Teguh Affandi's Blog: arsip alterteguh, page 9
May 22, 2017
Curriculum Vitae: Membuka Keran Kejamakan
(Ruang Gramedia, 22 Mei 2017)
Untuk menyembuhkan diri dari segala kealpaan, kita memutuskan menjadi guru yang gemar berkebun. Aku menaburkan perumpamaan-perumpamaan dan kamu mencabutnya dari kata-kata. (Keputusan, hal. 30)
Dalam salah satu esainya di basabasi.co, Benny Arnas melakukan (auto) kritik atas banyak karya sastra Indonesia dewasa ini. Salah satu yang kentara ialah bagaimana kejumudan teks sastra dewasa ini mengurung banyak penulis pada keran-keran yang diciptakan sekaligus ditutup rapat sendiri. Sekadar mimesis tanpa kredo untuk merambah kepada hal-hal baru dan penuh permenungan.
Kritik runcing itu sejatinya menjadi bumerang, karena Benny Arnas sebagai sastrawan termasuk barisan yang dikritik oleh dirinya sendiri. Tetapi lewat buku ini, yang dinobatkan sebagai pemenang unggulan dalam Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2016, setidaknya Benny Arnas telah membuktikan posisinya sebagai sastrawan yang tidak berhenti pada satu bentuk, membuka keran kejamakan, bukan termasuk penulis stagnan yang tidak mau membuka pikiran.
Novel Curriculum Vitae: Seratus Enam Urusan, Sembilan Puluh Perumpamaan, Sebelas Tokoh, Sepasang Kegembiraan ini menghadirkan bentuk yang tidak baku untuk kategori novel dalam perkembangan sastra dewasa ini. Novel sepanjang 200 halaman ini terdiri dari banyak fragmen kecil, potongan kisah, atau flash fictionyang jahit-menjahit menjadi sebuah bangunan besar bernama novel.
Sebagaimana subjudul yang dipilih penulis, kita akan menemukan (mungkin sebanyak) seratus enam buah kisah pendek. Dimulai dariTelur hingga Khatimah. Yang seolah berdiri sendiri namun menjadi potongan puzzle yang bila disatukan menjadi hamparan kisah.
Dalam kisah pembuka bertajuk Telur, dianalogikan seorang anak manusia yang tidak harus selalu sama dengan jamak. Bahwa bisa saja dia adalah ayam yang kebetulan menetas di antara telur bebek. Atau sebaliknya. Pun dengan novel tidak harus melulu seperti kebanyakan, mungkin begini tegas Benny Arnas di awal.
“Anak ayam tak bisa menjadi seperti anak bebek.” (hal. 2)
Awalan ini menjadi pengenalan akan tokoh yang sepanjang novel selalu disamarkan. Benny Arnas sengaja untuk sama sekali tak memberikan kejelasan tokoh-tokohnya. Keculai aku sebagai narator,kamu yang menjadi pepuja hati, dan tokoh-tokoh lain yang juga disamarkan. Ada Fulan, Fulanah, Fulano, Fulani, dsb.
Namun, sejatinya kejelasan tokoh aku dan kamu masih bisa dilacak sedikit demi sedikit. Aku dikisahkan adalah seorang yang pandai memanjat kelapa dan gemar menulis sastra, kemudian harus berkali-kali bertentangan dengan komunitas. Tokoh aku adalah personifikasi dari seekor ayam yang secara alamakjang lahir di kepungan kandang itik. Juga ada kamu yang disayangi aku dan suka naik sepeda dan pandai menyablon kaos.
Profesi seorang sastrawan memang tak pelak menjadi gunjingan. Tidak menjadi profesi idaman mertua, juga tidak pernah sekalipun masuk dalam cita-cita yang disebutkan kanak-kanak dalam pelajaran kelas. Tokoh aku kurang lebih adalah demikian.
Kemudian muncul sosok Fulan yang ditengarai adalah sosok ketiga yang mencoba menelikung kamu. Fulan menulis sesuatu untukmu. Mau itu surat cinta atau daftar belanja, aku tak peduli. Yang terang, aku terbakar. (hal. 59) Ujian bukan hanya soal orang ketiga. Aku dan kamu berkali-kali di antara keduanya kerap ditumbuhi tunas-tunas saling tidak percaya.
Ya, begitulah alur yang berhasil kita raba-raba dari rimbun metafora yang dipergunakan Benny Arnas. Tokoh yang tidak dikentarakan, alur dan detail lokasi yang tak menjadi penting di tangan Benny Arnas, juga banyaknya perlambang menjadikan novel ini sebagai laiknya sebuah biang. Pembaca diperkenankan menafsirkan dengan leluasa.
Novel Tidak Lazim
Merampungkan satu novel ini, hanya ada kesan bahwa novel ini disusun dengan ambisius untuk menunjukkan antitesis yang dipilih penulis. Penulis, atau kalau boleh saya sebut sebagai sastrawan di negeri, terlalu luluh pada kondisi pasar. Tidak banyak yang berani mendobrak kejumudan dengan dalih pasar tidak menerima hal demikian dan imbasnya buku karya sang sastrawan menjadi tidak laku.
Karya sastra semakin tak menunjukkan gairah untuk terus berubah di tangan sastrawan yang tunduk pada pasar. Benny Arnas mencoba menerobos hal demikian. Pada novel ini misalnya, novel ini disusun atas potongan-potongan pendek yang sejatinya bisa dibaca tidak harus dimulai dari halaman pertama. Pembaca bisa membuka dari halaman mana saja, dan mulai membacanya.
Sensasi seperti ini seperti sensasi yang akan pembaca dapatkan saat membaca buku kumpulan cerpen. Dalam satu potongan cerita, kita sudah dapat mengerti maksud dan bersitan makna yang penulis sisipkan. Sebagai contoh, bila kita membuka halaman 103, dengan judul Warisan. Nasihat Benny Arnas tersampaikan dengan jelas soal warisan utama adalah cinta, budi, dan kasih. Bukan harta benda.
“Warisilah aku cinta, aku akan menjadi hamba-Nya yang paling disayang orang-orang; keluarga, teman, maupun orang asing.”
Apakah ini aneh? Jelas ini hal yang baru untuk pembaca Indonesia. Meski publik internasional tentu sudah tidak asing dengan gaya senada yang terdapat pula pada novel The Lover’s Dictionary David Levithan atau The Last Window-Giraffe milik Peter Zilahy. Bahwa tubuh novel yang panjang-besar dapat tersusun dari potongan-potongan kecil. Amboi! Ini mengingatkan akan tubuh manusia yang terdiri dari 37 triliun sel yang mandiri namun komunal (angka ini berdasarkan hasil riset Eva Bianconi dari University of Bologna pada tahun 2013).
Kekuatan utama selain keliaran bentuk adalah bunga bahasa Benny Arnas dan kekayaan metafora. Bunga bahasa ini selalu menjadi ciri khas dalam prosanya. Nuansa Melayu kentara di sepanjang novel. Mendayu namun pas untuk gaya novel yang demikian. Pun dengan ratusan metafora dan kalimat-kalimat yang tak ubahnya sebuah petuah.
Novel ini harus diakui sebagai novel dengan keberanian Benny Arnas untuk berspekulasi. Ketidaklazimannya dapat membuat banyak pembaca untuk angkat tangan merampungkan. Tetapi sebagai seorang sastrawan, Benny Arnas harus dihadiahi sebuah angkatan topi. Dia telah berani menabrak pakem dan menunjukkan kerja sastrawan adalah kerja kreatif. Tak peduli bagaimana pasar (baca: penjualan buku) nanti didapatkan. Menulis ibarat mencintai yang tak pernah berkawan pada “bayaran atau sejenisnya”, mencintai berurusan dengan ketulusan. (hal.32) []
CURRICULUM VITAE–Seratus Enam Urusan, Sembilan Puluh Perumpamaan, Sebelas Tokoh, Sepasang Kegembiraan | Benny Arnas | Gramedia Pustaka Utama, Maret 2017 | 223 hal | 9786020335834
May 21, 2017
Rio Menjadi Serangga
Saat mata terbuka, kesadaran saya hanya mengingat bahwa saya memang dilahirkan sebagai kutu buku. Saya bukan pegawai rendahan yang oleh mantra Kafka kemudian menjadi kecoa. Juga bukan penulis muda yang oleh sihir Murakami dijadikan kambing yang dari perutnya beterbangan kunang-kunang. Saya kutu buku sedari dulu.[image error]
Di salah satu kios buku bekas, saya tinggal di antara lipatan-lipatan buku. Saya mencium dan kadang menemukan banyak kawan saya sesama kutu buku sekadar hidup dan makan. Lahir sebagai kutu buku adalah takdir yang tak bisa dielakkan. Namun menjadi kutu buku bodoh, sekadar menggeripisi halaman demi halaman buku, dan menanti ajal mengundang adalah pilihan.
Di salah satu halaman ensiklopedia yang saya baca, serangga-serangga kecil
seperti saya hidupnya tak lebih lama dari masa tanam pohon jagung. Bahkan bisa lebih pendek, kalau wanita pemilik kios ini menyemprotkan obat anti serangga, memberi kapur barus, atau dengan kejinya menginjak tubuh-tubuh kami yang kecil hingga keluar semua isi perut kami.
Maka dari itu, saya ingin berkisah tentang bagaimana Tuhan dengan begitu senonoh menanamkan rasa cinta kepada saya. Cinta di serangga maupun manusia sama saja. Dia datang tiba-tiba dan kerap menggelapkan mata. Tapi berkat cinta juga, tubuh saya kerap memanas ketika yang saya cintai menampakkan wajahnya.
Saya bukan jatuh cinta kepada pemilik kios buku bekas saya. Dia seorang wanita tua yang bila tak ada pembeli datang akan tertidur sambil duduk di kursi plastik. Mendengkur dan sesekali saya saksikan tetesan liur membasahi blus hingga rok. Saya tak akan menyukai manusia yang tak pernah menghitung hari seperti dia.
Saya jatuh cinta dengan Rio. Saya tidak tahu nama lengkapnya, saya juga sedikit ragu apakah nama itu benar namanya sungguhan atau sekadar nama asal yang ditemukan wanita tua penjaga kios buku.
Jam 9 lebih sedikit, hari selasa, karena saya ingat dua hari sebelumnya gereja yang tak jauh dari pasar buku loak ini melantunkan senandung misa yang damai. Wanita tua itu diserang kantuk pagi. Kepalanya berkali-kali terantuk dengan dadanya sendiri.
Seorang lelaki mengangkat sebuah buku tua. Saya tahu buku itu tak pernah dipegang karena tak menimbulkan minat, dan dua kawan saya sesama serangga telah membuat lubang di seratus halaman terakhir. Tak banyak, tapi sudah cukup membuat buku itu cacat. Dia membuka-buka beberapa halaman dan kemudian terbatuk lantaran debu yang terselip di antara halaman-halamannya.
Suara batuknya mengagetkan wanita penjaga kios buku bekas.
“Nyari apa, Nak?” tanya wanit penjaga kios buku.
“Lihat-lihat saja,” jawabnya.
“Silakan!” wanita itu kemudian mengamati gerak-gerik calon pembelinya. “Dilihat-lihat kamu mirip banget sama Rio, pembalap itu!”
“Saya cuma mahasiswa yang belum lulus kuliah, bu!” jawabnya.
“Beneran, kamu mirip banget sama Rio si pembalap. Putih, ganteng, dan keker banget!” wanita itu tertawa dan disusul lelaki yang semenjak itu kupanggil Rio. Saya tahu wanita itu hanya sedang meluncurkan rayuan agar Rio mau bertahan lebih lama di kiosnya dan kemudian tertarik membeli salah satu buku.
“Terserah ibu saja!”
Wanita itu memberinya sesimpul senyum. Saya tersentuh oleh keuletan wanita itu mejerat Rio dan juga keramahan Rio yang tak jijik melihat wanita tua dengan keriput mitip kulit kayu jati.
Wanita itu menyodorkan buku-buku sembarangan, ya sebuah usaha untuk memancing ketertarikan Rio. Namun hanya dua kali menerima sodoran buku, kemudian Rio menjauh pamit.
Di pertemuan pertama itu saya rasakan ada yang berguncang dalam abdomen. Gejolak yang lembut namun kuat rambatannya. Aku sedang jatuh cinta.
Setiap pagi, pasca pertemuan itu, saya berharap Rio datang sekadar melihat-lihat dan saya dapat melihat wajahnya yang halus dan lipatan ketiaknya yang menyimpan sebuah kehangatan. Entah mengapa, selain wajah Rio saya tertarik dengan bahu dan lipatan ketiaknya. Sebagai serangga yang menyukai hal-hal yang terimpit, saya jatuh cinta. Saya yakin akan ada kehangatan di dalam sana. Saya akan merasakan sesuatu yang tak lagi sedingin kios buku bekas ini kala malam dan wanita penjaga kios itu menutup kios untuk pulang.
Tetapi saya tetaplah seekor insekta yang tak punya kaki untuk mengejar Rio, tak bersuara lantang untuk menyuarakan kegalauan pasca aku bertemu dengannya tanpa sengaja. Jadi yang bisa saya lakukan hanyalah berdoa agar Rio kalau sedang senggang memikirkan kios buku tua ini.
Dan Tuhan benar-benar sedang tak bisa diajak kompromi. Rio ternyata datang hampir tiap hari ke kios, mungkin lebih tepat saya sebut pasar buku bekas ini. Memang Rio tak mengkhususkan untuk menuju kios tempat saya tinggal. Tapi tiap kali datang, saya bisa menyaksikannya dari kejauhan dan cukup senang bisa menyaksikan kembali wajah dan ketiak Rio.
“Ibu, saya sedang mencari buku,” Rio berhenti kembali di kios tempatku bersembunyi.
“Buku apa, Nak Rio?”
“Buku apa saja, yang penting tentang serangga dan anatominya,” jawab Rio.
Ibu itu gegas masuk ke tumpukan yang lebih rimbun. Saya tahu di dalam sana, buku-buku banyak tergeletak tidak jelas, beberapa masih teronggok di dalam kardus, diikat dengan tali rafia ala kadarnya, atau terdiam tersudut di pojokan kios. Oleh sebab itu tak heran bila banyak buku di kios ini menjadi sarang kutu buku, kecoa, bahkan kerajaan lipan.
Saya mengamati Rio. Melihat lekuk demi lekuk tangan dan bahunya yang kali ini ditutupi singlet. Saya terpesona dan sekaligus membayangkan bisa bersembunyi entah di ketiak kanan atau ketiak kiri.
Lima menit kemudian, wanita pemilik kios buku keluar. Lima buku kuno dengan kertas-kertas berwana kuning dan mulai geripis.
“Ini semua buku tentang fauna, serangga. Rata-rata usianya lebih tua dari kamu. Bahkan ada yang selisih setahun denganku. Jadi ini selain buku ilmu juga buku kuno.”
Rio membalasnya dengan tersenyum. Manis. Ya, itu senyum manusia paling manis yang pernah saya temukan. Mungkin juga karena setiap hari saya hanya melihat wanita itu dan sesekali Rio.
Rio membaca judul-judul buku itu, kemudian membuka beberapa halaman. Sesekali tangannya menekuk untuk menutupi hidung dari serbuan debu yang tiap kali dia membuka buku debu beterbangan seolah terbebas dari kekangan.
Saya yang dalam cerita ini satu-satunya tokoh yang jatuh cinta kepada Rio, mulai mendekatinya. Saya yakin, Rio dan semua manusia selalu abai dengan hal-hal kecil seperti serangga seperti saya. Jadilah saya mulai menyelinap di antara tumpukan buku, kemudian mendekati tubuh Rio yang mencagak di depan kios.
Saya mulai menaiki kaki dan kemudian menjalari ke tubuh bagian atas Rio. Seperti semula saya hanya jatuh cinta kepada ketiak Rio, jadilah tujuan utama saya bisa menyelinap di ketiak Rio. Setelah berusaha agar tak terlihat Rio dan tidak menimbulkan kecurigaan,karena kadang kaki serangga bisa menumbuhkan rasa gatal. Kalau sudah demikian, bisa-bisa Rio menggaruk-garuk. Risiko terkecil aku terjatuh dari usaha menaiki tubuh Rio, dan skenario terburuknya kuku tangan Rio bisa-bisa membuat tubuhku meletus. Kaki saya hentakkan perlahan. Berjingkat agar tak menimbulkan rasa-rasa lain, kulit Rio pastilah sesensitif kulit manusia yang lain.
“Saya ambil yang ini,” Rio mengangkat buku berjudul Ensiklopedia Serangga.
Sementara saya masih bersembunyi di ketiak Rio, dia membayar dan kemudian membawa pulang buku itu. Wanita itu tersenyum karena dia mendapatkan uang. Wajah Rio ceria karena yang dicari telah ditemukan. Dan saya sendiri bahagia dan berdebar, karena berhasil menyusup dan tinggal dalam beberapa waktu di ketiak Rio.
Saya tak tahu berapa lama saya di dalam ketiak Rio. Namun ketika ada cahaya melintas masuk ketiak, saya tahu telah berada puluhan kilometer dari kios buku bekas. Kini saya ada di kamar, yang saya duga adalah kamar Rio.
Rio melepas baju dan menyalakan kipas angin. Saya masih diam di ketiaknya.
“Sayang, tunggu aku. Sebentar lagi aku akan menjadi serangga. Kita adalah sepasang serangga paling bahagia. Lupakan kehidupan manusia yang serba dusta ini! Tuhan memang kurang kerjaan, mengapa aku harus jatuh cinta kepada serangga.” Rio merapal mantra sambil membaca-baca ensiklopedia serangga itu.
Dada saya bergemuruh. Mungkinkah Tuhan sedang ingin mempertemukan saya dengan Rio? Kalau Rio menjadi serangga, saya bisa bersua langsung dan kami akan jadi sepasang serangga, bercinta ala serangga, dan menghasilkan banyak larva. Kalau benar, itu akan membuat saya sebagai kutu buku paling beruntung.
Sebentar lagi saya bisa seperti yang dilakukan oleh dua spesies yang dimabuk cinta.
“Sayang, karena kamu telah berganti wujud menjadi kupu-kupu. Aku akan menyusulmu menjadi kupu-kupu juga,” kalimat Rio seketika meruntuhkan.
Aroma hangat ketiak Rio yang semula hangat mendadak apak. Saya kembali menjadi kutu buku yang hanya hidup terimpit. Kemudian saya rasakan tubuh Rio menyusut, dan sedikit demi sedikit sayap tumbuh di punggung Rio. Rio sebentar lagi akan paripurna menjadi kupu-kupu demi kekasihnya. Dan saya tetap menjadi kutu buku. Sekali lagi, Tuhan menciptakan permainan demi kepuasan-Nya sendiri.[]
[image error]