Nailal Fahmi's Blog, page 9
March 9, 2022
Rara
Untuk AF
Aku merindu sedetik setelah kepergianmu
Suara tawa dan merajuk memenuhi ruang tidur
Aku tidak ingin tumbuh dewasa dan
menyaksikan kaki dan tangan bicara sendiri-sendiri
Aku masih ingin mendengar buku-buku bercerita,
bernyanyi, berbohong, bermain teka-teki
Aku masih ingin membuat cerita bergambar,
menganggu kakak dan cemburu
Aku ingin tetap jadi anak-anak,
jatuh cinta dan kembali merindu
Aku tertidur dalam pelukmu dan
mendengar sebuah suara ketika mata setengah terjaga,
"Rara adalah udara. Aku mencintaimu sampai akhir usia."
Aku merindu sedetik setelah kepergianmu
Suara tawa dan merajuk memenuhi ruang tidur
Aku tidak ingin tumbuh dewasa dan
menyaksikan kaki dan tangan bicara sendiri-sendiri
Aku masih ingin mendengar buku-buku bercerita,
bernyanyi, berbohong, bermain teka-teki
Aku masih ingin membuat cerita bergambar,
menganggu kakak dan cemburu
Aku ingin tetap jadi anak-anak,
jatuh cinta dan kembali merindu
Aku tertidur dalam pelukmu dan
mendengar sebuah suara ketika mata setengah terjaga,
"Rara adalah udara. Aku mencintaimu sampai akhir usia."
Published on March 09, 2022 01:28
Aku Takut Meninggal
"Aku takut meninggal kalo udah besar." Aira menangis mengadu mendekati saya yang malam itu tidur di kasur yang berbeda. Sebelumnya ia bertengkar dengan kakaknya Safa, meminta lampu kamar tidak dimatikan. Safa kesal karena ia tidak bisa tidur dengan lampu menyala, sementara Aira menangis mendekati saya.
Saya memeluk Aira. Sambil mengusap-usap kepalanya saya mencoba mencari tahu, "Meninggal itu apa?"
"Meninggal itu..." Aira terbata menjelaskan masih sambil menangis. Anak umur 4 tahun mungkin tidak punya cukup kosakata yang bisa menjelaskan kematian.
"Kamu pernah melihat orang meninggal?" Saya mengganti pertanyaan dengan yang lebih sederhana.
"Pernah." Aira menjawab cepat. Masih sambil terisak.
"Dimana?"
"Di cerita aku."
"Oh," saya terus bertanya, "Kenapa Aira takut meninggal?"
"Aku takut hilang." Aira menjawab sederhana, disusul tangis yang makin pilu. Saya mengusap-usap punggunggnya pelan, dan memikirkan beberapa penjelasan.
"Aira," Kata saya meminta perhatian, "Takut itu baik."
Aira memelankan tangis mencoba mendengarkan.
"Manusia itu memang wajar takut." Saya mencoba menjelaskan dengan bahasa yang mudah, "Kamu takut setrum kan?"
Tangisnya sedikit mereda ketika menjawab, "He eh,"
"Karena dulu pernah kesetrum waktu mainan colokan," saya meneruskan.
"Iya, waktu umurku dua," dia mencoba mengingat yang sering ibunya ceritakan.
"Karena itu kamu takut main listrik lagi. Jadi takut itu bagus. Supaya kamu terhindar dari kesetrum."
"Aku takut meninggal kalau sudah besar. Aku gak mau meninggal." Aira mengulang, meneruskan tangis. Seperti tidak menangkap apa yang ingin saya jelaskan.
"Kamu tahu, kancil juga takut," kata saya mencoba menarik perhatiannya lagi dengan cerita. Untuk Aira, cerita tidak pernah gagal menarik perhatian. Bahkan disaat yang paling absurd.
"Kancil itu takut api karena dulu ia pernah melihat hutan terbakar, rasanya panas dan itu mengerikan. Bayangkan kalau ia tidak punya rasa takut, ia mendekati api dan akhirnya ikut terbakar. Jadi takut itu baik kan?"
Aira berhenti menangis. Namun tidak lama ia menangis kembali, mengulang kata-kata tentang ketakutan yang sama.
Saya mengerti sepertinya malam itu bukan waktu yang tepat untuk menjelaskan lebih panjang. Mungkin Aira belum mengerti. Mungkin ketakutannya saat ini lebih kuat. Maka saya hanya terus memeluknya, mengusap-usap punggungnya. Karena itu yang ia butuhkan saat ini. Sampai akhirnya ia tertidur di pelukan saya.
Mungkin suatu saat nanti, ketika waktunya cukup, ia akan membaca tulisan ini. Mungkin saya masih hidup ketika itu terjadi, mungkin juga sudah mati.
"Bapak ingin meneruskan penjelasan untuk Aira, bahwa ketakutan akan kematian itu bagus untuk mengingatkan bahwa kamu harus menghargai hidupmu, juga orang-orang yang meyayangimu. Karena suatu saat, siapapun akan meninggal."
"Kamu tidak perlu khawatir terhadap orang-orang yang membencimu, fokuskan perhatian pada orang-orang yang menyayangimu. Ketakutan akan kematian seharusnya membawa kamu pada kesadaran bahwa orang-orang yang ada di dekatmu suatu saat akan tidak ada, begitu juga kamu, sehingga kamu sadar untuk menjalani kehidupan ini dengan penuh cinta. Bukan kamu mengharapkan cinta dari orang lain, tapi yang terpenting kamu menyayangi orang lain, mencintai kemanusiaan, dengan sepenuh-penuhnya. Sehingga ketika kematian datang, baik kepada bapak atau kepada kamu, kamu tidak akan menyesal."
"Kamu bilang kamu takut meninggal nanti jika sudah besar. Banyak orang-orang dewasa saat ini yang sudah tidak takut dengan kematian, Aira. Bukan mereka menjadi lebih berani karena sudah siap, tapi mereka sudah tidak lagi peduli. Orang-orang dewasa mengganti ketakutan mereka akan kematian menjadi ketakutan akan tidak punya uang. Sehingga mereka rela melakukan segala cara untuk tidak menjadi takut. Saat kecil kamu pasti menganggap mereka aneh. Masih akan banyak keanehan lain yang akan Aira temui nanti ketika sudah dewasa. Orang-orang yang menuhankan uang, jabatan, juga pengetahuan. Mereka orang-orang sombong yang terkadang melakukan itu tanpa sadar. Itulah dosa terbesar umat manusia yang menyebabkan banyak kerusakan. Musyrik dalam bahasa yang lebih sederhana."
"Musyrik kepada Tuhan punya dua sisi koin mata uang yang tidak bisa dipisahkan, sisi pertama tidak mengakui keberadaan Tuhan, sisi kedua menjadikan hal lain sebagai tuhan-tuhan. Mereka yang menuhankan selain Tuhan tidak takut dan peduli lagi akan kematian. Jadi Aira, sampai dewasa nanti tetaplah takut akan kematian, agar kamu bisa menjalani hidup dengan sebaik-baiknya, sehingga kamu dalam keadaan tenang ketika kematian itu datang."
"Aira sayang, tahukah kamu bahwa setelah kematian akan ada kehidupan akhirat yang lebih bermakna. Kita semua adalah ruh yang terperangkap dalam jasad. Kematian akan membebaskan ruh. Sementara kehidupan di dunia ini senda gurau, main-main dan hanya seperti mimpi. Kematian adalah waktu dimana orang-orang terjaga. Di akhirat nanti kita akan bersama orang-orang yang kita cintai lagi."
Allah berfirman, "Wahai jiwa-jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhan pemeliharamu dengan hati yang rela, lagi diridhai. Maka karena itu masuklah ke dalam golongan para hamba-Ku, dan masuklah ke surga-Ku."
Wallahu 'alam
Saya memeluk Aira. Sambil mengusap-usap kepalanya saya mencoba mencari tahu, "Meninggal itu apa?"
"Meninggal itu..." Aira terbata menjelaskan masih sambil menangis. Anak umur 4 tahun mungkin tidak punya cukup kosakata yang bisa menjelaskan kematian.
"Kamu pernah melihat orang meninggal?" Saya mengganti pertanyaan dengan yang lebih sederhana.
"Pernah." Aira menjawab cepat. Masih sambil terisak.
"Dimana?"
"Di cerita aku."
"Oh," saya terus bertanya, "Kenapa Aira takut meninggal?"
"Aku takut hilang." Aira menjawab sederhana, disusul tangis yang makin pilu. Saya mengusap-usap punggunggnya pelan, dan memikirkan beberapa penjelasan.
"Aira," Kata saya meminta perhatian, "Takut itu baik."
Aira memelankan tangis mencoba mendengarkan.
"Manusia itu memang wajar takut." Saya mencoba menjelaskan dengan bahasa yang mudah, "Kamu takut setrum kan?"
Tangisnya sedikit mereda ketika menjawab, "He eh,"
"Karena dulu pernah kesetrum waktu mainan colokan," saya meneruskan.
"Iya, waktu umurku dua," dia mencoba mengingat yang sering ibunya ceritakan.
"Karena itu kamu takut main listrik lagi. Jadi takut itu bagus. Supaya kamu terhindar dari kesetrum."
"Aku takut meninggal kalau sudah besar. Aku gak mau meninggal." Aira mengulang, meneruskan tangis. Seperti tidak menangkap apa yang ingin saya jelaskan.
"Kamu tahu, kancil juga takut," kata saya mencoba menarik perhatiannya lagi dengan cerita. Untuk Aira, cerita tidak pernah gagal menarik perhatian. Bahkan disaat yang paling absurd.
"Kancil itu takut api karena dulu ia pernah melihat hutan terbakar, rasanya panas dan itu mengerikan. Bayangkan kalau ia tidak punya rasa takut, ia mendekati api dan akhirnya ikut terbakar. Jadi takut itu baik kan?"
Aira berhenti menangis. Namun tidak lama ia menangis kembali, mengulang kata-kata tentang ketakutan yang sama.
Saya mengerti sepertinya malam itu bukan waktu yang tepat untuk menjelaskan lebih panjang. Mungkin Aira belum mengerti. Mungkin ketakutannya saat ini lebih kuat. Maka saya hanya terus memeluknya, mengusap-usap punggungnya. Karena itu yang ia butuhkan saat ini. Sampai akhirnya ia tertidur di pelukan saya.
Mungkin suatu saat nanti, ketika waktunya cukup, ia akan membaca tulisan ini. Mungkin saya masih hidup ketika itu terjadi, mungkin juga sudah mati.
"Bapak ingin meneruskan penjelasan untuk Aira, bahwa ketakutan akan kematian itu bagus untuk mengingatkan bahwa kamu harus menghargai hidupmu, juga orang-orang yang meyayangimu. Karena suatu saat, siapapun akan meninggal."
"Kamu tidak perlu khawatir terhadap orang-orang yang membencimu, fokuskan perhatian pada orang-orang yang menyayangimu. Ketakutan akan kematian seharusnya membawa kamu pada kesadaran bahwa orang-orang yang ada di dekatmu suatu saat akan tidak ada, begitu juga kamu, sehingga kamu sadar untuk menjalani kehidupan ini dengan penuh cinta. Bukan kamu mengharapkan cinta dari orang lain, tapi yang terpenting kamu menyayangi orang lain, mencintai kemanusiaan, dengan sepenuh-penuhnya. Sehingga ketika kematian datang, baik kepada bapak atau kepada kamu, kamu tidak akan menyesal."
"Kamu bilang kamu takut meninggal nanti jika sudah besar. Banyak orang-orang dewasa saat ini yang sudah tidak takut dengan kematian, Aira. Bukan mereka menjadi lebih berani karena sudah siap, tapi mereka sudah tidak lagi peduli. Orang-orang dewasa mengganti ketakutan mereka akan kematian menjadi ketakutan akan tidak punya uang. Sehingga mereka rela melakukan segala cara untuk tidak menjadi takut. Saat kecil kamu pasti menganggap mereka aneh. Masih akan banyak keanehan lain yang akan Aira temui nanti ketika sudah dewasa. Orang-orang yang menuhankan uang, jabatan, juga pengetahuan. Mereka orang-orang sombong yang terkadang melakukan itu tanpa sadar. Itulah dosa terbesar umat manusia yang menyebabkan banyak kerusakan. Musyrik dalam bahasa yang lebih sederhana."
"Musyrik kepada Tuhan punya dua sisi koin mata uang yang tidak bisa dipisahkan, sisi pertama tidak mengakui keberadaan Tuhan, sisi kedua menjadikan hal lain sebagai tuhan-tuhan. Mereka yang menuhankan selain Tuhan tidak takut dan peduli lagi akan kematian. Jadi Aira, sampai dewasa nanti tetaplah takut akan kematian, agar kamu bisa menjalani hidup dengan sebaik-baiknya, sehingga kamu dalam keadaan tenang ketika kematian itu datang."
"Aira sayang, tahukah kamu bahwa setelah kematian akan ada kehidupan akhirat yang lebih bermakna. Kita semua adalah ruh yang terperangkap dalam jasad. Kematian akan membebaskan ruh. Sementara kehidupan di dunia ini senda gurau, main-main dan hanya seperti mimpi. Kematian adalah waktu dimana orang-orang terjaga. Di akhirat nanti kita akan bersama orang-orang yang kita cintai lagi."
Allah berfirman, "Wahai jiwa-jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhan pemeliharamu dengan hati yang rela, lagi diridhai. Maka karena itu masuklah ke dalam golongan para hamba-Ku, dan masuklah ke surga-Ku."
Wallahu 'alam
Published on March 09, 2022 01:17
January 22, 2022
Memandang Orang Lain dengan Pandangan Kasih Sayang
Tercatat dalam hadits sahih, sebuah kisah tentang pendosa yang telah membunuh 100 orang. Secara ringkas, cerita itu sebagai berikut: seorang dari masa sebelum nabi Muhammad telah membunuh 99 orang, kemudian ingin bertaubat. Dia mencari tempat bertanya dan berjumpa seorang abid, ahli ibadah.
Pembunuh ini bertanya, "Aku telah membunuh 99 orang, tapi aku ingin bertaubat. Apakah taubatku akan diterima?". Sang abid menjawab, "Tidak bisa!". Lantas abid itu dibunuh, maka dia telah membunuh genap 100 orang.
Pembunuh ini mencari lagi dan berjumpa dengan seorang alim. Ia bertanya, "Aku sudah membunuh 100 orang, tapi aku ingin bertaubat. Apakah taubatku akan diterima". Orang alim itu menjawab, "Oh, tentu diterima".
Orang alim itu memberi tahu, kalau si pembunuh ingin sungguh taubat, maka ia harus pindah dari daerah ini, karena masyarakatnya berperangai sangat buruk. “Pergilah ke negeri anu, disana banyak orang beribadah, ikutilah mereka".
Si pembunuh pergi dan meninggal di tengah perjalanan. Berdebatlah antara malaikat rahmat dan malaikat azab. Masing-masing mengklaim orang ini bagian dia.
Malaikat rahmat berkata, “Orang ini sudah berkeinginan untuk bertaubat". Malaikat azab menjawab, "Tapi kan belum sampai ke tujuannya".
Allah mengutus malaikat untuk menengahi, kemudian diminta untuk mengukur jarak mana yang lebih dekat, dari tempat berangkat ke tujuan.
Setelah diukur, ternyata mayat itu lebih dekat hanya sejengkal kearah tujuan. Maka orang itu menjadi bagian malaikat rahmat dan masuk surga.
Kurang lebih seperti itu ringkasan ceritanya.
Kebanyakan orang mengutip cerita tersebut untuk menekankan pada aspek pertaubatan. Bahwa seberapa banyak dosa yang manusia buat, ampunan Tuhan pasti lebih besar bagi mereka yang sungguh-sungguh bertaubat.
Tidak ada yang keliru dari poin tersebut, hanya saja saya punya perspektif lain. Saya membayangkan orang-orang, yang mungkin tidak tahu bahwa pembunuh yang mati itu telah bertaubat dan taubatnya diterima Tuhan, beramai-ramai mensyukuri kematiannya. Semua berbahagia dengan kematian tersebut. Mungkin ia dikuburkan di daerah terpencil dan diberi tanda penghinaan. Intinya setelah kematian, dia masih diperlakukan sebagai orang yang berdosa oleh masyarakat sekitar.
Mengapa saya membayangkan itu? Karena itu lumrah terjadi di masyarakat. Orang-orang yang merasa paling benar menganggap para pendosa, bahkan orang-orang yang tidak berkeyakinan sama dengan mereka sebagai orang yang laknat dan patut dihina setelah kematian. Mereka perpendapat bahwa para pendosa dan kafir di mata mereka sudah pasti menerima azab dan akan masuk neraka. Mereka seakan-akan mengetahui dengan pasti keimanan dan kebaikan seseorang. Bahwa orang-orang yang berbuat baik dan beriman akan dimasukan ke dalam surga sementara orang-orang yang berbuat buruk dan ingkar akan dimasukan neraka.
Pertanyaan kemudian adalah siapa yang menentukan seseorang baik dan beriman? Siapa yang tahu akhir hidup seseorang? Bukankah Tuhan semata yang mengetahui dan menentukan hal itu?
Makna dari cerita dalam hadits tersebut bisa dipahami bahwa akhirat atau surga dan neraka adalah mutlak ketentuan Tuhan. Bahwa Tuhan memberikan Hidayah dan menerima taubat kepada siapa saja yang Ia kehendaki.
Kita sebagai manusia tidak diberikan ketentuan untuk mengetahui akan seperti apa akhir hidup kita. Bahkan bisa jadi karena kesombongan, kita yang selama ini dipandang orang baik, ternyata di akhir hanyat melakukan hal buruk yang dibenci Tuhan, menjadi munafik dan mati dalam keadaan berdosa. Namun masyarakat sekitar menganggap kita orang baik, dimuliakan dan dikuburkan dengan penghormatan yang tinggi. Hal itu bisa saja terjadi.
Kita percaya bahwa Tuhan Maha Adil, maka jangan jadikan diri kita sebagai Tuhan dengan seakan-akan mengetahui kehidupan di akhirat nanti. Kita sebagai manusia hanya berharap dan terus berharap bahwa saat kita mati nanti dalam keadaan baik di mata Tuhan, sambil juga memandang orang lain dengan pandangan kasih sayang.
Masyhur apa yang dikatakan sahabat nabi, Salman Al Farisi, bahwa kehidupan di dunia ini tidak final, maka ia menolak penghormatan di dunia karena tidak ada yang bisa memastikan akan seperti apa kehidupan di akhirat nanti. Ia bilang, “Jika nanti aku masuk surga, maka aku terhormat. Namun jika aku masuk neraka maka berarti aku hina!”
Wallahu ‘alam bissawab
Pembunuh ini bertanya, "Aku telah membunuh 99 orang, tapi aku ingin bertaubat. Apakah taubatku akan diterima?". Sang abid menjawab, "Tidak bisa!". Lantas abid itu dibunuh, maka dia telah membunuh genap 100 orang.
Pembunuh ini mencari lagi dan berjumpa dengan seorang alim. Ia bertanya, "Aku sudah membunuh 100 orang, tapi aku ingin bertaubat. Apakah taubatku akan diterima". Orang alim itu menjawab, "Oh, tentu diterima".
Orang alim itu memberi tahu, kalau si pembunuh ingin sungguh taubat, maka ia harus pindah dari daerah ini, karena masyarakatnya berperangai sangat buruk. “Pergilah ke negeri anu, disana banyak orang beribadah, ikutilah mereka".
Si pembunuh pergi dan meninggal di tengah perjalanan. Berdebatlah antara malaikat rahmat dan malaikat azab. Masing-masing mengklaim orang ini bagian dia.
Malaikat rahmat berkata, “Orang ini sudah berkeinginan untuk bertaubat". Malaikat azab menjawab, "Tapi kan belum sampai ke tujuannya".
Allah mengutus malaikat untuk menengahi, kemudian diminta untuk mengukur jarak mana yang lebih dekat, dari tempat berangkat ke tujuan.
Setelah diukur, ternyata mayat itu lebih dekat hanya sejengkal kearah tujuan. Maka orang itu menjadi bagian malaikat rahmat dan masuk surga.
Kurang lebih seperti itu ringkasan ceritanya.
Kebanyakan orang mengutip cerita tersebut untuk menekankan pada aspek pertaubatan. Bahwa seberapa banyak dosa yang manusia buat, ampunan Tuhan pasti lebih besar bagi mereka yang sungguh-sungguh bertaubat.
Tidak ada yang keliru dari poin tersebut, hanya saja saya punya perspektif lain. Saya membayangkan orang-orang, yang mungkin tidak tahu bahwa pembunuh yang mati itu telah bertaubat dan taubatnya diterima Tuhan, beramai-ramai mensyukuri kematiannya. Semua berbahagia dengan kematian tersebut. Mungkin ia dikuburkan di daerah terpencil dan diberi tanda penghinaan. Intinya setelah kematian, dia masih diperlakukan sebagai orang yang berdosa oleh masyarakat sekitar.
Mengapa saya membayangkan itu? Karena itu lumrah terjadi di masyarakat. Orang-orang yang merasa paling benar menganggap para pendosa, bahkan orang-orang yang tidak berkeyakinan sama dengan mereka sebagai orang yang laknat dan patut dihina setelah kematian. Mereka perpendapat bahwa para pendosa dan kafir di mata mereka sudah pasti menerima azab dan akan masuk neraka. Mereka seakan-akan mengetahui dengan pasti keimanan dan kebaikan seseorang. Bahwa orang-orang yang berbuat baik dan beriman akan dimasukan ke dalam surga sementara orang-orang yang berbuat buruk dan ingkar akan dimasukan neraka.
Pertanyaan kemudian adalah siapa yang menentukan seseorang baik dan beriman? Siapa yang tahu akhir hidup seseorang? Bukankah Tuhan semata yang mengetahui dan menentukan hal itu?
Makna dari cerita dalam hadits tersebut bisa dipahami bahwa akhirat atau surga dan neraka adalah mutlak ketentuan Tuhan. Bahwa Tuhan memberikan Hidayah dan menerima taubat kepada siapa saja yang Ia kehendaki.
Kita sebagai manusia tidak diberikan ketentuan untuk mengetahui akan seperti apa akhir hidup kita. Bahkan bisa jadi karena kesombongan, kita yang selama ini dipandang orang baik, ternyata di akhir hanyat melakukan hal buruk yang dibenci Tuhan, menjadi munafik dan mati dalam keadaan berdosa. Namun masyarakat sekitar menganggap kita orang baik, dimuliakan dan dikuburkan dengan penghormatan yang tinggi. Hal itu bisa saja terjadi.
Kita percaya bahwa Tuhan Maha Adil, maka jangan jadikan diri kita sebagai Tuhan dengan seakan-akan mengetahui kehidupan di akhirat nanti. Kita sebagai manusia hanya berharap dan terus berharap bahwa saat kita mati nanti dalam keadaan baik di mata Tuhan, sambil juga memandang orang lain dengan pandangan kasih sayang.
Masyhur apa yang dikatakan sahabat nabi, Salman Al Farisi, bahwa kehidupan di dunia ini tidak final, maka ia menolak penghormatan di dunia karena tidak ada yang bisa memastikan akan seperti apa kehidupan di akhirat nanti. Ia bilang, “Jika nanti aku masuk surga, maka aku terhormat. Namun jika aku masuk neraka maka berarti aku hina!”
Wallahu ‘alam bissawab
Published on January 22, 2022 20:28
January 1, 2022
warna langit pukul 09:05
Untuk DS
pukul 09:05 aku menatap punggung seseorang
juga layar yang berganti-ganti warna dan
suara dari pengeras yang berharap didengar
ruangan tidak bisa memenjara pikiran
sesuatu menyergap dari segala mata angan
meruapkan aroma deretan pinus di hutan
yang pucuk-pucuknya menggapai awan
pukul 09:05 aku merindukan langit yang walaupun sudah kuduga warnanya
tetap memberi kejutan dan liburan
pukul 09:05 aku menatap punggung seseorang
juga layar yang berganti-ganti warna dan
suara dari pengeras yang berharap didengar
ruangan tidak bisa memenjara pikiran
sesuatu menyergap dari segala mata angan
meruapkan aroma deretan pinus di hutan
yang pucuk-pucuknya menggapai awan
pukul 09:05 aku merindukan langit yang walaupun sudah kuduga warnanya
tetap memberi kejutan dan liburan
Published on January 01, 2022 19:23
Tahannuts
Kawan yang sudah bertahun-tahun tidak saya temui itu mengirim pesan melalui WA dan menanyakan kenapa saya mendeaktifasi akun Facebook.
Saya menjawab dengan canda kemudian serius. Sedang Tahannuts atau Uzlah, saya bilang. Gak ngerti, dia merespon. Biarin, saya jawab sambil tertawa.
“Awas, ya,” Ia mengancam, kemudian mengirimkan definisi yang ia dapatkan sendiri entah dari mana.
“Aku dari dulu gak suka FB,” ia menjelaskan ketika saya bertanya. Sebenarnya ia juga menonaktifkan Facebook, jadi ia mengirim pesan di WA bukan karena tidak bisa mencari saya di Fb, tapi karena saya tidak bisa memberi Gift di akun WeSing. Tentang kenapa ia punya akun WeSing dan saya adalah kawan satu-satunya yang ia harapkan Gift-nya, tidak akan saya ceritakan di sini.
Ia kawan wanita yang dulu sangat dekat. Dulu kami sering berbagi cerita dan banyak hal bersama. Sampai kami tiba di suatu titik untuk berpisah. Ia terluka karena kepergian saya, sementara saya menangis karena meninggalkannya. Kami sama-sama menderita, tapi akhirnya waktu yang menyembuhkan, karena waktu memberi kami jarak dan juga kesadaran.
Tentang memberi jarak pada segala hal, itu yang sedang saya lakukan. Tahannuts atau menyendiri adalah tradisi nabi-nabi. Nabi Muhammad mendapat Wahyu pertama ketika beliau ber-Tahannuts di gua Hira, setelah beliau melakukan itu secara rutin pada waktu tertentu. Tahannuts merupakan kesinambungan ajaran atau tradisi penganut ajaran Hanif yang sumbernya sampai kepada kakek beliau Nabi Ibrahim. Walau dengan praktik yang sedikit berbeda, tradisi ini sejatinya sudah ada sejak zaman para nabi terdahulu, terutama yang dikisahkan Al-Qur’an tentang Nabi Ibrahim, Ashabul Kahfi, atau Nabi Musa.
Secara prinsip Tahannuts yang saya lakukan sama. Menyendiri dari hiruk-pikuk dunia guna semacam recharge dan memikirkan ulang banyak hal. Itu adalah jalan yang seharusnya diambil manusia secara rutin berapapun usia mereka, karena rutinitas sering membuat manusia kehilangan ruh.
Tentu ini berbeda dengan budaya asketisme ekstrim yang sama sekali tidak ingin berhubungan dengan kesenangan dunia. Meninggalkan hal-hal duniawi selama-lamanya menurut saya adalah tindakan yang tidak manusiawi. Agama tidak mendorong hal itu, tapi menganjurkan untuk menjauh sejenak untuk merenung kemudian kembali mengingat dan memberi arti yang pantas untuk setiap hal. Manusia membutuhkan jeda untuk bisa kembali menentukan mana yang sejati, dan mana yang permainan serta senda gurau.
Wallahu a’lam bissawab.
Saya menjawab dengan canda kemudian serius. Sedang Tahannuts atau Uzlah, saya bilang. Gak ngerti, dia merespon. Biarin, saya jawab sambil tertawa.
“Awas, ya,” Ia mengancam, kemudian mengirimkan definisi yang ia dapatkan sendiri entah dari mana.
“Aku dari dulu gak suka FB,” ia menjelaskan ketika saya bertanya. Sebenarnya ia juga menonaktifkan Facebook, jadi ia mengirim pesan di WA bukan karena tidak bisa mencari saya di Fb, tapi karena saya tidak bisa memberi Gift di akun WeSing. Tentang kenapa ia punya akun WeSing dan saya adalah kawan satu-satunya yang ia harapkan Gift-nya, tidak akan saya ceritakan di sini.
Ia kawan wanita yang dulu sangat dekat. Dulu kami sering berbagi cerita dan banyak hal bersama. Sampai kami tiba di suatu titik untuk berpisah. Ia terluka karena kepergian saya, sementara saya menangis karena meninggalkannya. Kami sama-sama menderita, tapi akhirnya waktu yang menyembuhkan, karena waktu memberi kami jarak dan juga kesadaran.
Tentang memberi jarak pada segala hal, itu yang sedang saya lakukan. Tahannuts atau menyendiri adalah tradisi nabi-nabi. Nabi Muhammad mendapat Wahyu pertama ketika beliau ber-Tahannuts di gua Hira, setelah beliau melakukan itu secara rutin pada waktu tertentu. Tahannuts merupakan kesinambungan ajaran atau tradisi penganut ajaran Hanif yang sumbernya sampai kepada kakek beliau Nabi Ibrahim. Walau dengan praktik yang sedikit berbeda, tradisi ini sejatinya sudah ada sejak zaman para nabi terdahulu, terutama yang dikisahkan Al-Qur’an tentang Nabi Ibrahim, Ashabul Kahfi, atau Nabi Musa.
Secara prinsip Tahannuts yang saya lakukan sama. Menyendiri dari hiruk-pikuk dunia guna semacam recharge dan memikirkan ulang banyak hal. Itu adalah jalan yang seharusnya diambil manusia secara rutin berapapun usia mereka, karena rutinitas sering membuat manusia kehilangan ruh.
Tentu ini berbeda dengan budaya asketisme ekstrim yang sama sekali tidak ingin berhubungan dengan kesenangan dunia. Meninggalkan hal-hal duniawi selama-lamanya menurut saya adalah tindakan yang tidak manusiawi. Agama tidak mendorong hal itu, tapi menganjurkan untuk menjauh sejenak untuk merenung kemudian kembali mengingat dan memberi arti yang pantas untuk setiap hal. Manusia membutuhkan jeda untuk bisa kembali menentukan mana yang sejati, dan mana yang permainan serta senda gurau.
Wallahu a’lam bissawab.
Published on January 01, 2022 19:11
December 29, 2021
Menemanimu Menunggu Hujan Reda
1 Di dalam kepalaku ada pikiran-pikiran yang menabrak norma, seperti kehidupan yang merampas tidur siang, atau TV yang menampilkan wajah orang-orang yang berpura-pura senang, atau anak-anak yang diajari memaki orang tua mereka sendiri.
Aku ingin mengasihi setiap wajah yang ada di sana sebagaimana oksigen yang merelakan dirinya berubah menjadi energi lain. Kasih dan kepedulian padaku adalah langit yang tidak bisa kupilih sendiri warnanya.
2 Pukul dua dini hari. Hujan dan keheningan membangunkan dengan hantaman kesadaran. Jarum jam berdetak pelan. Lampu sengaja tidak kuhidupkan. Rumah menjadi ruangan yang sangat kuhapal lekuknya, bahkan dengan mata terpejam.
Ia menjadi hal yang paling nyaman, dengan atap yang bocor, tembok yang retak dan kusam, aroma serta anak-anak yang berselimut mimpi sebelum subuh merekah. Hatiku tidak akan pernah utuh. Rumah dan kesunyian yang membuatnya penuh.
3 Sepagi itu aku menjelma air dalam gemericik runcing hujan di halaman. Kamu adalah tanah dan atap yang menerima dengan tangan terbuka, mengalirkan ke setiap liku selokan sungai hingga sampai ke samudra tempat segala melenyapkan diriku yang lama.
Dan aku mengerti mengapa cinta dan samudra membuat semuanya tampak kecil—
Katakan pada siapa saja bahwa cinta adalah ruh, tidak butuh jasad yang purna, cukup kumpulan dari ketidaksempurnaan kita, juga kata.
4 Kita duduk bersisian pada sebuah bahtera. Biru memenuhi angkasa dan segara. Perasaan adalah bayu kemayu yang bertiup menggerakan aku dan kamu. Menerjang dari segala penjuru dan dikendalikan layar yang terkembang dan layu.
Langit mengirim angin dan kita menikmatinya tanpa harus merasa bersalah. Kadang ia menjadi badai, kadang membunyikan gemerisik suara daun, kadang membawa aroma rempah dari negeri jauh yang kita baca dalam buku-buku sejarah.
5 Aku akan mengajakmu menjadi anak kecil yang bersekongkol untuk berlama-lama di kamar mandi, membuat gelembung dari sabun dan shampo, berlarian tertawa di bawah hujan di taman bermain bernama dunia, sambil menggenggam tanganmu melintasi pematang dan tidak takut akan dosa.
Kita adalah dua anak kecil yang sedang berlindung dari kepungan hujan dalam saung di tengah sawah. Petir menggelegar, tubuh kita makin gemetar. Kamu rebahan dalam pelukanku, aku berselimut di balik kelopak matamu. Matamu adalah puisi dan memahaminya adalah kemewahan, berisi metafora sederhana dan pembaca yang malas berpikir.
Kita masuk ke dalam badai. Di ujung sana ada cahaya tempat segalanya berakhir. Suatu hari nanti mungkin kita tidak akan ingat bagaimana bisa bertahan. Badai mengubah setiap yang datang dan pergi, menyisakan diri kita yang sejati.
6 Suatu siang di pinggir jalan aku menepi menonton kendaraan berkejaran dengan hujan sambil sekali lagi mendengarkanmu berbicara tentang kesedihan. Ditemani mendung, duka menjadi kaldera yang tidak sanggup kupijak dasarnya.
Aku memandang dunia dari balik rupamu. Aku tidak ingin derita, tapi kamu adalah mata dan aku air matamu. Aku tidak ingin perih, tapi aku adalah darah dari luka goresmu. Aku tidak ingin murka, tapi kamu adalah api dan aku adalah nyala. Bagaimana cara memisahkan diriku dari dirimu?
Aku bersedia menerobos hujan itu demi menjadi gigil tubuhmu. Sampai aromamu mengisi ruangan tempat kenangan, kehilangan dan cinta yang tidak pernah datang tepat waktu.
7 Kamu mencoba memahami perasaan ini dengan sebuah tangisan panjang dalam perjalanan. Sesuatu yang tidak bisa dibendung di dada akan meluap lewat mata. Padahal ketika tidak bicara dan cukup lama setia, perjalanan akan mengajakmu memahami makna.
Kamu berdoa semoga ingatan dan rindu menusuk jantungku kemudian membunuh dengan perlahan. Aku ingin cinta juga mengalir dalam nadi seperti ketika kamu menyebut namaku dalam hening dan rindu yang akan selalu sendu. Dan kita akan terluka bersama.
8 Jalan-jalan makin sepi. Langit masih gelap dan hujan seperti tidak punya usaha untuk sunyi.
Pada hal-hal yang tidak sempat terucap, nadi kita bermuara ke tempat yang satu jantung kita bersama berdetak. Setelah itu kita tetaplah sepasang anak kecil yang tertawa bersama derai gerimis. Tangan kita bergandengan dan air hujan menghapus jejak lumpur di belakang.
Aku ingin mengasihi setiap wajah yang ada di sana sebagaimana oksigen yang merelakan dirinya berubah menjadi energi lain. Kasih dan kepedulian padaku adalah langit yang tidak bisa kupilih sendiri warnanya.
2 Pukul dua dini hari. Hujan dan keheningan membangunkan dengan hantaman kesadaran. Jarum jam berdetak pelan. Lampu sengaja tidak kuhidupkan. Rumah menjadi ruangan yang sangat kuhapal lekuknya, bahkan dengan mata terpejam.
Ia menjadi hal yang paling nyaman, dengan atap yang bocor, tembok yang retak dan kusam, aroma serta anak-anak yang berselimut mimpi sebelum subuh merekah. Hatiku tidak akan pernah utuh. Rumah dan kesunyian yang membuatnya penuh.
3 Sepagi itu aku menjelma air dalam gemericik runcing hujan di halaman. Kamu adalah tanah dan atap yang menerima dengan tangan terbuka, mengalirkan ke setiap liku selokan sungai hingga sampai ke samudra tempat segala melenyapkan diriku yang lama.
Dan aku mengerti mengapa cinta dan samudra membuat semuanya tampak kecil—
Katakan pada siapa saja bahwa cinta adalah ruh, tidak butuh jasad yang purna, cukup kumpulan dari ketidaksempurnaan kita, juga kata.
4 Kita duduk bersisian pada sebuah bahtera. Biru memenuhi angkasa dan segara. Perasaan adalah bayu kemayu yang bertiup menggerakan aku dan kamu. Menerjang dari segala penjuru dan dikendalikan layar yang terkembang dan layu.
Langit mengirim angin dan kita menikmatinya tanpa harus merasa bersalah. Kadang ia menjadi badai, kadang membunyikan gemerisik suara daun, kadang membawa aroma rempah dari negeri jauh yang kita baca dalam buku-buku sejarah.
5 Aku akan mengajakmu menjadi anak kecil yang bersekongkol untuk berlama-lama di kamar mandi, membuat gelembung dari sabun dan shampo, berlarian tertawa di bawah hujan di taman bermain bernama dunia, sambil menggenggam tanganmu melintasi pematang dan tidak takut akan dosa.
Kita adalah dua anak kecil yang sedang berlindung dari kepungan hujan dalam saung di tengah sawah. Petir menggelegar, tubuh kita makin gemetar. Kamu rebahan dalam pelukanku, aku berselimut di balik kelopak matamu. Matamu adalah puisi dan memahaminya adalah kemewahan, berisi metafora sederhana dan pembaca yang malas berpikir.
Kita masuk ke dalam badai. Di ujung sana ada cahaya tempat segalanya berakhir. Suatu hari nanti mungkin kita tidak akan ingat bagaimana bisa bertahan. Badai mengubah setiap yang datang dan pergi, menyisakan diri kita yang sejati.
6 Suatu siang di pinggir jalan aku menepi menonton kendaraan berkejaran dengan hujan sambil sekali lagi mendengarkanmu berbicara tentang kesedihan. Ditemani mendung, duka menjadi kaldera yang tidak sanggup kupijak dasarnya.
Aku memandang dunia dari balik rupamu. Aku tidak ingin derita, tapi kamu adalah mata dan aku air matamu. Aku tidak ingin perih, tapi aku adalah darah dari luka goresmu. Aku tidak ingin murka, tapi kamu adalah api dan aku adalah nyala. Bagaimana cara memisahkan diriku dari dirimu?
Aku bersedia menerobos hujan itu demi menjadi gigil tubuhmu. Sampai aromamu mengisi ruangan tempat kenangan, kehilangan dan cinta yang tidak pernah datang tepat waktu.
7 Kamu mencoba memahami perasaan ini dengan sebuah tangisan panjang dalam perjalanan. Sesuatu yang tidak bisa dibendung di dada akan meluap lewat mata. Padahal ketika tidak bicara dan cukup lama setia, perjalanan akan mengajakmu memahami makna.
Kamu berdoa semoga ingatan dan rindu menusuk jantungku kemudian membunuh dengan perlahan. Aku ingin cinta juga mengalir dalam nadi seperti ketika kamu menyebut namaku dalam hening dan rindu yang akan selalu sendu. Dan kita akan terluka bersama.
8 Jalan-jalan makin sepi. Langit masih gelap dan hujan seperti tidak punya usaha untuk sunyi.
Pada hal-hal yang tidak sempat terucap, nadi kita bermuara ke tempat yang satu jantung kita bersama berdetak. Setelah itu kita tetaplah sepasang anak kecil yang tertawa bersama derai gerimis. Tangan kita bergandengan dan air hujan menghapus jejak lumpur di belakang.
Published on December 29, 2021 16:02
December 22, 2021
Kematian yang Datang Tiba-tiba
Kawan saya, perempuan yang murah senyum, duduk dan terdiam. Saya bertanya, tapi pertanyaan itu seperti menggantung tanpa jawaban. Saya tahu ia diam bukan karena tidak mendengar, tapi karena menahan tangis. Saya melihat wajah yang selalu tersenyum itu murung. Tidak lama tangisnya pecah. Ia berusaha tegar tapi di ruangan kecil itu tangisnya semakin menyayat. Sekuat tenaga saya juga menahan tangis sendiri.
Ayahnya meninggal beberapa minggu lalu. Ia bercerita setiap kali memejamkan mata, selalu wajah ayah yang terbayang. Saya memahami itu. Bagi orang yang pernah ditinggal orang yang disayangi, tidak sulit untuk memahami perasaan itu.
“Gak papa. Nangis aja,” itu kalimat yang keluar dari saya.
Saya menunggu tangisnya reda. Dan itu jenis tangis yang tidak mudah reda sehingga saya menunggu agak lama. Belum reda tangisnya, ia terbata-bata bercerita. Ia bercerita tentang kematian ayahnya yang sangat tiba-tiba. Tanpa sakit, tanpa pertanda. Ia terjatuh di kamar mandi dan tidak beberapa lama kemudian menghembuskan nafas terakhir di pelukan kawan saya.
Saya tahu rasanya ditinggalkan tiba-tiba. Saya mengerti sakitnya. Bapak dan dua orang paman dan bibi saya mati cepat dan tiba-tiba. Mungkin serangan jantung. Mungkin saya akan mati seperti mereka. Mungkin juga tidak.
Banyak hal yang ditangisi kawan saya. Penyesalan atas beberapa hal yang belum dilakukan. Kemarahan yang menggumpal di dada seperti sesak nafas tapi tidak tahu siapa yang harus disalahkan. Betapa ia teringat kasih sayang ayah begitu banyak dan mengingatnya membuat nelangsa. Karena ia tahu, tidak ada kesempatan lagi untuk membalas.
Sebagai seorang ayah dari anak perempuan, saya ingin membalas bahwa seorang ayah tidak pernah mengharap cinta dan pengorbanannya dibalas. Melihat anak-anaknya bahagia merupakan balasan yang sudah lebih dari cukup. Tapi saya tidak mengucapkan itu, saya tahu bagi seorang anak perempuan, ayah adalah cinta pertama mereka, sehingga mencintainya bukanlah balasan, tapi naluri.
Saya teringat apa yang pernah ditulis Hoeda Manis, “Kehidupan ini telah membuat kita yakin bahwa kebahagiaan kita tergantung pada orang-orang lain yang mencintai kita. Namun ini sebenarnya cara berpikir yang terbalik, yang telah menimbulkan begitu banyak masalah bagi kita. Yang benar adalah bahwa kebahagiaan itu tergantung pada usaha kita untuk memberikan cinta. Ini bukan tentang apa yang masuk ke dalam; ini adalah tentang apa yang mengalir ke luar.”
Cinta, pengorbanan dan keberanian adalah hal yang saling melekat. Mengungkapkan dan membuktikannya bukanlah hal yang mudah. Terkadang ada harga dan resiko yang harus dibayar. Namun tidak pernah ada kata terlambat untuk mengungkapkan perasaan kepada orang yang kita sayangi, yang kita kasihi. Batas adalah ajal. Selama ia belum datang, menyembunyikan cinta adalah sebuah usaha menumpuk-numpuk penyesalan.
Saya mendengarkan dan terus mendengarkan kawan saya bercerita. Bertanya sekedarnya dan menunggu sampai ia selesai. Karena saya tahu saat ini, itu yang ia butuhkan.
Ayahnya meninggal beberapa minggu lalu. Ia bercerita setiap kali memejamkan mata, selalu wajah ayah yang terbayang. Saya memahami itu. Bagi orang yang pernah ditinggal orang yang disayangi, tidak sulit untuk memahami perasaan itu.
“Gak papa. Nangis aja,” itu kalimat yang keluar dari saya.
Saya menunggu tangisnya reda. Dan itu jenis tangis yang tidak mudah reda sehingga saya menunggu agak lama. Belum reda tangisnya, ia terbata-bata bercerita. Ia bercerita tentang kematian ayahnya yang sangat tiba-tiba. Tanpa sakit, tanpa pertanda. Ia terjatuh di kamar mandi dan tidak beberapa lama kemudian menghembuskan nafas terakhir di pelukan kawan saya.
Saya tahu rasanya ditinggalkan tiba-tiba. Saya mengerti sakitnya. Bapak dan dua orang paman dan bibi saya mati cepat dan tiba-tiba. Mungkin serangan jantung. Mungkin saya akan mati seperti mereka. Mungkin juga tidak.
Banyak hal yang ditangisi kawan saya. Penyesalan atas beberapa hal yang belum dilakukan. Kemarahan yang menggumpal di dada seperti sesak nafas tapi tidak tahu siapa yang harus disalahkan. Betapa ia teringat kasih sayang ayah begitu banyak dan mengingatnya membuat nelangsa. Karena ia tahu, tidak ada kesempatan lagi untuk membalas.
Sebagai seorang ayah dari anak perempuan, saya ingin membalas bahwa seorang ayah tidak pernah mengharap cinta dan pengorbanannya dibalas. Melihat anak-anaknya bahagia merupakan balasan yang sudah lebih dari cukup. Tapi saya tidak mengucapkan itu, saya tahu bagi seorang anak perempuan, ayah adalah cinta pertama mereka, sehingga mencintainya bukanlah balasan, tapi naluri.
Saya teringat apa yang pernah ditulis Hoeda Manis, “Kehidupan ini telah membuat kita yakin bahwa kebahagiaan kita tergantung pada orang-orang lain yang mencintai kita. Namun ini sebenarnya cara berpikir yang terbalik, yang telah menimbulkan begitu banyak masalah bagi kita. Yang benar adalah bahwa kebahagiaan itu tergantung pada usaha kita untuk memberikan cinta. Ini bukan tentang apa yang masuk ke dalam; ini adalah tentang apa yang mengalir ke luar.”
Cinta, pengorbanan dan keberanian adalah hal yang saling melekat. Mengungkapkan dan membuktikannya bukanlah hal yang mudah. Terkadang ada harga dan resiko yang harus dibayar. Namun tidak pernah ada kata terlambat untuk mengungkapkan perasaan kepada orang yang kita sayangi, yang kita kasihi. Batas adalah ajal. Selama ia belum datang, menyembunyikan cinta adalah sebuah usaha menumpuk-numpuk penyesalan.
Saya mendengarkan dan terus mendengarkan kawan saya bercerita. Bertanya sekedarnya dan menunggu sampai ia selesai. Karena saya tahu saat ini, itu yang ia butuhkan.
Published on December 22, 2021 02:44
November 24, 2021
rindu senja
setiap senja datang
aku selalu rindu padamu
kamu adalah deretan pepohonan
ketika kabut mulai turun dan
tulus menerima semburat berwarna Amarilis
menyusup melalui sela-sela dahan
kamu adalah bumi yang setia
menunggu hujan jatuh
meruapkan wangi aroma tanah
kamu adalah kicau kenari
pada jalan setapak di hutan mendaki
kamu adalah cermin yang tidak
menyisakan ruangan untuk bersembunyi
magrib datang dan kita masih di jalan
menyusuri pinggir danau yang
memantulkan warna awan
malam perlahan-lahan
melenyapkan segala
kecuali warnamu dan ingatanku
warnamu rona-rupa mentari
ingatanku energi yang kekal mencari
aku mencintaimu dengan sederhana
seperti kamu mencintai langit ketika sore tiba
aku selalu rindu padamu
kamu adalah deretan pepohonan
ketika kabut mulai turun dan
tulus menerima semburat berwarna Amarilis
menyusup melalui sela-sela dahan
kamu adalah bumi yang setia
menunggu hujan jatuh
meruapkan wangi aroma tanah
kamu adalah kicau kenari
pada jalan setapak di hutan mendaki
kamu adalah cermin yang tidak
menyisakan ruangan untuk bersembunyi
magrib datang dan kita masih di jalan
menyusuri pinggir danau yang
memantulkan warna awan
malam perlahan-lahan
melenyapkan segala
kecuali warnamu dan ingatanku
warnamu rona-rupa mentari
ingatanku energi yang kekal mencari
aku mencintaimu dengan sederhana
seperti kamu mencintai langit ketika sore tiba
Published on November 24, 2021 04:53
November 19, 2021
Roro Jonggrang
Ia tahu dicintai dan
memanfaatkan Bandung
untuk membuat sumur
yang walaupun megah tapi terbatas
seribu candi adalah bilangan yang tak terbalas
tapi
ia ketakutan atas apa yang ia minta
Jadilah ia batu
Jadilah ia debu
memanfaatkan Bandung
untuk membuat sumur
yang walaupun megah tapi terbatas
seribu candi adalah bilangan yang tak terbalas
tapi
ia ketakutan atas apa yang ia minta
Jadilah ia batu
Jadilah ia debu
Published on November 19, 2021 10:50
November 4, 2021
Rindu dan Cinta yang Tak Sempat Kamu Ucapkan
lebih mudah mengarang sebuah cerita
daripada mengungkapkan rasa
dengan keinginan masa lalu, harapan dan trauma
cinta adalah langit senja
yang selamanya mengajak meragukan keyakinan
yang terbentang untuk dinikmati
tapi tak mungkin untuk dimiliki
ia mengira bisa bersembunyi dalam puisi
padahal puisi menjebak untuk menumpuknumpuk rindunya sendiri
rindu yang menjelma hujan
kemudian meruapkan aroma tanah
dan angin menaburkan ke hadapanmu
ia tetap di sana
mungkin akan hilang dalam beberapa saat
tapi ia tetap di sana
daripada mengungkapkan rasa
dengan keinginan masa lalu, harapan dan trauma
cinta adalah langit senja
yang selamanya mengajak meragukan keyakinan
yang terbentang untuk dinikmati
tapi tak mungkin untuk dimiliki
ia mengira bisa bersembunyi dalam puisi
padahal puisi menjebak untuk menumpuknumpuk rindunya sendiri
rindu yang menjelma hujan
kemudian meruapkan aroma tanah
dan angin menaburkan ke hadapanmu
ia tetap di sana
mungkin akan hilang dalam beberapa saat
tapi ia tetap di sana
Published on November 04, 2021 23:23