Roslan Hamid's Blog, page 19

July 11, 2022

Zulhijah 12, 1443: My road to the Holy Land (U)

In the name of Allah, the Beneficent, the Merciful; blessings and peace be upon Prophet Muhammad s.a.w.

Reflection

“O ye who believe! Retalation is prescribed for you in the matter of the murdered; the freeman for the freeman, and the slave for the slave, and the female for the female. And for him who is forgiven somewhat by his (injured) brother, prosecution according to usage and payment unto him in kindness. This is an alleviation and a mercy from your Lord. He who transgresseth after this will have a painfull doom.” (Al-Baqarah, 178)


On their journey to Makkah for the pilgrimage, a Muslim cannot just simply pack up his bags and go on the journey like going to London, Paris or New York, but he/she has to be a good Muslim first for example by obeying the other four pillars of Islam that is ‘syahadah’, praying, fasting and giving tithe. Only then, is it appropriate for him/her to perform the hajj.


Pilgrims are encouraged to recite the ‘talbiyah’ – Labbayk, Allahumma, Labbayk, Labbayk, La Shareeka laka, Labbayk Innal-hamda wan n’mata laka wal-mulk, La shareekala – (Here I am at Your service, O Lord here I am, No partner do You have, Here I am, Truly the praise and the favour is Yours and the dominion. No partner do You have).


Doing the hajj manasik especially when one is in Arafat, Mudzalifah and Mina is a very touching, memorable and unique experience. Only a haji(person who has performed the hajj) could describe it, but words spoken or writings penned would not be able to describe the whole experience, especially regarding one's inner feelings.


I tried to pen that feelings in my book entitled ‘Kusaksikan Keajaiban Tanah Suci’ (I Witnessed Miracle of the Holy Land) but I still think it is just like the tip of an iceberg; I was only able to write and describe a very small part of it. Of course my writing was not comparable to works on the subject by renowned and great writers and thinkers which I admired such as Ali Shariati and Muhammad Asad.


In Shariati’s ‘The Hajj’, a foreword by Mohammad al-al-‘Asi, an elected imam from Washington DC Islamic Center, noted that most of today’s Muslims take their bodies, their physical wherewithal to hajj; very few Muslims take their minds and the reasoning to hajj.


“Allah endowed us with the privilege of thinking and considering, reflecting ad figuring things out. When we are in our ‘salah’ (prayer) we recite verses from the Qur’an, and we are not supposed to do that in the absence of our mind. Salah itself is not a mechanical or monotenous relationship with Allah. Likewise, hajj is a treasure of meanings, thoughts and ideas.


“Allah, Exalted be His Name, does not expect us to go to Safa and Marwah, Muzdalifah, Arafat, al-Masjid al-Haram, and Hira’, among other places, absent mindedly or sheepishly. He wants us to go to His sanctuary with all the faculties, potentials and abilities that He has given us.


“A word is due to those who are responsible for the institutionalization of a ‘blank’ hajj nowadays. There is nothing to gain by having Muslims from all over the world coming to Makkah each year and then leaving only with the emotional ecstacy that comes from a controlled portion of the Muslims being together!


“What would give the enemies of Islam and their puppets in the Muslim world sleepless nights is when Muslims begin to have a meeting of minds in the cradle of Islam: Makkah and it two other sister Harams: Madinah and al-Quds.”


To me what I was able to describe when I was in Arafat, Mudzalifah and Mina was how small and weak I was in facing tribulations to be a good Muslim.


I cried knowing that had I wasted a great part of my life leading an aimless life and I remembered how I trembled after reading a line from Khurram Murad’s ‘Way to the Qur’an’ – “our lives will remain meaningless and ruined unless they are guided by the Qur’an, the world of God.”


Are our lives truly guided by the Qur’an? From the moment we wake up from bed in the early morning till we are in bed again at night are all our actions in acordance to the Qur’an?


Or are we good in taking what we think are good to us and ignoring what we feel bad? Regarding this, Allah the Almighty warns in Surah al-Baqarah 2:85, that to accept some part of the Qur’an and to reject some is to reject all of it. There is no room for partial acceptance in your relationship with the Qur’an; there cannot logical be.


Have a good look at Ayah (Ayat) 178 and 183 of Surah Al-Baqarah (Cow); why we fully accepted God’s commandments regarding fasting but we were reluctant to his laws of ‘qisas’. Ayah 183 reads; “O ye who believe! Fasing is prescribed for you, even as it was prescribed for those before you that ye may ward off (evil),” while Ayah 178 reads; “O ye who believe! Retalation is prescribed for you in the matter of the murdered; the freeman for the freeman, and the slave for the slave, and the female for the female. And for him who is forgiven somewhat by his (injured) brother, prosecution according to usage and payment unto him in kindness. This is an alleviation and a mercy from your Lord. He who transgresseth after this will have a painfull doom.” (The Meaning of the Glorious Qu’an, translation by Muhammad Marmaduke Pickthall)


Muslims should have no reservations in implementing all of Allah SWT commands including hudud law and preventing ‘mungkar’ (sins). Having reservation on any of Allah SWT’s commands is a clear violation of our oath, the ‘syahadah’, that we will submit and obey all of Allah SWT’s commands.


Some scholars even say having such an attitude will nullify our ‘syahadah’ and is sufficient to make a person ‘kafir’ (a non-believer). And Allah SWT has given us warning on this matter in Ayah 85 Surah al-Baqarah (stated above) where Allah SWT warns us not to become like the Children of Israel who disobey some of Allah SWT’s commandments in the Taurah.


Realising how unknowledgeable I was in the studies of Islam and my weakness in practicing its teaching, I started frequenting mosques and attenting ‘tazkirah’ (Islamic lessons) since my first hajj in 2002.


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on July 11, 2022 17:04

July 10, 2022

Zulhijah 11, 1443: Kurindui Makkah, Madinah...(U)

Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah Lagi Maha Penyayang; selawat dan salam ke atas junjungan besar Nabi Muhammad s.a.w.

Renungan

"Dan sekiranya segala pohon yang ada di bumi menjadi pena, dan segala lautan (menjadi tinta), dengan dibantu kepadanya tujuh lautan lagi sesudah itu, nescaya tidak akan habis kalimah-kalimah Allah itu ditulis. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa, Lagi Maha Bijaksana." (Surah Luqman, ayat 27)


APABILA diberitahu seorang ibu saudara sebelah ayah akan berlepas ke Tanah Suci bagi menunaikan haji, segera saya menawarkan diri untuk membawanya dengan kereta saya dari Melaka ke Kompleks Jemaah Haji.


Beliau akan ke sana seorang diri, kasihan suaminya tidak dapat bersama kerana kekurangan ongkos, namun sudah menunaikan Rukun Islam itu beberapa tahun lalu dengan ihsan kerajaan bagi menghargai tugasnya sebagai seorang penggali kubur.


Saya tahu mak saudara saya itu hidup serba kekurangan, tetapi semangatnya untuk ke Tanah Suci begitu meluap-luap, akhirnya beliau (insya-Allah) akan menjejakkan kaki di tanah kelahiran Rasulullah s.a.w. dan juga kota suci Madinah Al-Munawarah yang menyaksikan Islam berkembang pesat ke serata pelosok dunia membolehkan kita semua berada dalam lindungan-Nya.


Mencoret kisah haji, umrah, Makkah dan Madinah mendatangkan kesyahduan pada diri ini. Air mata hampir menitis, mengenang detik-detik indah saya berada Tanah Suci sebanyak tiga kali, 2002 (menunaikan haji bersendirian), 2005 (menunaikan haji bersama isteri) dan Jun 2010 bagi menunaikan umrah.


Tidak dapat pergi, dapat menghantar jemaah pun jadilah. Ganjaran daripada Allah SWT untuk orang menghantar jemaah (memudahkan jemaah) pun sudah besar apatah lagi jika kaki sendiri dapat menjejakkan kaki di Tanah Suci. Allah Akbar, tidak dapat dibayangi segala rasa dialami jemaah, debarannya daripada saat berangkat di pintu rumah sehingga akhirnya kembali, memasuki rumah sendiri selepas 40-45 hari berkelana di bumi kelahiran Nabi tercinta, Muhammad s.a.w.


Bayangkanlah jika selama puluhan tahun (kebanyakan jemaah dapat ke Tanah Suci selepas berusia lebih 50 tahun), hanya gambar Kaabah yang terpampang di sejadah atau di dinding rumah sebagai perhiasan menjadi tontonan diri, kini Kaabah berada di depan mata. Bermimpikah diri ini apabila batu dan kain Kaabah itu dapat disentuh, diri ini berada dalam barisan bulat ratusan ribu manusia yang sama-sama rukuk dan sujud ke arahnya? Macam tidak percaya, dirinya ini termasuk dalam lautan manusia itu, tetapi itulah hakikatnya, jadi marilah bersama-sama menyertai keajaiban ini.


Memulakan langkah perjalanan ke Tanah Suci amat mudah berbanding apa disangka. Musim haji ini genggam dan lepaskanlah not biru, hijau dan merah ketika bersalaman dengan jemaah haji di kalangan saudara-mara dan sahabat. Sambil itu bisikkan kepada mereka dengan penuh pengharapan, “kirim salam ‘kat’ Rasulullah s.a.w. dan doakanlah agar aku dapat segera ke sana!” Perkara ini boleh dilakukan pada hari sahabat atau saudara kita itu berangkat di rumahnya atau di kompleks jemaah haji. Atau lebih baik ketika dia mengadakan kenduri beberapa minggu atau hari sebelum berlepas.


Insya-Allah, akan menitislah air mata ketika berpelukan dengannya, melihatnya dengan ekor mata, menaki kenderaan yang kemudian beransur-ansur hilang daripada pandangan. Demikian juga ketika menyaksikan dia melangkah kaki memasuki bangunan kompleks haji, kita yang tinggal mendoakan dia selamat pergi dan selamat kembali. Doa orang menunaikan haji amat mujarab, yakinilah tidak lama lagi kita akan menyusul, alangkah bahagia jika kita pula dihantar orang, berlepas ke Tanah Suci!


Namun perlu diingat sebagai manusia kita perlu merancang, yang menentukan segala-galanya adalah Ilahi. Selain doa (termasuk doa orang lain seperti jemaah haji), ‘campakkanlah’ wang RM50 atau RM100 setiap bulan dalam akaun Tabung Haji, insya-Allah, 10 tahun kemudian tertunailah hajat kita sekian lama untuk menyaksikan dengan mata kasar dan mata hati akan keajaiban di Tanah Suci.


Detik berlepas ke Tanah Suci dari pintu rumah begitu menyayat hati. Pelbagai perasaan dirasa ketika itu. Gembira, bersyukur, sedih, terharu, gementar, takut, cemas – semuanya ada. Selepas bersalaman dan berpeluk-pelukan dengan sanak saudara dan sahabat handai, semua hadirin berdiri manakala jemaah duduk di kerusi. Azan dikumandang oleh bilal kampung atau anak lelaki jemaah haji. Suasana hening, penuh syahdu. Air mata mengalir di pipi tatkala azan bergema, tergambar kota Makkah dan Madinah dan terkenang jua anak-anak dan saudara-mara serta sahabat handai yang akan ditinggalkan.


Selamat tinggal semuanya, panggilan (seruan) Allah mengatasi segala-galanya. Bagi ubat penawar hati (menaikkan semangat), kenang dan ingatlah firman Allah SWT yang bermaksud: “ Katakanlah (wahai Muhammad): “Jika bapa-bapa kamu, anak-anak kamu, saudara-saudara kamu, isteri-isteri kamu, kaum keluarga kamu, dan harta benda yang kamu usahakan, dan perniagaan yang kamu bimbang akan merosot, dan rumah-rumah tempat tinggal ang kamu sukai, - (jika semuanya itu) menjadi perkara-perkara yang kamu cintai lebih daripada Allah dan Rasul-Nya dan (daripada) berjihad untuk agama-Nya, maka tunggulah sehingga Allah mendatangkan keputusan-Nya (azab seksa-Nya); kerana Allah tidak akan memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik (derhaka).” - Surah al-Taubah, ayat 24

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on July 10, 2022 09:55

July 8, 2022

Zulhijah 9, 1443: Segera tunaikan haji (U)


Dengan Nama Allah Yang Maha Pemurah Lagi Maha Penyayang, selawat dan salam ke atas junjungan besar Nabi Muhammad s.a.w.

Renungan

Hadis riwayat Abu Hazim, daripada Abu Hurairah yang dikeluarkan oleh Muslim, bermaksud: "Tidak akan hancur dunia ini (kiamat) hingga ada seorang laki-laki yang melewati kuburan lalu ia berguling-guling di atasnya seraya berkata, 'alangkah baiknya sekiranya aku berada di tempat penghuni kubur ini.' Hal ini bukan kerana faktor agama tetapi kerana adanya musibah."


"Saudaraku jemaah haji, kami berharap anda memberi kesempatan untuk selain anda supaya bisa melaksanakan sya'iroh (syariat) haji!" - kata-kata indah ini saya temui di badan sebuah bas jemaah Indonesia di Mina ketika menunaikan haji pada musim haji 1422 (2002M).


Kata-kata perangsang ini amat bermakna untuk menyuntik semangat muda-mudi Islam agar merancang pemergian mereka ke Tanah Suci. Sebaik-baiknya seseorang Muslim itu mula menyimpan sejumlah wang setiap bulan apabila dia mula bekerja, mungkin pada usia 23 tahun (selepas tamat pengajian universiti).


Dengan menyimpan atau membuat potongan gaji misalnya RM100 atau RM200 sebulan kepada Tabung Haji, seseorang itu boleh memasang niat dengan mendaftar menunaikan haji dalam masa 10 tahun kerana pada ketika itu jumlah simpanannya mungkin sudah mencukupi. Namun giliran menunggu sekarang tersangat panjang, maka bersabarlah.


Mungkin dengan mulai menyimpan sejak muda, seseorang itu dapat menunaikan haji pada usia 30 atau 40-an. Pada peringkat umur ini, fizikal seseorang itu adalah pada tahap terbaik dan ini akan memudahkannya melakukan manasik haji yang penuh cabaran seperti melontar di jamrah, bermalam di Mina, berwukuf di Arafah, bahkan untuk tawaf dan saie di Masjidilharam.


Selain tahap fizikal terbaik itu, adalah bermanfaat untuk seseorang itu memantapkan ilmu agamanya termasuk pengetahuan haji dan umrah secara beransur-ansur sejak dia muda lagi. Jika tahap fizikal dan ilmu serta amalan sudah mantap, maka pemergiannya ke Tanah Suci adalah bertepatan dalam usaha mendapatkan haji mabrur.


Selain pendaftaran dan usaha mencukupkan wang perbelanjaan yang dibuat sejak sekian lama, jejak ke Tanah Suci perlu pengorbanan masa, sekurang-kurangnya setahun sebelum berlepas. Ini kerana bakal jemaah itu perlu menghadiri kursus haji, menjalani pemeriksaan kesihatan, orientasi haji (termasuk amali) malah menduduki peperiksaan!


Semua ini memerlukan kesabaran tinggi, mungkin dapat disimpulkan melalui ungkapan - "bukan mudah nak bergelar haji dan hajah ni, bang dan kak oii!" - oleh seorang pengendali kursus.


Betapa tidak mudahnya seseorang itu terpilih menunaikan haji dapat dilihat daripada surat tawaran haji. Ramai juga penerima diletakkan dalam senarai calon menunggu - bermakna mereka tidak pasti dipilih ke Makkah tahun itu. Bagaimanapun calon 'standby' perlu mengikuti kursus haji bersiri, mungkin sebanyak 15 pengajian pada setiap hujung minggu.


Berceloteh mengenai haji, teringat saya bagaimana bermulanya kolum 'Kisah Dari Tanah Suci' yang termuat dalam akhbar Harakah setiap minggu sejak awal tahun 2002 tetapi 'amat menyedihkan' apabila pada akhir 2014, ia 'berkubur tanpa nesan' bersama-sama dengan 'pemergian' saya sebagai pekerja di Harakah.


"Kisah Dari Tanah Suci' dimulakan dengan sejumlah catatan saya sendiri selepas pulang daripada menunaikan haji pada Mac 2002 dan kemudian diisi dengan tulisan sumbangan penulis yang pernah ke Tanah Suci sama ada dalam menunaikan haji atau umrah.


Kolum ini berjaya menyuntik semangat orang ramai ke Tanah Suci. Galakan menunaikan  haji pada usia muda adalah antara tujuan utama saya memulakan penyiaran kisah-kisah dari Tanah Suci dan alhamdulillah sekarang ini begitu ramai 'orang muda' menunaikan haji sedangkan dulu haji adalah sinonim dengan orang tua termasuk yang sudah pencen.


Berbicara bab haji ini, saya teringat tazkirah seorang ustaz tak lama dahulu bahawa ada sejumlah amalan kita di tanah air yang insya-Allah boleh menyamai pahala haji.


Kata sang ustaz, salah satu bentuk kasih sayang Allah SWT ialah melimpahkan pahala berlipat ganda kepada umat-Nya, sekalipun amalan itu  terlihat kecil dan sederhana. Dalam beberapa hadis dijelaskan, ada beberapa amalan yang kalau dilakukan penuh keikhlasan dan istiqamah, maka pahala amalan tersebut setara ibadah haji.


Antaranya, solat berjemaah lima waktu, zikir setelah solat subuh berjemaah sampai terbit matahari selepas itu solat dua rakaat dan pergi ke masjid untuk menuntut ilmu.


Meskipun amalan-amalan ini diberikan pahala ibadah haji dan umrah, bukan bererti pelakunya tidak diwajibkan haji dan umrah. Kewajipan haji dan umrah tetap ada. Pahala amalan ini  diserupakan pahala ibadah haji dan umrah bertujuan memotivasi ummah untuk istiqamah beribadah. 


Bagi yang tak menunaikan haji, amat digalakkan berpuasa pada hari wukuf (9 Zulhijah) dan akhir sekali lakukan korban dengan menyembelih binatang ternakan pada 10, 11, 12 dan 13 Zulhijah (Hari Tasyrik). Selamat Menyambut Aidiladha, Maaf Zahir dan Batin


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on July 08, 2022 16:40

July 7, 2022

Zulhijah 8, 1443: Terasa kekerdilan diri di Arafah, Mudzalifah, Mina (U)

Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah Lagi Maha Penyayang; selawat dan salam ke atas junjungan besar Nabi Muhammad s.a.w.

Renungan

"Dan serulah kepada umat manusia untuk mengerjakan ibadat haji, nescaya mereka akan datang beramai-ramai mengunjungi (rumah Engkau, Baitul Lahil Haram) dengan keadaan ada yang berjalan kaki dan ada yang menunggang berjenis-jenis unta yang kurus disebabkan perjalanan yang datang dari segenap ceruk pelosok dan rantau yang jauh.

"Supaya mereka menyaksikan berbagai-bagai perkara yang mendatangkan faedah kepada mereka, serta memperingati dan menyebut nama Allah, pada hari-hari tertentu (Hari Raya Haji atau Hari Raya Korban pada 10 Zulhijah dan pada hari-hari berikutnya pada 11, 12, dan 13 Zulhijah - Hari Tasyrik) kerana pengurniaan-Nya kepada mereka dengan binatang-binatang ternak (untuk dijadikan korban), dengan demikian makanlah kamu daripadanya (daging binatang-binatang korban itu) dan berilah makan kepada orang yang susah dan fakir miskin." (Maksud Ayat 27-28 Surah al-Haj)


BAGI diri ini, kehadiran di Arafah (Wukuf) pada 9 Zulhijah 1426, memberi kesempatan terbuka untuk muhasabah diri. Menangislah saya sepuas hati, mengenang segala dosa dan kesilapan lalu. Hari Wukuf atau Hari Arafah dikatakan saat seseorang hamba itu tersangat dekat dengan Tuhannya. Mintalah keampunan-Nya dan berdoalah, semoga selepas haji, kita menjadi hamba-Nya dalam pengertian sebenar-benarnya.


Keberangkatan dari Arafah ke Mudzalifah bermula selepas solat Asar. Saya dan isteri terpilih untuk berangkat selepas Maghrib. Perjalanan Arafah-Mudzalifah menguji ketahanan diri – sama ada dari segi mental dan fizikal. Apabila ratusan ribu jemaah berhimpun, berlaku ketidak-tentuan yang menguji keimanan dan kesabaran diri.


Bayangkan dalam masa mengerjakan manasik haji, masih ada jemaah berebut-rebut, takut ketinggalan bas. Ada isteri yang sudah naik bas, suaminya belum. Berlakulah kekecohan dan perselisihan, sedangkan perbalahan dilarang sama sekali ketika menunaikan haji.


Mudzalifah adalah tempat di mana jemaah berhenti sebentar untuk mengutip batu-batu kecil untuk dilontar di jamrah kemudiannya. Mulai tahun 2005, pihak berkuasa Arab Saudi memperkenalkan sistem baru yang menghendaki jemaah berada di situ selepas mereka keluar dari Arafah sehinggalah keberangkatan sekali lagi ke Mina yang bermula selepas tengah malam.


Sebelum ini, bas dari Arafah berhenti sebentar di Mudzalifah bagi membolehkan jemaah mengutip batu, kemudian jemaah naik bas yang sama untuk meneruskan perjalanan ke Mina.


Bagaimanapun, berdasarkan sistem baru ini, jemaah berada di sebuah kawasan terbuka yang dipagar di Mudzalifah untuk mabit. Di situlah jemaah berehat, berbaring berlantaikan tikar dan beratapkan langit. Sambil baring-baring, sesekali sekala terbau najis binatang, mungkin pada siangnya tempat itu menjadi lokasi persinggahan kumpulan unta.


Jika mahu tidur, tidurlah berbantalkan beg atau lengan. Jika mahu bersandar, bersandarkanlah belakang isteri atau peluklah lutut sendiri, sambil itu sedarlah diri betapa banyak dosa yang sudah dilakukan.


Suasana malam begitu dingin, menggigit hingga ke tulang. Hanya kepada Allah tempat pergantungan pada malam itu, jadi perbanyakanlah solat dan doa sekalipun diri berada dalam lautan manusia.


Berusahalah untuk menjaga wuduk kerana untuk memperbaharuinya atau ke tandas, selain jaraknya yang jauh, terpaksa menempuh ribuan manusia, kemudian beratur panjang. Bersabar dan terus bersabarlah sepanjang malam itu.


Dalam keadaan sesak itu, untuk bergerak payah. Di depan orang, di belakang orang, di kedua-dua sisi pun orang. Jadi untuk ketenangan diri, berzikir dan terus berzikir sepanjang malam. Penat duduk, baring; penat baring, berdiri sambil menguakkan anggota tubuh.


Pada malam yang dingin itu, akan terasalah seseorang itu akan kekerdilan dirinya. Sedarlah, siapakah dirinya dalam lautan manusia itu. Semuanya sama, yang lelaki berihram putih manakala perempuan berbungkus, bertelekung seperti ketika bersolat.


Angin malam yang menyentuh diri dalam keadaan berihram (hanya dua kain tidak berjahit membalut diri) begitu sejuk terasa. Apabila berpakaian begitu tentulah ada anggota badan terdedah. Misalnya kepala tidak dapat ditutup. Untuk berselimut bagi menahan kesejukan, tidak boleh sebab ketika itu berada dalam ihram. Rasanya sudah tidak tahan berkeadaan begitu, tetapi keyakinan akan janji-Nya membantu memantapkan diri.


Kebanyakan jemaah suami isteri. Jadi boleh luangkan masa untuk makan bersama (makanan ringkas seperti epal) dan berbual-bual, saling ingat-mengingati antara satu sama lain. Semakin larut malam, suasana semakin dingin. Kabus sudah kelihatan di udara. Jemaah terus mabit, menunggu kedatangan bas untuk mengangkut mereka ke Mina. Sebelum berlepas, jemaah sudah siap mengumpul batu-batu kecil dalam uncang masing-masing.


Saya dan isteri bersyukur kerana giliran kami menaiki bas sebelum detik tengah malam. Dengar khabar ada jemaah yang mendapat bas hampir subuh. Ratusan bas bergerak perlahan-lahan, menyusuri laluan ke Mina di mana jemaah akan ditempatkan di dalam khemah. Saya perhatikan ramai jemaah negara lain yang agak saya dari Pakistan dan India berjalan kaki saja dalam kegelapan malam, menuju Mina.


Jemaah Malaysia seperti saya tidak selasak mereka. Baru sebahagian malam berembun di Mudzalifah, ramai yang sebelum ini batuk-batuk dan selesema, semakin parah sakit mereka. Senggal-senggal dan lenguh anggota usah cerita.


Bersyukur kepada Ilahi, saya dan isteri tiba di perkhemahan Mina kira-kira jam 3.00 pagi, 10 Zulhijah (Hari Raya Haji). Kami dikira sungguh bernasib baik kerana ada jemaah yang tiba selepas subuh malah ada selepas zuhur. Di Mina, jemaah bermalam dua atau tiga hari, selain bersiap-siap untuk melontar di jamrah.


Ketika berbaring dalam khemah di Mina, terbayang dalam kotak fikiran saya akan kesukaran sesetengah jemaah dalam perjalanan Arafah-Mudzalifah-Mina yang diceritakan oleh ibu saya ketika beliau menunaikan haji.


Katanya, antara masalah terbesar dihadapi jemaah veteran adalah berkaitan buang air kecil dan besar. Bayangkan jika seseorang jemaah yang lemah sistem perkumuhannya, bagaimana dia dapat bertahan sehingga berbelas-belas jam dalam bas. Tiada apa yang dapat dilakukan, kecuali berdoa dan berdoalah agar perkara mengaibkan diri tidak berlaku ketika perjalanan yang amat sukar itu.


Demikian juga apabila berlaku kes kecemasan, seperti jemaah tiba-tiba jatuh sakit kuat atau meninggal dunia dalam bas. Maka terpaksalah pesakit dibantu oleh jemaah lain setakat yang mampu manakala jenazah terus dibawa sehingga bas dapat keluar daripada kesesakan itu.


Demikianlah cabaran Mudzalifah yang perlu dilalui semua jemaah haji kerana mabit di situ adalah salah satu wajib haji, tidak buat dengan sengaja hukumnya berdosa tetapi tidaklah sehingga membatalkan haji, cuma kena bayar denda (dam).

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on July 07, 2022 16:40

July 6, 2022

Zulhijah 7, 1443: Pedulilah bahasa, tamadun sendiri

Dengan Nama Allah Yang Maha Pemurah Lagi Maha Penyayang, selawat dan salam ke atas junjungan besar Nabi Muhammad s.a.w.

Renungan 

"Sesungguhnya kamu berada dalam keadaan lalai daripada (hal) ini, maka Kami singkapkan daripadamu (yang menutupi) matamu, maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam." (Maksud Ayat 22 Surah Qaf)


SEJARAH mencatatkan kemaraan pejuang Islam di Eropah disekat oleh Charles Martel di Tours pada 732 Masihi. Namun begitu, hakikatnya perseteruan/persahabatan orang Frank (Perancis) - orang Islam terus berpanjangan selepas itu. 


Salah seorang raja orang Frank, Charlemagne (cucu Charles Martel) telah berhubungan dan bertukar-tukar utusan dengan khalifah tersohor dunia Islam, Harun Al-Rashid daripada bani Abbasiyah yang berpusat di Baghdad pada kira-kira tahun 800 Masihi.


Harun dikatakan telah menghadiahkan Raja Frank seekor gajah (luar biasa di Eropah) dan pelbagai 'barangan ajaib' dari Timur seperti set catur dan dulang emas, jam air, seruling gading dan paling penting kain tenunan bermutu tinggi dengan sulaman ayat berbahasa Arab 'Tiada Tuhan Melainkan Allah'. 


Orang Perancis sebagai bangsa 'menghargai sejarah', dikatakan masih menyimpan sesetengah barangan tidak ternilai harganya ini di Aachen, Saint Denis dan ada dibawa sehingga ke Durham, England.


Ya, demikianlah wahai pembaca, kisahnya orang Perancis yang amat 'taksub' kepada sejarah bangsa, bahasa dan tamadunnya...kita orang Malaysia terutama Melayu bagaimana? Akhirnya, saya mengucapkan selamat tinggal kepada Perancis...au revoir!


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on July 06, 2022 16:45

July 5, 2022

Zulhijah 6, 1443: Selamat jalan Stesen Kereta Api KL...

Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah Lagi Maha Penyayang; selawat dan salam ke atas junjungan besar Nabi Muhammad s.a.w.

Renungan

"Dialah (Allah) yang menciptakan bagi kamu pasangan-pasangan (jodoh) daripada makhluk (jenis) kamu sendiri agar kamu condong kepadanya dan berasa tenteram dengannya. Kemudian Allah menciptakan kasih dan sayang antara kamu." (Maksud Surah Ar-Rum: 21)


SEBELUM berangkat ke Perancis, saya tertarik dan berulang kali membaca artikel dalam Harakah cetak (saya tak ingat tarikh terbitannya) tulisan Dato' Iskandar A Samad (Bendahari PAS Pusat) yang bertajuk 'Warisan hilang, sejarah terpadam'. 


Beliau menyatakan kekesalan kerana sejumlah bangunan bersejarah negara seperti Stesen Kereta Api Kuala Lumpur terbiar. Iskandar menulis: "Mungkin pada mulanya kita memadamkan memori bangunan-bangunan tersebut tetapi akhirnya sedikit demi sedikit sejarah akan terpadam."


Di Perancis, saya 'salut' orangnya yang menjaga dengan tersangat baik bangunan bersejarah negara. Pelbagai bangunan berumur ratusan tahun dikekalkan dalam keadaan asal sebagai tarikan pelancong atau dijadikan muzium. Orang luar melihat Muzium Louvre (muzium kedua terbesar dunia dan menempatkan potret Monalisa) sebagai lambang kehebatan tamadun Perancis.


Muzium Orsay pula adalah bekas Stesen Kereta Api Orsay (di Paris) yang dibina pada 1909. Muzium ini menempatkan karya-karya seni abad ke-19 dan pengunjung boleh menikmati karya Renoir, Gauguin, Monet, Manet dan Van Gogh. 


Ya, boleh tak Stesen Kereta Api KL mencontohinya? Bagi saya, stesen ini menyimpan banyak memori diri ini. Pada tahun-tahun 1970-an dulu, stesen ini menjadi tumpuan saya yang berulang alik dari sebuah sekolah berasrama penuh di Perak ke Melaka. Stesen ini menjadi pusat perkhidmatan Keretapi Tanah Melayu.


Pelajar dari Melaka turun atau naik kereta api di Stesen Tampin (kini Pulau Sebang). Kini Stesen (lama) Tampin sudah menjadi sejarah (sudah dirobohkan dan didirikan bangunan baharu). 'Selamat jalan' Stesen Tampin, sekarang adakah kita mahu mengucapkan 'selamat jalan' juga kepada Stesen Kereta Api Kuala Lumpur? Fikir-fikirkanlah...


Saya berkesempatan mengunjungi bangunan Dewan Bandar Raya Compiegne yang mana di lamannya kedapatan patung wirawati Perancis Joan of Arc (hidup pada awal abad ke-15) dan Chateau (Istana) de Pierrefonds (dibina pada abad ke-14). 


Bangunan-bangunan ini dipulihara, sentiasa 'dirawat, dikekalkan dalam bentuk asalnya hatta tak bercat baharu pun. Bagi orang luar macam saya, bangunan ini nampaknya macam istana drakula...ohhh maafkan saya wahai orang Perancis.


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on July 05, 2022 16:56

July 4, 2022

Zulhijah 5, 1443: Tiada 'billboard' di lebuh raya Eropah

Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah Lagi Maha Penyayang; selawat dan salam ke atas junjungan besar Nabi Muhammad s.a.w.

Renungan

"Sesiapa yang membaca 'Astaghfirullah al Lazi La Ilaha' illa Hual Hayyul Qayyum Wa Atubu Ilahi' (Aku meminta keampunan daripada Allah Taala yang tiada Tuhan melainkan-Nya, yang hidup lagi berdiri dengan sendiri-Nya, dan aku meminta taubat kepada-Nya), diampunkan dosanya walaupun dianya lari dari medan perang." (HR. Imam Abu Daud, Tarmizi dan Al-Hakim)


PARIS ada ibu kota fesyen dunia - sebaris London dan New York. Jadi tak hairan kedapatan pelbagai papan iklan termasuk yang besar (billboard) mempamerkan gambar wanita berbikini di tepi-tepi jalan dan dataran kota. 


Namun apabila berkereta keluar dari Paris, memasuki lebuh raya hatta sampai di sempadan memasuki Belgium, saya (penulis) perasan tidak ada satu pun 'billboard' di tepi lebuh raya. 


Apa dilihat sepanjang jalan adalah ladang-ladang tanaman seperti gandum dan bunga-bungaan yang luas cantik dan tersusun terbentang nun sayup mata memandang. Dan ada ketikanya menempuh hutan dan kampung halaman dengan bangunan tertinggi adalah gereja dengan lambang salibnya.


Ya, sejuk dan sedap mata memandang ketika berada di lebuh raya Perancis (hatta di Eropah) kerana tiada gangguan iklan gergasi. Bagaimana di Malaysia? Lebih 10 tahun lalu, saya ada menulis sebuah artikel bertajuk 'Awek punca kemalangan meningkat?'. Antara lain saya menyatakan - ada banyak iklan gergasi di tepi lebuh raya, sebahagiannya mempamerkan gambar-gambar  wanita dengan pakaian dan aksi tidak senonoh...


Saya menulis: "Terpandang iklan-iklan ini, saya 'tertunduk malu', terasa sebal di muka; inikah gambaran luaran (yang dapat dilihat secara fizikal termasuk oleh pelancong asing) sebuah negara Islam yang sering diuar-uarkan itu?"


Ya, fikir-fikirkanlah...pemerintah Perancis dan negara Eropah lain mahu pemandunya fokus 100 peratus ke atas jalan raya, kita pula mahu 'distract' (mengalih tumpuan) pemandu melihat iklan termasuk gambar wanita seksi...adakah kita mengundang kemarahan Allah SWT menyebabkan kemalangan berterusan meningkat? 

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on July 04, 2022 16:25

June 27, 2022

Zulkaedah 29, 1443: Haji, hajah perlu jaga penghormatan (U)

Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah Lagi Maha Penyayang; selawat dan salam ke atas junjungan besar Nabi Muhammad s.a.w.


Renungan


"Sesiapa yang membaca 'Astaghfirullah al Lazi La Ilaha' illa Hual Hayyul Qayyum Wa Atubu Ilahi' (Aku meminta keampunan daripada Allah Taala yang tiada Tuhan melainkan-Nya, yang hidup lagi berdiri dengan sendiri-Nya, dan aku meminta taubat kepada-Nya), diampunkan dosanya walaupun dianya lari dari medan perang." (HR. Imam Abu Daud, Tarmizi dan Al-Hakim)


Haji sebagai salah satu Rukun Islam bolehlah diibaratkan sebuah madrasah bagi melahirkan insan lebih baik daripada semalam tetapi apa disaksikan ada juga insan bergelar haji tetapi amalan dan sikapnya lebih buruk daripada sebelum mengerjakan haji. Ada pula yang statik, perangainya sama saja - dulu, kini dan dibimbangi buat selamanya - sehingga dia dijemput Allah SWT ke alam barzakh.


Salah satu karakter orang bergelar haji paling menarik saya saksikan (filemlah) adalah Haji Bakhil melalui filem Labu Labi. Tak tahulah saya sama ada dia mendapat 'title' haji kerana sudah menunaikan haji atau saja-saja dipanggil haji. Punyalah kedekut orang ini, orang gajinya (Labu dan Labi) tidak diberikan ganjaran sewajarnya.


Di dalam buku 'Teman Anda Ke Tanah Suci' karya Dato' Mohd Saleh Awang (Misbaha) terbitan Times Books International, ada dinyatakan kelebihan orang yang telah mengerjakan haji, antaranya dia adalah utusan Allah.


Misbaha menulis: "Jemaah haji adalah utusan Allah sebagaimana tersebut dalam hadis daripada Abu Hurairah yang bermaksud: 'Orang yang mengerjakan haji dan orang yang mengerjakan umrah adalah utusan Allah. Jika mereka berdoa, nescaya Allah menerima doa mereka dan jika mereka memohon ampun, maka Allah akan mengampuni mereka."


Sebelum meneruskan muzakarah mengenai insan bergelar haji dan hajah ini, terlebih dahulu penulis yang sudah menunaikan haji memohon maaf; bukanlah tujuan penulis mendedahkan keburukan mana-mana pihak, lebih-lebih lagi penulis sendiri banyak jeleknya, tetapi untuk sama-sama merenung, bermuhasabah diri, memikirkan yang terbaik untuk hari muka.


Berdasarkan pengamatan penulis, ramai sahabat-sahabat bertukar baik atau menjadi lebih baik selepas bergelar haji. Alhamdulillah kerana jika dulu tidak kerap ke masjid, selepas bergelar haji hampir setiap waktu berjemaah di masjid.


Malahan kelas pengajian di masjid yang diadakan pada setiap malam antara solat maghrib dan isyak sentiasa diikuti. Tidak cukup dengan itu, insan bergelar pak haji ini sanggup berpindah daripada satu masjid ke masjid lain yang berdekatan semata-mata bagi menambah ilmu dalam mencari keredaan Illahi.


Mak hajah pun tidak ketinggalan menyertai pak haji; jika ada kelas pengajian di masjid, dia pun turut serta. Adalah menjadi pemandangan biasa, mak hajah membonceng motosikal pak haji ke masjid untuk solat berjemaah, biasanya waktu maghrib dan selepas itu mengikuti pengajian sebelum masuk waktu isyak.


Jika dulu bertudung tiga segi atau disimpul di kepala atau di bawah dagu, alhamdulillah selepas kembali dari Makkah sudah memakai tudung labuh, dipadankan pula dengan abaya labuh, mungkin yang dibeli ketika di Tanah Suci dulu.


Namun ada pak haji dan mak aji (hajah) yang perangainya tidak berubah. Seorang sahabat lama yang sudah bergelar haji memberitahu, kelemahannya yang masih belum dapat diatasi ialah 'pantang melihat perempuan berdahi licin'.


Dia yang sudah mempunyai dua isteri, berkata apabila terpandang perempuan cantik, mulalah dia tidak keruan. Dia akan berusaha berkenalan seterusnya menambat hati perempuan berkenaan.


"Perkara ini, saya kalah. Mudah-mudahan Tuhan ampunkan saya," katanya yang mengaku pada penulis dulu masa muda-muda dia pernah berzina.


"Saya sudah bertaubat termasuk pergi Makkah, tetapi pasal bab perempuan ini, saya angkat tangan. Mungkin ini balasan Tuhan kepada saya, perangai buruk ini masih ada," rintihnya.


Penulis juga diberitahu seorang lagi sahabat bahawa kawannya yang sudah bergelar haji, juga masih dengan perangai lamanya yang tidak tahan melihat perempuan cantik.


Dia yang juga sudah beristeri dua, masih ada waktu untuk mengorat sedangkan anaknya sudah berderet dan dia sendiri hampir bermenantu seterusnya mendapat cucu.


Kisah hajah pula tidak banyak penulis ketahui. Apa yang terzahir depan penulis atau dalam akhbar dan majalah ada hajah yang pakaiannya 'lebih teruk' berbanding dulu.


Seorang hajah yang penulis kenali, dulunya kerap berbaju kurung longgar bertudung tetapi sejak akhir-akhir ini selepas berkahwin sekali lagi selepas kematian suaminya, mula berpakaian kebaya dan kadang-kadang mengenakan celana ketat. Entahlah, dia sudah buang tabiatkah atau menyesuaikan dirinya yang berkahwin lelaki muda.


Ada isteri pemimpin yang sudah hajah pun terus mendedahkan kepala dan rambut. Artis yang sudah bergelar hajah juga turut buat perangai. Ada yang kejap bertudung kejap tidak, ada yang menenggekkan kain di kepala dan ada menggelek (goyang gerudi) keterlaluan di pentas sedangkan dia bergelar hajah. Ada artis yang sudah bergelar hajah, sanggup mempamerkan aset tubuh mereka dalam akhbar, majalah dan rancangan televisyen, apa sudah jadi ini?


Adalah wajar bagi insan bergelar haji dan hajah menjaga imej mereka. Nama atau gelaran yang diberikan kepada mereka (haji atau hajah) perlulah dijunjung tinggi. Penghormatan masyarakat sejak sekian lama kepada pak haji/bang haji dan mak aji/kak hajah, usahlah digadaikan.


Malangnya, pada hari ini, semakin ramai insan bergelar haji dan hajah tidak mempedulikan harga diri mereka dan penghormatan yang diberikan. Inilah yang perlu kita bimbangkan; kita tidak mahu semakin ramai Haji Bakhil, Haji Penyamun Tarbus, Haji Kaki Rokok dan Hajah Seksi, Hajah 20 Persen, Hajah Tudung Sekerat, Hajah Tudung Senget, dan Hajah Tak Bertudung mewarnai kehidupan kita!


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on June 27, 2022 16:51

June 26, 2022

Zulkaedah 28, 1443: Welcome Dhul-hijjah, the blessed month of Hajj (U)

In the name of Allah, the Beneficent, the Merciful; blessings and peace be upon Prophet Muhammad s.a.w.

Reflection

The Declining Day (Al-'Asr) 1. By the declining day, 2. Lo! Man is in a state of loss, 3. Save those who believe and do good works, and exhort one another to truth and exhort one another to endurance.


Labbayk, Allahumma, Labbayk, Labbayk, La Shareeka laka, Labbayk Innal-hamda wan n’mata laka wal-mulk, La shareekala – (Here I am at Your service, O Lord here I am, No partner do You have, Here I am, Truly the praise and the favour is Yours and the dominion. No partner do You have).

Dhul-hijjah is the 12th month of the Muslim calendar of Hijra. This is the month Muslim perform hajj, with its peak when they do ‘wukuf’ (to stop or gather) in Arafah (or Arafat) on the 9th Dhul-hijjah. 

Wukuf, being the highest 'rukun' (component) of hajj must be rendered; without which hajj does not take place. The requirement is the presence in Arafat, regardless of whether the pilgrim is riding, walking, sitting or moving. In Arafat one is to spend the afternoon from dhuhr (midday)to maghrib (sunset) prayer times making du’aa (supplications) and repenting to leave Arafat with all of one's sins forgiven.

For Muslims who are not performing hajj in their homelands, they are encouraged to perform recommended deeds during the first 10 days of Dhul-hijjah such as fasting especially on ‘Wukuf’ day and giving charity. Then during Eid Adha (10th Dhul-Hijjah) when Muslims perform ‘solat’ (Eid prayers) and the days of Tashreek (11, 12, and 13th Dhul-Hijjah) they are recommended to do the slaughter or ‘korban’ (sacrifice) animals (such as sheep and cow).

Muslims from all corners of the world gathered in the Holy Land to perform the hajj manasik (rites and ceremonies performed at hajj). After Arafah, the pilgrims would then proceed towards Muzdalifah and pick up pebbles there to be used when stoning the Pillar of Aqabah or Qubra on Eid Adha (10th Dhul-Hijjah).

In Mina, they are required to stay for three nights where they will stone the three ‘jamrahs’ beginning with the first Pillar (i.e. the one which is furthest from Makkah), followed by the middle Pillar and lastly the Pillar of Aqabah. The pilgrims will also shave their heads or cut their hair and then proceed to Makkah to perform the Tawaf Al-Ifadah (circling the Kaabah seven times which is an essential part of Hajj) and then perform Sa’y (walking seven times between the hills of Safa and Marwa). While waiting for the the big day (Wukuf), pilgrims fulfill their days by performing prayers and 'tawaf' in the Grand Masjid of Makkah (Masjidil-Haram).

Some prefer to perform ‘umra’ (small hajj) again and again but they are advised not to it frequently as they needed a lot of energy to prepare for the hardship of hajj. It is advisable to perform hajj when one is at a young age. Perhaps the time is right when one is in his thirties or forties because physically and mentally he is fit to fulfil some ‘robust’ obligations that need strength and stamina such as stoning the devils at the jamrahs in Mina. Furthermore pilgrims have to use the power of their legs for activities such as walking frequently (perhaps five times daily for 'fardu' prayers) from one’s hotel room to the Prophet's Masjid (in Madinah) and Al-Haram Masjid (in Makkah). During hajj, a distance of one or two kilometers from the hotels and the masjids are normal.

For hajj or umrah obligations such as tawaf and sa’y, one has to walk a distance; for example for sa’y when one has to walk seven times between the hills of Safa and Marwah, the distance could be more than four kilometers (600 meters x 7)! When performing the stoning of the devils, it is normal for pilgrims to walk quite a far distance, perhaps two to three kilometres from their tents in Mina to the jamrah. Pilgrims are supposed to stay for four days and three nights in Mina (10, 11, 12 and 13 Dzul-hijjah) dan stone the three jamras everyday during the stay except during 10th Dzul-hijjah (Eid) when pilgrims only stone the main jamrah (Jamrah Al-Aqabah). Thus, to perform hajj one should be physically and mentally fit, so it is advisable to Muslim to take the necessary steps for example started saving from an early age, hoping and praying one could perform the fifth pillar of Islam at the earliest time possible and not at old age.

Writing about my own experience in the Holy Land after being there a few times, I loved to be ‘alone’ (without the presence of known companions near me) in places such as Majidil-Haram and while gathering in Plains of Arafah because I had the feeling of nearness to Allah SWT. Without the presence of ‘a known person’ close to me, I could ‘freely’ pour out my heart to Allah SWT. I was free to shed tears without the feeling of being ‘observed’ by ‘close relatives and friends’.

When you are ‘alone’ it is easy for you to talk and admitted about your past sins and then beg forgiveness from the Almighty. In one such occasion, I was sobbing, lost for words. I reached for my small du’aa book and read the supplications, among others: 

O Allah! I ask of Your integrity and soundness in my religion, my life, my family, and my possessions.

O Allah! Cover my shame, pacify my fears, guard me from what is in front of me and behind me, from what is on my right and on my left, over my head and under my feet.

O Allah! Grant health to my body. O Allah grants health to my hearing. O Allah! Grant heath to my sight. There is no deity except You.

O Allah! You are my Lord. There is no deity except You. You are my Creator and I am Your creature. I try to keep my covenant with You and to live in the hope of Your promise as well as I can. I seek refuge in You from my own evil deeds. I acknowledge Your favours to me, and I acknowledge my sins. Forgive me my sins, for there is no one who can forgive sins except You.

O Allah! I seek refuge in You from worry and sorrow. I seek refuge in You from impotence and sloth, from stinginess and cowardice, and I seek refuge in You from the burden of debt and from being humbled by men.

O Allah! Make the beginning of this day good, the middle prosperous, and the end successful. I ask You to grant me the good of this world and of the Hereafter. O Most Merciful of all Who show us mercy!

O Allah! You hear my words, You behold my situation, You know what is open and what is hidden within me; nothing is hidden from You. It is me alone who is in need, a humble seeker of Your forgiveness. I beseech You with humility in my heart, with trembling and fear, in prostration and utter helplessness.

O Allah! Grant me soundness of belief, goodness of character, forgiveness of my sins, and Your eternal pleasure in the Hereafter. – Ameen

Well, when a ‘hajji’ or ‘hajjah’ returns to his/her homeland, he or she has a huge burden or responsibility on his or her back. Among others, he or she is a messenger of good faith and must shine so that others could follow his or her steps.

Hajj is the fifth pillar of Islam, so whoever has performed hajj, he/she is supposed to produce the finest in whatever they do, keeping in line with the teachings of the Prophet (blessings and peace be upon him, pbuh). 

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on June 26, 2022 16:46

June 25, 2022

Zulkaedah 27, 1443: 'Awek' punca kemalangan jalan raya meningkat? (U)

Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah Lagi Maha Penyayang; selawat dan salam ke atas junjungan besar Nabi Muhammad s.a.w. 

Renungan 

"Dialah (Allah) yang menciptakan bagi kamu pasangan-pasangan (jodoh) daripada makhluk (jenis) kamu sendiri agar kamu condong kepadanya dan berasa tenteram dengannya. Kemudian Allah menciptakan kasih dan sayang antara kamu." (Surah Ar Rum: 21) 


MALAYSIA dan Maghribi adalah antara negara paling tinggi kadar kemalangan jalan raya manakala yang terendah adalah Norway dan Malta.

Di Malaysia, pihak berkuasa dikatakan sudah buntu menangani masalah ini kerana pada setiap kali operasi keselamatan jalan raya pada musim perayaan, jumlah kemalangan dan kematian terus meningkat. 

Pelbagai faktor dikaitkan dengan peningkatan kemalangan jalan raya; pada tulisan kali ini saya mengajak pembaca yang pihak berkuasa berfikir di luar kotak; memuhasabah akan kebarakahan dan keselamatan serta jaminan Allah ketika berada di jalan raya terutama lebuh raya. 

Sebagai pengguna lebuh raya yang hampir saban hari menaiki bas ekspres (tidak memandu sendiri), saya berpeluang memandang bebas panorama keindahan alam termasuklah iklan-iklan gergasi (billboard) di sepanjang lebuh raya. 

Daripada banyak-banyak iklan barangan dan perkhidmatan dipaparkan di 'billboard' berkenaan, sebahagiannya mempamerkan gambar-gambar gergasi wanita yang ada daripadanya dalam aksi tidak senonoh, misalnya ada iklan seorang wanita muda lagi cantik sedang memeluk sebatang kayu bulat yang besar. 

Ada pula wanita yang sedang melompat, bajunya terangkat sehingga menampakkan pusatnya, ada gambar wanita sedang sedap tidur di atas tilam katilnya dan paling dahsyat (pada pendapat saya), gambar wanita berpakaian seksi yang memfokuskan tepian bahagian sensitif tubuh (juga sentitif pada pandangan mata lelaki) seperti ketiaknya. Iklan ini bukan satu tetapi saya sedari ada beberapa buah sepanjang lebih 100 kilometer perjalanan saya itu. 

Terpandang iklan-iklan ini, saya 'tertunduk malu', terasa sebal di muka; inikah gambaran luaran (yang dapat dilihat secara fizikal termasuk oleh pelancong asing) sebuah negara Islam yang sering diuar-uarkan itu? Saya pernah berjumpa seorang pelancong dari Afrika Selatan yang berkata dia datang ke Malaysia semata-mata untuk menyaksikan dan mengalami sendiri 'kesyahduan' Islam di sini; jadi apa katanya jika terpandang iklan gergasi wanita menunjukkan ketiak? 

Berdasarkan pengalaman saya, iklan-iklan provokatif seperti ini tidak saya temui ketika berada di lebuh raya negara maju seperti Britain; mungkin mereka sedar kehadiran 'awek-awek yang menunjukkan ketiak' ini adalah bahaya kepada keselamatan pengguna lebuh raya. 

Pihak berkuasa manakah yang bertanggungjawab ke atas iklan-iklan gergasi ini? Sebagai pengguna lebuh raya yang terpaksa 'mengorek' wang bagi membayar tol (dalam dalam kes bas ekspres, membayar tambang), saya berpendapat saya berhak untuk menyatakan bantahan terhadap pengeksploitasi tubuh wanita di tepi lebuh raya ini. 

Saya tidak rela mata saya dibiarkan untuk menatap ketiak wanita ketika saya menggunakan lebuh raya. Saya bayar tol untuk mendapatkan perkhidmatan lebuh raya yang bagus dan bukan untuk melihat ketiak atau pusat wanita! 

Mungkinkah kemalangan terus meningkat kerana cara hidup jahiliah kita yang mengundang kemarahan Allah SWT? Mana adalah barakahnya kehidupan dan jaminan keselamatan jika ketiak dan pusat wanita sudah dipamerkan di sepanjang lebuh raya!

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on June 25, 2022 09:45

Roslan Hamid's Blog

Roslan Hamid
Roslan Hamid isn't a Goodreads Author (yet), but they do have a blog, so here are some recent posts imported from their feed.
Follow Roslan Hamid's blog with rss.