Nailal Fahmi's Blog, page 6

February 19, 2023

sebuah usaha untuk melupakan aksara

1
Sebelum mengenal kata hidupnya lebih sederhana, ia bisa keluar masuk dirinya dan tak ada yang menegur menyapa. Ia membawa kata-kata dalam kepala kemana-mana.
Di sana kamu tidak tersakiti dan ia tidak merana.

Setelah mengenal kata hidupmu semakin rumit, serba salah dan kehilangan debar ketika mengagumi dia
dalam diam.

2
Ia adalah bayi pada mulanya, dan mungkin saja
tanpa bicara ia bisa bertahan sampai kiamat tiba,
tapi tidak tanpa rasa.

Kata tidak bisa diandalkan ketika dibutuhkan, sebab ada derita yang tidak bisa diungkap suara dalam segala bahasa.

3
Ia ingin membakar semua puisi dan tidak ada yang bertanya mengapa. Di saat yang sama ia ingin puisi menelpon setiap hari dan tidak ada yang bertanya mengapa.


4
Kamu bisa membunuhnya dengan cara menjadi banjir di pagi hari sambil menjadi sebait soneta Pablo Neruda, tapi membakar puisi adalah membakar langit.

Kamu bisa terbang setingginya, pergi sejauhnya, sampai sadar bahwa usahamu sia-sia.

5
Di hadapan masa lalu, kita hanya orang asing yang ucapkan hay dan baybay di saat yang hampir bersama.

Di sela menghapus dan menemukan, waktu selalu menjadi juru selamat. Mendamaikan selamat datang, selamat tinggal dan hal-hal yang ada di antara keduanya.

6
Sebentar lagi kita akan sampai pada esok; ruang waktu di mana tidak ada kamu dan kata, serta kenangan adalah hempasan buih ombak tepi pantai yang nyata tapi mustahil digapai.

7
Ia menunggu juru selamat datang kembali di akhir dunia,
yang bisa mendedahkan rasa yang gagal diungkap ucap suara.


(2023)
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on February 19, 2023 08:30

February 18, 2023

59 dan Semakin Akrab dengan Kematian

Suatu malam Safa (10 thn) menghitung umur Embahnya ketika ia meninggal berdasarkan tahun yang tercatat di nisan.

"59. Bener gak bapak?" Ia bertanya.
"Betul." saya menjawab cepat.
"Masih muda ya?" Safa berkesimpulan, karena sebelumnya saya bercerita bahwa Empi Safa (sebutan untuk ibu dari nenek) berumur 81 tahun ketika meninggal. Saya baru sadar, bahwa satu-satunya cara seorang berumur 50 tahun dianggap muda adalah ketika ia meninggal.

Beberapa waktu lalu, saya menjadi wali pernikahan Ica, salah satu adik perempuan saya. Itu kali ke dua saya melakukannya --setelah sebelumnya saya juga menjadi wali nikah Titis, dan pada keduanya saya sama-sama menangis. Manusia bisa emosional karena meletakan perasaan pada satu hal. Suatu peristiwa bisa membuat satu orang senang sementara orang lain biasa saja, begitu juga satu peristiwa bisa membuat satu orang sedih sementara orang lain biasa saja.

Bapak tidak pernah menikahkan semua anak perempuannya, sementara 3 anak saya adalah perempuan. Saya tidak tahu apakah saya akan menikahkan anak-anak perempuan saya, atau seperti bapak, saya akan meninggal di usia 59 tanpa sempat melakukannya. Jika ikut umur bapak, maka sisa hidup saya adalah 21 tahun. Jika diibratkan batrai HP maka saat ini sisa batrai saya adalah 41,39%. Saat saya berusia 59, Nada, anak tertua saya akan berumur 32, dan bisa jadi ia sudah menikah, bisa jadi juga belum. 
Sudah 7 tahun berlalu sejak bapak wafat dan saya tidak tahu apa perasaan Ica ketika mengucapkan permohonan restu pernikahan tanpa kehadiran beliau. Saya pernah membaca buku harian bapak setelah beliau wafat, yang salah satunya menceritakan tentang Ica. Sebuah catatan tentang betapa senangnya beliau karena Ica pernah memberi uang di saat ia membutuhkannya. Membaca catatan harian dari orang yang telah tiada, entah catatan sekecil apapun, memang sering membuat haru. Apalagi hubungan anak perempuan dan ayahnya selalu menjadi hubungan yang spesial. Kehilangan hubungan itu bukan hal yang mudah, baik untuk diri anak atau sebaliknya.    
Seperti film A Man Called Otto, setiap orang mungkin pernah atau akan tiba pada satu titik kehidupan, dimana mereka ditinggalkan oleh orang-orang tersayang. Terkadang trauma atau sakit dari kehilangan tersebut tidak bisa diatasi dengan sederhana. Ditinggalkan memang tidak pernah mudah, manusia akan selalu membutuhkan orang lain untuk sembuh. Film itu seperti mengingatkan kita untuk memberi kesadaran pada hal-hal kecil di sekeliling agar mampu bangkit dari keterpurukan. 
Saya yakin Ica sudah menemukan orang lain untuk membantunya sembuh. Mengingat hal itu, saya tidak lagi mengkhawatirkan apakah nanti saya akan sempat manjadi wali nikah untuk anak-anak saya atau tidak, karena umur tentu bukan urusan manusia untuk menentukan. Cepat atau lambat, hidup manusia pasti akan habis dan hanya menyisakan kenangan bagi manusia lain. Karena usia hidup manusia tidak seperti batrai HP yang bisa di recharge, maka untuk mengantisipasi atau mengirit batrai, yang perlu dilakukan adalah menggunakan aplikasi lebih efisien dan selektif, tidak banyak membuka aplikasi yang kurang bermanfaat apalagi yang cepat menghabiskan energi. Manusia seharusnya bisa memilih akan memfokuskan hidupnya pada orang-orang dekat yang memang pantas untuk diperjuangkan.
Saat ini saya hanya akan mulai memfokuskan energi untuk masa kini, untuk memberi perhatian pada hal-hal kecil di sekeliling, menabung kenangan untuk orang-orang yang layak. 










 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on February 18, 2023 17:11

February 16, 2023

59 dan Semakin Akrab dengan Kematian

Suatu malam Safa menghitung umur Embahnya ketika ia meninggal berdasarkan tahun yang tercatat di nisan.

"59. Bener gak bapak?" Ia bertanya.
"Betul." saya menjawab cepat.
"Masih muda ya?" Safa berkesimpulan, karena sebelumnya saya bercerita bahwa Empi Safa (sebutan untuk ibu dari nenek) berumur 81 tahun ketika meninggal. Saya baru sadar, bahwa satu-satunya cara seorang berumur 50 tahun dianggap muda adalah ketika ia meninggal.

Beberapa waktu lalu, saya menjadi wali pernikahan salah satu adik perempuan saya. Itu kali ke dua saya melakukannya, dan pada keduanya saya sama-sama menangis. Manusia bisa emosional karena meletakan perasaan pada satu hal. Suatu peristiwa bisa membuat satu orang senang sementara orang lain biasa saja, begitu juga satu peristiwa bisa membuat satu orang sedih sementara orang lain biasa saja.

Bapak tidak pernah menikahkan semua anak perempuannya, sementara 3 anak saya adalah perempuan. Saya tidak tahu apakah saya akan menikahkan anak-anak perempuan saya, atau seperti bapak, saya akan meninggal di usia 59 tanpa sempat melakukannya.

Jika ikut umur bapak, maka sisa hidup saya adalah 21 tahun. Jika diibratkan batrai HP maka saat ini sisa batrai saya adalah 41,39%. Saat saya berusia 59, Nada, anak tertua saya akan berumur 32, bisa jadi ia sudah menikah, bisa jadi belum. Jika memikirkan itu, saya menemukan bayangan yang lebih akrab tentang kematian. Tumbuh kesadaran kembali bahwa kematian adalah konsekuensi dari kehidupan.

Seperti film A Man Called Otto, setiap orang mungkin akan tiba pada satu titik kehidupan, dimana mereka ditinggalkan oleh orang-orang tersayang. Terkadang trauma dari kehilangan tersebut tidak bisa diatasi dengan mudah. Film itu berhasil mengajak penonton untuk memperhatikan dan melihat hal-hal kecil di sekeliling kita. Bahwa manusia akan selalu membutuhkan orang lain untuk sembuh. Waktu juga akhirnya yang bisa menyembuhkan luka. Bagi yang pernah ditinggal tiba-tiba, tentu dengan mudah memahami perasaan ini.

Usia hidup tidak seperti batrai HP. Ia tidak bisa di recharge. Maka untuk mengantisipasi atau mengirit batrai, yang perlu dilakukan adalah menggunakan aplikasi lebih efisien dan selektif, tidak banyak membuka aplikasi yang kurang bermanfaat apalagi yang cepat menghabiskan energi. Manusia seharusnya bisa memilih akan memfokuskan hidupnya pada orang-orang yang memang layak untuk dikenang atau diperjuangkan.

Saat ini saya tidak lagi mengkhawatrkan apakah nanti saya akan sempat manjadi wali nikah untuk anak-anak saya atau tidak, karena umur tentu bukan urusan manusia untuk menentukan. Saya hanya akan mulai memfokuskan energi pada orang-orang yang pantas.










 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on February 16, 2023 16:35

January 7, 2023

Menemani Mentari Pagi Membuat Segalanya Punya Warna

Untuk D.
1.Di sebuah sibuk kita bertemu. Hari-harimu terbentuk dari hari kerja berwarna ungu. Hari-hariku terbentuk dari hari rusli yang berwarna metal.

Awan memilih warna kelabu saat tanah belum selesai mengurai aroma hujan. Udara berwarna es, wajah waktu pucat kelaparan menunggu detik jam, kamu tidak peduli dan tetap sehangat selamat malam.

Warna adalah bahasa yang tidak kuasa berdusta. Hutan berwarna daun pinus, laut berwarna lazuardi, rumah dan jalan adalah haru biru.

2.
Nila telah bercampur putih sebelanga kemudian menjadikannya memar, namun di luar itu jiwanya tetap urat kayu Cedar, di luar itu masih ada sunyi, mimpi dan hal-hal yang hanya bisa disimpan dalam hati.

Mungkin ia perlu minum puisi serindu sekali. Lebih nikmat sambil memandangi langit sore berwarna aruna, atau rintik hujan berwarna dahan, agar tahu bahwa dunia itu sewarna bianglala, tempat keabadian menjelma warna setetes embun atau keindahan pada warna sekuntum bunga liar.

Ketika ia meneguk puisi berwarna burgundi dalam sepi, Jogja berwarna tanah sehabis gerimis, dan awan yang menyembunyikan langit tetap memilih warna redup.

3.
Semesta adalah kanvas putih tempat perasaan membuat segala peristiwa punya warna, juga trauma. Ia mewarnai di luar dirinya dan mewarnai sesuatu di dalam dirinya dengan warna yang berbeda.

Tempat paling nyaman yang ia punya adalah masa lalu, ruang waktu tempat menyimpan ingatan, penyesalan, jatuh cinta, suara hati juga puisi-puisi yang belum selesai dicari.

Puisi yang datang dengan banyak mata memberinya sebuah cahaya, dan ia mengerti mengapa cahaya sebagai mata yang mengungkap warna sebenarnya manusia hanya menjadi hitam jika ia tetap terpejam.

4.
Keinginannya sederhana; punya rumah berwarna putih dengan halaman depan menghadap sore, agar ia bisa pulang pada suatu senja dan sempat bercakap-cakap dengan jingga di atas teras.

Jika tidak hujan, ia selalu senang akan rumah dengan jendela besar, untuk menonton malam yang agung menelan semua warna kecuali kerlap-kerlip cahaya mimpi.

Pada sebuah mimpi ia berhadapan dengan cermin dimana ia memandangi wajahnya sendiri juga wajah orang-orang yang telah pergi. Manusia kehilangan satu warna setiap orang yang ia cintai tiada, seperti malam kelam yang menelan ribuan cahaya kemudian menjadikannya gulita.

5.
Pelangi datang setelah gerimis pulang. Mereka bertemu di persimpangan jalan menuju alun-alun sambil mengamati malam yang perlahan-lahan turun.

Dalam pesta yang hingar bingar, hati tahu suara mana yang harus didengar. Malam memberinya sebuah kado yang di dalamnya ada rasa yang dibungkus kertas tortila dengan pita merah muda.

Di kepalanya ada kicau merdu burung nuri di belakang warna yang sama dengan rindu dan kehangatan. Ia tidak khawatir akan pulang sendirian karena sunyi selalu menemani sambil bernyanyi, "Yang fana adalah pelangi, langit sore abadi."

Pagi merekah bagai bunga Kamboja, mentari bersinar hangat kemudian membuat segalanya punya warna. Punya warna.








 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on January 07, 2023 15:13

December 29, 2022

Peluk

Hutan hijau mulai senyap. Daun-daun pohon diam tengadah pada langit. Malam numpang tidur di kepalaku sambil membawa gerombolan kata-kata.

Di sebuah persimpangan jalan hujan turun rintih-rintih. Di bawah sinar lampu jalan ia menitis bagaikan ribuan jarum runcing yang menusuk aspal kemudian pecah. Orang-orang menarik sleting jaket dan memasukan tangan ke kantung, kamu tidak peduli dan tetap hangat seperti tahun baru.

Setiap usaha yang melarangku dekat denganmu akan siasia karena aku adalah ingatan yang tidak pernah sudah memelukmu dengan segala bahasa. Sampai tiba masa ketika segala sesuatu bisa bicara kecuali kata.

Pelukan adalah nama lain puisi, sepasang lengan yang mendekap tubuh penuh kecemasan, tempat kata-kata istirahat dan tubuh menari mencari makna.

Meminta cinta kepada peluk adalah sesuatu yang fatal akibatnya, karena ia tidak tahu cara untuk berdusta.

Kepada peluk kamu berpesan,
“Jika nanti malam aku sudah lelap,
tidak perlu meminta ijin untuk memeluk,”

Angin bertiup menggoyang dedaunan, berlarian di sela ranting-ranting kemudian menabrak dahan, sayup-sayup membisikan kabar tentang masa lalu dan masa depan.

Sehabis itu sepi.

Kamu tahu: masa lalu dan masa depan adalah hutan belantara yang hanya bisa kamu rasakan degupnya dalam dada.

Malam tenggelam. Di jendela kamu lihat pagi lebih cerah dari biasa.

Dan kamu mengerti mengapa tubuh adalah bahasa yang tidak pernah gagal mengungkap kita.

2022


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on December 29, 2022 18:12

December 23, 2022

Sekolah Murid Merdeka; Semua Murid, Semua Guru

Pada tahun 2019 --tahun pertama SMM dibuka, ketika mencari PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) untuk keperluan memperoleh ijasah SD Nada, kami menemukan SMM (Sekolah Murid Merdeka). 
Salah satu alasan keluarga kami memutuskan Homeschooling adalah karena kami menganggap Sekolah Konvensional terlalu banyak memasukan mata pelajaran yang seringkali sudah tidak relevan dan kurang dibutuhkan anak. Di Sekolah Murid Merdeka, sebagaimana kita bisa tebak dari namanya, menerapkan Kurikulum Merdeka yang salah satu karakteristiknya adalah pengurangan cakupan materi dibanding kurikulum nasional sebelumnya.

Sering sekali saya menemukan ekspektasi yang tidak realistis baik dari orangtua atau siapapun tentang kemampuan murid dan juga kemampuan guru terkait konten pelajaran. Di era informasi sekarang ini, intensi untuk melengkapi pengetahuan murid dengan pelajaran yang “just in case diperlukan" memang semakin menjadi-jadi, namun desainer kurikulum yang baik, seharusnya bisa memilih relevansi bukan hanya pada zaman tapi juga pada keunikan dan kondisi sosial anak atau personalisasi.

Sama dengan Homeschooling, kostumisasi atau personalisasi adalah hal yang seharusnya ada dalam sistem pendidikan kita. Pendidikan yang memberi ruang untuk keunikan dan kondisi sosial anak sehingga potensi terbaik anak bisa jauh lebih berkembang. Contoh paling sederhana dalam hal personalisasi di SMM adalah anak-anak dibebaskan untuk menyelesaikan tugas menggunakan halyang mereka kuasai dan senangi. Bisa melalui visual, gambar, atau video, bisa berbentuk tulisan atau karya sastra, musik atau yang lainnya. Di SMM perbedaan dan ide selalu dihargai.

Personalisasi hanya akan mungkin terjadi apabila isi kurikulum memberi ruang dan waktu yang cukup kepada murid. Itu bisa dilakukan lewat pendekatan yang menempatkan murid sebagai pengendali proses belajarnya sendiri. Sekolah Murid Merdeka yang digagas oleh Najelaa Shihab memang dirancang untuk menjadi sekolah dengan kurikulum inovatif yang berpihak pada anak atau murid. Keberpihakan pada murid yang dituangkan dalam cakupan kurikulum, selain lebih mengakomodir personalitas siswa juga lebih kontekstual dan relevan. Dalam sebuah artikel Najelaa menjelaskan bahwa ada dua pertanyaan yang lazim berulang dalam musyawarah Guru tentang cakupan kurikulum di SMM, yaitu:
Di antara semua yang menarik untuk menjadi cakupan kurikulum, mana yang akan berguna bagi murid 5-10-20 tahun yang akan datang saat saya sebagai guru bertemu mereka di masa depan?Jika ini penting diajarkan, apakah sekarang, di periode usia/jenjang pendidikan ini adalah waktu tertepat berkaitan tingkat kesiapan anak untuk anak belajar?Cakupan kurikulum memang selalu soal prioritas. Sehingga kurikulum yang baik adalah kurikulum yang kontekstual. Seringkali, ada topik yang sebenarnya bagian yang esensial untuk generasi Z, tapi terlewat dalam cakupan kurikulum, contohnya tentang pendidikan seksualitas atau spiritualitas, atau juga materi lintas jenjang seperti materi terkait demokrasi dan kebangsaan.

Salah satu hal yang perlu dipikirkan juga oleh perancang kurikulum adalah memilih materi yang paling berkait dengan bidang ilmu lain. Materi lintas jenjang dan lintas mata pelajaran ini penting dipikirkan agar semakin terjadinya kesinambungan dalam pembelajaran. Otonomi guru dalam kontekstualisasi kurikulum, juga perlu dibarengi dengan adanya “tes relevansi” untuk setiap materi yang bukan hanya dilakukan satu (tahun ajaran) sekali, tetapi terus berefleksi tentang fleksibilitas konten yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi murid yang harus dipenuhi.

Prioritas-prioritas cakupan inilah yang terus diusahakan oleh SMM pada lintas jenjang, lintas mata pelajaran dan menjadi acuan berkesinambungan. Hasil karya berkait ini, menjadi inti asesmen yang juga berulang, diobservasi dan dinilai lintas tahun ajaran. Salah satu contohnya di SMM; menghasilkan paragraf esai. Bagaimana membuat pernyataan dan kesimpulan, menjelaskan latar belakang dan mendeskripsikan kompleksitas dengan pemilihan kata, kelancaran kalimat dan konvensi yang tepat adalah salah satu aspek kompetensi yang dibutuhkan lintas profesi.

Keistimewaan SMM yang saya sebutkan di atas memang terdengar mewah dan ideal, namun sayangnya banyak orangtua murid SMM yang luput memahami bahwa tradisi tanggungjawab orangtua di SMM berbeda dengan paradigma lama yang menyerahkan sepenuhnya anak ke sekolah tanpa peduli lagi. Semua murid semua guru bukan hanya slogan namun ingin dijadikan budaya oleh SMM. Dengan begitu, diharapkan orangtua dan sekolah mampu menciptakan kolaborasi atau kerjasama. Kolaborasi itu terjalin antara orangtua dan murid, dimana orangtua memiliki peran terpusat saat anak belajar di rumah. Pendampingan orang tua menjadi hal penting untuk bisa mendukung semangat belajar anak.

Kurikulum Merdeka Belajar sebenarnya sedang digaungkan dan coba diterapkan oleh pemerintah melalui Mentri pendidikan Nadiem Makarim. Selogan Merdeka Belajar sendiri merupakan pinjaman dari Sekolah Cikal (sekolah yang menginisiasi SMM) yang lebih jauh meminjam dari Ki Hadjar Dewantara. Namun kurikulum hanyalah kurikulum, yang membuat itu berarti adalah manusia di belakangnya yang secara kreatif bisa membuat kurikulum tersebut berjalan sesuai tujuan.

Saya pernah beberapa tahun menjadi Guru, dan sejauh pengalaman saya, sulit untuk mengubah budaya korup dan stagnasi dalam jajaran birokrasi Kementrian Pendidikan ini. Bagi orang-orang yang masih punya idealisme, masuk ke birokrasi pemerintah memang sering membuat frustasi. Mungkin saja perubahan di tingkat atas bisa lebih mudah dilakukan, namun sudah menjadi rahasia umum bahwa perubahan kebijakan, tidak menjamin perubahan di lapangan, apalagi paradigma usang tentang pendidikan yang sudah langgeng selama bertahun-tahun selalu menjadi penghambat utama reformasi.

Pertanyaannya kemudian adalah apakah kurikulum merdeka yang memberdayakan konteks mungkin diterapkan dalam praktek di lapangan? Jawabannya bisa. Walaupun tentu bukan keputusan mudah karena jika ada sekolah yang mencoba menerapkan kemerdekaan belajar seperti itu, pola ujian (assessment) dari pemerintah yang ada sekarang belum sama merdekanya. Bagaimanapun tidak akan bisa ada perubahan dalam upaya konstektualisasi kurikulum, tanpa perubahan di standar penilaian. Memang butuh proses dan ketekunan, SMM telah membuktikan bahwa upaya dan kolaborasi terus menerus bisa membuat semua itu semakin mudah diwujudkan.


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on December 23, 2022 01:22

December 8, 2022

Kebahagiaan, Keselamatan dan Kemerdekaan

Sudah sejak lama para praktisi atau cendikiawan mencoba menjelaskan pertanyaan dasar tentang tujuan pendidikan. Berikut adalah beberapa diantaranya: 
Aristoteles : Education is the creation of a sound mind in a sound body it develop men faculty especially his mind so that he may be able to enjoy the implementation of supreme court goodness and beauty of which perfect happiness essentially consist.

Al Ghazali : Tujuan pendidikan adalah mendekatkan diri kepada Allah sehingga menjadi manusia sempurna dan akhirnya membahagiakan hidup di dunia dan akhirat.

Ki Hajar Dewantara : Pendidikan menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada peserta didik agar sebagai manusia dan anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan hidup yang setinggi-tingginya.

UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 : Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Ada banyak penjelasan tentang tujuan pendidikan dari para pakar atau pendidik yang lain, namun secara sederhana dari beberapa yang saya kutipkan di atas dapat disimpulkan dalam satu kata:
Kebahagiaan

Tujuan Pendidikan memang seharusnya dibuat umum dan luas, tidak hanya terbatas pada ukuran ketuntasan belajar yang sempit. Dari pengambilan kata dasar "didik" dan "ajar" saja sudah memiliki konotasi yang berbeda, maka konsep istilah untuk murid yang lebih tepat adalah anak didik dan konsep istilah untuk guru adalah pendidik. Mungkin itu terdengar sebagai istilah yang tidak terlalu penting, namun dari kata manusia jadi tahu pentingnya memahami konsep. Saya sering mendengar dari kawan-kawan pendidik yang menyatakan bahwa mereka tidak butuh mengerti konsep karena tanpa itupun mereka sudah melaksanakan dalam keseharian, jadi tidak perlu konsep atau pemahaman istilah yang macam-macam. Itu argumen yang tidak berdasar, karena narasi itu penting, kata-kata dan konsep itu penting. Saya setuju bahwa perbuatan lebih keras bersuara dari perkataan, namun tanpa memahami konsep, yang kita lakukan tidak bermakna atau paling tidak berkurang maknanya. Oleh karenanya konsep dan tindakan tidak bisa dipisahkan. Tindakan tanpa konsep adalah kebutaan, konsep tanpa tindakan adalah kelumpuhan.

Kembali lagi pada tujuan pendidikan, sebagian orang mungkin menganggap pintar, mudah mendapat pekerjaan, dan memperoleh status dalam masyarakat adalah tujuan pendidikan, namun ukuran seseorang disebut pintar, kaya, atau berkedudukan sangatlah relatif. Mungkin kita bisa menyebut ukuran seperti Cum Laude, 500 milyar dan anggota DPR. Pertanyaan selanjutnya bisakah semua murid mencapai semua tujuan-tujuan itu? Bukankah dengan ukuran tersebut berarti tidak semua murid sampai pada tujuan pendidikan? Atau yang lebih buruk, apakah kita akan membiarkan para murid melakukan hal apapun termasuk kecurangan untuk mencapai tujuan-tujuan itu? Bukankah banyak orang yang mencapai kepintaran, kekayaan, dan kedudukan dengan cara curang dan akhirnya berakhir tidak bahagia? Bukan berarti hal-hal tersebut tidak penting atau tidak bisa membuat bahagia, namun pintar, kaya, dan status jangan dijadikan tujuan tapi cara untuk memperoleh kebahagiaan. Sekali lagi cara, bukan tujuan, karena manusia bisa bahagia tanpa "kepintaran", "kekayaan" dan "jabatan".
Di sekolah konvensional, tujuan pembelajaran biasanya dinilai dengan ujian tertulis atau praktek, dan hasilnya diukur dengan KKM. Sepanjang melewati batas KKM maka tujuan pembelajaran tercapai. Tujuan pendidikan lebih luas dari tujuan pembelajaran, bahkan belum ada ukuran yang benar-benar jelas untuk menilai apakah tujuan pendidikan tersebut sudah tercapai atau belum. Ya, terkait kebahagiaan sebagai tujuan pendidikan, pertanyaan berikutnya adalah:

Bagaimana cara mengukur kebahagiaan?

Berbeda dengan tes akademik atau tes pada organ tubuh, kebahagiaan tidak bisa diketahui melalui ujian sekolah atau tes darah atau pemindaian tubuh. Sehingga salah satu ukuran yang bisa digunakan adalah memahami terlebih dahulu definisi kebahagiaan.

Ada karakteristik utama dalam bahagia yang bisa kita ketahui, yaitu kepuasan terhadap hidup atau momen yang sedang dijalani. Ibnu Athaillah menjelaskan bahwa semakin sederhana kebutuhan seseorang akan kebahagiaan, maka semakin besar kemungkinan orang itu untuk bahagia. Tentu kebutuhan seseorang dalam hal ini sangat subjektif dan berbeda-beda. Satu hal bisa membuat satu orang bahagia, tapi tidak untuk orang lain.

Aristoteles memetakan definisi bahagia ke dalam dua hal. Pertama Hedonia, yaitu rasa bahagia yang berakar dari hal menyenangkan. Umumnya, berkaitan dengan perasaan yang muncul saat melakukan hal disukai, menyayangi diri sendiri, mewujudkan impian, dan merasa puas. Kedua Eudaimonia, yaitu kebahagiaan yang berakar dari pencarian tentang makna hidup. Komponen penting dalam hal ini adalah perasaan memiliki tujuan hidup dan nilai. Oleh sebab itu, kaitannya sangat erat dengan pemenuhan tanggung jawab, perhatian terhadap kesejahteraan untuk orang lain, dan menjalani hidup sesuai idealisme.

Meik Wiking penulis buku The Little Book of Hygge: Danish Secrets to Happy Living menyatakan dengan lebih teknis bahwa kebahagiaan bukan hanya bersumber dari uang. Karena walaupun seseorang pasti merasa puas apabila dapat memenuhi kebutuhan dasarnya dengan uang, namun setelah itu, uang yang masih tersisa tidak akan mendatangkan kebahagiaan sama seperti titik awalnya. Ada law of diminishing return di sini. Artinya, kebahagiaan setinggi apapun seperti memiliki rumah sendiri pada akhirnya akan kembali datar.

Jadi adakah satu hal yang disepakati yang membuat orang bahagia?

Jawabannya tentu tidak ada. Karena yang dimaksud bahagia ini berbeda dengan rasa euforia yang hanya berlangsung singkat. Seseorang bisa bahagia ketika bisa menyelesaikan tugas yang diberikan, menonton atau mendengarkan boygroup yang ia suka, mendapat promosi jabatan, kenaikan gaji atau barang-barang baru yang dimiliki, namun itu perasaan bahagia yang hanya berlangsung beberapa saat dan sangat bergantung pada apa yang di luar dirinya. Jika manusia terlalu fokus mengejar sesuatu yang di luar dirinya, manfaat jangka panjang terhadap kebahagiaan tidak dapat diperoleh. Sehingga bahagia bukanlah tentang apa yang ada di luar, tapi apa yang ada di dalam.

Arti kebahagiaan juga bukan berarti terus menerus merasa senang dan tidak pernah sedih. Orang bahagia bisa tetap merasakan emosi lain seperti sedih, takut, kaget, dan lainnya. Hanya saja, ketika merasa situasi tidak berjalan sesuai yang diinginkan, ada rasa optimis bahwa semua akan membaik. Mereka bisa menghadapi apa yang sedang terjadi dan kembali merasa senang.

Kebahagiaan juga tidak memerlukan hal-hal yang sempurna. Bahkan mengejar kesempurnaan dalam hidup, justru bisa membuat manusia merasa kurang bahagia. Bahkan dapat melukai rasa bahagia, karena kita akan selalu menginginkan lebih dan tidak pernah benar-benar puas.

Kesimpulan akhir yang mudah disepakati adalah kebahagiaan merupakan keterampilan yang dapat kita kerjakan setiap hari dengan secara aktif memilih pikiran, koneksi, dan keyakinan yang membuat kita merasa baik. Nah, cara dan keterampilan itulah yang dipahami, dihayati dan dilatih dalam aktifitas pendidikan. Keyakinan yang membuat kita merasa baik atau lebih baik bisa di dapat dalam agama.

Agama adalah sumber kebahagiaan

Bahagia adalah perintah Tuhan. Karena adakah orang yang ikhlas, sabar, penuh syukur, tawakal, punya tujuan hidup yang tidak bahagia?

Agama bukan hanya ada pada pelajaran-pelajaran agama saja. Lagipula, "Pelajaran Agama" dan bukan "Pelajaran Agama" adalah pemisahan yang tidak sepenuhnya tepat. Sebagaimana halnya urusan dunia dan urusan akhirat, pelajaran agama dan bukan agama tidak ditentukan berdasarkan jenis pelajarannya, tapi visi, motif atau niat peserta didik ketika mempelajari pelajaran-pelajaran di sekolah. Matematika, science, sejarah atau pelajaran-pelajaran lain bisa jadi adalah pelajaran yang punya visi jauh. Ilmu, selama diniatkan untuk kebaikan manusia adalah pelajaran agama. Sarana untuk menuju kebahagiaan. Kita mengenal ulama atau ilmuan muslim yang pakar di banyak bidang seperti Ibnu Sina, Al Farabi, Ibnu Khaldun, Al Khawarizmi, Al Battani, Ibnu Firnas dan lain-lain. Mereka dikenal sebagai ilmuan di bidang kedokteran, penerbangan, astronomi, hukum, matematika dan banyak lagi.

Maka benar apa yang dirinci dalam UU Sisdiknas bahwa tujuan pendidikan adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Tidak dipungkiri lagi, ujung atau tujuan dari berkembangnya segala potensi yang baik itu adalah kebahagiaan.

Wallahu 'alam
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on December 08, 2022 04:03

November 27, 2022

Berdiskusi di Depan Es Krim tentang Mitos Orangtua Sempurna

Saya dan istri duduk berhadapan, di tengah kami ada meja persegi yang di atasnya ada segelas Mixiu Smoothies Strawbery Ice Cream. Sambil menggengam Cone Ice Cream yang ujungnya telah habis saya jilat, saya berdiskusi dengan istri tentang pendidikan anak-anak.
Diskusi adalah kata kerja sehingga ia perlu dikerjakan, harus ada tindakan untuk mewujudkannya. Menghentikan diskusi atau dialog berarti memperlebar jurang pertengkaran atau kesalahpahaman. 
Saya ingat pertengkaran pertama saya dengan istri beberapa bulan setelah kami menikah. Istri saya mengajar di Jakarta dan malam itu ia minta dijemput di halte bis, tempat biasa saya menjemputnya. Saya sudah setengah perjalanan ketika ingat tidak membawa handphone. Karena waktu sudah mepet dan khawatir istri saya menungu terlalu lama jika saya kembali pulang, maka saya memutuskan meneruskan perjalanan tanpa membawa HP. Lagi pula, pikir saya waktu itu, lokasinya sudah jelas dan itu bukan kali pertama saya menjemputnya.

Saya sampai di lokasi tepat waktu dan mulai menunggu bis. Saya sadar ada yang janggal ketika sudah hampir setengah jam lebih istri saya belum juga sampai. Banyak hal bisa terjadi, termasuk kecelakaan. Saya harus mencari tahu, tapi saya tidak menemukan orang yang bisa dipinjam HP. Hal yang lebih parah adalah saya tidak hafal nomor telpon istri, bahkan nomor telpon saya sendiri. Satu-satunya nomor yang saya ingat adalah nomor kantor. Pilihannya antara saya menunggu terus tanpa ada penjelasan apa yang terjadi atau saya mencari konter untuk membeli pulsa dan meminjam HP dengan resiko jika istri saya datang, saya tidak ada di tempat. Setelah menunggu kurang lebih satu jam, barulah saya memutuskan untuk mencari konter pulsa.

Saya menelpon kawan saya di kantor untuk meminta nomor telpon kawan kantor saya yang lain yang tahu nomor telpon istri saya.

Dari sebrang telpon istri saya menjawab ketus, "Aku udah sampe rumah! Kenapa telponnya gak diangkat sih?"

Saya kesal. Istri saya lebih kesal karena ia sudah mengabarkan lewat SMS bahwa lokasi penjemputan pindah. Karena terlalu lama menunggu, ia akhirnya pulang naik angkot.

Jika diceritakan kembali memang terdengar lucu, tapi tidak saat itu. Saat itu kami hanya melihat kesalahan orang lain. Saya menyalahkan istri saya, istri saya menyalahkan saya. Kami bertengkar dan tidak ada yang mau disalahkan.

Sejak saat itu sampai sekarang kami terus belajar untuk saling mendengarkan. Istri saya tidak selalu salah, dan saya tidak selalu benar. Kami sadar butuh kerendahhatian dan kemauan untuk mengalah. Seperti saat ini, di depan segelas es krim, kami mengobrol dan saling mendengarkan.

"Kamu gak usah merasa salah apalagi sampai menyesal." Kata saya setelah mendengar keresahan istri saya tentang beberapa penyesalan karena merasa tidak maksimal dalam mendidik, "Apa yang kamu lakukan buat anak-anak adalah hal yang sudah bagus. Bahkan hal terbaik yang bisa kita lakukan. Kita berada pada jalur yang tepat."

Sebagai praktisi homeschooling kami bertindak menjadi pihak yang bertanggung jawab terhadap pendidikan anak kami sendiri, sehingga wajar jika kami terkadang risau pada pola pendidikan yang kami sudah terapkan apakah tepat atau tidak. Keresahan tersebut adalah tanda kami masih hidup, ingin belajar dan berkembang. Ketika kami memilih untuk melakukan homescholing, berarti kami memilih jalan yang menggelisahkan. Bukan karena ini jalan yang salah, tapi karena tantangan-tantangan yang kami hadapi menjadi seperti tantangan dalam hidup sendiri. Kami tidak memisahkan pendidikan dengan kehidupan sehari-hari, tapi menyatukannya, menjadikannya lebih relevan. Pendidikan adalah kehidupan, kehidupan adalah pendidikan.

"Aku sudah gak muda lagi. Aku khawatir gak bisa mengakomodasi kebutuhan anak-anak." Istri saya meneruskan. Kami sadar bahwa kostumisasi dan fleksibilitas waktu adalah salah satu hal yang penting yang menentukan keberhasilan homeschooling. Istri saya adalah pelaksana kurikulum pendidikan harian di rumah dan selalu menginginkan yang terbaik bagi anak-anak. Tentu saja, semua orangtua menginginkan itu.
"Gak usah khawatir." Saya menenangkan, "Kita punya Allah. Tazkiyatun Nafs, supaya Ilham Tuhan terus menerus menerangi jalan kita."

Saya mengingatkan. Istri saya sudah paham di luar kepala tentang itu, hanya terkadang manusia lupa dan butuh pengingat. Itu guna pasangan sebagai teman diskusi, atau teman bertengkar, untuk saling mengingatkan. Istri saya juga sering mengingatkan saya ketika saya lalai dalam banyak hal.

Kami sadar dalam mendidik selalu ada campur tangan Tuhan, sehingga kami tidak bisa sombong. Sebagaimana anak yang punya fitrah atau potensi yang sudah ada sejak lahir, orangtua juga punya fitrah atau potensi alami yang diberikan Tuhan untuk mendidik. Tazkiyatun Nafs atau menyucikan jiwa dengan cara ibadah, beramal saleh, mencari ilmu, atau tirakat adalah usaha agar jiwa bening hingga mampu membaca petunjuk Rabbani untuk mengembangkan potensi mendidik tersebut. Saya kagum kepada istri bukan karena kami selalu sepaham, tapi karena walaupun sering berbeda pendapat namun ia adalah sosok yang penuh cinta dan ketulusan. Begitulah Tuhan menciptakan wanita dengan karakteristik fitrah itu.

Fitrah mendidik telah ada pada diri setiap orangtua, Allah memberikan kemampuan itu sesuai jumlah anak. Jika ada 4 anak, maka mungkin ada 4 macam gaya pengasuhan. Pendidikan homeschooling adalah pendidikan yang dikostumisasi, disesuaikan dengan keunikan anak. Karena begitulah kenyataannya, setiap anak unik sehingga tidak bisa diseragamkan.

Saya sungguh beruntung karena sejak awal menikah banyak kesamaan pandangan dalam hal pendidikan. Sejak saya tidak menjemput istri di halte bis, kami selalu pada fase tidak pernah selesai memperbaiki komunikasi. Jika ada perselisihan, kami bicarakan dan cari jalan tengah untuk menghindari pertengkaran di depan anak-anak. Hal ini penting karena riset menemukan bahwa ketika orangtua sering bertengkar di depan anak, stres yang dirasakan orangtua bisa dirasakan anak dan mempengaruhi perkembangan otak mereka. Sebaliknya jika mereka sering melihat kasih sayang yang ditunjukan ayah-ibunya, ada pembentukan neuron di otak mereka. Jadi keliru jika mengatakan satu-satunya yang terpenting adalah hubungan orangtua dengan anak, karena kesuksesan anak dalam hal kognitif dan emosional bukan ditentukan berdasarkan secure attachment antara ibu dan anak, tapi secure attachment antara ayah-ibunya.

Ya, sosok ibu dan ayah adalah dua hal yang penting dalam mendidik. Sekali lagi saya katakan sosok, bukan personalitas. Artinya anak yang tidak memiliki ayah atau ibu (yatim/piatu) bisa tetap memiliki sosok ayah-ibu melalui orang lain, paman-bibi atau kakek-nenek mereka contohnya. Sebaliknya bisa saja anak yang secara biologis masih punya ayah atau ibu, tapi tidak menemukan sosok yang bisa dijadikan panutan. Bagaimanapun anak berkembang dengan rasa cinta dan contoh hubungan terdekat yang mereka lihat setiap hari adalah hubungan ayah-ibunya. Hubungan tersebut yang akan jadi pola ketika mereka bersosialisasi nanti.

Tidak bisa dipungkiri komponen pendidik paling penting adalah teladan, pemberi semangat serta inspirasi (Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mbangun Karso, Tut Wuri Handayani). Jika itu dilakukan orangtua dengan benar, maka tidak berlebihan jika saya mengatakan bahwa memiliki anak bisa membuat seseorang menjadi pribadi yang lebih baik. Walaupun saya akui bahwa menjadi orangtua yang sempurna adalah mitos.

"Aku merasa ada hal-hal yang kurang di masa lalu yang seharusnya bisa aku perbaiki." Istri saya mengutarakan perasaannya.

"Kita sudah berusaha dan akan terus memperbaiki diri," kata saya kemudian, "Kita nggak bisa menjadi orangtua yang sempurna, karena kesempurnaan hanya milik Tuhan. Penyucian Jiwa selain berguna agar kita terbuka untuk mendapat pengetahuan baru, juga berguna agar kita tidak angkuh dengan menganggap pola pendidikan kita yang membuat anak-anak menjadi sukses. Tidak sama sekali. Tuhan melalui alam semesta yang membimbing mereka, dan memberi kita kemampuan untuk menjadi pendidik. Sebagai orangtua kita pasti punya kekurangan, mudah-mudahan Tuhan menutupi dan memperbaiki, karena Allah adalah sebenar-benar pendidik yang sempurna."
Kami beranjak pulang ketika es krim sudah habis. Di jalan kami meneruskan percakapan yang mungkin tidak akan pernah habis.

Wallahu 'alam
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on November 27, 2022 23:34

Berdiskusi di Depan Eskrim tentang Mitos Orangtua Sempurna

Saya dan istri duduk berhadapan, di tengah kami ada meja persegi yang di atasnya ada segelas Mixiu Smoothies Strawbery Ice Cream. Sambil menggengam Cone Ice Cream yang ujungnya telah habis saya jilat, saya berdiskusi dengan istri tentang pendidikan anak-anak.
Diskusi adalah kata kerja sehingga tidak bisa pasif dan akan selalu diusahakan. Menghentikan diskusi atau dialog berarti memperlebar jurang pertengkaran atau kesalahpahaman. Saya ingat pertengkaran pertama saya dengan istri beberapa bulan setelah kami menikah.

Istri saya mengajar di Jakarta dan malam itu ia minta dijemput di halte bis, tempat biasa saya menjemputnya. Saya sudah setengah perjalanan ketika ingat tidak membawa handphone. Karena waktu sudah mepet dan khawatir istri saya menungu terlalu lama jika saya kembali pulang, maka saya memutuskan meneruskan perjalanan tanpa membawa HP. Lagi pula, pikir saya waktu itu, lokasinya sudah jelas dan itu bukan kali pertama saya menjemputnya.

Saya sampai di lokasi tepat waktu dan mulai menunggu bis. Saya sadar ada yang janggal ketika sudah hampir setengah jam lebih istri saya belum juga sampai. Banyak hal bisa terjadi, termasuk kecelakaan. Saya harus mencari tahu, tapi saya tidak menemukan orang yang bisa dipinjam HP. Hal yang lebih parah adalah saya tidak hafal nomor telpon istri, bahkan nomor telpon saya sendiri. Satu-satunya nomor yang saya ingat adalah nomor kantor. Pilihannya antara saya menunggu terus tanpa ada penjelasan apa yang terjadi atau saya mencari konter untuk membeli pulsa dan meminjam HP dengan resiko jika istri saya datang, saya tidak ada di tempat. Setelah menunggu kurang lebih satu jam, barulah saya memutuskan untuk mencari konter pulsa.

Saya menelpon kawan saya di kantor untuk meminta nomor telpon kawan kantor saya yang lain yang tahu nomor telpon istri saya.

Dari sebrang telpon istri saya menjawab ketus, "Aku udah sampe rumah! Kenapa telponnya gak diangkat sih?"

Saya kesal. Istri saya lebih kesal karena ia sudah mengabarkan lewat SMS bahwa lokasi penjemputan pindah. Karena terlalu lama menunggu, ia akhirnya pulang naik angkot.

Saat itu kami hanya melihat kesalahan orang lain. Saya menyalahkan istri saya, istri saya menyalahkan saya. Kami bertengkar dan tidak ada yang mau disalahkan.

Sejak saat itu sampai sekarang kami terus belajar untuk saling mendengarkan. Istri saya tidak selalu salah, dan saya tidak selalu benar. Kami sadar butuh kerendahhatian dan kemauan untuk mengalah. Seperti saat ini, di depan segelas es krim, kami mengobrol dan saling mendengarkan.

"Kamu gak usah merasa salah apalagi sampai menyesal." Kata saya setelah mendengar keresahan istri saya tentang beberapa penyesalan karena merasa tidak maksimal dalam mendidik, "Apa yang kamu lakukan buat anak-anak adalah hal yang sudah bagus. Bahkan hal terbaik yang bisa kita lakukan. Kita berada pada jalur yang tepat."

Sebagai praktisi homeschooling kami bertindak menjadi pihak yang bertanggung jawab terhadap pendidikan anak kami sendiri, sehingga wajar jika kami terkadang risau pada pola pendidikan yang kami sudah terapkan apakah tepat atau tidak. Keresahan tersebut adalah tanda kami masih hidup, ingin belajar dan berkembang. Ketika kami memilih untuk melakukan homescholing, berarti kami memilih jalan yang menggelisahkan. Bukan karena ini jalan yang salah, tapi karena tantangan-tantangan yang kami hadapi menjadi seperti tantangan dalam hidup sendiri. Kami tidak memisahkan pendidikan dengan kehidupan sehari-hari, tapi menyatukannya, menjadikannya lebih relevan. Pendidikan adalah kehidupan, kehidupan adalah pendidikan.

"Aku sudah gak muda lagi. Aku khawatir gak bisa mengakomodasi kebutuhan anak-anak." Istri saya meneruskan. Kami sadar bahwa kostumisasi dan fleksibilitas waktu adalah salah satu hal yang penting yang menentukan keberhasilan homeschooling. Istri saya selalu menginginkan yang terbaik bagi anak-anak kami. Tentu saja, semua orangtua menginginkan itu.

"Gak usah khawatir." Saya menenangkan, "Kita punya Allah. Tazkiyatunnafs, supaya ilham Tuhan terus menerus menerangi jalan kita."

Saya mengingatkan. Istri saya sudah paham di luar kepala tentang itu, hanya terkadang manusia lupa dan butuh pengingat. Itu guna pasangan sebagai teman diskusi, atau teman bertengkar, untuk saling mengingatkan. Istri saya juga sering mengingatkan saya ketika saya lalai dalam banyak hal.

Kami sadar dalam mendidik selalu ada campur tangan Tuhan, sehingga kami tidak bisa sombong. Sebagaimana anak yang punya fitrah atau potensi yang sudah ada sejak lahir, orangtua juga punya fitrah atau potensi alami yang diberikan Tuhan untuk mendidik. Tazkiyatun Nafs atau menyucikan jiwa dengan cara ibadah, beramal saleh, mencari ilmu, atau tirakat adalah usaha agar jiwa bening hingga mampu membaca petunjuk Rabbani.

Fitrah mendidik telah ada pada diri setiap orangtua, Allah memberikan kemampuan itu sesuai jumlah anak. Jika ada 4 anak, maka mungkin ada 4 macam gaya pengasuhan. Pendidikan homeschooling adalah pendidikan yang dikostumisasi, disesuaikan dengan keunikan anak. Karena begitulah kenyataannya, setiap anak unik sehingga tidak bisa diseragamkan.

Saya sungguh beruntung karena sejak awal menikah banyak kesamaan pandangan dalam hal pendidikan. Sejak saya tidak menjemput istri di halte bis, kami selalu pada fase tidak permah selesai memperbaiki komunikasi. Jika ada perselisihan, kami bicarakan dan cari jalan tengah untuk menghindari pertengkaran di depan anak-anak. Hal ini penting karena riset menemukan bahwa ketika orangtua sering bertengkar di depan anak, stres yang dirasakan orangtua bisa dirasakan anak dan mempengaruhi perkembangan otak mereka. Sebaliknya jika mereka sering melihat kasih sayang yang ditunjukan ayah-ibunya, ada pembentukan neuron-neuron di otak mereka. Jadi kesuksesan anak dalam hal kognitif dan emosional bukan ditentukan berdasarkan secure attachment antara ibu dan anak, tapi secure attachment antara ayah-ibunya.

Ya, sosok ibu dan ayah adalah dua hal yang penting dalam mendidik. Sekali lagi saya katakan sosok, bukan personalitas. Artinya anak yang tidak memiliki ayah atau ibu (yatim/piatu) bisa tetap memiliki sosok ayah-ibu melalui orang lain, paman-bibi atau kakek-nenek mereka contohnya. Sebaliknya bisa saja anak yang secara biologis masih punya ayah atau ibu, tapi tidak menemukan sosok yang bisa dijadikan panutan. Bagaimanapun anak berkembang dengan rasa cinta dan contoh hubungan terdekat yang mereka lihat setiap hari adalah hubungan ayah-ibunya. Hubungan tersebut yang akan jadi pola ketika mereka bersosialisasi nanti.

Tidak bisa dipungkiri komponen pendidik paling penting adalah teladan dan pemberi semangat serta inspirasi (Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mbangun Karso, Tut Wuri Handayani). Jika itu dilakukan orangtua dengan benar, maka tidak berlebihan jika saya mengatakan bahwa memiliki anak bisa membuat seseorang menjadi pribadi yang lebih baik. Walaupun saya akui bahwa menjadi orangtua yang sempurna adalah mitos.

"Aku merasa ada hal-hal yang kurang di masa lalu yang seharusnya bisa aku perbaiki." Istri saya mengutarakan perasaannya.

"Kita sudah berusaha dan akan terus memperbaiki diri," kata saya kemudian, "Kita ngak bisa menjadi orangtua yang sempurna, karena kesempurnaan hanya milik Tuhan. Allah adalah pendidik yang sempurna, maka kita jangan angkuh dan menganggap pola pendidikan kita yang membuat anak-anak menjadi sukses. Tidak sama sekali. Tuhan yang memberi kita kemampuan itu."

Saya kagum kepada istri bukan karena kami selalu sepaham, tapi karena walaupun sering berbeda pendapat namun ia adalah sosok yang penuh cinta dan ketulusan. Begitulah mungkin Tuhan menciptakan wanita dengan karakteristik fitrah itu sebagai pelaksana kurikulum pendidikan harian di rumah.

Kami beranjak pulang ketika eskrim sudah habis. Di jalan kami meneruskan percakapan yang mungkin tidak akan pernah habis.
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on November 27, 2022 23:34

November 19, 2022

Ini Budi

di papan tulisIbu Guru menulis
Ini Budi

Semua murid membaca
Ini Budi

Ibu Guru menulis
Budi pergi ke sekolah

Semua murid membaca
Budi pergi ke sekolah

Ibu Guru menulis
Budi tidak sejahtera

Semua murid diam
dan diam-diam bersedih

Ibu Guru tersenyum
dan tetap tegar

2022
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on November 19, 2022 22:13