereka terdengar sayup ai antara deburan ombak. Kami terdiam di perahu. Terpesona oleh keelokkan pemandangan rombongan lumba-lumba. Ini lebih menakjubkan dari atraksi lumba-lumba manapun. Lumba-lumba besar, lumba-lumba kecil berlompatan lincah. Satu rombongan, di susul rombongan yang lain.
"Kalian beruntung. Ada rombongan lumba-lumba yang telat pindahan," kata tukang perahu.
"Dia memang selalu membawa keberuntungan," katamu sambil membelai rambutku yang diacak angin laut. "Makanya, walaupun Bapak bilang ini bukan musim lumba-lumba, saya tetap mau melaut." Kamu tersenyum bahagia, tidak ada alasan untukku tak ikut tersenyum. Sekali lagi kamu bilang, "Kamu memang membawa keberuntungan, lumba-lumba itu datang untuk menyapamu yang sudah jauh-jauh kemari."
---
Aku membuka mataku, bukan bangun dari tidur, aku tidak bisa tidur beberapa hari ini sejak pagi itu. Pagi itu, masih terlalu pagi untuk menyadari bahwa kamu telah pergi. Tapi aku cukup sadar, lumba-lumba itu muncul bukan untuk menyapaku, tapi menyapamu, untuk yang pertama dan terakhir kali sebelum kamu menutup mata untuk selamanya.
Pagi masih menyaru dengan malam. Matahari belum muncul dan bulan hanya meninggalkan berkasnya. Udara dingin menyapa pori-pori kulitku, tapi tak cukup dingin untuk membuatku menggigil. Di dekat pintu gerbang, seorang tukang perahu sudah menunggu. Beberapa meter di depan sana, laut Lovina yang gelap memantulkan kemilau cahaya bulan. "Sudah jauh-jauh liburan ke Bali masak mau tidur saja."
"Kita mau melaut sepagi ini?" Suaraku mungkin tenggelam oleh debur ombak karena kamu tak menjawab. Hanya tersenyum sembari memakaikan pelampung.
Kita melaut cukup jauh, langit sudah mulai mengguratkan berkas-berkas oranye, hingga tukang perahu bilang, "Nah benar kan, sudah saya bilang sama Mas, musim lumba-lumba sudah lewat. Beberapa hari yang lalu, saya juga bawa turis yang mau lihat lumba-lumba. Sayangnya nggak ketemu," kata tukang perahu. Oh... jadi kamu membawaku kemari untuk melihat lumba-lumba. Sepertinya, sudah lama sejak aku bilang aku ingin melihat lumba-lumba. Waktu itu, waktu kita menonton pertunjukan lumba-lumba yang melompat di lingkaran api. Ketika yang lain bertepuk tangan, kamu tidak. Kamu bilang, "Kasihan... kasihan kalau dia meleset. Dia tidak dilahirkan untuk mempertaruhkan nyawanya demi tepukan tangan penonton."
"Kalau begitu, kita jangan menonton. Lain kali, kita lihat lumba-lumba di laut lepas. Aku belum pernah lihat," kataku
"Ya, ide bagus. Aku juga belum pernah melihatnya. Kapan-kapan kita lihat, ya."
Sayang, kali ini, kita salah waktu sehingga tidak bisa melihat lumba-lumba itu, musim migrasi mereka sudah lewat. Kamu pasti kecewa. Tiba-tiba si tukang perahu berterika, "Lumba-lumba! lihat! itu rombongan lumba-lumbanya!" Mataku mencari-cari yang ditunjuk si tukang perahu yang kini melajukan perahunya semakin cepat. "Lumba-lumba!" Rombongan lumba-lumba berenang melompat-lompat lincah dengan riangnya. Cahaya matahari yang masih malu-malu berkilau di kulit mereka yang hitam. Pekik mereka terdengar sayup ai antara deburan ombak. Kami terdiam di perahu. Terpesona oleh keelokkan pemandangan rombongan lumba-lumba. Ini lebih menakjubkan dari atraksi lumba-lumba manapun. Lumba-lumba besar, lumba-lumba kecil berlompatan lincah. Satu rombongan, di susul rombongan yang lain.
"Kalian beruntung. Ada rombongan lumba-lumba yang telat pindahan," kata tukang perahu.
"Dia memang selalu membawa keberuntungan," katamu sambil membelai rambutku yang diacak angin laut. "Makanya, walaupun Bapak bilang ini bukan musim lumba-lumba, saya tetap mau melaut." Kamu tersenyum bahagia, tidak ada alasan untukku tak ikut tersenyum. Sekali lagi kamu bilang, "Kamu memang membawa keberuntungan, lumba-lumba itu datang untuk menyapamu yang sudah jauh-jauh kemari."
---
Aku membuka mataku, bukan bangun dari tidur, aku tidak bisa tidur beberapa hari ini sejak pagi itu. Pagi itu, masih terlalu pagi untuk menyadari bahwa kamu telah pergi. Tapi aku cukup sadar, lumba-lumba itu muncul bukan untuk menyapaku, tapi menyapamu, untuk yang pertama dan terakhir kali sebelum kamu menutup mata untuk selamanya.
Published on October 30, 2013 02:08


