Nailal Fahmi's Blog, page 5
March 9, 2024
Dunia adalah Sekolah yang Ujianya Setiap Hari
Ayo-ayo ke sekolah setiap hari,
Duduk di kursi mendengarkan guru,
Aku dan kamu berbaris di Senin pagi,
Upacara bendera di bawah langit biru.
Ibu guru dengan bakat berteriak,
"Sudahkah kamu
menyiapkan ujian hari ini?"
Anak-anak menjawab kocak, "Hari minggu bisakah kita libur bernapas?"
Kita akan libur besok saat
melihat dunia adalah selembar peta.
Ujian hari ini sederhana,
ibu guru meninggalkan
buah apel di atas meja.
Seorang anak terjatuh
tersandung kursi menangis
dan berdarah.
Di akhir hari sekolah,
kamu senang akhirnya bisa pulang.
Menyusuri jalan sambil melompat-lompat dengan tas di pundak.
Tidak lupa bermain sebentar
di taman belakang sekolah memetik
jambu air yang lebih banyak rontok buahnya.
Guru-guru juga pulang
bahkan saat hari masih hujan.
Mereka juga manusia yang
punya rumah dan pakaian kotor.
Anak-anak yang belum
pulang sekolah menangis.
Setelah itu hening,
pada sore yang gerimis
di bulan Juni yang juga hening.
2024
Duduk di kursi mendengarkan guru,
Aku dan kamu berbaris di Senin pagi,
Upacara bendera di bawah langit biru.
Ibu guru dengan bakat berteriak,
"Sudahkah kamu
menyiapkan ujian hari ini?"
Anak-anak menjawab kocak, "Hari minggu bisakah kita libur bernapas?"
Kita akan libur besok saat
melihat dunia adalah selembar peta.
Ujian hari ini sederhana,
ibu guru meninggalkan
buah apel di atas meja.
Seorang anak terjatuh
tersandung kursi menangis
dan berdarah.
Di akhir hari sekolah,
kamu senang akhirnya bisa pulang.
Menyusuri jalan sambil melompat-lompat dengan tas di pundak.
Tidak lupa bermain sebentar
di taman belakang sekolah memetik
jambu air yang lebih banyak rontok buahnya.
Guru-guru juga pulang
bahkan saat hari masih hujan.
Mereka juga manusia yang
punya rumah dan pakaian kotor.
Anak-anak yang belum
pulang sekolah menangis.
Setelah itu hening,
pada sore yang gerimis
di bulan Juni yang juga hening.
2024
Published on March 09, 2024 00:26
February 13, 2024
Anak-anak Matahari
Parasmu kemerahan memantulkan langit sore saat kaki-kaki kecil mentari redup di ujung ufuk. Lensa menangkap angkasa tempat dua pasang mata tidak pernah bersetuju akan makna yang sama.
Sepasang mata melihat jalanan serta trotoar kota yang jauh dari tempat kelahiran dimana ibu adalah abu kenangan. Sementara yang lain melihat malam perlahan-lahan menghapus separuh penyesalan masa lalu dalam album ingatan.
Di hadapan wajah langit kita hanya anak-anak matahari; debu yang diajari mengeja luka dan puisi.
Kota dan angkasa tidak peduli dengan perasaan siapa-siapa. Ia hanya menampilkan realitas yang keras kepala, juga cinta yang dapat kau nikmati tapi mustahil kau miliki.
Jingga serupa warna angan dan sepi merona di sepasang matamu; semesta yang tidak bisa ku jangkau luasnya.
Aku tidak bisa lagi membedakan mana angan dan sakit, duka dan rindu, atau mereka memang lahir dari rahim yang sama?
Akhirnya matahari beranjak pulang meninggalkan bayang memanjang dan harapan adalah satu-satunya penghibur di ujung hari esok.
Sehabis itu gelap.
Sehabis itu dingin.
Sepasang mata melihat jalanan serta trotoar kota yang jauh dari tempat kelahiran dimana ibu adalah abu kenangan. Sementara yang lain melihat malam perlahan-lahan menghapus separuh penyesalan masa lalu dalam album ingatan.
Di hadapan wajah langit kita hanya anak-anak matahari; debu yang diajari mengeja luka dan puisi.
Kota dan angkasa tidak peduli dengan perasaan siapa-siapa. Ia hanya menampilkan realitas yang keras kepala, juga cinta yang dapat kau nikmati tapi mustahil kau miliki.
Jingga serupa warna angan dan sepi merona di sepasang matamu; semesta yang tidak bisa ku jangkau luasnya.
Aku tidak bisa lagi membedakan mana angan dan sakit, duka dan rindu, atau mereka memang lahir dari rahim yang sama?
Akhirnya matahari beranjak pulang meninggalkan bayang memanjang dan harapan adalah satu-satunya penghibur di ujung hari esok.
Sehabis itu gelap.
Sehabis itu dingin.

Published on February 13, 2024 05:11
January 27, 2024
Tanah Suci, Wanita Suci dan Usia yang Tepat untuk Menjadi Nabi
Usianya 40 tahun itu, dan satu-satunya yang ia khawatirkan adalah ia tertarik meniru orang-orang untuk ikut kontestasi menjadi nabi.
Kawan saya Nath tinggal di Depok, Lia Eden berasal dari sana, begitu juga Ahmad Musadeq. Saya tertawa ketika Nath mengatakan fakta itu. Andai saja ia punya orang dalam MK, tentu ia tidak perlu menunggu usia 40.
Kami sudah lama tidak bertemu, namun ia masih hangat menyambut ketika saya datang seakan-akan kita adalah kawan yang sering bertemu. Percakapan dengannya mudah. Ia masih seperti dulu; supel, berbadan tinggi tegap, dan berkulit gelap. Memang terdengar seperti deskripsi tiang listrik.
Hari itu ia meminta saya mengisi workshop tentang kepenulisan di sekolah tempatnya bekerja. Ia tidak mengatakan bahwa ia adalah kepala sekolah di SMP itu, sampai saya selesai memberi materi.
"Pantesan tadi gua bawain materi joke tentang lu gak ada yang ketawa." Kata saya setelah turun panggung, "Bukanya gak lucu berarti, emang mereka sungkan aja."
Saat ini hampir setiap bulan ia ke luar negeri, membawa jamaah Umroh. Ya, selain kepala sekolah, ia juga adalah salah satu "Mutowwif" pada travel agency yang sering wara-wiri ke Tanah Suci.
Muslim Indonesia adalah salah satu yang paling banyak pergi ke Arab Saudi, baik ketika Haji apalagi Umroh. Sehingga tidak heran di sana banyak pedagang arab menawarkan dagangan mereka menggunakan Bahasa Indonesia, bahkan menerima "Uang Jokowi". Maksudnya mata uang Rupiah, bukan Bansos.
Nath pernah misuh ketika pertama kali menawar dagangan menggunakan bahasa arab fasih tapi dijawab oleh si pedagang arab dengan Bahasa Tanahabang, "Tau gitu ngapain gua latihan Muhadatsah! Mending part time jadi penjaga toko Blok M!"
Beberapa bulan yang lalu, Wi --salah satu kawan saya yang kebetulan juga kepala sekolah, juga melaksanakan Umroh. Ia Wanita Suci. Bukan seperti Sayyidah Maryam yang melahirkan Nabi Isa dengan tanpa ayah. Bukan. Tapi karena ia tidak bisa lagi menstruasi, atau hamil, atau sarapan nasi uduk di bulan Ramadhan, karena ia sudah tidak punya rahim.
Sebelum operasi pengangkatan rahim, ia pergi Umroh. Mungkin untuk meminta petunjuk, atau ketenangan, atau semacam pertaubatan kalau-kalau ia mati di meja operasi sementara ia masih suka memaki ketua yayasan.
Saya selalu senang mendengar pengalaman kawan-kawan ketika mereka berkunjung ke Masjid al-Haram.
"Aku baru sadar," Wi menjelaskan, "ternyata di sana karakter, kebiasaan, kesukaan kita benar-benar diperlihatkan."
Kemudian ia bercerita tentang pengalamannya dengan berapi-api, seperti biasanya. Tentang bagaimana orang-orang yang tinggi besar tidak mau mengalah sehingga ia tidak bisa mendekati Ka'bah, bagaimana kesabarannya diuji dengan seorang wanita gemuk yang tiba-tiba duduk menghalangi tempatnya sujud. Karena tidak bisa diajak bicara dengan baik, Wi membentak, "MA'AM, PLEASE MOVE! MOVE!! OR I'LL CUT YOU IN A HALF!!"
Bercanda. Kalimat terakhir hanya dramatisasi, walaupun kalau saat itu Wi membawa Katana, mungkin bisa kejadian.
"Aku kan di sini suka foto-foto, ya." Wi meneruskan cerita, "di sana gak tau kenapa, sering banget aku diminta untuk fotoin orang yang gak aku kenal. Padahal waktu minta foto, ada orang yang jaraknya lebih deket dengan dia loh. Ngapain dia harus bela-belain berjalan memutar hanya untuk minta aku fotoin? Bener-bener gak bisa dinalar."
Di hari berikutnya, ia datang agak terlambat untuk salat subuh di Masjid Nabawi. Ia terjebak di tengah kerumunan orang yang sudah bersiap untuk salat. Semuanya sudah berdiri di shaf masing-masing kecuali dia. Ia tidak menemukan shaf kosong, sementara terlalu jauh jika ia mundur ke shaf paling belakang. Ia bersandar di pojok salah satu tiang masjid dan tidak berani meminta melonggarkan barisan kepada orang-orang di dekatnya agar dia bisa masuk. Tentu ada alasan kenapa dia enggan, karena beberapa hari sebelumnya, ia pernah sengaja tidak melonggarkan shaf untuk orang yang tidak mendapat shaf. Sekarang kejadiannya berbalik. Qisas instan.
Saya tersenyum mendengar cerita Wi. Sejak pertama kali saya mengenalnya, ia tetaplah Alfa Female yang tidak mau kalah dan perfeksionis, jadi ketika ia bilang di Kota Suci karakter seseorang akan sangat ditampakkan, saya sudah bisa membayangkan ia bertengkar dengan orang-orang Afrika yang besar dan bau terasi. Untungnya itu tidak terjadi, yang terjadi adalah ia bertengkar dengan tukang perhiasan di pasar Suwaiqah karena menawar emas terlalu rendah.
Nath belum pernah bercerita tentang pengalaman spiritual apapun ke saya sepanjang perjalanan berkali-kali ke Tanah Haram. Mungkin saja ia pernah bertemu malaikat di dekat Gua Hira, atau bertemu Nabi Khidir di parit bekas Perang Khandaq atau dicium bapak-bapak berjenggot karena dikira Hajar Aswad.
Wi punya pengalaman yang lebih ajaib. Jam tangan kesukaannya diminta oleh seseorang yang tidak ia kenal. Awalnya ia sempat ragu, namun akhirnya ia ikhlas memberikan. Mungkin Allah punya rencana, batinnya. Ketika ia menceritakan kejadian itu, seorang ibu tua yang satu grup dengannya berkata enteng, "Akan ada gantinya nanti, Wi. Jangankan jam, mobil juga bisa kamu beli."
Tidak beberapa lama setelah Wi pulang Umroh, ia membeli mobil.
Super sekali, Pak Mario.
Nath, Wi dan banyak kawan-kawan saya yang lain punya beragam alasan dan keinginan untuk pergi ke Tanah Suci; ada yang karena kewajiban, pekerjaan, penasaran, kebutuhan, meminta ampunan, memohon rizki, keselamatan, kesembuhan, ketenangan hati, petunjuk dan lain-lain. Harapn-harapan itu ada yang Allah kabulkan langsung, ada yang ditunda, ada yang diganti dengan yang lebih baik.
Alhamdulilah, 8 jam Histerektomi Wi oleh dua dokter spesialis berjalan lancar, walaupun di tengah operasi sempat terjadi kondisi menegangkan. Sementara Nath sampai saat ini masih mencari dukungan ormas besar untuk memenuhi 20 persen Nabiyatul Treshold.
Semoga Allah yang Maha Mengatur mengundang dan memanggil kita untuk berkunjung ke Baitullah. Bukan hanya untuk yang belum pernah, namun juga untuk yang sudah pernah, karena selalu ada kerinduan untuk kembali berziarah ke makam Rasulullah yang mulia.
Allahumma shalli 'ala sayyidina Muhammad wa 'ala alihi wasahbihi ajmain.
Kawan saya Nath tinggal di Depok, Lia Eden berasal dari sana, begitu juga Ahmad Musadeq. Saya tertawa ketika Nath mengatakan fakta itu. Andai saja ia punya orang dalam MK, tentu ia tidak perlu menunggu usia 40.
Kami sudah lama tidak bertemu, namun ia masih hangat menyambut ketika saya datang seakan-akan kita adalah kawan yang sering bertemu. Percakapan dengannya mudah. Ia masih seperti dulu; supel, berbadan tinggi tegap, dan berkulit gelap. Memang terdengar seperti deskripsi tiang listrik.
Hari itu ia meminta saya mengisi workshop tentang kepenulisan di sekolah tempatnya bekerja. Ia tidak mengatakan bahwa ia adalah kepala sekolah di SMP itu, sampai saya selesai memberi materi.
"Pantesan tadi gua bawain materi joke tentang lu gak ada yang ketawa." Kata saya setelah turun panggung, "Bukanya gak lucu berarti, emang mereka sungkan aja."
Saat ini hampir setiap bulan ia ke luar negeri, membawa jamaah Umroh. Ya, selain kepala sekolah, ia juga adalah salah satu "Mutowwif" pada travel agency yang sering wara-wiri ke Tanah Suci.
Muslim Indonesia adalah salah satu yang paling banyak pergi ke Arab Saudi, baik ketika Haji apalagi Umroh. Sehingga tidak heran di sana banyak pedagang arab menawarkan dagangan mereka menggunakan Bahasa Indonesia, bahkan menerima "Uang Jokowi". Maksudnya mata uang Rupiah, bukan Bansos.
Nath pernah misuh ketika pertama kali menawar dagangan menggunakan bahasa arab fasih tapi dijawab oleh si pedagang arab dengan Bahasa Tanahabang, "Tau gitu ngapain gua latihan Muhadatsah! Mending part time jadi penjaga toko Blok M!"
Beberapa bulan yang lalu, Wi --salah satu kawan saya yang kebetulan juga kepala sekolah, juga melaksanakan Umroh. Ia Wanita Suci. Bukan seperti Sayyidah Maryam yang melahirkan Nabi Isa dengan tanpa ayah. Bukan. Tapi karena ia tidak bisa lagi menstruasi, atau hamil, atau sarapan nasi uduk di bulan Ramadhan, karena ia sudah tidak punya rahim.
Sebelum operasi pengangkatan rahim, ia pergi Umroh. Mungkin untuk meminta petunjuk, atau ketenangan, atau semacam pertaubatan kalau-kalau ia mati di meja operasi sementara ia masih suka memaki ketua yayasan.
Saya selalu senang mendengar pengalaman kawan-kawan ketika mereka berkunjung ke Masjid al-Haram.
"Aku baru sadar," Wi menjelaskan, "ternyata di sana karakter, kebiasaan, kesukaan kita benar-benar diperlihatkan."
Kemudian ia bercerita tentang pengalamannya dengan berapi-api, seperti biasanya. Tentang bagaimana orang-orang yang tinggi besar tidak mau mengalah sehingga ia tidak bisa mendekati Ka'bah, bagaimana kesabarannya diuji dengan seorang wanita gemuk yang tiba-tiba duduk menghalangi tempatnya sujud. Karena tidak bisa diajak bicara dengan baik, Wi membentak, "MA'AM, PLEASE MOVE! MOVE!! OR I'LL CUT YOU IN A HALF!!"
Bercanda. Kalimat terakhir hanya dramatisasi, walaupun kalau saat itu Wi membawa Katana, mungkin bisa kejadian.
"Aku kan di sini suka foto-foto, ya." Wi meneruskan cerita, "di sana gak tau kenapa, sering banget aku diminta untuk fotoin orang yang gak aku kenal. Padahal waktu minta foto, ada orang yang jaraknya lebih deket dengan dia loh. Ngapain dia harus bela-belain berjalan memutar hanya untuk minta aku fotoin? Bener-bener gak bisa dinalar."
Di hari berikutnya, ia datang agak terlambat untuk salat subuh di Masjid Nabawi. Ia terjebak di tengah kerumunan orang yang sudah bersiap untuk salat. Semuanya sudah berdiri di shaf masing-masing kecuali dia. Ia tidak menemukan shaf kosong, sementara terlalu jauh jika ia mundur ke shaf paling belakang. Ia bersandar di pojok salah satu tiang masjid dan tidak berani meminta melonggarkan barisan kepada orang-orang di dekatnya agar dia bisa masuk. Tentu ada alasan kenapa dia enggan, karena beberapa hari sebelumnya, ia pernah sengaja tidak melonggarkan shaf untuk orang yang tidak mendapat shaf. Sekarang kejadiannya berbalik. Qisas instan.
Saya tersenyum mendengar cerita Wi. Sejak pertama kali saya mengenalnya, ia tetaplah Alfa Female yang tidak mau kalah dan perfeksionis, jadi ketika ia bilang di Kota Suci karakter seseorang akan sangat ditampakkan, saya sudah bisa membayangkan ia bertengkar dengan orang-orang Afrika yang besar dan bau terasi. Untungnya itu tidak terjadi, yang terjadi adalah ia bertengkar dengan tukang perhiasan di pasar Suwaiqah karena menawar emas terlalu rendah.
Nath belum pernah bercerita tentang pengalaman spiritual apapun ke saya sepanjang perjalanan berkali-kali ke Tanah Haram. Mungkin saja ia pernah bertemu malaikat di dekat Gua Hira, atau bertemu Nabi Khidir di parit bekas Perang Khandaq atau dicium bapak-bapak berjenggot karena dikira Hajar Aswad.
Wi punya pengalaman yang lebih ajaib. Jam tangan kesukaannya diminta oleh seseorang yang tidak ia kenal. Awalnya ia sempat ragu, namun akhirnya ia ikhlas memberikan. Mungkin Allah punya rencana, batinnya. Ketika ia menceritakan kejadian itu, seorang ibu tua yang satu grup dengannya berkata enteng, "Akan ada gantinya nanti, Wi. Jangankan jam, mobil juga bisa kamu beli."
Tidak beberapa lama setelah Wi pulang Umroh, ia membeli mobil.
Super sekali, Pak Mario.
Nath, Wi dan banyak kawan-kawan saya yang lain punya beragam alasan dan keinginan untuk pergi ke Tanah Suci; ada yang karena kewajiban, pekerjaan, penasaran, kebutuhan, meminta ampunan, memohon rizki, keselamatan, kesembuhan, ketenangan hati, petunjuk dan lain-lain. Harapn-harapan itu ada yang Allah kabulkan langsung, ada yang ditunda, ada yang diganti dengan yang lebih baik.
Alhamdulilah, 8 jam Histerektomi Wi oleh dua dokter spesialis berjalan lancar, walaupun di tengah operasi sempat terjadi kondisi menegangkan. Sementara Nath sampai saat ini masih mencari dukungan ormas besar untuk memenuhi 20 persen Nabiyatul Treshold.
Semoga Allah yang Maha Mengatur mengundang dan memanggil kita untuk berkunjung ke Baitullah. Bukan hanya untuk yang belum pernah, namun juga untuk yang sudah pernah, karena selalu ada kerinduan untuk kembali berziarah ke makam Rasulullah yang mulia.
Allahumma shalli 'ala sayyidina Muhammad wa 'ala alihi wasahbihi ajmain.
Published on January 27, 2024 22:20
December 29, 2023
Dalam Hutan
Hutan mengingat masa depan
dan masa lalu pada serat kulit-kulit kayu,
mencatat perjalanan waktu sejak
selaksa bintang yang jauh.
Dari jendela kereta yang sedang melaju, Lawu mengajariku menulis puisi. Ia membiarkanku tidak melakukan apapun selain memandang ke luar dan melamun.
Aku berharap bisa membencimu dengan alasan-alasan sebanyak daun-daun. Sampai kesadaran membuatku bersetuju dengan hutan, bahwa ia tidak meminta apapun kecuali kerelaan.
Bayangkan suatu hari yang haru aku menghilang ditelan halimun. Seberapa lama kamu akan menyadari? Seberapa besar kamu berusaha menghubungiku?
Akan ada perpisahan di masa depansebagaimana kita saling tidak mengenal di masa lalu. Daun-daun kering gugur dan pulang kepada pohon kehidupan. Akar-akar saling berbicara mengabarkan angan yang selalu dekat.
Apalah arti kita di tengah kemarin dan esok? Makhluk yang mengagumi denting minor piano, petikan gitar, tongeret, juga dingin angin yang menusuk.
Malam yang pendiam tiba di atas kota. Hutan dan kota yang gelisah seharusnya tidak bermusuhan, seperti kejujuran seharusnya tidak berpisah dengan jantung puisi karena kata-kata kadang berkhianat pada dirinya sendiri.
Kamu hutan malam ini, tempat cinta dengan warna yang lekas pudar memugar wajahnya kembali. Menuntun tangan sepi menuju puncak kesadaran.
Tanah mengucapkan salam perpisahan ketika musim dingin yang menggigilkan pucuk-pucuk akasia menarik kita menuju keabadian. Dalam kematian yang tidak lagi menakutkan.
dan masa lalu pada serat kulit-kulit kayu,
mencatat perjalanan waktu sejak
selaksa bintang yang jauh.
Dari jendela kereta yang sedang melaju, Lawu mengajariku menulis puisi. Ia membiarkanku tidak melakukan apapun selain memandang ke luar dan melamun.
Aku berharap bisa membencimu dengan alasan-alasan sebanyak daun-daun. Sampai kesadaran membuatku bersetuju dengan hutan, bahwa ia tidak meminta apapun kecuali kerelaan.
Bayangkan suatu hari yang haru aku menghilang ditelan halimun. Seberapa lama kamu akan menyadari? Seberapa besar kamu berusaha menghubungiku?
Akan ada perpisahan di masa depansebagaimana kita saling tidak mengenal di masa lalu. Daun-daun kering gugur dan pulang kepada pohon kehidupan. Akar-akar saling berbicara mengabarkan angan yang selalu dekat.
Apalah arti kita di tengah kemarin dan esok? Makhluk yang mengagumi denting minor piano, petikan gitar, tongeret, juga dingin angin yang menusuk.
Malam yang pendiam tiba di atas kota. Hutan dan kota yang gelisah seharusnya tidak bermusuhan, seperti kejujuran seharusnya tidak berpisah dengan jantung puisi karena kata-kata kadang berkhianat pada dirinya sendiri.
Kamu hutan malam ini, tempat cinta dengan warna yang lekas pudar memugar wajahnya kembali. Menuntun tangan sepi menuju puncak kesadaran.
Tanah mengucapkan salam perpisahan ketika musim dingin yang menggigilkan pucuk-pucuk akasia menarik kita menuju keabadian. Dalam kematian yang tidak lagi menakutkan.

Published on December 29, 2023 14:21
October 1, 2023
laki-laki yang duduk di tepi jendela sambil sekali lagi menonton masa lalu di langit biru
hari kemarin lewat dan
mengetuk pintu depan
laki-laki itu turun dari jendela
berlari membuka pintu
sebelum ia menemukan
halaman kosong
ia berharap ada kejutan atau
bisa mengubah warna awan
mengetuk pintu depan
laki-laki itu turun dari jendela
berlari membuka pintu
sebelum ia menemukan
halaman kosong
ia berharap ada kejutan atau
bisa mengubah warna awan
(2023)
Published on October 01, 2023 18:16
July 31, 2023
Tertawalah, Maka Dunia Akan Tertawa Bersamamu
Dear Nada,
Tanggal 28 Juli kemarin, bapak menulis surat untuk ibu, seperti tahun-tahun sebelumnya bapak juga menulis untuk memperingati hari pernikahan. Jadi menulis surat biasa bapak lakukan kepada siapa saja, baik yang sering bertemu, jarang bertemu, bisa dihubungi di dunia nyata, ataupun yang sudah meninggal. Saat ini bapak menulis surat untukmu bukan karena bapak tidak bisa mengungkapkan langsung, tapi karena menulis lebih memperlihatkan kejernihan berpikir, juga menuntut seseorang untuk bisa menggunakan kalimat yang lebih efektif dan efisien, disamping juga ini sudah menjadi kebiasaan lama bahkan sejak bapak seusia kamu.
Dulu bapak menulis diary untuk mencurahkan perasaan agar bisa membantu melalui masa-masa sulit, pada saat sedih, kangen, merasa tidak dicintai, merasa tidak diakui, atau saat merasa bodoh, sementara tidak ada seorang pun yang bisa mendengarkan atau dipercaya untuk mendengarkan. Selain katarsis, menulis juga berkaitan dengan kenyamanan dan evaluasi diri. Sampai sekarang bapak masih menulis, kebiasaan yang dari dulu bapak lakukan sejak tinggal di pondok.
Malam pertama saat kamu di pondok, bapak dan beberapa orang kawan berkunjung ke pesantren Kiyai Fachruddin, guru bapak semenjak Tsanawiyah. Bapak di sana semalaman dan baru pulang sampai rumah ketika azan subuh berkumandang. Bapak menghadiahkan Kiyai sebuah buku, juga membicarakan banyak hal, termasuk kamu. Apa kamu percaya, perasaan deg-degan yang kamu rasakan dalam perjalanan ke pondok pagi itu, juga bapak rasakan? Kiyai Fachru yang saat ini punya dua pesantren, memiliki pengalaman pribadi tentang kondisi psikologis santri dan orang tua. Beliau menyampaikan bahwa orang tua dan anak punya ikatan emosional yang kuat. Sehingga apa yang dirasakan anak, juga bisa dirasakan orang tua, begitu juga sebaliknya. Orang tua dan anak bisa berkomunikasi secara ruhiyah, ruh bir ruh. Sakit dan kesedihan yang dirasakan anak, bisa dirasakan orang tua.
Di rumah sakit, dokter biasa menanyakan peringkat kesakitan pasien dengan angka, dari tingkat satu untuk yang paling ringan, sampai sepuluh yang paling sakit. Hanya saja, tenaga medis biasanya menanyakan sakit fisik, sementara kondisi psikologis sebenarnya yang bisa membuat sakit makin menjadi. Kamu tahu hal paling sakit yang pernah bapak rasakan? Sakit pada peringkat 9. Sakit ketika bapak mengetahui Embah meninggal.
Minggu, 6 Desember 2015. Malam itu bapak pulang kerja dan sepanjang jalan turun hujan. Sampai di rumah tidak ada orang. Kamu, ibu dan Safa sedang menginap di rumah Oma. Di kamar bapak tidur ditemani diri sendiri, gelap dengan perasaan ditindih sepi. Malam itu ada firasat aneh yang tidak bisa bapak jelaskan dengan terang melalui tulisan. Semacam hubungan batin anak dan orang tua mungkin.
Pagi hari, selepas subuh, ibu menelpon dengan suara gemetar, meminta segera ke rumah Nenek, karena Embah sakit. Saat bapak tiba, Embah sudah tidak sadarkan diri dan 30 menit kemudian beliau meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit. Hari itu, selepas salat asar, jenazah dikuburkan. Itu salah satu hari tersingkat dalam hidup bapak. Beberapa tetangga bilang, "Baru kemarin sore saya lihat Pak haji lewat depan rumah."
Embah meninggal dengan tiba-tiba. Andai semua orang datang dan pulang beramai-ramai, mungkin tidak ada yang merasa ditinggalkan. Sayang, dunia ini bukan seperti rombongan tamasya menggunakan bis, yang beramai-ramai datang, beramai-ramai pulang. Kehidupan dunia ini seperti datang ke Pasar Malam, seorang-seorang datang, seorang-seorang pergi.
Kehilangan orang tercinta tidak pernah mudah, Kak. Dengan kehilangan semacam itu, kamu bisa terbangun tiba-tiba pada tengah malam dan menangis sendirian. Kamu merasakan dadamu terhimpit dalam isak, paru-parumu berderu dengan sedu yang menyesakkan, sampai kamu lupa bagaimana caranya bernafas.
Kamu mengingat kenangan-kenangan yang terlewat. Kamu merindukan pesan dan telponnya, kamu merindukan suaranya, kamu merindukan aroma tubuhnya, kamu merindukan hal-hal yang mengesalkanmu, kamu merindukan hal-hal kecil, segala sesuatu yang bahkan sangat sederhana seperti caranya bicara, memegang tangan atau mengucapkan namamu. Namun yang lebih menyesakkan dalam semua kerinduan itu adalah sesuatu yang belum sempat kamu lakukan untuk membalas jasanya.
Sampai saat ini, belum ada yang bisa mengalahkan sakit itu. Belum ada sakit peringkat ke 10. Bapak sengaja menyisakannya, entah untuk apa.
Beberapa waktu lalu, saat kamu bilang sakit sambil menangis, bapak tidak tahu berapa nilainya, tapi bapak mengerti itu bukan hanya sekedar kesakitan fisik. Kamu bisa saja menyembunyikan, tapi orang tua punya kemampuan untuk mengerti apa yang tidak diungkap anak mereka. Bapak percaya, kesulitan dan tantangan fisik yang kamu hadapi saat ini bisa dengan mudah kamu atasi, sebagaimana bapak dan ribuan orang sebelum kamu juga pernah melewati kesulitan yang sama. Namun untuk tantangan emosi, kamu hanya butuh waktu untuk bisa lebih belajar.
Di usia kamu, waktu SD, bapak pernah menyukai seseorang. Rika namanya. Sejak bapak masuk pondok sampai sekarang, kami tidak pernah lagi bertemu. Saat ini bapak tidak tahu bagaimana kabarnya. Bapak juga pernah kangen seseorang sampai menangis. Itu sebelum bapak bertemu ibu. Sampai akhirnya, waktu yang menyembuhkan. Manusia bisa belajar banyak hal dari pengalaman hidup mereka, dan untuk bapak, cara tercepat mempelajari hal itu adalah dengan menulis. Menulis untuk bapak adalah cara berteriak tanpa harus membangunkan orang-orang di sekitar, juga cara membentuk ketabahan untuk terus maju dan berkembang.
Kamu boleh menulis perasaan kamu kepada siapa saja. Tulisan itu bisa kamu kirim ke orang yang kamu mau, bisa juga disimpan sendiri untuk kamu baca kembali suatu waktu, agar menjadi pengingat kenangan atau pelajaran. Kamu juga bisa menitipkan surat untuk kawan-kawanmu di SMM, mereka tentu akan senang membaca tulisan-tulisanmu. Kamu bisa menulis untuk Ali, Ajeng, Kief, Kirana, Olatte atau siapapun. Titipkan tulisan itu ke bapak atau ibu, nanti dikirim ke teman-teman yang kamu mau. Bapak dan ibu tentu tidak akan membaca tulisan-tulisan itu, kecuali memang kamu mengijinkan atau mau supaya bapak atau ibu membacanya.
Beberapa kali membaca tulisan-tulisanmu, bapak bisa menilai kalau kamu punya kemampuan yang bagus untuk menyampaikan perasaan serta ide dengan diksi yang kuat dan kalimat yang efektif. Itu keterampilan yang diperlukan ketika menulis, dan kamu mempunyai bakat alami.
Kiyai Fachru adalah orang yang pertama kali memberi tahu tentang bakat bapak. Suatu malam dari atas podium, disaksikan seluruh santri yang sedang mengikuti Muhadhoroh, Kiyai bilang bahwa bapak berbakat dalam menyusun cerita yang bagus. Sebelumnya bapak naik podium untuk membawakan pidato dengan sebuah cerita yang memang bapak susun sendiri. Seandainya tidak mondok, bapak tidak akan mengenal dan dekat dengan Kiyai Fachru, dan mungkin juga bapak tidak bisa mengeksplorasi kemampuan bapak sebenarnya. Dalam istilah sufi, guru juga disebut Mursyid, Pembimbing atau Mentor. Dalam perjalanan hidup ini, kamu juga akan bertemu mentor yang akan mendukung dan membimbing kamu ke jalan kebaikan. Kamu juga akan bertemu berbagai macam orang dengan berbagai macam latar belakang dan usia dan bisa belajar dari mereka.
Beberapa hari lalu, Kak Faznah, guru yang mengajari kamu Bahasa Inggris di pondok memberi tahu bapak bahwa kamu keren karena sudah berani memperkenalkan diri di depan orang banyak. Sejak kamu kecil sampai sekarang, bapak masih yakin bahwa kamu adalah salah satu anak yang paling berani, berkeinginan kuat dan tegar yang pernah bapak temui. Mungkin penilaian ini bias, tapi biar waktu yang akan membuktikan ketika kamu berhasil melalui kesulitan-kesulitan yang kamu hadapi, seperti yang sudah kamu lakukan sebelumnya.
Tidak ada yang bilang hidup ini akan selau mudah, Kak. Namun percayalah, setelah satu kesulitan selalu akan datang dua kemudahan, dan kamu tidak perlu takut dan bersedih karena sesungguhnya Allah bersama kita. La tahzan innallaha ma'ana.
Berbahagialah, karena itu perintah Tuhan. Orang-orang beriman hidup dengan penuh keikhlasan, syukur, tawakal, dan punya tujuan. Adakah orang yang tidak bahagia jika mampu menghayati semua itu? Jadi tertawalah, maka dunia akan tertawa bersamamu, dan bersedihlah maka kamu akan bersedih sendirian. Louis Sachar, penulis dengan selera humor tinggi itu pernah bilang, "Kamu butuh sebuah alasan untuk sedih. Tapi kamu tidak butuh alasan untuk bahagia.”
Bapak mengerti butuh waktu untuk memahami semua ini, maka tetaplah percaya pada dirimu sendiri sampai kamu menemukan versi terbaik dari dirimu. Bapak akan selalu mendukung dan menunggu kamu sampai kamu berada di puncak kebaikanmu, dan selama menunggu itu, bapak akan tetap menulis. Karena apa yang diucapkan akan hilang, sementara yang tertulis akan tetap tertulis.
Semoga Allah selalu menolong, memberi kekuatan, keselamatan dan kebahagiaan dalam hidupmu.
With love and fervent prayers,
Bapak
Tanggal 28 Juli kemarin, bapak menulis surat untuk ibu, seperti tahun-tahun sebelumnya bapak juga menulis untuk memperingati hari pernikahan. Jadi menulis surat biasa bapak lakukan kepada siapa saja, baik yang sering bertemu, jarang bertemu, bisa dihubungi di dunia nyata, ataupun yang sudah meninggal. Saat ini bapak menulis surat untukmu bukan karena bapak tidak bisa mengungkapkan langsung, tapi karena menulis lebih memperlihatkan kejernihan berpikir, juga menuntut seseorang untuk bisa menggunakan kalimat yang lebih efektif dan efisien, disamping juga ini sudah menjadi kebiasaan lama bahkan sejak bapak seusia kamu.
Dulu bapak menulis diary untuk mencurahkan perasaan agar bisa membantu melalui masa-masa sulit, pada saat sedih, kangen, merasa tidak dicintai, merasa tidak diakui, atau saat merasa bodoh, sementara tidak ada seorang pun yang bisa mendengarkan atau dipercaya untuk mendengarkan. Selain katarsis, menulis juga berkaitan dengan kenyamanan dan evaluasi diri. Sampai sekarang bapak masih menulis, kebiasaan yang dari dulu bapak lakukan sejak tinggal di pondok.
Malam pertama saat kamu di pondok, bapak dan beberapa orang kawan berkunjung ke pesantren Kiyai Fachruddin, guru bapak semenjak Tsanawiyah. Bapak di sana semalaman dan baru pulang sampai rumah ketika azan subuh berkumandang. Bapak menghadiahkan Kiyai sebuah buku, juga membicarakan banyak hal, termasuk kamu. Apa kamu percaya, perasaan deg-degan yang kamu rasakan dalam perjalanan ke pondok pagi itu, juga bapak rasakan? Kiyai Fachru yang saat ini punya dua pesantren, memiliki pengalaman pribadi tentang kondisi psikologis santri dan orang tua. Beliau menyampaikan bahwa orang tua dan anak punya ikatan emosional yang kuat. Sehingga apa yang dirasakan anak, juga bisa dirasakan orang tua, begitu juga sebaliknya. Orang tua dan anak bisa berkomunikasi secara ruhiyah, ruh bir ruh. Sakit dan kesedihan yang dirasakan anak, bisa dirasakan orang tua.
Di rumah sakit, dokter biasa menanyakan peringkat kesakitan pasien dengan angka, dari tingkat satu untuk yang paling ringan, sampai sepuluh yang paling sakit. Hanya saja, tenaga medis biasanya menanyakan sakit fisik, sementara kondisi psikologis sebenarnya yang bisa membuat sakit makin menjadi. Kamu tahu hal paling sakit yang pernah bapak rasakan? Sakit pada peringkat 9. Sakit ketika bapak mengetahui Embah meninggal.
Minggu, 6 Desember 2015. Malam itu bapak pulang kerja dan sepanjang jalan turun hujan. Sampai di rumah tidak ada orang. Kamu, ibu dan Safa sedang menginap di rumah Oma. Di kamar bapak tidur ditemani diri sendiri, gelap dengan perasaan ditindih sepi. Malam itu ada firasat aneh yang tidak bisa bapak jelaskan dengan terang melalui tulisan. Semacam hubungan batin anak dan orang tua mungkin.
Pagi hari, selepas subuh, ibu menelpon dengan suara gemetar, meminta segera ke rumah Nenek, karena Embah sakit. Saat bapak tiba, Embah sudah tidak sadarkan diri dan 30 menit kemudian beliau meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit. Hari itu, selepas salat asar, jenazah dikuburkan. Itu salah satu hari tersingkat dalam hidup bapak. Beberapa tetangga bilang, "Baru kemarin sore saya lihat Pak haji lewat depan rumah."
Embah meninggal dengan tiba-tiba. Andai semua orang datang dan pulang beramai-ramai, mungkin tidak ada yang merasa ditinggalkan. Sayang, dunia ini bukan seperti rombongan tamasya menggunakan bis, yang beramai-ramai datang, beramai-ramai pulang. Kehidupan dunia ini seperti datang ke Pasar Malam, seorang-seorang datang, seorang-seorang pergi.
Kehilangan orang tercinta tidak pernah mudah, Kak. Dengan kehilangan semacam itu, kamu bisa terbangun tiba-tiba pada tengah malam dan menangis sendirian. Kamu merasakan dadamu terhimpit dalam isak, paru-parumu berderu dengan sedu yang menyesakkan, sampai kamu lupa bagaimana caranya bernafas.
Kamu mengingat kenangan-kenangan yang terlewat. Kamu merindukan pesan dan telponnya, kamu merindukan suaranya, kamu merindukan aroma tubuhnya, kamu merindukan hal-hal yang mengesalkanmu, kamu merindukan hal-hal kecil, segala sesuatu yang bahkan sangat sederhana seperti caranya bicara, memegang tangan atau mengucapkan namamu. Namun yang lebih menyesakkan dalam semua kerinduan itu adalah sesuatu yang belum sempat kamu lakukan untuk membalas jasanya.
Sampai saat ini, belum ada yang bisa mengalahkan sakit itu. Belum ada sakit peringkat ke 10. Bapak sengaja menyisakannya, entah untuk apa.
Beberapa waktu lalu, saat kamu bilang sakit sambil menangis, bapak tidak tahu berapa nilainya, tapi bapak mengerti itu bukan hanya sekedar kesakitan fisik. Kamu bisa saja menyembunyikan, tapi orang tua punya kemampuan untuk mengerti apa yang tidak diungkap anak mereka. Bapak percaya, kesulitan dan tantangan fisik yang kamu hadapi saat ini bisa dengan mudah kamu atasi, sebagaimana bapak dan ribuan orang sebelum kamu juga pernah melewati kesulitan yang sama. Namun untuk tantangan emosi, kamu hanya butuh waktu untuk bisa lebih belajar.
Di usia kamu, waktu SD, bapak pernah menyukai seseorang. Rika namanya. Sejak bapak masuk pondok sampai sekarang, kami tidak pernah lagi bertemu. Saat ini bapak tidak tahu bagaimana kabarnya. Bapak juga pernah kangen seseorang sampai menangis. Itu sebelum bapak bertemu ibu. Sampai akhirnya, waktu yang menyembuhkan. Manusia bisa belajar banyak hal dari pengalaman hidup mereka, dan untuk bapak, cara tercepat mempelajari hal itu adalah dengan menulis. Menulis untuk bapak adalah cara berteriak tanpa harus membangunkan orang-orang di sekitar, juga cara membentuk ketabahan untuk terus maju dan berkembang.
Kamu boleh menulis perasaan kamu kepada siapa saja. Tulisan itu bisa kamu kirim ke orang yang kamu mau, bisa juga disimpan sendiri untuk kamu baca kembali suatu waktu, agar menjadi pengingat kenangan atau pelajaran. Kamu juga bisa menitipkan surat untuk kawan-kawanmu di SMM, mereka tentu akan senang membaca tulisan-tulisanmu. Kamu bisa menulis untuk Ali, Ajeng, Kief, Kirana, Olatte atau siapapun. Titipkan tulisan itu ke bapak atau ibu, nanti dikirim ke teman-teman yang kamu mau. Bapak dan ibu tentu tidak akan membaca tulisan-tulisan itu, kecuali memang kamu mengijinkan atau mau supaya bapak atau ibu membacanya.
Beberapa kali membaca tulisan-tulisanmu, bapak bisa menilai kalau kamu punya kemampuan yang bagus untuk menyampaikan perasaan serta ide dengan diksi yang kuat dan kalimat yang efektif. Itu keterampilan yang diperlukan ketika menulis, dan kamu mempunyai bakat alami.
Kiyai Fachru adalah orang yang pertama kali memberi tahu tentang bakat bapak. Suatu malam dari atas podium, disaksikan seluruh santri yang sedang mengikuti Muhadhoroh, Kiyai bilang bahwa bapak berbakat dalam menyusun cerita yang bagus. Sebelumnya bapak naik podium untuk membawakan pidato dengan sebuah cerita yang memang bapak susun sendiri. Seandainya tidak mondok, bapak tidak akan mengenal dan dekat dengan Kiyai Fachru, dan mungkin juga bapak tidak bisa mengeksplorasi kemampuan bapak sebenarnya. Dalam istilah sufi, guru juga disebut Mursyid, Pembimbing atau Mentor. Dalam perjalanan hidup ini, kamu juga akan bertemu mentor yang akan mendukung dan membimbing kamu ke jalan kebaikan. Kamu juga akan bertemu berbagai macam orang dengan berbagai macam latar belakang dan usia dan bisa belajar dari mereka.
Beberapa hari lalu, Kak Faznah, guru yang mengajari kamu Bahasa Inggris di pondok memberi tahu bapak bahwa kamu keren karena sudah berani memperkenalkan diri di depan orang banyak. Sejak kamu kecil sampai sekarang, bapak masih yakin bahwa kamu adalah salah satu anak yang paling berani, berkeinginan kuat dan tegar yang pernah bapak temui. Mungkin penilaian ini bias, tapi biar waktu yang akan membuktikan ketika kamu berhasil melalui kesulitan-kesulitan yang kamu hadapi, seperti yang sudah kamu lakukan sebelumnya.
Tidak ada yang bilang hidup ini akan selau mudah, Kak. Namun percayalah, setelah satu kesulitan selalu akan datang dua kemudahan, dan kamu tidak perlu takut dan bersedih karena sesungguhnya Allah bersama kita. La tahzan innallaha ma'ana.
Berbahagialah, karena itu perintah Tuhan. Orang-orang beriman hidup dengan penuh keikhlasan, syukur, tawakal, dan punya tujuan. Adakah orang yang tidak bahagia jika mampu menghayati semua itu? Jadi tertawalah, maka dunia akan tertawa bersamamu, dan bersedihlah maka kamu akan bersedih sendirian. Louis Sachar, penulis dengan selera humor tinggi itu pernah bilang, "Kamu butuh sebuah alasan untuk sedih. Tapi kamu tidak butuh alasan untuk bahagia.”
Bapak mengerti butuh waktu untuk memahami semua ini, maka tetaplah percaya pada dirimu sendiri sampai kamu menemukan versi terbaik dari dirimu. Bapak akan selalu mendukung dan menunggu kamu sampai kamu berada di puncak kebaikanmu, dan selama menunggu itu, bapak akan tetap menulis. Karena apa yang diucapkan akan hilang, sementara yang tertulis akan tetap tertulis.
Semoga Allah selalu menolong, memberi kekuatan, keselamatan dan kebahagiaan dalam hidupmu.
With love and fervent prayers,
Bapak

Published on July 31, 2023 19:19
July 27, 2023
Kamu Adalah Mata, Aku Airmatamu
Kita berjalan menuju rak buku-buku puisi. Kamu terpaku pada sebuah buku kemudian bertanya, "Ini maksudnya apa, Bang?"
Kamu memegang sebuah buku Joko Pinurbo berjudul "Malam ini aku akan tidur di matamu: sehimpun puisi pilihan". Aku mengamatimu dan tersenyum, mencari tanda di wajahmu untuk tahu apakah pertanyaan itu bercanda atau serius.
Kamu memberi pertanyaan lebih spesifik, "Kenapa mata? Maksudnya apa?"
Setelah menangkap rona serius di wajahmu, aku menjawab, "Mata adalah metafora dari jiwa manusia, kebijaksanaan, juga rahasia. Maka dari itu kita sering mendengar orang bilang mata tidak pernah berdusta. Jokpin pernah menulis puisi berjudul Kepada Puisi. Hanya ada satu bait, 'Kau adalah mata, aku airmatamu'. Mata juga menggambarkan sumber, inti atau pusat, makanya ada istilah mata pencarian, mata air, mata batin, mata pedang."
"Terus kenapa tidur?" Kamu bertanya lagi.
"Ya karena tidur itu nyaman. Tidur itu analogi dari kenyamanan. Aku akan Tidur di Matamu, Maksudnya si Aku-lirik nyaman dan ingin bersatu jiwanya dengan sumber, rahasia, ketulusan 'mu'."
Kamu diam. Sekali lagi aku melirik wajahmu, mencoba menangkap respon yang tidak kamu ucapkan. "Kalau kenapa malam, ya karena malam itu cocok dengan kata tidur, dan malam itu menggambarkan kesyahduan."
Kamu masih diam. Sepertinya puas dengan jawaban yang kamu dengar kemudian melihat buku-buku lain. Aku juga diam terpaku memandangi buku-buku puisi yang ditulis bahkan ratusan tahun yang lalu.
Puisi bagi manusia adalah keseharian. Seperti bernafas, ia adalah salah satu hal paling alami yang ada dalam kehidupan manusia, sebuah takdir karena manusia bisa bicara. Mau tidak mau, sadar atau tidak, naluri alami manusia adalah berpuisi. Mengungkap atau menyatakan sesuatu dengan perumpamaan, perbandingan, diksi yang kuat, irama dan lain-lain. Sehingga, segala konotasi dalam puisi diupayakan bukan untuk membuat bingung atau berteka-teki, tapi lebih dari itu adalah supaya bisa memberi kita makna dan kesadaran lebih dalam. Untuk mecipta hal tersebut, penyair harus menggali kesadaran dalam dirinya sendiri. Melongok dan mengunjungi jiwanya sendiri. Manusia sejatinya adalah jiwa. Kita adalah jiwa tanpa fisik.
Kamu tahu, aku selalu ingat Pablo Neruda dalam pengantar 100 Soneta Cinta, ketika menulis puisi untukmu. Ketika menuliskan puisi-puisi itu, aku sebenarnya menderita karena harus melepas jiwaku dari penjara fisik ini. Percayalah itu tindakan yang membuat nelangsa, mendukakan, menikam dan melukai tanpa henti, seperti kamu mengupas kulit sendiri untuk menampakkan daging merah dengan urat yang berdenyut dan darah yang bercucuran. Namun kamu tahu, kesenangan setelah mengungkapkan, menuliskan kemudian mempersembahkan padamu sungguh lebih tinggi dari langit.
Suatu waktu aku mengunjungi diriku kemudian menghadapi kesakitan. Mendapati semua yang kulihat adalah cermin, aku tidak bisa bersembunyi. Kejujuran datang dan aku tidak bisa menghilang. Aku mencari hal yang paling kurasa sakit. Ketika aku berhasil menyakitimu, aku kira itu akan melegakan, ternyata sakitnya kembali padaku berkali-kali. Aku sakit ketika menyakitimu.
Dalam Perbandingan, aku menulis:
//Aku memandang dunia dari balik rupamu. Aku tidak ingin derita, tapi kamu adalah mata dan aku air matamu. Aku tidak ingin perih, tapi aku adalah darah dari luka goresmu. Aku tidak ingin murka, tapi kamu adalah api dan aku adalah nyala. Bagaimana cara memisahkan diriku dari dirimu?//
Sering aku tidak menemukan diksi yang tepat, atau kesulitan mencari imaji atau irama. Kadang ada bait yang kutulis cepat, ada yang butuh berbulan-bulan bahkan tahunan. Kebanyakan tidak bisa kukendalikan. Ini seperti ilham atau wahyu, yang datang semaunya.
Pada satu waktu, setelah tahunan dan puluhan kali membaca Sapardi, aku teringat Aku Ingin, kemudian ada yang menelusup masuk:
//aku mencintaimu dengan sederhana/seperti kamu mencintai langit ketika sore tiba///
Setelah itu bait-bait yang lain meluncur begitu saja seperti datang dari alam bawah sadar. Kejadiannya begitu singkat dan terngiang di kepala, seperti:
//"Rara adalah udara. Aku mencintaimu sampai akhir usia."///
Atau
//Embun yang jatuh ke bumi/tak pernah marah kepada langit/karena ia tahu kepadanya/ia akan kembali.///
Aku tahu tidak akan bisa sehebat Pablo, membuat soneta-soneta dari kayu kemudian memberi mereka bunyi dari benda yang kusam dan murni itu. Berjalan di hutan atau di pantai, di tepi telaga yang tersembunyi, di keluasan bersalut abu, mengumpulkan potongan-potongan kulit pohon, potongan-potongan kayu yang takluk pada air dan cuaca buruk. Kemudian, dari bilah-bilah yang telah aus, kapak, parang, dan pisau, ia memancangkan tiang-tiang kayu cinta, dan dengan empat belas papan masing-masing ia bangun rumah-rumah kecil, tempat mata istri yang ia puja dan kepadanya ia bernyanyi, bisa hidup di sana. Aku hanya ingin melakukan hal yang serupa, tapi tentu tidak bisa disandingkan.
Aku tahu terkadang kamu bertarung dengan pikiranmu sendiri, mencoba mencari cara agar orang lain dapat mengerti yang ada di dalam, sementara bahasa tidak dapat sepenuhnya diandalkan. Aku juga menghadapi hal yang sama, namun aku beruntung karena ditolong puisi, yang tidak terikat dengan aturan-aturan bahasa bahkan terkadang mengejek mereka. Bayangkan bahasa tanpa pusi, ia akan menjadi kering dan miskin. Dengan puisi aku berharap aku bisa mengerti apa yang ada dalam dirimu dan juga sebaliknya, kamu memahami apa yang ada dalam jiwaku. Seperti puisi Jokpin, aku ingin jiwaku bersatu dengan jiwamu. Aku yang tertidur dalam matamu.
Aku berharap puisi-puisiku dapat mewakili yang tidak dapat diutarakan kata, walau tidak sempurna. Terima kasih telah menugaskan puisi untuk masuk ke dalamku, memberinya kehidupan, yang kemudian lahir semata karena kamu memberinya nyawa.
PelukPotret SenjaMenemanimu Menunggu Hujan Redarindu senjaLangitPulangMerah itu Kitamenunggu langit berwarna jinggaDengarlah Nyanyian Anginhari ini puisi sedang cutiPerempuan Berkalung HujanSebuah Usaha Mengikat MaknaThank You For Loving MekamuKetika Kau TertidurMencari Jalan Pulang
Kamu memegang sebuah buku Joko Pinurbo berjudul "Malam ini aku akan tidur di matamu: sehimpun puisi pilihan". Aku mengamatimu dan tersenyum, mencari tanda di wajahmu untuk tahu apakah pertanyaan itu bercanda atau serius.
Kamu memberi pertanyaan lebih spesifik, "Kenapa mata? Maksudnya apa?"
Setelah menangkap rona serius di wajahmu, aku menjawab, "Mata adalah metafora dari jiwa manusia, kebijaksanaan, juga rahasia. Maka dari itu kita sering mendengar orang bilang mata tidak pernah berdusta. Jokpin pernah menulis puisi berjudul Kepada Puisi. Hanya ada satu bait, 'Kau adalah mata, aku airmatamu'. Mata juga menggambarkan sumber, inti atau pusat, makanya ada istilah mata pencarian, mata air, mata batin, mata pedang."
"Terus kenapa tidur?" Kamu bertanya lagi.
"Ya karena tidur itu nyaman. Tidur itu analogi dari kenyamanan. Aku akan Tidur di Matamu, Maksudnya si Aku-lirik nyaman dan ingin bersatu jiwanya dengan sumber, rahasia, ketulusan 'mu'."
Kamu diam. Sekali lagi aku melirik wajahmu, mencoba menangkap respon yang tidak kamu ucapkan. "Kalau kenapa malam, ya karena malam itu cocok dengan kata tidur, dan malam itu menggambarkan kesyahduan."
Kamu masih diam. Sepertinya puas dengan jawaban yang kamu dengar kemudian melihat buku-buku lain. Aku juga diam terpaku memandangi buku-buku puisi yang ditulis bahkan ratusan tahun yang lalu.
Puisi bagi manusia adalah keseharian. Seperti bernafas, ia adalah salah satu hal paling alami yang ada dalam kehidupan manusia, sebuah takdir karena manusia bisa bicara. Mau tidak mau, sadar atau tidak, naluri alami manusia adalah berpuisi. Mengungkap atau menyatakan sesuatu dengan perumpamaan, perbandingan, diksi yang kuat, irama dan lain-lain. Sehingga, segala konotasi dalam puisi diupayakan bukan untuk membuat bingung atau berteka-teki, tapi lebih dari itu adalah supaya bisa memberi kita makna dan kesadaran lebih dalam. Untuk mecipta hal tersebut, penyair harus menggali kesadaran dalam dirinya sendiri. Melongok dan mengunjungi jiwanya sendiri. Manusia sejatinya adalah jiwa. Kita adalah jiwa tanpa fisik.
Kamu tahu, aku selalu ingat Pablo Neruda dalam pengantar 100 Soneta Cinta, ketika menulis puisi untukmu. Ketika menuliskan puisi-puisi itu, aku sebenarnya menderita karena harus melepas jiwaku dari penjara fisik ini. Percayalah itu tindakan yang membuat nelangsa, mendukakan, menikam dan melukai tanpa henti, seperti kamu mengupas kulit sendiri untuk menampakkan daging merah dengan urat yang berdenyut dan darah yang bercucuran. Namun kamu tahu, kesenangan setelah mengungkapkan, menuliskan kemudian mempersembahkan padamu sungguh lebih tinggi dari langit.
Suatu waktu aku mengunjungi diriku kemudian menghadapi kesakitan. Mendapati semua yang kulihat adalah cermin, aku tidak bisa bersembunyi. Kejujuran datang dan aku tidak bisa menghilang. Aku mencari hal yang paling kurasa sakit. Ketika aku berhasil menyakitimu, aku kira itu akan melegakan, ternyata sakitnya kembali padaku berkali-kali. Aku sakit ketika menyakitimu.
Dalam Perbandingan, aku menulis:
//Aku memandang dunia dari balik rupamu. Aku tidak ingin derita, tapi kamu adalah mata dan aku air matamu. Aku tidak ingin perih, tapi aku adalah darah dari luka goresmu. Aku tidak ingin murka, tapi kamu adalah api dan aku adalah nyala. Bagaimana cara memisahkan diriku dari dirimu?//
Sering aku tidak menemukan diksi yang tepat, atau kesulitan mencari imaji atau irama. Kadang ada bait yang kutulis cepat, ada yang butuh berbulan-bulan bahkan tahunan. Kebanyakan tidak bisa kukendalikan. Ini seperti ilham atau wahyu, yang datang semaunya.
Pada satu waktu, setelah tahunan dan puluhan kali membaca Sapardi, aku teringat Aku Ingin, kemudian ada yang menelusup masuk:
//aku mencintaimu dengan sederhana/seperti kamu mencintai langit ketika sore tiba///
Setelah itu bait-bait yang lain meluncur begitu saja seperti datang dari alam bawah sadar. Kejadiannya begitu singkat dan terngiang di kepala, seperti:
//"Rara adalah udara. Aku mencintaimu sampai akhir usia."///
Atau
//Embun yang jatuh ke bumi/tak pernah marah kepada langit/karena ia tahu kepadanya/ia akan kembali.///
Aku tahu tidak akan bisa sehebat Pablo, membuat soneta-soneta dari kayu kemudian memberi mereka bunyi dari benda yang kusam dan murni itu. Berjalan di hutan atau di pantai, di tepi telaga yang tersembunyi, di keluasan bersalut abu, mengumpulkan potongan-potongan kulit pohon, potongan-potongan kayu yang takluk pada air dan cuaca buruk. Kemudian, dari bilah-bilah yang telah aus, kapak, parang, dan pisau, ia memancangkan tiang-tiang kayu cinta, dan dengan empat belas papan masing-masing ia bangun rumah-rumah kecil, tempat mata istri yang ia puja dan kepadanya ia bernyanyi, bisa hidup di sana. Aku hanya ingin melakukan hal yang serupa, tapi tentu tidak bisa disandingkan.
Aku tahu terkadang kamu bertarung dengan pikiranmu sendiri, mencoba mencari cara agar orang lain dapat mengerti yang ada di dalam, sementara bahasa tidak dapat sepenuhnya diandalkan. Aku juga menghadapi hal yang sama, namun aku beruntung karena ditolong puisi, yang tidak terikat dengan aturan-aturan bahasa bahkan terkadang mengejek mereka. Bayangkan bahasa tanpa pusi, ia akan menjadi kering dan miskin. Dengan puisi aku berharap aku bisa mengerti apa yang ada dalam dirimu dan juga sebaliknya, kamu memahami apa yang ada dalam jiwaku. Seperti puisi Jokpin, aku ingin jiwaku bersatu dengan jiwamu. Aku yang tertidur dalam matamu.
Aku berharap puisi-puisiku dapat mewakili yang tidak dapat diutarakan kata, walau tidak sempurna. Terima kasih telah menugaskan puisi untuk masuk ke dalamku, memberinya kehidupan, yang kemudian lahir semata karena kamu memberinya nyawa.
PelukPotret SenjaMenemanimu Menunggu Hujan Redarindu senjaLangitPulangMerah itu Kitamenunggu langit berwarna jinggaDengarlah Nyanyian Anginhari ini puisi sedang cutiPerempuan Berkalung HujanSebuah Usaha Mengikat MaknaThank You For Loving MekamuKetika Kau TertidurMencari Jalan Pulang

Published on July 27, 2023 10:00
July 23, 2023
Masalah yang Kita Hadapi Akan Terus Berulang
Dear Nada,
Beberapa waktu lalu, karena suara tikus di atap kamar kita yang sangat menjengkelkan ibu, bapak mengusulkan untuk membeli racun tikus. Beberapa hari setelah racun itu dipasang, suara tikus tidak terdengar, berganti menjadi bau bangkai yang menyengat. Semua orang di rumah merasa tidak nyaman, dan semakin lama dibiarkan bau busuk semakin menjadi-jadi. Di saat yang sama, mesin air tidak menyala karena pelampung otomatis rusak, sehingga air di dalam tandon kosong. Di saat yang sama, mesin cuci ngadat. Rumah berantakan, tidak ada air, pakaian kotor menggunung, dan aroma ruangan seperti got Tempat Pembuangan Akhir adalah kombinasi yang bisa membuat Raja Hutan sekalipun ingin berganti spesies menjadi burung unta.
Malam itu, bapak masuk kerja dan hanya tidur dua jam di atas kursi kantor. Paginya, sepulang kerja, bapak mengantar ibu ke sekolah untuk menjengukmu. Percayalah, kondisi itu bisa membuat orang menjadi limbung, namun kamu tahu, kesenangan karena bisa melihatmu lagi sungguh lebih luas dari cakrawala.
Itu kali pertama bapak melihatmu lagi setelah kita berpisah seminggu karena kamu tinggal di asrama. Pagi itu kamu menangis, mengeluhkan banyak hal, dan bagaimanapun bapak sudah menduganya. Bahkan sambil bercanda, sebelum kamu mondok, bapak main tebak-tebakan dengan adik-adikmu tentang pada hari ke berapa kamu akan menangis. Kamu juga mendengar lelucon itu, dan dengan tegas kamu bilang tidak akan menangis.
Ada banyak hal yang bisa kita keluhkan, ada banyak hal yang bisa kita sedihkan, bahkan pada hal yang baik sekalipun. Ada banyak kejadian yang sedang dan akan terjadi. Sampai kapanpun, selama kita hidup, masalah akan datang silih berganti. Tapi mari bapak ajak kamu berpikir sebentar, apa sebenarnya yang menyebabkan suatu keadaan menjadi masalah? Apakah murni karena keadaan, atau karena cara seseorang menyikapi kedaaan itu? Jawaban yang paling jelas tentu adalah masalah terjadi, atau masalah menjadi lebih besar, karena cara seseorang menyikapi keadaan itu. Kondisi atau keadaan yang sama, bisa disikapi berbeda oleh orang yang berbeda. Sehingga yang jadi masalah sebenarnya adalah cara seseorang menyikapi keadaan, bukan semata-mata karena keadaan itu. Apakah ia emosional, marah, mengutuk, menyalahkan atau bisa tenang, berpikir, mencari solusi dan pelajaran kemudian bertindak atau beradaptasi untuk mengatasi kondisi itu.
Kebanyakan masalah terjadi karena orang salah berpikir, Kak. Sering kali masalah ada karena seseorang terlalu banyak menyalahkan orang atau hal lain yang di luar dirinya. Jika ia tidak mengubah cara berpikirnya, masalah yang sama akan kembali terulang. Masalah akan selalu ada dan seharusnya dihadapi, karena jika kamu menghindari masalah yang datang padamu, ia akan datang lagi di lain waktu. Siap atau tidak siap, suka atau tidak suka. Menunda untuk mengatasi atau menunda belajar dari masalah, tidak menjadikan masalah itu hilang, malah bisa jadi ia kembali dengan akumulasi yang sudah tidak sanggup kamu hadapi. Siapapun kita, berapapun umur kita, ada hukum yang tidak tertulis berbunyi masalah yang kita hadapi akan terus berulang sampai kita belajar sesuatu darinya. Itu terjadi pada bapak, ibu, kamu atau siapa saja.
Bapak punya keadaan seperti yang bapak sebutkan di awal tulisan, juga beberapa keadaan di kantor, di jalan, dengan tetangga, dengan keluarga dan banyak lagi. Begitu juga ibu, begitu juga kamu. Keadaan-keadaan tersebut yang membentuk manusia, yang memberi kita pelajaran hidup. Apakah kamu mau belajar dari keadaan-keadaan itu, atau seperti pribahasa burung unta yang membenamkan kepalanya di pasir, kamu menghindar? Bapak dan ibu sangat yakin kamu punya kapasitas dan karakter untuk bisa mandiri, bangkit, mencari solusi untuk mengatasi masalah-masalah yang sedang kamu hadapi sekarang.
Dear Nada,
As you embark on this journey away from home, our heart fills with both pride and concern. We want you to know that you are deeply loved and cherished, and your well-being is always in our thoughts and prayers.
May God shield you from harm and guide you through any challenges that may come your way. I pray that you find strength and courage in times of uncertainty, and that you remain steadfast in your goals and aspirations.
May the light of knowledge and wisdom illuminate your path, leading you to discover the beauty of learning and the joy of growth. May your mind be open and receptive to new ideas, and may you find inspiration in every subject you explore.
May Allah grant you the clarity to make wise decisions and the perseverance to stay committed to your dreams. May you find supportive friends and mentors who encourage and uplift you throughout this journey.
In the moments when you feel homesick or overwhelmed, remember that our love knows no distance and that you carry a piece of our hearts with you wherever you go. Trust that you are never alone, for your family's prayers and blessings always follow you, and you are cherished beyond measure.
With all our love and fervent prayers
for your protection and guidance,
Ibu dan Bapak
Beberapa waktu lalu, karena suara tikus di atap kamar kita yang sangat menjengkelkan ibu, bapak mengusulkan untuk membeli racun tikus. Beberapa hari setelah racun itu dipasang, suara tikus tidak terdengar, berganti menjadi bau bangkai yang menyengat. Semua orang di rumah merasa tidak nyaman, dan semakin lama dibiarkan bau busuk semakin menjadi-jadi. Di saat yang sama, mesin air tidak menyala karena pelampung otomatis rusak, sehingga air di dalam tandon kosong. Di saat yang sama, mesin cuci ngadat. Rumah berantakan, tidak ada air, pakaian kotor menggunung, dan aroma ruangan seperti got Tempat Pembuangan Akhir adalah kombinasi yang bisa membuat Raja Hutan sekalipun ingin berganti spesies menjadi burung unta.
Malam itu, bapak masuk kerja dan hanya tidur dua jam di atas kursi kantor. Paginya, sepulang kerja, bapak mengantar ibu ke sekolah untuk menjengukmu. Percayalah, kondisi itu bisa membuat orang menjadi limbung, namun kamu tahu, kesenangan karena bisa melihatmu lagi sungguh lebih luas dari cakrawala.
Itu kali pertama bapak melihatmu lagi setelah kita berpisah seminggu karena kamu tinggal di asrama. Pagi itu kamu menangis, mengeluhkan banyak hal, dan bagaimanapun bapak sudah menduganya. Bahkan sambil bercanda, sebelum kamu mondok, bapak main tebak-tebakan dengan adik-adikmu tentang pada hari ke berapa kamu akan menangis. Kamu juga mendengar lelucon itu, dan dengan tegas kamu bilang tidak akan menangis.
Ada banyak hal yang bisa kita keluhkan, ada banyak hal yang bisa kita sedihkan, bahkan pada hal yang baik sekalipun. Ada banyak kejadian yang sedang dan akan terjadi. Sampai kapanpun, selama kita hidup, masalah akan datang silih berganti. Tapi mari bapak ajak kamu berpikir sebentar, apa sebenarnya yang menyebabkan suatu keadaan menjadi masalah? Apakah murni karena keadaan, atau karena cara seseorang menyikapi kedaaan itu? Jawaban yang paling jelas tentu adalah masalah terjadi, atau masalah menjadi lebih besar, karena cara seseorang menyikapi keadaan itu. Kondisi atau keadaan yang sama, bisa disikapi berbeda oleh orang yang berbeda. Sehingga yang jadi masalah sebenarnya adalah cara seseorang menyikapi keadaan, bukan semata-mata karena keadaan itu. Apakah ia emosional, marah, mengutuk, menyalahkan atau bisa tenang, berpikir, mencari solusi dan pelajaran kemudian bertindak atau beradaptasi untuk mengatasi kondisi itu.
Kebanyakan masalah terjadi karena orang salah berpikir, Kak. Sering kali masalah ada karena seseorang terlalu banyak menyalahkan orang atau hal lain yang di luar dirinya. Jika ia tidak mengubah cara berpikirnya, masalah yang sama akan kembali terulang. Masalah akan selalu ada dan seharusnya dihadapi, karena jika kamu menghindari masalah yang datang padamu, ia akan datang lagi di lain waktu. Siap atau tidak siap, suka atau tidak suka. Menunda untuk mengatasi atau menunda belajar dari masalah, tidak menjadikan masalah itu hilang, malah bisa jadi ia kembali dengan akumulasi yang sudah tidak sanggup kamu hadapi. Siapapun kita, berapapun umur kita, ada hukum yang tidak tertulis berbunyi masalah yang kita hadapi akan terus berulang sampai kita belajar sesuatu darinya. Itu terjadi pada bapak, ibu, kamu atau siapa saja.
Bapak punya keadaan seperti yang bapak sebutkan di awal tulisan, juga beberapa keadaan di kantor, di jalan, dengan tetangga, dengan keluarga dan banyak lagi. Begitu juga ibu, begitu juga kamu. Keadaan-keadaan tersebut yang membentuk manusia, yang memberi kita pelajaran hidup. Apakah kamu mau belajar dari keadaan-keadaan itu, atau seperti pribahasa burung unta yang membenamkan kepalanya di pasir, kamu menghindar? Bapak dan ibu sangat yakin kamu punya kapasitas dan karakter untuk bisa mandiri, bangkit, mencari solusi untuk mengatasi masalah-masalah yang sedang kamu hadapi sekarang.
Dear Nada,
As you embark on this journey away from home, our heart fills with both pride and concern. We want you to know that you are deeply loved and cherished, and your well-being is always in our thoughts and prayers.
May God shield you from harm and guide you through any challenges that may come your way. I pray that you find strength and courage in times of uncertainty, and that you remain steadfast in your goals and aspirations.
May the light of knowledge and wisdom illuminate your path, leading you to discover the beauty of learning and the joy of growth. May your mind be open and receptive to new ideas, and may you find inspiration in every subject you explore.
May Allah grant you the clarity to make wise decisions and the perseverance to stay committed to your dreams. May you find supportive friends and mentors who encourage and uplift you throughout this journey.
In the moments when you feel homesick or overwhelmed, remember that our love knows no distance and that you carry a piece of our hearts with you wherever you go. Trust that you are never alone, for your family's prayers and blessings always follow you, and you are cherished beyond measure.
With all our love and fervent prayers
for your protection and guidance,
Ibu dan Bapak

Published on July 23, 2023 02:23
July 21, 2023
Belajar dan Menulis Adalah Jalan Guru Kita
Kutipan mukadimah Kiyai Fachruddin pada Majlis Mudzakaroh Santri Annida:
Kita tidak pernah berniat untuk berhenti menjadi Santri. Jadi terserah orang mau memanggil kita apa di luar sana, tapi di Ma’had kita tetap memposisikan diri kita sebagai Santri, sebagai Mustafid. Sehingga kita masih masuk pada apa yang pernah disabdakan nabi, “Man salaka thariiqan yaltamisu fiihi ilman sahhalallohu thoriiqon ilal jannah. Barang siapa menempuh jalan untuk menimba ilmu, niscaya Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.”
Kiyai Mahfud pernah biang ke saya, “Udah, Din! Kita mah ngeramein kitab Kiyai aja. Lah kalo bukan kita yang baca siapa lagi?”
Jadi ayo kita baca kitab-kitab karangan Syaikhuna. Baca aja. Sebagaimana Kiyai sering membaca ayat, “Fa izaa qaraanaahu fattabi' qur aanah tsumma Alaina bayanah. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian sesungguhnya Kami yang akan menjelaskannya.”
Tentang pemahaman nanti biar Allah yang buka, yang penting hati kita futuh, terbuka. “Robbisrohli sodri wayassirli amri wahlul ‘uqdatammillisaani yafkahul kauli. Ya Tuhanku, lapangkanlah dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, agar mereka mengerti perkataanku.”
Dulu waktu baru-baru mendirikan pondok, Kiyai dituduh anti maulid. Beliau jawab, “Kalo lu udah baca kitab ini (maksudnya kitab Muhammad Rasulullah), baru lu tau maulidan siapa gua sama mereka?”
Jadi kalau beliau dikritik, dituduh, dicibir, difitnah, beliau dengan kealimannya menjawab dengan karya. Thoriqoh Saikhuna yang berat selain ngaji itu adalah ngarang kitab. Nulis.
Mudah-mudahan ada generasi sepeninggal Saikhuna yang cinta menulis. Sebab saya pernah denger Saikhuna bilang, “Gua kalo ngarang kitab sekarang (maksudnya Mizbahu Dzulam), mungkin bisa lebih tebel dari itu.”
Mungkin karena dulu ada keterbatasan dalam referensi, karena zaman itu maroji atau masodir kurang. Berbeda dengan zaman sekarang dimana kita bisa mendapatkan referensi dengan mudah. Artinya beliau masih punya semangat untuk membuat karya yang lebih besar lagi. Karena di zaman sekarang ini, semuanya sudah tersedia dengan mudah.
Saya memahami kata-kata itu sebagai cemeti dari Saikhuna, kalau beliau yang pada zaman akses untuk mencari maroji sulit saja bisa mengarang kitab, seharusnya di zaman akses semakin mudah ini kita sebagai muridnya bisa lebih baik.
Catatan: kutipan ini saya paraphrase dan ringkas. Untuk mendengar lengkap, silahkan merujuk ke MUDZAKAROH - "KITAB MUHAMMAD" KARANGAN SYAIKH MUHAMMAD MUHAJIRIN AMSAR - YouTube
Kita tidak pernah berniat untuk berhenti menjadi Santri. Jadi terserah orang mau memanggil kita apa di luar sana, tapi di Ma’had kita tetap memposisikan diri kita sebagai Santri, sebagai Mustafid. Sehingga kita masih masuk pada apa yang pernah disabdakan nabi, “Man salaka thariiqan yaltamisu fiihi ilman sahhalallohu thoriiqon ilal jannah. Barang siapa menempuh jalan untuk menimba ilmu, niscaya Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.”
Kiyai Mahfud pernah biang ke saya, “Udah, Din! Kita mah ngeramein kitab Kiyai aja. Lah kalo bukan kita yang baca siapa lagi?”
Jadi ayo kita baca kitab-kitab karangan Syaikhuna. Baca aja. Sebagaimana Kiyai sering membaca ayat, “Fa izaa qaraanaahu fattabi' qur aanah tsumma Alaina bayanah. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian sesungguhnya Kami yang akan menjelaskannya.”
Tentang pemahaman nanti biar Allah yang buka, yang penting hati kita futuh, terbuka. “Robbisrohli sodri wayassirli amri wahlul ‘uqdatammillisaani yafkahul kauli. Ya Tuhanku, lapangkanlah dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, agar mereka mengerti perkataanku.”
Dulu waktu baru-baru mendirikan pondok, Kiyai dituduh anti maulid. Beliau jawab, “Kalo lu udah baca kitab ini (maksudnya kitab Muhammad Rasulullah), baru lu tau maulidan siapa gua sama mereka?”
Jadi kalau beliau dikritik, dituduh, dicibir, difitnah, beliau dengan kealimannya menjawab dengan karya. Thoriqoh Saikhuna yang berat selain ngaji itu adalah ngarang kitab. Nulis.
Mudah-mudahan ada generasi sepeninggal Saikhuna yang cinta menulis. Sebab saya pernah denger Saikhuna bilang, “Gua kalo ngarang kitab sekarang (maksudnya Mizbahu Dzulam), mungkin bisa lebih tebel dari itu.”
Mungkin karena dulu ada keterbatasan dalam referensi, karena zaman itu maroji atau masodir kurang. Berbeda dengan zaman sekarang dimana kita bisa mendapatkan referensi dengan mudah. Artinya beliau masih punya semangat untuk membuat karya yang lebih besar lagi. Karena di zaman sekarang ini, semuanya sudah tersedia dengan mudah.
Saya memahami kata-kata itu sebagai cemeti dari Saikhuna, kalau beliau yang pada zaman akses untuk mencari maroji sulit saja bisa mengarang kitab, seharusnya di zaman akses semakin mudah ini kita sebagai muridnya bisa lebih baik.
Catatan: kutipan ini saya paraphrase dan ringkas. Untuk mendengar lengkap, silahkan merujuk ke MUDZAKAROH - "KITAB MUHAMMAD" KARANGAN SYAIKH MUHAMMAD MUHAJIRIN AMSAR - YouTube
Published on July 21, 2023 16:59
July 6, 2023
Setetes Nada di Ujung Daun
Matamu adalah embun
berkilau diterpa arunika.
Kemudian hujan jatuh cinta
padamu sampai menahan
derai lepas menerpa bumi.
Aku mencintaimu seperti
langit yang tak berpintu.
Seperti udara yang
muskil dipenjara.
Seperti energi yang
kekal mencari.
Jika cinta punya lengan,
ia tak akan pernah lepas
memelukmu dalam ingatan.
Pada sebuah jalan
banjir kenyataan
yang meruah dan brengsek ini,
kamu akan bertemu
sepasang kucing candramawa
bernama rumah dan waktu.
Kelak kamu akan mengerti keduanya,
juga memahami mengapa seseorang
bisa bahagia pada penderitaan
yang ia pilih sendiri.
Burung-burung berkicaudari atas ranting. Angin bertiup lewatdahan-dahan bambu
kemudian membunyikan genta
nada alam yang paling asing.
Setelah itu hening.
Embun yang jatuh ke bumi
tak pernah marah kepada langit
karena ia tahu kepadanya
ia akan kembali.
Kepada kangen.
Kepada rindu.
berkilau diterpa arunika.
Kemudian hujan jatuh cinta
padamu sampai menahan
derai lepas menerpa bumi.
Aku mencintaimu seperti
langit yang tak berpintu.
Seperti udara yang
muskil dipenjara.
Seperti energi yang
kekal mencari.
Jika cinta punya lengan,
ia tak akan pernah lepas
memelukmu dalam ingatan.
Pada sebuah jalan
banjir kenyataan
yang meruah dan brengsek ini,
kamu akan bertemu
sepasang kucing candramawa
bernama rumah dan waktu.
Kelak kamu akan mengerti keduanya,
juga memahami mengapa seseorang
bisa bahagia pada penderitaan
yang ia pilih sendiri.
Burung-burung berkicaudari atas ranting. Angin bertiup lewatdahan-dahan bambu
kemudian membunyikan genta
nada alam yang paling asing.
Setelah itu hening.
Embun yang jatuh ke bumi
tak pernah marah kepada langit
karena ia tahu kepadanya
ia akan kembali.
Kepada kangen.
Kepada rindu.

Published on July 06, 2023 06:23