Teguh Affandi's Blog: arsip alterteguh, page 2

August 2, 2020

Musim Menangkap Bintang

Media Indonesia, 2 Agustus 2020.

[image error]


SEBELUM teropong itu menangkap sosok bidadari yang melepas pakaian satu demi satu, lebih dulu dia kerap dihajar oleh kekecewaan sebab tak bisa menangkap sekebelat cahaya bintang. Cahaya alit yang mungkin saja pudar, tetapi selalu membuatnya yakin bahwa di langit ada kehidupan. Pada ulang tahun keenamnya, Ayah yang kemudian tak kembali sebab ditelan kematian membelikannya sebuah teropong. Hadiah mahal untuk anak yang belum bisa mengartikan cinta dan ulang tahun.


“Mengintip langit sama saja mengintip masa depan,” kata Ayah. Ibu menimpuk punggung Ayah dengan gulungan koran. Bicara sama anak kecil kenapa harus tinggi-tinggi, kata Ibu lumayan kencang. Dia tidak begitu tertarik keributan kecil kedua orangtuanya, dia telah tersihir oleh tabung dengan kaki penyangga mirip trisula itu. “Dengan ini kamu akan tahu surga ada di mana.” Kali ini pukulan tangan Ibunya lebih keras tanpa perlu koran.


Matanya bersinar lebih terang dari lilin ulang tahun berjumlah enam di atas keik cokelat. Di kepalanya muncul adegan-adegan yang entah bagaimana bisa tersambung dari banyak dongeng yang kerap dibacakan sebelum tidur. Bidadari yang berselendang tipis warna-warni, kemudian turun dari salah satu surga, kedatangannya bergelimang cahaya bintang, mandi di sebuah telaga tersembunyi, dan dia mengintip dari lantai apartemennya menggunakan teropong itu.


“Kamu mikirin apa? Buruan make a wish!” Ibunya menyenggol lamunannya.


Sebelum lilin ulang tahun padam, dia berdoa agar kelak di salah satu bintang dia bisa bertemu yang dia inginkan. Surga dan bidadari.


Tiga bulan kemudian saat Ibu meraung-raung menerima telepon dari rumah sakit, dia tahu Ayah mungkin telah ada di salah satu bintang dan dia akan berusaha menangkapnya dengan teleskop. Dan semenjak itu pula, dia tak henti-hentinya mencari dengan mata teropong.


Setiap malam doanya terbang bersama angin yang membentur kaca apartemen. Hingga ulang tahunnya yang ketujuh sebulan lagi tiba, dia belum juga berhasil menangkap cahaya bintang.


Langit di kotanya lebih pekat dari kuah cumi hitam buatan Ibu. Kata Ibu langit kotor penuh karbondioksida. Ah, itu benda macam apa saja dia tidak tahu. Yang pasti, teleskop hadiah Ayahnya tak berdaya menyingkap pekat malam dan menangkap cahaya bintang.


Selepas membuat PR dan menyantap makan malam, dia lekas membawa teropong ke beranda apartemen. Mengarahkan moncong teropong ke langit. Tangannya yang mungil memutar-mutar kenop yang dia dan Ibunya sendiri tak paham betul cara mengoperasikan, lebih-lebih fungsinya. Mata diletakkan di sisi yang lebih kecil berusaha mengintip dari celah tersebut. Gelap dan selalu pekat.


“Ibu, apa bintang hanya ada di buku?”


“Maksudmu?” tanya Ibu yang malam ini sibuk mengemas beberapa pakaian bekas layak pakai untuk sumbangan.


“Bintangnya tidak ada. Susah ditangkap.”


“Kalau kamu tidak menemukan, bukan berarti tidak ada.”


Dia menelengkan kepala.


“Bintang ada. Hanya langit Jakarta yang kotor. Coba sedikir lebih malam. Langit akan lebih bersih saat kendaraan-kendaraan sudah pada pulang,” Ibunya menjawab tanpa memandang wajah anaknya yang dua hari lalu memar sebab berulah di kelas olahraga. Dia menggosok memar yang mulai hilang dan denyut nyeri yang tipis mengedipkan matanya secara otomatis.


“Apalagi apartemen kita banyak cahaya. Makin susah teropongmu menangkap bintang.”


“Sebaiknya kutunggu sebentar,” bisiknya dan berjalan ke sofa tak jauh dari Ibuya yang maish bersila di tengah tumpukan baju bekas.


Seperti kebanyakan anak-anak, janji untuk bergadang hanya berujung kantuk dan tidur di sofa tengah. Pukul sepuluh malam, saat mungkin langit Jakarta mulai sedikit lebih jernih, dengkurnya halus terdengar.


Hadeeeh! Kalau tidur kenapa nggak gosok gigi dulu!” Ibunya mengomel dan dibalas oleh gema suaranya sendiri. Saat hendak mengangkat anaknya yang tertidur, Ibu muntab. “Ini kenapa wajahmu! Pasti berkelahi lagi!” Omelannya cukup keras seolah anaknya masih bisa menjelaskan duduk perkara. Semakin menjadi, saat tahu teropong masih teronggok di beranda, jendela kaca terbuka, dan buku-buku berserakan di meja.


“Kapan bisa istirahat kalau punya anak seorang saja sudah sedemikian melelahkan!”


Dalam bopongan Ibu, dia samar-samar mendengar percakapan Ayahnya dengan seorang bidadari. Sebentar lagi teropong anakku akan menangkap cahaya bintang.


***


Langit Jakarta menjadi lebih jernih. Angka polusi udara Jakarta turun drastis. Justru ketika langit tampak lebih biru dari biasanya, dia tak bisa lagi ke sekolah. Ibu 24 jam di rumah dilahap laptop dan gawai, mulai suka memotret langit-langit Jakarta di siang hari.


“Kita harus di rumah saja selama ada penyakit ini,” kata Ibu.


“Kenapa langit sekarang jadi lebih indah? Kenapa Ibu jadi suka memotret langit?”


“Kamu sama menjengkelkannya dengan ayahmu,” padangan Ibu terpaku pada layar ponsel, mencerahkan dan mengatur saturasi dari hasil jepretannya. “Di luar banyak orang sakit. Semua orang harus di rumah sampai penyakit itu pergi.”


Seharian dia membolak-balik buku tanpa ada satu kalimat yang berhasil masuk. Matanya berulang kali melihat sepotong langit dari kotak jendela apartemen. Ingin dia membawa teropongnya ke beranda dan menangkap bintang di langit Jakarta. Meskipun langit jenih, apa ada bintang di tengah siang? Nanti petang, saat Ibu menyiapkan makan malam, dia akan membawa teropong itu dan menangkap bintang.


“Di rumah saja, bukan berarti main seharian. Ibu masih harus bekerja dan kamu harus belajar. Nonton televisi baru boleh setelah jam enam malam.”


Suara Ibu memantul. Ibunya khawatir kalau dia yang mulai tak bersuara merencanakan untuk tidak belajar dan menonton siaran lawak di televisi.


“Ibu PR-ku sudah selesai kubuat,” dia membawa buku latihan soal ke meja Ibu. Tak digubris, sebab tangan Ibu penuh. Satu menopang gawai yang menempel di telinga kiri sambil ber-iya-iya sedangkan satunya memegang tetikus laptop. Mata Ibu berkedip dan kepalanya mengangguk. Tanda dia tak boleh menganggu Ibu. Dia ingin mendengar izin Ibu untuk berhenti belajar. Sehingga dia bisa gegas mengubek-ubek langit.


Setengah jam kemudian Ibunya merangkul dari belakang, “Kamu pintar, mandiri. Ibu waktu seusia kamu sudah disuruh mencuci sendiri dan menggembala sapi.” Ibu tertawa kencang sambil mengelus rambutnya. Hanya dinding yang menimpali dengan gaung yang tak kalah riuh.


“Ibu mau masak ayam goreng. Kamu mandi saja. Nanti kamu selesai mandi, ayam goreng ibu sudah siap.”


Dia masih diam saja. Dia menarik-ulur kalimatnya agar dia bisa main sedikit lebih lama.


“Ibu, apa boleh aku main sebentar. Mandinya nanti habis makan saja.”


Biasanya Ibu akan marah. Tetapi menyaksikan dia yang hari ini begitu patuh sekaligus tekun membuat PR, Ibunya luluh dan membuat senyum paling manis. Ibu mengangguk.


“Emang mau main apa? Sudah mau gelap juga.”


“Aku mau meneropong langit.”


Alis Ibu mengkerut.


“Mumpung langit sedang jernih. Aku mau meneropong langit.”


Ibunya tertawa lebih kencang. Elusan di kepala kini berganti dengan pelukan paling kuat, sampai dia tampak mulai menggapai-gapai susah bernapas.


“Ah, maafkan Ibu. Saking gemasnya Ibu sama kamu.”


Keduanya saling bertatapan dan bungah.


Dia menyeret teropong besar hingga di beranda apartemennya. Matanya menempel pada sisi lebih kecil dan sisi besar itu diarahkan ke langit Jakarta yang masih saja bening meski sudah lewat pukul lima petang. Dia yakin betul kali ini bisa menangkap bintang. Sebab langit Jakarta jernih. Sebab teropong pemberian Ayahnya adalah teropong mahal. Sebab semua orang Jakarta sedang di rumah, seperti Ibunya, dan mengagumi langit yang lebih biru dari hari-hari biasanya.


Suara minyak mendidih bertemu potongan ayam berbalut tepung. Wangi gurih daging ayam segar, bumbu instan, serta legit lemak minyak menguar di ruangan apartemen mereka. Dia tak menjauhkan sedetik pun mata dari teropongnya. Dia mengubah-ubah posisi teropong. Tetapi hanya biru langit dan putih awan yang seperti segumpal permen kapas. Tidak ada bintang. Tidak ada bulang.


“Ibu, kenapa juga bintang belum ada?”  


“Haaa!” Ibunya tidak begitu mendengar. Suara perkakas dapur dan bunyi minyak menghalau pertanyaan anaknya. “Sebentar lagi selesai. Cepetan mandi. Habis itu makan bareng.”


“Apa bintang benar-benar ada? Langit Jakarta yang jernih saja tidak bisa menangkapnya,” dia berbisik pelan. Teropong masih berpindah-pindah posisi.


“Mandi saja dulu!” suara Ibu kencang. Tak paham apa yang digumamkan anaknya.


Hingga kemudian mata teropong itu menangkap sosok perempuan di seberang bangunan apartemennya. Perempuan itu mungkin seumuran Ibunya. Perlahan-lahan melepas baju. Tubuhnya siluet tertimpa cahaya terang dari jendela kaca. Dia tak menggeser satu senti pun teropong. Dia mengamati apakah dia sosok bidadari yang kata Ayah turun dari langit untuk mandi. Perempuan di ujung sana tentu tak sadar sedang diawasi dari balik teropong.


Dia tak berkutik hingga kemudian Ibunya menghentak. “Kebiasaan! Kalau main lupa mandi! Mandi dulu!” sambil menariknya ke kamar mandi.


***


 Malam belum begitu malam. Langit masih sedikit oranye. Ayam goreng, nasi putih hangat, serta tumis sawi putih terhidang di meja. Ibu mengunyah perlahan sambil menyahuti suara pembawa berita berbahasa Inggris di televisi.


“Apa Ayah ditemani bidadari?”


Seketika Ibu menghentikan kunyahan. Ruangan apartemen mendadak pengap. Paha ayam diletakkan. Sendok berdenting mengenai permukaan piring.


“Kenapa kamu tanya begitu?”


“Katanya orang meninggal akan tinggal bersama bidadari.”


“Tidak semua tinggal bersama bidadari. Ayahmu diam termangu di langit memandangi kita.”


“Oooo….,” dia tak melanjutkan pertanyaan. Ibunya kini beranjak dari kursi menuju kulkas mengambil air dingin. Ingin sekali dia bercerita, di ujung teropong itu perempuan mirip bidadari dan laki-laki mirip Ayah bergelut, seperti yang sering dilakukan Ibu dengan kawan lelakinya.


“Langit Jakarta jernih. Apa bintang bisa kulihat malam ini, Ibu?”


“Mungkin.”


Keduanya sama-sama menatap sepotong langit Jakarta dari jendela kaca. []

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on August 02, 2020 06:58

June 12, 2020

Mencari Definisi Kenormalan

Koran Tempo, 13-14 Juni 2020.

 


KETIKA debut dengan Conversiation with Friends (2017), Sally Rooney seketika menjadi perbincangan internasional. Karya-karyanya, termasuk Normal People ini, dianggap sebagai suara post-Irish milenial. Novel Irlandia yang melepaskan diri dari belenggu identitas agama, tidak sekadar menampilkan panorama rural, dan mulai menyinggung fenomena digital yang terbilang baru dalam sastra Irlandia. Kehidupan digital dalam novel Rooney kemudian membawa pembicaraan ke wilayah keterasingan, isolasi diri, dan keringnya jiwa manusia modern.


Normal People yang merupakan novel kedua Rooney juga telah dialihwahanakan menjadi serial televisi 12 episode. Roney sendiri turut terjun langsung dalam pembuatan serial tersebut. Dia terlibat dalam tim penulisan skenario sehingga visual serial lebih berfungsi untuk menghidupkan kembali dialog-dialog yang patah dari novel.


Rooney dalam novel ini mengambil kisah romansa antara Marianne Sheridan dan Connell Waldron yang tumbuh di kota kecil Sligo, Irlandia. Keduanya dibesarkan dengan latar belakang keluarga yang berbeda. Keluarga Marianne adalah keluarga berada dengan tanpa catatan kriminal. Sedangkan keluarga Connell berasal dari kelas pekerja di mana Lorraine—ibu Connell orangtua tunggal, terdapat catatan kejahatan, dan bekerja di rumah Marianne sebagai asisten rumah tangga.


[image error]


 Meski tampak berasal dari keluarga kurang berada, Connell-lah yang justru diterima dengan baik di sekolah. Dia salah satu murid populer, digilai banyak perempuan. Sebaliknya Marianne tak begitu menarik perhatian, tubuh kurang menarik, dan digambarkan dada yang rata. Namun, tidak bisa dimungkiri Connell dan Marianne saling menyukai.


Sampai bagian ini publik akan menilai premis Rooney sungguh biasa saja. Kisah-kisah cinta berbeda kelas sosial keluarga sudah banyak diangkat oleh karya klasik, misalnya Jane Austen, Charlotte Bronte, atau Louisa May Alcoltt. Mungkin sebab premis seperti inilah dalam beberapa ulasan Normal People dianggap sebagai karya klasik milenial.


Semua berubah ketika mereka kuliah di Trinity College, Dublin, salah satu kampus terbaik di Irlandia. Kehidupan keduanya terbalik, baik Connell maupun Marianne mendefinisikan kembali kenormalan hidup masing-masing.


Marianne ialah tipe perempuan dengan kelindan luka. Dianggap tiada oleh teman-teman di sekolah membuatnya meyakini bahwa dirinya tidak normal, tidak seperti kebanyakan, bahkan ketika menjalin hubungan dengan Connell harus tetap dirahasiakan, tidak boleh ada satu teman pun yang tahu. Bahkan Marianne kerap menyalahkan dirinya sendiri, “Aku tidak tahu mengapa aku tidak bisa menjadi manusia normal….Aku tidak tahu mengapa aku tidak bisa membuat orang lain mencintaiku.”


Baik Marianne dan Connell sama-sama bergelut dengan kecemasan pribadi atas penerimaan lingkungan. Marianne mungkin dalam beberapa adegan dimudahkan sebab lahir dari keluarga kaya. Dan Connell sempat merasa populer samasa SMA sebab dia tampan, atlet sepakbola, dan mudah bergaul. Namun pada masanya mereka disudutkan akan pertanyaan, haus bagaimana agar bisa diterima dan dianggap normal oleh orang lain.


Rooney sebagai penulis perempuan berkali-kali dalam wawancara menyebut dirinya sebagai Marxis garis keras. Dalam novel ini, percik-percik ideologi Rooney terpampang kentara.


Rooney dalam Normal People menegaskan bahwa kekuatan kelas dan kapital menjadi sangat utama. Marianne yang berasal dari kelas atas dengan kapital gemuk digambarkan mampu masuk ke kampus elit tanpa kesusahan bahkan tidak butuh beasiswa seperti Connell. Kalaupun nantinya Marianne mencoba ikut tes dan lolos seleksi beasiswa itu lebih sekadar sebagai pengakuan.


Bagi Marianne beasiswa adalah pendorong rasa percaya diri dan penegasan menyenangkan atas keyakinan dirinya bahwa dirinya istimewa. Bukan soal uang kuliah lunas dan gratis makan siang, seperti Connell. Beasiswa bagi Connell adalah kapal pesiar yang meluncur cepat. (hal.181) Sebab semasa di Trinity College, Connell termasuk mahasiswa yang kurang beruntung. Tinggal di kamar sewa sempit, makan seadanya, masih harus bekerja paruh waktu di swalayan, dan ke pesta dengan pakaian yang itu-itu saja, kaus olahraga.


Sebab kelas dan kekayaan pula, Marianne menjadi sangat populer di Trinity College. Dipuja banyak lelaki dan diundang ke berbagai pesta akhir pekan. Ketika kapital dan kelas mempermudah segalanya, Marianne menemukan kenormalan baru yang tidak dia temukan di lingkungan keluarga dan sekolah dulu.


Sebagai perempuan, Rooney juga cukup jelas menyuarakan perempuan sebagai gender kelas dua. Marianne adalah korban kekerasan fisik maupun verbal oleh kakak lelakinya. Alan kerap mencerca dan melakukan kekerasan fisik. Cara pandang Marianne terhadap Connell juga kawan lelakinya yang lain, bahwa lelaki hanya ingin menguasai perempuan. Kaum lelaki jauh lebih peduli terhadap pembatasan kebebasan perempuan daripada menikmati kebebasan pribadi mereka sendiri. (hal.108)[image error]


Kelas atas menekan kelas bawah, yang bermodal besar mudah mencaplok yang modalnya kecil. Pasar bebas dalam dunia Normal People adalah sebuah kewajaran, termasuk bagaimana gender lelaki dengan bebas menekan perempuan. Siapa menekan siapa, apa menekan apa, dan bagaimana semua itu terjadi dibahas dan dijawab dalam novel ini dengan gamblang. Sebuah norma normal yang tumbuh di lingkungan pasar bebas seperti sekarang.


Definisi normal yang demikian pun masih belum seratus persen benar bagi Rooney. Marianne masih harus berpeluh menyelesaikan kelindan kisah asmaranya dengan Connell yang semakin ruwet. Di satu sisi ada ruang yang tersisa untuk Connell, di sisi lain dia tetap ingin mencemooh Connell sebab menafikannya di masa sekolah. Tarik ulur yang demikian yang membuat novel ini tampak kompleks.


Romansa antara Marianne dan Connell sejatinya biasa saja. Peliknya asmara kerap menyisakan pekerjaan rumah yang tak habis, meski sudah bertahun-tahun berlalu. Sisa asmara dengan Connell tersebut mengerak dan bila air bah datang, akan mucul ke permukaan dan mengusik sanubari Marianne.


Normal People ditulis dengan narasi yang begitu dingin dengan tanpa maksud berindah-indah dalam kalimat, juga dialog-dialog kaku dan sengaja dibuat rumpang untuk menggambarkan kecemasan di masing-masing tokoh. Marianne dan Connell adalah potret romansa mileneal sekaligus kegelisan yang selalu muncul di sepanjang zaman. Hal ini yang membuat novel ini laris dan diterjemahkan ke dalam banyak bahasa.


Kaidah normal memang selalu mudah didefinsikan ulang. Pola pikir dan keadaan sekitar akan mudah memengaruhinya. Namun, digdaya kelas dan kekuatan kapital yang selalu lebih lantang bersuara adalah hukum kenormalan yang tak bisa dielak. Dan demikian yang diyakini Sally Rooney dalam Normal People. []


 


NORMAL PEOPLE | Sally Rooney

Bentang Pustaka | Maret 2020

vi+302 | 9786022916512


NB: Teman-teman yang punya akses ke edisi digital atau mungkin masih langganan Koran Tempo, boleh dong saya dibantu mengarsipkan digitalnya. Sebab sudah semenjak pandemi, loper koran deket UI tutup.

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on June 12, 2020 23:49

April 4, 2020

Ancaman Kepunahan

Koran Tempo, 4-5 April 2020.


SEJAK PROLOG buku ini, Elizabeth Kolbert menggarisbawahi bahwa kehadiran makhluk bernama Homo sapiens  telah mengubah tatanan bumi. Manusia modern dengan akal budi terbukti mampu menghadirkan ilmu pengetahuan, bahasa, dan teknologi yang tidak bisa diciptakan oleh makhluk lain maupun “manusia” sebelumnya. “Belum pernah ada makhluk yang mengubah kehidupan di planet ini dengan cara demikian!” Tidak berhenti di sini, kegiatan Homo sapiens telah menyisakan jejak karbon yang membawa bencana baru bernama kepunahan.


Hingga abad ke-18, masyarakat ilmuwan masih belum familier dengan terma “kepunahan”. Ia masih dinilai gaib dan terus saja ditampik. Sulit diterima hipotesis yang menyebutkan bahwa suatu makhluk hidup tertentu pernah hidup di bumi dan oleh suatu sebab tersapu lenyap keberadaannya. Hingga kemudian muncul seorang naturalis asal Prancis, Georges Cuvier yang pulang membawa fosil berupa geraham dan tulang paha mastodon amerika atau Mammut americanum.


Dua temuan itu semula dianggap sekadar sebagai “hewan aneh dari tepi Sungai Ohio”. Kebanyakan menganggap temuan itu berasal dari dua hewan berbeda. Tulang pahanya adalah gading gajah dan gerahamnya milik hewan lain, yang ada kemungkinan kuda nil. Di tengah perdebatan sengit itu, Cuvier memberi penjelasan jernih atas detail perbedaan dua fosil tulang tersebut dengan tulang gajah, baik dari gajah Asia maupun Afrika. Hingga kemudian sampai pada kesimpulan, Mereka adalah espèces perdues atau spesies yang hilang. (hal.27)


[image error]


Teori Cuvier belum terang menjelaskan penyebab mengapa spesies itu punah. Ia hanya menyebut “semacam bencana”. Sedikit berbeda dari pendapat tranforisme—bahwa makhluk hidup mengalami perubahan dan berevolusi secara fisiologi, Cuvier yakin bahwa bencana adalah penyebab kemusnahan banyak spesies tersebut. Mereka lenyap tanpa sempat menyesuaikan perubahan mendadak. “Kehidupan di Bumi sudah sering diganggu peristiwa dahsyat. Banyak sekali makhluk hidup yang telah menjadi korban bencana,” demikian ia menuliskan. Dari sanalah teori kepunahan diterima dan kemudian ramai-ramai mencari pembabakan kepunahan dan apa saja yang punah pada setiap masa.


Kaum ilmuwan telah sepakat untuk mencatat lima periode kepunahan yang terjadi di muka bumi. Kepunahan itu berdasarkan temuan fosil dan pencatatan waktu telah menghabisi spesies tertentu dan mengubah tatatan bumi. Hampir boleh dibilang semua kepunahan itu disebabkan oleh alam atau pun proses seleksi alam dan evolusi. Kepunahan terakhir yang dicatat terjadi kurang lebih 66 juta tahun lalu, ketika enam asteroid mahabesar menabrak bumi. Laut kita kacau dan memusnahkan hampir 75% flora dan fauna di bumi.


Sementara lima kepunahan didasarkan atas temuan fosil, kepunahan keenam didasarkan atas kerusakan alam dan hilangnya spesies tertentu. Seperti sebuah satire pedas, frasa “kepunahan keenam” Kolbert menjewer manusia-manusia abai yang selama ini merasa kerusakan ekosistem masih begitu jauh dan apabila dekat mereka tak bertanggung jawab. Mulai dari beberapa binatang, kerusakan karang di lautan, hingga musnahnya pulau-pulau kecil akibat kenaikan permukaan laut.


Kolbert menyusun Kepunahan Keenam ini seperti sebuah buku perjalanan. Bukan soal panorama senja dan keindahan tepi pantai, melainkan sebaliknya. Hewan-hewan yang punah dalam hitungan tahun, ekosistem laut yang rusak, dan tangan manusia ada di balik semua itu. Menurut dia, Ada segala macam alasan kepunahan spesies yang seolah saling terpisah. Namun bila ditelusuri semuanya hingga cukup jauh dan tak pelak lagi akan ditemukan biang keladi yang sama: satu spesies merajalela.


Satu dasawarsa lalu, katak emas panama (Atelopus zeteki) masih sangat melimpah di El Valla de Antón, Panama. Namun, mulai 2002 mendadak muncul bangkai-bangkai katak berwarna emas dan beracun itu. Dan mulai susah ditemukan sejak 2004. Usaha konservasi dengan membuat “hotel katak” pun tak berhasil mengembalikan keberadaan katak emas yang punah. Orang-orang di El Valle pun menyadarinya, “apa yang terjadi dengan katak emas? Kami tak mendengar bunyinya lagi.”


Sikap orang di El Valle tidak jauh berbeda dengan sikap manusia pada umumnya. Selalu menganggap alam dan bumi hadiah semata. Baru sadar bila kepunahan merapat.


James Hansen, ahli klimatologi, dalam pidato TED Talk, berpendapat apabila panas polusi manusia dalam sehari yang terperangkap di lapisan atmosfer dilepaskan, maka ledakannnya setara 400.000 kali lipat dari bom nuklir Hiroshima. Adapun catatan Kolbert, pembakaran batubara, minyak, dan gas telah menyumbang 365 miliar ton karbon dioksida ke atmosfer. Penggundulan hutan sendiri menyumbang 180 miliar ton. Ini tidak hanya dilepas ke atmosfer, juga jatuh dan mengasamkan konsentrasi laut. Biota laut rusak, terumbu karang akan hancur, dan hewan-hewan akan mati.


Bukan hanya kemusnahan flora-fauna, manusia juga telah melenyapkan manusia lain. Homo sapiens yang dikenal sebagai manusia modern sekarang, secara masif telah memusnahkan jenis manusia lain yakni Homo neanderthalensis (manusia lembah Neander). Manusia lembah Neander secara fisiologi memang tidak jauh berbeda dengan manusia modern sekarang. Sudah berjalan tegak, lebih berbulu, dan memeliki bentuk tengkorak yang sedikit berbeda. Mereka musnah setelah Homo sapiens hadir dan menggusur mereka. Dalam buku ini, Kolbert memberi gambaran visual seorang Homo neanderthalensis duduk mengenakan jas laiknya seorang anggota parlemen.


Kerusakan alam memaksa makhluk hidup berubah. Yang berhasil akan bertahan, sebaliknya yang gagal akan musnah. Pendapat seperti ini bukan seratus persen keliru, sebab Darwin dalam teori evolusi pun telah membenarkan hal ini. Sedikit demi sedikit perubahan alam akan melahirkan spesies baru lewat evolusi dan penyesuaian diri. Namun bahaya ke depan bila terjadi kepunahan massal dan masif ialah tidak akan dijumpai lagi keragaman hayati. Bumi hanya diisi oleh makhluk yang berhasil terhindar dari jurang kepunahan. Bila ekosistem bumi telah homogen, tatkala muncul pandemi maka kemusnahan total ibarat lentikan jemari.


Manusia sebagai penghuni tertinggi piramida kehidupan, dengan akal budi dan sedikit keegoisannya telah mengubah tatanan kehidupan dan bumi. Menjadi sedemikian maju, sekaligus menyisakan jejak mengerikan. Maka, bila peringatan Kolbert dalam buku ini tak membuat banyak telinga manusia merah, maka sangat mungkin kepunahan keenam akan semakin masif. Bumi dan kehidupan di dalamnya hanya akan jadi legenda. []


 


Identitas buku:

KEPUNAHAN KEENAM | Elizabeth Kolbert | Gramedia Pustaka Utama

Februari, 2020 | xii+298 halaman | 9786020638508


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on April 04, 2020 18:36

March 28, 2020

Kejadian dan Kebajikan Manusia

Dimuat di Basabasi.co 7 Maret 2020.


[image error] sumber gambar: behance

KISAH ADAM HAWA di Taman Firdaus adalah salah satu legenda yang masyhur dalam lingkungan agama samawi. Banyak pula penceritaan ulang dan tafsir baru atas kisah tersebut. John Steinbeck salah satunya dalam novel East of Eden (1952) secara implisit menggambarkan bagaimana manusia-manusia pertama di bumi berinteraksi. Steinbeck meminjam kisah Kain dan Habel dengan latar perang sipil Amerika Serikat. Dalam novel Steinbeck, tokoh Charles dan Adam adalah representasi Cain dan Abel. Charles sebagai sisi buruk dan Adam sisi baik, sebagaimana digambarkan dalam pembunuhan Abel atau Habel oleh Kain. Baik-Jahat; dua hal yang berkelindan dalam kehidupan manusia.


Novel Ketakberhinggaan di Telapak Tangannya (Oktober, 2019) ini mengisahkan Adam dan Hawa dan kehidupan di awal-awal keberadaan mereka. Meminjam kisah Kitab Kejadian, ketika Adam pertama kali diciptakan, kemunculan Hawa, turun ke bumi, menyaksikan hal-hal baru, dihujani ilmu pengetahuan, dan menyelami kebaruan-kebaruan yang tak ada di Taman Firdaus.


Dan begitulah pada mulanya si laki-laki. Tiba-tiba. Dari tidak sadar menjadi sadar bahwa dia ada. (hal.3) Adam “mendadak” ada dalam dunia dengan wahyu-wahyu Ilahi yang menuntunnya memahami yang di hadapan dan eksistensinya. Adam menyebut “Yang Lain” untuk kehadiran sosok yang diam-diam mengawasi dan memberitahunya nama-nama benda sekaligus keberadaannya.


Kejadian-kejadian di Taman Firdaus berjalan seperti skenario milik “Yang Lain” di mana Adam dan Hawa adalah boneka-boneka yang menjalankan tanpa pilihan. Ketidaktahuan mendasari mereka untuk mengeksplor hal-hal baru dan memacing rasa ingin tahu mereka. Pengetahuan Adam dan Hawa di Taman Firdaus selalu mereka dapatkan dari suara Tuhan, yang disebut Adam sebagai Yang Lain, yang kehadirannya serupa dengan angin meski lebih ringan dari itu. (hal.4)


Manusia pada dasarnya memang haus akan pengetahuan, yang membuat Adam Hawa mengeksplorasi Taman Firdaus. Hingga mereka bersua dengan Pohon Kehidupan dan Ular yang menjadi pembisik. Dan seperti semuanya sudah tahu, Adam dan Hawa “membangkang” larangan Elokim-Tuhan, dan diturunkan di bumi. Sebab mendiami Firdaus membuat Adam dan Hawa meski dijanjikan keabadian dan kenikmatan tanpa batas, sejatinya eksistansi mereka tidak lebih aksesoris Elokim. Dan bumi yang tidak terbayangkan adalah sumber pengetahuan.


“Mana yang akan kau pilih, pengetahuan atau keabadian?” (hal.14)


Keduanya kemudian menjadi dua makhluk pertama berwujud manusia yang tinggal di bumi. Tanpa pengetahuan, selain intuisi dan bisikan Elokim.


[image error]


Kesadaram Ilahiah


Peran Elokim yang menciptakan kalian selain sebagai pencipta adalah pembisik ilmu pengetahuan kepada Adam. Hawa digambarkan selalu dihasut oleh Ular untuk menjajal ragam pengetahuan baru di Pohon Pengetahuan.


Kesadaran dari Elokim yang juga kemudian menuntun kehidupan awal di bumi. Keterbukaan pikiran mereka akan hal-hal baru di bumi masih bertaut dengan bisikan Elokim. Melihat matahari yang bersinar terik, hawa panas, dingin air sungai, gunung menjulang. Fenomena di hadapan mereka diterjemahkan dengan baik berkat bisikan Elokim melalui Adam.


Maka digambarkan hal-hal konyol yang menggelitik. Ketika pertama melihat matahari dan merasakan panasnya, berdua menganggap itu adalah api. Api mengejar mereka, mendorong mereka tanpa ampun. (hal.45)


Kemudian ketika menemukan gua dan sumber air, kembali mereka diterkam ketakutan. Sensasi sejuk air dikhawatirkan seganas sengat matahari. Mereka hanya berkumur dan takut menelan air sejuk itu. Mereka mengisi pipi tetapi tak berani menelan airnya. Rasanya dingin berkebalikan dari api, tetapi sama-sama membakar. Mereka takut air itu akan mengonyak dada mereka. (hal.49)


Termasuk bagaimana mereka menjelajah tubuh masing-masing. Tak ada ilmu pengetahuan hanya bisikan Elokim dan dorongan alam. Hawa adalah lautan tempat meredam kegundahan Adam.


Dari memandangi sekitar Adam belajar bagaimana siklus alam, siklus lapar-makan-buang air. “Lihatlah kau sekarang. Harus membunuh agar bisa makan.” (hal.80)


Pada tahapan ini, Adam dan Hawa dibimbing alam, ular, dan Elokim sebagai “mahadalang” atas semuanya. Aliran kesadaran dan pengetahuan dari sumber mereka.


 


Kesadaran Pengetahuan


Sedikit berbeda ketika generasi kedua hadir di antara Adam dan Hawa. Habel-Aklia dan Kain-Luluwa. Dua pasang kembar yang lahir dari rahim Hawa. Kehadiran mereka seketika menambah kesadaran baru pada manusia-manusia pertama tersebut. Berbekal pengetahuan yang telah dihimpun Adam-Hawa mencoba mewariskan pengetahuan, beberapa dibantah oleh mereka.


Bila seksualitas dalam kacamata Adam-Hawa adalah tuntutan batin. Keduanya ibarat lautan yang saling mencari peraaduan. Sebaliknya dalam pandangan Habel-Kain ada terma baru dalam pandangan mereka “menarik-tidak menarik”, “merangsang-tidak merangsang”. Cara pandang tubuh telah sedikit bergeser.


Luluwa lebih menarik dari Aklia. Kain tak ingin Luluwa dipasangkan dengan Habel. Sedangkan Elokim membisikkan bahwa mereka tidak boleh bercampur, harus bersilangan. Dan cara memandang tubuh dan seksualitas inilah nanti lahir pembunuhan pertama di awal kehidupan manusia.  


Pemberontakan kepada Elokim dimulai dari sini. Dan cara pandang manusia kemudian tidak harus selalu bertumpu pada bisikan Elokim. Di tahapan inilah kemudian muncul dua sisi kehidupan manusia yang selalu mengikuti: baik dan buruk. Yang Jahat, yang Baik, segala sesuatu yang ada dan akan ada di bumi ini, berasal dari sini: di dalam dirimu. (hal.171)


Bila dicermati novel ini menegaskan segala ilmu pengetahuan bermula dari sebuah tragedi. Memakan buah dari pohon ilmu pengetahuan dan tragedi Kain-Habel kemudian melahirkan kebijaksanaan dan pengetahuan. Gioconda Belli menulis ulang dengan apik, bukan semata soal tragedi turunnya Adam-Hawa ke bumi, juga landasan lahirnya kredo baik-buruk yang mengekor pada manusia. []



Informasi Buku:

JuduKetakberhinggaan di Telapak Tangannya

Penulis : Gioconda Belli

Penerbit : Marjin Kiri

Edisi : Pertama, Oktober 2019

Tebal : 200 hal

ISBN : 9789791260923

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on March 28, 2020 04:39

Musyawarah Bumi di Meja Makan

Koran SINDO, 28 Maret 2020.


 


SERING TERPIKIR bahwa pada setiap butir nasi, pada setiap remah roti, pada setiap suwir daging ada usaha dan biaya yang terpakai untuk menghadirkan mereka di meja makan kita. Namun, kebanyakan mata hanya tertuju pada bagaimana upaya menghadirkan mereka di hadapan kita. Perhitungan biaya dan energi selalu ada di sisi produksi, baik ketika masih berada di kawasan pertanian, kawasan industri makanan, atau restoran tempat makan.


Jean Anthelme Brillat-Savarin dalam bukunya Physiologie du goūt atau The Physiology of Taste berkata, “Ceritakan kepada saya apa yang Anda makan, dan saya akan ceritakan siapa Anda sebenarnya.” Dan M Faizi dalam buku ini secara tidak langsung bilang, “Ceritakan kepada saya apa yang Anda makan, dan saya akan ceritakan seberapa besar efek kerusakan alam yang tercipta.”


Pola makan amburadul di tengah masyarakat modern nyatanya tidak hanya berimbas pada kesehatan dan geliat ekonomi, tetapi juga meninggalkan jejak kerusakan pada bumi. Kerusakan bumi yang skala global ternyata bila dirunut, bermula dari meja makan di rumah maupun restoran. Dan ujung prahara besar itu ialah keserakahan manusia salah satunya tampak di meja makan masing-masing.  


Buku Merusak Bumi dari Meja Makan ini secara garis besar ialah kumpulan buah pemikiran M. Faizi seorang pengajar pesantren di Madura sekaligus pemikir. Esai-esai pendek dalam buku ini memang dipandang dari segi seorang santri, bukan berarti perkara dalam buku ini terlampau khusus untuk kalangan tertentu. Seperti meja makan, mungkin tampak sempit, tetapi saat sudah dibuka kita akan menemukan luasan cara pandang dalam buku ini.


Makan menurut Faizi telah bergeser makna, dari pemenuhan kebutuhan fisik menjadi pertaruhan kelas. Bicara makanan tidak lagi soal kuantitas yang cukup untuk volume perut dan angka kecukupan gizi, meja makan telah menjadi ajang aktualisasi kelas yang imbasnya perlahan mulai tampak. Menyisakan makanan, menyeleksi makanan untuk kepentingan kelas tertentu, dll.


[image error]


Selama tiga kali makan sehari, selain kalori coba kita perhatikan berapa sampah yang kita sisakan. Mulai dari bungkus makan, sisa makanan dan minuman yang tak habis di makan, hingga bahan-bahan makanan yang tidak lolos seleksi pasar yang jatuhnya menjadi sampah. Sampah-sampah dari meja makan kita terakumulasi dan menjadi penyumbang kerusakan bumi.


Perkara pertama yang disoroti Faizi adalah bagaimana aktivitas makanan menghasilkan limbah yang mahabesar. Mengutip yang disampaikan Elizabeth Royte dalam artikelnya Jangan Buang Makananmu, limbah makanan yang dibuang orang jika dikumpulkan dan dijadikan sebuah negara akan menjadi penghasil rumah gas rumah kaca terbesar ketiga di muka bumi setelah Tiongkok dan Amerika Serikat. (hal.15)


Hampir bisa dipastikan kita selalu menyisakan makanan di piring masing-masing. Tidak purna habis. Jangan terlampau jauh membicarakan gaya makan di mal atau restoran mewah yang bila piring kita habis-bersih tampak rakus dan tidak sopan, Faizi memberi gambaran sederhana kepada pembaca bahkan di lingkungan rural pun menyisakan makanan menjadi hal wajar. Faizi mengamati gaya makan undangan sebuah pesta perkawinan di kampung. Seolah setiap orang boleh berlomba menumpuk hidangan dalam piring, melimpah hingga tak habis dimakan. Air minum dalam kemasan pun tak tuntas diminum. Mengurus takaran dan ukuran buat makan sendiri saja tidak bisa. Dia bukan tidak mampu menakar, hanya mungkin tidak sempat berpikir dan membuat pertimbangan. (hal.93)


Belum lagi bila menilik kejamnya pasar yang dengan sengaja membuang bahan makanan layak. Kentang berbentuk tak mulus tak layak masuk pasar, jagung sedikit geripis tak boleh dijual adalah beberapa contohnya. Hingga dalam sebuah data disebut bahwa antara 35-50% hasil pertanian dunia tidak dikonsumsi, bila diuangkan kurang lebih senilai 1 triliun dolar Amerika.


Atas nama kelayakan pasar, bahan-bahan makanan yang kebetulan tidak lolos standar mutu pasar harus terbuang sia-sia. Padahal di luar sana banyak orang kelaparan. Ada 800 juta orang yang setiap malam tidur dengan perut lapar, 1 dari 9 orang di planet ini harus lapar dan malnutrisi.


Di sini, orang yang menyisakan remah-remah yang sebetulnya masih layak dimakan oleh mereka yang kekurangan dan kelaparan itu, terjadi setiap hari, dan banyak sekali. (hal.42)


Bila sisa makanan dari meja makan, kita masih bisa berdalih bahwa itu dapat diurai tanah dan tidak membahayakan. Sayangnya, di meja makan kita juga menghasilkan sedotan plastik, botol minum kemasan, tisu, atau styrofoam yang susah diurai alam. Faizi menyindir dengan satire, Adakah yang lebih abadi daripada cinta Majnun kepada Laila? Ada, di antaranya adalah kotak styrofoam, bungkus nasi Majnun dan Laila milenial, bungkus makan siang mereka akan tetap ada di atas tanah saat mereka berdua sudah terkubur di baliknya. (hal.76)


Dalam pemahaman Islam dan agama mana pun, Faizi meyakini tak ada yang mengajarkan untuk bersikap mubazir dan sia-sia. Terlebih bila hal itu kemudian berdampak pada kerusakan bumi. Serakah adalah sifat bawaan manusia sejak zaman purba. Dan serakah di meja dampaknya bisa menghadirkan kerusakan besar bumi.


Manusia yang lahir dan tumbuh dengan kecerdasan akal budi bukan hanya mampu membuat kehidupan lebih layak, tetapi juga menghadirkan kerusakan bumi tak kalah dahsyat. Sebermula kebiasaan-kebiasaan buruk yang kita abaikan terakumulasi menjadi bencana, yang sangat mungkin akan berujung pada kebinasaan bumi dan kehidupan manusia. Faizi menyebut manusia sebagai makhluk ironis.


Sejarah kehidupan diciptakan sekaligus dibinasakan oleh manusia. Dalam buku The Sixth Extinction: An Unnatural History (2014), Elizabeth Kolbert menyebut bahwa tangan manusia-lah yang diam-diam menekan tombol pemusnahan kehidupan di bumi. Ragam aktivitas manusia telah berbuah kerusakan bumi, termasuk bagaimana kita bersikap atas makanan di meja.


Sebuah meja makan bisa jadi tempat paling privat untuk mengudap makanan kegemaran. Lebih dari itu, bagi Faizi, meja makan merupakan tempat merenungkan kebiasaan-kebiasaan buruk manusia yang terabaikan namun mengancam. []



Judul : MERUSAK BUMI DARI MEJA MAKAN


Penulis : M Faizi


Penerbit : Cantrik Pustaka, Yogyakarta


Tebal : 138 halaman


Edisi : Pertama, Januari 2020


ISBN : 9786020708584





 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on March 28, 2020 03:56

Promo: Beli Satu, Gratis Satu

[image error]


AROMA WIDURI ajeg terjaga. Sesekali masih dapat kubaui, kemudian menimbulkan pilu begitu nyeri. Tujuh hari sudah, Widuri sendirian ditanam di tanah perkuburan. Mataku kering menyaksikan sekop demi sekop tanah menumpuki tubuhnya. Tubuhmu tertimbun tanah, tetapi aromamu berkeliaran di setiap jengkal rumah. Di kaca jendela bersama aroma pembersih kaca, di depan kulkas bercampur aroma ikan peda, di catatan belanja, juga di tubuhku. Seolah kamu tak ingin melepasku, ibarat tangan gaib yang mengunci semua kemungkinan.


Oleh sebab itu pula, aku ingin menjauh dari pusara kenangan ini. Berharap hidupku kembali normal; bebas hinggap di dada perempuan mana saja.


Kukemas semua barang, kecuali sebuah sofa amerald, tempatmu duduk memangku buku. Saat dokter memintamu istirahat total demi janin dalam perutmu bisa kuat bergelantungan di tali pusar, kamu hampir tidak bisa lepas dari sofa itu. Tiap kali kupandangi leher sofa yang sepusarku, lipatan renda yang sedikit terurai menguntai suara tawamu. Calon anak kita senang kalau kubacakan cerita, katamu.



Read more....
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on March 28, 2020 03:31

November 10, 2019

Balada yang Bopeng dan Penuh Catatan

Jawa Pos, 10 November 2019



[image error]Labelisasi seksis, kalimat-kalimat yang kedodoran,

dan salah ketik
bisa ditemukan di berbagai sudut Balada Supri.



 


SAYEMBARA kepenulisan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) terbukti telah menghasilkan nama dan karya yang diakui, baik pembaca kita maupun internasional. Nama-nama seperti Ayu Utami, Ratih Kumala, Andina Dwifatma, Mahfud Ikhwan, Faisal Oddang, hingga Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie terbukti meroket selepas dinobatkan sebagai pemenang sayembara DKJ.


Pada 2018, DKJ mengeluarkan 3 karya sebagai pemenang dan 5 karya sebagai karya yang layak diperhitungkan untuk terbit. Tiga pemenang itu ialah Orang-Orang Oetimu karya Felix K. Nesi, Anak Gembala yang Tertidur Panjang di Akhir Zaman karangan Ahmad Mustafa, dan tajuk Balada Supri milik Mochamad Nasrullah.


Ketiganya boleh dibilang nama baru yang relatif masih muda dalam kancah sastra Indonesia. Nama baru dan jiwa muda penulisnya diharapkan mampu memberi warna segar dan terobosan dalam kepenulisan sastra. Baik dari tema, cara kepenulisan, maupun mungkin keberpihakan


Tapi, setelah terbit menjadi buku, Balada Supri yang merupakan juara ketiga sayembara DKJ menjadi karya yang diragukan banyak orang. Beberapa menilai masih sangat mentah, kalimat-kalimat yang tidak kuat, dan kecenderungan untuk tampil megah dengan tema mewah namun cara menulis yang mentah.


Novel ini memotret keluarga empat generasi: Djoko Telu, Djoko Tole, Supri Kumbang, dan Supri Burung. Kelindan tragedi melilit empat lelaki beda generasi tersebut. Djoko Telu mewakili era penjajahan dan menjadi salah satu musuh Kompeni. Djoko Tole terkait peristiwa 65. Supri Kumbang berada di pusaran Orde Baru, maraknya pembunuhan preman. Dan Supri Burung terkait politik identitas Tionghoa.



Beberapa menilai masih sangat mentah, kalimat-kalimat yang tidak kuat, dan kecenderungan untuk tampil megah dengan tema mewah namun cara menulis yang mentah.



[image error]


Novel ini bisa dianggap sebagai rentetan saga sebuah keluarga yang adalah potret perjalanan Indonesia. Konflik-konflik horizontal di lapisan bawah adalah riak kecil yang mewakili gelombang besar perkara di skala nasional.


Keluarga Supri dalam hal ini secara tidak langsung mewakili yang terjadi di Indonesia. Disajikan dengan sedikit campuran absurditas (untuk tidak terjebak pada lema dewan juri, realisme magis). Muncul interaksi dengan kuntilanak, percakapan dengan hewan laut, dan sebagainya.


Latar budaya patriarki begitu kentara dalam novel ini. Terlebih, novel ini ditulis oleh laki-laki dan fokus tokoh pun laki-laki. Yang mengusik pembacaan adalah munculnya labelisasi seksis terhadap perempuan. Penulis berkali-kali menyebut ’’istri cerewet’’. Frasa ini tidak menjadi soal bila memang penulis memberi porsi pas agar tampak benar di titik mana cerewet yang dimaksud. Sayang, penulis tidak menghadirkannya. Sehingga frasa ini tampak sekadar label yang jamak dan mendiskreditkan, bahwa istri selalu cerewet dan mengganggu suami. Juga soal asumsi keperawanan perempuan, bahwa darah saat malam pertama wajib hadir. Sebuah kredo yang merugikan posisi perempuan.


Kesalahan fatal yang hampir menghiasi setiap halaman adalah salah ketik yang dibiarkan begitu saja, seperti tidak disunting dengan baik. Lebih dari itu, banyak kalimat kendur dan kedodoran. Misalnya, Djoko Tole sudah mengenal anak itu sejak ruhnya belum ditiupkan ke dalam janin yang dikandung oleh istrinya yang cerewet (halaman 15).


Hal senada misalkan, beberapa ratus langkah dari rumah ini sudah ada banyak orang-orang (halaman 74). Buku ini disunting dengan ala kadarnya, minimalis yang buruk. Kalimat-kalimatnya kehilangan kekuatan sebab disajikan dengan porsi melembak.


Sebagai buku debut dan pemenang sayembara bergengsi, Balada Supri jelas memancing keriuhan massa. Seberapa akurat tema harus dipertaruhkan dengan kecakapan menulis yang biasa saja.


Ernest Hemingway dengan gagah bicara, beri aku benda apa saja, asbak misalnya, akan kubuat cerita seketika. Tema bukan hal penting yang diutamakan, melainkan kecakapan seorang pencerita dalam merangkai kalimat menjadi babak yang paripurna.


Predikat juara memang selalu mencuri perhatian. Banyak yang memberikan pukau, tak sedikit yang merapal kekecewaan. Hal yang wajar dan tak bisa dimungkiri dalam sebuah kompetisi. Namun, Balada Supri selain diakui ’’bagus’’ oleh dewan juri masih harus berhadapan dengan pendapat pembaca yang mungkin sangat personal dan sedikit bahaya.


Berhasil atau gagalnya Balada Supri membawa angin segar dan kebaruan dalam iklim sastra yang labil, jelas bisa diperdebatkan. Mampukah ia tampil penuh pesona sebagai juara 3 sayembara, tentu masih bisa dicibir bersama. Namun, setidaknya di edisi pertama ini Balada Supri hadir bopeng dan penuh catatan.[]


[image error]


BALADA SUPRI | Mochamad Nasrullah

Penerbit Anagram, Jakarta | Cetakan Pertama, September 2019

230 halaman | 9786239161705


 

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on November 10, 2019 16:23

November 3, 2019

Alarm Nyaring, Bumi Sedang Genting

Koran Tempo, 2-3 November 2019


“Lebih buruk, jauh lebih buruk, daripada yang Anda pikirkan!” Begitulah peringatan awal David Wallace-Wells dalam buku ini. Pemanasan global sudah jauh lebih buruk dari apa yang diperkirakan. Seberapa buruk prediksi Wallace-Wells tergambar jelas dalam narasi-narasi mengerikan dalam buku Bumi yang Tidak Dapat Dihuni edisi bahasa Indonesia dari Uninhabitable Earth. Buku yang berangkat dari esai Wallace-Wells berjudul sama di Majalah New York, 9 Juli 2017.


Dalam esai tersebut, Wallace-Wells membuka dengan kalimat, bila kekhawatiran akan dampak pemanasan global sekadar kenaikan permukaan air laut, sejatinya kita telah memperluas dampak mengerikan dari teror ini. Dalam buku ini, Wallace-Wells dengan berapi-api menjabarkan dampak-dampak mengerikan dari pemanasan global. 


Semua sadar bahwa pemasanan global dan perubahan iklim benar adanya. Namun, tidak ada yang sadar betul bahwa perubahannya sudah sedemikian cepat. Kecepatan yang mengerikan ini jelas akibat ulah tangan manusia, revolusi industri, dan pembakaran bahan bakar fosil yang terus-terusan. Wallace-Wells memberikan analogi bahwa Kita sekarang menambah karbon ke atmosfer dengan laju lebih tinggi; sebagian besar perkiraan menyebutnya minimal sepuluh kali lebih cepat. (hal.4) Akibatnya sudah ada sepertiga lebih banyak karbon di atmosfer dibanding kapan pun dalam kurun 800.000 hingga 15 juta tahun terakhir, ketika saat itu belum ada manusia, dan permukaan laut lebih tinggi tiga puluh meter.


Wallace-Wells menulis buku ini dengan gaya sinis. Misalnya bagaimana dia mengkritik Al Gore salah satu aktivis lingkungan dengan guyonan, Al Gore membicarakan kerusakan alam dengan masih naik mobil ke kantor, makan daging sapi, dan duduk di ruangan ber-AC. Hal-hal sepele seperti ini yang Wallace-Wells kemukanan sebagai abai kecil yang terakumulasi menjadi rancangan bencana raksasa. Seolah pembicaraan pemanasan global hanya ada di teks dan seminar, sedangkan aktivitas keseharian kita terus saja meninggalkan jejak karbon yang diam-diam mengancam bumi.


Sayang alam tidak memiliki saklar on-off seperti mesin penanak nasi, yang bisa dimatikan ketika terlampau panas. Pemanasan global adalah sesuatu yang makin lama makin buruk selama kita terus memproduksi gas rumah kaca. Pemanasan global akan terus terjadi, sampai limit paling mengerikan yaitu kehancuran bumi kita.


Narasi-narasi kebencanaan dalam buku ini jauh lebih menyeramkan dari film bertemakan bencana mana pun. Umum mengerti bahwa pemanasan global berakibat naiknya permukaan air laut, hilangnya garis pantai, dan beberapa kawasan akan tenggelam hingga hilang.


Pada 2100, jika kita tak menghentikan emisi gas rumah kaca, sampai 5 persen penduduk dunia akan kebanjiran setiap tahun. Jakarta akan total tenggelam di 2050. Ratusan ribu orang Tiongkok harus mengungsi setiap musim panas agar terhindar dari banjir Delta Sungai Mutiara. Ilmuan epidemologi meneliti banyak sisa-sisa virus flu di Perang Dunia I yang terjebak di lapisan es Artik. Dan bila es itu meleleh, bersiaplah dunia ini diserang wabah mengerikan di zaman lalu.


Suhu bumi meningkat, tenggelam oleh bah air laut, kelaparan, wabah mengerikan, kebakaran, dan tentu rusaknya sistem ekonomi yang sudah mulai tampak gejalanya.


Membaca sebab-akibat dari narasi-narasi mengerikan Wallace-Wells, kita akan tersadar bahwa urut-urutannya ibarat sebuah lingkaran setan yang susah diputus. Ketika panas dan gerah atas sebab pemanasan global, maka kita nyalakan AC. Dan konsumsi AC sendiri mengkonsumsi 10% listrik hasil pembakaran fosil. Tentu menyumbang tambahan karbon di atmsofer, dan bumi semakin panas menjadi.


Akibat pemanasan global dan cuaca ekstrem, kebakaran hutan meluas dan susah di kendalikan. Di California sepanjang Kebakaran Thomas musim gugur 2017, kebakaran meluas 20.000 hektare setiap harinya. Sayangnya kebakaran hutan sendiri menyumbang emisi karbon. Dalam kenaikan suhu tetap dijaga konstan di angka seperti sekarang saja, kebakaran hutan akibat peraturan pembukaan hutan Amazon oleh Presiden Brazil, Jair Bolsonaro menyumbang 13,2 gigaton karbon ke langit atmosfer.


Yang disorot dan dimintai pertanggungjawaban adalah pemegang kekuasaan dan pengembang teknologi. Meski menumpu harapan kepada keduanya adalah sebuah ironi tersendiri. Wallace-Wells lagi memberikan opini sinis kepada pebisnis teknologi. Mereka semata memacu perubahan pada teknologi supercepat.


Sedikit yang serius pada investasi energi hijau, tak banyak yang aktif berderma, bahkan Eric Schmidt pernah berpandangan bahwa pemanasan global sudah selesai oleh kecepatan teknologi dan kecanggihan AI (artificial intelligence). Banyak sekali orang di Silicon Valley lebih mengkhawatirkan kecerdasan buatan kebablasan daripada pemanasan global kebablasan: satu-satunya kekuatan menakutkan yang mereka bisa anggap serius adalah yang mereka lepaskan sendiri. (hal.178)


Wallace-Wells memang tidak memberikan tahapan solusi untuk pencegahan pemanasan global. Tetapi narasi-narasinya adalah alarm paling nyaring bagi semua manusia bumi. Bumi boleh diibaratkan bisul yang tengah menyimpan timbunan prahara akibat pemanasan global. Bila sudah saatnya, bisul itu pecah dan terbuktilah skenario-skenario mengerikan dalam buku ini. Kita tidak bisa mengerem seketika, tapi kita bisa memperlambat agar semakin banyak generasi dapat hidup nyaman di bumi yang baik-baik saja. []


[image error]

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on November 03, 2019 01:05

October 28, 2019

Cerita Semanis Racun

[image error]


Mungkin tersebab kesibukan sebagai anggota Komite Buku Nasional (KBN), penerjemah banyak judul karya sastra dunia, dan menjalankan bisnis penerbitan buku miliknya, Anton Kurnia tak banyak tampil dalam kancah sastra, terutama menerbitkan cerpen di media massa. Terbukti, baru ada dua kumpulan cerpen tunggal Anton Kurnia yang hadir di ranah pembaca. Seperti Semut Hitam yang Berjalan di Atas Batu Hitam di Dalam Gelap Malam adalah buku kumpulan cerpen kedua Anton setelah Insomnia (2004). Dalam judul keduanya ini, hanya termaktub sembilan judul cerita dalam buku ini, yang dianggit dalam kurun 2005-2018.  Namun dari sembilan cerita dalam buku ini, kita akan tahu kerajinan Anton menjahit cerita harus diapresiasi tinggi.


Seperti Semut ditulis dengan kesadaran penuh pada kepaduan sebuah narasi, efek melankolia, dan intertekstual yang membuat pembaca dapat membayangkan suasana saat masuk dalam dunia rekaan ini. Anton sebagai penulis tidak membuat cerpen-cerpennya sebagai media untuk melontarkan kritik atau menyuarakan ketidakadilan sebagaimana biasa sering dihadapi pada jebakan sastra. Anton mengisahkan aneka persoalan manusia berkaitan dengan asmara. Tokoh-tokoh dalam sembilan cerita ini sedang mengalami episode haru dalam urusan cintaKonon baru disebut sastra bila tema yang diungkap adalah perkara humanisme, sosial-politik, atau potret gelap sepotong sejarah. Perkara asmara dan warna melankolia kerap dianggap populer dan bukan kelas sastra. Banyak contohnya. Kemunculan Nh. Dini, Mariane Katoppo, Mira W,  Marga T, suara-suara populer dan asmara hampir-hampir tak masuk dalam radar sastra dan perhatian Komite Buku Nasional. Buku ini hampir semuanya menyangkut asmara, patah hati, jatuh cinta. Mungkin dari segi pokok bahasan, cerita Anton terkesan sepele, murahan, dan tidak berkehendak memerkosa cerpen sebagai kuda tunggangan kritik. Biarlah cerita hadir sebagai cerita, mungkin demikian prinsip Anton saat menulis cerita. Namun, lagi-lagi kekuatan utama cerpen Anton adalah bangunan narasi dan ketukan yang indah disimak. Layaknya mendengarkan sebuah balada, cerpen-cerpen Anton bernyanyi dan merdu di telinga pembaca.


Kemerduan ini disokong oleh beragam lagu dan syair yang sengaja dimasukkan Anton sebagai penguat cerita. Magadir, lagu berbahasa Arab gubahan Pangeran Mohammad Abdullah al-Faisal dan Siraj Omar Tamblen itu tampil sebagai judul cerita dan tulang belakang cerita dengan judul yang sama. Lagu ini bukan ditempelkan Anton dalam narasinya, juga sebagai pengiring kerinduan tokoh dalam cerita, dua insan yang saling jatuh cinta namun tak bisa bersama.


Oh, Cinta, jiwaku musnah dihangus api yang kausulut di dalam diri. (hal.17)[image error]


Ratapan tokoh membuat alunan Magadir dan kemudian sepotong syair Abu Nawas tampil sebagai pengiring sebuah adegan melodrama. Bak kisah Laila-Majnun, Romeo-Juliet, kisah platonik tokoh perempuan aku dan kekasih yang dicintai harus pupus sebab si perempuan yang sudah bersuami. Rindulah dia, rindu yang menyiksaku hingga aku tak tahan lagi, biarlah aku mati. (hal.22)


Kehadiran musik dalam cerita yang seolah menjadi musik latar dalam sepotong adegan juga tampil dalam cerpen Seorang Perempuan dengan Tahilalat di Atas Bibirnya. Kali ini musik yang diputar adalah Nessun Dorma. Musik latar lain, Habanera, dipilih untuk mengiring kisah romantis namun tragis berjudul Kucing Telon.


Pengarang tak hanya menautkan cerita pada sepotong lagu atau gubahan musik sebagai latar. Judul cerpen yang kemudian dipilih untuk judul buku terkait dengan sebuah hadist.


Ikatan utama dalam cerpen ini adalah perkara cinta dan melodrama di sekitarnya. Bila demikian, maka judul yang paling dahsyat untuk dijadikan judul buku adalah judul cerita kedua, Cinta Semanis Racun. Kontradiksi antara manis dan racun semakin menghunjamkan lara-lara para tokoh dalam buku ini. Sayang, judul itu telah dipergunakan pada buku kumpulan cerpen terjamahan Anton Kurnia yang lain, Cinta Semanis Racun: 99 Cerita dari 9 Penjuru Dunia (2016). Jadilah judul harus dialihkan ke yang lain.


Bila demikian ikatan utamanya, maka satu cerpen dirasa kurang tepat pada posisinya, yakni Rumah Air. Meski ada sekilas percik romansa, namun porsi yang sedikit ini timpang bila disejajarkan dengan delapan cerpen lainnya. Apalagi bila dibandingkan dengan Ragusa misalkan.


Sastra di Indonesia kerap dianggap selalu ‘hanya’ sebagai produk serius. Baru boleh disebut sastra bila mengupas tema politik, sosial, kearifan lokal, atau tragedi berdarah tiga generasi. Namun, bukankah tulisan yang disebut sastra adalah produk tulisan dan cerita? Maka bila fokus pada hal itu, apa saja bisa dituangkan sebagai tulisan sastra. Termasuk perkara romansa penuh melodrama. Dan buku ini telah membuktikannya.


Dalam sebuah penelitian, ketika mendengarkan lagu sedih otak kita akan diikat oleh kekuatan lirik. Sebaliknya, bila lagu gembira dan ceria dendangan musik lebih membius. Juga dengan cerita yang berkelindan dengan lagu dalam buku ini. Karena hampir sebagian besar adalah cerita yang sedih, maka kekuatan narasi yang membangun suasana jauh diutamakan. Latar musik yang mengiringi membuat kisah sedih, kepiluan, dan cinta platonis semakin menghunjam dan merasuk ke sanubari.


Merampungkan buku ini seperti menonton sebuah adegan sekaligus mendengarkan musik latar yang memperkuat kisah. Cerita dalam buku memang sendu, pilu, bak menelan racun. Tetapi kemasan dan narasinya manis dan membuat mabuk kepayang. Satu yang sangat mengganggu, yakni Anton terlalu sedikit menghidangkan cerita.[]


 


Judul                : Seperti Semut Hitam yang Berjalan di Atas Batu Hitam di Dalam Gelap Malam

Penulis           : Anton Kurnia

Penerbit         : Diva Press, Yogyakarta

Tebal               : 128 halaman

Edisi                : Pertama, Mei 2019

ISBN                : 978-602-391-725-9

Artikel ini pernah dimuat di basabasi.co 29 September 2019.

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on October 28, 2019 00:50

October 27, 2019

Cinta Perkara Lokal, Kematian Interlokal

[image error]


Novela ini mungkin sama tipisnya dengan Padang Ilalang di Belakang Rumah (1987) milik Nh. Dini. Juga sama-sama menggunakan kata ilalang yang sangat sastrawi sebagai simbol. Beberapa kali kata ilalang muncul dalam karya sastra kita. Penyair Dorothea Rosa Herliany menulis buku puisi Nikah Ilalang (1995), D Zawawi Imron menulis buku Bulan Tertusuk Lalang (1982) juga menggunakan lema tersebut dalam salah satu penggalan baitnya, Angin pun tiba dari tenggara. Daun-daun dan bunga ilalang/memperdengarkan gamelan doa (dalam puisi ‘Dialog Bukit Kemboja’). Dan tentu kita pernah mendengar lagu mendayu berjudul Ilalang yang pernah dinyanyikan Machica Mochtar.


Meski sama-sama tipis dan sama menggunakan ilalang, dalam novel Nh. Dini akan bergulat tentang kenangan perihal ladang ilalang di belakang rumahnya yang memisahkan kaum jaba (luar) dan kaum ndalem (dalam)—kaum priyayi keluarga Sri dan keluarga nonpriyayi, yakni pembantu dan batur yang di rumah. Padang ilalang itu pula yang kemudian menyatukan priyayi dan non-priyayi itu ketika agresi Belanda merangsek dan membuat batas itu lebur di tengah padang ilalang.


Sedangkan, Rumah Ilalang (2019) milik Stebby Julionatan tidak berkisah secara seratus persen soal rumah ilalang. Melainkan menggunakan terma ilalang sebagai metafora kerapuhan sekaligus kegentingan persoalan tokoh dalam novela pendek ini. Ilalang milik Stebby Julionatan memotret seorang waria bernama Tabita dengan nama asli Alang (apakah ini anagram Ilalang, tidak begitu dijelaskan) yang mengalami persoalan selepas Tabita meninggal dalam kecelakaan. Tubuh terkoyak tak bernyawa Tabita ditolak oleh keluarga, ditolak oleh kelompok muslim, kelompok agama kristiani. Susah menguburkan tubuh kaku Tabita.


Susahnya hidup sebagai kelompok marginal (wong jaba) seperti Tabita nyatanya tidak hanya ketika masih hidup. Saat mati dan mencari tempat peristirahatan sekali pun susah bagi seorang Tabita.


Saat hidup Alang harus diusir dari rumah, sebab sadar dirinya adalah berbeda. Pengusiran ini kemudian membawanya ke Srikandi Utama—rumah singgah kelompok waria sekaligus bagian dari advokasi. Terusirnya Alang yang kemudian mengambil nama Tabita tak membuat semua urusannya selesai dan orang yang ‘normal’ di luar mereka berhenti mencampuri. Gangguan lain adalah kehadiran sosok Gosvino—pemuda gagah, anak seminari yang disukai Tabita.


Meski novela ini lebih menyoroti bagaimana advokasi Tabita setelah meninggal dan mencari tempat perkuburan, setidaknya beberapa potong adegan juga cukup menjelaskan bagaimana susahnya menjalani hidup seperti Tabita. Sosok Tabita sendiri membuat saya harus membandingkan dengan sosok Anjum dalam The Ministry of Utmost Happiness (2017) karya Arundhati Roy.


Anjum yang seorang hijra—hermafrodit, lahir sebagai laki-laki namun kemudian menjadi perempuan setelah dewasa, tersisih di masyarakat dan menyepi di perkuburan. Bila Anjum kemudian justru mendirikan rumah perawatan jenazah, Tabita sendiri malah susah mencari tempat beristirahat. Dan harus saya sadari membandingkan novel Arundhati Roy dan novela ini adalah sebuah ketidakpatutan itu sendiri.


Meski cinta itu (urusan) individu, namun kematian tetaplah ibadah sosial. (hal.93) Kalimat ini adalah sari dari semua novela ini. Tabita semasa hidupnya jungkir balik menyatakan identitas dan cinta. Setelah meninggal mendadak menjadi persoalan orang-orang sekitar.


Tabita mau dimakamkan seperti apa? Islam? Kristiani? Atau Katolik? Namun, yang luput dibahas Stebby adalah Tabita mau dimakamkan sebagai Tabita (perempuan) atau Alang (laki-laki). Perkara fundamental ini sepertinya luput dikisahkan Stebby dengan baik. Seolah yang tampak yakni cara pemakaman, jauh lebih hakiki dari yang tak tampak yaitu mau dianggap sebagai lelaki atau perempuan. Andai Stebby melengkapi persoalan ini, setidaknya pembaca akan bisa menyimpulkan Tabita menang atau kalah dalam memperjuangkan hakikat diri dan identitasnya.


Cinta Tabita dan kelompok seperti dia selalu ditautkan dengan prostitusi. Benar. Di buku ini kita akan membaca kawan-kawan Tabita, misalkan Tania yang dengan riang menjual tubuh dan kemampuan menggoyang pantat di atas ranjang kepada brondong-brondong.


Novela ini sebenarnya cukup berani menyorot suara kaum marjinal di negeri ini. Waria, kegiatan advokasi, aktivitas seksual mereka, dan tentu yang sangat menarik di sini, kalau waria meninggal bagaimana. Tetapi ada beberapa catatan yang sepertinya bisa dijadikan untuk menyempurnakan novela pendek ini.


Stebby hampir kentara sangat terburu-buru menulis novela ini. Pembaca hampir tidak diberi jeda untuk sedikit ikut terharu atau bergembira mengikuti naik turun emosi tokoh. Padahal banyak sekali potensi untuk membuat pembaca hanyut. Misalkan tatkala Tabita jatuh cinta kepada Gosvino, pengusirannya dari rumah orangtua, kabar kematian Tabita. Tapi sepertinya, Stebby tidak terlalu peduli pada hal-hal remeh yang menghidupkan cerita. Kamera dia hanya dipergunakan merekam adegan per adegan. Tidak buruk, tetapi akan lebih sempurna. Selain menikmati adegan, pembaca juga diizinkan untuk sekadar bernapas dan menikmati narasi cerita.


Namun setidaknya sebab ini novela pendek, maka intens perkara dan ketatnya penceritaan menjadi pertimbangan tersendiri. Jadi tidak perlu bersantai-santai, Stebby ingin lebih ke perkara pokok dan penyelesaiannya bagaimana.


Ada hal yang cukup menganggu dalam penceritaan, yakni munculnya POV kedua yang sangat mendadak. Di halaman 23-27, ketika adegan pertemuan Tabita dengan Nancy Darusman, mendadak Stebby menggunakan “kamu” dalam berkisah. Hanya di bagian ini. Jadi tampak seperti terselip dan kurang teliti dalam menyunting. 


Hal menarik lain dari Stebby adalah gaya humor yang diam-diam membuat suasana cerita semakin berwarna. Ketika Hari si penggali kubur yang ketakutan melihat peti mati Tabita, dan kemudian merefleksikan itu ke dirinya. Sepertinya sebutan waria atau banci lebih cocok disematkan kepada saya karena saya penakut. Saya tak seberani Ibu yang kendhel menghadapi Tuhan seorang diri. Memilih upacara kematian yang ibu senangi. Saya, semalam melihat peti ibu saja, saya sudah lari menyelamatkan diri. (hal.122)


Dari segi isi dan kepenulisan Stebby punya keberanian yang cukup. Mengambil tema yang cukup berbahaya untuk dilempar ke masyarakat beringaas—setidaknya akhir-akhir ini. Keberanian ini adalah modal utama selain ketekunan menjahit cerita yang Stebby harus terus kembangkan. Banyak hal yang belum dikerjakan paripurna dalam novela pendek ini, dan menjadi pekerjaan rumah penulis untuk dibuktikan dalam prosa panjang, novel misalnya. Bagaimana menghidupkan banyak tokoh yang hidup dengan karakteristik masing-masing, yang unik dan beda satu sama lain.


Sebagai penulis muda, Stebby tak boleh berhenti di sini. Kelak keberanian dan kecakapan merangkai kisah akan kembali diuji. Masih banyak hal tabu yang sensitif dibicarakan di luar sana. Dan itu menunggu Stebby untuk dijadikan bahan cerita. Kalau Tabita bilang, cinta urusan pribadi, dan mati tradisi sosial. Sebagai penulis, menulis adalah kerja kamar dan menerbitkannya adalah kerja massal—ada jutaan pembaca yang menanti dan siap mengomentari. []


 


Judul               : RUMAH ILALANG

Penulis          : Stebby Julionatan

Penerbit        : Basabasi

Edisi               : Pertama, September 2019

Tebal              : 135 hal

ISBN               : 9786237290230


 


Ulasan ini terbit di basabasi.co, tanggal 25 Oktober 2019.

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on October 27, 2019 18:40