Nailal Fahmi's Blog, page 8
July 1, 2022
Tangisan pada Suatu Pagi
Pada suatu pagi, perempuan itu menangis di depan saya. Di tangannya ada sebuah naskah buku. Entah pada halaman atau paragraf berapa ia menutup buku itu kemudian terisak. Tubuhnya terguncang, ia melepas kaca mata, beberapa kali mengusap air mata dan menekan hidungnya yang mulai berair dengan tisu. Dari tempat duduknya, dengan suara bergetar ia bilang, "Kalau aja cewek, udah gua peluk lu dari tadi,"
Sebagai kawan, secara naluri saya ingin memeluk untuk meredakan tangisnya. Namun karena norma, itu tidak bisa saya lakukan.
Naskah buku yang barusan ia baca adalah naskah buku yang saya tulis tentang dirinya. Mungkin dia baru saja membaca bagian yang mengingatkan kembali akan luka di hati. Tujuan saya menulis cerita tentangnya adalah untuk membantu melewati masa-masa yang tidak mudah. Masa penuh tangis dan trauma. Secara singkat buku itu menceritakan tentang patah hati, penghianatan, masalah-masalah percintaan dan tentu saja usaha untuk kembali bangkit dari masa-masa kelam itu.
Saat ini ia kembali menangis karena kembali menghadapi masa-masa yang gelap. Bahkan lebih berat dari yang sebelumnya. Ia sedang menjalani hubungan beda agama dan berencana menikah. Ia bertanya, "Kalo gua nikah di gereja, lu mau dateng?"
"Dateng kalau memang diundang." Saya menjawab cepat.
Keluarga besar melarang pernikahan itu. Orang tuanya tidak merestui. Juga yang paling menyesakan dada, keluarga terdekatnya sudah menganggapnya tidak ada; dikucilkan, tidak dipedulikan, tidak dihargai. Terkadang jika mengingat apa yang sudah ia berikan pada keluarga, ia merasa semakin nelangsa. Karena balasan dari apa yang sudah ia perjuangkan untuk keluarga adalah mereka tidak mau memikirkan perasaannya, bersikap keras, bahkan enggan untuk sekedar berkata yang tidak menyakiti hati. Sampai ada yang mengatakan bahwa Almarhumah ibunya meninggal karena terlalu memikirkannya. Itu tuduhan yang menyakitkan. Dan makin akan banyak tuduhan atau mungkin fitnah lain jika sesuatu yang buruk kembali terjadi padanya.
"Gua sempet mikir, apa ini kutukan ya?" ia melanjutkan. Entah karena benar ia ingin tahu jawabannya, atau mungkin hanya mengungkap apa yang ada di kepala.
Pertanyaan itu mengingatkan saya akan film-film Disney tentang putri, penyihir dan pangeran penyelamat. Sebagai orang yang logis saya menjawab, “Gak tau. Gak bisa diverifikasi juga,”
Mungkin kamu menganggap apa yang ia lakukan keterlaluan, mencari masalah, berlebihan dan emosional. Ya, sebagian besar orang yang ia kenal juga berpikiran sama. Semua orang bebas bicara dan berpendapat. Semua orang bisa mengatakan bahwa orang lain yang tidak sepemahaman dengan mereka adalah salah. Namun berkata kasar, mengancam, mengutuk, memfitnah, menyakiti hati adalah tindakan yang punya konsekuensi yang terkadang sangat merusak. Ia sempat berpikir untuk mati atau dimatikan.
Saya ingat apa yang selalu diulang-ulang Ustad Adi Hidayat dalam ceramah ketika bercerita tentang Allah yang memerintahakan Nabi Musa dan Harun untuk mendatangi Firaun dan berkata padanya dengan lemah lembut, “Anda tidak sesaleh Nabi Musa dan Harun. Orang yang anda anggap salah juga tidak seburuk Firaun. Tapi anda berkata padanya dengan perkataan yang kasar. Anda ini mencontoh siapa?”
"Gua udah kehilangan support system. Keluarga paling deket udah nganggap gua gak ada," katanya suatu saat.
Saya sayang padanya tapi tidak bisa menjanjikan apapun.
"Apa yang membuat lu bertahan dengan kondisi ini?" Saya bertanya.
"Karena gua tau masih ada yang lebih buruk kondisinya dari gua. Gua sering keliling jalan-jalan buat nenangin pikiran kalau lagi ada masalah. Gua liat orang-orang di jalan yang gak punya rumah, gua ngerasa masalah hidup gua bukan apa-apa. Gua merasa masalah gua kecil."
Sebagai manusia memang kita seharusnya merasa kecil dan lemah. Kita bahkan tidak tahu apa yang akan terjadi beberapa jam yang akan datang. Kesombongan menjadikan manusia bertindak seakan-akan mereka adalah Tuhan yang mengetahui segalanya. Orang yang beragama dengan kesombongan sebenarnya sedang mematikan ruh religiusitas, menentang makna penghambaan pada Tuhan. Dalam penghambaan, kita kecil karena yang besar hanya Tuhan.
Gus Baha pernah bercerita tentang orang saleh yang Ujub dan orang yang durhaka namun tetap melakukan Salat, “Kita tidak pernah tahu. Bisa saja suatu saat mungkin Allah ridha dan menerima salatnya kemudian dia jadi Wali. Kita tidak pernah tahu kapan Allah ridha atau benci pada kita. Kita gak pernah tahu Allah meletakan ridhanya dimana dan murkanya dimana.”
Rahmat Allah ada pada tiap hal. Bahkan pelacur yang memberi minum anjing kehausan bisa masuk surga karena ridha Allah. Jadi manusia tidak diberi kesanggupan untuk mengetahui bagaimana akhir hidup mereka nanti. Jika kehidupan manusia diibaratkan hari, maka segala hal bisa saja terjadi sampai sore tiba. Bisa saja perempuan yang menangis pada pagi hari itu tersenyum di sore harinya.
Saya selalu mendoakan itu.
Wallahu ‘alam.
Sebagai kawan, secara naluri saya ingin memeluk untuk meredakan tangisnya. Namun karena norma, itu tidak bisa saya lakukan.
Naskah buku yang barusan ia baca adalah naskah buku yang saya tulis tentang dirinya. Mungkin dia baru saja membaca bagian yang mengingatkan kembali akan luka di hati. Tujuan saya menulis cerita tentangnya adalah untuk membantu melewati masa-masa yang tidak mudah. Masa penuh tangis dan trauma. Secara singkat buku itu menceritakan tentang patah hati, penghianatan, masalah-masalah percintaan dan tentu saja usaha untuk kembali bangkit dari masa-masa kelam itu.
Saat ini ia kembali menangis karena kembali menghadapi masa-masa yang gelap. Bahkan lebih berat dari yang sebelumnya. Ia sedang menjalani hubungan beda agama dan berencana menikah. Ia bertanya, "Kalo gua nikah di gereja, lu mau dateng?"
"Dateng kalau memang diundang." Saya menjawab cepat.
Keluarga besar melarang pernikahan itu. Orang tuanya tidak merestui. Juga yang paling menyesakan dada, keluarga terdekatnya sudah menganggapnya tidak ada; dikucilkan, tidak dipedulikan, tidak dihargai. Terkadang jika mengingat apa yang sudah ia berikan pada keluarga, ia merasa semakin nelangsa. Karena balasan dari apa yang sudah ia perjuangkan untuk keluarga adalah mereka tidak mau memikirkan perasaannya, bersikap keras, bahkan enggan untuk sekedar berkata yang tidak menyakiti hati. Sampai ada yang mengatakan bahwa Almarhumah ibunya meninggal karena terlalu memikirkannya. Itu tuduhan yang menyakitkan. Dan makin akan banyak tuduhan atau mungkin fitnah lain jika sesuatu yang buruk kembali terjadi padanya.
"Gua sempet mikir, apa ini kutukan ya?" ia melanjutkan. Entah karena benar ia ingin tahu jawabannya, atau mungkin hanya mengungkap apa yang ada di kepala.
Pertanyaan itu mengingatkan saya akan film-film Disney tentang putri, penyihir dan pangeran penyelamat. Sebagai orang yang logis saya menjawab, “Gak tau. Gak bisa diverifikasi juga,”
Mungkin kamu menganggap apa yang ia lakukan keterlaluan, mencari masalah, berlebihan dan emosional. Ya, sebagian besar orang yang ia kenal juga berpikiran sama. Semua orang bebas bicara dan berpendapat. Semua orang bisa mengatakan bahwa orang lain yang tidak sepemahaman dengan mereka adalah salah. Namun berkata kasar, mengancam, mengutuk, memfitnah, menyakiti hati adalah tindakan yang punya konsekuensi yang terkadang sangat merusak. Ia sempat berpikir untuk mati atau dimatikan.
Saya ingat apa yang selalu diulang-ulang Ustad Adi Hidayat dalam ceramah ketika bercerita tentang Allah yang memerintahakan Nabi Musa dan Harun untuk mendatangi Firaun dan berkata padanya dengan lemah lembut, “Anda tidak sesaleh Nabi Musa dan Harun. Orang yang anda anggap salah juga tidak seburuk Firaun. Tapi anda berkata padanya dengan perkataan yang kasar. Anda ini mencontoh siapa?”
"Gua udah kehilangan support system. Keluarga paling deket udah nganggap gua gak ada," katanya suatu saat.
Saya sayang padanya tapi tidak bisa menjanjikan apapun.
"Apa yang membuat lu bertahan dengan kondisi ini?" Saya bertanya.
"Karena gua tau masih ada yang lebih buruk kondisinya dari gua. Gua sering keliling jalan-jalan buat nenangin pikiran kalau lagi ada masalah. Gua liat orang-orang di jalan yang gak punya rumah, gua ngerasa masalah hidup gua bukan apa-apa. Gua merasa masalah gua kecil."
Sebagai manusia memang kita seharusnya merasa kecil dan lemah. Kita bahkan tidak tahu apa yang akan terjadi beberapa jam yang akan datang. Kesombongan menjadikan manusia bertindak seakan-akan mereka adalah Tuhan yang mengetahui segalanya. Orang yang beragama dengan kesombongan sebenarnya sedang mematikan ruh religiusitas, menentang makna penghambaan pada Tuhan. Dalam penghambaan, kita kecil karena yang besar hanya Tuhan.
Gus Baha pernah bercerita tentang orang saleh yang Ujub dan orang yang durhaka namun tetap melakukan Salat, “Kita tidak pernah tahu. Bisa saja suatu saat mungkin Allah ridha dan menerima salatnya kemudian dia jadi Wali. Kita tidak pernah tahu kapan Allah ridha atau benci pada kita. Kita gak pernah tahu Allah meletakan ridhanya dimana dan murkanya dimana.”
Rahmat Allah ada pada tiap hal. Bahkan pelacur yang memberi minum anjing kehausan bisa masuk surga karena ridha Allah. Jadi manusia tidak diberi kesanggupan untuk mengetahui bagaimana akhir hidup mereka nanti. Jika kehidupan manusia diibaratkan hari, maka segala hal bisa saja terjadi sampai sore tiba. Bisa saja perempuan yang menangis pada pagi hari itu tersenyum di sore harinya.
Saya selalu mendoakan itu.
Wallahu ‘alam.
Published on July 01, 2022 01:54
June 15, 2022
Pesantren Inklusif
Kawan saya seorang pengurus pesantren dalam sebuah status WA menuliskan kekhawatiran karena media banyak menyorot kasus kejahatan seksual di pesantren. Ia khawatir citra pesantren menjadi buruk di mata masyarakat. Ia juga menyinggung bahwa institusi pesantren dimana banyak terjadi kasus asusila adalah pesantren yang ekslusif dan secara kultural tidak merepresentasi pesantren pada umumnya.
Saya menanggapi dengan mengatakan bahwa kehawatiran masyarakat akan berpendapat bahwa pesantren adalah tempat yang selalu negatif adalah kehawatiran yang berlebihan. Kesimpulan yang populer di masyarakat pada akhirnya adalah pesantren sebagaimana lembaga lain, tidak selalu baik, tidak melulu buruk. Malah tuduhan bahwa pemberitaan di media yang menyebabkan citra pesantren buruk akan terkesan apologetik dan tidak menampakan wajah pesantren yang inklusif.
Saya setuju bahwa pesantren harus dikembalikan kepada wajah yang terbuka pada semua. Secara kultural, kebanyakan pesantren NU di Jawa Tengah atau Timur telah melakukan itu, dengan pembauran lingkungan pesantren dan masyarakat, atau rumah kiyai yang selalu terbuka untuk siapa saja. Pesantren yang tidak punya kultur seperti itu, harus punya cara lain agar kepercayaan masyarakat pada pesantren tetap terjaga.
Dalam novel BaRung saya menuliskan keresahan yang kurang lebih sama. Novel itu merupakan manifestasi kebanggan saya sebagai anak pesantren sekaligus kritik yang membangun. Walaupun sebagian pihak tidak menanggapi secara konstruktif bahkan malah merasa disudutkan, saya menganggap mereka tidak memahami hakikat pesantren secara filosofis dan kultural yang telah ada bahkan sebelum Islam.
Saya ingat apa yang pernah dikatakan Kiyai Fachruddin, ada dua hal yang membuat pesantren bertahan dan dipercaya; system dan figur. Beliau mencontohkan pesantren dengan system yang kuat itu seperti Gontor. Orang awam hampir tidak mengetahui siap kiyai pesantren Gontor, tapi Gontor sangat terkenal sebagai pesantren yang menghasilkan lulusan berkualitas. Sementara pesantren dengan figur yang kuat contohnya seperti kebanyakan pesantren yang dikenal karena kiyainya; pesantren Gus Dur, pesantren Gus Mus, pesantren Gus Baha dan lain-lain. Pesantren dengan system yang kuat lebih bertahan menghasilkan lulusan yang berkualitas selama system yang ada terjaga. Sementara pesantren dengan figure yang kuat biasanya akan menurun jika figurnya sudah tidak ada dan figure yang menggantikan tidak sekuat pendahulunya.
Saya bukan pengurus pesantren, namun saya punya pandangan, terutama untuk pesantren yang mengedepankan figur, bahwa untuk membuat pesantren yang inklusif, yang dirindukan para santri, yang pengurusnya merasa memiliki, adalah dengan merangkul sebanyak-banyaknya kemampuan. Terlebih kemampuan para alumnus. Hal seperti itu, yang jika dilakukan dengan konsisten, akan secara otomatis meminimalisir segala macam hal negative. Di sini dibutuhkan kerendahan hati dari pengurus untuk terus membuka diri dan berkolaborasi.
Saya menanggapi dengan mengatakan bahwa kehawatiran masyarakat akan berpendapat bahwa pesantren adalah tempat yang selalu negatif adalah kehawatiran yang berlebihan. Kesimpulan yang populer di masyarakat pada akhirnya adalah pesantren sebagaimana lembaga lain, tidak selalu baik, tidak melulu buruk. Malah tuduhan bahwa pemberitaan di media yang menyebabkan citra pesantren buruk akan terkesan apologetik dan tidak menampakan wajah pesantren yang inklusif.
Saya setuju bahwa pesantren harus dikembalikan kepada wajah yang terbuka pada semua. Secara kultural, kebanyakan pesantren NU di Jawa Tengah atau Timur telah melakukan itu, dengan pembauran lingkungan pesantren dan masyarakat, atau rumah kiyai yang selalu terbuka untuk siapa saja. Pesantren yang tidak punya kultur seperti itu, harus punya cara lain agar kepercayaan masyarakat pada pesantren tetap terjaga.
Dalam novel BaRung saya menuliskan keresahan yang kurang lebih sama. Novel itu merupakan manifestasi kebanggan saya sebagai anak pesantren sekaligus kritik yang membangun. Walaupun sebagian pihak tidak menanggapi secara konstruktif bahkan malah merasa disudutkan, saya menganggap mereka tidak memahami hakikat pesantren secara filosofis dan kultural yang telah ada bahkan sebelum Islam.
Saya ingat apa yang pernah dikatakan Kiyai Fachruddin, ada dua hal yang membuat pesantren bertahan dan dipercaya; system dan figur. Beliau mencontohkan pesantren dengan system yang kuat itu seperti Gontor. Orang awam hampir tidak mengetahui siap kiyai pesantren Gontor, tapi Gontor sangat terkenal sebagai pesantren yang menghasilkan lulusan berkualitas. Sementara pesantren dengan figur yang kuat contohnya seperti kebanyakan pesantren yang dikenal karena kiyainya; pesantren Gus Dur, pesantren Gus Mus, pesantren Gus Baha dan lain-lain. Pesantren dengan system yang kuat lebih bertahan menghasilkan lulusan yang berkualitas selama system yang ada terjaga. Sementara pesantren dengan figure yang kuat biasanya akan menurun jika figurnya sudah tidak ada dan figure yang menggantikan tidak sekuat pendahulunya.
Saya bukan pengurus pesantren, namun saya punya pandangan, terutama untuk pesantren yang mengedepankan figur, bahwa untuk membuat pesantren yang inklusif, yang dirindukan para santri, yang pengurusnya merasa memiliki, adalah dengan merangkul sebanyak-banyaknya kemampuan. Terlebih kemampuan para alumnus. Hal seperti itu, yang jika dilakukan dengan konsisten, akan secara otomatis meminimalisir segala macam hal negative. Di sini dibutuhkan kerendahan hati dari pengurus untuk terus membuka diri dan berkolaborasi.
Published on June 15, 2022 19:00
June 11, 2022
Puisi yang Membuat Menangis
Sudah dua kali Hasnia meminta saya membuat puisi. Dengan kriteria yang ia buat sendiri dan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
"Bikin supaya yang denger pada nangis ya, Bang," Hasnia meminta.
"Buat acara apa?"
"Graduation. Mau dipakai hari Jumat ini,"
"2 hari lagi? Kenapa mendadak?" Saya heran.
"Sebenernya udah dikasih tau dari 4 hari yang lalu,"
"Elu emang sengaja mao ngerjain gua!" Saya menutup kesal yang ia balas dengan tawa.
Pada permintaan sebelumnya, ia membuat deadline yang lebih kejam. Saya sampai harus bergadang karena ia bilang puisinya harus selesai malam ini karena akan dipakai besok. Saya mau menolak, tapi dia bilang, “Udah ada di otakku tapi belum aku tulis. Deadlinenya besok. Aku gak tau lagi harus gimana?”
Pada permintaan kali ini dia bilang, “Kepada siapa lagi aku minta tolong bikin puisi selain Abang yang pandai merangkai kata-kata nan puitis indah.”
Antara geli, iba dan ingin menoyor kepalanya, akhirnya saya buatkan puisi-puisi itu. Saya tidak tahu apakah jika dibaca, puisi itu bisa membuat orang yang mendengar menangis. Tapi saya kira ada banyak hal yang bisa membuat orang menangis selain karena mendengar puisi. Diantaranya karena mendengarkan lagu-lagu Adele saat putus cinta, atau mengetahui kabar kematian orang yang kamu sayangi, atau tidak hadir di pernikahan kawan dekatmu karena kamu pikir dia berdosa.
"Bikin supaya yang denger pada nangis ya, Bang," Hasnia meminta.
"Buat acara apa?"
"Graduation. Mau dipakai hari Jumat ini,"
"2 hari lagi? Kenapa mendadak?" Saya heran.
"Sebenernya udah dikasih tau dari 4 hari yang lalu,"
"Elu emang sengaja mao ngerjain gua!" Saya menutup kesal yang ia balas dengan tawa.
Pada permintaan sebelumnya, ia membuat deadline yang lebih kejam. Saya sampai harus bergadang karena ia bilang puisinya harus selesai malam ini karena akan dipakai besok. Saya mau menolak, tapi dia bilang, “Udah ada di otakku tapi belum aku tulis. Deadlinenya besok. Aku gak tau lagi harus gimana?”
Pada permintaan kali ini dia bilang, “Kepada siapa lagi aku minta tolong bikin puisi selain Abang yang pandai merangkai kata-kata nan puitis indah.”
Antara geli, iba dan ingin menoyor kepalanya, akhirnya saya buatkan puisi-puisi itu. Saya tidak tahu apakah jika dibaca, puisi itu bisa membuat orang yang mendengar menangis. Tapi saya kira ada banyak hal yang bisa membuat orang menangis selain karena mendengar puisi. Diantaranya karena mendengarkan lagu-lagu Adele saat putus cinta, atau mengetahui kabar kematian orang yang kamu sayangi, atau tidak hadir di pernikahan kawan dekatmu karena kamu pikir dia berdosa.
Published on June 11, 2022 20:34
Soneta dari Masa Depan
Ayah dan ibu,
Terimakasih karena memberiku motifasi, sehingga aku menjadi pribadi yang percaya diri.
Terimakasih atas segala pujian tulus, sehingga aku terbiasa menghargai.
Terimakasih karena aku tidak banyak disalahkan, sehingga aku berani menjadi diri sendiri.
Terimakasih telah memberiku rasa aman, sehingga aku terlatih untuk mempercayai orang lain dan mengendalikan diri.
Terimakasih karena membersarkanku dalam kejujuran, sehingga aku terbiasa melihat kebenaran.
Terimakasih karena menerimaku apa adanya, sehingga aku belajar menyayangi semua insan.
Terimakasih telah betah mendengarkan kebawelanku, sehingga aku belajar tumbuh dengan kesabaran.
Terimakasih telah merawatku dalam keramahan, sehingga aku bisa melihat bahwa sungguh indah kehidupan.
Ayah dan ibu,
Maafkan aku atas mainan yang berantakan di lantai, pakaian dan piring-piring kotor, coretan-coretan di dinding, pintu juga jendela.
Maafkan aku karena selalu menaiki punggung atau bergelendot di kaki sambil cerewet bertanya tentang apa saja saat tubuhmu lelah sepulang kerja.
Maafkan aku karena mengurangi jam tidur malammu dengan tangisan, ompol serta kemanjaan sampai pagi tiba.
Maafkan aku karena pernah menjadi sebab atas duka hatimu dan menjadi sumber atas air matamu dengan kata-kata yang membantah dan keras suara.
Maafkan aku karena tidak sanggup mengganti tangismu di tengah malam karena berdoa pada Tuhan untuk kesehatanku juga kebahagiaan.Maafkan aku atas kata maaf yang tidak akan pernah sempurna karena tidak ada kata yang bisa cukup mewakili ungkapan.
Maafkan aku karena tidak mungkin bisa membalas kasih sayangmu dengan uang yang aku kumpulkan walau sebanyak daun-daun di hutan.
Maafkan aku karena kata maaf yang terlambat kuucap, semoga Tuhan memberikan kasih sayang dan ampunan.
Ayah dan ibu,
Inilah aku. Aku putra-putri kehidupan yang menulis surat ini dari masa depan.
Semakin tumbuh dewasa, semakin aku sadar bahwa ayah-ibu adalah hal terbaik yang pernah Tuhan hadirkan.
2022
Terinspirasi dari puisi: Children Learn What They Live oleh Dorothy Low Nolte
Terimakasih karena memberiku motifasi, sehingga aku menjadi pribadi yang percaya diri.
Terimakasih atas segala pujian tulus, sehingga aku terbiasa menghargai.
Terimakasih karena aku tidak banyak disalahkan, sehingga aku berani menjadi diri sendiri.
Terimakasih telah memberiku rasa aman, sehingga aku terlatih untuk mempercayai orang lain dan mengendalikan diri.
Terimakasih karena membersarkanku dalam kejujuran, sehingga aku terbiasa melihat kebenaran.
Terimakasih karena menerimaku apa adanya, sehingga aku belajar menyayangi semua insan.
Terimakasih telah betah mendengarkan kebawelanku, sehingga aku belajar tumbuh dengan kesabaran.
Terimakasih telah merawatku dalam keramahan, sehingga aku bisa melihat bahwa sungguh indah kehidupan.
Ayah dan ibu,
Maafkan aku atas mainan yang berantakan di lantai, pakaian dan piring-piring kotor, coretan-coretan di dinding, pintu juga jendela.
Maafkan aku karena selalu menaiki punggung atau bergelendot di kaki sambil cerewet bertanya tentang apa saja saat tubuhmu lelah sepulang kerja.
Maafkan aku karena mengurangi jam tidur malammu dengan tangisan, ompol serta kemanjaan sampai pagi tiba.
Maafkan aku karena pernah menjadi sebab atas duka hatimu dan menjadi sumber atas air matamu dengan kata-kata yang membantah dan keras suara.
Maafkan aku karena tidak sanggup mengganti tangismu di tengah malam karena berdoa pada Tuhan untuk kesehatanku juga kebahagiaan.Maafkan aku atas kata maaf yang tidak akan pernah sempurna karena tidak ada kata yang bisa cukup mewakili ungkapan.
Maafkan aku karena tidak mungkin bisa membalas kasih sayangmu dengan uang yang aku kumpulkan walau sebanyak daun-daun di hutan.
Maafkan aku karena kata maaf yang terlambat kuucap, semoga Tuhan memberikan kasih sayang dan ampunan.
Ayah dan ibu,
Inilah aku. Aku putra-putri kehidupan yang menulis surat ini dari masa depan.
Semakin tumbuh dewasa, semakin aku sadar bahwa ayah-ibu adalah hal terbaik yang pernah Tuhan hadirkan.
2022
Terinspirasi dari puisi: Children Learn What They Live oleh Dorothy Low Nolte
Published on June 11, 2022 19:24
May 22, 2022
Maktub, Pul!
Premier League baru berjalan 7 pertandingan. Dini hari itu, sambil makan nasi goreng pinggir jalan, saya dan Qoffal menonton Chelsea vs Southampton. Seperti biasa Qoffal bertanya tentang prediksi juara musim ini.
"Merah memang bagus musim ini, tapi yang juara tetep biru." kata saya.
"Biru ada banyak, bang. Biru yang mana nih? Chelsea, City, Everton?"
Tiga yang Qoffal sebutkan memang sedang bagus di awal musim, terutama Chelsea yang baru saja juara Champion. Tapi pertanyaan Qoffal seperti memposisikan saya sebagai cenayang atau mafia judi yang bisa membaca detail dari skor sampai poin yang akan didapat di akhir musim.
"Memang begitu cara kerja prediksi, bung!" jawab saya, "Tidak boleh terlalu jelas."
Ya, rahasia langit memang tidak pernah benar-benar eksplisit, penuh metafora yang tidak terang.
Pekan ke 32, liga menyisakan 6 pertandingan, City dan Perpul ada di puncak dengan selisih 1 poin. Qoffal VC dan bertanya tentang hal yang sama, "Prediksi gimana, bung?"
"Masih sama prediksi gua di awal musim; biru yang juara." Saya menjawab cepat.
"Serius bang? Sampe akhir musim terus selisih 1 poin?"
"Kemungkinan besar."
Kemudian kami berdiskusi tentang kekurangan Perpul musim ini. Saya bilang musim ini Si Merah punya kedalaman squad yang baik. Mungkin terbaik sepanjang sejarah sepak bola modern. Tapi mental yang akan membedakan.
Tentu saya tidak mengatakan bahwa Salah dkk. tidak punya mental juara. Hanya mereka bagus di waktu yang Salah. Bukan, bukan Mo. Salah. Maksud saya ini sama saja ada seseorang yang sedang mengejar karier di bidang jurnalistik dan ingin menjadi yang terbaik, tapi sezaman dengan Najwa Shihab. Bukan dia tidak bagus, hanya ia bagus di waktu yang salah. Bukan, bukan Mo. Salah.
Kita perlu melihat mental De Bruyne dkk. yang bertanding sehari setelah pertandingan Perpul. Secara mental mereka pasti lebih tertekan, tapi mereka tetap bermain baik. Sampai liga menyisakan 4 pertandingan, selisih masih 1 poin.
Rotasi di tubuh Perpul tidak membuat pasukan Klopp bermain buruk. Perpul terus melaju dengan kemenangan demi kemenangan. Qoffal menyebut timnya tim terbaik dari yang terbaik. Saya mengiyakan. Ingat, saya bukan fans kardus, dari awal saya tidak meragukan. Ditambah tidak ada badai cedera, mereka akan berjaya sampai akhir musim. Liverpudlian tinggal melakukan mubahalah agar pasukan Pep terpelesat. Saya membalas, "Tim terbaik dari terbaik yang ngarepin tim lain kepeleset itu ibarat orang ngaku kaya tapi ngarepin sedekah 🤣🤣🤣"
Itu metafora yang sulit disangkal.
Pertandingan menyisakan 3 match. Qoffal masih bertanya kemungkinan lain. Berharap ada clue yang berbeda. Saya bilang, "Yang tertulis akan tetap tertulis."
Pertandingan akhir dilangsungkan bersamaan. Perpul vs Wolves, City vs Aston. Qoffal sepertinya sudah pasrah, walaupun saya tahu fans nekat seperti dia masih berharap akan sejarah 4 trofi dalam semusim yang gilang gemilang.
Half time. Perpul seri. City kalah 1-0. Poin sama, hanya selisih gol. City masih di puncak. Menit 69 Coutinho memperbesar kemenangan untuk Aston menjadi 2-0. Inilah waktu dimana Liverpudlian di seluruh dunia percaya bahwa Gerrard dan Coutinho adalah bagian penting atas akan terciptanya sejarah quadruple untuk klub Inggris yang tidak mungkin terulang bahkan mungkin dalam 100 tahun yang akan datang. Perpul hanya butuh satu gol, dan semuanya selesai. Namun asa itu dikandaskan, karena dalam waktu 6 menit, yaitu di menit 76, 78 dan 81, Gundogan dan Rodri membalikan keadaan. City menang. Hasil akhir City menang 3-2. Perpul menang 3-1. Kemenangan Perpul percuma karena City tetap juara dengan selisih 1 poin.
Qoffal bilang musim ini mirip musim 18/19. Ya, sejarah memang berulang. Pada orang sakit hati itu disebut trauma 🤣.
Jadi begitulah.
Maktub, Pul! 🤣
"Merah memang bagus musim ini, tapi yang juara tetep biru." kata saya.
"Biru ada banyak, bang. Biru yang mana nih? Chelsea, City, Everton?"
Tiga yang Qoffal sebutkan memang sedang bagus di awal musim, terutama Chelsea yang baru saja juara Champion. Tapi pertanyaan Qoffal seperti memposisikan saya sebagai cenayang atau mafia judi yang bisa membaca detail dari skor sampai poin yang akan didapat di akhir musim.
"Memang begitu cara kerja prediksi, bung!" jawab saya, "Tidak boleh terlalu jelas."
Ya, rahasia langit memang tidak pernah benar-benar eksplisit, penuh metafora yang tidak terang.
Pekan ke 32, liga menyisakan 6 pertandingan, City dan Perpul ada di puncak dengan selisih 1 poin. Qoffal VC dan bertanya tentang hal yang sama, "Prediksi gimana, bung?"
"Masih sama prediksi gua di awal musim; biru yang juara." Saya menjawab cepat.
"Serius bang? Sampe akhir musim terus selisih 1 poin?"
"Kemungkinan besar."
Kemudian kami berdiskusi tentang kekurangan Perpul musim ini. Saya bilang musim ini Si Merah punya kedalaman squad yang baik. Mungkin terbaik sepanjang sejarah sepak bola modern. Tapi mental yang akan membedakan.
Tentu saya tidak mengatakan bahwa Salah dkk. tidak punya mental juara. Hanya mereka bagus di waktu yang Salah. Bukan, bukan Mo. Salah. Maksud saya ini sama saja ada seseorang yang sedang mengejar karier di bidang jurnalistik dan ingin menjadi yang terbaik, tapi sezaman dengan Najwa Shihab. Bukan dia tidak bagus, hanya ia bagus di waktu yang salah. Bukan, bukan Mo. Salah.
Kita perlu melihat mental De Bruyne dkk. yang bertanding sehari setelah pertandingan Perpul. Secara mental mereka pasti lebih tertekan, tapi mereka tetap bermain baik. Sampai liga menyisakan 4 pertandingan, selisih masih 1 poin.
Rotasi di tubuh Perpul tidak membuat pasukan Klopp bermain buruk. Perpul terus melaju dengan kemenangan demi kemenangan. Qoffal menyebut timnya tim terbaik dari yang terbaik. Saya mengiyakan. Ingat, saya bukan fans kardus, dari awal saya tidak meragukan. Ditambah tidak ada badai cedera, mereka akan berjaya sampai akhir musim. Liverpudlian tinggal melakukan mubahalah agar pasukan Pep terpelesat. Saya membalas, "Tim terbaik dari terbaik yang ngarepin tim lain kepeleset itu ibarat orang ngaku kaya tapi ngarepin sedekah 🤣🤣🤣"
Itu metafora yang sulit disangkal.
Pertandingan menyisakan 3 match. Qoffal masih bertanya kemungkinan lain. Berharap ada clue yang berbeda. Saya bilang, "Yang tertulis akan tetap tertulis."
Pertandingan akhir dilangsungkan bersamaan. Perpul vs Wolves, City vs Aston. Qoffal sepertinya sudah pasrah, walaupun saya tahu fans nekat seperti dia masih berharap akan sejarah 4 trofi dalam semusim yang gilang gemilang.
Half time. Perpul seri. City kalah 1-0. Poin sama, hanya selisih gol. City masih di puncak. Menit 69 Coutinho memperbesar kemenangan untuk Aston menjadi 2-0. Inilah waktu dimana Liverpudlian di seluruh dunia percaya bahwa Gerrard dan Coutinho adalah bagian penting atas akan terciptanya sejarah quadruple untuk klub Inggris yang tidak mungkin terulang bahkan mungkin dalam 100 tahun yang akan datang. Perpul hanya butuh satu gol, dan semuanya selesai. Namun asa itu dikandaskan, karena dalam waktu 6 menit, yaitu di menit 76, 78 dan 81, Gundogan dan Rodri membalikan keadaan. City menang. Hasil akhir City menang 3-2. Perpul menang 3-1. Kemenangan Perpul percuma karena City tetap juara dengan selisih 1 poin.
Qoffal bilang musim ini mirip musim 18/19. Ya, sejarah memang berulang. Pada orang sakit hati itu disebut trauma 🤣.
Jadi begitulah.
Maktub, Pul! 🤣

Published on May 22, 2022 20:46
April 25, 2022
Midnight Mass; Merasakan Langsung Keajaiban

Apa tanggapanmu ketika melihat langsung ada orang yang bisa melakukan hal ajaib? Misalnya menyembuhkan orang lumpuh atau buta dengan seketika, berada di tempat berbeda dalam satu waktu, mengetahui lokasi benda hilang, menaklukan binatang buas dan lain-lain.
Apakah kamu akan segera percaya bahwa itu adalah keajaiban, atau menyelidiki terlebih dahulu? Jika menyelidiki, apa yang harus diselidiki, pertimbangan apa yang digunakan? Apakah agama termasuk yang dipertimbangkan? Apakah jika sama keyakinannya denganmu maka kamu anggap mukjizat, namun jika tidak, kamu akan menganggap itu tipu daya setan? Mari kita anggap keyakinannya sama, apakah kamu langsung percaya itu karomah yang diberikan Tuhan? Atau kamu punya hal lain sebagai syarat?
Pertanyaan-pertanyaan itu yang akan mengendap ketika menyaksikan serial Midnight Mass, itu perasaan yang sama ketika menonton Messiah. Pertanyaan yang mendalam tentang apa yang bisa menambah atau meruntuhkan keimananmu.
Midnight Mass adalah serial yang menarik. Karya Flanagans yang pertama kali saya tonton ini, membuat saya ingin menyaksikan karya-karyanya yang lain. Serial ini tentu bukan selera semua orang. Jika kamu bosan dan tidak bisa menikmati Messiah - Michael Petroni, maka kemungkinan besar kamu juga akan menghadapi hal yang sama dengan serial ini.
Ini film horror realistik yang memotret masyarakat dengan jujur juga bernada agnostik. Setiap episode diberi judul menurut Al Kitab, dari Book I: Genesis di episode awal sampai Book VII: Revelation di episode 7. Hal itu tentu mengambarkan bukan hanya kedekatan secara personal penulis skenario, tapi juga ekplorasi mendalam dalam memahami kitab suci. Sutradara dan penulis skenario sangat jeli dalam menggunakan metafora yang yang sering sangat filsafatis. Juga dalam mengeksplorasi keyakinan yang sudah mengakar dalam masyarakat, tentang kepercayaan akan kedatangan hari akhir, penghakiman dan juru selamat, sekaligus membuat interpretasi melalui karakter yang selalu disuarakan polyphony dengan dialog dan monolog yang dalam, autentik dan sangat jauh dari kesan tempelan.

Bev Keane: St. Patrick's isn't just a church, Monsignor. It's an ark. I set up cots in the rec center for those who were chosen. We will take to our ships, to our vessels, and then, like sheep among wolves, like you said, we will spread the good word.
Father Paul: And who will decide who is chosen?
Bev Keane: We will. You and me.
Father Paul: And what happens to the rest?
Bev Keane: Well, I don't much know. That isn't up to me. It's between them and God, isn't
Begitu seharusnya cerita yang baik. Bisa menghadirkan karakter yang berwarna dengan permasalahan dalam dirinya yang kompleks, dan manusiawi. Dengan ansambel karakter yang beragam tersebut, serial horor ini jauh lebih meyakinkan, membumi dan sangat dekat dengan penonton. Pada sikap jugmental, keangkuhan sebagai Wakil Tuhan, orang-orang terpilih dan baik, kemunafikan, keyakinan palsu dan hal lain yang sangat lekat dengan masyarakat.
Serial ini mengagambarkan fenomena yang dekat dan sering terjadi di dekat kita. Tentang kecenderungan fanatisme agama yang tidak dibarengi nalar kritis yang walaupun disajikan dalam nuansa Katolik yang kental, namun pesannya sangat relevan terhadap kepercayaan dalam agama apapun. Tentang bagaimana fanatisme buta akan menarik siapapun pada jurang paling dalam naluri manusia yang tidak jarang sangat merusak.
Father Paul: God has no country. There is one God for the world. And the lines we draw, and the treaties we draft, and the borders we close mean nothing to Him. No, don't fight for a country. You fight for God's kingdom. A kingdom which Jesus tells us has no flags or borders. God's army.
Jadi kembali pada pertanyaan awal; apa tanggapanmu ketika melihat langsung keajaiban? Apakah segera percaya atau skeptis dan menganggap bahwa sesuatu yang tidak bisa dijelaskan saat ini bukan berarti ajaib, hanya manusia belum menemukan alasan ilmiah dibalik peristiwa itu.
Siapapun kamu, serial ini layak mendapat perhatian.
Published on April 25, 2022 15:56
April 15, 2022
Potret Senja

Setiap orang punya senja yang dinikmati sendiri-sendiri.
Senja yang sama bisa dilihat
dua orang dengan mata berbeda.
Bisa saja kamu menikmati senja sendiri,
dan aku sibuk dengan urusanku di sini.
Atau senja datang dan kamu menghilang.
Maka aku ingin mengabadikan senja
yang kamu lewatkan dengan
menyimpannya ke dalam botol-botol kristal,
dan meletakannya di bawah kasur
untuk menemanimu tidur.
2022
Published on April 15, 2022 15:59
March 30, 2022
Kebahagiaan yang Mudah
Suatu malam seorang kawan curhat tentang masalah rumah tangganya.
“Mi, boleh cerita ya,” ia memulai percakapan.
Setelah saya mengiyakan, ia bercerita panjang tentang ibu dan suaminya. Beberapa bulan belakangan ini ia tinggal di rumah ibunya yang sudah tua, sering sakit dan merasa kesepian. Namun karena itu ia jadi meninggalkan suami di rumah yang agak jauh. Jadwalnya adalah 5 hari di rumah ibu, 2 hari bersama suami. Kondisi ini berlangsung berbulan-bulan dan ia mulai merasa kelelahan karena perjalanan pulang-pergi yang cukup jauh. Sementara, baik ibu atau suaminya karena alasan masing-masing tidak ada yang mau mengalah untuk tinggal bersama.
Ia kawan saya sewaktu Aliyah. Saya pernah bertanya kepada istri saya tentang mengapa beberapa kawan, baik laki-laki atau perempuan, sering bertanya tentang masalah seperti itu kepada saya. Istri saya memberi spekulasi dan kemungkinan, tapi tidak ada yang benar-benar tahu alasan mereka yang pasti.
Sungguh saya selalu dalam kondisi tidak percaya diri ketika diminta untuk memberikan saran apalagi nasehat karena saya tidak tahu kondisi yang sebenarnya. Saya khawatir akan terjerumus pada sikap judgemental. Sebagai penulis, saya cenderung ingin melihat dan mendengar dua sisi yang berbeda. Bagi saya setiap karakter punya suara polyphony, bukan tunggal, punya sisi manusiawi yang baik dan buruk. Itulah mengapa saya selalu mendengarkan dan banyak bertanya ketika bercakap-cakap.
Saya bertanya tentang banyak hal pada kawan saya sampai akhirnya tiba pada kesimpulan, "Fokusnya, supaya ibu dan suami sama-sama senang. Kalau terpaksa harus milih ya pilih suami, tapi kan gak bisa kaku juga. Paling omongin ke suami supaya suami juga ridho."
Kawan saya membalas, "Walaupun orang tua kita keadaannya seperti itu, Mi? Sendirian, suka sakit kepala, suka bilang, 'kalau malam sakit sendirian gak ada orang gimana?'"
Saya kembali tidak percaya diri.
"Sebenernya ini kan bukan pilihan yang hitam-putih ya." Saya merespon, "Masih bisa disiasati. Contohnya dengan dibagi hari dalam seminggu. Jadi tetep mengutamakan suami, dengan gak menyakiti perasaan ibu. Namanya orang tua, ya disabarin aja, nanti juga ada jalannya. Coba diskusi juga sama keluarga yang lain."
Kawan saya malah kemudian mengkhawatirkan hal lain. Ia bertanya tentang keluhan. Ia sering mengeluh kelelahan, baik mental atau juga kelelahan fisik, "Mi, emang kalau kita ngeluh, kita gak dapet pahala ya?"
"Mana gua tau, gua kan bukan Tuhan!" tapi tentu saya tidak menjawab itu. Saya jawab, "Yang gua tau sih karena tidak bersyukur,"
Ia kembali menangapi dengan cerita.
Saya kembali merespon, "Capek mah wajar. Gua juga kalo capek ngeluh, tapi itu bukan mengeluh karena gak bersyukur ke Tuhan."
Ada jeda sampai akhirnya saya meneruskan, "Gua biasanya fokus sama hal yang bikin bahagia. Karena hidup di dunia itu mudah."
Saya mengakhiri percakapan dengan mengirimkan nasihat dari Gus Baha agar hidup selalu senang. Saya ingat beliau pernah menjelasakan, "Usahakan sedikit sekali apa yang membuat kamu senang, maka akan sedikit sekali yang membuat kamu susah,"
Gus Baha memberi contoh waktu Nabi bertanya di pagi hari mengenai ada atau tidak sarapan. Ketika Aisyah menjawab tidak ada, maka Nabi memilih untuk berpuasa.
Biasanya orang merasa tidak bahagia, karena standar atau ekspektasi yang terlalu tinggi. Usahakan kita bahagia dengan standar yang paling sedikit, paling minimal. Kita melihat anak kita tertawa, itu seharusnya bisa membuat bahagia. Masih memiliki pasangan untuk diajak bicara, harusnya bisa membuat bahagia. Kita masih bisa minum saat haus, harusnya bisa membuat bahagia. Bahkan kita bahagia atas hal-hal yang dibolehkan agama, maka seharusnya kita bahagia.
Kebahagiaan adalah udara yang kita hirup. Ia ada dimana-mana, hanya kita sering memilih untuk menahan nafas atau menyesakan dada dengan syarat yang banyak.
Wallahu 'alam
“Mi, boleh cerita ya,” ia memulai percakapan.
Setelah saya mengiyakan, ia bercerita panjang tentang ibu dan suaminya. Beberapa bulan belakangan ini ia tinggal di rumah ibunya yang sudah tua, sering sakit dan merasa kesepian. Namun karena itu ia jadi meninggalkan suami di rumah yang agak jauh. Jadwalnya adalah 5 hari di rumah ibu, 2 hari bersama suami. Kondisi ini berlangsung berbulan-bulan dan ia mulai merasa kelelahan karena perjalanan pulang-pergi yang cukup jauh. Sementara, baik ibu atau suaminya karena alasan masing-masing tidak ada yang mau mengalah untuk tinggal bersama.
Ia kawan saya sewaktu Aliyah. Saya pernah bertanya kepada istri saya tentang mengapa beberapa kawan, baik laki-laki atau perempuan, sering bertanya tentang masalah seperti itu kepada saya. Istri saya memberi spekulasi dan kemungkinan, tapi tidak ada yang benar-benar tahu alasan mereka yang pasti.
Sungguh saya selalu dalam kondisi tidak percaya diri ketika diminta untuk memberikan saran apalagi nasehat karena saya tidak tahu kondisi yang sebenarnya. Saya khawatir akan terjerumus pada sikap judgemental. Sebagai penulis, saya cenderung ingin melihat dan mendengar dua sisi yang berbeda. Bagi saya setiap karakter punya suara polyphony, bukan tunggal, punya sisi manusiawi yang baik dan buruk. Itulah mengapa saya selalu mendengarkan dan banyak bertanya ketika bercakap-cakap.
Saya bertanya tentang banyak hal pada kawan saya sampai akhirnya tiba pada kesimpulan, "Fokusnya, supaya ibu dan suami sama-sama senang. Kalau terpaksa harus milih ya pilih suami, tapi kan gak bisa kaku juga. Paling omongin ke suami supaya suami juga ridho."
Kawan saya membalas, "Walaupun orang tua kita keadaannya seperti itu, Mi? Sendirian, suka sakit kepala, suka bilang, 'kalau malam sakit sendirian gak ada orang gimana?'"
Saya kembali tidak percaya diri.
"Sebenernya ini kan bukan pilihan yang hitam-putih ya." Saya merespon, "Masih bisa disiasati. Contohnya dengan dibagi hari dalam seminggu. Jadi tetep mengutamakan suami, dengan gak menyakiti perasaan ibu. Namanya orang tua, ya disabarin aja, nanti juga ada jalannya. Coba diskusi juga sama keluarga yang lain."
Kawan saya malah kemudian mengkhawatirkan hal lain. Ia bertanya tentang keluhan. Ia sering mengeluh kelelahan, baik mental atau juga kelelahan fisik, "Mi, emang kalau kita ngeluh, kita gak dapet pahala ya?"
"Mana gua tau, gua kan bukan Tuhan!" tapi tentu saya tidak menjawab itu. Saya jawab, "Yang gua tau sih karena tidak bersyukur,"
Ia kembali menangapi dengan cerita.
Saya kembali merespon, "Capek mah wajar. Gua juga kalo capek ngeluh, tapi itu bukan mengeluh karena gak bersyukur ke Tuhan."
Ada jeda sampai akhirnya saya meneruskan, "Gua biasanya fokus sama hal yang bikin bahagia. Karena hidup di dunia itu mudah."
Saya mengakhiri percakapan dengan mengirimkan nasihat dari Gus Baha agar hidup selalu senang. Saya ingat beliau pernah menjelasakan, "Usahakan sedikit sekali apa yang membuat kamu senang, maka akan sedikit sekali yang membuat kamu susah,"
Gus Baha memberi contoh waktu Nabi bertanya di pagi hari mengenai ada atau tidak sarapan. Ketika Aisyah menjawab tidak ada, maka Nabi memilih untuk berpuasa.
Biasanya orang merasa tidak bahagia, karena standar atau ekspektasi yang terlalu tinggi. Usahakan kita bahagia dengan standar yang paling sedikit, paling minimal. Kita melihat anak kita tertawa, itu seharusnya bisa membuat bahagia. Masih memiliki pasangan untuk diajak bicara, harusnya bisa membuat bahagia. Kita masih bisa minum saat haus, harusnya bisa membuat bahagia. Bahkan kita bahagia atas hal-hal yang dibolehkan agama, maka seharusnya kita bahagia.
Kebahagiaan adalah udara yang kita hirup. Ia ada dimana-mana, hanya kita sering memilih untuk menahan nafas atau menyesakan dada dengan syarat yang banyak.
Wallahu 'alam
Published on March 30, 2022 17:04
Masalah Hidup dan Kebahagiaan yang Mudah
Suatu malam seorang kawan curhat tentang masalah rumah tangganya.
“Mi, boleh cerita ya,” ia memulai percakapan.
Setelah saya mengiyakan, ia bercerita panjang tentang ibu dan suaminya. Beberapa bulan belakangan ini ia tinggal di rumah ibunya yang sudah tua, sering sakit dan merasa kesepian. Namun karena itu ia jadi meninggalkan suami di rumah yang agak jauh. Jadwalnya adalah 5 hari di rumah ibu, 2 hari bersama suami. Kondisi ini berlangsung berbulan-bulan dan ia mulai merasa kelelahan karena perjalanan pulang-pergi yang cukup jauh. Sementara, baik ibu atau suaminya karena alasan masing-masing tidak ada yang mau mengalah untuk tinggal bersama.
Ia kawan saya sewaktu Aliyah. Saya pernah bertanya kepada istri saya tentang mengapa beberapa kawan, baik laki-laki atau perempuan, sering bertanya tentang masalah seperti itu kepada saya. Istri saya memberi spekulasi dan kemungkinan, tapi tidak ada yang benar-benar tahu alasan mereka yang pasti.
Sungguh saya selalu dalam kondisi tidak percaya diri ketika diminta untuk memberikan saran apalagi nasehat karena saya tidak tahu kondisi yang sebenarnya. Saya khawatir akan terjerumus pada sikap judgemental. Sebagai penulis, saya cenderung ingin melihat dan mendengar dua sisi yang berbeda. Bagi saya setiap karakter punya suara polyphony, bukan tunggal, punya sisi manusiawi yang baik dan buruk. Itulah mengapa saya selalu mendengarkan dan banyak bertanya ketika bercakap-cakap.
Saya bertanya tentang banyak hal pada kawan saya sampai akhirnya tiba pada kesimpulan, "Fokusnya, supaya ibu dan suami sama-sama senang. Kalau terpaksa harus milih ya pilih suami, tapi kan gak bisa kaku juga. Paling omongin ke suami supaya suami juga ridho."
Kawan saya membalas, "Walaupun orang tua kita keadaannya seperti itu, Mi? Sendirian, suka sakit kepala, suka bilang, 'kalau malam sakit sendirian gak ada orang gimana?'"
Saya kembali tidak percaya diri.
"Sebenernya ini kan bukan pilihan yang hitam-putih ya." Saya merespon, "Masih bisa disiasati. Contohnya dengan dibagi hari dalam seminggu. Jadi tetep mengutamakan suami, dengan gak menyakiti perasaan ibu. Namanya orang tua, ya disabarin aja, nanti juga ada jalannya. Coba diskusi juga sama keluarga yang lain."
Kawan saya malah kemudian mengkhawatirkan hal lain. Ia bertanya tentang keluhan. Ia sering mengeluh kelelahan, baik mental atau juga kelelahan fisik, "Mi, emang kalau kita ngeluh, kita gak dapet pahala ya?"
"Mana gua tau, gua kan bukan Tuhan!" tapi tentu saya tidak menjawab itu. Saya jawab, "Yang gua tau sih karena tidak bersyukur,"
Ia kembali menangapi dengan cerita.
Saya kembali merespon, "Capek mah wajar. Gua juga kalo capek ngeluh, tapi itu bukan mengeluh karena gak bersyukur ke Tuhan."
Ada jeda sampai akhirnya saya meneruskan, "Gua biasanya fokus sama hal yang bikin bahagia. Karena hidup di dunia itu mudah."
Saya mengakhiri percakapan dengan mengirimkan nasihat dari Gus Baha agar hidup selalu senang. Saya ingat beliau pernah menjelasakan, "Usahakan sedikit sekali apa yang membuat kamu senang, maka akan sedikit sekali yang membuat kamu susah,"
Gus Baha memberi contoh waktu Nabi bertanya di pagi hari mengenai ada atau tidak sarapan. Ketika Aisyah menjawab tidak ada, maka Nabi memilih untuk berpuasa.
Biasanya orang merasa tidak bahagia, karena standar atau ekspektasi yang terlalu tinggi. Kita melihat anak kita tertawa, itu seharusnya bisa membuat bahagia. Masih memiliki pasangan untuk kawan bercerita, harusnya bisa membuat bahagia. Kita masih bisa minum saat haus atau makan saat lapar, harusnya bisa membuat bahagia. Bahkan kita bahagia atas hal-hal yang dibolehkan agama, maka seharusnya kita bahagia.
Kebahagiaan adalah udara yang kita hirup. Ia ada dimana-mana, hanya kita sering memilih untuk menahan nafas atau menyesakan dada dengan syarat yang banyak.
Wallahu 'alam
“Mi, boleh cerita ya,” ia memulai percakapan.
Setelah saya mengiyakan, ia bercerita panjang tentang ibu dan suaminya. Beberapa bulan belakangan ini ia tinggal di rumah ibunya yang sudah tua, sering sakit dan merasa kesepian. Namun karena itu ia jadi meninggalkan suami di rumah yang agak jauh. Jadwalnya adalah 5 hari di rumah ibu, 2 hari bersama suami. Kondisi ini berlangsung berbulan-bulan dan ia mulai merasa kelelahan karena perjalanan pulang-pergi yang cukup jauh. Sementara, baik ibu atau suaminya karena alasan masing-masing tidak ada yang mau mengalah untuk tinggal bersama.
Ia kawan saya sewaktu Aliyah. Saya pernah bertanya kepada istri saya tentang mengapa beberapa kawan, baik laki-laki atau perempuan, sering bertanya tentang masalah seperti itu kepada saya. Istri saya memberi spekulasi dan kemungkinan, tapi tidak ada yang benar-benar tahu alasan mereka yang pasti.
Sungguh saya selalu dalam kondisi tidak percaya diri ketika diminta untuk memberikan saran apalagi nasehat karena saya tidak tahu kondisi yang sebenarnya. Saya khawatir akan terjerumus pada sikap judgemental. Sebagai penulis, saya cenderung ingin melihat dan mendengar dua sisi yang berbeda. Bagi saya setiap karakter punya suara polyphony, bukan tunggal, punya sisi manusiawi yang baik dan buruk. Itulah mengapa saya selalu mendengarkan dan banyak bertanya ketika bercakap-cakap.
Saya bertanya tentang banyak hal pada kawan saya sampai akhirnya tiba pada kesimpulan, "Fokusnya, supaya ibu dan suami sama-sama senang. Kalau terpaksa harus milih ya pilih suami, tapi kan gak bisa kaku juga. Paling omongin ke suami supaya suami juga ridho."
Kawan saya membalas, "Walaupun orang tua kita keadaannya seperti itu, Mi? Sendirian, suka sakit kepala, suka bilang, 'kalau malam sakit sendirian gak ada orang gimana?'"
Saya kembali tidak percaya diri.
"Sebenernya ini kan bukan pilihan yang hitam-putih ya." Saya merespon, "Masih bisa disiasati. Contohnya dengan dibagi hari dalam seminggu. Jadi tetep mengutamakan suami, dengan gak menyakiti perasaan ibu. Namanya orang tua, ya disabarin aja, nanti juga ada jalannya. Coba diskusi juga sama keluarga yang lain."
Kawan saya malah kemudian mengkhawatirkan hal lain. Ia bertanya tentang keluhan. Ia sering mengeluh kelelahan, baik mental atau juga kelelahan fisik, "Mi, emang kalau kita ngeluh, kita gak dapet pahala ya?"
"Mana gua tau, gua kan bukan Tuhan!" tapi tentu saya tidak menjawab itu. Saya jawab, "Yang gua tau sih karena tidak bersyukur,"
Ia kembali menangapi dengan cerita.
Saya kembali merespon, "Capek mah wajar. Gua juga kalo capek ngeluh, tapi itu bukan mengeluh karena gak bersyukur ke Tuhan."
Ada jeda sampai akhirnya saya meneruskan, "Gua biasanya fokus sama hal yang bikin bahagia. Karena hidup di dunia itu mudah."
Saya mengakhiri percakapan dengan mengirimkan nasihat dari Gus Baha agar hidup selalu senang. Saya ingat beliau pernah menjelasakan, "Usahakan sedikit sekali apa yang membuat kamu senang, maka akan sedikit sekali yang membuat kamu susah,"
Gus Baha memberi contoh waktu Nabi bertanya di pagi hari mengenai ada atau tidak sarapan. Ketika Aisyah menjawab tidak ada, maka Nabi memilih untuk berpuasa.
Biasanya orang merasa tidak bahagia, karena standar atau ekspektasi yang terlalu tinggi. Kita melihat anak kita tertawa, itu seharusnya bisa membuat bahagia. Masih memiliki pasangan untuk kawan bercerita, harusnya bisa membuat bahagia. Kita masih bisa minum saat haus atau makan saat lapar, harusnya bisa membuat bahagia. Bahkan kita bahagia atas hal-hal yang dibolehkan agama, maka seharusnya kita bahagia.
Kebahagiaan adalah udara yang kita hirup. Ia ada dimana-mana, hanya kita sering memilih untuk menahan nafas atau menyesakan dada dengan syarat yang banyak.
Wallahu 'alam
Published on March 30, 2022 17:04
March 9, 2022
Laki-laki Bodoh dan Seperti Rindu, Dendam Harus Dibayar Tuntas *
"Jadi nonton apa, Shel?" tanya saya kepada Shel tidak lama setelah ia duduk menghadap komputer. Sementara saya sedang duduk di sampingnya menghadap komputer yang berbeda.
"Moonfall. Bagus banget filmnya, A Nelal. Nonton deh!" Shel menjelaskan dengan berbinar.
"Yang penting bukan filmnya, tapi nonton sama siapa." kata saya sambil tertawa. "Jadi nonton bareng Sam?"
"Jadi!"
"Kenapa Shel dan Sam gak jadian?"
"Gak mau. Udah sama-sama tahu masing-masing bejatnya."
"Ya, bagus dong. Emang pasangan yang baik kan harus begitu. Masa mau nikah sama orang yang gak tau baik buruknya?"
"Ih gak gitu, A Nelal. Sam mah cuma temen." Shel membela diri, tapi terasa asal-asalan. Karena jika ia tidak mau dengan Sam karena alasan sudah tau baik buruknya, maka itu jadi argumen yang tidak logis. Jika alasannya dibalik, maka akan ada 2 kesimpulan yang ngawur. Pertama, ia suka dengan laki-laki yang hanya baik saja, yang sempurna. Dimana mustahil ada orang seperti itu. Atau yang ke dua, ia suka dengan laki-laki yang hanya ia tahu baiknya saja. Bukan karena ia sempurna, tapi karena ia menyembunyikan kejelekannya. Saya tidak mengerti. Memang mungkin selamanya saya tidak akan pernah paham jalan pikiran perempuan.
Saya tertawa tapi sambil tetap mencecar alasan yang menurut saya lebih masuk akal, "Jadi Shel gak mau sama Sam karena dia jelek?"
"Sam tuh ganteng, A Nelal!" Shel membuka handphone kemudian menunjukan sesuatu, "Nih liat fotonya."
Saya mengamati foto itu dengan seksama dan Shel kembali menjelaskan, "Sebenernya Shel pernah nembak dia dulu, tapi ditolak!"
"Ooh." respon saya cepat, "Coba liat isi chat sama Sam."
"Udah gak ada. Udh diapus."
"Kenapa?"
"Deyn mau dateng." Lagi saya tertawa. Shel seperti sedang menutupi sesuatu dari Deyn. Mereka baru berkenalan 6 bulan dan sehabis lebaran tahun ini berencana menikah.
"Kenapa sih, banyak banget orang yang nyuruh Shel jadian sama Sam?"
"Siapa yang nyuruh? Gua gak nyuruh." Siapa saya meminta hal yang bukan wewenang saya, "Gua cuma nanya alesan kenapa gak jadian sama dia."
"Ya karena dia cuma best friend. Temen curhat. Udah terlalu akrab kita tuh. Kemaren dia aja dateng-dateng langsung meluk. Shel udah tau jeleknya. Lagian Sam mah bodoh."
Tawa saya makin keras, "Semua laki-laki di seluruh dunia memang bodoh, Shel!"
"Termasuk, A Nailal!" Shel merespon cekikikan.
Saya berenti tertawa dan berpikir, "Kecuali gua!" dan kembali tertawa.
Saya mengenal banyak laki-laki bodoh seperti Sam, sebut saja Bams dan Ryo. Laki-laki yang suka dengan perempuan, tapi menunggu waktu tepat untuk mengungkapkan perasaan yang selamanya tidak pernah mereka temukan. Setelah semuanya terlambat, barulah mereka sadar akan kebodohan mereka.
"Trus apa kata Sam waktu Shel cerita mau nikah?"
"Dia nanya, 'Yah, gua gak bisa maen sama lu lagi dong Shel?'"
"Shel jawab apa?"
"Ya udh lu dateng waktu suami gua gak ada aja."
Saya kembali merespon dengan tawa, "Jadi Shel gak bisa kalo gak temenan sama Sam?"
"Gak bisa lah!" Jawabnya cepat, "Orang waktu itu mantan Shel pernah nanya, kalo suruh milih lu pilih gua apa Sam, trus Shel jawab, 'ya pilih Sam lah!'"
"Bocah gila!" Saya geleng-geleng kepala, "Sekarang gimana kalo kita balik?"
"Maksudnya?" Shel minta penjelasan yang lebih panjang.
"Ya, Deyn punya temen cewe yang deket kayak Shel dan Sam. Shel cemburu ga?"
"Nggak." jawab Shel cepat.
"Gak usah buru-buru jawab, Panjul!" komentar saya disusul gelak tawa Shel.
Saya selalu tidak pernah menanggapi curhatan Shel dengan serius, karena kisah cintanya selalu terdengar bercanda. Ia pernah pacaran dengan beberapa laki-laki sekaligus. Apa ada yang lebih lucu dari itu? Karena seringkali adegannya seperti dalam sinetron indosiar; panik bersembunyi karena gebetan yang sedang jalan bersama ternyata lewat di depan rumah pacarnya yang lain.
Namun hari itu berbeda. Pagi itu Shel datang dengan mata sembab dan wajah pucat. Dia bilang Kalau Bosan-nya Lyodra yang ia dengar semalam berhasil membuatnya kembali mengenang masa lalu dan menangis.
"Bagus lah!" kata saya, "Berarti Shel masih punya hati."
Saya menggoda, mencari lagu yang ia sebutkan kemudian menyetelnya di komputer.
"A Nelal mah gak pernah serius!" Shel terdengar kesal.
Saya tertawa, "Ya mau gimana lagi?" kata saya mencoba sedikit serius, "Gak ada orang yang bisa mengendalikan perasaan. Shel hanya bisa mengendalikan tindakan. Kalau sekarang perasaannya lagi kangen, ya udah mau gimana lagi? Nikmatin aja."
"Shel gak kangen!" lagi-lagi Shel menjawab terlalu cepat.
"Jadi itu mantan yang paling mengganggu pikiran?" Saya bertanya.
Shel bercerita tentang Alf. Tentang rencana menikah yang tidak dipenuhi. Tentang keegoisan. Ketidakcocokan dengan keluarga. "Alf terlalu mikirin Tetehnya. Tetehnya juga kayak gak tau malu, minta tolong terus sama Alf. Gak pernah mikirin perasaan Shel."
Saya mendengarkan Shel bercerita, bertanya dan mencoba menangkap apa sebenarnya yang ia rasakan.
"Jadi Shel maunya gimana?" tanya saya di akhir cerita.
"Gak tau. Gak tau juga nih mau dikirimin undangan atau nggak." ia terlihat bingung, tapi sedetik kemudian ia seperti yakin, "Tapi kirimin aja ah. Biar dia dan keluarganya tau. Biar Alf nyesel dan berantem sama Tetehnya."
Saya ingin tertawa, tapi karena ia meminta saya untuk serius, maka saya merespon, "Jadi tujuan Shel ngasih undangan untuk menyakiti Alf?"
"Iya!" Shel meneruskan, "Ini Alf juga barusan ngeliat staus Shel. Pasti Alf ngerasa tersindir."
Shel membacakan status yang ia buat untuk kawannya yang baru saja menikah. Kawan yang juga kawan Alf, yang tahu kisah cinta Shel dan Alf dari awal sampai mereka putus. Di akhir statusnya Shel menyindir, "Gak kayak gua yang kandas karena gak diperjuangkan."
Social Media memang membuat perkara melupakan atau masalah hubungan seremeh apapun semakin rumit.
"Shel gak benar-benar ingin menyakiti Alf." Saya berkomentar.
"Maksudnya?" Shel penasaran.
"Iya, Shel gak benar-benar ingin menyakiti Alf kan?"
"Beneran. Serius. Dia sering berantem sama Tetehnya gara-gara Shel. Kalo Alf tau Shel beneran nikah, pasti dia berantem lagi sama Tetehnya."
"Kalau Shel mau mencintai seseorang, cintai dengan sebenar-benarnya. Jika ingin membenci, bencilah dengan sesungguh-sungguhnya."
"Gimana cara membenci dengan sesungguhnya?"
"Jangan, kalo Shel gak bener-bener yakin," Saya melarang.
"Ih, beneran. Gimana caranya?" Shel setengah memaksa.
"Hal yang paling menyakitkan bagi seseorang adalah tidak dipedulikan. Kalo Shel masih nyimpen nomornya, berarti Shel masih peduli. Shel bahkan masih peduli karena tujuan membuat status salah satunya agar dibaca Alf, untuk menyindir. Tujuan memberi undangan supaya bikin Alf nyesel dan beranten sama Tetehnya. Itu artinya Shel masih peduli. Itu sama sekali tidak menyakitkan. Hal yang paling menyakitkan bagi seseorang adalah tidak dipedulikan. Dilupakan."
"Ya udah, Shel hapus sama blok aja nomornya," Shel membuka HP dan menghapus nama Alf.
Sedetik kemudian saya merasa bersalah karena menyarankan hal yang kejam. Tapi bagaimanpun itu sudah keputusan Shel. Keputusan apapun pasti punya konsekuensi. Entah ia dibuat dengan emosional dan terburu-buru atau penuh pertimbangan. Ia sudah cukup dewasa dan bisa bertanggungjawab atas sikapnya sendiri. Saya hanya berharap semoga ia belajar dan menjadi manusia yang lebih baik di atas keputusan-keputusan itu.
Shel adalah pribadi yang baik, dan tuntunan agama menyatakan bahwa laki-laki yang baik untuk perempuan yang baik, sementara laki-laki yang buruk untuk perempuan yang buruk. Saya takut berceramah panjang lebar, karena bisa jadi itu hanya informasi yang tidak bermakna. Einstein pernah bilang bahwa informasi bukanlah pengetahuan, pengetahuan yang sebenarnya adalah pengalaman. Semoga Shel belajar tentang kehidupan dari pengalaman hidupnya sendiri.
"Jadi tujuan Shel menikah untuk menyakiti Alf?" saya bertanya. Alf sebenarnya adalah mantan sebelum ia memutuskan menikah dengan Deyn.
"Ih, enggak! Ya ampun demi Allah enggak, A Nelal!" Shel menjawab. Masih dengan cepat.
Jawaban pertanyaan saya untuk Shel sungguh bukan untuk saya, tapi untuk Shel sendiri. Jadi pertanyaan-pertanyaan itu sejatinya tidak harus dijawab segera, karena saya tidak butuh. Shel sendiri yang lebih membutuhkan, karena bagaimanapun tidak ada manusia yang bisa berbohong pada hatinya sendiri.
------------------* Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas adalah Judul Novel karya Eka Kurniawan. Sudah diangkat ke layar lebar dengan judul yang sama.
"Moonfall. Bagus banget filmnya, A Nelal. Nonton deh!" Shel menjelaskan dengan berbinar.
"Yang penting bukan filmnya, tapi nonton sama siapa." kata saya sambil tertawa. "Jadi nonton bareng Sam?"
"Jadi!"
"Kenapa Shel dan Sam gak jadian?"
"Gak mau. Udah sama-sama tahu masing-masing bejatnya."
"Ya, bagus dong. Emang pasangan yang baik kan harus begitu. Masa mau nikah sama orang yang gak tau baik buruknya?"
"Ih gak gitu, A Nelal. Sam mah cuma temen." Shel membela diri, tapi terasa asal-asalan. Karena jika ia tidak mau dengan Sam karena alasan sudah tau baik buruknya, maka itu jadi argumen yang tidak logis. Jika alasannya dibalik, maka akan ada 2 kesimpulan yang ngawur. Pertama, ia suka dengan laki-laki yang hanya baik saja, yang sempurna. Dimana mustahil ada orang seperti itu. Atau yang ke dua, ia suka dengan laki-laki yang hanya ia tahu baiknya saja. Bukan karena ia sempurna, tapi karena ia menyembunyikan kejelekannya. Saya tidak mengerti. Memang mungkin selamanya saya tidak akan pernah paham jalan pikiran perempuan.
Saya tertawa tapi sambil tetap mencecar alasan yang menurut saya lebih masuk akal, "Jadi Shel gak mau sama Sam karena dia jelek?"
"Sam tuh ganteng, A Nelal!" Shel membuka handphone kemudian menunjukan sesuatu, "Nih liat fotonya."
Saya mengamati foto itu dengan seksama dan Shel kembali menjelaskan, "Sebenernya Shel pernah nembak dia dulu, tapi ditolak!"
"Ooh." respon saya cepat, "Coba liat isi chat sama Sam."
"Udah gak ada. Udh diapus."
"Kenapa?"
"Deyn mau dateng." Lagi saya tertawa. Shel seperti sedang menutupi sesuatu dari Deyn. Mereka baru berkenalan 6 bulan dan sehabis lebaran tahun ini berencana menikah.
"Kenapa sih, banyak banget orang yang nyuruh Shel jadian sama Sam?"
"Siapa yang nyuruh? Gua gak nyuruh." Siapa saya meminta hal yang bukan wewenang saya, "Gua cuma nanya alesan kenapa gak jadian sama dia."
"Ya karena dia cuma best friend. Temen curhat. Udah terlalu akrab kita tuh. Kemaren dia aja dateng-dateng langsung meluk. Shel udah tau jeleknya. Lagian Sam mah bodoh."
Tawa saya makin keras, "Semua laki-laki di seluruh dunia memang bodoh, Shel!"
"Termasuk, A Nailal!" Shel merespon cekikikan.
Saya berenti tertawa dan berpikir, "Kecuali gua!" dan kembali tertawa.
Saya mengenal banyak laki-laki bodoh seperti Sam, sebut saja Bams dan Ryo. Laki-laki yang suka dengan perempuan, tapi menunggu waktu tepat untuk mengungkapkan perasaan yang selamanya tidak pernah mereka temukan. Setelah semuanya terlambat, barulah mereka sadar akan kebodohan mereka.
"Trus apa kata Sam waktu Shel cerita mau nikah?"
"Dia nanya, 'Yah, gua gak bisa maen sama lu lagi dong Shel?'"
"Shel jawab apa?"
"Ya udh lu dateng waktu suami gua gak ada aja."
Saya kembali merespon dengan tawa, "Jadi Shel gak bisa kalo gak temenan sama Sam?"
"Gak bisa lah!" Jawabnya cepat, "Orang waktu itu mantan Shel pernah nanya, kalo suruh milih lu pilih gua apa Sam, trus Shel jawab, 'ya pilih Sam lah!'"
"Bocah gila!" Saya geleng-geleng kepala, "Sekarang gimana kalo kita balik?"
"Maksudnya?" Shel minta penjelasan yang lebih panjang.
"Ya, Deyn punya temen cewe yang deket kayak Shel dan Sam. Shel cemburu ga?"
"Nggak." jawab Shel cepat.
"Gak usah buru-buru jawab, Panjul!" komentar saya disusul gelak tawa Shel.
Saya selalu tidak pernah menanggapi curhatan Shel dengan serius, karena kisah cintanya selalu terdengar bercanda. Ia pernah pacaran dengan beberapa laki-laki sekaligus. Apa ada yang lebih lucu dari itu? Karena seringkali adegannya seperti dalam sinetron indosiar; panik bersembunyi karena gebetan yang sedang jalan bersama ternyata lewat di depan rumah pacarnya yang lain.
Namun hari itu berbeda. Pagi itu Shel datang dengan mata sembab dan wajah pucat. Dia bilang Kalau Bosan-nya Lyodra yang ia dengar semalam berhasil membuatnya kembali mengenang masa lalu dan menangis.
"Bagus lah!" kata saya, "Berarti Shel masih punya hati."
Saya menggoda, mencari lagu yang ia sebutkan kemudian menyetelnya di komputer.
"A Nelal mah gak pernah serius!" Shel terdengar kesal.
Saya tertawa, "Ya mau gimana lagi?" kata saya mencoba sedikit serius, "Gak ada orang yang bisa mengendalikan perasaan. Shel hanya bisa mengendalikan tindakan. Kalau sekarang perasaannya lagi kangen, ya udah mau gimana lagi? Nikmatin aja."
"Shel gak kangen!" lagi-lagi Shel menjawab terlalu cepat.
"Jadi itu mantan yang paling mengganggu pikiran?" Saya bertanya.
Shel bercerita tentang Alf. Tentang rencana menikah yang tidak dipenuhi. Tentang keegoisan. Ketidakcocokan dengan keluarga. "Alf terlalu mikirin Tetehnya. Tetehnya juga kayak gak tau malu, minta tolong terus sama Alf. Gak pernah mikirin perasaan Shel."
Saya mendengarkan Shel bercerita, bertanya dan mencoba menangkap apa sebenarnya yang ia rasakan.
"Jadi Shel maunya gimana?" tanya saya di akhir cerita.
"Gak tau. Gak tau juga nih mau dikirimin undangan atau nggak." ia terlihat bingung, tapi sedetik kemudian ia seperti yakin, "Tapi kirimin aja ah. Biar dia dan keluarganya tau. Biar Alf nyesel dan berantem sama Tetehnya."
Saya ingin tertawa, tapi karena ia meminta saya untuk serius, maka saya merespon, "Jadi tujuan Shel ngasih undangan untuk menyakiti Alf?"
"Iya!" Shel meneruskan, "Ini Alf juga barusan ngeliat staus Shel. Pasti Alf ngerasa tersindir."
Shel membacakan status yang ia buat untuk kawannya yang baru saja menikah. Kawan yang juga kawan Alf, yang tahu kisah cinta Shel dan Alf dari awal sampai mereka putus. Di akhir statusnya Shel menyindir, "Gak kayak gua yang kandas karena gak diperjuangkan."
Social Media memang membuat perkara melupakan atau masalah hubungan seremeh apapun semakin rumit.
"Shel gak benar-benar ingin menyakiti Alf." Saya berkomentar.
"Maksudnya?" Shel penasaran.
"Iya, Shel gak benar-benar ingin menyakiti Alf kan?"
"Beneran. Serius. Dia sering berantem sama Tetehnya gara-gara Shel. Kalo Alf tau Shel beneran nikah, pasti dia berantem lagi sama Tetehnya."
"Kalau Shel mau mencintai seseorang, cintai dengan sebenar-benarnya. Jika ingin membenci, bencilah dengan sesungguh-sungguhnya."
"Gimana cara membenci dengan sesungguhnya?"
"Jangan, kalo Shel gak bener-bener yakin," Saya melarang.
"Ih, beneran. Gimana caranya?" Shel setengah memaksa.
"Hal yang paling menyakitkan bagi seseorang adalah tidak dipedulikan. Kalo Shel masih nyimpen nomornya, berarti Shel masih peduli. Shel bahkan masih peduli karena tujuan membuat status salah satunya agar dibaca Alf, untuk menyindir. Tujuan memberi undangan supaya bikin Alf nyesel dan beranten sama Tetehnya. Itu artinya Shel masih peduli. Itu sama sekali tidak menyakitkan. Hal yang paling menyakitkan bagi seseorang adalah tidak dipedulikan. Dilupakan."
"Ya udah, Shel hapus sama blok aja nomornya," Shel membuka HP dan menghapus nama Alf.
Sedetik kemudian saya merasa bersalah karena menyarankan hal yang kejam. Tapi bagaimanpun itu sudah keputusan Shel. Keputusan apapun pasti punya konsekuensi. Entah ia dibuat dengan emosional dan terburu-buru atau penuh pertimbangan. Ia sudah cukup dewasa dan bisa bertanggungjawab atas sikapnya sendiri. Saya hanya berharap semoga ia belajar dan menjadi manusia yang lebih baik di atas keputusan-keputusan itu.
Shel adalah pribadi yang baik, dan tuntunan agama menyatakan bahwa laki-laki yang baik untuk perempuan yang baik, sementara laki-laki yang buruk untuk perempuan yang buruk. Saya takut berceramah panjang lebar, karena bisa jadi itu hanya informasi yang tidak bermakna. Einstein pernah bilang bahwa informasi bukanlah pengetahuan, pengetahuan yang sebenarnya adalah pengalaman. Semoga Shel belajar tentang kehidupan dari pengalaman hidupnya sendiri.
"Jadi tujuan Shel menikah untuk menyakiti Alf?" saya bertanya. Alf sebenarnya adalah mantan sebelum ia memutuskan menikah dengan Deyn.
"Ih, enggak! Ya ampun demi Allah enggak, A Nelal!" Shel menjawab. Masih dengan cepat.
Jawaban pertanyaan saya untuk Shel sungguh bukan untuk saya, tapi untuk Shel sendiri. Jadi pertanyaan-pertanyaan itu sejatinya tidak harus dijawab segera, karena saya tidak butuh. Shel sendiri yang lebih membutuhkan, karena bagaimanapun tidak ada manusia yang bisa berbohong pada hatinya sendiri.
------------------* Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas adalah Judul Novel karya Eka Kurniawan. Sudah diangkat ke layar lebar dengan judul yang sama.
Published on March 09, 2022 15:59